149
Pidato Presiden Barack Obama di Auditorium Universitas Indonesia Depok Jawa Barat 10 November 2010 09:30 WIB Terima kasih. Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih kepada semuanya. Selamat pagi. (tepuk tangan membahana) Merupakan hal yang menajubkan dan menyenangkan berada di sini, di Universitas Indonesia. Kepada pihak fakultas, staf, dan mahasiswa, dan untuk Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, terima kasih banyak atas keramahan anda. (tepuk tangan) Assalamu Alaikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang mengagumkan ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih kepada masyarakat Indonesia. Pulang kampung nih. (tepuk tangan bergemuruhi ) Saya sangat senang karena saya bisa kembali ke Indonesia dan Michelle bisa datang bersama saya. Kami sempat beberapa kali membatalkan kunjungan sejak awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi negara yang sangat berarti bagi saya. Dan sayangnya, kunjungan ini terlalu singkat, tapi saya berharap bisa datang kembali tahun depan ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (tepuk tangan) Sebelum melanjutkan pidato ini, saya ingin mengajak semuanya untuk mendoakan warga Indonesia yang tertimpa tsunami baru- baru ini dan letusan gunung berapi, terutama mereka yang telah kehilangan orang yang dicintai, dan mereka yang telah kehilangan segalanya. Dan saya ingin anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika Serikat akan berdiri berdampingan berdiri dengan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Dan kami akan suka cita membantu jika diperlukan. Sebagai

Pidato Presiden Barack Obama

Embed Size (px)

Citation preview

Pidato Presiden Barack Obama

di Auditorium Universitas Indonesia

Depok Jawa Barat

10 November 2010

09:30 WIB

Terima kasih. Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih kepada semuanya. Selamat pagi. (tepuk tangan membahana) Merupakan hal yang menajubkan dan menyenangkan berada di sini, di Universitas Indonesia. Kepada pihak fakultas, staf, dan mahasiswa, dan untuk Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, terima kasih banyak atas keramahan anda. (tepuk tangan)

Assalamu Alaikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang mengagumkan ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih kepada masyarakat Indonesia.

Pulang kampung nih. (tepuk tangan bergemuruhi) Saya sangat senang karena saya bisa kembali ke Indonesia dan Michelle bisa datang bersama saya. Kami sempat beberapa kali membatalkan kunjungan sejak awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi negara yang sangat berarti bagi saya. Dan sayangnya, kunjungan ini terlalu singkat, tapi saya berharap bisa datang kembali tahun depan ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (tepuk tangan)

Sebelum melanjutkan pidato ini, saya ingin mengajak semuanya untuk mendoakan warga Indonesia yang tertimpa tsunami baru-baru ini dan letusan gunung berapi, terutama mereka yang telah kehilangan orang yang dicintai, dan mereka yang telah kehilangan segalanya. Dan saya ingin anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika Serikat akan berdiri berdampingan berdiri dengan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Dan kami akan suka cita membantu jika diperlukan. Sebagai tetangga, dan keluarga, pasti akan saling membantu untuk korban bencana. Saya tahu bahwa rakyat Indonesia memiliki kekuatan dan ketabahan untuk bisa melewati ini semua.

Saya akan mulai sambutan ini dengan pernyataan simpel: Indonesia bagian dari diri saya. (tepuk tangan) Saya pertama kali datang ke negara ini ketika ibu saya menikah dengan seorang Indonesia bernama Lolo Soetoro. Dan sebagai anak muda, saya datang ke suatu bagian dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia dengan cepat membuat saya merasa seperti berada di rumah sendiri.

Jakarta sekarang, tampak sangat berbeda dengan dulu. Kota ini penuh dengan bangunan tinggi. Pada tahun 1967-1968, sebagian besar dari anda belum lahir. (Obama tertawa)

Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi dan hanya ada satu toko swalayan besar bernama Sarinah. Itu dia. (tepuk tangan) Becak dan bemo, bisa kita temukan dengan mudah di sekitar kita. Tidak ada jalan raya besar seperti yang anda miliki saat ini. Kebanyakan dari mereka berjalan di jalan tidak beraspal dan jalan kampung.

Oleh karenanya kami pindah ke Menteng Dalam, dimana – (tepuk tangan) – hai, beberapa orang dari Menteng Dalam yang datang ke sini? (tepuk tangan) Dan kami tinggal di sebuah rumah kecil. Kami memiliki pohon mangga di depan rumah. Dan saya belajar untuk mencintai Indonesia dengan menerbangkan layang-layang dan berjalan di sepanjang pematang sawah dan menangkap capung, membeli sate dan bakso dari pedagang kaki lima. (tepuk tangan) Saya masih ingat teriakan dari penjualnya. Sate! (Obama tertawa) Saya ingat itu. Bakso! (Obama tertawa lagi) Tapi sebagian besar dari semua, saya ingat orang-orang, – orang tua dan perempuan yang menyambut kami dengan senyum, anak-anak yang membuat anak asing merasa seperti seorang tetangga dan seorang teman, dan guru yang membantu saya belajar tentang negara ini.

Lantaran Indonesia terdiri dari ribuan pulau, dan ratusan bahasa, dan orang-orang dari sejumlah daerah dan kelompok etnis, hal itu membantu saya ketika saya di sini, untuk menghargai hubungan antar manusia dan kemanusiaan dari semua orang. Dan ayah tiri saya, seperti sebagian besar orang Indonesia, dibesarkan oleh seorang Muslim, ia sangat yakin bahwa semua agama layak dihormati. Dan dengan cara ini – (tepuk tangan) – dengan cara ini ia mencerminkan semangat toleransi umat beragama yang diejawantahkan dalam konstitusi Indonesia, dan tetap menjadi salah satu karakteristik yang inspiratif. (tepuk tangan)

Di sini, saya tinggal selama empat tahun – suatu masa yang cukup membantu membentuk masa kecil saya. Ada saatnya melihat kelahiran adik saya yang luar biasa, Maya, ada pula masa yang membuat saya terkesan pada ibu saya karena dia terus kembali ke Indonesia selama 20 tahun berikutnya untuk hidup dan bekerja dan melakukan perjalanan – demi kecintaannya dengan berkesempatan mempromosikan berbagai hal di desa-desa di Indonesia, terutama kesempatan bagi perempuan dan anak-anak. Dan saya sangat tersanjung – (tepuk tangan) – Saya sangat tersanjung ketika Presiden Yudhoyono tadi malam saat jamuan makan kenegaraan, negara memberikan tanda jasa atas nama ibu saya, mengakui pekerjaan yang dia lakukan. Dan dia akan sangat bangga, karena ibu saya mengabdi pada Indonesia dan sangat dekat dengan orang-orangnya, seumur hidupnya. (tepuk tangan)

Sedemikian banyak yang berubah dalam kurun empat dekade sejak saya naik pesawat untuk pindah kembali ke Hawaii. Jika anda meminta saya – atau dari teman-teman sekolah saya yang mengenal saya saat itu – Tak terlintas dalam pikiran saya  bahwa suatu hari nanti akan kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika Serikat. (tepuk tangan) Dan dapat berbagi kisah yang luar biasa dari Indonesia selama empat dekade terakhir.

Jakarta, sebagaimana yang pernah saya tahu, telah tumbuh menjadi sebuah kota yang dipenuhi hampir 10 juta orang, dengan gedung pencakar langit seperti Hotel Indonesia, dan berkembang menjadi pusat budaya dan perdagangan. Sementara itu teman Indonesia

saya, dan saya yang dulu berlari-lari dengan kerbau dan kambing – (Obama tertawa) – generasi baru Indonesia termasuk yang paling aktif terhubung satu sama lainnya secara online di dunia – terhubung melalui telepon seluler dan jaringan-jaringan sosial. Dan sementara Indonesia sebagai bangsa muda terfokus ke dalam, Indonesia yang berkembang saat ini memainkan peran kunci di Asia Pasifik dan pada ekonomi global. (tepuk tangan)

Saat ini, perubahan ini juga meluas ke politik. Ketika ayah tiri saya masih kecil, ia melihat ayahnya sendiri dan kakak meninggalkan rumah untuk berjuang dan mati dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan saya senang berada di sini pada Hari Pahlawan untuk menghormati sejarah Indonesia yang telah begitu banyak berkorban atas nama negara besar ini. (tepuk tangan)

Tatkala saya pindah ke Jakarta, tahun 1967, itu adalah masa-masa terjadinya penderitaan dan konflik besar di berbagai bagian negara ini. Dan meskipun ayah tiri saya pernah bertugas di Angkatan Darat, kekerasan dan pembunuhan selama pergolakan politik di masa itu, sebagian besar tidak saya ketahui karena itu tak terucapkan oleh keluarga dan teman-teman Indonesia saya. Dalam rumah tangga saya, seperti begitu banyak orang lain di seluruh Indonesia, kenangan itu tak terlihat. Indonesia memiliki kemerdekaannya, tetapi seringkali mereka takut untuk berbicara dan mengemukakan pikiran mereka tentang berbagai isu.

Semenjak tahun-tahun yang berlalu itu, Indonesia kini bisa melakukan transformasi demokratis yang luar biasa – dari aturan tangan besi menjadi rakyat yang berkuasa. Pada tahun-tahun terakhir ini, dunia telah melihat dengan harapan dan ketakjuban bahwa orang Indonesia berjalan dalam damai saat terjadi pengalihan kekuasaan dan pemilihan langsung para pemimpinnya. Dan sebagaimana halnya sebuah demokrasi, anda memilih presiden dan parlemenf, demokrasi anda ditopang oleh sebuah masyarakat sipil yang dinamis, partai politik, media massa, dan warga, bergerak bersama dan memastikan bahwa – di Indonesia – tidak akan ada surut ke belakang dari demokrasi.

Bahkan di tanah muda saya ini, saya belajar untuk mencintai Indonesia – bahwa semangat toleransi yang ditulis ke dalam Konstitusi; dilambangkan pada masjid-masjid dan gereja dan kuil-kuil yang berdiri berdampingan satu sama lain; yang semangatnya terkandung pada rakyat anda. (tepuk tangan) Bhinneka Tunggal Ika – kesatuan dalam keragaman. (tepuk tangan)  Falsafah ini merupakan dasar yang icontohkan Indonesia kepada dunia, dan ini mengapa Indonesia akan memainkan peranan penting dalam abad ke-21.

Dengan demikian hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai seorang teman, tetapi juga sebagai seorang Presiden yang mencari kemitraan yang dalam dan kekal antara kedua negara kita. (tepuk tangan) Lantaran negara-negara ini luas dan beragam; sebagai tetangga di kedua sisi Pasifik, dan di atas semua sebagai demokrasi – Amerika Serikat dan Indonesia terikat bersama oleh kepentingan bersama dan nilai-nilai bersama.

Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya mengumumkan nota Kemitraan Strategis baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kami meningkatkan hubungan antar pemerintah kita di berbagai daerah, dan – sama pentingnya – kita akan meningkatkan hubungan antara orang-orang kami. Ini adalah kemitraan yang setara, didasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati.

Jadi dengan sisa waktu saya hari ini, saya ingin berbicara tentang kisah Indonesia di hari-hari ketika saya tinggal di sini – sangat penting bagi Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Saya akan fokus pada tiga daerah yang terkait erat, dan untuk kemajuan mendasar manusia – pembangunan, demokrasi dan keyakinan beragama.

Pertama, persahabatan antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan kepentingan bersama dalam pembangunan.

Ketika saya pindah ke Indonesia, itu akan sulit membayangkan masa depan di mana kesejahteraan keluarga di Chicago dan Jakarta akan dihubungkan. Tapi ekonomi kita sekarang global, dan Indonesia telah mengalami berbagai hal global: dari kejutan krisis keuangan Asia di era 90-an, untuk mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan karena peningkatan perdagangan. Apa artinya – dan apa yang kita pelajari dalam krisis ekonomi baru-baru ini – adalah bahwa kita memiliki sumbangan berharga dalam keberhasilan masing-masing.

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia tumbuh dan berkembang, dengan kemakmuran yang secara luas dibagi di antara rakyat Indonesia – karena kelas menengah di Indonesia meningkat berarti pasar baru untuk barang-barang kami, seperti halnya Amerika merupakan pasar untuk barang-barang yang berasal dari Indonesia. Jadi kita berinvestasi lebih di Indonesia, dan ekspor kami telah tumbuh hampir 50 persen, dan kami membuka pintu bagi Amerika dan Indonesia untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain.

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang memainkan peran yang sah dalam membentuk ekonomi global. Lewatlah sudah hari-hari ketika tujuh atau delapan negara akan datang bersama untuk menentukan arah pasar global. Itu sebabnya G20 sekarang menjadi pusat kerjasama ekonomi internasional, sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki suara lebih besar dan juga memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengarahkan ekonomi global. Dan melalui kepemimpinannya kelompok anti-korupsi G20, Indonesia harus memimpin di panggung dunia dan dengan contoh dalam merangkul transparansi dan akuntabilitas. (tepuk tangan)

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang mengejar pembangunan berkelanjutan, karena cara kita tumbuh akan menentukan kualitas hidup kita dan kesehatan planet yang kita huni. Dan itulah sebabnya kami sedang mengembangkan teknologi energi bersih yang dapat memperkuat industri dan melestarikan sumber daya alam Indonesia yang berharga – dan Amerika menyambut kepemimpinan yang kuat di negara anda dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim.

Di atas segalanya, Amerika memiliki kepentingan dalam keberhasilan masyarakat Indonesia. Di bawah berita utama hari itu, kita harus membangun jembatan antara orang-orang kami, karena keamanan masa depan kita dan kemakmuran bersama. Dan itu persis apa yang kita lakukan – dengan meningkatkan kerjasama antar para ilmuwan dan peneliti, dan dengan bekerja sama untuk mengembangkan kewirausahaan. Dan saya sangat senang bahwa kami telah berkomitmen untuk meningkatkan dua kali lipat jumlah mahasiswa Amerika dan mahasiswa Indonesia belajar di negara masing-masing. (tepuk tangan) Kita ingin mahasiswa lebih banyak bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Amerika, dan kami ingin lebih banya siswa Amerika untuk datang belajar di negeri ini. (tepuk tangan) Kami ingin menjalin kerja baru dan pemahaman yang lebih besar antara kaum muda di abad muda ini.

Ini adalah isu-isu yang benar-benar penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Pengembangan, setelah semua, bukan hanya tentang tingkat pertumbuhan dan angka pada neraca. Ini tentang apakah seorang anak bisa belajar keterampilan yang mereka butuhkan untuk membuatnya hidup dalam dunia yang terus berubah. Ini tentang apakah gagasan yang bagus diperbolehkan untuk tumbuh menjadi bisnis, dan tidak digerogoti oleh korupsi. Ini tentang kekuatan-kekuatan yang mentranformasi Jakarta, saya pernah tahu – teknologi dan perdagangan dan aliran orang dan barang – dapat terejawantah dalam kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk semua manusia, kehidupan yang ditandai oleh martabat dan kesempatan.

Saat ini, pembangunan tidak terlepas dari peran demokrasi.

Hari ini, kita kadang-kadang mendengar bahwa demokrasi berjalan sejajar dengan kemajuan ekonomi. Ini bukan sebuah argumen baru. Khususnya dalam masa perubahan dan ketidakpastian ekonomi, beberapa orang akan berkata bahwa lebih mudah untuk mengambil jalan pintas untuk pembangunan dengan perdagangan jauh hak manusia untuk kekuasaan negara. Tapi bukan itu yang saya lihat di perjalanan saya ke India, dan itu tidak saya lihat di sini di Indonesia. prestasi anda menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan memperkuat satu sama lain.

Sebagaimana halnya demokrasi, kita mengetahui arah jalan kembalinya. Amerika tidak berbeda. Konstitusi kami sendiri berbicara tentang upaya untuk menempa sebuah “persatuan yang sempurna” dan itu adalah perjalanan yang kami tempuh selama ini. Kami telah mengalami perang saudara dan kami berjuang untuk memperoleh hak yang sama bagi semua warga negara kita. Tapi justru upaya yang telah memungkinkan kami untuk menjadi lebih kuat dan lebih sejahtera, sementara juga menjadi lebih adil dan masyarakat yang lebih bebas.

Sebagaimana halnya negara-negara lain yang muncul dari penjajahan pada abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban untuk menentukan nasib anda sendiri. Apa yang kita namakan dengan Hari Pahlawan adalah tentang semua – sebuah Indonesia yang dimiliki rakyat Indonesia. Tapi anda juga yang akhirnya memutuskan bahwa kebebasan tidak berarti mengganti tangan yang kuat dari penjajah dengan orang sangat berkuasa dari kalangan anda sendiri.

Sudah barang tentu, demokrasi memiliki kekurangan. Tidak semua orang menyukai hasil setiap pemilu. Namun itu adalah pengalaman yang berharga. Diperlukan lembaga-lembaga yang kuat untuk mengawasi kekuasan – konsentrasi kekuasaan. Diperlukan pasar terbuka untuk memungkinkan individu berkembang. Diperlukan pers bebas dan sistem peradilan yang independen untuk memberantas penyalahgunaan, dan mendesakkan akuntabilitas. Diperlukan masyarakat yang terbuka dan warga negara yang aktif untuk menolak adanya ketimpangan dan ketidakadilan.

Hal-hal itulah kekuatan yang akan memajukan Indonesia. Dan diperlukan penolakan untuk mentoleransi korupsi, suatu komitmen terhadap keterbukaani dalam pemerintahan, dan keyakinan bahwa kebebasan orang Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat secara bersama-sama.

Hal demikian merupakan pesan dari orang Indonesia yang sudah memiliki pengetahuan lebih lanjut berkisah tentang demokrasi – mulai dari orang-orang yang bertempur dalam peperangan Surabaya 55 tahun yang lampau, untuk para mahasiswa yang berunjuk rasa damai demi demokrasi pada tahun 1990-an, untuk para pemimpin yang telah melalui jalan damai dalam masa transisi kekuasaan di abad ini. Lantaran pada akhirnya, hal demikian akan menjadi hak-hak warga negara yang akan merajut kebersaman Nusantara yang luar biasa ini, yang membentang dari Sabang hingga Merauke, suatu tuntutan mendesak – (tepuk tangan) – suatu tuntutan bahwa setiap anak yang lahir di negeri ini harus diperlakukan sama, apakah mereka datang dari Jawa atau Aceh; dari Bali atau Papua. (tepuk tangan) Semua orang Indonesia memiliki hak-hak yang sama.

Ikhtiar tersebut meluas ke contoh bahwa Indonesia sekarang berperan di luar negeri. Indonesia mengambil inisiatif untuk mendirikan Forum Demokrasi Bali, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan praktek-praktek terbaik dalam mengembangkan demokrasi. Indonesia juga berada di garda depan mendorong untuk lebih memperhatikan hak asasi manusia di ASEAN. Negara-negara Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, dan Amerika Serikat akan sangat mendukung hak itu. Tetapi orang-orang Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri juga. Dan itulah mengapa kita mencela pemilu di Burma baru-baru ini yang tidak bebas dan adil. Itulah sebabnya kami mendukung pemberdayaan masyarakat sipil dalam bekerja dengan mitra di seluruh wilayah ini. Karena tidak ada alasan untuk berhenti menghormati hak asasi manusia dengan batasan-batasan negara manapun.

Seiring dengan itu, adalah bahwa pembangunan dan demokrasi mengangankan nilai-nilai universal tertentu. Kemakmuran tanpa kebebasan hanya bentuk lain dari kemiskinan. Karena manusia adalah makhluk sosial – kebebasan anda mengetahui bahwa pemimpin bertanggung jawab kepada anda, dan bahwa anda tidak akan dipenjara karena tidak setuju dengan mereka, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan bermartabat, kebebasan untuk mempraktekkan iman anda tanpa rasa takut atau dihalang-halangi. Itu adalah nilai-nilai universal yang harus diperhatikan di mana-mana.

Kini, agama adalah topik terakhir yang ingin saya bicarakan hari ini, dan – seperti demokrasi dan pembangunan – itu adalah hal fundamental di Indonesia.

Sebagaimana negara-negara Asia lain yang saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia kental dengan spiritualitas – tempat di mana orang menyembah Allah dalam berbagai cara. Seiring dengan keragaman yang kaya, juga rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia – keyakinan yang saya tahu sebagai seorang anak tatkala saya mendengar panggilan azan di pelosok Jakarta.

Sama seperti individu yang tidak didefinisikan semata-mata oleh iman mereka, Indonesia diartikan tidak samata oleh populasi besar kaum Muslimnya. Akan tetapi  kami juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Muslim telah memburuk selama bertahun-tahun. Sebagai Presiden, saya telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini. (tepuk tangan) Sebagai bagian dari ikhtiar  itu, saya pergi ke Kairo Juni lalu, dan saya menyampaikan pidato tentang Sebuah Awal Baru Antara Amerika Serikat dan Umat Islam di seluruh dunia – sesuatu yang membuat jalan bagi kami untuk bergerak mengatasi perbedaan-perbedaan antara kita.

Saya mengatakan demikian, dan saya akan mengulangi sekarang, bahwa tidak ada satu pidato yang bisa mengatasi ketidakpercayaan yang terjadi. Tapi saya percaya itu, dan saya percaya hari ini, bahwa kami memang memiliki pilihan. Kami bisa memilih untuk diartikan oleh perbedaan kami, dan menyerah pada kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita dapat memilih untuk bekerja keras dan berkomitmen untuk terus mengejar kemajuan. Dan saya bisa menjanjikan pada anda – tidak peduli apa kemunduran mungkin datang, Amerika Serikat berkomitmen untuk memajukan kemanusiaan. Hal itulah siapa kami.. Hal itulah yang kami lakukan. Dan hal  itulah yang akan kami lakukan. (tepuk tangan)

Kini, kami tahu juga isu-isu yang telah menimbulkan ketegangan selama bertahun-tahun – dan ini adalah masalah yang saya bahas di Kairo. Dalam 17 bulan yang lalu sejak pidato itu, kami telah membuat beberapa kemajuan, tetapi kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Warga sipil tidak bersalah di Amerika, di Indonesia dan seluruh dunia masih menjadi target pelaku kekerasan. Saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak, dan tidak akan pernah, berperang dengan Islam. Sebaliknya, kita semua harus bekerja sama untuk mengalahkan al Qaeda dan sekutunya, yang tidak mengklaim menjadi pemimpin agama apapun — pasti bukan yang besar, agama dunia seperti Islam. Tetapi mereka yang ingin membangun tidak boleh menyerahkan tanah untuk teroris yang berusaha untuk menghancurkan. Dan ini bukan tugas Amerika saja. Di sini di Indonesia, anda telah membuat kemajuan dalam melawan ekstremis dan memerangi kekerasan tersebut.

Di Afghanistan, kami melanjutkan terus bekerja dengan koalisi negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan untuk mengamankan masa depan dalam membangun perdamaian di negeri yang dilanda perang – kedamaian yang tidak

memberikan tempat yang aman bagi ekstremis kekerasan, dan yang memberi harapan bagi rakyat Afghanistan.

Sementara itu, kami telah membuat kemajuan pada salah satu komitmen utama kami – upaya kami untuk mengakhiri perang di Irak. Kurang lebih 100.000 pasukan Amerika sekarang meninggalkan Irak, sejak saya menjadi presiden. (tepuk tangan) Irak telah mengambil tanggung jawab penuh atas keamanan mereka. Dan kami akan terus mendukung Irak untuk membentuk pemerintahan sendiri, dan kami akan membawa pulang semua tentara kami.

Di Timur Tengah, kami menghadapi pasang surut perdamaian, tapi kami akan tetap gigih pengupayakan perdamaian. Israel dan Palestina memulai kembali pembicaraan tetapi tetap ada rintangan. Semestinya tidak ada ilusi bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan mudah. Tapi bila ada keraguan: Amerika akan mengambil bagian bagi ikhtiar hasil yang adil, dan itu adalah demi kepentingan semua pihak yang terlibat – dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan keamanan. Itu adalah tujuan kami. (tepuk tangan)

Taruhannya tinggi dalam menyelesaikan semua masalah ini. Untuk dunia kita telah tumbuh lebih kecil, dan sedangkan kekuatan yang menghubungkan kita telah melepaskan kesempatan dan kekayaan besar, mereka juga memberdayakan orang-orang yang berusaha untuk menggelincirkan kemajuan. Satu bom di pasar bisa melenyapkan hiruk pikuk perdagangan seharian. Satu rumor berbisik dapat mengaburkan kebenaran dan menimbulkan kekerasan antara masyarakat yang pernah hidup bersama dalam damai. Di zaman yang serba cepat dan perubahan budaya bertabrakan, apa yang kita miliki sebagai umat manusia terkadang bisa hilang.

Tapi saya percaya bahwa sejarah baik Amerika dan Indonesia harus memberi kita harapan. Ini adalah kisah yang ditulis ke dalam motto nasional kita. Di Amerika Serikat, semboyan kami adalah E Pluribus Unum – berbeda tapi satu. Bhinneka Tunggal Ika – bersatu dalam keragaman. (tepuk tangan) Kami adalah dua bangsa, yang memiliki jalan yang berbeda. Namun bangsa kami menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki keyakinan berbeda dapat bersatu dalam kebebasan di bawah satu bendera. Dan kami sekarang membangun kemanusiaan bersama – melalui orang-orang muda yang akan belajar di sekolah masing-masing, melalui pengusaha yang dapat mendatangkan kesejahteraan yang lebih besar, dan melalui kami merangkul nilai-nilai demokrasi yang fundamental dan aspirasi manusia.

Sebelum saya datang ke sini, saya mengunjungi masjid Istiqlal – tempat ibadah yang masih dalam pembangunan ketika saya tinggal di Jakarta. Dan saya mengagumi menara yang membumbung tinggi dan kubah yang mengesankan dan ruang halaman luas. Akan tetapi nama dan sejarah juga berbicara dengan apa yang membuat Indonesia hebat. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan konstruksinya dalam bagian testamen yang ada merupakan bukti perjuangan bangsa untuk kemerdekaan. Selain itu, rumah peribadatan bagi ribuan Muslim tersebut dirancang oleh arsitek Kristen. (tepuk tangan)

Begitulah spirit Indonesia. Begitulah pesan dasar filsafat Indonesia, Pancasila. (tepuk tangan) Di negara kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Allah yang paling indah, pulau di atas samudra bernama perdamaian, orang memilih untuk menyembah Allah sesuka mereka. Islam berkembang, tetapi begitu juga agama lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasil. Tradisi kuno bertahan, bahkan meningkat.

Itu tidak berarti bahwa Indonesia adalah tanpa ketidaksempurnaan. Tidak ada negara yang sempurna. Tetapi di sini kami bisa menemukan kemampuan untuk menjembatani berbagai ras dan wilayah dan agama – dengan kemampuan untuk melihat diri anda pada orang lain. Sebagai anak dari ras yang berbeda yang datang ke sini dari sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat dalam sambutannya yang saya terima pada saat pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai seorang Kristen mengunjungi sebuah masjid pada kunjungan kali ini, saya menemukan itu dalam kata-kata seorang pemimpin yang bertanya tentang kunjungan saya dan berkata, “Muslim juga diperbolehkan dalam gereja. Kami semua adalah pengikut-pengikut Tuhan.”

Percikan ilahiah ada dalam kehidupan kita masing-masing. Kita tidak bisa menyerah pada keraguan atau rasa sinis atau putus asa. Kisah-kisah dari Indonesia dan Amerika seharusnya membuat kita optimis, karena hal itu mengingatkan kita bahwa sejarah, di samping memajukan manusia, mempererat persatuan dari berbagai bidang, dan bahwa orang di dunia ini dapat hidup bersama dalam damai. Kami, dua negara, akan bekerja sama, dengan iman dan tekad, berbagi kebenaran dengan seluruh umat manusia.

Sebagai Penutup saya, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: Terima kasih atas…terima kasih. Assalamualaikum. Thank You. (tepuk tangan bergemuruh)

Berikut ini terjemahan lengkap pidato Presiden Obama yang dirilis di web site Kedubes AS di Jakarta, Indonesia.

PERMULAAN YANG BARU

Terima kasih. Selamat siang. Saya merasa terhormat berada di kota Kairo yang tak lekang oleh waktu, dan dijamu oleh dua institusi yang luar biasa. Selama lebih seribu tahun, Al Azhar telah menjadi ujung tombak pembelajaran Islam, dan selama lebih seabad, Universitas Kairo telah menjadi sumber kemajuan Mesir. Bersama, anda mewakili keselarasan antara tradisi dan kemajuan. Saya berterima kasih atas keramahan anda, dan keramahan rakyat Mesir. Saya juga bangga membawa niat baik rakyat Amerika, dan menyampaikan salam perdamaian dari warga muslim di negara saya: “assalamu’alaikum”.

Kita bertemu pada saat ada ketegangan besar antara Amerika Serikat dan warga Muslim seluruh dunia – ketegangan yang berakar pada gerak sejarah yang melampaui setiap perdebatan kebijakan yang kini berlangsung. Hubungan antara Islam dan Barat selama berada-abad mencakup koeksistensi dan kerja sama, tapi juga konflik dan peperangan bernuansa agama. Akhir-akhir ini, ketegangan muncul akibat kolonialisme yang menyangkal hak dan peluang bagi banyak warga Muslim, serta Perang Dingin yang

membuat banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim diperlakukan sebagai boneka dengan mengabaikan aspirasi mereka. Lebih jauh lagi, perubahan besar yang diusung oleh modernitas dan globalisasi membuat kalangan Muslim menilai Barat bersikap memusuhi Islam.

Kelompok ekstrimis garis keras telah mengeksploitasi hubungan yang tegang itu, jumlah mereka kecil namun memiliki potensi di kalangan Muslim. Serangan pada 11 September 2001 dan upaya berkelanjutan dari kalangan ekstrimis ini untuk menyerang warga sipil telah membuat sebagian kalangan di negara saya menilai Islam bukan cuma memusuhi Amerika dan negara Barat, melainkan juga hak asasi manusia. Semua ini semakin memupuk rasa takut dan saling tidak percaya.

Selama hubungan Barat dan Islam ditentukan oleh perbedaan-perbedaan, kita akan memperkuat mereka yang menyebarkan kebencian ketimbang perdamaian, serta memperkuat mereka yang mempromosikan konflik ketimbang kerja sama yang dapat membantu rakyat mencapai keadilan dan kemakmuran. Lingkaran kecurigaan dan permusuhan ini harus kita akhiri.

Saya datang ke Kairo untuk mengupayakan awal baru antara Amerika Serikat dan Muslim diseluruh dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan rasa saling menghormati – dan berlandaskan pada kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidaklah eksklusif satu sama lain, dan tidak perlu bersaing. Kedua pihak bertemu dan berbagi prinsip yang sama – yaitu prinsip-prinsip keadilan dan kemajuan; toleransi dan martabat semua umat manusia.

Saya menyadari perubahan tidak dapat terjadi dalam semalam. Saya tahu banyak harapan terhadap pidato ini, tetapi satu pidato tidak akan mampu menghapus rasa curiga yang terpupuk selama bertahun-tahun, dan dalam waktu singkat siang ini saya juga tidak akan mampu menjawab semua pertanyaan rumit yang membawa kita ke titik ini. Tapi saya percaya bahwa agar bisa melangkah maju, kita harus secara terbuka mengatakan kepada satu sama lain hal-hal yang ada dalam hati kita, dan yang seringkali hanya diungkapkan di belakang pintu tertutup. Harus ada upaya terus menerus untuk mendengarkan satu sama lain; saling belajar satu sama lain; saling menghormati, dan mencari persamaan. Sebagaimana kitab suci Al Qur’an mengatakan, “Ingatlah kepada Allah dan bicaralah selalu tentang kebenaran.” Ini yang akan saya lakukan hari ini – berbicara tentang kebenaran sesuai kemampuan saya, dengan rendah hati oleh tugas di depan kita, dan dengan keyakinan bahwa kepentingan bersama yang kita miliki sebagai umat manusia jauh lebih kuat daripada kekuatan-kekuatan yang memisahkan kita.

Sebagian dari keyakinan ini berakar dari pengalaman saya pribadi. Saya penganut Kristiani, tapi ayah saya berasal dari Kenya yang turun temurun penganut Muslim. Saat kecil, saya tinggal di Indonesia beberapa tahun dan mendengar lantunan adzan subuh dan maghrib. Ketika muda, saya bekerja di komunitas-komunitas kota Chicago yang banyak anggotanya menemukan martabat dan kedamaian dalam keimanan Islam.

Sebagai pelajar sejarah, saya juga mengetahui peradaban berhutang besar terhadap Islam. Adalah Islam – di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar – yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad, dan membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era Pencerahan di Eropa. Adalah inovasi dalam masyarakat Muslim yang mengembangkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam menggunakan pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya. Budaya Islam telah memberikan kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melakukan kontemplasi secara damai. Dan sepanjang sejarah, Islam telah menunjukkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras adalah hal-hal yang mungkin.

Saya juga tahu bahwa Islam selalu menjadi bagian dari riwayat Amerika. Negara pertama yang mengakui negara saya adalah Maroko. Saat menandatangani Perjanjian Tripoli pada tahun 1796, presiden kedua kami John Adams menulis, “Amerika Serikat tidaklah memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, maupun ketentraman umat Muslim.” Dan sejak berdirinya negara kami, umat Muslim Amerika telah memperkaya Amerika Serikat. Mereka telah berjuang dalam sejumlah peperangan, bekerja dalam pemerintahan, memperjuangkan hak-hak sipil, mengajar di perguruan-perguruan tinggi kami, unggul dalam arena-arena olah raga kami, memenangkan Hadiah Nobel, membangun gedung-gedung kami yang tertinggi, dan menyalakan obor Olimpiade. Dan ketika warga Muslim-Amerika pertama terpilih sebagai anggota Kongres belum lama ini, ia mengambil sumpah untuk membela Konstitusi kami dengan menggunakan Al Quran yang disimpan oleh salah satu Bapak Pendiri kami – Thomas Jefferson – di perpustakaan pribadinya.

