Upload
dian-sulistya-ekaputri
View
413
Download
37
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Sensasi fantom (phantom limb sensation) merupakan istilah untuk sensasi
pada anggota badan sesudah amputasi, sering juga disebut “nyeri deaferensiasi”.
Pasien dengan nyeri fantom merasakan nyeri dan disestesia. Lebih dari empat
abad yang lalu, seorang ahli bedah Prancis Ambroise Pare sudah melaporkan
adanya nyeri fantom yang ditulis pada tahun 1851 dimana “pasien setelah
beberapa bulan amputasi tungkai, mengeluh nyeri hebat pada daerah kaki yang
telah diamputasi, pasien seolah – olah masih mempunyai kaki” (Keynes 1952).
Nyeri fantom juga dilaporkan oleh Herman Melville pad novel Moby Dick tahun
1851.
Deskripsi klasik nyeri fantom, secara terperinci oleh Weir Mitchell pada
tahun 1872, ia menggunakan istilah “halusinasi sensoris” untuk fenomena
tersebut. Mitchell mencoba merangsang listrik pada ujung amputasi
menimbulkan sensasi seolah – olah ada gerakan jari. Observasi nyeri fantom oleh
Mitchell dilanjutkan oleh Hughling Jackson pada akhir abad 19, ia menyatakan
bahwa nyeri fantom biasanya dominan pada tangan atau kaki dimana pasien sadar
akan kehilangan salah satu anggotanya. Sensasi gerakan timbul akibat rangsangan
pusat kesadaran motoris akibat rangsangan sensoris dari bekas amputasi (Jackson,
1932).
Nyeri fantom dapat ditemukan juga pada mata, hidung, lidah, gigi, dan
mammae. Akan tetapi seringkali lebih banyak ditemukan rasa nyeri phantom ini
pada anggota gerak tubuh sehingga sering disebut dengan phantom limb pain.
Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, diagnosis dan penatalaksanaan dari phantom limb pain. Phantom
limb pain merupakan gejala sisa setelah diamputasi yang terjadi pada lebih dari 80
% pasien. Perubahan pada pusat otak merupakan faktor mayor terjadinya
phantom limb pain, bagaimanapun faktor perifer dan psikologikal dapat
mempresipitasi terjadinya rasa nyeri ini.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 FAKTOR RISIKO
Nyeri preamputasi merupakan faktor risiko bagi terjadinya nyeri fantom
setelah amputasi. Bahkan nyeri yang dirasakan pada anggota tubuh beberapa
bulan sampai tahun sebelum dilakukan amputasi dapat dirasakan kembali sebagai
nyeri fantom. Nikolajsen dkk menemukan bahwa nyeri preamputasi yang
mencapai skor lebih dari 20 mm pada visual analog scale dihubungkan dengan
meningkatnya risiko nyeri fantom, tetapi durasi nyeri preamputasi tampaknya
tidak berpengaruh terhadap intensitas nyeri fantom. Visual analog scale adalah
garis sepanjang 100 mm dengan “tidak nyeri” terletak di sebelah kiri (0 mm) dan
nyeri paling hebat terletak di sebelah kanan (100 mm). Walaupun angka kejadian
kelainan kejiwaan pada pasien yang mengalami nyeri fantom tidak lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak mengalami nyeri fantom, stress, kecemasan,
dysphoric mood, dan faktor emosional dapat berperan dalam timbulnya nyeri
fantom.1
Faktor lain yang berhubungan dengan nyeri fantom adalah kemoterapi,
terutama agen-agen yang diketahui dapat menyebabkan neurotoksisitas perifer.
