18
Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998 Devi Laura dan Muhammad Wasith Albar Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang gagasan dan karya perupa F. X. Harsono 1975-1998. Fokus dalam penulisan ini adalah kritik sosial-politik seniman Harsono sebagai reaksi terhadap Pemerintahan Orde Baru. Pada tahun 1975, terjadi peristiwa Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang mencoba mendobrak seni konvensional yang terbatas pada seni lukis, patung, dan grafis. Harsono merupakan salah satu seniman yang ikut melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru 1975. Rakyat, berita aktual, dan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia menjadi perhatiannya ketika itu. Peristiwa yang terjadi ditampilkan Harsono melalui karya instalasi yang masih sangat baru di Indonesia. Kata Kunci: F. X. Harsono, Orde Baru, Gerakan Seni Rupa Baru, Kritik Sosial-Politik, Seni Rupa Kontemporer. Artist F. X. Harsono: Ideas and Work 1975-1998 Abstract This thesis discusses about artist F. X. Harsono: Ideas and Work (1975-1998). Focus in this writing is the political and social criticism of Harsono as a reaction towards New Order Government. In 1975, there was Indonesia new art movement which tested to break conventional art limited to painting, sculpture, and graphic. Harsono was one of founding fathers to deliver New Art Movement 1975. People, actual news, and problem happened in Indonesia became the focus attention at that time. The events occurred were showed by Harsono through his installation works which were quite new in Indonesia. Keywords: F. X. Harsono, New Order, New Contemporary Art Movement, Political and Social Criticism Contemporary Art. Pendahuluan Seni berdasarkan Ensiklopedia Indonesia adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat ke dalam bentuk yang ditangkap indra pendengar (seni suara), penglihatan (seni rupa), atau gerak (seni tari). Seni rupa di Indonesia telah mengalami perkembangannya sejak Periode Perintis (1826-1880) hingga Periode Seni Rupa Kontemporer. Secara umum, seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Devi Laura dan Muhammad Wasith Albar

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak Skripsi ini membahas tentang gagasan dan karya perupa F. X. Harsono 1975-1998. Fokus dalam penulisan ini adalah kritik sosial-politik seniman Harsono sebagai reaksi terhadap Pemerintahan Orde Baru. Pada tahun 1975, terjadi peristiwa Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang mencoba mendobrak seni konvensional yang terbatas pada seni lukis, patung, dan grafis. Harsono merupakan salah satu seniman yang ikut melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru 1975. Rakyat, berita aktual, dan masalah-masalah yang terjadi di Indonesia menjadi perhatiannya ketika itu. Peristiwa yang terjadi ditampilkan Harsono melalui karya instalasi yang masih sangat baru di Indonesia. Kata Kunci: F. X. Harsono, Orde Baru, Gerakan Seni Rupa Baru, Kritik Sosial-Politik, Seni Rupa Kontemporer.

Artist F. X. Harsono: Ideas and Work 1975-1998

Abstract

This thesis discusses about artist F. X. Harsono: Ideas and Work (1975-1998). Focus in this writing is the political and social criticism of Harsono as a reaction towards New Order Government. In 1975, there was Indonesia new art movement which tested to break conventional art limited to painting, sculpture, and graphic. Harsono was one of founding fathers to deliver New Art Movement 1975. People, actual news, and problem happened in Indonesia became the focus attention at that time. The events occurred were showed by Harsono through his installation works which were quite new in Indonesia. Keywords: F. X. Harsono, New Order, New Contemporary Art Movement, Political and Social Criticism Contemporary Art.

Pendahuluan

Seni berdasarkan Ensiklopedia Indonesia adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung

dalam jiwa manusia yang dilahirkan dengan perantaraan alat-alat ke dalam bentuk yang

ditangkap indra pendengar (seni suara), penglihatan (seni rupa), atau gerak (seni tari). Seni rupa

di Indonesia telah mengalami perkembangannya sejak Periode Perintis (1826-1880) hingga

Periode Seni Rupa Kontemporer. Secara umum, seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 2: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman. Seni juga lebih leluasa masuk

dalam kehidupan manusia dengan memanfaatkan kemajuan teknologi modern, seperti seni

instalasi dan performance art.1 Seni rupa kontemporer Indonesia muncul pada masa Orde Baru

yang ditandai dengan lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRB) yang dipelopori oleh

seniman muda Yogyakarta dan Bandung. Gerakan tersebut muncul karena adanya kegelisahan

para mahasiswa terhadap perkembangan seni rupa Indonesia yang mengalami kemandegan,

berbagai kebijakan pemerintah, dan terhadap institusi pendidikan.

Pameran GRSB yang pertama diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan

karya-karya yang disajikan dalam pameran ini adalah karya-karya dengan keterlibatan sosial.

Karya yang mengangkat isu-isu seputar ketidakadilan dan tidak terbatas pada bidang seni

melainkan mencakup masalah politik dan ekonomi. GSRB tidak terpaku pada seni konvensional

yang dibuat oleh seniman tua meliputi seni patung, lukis, dan grafis bahwa semua kegiatan dapat

dikategorikan dalam seni rupa meskipun didasari estetika yang berbeda.2 Seniman muda

Yogyakarta yang ikut pameran ini, yaitu Nanik Mirna, Siti Adiyati, F. X. Harsono, Bonyong

Munni Ardhi, dan Hardi. Harsono merupakan satu-satunya perupa Tionghoa di antara mereka

yang berasal dari Yogyakarta. Sejak pameran GSRB yang pertama tahun 1975, karya-karya

Harsono di dominasi oleh karya instalasi. Menurutnya, gerakan tersebut berupaya agar seni

menjadi lebih hidup, tidak memusingkan kepala, alamiah, berfaedah dan menggambarkan sebuah

realitas kehidupan masyarakat.