Jadi saya mengenal Islam di tiga benua sebelum datang ke kawasan tempat agama ini pertama kali diturunkan. Pengalaman tersebut memandu keyakinan saya bahwa kemitraan antara Amerika dan Islam harus didasarkan pada apakah Islam itu, bukan pada apakah yang bukan Islam. Dan saya menganggap ini adalah bagian dari tanggung jawab saya sebagai Presiden Amerika Serikat untuk memerangi stereotip negatif tentang Islam di mana pun munculnya.

Tapi prinsip yang sama harus diterapkan pada persepsi tentang Amerika. Seperti halnya umat Muslim tidak sesuai dengan stereotip yang mentah, Amerika juga bukan stereotip mentah tentang sebuah kekaisaran yang memiliki kepentingan sendiri. Amerika Serikat telah menjadi salah satu sumber kemajuan terbesar yang dikenali dunia. Kami lahir akibat revolusi melawan sebuah kekaisaran. Kami berdiri berdasarkan ide bahwa semua orang diciptakan sama, dan kami telah menumpahkan darah dan berjuang selama berabad-abad untuk memberikan arti kepada kata-kata tersebut – di dalam batas negara kami, dan di sekeliling dunia. Kami terbentuk oleh setiap budaya, yang datang dari setiap sudut bumi, dan berdedikasi pada sebuah konsep sederhana: E pluribus unum: “Dari banyak menjadi satu”.

Banyak dikatakan menyangkut fakta bahwa seorang Amerika keturunan Afrika dengan nama Barack Hussein Obama dapat terpilih sebagai presiden. Tapi kisah pribadi saya

bukanlah sesuatu yang unik. Mimpi akan kesempatan bagi semua belumlah terwujud bagi setiap orang di Amerika, tapi janji itu diberikan bagi semua yang datang ke pantai kami – termasuk hampir tujuh juta warga Muslim Amerika di negara kami saat ini yang memiliki pendapatan dan pendidikan lebih tinggi dari rata-rata.

Lebih jauh lagi, kebebasan di Amerika tidaklah terpisahkan dari kebebasan menjalankan agama. Itu sebabnya ada masjid di setiap negara bagian di negeri kami, dan ada lebih dari 1200 masjid di dalam batas negara kami. Itu sebabnya pemerintah Amerika telah maju ke pengadilan untuk membela hak wanita dan anak perempuan mengenakan hijab, dan untuk menghukum mereka yang mengingkarinya.

Jadi janganlah ada keraguan: Islam adalah bagian dari Amerika. Dan saya percaya bahwa Amerika memegang kebenaran dalam dirinya bahwa terlepas dari ras, agama, dan posisi dalam hidup, kita semua memiliki aspirasi yang sama – untuk hidup dalam damai dan keamanan; untuk memperoleh pendidikan dan untuk bekerja dengan martabat; untuk mengasihi keluarga kita, masyarakat kita, dan Tuhan kita. Ini adalah hal-hal yang sama-sama kita yakini. Ini adalah harapan dari semua kemanusiaan.

Tentu saja, mengenali persamaan kemanusiaan merupakan awal dari tugas kita. Justru ini adalah awal. Kata-kata saja tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Kebutuhan baru terpenuhi jika kita bertindak berani di tahun-tahun mendatang; Dan kita harus bertindak dengan pemahaman bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah tantangan bersama, dan kegagalan kita mengatasinya akan merugikan kita semua.

Karena kita telah belajar dari pengalaman baru-baru ini bahwa ketika sistem keuangan melemah di satu negara, kemakmuran di mana pun ikut dirugikan. Ketika jenis flu baru menulari satu orang, semua terkena risiko. Ketika satu negara membangun senjata nuklir, risiko serangan nuklir bagi semua negara ikut naik. Ketika kelompok ekstrim keras beroperasi di satu rangkaian pegunungan, rakyat di seberang samudera pun ikut menghadapi bahaya. Dan ketika mereka yang tak bersalah di Bosnia dan Darfur dibantai, itu menjadi noda dalam nurani kita bersama. Itulah artinya berbagi dunia di abad ke-21. Inilah tanggung jawab kita kepada satu sama lain sebagai umat manusia.

Dan ini adalah tanggung jawab yang sulit diemban. Karena sejarah manusia telah merekam berbagai bangsa dan suku yang mencoba menaklukkan satu sama lain demi kepentingan sendiri. Tapi di era baru ini, sikap seperti itu justru akan mengalahkan diri sendiri. Karena saling ketergantungan kita, setiap tatanan dunia yang mengangkat satu bangsa atau sekelompok orang lebih tinggi dari yang lain pada akhirnya akan gagal. Jadi apa pun pikiran kita mengenai masa lalu, kita tidak boleh terperangkap olehnya. Masalah-masalah kita harus ditangani dengan kemitraan; kemajuan harus dibagi bersama.

Itu tidak berarti kita tidak mengindahkan sumber-sumber ketegangan. Justru yang disarankan adalah sebaliknya: kita harus menghadapi ketegangan-ketegangan ini secara langsung. Dan dalam semangat ini, saya akan berbicara sejelas dan segamblang mungkin mengenai isu-isu spesifik yang saya percaya akhirnya harus kita hadapi bersama.

Isu pertama yang harus kita hadapi adalah ekstrimisme garis keras dalam semua wujud.

Di Ankara, saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak sedang – dan tidak akan pernah – berperang dengan Islam. Kami akan, meski demikian, tak lelah-lelahnya melawan kelompok ekstrim keras yang mengancam serius keamanan kami. Karena kami menolak apa yang juga ditolak oleh semua orang beragama: yaitu pembunuhan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tidak bersalah. Dan adalah tugas saya yang pertama sebagai Presiden untuk melindungi rakyat Amerika.

Situasi di Afghanistan mendemonstrasikan sasaran-sasaran Amerika dan kebutuhan kita untuk bekerja sama. Lebih tujuh tahun lalu, Amerika Serikat mengejar Al Qaida dan Taliban dengan dukungan internasional yang luas. Kami tidak melakukannya karena ada pilihan, kami melakukannya karena perlu. Saya sadar bahwa sejumlah orang mempertanyakan atau membenarkan peristiwa serangan 11 September. Tapi mari kita perjelas: Al Qaida membunuh hampir 3000 orang pada hari itu. Para korban adalah kaum pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah dari Amerika dan banyak negara lain yang tidak berbuat apa-apa untuk melukai orang lain. Tapi Al Qaida memilih untuk dengan kejam membunuh mereka, mengklaim pujian atas serangan tersebut, dan bahkan sekarang menyatakan tekad mereka untuk membunuh lagi dalam skala sangat besar. Mereka memiliki kaki tangan di banyak negara dan sedang mencoba untuk memperluas jangkauan mereka. Ini bukan opini yang dapat diperdebatkan; ini adalah fakta yang harus dihadapi.

Janganlah salah paham: kami tidak menginginkan tentara kami di Afghanistan. Kami tidak berencana mendirikan basis militer di sana. Sangat menyakitkan bagi Amerika untuk kehilangan nyawa banyak warga pria dan wanita kami. Adalah mahal dan sulit secara politik untuk melanjutkan konflik ini. Kami dengan senang hati akan memulangkan setiap tentara kami jika kami bisa yakin bahwa tidak ada kaum ekstrimis keras di Afghanistan dan Pakistan yang bertekad membunuh sebanyak mungkin orang Amerika sebisa mereka. Tetapi hal itu tidak bukanlah kenyataan yang ada sekarang.

Itulah sebabnya kami bermitra dengan koalisi 46 negara. Dan meksi biayanya besar, niat Amerika tidak akan melemah. Tak satu pun dari kita yang seharusnya mentoleransi kaum ekstrimis seperti ini. Mereka telah membunuh di banyak negara. Mereka telah membunuh orang dari beragam agama – lebih dari yang lain, mereka telah membunuh umat Muslim. Tindakan-tindakan mereka sangat bertentangan dengan hak umat manusia, kemajuan bangsa-bangsa, dan dengan Islam. Kitab suci Al Quran mengajarkan bahwa siapa yang membunuh orang tak bersalah, maka ia seperti telah membunuh semua umat manusia; dan siapa yang menyelamatkan satu orang; maka ia telah menyelamatkan semua umat manusia. Iman indah yang diyakini oleh lebih semiliar orang sungguh lebih besar daripada kebencian sempit sekelompok orang. Islam bukanlah bagian dari masalah dalam memerangi ekstrimisme keras – Islam haruslah menjadi bagian penting dari penggalakkan perdamaian.

Kami juga tahu bahwa kekuatan militer saja tidak akan memecahkan masalah di Afghanistan dan Pakistan. Itu sebabnya kami berencana untuk menanam investasi sebesar

1,5 miliar dolar setiap tahun selama lima tahun ke depan untuk bermitra dengan warga Pakistan membangun sekolah, rumah sakit, jalan-jalan, dan usaha, dan ratusan juta untuk membantu mereka yang telah kehilangan tempat tinggal. Dan itu sebabnya kami menyediakan lebih dari 2.8 miliar dolar untuk membantu rakyat Afghanistan membangun ekonomi mereka dan menyediakan jasa-jasa yang dibutuhkan masyarakat.

Kini saya akan berbicara tentang masalah Irak. Tidak seperti Afghanistan, Irak adalah perang karena pilihan yang telah menimbulkan perbedaan-perbedaan kuat di negara saya dan di dunia. Meski saya percaya bahwa rakyat Irak pada akhirnya lebih baik tanpa tirani Saddam Hussein, saya juga percaya bahwa peristiwa-peristiwa di Irak telah mengingatkan Amerika tentang perlunya menggunakan diplomasi dan membangun konsensus untuk mengatasi masalah-masalah kita kapan pun memungkinkan. Kita bahkan dapat mengingat kata-kata salah satu presiden terbesar kami, Thomas Jefferson, yang mengatakan: “Saya berharap kebijakan kita akan bertambah sejalan dengan kekuatan kita, dan mengajarkan kita bahwa semakin sedikit kita menggunakan kekuatan, justru semakin besar kekuatan itu.”

Hari ini Amerika memiliki dua tanggung jawab: yaitu untuk membantu Irak membangun masa depan yang lebih baik, dan untuk menyerahkan Irak ke tangan rakyat Irak. Saya telah menjelaskan kepada warga Irak bahwa kami tidak berencana mendirikan basis di sana, dan tidak mengklaim baik teritori maupun sumber daya mereka. Kedaulatan Irak ada di tangan mereka sendiri. Itu sebabnya saya memerintahkan pencabutan brigade-brigade tempur kami sampai bulan Agustus mendatang. Itu sebabnya kami akan menghormati kesepakatan kami dengan pemerintah Irak yang terpilih secara demokratis untuk menarik pasukan tempur dari kota-kota Irak pada Juli mendatang, dan untuk memulangkan semua tentara kami dari Irak pada tahun 2012. Kami akan membantu Irak melatih Tentara Keamanan dan membangun ekonominya. Tapi kami akan mendukung Irak yang aman dan bersatu sebagai mitra, dan tidak pernah sebagai pelindung.

Dan akhirnya, seperti halnya Amerika tidak pernah bisa mentoleransi kekerasan oleh kaum ekstrimis, kami tidak pernah boleh mengompromikan prinsip-prinsip kami. Serangan 11 September adalah trauma besar bagi negara kami. Rasa takut dan marah yang muncul karenanya bisa dipahami, tapi dalam sejumlah kasus, itu telah membuat kami bertindak berlawanan dengan pemikiran-pemikiran kami. Kami sedang mengambil langkah-langkah konkret untuk mengubah arah. Saya telah sepenuhnya melarang praktik penyiksaan oleh Amerika Serikat, dan saya telah memerintahkan penutupan penjara di Teluk Guantanamo awal tahun depan.

Jadi Amerika akan membela diri, dengan menghormati kedaulatan bangsa-bangsa dan aturan hukum. Dan kami akan melakukannya dalam kemitraan dengan masyarakat-masyarakat Muslim yang juga terancam. Semakin cepat kaum ekstrimis diisolasi dan diusir dari dalam masyarakat-masyarakat Muslim, semakin cepat kita semua akan menjadi selamat.

Sumber ketegangan besar yang kedua yang perlu kita diskusikan adalah situasi antara warga Israel, Palestina, dan dunia Arab.

Ikatan yang kuat antara Amerika dan Israel telah banyak diketahui. Ikatan ini tidak dapat dipatahkan. Ini lahir berdasarkan ikatan budaya dan sejarah, serta pengakuan bahwa aspirasi atas sebuah tanah air Yahudi berakar dari sebuah sejarah tragis yang tidak bisa diingkari.

Di seantero dunia, kaum Yahudi telah ditindas selama berabad-abad, dan anti-Semitisme di Eropa memuncak dalam peristiwa Holocaust yang tidak pernah ada sebelumnya. Besok saya akan mengunjungi Buchenwald yang menjadi bagian dari jaringan kamp-kamp tempat kaum Yahudi diperbudak, disiksa, ditembak, dan digas hingga tewas oleh Third Reich. Enam juta orang Yahudi terbunuh – lebih banyak dari seluruh populasi Yahudi di Israel hari ini. Mengingkari fakta tersebut adalah tidak berdasar, bodoh, dan penuh kebencian. Mengancam Israel dengan penghancuran – atau mengulangi stereotip keji tentang umat Yahudi – sungguh sangat salah dan hanya akan membangkitkan kembali ingatan yang terperih di benak umat Yahudi sembari mencegah perdamaian yang patut dimiliki rakyat di kawasan ini.

Di sisi lain, tidak bisa diingkari bahwa rakyat Palestina – baik yang Muslim maupun yang Kristen – telah menderita dalam perjuangan memperoleh tanah air. Lebih dari enam puluh tahun, mereka telah merasakan sakitnya tidak memiliki tempat tinggal. Banyak yang menunggu di kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, Gaza, dan tanah-tanah tetangga untuk sebuah kehidupan yang damai dan aman yang belum pernah mereka jalani. Mereka menerima hinaan setiap hari – besar dan kecil – yang hadir bersama pendudukan. Jadi janganlah ada keraguan: situasi yang dihadapi rakyat Palestina tidaklah dapat ditoleransi. Amerika tidak akan bersikap tidak acuh terhadap aspirasi sah Palestina atas martabat, kesempatan, dan sebuah negara milik mereka sendiri.

Selama beberapa dekade, yang ada hanyalah jalan buntu: Dua rakyat dengan aspirasi yang sah, masing-masing memiliki sejarah menyakitkan yang membuat kompromi sulit dilakukan. Adalah mudah untuk menuding – rakyat Palestina menuding hilangnya tempat tinggal akibat berdirinya negara Israel, dan rakyat Israel menuding permusuhan yang terus menerus dan serangan dari dalam batas negaranya sendiri dan dari luar sepanjang sejarah negara tersebut. Tapi jika kita melihat konflik ini hanya dari satu sisi mana pun, maka kita akan dibutakan dari kebenaran: satu-satunya resolusi adalah aspirasi kedua pihak diwujudkan melalui dua negara, di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing hidup dalam damai dan keamanan. (tepuk tangan)

Ini adalah kepentingan Israel, kepentingan Palestina, dan kepentingan Amerika. Itu sebabnya saya berniat untuk secara pribadi mengejar hasil ini, dengan segala kesabaran yang dituntut oleh tugas ini. (tepuk tangan) Kewajiban-kewajiban yang telah disepakati pihak-pihak menurut Peta Jalan telah jelas. Supaya perdamaian terwujud, waktunya bagi mereka – dan bagi kita semua – untuk melakukan tanggung jawab kita.

Warga Palestina harus meninggalkan kekerasan. Perlawanan lewat kekerasan dan pembunuhan adalah salah dan tidak akan berhasil. Selama berabad-abad, rakyat kulit hitam di Amerika menderita hentakan pecut sebagai budak dan penghinaan akibat pemisahan berdasarkan warna kulit. Tetapi bukan kekerasan yang memenangkan hak-hak

persamaan sepenuhnya. Sebuah tuntutan damai namun penuh tekad bagi realisasi kondisi ideal yang merupakan inti dari pendirian Amerika. Kisah sama ini juga diceritakan oleh rakyat mulai dari Afrika Selatan sampai Asia Selatan; dari Eropa Timur sampai Indonesia. Sebuah kisah yang mengandung kebenaran yang sederhana: bahwa kekerasan merupakan sebuah jalan buntu. Bukanlah sebuah tanda keberanian atau kekuasaan kalau menembak roket ke anak-anak yang sedang tidur, atau meledakkan perempuan tua di dalam bis. Itu bukanlah cara untuk mengklaim moralitas; namun itu merupakan cara untuk menghilangkannya.

Kini waktunya untuk warga Palestina memusatkan perhatian kepada apa yang bisa mereka bangun. Penguasa Palestina harus mengembangkan kemampuan untuk memerintah, dengan institusi yang melayani kebutuhan rakyatnya. Hamas memiliki dukungan di sebagian kalangan rakyat Palestina, tetapi mereka juga punya tanggung jawab. Guna memainkan peran yang memenuhi aspirasi rakyat Palestina, dan untuk mempersatukan rakyat Palestina, Hamas harus mengakhiri kekerasan, menghormati persetujuan di masa lalu dan mengakui hak eksistensi Israel.

Secara bersamaan, rakyat Israel harus mengakui bahwa sebagaimana hak Israel untuk eksis tidak bisa dibantah, demikian pula halnya dengan hak Palestina. Amerika Serikat tidak menerima keabsahan dari mereka yang berniat melenyapkan Israel ke dalam laut, tetapi kami juga tidak menerima keabsahan dari penerusan pembangunan pemukiman (tepuk tangan) Yahudi. Pekerjaan konstruksi ini melanggar persetujuan sebelumnya dan melemahkan usaha mencapai perdamaian. Sudah tiba waktunya pembangunan pemukiman ini dihentikan. (tepuk tangan)

Israel harus memenuhi kewajibannya untuk memastikan rakyat Palestina bisa hidup dan bekerja serta membangun masyarakat mereka. Selain menghancurkan banyak keluarga Palestina, terus berlangsungnya krisis kemanusiaan di Gaza juga tidak memperkuat keamanan Israel; begitu pula halnya dengan terus berlangsungnya kelangkaan peluang di Tepi Barat. Kemajuan dalam kehidupan sehari-hari rakyat Palestina harus menjadi bagian dari peta jalan menuju perdamaian, dan Israel harus mengambil langkah-langkah konkrit untuk memberdayakan kemajuan semacam itu.

Akhirnya, Negara-Negara Arab harus menyadari bahwa Inisiatif Perdamaian Arab merupakan awal yang penting, tetapi bukan akhir dari tanggung jawab mereka. Konflik Arab – Israel tidak bisa lagi dipakai untuk mengalihkan perhatian rakyat negara-negara Arab dari masalah-masalah lainnya. Sebaliknya, konflik itu harus menjadi penggerak untuk membantu rakyat Palestina mengembangkan institusi yang akan melanggengkan negara mereka; mengakui hak Israel; serta memilih kemajuan ketimbang fokus pada masa lalu yang begitu melemahkan.

Amerika akan menyesuaikan kebijakannya dengan mereka yang memperjuangkan perdamaian dan mengatakan secara terbuka apa yang kami katakan secara pribadi kepada warga Israel, Palestina, dan Negara-Negara Arab. (tepuk tangan) Kita tidak bisa memaksakan perdamaian. Tetapi secara pribadi, banyak orang Muslim menyadari bahwa Israel tidak akan lenyap; juga banyak orang Israel menyadari perlunya kehadiran sebuah

negara Palestina. Waktunya sudah tiba bagi kita untuk bertindak berdasarkan apa yang oleh setiap orang diketahui merupakan hal yang benar.

Terlalu banyak air mata sudah diteteskan. Terlalu banyak darah sudah ditumpahkan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berjuang menciptakan sebuah masa dimana para ibu Israel dan Palestina bisa menyaksikan anak-anak mereka tumbuh tanpa ketakutan; masa dimana Tanah Suci dari ketiga agama besar merupakan tempat perdamaian yang diinginkan Allah; masa dimana Jerusalem merupakan tempat tinggal aman dan langgeng bagi orang Yahudi dan Kristen dan Muslim, dan merupakan sebuah tempat untuk semua keturunan Abraham hidup bersama secara damai sebagaimana dikisahkan dalam ISRA, ketika Musa, Yesus dan Muhammad (damai bersama mereka) bergabung dalam ibadah doa. (tepuk tangan)

Sumber ketegangan ketiga adalah kepentingan kita bersama sehubungan hak-hak dan tanggung jawab negara-negara atas senjata nuklir.

Isu ini menjadi sumber ketegangan baru-baru ini antara Amerika dan Republik Islam Iran. Selama bertahun-tahun, Iran mendefinisikan dirinya sebagian lewat oposisinya terhadap negara saya, dan memang ada sejarah yang kacau di antara kami. Di tengah-tengah Perang Dingin, Amerika memainkan peran dalam penggulingan pemerintah Iran yang terpilih secara demokratik. Sejak Revolusi Islam, Iran telah memainkan peran dalam tindak penyanderaan dan kekerasan terhadap pasukan dan warga sipil Amerika. Sejarah ini diketahui secara luas. Daripada terperangkap dalam masa lalu, saya telah menjelaskan kepada para pemimpin dan rakyat Iran bahwa negara saya siap untuk melangkah maju. Pertanyaannya kini, bukanlah apa yang ditentang Iran, tetapi masa depan apa yang ingin dibangunnya.

Sulit untuk mengatasi puluhan tahun ketidakpercayaan, tetapi kami akan maju dengan keberanian, kebenaran dan tekad. Banyak isu yang harus dibahas oleh kedua negara kita, dan kami siap melangkah maju tanpa prasyarat namun didasarkan pada sikap saling menghormati. Tetapi jelas bagi semua pihak yang berkepentingan bahwa dalam soal senjata nuklir kita telah mencapai titik yang menentukan. Ini bukan sekedar terkait kepentingan Amerika, ini berhubungan dengan pencegahan perlombaan senjata nuklir yang bisa menyebabkan wilayah ini terjerumus ke dalam jalur sangat berbahaya dan menghancurkan tatanan non-proliferasi global.

Saya memahami mereka yang memprotes bahwa beberapa negara memiliki senjata sementara yang lainnya tidak. Tak satupun negara bisa menentukan negara-negara mana yang boleh memiliki senjata nuklir. Itulah sebabnya saya secara kuat mempertegas komitmen Amerika untuk mengusahakan sebuah dunia di mana tak satu pun negara memiliki senjata nuklir. (tepuk tangan) Dan setiap negara – termasuk Iran – harus punya akses ke energi nuklir untuk tujuan damai apabila ia patuh pada tanggung jawabnya dibawah Persetujuan Non-Proliferasi Nuklir. Komitmen itu merupakan inti dari Persetujuan itu, dan harus diberikan kepada semua pihak yang mematuhinya.

Isu keempat yang akan saya tanggapi adalah demokrasi.

Saya percaya pada sebuah sistem pemerintahan yang memberi hak bersuara kepada rakyatnya, dan yang menghormati penegakan hukum serta hak untuk semua manusia. Saya tahu bahwa ada kontroversi tentang penggalakkan demokrasi dalam tahun-tahun terakhir ini, dan sebagian dari kontroversi ini terkait dengan perang di Irak. Saya perjelas: sistem pemerintahan apa pun tidak bisa dipaksakan kepada sebuah negara oleh negara lainnya.

Tetapi hal itu tidak mengurangi komitmen saya kepada negara-negara yang mencerminkan keinginan rakyatnya. Setiap negara menghidupkan prinsip-prinsipnya dengan caranya sendiri, yang berasal dari tradisi rakyatnya. Amerika tidak berpretensi tahu apa yang terbaik untuk semua orang, sebagaimana juga kami tidak berpretensi bahwa kami bisa menentukan hasil dari sebuah pemilihan damai. Tetapi saya memiliki keyakinan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bahwa semua orang merindukan hal-hal tertentu: Kemampuan untuk mengungkapkan pendapat dan ikut menentukan bagaimana bentuk pemerintahan; mempercayai penegakan hukum dan penyelenggaraan keadilan yang sama untuk setiap orang; pemerintahan yang transparan dan tidak mencuri dari rakyatnya; kebebasan untuk hidup sesuai pilihan masing-masing. Itu bukan sekedar ide-ide Amerika, itu adalah hak asasi manusia dan oleh karena itu kami akan mendukungnya di mana saja.

Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: pemerintahan-pemerintahan yang melindungi hak-hak ini pada akhirnya akan lebih stabil, sukses dan aman. Tak ada garis lurus untuk menciptakan janji itu. Tetapi yang jelas adalah: Memberangus ide-ide tidak pernah berhasil melenyapkannya. Amerika menghormati hak-hak dari semua suara damai dan patuh hukum agar didengar di seluruh dunia meskipun kita tidak sepakat dengan mereka. Dan kami menyambut gembira semua pemerintahan terpilih dan damai – asalkan mereka memerintah dengan menghormati rakyatnya. Dimanapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua fihak yang memegang kekuasaan,

Butir ini penting karena ada yang memperjuangkan demokrasi hanya pada saat mereka tidak berkuasa; setelah berkuasa, mereka secara keji memberangus hak-hak orang lain. (tepuk tangan) Di manapun kekuasaan itu berada, pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat merupakan standar tunggal untuk semua pihak yang memegang kekuasaan. anda harus mempertahankan kekuasaan lewat konsensus, bukan pemaksaan; anda harus menghormati hak-hak minoritas, dan berpartisipasi dalam semangat toleransi dan kompromi, anda harus mendahulukan kepentingan rakyat anda dan usaha sah dari proses politik di atas kepentingan partai. Tanpa ramuan ini pemilihan saja tidak akan menciptakan demokrasi yang murni.

Isu kelima yang harus kita tanggapi bersama adalah kebebasan beragama.

Islam memiliki sebuah tradisi toleransi yang patut dibanggakan. Kita menyaksikan hal ini dalam sejarah Andalusia dan Kordoba. Saya menyaksikan hal itu langsung ketika masih kanak-kanak di Indonesia, di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Itulah semangat yang kita butuhkan kini.

Orang di setiap negara harus bebas memilih dan menjalankan keyakinan mereka berdasarkan keyakinan pikiran, hati dan jiwa. Toleransi ini penting agar agama bisa berkembang, tetapi juga ditantang dengan berbagai cara.

Di kalangan Muslim tertentu ada kecenderungan yang merisaukan, yakni mengukur kedalaman keyakinan diri sendiri lewat penolakan keyakinan orang lain. Kebhinekaan agama yang memperkaya harus ditegakkan – apakah itu kelompok Maronit di Lebanon atau Koptik di Mesir. (tepuk tangan) Dan garis pemisah juga harus dihilangkan di antara warga Muslim, sebagaimana perpecahan antara Sunni dan Syiah telah mengakibatkan kekerasan yang tragis, khususnya di Irak.

Kebebasan beragama penting bagi kemampuan rakyat hidup bersama. Kita harus senantiasa menelaah cara-cara yang kita pakai untuk melindunginya. Misalnya, di Amerika Serikat, peraturan sumbangan amal telah mempersulit warga Muslim untuk memenuhi kewajiban agama mereka. Itulah sebabnya saya bertekad untuk bekerja sama dengan warga Muslim Amerika guna memastikan mereka bisa memenuhi zakat.

Juga penting agar negara-negara Barat mencegah larangan kepada warganegara Muslim untuk mempraktikkan agama sesuai kehendak mereka – misalnya, dengan mendikte pakaian apa yang boleh dikenakan seorang perempuan Muslim. Sederhananya, kita tidak bisa menyembunyikan ketidaksenangan terhadap agama apapun lewat alasan liberalisme.

Keyakinan seharusnya mempersatukan kita. Itulah sebabnya kami mengikhtiarkan proyek-proyek di Amerika yang mempertemukan warga Kristen, Muslim dan Yahudi. Itulah sebabnya kami menyambut gembira usaha dialog Antar Agama Raja Abdullah dan kepemimpinan Turki dalam Aliansi Keberadaban. Di seluruh dunia kita bisa memanfaatkan dialog menjadi pelayanan Antar Keyakinan, sehingga jembatan di antara berbagai rakyat mengarah pada tindakan – apakah itu berupa perang melawan malaria di Afrika atau menyediakan bantuan bencana alam.

Isu keenam yang ingin saya tanggapi adalah hak-hak perempuan.

Saya tahu ada perdebatan tentang isu ini. Saya menolak pandangan beberapa pihak di Barat bahwa perempuan yang memilih untuk menutupi rambutnya seakan-akan tidak memiliki persamaan hak, tetapi saya juga berpendapat bahwa seorang perempuan yang tidak bisa menikmati pendidikan tidak diberi kesamaan hak. Dan bukan kebetulan bahwa negara-negara di mana kaum perempuannya terdidik secara baik juga makmur.

Saya perjelas: isu-isu mengenai persamaan hak perempuan bukan semata-mata merupakan isu untuk Islam. Di Turki, Pakistan, Bangladesh dan Indonesia, kita saksikan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, mereka memilih seorang perempuan untuk memimpin. Sementara itu, perjuangan bagi persamaan hak perempuan masih terus merupakan aspek dalam kehidupan di Amerika, dan di negara-negara di seluruh dunia. Itulah sebabnya Amerika akan bermitra dengan setiap negara yang mayoritas penduduknya Muslim guna mendukung perluasan pemberantasan buta huruf

untuk perempuan, dan membantu perempuan muda memperjuangkan pekerjaan lewat pinjaman untuk usaha kecil yang membantu rakyat merealisasikan cita-cita mereka.

Saya yakin putri-putri kita bisa menyumbang kepada masyarakat setara seperti putra-putra kita, (tepuk tangan) dan kemakmuran kita bersama bisa dimajukan dengan memberi kesempatan kepada semua orang – laki-laki dan perempuan – mencapai potensi mereka sepenuhnya. Saya berpendapat perempuan tidak harus membuat pilihan sama seperti laki-laki agar mencapai kesamaan, dan saya menghormati perempuan yang memilih peran tradisional dalam menjalankan kehidupan mereka. Tetapi hal itu haruslah merupakan pilihan mereka sendiri.

Akhirnya, saya ingin membahas pembangunan ekonomi dan kesempatan.

Saya tahu untuk banyak kalangan, wajah globalisasi bertentangan. Internet dan televisi bisa mengantarkan pengetahuan dan informasi, tetapi juga seksualitas yang bersifat ofensif dan kekerasan tak berperi kemanusiaan. Perdagangan bisa menciptakan kekayaan dan peluang baru, tetapi juga gangguan dan perubahan di masyarakat. Di semua negara – termasuk negara saya – perubahan ini bisa menyebabkan ketakutan. Ketakutan karena akibat modernitas kita kehilangan kendali atas pilihan ekonomi kita, politik kita dan yang terpenting, identitas kita – hal-hal yang paling kita hargai dari masyarakat kita, keluarga kita, tradisi kita dan keyakinan kita.

Tetapi saya juga tahu kemajuan manusia tidak bisa ditampik. Tidak perlu ada kontradiksi antara pembangunan dan tradisi. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan membina ekonomi mereka sambil tetap mempertahankan budaya mereka. Hal yang sama juga berlaku pada kemajuan mengagumkan dalam Islam mulai dari Kuala Lumpur sampai ke Dubai. Di masa kuno dan di masa kita, masyarakat Muslim membuktikan bahwa mereka mampu berada di garis depan inovasi dan pendidikan.

Ini penting karena tak ada strategi pembangunan yang semata-mata didasarkan pada apa yang dihasilkan tanah, dan strategi pembangunan juga tidak bisa dipertahankan kalau generasi mudanya tidak memiliki pekerjaan. Banyak Negara Teluk menikmati kekayaan sebagai akibat penghasilan minyaknya, dan beberapa sudah mulai memusatkan perhatian pada pembangunan yang lebih luas. Tetapi kita semua harus menyadari bahwa pendidikan dan inovasi akan menjadi faktor penentu dari abad ke 21. (tepuk tangan) dan di banyak masyarakat Muslim masih kekurangan investasi dalam bidang-bidang ini..Saya tekankan hal itu di negara saya. Dan sementara Amerika di masa lalu memusatkan perhatian pada minyak dan gas alam di bagian dunia ini, kami kini menghendaki hubungan yang lebih luas.

Dalam pendidikan, kami akan memperluas program pertukaran dan memperbanyak bea siswa, seperti yang mengantar ayah saya ke Amerika, sementara juga mendorong lebih banyak warga Amerika untuk belajar di tengah masyarakat Muslim. Dan kami akan menempatkan siswa-siswa Muslim yang menjanjikan di tempat-tempat magang di Amerika; melakukan investasi dalam pembelajaran online untuk guru-guru dan anak-

anak di seluruh dunia; dan menciptakan jaringan online baru, sehingga seorang remaja di Kansas mampu berkomunikasi langsung dengan remaja di Kairo.

Dalam rangka pembangunan ekonomi, kami akan menciptakan sebuah korps relawan bisnis baru untuk bermitra dengan counterpartnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Dan saya akan menyelenggarakan KTT Kewiraswastaan tahun ini untuk mengidentifikasi bagaimana kita bisa mempererat hubungan antara pemimpin bisnis, yayasan dan wiraswasta sosial di Amerika dan masyarakat Muslim di seluruh dunia.

Dalam bidang sains dan teknologi, kami akan meluncurkan sebuah dana baru untuk mendukung pembangunan teknologi di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, dan membantu mentransfer ide-ide ke pasar-pasar sehingga tercipta lapangan pekerjaan. Kami akan membuka pusat keunggulan sains di Afrika, Timur Tengah dan Asia Tenggara serta mengangkat Utusan Sains baru untuk bekerja sama dalam program-program yang mengembangkan sumber energi baru, menciptakan lapangan pekerjaan hijau, digitalisasi catatan, air bersih dan menumbuhkan tanaman panen baru. Dan hari ini saya mengumumkan sebuah usaha global baru bersama Organisasi Konferensi Islam guna memberantas polio. Dan kita juga akan memperluas kemitraan dengan masyarakat Muslim guna menggalakkan kesehatan anak dan ibu.

Semua ini harus dilakukan lewat kemitraan. Rakyat Amerika siap bergabung dengan warganegara dan pemerintahan; organisasi kemasyarakatan, pemimpin agama dan bisnis di masyarakat Muslim diseluruh dunia guna membantu rakyat kita memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.

