Upload
dangnga
View
245
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PETA PEMIKIRAN FIKIH PADA ZAMAN
SAHABAT DAN TABI’IN
PENDAHULUAN
Pada masa awal Islam, kata Fikih dipergunakan sebagai pemahaman
terhadap hukum-hukum agama secara keseluruhan, baik hukum-hukum yang
berkenaan dengan keyakinan (’aqa’id) maupun yang berkenaan dengan hukum
praktis (amaliah) dan akhlak.1 Kata Fikih sinonim dengan syari’ah atau din2 yang
berupa hukum-hukum kewajiban, perintah, larangan atau pilihan. Pemahaman
Fikih semacam ini terus dipergunakan sampai pertengahan abad ke-2 Hijriyah
kemudian setelah melalui masa-masa perkembangan formatifnya, pada abad ke
dua hijriyyah, istilah Fikih mengalami pergeseran dan pembatasan sehingga
terfokus pada masalah-masalah hukum saja, sejak terjadi perbedaan antara
Syari’ah dan Fikih.3
Dengan demikian Fikih terus berkembang secara berangsur-angsur sejak
zaman Nabi seiring dengan berkembangnya masyarakat dalam rangka
menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan yang baru dan mencegah bahaya dan
kerusakan yang terus bermunculan.4 Para sahabat yang merupakan penerus dari
para perjuangan Nabi telah melakukan dakwah jauh melampaui dakwah pada
masa Nabi, misalnya Persia, Irak, Syam dan Mesir.5 Pada saat itu Fikih sebagai
ajaran Islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan
berbagai persoalan yang komplek baik dari segi hukum, moral, kultural maupun
1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hal. 122 Sya’ban Muhammad Isma’il, Al Tasyri’ al Islam Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An-
Nahdhah Al Misriyyah, 1985), hal. 113 Syari’at adalah ruang lingkup yang bersifat menyeluruh, baik berdimensi nilai-nilai ilahi,
rabbani insani yang meliputi akidah ibadah dan muamalah (Fiqh) dan akhlak atau tasawuf, lihat : Rahmat Djatmiko, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990), hal. 240. sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut dengan sebagai perbuatan hukum, lihat : Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 45
4 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu I, (Beirut : Dar Al Fikr, 1989), hal 18.5 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta : UI Pers, 1986),
hal 60-61
1
ekonomi.6 Semua persoalan itu membutuhkan pemikiran yang dinamis dan
pemahaman yang mendalam untuk menyelesaikannya melalui Fikih.
METODE IJTIHAD SAHABAT DAN TABI’IN DALAM PENEGAKAN
FIKIH
Periode sahabat dimulai sejak meninggalnya Nabi saw. pada tanggal 8 Juni
632 M/ 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai
Khalifah pada tahun 41 H (660 M). Para sahabat dalam menghadapi masalah-
masalah tersebut selalu merujuk kepada Al Qur’an dan ketetapan Rasulullah
dalam As sunnah. Jika mereka menemukan nash baik dari Al Qur’an maupun as-
Sunnah untuk memecahkan masalah-masalah, maka keduanya menjadi rujukan
utama dan tidak menengok kesumber lainnya. Namun, seringkali permasalahan
yang muncul itu tidak disebutkan nashnya. Dalam hal ini, mereka terdorong untuk
menggali kandungan isi Al Qur’an dan As-Sunnah untuk menemukan etika-moral,
kaedah dasar dan esensi yang ada didalamnya. Temuan nilai-nilai itu sangat
berguna untuk menjawab masalah-masalah baru. Karena itu, perkembangan baru
yang mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya warisan
fikih sekaligus menantang para sahabat untuk bekerja lebih keras dalam
memahami kandungan nash Al Qur’an dan As-Sunnah.7
Mereka seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah
yang muncul di masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka barulah
diputuskan hukum dari masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan
ijma’. Meskipun ijtihad biasanya rawan menimbulkan ikhtilaf, tetapi karena
sering dilakukan secara bersama dalam bentuk musyawarah disebabkan para
sahabat belum tersebar luas, maka ijtihad mereka seiring mengahsilkan suatu
ijma’.8 Pola ijtihad inilah yang dilakukan oleh Khalifah yang pertama yaitu, Abu
6 Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 337 Ibid, hal 338 Ibid, hal 34
2
Bakar. Khalifah yang kedua Umar bin Khattab jalan ijtihadnya9 sama, hanya
dimasa Abu Bakar Ijma’ secara jama’i masih dapat dijalankan dengan mudah,
sedangkan dimasa khalifah Ummar mengadakan ijma’ jama’i sudah mulai sulit
karena para sahabat terpencar di daerah-daerah baru yang jatuh dibawah
kekuasaan negara Islam.