Harsono yang terlibat dalam gerakan tersebut merupakan salah satu angkatan muda yang

telah mempunyai gaya seni tersendiri pada awal tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat dari

kecenderungan karya-karyanya yang telah ditandai oleh karya-karya yang bercorak geometris.3

Keresahan Harsono pada 1975 membuatnya penggeser pandangan seni konvensional dan mulai

merambah seni yang bertema sosial. Menurutnya, seni tidak hanya sebagai seni, tetapi seni akan

menjadi bagian dari kehidupan. Karya seni yang dibuat oleh Harsono selalu dikaitkan dengan

persoalan-persoalan sekitar. Apabila seni hanya membicarakan mengenai diri seorang seniman,

seni itu akan terjebak dalam eksklusifitas individu saja. Harsono selalu berusaha menempatkan

keseniannya pada tataran kebudayaan dengan cara antara lain mengangkat persoalan-persoalan

                                                                                                               1 Indonesian Heritage: Seni Rupa. Jakarta: Grolier International, hlm. 99. 2 Jim Supangkat (Ed.). (1979). Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: Gramedia Jakarta, hlm. xix. 3Hendro Wiyanto. (2010). F. X. Harsono dan Perkembangan Karyanya (1972-2009)”, dalam RE: PETISI/POSISI. Magelang: Langgeng Art Foundation, hlm. 47.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 3: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

sosial dan politik. Oleh karena itu, ia selalu berusaha memahami persoalan-persoalan sosial-

politik yang berkembang.4

Pemilihan tahun 1975 sebagai batas awal penulisan tahun tersebut terjadinya peristiwa

GRSB dan diakhiri tahun 1998 karena berakhirnya masa Orde Baru. Permasalahan yang akan

diangkat adalah mengapa Harsono menciptakan karya-karya dengan muatan kritik sosial-politik

sepanjang tahun 1975-1998 dan menjadi seniman yang berpengaruh terhadap perkembangan Seni

Rupa Kontemporer Indonesia, sehingga tujuan dari penulisan adalah untuk menjawab rumusan

permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yakni metode

penelitian yang menggunakan sumber-sumber atau data kepustakaan (Library Research). Metode

penulisan sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi

atau penulisan sejara kronologis.

Tahap pertama yaitu Heuristik, adalah mencari dan mengumpulkan sumber yang

berhubungan dengan topik yang akan dibahas dalam skripsi ini. Pada tahap ini, telah

dikumpulkan sumber-sumber primer berupa katalog-katalog pameran Harsono sejak 1975 hingga

1998 dan surat kabar sezaman yang diperoleh dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,

Dewan Kesenian Jakarta, dan Pusat Informasi Kompas. Sementara itu, sumber sekunder yang

digunakan antara lain buku dengan tema terkait, serta artikel yang dipublikasikan, baik secara

fisik maupun dalam jaringan.

Tahap berikutnya adalah tahap kritik sumber yang dibagi menjadi dua macam kritik, yaitu

kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal dilakukan dengan cara menganalisis materi

yang telah didapat agar diperoleh informasi-informasi yang dapat digunakan dalam penulisan ini.

Dalam kritik internal, data-data diperbandingkan satu sama lain agar diperoleh validitas dan

kredibilitas informasi yang digunakan dalam penulisan. Kritik eksternal dilakukan untuk

membuktikan kebsahan dokumen dengan meneliti fisik dokumen dan sumber data bahan

penulisan dokumen tersebut.

Tahap yang ketiga adalah tahap interpretasi. Setelah melalui tahap kritik sumber, peneliti

kemudian melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh supaya                                                                                                                4 Wawancara dengan F. X. Harsono. (66 tahun). Kamis, 27 Maret 2014 di Bintaro Sektor 5.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 4: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

relevan dengan topik skripsi ini. Pada tahapan ini, peneliti tidak mengalami kendala yang berarti

dikarenakan sumber-sumber yang telah diperoleh saling berkaitan dan saling mendukung satu

dengan lainnya.

Tahapan yang terakhir dari metode sejarah adalah tahap historiografi atau penulisan

sejarah. Dalam tahapan terakhir ini, penulis mencoba merangkai fakta-fakta yang telah diperoleh

melalui tahapan heuristik, kritik sumber, serta interpretasi menjadi sebuah tulisan sejarah. Pada

tahap ini, penulis akan melakukan rekonstruksi terhadap perkembangan seni rupa Indonesia, serta

mengulas mengenai gagasan dan karya Harsono yang ditujukan untuk Pemerintahan Orde Baru.

Pembahasan

Karya instalasi yang ditampilkan oleh Harsono sejak debut pertama pada tahun 1975

karena dianggap sebagai sarana yang tepat untuk menyampaikan kritik sosial-politik dalam

masyarakat. Kritik sosial-politik dalam seni rupa dapat diartikan sebagai kecaman atau tanggapan

mengenai apa yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintahan yang diungkapkan dalam bentuk

karya seni. Perhatian Harsono sepanjang tahun 1975 hingga 1998 terserap kepada berbagai

permasalahan yang terjadi di Indonesia, seperti angkatan bersenjata yang semakin represif,

masalah lingkungan hidup, serta demokrasi dan pemilu di Indonesia.