Isu-isu yang telah saya uraikan tidak mudah ditanggapi. Tetapi kita punya tanggung jawab untuk bergabung demi memperjuangkan dunia yang kita cita-citakan – sebuah dunia di mana ekstremis tidak lagi mengancam rakyat kita, dan pasukan Amerika bisa pulang; sebuah dunia di mana rakyat Israel dan Palestina masing-masing memiliki negara mereka sendiri yang aman, dan energi nuklir dipergunakan untuk tujuan damai; sebuah dunia di mana pemerintahan melayani warganegaranya serta hak-hak dari semua umat Allah dihormati. Ini merupakan kepentingan bersama. Itulah dunia yang kita cita-citakan, tetapi hal itu hanya kita bisa capai bersama.

Saya tahu ada banyak – Muslim dan non-Muslim – yang mempertanyakan apakah kita bisa membina permulaan baru ini. Beberapa ingin menghasut api perpecahan, dan menghalangi kemajuan. Beberapa mengatakan hal ini tidak ada gunanya – bahwa kita sudah ditakdirkan untuk berseteru dan berbagai peradaban ditakdirkan beradu. Banyak lagi yang sekedar skeptis bahwa perubahan nyata bisa terselenggara. Begitu banyak ketakutan, begitu banyak ketidak percayaan. Tetapi kalau kita memilih untuk terperangkap dalam masa lalu maka kita tidak pernah akan melangkah maju. Dan saya secara khusus ingin mengatakan kepada generasi muda dari setiap kepercayaan, di setiap negara – anda, lebih dari orang lain, memiliki kemampuan untuk menata kembali dunia, menyusun kembali dunia.

Kita semua menghuni dunia ini untuk waktu yang singkat. Pertanyaannya adalah apakah kita melewatkan waktu itu terpusat pada hal-hal yang memecah belah kita, atau apakah kita mendedikasikan diri pada usaha – usaha berkesinambungan – untuk mencapai kesamaan, memusatkan perhatian pada masa depan bagi anak-anak kita dan menghargai harga diri semua insan manusia.

Hal-hal ini tidaklah mudah. Lebih mudah memulai perang ketimbang menghentikannya. Lebih mudah menuduh pihak lain ketimbang melakukan introspeksi diri; untuk melihat apa yang berbeda pada diri seseorang ketimbang menemukan kesamaan kita. Tetapi ada pula sebuah aturan yang merupakan inti setiap agama – bahwa kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh mereka. Kebenaran ini berlaku lintas negara dan lintas rakyat – sebuah keyakinan yang tidak baru, yang tidak hitam atau putih atau coklat; bukan kebenaran Kristen, atau Muslim atau Yahudi. Ini merupakan keyakinan yang berdetak dalam dari buaian keberadaban, dan masih tetap berdetak dalam jantung miliaran manusia. Ini merupakan rasa percaya pada orang lain, dan hal itulah yang membawa saya kesini hari ini.

Kita memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang kita cita-citakan, tetapi hanya apabila kita punya keberanian untuk memasuki awal yang baru, sambil ingat pada apa yang tertulis.

Kitab Suci Al Quran mengatakan, “Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah ciptakan kamu sekalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal…”

Talmud mengatakan kepada kita: “Seluruh Torah adalah untuk maksud menggalakkan perdamaian.”

Kitab Suci Injil mengatakan pada kita, “Diberkatilah pencipta perdamaian, karena mereka akan disebut putra-putra Allah.”

Rakyat seluruh dunia bisa hidup bersama dalam damai. Kita tahu itu merupakan visi Allah. Kini, itu menjadi kewajiban kita di Dunia. Terima kasih. Dan semoga damai Allah bersama anda. Terima kasih banyak. Terima kasih

Teks Pidato Pelantikan Presiden AS Barack Hussein ObamaRabu, 21 Januari 2009 18:20 WIB | Mancanegara | | Dibaca 4683 kaliJakarta (ANTARA News) - Berikut teks lengkap pidato pelantikan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama, Selasa 20 Januari waktu AS, di Capitol Hill, Washington DC dari siaran pers Kedutaan Besar AS di Jakarta, Rabu.

Rekan-rekan sebangsa dan setanah air:

Saya berdiri di sini hari ini terenyak oleh tugas di depan kita, berterima kasih atas

kepercayaan yang Anda berikan, dan teringat akan pengorbanan oleh leluhur kita. Saya berterima kasih kepada Presiden Bush atas jasanya pada bangsa kita, dan juga atas kemurahan hati dan kerjasama yang ditunjukkannya pada masa transisi ini.

Sudah 44 warga Amerika yang diambil sumpahnya sebagai presiden. Kata-kata dalam sumpah jabatan itu telah diucapkan dimasa kemakmuran dan dimasa damai. Namun, ada kalanya sumpah jabatan kepresidenan itu diambil di tengah-tengah situasi gawat dan badai yang berkecamuk. Pada saat-saat demikian, Amerika terus melaksanakan tugasnya bukan hanya karena ketrampilan atau visi mereka yang memegang jabatan tinggi, tetapi karena kita rakyat Amerika tetap setia pada cita-cita leluhur kita dan setia pada dokumen-dokumen yang dirumuskan oleh para pendiri negara kita.

Demikianlah adanya, dan memang selalu demikianlah yang harus dilakukan oleh generasi orang Amerika yang sekarang ini.

Memang sudah dipahami bahwa kita sedang berada di tengah krisis. Bangsa kita kini sedang terlibat perang, melawan jaringan kekerasan dan kebencian yang jauh jangkauannya. Ekonomi kita sangat lemah, akibat ketamakan dan tindakan tidak bertanggung jawab oleh sebagian pihak, tetapi juga karena kegagalan kita secara kolektif untuk membuat pilihan-pilihan sulit, dan kegagalan kita mempersiapkan bangsa bagi abad baru. Banyak rumah yang disita, lapangan kerja menurun drastis, bisnis gulung tikar. Asuransi kesehatan kita terlalu mahal, murid-murid sekolah kita banyak yang gagal, dan setiap hari terlihat bukti bahwa cara-cara kita menggunakan energi justru memperkuat musuh-musuh kita dan mengancam planet kita.

Semua itu merupakan indikator krisis, yang didasarkan pada data dan statistik. Yang kurang bisa diukur tetapi tidak kurang pentingnya adalah melemahnya keyakinan di seluruh pelosok Amerika - kekhawatiran terus-menerus bahwa kemerosotan Amerika tak terelakkan lagi, dan bahwa generasi berikutnya harus mengurangi harapannya.

Hari ini saya katakan kepada kalian bahwa tantangan-tantangan yang kita hadapi adalah nyata. Tantangan ini serius dan banyak. Tidak akan mudah diatasi dan tidak bisa diatasi dalam jangka pendek. Tetapi ketahuilah ini, Amerika, semua tantangan ini akan kita hadapi.

Pada hari ini, kita berkumpul karena kita lebih memilih harapan daripada ketakutan, kesatuan tujuan daripada konflik dan pertentangan.

Pada hari ini, kita berkumpul untuk menyatakan berakhirnya keluhan-keluhan kecil dan janji-janji palsu, saling-tuduh dan berbagai dogma lusuh yang sudah terlalu lama mencekik politik kita.

Negara kita masih muda, dengan meminjam kata-kata dalam Kitab Suci, saatnya sudah tiba kita menepiskan sifat ke kanak-kanakan. Saatnya sudah tiba untuk menandaskan lagi semangat kita yang tegar, memilih jalan sejarah yang lebih baik, melanjutkan pemberian berharga, gagasan mulia yang diteruskan dari generasi ke generasi: yaitu janji yang

diberikan Tuhan bahwa semua kita setara, kita semua bebas, dan semua layak memperoleh kesempatan untuk mengejar kebahagiaan sepenuhnya.

Dalam menandaskan kebesaran bangsa kita, kita memahami bahwa kebesaran tak pernah diberikan begitu saja. Mencapai kebesaran harus dengan kerja-keras. Perjalanan yang kita tempuh tak pernah mengambil jalan pintas. Perjalanan kita bukan bagi mereka yang tidak-tabah, bukan bagi mereka yang suka bermalas-malas daripada bekerja, atau bagi yang hanya mengejar kekayaan dan menjadi terkenal. Perjalanan kita adalah bagi mereka yang berani mengambil risiko, mereka yang melakukan hal-hal baru dan membuat barang-barang baru. Sebagian mereka menjadi terkenal, tetapi acap kali laki-laki dan perempuan tak dikenal dalam pekerjaan mereka, yang telah mengusung kita di atas jalan berbatu-batu menuju kemakmuran dan kebebasan.

Demi kita, mereka mengemas harta milik mereka yang tak seberapa dan menyeberangi samudera untuk mencari kehidupan baru.

Demi kita, mereka banting-tulang dengan upah minim dan menetap di Pantai Barat, menahankan pukulan cambuk dan mencangkul tanah yang keras.

Demi kita, mereka bertempur dan mati, di tempat-tempat seperti Concord dan Gettysburg, Normandy dan Khe San.

Lelaki dan perempuan ini terus menerus berjuang dan berkorban dan bekerja hingga kulit tangan mereka mengelupas, agar kita bisa mengecap kehidupan yang lebih baik. Mereka melihat Amerika lebih besar dari jumlah ambisi kita secara perorangan, lebih besar daripada perbedaan status keluarga, atau kekayaan ataupun partai atau kelompok.

Perjalanan inilah yang kita teruskan hari ini. Kita masih merupakan negara paling makmur dan paling berpengaruh di Bumi. Para pekerja kita tidak kurang produktifnya dibandingkan dengan waktu ketika krisis ini dimulai. Otak kita masih seinventif seperti pada awal krisis ini, barang dan jasa kita masih diperlukan seperti pada minggu lalu atau bulan lalu, atau tahun lalu. Kapasitas kita tetap tak berkurang. Tetapi masa kita untuk berdiam diri, melindungi kepentingan sempit dan menunda keputusan-keputusan yang tak menyenangkan, sudah harus berlalu. Mulai hari ini, kita harus bangkit sendiri, membersihkan debu yang menempel, dan mulai lagi bekerja memperbaharui Amerika.

Karena kemana saja kita melihat, ada yang harus kita lakukan. Keadaan ekonomi mengharuskan tindakan yang berani dan segera, dan kita akan bertindak bukan hanya untuk menciptakan lapangan kerja baru, tetapi untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan. Kita akan membangun jalan dan jembatan, jaringan listrik dan jaringan digital yang menyuburkan perdagangan dan mengikat kita bersama. Kita akan memulihkan sains ke tempat yang selayaknya, dan menggunakan kehebatan teknologi untuk meningkatkan mutu perawatan kesehatan dan menurunkan biayanya. Kita akan memanfaatkan tenaga matahari, tenaga angin dan lainnya untuk menjalankan mobil-mobil dan pabrik-pabrik kita. Dan kita akan mengubah sekolah dan perguruan tinggi dan universitas untuk memenuhi tuntutan era baru. Semua ini bisa kita lakukan. Dan semua ini akan kita

lakukan.

Tentu, ada orang yang meragukan skala ambisi kita - dengan mengatakan sistem ekonomi kita tidak bisa mentolerir terlalu banyak rencana besar. Daya ingat mereka tidak cukup lama. Mereka telah melupakan apa yang dilakukan negara ini, apa yang bisa dicapai oleh laki-laki dan perempuan yang hidup bebas, apabila imajinasi digabung demi tujuan bersama, dan kebutuhan digabung dengan ketabahan.

Yang tidak dipahami oleh mereka yang sinis adalah tanah tempat mereka berpijak telah bergeser, bahwa argumen basi dalam politik yang telah begitu lama menyita waktu kita - tidak lagi berlaku. Pertanyaan yang kita ajukan sekarang bukan apakah pemerintah kita terlalu besar atau terlalu kecil, tetapi apakah pemerintah kita bisa berfungsi, apakah pemerintah bisa menolong para keluarga mencari pekerjaan dengan upah yang layak, asuransi kesehatan yang terjangkau, dan pensiun yang berarti. Apabila jawabannya - ya, kita berniat untuk terus bergerak maju. Apabila jawabannya tidak, programnya akan dihentikan. Dan mereka yang mengatur uang rakyat akan dimintai pertanggung-jawabannya - supaya mengeluarkan uang secara bijaksana, mengubah kebiasaan buruk, dan melakukan bisnis kita dengan jujur - karena hanya dengan demikian kita bisa memulihkan kepercayaan penting antara rakyat dan pemerintah.

Kita juga tidak mempertanyakan apakah kekuatan pasar bebas itu baik atau buruk. Kekuatan pasar bisa membina kekayaan dan memperluas kebebasan kita. Tetapi krisis ini telah mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan yang ketat, kekuatan pasar bebas itu bisa terlepas dari kontrol, dan suatu bangsa tidak bisa makmur untuk waktu lama apabila hanya mementingkan orang kaya. Keberhasilan ekonomi kita tidak hanya tergantung pada besarnya Produk Domestik Bruto, tapi seberapa jauh meluasnya kemakmuran itu, pada kemampuan kita memberikan kesempatan kepada tiap orang yang mau bekerja, dan bukan karena belas kasihan karena itulah jalan yang paling pasti guna mencapai kemakmuran bersama.

Mengenai pertahanan kita bersama, kita menolak dan menganggap palsu pilihan antara keselamatan dan idaman atau cita-cita kita. Para Pendiri Negara ini dihadapkan pada bahaya yang tak terbayangkan, menyusun sebuah piagam untuk menjamin supremasi hukum dan hak setiap orang, sebuah piagam yang diperkuat oleh perjuangan generasi demi generasi. Semua cita-cita ini masih menerangi dunia, dan kita tidak akan meninggalkannya demi mencapai penyelesaian yang cepat. Karena itu, bagi semua orang dan pemerintahan yang menyaksikan pelantikan hari ini, mulai dari kota-kota yang termegah sampai ke desa kecil di mana ayah saya dilahirkan, ketahuilah bahwa Amerika adalah sahabat setia negara dan sahabat setiap lelaki, setiap perempuan, dan setiap anak yang menghendaki masa depan yang damai dan bermartabat, dan bahwa kita siap untuk memimpin lagi.

Ingatlah bahwa generasi-generasi sebelumnya menundukkan fasisme dan komunisme bukan hanya dengan misil dan tank, tetapi dengan aliansi yang kokoh dan keyakinan besar. Mereka memahami bahwa kekuatan saja tidak bisa melindungi kita, dan bahwa kekuatan itu tidak memberi kita hak berbuat sekehendak hati kita. Sebaliknya mereka

tahu bahwa kekuatan kita tumbuh melalui penggunaan yang bijaksana, keamanan kita berasal dari adilnya tujuan kita, kekuatan contoh yang kita berikan, dan kerendahan hati serta kesanggupan menahan diri.

Kita adalah penjaga warisan ini. Dibimbing oleh prinsip-prinsip ini, sekali lagi kita bisa menghadapi ancaman-ancaman baru itu yang menuntut upaya lebih besar, bahkan kerja-sama dan pemahaman lebih besar antar-negara. Kita akan mulai secara bertanggung jawab meninggalkan Irak kepada bangsa Irak, dan menempa perdamaian di Afghanistan. Bersama teman-teman lama dan bekas saingan kita, Amerika akan bekerja tanpa lelah untuk mengurangi ancaman nuklir, dan mengurangi bahaya pemanasan bumi. Kita tidak akan minta maaf atas cara kehidupan Amerika, tidak akan goyah dalam mempertahankannya, dan bagi mereka yang hendak mendorong tujuan mereka dengan terror dan membantai orang-orang tak bersalah, kami katakan kepada mereka, semangat kita lebih kuat dan tidak terpatahkan, kalian tidak akan unggul dari kami, dan kalian akan kami kalahkan.

Kami sadar bahwa warisan bangsa yang beraneka warna adalah suatu kekuatan, dan bukannya sebuah kelemahan. Bangsa kita terdiri dari orang Kristen dan Islam, Yahudi dan Hindu, dan bahkan orang-orang yang tidak percaya pada Tuhan. Kita telah dibentuk oleh campuran berbagai bahasa dan kebudayaan, yang berasal dari segala pelosok dunia. Dan karena kita telah merasakan pahitnya perang saudara dan segregasi rasial, dan keluar dari masa kegelapan menjadi sebuah bangsa yang lebih kuat dan lebih bersatu, kita yakin bahwa pada suatu hari nanti semua rasa kebencian akan hilang, bahwa semua garis-garis pembatas antar suku bangsa akan luluh, dan bahwa dunia ini akan menjadi semakin kecil. Kerendahan hati kita akan tampak dengan sendirinya, dan Amerika harus memainkan perannya dalam menyongsong era perdamaian yang baru.

Bagi dunia Muslim, kami akan mencari cara baru ke depan berdasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati. Bagi para pemimpin dunia yang berusaha menanam bibit konflik, atau menyalahkan dunia Barat atas kesulitan-kesulitan yang dialami masyarakatnya, ketahuilah bahwa rakyat Anda akan menilai Anda pada apa yang Anda bangun, bukan pada apa yang Anda musnahkan. Bagi mereka yang hendak menggenggam kekuasaan melalui korupsi dan kekejian dan membungkam orang yang tidak setuju pada kebijakan mereka, yakinlah bahwa kalian berada pada sisi yang keliru, tapi kami akan mengulurkan tangan jika kalian tidak lagi mengepalkan tinju.

Bagi rakyat negara-negara miskin, kami berjanji akan bekerja bersama kalian untuk membuat ladang kalian subur dan membuat air bersih mengalir, untuk memberi makan tubuh yang kelaparan, dan memenuhi kebutuhan mental. Dan kepada negara-negara seperti negara kita yang relatif menikmati kemakmuran, kita tidak bisa lagi bersikap tidak peduli pada kesengsaraan di luar perbatasan kita, dan kita tidak bisa menghabiskan sumber-sumber dunia tanpa mempedulikan dampaknya. Karena dunia sudah berubah dan kita harus berubah dengannya.

Sambil kita mempertimbangkan jalan yang terbentang di depan kita, kita mengingat dengan rasa terima kasih orang-orang Amerika yang gagah berani, yang pada saat ini,

berpatroli di gurun dan gunung yang sangat jauh. Ada sesuatu yang hendak mereka katakan pada kita hari ini, seperti yang dibisikkan sepanjang masa oleh para pahlawan kita yang kini dimakamkan di Arlington. Kita menghormati mereka bukan hanya karena mereka menjaga kebebasan kita tetapi karena mereka menunjukkan arti pengorbanan, kesediaan untuk mencari arti yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Dan pada saat ini, saat yang akan tercatat dalam sejarah generasi - semangat inilah yang harus ada pada kita semua.

Sebanyak apapun yang bisa dan harus dilakukan pemerintah, pada akhirnya kepercayaan dan tekad rakyat Amerika-lah yang diandalkan negara ini. Misalnya kebaikan hati untuk menampung orang yang kena musibah walaupun tidak kita kenal, atau pekerja yang tanpa pamrih rela mengurangi jam kerja mereka daripada melihat seorang teman di-PHK, yang membuat kita keluar dari kegelapan. Adalah keberanian para pemadam kebakaran untuk menerobos masuk ke rumah yang penuh asap, dan juga kesediaan orang tua untuk membesarkan anak, yang kelak akan menentukan nasib kita.

Tantangan kita mungkin baru. Alat-alat yang kita gunakan untuk mengatasinya mungkin baru. Tetapi pada nilai-nilai itulah keberhasilan kita bergantung - yaitu kerja keras dan kejujuran, ketabahan dan berlaku secara adil, toleransi dan rasa ingin tahu, kesetiaan dan patriotisme - semua itu sudah lama ada. Semua itu memang benar. Semua itu telah menjadi kekuatan kemajuan sepanjang sejarah. Jadi yang dituntut sekarang adalah kembalinya kepada nilai-nilai ini. Apa yang diperlukan dari kita sekarang ini adalah era pertanggungjawaban yang baru - suatu pengakuan, dari tiap orang Amerika, bahwa kita mempunyai kewajiban bagi diri kita sendiri, bagi negara kita dan bagi dunia, kewajiban yang kita lakukan dengan senang hati, bukan dengan bersungut-sungut, karena kita tahu tidak ada yang lebih memuaskan bagi jiwa kita, yang merupakan definisi karakter kita, daripada memberikan segalanya untuk menyelesaikan tugas yang sulit.

Inilah pengorbanan dan janji kewarganegaraan.

Inilah yang menjadi sumber keyakinan kita - pengetahuan bahwa Tuhan meminta kita untuk memperbaiki keadaan yang tidak pasti.

Inilah arti kebebasan dan kepercayaan kita- mengapa laki-laki dan perempuan dan anak-anak dari tiap ras dan tiap keyakinan bisa ikut dalam perayaan di lapangan yang indah ini, dan mengapa seorang lelaki yang ayahnya lebih 60 tahun lalu mungkin tidak dilayani di restoran, sekarang bisa berdiri di depan anda untuk diambil sumpahnya sebagai presiden.

Jadi marilah kita hari ini mengenang siapa kita dan sejauh mana jalan yang kita tempuh. Pada tahun kelahiran Amerika, pada bulan yang terdingin, sekelompok patriot berkumpul di depan api unggun yang mulai padam di bantaran sungai yang beku. Ibukota telah ditinggalkan, musuh terus maju, salju tampak berlumuran darah. Pada saat itu, ketika nasib revolusi kita sangat diragukan, bapak bangsa kita memerintahkan supaya kalimat berikut dibacakan kepada semua rakyat Amerika:

"Beritahukanlah pada dunia masa depan, bahwa di tengah musim dingin, saat apapun

tiada kecuali harapan dan kebajikan - bahwa kota dan negara, waspada akan bahaya bersama, akhirnya bersatu untuk menghadapinya."

Amerika; Dalam menghadapi musuh bersama, dalam masa sulit kita ini, mari kita ingat kata-kata emas itu. Dengan harapan dan kebajikan, mari kita hadapi bersama sekali lagi sungai beku ini, dan bertahan dari badai apapun yang akan tiba. Biarkan cucu-cucu kita berkata bahwa kita telah diuji dan kita menolak untuk mengakhiri perjalanan ini, bahwa kita tidak mundur dan mata kita terpaku ke ufuk fajar dan dengan berkat Tuhan, kita meneruskan anugerah kebebasan dan mengantarkannya dengan selamat bagi generasi masa depan.

“Pengakuan Aktivis Gender“

Saturday, 16 October 2010 09:26   E-mail |   Print   | PDF  

Ia akhirnya sadar. Sebelumnya pernah membenci Syariat, membenci Islam dan MUI. Bahkan mendukung gigolo. Baca CAP Adian ke-296

Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada hari Sabtu, 9 Oktober 2010,  bertempat di arena Indonesia Book Fair, Senayan Jakarta, saya meluncurkan novel berjudul “Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat” (Jakarta: GIP, 2010). Novel ini saya tulis dengan tujuan memudahkan kaum Muslim Indonesia untuk memahami pemikiran-pemikiran liberal dan bagaimana cara mengatasinya. Hingga kini, penyebaran ide-ide liberal dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya melalui penulisan novel, sinetron, dan film.

“Novel Kemi” ini sarat dengan pergulatan  pemikiran tingkat tinggi dan pergulatan jiwa dan pikiran para aktivis liberal.  Novel ini berkisah tentang dua orang santri cerdas yang berpisah jalan. Kemi (Ahmad Sukaimi), santri pertama, terjebak dalam paham liberalisme. Ia mengkhianati amanah Sang Kyai. Kemi salah pilih teman dan paham keagamaan. Ujungnya, ia terjerat sindikat kriminal pembobol dana-dana asing untuk proyek liberalisasi di Indonesia. Nasibnya berujung tragis. Ia harus dirawat di  sebuah Rumah Sakit Jiwa di Cilendek, Bogor.

Rahmat, santri kedua, selain cerdas dan tampan, juga tangguh dalam “menjinakkan” pikiran-pikiran liberal. Rahmat disiapkan khusus oleh Kyai Aminudin Rois untuk membawa kembali Kemi ke pesantren.  Meskipun misi utamanya gagal,  Rahmat berhasil “mengobrak-abrik” jaringan liberal yang membelit Kemi. Sejumlah aktivis dan tokoh liberal berhasil ditaklukkan dalam diskusi.

Di dalam novel ini, ada cerita Prof. Malikan, rektor Institut Studi Lintas Agama, tempat Rahmat dan Kemi kuliah, ditaklukkan Rahmat di ruang kelas.  Siti (Murtafiah), seorang aktivis kesetaraan gender, putri kyai terkenal di Banten, terpesona oleh kesalehan, kecerdasan, dan ketampanan Rahmat. Siti, akhirnya sadar dan bertobat, kembali ke orangtua dan pesantrennya, setelah bertahun-tahun bergelimang dengan pikiran dan aktivitas liberal. Rahmat juga berhasil menyadarkan “Kyai Dulpikir”, seorang Kyai liberal terkenal di Jawa Barat. Sang Kyai sempat bertobat dan wafat di ruang seminar.

Dalam catatan ini, ada baiknya kita simak pengakuan Siti Murtafiah, setelah dia tersadar dari kekeliruan paham liberal dan kesetaraan gender yang selama ini dia peluk dan dia perjuangkan. Siti mengaku telah terjerat berbagai pemikiran salah, secara perlahan-lahan. Ia sadar setelah bertemu Rahmat. Ia kemudian menyesal dan berjanji akan bertobat.  Siti terpesona oleh sikap dan pemikiran Rahmat, seorang santri kampung yang cerdas dan shalih.

Berikut ini petikan pengakuan Siti kepada Rahmat, akan kekeliruan pemikiran-pemikiran liberal yang digandrunginya selama ini:

”Coba perhatikan, Rahmat. Saya juga baru menyadari belakangan ini. Saya sudah terseret makin jauh. Dulu saya tertarik, karena selalu dikatakan, bahwa kita mengembangkan sikap terbuka, kritis, rasional, tidak partisan. Tapi, ketika sudah masuk ke lingkungan ini, kita tidak punya pilihan, kita juga dididik sangat partisan.  Jika dulu orang Muslim bangga mengutip Imam Syafii, Imam Ghazali, dan sebagainya, maka sekarang yang dibangga-banggakan adalah ilmuwan-ilmuwan orientalis. Katanya, kritis. Bahkan, karya-karya para ulama itu diakal-akali agar sesuai dengan pikiran mereka.

Yang tanpa sadar, kita disuruh membenci sesama Muslim, pelan-pelan kami mau tidak mau harus mengambil jarak dari aktivitas keislaman dan komunitas Muslim. Coba kamu perhatikan, pernah nggak kamu lihat Kemi shalat berjamaah ke masjid, aktif dalam majlis-majlis taklim, mengajar mengaji anak-anak, shalat tahajut, puasa sunnah, dan sebagainya. Lihat, siapa teman-teman dekatnya!  Ingat nggak kata Ali bin Abi Thalib, siapa teman kepercayaan kamu, itulah kamu.

Perhatikan juga apa yang selalu diomongkan dia. Dia tidak lagi bicara tentang aqidah Islam, bahwa iman itu penting, kesalehan itu penting. Tidak bicara tentang bahaya kemusyrikan dan kemurtadan. Padahal, sejak kecil di pesantren, dia sudah diajarkan kitab-kitab Tauhid yang membahas masalah syirik. Bahkan, kata syirik, kafir,  itu sudah dicoret dari kosakata dia. Syirik dan iman dianggap sama saja. Mukmin dan tidak mukmin dianggap sama. Islam dan bukan Islam disama-samakan. Padahal, al-Quran jelas-jelas membedakan derajat orang mukmin dengan derajat orang kafir.

Saya kadang bertanya, mengapa saya menjadi begini. Bahkan, di kepala saya yang ada bukan lagi bagaimana memahami al-Quran dengan baik dan benar, tetapi bagaimana agar al-Quran bisa saya gunakan untuk mendukung pemahaman saya tentang Pluralisme, liberalisme, toleransi, dan sebagainya. Teman saya sampai berusaha keras

untuk meraih gelar doktor dengan membuat metodologi Tafsir yang sesuai dengan pemikiran Pluralisme.

Semua itu tidak terjadi seketika. Perlu waktu panjang.  Sedikit demi sedikit, pikiran dibelokkan.  Tanpa sadar.  Perasaan dan pikiran dibelokkan.  Saya suatu ketika bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa saya tidak lagi mencintai saudara-saudara saya di Palestina? Bahkan, hati saya mulai condong pada kaum Yahudi. Saya suka melihat kemenangan Yahudi; yang saya lakukan adalah mencari-cari kelemahan orang Palestina dan kelebihan orang Yahudi.  Malah, saya sama sekali sudah tidak peduli dengan masalah umat Islam di Kasmir, Moro, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Saya menganggap semua itu adalah komoditas kaum fundamentalis untuk mencari popularitas.

Yang lebih saya kedepankan adalah isu-isu yang dibawa oleh negara-negara Barat, seperti isu radikalisme Islam, pluralisme,  fundamentalisme, dan sebagainya. Padahal, berapa ratus ribu bahkan jutaan penduduk sipil di negara-negara Muslim itu yang dibunuhi? Saya sudah menganggap bahwa mereka itu semua berhak dibunuh, karena mereka bagian dari kaum fundamentalis. Tidak ada diantara kami yang habis-habisan mengutuk pembunuhan manusia-manusia Muslim itu. Hanya sesekali keluar pernyataan, agar tidak terlalu dianggap antek Barat. Tapi, coba kalau ada satu saja orang bule yang tewas dibunuh oleh satu kelompok Islam, atau ada bom meledak di suatu tempat yang menewaskan puluhan orang, maka kami akan habis-habisan mengutuk.

Yang lain, ini yang menyadarkan saya, tiba-tiba tertanam dalam diri saya, perasaan benci pada syariat Islam, dan bahkan benci dengan kemenangan satu partai Islam dalam Pemilu. Saya benci sekali kalau ada orang ngomong syariat. Bahkan, saya pernah memberi masukan teman-teman Kristen agar mereka mengeluarkan pernyataan yang menolak syariat. Saya pernah bingung, kenapa saya bisa menjadi begini. Saya mengenakan kerudung, tetapi isi kepala saya sama sekali tidak suka dengan kerudung. Saya benci sekali kalau ada orang Islam atau organisasi Islam yang mencoba membatasi pakaian.

Bahkan saya pernah ikut merancang demonstrasi menentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Saya benar-benar termakan paham kebebasan. Saya benci MUI, yang menurut saya sok Islam sendiri. Saya mendukung Lia Eden, saya mendukung Ahmadiyah, saya benci semua orang Islam. Bahkan, pernah saya membenci ayah saya sendiri, karena saya melihat dia bersama para kyai di daerah saya mendatangi DPR,  meminta agar tayangan-tayangan porno dan tidak senonoh dihentikan penayangannya. Saya benci itu semua.

Kamu tahu Rahmat, karena untuk membuktikan saya sudah benar-benar menyatu dengan paham kebebasan, saya mendukung hak wanita untuk menjadi pelacur.  Saya menentang penutupan komplek-komplek WTS di berbagai kota. Melacur saya anggap sebagai hak asasi wanita. Menjadi gigolo juga hak asasi. Yang penting tidak mengganggu hak orang lain. Hak-hak kaum homo dan lesbi juga saya perjuangkan. Sebab saya sudah dicekoki paham kebebasan, bahwa mereka adalah manusia.

Saya tidak tahu, mengapa saya menjadi seperti ini. Semua pergaulan, kuliah, diskusi, kegiatan, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa, sampai saya tidak sadar, bahwa saya telah menjadi korban dari sebuah skenario besar. Saya korban. Kemi juga korban. Entah dia sadar atau tidak.

Bayangkan Rahmat, saya ini wanita, perempuan. Sampai karena sudah begitu merasuknya paham kesetaraan gender dalam diriku, saya tidak lagi mengakui laki-laki berhak memimpin rumah tangga. Saya benci jika dikasihani. Pernah saya naik bus, ada seorang laki-laki memberikan tempat duduknya karena kasihan saya berdiri, saya bentak dia. Saya mau suami saya yang nanti melayani saya, menyediakan minum buat saya, mengasuh anak saya, dan kalau perlu membawakan tas saya. Entah kenapa di kepala saya tertenam kebencian dan dendam kepada laki-laki, karena mereka telah menindas kaum saya selama umur manusia.

Suatu ketika, saya merenungkan semua itu dengan serius. Mengapa saya menjadi begini? Mengapa jadi begini? Itulah pertanyaan saya beberapa bulan terakhir ini. Saya sadar, tetapi saya tidak tahu, bagaimana saya akan keluar dari jeratan ini. Sudah terlalu jauh... Saya sulit keluar....Rahmat, entah bagaimana ujungnya perjalanan saya ini....”

”Saya sedih .... hati saya sangat perih... ingat ayah saya, Ibu saya, adik-adik saya...Saya dulu ingin membuktikan kepada mereka, bahwa saya bisa mandiri, saya bisa bebas, saya mau merdeka, saya tidak mau diatur lagi dengan berbagai belenggu. Saya minggat dari rumah, kuliah di satu kampus Islam Jakarta, lalu terakhir terseret ke kampus ini, karena ada beasiswa...Entahlah... sampai kapan saya akan terus seperti ini. Terkadang saya frustrasi...”

”Saya juga tidak tahu... ini sindikat atau tidak. Yang jelas, saya sudah tidak punya teman, tidak punya komunitas, malu untuk bergaul dengan sesama Muslimah. Pikiran saya yang sudah terjerat. Untuk membuang jerat-jerat pikiran ini tidak mudah. Saya sadar ini salah, tetapi saya seperti tidak berdaya untuk melawannya. Belum lagi, instruksi dan program-program yang rutin. Saya sering tak sadar menghujat-hujat Islam sendiri, memaki-maki umat Islam sendiri. Semua itu berjalan begitu saja tanpa bisa saya hindari. Saya sudah terjerat; terjerat oleh pikiran saya sendiri, terjerat oleh lidah saya sendiri! Saya sadar, saya geram, karena tidak berdaya untuk melepaskan diri dari semua keterjeratan ini... Saya tidak mampu... Padahal, di depan laki-laki saya selalu mencoba tampil perkasa, saya tidak mau dipandang rendah. Tapi, kenyataannya, saya tidak berdaya melawan pikiran saya sendiri...”.