Penelitian pada pasien anak yang diamputasi, angka kejadian nyeri fantom adalah
sebesar 74% pada pasien yang menerima kemoterapi (vincristine atau cisplatin)
sebelum amputasi.2 Angka ini berkurang menjadi 44% pada pasien yang memulai
kemoterapinya setelah operasi anggota tubuh, walaupun pada keempat pasien
yang menerima kemoterapi postamputasi merasakan nyeri dalam waktu 72 jam
setelah kemoterapi. Nyeri fantom dirasakan hanya pada 12% pasein yang tidak
dikemoterapi. Masih belum jelas apakah hal ini juga berlaku pada pasien dewasa
yang menerima agen kemoterapi yang sama. Dirasakannya kembali nyeri fantom
telah dilaporkan selama anestesia spinal dan epidural dengan anestesi lokal. Nyeri
fantom juga dapat dipicu oleh metastasis atau rekuren tumor.3
2
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan
ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Cemas
meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi, stimulus nyeri mengaktifkan bagian
sistem limbik yang diyakinkan
Insiden nyeri fantom meningkat pada pasien yang sudah mengalami nyeri
pre operatif dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki nyeri pada bagian
tubuh yang akan diamputasi. Temuan ini dikaitkan dengan peningkatan perhatian
nyeri pada bagian tubuh yang akan diamputasi . otak akan terus memingat rasa
nyeri tersebut dan tetap mengirimkan sinyal nyeri walaupun bagian tubuh tersebut
telah diamputasi. Hal ini biasa disebut dengan “pain memories”. Hal ini jarang
terjadi pada usia anak-anak. Dalam sebuah studi dikatakan bahwa syndrome nyeri
fantom hanya ditemukan pada 20% pasien dengan usia dibawah 2 tahun,
sedangkan 75% dari pasien usia 6-8 mengalami nyeri fantom, dan 100% dari
pasien usia diatas 8 tahun mengalami peristiwa yang sama.6
Pasien yang mengalami nyeri stump yang persistent juga biasanya
mengalami nyeri fantom. Nyeri stump disebabkan oleh nueroma, yakni
pertumbuhan abnormal dari ujung saraf yang rusak yang sering mengakibatkan
aktivitas saraf yang dirasakan sebagai suatu nyeri. Nyeri pre amputasi, noxious
stimuli saat operasi, berkontribusi atas insiden dan durasi dari nyeri fantom. Hal
ini dikaitkan dengan penelitian yang menyebutkan bahwa stimulus noxious dari
peripheral (aferen) menginduksi terjadinya sensitisasi sistem saraf sentral yang
berkepanjangan sehingga jika selanjutnya terdapat rangsangan nyeri maka akan
memperparah kondisi sensitisasi yang telah terjadi sebelumnya. Perawatan post
operatif seperti penanganan dan prevensi nyeri post operatif akut dapat
mengurangi risiko terjadinya nyeri kronis.6
Amputasi ekstremitas pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
anestesi umum dengan tujuan untuk mengeliminasi tingkat kesadaran dan memori
terhadap prosedur. Bagaimanapun juga insiden nyeri fantom lebih tinggi ketika
menggunakan jenis anestesi ini dibandingkan jika menggunakan anestesi regional.
Penjelasannya adalah bawha medulla spinalis masih dapat “merasakan” prosedur
3
amputasi oleh karena sensitisasi sentral tidak dipengaruhi oleh anestesi umum.
Saat ini, blokade saraf atau epidural anestesi dimasukkan ke dalam
penatalaksanaan anestesi pada kebanyakan kasus amputasi, dengan tujuan untuk
mengurangi risiko terjadinya nyeri fantom. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa nyeri fantom banyak ditemukan pada pasien yang tgelah memiliki penyakit
skiatika kronis pada kaki sebelum amputasi. Pada beberapa pasien, sken MRI dari
daerah lumbal membuktikan adanya prolapsus diskus yang cukup luas yang dapat
menyebabkan iritasi pada saraf daerah lumbal dan menyebabkan nyeri alih ke
tungkai.6
Ectopic discharge pada dorsal root ganglia dapat menyebabkan terjadinya
mekanisme potensial. Ectopic discharge yang dicetuskan oleh stress emosional
menyebabkan peningkatan level sirkulasi epinefrin. Factor seperti temperaturm
oksigenasi, dan inflamasi lokal juga dapat menyebabkan hal yang serupa.