Sebagai seorang seniman, Harsono merasakan dirinya sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari peristiwa sehari-hari dan perlu menanggapi masalah-masalah itu dengan seninya.

Masyarakat, peristiwa nyata, dan berita aktual segera menjadi bagian dari kegelisahan Harsono

yang baru pada masa itu. Huru-hara yang terjadi pada 15 Januari 1974 atau yang populer dengan

nama Peristiwa Malari telah mencoreng nama Presiden Soeharto karena peristiwa itu terjadi di

hadapan tamu negara. Pasca peristiwa itu, ia juga menerapkan sanksi terhadap pihak-pihak yang

bisa mengusik pemerintah, terutama terhadap stabilitas keamanan dan perekonomian. Untuk

menciptakan keadaan seperti itu, dikerahkan angkatan militer untuk mencapai keamanan

nasional. Berada pada kondisi sosial politik yang diselimuti oleh kekuatan angkatan bersenjata

menuntut seniman untuk mampu menjawab tantangan zaman. Harsono sebagai mahasiswa ASRI

mempunyai kepedulian yang besar terhadap sesuatu yang terjadi di Indonesia.

Pada pameran-pameran Seni Rupa Baru 1975-1979, Harsono menampilkan sejumlah

karyanya dengan menampilkan objek-objek temuan yang provokatif. Sepanjang pameran itu, ia

menyindir kekuatan militer yang meskipun belum terlalu kental dalam mengkritik pemerintahan

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 5: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Soeharto. “Paling Top 75” adalah sebuah karya instalasi yang menampilkan sepucuk senjata

mainan sejenis semi otomatis AK-16, di dalam kotak yang terkurung oleh anyaman kawat sejenis

bahan murahan yang lazim digunakan untuk kandang hewan peliharaan. Judul karya ini segera

terbaca gamblang pada selembar kain putih bersih yang direntangkan.5 Melalui sepucuk senjata

tajam yang ia tampilkan diharapkan akan mengorek pengalaman estetis seseorang dimasa lalu.

Hal ini untuk menyindir suasana di Indonesia yang semakin represif oleh kekuasaan militer di

bawah rezim Orde Baru.

Gambar 1. Paling Top 75. 1975. Senapan Plastik, tekstil, kotak kayu, dan anyaman kawat 50 x 100 x 157 cm

Sumber: Rath, 2010: 26-27

Karya instalasi lainnya yang berjudul “Rantai yang Santai” berupa sebuah kasur kecil,

bantal tidur untuk anak-anak, dan dua buah guling. Kedua guling dan bantal diikat dengan rantai

besi. Instalasi yang ditampilkan Harsono menggambarkan kenyamanan yang bersifat privat pun

tidak dapat dilepaskan dari pembatasan dan penindasan. Kekuasaan yang menindas dapat

mengontrol masyarakat dalam ruang publik dan ruang pribadi sekalipun.

Instalasi “Rantai yang Santai” karya Harsono merupakan simbol kontradiksi yang

bersifatmultiinterpretatif. Rantai yang longgar, salah satu cara untuk melihat bahwa masyarakat

telah begitu terbiasa dikendalikan, mereka sebenarnya merasa santai dan nyaman dalam keadaan                                                                                                                5 Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 77.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 6: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

seperti itu.6 Menurut Harsono, karya itu merupakan gambaran situasi tahun 1975 yang begitu

penuh ketidakpastian. Militer mulai terlibat dalam kampus-kampus dan dewan mahasiswa mulai

dibubarkan. Hal itu membangkitkan rasa yang sangat tidak aman dan terus menghantui bahkan

dalam ruang pribadi seperti tempat tidur.

Gambar 2. Rantai yang Santai. 1975.

Sumber: http://www.fxharsono.com/imgs/gallery/1/gsrb/rantai-yang-santai-gsrb_u.jpg

(Diunduh Pada Tanggal 10 Maret 2015, Pukul 16.38 WIB)

Pada 1980-an, perhatian Harsono segera terserap ke masalah lingkungan hidup7, seperti

yang ditunjukkan oleh beberapa pameran yang diikutinya pada masa itu. Isu masalah lingkungan

hidup sedang hangat-hangatnya dibicarakan di Indonesia, tetapi hanya dibincangkan tanpa ada

solusi terhadap masalah kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut. Seolah-olah, pada

Harsono mulai muncul bayangan ganda untuk berperan sebagai seniman sekaligus aktivis.

Sebelum menciptakan karya seni, Harsono melakukan riset bersama perupa lain dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga data dan fakta yang mereka peroleh dari penelitian cukup

mendalam. Hal ini merupakan suatu kecenderungan yang menarik dalam memanifestasikan sikap

                                                                                                               6 Hariyanto. “Politik Identitas Diaspora Tionghoa dalam Karya-karya Para Perupa Kontemporer Indonesia.” https://www.academia.edu/5537994/POLITIK_IDENTITAS_DIASPORA_TIONGHO1 (Diunduh Pada Tanggal 10 Maret 2015, Pukul 16.21 WIB). 7 Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk manusia didalamnya dan perilakunya yang melangsungkan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Lihat Sri Hayati. “Apa Itu Lingkungan Hidup?” http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196202131990012-SRI_HAYATI/MK-EKOLOGI_DAN_LINGKUNGAN/LH.pdf (Diunduh pada tanggal 20 Maret 2015, Pukul 17.03 WIB).