Demikianlah sebagian pengakuan dan pertobatan Siti, seorang aktivis gender, kepada Rahmat. Siti akhirnya diracun oleh sindikat yang menjeratnya, karena dianggap berkhianat. Beruntung, dia masih bisa diselamatkan. Di akhir cerita, Siti membuktikan kesungguhannya untuk bertobat. Ia bahkan mengorbankan rasa cintanya pada Rahmat dan memilih berjuang membesarkan pesantren ayahnya. Ia lebih mengedepankan aktivitas dakwah dan pendidikan  Islam.

Kisah Siti, Kemi, dan Rahmat bisa dibaca lebih jauh dalam Novel Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat. Selamat membaca!

Untuk Apa Gereja Didirikan?

Tuesday, 21 September 2010 14:26   E-mail |   Print   | PDF  

“Indonesia merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya,” demikian tujuan misi Kristen. Baca CAP Adian ke-295!

Oleh: Dr. Adian Husaini*

KASUS penyegelan rumah milik jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing Bekasi, Jawa Barat, akhirnya berbuntut panjang. Jemaat HKBP tidak terima dengan keputusan pemerintah dan melakukan berbagai aksi demonstratif, yang akhirnya berujung pada insiden bentrokan jemaat HKBP dengan warga Muslim Bekasi. Sebagian kalangan kemudian mengangkat dan membesar-besarkan kasus ini sampai ke dunia internasional, sehingga memberikan citra negatif terhadap Indonesia.

Citra buruk yang tampaknya ingin dibentuk adalah bahwa seolah-olah negeri Muslim terbesar di dunia ini merupakan satu bangsa yang tidak beradab yang tidak menghargai kebebasan beragama; seolah-olah, kaum Kristen di Indonesia merupakan kaum yang tertindas. Sejumlah aktivis Kristen di Indonesia tergolong rajin memanfaatkan momentum kasus-kasus konflik soal pendirian gereja, menjadi komoditi yang berharga untuk membentuk citra buruk bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim.

Ujung-ujungnya, muncul tekanan dari berbagai Negara atau kelompok di luar negeri, agar Indonesia memberikan ruang kebebasan beragama yang lebih besar kepada golongan minoritas Kristen.  Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut mereka, dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008,  ada 40 buah gereja yang mendapat gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu atau dibakar di Bekasi, Depok,  Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang, Jakarta, Temanggung, dan  Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).

Menurut data FFKJ tersebut, selama masa pemerintahan Presiden Sukarno (1945 - 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar. Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1966 -

1998) ada 456 gereja yang dirusak atau dibakar.  Pada periode 1965-1974, kata FKKJ, "hanya"  46 buah gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun 1975 atau masa setelah diberlakukannya SKB  2 Menteri tahun 1969 hingga saat lengsernya Suharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar sebanyak 410 buah.

Jadi, menurut catatan FKKJ  hingga awal tahun 2010, telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup. “Jadi kita menemukan angka perusakan gereja untuk masa reformasi paska Suharto sebanyak 740  buah,” tulis siaran pers FKKJ yang ditandatangani oleh Theophilus Bela dan Gustav Dupe.

Mungkin banyak pihak yang tercengang melihat besarnya angka perusakan gereja di Indonesia. Sangat fantastis. Sayangnya, pihak FKKJ tidak menyajikan analisis yang komprehensif tentang data tersebut. Benarkah yang dirusak itu memang gereja? Mengapa hal itu terjadi? Umat Islam bisa saja membuat data, berapa ribu masjid dan mushola yang dirusak dan digusur oleh developer Kristen! Juga, mestinya ada analisis, mengapa sudah begitu banyak gereja yang dirusak, tetapi pertumbuhan gereja di Indonesia juga sangat fantastis?

Analisis yang komprehensif sangat diperlukan jika kita ingin menyelesaikan masalah secara mendasar, bukan sekedar memanfaatkan kasus-kasus untuk tujuan tertentu. Apalagi, dalam siaran pers FKKJ itu juga disebutkan, seolah-olah biang keladi semua itu adalah adanya SKB dua menteri tahun 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah. Pihak Kristen. Khususnya kelomok-kelompok evangelis,  tidak mau terbuka, bahwa sebenarnya pendirian Gereja bukanlah sekedar persoalan tempat ibadah belaka, tetapi terkait dengan misi mereka untuk mengkristenkan Indonesia. Keterbukaan dan dialog ini sangat penting, sebab kedudukan dan fungsi Gereja bagi kaum Kristen  berbeda dengan kedudukan dan fungsi masjid bagi umat Islam.

Kaum Muslim mendirikan masjid karena dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Aturan-aturan tentang kemasjidan sangat jelas dalam Kitab Suci umat Islam dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Bagi kaum Muslim, Masjid digunakan shalat lima waktu dalam sehari. Kaum Muslim juga bisa shalat di masjid mana saja, selama bukan masjid aliran sesat. Sementara kaum Kristen tidak bisa sembahyang di Gereja sekte apa saja, karena beda tata cara ritual. Perbedaan-perbedaan semacam itu seyogyanya dipahami, agar dapat dicarikan solusi yang komprehensif.

Misi Gereja

Apa sebenarnya misi dan tujuan suatu gereja didirikan?

Tahun 1964, tokoh Kristen  Batak, Dr. Walter  Bonar Sidjabat, menerbitkan buku berjudul Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964).  Melalui bukunya ini, Dr. Sidjabat menegaskan misi sejati kehadiran Kristen dan Gereja-gereja mereka di seluruh pelosok Indonesia.

Dalam pengantar bukunya, ia menulis:

“Kita terpanggil untuk mengikrarkan iman kita di daerah-daerah berpenduduk berambut keriting, berombak-ombak dan lurus-lurus, di tengah penduduk berkulit coklat, coklat tua, kuning langsat dan sebagainya. Guna penuaian panggilan inilah gereja-gereja kita berserak-serak di seluruh penjuru Nusantara agar rakyat  yang  “bhineka tunggal ika”,  yang terdiri dari penganut berbagai agama dan ideologi dapat mengenal dan mengikuti Yesus Kristus.” (Kutipan-kutipan dari buku Dr. Sidjabat dalam artikel ini telah disesuaikan dengan EYD).

Mengikuti pemikiran tokoh Kristen Batak ini, bisa dipahami bahwa kehadiran sebuah gereja bagi kaum Kristen bukanlah sekedar persoalan “kebebasan beribadah” atau “kebebasan beragama”. Banyak kalangan Muslim dan mungkin juga kaum Kristen sendiri yang tidak paham akan eksistensi sebuah gereja. Bahwa, menurut kaum Kristen, pendirian sebuah gereja bukan sekedar  pendirian sebuah tempat ibadah, tetapi juga bagian dari sebuah pekerjaan Misi Kristen; agar masyarakat di sekitarnya “mengenal dan mengikuti Yesus Kristus”.

Dikatakan dalam buku ini: “Di atas Gereja terletak tugas pekabaran Injil. Pekabaran Injil adalah dinamis. Secara dinamis Gereja bertanggung jawab akan pekabaran Injil ke dalam, kepada orang-orang yang telah menjadi anggota-anggota tubuh Kristus (“ecclesia”) dan keluar, kepada orang-orang yang sedang menunggu, mengabaikan, menolak atau tidak acuh terhadap Yesus sebagai Juruselamat mereka.” (hal. 41).

Sementara itu, bagi kaum Muslim yang sadar akan keislamannya, persoalan misi Kristen, bukanlah masalah sepele.  Orang yang berganti agama, keluar dari agama Islam, dalam pandangan Islam disebut orang yang murtad dan kafir. Amal perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah. (QS 2:217, 24:39).  Al-Quran juga menegaskan, bahwa Allah SWT sangat murka jika dikatakan Dia mempunyai anak. (QS 19:88-91). Dan orang-orang yang menyatakan bahwa Allah adalah salah satu dari tiga oknum, maka orang itu disebut telah kafir (QS 5:72-75).

Dalam menjalankan misi mereka di dunia Islam, kaum Kristen sadar benar akan tantangan berat yang datang dari umat Islam. Sebab, memang, Islam adalah satu-satunya agama yang Kitab Sucinya (al-Quran) memberikan koreksi secara mendasar terhadap dasar-dasar teologi Kristen. (QS 4:157).  Karena itulah, dalam bukunya,  Dr. Sidjabat secara khusus, menguraikan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, yang dinilainya merupakan tantangan berat bagi perkembangan misi Kristen di Indonesia. Sidjabat mengimbau Kaum Kristen di Indonesia tidak surut langkah dalam menjalankan misi mereka. Bahkan, kalau perlu melakukan konfrontasi. Maka, simaklah pesan-pesan penting Sidjabat kepada kaum Kristen Indonesia berikut ini:

“Saudara-saudara, kenyataan-kenyataan jang saya telah paparkan ini telah menunjukkan adanya suatu tantangan jang hebat sekali untuk ummat Kristen. Sudah pasti bahwa yang dapat  saya rumuskan pada lembaran-lembaran ini hanya sebagian kecil dari realita Islam di Indonesia. Dalam hubungan ini saya hendak menunjukkan kepada ummat Kristen bahwa sekarang ini jumlah yang menunggu-nunggu Injil Kristus Yesus jauh lebih banyak daripada jumlah jang dihadapi oleh Rasul-rasul pada abad

pertama tarich Masehi. Dan perlu diketengahkan bahwa jumlah tadi tidaklah hanya “jumlah” bilangan saja, tetapi manusia-manusia yang hidup, yang ingin mengetahui nilainya dan yang haus akan pengetahuan tentang haluan hidupnya, kemana ummat Islam Indonesia juga tergolong.

Di Indonesia ini, hal yang saya utarakan itu dapat dengan terang dilihat dan dihayati. Menurut pertimbangan secara insani,  penduduk Indonesia masih terus lagi akan merupakan penduduk yang sebagian besar beragama Islam, sekalipun banyak yang sudah beralih kepada agama atau aliran lain, antara lain: agama Buddha, Komunisme, aliran kebatinan yang lepas dari Islam, ateisme dan lain-lain. Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam di negara gugusan ini...

Seluruhnya ini menunjukkan bahwa pertemuan Injil dengan Islam dalam bidang-cakup yang lebih luas sudah “dimulai”. Saya bilang “dimulai”, bukan dengan melupakan Pekabaran Injil kepada ummat Islam sejak abad jang ketudjuh, melainkan karena kalau kita perhatikan dengan seksama maka “konfrontasi” Injil dan agama-agama di dunia ini dalam bidang-cakup yang seluas-luasnya, dan dalam hal ini dengan Islam, barulah “dimulai” dewasa ini secara mendalam. Dan bagi orang-orang yang berkeyakinan atas kuasa Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roch Kudus, setiap konfrontasi seperti ini akan selalu dipandangnya sebagai undangan untuk turut mengerahkan jiwa dan raga memenuhi tugas demi kemuliaan Allah.”

*****

Membaca pemikiran tokoh Kristen Batak seperti ini, kaum Muslim Indonesia tentu memahami, bahwa sejak awal mula misi dijalankan, Gereja sudah menyiapkan diri untuk melakukan konfrontasi, khususnya dengan umat Islam. Bahkan, konfrontasi itu harus dilakukan dengan mengerahkan jiwa dan raga demi kemuliaan Tuhan.

Dalam konteks semacam inilah, barangkali kita bisa memahami, mengapa kaum Kristen senantiasa menolak  berbagai peraturan yang mengatur tatacara pendirian rumah ibadah dan penyebaran agama, meskipun peraturan itu juga menjerat kaum Muslim di daerah-daerah minoritas Muslim.

Dalam konteks inilah kita juga memahami militansi sikap jemaat HKBP Ciketing Bekasi.  Juga, kita paham, mengapa kaum Kristen Indonesia – dari berbagai sekte dan agama – seperti bersatu dalam menyikapi kasus HKBP Ciketing  dan berusaha menyeret kasus ini ke isu “kebebasan beragama” dan “pluralisme”. Meskipun Gereja-gereja terus tumbuh bak cendawan di musim hujan, senantiasa dicitrakan, kaum Kristen adalah umat tertindas dan tidak punya kebebasan beragama di negeri Muslim terbesar ini.

Justru, yang sulit kita pahami adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi – sadar atau tidak – telah menempatkan dirinya menjadi “jubir”  Gereja Kristen Batak, dengan imbalan meraih gelar kehormatan “Tokoh Pluralis” dan sejenisnya.

Padahal, ambisi kalangan Kristen untuk mengkristenkan Indonesia belum pernah berakhir. Pada Catatan Akhir Pekan ke-281, kita membahas ambisi dari sekelompok kaum Kristen evangelis yang memasang target tahun 2020 sebagai masa “panen raya”. Sebuah buku berjudul Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum misionaris Kristen di Indonesia tersebut. Ditegaskan dalam buku tersebut:

”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”

Inilah tekad kaum misionaris Kristen untuk mengkristenkan Indonesia. Segala daya upaya mereka kerahkan. Gereja-gereja terus dibangun di mana-mana untuk memuluskan misi mereka. Gereja-gereja dan gerakan misi terus bergerak untuk meraih tujuan, yang ditegaskan pada sampul belakang buku ini: ”supaya semua gereja yang ada di Indonesia dapat bersatu sehingga Indonesia dapat mengalami transformasi dan dimenangkan bagi Kristus.”

Menghadapi serbuan kaum misionaris tersebut, seharusnya kaum Muslim tidak perlu berkecil hati. Sudah saatnya umat Islam tidak bersikap menunggu dan defensif. Mungkin sudah tiba masanya, organisasi-organisasi Islam mencetak dai-dai yang tangguh, cerdas, berani, santun, dan ramah, untuk menyadarkan para pendeta Kristen dan tokoh-tokohnya, bahwa mereka sedang memeluk keyakinan yang salah (sesat/adh-dhalliin). Ajaklah mereka untuk menyembah Allah semata-mata, tidak menserikatkan Allah dengan yang lain, dan mengakui kenabian Muhammad saw. Jangan menyatakan Allah punya anak.

Jika mereka menolak, katakanlah, kami orang-orang Muslim; kita hormati keyakinan mereka, meskipun kita tidak membenarkannya. Sebab, tugas umat Muhammad saw hanyalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakan. Di akhirat nanti, akan terbukti, siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa kita benar! [depok, September 2010]

“Selamat Datang buku Prof. Faisal Ismail”

Friday, 03 September 2010 13:21   E-mail |   Print   | PDF   Buku Prof. Faisal ini penting dibaca bagi pengkritik dan pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Baca CAP Adian ke-294

Oleh: Dr.Adian Husaini

Belum lama ini saya menemukan sebuah buku penting yang ditulis oleh Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Judulnya: "Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam."  (Cetakan pertama: Juli 2010).

Buku Prof. Faisal Ismail ini cukup mengejutkan, sebab selama ini, saya mengenalnya sebagai mantan Sekjen Departemen Agama dan Duta Besar RI untuk Kuwait. Membaca riwayat hidupnya, putra Madura kelahiran 1947 ini, terlihat telah lama menggeluti dunia pemikiran Islam. Sejumlah bukunya juga sudah diterbitkan.

Perjalanan intelektual Prof. Faisal Ismail pun cukup beragam. Lulus S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, ia melanjutkan studi S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS. Tahun 1995, dia menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.  Tahun 1991, Faisal Ismail sempat menjadi mahasiswa Nurcholish Madjid di McGill, saat Nurcholish menjadi dosen tamu, mengajar mata kuliah “Modern Islamic Development  in Idonesia.”

“Saya ingin menjadi murid  yang baik Nurcholish Madjid, karena itu, saya “berani” dan memberanikan diri mengritisi , menilai, dan mengritik ide sekularisasi dan desakralisasinya dengan cara konstruktif-kritis-apresiatif,” tulis Faisal. (hal.  34).

Berbeda dengan banyak cendekiawan yang memberikan apresiasi dan membela ide sekularisasi Nurcholish Madjid secara berlebihan, Prof. Faisal Ismail berani mengambil sikap dan posisi yang tegas dan jelas terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang hingga sekarang masih dikeramatkan oleh sebagian kalangan.

Melalui karya ini, Prof. Faisal menguraikan secara sistematis dan illmiah kekeliruan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Ia merasa perlu menulis buku tersebut – di sela-sela kesibukannya sebagai Dubes RI di Kuwait – karena sampai akhir hayatnya, Nurcholish Madjid belum pernah mengoreksi pemikirannya.

“Sampai dengan meninggalnya di tahun 2005, Nurcholish tidak pernah berubah dalam pendiriannya tentang ide sekularisasinya. Tidak ada pernyataan resmi dan terbuka dari dia, baik secara lisan maupun tertulis, yang isinya merevisi, meredefinisi, mencabut, atau me-mansukh idenya tentang sekularisasi dan desakralisasi itu. Dia sepenuhnya merasa benar dengan ide sekularisasinya itu…” (hal. 33)

Menurut Prof. Faisal, ide sekularisasi Nurcholish itulah perlu dikaji secara cermat dan mendalam, sebab ide itulah yang menjadi landasan pacu yang strategis bagi agenda kerja dan gerakan pembaruan Islam yang Nurcholish pelopori.

Ide sekularisasi Nurcholish Madjid sudah berumur 40 tahun. Selama  itu sudah cukup banyak yang mengkritisinya. Salah satu yang terkenal adalah kritik dari Prof. HM Rasjidi.  Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, juga sudah memberikan kritik

ilmiah dan tajam terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kedua pemikir itu pun mempermasalahkan landasan ilmiah dan epistemologis gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam bukunya ini, Prof. Faisal Ismail pun lebih jelas lagi memaparkan “ketidak-ilmiahan” gagasan sekularisasi Nurcholish.

Setelah menelusuri asal-muasal dan berbagai definisi yang diungkapkan Nurcholish Madjid,  Faisal lalu memberikan kritik-kritik yang mendasar.  “Dari segi konsep dan definisi saja, ide yang Nurcholish klaim sebagai sekularisasi itu sudah tidak memiliki dasar keilmuan dan tidak tepat,” (hal. 53).

Nurcholish mendefinisikan sekularisasi  sebagai “menduniawikan masalah-masalah yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam daru sikap mengukhrawikannya”.  Definisi dan penjelasan Nurcholish itu dianalisis oleh Faisal dan dibandingkan dengan pengertian sekularisasi yang diberikan sejumlah cendekiawan, seperti Peter Beger, Harvey Cox, Fazlur Rahman, HM Rasjidi, Mukti Ali, dan sebagainya. Kesimpulannya, tulis Faisal: Definisi Nurcholish Madjid tentang sekularisasi sangat tidak memadai, sangat lemah, bahkan tidak memiliki dasar rujukan ilmiah.

Berbeda dengan Nurcholish, Fazlur Rahman – guru Nurcholish di Chicago University – memberikan definisi sekularisasi sebagai berikut:

“Sekularisasi merupakan proses pemakaian hukum-hukum  dan lembaga-lembaga social politik tanpa rujukan ajaran-ajaran Islam, yakni bersumber dari atau  ada kaitannya dengan prinsip –prinsip Al Quran dan Sunnah Nabi.” (hal. 52).

Dengan kata lain, simpul Prof. Faisal, ide sekularisasi racikan Nurcholish, dilihat dari sudut pandang ilmiah dan perspektif akademis dengan sendirinya menjadi sangat layu, “gugur”, dan “digugurkan” kesahihannya.

Halaman demi halaman buku Prof. Faisal Ismail ini menyajikan data  kerancuan pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid, sebagaimana disajikan dalam judulnya. Senada dengan Prof. HM Rasjidi, Faisal juga melihat kesewenang-wenangan Nurcholish dalam memberikan istilah dan definisi, sehingga tidak dapat dikaji secara ilmiah.

Sebagai contoh, Faisal mengkritik keras gagasan Nurcholish untuk melakukan sekularisasi secara terbatas, sebagaimana terjadi pada masyarakat Barat. Faisal menolak gagasan ini, dan menulis: “Menurut pendapat saya, ide sekularisasi terbatas dalam Islam yang digagas oleh Cak Nur untuk diterapkan  dikalangan umat Islam harus ditolak. Umat Islam tidak perlu melaksanakan sekularisasi, walaupun secara terbatas.” (hal. 76).

Membaca buku setebal 357 halaman ini cukup mengasyikkan. Apalagi yang terbiasa menggeluti bidang pemikiran Islam. Meskipun sudah tiada, Nurcholish Madjid masih terus dijadikan rujukan dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia. Karena itu, buku Prof. Faisal ini sangat penting dibaca bagi pengkritik maupun pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Tujuannya, tentu, jangan kita terjebak kepada kebencian tanpa dasar dan jangan menjadi pemuja tanpa ilmu.

Saya sendiri sudah berulang kali memberikan kritik terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Secara khusus, kritik terhadap sekularisasi Nurcholish saya letakkan dalam satu bab dari buku Wajah Peradaban Barat.  Jika ditelusuri, gagasan sekularisasi Nurcholish sulit dilepaskan dari ide sekularisasi Harvey  Cox, seorang teolog Kristen yang popular dengan bukunya The Secular City, tahun 1960-an.

Pada tanggal 2 Januari 1970 Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Menteng Raya 58. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta,  pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia". Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.

Jika dicermati, pengaruh “The Secular City” jelas sekali tampak  pada pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. Misalnya, tentang etimologi sekularisasi, Nurcholish berpendapat:

“Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.

Bandingkan ungkapan Nurcholish Madjid itu dengan kata-kata Harvey Cox: “The English word secular derives from the Latin word saeculum, meaning “this present age”… Basically saeculum is one of the two Latin words denoting “world” (the other is mundus)… saeculum is a time word, used frequently to translate the Greek word aeon, which also means age or epoch. Mundus, on the other hand, is a space word.”

Jika Cox mencari legitimasi sekularisasi dalam agama Kristen, maka Nurcholish mencoba mengadopsi dan menyesuaikan gagasan Cox dengan mencari legitimasi dalam ajaran Islam. Ia tidak secara terang-terangan menyatakan, bahwa gagasannya tentang sekularisasi diadopsi dari pemikiran Harvey Cox.  Penjiplakan Nurcholish terhadap ide Cox bisa dilihat lagi pada  upayanya untuk membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”, sebagaimana dilakukan oleh Cox. Menurut  Nurcholish, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah.

Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.

Dalam beberapa hal, jelas sekali terlihat, bahwa pendapat dan redaksi tulisan Nurcholish Madjid sangat mirip dengan pendapat dan redaksi tulisan Harvey Cox. Adalah menarik, melihat gaya Nurcholish dalam mengembangkan ide sekularisasi Harvey Cox. Ketika Cox menyatakan, bahwa sekularisasi adalah keharusan bagi kaum Kristen, maka Nurcholish melanjutkan, bahwa “sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”.  Jika Cox mencari landasan sekularisasi dalam Bibel, maka Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam.

Sudah sangat banyak kritik diberikan terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Mudah-mudahan buku Prof. Faisal Ismail ini semakin memperjelas duduk persoalan dan kekeliruan ide sekularisasi yang memang sangat tidak diperlukan oleh umat Islam.  [Depok, September 2010/hidayatullah.com]

“Belajar Fisika Secara Islami”

Monday, 30 August 2010 11:11   E-mail |   Print   | PDF   Mempelajari Ilmu Fisika secara Islami harus dimulai “mengislamkan fikiran” fisikawan itu sendiri. Baca CAP Adian Husaini ke-293

Oleh: Dr. Adian Husaini*

JURNAL Islamia-Republika, Kamis (19/8/2010) mengangkat tema menarik tentang “Bagaimana Belajar Ilmu Fisika Secara Islami”.  Sebagian orang menduga bahwa  ilmu alam bersifat netral agama. Siapa saja belajar fisika, beragama apa pun dia, hasilnya tetap sama. Listrik akan tetap menyala, ketika saklar dipencet. Siapa pun yang memencet, apakah dia muslim atau kafir, hasilnya tetap sama saja. Jadi, wajar jika ada yang bertanya, apa ada cara belajar Ilmu Fisika yang Islami?

Pertanyaan itulah yang dijawab Usep Muhamamd Ishad, kandidat Doktor Ilmu Fisika di ITB Bandung, yang juga peneliti INSISTS.

Dalam artikelnya, Usep menguraikan, bahwa yang sebenarnya perlu diislamkan saat belajar Ilmu Fisika adalah pikiran pelajar, mahasiswa, atau peneliti saat menghadapi fenomena alam.

Seorang Muslim melihat alam semesta ini sebagai “ayat-ayat Allah”, karena itu saat mengamati dan meneliti fenomena alam, mereka bukan saja berusaha mendapatkan temuan-temuan baru di bidang sains, tetapi juga meyakini bahwa di balik alam semesta yang begitu teratur ini ada Yang Maha Pencipta (Al-Khaliq).

Dalam Islam, tujuan utama dari setiap pendidikan dan ilmu adalah tercapainya ma’rifatullah (mengenal Allah, Sang Pencipta), serta lahirnya manusia beradab, yakni manusia yang mampu mengenal segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah.

“Tak terkecuali saat seorang Muslim mempelajari Ilmu Fisika. Ia tak hanya bertujuan semata-mata untuk menghasilkan terobosan-terobosan sains atau temuan-temuan ilmiah baru; bukan pula menghasilkan tumpukan jurnal-jurnal ilmiah semata-mata atau gelimang harta kekayaan saja. Tapi, lebih dari itu, seorang Muslim melihat alam semesta sebagai ayat-ayat Alllah.

“Ayat” adalah tanda.Tanda untuk menuntun kepada yang ditandai, yakni wujudnya al-Khaliq. Allah menurunkan ayat-ayat-Nya kepada manusia dalam dua bentuk, yaitu ayat tanziliyah (wahyu yang verbal, seperti al-Quran) dan ayat-ayat kauniyah, yakni alam semesta. Bahkan, dalam tubuh manusia itu sendiri, terdapat ayat-ayat Allah,” tulis Usep yang pernah meraih juara I dalam lomba penulisan buku Fisika untuk SLTA yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.

Tujuan belajar untuk sampai pada ‘ma’rifatullah’ memang sangat ditekankan, sebab Allah memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang tidak mampu menggunakan potensi inderawi dan akalnya untuk mengenal Sang Pencipta. Mereka disebut sebagai calon penghuni neraka jahannam dan disejajarkan kedudukannya dengan binatang ternak, bahkan lebih hina lagi (QS 7:179).

Cobalah perhatikan sifat-sifat binatang ternak. Manusia yang pandai, tetapi tidak dapat mengenal Tuhannya, akhirnya disamakan sifat-sifatnya dengan binatang! Mengapa? Sebab, pada hakekatnya, jika manusia tidak mengenal Tuhan, maka perilakunya akan sama dengan binatang. Mereka hanya akan menuruti syahwat demi syahwat dalam kehidupannya. Lihatlah,  binatang ternak, ia bekerja secara profesional sesuai bidangnya masing-masing. Dengan itu, ia mendapat imbalan untuk menuruti syahwat-syahwatnya. Makan kenyang, bersenang-senang, istirahat, lalu mati.

“Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan (di dunia) seperti layaknya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (QS 47:12).

****

Jadi, menurut pakar Fisika dari ITB ini, mempelajari Ilmu Fisika secara Islami harus dimulai dari mengislamkan fikiran si fisikawan itu sendiri. Cara pandangnya terhadap alam harus “diislamkan”. Ia tidak boleh memandang alam semesta ini sebagai objek yang netral dan bebas dari unsur-unsur ketuhanan. Sebab, alam semesta ini adalah makhluk Allah, sehingga tidak dapat diperlakukan semena-mena. Inilah yang dalam bahasa ilmiah,

si fisikawan harus mempunyai worldview (pandangan alam) yang Islami.

Jadi alam semesta ini tidak dipelajari semata-mata karena alam itu sendiri, namun alam diteliti karena ia menunjukkan pada sesuatu yang dituju yaitu mengenal Pencipta alam tersebut. Sebab alam adalah “ayat” (tanda).

Fisikawan yang mempelajari alam lalu berhenti pada fakta-fakta dan data-data  ilmiah, tak ubahnya seperti pengendara yang memperhatikan petunjuk jalan, lalu ia hanya memperhatikan detail-detail tulisan dan warna rambu-rambu itu. Ia lupa bahwa rambu-rambu itu sedang menunjukkannya pada sesuatu.

Ketercerabutan “makna” dan peran alam sebagai “ayat”, sesungguhnya merupakan dampak dari sekularisme sebagaimana disebutkan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam karya besarnya,  Islam and Secularism. Sekularisme telah menyebabkan dicabutnya kesakralan alam dan hilangnya pesona dari alam tabii (disenchantment of nature). Akibatnya alam tak lebih dari sekedar objek, tak punya makna dan tak ada nilai spiritual.  

*****

Para fisikawan Muslim – dan juga ilmuwan Muslim lainnya – wajib memiliki adab terhadap alam. Adab terhadap alam lahir dari pandangan-alam Islam (Islamic worldview). Dengannya,  seorang saintis akan memperlakukan dan memanfaatkan alam dengan adab yang benar. Lalu lahirlah konsep sikap ramah lingkungan yang Islami, yang didasarkan bukan semata-mata karena alasan keterbatasan sumber daya alam, namun kesadaran bahwa alam ini bukanlah milik manusia, namun ia adalah amanah dan sekaligus juga ayat-ayat Allah. Hanya dengan pandangan-alam seperti inilah, akan lahir manusia beradab dan berakhlak, seperti yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan kita saat ini.

Prof. Naquib al-Attas mengingatkan, hilangnya adab terhadap alam – sebagai ayat-ayat Allah – inilah yang telah menyebabkan kerusakan besar di alam semesta. Belum pernah terjadi dalam sejarah manusia, alam mengalami kerusakan seperti saat ini, di mana ilmu pengetahuan sekuler merajai dunia ilmu pengetahuan. Akar kerusakan ini adalah ilmu pengetahuan (knowledge)  yang disebarkan Barat, yang telah kehilangan tujuan yang benar.

Ilmu yang salah itulah yang menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; ilmu yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism). Bahkan ilmu pengetahuan sekuler ini untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam ‘the Three Kingdom of Nature’ yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral.  

Menurut al-Attas, dalam peradaban Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan

dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised).  (Lihat, Jennifer  M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society,  (Victoria, The Cranlana Program, 2002), 2:231-240).

Sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan sangat pesat, Ilmu Fisika terbukti telah membawa banyak manfaat bagi umat manusia. Wajib sebagian kaum Muslim menguasai ilmu ini. Tetapi, cara pandang dan cara belajar seorang Muslim akan berbeda dengan yang lain. Sebab, bagi Muslim, alam semesta adalah ayat-ayat Allah, yang dipelajari – bukan sekedar untuk mengungkap temuan-temuan baru – tetapi juga untuk mengenal Sang Pancipta.

Demikian rangkuman pemikiran dari Usep Muhamamd Ishaq, pakar Fisika dari ITB, yang sedang berjuang bersama teman-temannya untuk membudayakan bagaimana cara belajar Ilmu Fisika secara islami.

***

Artikel menarik lain yang terbit di Jurnal Islamia-Republika edisi tersebut ditulis oleh John Adler, yang juga kandidat Doktor Ilmu Fisika dari ITB.  Dalam artiikelnya yang berjudul Fisikawan Muslim Mengukir Sejarah, John Adler menguraikan riwayat singkat dan prestasi besar sejumlah Fisikawan Muslim yang sangat besar peranannya dalam pengembangan ilmu Fisika. Bahkan, mereka menjadi sumber inspirasi dan ilmu bagi sejumlah ilmuwan Barat.

Sejarah membuktikan, kontribusi Ilmuwan Muslim dalam bidang Fisika sangatlah besar. Kaya-karya ilmuwan Muslim dalam bidang Fisika, baik yang klasik maupun modern, bisa dikatakan sangat melimpah. Cobalah renungkan, apa yang ada di benak Anda ketika mengenal "kamera"?

Banyak pelajar Muslim yang mungkin tak kenal sama sekali, bahwa perkembangan teknologi kamera tak bisa dilepaskan dari jasa seorang ahli fisika eksperimentalis pada abad ke-11, yaitu  Ibn al-Haytham. Ia adalah seorang pakar optic, pencetus metode eksperimen. Bukunya tentang teori optic, al-Manazir, khususnya dalam teori pembiasan, diadopsi oleh Snell dalam bentuk yang lebih matematis.

Tak tertutup kemungkinan, teori Newton juga dipengaruhi oleh al-Haytham, sebab pada Abad Pertengahan Eropa, teori optiknya sudah sangat dikenal. Karyanya banyak dikutip ilmuwan Eropa. Selama abad ke-16 sampai 17, Isaac Newton dan Galileo Galilei, menggabungkan teori al-Haytham dengan temuan mereka. Juga teori konvergensi cahaya tentang cahaya putih terdiri dari beragam warna cahaya yang ditemukan oleh Newton,  juga telah diungkap oleh al-Haytham abad ke-11 dan muridnya Kamal ad-Din abad ke-14.

Al-Haytham dikenal juga sebagai pembuat perangkat yang disebut sebagai Camera Obscura atau “pinhole camera”. Kata "kamera" sendiri, konon berasal dari kata "qamara", yang bermakna "yang diterangi". Kamera al-Haytham memang berbentuk bilik gelam yang diterangi berkas cahaya dari lubang di salah satu sisinya.

Dalam alat optik, ilmuwanInggris, Roger Bacon (1292) menyederhanakan bentuk hasil kerja al-Haytham, tentang kegunaan lensa kaca untuk membantu penglihatan, dan pada waktu bersamaan kacamata dibuat dan digunakan di Cina dan Eropa.

Faktanya, Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya keseluruh Spanyol pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan kompas yang dibuat oleh para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat menemukan benua Amerika.

Fisikawan lain,  Abdurrahman Al-Khazini, saintis kelahiran Bizantium atau Yunani ini adalah seorang penemu jam air sebagai alat pengukur waktu.