Akibatnya sensibilitas neuroma ataupun ganglia meningkat oleh karena kadar
epinefrin ataupun stress, dengan kombinasi penignkatan norepinefrin dari
simpatetik eferen yang terletak dekat dengan aferen sel saraf sensori.6
2.2 PATOFISIOLOGI
2.2.1 Perubahan Perifer
Pasien yang diamputasi seringkali mengeluhkan nyeri, menjadi sensitif
terhadap getaran dan sentuhan pada saraf yang mempersarafi anggota gerak yang
diamputasi atau pada anggota gerak yang tersisa yang berdekatan dengan bagian
yang diamputasi. Gambaran klasik dapat muncul akibat kerusakan saraf komplit
atau parsial adalah tanda Tinel, yang menunjukkan nyeri lokal atau menjalar
(nyeri pada daerah yang dipersarafi oleh saraf yang rusak) yang muncul akibat
respons terhadap stimulasi mekanis pada saraf yang rusak. Sentuhan pada
neuroma dapat menimbulkan nyeri pada anggota gerak fantom dan pada anggota
gerak yang masih tersisa. Setelah terjadi kerusakan saraf, neuron aferen
menunjukkan degenerasi retrograde dan pengecilan, yang terutama melibatkan
neuron yang tidak bermielin. Sebagai akibat dari kerusakan, terjadi
pembengkakan dan pertumbuhan regeneratif ujung axon yang rusak dan terbentuk
4
neuroma pada anggota gerak yang tersisa (stump) yang membangkitkan aktivitas
spontan dan abnormal terhadap stimulus mekanis dan kimiawi. Lepas muatan
ektopik dari stump neuroma menggambarkan sumber input afferen abnormal
menuju korda spinalis dan merupakan mekanisme potensial bagi timbulnya nyeri.
Lepas muatan ektopik dari axon yang bermielin tampaknya timbul lebih awal dan
lebih bersifat ritmis, sedangkan C-fibers cenderung menunjukkan pola yang
lambat dan ireguler. Peningkatan eksitabilitas saraf yang rusak yang
mengakibatkan timbulnya lepas muatan ektopik tampaknya disebabkan oleh
perubahan pada komponen elektrik dari membran sel.4
Nyeri fantom seringkali dirasakan segera setelah dilakukan amputasi,
sebelum terbentuk neuroma. Hal ini menandakan bahwa mungkin terdapat sumber
aktivitas ektopik lain pada sistem saraf perifer pada tingkat yang lebih proksimal
dari anggota gerak yang tersisa. Sumber lepas muatan ektopik lainnya adalah
ganglion radiks dorsalis (GRD). Lepas muatan ektopik dari GRD dapat bergabung
dengan aktivitas ektopik yang berasal dari neuroma. Proses crossexcitation dapat
menyebabkan depolarisasi dan aktivasi neuron adi sekitarnya, sehingga
memperkuat pelepasan muatan ektopik secara keseluruhan. Sistem saraf simpatis
dapat memicu dan memperkuat aktivitas neuronal ektopik yang berasal dari
neuroma dan juga yang berasal dari GRD. Hal ini dapat menjelaskan timbulnya
nyeri phantom saat seseorang merasakan stress emosional. Faktor lain seperti
suhu, tingkat oksigenasi, dan inflamasi lokal pada neuroma dan GRD juga dapat
berperan.5
Pada beberapa pasien, peran sistem saraf simpatis pada timbulnya nyeri
fantom didukung oleh fakta bahwa agen penghambat adrenergik dapat
mengurangi nyeri fantom dan injeksi adrenalin pada neuroma dapat memperhebat
nyeri fantom dan parestesia pada beberapa pasien.5
Dapat disimpulkan bahwa kerusakan dan reorganisasi ujung saraf yang
disertai perubahan aktivitas pada GRD menjadi sumber yang potensial dari nyeri
dan menimbulkan aktivitas abnormal, termasuk nyeri fantom.5
5
2.2.2 Perubahan Sentral : Medula Spinalis
Anestesia lokal pada stump atau pleksus, atau anestesia epidural tidak
dapat menghilangkan nyeri fantom pada semua pasien yang diamputasi.
Walaupun bukti adanya perubahan pada tingkat spinal pada manusia masih
kurang, data percobaan pada hewan menunjukkan bahwa sistem saraf pusat
berperan terdapat terjadinya nyeri neuropatik.5
Peningkatan aktivitas nosiseptor perifer yang berhubungan dengan nyeri
inflamasi menyebabkan perubahan kemampuan reaksi neuron pada radiks dorsalis
medula spinalis, sebuah proses yang disebut sebagai sensitisasi sentral.