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 7: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

pandangan mereka mengenai fungsi sosial seniman dalam masyarakatnya.8 Harsono menilai

bahwa cara pandang ini dapat lebih tajam menusuk pada jantung masalah, karena Harsono selalu

memasukkan unsur manusia dan permasalahan sosial ke dalam karya-karyanya.

Pada 1982, Harsono menyusun potongan-potongan kayu sepanjang 1 km di tepian Pantai

Parangtritis, Yogyakarta. Karya yang ditampilkan oleh Harsono ialah suatu karya di alam bebas

yang jarang dilihat orang, karya ini berjudul “Pagar Tripleks dan Hutan Kita”. Dapat dilihat

bahwa pada satu sisi permukaan kayu-kayu tersebut tertera angka-angka mengenai kerusakan

hutan tropis di Indonesia yang mulai tidak terkendali.9 Kayu-kayu dengan penjelasan tersebut

dijejerkan rapi di sepanjang Pantai Parangtritis. Oleh karena itu, istilah environtment art pun

mulai muncul dalam pembicaraan seni rupa Indonesia.

Gambar 3: Pagar Tripleks dan Hutan Kita. 1982. Teks, sablon di atas tripleks, Pantai Parang Tritis, Yogyakarta. 120 x 15 cm (600 meter memanjang).

Sumber: Wiyanto, 2010: 105

Mengaitkan seni dan isu permasalahan lingkungan hidup berlangsung pada tahun-tahun

kemudian. Harsono dan beberapa sejawatnya mulai menjalin komunikasi dan pendekatan ke

beberapa LSM, seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Asosiasi Peneliti Indonesia

(API). Perhatian mereka tercurah sepenuhnya pada hasil-hasil penelitian LSM perihal lingkungan

hidup di Jakarta yang pada umumnya menuai isu kurang baik. Studi kasus yang dilakukan oleh

Harsono dan sejawatnya dengan mengunjungi Teluk Jakarta yang sudah tercemar oleh buangan

rumah tangga dan limbah industri yang mengandung logam berat. Di sebuah Kampung Luar

                                                                                                               8 Wienardi. (1985). “Membaca Jejak Langkah Senirupawan menuju lingkungan,” dalam Katalog Pameran Seni Rupa Lingkungan: Proses 85. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, hlm. 11. 9 Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 105.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 8: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Batang, Kelurahan Penjaringan, jakarta Utara telah muncul sejenis penyakit atau kelainan pada

sejumlah penduduk yang terbiasa mengonsumsi ikan dari Teluk Jakarta. Kurang lebih terdapat

2.000 pabrik di Jakarta dan sekitarnya, semua pabrik itu membuang limbah Merkuri tanpa diolah

terlebih dahulu ke sungai di Jakarta.10 Lingkungan hidup ikan akan tercemari oleh zat-zat yang

berbahaya bagi tubuh apabila dikonsumsi.

Meskipun pemerintah telah dilakukan berbagai upaya rehabilitasi, tetapi belum maksimal

karena tidak dilakukan dengan berkesinambungan dan hanya menjadi program-program saja.

Oleh karena itu, untuk merespon kejadian yang terjadi pada masyarakat Harsono

merepresentasikan semua itu ke dalam karyanya dalam bentuk instalasi maupun fotografi.

“Pameran Proses 85” menampilkan kesadaran baru di kalangan seniman menyangkut isu

semacam itu berlangsung di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta. Pada pameran ini, Harsono

menampilkan karya yang berjudul “Merkuri 1” menceritakan dampak yang diakibatkan oleh

pencemaran merkuri dan limbah industri di kawasan Teluk Jakarta.

Gambar 4. Merkuri 1. 1985. Photograph

Sumber: http://archive.ivaa-online.org/img/artworks/small/1331284314.jpg

(Diunduh Pada Tanggal 10 Maret 2015, Pukul 22.32 WIB)

Pada karya ini Harsono mempertanyakan masalah limbah industri yang telah memakan

korban terutama anak-anak. Terbaca dengan jelas bahwa ia ingin menggugah hati siapa saja yang

melihat karya tersebut. Anak-anak adalah salah satu korban dari pencemaran lingkungan yang

disebabkan oleh dampak dari pembangunan itu sendiri. Dapat dilihat bahwa ia ingin mengangkat

                                                                                                               10 Dr. Meizar. (1985). “Pencemaran Air dan Akibatnya Pada Manusia: Suatu Studi Perbandingan,” dalam Katalog Pameran Seni Rupa Lingkungan: Proses 85. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, hlm. 19.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 9: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

persoalan pada sisi manusianya. Konsentrasi Harsono dalam menampilkan anak-anak dapat

dimaknai sebagai kepeduliannya terhadap anak-anak sebagai generasi penerus yang seharusnya

mendapat perhatian di segala aspek kehidupan oleh Pemerintah Indonesia. Menurut Harsono,

riset dalam karyanya adalah sebuah proses yang penting agar ia tidak salah menginterpretasikan

sesuatu.11

Pada tahun 1994, Harsono menyelenggarakan pameran tunggal pertamanya bertajuk “Suara”, ia

mulai menyuarakan tanggapan atas keadaan-keadaan dalam masyarakat, dimana yang lemah

kurang dapat bersuara dan ia mencoba berpihak kepada mereka.12 Karya-karya dalam pameran

ini sangat terlihat bahwa ia mengkritik kekuasaan sebagaimana dulu telah mengawali dengan

menyindir kekuasaan angkatan bersenjata sebagai Yang Paling Top, seperti karya “Kuasa yang

Tertindas”.

Gambar 5. Kuasa yang Tertindas. Katalog “Pameran Suara.” 1994.