Pada masa khalifah yang ketiga, Usman ibnu Affan ikhtilaf merupakan suatu
kegiatan yang sulit dihindari dan mulai tumbuh dengan subur karena Usman ibnu
Affan merupakan khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk
meninggalkan Madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Saat itu, lebih dari 300
sahabat pergi ke daerah-daerah di luar Madinah seperti Kufah, Basrah, Mesir dan
Syam. Penyebaran sahabat ke berbagai tempat ini memiliki pengaruh yang besar
terhadap perkembangan fiqh. Hal ini terutama disebabkan perbedaan situasi, adat
kebiasaan dan kebudayaan disatu sisi dan perbedaan pemahaman para ulama
sahabat terhadap Al Qur’an dan As Sunnah serta perbedaan pendapat dalam
penggunaan ra’yu dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul, disisi
yang lain.10 Keadaan inilah yang mendorong timbulnya ijtihad sahabat11 (Ro’yu),
sehingga sumber fikih pada periode ini adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan
Qiyas (ro’yu).12
Ikhtilaf kemudian semakin berkembang biak ketika terjadi berbagai
pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak
terbunuhnya Khalifah Utsman dan dilanjutkan dengan diangkatnya Ali ibnu Abi
Thalib menjadi khalifah ke empat kemudian berpindahnya pusat pemerintahan
Islam dari Madinah ke Irak dan dilanjutkan dengan konfrontasi antara khalifah Ali
9 Ijtihad ini kemudian disebut Fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Umar bin Khattab dicatat sebagai tokoh pembaharu (mujaddid) karena Umar berani berbeda pendirian dengan Nabi, ketika Nabi masih hidup misalnya masalah tawanan perang dan perlakuan terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Adapun setelah Nabi wafat Umar mengambil beberapa kebijakan yang yang berbeda dengan kebijakan Nabi dan Abu Bakar misalnya, ghonimah, zakat untuk mualaf, talak, penjualan Ummu al Walad, hukuman bagi pencuri, pezina dan ta’zir, lihat : Munawir Sadzali, Ijtihad kemanusiaan, (Jakarta : Para Madina, 1997), hal. 41
10 Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani, Adab al-ikhtilaf fi al-Islam (Etika Berpendapat Dalam Islam), terj. Ija Suntana, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), hal 38
11 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hal 6912 Hudhari Bik, Tarikh Tasyrik al Islam, (Surabaya : Al Hidayah, tt) hal 116
3
dengan Muawiyah, semakin memperuncing ikhtilaf yang sudah ada, bahkan telah
menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij,
Jahmiyyah, Mu’tazilah dan sebagainya yang memecah kesatuan umat Islam.
Meskipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun memiliki pengaruh yang cukup
besar terhadap perkembangan fiqh. Misalnya, ulama Syi’ah hanya mau menerima
hadits jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri.13 Sumber fikih pada periode
ini masih sama dengan sebelumnya, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Qiyas (ro’yu)
dan Ijma’.14 Namun produk hukumnya yang berbeda-beda.
Perkembangan fikih selanjutnya adalah pada masa shighar sahabat dan
tabi’in (41-100 H / 661 – 750 M). Periode ini bermula pada saat pemerintahan
ummat Islam diambil alih oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (41 H) setelah melalui
pergumalan politik yang panjang antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib yang
berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan penyerahan pemerintahan
dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah.15
Ibn al-Qayyim mencatat bahwa fiqh masa sahabat kecil dan tabi’in ini
disebarkan oleh para pengikut 4 sahabat terkemuka yaitu Ibn Mas’ud, Zaid ibn
Tzabit, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengambil
fiqh dari Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, orang Mekah diwarisi oleh fikih
Abdullah ibn Abbas dan orang Irak diwarisi oleh fikih Abdullah ibnu Mas’ud.
Sedangkan ulama dari kalangan tabi’in bisa dicatat beberapa tokoh utamanya
yaitu Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di
Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di
Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn
Salmani di Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam
ibn Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan banyak lagi fuqaha di
Irak.16 Mereka menjadi guru-guru yang terkenal di daerah masing-masing dan
mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka. Dari perbedaan
metode yang dikembangkan, maka munculah dalam peta pemikiran fikih dengan
13 Mun’im A Sirri, Sejarah Fiqih Islam, hal 5414 Moh. Hudari Bik, hal 11715 Muhammad Khudori Bik, op.cit, hal 133-13716 Ibn al-Qoyyim al Jauziyyah, I’lam al Muwaqqi’in, Jilid I, (Beirut : Dar al Fikr, tt) hal 21
4
Aliran Hijaz (Madrasah al Hadits) dan Aliran Kufah (Madrasah al Ra’yu). Kedua
aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Aliran Hijaz
dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui
hadits-hadits Rasulullah saw, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat
sederhana dan pemecahannya tidak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapun
Aliran Kufah dalam menjawab hukum lebih banyak menggunakan logika dalam
berijtihad. Berijtihad menggunakan logika terus berkembang dalam rangka
menjawab persoalan-persoalan baru yang terjadi sehingga lahirlah madzab-
madzab awal dalam perkembangan fikih.
MADZHAB-MADZHAB AWAL DALAM PERKEMBANGAN FIKIH
Madzab pertama terbentuk mula-mula dari beberapa pemikiran mandiri
(ra’y) dari ulama secara perorangan secara tidak resmi, tapi lama kelamaan ia
makin mendapat pengabsahan yang kokoh dari masyarakat, akhirnya secara
bertahap tumbuh kesepakatan pendapat antara para ulama di tempat tertentu
mengenai himpunan doktrin tertentu.
Sebenarnya, pada masa tabi’in terdapat 3 bagian geografis yang besar dalam
dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Mesir. Irak sendiri memiliki 2 madzab yaitu
Bashrah dan Kufah. Perkembangan pemikiran hukum di Kufah lebih dikenal dari
pada di Bashrah. Hijaz juga memiliki 2 pusat kegiatan hukum yaitu Makkah dan
Madinah. Namun, Madinah lebih menonjol dari pada Makkah. Madzab Syiria
kurang tercatat dalam teks-teks buku awal. Mesir tidak dimasukkan dalam peta
madzab-madzab hukum awal karena ia tidak mengembangkan pemikiran
hukumnya sendiri.17 Dengan demikian, madzab yang akan dikaji di sini adalah
Madzab Kufah dan Madzab Madinah.
Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk
menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum syariat
dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam
rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang berada dibalik
hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan tanggapan kritis dari 17 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Pintu Ijtihad sebelum
tertutup), terj. Agah Garnadi, (Bandung : Pustaka, 1984), hal. 19
5
para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum sebagai
ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih memahami nash secara
tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an
dan As Sunnah. Perkembangan lebih lanjut dari 2 kecenderungan ini melahirkan
dua aliran dalam fiqh masa awal yaitu ahl al-ra’y di Kufah dan ahl al-hadits di
Madinah.18
Dengan demikian, cara melakukan ijtihad pada masa tabi’in mengarah
kepada 2 bentuk, yaitu :
Pertama, lebih banyak menggunakan hadits atau sunnah dibandingkan dengan
ra’yu. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Madinah dengan tokohnya
1) Sa’id ibn al Musayyab, 2) ’Urwah Ibn Az-Zubair, 3) Abu Bakar Ibn ’Abd
Rahman Al-Harits Ibn Hisyam Al-Makhzumi, 4) ’Ubaid Allah Ibn ’Abdullah Ibn
’Utbah Ibn Mas’ud, 5) Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, 6) Al-Qasim Ibn Muhammad
Ibn Abi Bakr, 7) Sulaiman Ibna I-Yasar, Fuqaha Tujuh merupakan thabaqah
pertama dalam madrasah Madinah. Thabaqah keduanya adalah : 1) ’Abd Allah
Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 2) Salim Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 3) Aban ibn
Utsman Ibn ’Affan, 4) Abu Salamah Ibn ’Abdurrahman Ibn ’Auf, 5) ’Ali Ibn Al-
Husain Ibn ’Ali Ibn Abi Thalib, 6) Nafi’ Maula Ibn ’Umar. Diantara ulama
thabaqah ketiga Aliran Madinah adalah : 1) Abu Bakr Muhammad Ibn ’Amr Ibn
Hazm, 2) Muhammad Ibn Abu Bakr, 3) ’Abd Allah Ibn Abu Bakr, 4) ’Abdullah
Ibn Utsman Ibn ’Affan, 5) Ja’far Ibn Muhammad Ibn ’Ali Ibn Al-Husain, 6)
’Abdullah Ibn Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-
Shiddiq, 7) Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri. Cara ini lebih dikenal
dengan sebutan ”Aliran Madinah”.
Kedua, lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan penggunaan
sunnah. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Kufah dengan tokoh 1)
Ibrahim an-Nakha’i, 2) ’Alqamah Ibn Qais An Nakha’i, 3) Al-Aswad Ibn Yazid
An-Nakha’i, 3) Abu Maisarah ’Amr Ibn Syarahil Al-Hamdani, 4) Masruq Ibn Al-
Ajda’ Al-Hamdani, 5) ’Ubaidah As-Salmani, 6) Syuraih Ibn Al-Harits Al-Kindi,
mereka adalah thabaqah pertama Madrasah Kufah, sedangkan diantara ulama
18 Mun’im A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, hal 54
6
thabaqah keduanya adalah : 1) Hamad Ibn Abi Sulaiman, 2) Manshur Ibn Al-
Mu’tamir As-Salami, 3) Al-Mughirah Ibn Muqsim Adh-Dhabbi, 4) Sulaiman Ibn
Mahran Al-A’masy, cara ini lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran Kufah”.19
Ada 2 kecenderungan penting pada kedua madzab itu. Pertama, lahir metode
deduksi-logis dalam bentuk qiyas. Namun karena cara berfikir analogis ini
terkesan kaku, maka ditemukan metode berfikir yang lebih longgar, sebagai
pengembangan dari qiyas, yaitu istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan
berpendapat dalam bentuk baru. Kedua, makin diperkokohnya konsep sunnah
yang cenderung mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka
mengkokohkan tradisi. Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis
perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat
dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam Al Qur’an. Namun sistem hukum
mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan ruang. Kebebasan pendapat
yang dinikmati ulama Kufah membuahkan perbedaan pendapat yang tidak
sedikit.20
Secara geografis dan psikologis madzab Kufah lebih terbuka terhadap sistem
hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah yang lebih homogen.
Kemudian muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah mapan diterima
oleh madzab-madzab pertama. Cirinya, dogmatis, ketat dan kaku. Mereka
menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma Al Qur’an. Namun
mereka sepakat dengan madzab-madzab pertama dalam memproyeksikan sunnah
ke belakang yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai sumber utama hukum Al
Qur’an. Oposisi ini lama-kelamaan mendorong madzab-madzab pertama untuk
memodifikasi sistem hukumnya. Banyak aturan ketat yang dianjurkan oposan
akhirnya diterima secara umum. Yang penting adalah meningkatkanya
penerimaan Nabi sebagai sumber ajaran, dengan menyatakan ajaran tersebut
dalam bentuk hadits. Sejalan dengan perkembangan tulis menulis dibidang
hukum, terjadi perubahan pada tubuh madzab-madzab pertama. Ide keterkaitan
tempat kemudian digantikan dengan keterkaitan pada tokoh penyusun buku
19 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : Logos, 2001), hal 24520 Noel. J. Coulson, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Prespektif Sejarah),
hal 42
7
hukum pertama. Madzab Madinah menjadi Madzab Malik, sedangkan madzab
Kufah menjadi Madzab Hanafi.21
Selanjutnya, pertentangan antara madzab-madzab pertama yang mapan, dan
kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik antara penganut
kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-Ra’y) dan penganjur penggunaan hadits
Nabi semata secara ketat (ahl al-hadits). Lebih jauh perbedaan pendapat tidak
hanya terjadi antara satu madzab dengan madzab yang lain, tetapi juga didalam
masing-masing madzab. Hal ini menjadikan tidak adanya keseragaman hukum
merupakan ciri utama hukum di masa itu.22
Kesimpulannya, meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad mengikuti
petunjuk dari cara berijtihad ulama sahabat di masing-masing kota, namun dalam
beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berebada
dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi. Qadi Syuraih dan beberapa ulama
tabi’in, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang suami-istri
terhadap yang lain di peradilan dan kesaksian orang tua terhadap anaknya dan
anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berebeda dengan ketetapan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadi Syuraih adalah
adanya unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam
kesaksiannya. Demikian pula, ulama tabi’in menetapkan ketidak bolehan
perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak
orang yang usil dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal hal itu
diperbolehkan pada masa Rasulullah asalkan tidak memakai wewangian.23
Sumber fikih pada periode ini selain Al Qur’an dan As Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas, muncul beberapa metode istinbath hukum, yaitu : istidlal, istihsan, istishab,
fatwa sahabat, urf, mashalih al mursalah, saddu adz-dzari’ah dan syari’at sebelum
Islam.24
HUBUNGAN FIQH DENGAN KEKUASAAN KHILAFAH
21 Ibid, hal 57-5822 Ibid, hal 5923 Amir Starifudin, Ushul Fiqh, Jilid II, hal 24624 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007, hal 87
8
Walaupun benih-benih tatanan Islam baru telah ditanamkan pada masa Nabi
Muhammad, namun kematangan sepenuhnya menuntut karya-karya generasi
muslim masa-masa berikutnya. Pembentukan pemerintahan Islam sebagian besar
merupakan prestasi dinasti kekhalifahan yang pertama, yaitu kekhalifahan
Umayyah, yang memapankan diri di Damaskus pada tahun 661 M segera setelah
perang-perang sipil yang telah mengotori tahun-tahun berikutnya dari
pemerintahan yang berbasis di Madinah yang berumur pendek yang dipimpin oleh
para khalifah awal-awal. Dinasti Umayyah secara serius menangani visi sosial
yang telah diwartakan oleh Nabi dan melihat diri mereka sebagai eksekutornya,
menjuluki diri mereka sebagai : ”Khalifah-khalifah Tuhan”.25
Dalam lapangan hukum, konstribusi besar dinasti Umayyah adalah
pembentukan sistem peradilan kekhalifahan barunya. Para hakim di dalam sistem
ini diberi gelar Qadi, yang mengkhususkan mereka sebagai pembawa otoritas
khalifah di dalam wilayah peradilan. Para Qadi, dalam makna yang paling ketat,
merupakan wakil khalifah atau gubernur propinsi dan bisa diangkat atau
diberhentikan sekehendak penguasa mereka. Oleh karena para gubernur tunduk
dalam kewenangan kepada khalifah, maka seluruh sistem berbentuk piramida,
dengan khalifah duduk diatas singgasana sebagai sumber semua otoritas hukum,
administrasi dan legislatif. Program Umayyah menuntut pendekatan otokrasi yang
tersentralisasi untuk mengimplementasikan visi sosial Islam.26
Para Qadi, melalui putusan-putusan kasus perkasusnya, meletakkan dasar-
dasar yang penting bagi perkembangan hukum Islam selanjutnya. Keadilan yang
diusung para Qadi memiliki otoritas sebagai hukum khalifah. Seiring berjalannya
waktu, khususnya pada perempat abad terakhir pemerintahan Umayyah, putusan-
putusan para Qadi memiliki efek komulatif dalam menghasilkan himpunan besar
preseden-preseden hukum yang oleh para sejarawan hukum Islam, mengikuti
Joseph Schacht, disebut praktek hukum Umayyah.27
25 Bernard Weiss, The Spirit of Islamic Law, (London : The Universitas og Georgia Press, 1998), hal 5
26Ibid, hal 627 Ibid, hal 6
9
Namun, terlepas dari aspirasi-aspirsai sosio-regligius dari khalifah umayyah,
hukun Islam sebagaimana kita ketahui saat ini tidak ditakdirkan untuk muncul
secara langsung dari praktek hukum Umayyah atau dari lingkungan-lingkungan
kekuasaan. Bukan para hakim, tetapi para ulama yang tidak memiliki hubungan-
hubungan resmi dengan rezim khalifah adalah pemegang peran kunci dalam
perkembangan hukum yang disesuaikan dengan pemerintahan Islam. Para ulama
tersebut tentu saja tidak bekerja dalam ruang kosong. Praktek para Qadi adalah
titik tolak mereka. Namun hal itu hanya merupakan titik tolak, sesuatu yang
dikritik sebagai langkah pertama menuju formulasi dan sistematisasi yang
meliputi banyak hal dan tidak mengekang secara politis terhadap hukum Tuhan
yang ideal. Para ulama diasyikkan, sekurang-kurangnya, dengan hukum
sebagaimana adanya secara aktual sampai taraf bahwa hal iini dapat ditentukan
berdasar praktek hukum, dari pada dengan hukum sebagaimana seharusnya
terjadi.28
Seiring dengan semakin meningkatnya barisan para ulama, rezim khalifah
mendapatkan dirinya berkompetisi dengan komunitas ulama dalam membentuk
Islam dan hukum Islam. Para Qadi mempresentasikan diri sebagai pegawai
khalifah, sementara para ulama duduk di luar wilayah kepegawaian formal.