Hipereksitabilitas sentral yang sama seperti sensitisasi dapat pula dipicu oleh
kerusakan saraf, seperti yang terjadi pada amputasi. Hubungan antara medula
spinalis dengan kerusakan saraf meliputi peningkatan rangsangan terhadap neuron
pada radiks dorsalis, perubahan struktural pada ujung sentral neuron sensorik
primer dan menurunnya proses inhibisi medula spinalis.5
Proses pada sistem saraf pusat yang dapat berperan pada terjadinya
hipereksitabilitas medula spinalis yang terjadi setelah kerusakan saraf adalah
downregulation dari reseptor opioid, baik pada ujung saraf aferen primer maupun
pada neuron spinalis. Hal ini menambah proses disinhibisi akibat penurunan
jumlah aktivitas inhibitor GABA dan glycine. Sebagai tambahan, kolesistokinin,
inhibitor endogen dari reseptor opiat, mengalami upregulasi pada saraf yang
rusak, sehingga menambah efek disinhibisi. Perubahan medula spinalis yang
diakibatkan karena kerusakan saraf salah satunya adalah serabut aferen yang
memiliki ambang rangsang rendah menjadi terhubung dengan neuron spinal
asendens yang menghantarkan informasi nosiseptif menuju supraspinal.
Normalnya, substansi P hanya diekspresikan oleh serabut C aferen dan Ad aferen,
yang kebanyakan adalah nosiseptor. Ekspresi substansi P oleh serabut Aβ yang
dipicu karena kerusakan saraf membuatnya menjadi seperti nosiseptor. Sebagai
contoh, aktivitas normal atau ektopik dari serabut Aβ dapat memicu dan
mempertahankan sensitisasi pusat. Ketika hal ini terjadi, input serabut A normal
yang berasal dari perifer, input ektopik dan input dari aferen berambang rangsang
rendah yang masih utuh dapat berperan dalam menimbulkan nyeri fantom.5
6
Mekanisme yang dapat dihubungkan dengan terjadinya nyeri phantom
adalah invasi area medula spinalis yang secara fungsional ditempati oleh serabut
aferen yang rusak. Sebagai contoh, pada percobaan terhadap neuroma pada kucing
dan tikus, terdapat perluasan area receptive pada kulit yang bedekatan dengan
bagian yang mengalami denervasi pada anggota gerak, dan juga perubahan
aktivitas pada area yang berdekatan ini menuju area pada medula spinalis yang
sebelumnya mewakili bagian tubuh yang secara fungsional mengalami
deaferensiasi oleh karena terjadi lesi pada serabut saraf. Pada pasien yang
diamputasi, tanda hipereksitabilitas dapat ditemukan pada dermatom yang
berdekatan dengan bagian anggota gerak yang mengalami denervasi, yang
mungkin menunjukkan penyebaran hipereksitabilitas spinal dari segmen denervasi
menuju segmen yang berada di rostral dan kaudal dari area denervasi.
Reorganisasi pemetaan spinal anggota gerak juga terjadi pada batang otak dan
kortikal.5
2.2.3 Perubahan Sentral : Batang otak, Thalamus, dan Korteks
Beberapa pengamatan yang dilakukan pada pasien yang diamputasi
menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada tingkat supraspinal merupakan
hal yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh, pasien dengan paraplegia yang
mengalami kerusakan setinggi medula spinalis dapat mengalami nyeri pada
bagian bawah tubuhnya, walaupun relevansi fenomena ini dengan nyeri fantom
belum jelas.5
Perubahan supraspinal yang berkaitan dengan terjadinya nyeri fantom
melibatkan batang otak, thalamus, dan korteks serebri. Terdapat bukti bahwa
axonal sprouting pada korteks terlibat dalam perubahan reorganisasional yang
diamati pada percobaan pada monyet. Stimulasi thalamus membuktikan bahwa
reorganisasi mungkin juga terjadi pada tingkat thalamus dan berhubungan erat
dengan persepsi anggota gerak fantom dan juga nyeri fantom. Percobaan pada
monyet menunjukkan bahwa perubahan pada korteks berasal dari batang otak dan
thalamus. Perubahan pada tingkat subkortikal dapat juga berawal dari korteks,
yang mempunyai hubungan eferen yang kuat dengan thalamus dan struktur di
bawahnya.5
7
2.2.3.1 Reorganisasi Kortikal
Pandangan baru terhadap nyeri phantom datang dari penelitian
yang menunjukkan adanya perubahan pada fungsi dan struktur arsitektural
korteks somatosensori primer yang diakibatkan amputasi dan deaferensiasi
pada monyet. Pons dkk melaporkan bahwa terjadi reorganisasi kortikal
yang lebih besar setelah deaferensiasi radiks dorsalis, dengan area yang
merepresentasikan pipi pada korteks somatosensorik mengambil alih area
yang mewakili lengan dan tangan dalam hitungan sentimeter.5
Dari dasar inilah, Ramachandran dkk mengatakan bahwa sensasi
yang dirasakan pada bagian tubuh fantom berhubungan dengan proses
reorganisasi pada korteks somatosensori. Mereka menyebut fenomena ini
sebagai topographical remapping. Sensasi alih fantom pada pasien yang
diamputasi tangannya dapat ditimbulkan dari ibu jari kaki, yang
mempunyai area somatosensorik yang jauh dari area tangan pada korteks
somatosensorik. Hal ini menunjukkan bahwa area lain dapat terlibat dalam
terjadinya sensasi alih. Telah dilaporkan bahwa sensasi alih fantom hanya
muncul pada sebagian kecil pasien yang diamputasi, sedangkan nyeri
fantom lebih umum terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa sensasi alih
fantom dan nyeri fantom berhubungan dengan proses sentral yang
berbeda. Halligan dkk memebuktikan bahwa topographical remapping
dapat berubah dari waktu ke waktu. Penelitian menunjukkan bahwa pada
pasien yang dilakukan amputasi anggota gerak atasnya menunjukkan
pergeseran dari area mulut menuju tangan pada korteks somatosensori.