Sumber: Enin Suprianto (Kurator), 1994: 2

Karya instalasi tersebut dibuat menggunakan peralatan seperti kursi, kawat-kawat

melingkar, keris-keris, simbol api, serta ranting-ranting yang dipatahkan disusun diatas kain putih

bebercak merah. Benda-benda tersebut disusun secara rapih diatas lantai. Ia menampilkan kursi

yang dijaga kawat berduri, gundukan-gundukan pasir yang dilembari kain putih dengan percikan

                                                                                                               11 Anwar Siswadi. “Perupa F. X. Harsono Puasa Pameran Pada 2015.” http://www.tempo.co/read/news/2014/09/09/114605612/Perupa-FX-Harsono-Puasa-Pameran-pada-2015 (Diunduh Pada Tanggal 10 Maret 2015, Pukul 22.49 WIB) 12 Edi Sedyawati. (1994). “Sambutan”, dalam Suara: Katalog Pameran Seni Rupa Kontemporer F. X. Harsono. Jakarta: Gedung Pamer Seni Rupa Depdikbud, hlm. 3.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 10: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

warna merah dan ranting patah.13 Kekuasaan yang menekan dengan dukungan senjata serta

penggunaan simbol-simbol seperti keris dan kursi. Ada ranjau-ranjau pembatas antara kekuasaan

dan yang dikuasai menjadikannya sebagai jarak. Kekuasaan dalam situasi demikian, kemudian

cenderung disertai dengan kekerasan angkatan bersenjata.14 Seakan kekuasaan memiliki aura

sebagai sesuatu yang harus dijaga, seolah-olah terjamah, tetapi tidak dapat didekati begitu saja.

Karya-karya selanjutnya kemudian dikenal sebagai cap sosial yang khas Harsono, seperti

karya “Suara yang Tak Bersuara”. Karya ini terdiri atas sembilan buah panel yang berisi gambar-

gambar bahasa isyarat kaum bisu-tuli. Apabila disuarakan secara berurutanakan berbunyi menjadi

satu kata yang sederhana, yakni D-E-M-O-K-R-A-S-I.15 Pada bidang politik dapat

diinterpretasikan bahwa masyarakat tidak bisa menyuarakan aspirasi mereka.

Gambar 6. Suara yang Tak Bersuara/Tanda/Isyarat. 1993-1994. Cetak saring di atas kanvas (9 panel), bangku kayu dan stempel. 143,5 x 95,5 cm. Koleksi Fokuoka Asian Art Museum.

Sumber: Wiyanto, 2010: 125

“Pameran Suara” dapat dikatakan sebagai pameran yang bertema pembredelan media

massa. Pasalnya, tiga media massa (Majalah Tempo, Tabloid DeTik, dan Majalah Editor) di

Jakarta dibredel pada Juni 1994 oleh pemerintah. Serta beberapa jurnalis muda anggota Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) ditangkap dan ditahan. Tidaklah heran bahwa di masa Orde Baru

semua kelembagaan dan profesi makin menjurus ke pola wadah tunggal. Seluruh partai politik                                                                                                                13 Harsono memiliki kemampuan untuk menciptakan kursi sebagai simbol penguasa bukan sekadar kemampuan mengartikan simbol, tetapi kemampuan imajinasi kita untuk menemukan simbol sebagai bahasa pengucapan kritik sosial-politik yang tepat. Lihat Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 118. 14 Enin Suprianto (Kurator). (1994). “Parlemen Ruang Pameran: Mendengar Ulang Suara-suara yang Hilang”, dalam

Suara: Katalog Pameran Seni Rupa Kontemporer F. X. Harsono. Jakarta: Gedung Pamer Seni Rupa Depdikbud, hlm. 6.

15 Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 6.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 11: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

dilebur menjadi tiga sejak 1984 dan berasas Pancasila. Partai Golkar adalah satu diantara tiga

partai politik yang memegang penuh kekuasaan di Indonesia kala itu. Selama bertahun-tahun

diselenggarakannya pemilu lima tahun sekali, hanya memiliki calon tunggal tanpa saingan. Pada

1998, Indonesia pun hanya memiliki calon tunggal (Soeharto) yang akan dipilih untuk ketujuh

kalinya. Oleh karena itu, ia menampilkan karya instalasinya yang berjudul “Suara yang Diatur

Para Penguasa”. Karya tersebut sangat aktual dan menarik perhatian pada pameran ini.

Gambar 7. Voice Controlled by the Powers/Suara yang Diatur Para Penguasa. 1994. Instalasi topeng dan kain.

Sumber: Rath, 2010: 11

Karya tersebut seakan bercerita bahwa masyarakat seolah-olah seperti orang yang

memiliki mulut, tetapi mulut tersebut tidak dapat digunakan untuk menyuarakan pendapat Mulut

tersebut dikuasai oleh kekuasaan sehingga merekalah yang mengontrol mulut kita. Karya ini

disusun dari 100 buah topeng Panji, terbuat dari bahan kayu dan telah dibeli Harsono di emperan

Malioboro.16 Karya ini menampilkan seakan-akan mulut direnggut paksa dan diasingkan, kini

semua mulut dikontrol sepenuhnya oleh penguasa. Karya Harsono semakin tajam mengkritik

pemerintah pada 1997, pada tahun ini ia mengikuti pameran kolektif di Cemeti yang merespon