Kenyataan bahwa para qadi kadang-kadang direkrut dari barisan ulama bukan
berarti tidak berlakunya garis pembatas yang penting ini. Jika orang-orang
semacam ini berpengaruh dalam proses yang dapat membangkitkan hukum Islam,
mereka dapat menerapkan pengaruh ini pada kapasitas mereka sebagai ulama,
bukan sebagai qadi. Sebab, dalam masyarakat Islam yang berkembang, otoritas
cepat menjadi terikat dengan pengetauan religius dan kesalehan individual, tidak
dengan kekuasaan. Perkembangan ini memiliki akarnya pada masa-masa Islam
paling awal dan mendapatkan momentumnya selama penaklukan-penaklukan,
ketika kaum Arab-Muslim mendapatkan dirinya membentuk komunitas dalam
setiap wilayah utama, seiring dengan beralihnya keyakinan non Arab kepada
Islam, komunitas-komunitas religius yang masih belum berpengalaman yang
28 Ibid, hal 7
10
mengejar ketinggalan dalam tugas berfikir yang mendesak implikasi-implikasi
dari keyakinan yang baru mereka temukan.29
Dalam situasi semacam ini, kekhalifahan tidak dapat berharap untuk
mengontrol perkembangan kepemimpinan spiritual akar rumput. Para ulama
membentuk kepemimpinan semacam ini dan bertindak secara sangat spontan dan
independen terhadap rezim penguasa dan aspirasi-aspirasinya. Dalam
kenyataannya, mereka lebih dari para ahli hukum dalam arti biasa istilah tersebut
digunakan, sebab mereka tidak hanya menangani hukum, tetapi juga banyak sisi
lainnya. Horizon mereka sangat luas jangkaunnya, meliputi keseluruhan cara
hidup yang memasukkan banyak detail kehidupan sehari-hari yang melampaui
wilayah yang biasannya disebut ’hukum’. Pada beberapa masa berikutnya,
pemakaian Islam mendapatkan suatu kata untuk mengungkapkan totalitas norma-
norma hukum, moral dan ritual yang oleh para ulama saleh coba artikulasikan
dengan kata ”syari’ah”. Oleh karena syari’ah mencakup norma-norma melampaui
norma-norma yang merupakan hukum dalam arti sempit, maka tidaklah tepat
untuk menyamakan syari’ah dan hukum sederhana yang sering dilakukan. Disisi
lain, hukum jelas merupakan bagian dari syari’ah, dalam pikiran muslim dan
memang harus difahami seperti ini.30
Tidak dapat dielakkan bahwa hukum yang dipandang sebagai himpunan
norma-norma yang bisa dipaksakan akan menjadi perhatian utama para ulama
saleh setelah periode Umayyah berikutnya dan selanjutnya, karena Islam yang
mereka upayakan untuk diartikulasikan, adalah Islam yang tumbuh di dalam
konteks kekaisaran yang meluas. Para ulama sangat menyadari kehidupan di
dalam suatu pemerintahan yang harus digabungkan dengan impian mereka
mengenai tatanan masyarakat Islam yang ideal. Meskipun para ulama itu pada
umumya bukan merupakan bagian dari pegawai khalifah, mereka sebenarnya
adalah orang-orang yang tidak mampu memimpikan Islam tanpa pemerintahan
Islam dan hukum Islam. Mereka bersama dengan rezim Umayyah berkeyakinan
bahwa ekspansi Islam melalui alat kekaisaran khalifah disahkan oleh Tuhan dan
kenyataannya hal itu merupakan misi Islam untuk mengganti kekaisaran-29 Ibid, hal 730 Ibid, hal 8
11
kekaisaran yang telah jatuh dengan tatanan politik baru. Tidak dapat dielakkan
bahwa mereka seharusnya mengerahkan bagian utama dari kemampuan-
kemampuan reflektif mereka pada subyek-subyek pemerintahan dan hukum dan
bahwa praktek hukum Umayyah tentu saja merupakan obyek utama dari perhatian
mereka.31
Para ulama saleh yang mengajukan konsep-konsep tandingan terhadap
pemerintahan Umayyah tentang patokan tingkah laku yang mencerminkan seluruh
etika Islam itu kemudian mengelompokkan menjadi beberapa madzab. Itulah
madzab-madzab hukum pertama dalam Islam. Selanjutnya Umayyah
ditumbangkan oleh 2 kekuatan besar, yaitu kaum ulama sebagai perancang pola
negara dan masyarakat dan dinasti Abbasiyah yang berjanji akan melaksanakan
rancangan ini. Di bawah sokongan politik, kemudian madzab-madzab hukum
berkembang pesat. Namun, pendekatan hukum mereka bersifat religius-idealistik-
akademistik yang lebih tertarik mengembangkan ”sistem ibadah” dalam dunia
hukum. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme dalam tradisi Umayyah yang
memfokuskan pada analisa hukum terhadap praktek peradilan. Akibatnya, timbul
kesenjangan antara konsep hukum yang dikemukakan kaum ulama dan praktek di
peradilan. Inilah yang menjadi ciri utama hukum Islam masa itu.32
SEJARAH PERADILAN PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN
Sistem peradilan pada masa Khulafa’ al Rasyidin masih sangat sederhana,
misalnya belum diadakan penitera dan buku register untuk mencatat putusan-
putusan yang telah dilakukan. Pengangkatan hakim oleh Khalifah, bahkan
Khalifah Abu Bakar belum mengangkat hakim, hanya menugaskan Umar
bertindak sebagai Kepala Pengadilan (bukan hakim). Khalifah Umar mengangkat
Abu Darda’ untuk menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-
Asy’ari di Kufah, Utsman Ibnu Qais ibnu Abil ’Ash di Mesir. Umarlah yang
mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan membuat dustur33
31 Ibid 32Noel.J.Coulson, The Historis of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perpektif Sejarah),
terj, Hamid Ahmad, (Jakarta : P3M, 1987), hal 4233 TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka
Rizki Putra, 1997), hal 16
12
yang harus dipegangi oleh hakim. Pada masa itu, hakim disamping bertindak
sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum, agar dijalani.
Kebanyakan para hakim pada waktu itu duduk dirumahnya menerima dan
memutuskan perkara dan kadang-kadang mereka memutuskan perkara di masjid.
Khalifah Usman yang pertama kali membangun gedung pengadilan. Para khalifah
baik Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali menggaji para hakim dari kekayaan baitul
mal.34
Pada masa tabi’in khalifah mengangkat hakim Ibu Kota dan menyerahkan
kepada hakim-hakim itu kekuasaan mengangkat hakim-hakim daerah. Akan tetapi
masing-masing hakim tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan
hakim yang lain. Hakim Ibu Kota tidak bisa membatalkan hakim daerah.
Kekuasaan pembatalan keputusan hanya dipegang oleh khalifah atau wakilnya.
Tugas hakim hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang
diserahkan kepadanya. Pada masa itu belum ada hakim khusus yang memutuskan
perkara pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini masih dipegang oleh khalifah
sendiri. Adapun ciri peradilan pada masa ini adalah :
- Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam hal-hal
yang tidak ada nash atau ijma’.
- Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-
putusan mereka berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu
mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng
dari garis-garis yang sudah ditentukan.
- Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna
dan permulaan hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi
adalah hakim Mesir dimasa Pemerintahan Mu’awiyyah.35
34 Ibid, hal 1835 Pernah pada pemerintahan Muawiyah hakim Mesir yang bernama Salim Ibnu Ataz
memutuskan masalah pembagian harta warisan. Kemudian orang yang bersangkutan berbeda
13
KELEMBAGAAN DAN SISTEM QADHA
Bagian ini mengkaji sejauh mana pemerintahan Islam menopang doktrin
syari’ah yang punya wewenang keagamaan. Organisasi negara Islam di bawah
dinasti Umayyah tidak secara tegas memisahkan antara fungsi eksekutif dan
fungsi legislatif, karena keduanya berada di bawah genggaman khalifah. Dan
melalui pendelegasian otoritasnya, para pejabat di bawahnya memiliki wewenang
yudikatif dalam batas-batas perkara-perkara perdata didelegasikan kepada para
qadi.36
Ketika pemerintahan Umayyah berakhir, mereka telah menjadi alat negara
yang sentral dalam menangani perkara-perkara, akan tetapi mereka tidak
independen, karena keputusan mereka dapat ditinjau kembali oleh penguasa yang
mengangkat mereka dan tergantung dukungannya. Naiknya Abbasiyah membawa
angin segar, karena tekadnya untuk menerapkan sistem hukum Islam yang
disusun para ulama sehingga status qadi meningkat jauh lebih tinggi. Para qadi,
yang dipimpin kepala qadi (qadi al-qudat) bukan lagi sebagai juru bicara hukum
dari penguasa, akan tetapi lebih memperlihatkan kesetiaan dan pengabdian pada
hukum Tuhan semata.37
Apa yang dilakukan Abbasiyah secara konkrit adalah menuntut peradilan
untuk menerapkan syari’ah sebagaimana dikembangkan para perumus teori yang
saleh, sebuah gerakan yang mereka upayakan untuk diimplementasikan dengan
membujuk para perumus itu sendiri untuk bertindak sebagai qadi.38 Akibatnya,
kemudian bahtera negara Islam tetap dipegang erat oleh pemerintah Abbasiyah
dan peradilan syari’ah tak pernah tampil pada oposisi yudikatif tertinggi yang
bebas dari control politik. Sifat kedudukan mereka menjadi terbatas. Mereka
mengalami kesuitan dalam menangani tuntutan yang diajukan terhadap pejabat
tinggi negara. Pejabat eksekutif seringkali menjadikan dirinya sebagai pengadilan
tentang putusan yang dijatuhkan hakim, maka mereka semua kembali lagi ke Hakim. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan itu dibukukan, lihat : Hasbi Ash Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 21
36 Noel.J.Coulson, op.cit, hal 13937 Ibid 38 Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban
Dunia, (Jakarta : Paramadina, 2002), hal 146
14
dan mengambil alih yuridiksi para qadi guna mendengarkan kasus-kasus
pengaduan terhadap kesalahan-kesalahan pejabat yang berwenang (mazalim).
Dalam pengadilan dan mazalim, wazir atau hakim yang mewakilinya dapat
mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk menyelenggarakan
keadilan tanpa memperhatikan peraturan-peraturan dari proses yudisial syari’ah
yang sebenarnya. Sesungguhnya, syari’ah harus diataati sedapat mungkin, tetapi
tidak demikian jika ternyata menjadi perintang.39
Penerapan peradilan Mazalim ini menunjukkan bahwa tata-tertib hukum
dibagi menjadi 2 sektor yang masing-masing disahkan dengan cara-cara saling
tertutup. Pertama, pada tingkat kota, putusan-putusan hukum dapat diterima
sejauh sejalan dengan norma-norma syari’ah. Kedua pada tingkat pemerintahan
pusat, putusan-putusan hukum bersandar pada norma-norma yang lebih sejalan
dengan kebudayaan aristokratik istana dan keluarga tuan tanah agraris.40
Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif tertinggi dipegang oleh
penguasa politik. Situasi ini tentu membuat marah sebagian ulama, yang
menyebabkan mereka enggan diangkat sebagai qadi. Yang mereka kritisi bukan
tingkat yurisdiksi qadi, tetapi posisi putusannya yang lemah. Disayangkan,
mereka tidak pernah menggugat hak penguasa untuk mengadakan pembatasan-
pembatasan yang ada sejak mula terhadap wilayah yurisdiksi peradilan.41
Praktek peradilan saat itu bersifat dualisme yaitu yurisdiksi peradilan
mazalim yang luas wewenangnya ditentukan oleh penguasa dan yuridiksi
peradilan qadi. Bahkan dalam hirarki peradilan, peradilan qadi berada dibawah
peradilan mazalim. Keputusan peradilan mazalim merupakan pernyataan
gabungan antara kekuasaan yudikatif tertinggi dan kekuasaan eksekutif yang
sama-sama dipunyai oleh penguasa politik. Namun yurisdiksi yang diberikan
kepada peradilan mazalim memiliki arti penting mengingat doktrin syari’ah telah
menjadi semacam perabot yang tercetak secara kaku. Ia berfungsi sebagai alat
pengembangan hukum.42
39 Ibid, hal 14940 Ibid41 Noel.J.Coulson, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah),
hal 14142 Ibid, hal 151
15
Coulson mencatat 2 faktor yang membuat peradilan syari’ah tidak efisien.
Pertama, doktrin syari’ah hakikatnya berfungsi memberikan gambaran ideal
tentang hubungan antara manusia dan Penciptanya. Ini menyebabkan aturan
mengenai kedudukan orang perorang vis-a-vis penguasa duniawi dalam suatu
negara kebanyakan berada di luar kerangka acuan yang dirumuskan negara.