Para sejarawan sains telah menempatkan al-Khazini dalam posisi yang sangat terhormat. Ia merupakan saintis Muslim serba bisa yang menguasai astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika dan filsafat. Sederet buah pikir yang dicetuskannya tetap abadi sepanjang zaman. Al-Khazini juga seorang ilmuwan yang telah mencetuskan beragam teori penting dalam sains.  Ia hidup di masa Dinasti Seljuk Turki. Melalui karyanya, Kitab Mizan al-Hikmah, yang ditulis pada tahun 1121-1122 M, ia menjelaskan perbedaan antara gaya, massa, dan berat, serta menunjukkan bahwa berat udara berkurang menurut ketinggian.

Meski kepandaiannya sangat dikagumi dan berpengaruh, al-Khazini tak silau dengan kekayaan.  Zaimeche menyebutkan al-Khazini menolak dan mengembalikan hadiah 1.000 keping emas (dinar) dari seorang istri  Emir Seljuk. Ia hanya merasa cukup dengan uang 3 dinar dalam setahun. Salah satu ilmuwan Barat yang banyak terpengaruh adalah Gregory Choniades, astronom Yunani yang meninggal pada abad ke-13. Demikianlah fakta sejarah tentang prestasi para ilmuwan Muslim yang dipaparkan oleh John Adler.

Begitu besar peranan mereka  dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sayang sekali, fakta semacam ini, masih jarang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. [Depok, Agustus 2010/hidayatullah.com]

“Mujahid-Mujahid Batumarta” [1]

Friday, 06 August 2010 10:01   E-mail |   Print   | PDF   Kisah dakwah di lokasi transmigrasi Batumarta menyimpan kisah perjuangan penuh hikmah. Baca Catatan Akhir Pekan Adian ke-291

Oleh: Dr. Adian Husaini*

PESANTREN Lukmanul Hakim, Batumarta, Sumatera Selatan.  Rabu, 4 Agustus 2010, jam di laptop saya menunjukkan pukul 03.03 dini hari. Mata saya sulit terpejam. Padahal, saya ingat

benar, pukul 00.05 saya baru merebahkan badan. Ini tidak seperti biasanya. Saya tergolong orang yang mudah tidur, di mana saja, dan kapan saja. Apalagi, Selasa, sehari sebelumnya, seharian penuh saya harus menempuh perjalanan dari Surabaya ke Batumarta. Berangkat dari Surabaya pukul 08.15 sampai di Batumarta pukul 23.00.

Empat jam saya sempat menunggu di Bandara Soekarno Hatta, ditambah sekitar enam jam perjalanan darat dari Palembang ke Batumarta. Tentu cukup melelahkan. Senin malam sebelumnya, saya dipaksa dokter Abdul Gofir SpPd, kawan saya, harus menjalani pemeriksaan darah di kliniknya, di Jombang, Jawa Timur. Ternyata kadar Trigliserid saya mencapai 336,7 mg/dl, cukup tinggi dari kadar normal yang harusnya dibawah 150 mg/dl.

Tentu saja, perjalanan panjang dengan kondisi tubuh yang tak terlalu prima itu sangat berat. Tapi, entah mengapa, Rabu dini hari itu, saya merasa ada energi yang menggerakkan untuk menulis kisah-kisah ini. Ya, bisa saya katakan kisah-kisah, sebab ternyata bekas lokasi transmigrasi di Batumarta ini menyimpan serangkaian kisah perjuangan yang penuh hikmah.

Sekitar tiga pekan lalu,  saya dihubungi Ustad Syuhada Bahri, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), agar menyiapkan jadwal ke Baturaja, Sumatera Selatan. Ada serangkaian acara dakwah, katanya. Saya sanggupi saja permintaan itu. Tetapi, hari Senin, 2 Agustus 2010, usai mengisi sebuah acara di Bojonegoro, kondisi kesehatan saya menurun. Kepala pusing, perut mual-mual, dan beberapa kali harus buang hajat.

Satu SMS saya kirim ke Sekretaris DDII, Pak Amlir Syaifa: “Mohon maaf, saya tidak bisa ke Baturaja, karena kondisi kesehatan saya.”  Tiket sudah dibelikan. Saya harus mencari pengganti. Walhasil, sampai Selasa paginya, tak kunjung ketemu seorang pun yang bisa menggantikan saya.

Akhirnya, bismillah. Selasa, 3 Agustus 2010, saya putuskan berangkat ke Baturaja. Empat jenis obat dari dokter tak lupa saya bawa. Jadwal keberangkatan pesawat ke Palembang pukul 14.10. Karena pesawat dari Surabaya tiba di Cengkareng pukul 09.30, saya memutuskan untuk menunggu di Bandara. Sekitar pukul 13.00, Ustad Syuhada Bahri tiba di Bandara Soekarno Hatta bersama Rusdi, staf DDII Bidang IT dan dokumentasi.

Seperti sudah menjadi tradisi, pesawat ke Palembang telat 30 menit. Kami mendarat di Palembang pukul 15.35.  Dua orang menjemput kami: seorang pengemudi, dan satunya lagi diperkenalkan namanya,  Ahmad Ramadhan.  Ternyata, dia dai DDII yang sudah bertugas di Batumarta sejak tahun 1979, saat daerah Batumarta masih belantara.

Sepanjang perjalanan itulah, saya tekun mendengar cerita tentang Batumarta dari Ustad Syuhada Bahri dan Ahmad Ramadhan. Saat pertama kali diutus berdakwah di Batumarta tahun 1984, menurut Ustad Syuhada, jalanan masih berupa tanah. “Jika hujan, lumpurnya setinggi mata kaki,” paparnya.  Ahmad mengaku pernah berpapasan dengan ular sanca

berdiameter paha manusia. Ular itu lewat saja di hadapannya.  Ia belum pernah bertemu harimau. Tapi, seorang kenalannya pernah menabrak harimau dengan motornya saat harimau itu mengejar seekor babi hutan. Motor terjungkal. Harimau itu menatap teman Ahmad. “Aneh, setelah tertabrak dan diam, harimau tidak menerkam manusia, tapi kembali lari mengejar babi,” tutur Ahmad.

“Itu harimau yang istiqamah, konsisten mengejar tujuan awalnya” canda Ustad Syuhada.

Saat itu, keluar masuk hutan, naik turun sungai – meskipun di malam hari – tidak membuat khawatir, apakah bertemu ular atau harimau. “Justru kini rumah-rumah transmigran sudah berbeton dan berkeramik, ada dua warga meninggal dipatok ular kobra,” papar Ahmad lagi.

Kisah-kisah dai-dai DDII di daerah Batumarta itu sangat menggairahkan, sampai berhasil mengusir rasa kantuk. Saya penasaran, ingin melihat kondisi Batumarta,   sebuah dunia baru yang belum pernah terlintas dalam mimpi saya.  Beberapa kali saya telah menjelajah area Sumatera Selatan, tapi baru kali itu, saya menemukan rangkaian kisah nyata yang sangat menarik. Naluri kewartawanan saya seperti hidup lagi. Kisah-kisah itu sayang untuk dilewatkan. Saya khawatir, kisah-kisah perjuangan – bahkan bisa dikatakan kisah-kisah jihad – putra-putra muslim itu tak akan pernah terekam dalam goresan pena sejarah.

*****

Setiba di Pesantren Luqmanul Hakim, pukul 23.00, sesosok laki-laki mungil menyambut kami. Ia bernama Mansur Suryadi (59 tahun). Orangnya terkesan pendiam. “Beliau ini dai pertama Dewan Da’wah,” Ahmad Ramadhan mengenalkannya pada saya.  Saya berusaha mengorek dan mengais kisah-kisah awal Suryadi datang ke Batumarta.

Kisah itu bermula 32 tahun lalu.

Tahun 1978, saat itu Suryadi masih berumur 27 tahun. Terdorong untuk mencari penghidupan yang lebih baik, tamatan sebuah Madrasah Aliyah di Ngawi, Jawa Timur, ini memberanikan diri mendaftar sebagai calon transmigran umum. Bersamanya ada 100 kepala keluarga.

Suryadi lulus Aliyah tahun 1969. Aktivitas mengajar sudah menjadi darah dagingnya. “Setamat Tsanawiyah, saya sudah mengajar,” katanya. Ia mengajar agama dan bahasa Arab. Salah satu muridnya adalah Prof. Qamari Anwar, mantan Rektor Universitas Hamka Jakarta.

Bersama istri dan anak pertamanya,  ia berangkat dari Ngawi menuju Batumarta. Tujuh hari perjalanan ia jalani. Suryadi  bersyukur dapat menginjakkan kaki di lokasi transmigrasi. Rumah yang dijanjikan ditumbuhi pohon ilalang setinggi dada manusia. Pepohonan besar masih bercokol di sana-sini. Rumah itu berukuran 6x6 meter, terbuat dari papan kayu, berlantai tanah.  Tak ada sumur, tak ada WC, apalagi listrik.

Suryadi mengaku tidak punya keahlian bertani. Toh, hari-harinya harus dilalui dengan

membabat ilalang, membuka lahan. Ia tanam singkong dan padi. Tapi, sampai berbulan-bulan, hasratnya untuk mengajar belum terpenuhi. Ia pernah mencoba ke Baturaja, melamar di sebuah sekolah, tapi ditolak. Pada bulan ke sepuluh, ia memutuskan menjual lokasinya, karena belum ketemu tempat mengajar.

Ada yang menawar Rp 50.000. Ia setuju menjual rumah dan lahannya. Dengan uang sebesar itu, ia dan keluarga bisa kembali ke kampung asal, di daerah Ngawi. Ongkos Batumarta-Ngawi saat itu hanya Rp 6.000. Ternyata, pembeli hanya memiliki uang Rp 25.000. Katanya, sisanya akan dicicil kemudian hari. Entah kapan. Suryadi keberatan. Padahal, jika sekarang lahannya yang lima hektar luasnya dijual,  harganya sudah lebih dari Rp 500 juta.

“Akhirnya, saya kuat-kuatkan tinggal di sini,” katanya, mengenang.

Tak berapa lama, sinar kehidupan mulai tampak. Suryadi mendapat tawaran mengajar agama di sebuah SD. “Saya sangat bahagia,” tambahnya. Sejak itu, babak baru kehidupannya sebagai dai dan ustad di Batumarta dimulai. Tapi, bersama itu pula, ujian demi ujian pun menyertainya. “Ada tiga kali saya berurusan dengan aparat keamanan,” kenangnya.

Selasa menjelang tengah malam itu, satu persatu diceritakannya kisah-kisah itu.

Kisah pertama terjadi tahun 1984, menyusul memanasnya jagad politik Indonesia akibat penandatanganan Petisi 50. Sejumlah tokoh purnawirawan dan sipil terkemuka, termasuk Ketua DDII, Muhammad Natsir, menandatangani Petisi yang memberikan kritik keras terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto. Seluruh penandatangan Petisi ditetapkan sebagai “Pembangkang” oleh penguasa. Mereka dicekal pergi ke luar negeri. Beberapa jenderal purnawirawan dipersulit kehidupannya. Dua di antaranya adalah Letjen TNI Ali Sadikin dan Letjen TNI HR Dharsono. M. Natsir pun dilarang keluar negeri. Bahkan, gaji pensiunnya sebagai mantan Perdana Menteri RI pernah ditahan.

Imbas politik di Ibu Kota itu sampai juga ke belantara Batumarta. Dai-dai DDII, seperti Suryadi dicurigai kegiatannya. “Padahal, gara-garanya, Ketua DDII Palembang, Husin Abdul Muin,  ada masalah pribadi dengan pegawai Departemen Agama setempat,” kata Suryadi.

Kala itu, Suryadi sudah resmi menjadi dai DDII.  Ia bermaksud menyelenggarakan pelatihan imam dan khatib. Ada enam belas desa didatanginya untuk mengedarkan undangan. Radius desa-desa itu mencapai 50 km. Alat transportasi hanya sepeda. Kadangkala, dengan lampu senter, ia harus menerobos belantara, berkeliling desa, mengantar undangan. “Alhamdulillah, ada sekitar 40 orang yang bersedia mengikuti,” kata Suryadi.

Karena ada pejabat yang mengaitkan Husin dengan Petisi 50, Suryadi tiba-tiba dipanggil ke kantor Sospol Baturaja. Husin Abdul Muin dianggap ada kaitan dengan Petisi 50. Suryadi pun dikait-kaitkan. Padahal, tidak sama sekali. Ia hanya seorang dai DDII. 

Tahun 1979, ia menjadi dai DDII. Tahun 1982, barulah ia sempat menjalani pelatihan dakwah selama 40 hari di Pesantren Pertanian Darul Falah, Bogor.  Menurut Ustad Syuhada, saat itu, hampir semua dai DDII menjadi sasaran kecurigaan, gara-gara kasus Petisi 50. Sebagai staf Pak Natsir yang mengurusi masalah dai-dai di dalam negeri, Syuhada mendapatkan banyak laporan kesulitan para dai di daerah. Maka, ia sampaikan usulan kepada Pak Natsir agar mencabut tanda tangannya dalam Petisi. Tapi, Pak Natsir menjawab, “Itu sudah hasil istikharah saya.”

Di Batumarta, Suryadi terkena imbas, meskipun dia tidak menyesal dan menyalahkan Pak Natsir. Suryadi mengaku bangga pernah dilatih langsung oleh M. Natsir. “Saya diminta membubarkan acara pelatihan imam dan khatib oleh pejabat Sospol Baturaja,” kata Suryadi. Ia memilih sikap menuruti saja kata-kata pejabat pemerintah itu. Tapi, ia tidak tahu, bagaimana cara memberi tahu para undangan. Ternyata, tepat pada hari H, jamaah tetap berdatangan, dan pelatihan itu tetap dilaksanakan. Karena lokasinya yang jauh dari permukiman, maka tidak ada yang mempersoalkan.

Suryadi mengaku sebagai orang kecil dan dai di pelosok yang sama sekali tidak ikut-ikutan persoalan politik di pusat kekuasaan. Toh, saat itu, untuk urusan pelatihan imam dan khatib saja, dikait-kaitkan dengan urusan kekuasaan, dan harus dibatalkan.

*****

Tantangan demi tantangan dakwah terus dialami Suryadi.  Ujian dakwah yang berat kedua dialami Suryadi pada tahun 1988. Suatu hari, di tengah malam, datang seorang polisi ke rumahnya. Ia ditanya tentang berbagai hal. Ternyata, ada dai dari Jakarta yang ditangkap gara-gara mengambil gambar gereja dan kantor aparat keamanan di Palembang. Dai itu mengaku bermaksud mengunjungi rumah Suryadi.

Akhirnya, Suryadi dipanggil ke kantor polisi. Ia diminta membawa seluruh buku dan kitabnya. “Saya membawa dua tas besar,” kenangnya. Untuk mencapai kantor polisi, ia harus naik angkutan umum lebih dari satu jam perjalanan. Sesampai di sana, seorang pegawai Departemen Agama sudah disiapkan untuk memeriksa buku-bukunya. Akhirnya ia berhasil melunakkan hati Kapolres Baturaja, dan dia diizinkan kembali ke rumahnya.

Pengalaman yang dialami Suryadi mungkin tidak terbayangkan oleh banyak generasi muda muslim pada era saat ini. Banyak anak muda tidak sadar, bahwa suasana dakwah yang lebih kondusif saat ini, bukanlah muncul begitu saja, tetapi sudah melalui jalan yang panjang. Orang-orang seperti Suryadi tidak berkampanye tentang hal-hal besar, tetapi dia bekerja di lapangan, berjihad menyebarkan ilmu, mengajar masyarakat tentang ad-Dinul Islam.

Pada saat Subuh,  Rabu pagi hari, Suryadi sudah menunggu di depan kamar tempat kami menginap. Dia mengajak kami shalat Subuh. Dia memimpin sendiri  jamaah Subuh para santrinya, yang kini mancapai 300 orang lebih. Usai shalat, Suryadi memberikan nasihat-nasihat sederhana, dalam bahasa Arab yang mudah dipahami oleh para santri. Cara berkomunikasinya sangat akrab. Tampak sangat bersahaja.

Saya merenung, masih ada berapa banyak lagi ustad-ustad seperti Suryadi ini? Secara formal, dia hanya lulusan Madrasah Aliyah. Tapi, dia berani menjalani kehidupan. Dia mengajarkan ilmunya. Kini, berapa banyak sarjana bidang dakwah dan pendidikan Islam yang memiliki mental seperti Suryadi?

****

Ujian terberat dialami Suryadi di akhir tahun 1992. Ia bersama sejumlah Ustad pesantren Luqmanul Hakim dijebloskan ke penjara gara-gara sebuah edaran yang dikirimkan ke beberapa gereja di wilayah Baturaja. Edaran itu bercerita tentang kemustahilan Yesus sebagai Tuhan. Suryadi bercerita, dia sebenarnya tidak ikut membuat dan mengedarkan surat tersebut. Pembuatnya adalah Zuhdi Safari, Kepala Sekolah SD Batumarta.

Kepada saya, Zuhdi Safari (62 tahun) mengaku, dia membuat surat itu karena menjawab edaran Kristen yang disebarkan ke rumah-rumah penduduk dan juga sekolahnya. “Saya hanya membalas apa yang mereka lakukan,” kata Mbah Safari, begitu sekarang dia biasa dipanggil.

Meskipun hanya memberikan persetujuan, Suryadi diganjar hukuman enam bulan penjara, lebih rendah dua bulan dari tuntutan jaksa. Dia dikenai pasal penodaan agama, KUHP pasal 156 A. Sebelum menjalani persidangan, Suryadi dan kawan-kawan sempat ditahan dua bulan di Kantor Kodim. “Katanya, saya diamankan,” cerita Suryadi.

Persidangan itu  sendiri berlangsung semarak. Selama empat bulan, PN Baturaja sering dibanjiri pengunjung. Setiap persidangan, puluhan mobil dari Batumarta membanjiri halaman PN Baturaja. Itulah buah pembinaan masyarakat yang dilakukan Suryadi. Mereka bersimpati dan berempati pada gurunya. Tapi, penjara tidak membuat nyali dakwah Suryadi dan kawan-kawan menciut. Di dalam penjara, mereka justru menebar dakwah. Mereka mengajar mengaji dan mengenal banyak narapidana.

Alhamdulillah, santri-santri di Pesantren Luqmanul Hakim tidak berkurang. Suryadi tetap mengatur dan menandatangani surat-surat pesantren dari dalam penjara. Padahal, kata Suryadi, beberapa kali pesantrennya mengalami teror. “Kadangkala, malam-malam ada aparat datang menggedor-gedor  pintu gerbang pesantren,” tuturnya.

Bagaimana surat rahasia itu bisa jatuh ke aparat keamanan?

Ternyata Komandan Kodim Baturaja ketika itu seorang aktivis sebuah gereja. Dia memerintahkan agar surat itu diusut. Karena edaran itu dicetak, maka tidak terlalu sulit melacak ke beberapa percetakan di sekitar Batumarta. Ujungnya, arsip edaran itu ditemukan. Ditangkaplah Suryadi dan kawan-kawan. Pembelaan kepada mereka tidak mempan. Mereka harus dijebloskan ke penjara. [hidayatullah.com/bersambung]

Mujahid-Mujahid Batumarta [2]

Monday, 16 August 2010 10:27

  E-mail |   Print   | PDF  

Rintisan dakwah dari para “mujahid dakwah” itulah yang kini membuahkan hasil. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian ke-292

Oleh: Dr. Adian Husaini*

 

NAMA lengkapnya Muhammad Zuhdi Safari. Sekarang, di kawasan Batumarta, dia biasa dipanggil Mbah Safari. Usianya terbilang sudah sangat lanjut, yakni 78 tahun. Mbah Safari  dikaruniai 7 anak, 20 cucu, dan 1 cicit. Di usianya yang setua itu, ia masih aktif mengajar. Di pesantren Luqmanul Hakim, Mbah Safari mengajar Ilmu Tajwid dan Qishashul Anbiya. Berbagai aktivitas pengajian juga masih terus dihadirinya.

Mbah Safari termasuk generasi awal para mujahid yang mengembangkan dakwah Islam di lokasi Transmigrasi Batumarta. Ia bertransmigrasi tahun 1976. Ketika itu, dia sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan sudah menjadi guru selama 20 tahun di daerah Bumiayu, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SPG. Pernah juga mengambil D-1 Bahasa Indonesia dan selama tiga tahun kuliah di Perguruan Tinggi Dakwah Islam (cabang) Purwokerto. Perguruan Islam PTDI didirikan oleh Letjen TNI Purn Sudirman, ayah dari Basofi Sudirman, yang pernah manjabat Gubernur Jawa Timur.

“Sejak awal, niat saya bertransmigrasi, disamping untuk urusan ma’isyah, juga untuk dakwah,” kata Mbah Safari. Dunia dakwah bukan hal asing baginya. Selama aktif sebagai guru di daerah Bumiayu, Safari juga sudah aktif sebagai dai Muhammadiyah. Ia sering berkeliling dari kampung ke kampung, menyampaikan dakwah ke masyarakat.

Barangkali, karena naluri dakwah yang sudah melekat dalam dirinya itulah, maka saat menjabat Kepala Sekolah SDN Batumarta 2, Safari tidak bisa menerima begitu saja, tatkala ada pihak misi Kristen yang mengedarkan selebaran tentang Kristen dan Yesus ke rumah dan sekolah orang Muslim. Ia berusaha menjawab selebaran itu dengan edaran tertutup. Itupun hanya diedarkan ke sekitar 16 Gereja dalam amplop tertutup, melalui pos. “Saya tergerak untuk membalas selebaran itu,” kata Safari.

Surat setebal enam halaman yang ditujukan kepada kaum Kristiani itu diambil dari buku Isa dalam al-Quran dan Muhammad dalam Injil. Judul edaran itu ialah:  ”Hadiah Natal dan Tahun Baru.”  Menurut  Mbah Safari, melalui surat itu, ia ingin memberikan  pelajaran, bahwa seharusnya kaum misi Kristen itu memahami, intervensi pada agama lain itu tidak boleh.  “Jadi, itu untuk membalas saja,” Mbah Safari kembali menekankan.

Tapi, sekitar 15 hari kemudian, suatu malam, Safari didatangi seorang petugas. Katanya, mereka, Safari diundang untuk musyawarah di kantor aparat keamanan. Ternyata, musyawarah itu tidak pernah ada. Esoknya, Safari tidak diperbolehkan pulang. Ia harus menginap selama 60 hari. Setelah itu, barulah dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selama 60 hari itu, setiap hari keluarganya datang mengantar makanan. “Saya rasakan waktu itu seperti main-main saja,” papar Mbah Safari.

Sebagai seorang aktivis dakwah yang sudah terbiasa berkecimpung di tengah umat, Safari dengan cermat mengamati perkembangan misi Kristen di daerah transmigrasi, khususnya Proyek Tegalarum yang secara aktif menyebarkan misi di daerah Transmigrasi. “Alhamdulillah, bisa dikatakan, misi mereka gagal untuk mengkonversi agama penduduk transmigran,” kata Safari.

Safari tidak rela dikatakan bersalah dalam tindakannya.  Melalui kuasa hukumnya, Askodar, ia terus melakukan banding sampai kasasi.  Di tingkat kasasi itulah, Safari diputus bebas.  Ia dinyatakan tidak bersalah.  Akhirnya, Safari  bisa menarik nafas lega. Sebenarnya, ia sudah menerima salinan pemgangkatan dirinya sebagai penilik sekolah. Tapi, setelah diurusnya sampai ke Palembang bahkan ke BAKN, SK pengangkatan dirinya itu tidak diteruskan padanya. Akhirnya, Safari memilih bertugas di bagian perpustakaan sebuah SMA Negeri.  Pada saat usianya mencapai 55 tahun, ia memilih mengajukan pensiun dan aktif secara penuh berdakwah di tengah masyarakat. Diantaranya, ia aktif di Majlis Tabligh dan Majlis Tarjih Muhammadiyah.

Bersama Safari, ada empat orang lagi yang ditahan berkaitan dengan edaran Natal dan Tahun Baru tersebut, yakni Suryadi, Ahmad Ramadhan, Sodirin dan Zainuddin. Disamping merupakan sebuah ujian bagi kehidupan dan dakwah, kehadiran mereka di penjara justru menjadi berkah. Di lembaga pemasyarakatan itu, mereka bisa aktif mengajar mengaji dan berkhotbah.

Rintisan dakwah dari para mujahid dakwah itulah yang kini membuahkan hasil. Di daerah Batumarta sekarang sudah berdiri tujuh pondok pesantren. Dulunya, warga transmigrasi rata-rata berpendidikan rendah; 80 persen lulusan SD; yang SMP dan SMA hanya 10 persen. Sampai tahun 1983, yang sarjana baru lima orang. Sekarang, putra-putra transmigran banyak yang mengenyam pendidikan sampai jenjang S1 dan S2. Tapi, ada aspek lain yang diprihatinkan Mbah Safari. Banyak sarjana agama dan sarjana dakwah yang dilihatnya kurang bersemangat berdakwah di tengah masyarakat, tetapi lebih bersemangat menjadi pegawai.

Sebagaimana Suryadi, Mbah Safari terus menjalani aktivitas dakwahnya dengan bersemangat. Usianya yang sudah sangat lanjut tidak menghalanginya untuk belajar dan mengajar. Para mujahid dakwah seperti inilah yang sebenarnya menjadi tonggak tegaknya Islam di Nusantara. Berbagai upaya untuk memurtadkan umat Islam, meskipun di dukung dengan dana yang sangat besar, tetapi berhasil dihambat; bahkan cahaya Islam justru bersinar di daerah yang dulunya tidak berpenduduk ini.

Kehidupan dan perjuangan Mbah Safari – sebagaimana Suryadi – adalah sebuah keteladanan. Mereka belajar dan mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat. Mereka tidak menumpuk-numpuk ilmu untuk kepentingan duniawi.  Kehidupan mereka dipenuhi dengan nafas perjuangan yang tiada henti. Semangat jihadnya terus mengalir. Bukan hanya bicara, tetapi berbuat terus-menerus demi kejayaan Islam.

*****

Kisah perjuangan Suryadi, Safari, Ramadhan, dan sebagainya di Batumarta mengandung hikmah yang sangat besar bagi perjalanan dakwah Islam di Indonesia. Dunia pendidikan, dakwah, dan jihad dipadukan menjadi satu. Belajar dan mengajar dimaknai sebagai suatu aktivitas jihad fi sabulillah.

Rasulullah saw bersabda:  “Jahidil-mushrikina bi-amwalikum wa-anfusikum wa-alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu).  Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i,  Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih.

Perjuangan Islam sejatinya merupakan sebuah proses yang simultan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.  Karena itu, perjuangan yang ideal perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan dan pendidikan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh dalam arena peperangan secara fisik. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, saat Perang Salib, dan berbagai medan jihad lainnya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.

Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.

Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.

Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya.  Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-

bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.

*****

Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan.

Peran para ulama sebagai pelanjut perjuangan Nabi Muhammad saw itulah yang perlu mendapatkan perhatian serius dari umat Islam. Umat Islam harus memperhatikan masalah kualitas dan kuantitas ulama. Jika melanjutkan perjuangan Rasulullah saw adalah merupakan suatu kewajiban, maka tentunya, mewujudkan ulama sebagai pewaris Nabi adalah juga suatu kewajiban. Ulama tidaklah turun dari langit. Ulama muncul melalui proses pendidikan. Karena itu, ulama bisa dilahirkan dan bisa dibentuk. Dalam perspektif inilah, pentingnya umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu menyadari tugas mereka sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk melahirkan ulama.

Adalah musibah dan fitnah besar, jika dari institusi Pendidikan Islam justru lahir ulama-ulama jahat (ulama su’) yang bodoh atau yang buruk akhlaknya.         Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi”  sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Kasus Batumarta menunjukkan, bagaimana para mujahid dakwah telah meletakkan rintisan yang sangat besar dalam meletakkan fondasi dakwah, sehingga terwujud sejumlah institusi pendidikan Islam. Kini, dibutuhkan para mujahid-mujahid berikutnya yang harus meneruskan bahkan mengembangkan apa yang telah dicapai oleh para mujahid sebelumnya.

“Misi Kristen dan Budaya Jawa”

Friday, 30 July 2010 14:10   E-mail |   Print   | PDF  

Kaum misionaris Kristen pun berusaha memisahkan antara keislaman dan keindonesiaan. Baca CAP Adian Husaini ke-290

Oleh: Dr. Adian Husaini*

DISKUSI Sabtuan INSISTS, Sabtu,  24 Juli 2010 lalu membahas tema “Kristenisasasi dan Budaya Jawa”.  Berbicara dalam acara itu  adalah Susiyanto,  peserta Program Kaderisasi Ulama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia di Program Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam diskusi, ia sekaligus meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa (2010).

Dalam CAP ke-275 lalu, saat membahas tentang Perayaan Natal Bersama, kita sudah menyinggung tentang strategi budaya dalam penyebaran misi Kristen di Indonesia. Strategi budaya ini tampaknya digunakan untuk menggusur citra yang melekat pada bangsa Indonesia bahwa Kristen adalah agama penjajah. Kaum misionaris Kristen pun berusaha memisahkan antara keislaman dan keindonesiaan. Salah satu contoh adalah upaya mereka untuk mencegah penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.

J.D. Wolterbeek dalam bukunya,  Babad Zending di Pulau Jawa,  mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”

Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia).

Para pandakwah Islam yang datang ke wilayah Nusantara telah melakukan suatu proses Islamisasi bahasa dan budaya Nusantara. Bahasa Melayu telah di-Islamkan. Banyak kosa kata Melayu yang diubah konsepnya dan diisi oleh kosa kata yang berasal dari Islamic basic vocabulary (kamus dasar Islam).  Istilah-istilah baru seperti “ilmu, adil, adab, hikmah, rakyat, musyawarah, daulah, wujud, dan sebagainya dimasukkan menjadi kosa kata Melayu. Dengan itu, bisa dipahami, jika belajar bahasa Melayu menjadi identik dengan belajar Islam. Bahkan, hingga kini, istilah Melayu di Malaysia, identik dengan Islam. seorang disebut sebagai “Melayu” jika dia beragama Islam.

Para pendakwah Islam juga berhasil melakukan proses akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa. Mayoritas orang Jawa kemudian memeluk agama Islam dan mereka sulit dipisahkan dengan keislaman. Karena itulah, tidak mudah mengubah agama orang Jawa menjadi Kristen. Sulitnya orang Jawa ditembus misi Kristen digambarkan oleh tokoh misi Katolik, Pater van den Elzen, dalam sebuah suratnya bertanggal 19 Desember 1863:

“Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka tidak mempraktekkannya. Mereka tidak bertindak sebagai Muslim seperti dituntut oleh ajaran “Buku Suci” mereka. Saya tidak dapat mempercayai  bahwa tidak ada satu pun orang Jawa menjadi Katolik semenjak didirikannya missi pada tahun 1808. Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti sekarang, mengapa Santo Fransiskus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia mendapat informasi yang amat akurat tentang penduduk di wilayah ini, termasuk Jawa. Dan Portugis yang telah berhasil menduduki beberapa tempat disini menganjurkan agar ia pergi ke Maluku, Jepang, dan Cina,  karena tahu tak ada apa-apa yang bisa dibuat di Jawa. Akan tetapi, dalam pandanganku di pedalaman toh ada sesuatu yang dapat dilakukan.”

 

Melihat fenomena itu, kaum misionaris Kristen kemudian membuat satu strategi budaya. Banyak misionaris menampilkan diri sebagai tokoh-tokoh budaya Jawa dan membuat berbagai upaya agar orang Jawa bisa berpandangan bahwa Kejawaan lebih identik dengan Kekristenan, ketimbang dengan Keislaman. Ringkasnya, orang Jawa lebih cocok menjadi Kristen ketimbang menjadi Islam. Sebab, Islam adalah agama Arab yang hanya cocok untuk orang Arab, bukan untuk orang Jawa. Sedangkan Kristen sudah mengalami proses akulturasi dengan budaya Jawa, sehingga lebih cocok untuk orang Jawa.

Dalam kaitan inilah, buku Susiyanto tersebut membedah liku-liku kiat misionaris yang didukung oleh orientalis Belanda untuk menjauhkan orang Jawa dari Islam.  Sebagai contoh, dibuat kesan pada anak didik di sekolah-sekolah melalui pelajaran sejarah, dengan cara mengangkat kebudayaan Hindu dan Budha sebagai warisan agung leluhur bangsa. Seolah-olah Indonesia besar dan jaya di masa Kerajaan Hindu dan Budha. Kedatangan Islam kemudian menghancurkan kejayaan Indonesia tersebut.

Berbagai peninggalan fisik di masa Hindhu Budha – seperti candi-candi  dan sejenisnya -- diangkat sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kejayaan Indonesia di masa lalu, di zaman pra-Islam. Candi diangkat sebagai simbol  “kebesaran” bangsa Indonesia di masa lalu. Padahal, ungkap Susiyanto dalam diskusi tersebut, kebudayaan candi pada masa dibangunnya,  sebenarnya tidak pernah menjadi bagian dari “jiwa” masyarakat Jawa. Candi-candi tersebut dibuat untuk mengokohkan kewibawaan kasta Brahmana dan Ksatriya. Sementara rakyat jelata, yang umumnya berasal dari kasta Sudra, seringkali dilibatkan dalam proses kerja paksa saat pembangunannya. Jadi proses pembangunan candi sebenarnya merupakan simbol ketertindasan kalangan rakyat jelata oleh kekuasaan yang berada di atasnya. Akan tetapi penderitaan rakyat yang bersifat demikian ini jarang ditampilkan dalam buku-buku sejarah maupun pewacanaan kebudayaan yang saat ini

beredar.

Susiyanto juga mengingatkan bahwa usaha-usaha membangkitkan kebudayaan lama sebagai warisan bangsa yang dianggap luhur ini di negeri-negeri Islam, memiliki kepentingan strategis yang lebih besar. Tujuannya tak lain untuk mendistorsi ajaran Islam dan melepaskan pengaruh Islam di masyarakat. Sebagai contoh seorang orientalis Barat bernama Ceyler T. Young mengakui hal tersebut sebagai berikut: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”.