Pemilu sebagai tema. Pameran tersebut juga sempat didatangi oleh otorita yang mencurigai

pesan-pesan politik dalam karya-karyanya, meskipun tidak sampai dilarang.17

                                                                                                               16 Dengan menampilkan peran topeng yang merujuk pada keaktualan peristiwa telah menunjukkan bahwa kekuasaan telah mengontrol, bahkan membungkam total esensi kebebasan bersuara orang banyak. Bahwa dalam suasana represif yang terjadi masa Orde Baru, orang akan menjual mulutnya atau kebebasannya kepada pihak lain supaya tetap selamat. Lihat Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 151-153. 17 Farah Wardani. (2014). “Resonansi, Relevansi Membaca Kembali Pembacaan Cemeti,” dalam Turning Targets: 25 Tahun Cemeti. Yogyakarta: Cemeti Art House and authors, hlm. 19-20.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 12: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Harsono menampilkan performance art nya yang pertama kali di ruang publik, Alun-alun

Selatan, Yogyakarta. Ia menggunakan pantalon warna abu-abu, bersepatu lancip, serta wajahnya

dirias dengan warna merah dan sepasang taring muncul dari topeng tersebut. Mula-mula ia

meletakkan tiga kursi kayu dengan masing-masing topeng panji diatasnya, kemudian membakar

topeng tersebut satu persatu. Adegan selanjutnya ialah menggergaji topeng dan kursi secara

bergantian. Pertunjukan tersebut selesai saat kursi-kursi dan topeng terpenggal menjadi beberapa

bagian tidak beraturan dan membelah topeng yang hangus menjadi dua. Potongan-potongan

itulah yang di bawa ke galeri menjadi objek instalasi.

Gambar 8. Destruction/Penghancuran. 1997. Instalasi dan komponen performans. Batang kayu bakar, rangka baja, topeng kayu, dan televisi. Pameran Slot in the Box di Cemeti Art House.

Sumber: Rath, 2010: 32-33

Klimaks karya Harsono terjadi pada 1998, ia menampilkan bahasa parodi dalam

karyanya. Ia memelesetkan secara efektif kata ‘Indonesia’ menjadi ‘Indochaos’, serta

mempersembahkan kembali simbol perangko sebagai monumen pembekuan dan semacam

kenang-kenangan yang pantas bagi semua orang terhadap berbagai peristiwa kekerasan masa

Orde Baru. Terdapat lima perangko dalam karya “Republik Indochaos” dan di tiap masing-

masing perangko tersebut menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa

Pemerintahan Soeharto secara gamblang dan mudah ditebak rentetan peristiwanya.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 13: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Gambar 8. Republik Indochaos. 1998. Foto-foto etsa di atas kertas. 57 x 53 cm (5 panel). Koleksi Singapore Art Museum.

Sumber: Rath, 2010: 34-35

Seri karya ini diawali dengan wajah populer Sang Jenderal yang tersenyum dengan

stempel atau cap lengser yang menyilang dan berangka tahun 1998. Gambar-gambar berikutnya

adalah gambar Soeharto yang terpotong dan terjungkal di bawah jejak-jejak kerusuhan dan

korban. Memang lelucon dan permainan akronim politik yang sering terdengan di Indonesia

menjelang 1998, sebagian besar lelucon tersebut berkisar pada tema korupsi dan nepotisme.

Presiden Soeharto, istrinya (wafat pada 1996), anak-anaknya, para menteri, sekutu-sekutu politik,

serta rekan-rekan bisnisnya menjadi lelucon dan permainan plesetan kata-kata ini.18 Karya-karya

Harsono dalam Pameran Korban 1998 telah menunjukkan bahwa ia tetap memasang mata dan

telinganya baik-baik sebagai seorang perupa yang terlibat.

Tidak hanya aktif berkarya dari tahun 1970-an hingga kini, tetapi Harsono telah mulai

menulis pada akhir tahun 1980-an awal 1990-an. Kurangnya infrastruktur seni rupa membuatnya

merasa harus mulai menulis mengenai seni rupa kontemporer Indonesia karena tidak ada lagi

seseorang yang dapat mendukung pemikiran-pemikiran Seni Rupa Baru dan pemikirannya. Ia

berpikir betapa pentingnya menuliskan pemikiran-pemikiran seni rupa kontemporer yang tidak

dapat ditulis orang lain, kecuali oleh dirinya sendiri.19 Dalam tulisan-tulisannya, Harsono

cenderung mengamati perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia dan seni rupa yang

berorientasi kepada rakyat, hal itu tercermin dari beberapa tulisannya di surat kabar maupun buku

seni rupa. Sebagai seorang seniman yang menciptakan karya dan menulis membuat Harsono                                                                                                                18 Hendro Wiyanto, op. cit., hlm. 175-181. 19 Menulis bagi Harsono ialah sebuah dorongan untuk menuliskan pemikiran-pemikiran yang disesuaikan dengan ideologi dalam penciptaan seni dan berkesenian, serta masih menulis hingga sekarang. Wawancara dengan F. X. Harsono. (66 tahun). Senin, 12 Januari 2015 di Bintaro Sektor 5.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 14: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

menunjukkan peran penting dalam seni rupa Indonesia. Melalui pendapat beberapa Stakeholder

(pemangku kepentingan) dalam seni rupa bahwa telah menunjukkan eksistensi Harsono dalam

seni rupa kontemporer Indonesia. Stakeholder yang dimaksudkan adalah seorang kurator,

wartawan seni, pengamat seni, seniman, dan lain sebagainya.