Lantaran terbatasnya runag lingkup syari’ah, maka kasus-kasus tertentu berada di
luar wewenang peradilan qadi. Perkara keuangan diajukan ke muka pejabat bait
al-mal. Masalah pengawasan pasar dan moral public dilakukan oleh pejabat
hisbah (muntasib). Ia adalah pejabat yang diharapkan oleh para pedagang kecil,
ibu-ibu rumah tangga dan para pengrajin untuk mengatur masalah sehari-hari dari
hubungan kota. Ia memperoleh wewenang itu dari qadi, semakin syari’ah
berkembang, semakin aktivitas-aktivitasnya mencerminkannya. Sementara itu,
masalah penyelidikan atas kejahatan, penangkapan, pemeriksaan dan hukuman
bagi terhukum dilakukan oleh Sahib al-Syurtah, ia terutama bertugas memantau
apakah perintah-perintah sang muhtasib betul-betul dilaksanakan atau tidak.
Faktor kedua, sistem hukum acara dan sistem pembuktian yang diterapkan
peradilan syari’ah amat formalistik dan mekanistik sehingga hanya menyisakan
sedikit ruang bagi qadi untuk menerapkan kebijaksanaannya dalam rangka
memeriksa perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pemberlakuan patokan-
patokan pembuktian yang kaku terhadap semua kasus malahan menciptakan
ketidak adilan.43
Kesimpulannya, peradilan qadi, yang menangani masalah-masalah perdata
bukanlah satu-satunya peradilan yang ada dalam realitas umat. Sebab masih ada
beberapa bentuk peradilan lain yang pernah hidup dan melayani umat Islam.
PERKEMBANGAN GOLONGAN TEOLOGI ISLAM
Tumbuh dan berkembangnya golongan-golongan teologi Islam, muncul
setelah peran kepemimpinan (kekhalifahan) dalam Islam pindah dari Rasulullah
saw. ke para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dan perkembangannya semakin
bertambah besar setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan pindahnya
43 Ibid, 142-143
16
kepemimpinan kepada Muawiyyah (yang menerapkan sistem kepemimpinan
dengan model monarkhi/kerajaan).
Theologi merupakan usaha pemahaman yang dilakukan para ulama (teolog
muslim) tentang akidah Islam yang terkandung dalam naqli (Al-Qur’an dan As-
Sunnah). Tujuan usaha pemahaman tersebut adalah menetapkan, menjelaskan atau
membela akidah Islam, serta menolak akidah yang salah dan atau betentangan
dengan akidah Islam. Dengan demikian fungsi Teologi adalah bertugas
menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap kebenaran parrenial Islam
dengan bahasa Kontekstual.
Adapun aliran-aliran Teologi Islam dapat dijabarkan antara lain sebagai
berikut :
a. Golongan Khowarij (Teologi Eksklusif)
Khowarij ini muncul setelah perang Siffin antara Ali dan Mu’awiyyah.
Inti dari pokok pikirannya adalah : (1) Bahwa, Ali, Usman dan orang-orang
yang turut dalam peperangan Jamal dan orang-orang yang setuju adanya
perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua dihukumkan orang-orang
”Kafir”, (2) Bahwa, setiap umat Muhammad yang terus menerus membuat
dosa besar, hingga matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan
akan kekal di neraka, dan (3) Bahwa, boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-
aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim atau
khianat.
Dengan demikian dapt disimpulkan bahwa teologi golongan khowarij
bahwa orang yang berdosa besar sebagai orangkafir, lawan dari orang kafir
adalah orang yang beriman, orang yang beriman wajib berjihad memerangi
orang kafir, karena orang kafir halal darahnya. (yang disebutkan orang kafir
disini adalah sebagaimana disebutkan diatas).
b. Golongan Murji’ah (Teologi Inklusif)
Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Aliran
ini berpendapat bahwa, orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa
besar, hingga matinya tidak juga taubat, orang itu belum dapat dihukum
sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada
17
Allah kelak setelah hari kiamat. Pendapat ini adalah kebalikan dari faham
Khawarij. Selain itu faham ini berpendapat bahwa ”Tidak akan memberi
bekas dan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan.
Demikian pula sebaliknya, Tidaklah akan memberi manfa’at dan memberi
faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya” (artinya : tidaklah akan
berguna dan tidaklah akan memberi pahala perbuatan baik yang dilakukan
oleh orang yang telah kafir).
c. Golongan Khowarij (Teologi Rasional)
Tokohnya adalah Abu Huzdaifah washil bin ’Atha Al-Ghazali. Aliran ini
berpendapat bahwa, manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan
bebas bertindak. Sebab itu mereka diazab atas perbuatan dan tindakanya.
Tentang ketauhidan, mereka ”menafikan” dan meniadakan sifat-sifat Allah.
Artinya Tuhan itu ada bersifat. Karena seandainya bersifat yang bermacam-
macam, nisacaya Allah Ta’ala berbilang (lebih dari satu). Inilah yang
dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah.
d. Golongan Asy’ariyah
Golongan ini muncul pada abad ke 11, yang berkembang di Baghdad
dengan salah satu tokohnya adalah : Hakim al-Baqailani dan al-Juwaini.
Pokok pemikirannya cenderung pada pemikiran Rasional, hampir sama
dengan pemikiran golongan Mu’tazilah.
Perkembangan Teologi Islam ini besar pengaruhnya dalam pemikiran fikih.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (TOKOH-TOKOH
FILSAFAT ISLAM)
a. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutu al-Falasifah)
Pokok pemikiran dari Al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah
(keracuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam
18
berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menurut al-
Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam,
Pengetahuan Tuhan dan Kebangkitan Jasmani.
b. Pemikiran Fisafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda)
Pokok pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan
pemikiran mereka dan menundukkan masalah-masalah tersebut pada posisinya
dari serangan al-Ghazali. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-
Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazali
yang kacau dalam berfikirnya.
c. Pemikiran Filsafat Suhrawardi /1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif)
Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia
berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq)
yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal,
kemudian memancarkan lagi menjadi Nuur kedua dan seterusnya hingga yang
paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena
semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).
Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari ilmu dan kebenaran
adalah Allah, alam dan wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh
manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara
Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.
d. Pemikiran Filsafat Islam Lainnya
Disamping ketiga tokoh pemikir filsafat Islam tersebut diatas, berikut
tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam lainnya, antara lain :
1) Al-Kindi (806-873 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : Relevansi agama dan
filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan
sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan kenabian.