Penelitian lain menunjukkan bukti bahwa perubahan korteks ini kurang
berhubungan dengan sensasi alih fantom, dan lebih berkaitan dengan nyeri
fantom. Semakin besar pergeseran area mulut ke arah area yang
sebelumnya mewakili area lengan, semakin jelasa nyeri fantom yang
dirasakan.5
8
2.2.3.2 Perubahan umpan balik sensorik dan motorik
Sensasi nyeri abnormal dapat berhubungan dengan ketidaksesuaian
(incongruence) antara input motorik dengan umpan balik sensorik dan
aktivasi yang saling berkaitan antara lobus frontalis dan parietalis. Sesuai
dengan fakta tersebut, sebuah penelitian menggunakan cermin untuk
menciptakan perbedaan antara gerakan yang sebenarnya dengan gerakan
yang terlihat (gerakan yang terlihat di cermin berbeda dengan gerakan di
belakang cermin jika kedua lengan melakukan gerakan yang berbeda).
Peneliti melaporkan adanya parestesia yang disertai dengan rasa nyeri dan
yang tidak disertai rasa nyeri sebagai akibat dari ketidaksesuaian gerakan
dan mengusulkan bahwa ketidaksesuaian sensorimotor dapat
menyebabkan sensasi abnormal seperti yang terlihat pada banyak nyeri
neuropatik. Akan tetapi, peranan gangguan sentral ini dalam proses
motorik terjadinya nyeri fantom masih harus dibuktikan lebih lanjut.5
Anggota gerak yang telah diamputasi dapat dirasakan masih utuh,
sama seperti anggota gerak normal, atau mengecil sehingga bagian
proksimal dari ekstremitas dirasakan seakan menghilang atau memendek,
dengan bagian distalnya terasa mengapung di dekat bagian yang buntung.
Terkadang, pasien merasakan anggota geraknya yang hilang membengkak
atau membesar dibandingkan dengan anggota geraknya yang masih utuh.
Fenomena ini disebut sebagai “telescoping”. Derajat telescoping
(seberapa pendek anggota gerak fantom dirasakan) berkaitan dengan
derajat reorganisasi.6
9
Gambar 2.1 Telescoping
2.2.3.3 Pain memory hipotesis
Terkadang, nyeri pada anggota tubuh fantom serupa dengan nyeri
yang timbul pada bagian tubuh tersebut sebelum dilakukan amputasi.
Telah dikemukakan bahwa memori akan nyeri yang terbentuk sebelum
dilakukan amputasi merupakan pemicu yang kuat terhadap timbulnya
nyeri fantom.5
Telah diketahui bahwa korteks somatosensori terlibat dalam
memproses nyeri. Telah dilaporkan juga bahwa nyeri phantom dapat
menghilang setelah dilakukan operasi pengangkatan bagian korteks
somatosensori, dan bahwa stimulasi terhadap area ini dapat
membangkitkan nyeri fantom. Jika memori nyeri somatosensori telah
terbukti memiliki hubungan neural dengan struktur spinal dan supraspinal,
seperti pada korteks somatosensori, deaferensiasi yang terjadi kemudian
dan invasi zona yang diamputasi oleh input dari sekitarnya dapat
mengaktivasi neuron yang mengkode nyeri. karena area korteks yang
menerima input dari perifer tampaknya tetap sesuai dengan area asalnya,
aktivitas pada area korteks yang mewakili anggota tubuh yang diamputasi
10
dialihkan menuju anggota tubuh ini dan dapat diinterpretasikan sebagai
sensasi fantom dan nyeri fantom.5
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nyeri kronik yang
dirasakan sebelum dilakukan amputasi dapat memprediksi nyeri fantom
yang akan terjadi kemudian, yang mendukung hipotesis pain memory.