Mereka nantinya yang akan membantu menyebarluaskan informasi mengenai pameran

atau suatu karya seni kepada khalayak umum . Opini publik mengenai karya-karya Harsono sejak

1975 hingga 1998 menjadi dibentuk oleh peran Stakeholder dalam seni rupa. Salah satu

Stakeholder yang mengamati perkembangan kesenian Harsono dan beberapa kali menguratori

pamerannya mengemukakan bahwa Harsono adalah seseorang yang konsisten dengan karyanya

sejak 1975 yang mulai mengritik Pemerintah Orde Baru. Hal itu dapat diamati dari karya yang

ditampilkan, tema sosial yang ia pilih, bobot dalam suatu karya, dan kedalamannya melihat suatu

permasalahan. Namun, ukuran suatu karya yang ditampilkan oleh Harsono bukan bagaimana

karya itu dapat mengubah suatu kondisi atau tidak. Suatu karya tidak dapat mengubah keputusan

presiden, seniman sadar bahwa karya terbatas untuk memengaruhi. Disisi lain, Harsono

memberikan sumbangsih besar pada Indonesia melalui tulisan-tulisannya mengenai seni rupa

Indonesia. Harsono merupakan satu diantara seniman di Indonesia yang memiliki bakat menulis

mulai dari menulis kumpulan esai yang sekarang dijadikan buku.20

Senada dengan Hendro Wiyanto, wartawan seni Efix Mulyadi mengaku tertarik dengan

perjalanan kesenian Harsono. Ia tergolong ke dalam tipe seniman yang berkarya dengan sadar.

dapat dilihat melalu karyanya sejak Peristiwa Desember Hitam hingga GSRB. Pandangan Efix

mengenai “berkarya dengan sadar” itu juga tampak jelas di dalam karya-karyanya ketika usianya

lebih tinggi. karakternya berkesenian yang kuat dan gaya ungkapnya jelas dan terkadang lugas,

tanpa terpeleset menjadi sekadar pamflet pergerakan politik, seperti karya “Paling Top 75” dan

pameran bertajuk “Suara” yang mengritik Orde Baru. Dapat dikatakan sifat, karakter, dan

kelakuan Orde Baru menjadi “bahan bakar kreatif” mereka, dan menjadi semacam alasan untuk

berkarya.21

Bambang Bujono selaku wartawan seni sudah mengamati perkembangan seni rupa sejak

awal 1970-an, termasuk perkembangan seniman Harsono. Baginya, seni rupa Harsono bukan

sekadar hiburan, melainkan memberi makna pada hidup. Makna ini bagi Harsono adalah respon

                                                                                                               20 Wawancara dengan Hendro Wiyanto. (59 tahun). Jumat, 10 April 2015 di Komplek Taman Semanan Indah, Jakarta Barat. 21 Wawancara dengan Efix Mulyadi. (66 tahun). Kamis, 23 April 2015 melalui e-mail.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 15: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

terhadap permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Harsono termasuk perupa yang

mampu mengolah ide menjadi karya tidak hanya dalam satu dimensi, sehingga protes sosialnya

tidak menjadi poster atau sekadar protes, melainkan tetap menjadi karya seni yang bisa dilihat

kapan saja. Dengan kata lain, ia mampu mengangkat tema kritik sosial menjadi tema universal

misalnya karya “Paling Top 75”, “Rantai yang Santai”, dan “Pameran Seni Rupa Lingkungan”.

Konteksnya peristiwa politik di Indonesia, tetapi pesan yang disampaikan untuk kemanusiaan

dimana saja.22 Ada beberapa seniman yang lebih muda mengusung tema kritik sosial seperti

Harsono, tetapi tidak sekonsisten Harsono dalam berkarya, di antaranya ialah Semsar Siahaan

dan Dadang Christanto.

Kesimpulan

Fransiskus Xaverius Harsono atau F. X. Harsono lahir pada 22 Maret 1949. Pada 1969,

Harsono menempuh pendidikan seni rupa di ASRI. Kecenderungan Harsono awal tahun 1970-an

adalah mengusung tema geometris dalam karyanya. Oleh karena seni geometris terlampau steril,

Harsono segera mengubahnya ke haluan lain. Masyarakat, permasalahan sosial-politik, dan berita

aktual segera menjadi kegelisahan Harsono yang baru pada 1974, bersamaan dengan itu tengah

terjadi Peristiwa Malari. Pergeseran sikap Harsono dalam melihat permasalahan merupakan

komplikasi dari respons modernisasi, ketimpangan sosial, dan kemandegan dunia seni rupa di

institusi perguruan tinggi mereka yang masih menganut sistem cantrikisme. Kesadaran yang

semakin besar membuat Harsono dan sejawatnya mulai memperjuangkan wacana baru dalam

seni rupa Indonesia dengan membentuk GSRB.

Semangat bereksperimen mulai terlihat ketika Harsono meninggalkan corak

geometrisnya. Karya-karya yang ditampilkan Harsono pada Pameran GSRB 1975 memunculkan

realitas sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Harsono menggarap tema-tema sosial bukan lagi

sekadar memindahkan penderitaan kehidupan rakyat pada kanvas, melainkan menganalisis

idenya dan lebih berani dalam medium visualnya. Pada pameran GRSB dapat ditandai benih

kecenderungan karya-karya Harsono yang berkembang hingga sekarang. Ia sejak semula

memiliki ketajaman untuk berkomentar masalah sosial yang terjadi di Indonesia dan ditampilkan

melalui media ready made atau dalam bentuk instalasi. Melalui GSRB inilah karya instalasi

                                                                                                               22 Wawancara dengan Bambang Bujono. (68 tahun). Senin, 20 April 2015 di Taman Ismail Marzuki.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 16: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

booming dikalangan seniman muda Indonesia, mereka lebih bebas untuk berkarya dan

bereksperimentasi dengan medium-medium baru.