Usaha-usaha orientalis dan misionaris di era penjajahan, ternyata masih dilanjutkan pada era kini. Sejumlah buku yang hadir dari kalangan misionaris masih melanjutkan agenda untuk memarginalkan peran Islam. Bambang Noorsena misalnya, seorang tokoh Kristen Orthodoks Syria, dalam karyanya yang berjudul ”Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” berusaha membuktikan bahwa Kristen merupakan ajaran agama yang secara teologis mampu berinteraksi dengan ajaran Kejawen. Bambang Noorsena juga berusaha membuktikan bahwa sejumlah karya sastra Jawa memiliki kecenderungan menerima Kristen dan anti terhadap Islam.

Dalam kajian yang berlangsung di sekretariat INSISTS tersebut, Susiyanto telah membuktikan bahwa argumentasi yang digunakan oleh Bambang Noorsena untuk mempertahankan gagasannya adalah lemah dan tidak berdasar. Bambang Noorsena juga melakukan sejumlah manipulasi terhadap buku-buku yang digunakan sebagai referensi. Contoh yang jelas adalah manipulasinya  terhadap karya B.M. Schuurman berjudul ”Pambijake Kekeraning Ngaurip”.

Dalam buku tersebut, Schuurman menemukan, Serat Dewa Ruci tidak mengandung nilai-nilai Kristiani, karena tidak mengakui dosa asal. Sebaliknya, Bambang Noorsena memanipulasi karya Schuurman, dan menyimpulkan bahwa Serat Dewa Ruci bisa dipertemukan dengan nilai-nilai Kristen. Serat Dewa Ruci itu sendiri merupakan cerita populer di Jawa yang tidak jelas benar penulisnya. Ada yang menyebut, cerita itu ditulis oleh Sunan Kalijaga. Tetapi, tidak dapat dipastikan. Serat ini menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci di dasar Samudera yang bertubuh mungil, tetapi mampu dimasuki oleh tubuh Bima yang jauh lebih besar.

Dalam kajian-kajian tentang sejumlah karya sastra Jawa, Bambang Noorsena mencoba memanipulasi karakter Nabi Isa yang berasal dari konsepsi Islam dengan mendistorsinya sebagai karakter Kristus yang berasal dari konsepsi Kristen. Karya orientalis dan misionaris semisal Philip van Akkeren sering digunakan oleh Bambang Noorsena untuk menguatkan argumentasinya. Padahal, karya-karya itu sendiri sudah mengandung manipulasi.

Contohnya adalah karya Philip van Akkeren yang berjudul “Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East Java”. Dalam buku ini,  van Akkeren berupaya mengkaji

kisah Aji Saka dalam Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita. Hasilnya, Van Akkeren menyimpulkan bahwa Ranggawarsita, pujangga Jawa, memiliki “ketertarikan” terhadap agama Kristen. Alasannya, karya tersebut memuat cerita tentang Nabi Isa. Van Akkeren menyebutkan bahwa sebelum datang ke Jawa, Aji Saka telah masuk ke dalam agama Kristen di Yerusalem.(Akkeren, 1970: 46)

Konklusi Philips van Akkeren ini kemudian diikuti oleh Bambang Noorsena yang sering menampilkan dirinya sebagai tokoh dialog lintas agama. Dalam bukunya, “Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen”  Bambang Noorsena menggambarkan Aji Saka telah mengalami persentuhan dengan iman Kristen dengan menyembah Tuhan yang Maha Esa melalui Nabi Isa. Selanjutnya Noorsena mengutip pendapat Philip van Akkeren bahwa: ”dalam kisah Ranggawarsita ternyata simpati besar disisihkan bagi Kristus”. (Noorsena, 2007:209-210)

Sebenarnya, isi Paramayoga sendiri banyak mengambil inspirasi dari cerita pewayangan dan kisah para nabi mulai dari Adam hingga Muhammad. Awalnya, Aji Saka berguru kepada Dewa Wisnu di India. Setelah semua ilmu mampu diserap, Dewa Hindhu itu menasihati agar mencari kesejatian hidup dengan melanjutkan berguru kepada seorang imam yang lebih mumpuni bernama Ngusman Ngaji. Pada era itu diceritakan bahwa Nabi Isa sedang mengemban risalah di kalangan Bani Israil. Aji Saka meminta ijin kepada gurunya untuk menjadi sahabat (murid) Nabi Isa. Ngusman Ngaji tidak mengijinkan, sebab ia mengetahui takdir bahwa Aji Saka akan menjadi pengikut setia Nabi Muhammad dan menghuni Pulau Jawa.

Statemen sang guru dalam Paramayoga diuraikan sebagai berikut:

”Hal ini tidak kuijinkan, sebab engkau kelak harus mengabdikan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi itu bukan pekerjaanmu. Takdir menghendaki engkau menempuh karir panjang. Telah ditentukan, engkau akan menghuni Pulau Jawa yang panjang, di tenggara India. Jangan lupakan nubuatan ini. Dikemudian hari akan ada nabi lain dari Allah, yang terakhir, yang tidak ada bandingannya, bernama Muhammad, utusan Allah, yang telah memberi cahaya bagi dunia dan dilahirkan di Makkah. Engkau akan menjadi sahabat dekatnya”.(Akkeren, 1970:46).

Paramayoga memang menggambarkan bahwa tokoh Aji Saka yang ditakdirkan berumur panjang sempat bergaul dengan Nabi Isa.

Namun sebagaimana pesan gurunya, bukan ”panggilan” melainkan sekedar mengisi ”kekosongan” dalam penantian yang panjang kedatangan Nabi Muhammad. Jika dicermati, kisah Nabi dalam Paramayoga yang dimulai sejak era Adam hingga Nabi Muhammad lebih menunjukkan bahwa karya ini berusaha menampilkan kisah yang berasal dari konsepsi Islam, termasuk kisah tentang Nabi Isa. Sama sekali tidak terdapat cerita bahwa Aji Saka menganut Agama Kristen atau terkait Kristus yang berasal dari konsepsi Kristen.

Dengan demikian klaim, Van Akkeren dan Bambang Noorsena bahwa kisah Aji Saka

merupakan titik perjumpaan antara Kristen dan Kejawen boleh dikatakan sekedar manipulasi belaka.

Upaya lain yang tersohor untuk memisahkan antara Islam dan Jawa dilakukan melalui penerbitan Serat Darmogandul.  Kitab yang hingga kini tak jelas penulisnya itu memiliki ciri yang kental dengan semangat anti-Islam, pro-Kristen, dan pro-penjajah

Belanda. Sikap anti-Islam ditujukan misalnya, kitab Arab (Al Quran) harus ditinggalkan dan diganti Kitab Nabi Isa (Injil).  Sedang sikap pro-Kristen terungkap dengan diangkatnya cerita Dawud-Absalom, Dawud-Uria, pohon pengetahuan, dan sejenisnya yang bersumber dari Perjanjian Lama serta mendukung misi Injil di Jawa.

Dukungannya terhadap penjajah ditunjukkan dengan pujian bahwa Belanda yang beragama Kristen adalah penyembah Tuhan yang benar dan lurus pengetahuannya.

Dalam bukunya, Susiyanto banyak memuat kutipan-kutipan isi Serat Darmagandul dalam bahasa aslinya (Jawa) yang menunjukkan bagaimana kitab ini seperti sengaja ditulis untuk menanamkan kebencian orang Jawa pada Islam dan para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Isi kitab ini masih terus disebarkan ke tengah masyarakat Jawa, sampai sekarang. Koran Solo Pos, misalnya, menurunkan serial Darmagandul  dalam sejumlah edisi penerbitannya. Serat ini juga banyak dijadikan rujukan dalam penulisan buku-buku sejarah nasional Indonesia.

Ironisnya, banyak orang tua Muslim yang tidak peduli, bahwa anak-anaknya di sekolah sekarang sedang dicekoki cerita-cerita sejarah yang justru mengecilkan peran Islam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Inilah salah satu arti penting kehadiran buku Susiyanto ini: meluruskan sejarah Islam Indonesia yang selama ini banyak dimanipulasi oleh pihak lain.

”Luthfi dan Rusdhie”

Friday, 26 February 2010 10:40   E-mail |   Print   | PDF   Atas nama ”Kebebasan Beragama”, sekelompok orang menuntut agar di Indonesia tak ada peraturan menghakimi aliran sesat atau tidak. Baca CAP Adian ke-280

Oleh: Dr. Adian Husaini

 " Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya.”  

(Luthfi Assyaukanie)

PADA 26 Juni 2007, Harian Media Indonesia menurunkan artikel  Luthfi Assyaukani,

salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal, berjudul ”Salman Rushdie dan Citra Islam”. Melalui artikel ini, penulisnya mengecam gelombang protes kaum Muslimin atas penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie, pengarang novel Ayat-Ayat Setan yang sangat menyinggung perasaan kaum Muslim.

Menurut Luthfi, penulisan novel semacam Ayat-Ayat Setan adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang seharusnya tidak perlu disikapi secara emosional. ”Reaksi kaum Muslim terhadap kebebasan berekspresi tampaknya memiliki pola yang sama: mengumbar kemarahan dan kekerasan.”

Lebih jauh ia membandingkan respon kaum Muslim itu dengan sikap kaum Kristen terhadap penodaan agama. ”Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan,” tulisnya lagi.

Luthfi mengaku tidak nyaman melihat reaksi kaum Muslim  terhadap masalah kebebasan berekspresi. Dia katakan: ”Kita tidak ingin menjadi komunitas agama yang aneh sendirian di dunia ini. Agama-agama lain memiliki sikap yang jauh lebih elok dibandingkan reaksi-reaksi yang diperlihatkan kaum Muslim selama ini dalam setiap isu menyangkut kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat.”

”Setiap ada kasus-kasus yang menyangkut kebebasan berekspresi yang menimpa Islam, saya selalu merasa waswas dengan reaksi yang akan muncul. Beberapa hari lalu saya benar-benar tersudut dan malu dengan pertanyaan seorang teman non-Muslim: ”Bukankah Islam agama pemaaf? Bukankah Tuhan Maha Pengasih? Kenapa setelah 20 tahun kaum Muslim masih terus saja membenci Rushdie?”

Demikian tulis Luthfi Assyaukanie.

*****

Siapakah Salman Rushdie? Nama Salman Rushdie mencuat ketika pada 26 November 1988, Viking Penguin menerbitkan novelnya berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel ini segera memicu kemarahan umat Islam yang luar biasa di seluruh dunia. Novel ini memang sungguh amat sangat biadab. Rushdie menulis tentang Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim, istri-istri Nabi (ummahatul mukminin) dan juga para sahabat Nabi dengan menggunakan kata-kata kotor yang sangat menjijikkan. Tahun 2008 lalu, saya membeli Novel ini dalam edisi bahasa Inggrisnya di sebuah toko buku di Jakarta.

Dalam novel setebal 547 halaman ini, Nabi Muhammad saw, misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”Mahound, most pragmatic of Prophets.”  Digambarkan sebuah lokasi pelacuran bernama The Curtain, Hijab, yang dihuni pelacur-pelacur yang tidak lain adalah istri-istri Nabi Muhammad saw. Istri Nabi yang mulia,  Aisyah r.a.,  misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”pelacur berusia 15 tahun.” (The fifteen-year-old whore ’Ayesha’ was the most popular with the paying public, just as her namesake was with Mahound). (hal. 381).

Banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang digunakan Rushdie dalam melecehkan dan menghina Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau yang tidak lain adalah ummahatul mukminin.  Maka, reaksi pun tidak terhindarkan.  Fatwa Khomaini pada 14 Februari 1989 menyatakan: Salman Rushdie telah melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Mekkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia  di satu negara Islam dengan hukum Islam.

Pertemuan Menlu Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 13-16 Maret 1989 di Riyadh juga menyebut novel Rushdie sebagai bentuk penyimpangan terhadap Kebebasan Berekspresi. Prof. Alaeddin Kharufa, pakar syariah dari Muhammad Ibn Saud University,  menulis sebuah buku khusus berjudul Hukm Islam fi Jaraim Salman Rushdie. Ia mengupas panjang lebar pandangan berbagai mazhab terhadap pelaku tindak pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Menurut Kharufa, jika Rushdie menolak bertobat, maka setiap Muslim wajib menangkapnya selama dia masih hidup.

Prof. Mohammad Hashim Kamali, dalam bukunya  Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.”  Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hasim Kamali,  “are not only blasphemous but also flippant.”

Manusia yang tindakannya begitu biadab terhadap Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau itulah, yang kemudian dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Inggris. Seorang yang dimata umat Islam dicap sebagai penjahat besar justru disanjung dan diberi penghargaan. Dan saat umat Islam bereaksi, membela kehormatan Nabi-nya yang mulia, umat Islam lalu dituduh reaksioner, emosional, yang dalam istilah Luthfi Assyaukani disebut: “kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan.”

        *****

Di bulan Rabi’ulawwal 1431 Hijriah, bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, seorang aktivis liberal membuat pernyataan yang mengherankan. Hari itu, Rabu (17/2/2010), sebagai saksi ahli pihak penggugat kasus UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965,  Luthfi Assyaukanie membuat pernyataan:

 ”Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang

sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta.

Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untuk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya.” (Dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Di sejumlah media, saksi ahli yang juga dikenal sebagai pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini diberitakan mengaku, menyampaikan ungkapannya dengan sadar. Bahkan, ia mengaku sempat merevisi draf untuk MK hingga beberapa kali.  Menurut dia, Islam pada awalnya adalah salah,  menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh kelompok mayoritas kaum Quraisy itu. Lalu, hal yang sama terjadi sekarang pada kasus  Lia Eden. Itulah pendapat Luthfi Assyaukanie, yang juga doktor bidang studi Islam, lulusan Melbourne University.

Dalam keyakinan kaum Muslim, Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir. Beliau seorang yang pintar, jujur, amanah, dan menyampaikan risalah Allah SWT kepada semua manusia. Beliau adalah uswah hasanah, suri tauladan yang baik. Beliau  diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. KaumMuslimin sangat mencintai Nabi Muhammad saw. Selama 24 jam, ratusan juga kaum Muslim di seluruh dunia tidak berhenti berdoa untuk Sang Nabi yang sangat mulia ini.  Bahkan, tidak sedikit kaum Muslim rela mati demi kehormatan Sang Nabi.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menulis sebuah kitab khusus berjudul ”Ash-Sharimul Maslul ’Ala Syatimir Rasul”. (Pedang Yang Terhunus untuk Penghujat Nabi). Kitab ini merekam pendapat semua mazhab tentang kedudukan orang yang melecehkan Nabi Muhammad saw. Sahabat-sahabat Nabi saw bersedia menjadi perisai bagi Sang Nabi demi melindunginya dari serangan panah kaum kafir di medan Perang Uhud. Shalawat untuk Sang Nabi, kekasih dan utusan Allah, menjadi rukun keabsahan shalat setiap Muslim.

Logikanya, menghina presiden atau raja saja ada sanksi hukumnya. Presiden SBY sempat marah karena diserupakan dengan kerbau oleh para demonstran. Sebab, SBY bukan kerbau, dan tidak patut disamakan dengan kerbau. Meskipun ada sejumlah persamaan antara SBY dengan kerbau. SBY memiliki dua mata. Kerbau juga bermata dua. SBY mulutnya satu. Kerbau juga bermulut satu. Tapi, menyamakan SBY dengan kerbau adalah tindakan yang sangat tidak patut.  Presiden SBY juga tidak terima dikatakan punya istri lagi dan sempat membawa kasus itu ke pengadilan. Jika menghina Presiden saja ada sanksi hukuknya, bagaimana dengan penghinaan kepada utusan Allah, Tuhan yang mencipta alam semesta?  Utusan Presiden saja harus dihormati; apalagi utusan Allah. Jika ada yang mengaku-aku sebagai utusan Presiden, padahal dia berbohong, maka patutlah ia diberi sanksi hukum. Bagaimana dengan orang yang mengaku sebagai utusan Allah, padahal dia adalah penipu?!

Bagi orang Muslim, persoalan mendasar semacam ini sudah jelas sejak awal. Seorang

disebut Muslim karena dia membaca dan meyakini syahadat: bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika orang tidak mengakui Muhammad saw sebagai Nabi,  maka jelas dia bukan Muslim. Tentulah, mengimani Sang Nabi itu ada konsekuensinya. Kaum Yahudi dan Nasrani menolak mengakui kenabian Muhammad saw, setelah datang bukti-bukti yang jelas pada mereka.  Sebab, mengakui kenabian Muhammad saw memiliki konsekuensi yang berat bagi mereka.

Sebagian masyarakat Madinah ketika itu ada juga yang berpura-pura beriman, tetapi mereka sangat membenci Nabi Muhammad saw. Bahkan, mereka tak henti-hentinya mencerca, menfitnah, dan berusaha mencelakai Nabi Muhammad saw. Manusia-manusia yang mengaku Islam tetapi hatinya sangat membenci Islam itulah yang disebut kaum munafik, yang ciri-cirinya banyak disebutkan dalam al-Quran. Manusia pasti masuk dalam salah satu dari tiga kategori ini: Mukmin, kafir, dan munafik. (QS al-Baqarah: 2-20). Tentu, kita berharap, masuk kategori Mukmin, yang yakin akan kenabian Muhammad saw, mencintai beliau, menghormati beliau, dan berusaha sekuat tenaga kita menjadikan beliau sebagai suri tauladan kita sehari-hari.

Dalam perspektif inilah, wajar jika ada yang terbengong-bengong ketika menyimak pidato seorang yang mengaku Islam, tetapi berani menista Nabi Muhammad saw, menyamakan derajat Nabi yang mulia dengan Lia Eden. Padahal, untuk Sang Nabi saw, setiap saat umat Islam dan para Malaikat pun membacakan shalawat untuknya. Hinaan dan cercaan itu dilakukan atas nama ”Kebebasan Beragama”.  

Tahun 2007, Lia Eden mengaku sebagai Malaikat Jibril dan mengancam akan mencabut nyawa Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Bagir Manan. Dalam sebuah suratnya bertanggal 25 November 2007, Lia Eden, menulis: “Atas nama Tuhan Yang Maha Kuat. Aku Malaikat Jibril adalah hakim Allah di Mahkamah Agungnya... Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku.”

Tahun 2003, Lia Eden masih mengaku ”berkasih-kasihan dengan Melaikat Jibril”.   Dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003), sub judul ‘’Seks di sorga’’, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden:  ‘’Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’

Manusia seperti Lia Eden inilah yang dikatakan telah melakukan kesalahan sama dengan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Bagaimana mungkin orang yang mengaku Islam bisa berkata seperti itu?  Lia Eden adalah pembohong. Sedangkan Nabi Muhammad tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya. Lia ditolak oleh umat Islam. Nabi Muhammad saw ditolak oleh kaum kafir. Nabi Muhammad saw adalah Nabi sejati. Beliau tidak salah. Lia Eden adalah Nabi palsu. Dia jelas-jelas salah.  Bukan hanya itu, Lia Eden telah bersikap tidak beradab, karena mengaku mendapatkan wahyu dari Jibril dan bahkan

akhirnya mengaku sebagai Malaikat Jibril.

Kini, atas nama ”Kebebasan Beragama”, sekelompok orang menuntut agar di Indonesia tidak ada lagi peraturan yang menghakimi satu aliran sesat atau tidak. Bahkan, Lia Eden disetarakan kedudukannya dengan Nabi Muhammad saw. Padahal, Nabi Muhammad saw adalah Nabi sejati. Menurut kaum pemuja paham Kebebasan, keyakinan keagamaan seseorang harus dilindungi, karena itu masuk dalam arena ”forum internum”.  Yang boleh dibatasi oleh negara hanyalah ”forum externum”.  Selama tidak mengganggu ketertiban umum, misalnya, maka hak untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan seseorang harus dilindungi. Keyakinan dan hak kaum Ahmadiyah untuk mengekspresikan dan menyebarkan ajaran agamanya harus dilindungi, sebab mereka juga manusia yang punya hak yang sama dengan kaum beragama lainnya.

Di sinilah letak absurditas dan tidak masuk akalnya logika kaum pemuja paham Kebebasan ini. Mereka hendak memaksakan agar semua orang Muslim bersikap ”netral agama” dalam melihat segala sesuatu. Ketika melihat soal agama, meskipun secara formal mengaku Muslim, golongan ini melepaskan dirinya dari ke-islaman-nya sendiri. Dia berpikir dan bersikap netral. Dia tidak mau menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Semuanya dianggap sama. Tidak ada istilah mukmin, kafir, muslim, sesat, dan sebagainya. Bagi mereka, semuanya sama. Yang penting agama. Maka, tidak aneh, jika mereka akan sampai pada kesimpulan, bahwa kedudukan Nabi Muhammad saw disamakan dengan Lia Eden, Mirza Ghulam Ahmad, Mosadeg, dan nabi-nabi palsu lainnya.

Bagi kelompok semacam ini, yang terpenting adalah ”Kebebasan”,  bukan Kebenaran.  Tentu saja, paham ini sangat merusak. Jika seorang kena paham semacam ini, bubarlah Islamic worldview atau pandangan-alam Islam-nya. Pandangan alam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ”Islamic vision on truth and reality”. Seorang Muslim pasti memiliki pandangan-alam yang berbeda dengan orang kafir. Bagi seorang Muslim, Muhammad saw adalah seorang Nabi yang ma’shum. Maka, wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada beliau (al-Quran) adalah benar. Bagi kaum Yahudi, Muhammad saw bukanlah Nabi, tetapi pembohong, karena mengaku menerima wahyu yang ditulisnya dari sumber kitab-kitab Yahudi. Karena itulah, Dr. Abraham Geiger, seorang tokoh Yahudi Liberal, menulis buku ”What did Muhammad Borrow from Judaism”.

Kaum Nasrani pasti juga tidak mengakui Muhammad saw sebagai Nabi dan al-Quran sebagai wahyu. Sebab, jika mereka mengakui itu, sama saja dengan menyatakan, bahwa agama mereka adalah salah.  Karena al-Quranlah, satu-satunya Kitab yang secara sangat terperinci menjelaskan kekeliruan paham keagamaan kaum Yahudi dan Nasrani. Hanya al-Quranlah satu-satunya Kitab Suci yang menegaskan posisi Nabi Isa a.s. sebagai Nabi dan Rasul Allah, bukan sebagai Tuhan, anak Tuhan, atau salah satu dari Tiga oknum dalam Trinitas.

Karena itu, dalam perspektif Islamic worldview ini, kita sering dibingungkan dengan posisi kaum Pemuja Kebebasan, dimanakah sebenarnya posisi mereka?  Islam bukan;

Kristen bukan, Yahudi bukan; Hindu Budha juga bukan! Lalu dimana posisi mereka? Posisi mereka adalah netral agama. Posisi tidak beragama. Artinya, meskipun mereka mengaku beragama, tetapi mereka tidak mau menggunakan ajaran agamanya sebagai dasar untuk memandang atau menilai realitas kehidupan. Agama adalah urusan privat antara dirinya dengan Tuhan. Agama adalah laksana baju. Kapan saja bisa ditukar atau diganti. Ketika masuk Istana atau ruang sidang parlemen, agama harus ditaruh di luar ruangan. Jangan dibawa-bawa. Ketika mengajar filsafat, agama jangan dibawa-bawa. Sebab, filsafat adalah berfikir bebas, sebebas-bebasnya di luar batas agama. Ketika membahas masalah kebebasan, agama juga harus disingkirkan. Paham seperti inilah yang dipuja-puja dan dibanggakan, yang katanya melahirkan manusia hebat dan bermartabat.

Dalam perspektif Islam, paham netral agama jelas keliru.

*****

Syahdan, suatu malam, saat hujan turun dengan derasnya dan petir sambar menyambar, datang sebuah mimpi aneh. Mimpi ini benar-benar mimpi. Saya belum pernah bermimpi seperti ini. Tampak dalam mimpi saya, seorang anak kecil berlarian di pematang sawah di pelosok kampung daerah ujung Bekasi. Kulitnya dipenuhi dengan kudis dan kurap. Ingusnya hampir tak berhenti meleleh. Lidahnya sering menjulur-julur. Tampak ia kehausan dan kelaparan. Pakaiannya lusuh. “Bisa bantu saya, Mas. Saya Keni,” katanya, saat saya lewat dihadapannya.

Saya ulurkan tangan memberi uang sekedarnya. Belum sempat dia mengucapkan terimakasih,  saya terbangun! Tangis anak saya memotong mimpi. Pada hari lain, mimpi itu datang lagi.  ”Masih ingat saya Mas,” sapa seorang pemuda.  Tentu saja saya terkejut. Saya pandangi wajah anak muda itu.  Pemuda di hadapan saya ini seorang ”perlente”. Jasnya keren. Jamnya berkilau keemasan. Mukanya ”klimis”. Rambut keritingnya tersisir rapi. Wajahnya beberapa kali saya lihat di media massa. ”Saya Keni, Mas! Yang dulu Mas kasih bantuan. Terimakasih Mas, atas bantuannya,” ujarnya memperkenalkan.

”Lho, kamu?” saya nyaris tak percaya. ”Kamu yang sekarang jadi penghujat Nabi Muhammad!?” masih dengan nada tak percaya. ”Memangnya kenapa Mas? Sekarang kan zaman kebebasan. Saya kan kerja untuk LSM Kebebasan!  Ini untuk kerja saja Mas. Itung-itung nebus masa kecil yang sengsara!” katanya, seperti tanpa beban.

”Kan kamu pernah ngaji di pesantren!” saya masih keheranan. Saya tatap wajah anak muda itu dalam-dalam. Ia agak salah tingkah.

”Ya, itu kan dulu! Sekarang zaman sudah beda Mas, yang penting uang; hidup enak.

Saya dulu miskin, disepelekan orang. Sekarang saya bisa berbangga dan membantu orang tua. Saya tidak miskin lagi. Kalau pulang kampung, banyak yang bisa saya bantu,” ujar Keni lagi.

”Tapi, kan kamu jual iman, namanya. Apa kamu tidak takut pada Allah. Tidak kasihan sama orang tua kamu, yang mengharapkan agar kamu jadi anak shaleh?”

”Ah Mas ini, kayak tidak tahu saja! Orangtua saya juga tidak tahu aktivitas dan pemikiran saya yang sebenarnya.”

”Kamu keterlaluan, bertobatlah sebelum terlambat!”

”Bagaimana caranya bertobat Mas. Apa Mas mau ganti penghasilan saya yang puluhan juta rupiah sebulan? Saya sudah terlanjur Mas. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup saya. Mungkin sudah takdir saya begini.”

”Masih ada kesempatan untuk bertobat! Kamu diperalat oleh hawa nafsu, oleh setan. Kamu menyangka memperjuangkan kebebasan, padahal itu kebebasan ala iblis! Itu bukan kebebasan dalam ajaran Islam.  Masak orang yang melecehkan Islam dan mengaku Nabi kamu belain. Kasihan kamu dan orang tua kamu. Kamu disekolahkan agama jauh-jauh ke luar negeri, tetapi hasilnya malah kamu jadi begini. Kamu jadi perusak agama. Sadar nggak sih kamu dengan apa yang kamu lakukan!”

”Terus terang Mas, kadangkala saya juga sempat terlintas pikiran seperti itu. Ingin juga ke pesantren kembali, berjuang bersama dengan para kyai saya dulu. Tetapi, pikiran seperti itu segera saya tepis, karena tidak realistis. Saya harus berperan seperti ini! Ini tuntutan Mas!”

”Tuntutan dari siapa?” saya mendesak Keni untuk mengaku.

”Tidak bisa saya sebutkan, Mas! Pokoknya saya harus menyampaikan, bahwa Islam itu sudah usang.  Islam harus dikecilkan. Islam tidak boleh tampil. Apalagi sampai diterapkan di tengah masyarakat dan tataran kenegaraan. Ini sangat berbahaya. Saya juga harus mengatakan bahwa Liberalisme dan Sekularisme itulah yang cocok bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia, agar negara ini menjadi negara yang maju dan hebat seperti Amerika,” Keni mulai terbuka.

”Sepertinya, kamu tidak yakin dengan pikiranmu sendiri,” saya memancing agar Keni mau mengungkap lebih jauh lagi.

”Semula saya memang tidak yakin. Semula saya menjadi begini hanya karena pergaulan saja. Tapi, lama-lama saya merasakan sulit sekali keluar dari pemahaman seperti ini. Apalagi kebutuhan saya sudah dicukupi semua. Doakan saja Mas, siapa tahu, suatu ketika saya bisa berubah. Tapi, entahlah, apa bisa atau tidak,” ujarnya lirih, sambil menghela nafas.

”Tapi, kenapa kamu sampai berani menghina Nabi Muhammad?”

”Begini Mas cerita sebenarnya...”

Belum sempat Keni meneruskan kata-katanya, seorang wanita bule tiba-tiba muncul dan membentaknya: ”Keni!”  Aneh, Keni langsung diam. Tampak dia hanya menunduk.  Termangu, sambil menggosok-gosok tangan kanannya ke celana. Lalu, dia berujar pelan, sambil sesekali menengok ke arah saya:

“Sorry, Mam! Saya baru saja menyatakan pada Mas ini, bahwa sebenarnya Nabi Muhammad itu pelanggar HAM. Dia sebenarnya hanya ngaku-ngaku saja menjadi Nabi. Sama seperti Mirza Ghulam Ahmad dan Lia Eden. Kalau Muhammad boleh menyiarkan agamanya, mengapa Ghulam Ahmad dan Lia Eden tidak boleh?  Umat Islam bisanya hanya marah saja. Umat Islam tidak menghargai Kebebasan Beragama. Umat Islam bisanya mengumbar emosi. Tidak santun. Saya kadang kala malu jadi orang Islam. Tidak seperti orang-orang Kristen dan Yahudi dan agama-agama lain, yang lebih ramah dan sabar dalam menghadapi kasus penodaan agama. Ya kan, Mas!? Saya kan tadi ngomong seperti itu!”

Saya bengong dan nyaris tak percaya dengan apa yang saya lihat. Keni, pemuda kampung yang dulu kudisan, miskin, sekarang jadi pemuda ”keren”, pintar, disanjung sampai manca negara sebagai pejuang Kebebasan Beragama.  Bahkan, ada yang menjadikannya sebagai idola.  Saya mencoba merenungkan, sedalam-dalamnya. Benarkah hanya karena masalah uang, dia jadi begini? Atau, ada masalah lain?  Ah, peduli setan soal motif tindakan Keni. Juga, apakah yang disampaikan Keni itu bisa dipercaya atau tidak, itu tidaklah terlalu penting.

Saya pun mencoba merenung-renung, siapa wanita bule yang dipanggil ”Mam” dan begitu ditakuti Keni.  Wanita setengah baya itu matanya tajam mengawasi gerak-gerik dan ucapan Keni.  Pakaiannya menampakkan dia seorang terpelajar.  Wajahnya lumayan cantik, untuk ukuran rata-rata orang bule.

Tak tahan dengan segala keanehan dan kejengkelan di hadapan saya, tiba-tiba saya berteriak sekeras-kerasnya: ”Keniiii...., kamu pen..........!”

”Mas, mas.....bangun....bangun....!   Saya tersadar. Bangun. Lama saya duduk termangu; merenungkan mimpi ini.  Benarkah ini hanya mimpi? Alhamdulillah, ini benar-benar mimpi. Segera saya baca doa bangun tidur:

ور� �ش� الن �ه ي ل و إ ا ن م ات أ ع�د م ا ب ا ان ي ح�

أ �ذى ال �ح م�د� لله ل ا

(Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit Alhamdulillahilladzi ahyanaa ba’da maa amatanaa wa-ilaihin nusyuur). [PP Husnayain, Sukabumi, 22 Februari 2010/www.hidayatullah.com]

“Natal Bersama dan Misi Kristen”

Saturday, 02 January 2010 11:08   E-mail |   Print   | PDF   Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa dengan Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-275

Oleh: Dr. Adian Husaini

Pada 27 Desember 2009, saya sempat menonton acara Perayaan Natal Bersama melalui TVRI. Acara itu seperti sudah dianggap sebagai ritual tahunan kenegaraan. Biasanya pejabat tinggi banyak yang diundang. Malam itu, Presiden SBY juga datang. Ada juga Wapres Boediono, dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Menyimak rangkaian acaranya, Perayaan Natal Bersama itu jelas sebagai suatu bentuk Proklamasi agama Kristen dan realisasi konsep Misi Kristen di Indonesia.

Pesan utama yang ingin disampaikan  melalui acara tersebut sangat jelas bahwa  Jesus, Putra Tuhan, sang Juru Selamat sudah tiba untuk menebus dosa manusia. Berbagai lagu dan sendratari yang ditampilkan membawa pesan tersebut. Disamping lagu dan tari, ada pesan Natal dan juga Doa Syafaat dibawakan oleh pejabat KWI (Katolik) dan PGI (Protestan).

Menarik jika kita amati wajah Pak SBY dan pejabat muslim lainnya yang hadir acara itu. Kita juga mencoba menebak-nebak,  apa kira-kira perasaan Pak SBY dan orang Muslim di situ, ketika mendengar lagu-lagu dan seruan tentang kedatangan Jesus sebagai anak Allah dan Juru Selamat. Kita berprasangka baik, dan menduga-duga, hati Pak SBY yang Muslim itu pasti berkata: “Ini tidakbenar! Sebab, saya Muslim. Saya yakin benar, bahwa Nabi Isa tidak mati di tiang salib. Saya yakin, Nabi Isa adalah utusan Allah, rasul Allah; bukan Tuhan atau anak Tuhan.”

Pak SBY yang punya sebuah Majlis Zikir tentu sudah pernah mendengar ayat Al-Quran: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (Terjemah QS as-Shaff: 6).

Ada juga ayat Al-Quran yang menyatakan: “Dan mereka mengatakan, (Allah) Yang Maha Pemurah itu punya anak. Sungguh (kalian yang menyatakan bahwa Allah punya anak), telah melakukan tindakan yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah

gara-gara ucapan itu dan bumi  terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah punya anak.” (Terjemah QS Maryam: 88-91).