2) Abu Bakar Ar-Razi (856-925 M)
19
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : Akal dan agama
(penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi dan
hubungan jiwa dan materi.
3) Al-Farabi (870-950 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : kesatuan fisafat,
metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal)
dan teori kenabian.
4) Ibnu Maskawaih (932-1020 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : filsafat akhlaq dan filsafat
jiwa.
5) Ibnu Shina (980-1036 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : fisika dan metafisika,
filsafat emanasi, filsafat jiwa 9akal) dan teori kenabian.
6) Ibnu Bajjah (1082-1138)
Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : metafisika, teori
pengetahuan, filsafat akhlaq dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup
secara sendiri).
7) Ibnu Yaufal (1082-1138 M)
Pemikiran filsafatnya berkisar tetang masalah : percikan filsafat dan kisah
hay bin yaqadhan.44
Perkembangan pemikiran filsafat ini menjadi dasar dalam perkembangan
pemikiran fikih.
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQH MODERN
1. Islam Tekstual
Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, tekstualis dan skeptis. Dalam
hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik
temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.
44 http://nashir6768.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 5 Januari 2009
20
2. Islam Revivalism
Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan
Modernitas walau masih sedikit dan masih dikuatkan nilai-nilai ke-
Islamannya.
3. Islam Modern
Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak
modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat
dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-
Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid,
dan lain-lain.
4. Islam Neo-Modernis
Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada
Liberalis, Kontekstual dan Substantive. Tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis
antara lain : Ulil Absor Abdala, Shahrur, Arkoun dan Aljabiri. Shahrun
berpendapat bahwa Al Qur’an bukan teks mati, tetapi dapat berkembang
cara memahaminya, metode ijtihadnya : analisis linguistik semantik,
penerapan ilmu-ilmu eksakta modern (Matematika analitik, teknik analitik dan
teori himpunan). Nabi Muhammad saw. merupakan mujtahid pertama,
demikian pula tentang sunnah Nabi tidak merupakan wahyu yang kedua
melainkan hanya sebagai pemahaman awal terhadap At Tamzil al Hakim (Al
Qur’an), dalam arti bahwa ia bersifat terbatas dan relatif.45 Demikian pula Ar
Koun memahami Al Qur’an dengan ; 1) Pendekatan Hermeneutik, 2)
Memandang tidak ada nash Qoth’iy bersifat subyektif-relatif, 4) Redefinisi
terhadap nash qath’iy, 5) Nash Qathiy menjadi wilayah ijtihad. Dalam
masalah ijtihad mengadakan pembaharuan antara lain ; 1) Tidak ada standar
baku syarat-syarat ijtihad, 2) Syarat-syarat ijtihad bersifat elastis.46 Dengan
demikian Neo-Modernisme ini sudah tidak ada pemisahannya artinya sudah
menyatu.
45 Muhammad Shahrun, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta : ELSAQ Press, 2004) hal. 4-5
46 Ilyas Supeno, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta : Gema Media, 2002), hal. 255-260
21
Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun
epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri
hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : pertama, sistem epistemologi indikasi
serta eksplikasi. (’ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling
awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang
keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum
(fikih) serta ’ulum al-Qur’an, teologi dialektis (kalam) dan teori sastra
nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan
prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem
ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran
analogis dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan
menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang
belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme
(’ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan ”pandangan dalam” sebagai
metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i,
penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an dan orientasi filsafat illuminasi.
Ketiga, disiplin-disiplin bukti ”eferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan
atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi
intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ’irfani
adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi
umumnya.
Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologi ini – pada bentuknya yang
ideal – hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir
dalam bentuk yang lebih kurang telah mengalami kontaminasi.
Diantara ide Al Jabiri adalah : 1) Mengubah masyarakat klan menjadi
masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi,
organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi, 2) Mengubah
ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi
produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab
untuk memperkuat independensi, 3) Mengubah sistem ideologi (al-aqidah)
yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari
22
kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis,
digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.47
PENUTUP
Demikianlah fikih selalu berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan
dan perubahan zaman, mulai dari zaman klasik sampai dengan modern. Tentunya
membutuhkan kemampuan daya pikir dan nalar untuk menggunakan metode
istimbath al ahkam melalui pendekatan Ushul Fikih, Sociohistorical dan Ilmu
Modern yang lain. Dan semoga dengan ini kita dapat gambaran tentang peta
pemikiran fikih.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976)
Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997)
47 http://kemonbaby.multiply.com/journal/item/5, diakses tanggal 5 Januari 2009
23
A. Sirri, Mun’in, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995)
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000)
Djadmiko, Rahmat, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990)
G.S. Hodgson, Marshal, The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jakarta : Paramadina, 2002)
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup), terj. Agah Garnadi, (Bandung : Pustaka, 1984)
Al Janziyyah, Ibnu al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in, Jilid I, (Beirut : Dar Al Fikr, tt)
J. Coulson, Noel, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah)
Khudori Bik, Muhammad, Tarikh Tasyrik al Islami, (Surabaya : Al Hidayah, tt)
Muhammad Isma’il, Sya’ban, Al Tasyrik al Islamy Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An Nahdhah al Misriyyah, 1985)
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta : UI Pers, 1986)
Sadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta : Paramadina, 1997)
Shahrun, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta : ELSAQ Press, 2004)
S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995)
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta : Logos, 2001)
Supeno, Ilyas, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta : Gema Media, 2002)
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007)
24
Weis, Bernard, The Spirit of Islamic Law, (London : The University of Georgia Press, 1998)
Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatahu, Jilid I, (Beirut : Dar Al Fikr, 1989)
http://nashir6768.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 5 Januari 2009
http://kemonbaby.multiply.com/journal/item/5, diakses tanggal 5 Januari 2009
25