Perhatian Harsono sepanjang tahun 1975 hingga 1998 terserap kepada berbagai

permasalahan yang terjadi di Indonesia, seperti angkatan bersenjata yang semakin represif,

masalah lingkungan hidup, serta demokrasi dan pemilu di Indonesia. Meskipun Harsono sudah

berkarya sejak 1975, tetapi ia baru mengadakan pameran tunggalnya tahun 1994. Hal itu

dikarenakan tidak tersedianya dana untuk mengadakan sebuah pameran tunggal. Selain itu,

pemilik galeri, lembaga pemerintah, dan lembaga pendidikan enggan membiayai pameran yang

mengangkat tema-tema kritik sosial. Bahwa lukisan dekoratif lebih laku dipasaran (Boom seni

lukis), keadaan seperti itu membuat seni rupa kontemporer yang mengangkat tema kritik sosial

mulai surut. Namun, Harsono tetap konsisten mengangkat tema kritik sosial dalam karyanya.

Dengan menjual mobil pribadinya, Harsono mengadakan pameran yang bertajuk “Suara”.

“Pameran Suara” dapat dikatakan sebagai pameran yang bertema pembredelan media massa dan

ditangkapnya tiga jurnalis anggota AJI. Pada pameran tunggalnya ini, Harsono menampilkan

karya instalasinya yang berjudul “Suara yang Diatur Para Penguasa”. Karya tersebut sangat

aktual dan menarik perhatian pada pameran ini.

Perjalanan Harsono dalam seni rupa Indonesia dapat diperhitungkan, bahwa ia telah

menunjukkan sikap yang konsisten dan pencapaian yang terus berkembang. Ia merupakan salah

satu perupa yang masih sangat aktif dan produktif dengan karya-karya yang selalu relevan

dengan isu-isu sosial-politik di Indonesia. Menurut Harsono berkarya saja tidak cukup,

perhatiannya tidak hanya terserap pada masalah-masalah sosial-politik yang terjadi di Indonesia.

Namun, ia juga menaruh perhatiannya terhadap kurangnya infrastruktur seni rupa di Indonesia,

Harsono dan sejawatnya menerbitkan Majalah Dialog Seni Rupa. Hal ini menunjukkan bahwa

perhatian Harsono bukan hanya sekadar berkarya. Majalah tersebut merupakan sarana pertama

Harsono dalam mengemukakan aspirasinya dalam sebuah tulisan dan kemampuannya menulis

berkembang hingga kini. Oleh karena itu, terdapat seniman muda yang terinspirasi oleh Harsono

melalui karya maupun tulisan-tulisannya seperti Semsar Siahaan dan Dadang Christanto. Mereka

adalah seniman muda yang secara konseptual terispirasi oleh Harsono.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 17: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Daftar Referensi Kalatog yang tidak diterbitkan:

Suprianto, Enin (Kurator). (1994). Suara: Pameran Seni Rupa Kontemporer F. X. Harsono.

Jakarta: Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Kebudayaan.

Witoelar, Erna (Pengantar). (1985). Pameran Seni Rupa Lingkungan: Proses 85. Jakarta:

Jayakarta Agung Offset.

Buku:

Adipurnomo, Nindityo dan Jaarsma, Mella (Pengantar). (2014). Turning Targets: 25 Tahun

Cemeti. Yogyakarta: Cemeti Art House and authors.

Rath, Amanda Katherine, dkk. (2010), Re: Petisi / Posisi. Magelang : Langgeng Art

Foundation.

Soebadyo, Haryati. Indonesian Heritage: Seni Rupa, Jakarta: Grolier International.

Supangkat, Jim (Ed.). (1979). Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Wawancara:

Wawancara dengan Bambang Bujono. (68 tahun). Senin, 20 April 2015 di Taman Ismail

Marzuki.

Wawancara dengan Efix Mulyadi. (66 tahun). Kamis, 23 April 2015 melalui e-mail.

Wawancara dengan F. X. Harsono. (66 tahun). Kamis, 27 Maret 2014 di Bintaro Sektor 5.

Wawancara dengan Hendro Wiyanto. (59 tahun). Jumat, 10 April 2015 di Komplek Taman

Semanan Indah, Jakarta Barat.

Sumber Dalam Jaringan:

Hariyanto. Politik Identitas Diaspora Tionghoa dalam Karya-karya Para Perupa

Kontemporer Indonesia, diunduh dari

https://www.academia.edu/5537994/POLITIK_IDENTITAS_DIASPORA_TIONGHO

1, Selasa, 10 Maret 2015, pukul 16.21 WIB.

Siswadi, Anwar. Perupa F. X. Harsono Puasa Pameran Pada 2015, diunduh dari

http://www.tempo.co/read/news/2014/09/09/114605612/Perupa-FX-Harsono-Puasa-

Pameran-pada-2015, Selasa, 10 Maret 2015, pukul 22.49 WIB.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015

Page 18: Perupa F. X. Harsono: Gagasan dan Karyanya 1975-1998

Sri Hayati. Apa Itu Lingkungan Hidup?, diunduh dari

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196202131990012-

SRI_HAYATI/MK-EKOLOGI_DAN_LINGKUNGAN/LH.pdf, Jumat, 20 Maret

2015, pukul 17.03 WIB.

perupa f.x Harsono, Devi Laura, FIB UI, 2015