Sebagai Muslim, Pak SBY tentu paham benar ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dalam Perayaan Natal Bersama itu, orang-orang Muslim “dipaksa” mendengar cerita-cerita tentang Jesus yang bertentangan dengan keimanan mereka. Kata beberapa orang, praktik-praktik pencampuran Perayaan Hari Raya Agama seperti itu perlu dilakukan demi tujuan mulia, yaitu untuk membina Kerukunan Umat Beragama.  Malah, ada yang berpendapat, agar MUI mencabut fatwa tentang Haram-nya seorang Muslim merayakan Natal Bersama. Sebagai Muslim, dan juga sebagai Presiden, Pak SBY ketika itu “harus” duduk mendengarkan semua cerita tentang Jesus, yang sudah pasti tidak diyakininya. Pada kondisi seperti itulah, Pak SBY juga terpaksa tidak menyatakan secara terbuka, bahwa dia mempunyai kepercayaan dan keimanan yang berbeda dengan kaum Nasrani.

Sebenarnya, jika kita berpikir jernih, praktik-praktik semacam ini seharusnya dihentikan. Membangun kerukunan umat beragama tidak perlu dilakukan dengan cara-cara yang dapat menyuburkan kemunafikan seperti itu. Rasulullah saw, para sahabat, dan para ulama Islam – yang sejati – tidak pernah mengajarkan tindakan seperti itu. Untuk membangun kerukunan umat beragama, banyak cara lain yang bisa dilakukan. Sebenarnya, jika kaum Nasrani merayakan hari raya mereka, di kalangan mereka sendiri, itu juga tidak ada masalah dan tidak perlu mengundang kontroversi.

Berita tentang ke-Tuhanan Jesus tentu tidak mudah ditelan begitu saja oleh kaum Muslim. Sebab, Islam memiliki kitab suci Al-Quran yang dengan sangat gamblang menjelaskan kesalahan kepercayaan kaum Kristen tersebut. Al-Quran menyatakan, bahwa berita tentang penyaliban Jesus (Nabi Isa) adalah bohong belaka. Penyaliban Jesus, dalam pandangan Islam, tidak memiliki dasar yang kuat. “Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata: “Allah mengambil seorang anak. Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (Terjemah QS al-Kahfi: 4-5).  

Ayat-ayat dalam kitab suci yang secara tegas membantah klaim-klaim kaum Kristen tentang ketuhanan Jesus seperti ini hanya dijumpai dalam Al-Quran. Ayat semacam itu tidak kita dijumpai pada Kitab Veda (Hindu), Tripitaka (Budha), atau Su Si (Konghucu). Karena itu, wajar, selama seorang mengaku dan meyakini keimanan Islam-nya, hatinya akan dengan tegas menolak semua pernyataan yang tidak benar tentang Nabi Isa. Kaum Ahlul Kitab yang hatinya  ikhlas dalam menerima kebenaran pasti akan mengakui kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al-Quran (QS 3:199).

Keyakinan kaum Muslim tentang Nabi Isa seperti itu seharusnya dihormati oleh kaum Kristen. Sehingga, tidaklah etis jika “memaksa” seorang Muslim yang berpegang kepada iman Islam-nya untuk duduk mendengar cerita tentang Yesus dalam versi Kristen yang sama sekali berbeda versinya dengan cerita tentang Nabi Isa dalam versi Islam. Inilah sebenarnya hakekat saling hormat-menghormati antar pemeluk agama. Mereka bisa bekerjasama satu sama lain, dalam berbagai hal. Tetapi, bukan membiasakan diri

bersikap “pura-pura” dalam soal keimanan. Sikap saling menghormati bisa ditumbuhkan dengan tetap berpegang kepada keimanan masing-masing.

Islam juga menghormati sikap pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II, ketika menyatakan, bahwa Islam, bahwa Islam bukanlah agama penyelamatan:  “Islam is not a religion of redemption.” Paus juga menyatakan, dalam Islam tidak ada ruang bagi Salib dan Kebangkitah Yesus.  Yesus memang disebutkan, tetapi,  kata Paus, dia hanya sekedar seorang Nabi, yang menyiapkan kedatangan Nabi terakhir, yaitu Muhammad.  Karena itulah, Paus berkesimpulan: “For this reason, not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity.”   Jadi,menurut Paus, secara teologis dan antropologis, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Kristen. (Lihat, John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).

Ada lagi yang sering tidak dipahami oleh pemeluk agama selain Islam atau bahkan kalangan Muslim sendiri. Yaitu, bahwasanya Islam adalah agama wahyu yang memiliki uswah hasanah (contoh teladan). Sebagai agama wahyu (agama langit), Islam mendasarkan keyakinan dan semua praktik ritualnya berdasarkan wahyu dan contoh dari Nabi Muhammad saw.  Karena itu, hanya orang Muslim yang kini memiliki bentuk ibadah yang satu. Orang Muslim membaca al-Fatihah yang sama dalam shalat; ruku’ dengan cara yang sana; sujud dengan cara yang sama, dan salam dengan cara yang sama pula. Semua itu ada contoh dari Nabi Muhammad saw. 

Bahkan, kaum Muslim berdebat tentang hal-hal yang “kecil” dalam ibadah shalat, seperti apakah dalam tahiyat, jari telunjuk digerakkan atau tidak. Sebab, memang ada riwayat yang berbeda dari Rasulullah saw tentang hal itu. Yang jelas, semua Muslim ingin mencontoh Sang Nabi sampai hal-hal yang “kecil” seperti itu diperdebatkan. Tapi, semua orang Muslim, saat melaksanakan tahiyat dalam shalat, pasti mengeluarkan jari telunjuk, bukan jari jempol atau jari kelingking.

Karena kuatnya berpegang pada keteladanan Nabi Muhammad saw dalam ibadah itulah, maka –misalnya -- orang Islam tidak mudah untuk diajak mengganti salam Islam dengan salam lainnya. Karena salam resmi orang Islam, sesuai ajaran Nabi saw adalah:  Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”  Ucapan salam seperti ini berdasarkan contoh dari Nabi Muhammad, bukan berasal dari budaya atau hasil Kongres umat Islam pada saat tertentu. Di mana pun, kapan pun,  umat Islam akan mengucapkan salam seperti itu. Apa pun suku dan bangsanya. Upaya untuk “pribumisasi” salam Islam dan menggantinya dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya, telah gagal dilakukan. Dulu, semasa menjabat sebagai Menteri P&K (1978-1982), Dr. Daoed Joesoef menolak mengucapkan salam Islam, dengan alasan, ia bukan hanya menterinya orang Islam.

Sekarang, cara berpikir Daoed Joesoef itu sudah out of date, sudah ketinggalan zaman.  Kini, Presiden SBY pun sangat fasih dalam mengucapkan salam. Bahkan, biasanya ia mendahului dengan ucapan basmalah. Sekarang sudah banyak tokoh non-Muslim yang dengan lancar mengucapkan salam Islam.  Saya pernah bertanya kepada seorang tokoh non-Muslim, apakah dia boleh mengucapkan salam Islam, seperti yang baru saja dia

ucapkan. Dia menjawab: Boleh!

Kondisi seperti itu berbeda dengan umat Islam. Untuk urusan salam saja, Rasulullah saw memberikan contoh dan panduan yang sangat rinci. Bagaimana seharusnya seorang Muslim memberikan salam kepada sesama Muslim, bagaimana menjawab salam dari non-Muslim, dan sebagainya. Umat Islam secara ikhlas berusaha mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw tersebut. Sifat dan posisi ajaran Islam seperti ini seyogyanya dipahami. Termasuk dalam soal perayaan Hari Besar Agama. Panduan dalam soal ini juga sangat jelas. Karena itu, jika umat Islam menolak untuk mengikuti Perayaan Hari Besar agama lain, itu pun harusnya dipahami dan tidak dicap sebagai bentuk rasa permusuhan dengan agama lain. Pemahaman akan sifat dan karakter masing-masing agama itu perlu dipahami oleh masing-masing tokoh agama, agar tidak memaksakan pemahamannya kepada orang lain.  Budaya dan Misi

Aspek lain yang menonjol dalam Peraayaan Natal Bersama 27 Desember 2009 adalah upaya kaum Kristen untuk menampilkan citra adanya penyatuan Kristen dengan budaya Indonesia. Para penari mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah. Citra penyatuan Kristen dengan adat istiadat di Indonesia sudah lama diusahakan oleh para misionaris di Indonesia. Strategi budaya dijalankan agar misi Kristen lebih mudah diterima oleh rakyat Indonesia, dan agar citra Kristen sebagai agama penjajah dapat hilang di mata rakyat.

Penyebaran agama Kristen dengan strategi budaya Jawa pada dekade pertama abad XX, misalnya, terutama ditempuh oleh kalangan Yesuit dan juga misi Katolik pada umumnya. Misi Kristen ingin menggusur atau memisahkan citra penyatuan Islam dengan Jawa. Tokoh misionaris Katolik, misalnya, telah lama berusaha menggusur dominasi bahasa Melayu dan menggantinya dengan bahasa Jawa. Di sekolah Katolik di Muntilan, misalnya, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin.  Sebab, bahasa Melayu identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.

J.D. Wolterbeek dalam bukunya,  Babad Zending di Pulau Jawa,  mengatakan: “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.” 

Senada dengan ini, tokoh Yesuit Frans van Lith (m. 1926) menyatakan: “Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara. (Seperti dikutip oleh Karel A. Steenbrink, dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia).

Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah

150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Upaya untuk menggusur bahasa Melayu dari kehidupan berbangsa di Indonesia, sebagaimana dipromosikan van Lith tidak berhasil dilakukan. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku bangsa justru mendeklarasikan: “Kami berbahasa satu,  bahasa Indonesia.”  Demi persatuan bangsa, para pemuda dari Jawa juga merelakan bahasa Jawa tidak dijadikan sebagai bahasa nasional Indonesia.

Van Lith, yang datang ke Indonesia pada 1896, menulis dalam sebuah suratnya: 

“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik-awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.”

Dalam salah satu artikelnya yang ditemukan sesudah kematiannya, van Lith juga menyemangati teman-teman misionaris agar menempatkan diri sesama warga dengan orang Jawa:

“Kalau kita, orang Belanda, ingin tetap tinggal di Jawa dan hidup dalam damai dan menikmati keindahan serta kekayaan pulau tercinta ini, maka ada satu tuntutan, yaitu bahwa kita harus selalu belajar  memperlakukan orang Jawa sebagai saudara kita. Di tengah-tengah orang Jawa, kita tidak bisa berlagak seperti penguasa, atau sebagai majikan, atau sebagai komandan, tetapi seharusnya sebagai sesama warga. Kita harus belajar menyesuaikan diri, belajar menguasai bahasa orang-orang ini dan adat kebiasaan mereka; hanya dengan berlaku demikian kita bisa menjalin persahabatan dengan mereka ini.”

Demi pendekatan budaya, van Lith sampai bisa menerima orang Katolik Jawa melakukan sunat. Padahal, dalam suratnya, Paulus menyatakan: “Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu”. (Gal. 5,2).  Van Lith menerima sunat bagi orang Katolik Jawa, tetapi menolak tambahan doa Arab (Islam). Ia juga menentang sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.

Para misionaris, seperti van Lith, berkeinginan memisahkan orang Jawa dengan Islam. Sebab, orang Jawa memang sangat kokoh memegang identitasnya sebagai Muslim, meskipun mereka belum mengamalkan ajaran Islam sepenuhnya. Sulitnya orang Jawa

ditembus misi Kristen digambarkan oleh tokoh misi Katolik, Pater van den Elzen, dalam sebuah suratnya bertanggal 19 Desember 1863:“Orang Jawa menganggap diri mereka sebagai Muslim meskipun mereka tidak mempraktekkannya. Mereka tidak bertindak sebagai Muslim seperti dituntut oleh ajaran “Buku Suci” mereka. Saya tidak dapat mempercayai  bahwa tidak ada satu pun orang Jawa menjadi Katolik semenjak didirikannya missi pada tahun 1808. Dulunya Jawa ini sedikit lebih maju daripada sekarang ini. Sejak tahun 1382, ketika Islam masuk, Jawa terus mengalami kemunduran. Saya dapat mengerti sekarang, mengapa Santo Fransiskus Xaverius tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa. Tentulah ia mendapat informasi yang amat akurat tentang penduduk di wilayah ini, termasuk Jawa. Dan Portugis yang telah berhasil menduduki beberapa tempat disini menganjurkan agar ia pergi ke Maluku, Jepang, dan Cina,  karena tahu tak ada apa-apa yang bisa dibuat di Jawa. Akan tetapi, dalam pandanganku di pedalaman toh ada sesuatu yang dapat dilakukan.”

Demikianlah semangat misi Kristen untuk mengubah agama orang Jawa, dari Islam menjadi Kristen. Berbagai cara telah dan terus digunakan untuk menjalankan misi tersebut. Kaum Muslim memahami semangat kaum Kristen tersebut. Tapi, tentunya, tidak mudah bagi kaum Muslim untuk menerima begitu saja usaha kaum misionaris tersebut. Sebab, bagi orang Muslim, keimanan adalah harta yang paling berharga dalam kehidupan mere

Penistaan Al-Quran Ala Doktor UIN Yogya

Monday, 09 November 2009 14:37   E-mail |   Print   | PDF   Buku seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya banyak sekali kekacauan pemikiran yang memerlukan terapi serius. Baca CAP Adian ke-273

Oleh: Dr. Adian Husaini

 

Pada 5 November 2009, saya mendapat undangan untuk berbicara dalam sebuah seminar di kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seminar bertema ”Islam dan Tantangan Pemikiran Global” itu diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Pesantren Modern Gontor cabang Lombok. Seminar dibuka oleh Gubernur NTB, Tuan Guru Zainul Majdi.  Turut memberikan sambutan adalah pimpinan Pondok Pesantren Gontor KH Abdullah Syukri Zarkasyi dan Tuan Guru Sofwan Hakim, ketua Forum Kerjasama Pesantren se-NTB. Seminar dihadiri sekitar

300 pimpinan dan guru-guru pesantren se- NTB.  Tim pembicara dari INSISTS dipimpin oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi.

 

Tampaknya, bagi para ulama dan tokoh Islam di NTB, isu liberalisasi Islam sudah cukup akrab dengan mereka. Mereka mengakui, sejumlah masalah yang dibahas dalam seminar sudah terjadi juga di daerah mereka, meskipun dalam skala yang belum masif seperti di sejumlah kota di Pulau Jawa.  Salah satu masalah yang sudah mulai dilontarkan kaum liberal di NTB adalah soal ”Desakralisasi Al-Quran.”  Ada seorang tokoh yang mengaku sempat berdiskusi dengan seorang mahasiswa IAIN Mataram, yang bertanya kepadanya: ”Apakah Al-Quran itu benar-benar suci atau dianggap suci?” 

Mendengar pertanyaan itu saya menjawab dengan agak bercanda, ”Tanyakan pada si mahasiswa,  apakah dia benar-benar manusia atau dianggap manusia?”  

 

Dalam seminar di NTB, isu ”desakralisasi Al-Quran” memang disinggung juga oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Gubernur NTB yang juga kandidat doktor ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar Kairo, bahkan menguraikan cukup panjang sejarah serangan kaum orientalis terhadap Islam, termasuk terhadap Al-Quran. Ia menunjukkan sejumlah contoh kesungguhan dan kesabaran para orientalis dalam menyerang Islam. ”Sehingga dalam pertarungan ini, siapa yang lebih sabar yang akan menang,” ujarnya seraya mengajak para peserta seminar untuk meningkatkan kesabaran dalam berjuang.

 

Proyek ”desakralisasi Al-Quran” memang termasuk  salah satu tema pokok dalam liberalisasi Islam. Mengikuti tradisi kajian Al-Quran model orientalis, sejumlah pemikir liberal tampak berusaha keras meyakinkan kaum Muslim, bahwa Al-Quran bukanlah sebuah kitab suci, tetapi kitab yang dianggap suci. Ada yang berusaha keras menulis artikel untuk membuat kaum Muslimin ragu-ragu terhadap kebenaran dan keotentikan Al-Quran.  Dia mencoba meyakinkan, bahwa Al-Quran adalah kitab biasa-biasa saja, yang juga mengandung kesalahan secara tata bahasa. Tentu saja, pekerjaan semacam ini akan sia-sia saja. Meskipun si penulis mendapatkan imbalan tertentu di dunia.

 

Pikiran semacam ini tampaknya cukup luas merasuki pemikiran kalangan akademisi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam saat ini. Tentu kita masih ingat, bagaimana seorang dosen IAIN Surabaya yang pada 5 Mei 2006, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. Dia katakan,

"Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput. Sebagai budaya, Al-Quran tidak sakral. Yang sakral adalah kalamullah secara substantif.”       

 

Sebuah jurnal yang diterbitkan di IAIN Semarang edisi 23 Th. XI/2003, menulis di sampul belakangnya: ”ADAKAH SEBUAH OBJEK KESUCIAN DAN KEBENARAN YANG BERLAKU UNIVERSAL? TIDAK ADA! SEKALI LAGI, TIDAK ADA! TUHAN SEKALIPUN!”   Di pengantar redaksinya juga ditegaskan: ”Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

 

Mengapa kaum liberal giat dalam mengkampanyekan tema ”desakralisasi Al-Quran”, bahwa Al-Quran bukanlah kitab suci?  Ternyata, jika kita cermati, tujuan mereka adalah ingin memberikan legitimasi terhadap masuknya berbagai metode penafsiran Al-Quran, di luar ilmu Tafsir Al-Quran. Dengan meletakkan posisi Al-Quran sebagai teks biasa, teks sastra, teks budaya, atau teks sejarah, yang sama dengan  teks-teks lain, maka dimungkinkan masuknya model pemahaman Al-Quran yang baru, seperti hermeneutika.

 

Di NTB itulah, saya lebih berkesempatan membaca sebuah buku berjudul Arah Baru Studi Ulum Al-Quran: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya  karya seorang dosen STAIN di Jawa Timur, yang juga doktor lulusan UIN Yogyakarta. Sebut saja inisialnya ”AW”. Tesis master dosen ini juga sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, yang juga menolak kesucian Al-Quran. Buku Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an, semakin menegaskan, adanya kecenderungan dan gerakan penghancuran ulumul-Quran para ulama Islam, digantikan dengan teori-teori ilmu sosial para ilmuwan Barat.  AW  sangat getol dalam mempromosikan penggunaan hermeneutika untuk – katanya – memahami pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani. Seperti biasa, para pengguna hermeneutika biasanya melakukan proses desekralisasi teks Al-Quran. Itu pula yang dilakukan dosen STAIN ini.  Simaklah pandangan penulis tentang Al-Quran berikut ini:

 

”Dalam karya ini, saya membedakan antara wahyu, al-Qur’an, dan Mushaf Usmani. Ketiganya adalah tiga nama yang kendati mengacu pada satu substansi, tetapi kadar muatan ketiganya berbeda. Wahyu sebagai pesan otentiks Tuhan masih memuat keseluruhan pesan Tuhan; al-Qur’an sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam bentuk bahasa Arab oral memuat kira-kira sekitar 50 persen pesan Tuhan; dan Mushaf Usmani sebagai wujud konkret pesan Tuhan dalam

bentuk bahasa Arab tulis hanya memuat kira-kira tiga puluh persen pesan Tuhan. Jika selama menjadi wahyu masih memuat keseluruhan pesan Tuhan, tidak demikian halnya ketika telah menjadi Al-Quran dan Mushaf Usmani. Hal itu terjadi, bukan karena Tuhan tidak mampu menjamin keabadian pesan-Nya, melainkan karena keterbatasan Bahasa Arab yang dijadikan wadah pesan Tuhan yang tak terbatas itu.” (hal.vii).

 

Saya sangat prihatin dan sekaligus kasihan membaca berbagai uraian dalam buku ini. Sebab, buku ini ditulis oleh seorang dosen agama dan doktor lulusan UIN Yogya. Selain disebarkan melalui tulisan, dosen ini tentu juga mengajarkan pemikirannya kepada para mahasiswanya. Banyak sekali kekacauan dan kerancuan pemikirannya, yang tentu saja memerlukan terapi yang sangat serius. Marilah kita lihat contoh-contoh kekacauan berpikir dosen yang dinyatakan lulus doktornya di UIN Yogya dengan predikat cum laude ini. Dia menulis sebagai berikut:

 

”Ketika pesan Tuhan diwadahkan ke dalam bahasa Arab itu, maka Muhammad sebagai agen tunggal Tuhan yang juga sebagai masyarakat Arab memilih lafaz dan makna tertentu yang mampu memuat dua pesan, yakni pesan Tuhan dan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Implikasinya, teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun. Oleh karena itu, diperlukan sebuah teori interpretasi lain yang dinilai mampu menemani tafsir, sehingga yang terungkap bukan hanya pesan pemilik bahasa,tetapi juga pesan Tuhan. Hermeneutika tampaknya bisa menjadi mitra tafsir guna mengungkap pesan Tuhan di balik Bahasa Arab sebagai fenomena budaya.” (hal.viii).

 

Sekilas saja, kita bisa menilai, bahwa kata-kata si dosen STAIN itu sebenarnya asbun (asal bunyi).  Tuduhan bahwa Ilmu Tafsir selama ini tidak mampu menangkap pesan Allah dalam Al-Quran adalah suatu bentuk pernyataan asal-asalan. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan si dosen ini ”sakit jiwa”, sebab bisa meraih gelar doktor dari UIN Yogya dengan predikat cum laude dan bisa menulis banyak buku. Tetapi, yang jelas, selama 1400 tahun lebih, umat Islam di seluruh dunia telah memahami Al-Quran dengan menggunakan Ilmu  Tafsir dan tidak menggunakan hermeneutika. Lalu, tiba-tiba di ”zaman edan” ini  muncul ”pemikir luar biasa hebat”  dari UIN Yogya yang dengan gagah berani menyimpulkan:

 

 ”teori interpretasi yang hanya mengacu kepada fenomena kebahasaan semacam tafsir, hanya mampu menemukan pesan masyarakat Arab sebagai pemilik bahasa Arab. Sedang pesan Tuhan yang ada di dalamnya belum tersentuh sedikit pun.”

 

Karena berlagak menjadi mujtahid besar itulah maka pengguna hermeneutika -- seperti penulis buku ini -- lalu bersikap sok hebat dan merendahkan martabat, keilmuan, dan keikhlasan Khalifah Usman bin Affan serta  para ulama Islam terkemuka. Tapi, ironisnya, pada saat yang sama, kaum liberal juga sangat hormat dan bertaklid buta begitu saja kepada Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Khaled Abou el-Fadl, Farid Essac, Paul Ricour, Fazlur Rahman, Hegel, dan sebagainya. 

 

Simaklah sejumlah ungkapan AW tentang Mushaf Usmani berikut ini:

 

”Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa proses pembukuan Al-Quran diwarnai campur tangan Utsman dalam posisinya sebagai khalifah, yang oleh Abu Zayd disebut sebagai ”dekrit” khalifah.” (hal. 169)... ”Maka tidak bisa disalahkan kiranya jika diasumsikan bahwa di balik keputusan khalifah Utsman tersebut mengandung adanya unsur ideologis, terutama ideologi pemilik bahasa yang dipilih menjadi bahasa Mushaf Usmani.” (hal. 170)...”Lebih-lebih, Khalifah Utsman telah menghilangkan dan menyensor bahkan memusnahkan korpus kitab-kitab individu, seperti milik Ibnu Mas’ud dan Siti Hafsah. Ini jelas berimplikasi pada pemusatan pembacaan hanya pada Mushaf Usmani. Jika boleh memberi istilah, Mushaf Usmani ini telah menjadi ”penjara” bagi pesan rahasia Tuhan. Penjara yang dimaksud di sini adalah ideologi Quraisy yang melingkupinya, dan bahkan antara Quraisy dan al-Qur’an (Mushaf Usmani) merupakan dua anak kembar yang saling bersanding dan dua cabang yang berakar sama, yang dengannya mereka mencoba menancapkan hegemoninya.” (hal. 172).

 

Begitulah pandangan doktor UIN Yogya yang sangat merendahkan martabat Sayyidina Utsman bin Affan dan menistakan Al-Quran. Sebenarnya, jika AW mau mengungkapkan berbagai penjelasan dalam kitab Ulumul Quran, maka dengan mudah ditemukan penjelasan seputar tindakan Khalifah Utsman r.a. yang sangat mulia dan luar biasa besar jasanya dalam kodifikasi Mushaf Al-Quran. Tapi, dia lebih percaya kepada pendapat-pendapat orientalis yang memberikan berbagai tuduhan dan sangkaan terhadap Khalifah Utsman r.a., menantu Rasulullah saw, dan termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk sorga oleh Rasulullah saw.

 

Tindakan Sayyidina Utsman itu pun sudah mendapat pesertujuan dari semua sahabat, termasuk Abdullah bin Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menentang tindakan Utsman r.a., karena memang kodifikasi Al-Quran itu bukan dilakukan untuk kepentingan politik atau kesukuan. Karena itulah, sepanjang sejarah Islam, meskipun terjadi berbagai konflik politik, tidak pernah terpikir suatu rezim untuk membuat Al-Quran baru. Betapa pun kerasnya konflik antara Ali dan Mu’awiyah, keduanya tetap menjadikan Mushaf Utsmani sebagai pedoman. Setelah Abbasiyah berkuasa, mereka juga tidak mengganti Mushaf Utsmani dengan Mushaf baru. Maka, tuduhan-tuduhan keji terhadap Sayyidina Utsman r.a. dan Mushaf Utsmani sebenarnya sangat tidak ilmiah dan hanya berlandaskan kebodohan dan kebencian.

 Kajian terakhir yang menyudutkan Mushaf Usmani, misalnya datang dari seorang orientalis Kristen Jerman (berasal dari Lebanon) yang menggunakan nama samaran Christoph Luxenberg.  Sebagaimana para pendahulunya, Luxenberg juga menggugat Al-Quran sebagai “wahyu” yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Ia mencoba menggugurkan keyakinan kaum Muslim bahwa Al-Quran adalah “tanzil”, “suci”, bebas dari kesalahan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS 15:9). Menurut Luxenberg --  dengan melakukan kajian semantic terhadap sejumlah kata dalam Al-Quran Arab yang  diambil dari perbendaharaan bahasa Syriac -- Al Qur'an yang ada saat ini (Mushaf Utsmani) adalah salah salin (mistranscribed) dan berbeda dengan teks aslinya. Teks asli Al Qur'an, simpulnya, lebih mirip bahasa Aramaic, ketimbang Arab. Dan naskah asli itu telah dimusnahkan Khalifah Usman bin Affan. Dengan kata lain, Al-Quran yang dipegang oleh kaum Muslim saat ini, bukanlah wahyu Allah SWT, melainkan akal-akalan Utsman bin Affan r.a.  Lunxenberg – seperti banyak orientalis lainnya – mempertanyakan motivasi Utsman bin Affan melakukan kodifikasi Al-Quran. Ia menduga, teks Al-Quran yang dimusnahkan Utsman bin Affan berbeda dengan teks Mushaf Utsmani yang sekarang ini.  Tuduhan semacam ini sama sekali tidak beralasan, sebab proses kodifikasi Al-Quran di zaman Utsman bin Affan sangat terbuka kerjanya, dan Al-Quran selalu diingat oleh ratusan, ribuan – bahkan kini jutaan kaum Muslimin. Setiap kekeliruan akan selalu dikoreksi oleh kaum Muslim.  Tetapi, para orientalis memang tidak pernah berhenti untuk menyerang Al-Quran dengan berbagai cara. Ironisnya, cara-cara orientalis semacam ini sekarang dilakukan oleh beberapa akademisi dari kalangan Perguruan Tinggi Islam sendiri.  Bahkan, tuduhan-tuduhan tidak beradab terhadap Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anhu seperti yang dilakukan doktor UIN Yogya itu juga kemudian dialamatkan kepada Imam al-Syafii rahimahullah. Dengan menjiplak begitu saja pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, tanpa sikap kritis sedikit

pun, AW menulis: ”Al-Quran versi bahasa Quraisy inilah yang diperjuangkan oleh Imam Syafi’i sebagai wahyu Tuhan yang layak dihormati hingga pada teks tulisannya, sebagai konsekuensi logis di mana dan dalam suku apa ia dilahirkan.” (hal. 170).

 

Tentu sangatlah tidak beradab memberikan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada seorang ulama besar seperti Imam Syafii, yang begitu besar jasanya kepada umat Islam. Apalagi memberikan tuduhan dan prasangka negatif kepada sahabat-sahabat Rasulullah saw.  Umat Islam sangat mencintai Nabi Muhammad saw, dan tentu, umat Islam juga sangat mencintai para sahabatnya dan juga pelanjut risalahnya, yaitu para ulama yang alim dan shalih. Adab seperti inilah yang seharusnya dijaga dalam dunia ilmiah di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Tindakan menghujat dan melecehkan Al-Quran, sahabat, dan ulama, tidak patut dilakukan oleh seorang Muslim, meskipun dengan mengatasnamakan kebebasan ilmiah dan sikap kiritis.

 

Apalagi, faktanya, doktor UIN Yogya ini juga sama sekali tidak bersikap kritis ketika mengutip pendapat-pendapat para orientalis dan pemikir liberal. Ia menolak pemahaman bahwa lafaz dan makna Al-Quran (Mushaf Utsmani) berasal dari Allah, sehingga bersifat sakral (suci), dan membacanya dalam bentuk tartil pun dinilai sebagai membaca wahyu Allah dan si pembaca mendapatkan pahala. Menurut sang doktor  UIN Yogya tersebut, yang sakral dari Mushaf Utsmani hanyalah maknanya, sementara lafaznya tidak sakral. 

 

”Namun demikian, lafadznya, sebagai wadah pesan Tuhan tetap harus dihormati. Karena itu, yang dianjurkan membaca di sini adalah dalam arti mengungkap pesan itu, bukan tartilnya. Karena pesan itu terdapat dalam bahasa yang profan, maka diperlukan alat apa saja yang secara metodologis absah digunakan dalam sebuah kajian ilmiah, termasuk hermeneutika.” (hal. 184).

 

Membaca pemikiran doktor cum laude dari UIN Yogya ini, tentu wajar  jika selama ini kita mempertanyakan, mengapa penggunaan hermeneutika dalam studi Al-Quran terus digalakkan di Perguruan Tinggi Islam. Tampak jelas, bagaimana pemikiran sang doktor ini dalam menistakan Al-Quran, para sahabat Nabi Muhammad saw, dan para ulama Islam yang sangat kredibel. Kita bisa melihat bagaimana tendensiusnya kajian yang mempromosikan hermeneutika sebagai metode alternatif  dalam penafsiran Al-Quran. Kajian semacam ini jauh dari sikap ilmiah yang bermutu. Maka, adalah aneh, ketika

seorang guru besar di UIN Yogya, Prof. Dr. Hamim Ilyas, membuat kriteria bahwa salah satu ciri kaum fundamentalis adalah menolak penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran.

Mengapa muncul kegilaan pada hermeneutika dan penistaan Ilmu Tafsir pada sebagian akademisi di Perguruan Tinggi Islam?  Kita menemukan jawabannya pada artikel Dr. Syamsuddin Arif di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd”:  

 

“Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat… Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.” 

 

Dan memang faktanya, para pengguna hermeneutika dan pengecam Tafsir Al-Quran, hingga kini tidak pernah mampu membuat satu Tafsir Al-Quran pun. Sebab, tampaknya, ”maqam” mereka baru sampai pada tahap merusak dan hanya isapan jempol belaka, jika diangggap para hermeneut ini mampu menciptakan metode Tafsir Al-Quran baru yang sanggup menandingi kehebatan Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya. Bahkan, tampak jelas, buku karya doktor UIN Yogya ini pun tidak menunjukkan contoh, bagaimana metode dan model Studi Al-Quran yang baru dan hebat.

Kita yakin, Al-Quran ini Kalamullah. Al-Quran adalah milik Allah. Dan pasti, Allah yang menjaganya dari berbagai upaya untuk merusaknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang tahu diri!  Tidak patut burung emprit berlagak seperti burung elang.  Wallahu a’lam.  [Malang, 7 November 2009/www.hidayatullah.com]

“Memahami Perjuangan Pangeran Diponegoro”

Monday, 19 October 2009 13:59   E-mail |   Print   | PDF  

Pelajaran sejarah yang benar harus dipaparkan dengan benar kepada anak didik kita sehingga mereka bisa mengambil hikmah meneladani pahlawan Islam. Baca CAP Adian ke-272

Oleh: Dr. Adian Husaini

Hidayatullah.com--Pada jurnal Islamia-Republika, edisi 15 Oktober 2009, dimuat sebuah artikel menarik berjudul ”Diponegoro Pangeran Santri Penegak Syariat”. Artikel itu ditulis oleh Ir. Arif Wibowo,  mahasiswa Magister Pemikiran Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta.  Artikel itu membuka kembali wacana penting dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia bahwa Pangeran Diponegoro bukanlah pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda semata-mata karena urusan tanah atau tahta. Tapi, Pangeran Diponegoro adalah pahlawan Islam, bangsawan Jawa yang mendalami serius agama Islam, dan kemudian melawan penjajah Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah. Diponegoro adalah sosok pahlawan yang berani meninggalkan tahta dan kenikmatan duniawi demi mewujudkan sebuah cita-cita

luhur, tegaknya Islam di Tanah Jawa.

Berikut ini kita sajikan secara utuh tulisan yang menarik tentang Diponegoro tersebut.

Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur. Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.

Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.

Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan Residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).

Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda.  Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Perang besar

Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3. Kekurangadilan di masyarakat Jawa, 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”

Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).  (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).

Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.

Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.

Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial, bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.

Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia.  Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830, menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan.”

Demikianlah artikel penting yang ditulis Saudara Arif Wibowo tentang Pangeran Diponegoro. Informasi tentang Diponegoro tersebut perlu diajarkan di sekolah-sekolah kita, khususnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam. Saya masih menemukan banyak sekolah Islam yang masih mengajarkan cerita tentang Diponegoro yang keliru dan tidak menggambarkan Diponegoro sebagai seorang pahlawan Islam. Seolah-olah Diponegoro berjuang melawan Belanda hanya karena urusan duniawi.