Tetapi, sampel penelitian ini mengikutsertakan hanya sedikit amputasi
traumatik dan kebanyakan adalah pasien yang diamputasi karena
mengalami nyeri dalam jangka waktu lama. Pada pasien tersebut ingatan
akan nyeri sudah terbentuk sejak waktu yang lama. Pada pasien yang
mengalami amputasi traumatik, faktor-faktor tambahan yang berhubungan
dengan operasi, seperti jenis anestesi dan nyeri pre- dan paska operasi
dapat berperan. Didasarkan pada fakta bahwa input nosiseptif tidak
sepenuhnya dihalangi dengan anestesia sentral, anestesi perifer
ditambahkan saat sebelum dan selama operasi berlangsung untuk
mencegah sensitisasi sentral. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa
analgesia tidak secara signifikan mengurangi angka kejadian nyeri fantom.
Untuk itu hipotesis pain memory masih harus dibuktikan lebih lanjut.5
Dapat disimpulkan bahwa penjelasan di atas menandakan bahwa
terdapat berbagai macam mekanisme yang terjadi sehingga dapat
menyebabkan timbulnya nyeri fantom dan di dalamnya termasuk bagian
perifer, medula spinalis dan otak. Proses ini bermula dari perifer,
kemudian berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai ke korteks serebri.
Keterlibatan korteks serebri dapat mungkin dapat menjelaskan nyeri
fantom yang pada beberapa pasien dirasakan sangat nyata.5
11
Gambar 2.2 Mekanisme Perifer dan Sentral Terjadinya Nyeri Fantom
Gambar 2.3 Perubahan Korteks pada Nyeri Fantom
12
BAB III
SIMPULAN
Phantom limb pain diartikan sebagai sensasi dimana anggota tubuh yang
telah diamputasi, dirasakan pasien masih ada dan nyeri. Phantom limb pain
seringkali disalahartikan dengan rasa nyeri lainnya yang terjadi di sekitar anggota
tubuh yang diamputasi seperti stump pain. Faktor yang menyebabkan nyeri
fantom ini dapat berasal dari faktor luar maupun dalam tubuh. Faktor tersebut
antara lain adalah nyeri pre amputasi, prosedur anestesi saat operasi, kondisi
emosional, temperatur, dan juga penggunaan kemoterapi. Terdapat berbagai
macam mekanisme yang terjadi sehingga dapat menyebabkan timbulnya nyeri
fantom dan di dalamnya termasuk bagian perifer, medula spinalis dan otak. Proses
ini bermula dari perifer, kemudian berlanjut ke struktur yang lebih tinggi sampai
ke korteks serebri. Keterlibatan korteks serebri dapat mungkin dapat menjelaskan
nyeri fantom yang pada beberapa pasien dirasakan sangat nyata.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Lancet. 2001. “Phantom Limb Pain : Characteristics, Causes, and
Treatment”. The Lancet Neurology Vol 1. Diakses September 2012.
2. Flor, Herta, Lone, Nikolajsen, and T.S Jensen. 2006. "Phantom limb pain:
a case of maladaptive CNS plasticity?" Nature Reviews: 873-881. Diakses
September 2012.
3. Macrae, W.A. 2008. “Chronic Post-Surgical Pain: 10 Years On”. British
Journal of Anaesthesia 101 (1): 77–86. Diakses September 2012.
4. Sumitani, Masahiko, et.al. 2010. "Phantom Limb Pain In The Primary
Motor Cortex: Topical Review." J Anesth: 24:337–341.
5. Chahine, Lama And Kanazi, Ghassan. 2007. “Phantom Limb Syndrome:
A Review”. M.E.J. Anesth 19 (2). Diakses September 2012.
14