Kita berharap, pengelola lembaga pendidikan Islam, juga para orang tua bersedia meneliti buku-buku pelajaran anak-anaknya, agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan fakta yang sebenarnya.

Cobalah bertanya kepada anak-anak kita, apakah mereka memahami bahwa Islam masuk ke Indonesia adalah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India.   Padahal, teori buatan Snouck Hurgronje itu sudah lama dijawab oleh para ulama dan sejarawan Muslim.  Para pendakwah Islam di wilayah Nusantara ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah para pendakwah yang datang dari negeri Arab yang serius mendakwahkan Islam; bukan sekedar pekerjaan sambilan dari pekerjaan utama, yaitu berdagang.

Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan lembaga-lembaga pendidikan, saya mengajak para pimpinan dan guru-gurunya, agar serius memperhatikan pelajaran sekolah anak-anaknya. Suatu ketika anak saya menyodori sebuah soal pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VI Sekolah Dasar dari suatu sekolah Islam terkenal.  Salah satu soalnya menceritakan bahwa ada seorang anak yang rumahnya jauh dari rumah. Setelah pulang sekolah ia harus membantu ibunya berjualan sampai Magrib. Usai shalat Magrib, dia masih harus mengaji, sehingga esoknya di sekolah dia kecapekan dan mengantuk. 

Soal semacam ini seyogyanya tidak diberikan kepada anak didik, apalagi di sekolah Islam. Mestinya diajarkan bahwa meskipun anak tersebut rumahnya jauh, harus membantu orang tuanya berjualan, dan juga harus mengaji, tetapi si anak tetap dapat meraih prestasi dengan baik di sekolahnya. Faktanya, tidak sedikit anak-anak berprestasi di sekolahnya justru anak-anak yang suka belajar dan bekerja keras, meskipun berada dalam kondisi kehidupan yang tidak mudah. 

Itulah pentingnya lembaga-lembaga pendidikan Islam melakukan perbaikan terhadap guru-guru dan kurikulum serta buku-buku pelajarannya. Kita berharap, dari sekolah-sekolah itulah akan lahir anak didik yang beradab. Yakni, anak didik yang mampu memandang dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai derajat yang ditentukan Allah SWT.

Seorang Pangeran Diponegoro harus diletakkan secara terhormat sebagai pahlawan pejuang agama Allah. Era reformasi dan keterbukaan harusnya mampu dimanfaatkan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam untuk merevisi, dan kalau perlu merombak, buku-buku pelajaran yang selama ini diajarkan kepada anak didik mereka.

Pelajaran sejarah sangat penting diberikan dengan mengungkap fakta dan perspektif yang benar untuk membentuk persepsi dan sikap hidup. Ketekunan, keikhlasan, kezuhudan, dan semangat jihad Pangeran Diponegoro seharusnya dipaparkan dengan benar kepada anak didik sehingga mereka tergerak untuk mengambil hikmah dan meneladani sang pahlawan Islam tersebut. [Jakarta, 17 Oktober 2009/www.hidayatullah.com]

Piagam Jakarta dan Sikap Kristen

Thursday, 09 July 2009 12:51   E-mail |   Print   | PDF  

Sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin “anti-Pancasila”.  Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-264

Oleh: Dr. Adian Husaini*

hidayatullah.com--Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa  “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh,  Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret  2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?”  Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

“Hal ini perlu terus kita  ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.

Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”

Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah

bukan hal baru. Mereka – sebagaimana sebagian kaum sekular – berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.

Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan  bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian  kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh Muhammadiyah, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam

kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah  PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.

Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.

Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda

yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam.  Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).

Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga,  Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.”  (Ibid, hal. 94).

Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.

Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih.  Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).

Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu  bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”  (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu

haram.”

Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil?  Hal. 20).

Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam  terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.

Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009/www.hidayatullah.com]

Piagam Jakarta dan Sikap Kristen (2)

Thursday, 09 July 2009 12:55   E-mail |   Print   | PDF   Tak beralasan prasangka terus dilakukan terhadap ummat Islam hanya karena Piagam Jakarta.Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-265 

Oleh: Dr. Adian Husaini*

hidayatullah.com--Pada tanggal 9 Maret 1981, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah memegang posisi sebagai Menteri Agama RI, menulis sebuah makalah berjudul “Menghilangkan Prasangka terhadap Piagam Jakarta”. Di tengah situasi politik yang tidak begitu kondusif bagi aspirasi Islam ketika itu, Kyai Saifuddin menyampaikan tujuan

penulisan makalahnya:

“Tujuan penulisan makalah ini hendak menghilangkan prasangka. Mungkin akan berhasil, tetapi juga mungkin tidak berhasil. Tetapi saya telah berusaha, telah berikhitiar. Jika tokh saya tidak menulisnya, prasangka akan tetap ada dan tidak digarap hilangnya. Membiarkan prasangka sama dengan menyetujui prasangka. Dan ini suatu sikap mental yang tidak baik bahkan berbahaya.”

Pernyataan Kyai Saifuddin Zuhri itu masih relevan untuk direnungkan. Prasangka terhadap Piagam Jakarta masih dipelihara pada berbagai kalangan. Bukan hanya di kalangan non-Muslim, bahkan juga di sebagian kalangan Muslim sendiri. Bukan hanya salah paham, tetapi sengaja menyalahpahami dan mungkin juga menyalahpahamkan. Dalam makalahnya, Kyai Saifuddin Zuhri juga mengingatkan, bahwa dari prasangka kemudian muncul sikap curiga, dan seterusnya, yang kemudian berkembang menjadi tindakan memata-matai. “Jika memata-matai telah membudaya, di sekeliling kita akan bertebaran tukang-tukang cari kesalahan orang lain, kalau tidak diketemukan lalu dicari-cari dengan membuat skenario palsu. Ini akan melahirkan “dorna” dan “sengkuni” bergentayangan mencari mangsa. Maka, fitnah bakal merajalela,” tulis Kyai Saifuddin Zuhri.

Tampaknya, makalah Kyai Saifuddin ditulis menyusul banyaknya sikap curiga dan tuduhan terhadap umat Islam yang hendak memperjuangkan aspirasi politik Islam di masa Orde Baru, saat itu. Ditegaskan oleh Kyai Saifuddin,  bahwa cita-cita dalam berpolitik bagi umat Islam merupakan kebudayaan mereka. Lalu, Kyai Saifuddin menegaskan: “Apirasi Islam itu senantiasa tumbuh melandasi aspirasi nasional kita yang berkembang menjadi budaya nasional yang bercorak Islam dan berjiwa patriotik. Hanya saja, tiap-tiap dihadang oleh kekuatan yang hendak menghambat Islam, maka orang-orang Islam menjadi bangkit semangatnya untuk mempertahankan keyakinan mereka. Hal demikian itu adalah konsekuensi logis dan bukan radikalisme apalagi ekstrim.”

Tentang Piagam Jakarta dan Pancasila, Kyai kelahiran Banyumas 1 Oktober 1919 ini mengingatkan: “Tidak sedikit orang yang melupakan bahwa justru Piagam Jakartalah yang dengan tegas-tegas menyebut kelima sila dalam Pancasila mendahului pengesahan UUD 1945 itu sendiri.”  Piagam Jakarta 22 Juni 1945 hanya memiliki perbedaan tujuh kata dengan Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Tujuh kata itu ialah: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  Sebenarnya, menurut Kyai yang juga penulis produktif ini, nilai tujuh  kata-kata itu bersifat konstitusional dan tidak seolah-olah menganakemaskan umat Islam. Umat Islam adalah golongan mayoritas. Mereka telah dijamin hak-haknya dalam melaksanakan tujuh  kata-kata tersebut oleh pasal 29 UUD 1945 ayat 1 dan 2. Lagi pula, Piagam Jakarta, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah barang yang sah di Indonesia. Kyai Saifuddin mengutip pidato Presiden

Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965:  “Perhatikan, di antaranya penandatangan daripada Jakarta Charter ini, ada satu yang beragama Kristen saudara-saudara, yaitu Mr. A.A. Maramis.  Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi

dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Jadi, tegas Kyai Saifuddin Zuhri, Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai. Tujuh kata-kata dalam hubungannya dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya tidak menjadi hilang meskipun Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam UUD 1945. Melaksanakan syariat Islam bagi umat Muslimin dan muslimat tetap dijamin oleh pasal 29 UUD 1945. Bangsa Indonesia yang beragama Islam dapat melaksanakan Pancasila tanpa melepaskan syariat Islam. “Sebab itu,” tegasnya, “tidaklah beralasan prasangka terhadap ummat Islam dikarenakan oleh Piagam Jakarta, justru sejarah telah membuktikan betapa besar toleransi ummat Islam terhadap Negara dan Bangsa. Ummat Islam hanya mengharapkan semoga memperoleh respons toleransi dari pihak lain jikalau ummat Islam menggunakan hak-hak mereka melalui pasal 29 UUD (1945) di dalam melaksanakan syariat Islam secara komplit dan legal.”

Itulah harapan KH Saifuddin Zuhri, seperti ia tuangkan dalam salah satu makalahnya. Ia menegaskan, bahwa “Piagam Jakarta tidak mengandung unsur prasangka untuk dicurigai.”  Sebagai orang yang bergelut dalam perjuangan Islam di Indonesia, Kyai Saifuddin tampaknya merasakan betapa tidak mudahnya umat Islam meminta pengertian itu; meminta toleransi untuk melaksakan kewajiban sebagai Muslim di Indonesia. Berbagai tudingan dan kecurigaan bagai tiada berhenti, dan lagi-lagi, biasanya aspirasi umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, dihadang dengan tudingan “ekstrim:, “radikal”, dan sebagainya, serta hendak  mengembalikan Piagam Jakarta. (Makalah KH Saifuddin Zuhri tentang Piagam Jakarta ini dimuat dalam bukunya, Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid 3, (Jakarta: Gunung Agung, 1982).

Tahun 1981, saat KH Saifuddin Zuhri menulis makalahnya, adalah situasi dimana hubungan antara Islam dan pemerintah masih bersifat sangat antagonistik. Umat Islam ketika itu dihadapkan pada tekanan-tekanan untuk mensekulerkan agamanya. Salah satu yang sangat menjengkelkan umat Islam ketika itu adalah berbagai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Dr. Daoed Joesoef (1978-1983), yang dinilai merugikan umat Islam.

Di Majalah Panji Masyarakat, edisi 315/1981, Hamka menulis kolom Dari Hati ke Hati dengan judul Pedoman Perpustakaan SLTA. Hamka mengkritik keras kebijakan Menteri P&K Daoed Yusuf yang mencabut liburan puasa, sampai-sampai mencabut subsidi pemerintah kepada sekolah Muhammadiyah kalau masih meliburkan muridnya pada bulan puasa. Hamka juga mengkritik keras gagasan pengajaran ”Panca Agama” di sekolah-sekolah.   Hamka menengarai adanya usaha-usaha yang halus untuk memperkecil jumlah kaum Muslimin. Ia menyebutkan adanya larangan dari Ka-Kanwil P&K Jawa Timur untuk menyebarkan buku yang memuat ayat Lam yalid wa lam yuulad, wa lam yakun lahuu kufuwan ahad.  (Allah itu tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada yang serupa dengan Dia).

HAMKA menulis kritik yang sangat keras dalam kolomnya tersebut:

”Hal ini telah kita sanggah dan sanggahan pun telah kita sampaikan kepada Menteri P&K. Namun sampai sekarang larangan peredaran buku itu masih berlaku. Alasannya ialah karena hal itu melanggar kerukunan hidup beragama! Tegasnya ialah ”demi kerukunan hidup beragama”, orang Islam mulai sekarang mulai dilarang menyatakan pokok keyakinan agamanya! Dan mulai sekarang – demi apalagi – hendaklah membaca buku Keristen banyak-banyak, mulai membuka tanahnya untuk mendirikan gereja! Sehingga dalam 25 tahun saja, di tanah Jawa orang Islam jadi minoritas, dan di Indonesia 50 tahun! Semua keadaan ini bukankah membuat panas hati kita, melainkan buat membikin kita lebih waspada dan bekerja dengan kepala dingin.”

Memang, dalam otobiografinya, Dia dan Aku (Jakarta: Kompas, 2006), Daoed Joesoef mengungkapkan kejengkelannya terhadap tokoh-tokoh Islam yang menentang masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN. Ia juga menuduh sejumlah tokoh Islam ingin menjadikan negara Indonesia menjadi negara Islam, menggantikan negara Pancasila. Daoed memberikan komentar tentang sejumlah orang bersurban yang mendatanginya: ”Ketebalan surban itu kuanggap tidak lebih lebih dari upaya menutup-nutupi kepicikan pandangannya, menyembunyikan hasrat mereka menjadikan negara Indonesia sebuah Negara Agama, Negara Islam, bukan lagi Negara Kebangsaan, Negara Pancasila. Padahal, konsep Negara Islam tidak ada, baik di dalam Al Quran maupun dalam As Sunnah.”

Daoed Joesoef yang merupakan salah satu tokoh penting di CSIS (Center for Strategic and International Studies) juga memiliki pandangan agar Pendidikan Agama tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, gagasan itu tidak dapat diterapkannya semasa menjabat Menteri P&K. Ketika terjadi perdebatan dengan seorang anggota DPR tentang Aliran Kepercayaan dan pelajaran agama di sekolah, Daoed menyatakan:

”Kalau hal ini diserahkan kepada Menteri, jawabku, jelas dan pasti, yaitu yang harus dihapus itu justru pelajaran agama dari kurikulum dan sistem pembelajaran di semua sekolah negeri, lalu diganti dengan mata pelajaran matematika atau ilmu-ilmu kealaman. Kedua mata pelajaran tersebut memang perlu diperbanyak guna memenuhi tuntutan hidup di abad XXI mendatang. Adapun pengajaran agama seharusnya tidak dijadikan urusan pemerintah karena ia adalah urusan privat, hak prerogatif keluarga yang harus dihormati dan tugas-kewajiban komunitas agama yang bersangkutan itu sendiri. Negara sebaiknya tidak mencampuri soal-soal keyakinan religius.”

Konsep Negara Pancasila yang dipahami oleh Daoed Joesoef dan kawan-kawan memang sebuah konsep negara sekular. Ketika menjabat sebagai menteri P&K, Daoed bahkan tidak mau mengucapkan salam secara Islam. Ketika dikritik, dia memberikan bantahannya: ”Aku katakan, bahwa aku berpidato sebagai Menteri dari Negara Republik Indonesia yang adalah Negara Kebangsaan yang serba majemuk, multikultural, multiagama dan kepercayaan, multi suku dan asal-usul, dan lain-lain, bukan Negara Agama dan pasti bukan Negara Islam.”

Lebih jauh, Daoed Joesoef mengungkapkan bahwa ia menganut konsep laisitas (laicité), yaitu sikap tidak akan memakai agama untuk mendesakkan apalagi memaksakan, hukum dan/atau peraturan perundangan mengenai kehidupan manusia. Artinya, di Negara Republik Indonesia, boleh ada masjid, gereja, kuil, atau rumah/tempat ibadah apa pun sebutannya. Selanjutnya Daoed Joesoef menjelaskan konsepnya tentang negara laiq – yang sebenarnya identik dengan konsep negara sekular. Ia katakan: ” Sebab selama kita tidak bersedia menegakkan suatu garis pemisah antara politik dan agama, selama itu pula akan ada masalah dan pasti Pancasila akan dipersoalkan, dirongrong terus-menerus dengan alasan-alasan yang tidak nalariah, bernuansa emosional fanatik. Setahuku Republik Turki adalah negeri muslim pertama yang menjadi negara laiq, mengubah kerajaan Islam ortodoks menjadi negara nasional modern, yang memisahkan agama dari politik.”

Tentu saja, ide Daoed Joesoef  tentang negara Pancasila yang ideal seperti negara Turki modern di bawah Mustafa Kemal Ataturk adalah hal yang aneh. Ia bahkan menyesalkan, Presiden Soeharto tidak mengikuti jejak Kemal Attaturk. “Presiden Soeharto ternyata bukan reformis di bidang kehidupan beragama seperti Presiden Mustafa Kemal,” tulis Daoed Joesoef.  Jadi, idola Daoed Joesoef adalah Mustafa Kemal Ataturk. Ia kecewa karena Soeharto tidak bersedia mengikuti jejak Mustafa Kemal Ataturk.

Sebelum era Daoed Joesoef itu, umat Islam juga masih ingat, bagaimana kerasnya kaum Kristen di Indonesia ketika menolak RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dan RUU tentang Peraturan Pernikahan Umat Islam, tahun 1969. Pada tanggal 1 Februari 1969, Fraksi Katolik di DPR  mengeluarkan pernyataan sikap bertajuk: “Undang-Undang Perkawinan Harus Tidak Bermotifkan Alasan-alasan Agama.”  Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Harry Tjan Silalahi (ketua) dan F.X. Sudiyono (sekretaris), ditegaskan: “Dengan masuknya RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan yang antara lain menentukan, bahwa Hukum Nasional Tunduk pada Hukum Agama, seperti tersebut dalam pasal 37 RUU tersebut, maka Fraksi Katolik berpendapat, bahwa RUU itu akan meninggalkan Kaidah pokok (grundnorm) tertib hukum kita, ialah Pancasila. Pun dengan maksudnya RUU tentang peraturan Pernikahan Umat Islam di DPRGR memungkinkan adanya dua sumber tertinggi bagi tertib hukum kita, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan Wahyu Tuhan.”

Fraksi Katolik juga menyatakan, RUU tentang Perkawinan tersebut memang tidak sesuai dengan hakekat negara Pancasila. “Hal yang demikian berarti bahwa ada perubahan dasar negara. Negara tidak lagi berdasarkan Pancasila, tetapi berdasarkan Agama, hal mana cocok dengan prinsip yang terkandung dalam Piagam Jakarta.”

Jadi, begitulah sikap kaum Kristen di Indonesia tentang Piagam Jakarta. Entah mengapa, begitu kerasnya penolakan mereka terhadap hukum yang hanya mengatur umat Islam saja. Padahal, setelah UU Perkawinan No 1/1974 disahkan, yang menetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan berdasarkan agama, ternyata, Negara Kesatuan Republik Indonesia juga baik-baik saja. [Depok, 3 Juli 2009/www.hidayatullah.com]

” ”Kampanye Lesbi Profesor AKKBB”

Saturday, 07 June 2008 19:20   E-mail |   Print   | PDF  

Profesor tidak jaminan pasti bener (benar, red). Banyak banyak pula profesor yang keblinger. Contohnya profesor dari kelompok AKKBB ini. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-237

Oleh: Adian Husaini

Namanya sudah sangat masyhur. Media massa juga rajin menyiarkan pendapat-pendapatnya. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Biasanya menyuarakan aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia memang salah satu aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Beberapa buku sudah ditulisnya. Gelar doktor diraihnya dari UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.  Gelar Profesor pun diraihnya.

Biasanya, dia dikenal sebagai feminis pejuang paham kesetaraan gender. Umat Islam sempat dihebohkan ketika Prof. Musdah dan tim-nya meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide ”aneh” yang tercantum dalam CLD-KHI tersebut. Misalnya, ide untuk mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, dan sebagainya. Sejumlah Profesor syariah di UIN Jakarta sudah menjawab secara tuntas gagasan Musdah dan kawan-kawan. Puluhan – bahkan mungkin ratusan -- diskusi, debat, seminar, dan sebagainya sudah digelar di berbagai tempat.

Toh, semua itu dianggap bagai angin lalu. Prof. Musdah tetap bertahan dengan pendapatnya. Biar orang ngomong apa saja, tak perlu dipedulikan. Jalan terus! Bahkan, makin banyak ide-ide barunya yang membuat orang terbengong-bengong. Pendapatnya terakhir yang menyengat telinga banyak orang adalah dukungannya secara terbuka terhadap perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Pada CAP-230 lalu, kita sudah membahas masalah ini. Ketika itu, banyak yang bereaksi negatif, seolah-olah kita membuat fitnah terhadap Prof.  Musdah. Ada yang menuduh saya salah paham terhadap pemikiran Musdah.

Untuk memperjelas pandangan Musdah Mulia tentang hubungan/perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian),  ada baiknya kita

simak beb erapa tulisan dan wawancaranya di sejumlah media massa. Dalam sebuah makalah ringkasnya yang berjudul ”Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini menulis:   

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)

Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan di lingkungan aktivis lieral sendiri. Banyak yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis. Tidak heran jika pada 7 Maret 2007 pemerintah Amerika Serikat menganugerahinya sebuah penghargaan ”International Women of Courage Award”.

Sebenarnya, sudah sejak cukup lama Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008  yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai ”tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.

Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: ”Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.”   Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.

Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Aal-Quran:

”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.” 

Selanjutnya, dia katakan:

”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.” 

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.

”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,” gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.

Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan ”orientasi seksual lainnya” termasuk juga ”orientasi seksual dengan binatang”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan Tinggi Islam tekenal ini tentu merupakan sebuah dukungan yang sangat berarti.  Karena itulah, Jurnal Perempuan secara khusus memampang biodata Prof. Musdah. Wanita kelahiran 3 Maret 1958 ini lulus pendidikan S-1  dari IAIN Alaudin Makasar. S-2 ditempuhnya di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Jakarta. Begitu juga dengan jenjang S-3 diselesaikan di IAIN Jakarta dalam bidang pemikiran politik Islam. Aktivitasnya sangat banyak. Sejak tahun 1997-sekarang masih menjadi dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta. Tahun 1999-2000 menjabat sebagai Kepala Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Depag RI. Masih menurut birodata di Jurnal Perempuan, sejak tahun 2001-sekarang, Musdah Mulia juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Tapi, data ini ternyata tidak benar. Saya sempat mengkonirmasi ke seorang pejabat di Departemen Agama tentang posisi Musdah Mulia ini, dijawab, bahwa dia sudah dikembalikan posisinya sebagai peneliti di Litbang Depag.

Banyak yang bertanya, apa yang salah dengan pendidikan Prof. Musdah? Mengapa dia menjadi pendukung lesbian? Jawabnya: Wallahu A’lam. 

Yang jelas, Musdah Mulia memang seorang ’pemberani’. Amerika tidak keliru memberi gelar itu. Dia berani mengubah-ubah hukum Islam dengan semena-mena. Dia memposisikan dirinya sebagai ’mujtahid’. Dia berani menyatakan dalam wawancaranya bahwa:

”Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.” 

Para pakar syariah tentu akan geli membaca ”hasil ijtihad” Musdah ini. Seorang Profesor – yang juga dosen UIN Jakarta – pernah berargumen, di dalam Al-Quran tidak ada larangan secara eksplisit bahwa Muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ketika itu, saya jawab, bahwa di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing. Tidak ada larangan kencing di masjid, dan sebagainya.  Apakah seperti ini cara menetapkan hukum di dalam Islam? Tentu saja tidak. Melihat logika-logika seperti itu, memang tidak mudah untuk mengajak dialog, karena dialog dan debat akan ada gunanya, jika ada metodologi yang jelas. Sementara metode yang dipakai kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.

Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Karena itu, kita bisa memahami,  betapa ”hebatnya” Musdah Mulia ini, sehingga bisa menyalahkan ijtihad ribuan ulama dari seluruh dunia Islam. Jika pemahaman Musdah ini benar, berarti selama ini ulama-ulama Islam tolol semua, tidak paham makna Al-Quran tentang kisah kaum Luth. Padahal, dalam Al-Quran dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya):

”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:

“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip  sebuah hadits Rasulullah saw:

“… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.”  (HR at-Tirmidzi, al-Hakim,  dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan:

”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”

Camkanlah pendirian Ibu Professor AKKBB ini. ”Saya yakin ini!” katanya. Itulah pendiriannya. Demi kebebasan, orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia bisa juga berpikir: ”Tuhan pun bisa diatur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian dan sikap aktivis AKKBB seperti Mudah Mulia. Jika yang bathil dalam soal aqidah – seperti kelompok Ahmadiyah – saja didukung, apalagi soal lesbian. Meskipun sering mengecam pihak lain yang memutlakkan pendapatnya, Ibu Profesor yang satu ini mengaku yakin dengan pendapatnya, bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban. 

Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa ’mengelus dada’, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki berpikirnya. Profesor tidak jaminan benar. Banyak profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai ”mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya,  kasihan mahasiswa yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang

mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.

Mudah-mudahan, Ibu Profesor aktivis AKKBB ini tidak ketularan watak kaum Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang, dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167).  [Depok, 6 Juni  2008/www.hidayatullah.com]

‘’Seminar Pluralisme Agama di IAIN Surabaya’’

Friday, 04 May 2007 20:37   E-mail |   Print   | PDF  

 

 

Peristiwa seminar ”Pluralisme Agama” di IAIN Surabaya perlu menjadi perhatian serius umat Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini

Oleh: Adian Husaini

 

Situs ww.hidayatullah.com, 26 April 2007, melaporkan sebuah peristiwa penting yang terjadi di IAIN Surabaya. Peristiwa itu adalah sebuah seminar dengan tema ‘’Islam dan Pluralisme’’; bertempat di ruang sidang rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, pada Rabu, 25 April 2007. Hadir dalam acara tersebut empat nara sumber, yaitu Budhy Munawar-Rachman dari Universitas Paramadina (Program officer Islam and Civil Society The Asia Foundation), Dr. Masdar Hilmy, MA (dosen IAIN Surabaya) Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA (Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur) dan Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si (Purek II IAIN Surabaya).

Seminar yang dihadiri sekitar 70 orang tersebut mendiskusikan urgensi pluralisme dalam situasi global saat ini, terutama dalam konteks ke-Indonesia-an yang multikultural. Dalam makalahnya, Budhy Munawar-Rachman, penulis buku “Islam Pluralis” menyatakan bahwa sekarang ini, pluralisme dan dialog antaragama menjadi agenda yang semakin penting untuk direalisasikan, terutama di kalangan ahli agama.

Menurut Budhy, seminar kali ini merupakan langkah awal selama satu semester ini. Puncaknya nanti akan digelar sebuah pertemuan mahasiswa IAIN, STAIN dan UIN di seluruh Indonesia yang akan membahas tentang pentingnya pluralisme di Indonesia, demikian pemaparan Budhy Munawar-Rachman dalam prolog penjelasannya.

Dalam makalahnya yang berjudul "Pluralisme dan Dialog Antar Agama Dalam Sejarah Islam" Budhy mengatakan, bahwa secara eksplisit, al-Quran menegaskan bahwa Islam adalah penerus agama (millah) Ibrahim (QS 6 :161). Penegasan ini mengandung gagasan bahwa Islam tidak hanya mempunyai keterkaitan sejarah, tetapi juga titik-titik temu, dengan Yahudi dan Kristen yang berasal dari leluhur yang sama, yaitu millah Ibrahim.

Budhy memuji sikap mahasiswa IAIN dibandingkan mahasiswa kampus umum. Kata dia:

"IAIN jauh lebih progresif dan modernis di bandingkan dengan kampus-kampus umum yang cenderung konservatif dan emosional." Pujian Budhy itu disambut tepuk tangan meriah para mahasiswa IAIN Surabaya.

Pandangan Budhy terhadap QS 6:161 adalah aneh. Ayat al-Quran itu menyebutkan, ”Katakanlah, sesungguhnya aku telah diberi petunjuk akan daku oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus. Agama yang teguh, agama Ibrahim yang hanif, dan tidaklah dia itu dari orang-orang musyrik.”

Dalam pandangan Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, yakni Islam, adalah kelanjutan dari millah Ibrahim, yang susbtansinya adalah tauhid. Karena itu, Judaisme (agama Yahudi) dan agama Kristen dipandang oleh Islam sebagai agama yang menyimpang dari agama Ibrahim, sebab Yahudi dan Kristen tidak bisa disebut agama Tauhid. Mereka tidak bisa memelihara agama tauhid karena mereka menolak untuk mengakui kenabian Muhammad saw. Karena itu, al-Quran menegaskan, bahwa ”Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan buka (pula) Nasrani, tetapi dia adalah seorang hanif dan muslim, dan sekali-kali dia tidak termasuk golongan musyrik.” (QS 3:67). Para ulama pengkaji agama-agama dulu membagi agama ke dalam dua golongan: agama yang haq dan agama yang menyimpang. Al-Biruni (973-1051 M), misalnya, selama 9 tahun melakukan penelitian di India dan kemudian menulis satu kitab berjudul ”Kitab al-Hind”. Di sini, al-Biruni – yang juga dikenal sebagai pakar fisika, astronomi, matematika, dan sebagainya – menulis: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq zaaigh.” (Bahwa selain agama yang haq (Islam) adalah agama yang menyimpang).

Selanjutnya, seperti diberitakan hidayatullah.com, Dr. Masdar Hilmy banyak mengecam MUI yang telah mengeluarkan fatwa haramnya paham Pluralisme Agama. Dosen IAIN Surabaya lulusan Mellbourne University ini menulis makalah berjudul "Pluralisme Keberagamaan di Tengah Perebutan Kuasa". Ia berpendapat bahwa keberadaan MUI yang disponsori pemerintah, sejatinya menjadi titik rawan bagi masuknya sikap-sikap intoleran terhadap perbedaan keyakinan dalam Islam.

Lebih lanjut dalam makalahnya juga dituliskan bawa pengharaman MUI terhadap pluralisme beberapa waktu lalu menyiratkan aroma perebutan kuasa dalam lanskap politik keagamaan. Sebagai solusinya dia menawarkan bahwa pemerintah mesti menjaga jarak dengan MUI dengan alasan demi tegaknya asas netralitas Negara sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Masdar Hilmy juga nyatakan, bahwa pluralisme perlu dikemas lebih menarik lagi, sebab jika ditampilkan secara gamblang kemungkinan besar IAIN tidak akan laku lagi di Indonesia. ”Inilah yang mesti kita renungkan bersama untuk mewujudkan pluralisme yang sesungguhnya dalam ranah sosial masyarakat Indonesia,” imbau Masdar Hilmy, seperti diberitakan hidayatullah.com.

Peristiwa seminar ”Pluralisme Agama” di IAIN Surabaya itu perlu menjadi perhatian serius dari umat Islam Indonesia. Peristiwa ini tidak kalah pentingnya dari rencana kedatangan delegasi parlemen Israel dalam acara Inter Parliementary Union (IPU) di Bali, 2007, yang telah ditolak secara tegas oleh berbagai elemen umat Islam. Rencana Budhy Munawar Rachman dan kawan-kawan, sebagai orang penting di The Asia Foundation, untuk menggelar pertemuan mahasiswa IAIN/UIN/STAIN se-Indonesia dalam rangka mendukung paham Pluralisme Agama, adalah langkah yang sangat hebat dalam upaya legitimasi paham Pluralisme Agama di Indonesia.

Kaum Pluralis Agama memang sangat terpukul dengan keluarnya fatwa MUI, tahun 2005, yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar, mereka tidak henti-hentinya mencaci maki MUI. Dan itu biasa dilakukan oleh sejumlah kalangan akademisi IAIN. Jika dalam seminar di IAIN Surabaya ini Dr. Masdar Hilmy mengecam MUI, maka kita juga pernah menyimak laporan utama di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 28 Th XIII/2005, yang memuat laporan utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.”

Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia membuat usulan untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.” Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya fatwa tentang sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan sebagainya.

Penyebaran paham Pluralisme Agama di Indonesia memang melibatkan pandanaan yang sangat besar. Inilah proyek yang sangat mudah untuk mengeruk uang dari lembaga-lembaga internasional Barat seperti The Asia Foundation, dan dari pemerintah AS sendiri. Dalam situsnya, Kedutaan

Besar Amerika Serikat di Jakarta (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi:  Catatan A.S. 2004 – 2005.”

Ada baiknya kita simak laporan yang ditulis dalam website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan pluralisme agama berikut ini:

”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga mengirim 38 siswa dan enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk mengikuti suatu Program Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program Pertukaran dan Studi Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program satu-tahun di sekolah-sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari kira-kira 10 agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan perjalanan pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multi-tahun membantu untuk melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu lembaga studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Hak Asasi Manusia dan menyelenggarakan kursus-kursus yang meningkatkan toleransi. Bantuan juga diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pelatihan dan pertukaran penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat mediasi di lembaga-lembaga Muslim. 

Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibuka di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.”

Demikianlah petikan laporan Kedubes AS di Jakarta dalam mendukung paham-paham pluralisme agama di Indonesia. Dengan laporan itu, kita maklum, mengapa penyebaran paham Pluralisme Agama menjadi agenda

penting banyak dosen IAIN. Disamping masalah pemahaman, bisa jadi, ini juga berkaitan dengan soal keuangan. Di sini ada proyek, di sini ada uang. Karena itulah, kampanye paham ini berlangsung mulus, dari kampus ke kampus. Kampus yang mau menerima program ini akan mendapatkan kucuran dana. Kampus yang menolak, tentu tidak akan mendapatkan apa-apa. Bahkan, akan dicap sebagai ’kolot’, ’ekstrim’, ’tidak progresif’, dan sebagainya, seperti yang dialamatkan kepada Kampus Universitas Muhammadiyah Gresik. Di tengah kesulitan ekonomi yang melilit bangsa, kita bisa memahami, mengapa banyak kalangan akademisi IAIN yang tergiur dengan proyek-proyek pluralisme agama semacam ini. Gaji dosen sangatlah kecil. Sementara mereka sudah lulus doktor. Kadangkala rumah pun belum punya. Kemana lagi cari proyek? Salah satu yang mudah adalah masuk arus program penyebaran paham Pluralisme Agama. Semula bisa jadi karena terpaksa, atau sekedar ikut-ikutan. Lama-lama bisa tergantung, bahkan kecanduan. Tetapi, masalahnya bukan sekedar soal ekonomi. Masalah yang lebih mendasar adalah persoalan paham, persoalan iman.

Padahal, Pluralisme Agama adalah paham racun aqidah Islam yang sangat berbahaya. Bahkan, bagi semua agama, paham ini sudah ditentang habis-habisan.  Kita bisa mengambil contoh, bagaimana Vatikan menyikapi paham ini. Vatikan bersikap tegas terhadap paham Pluralisme Agama. Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University, Roma, pernah mengajarkan paham bahwa agama-agama – termasuk Kristen – masih dalam proses menuju kebenaran final. Ia menulis buku Toward a Christian theology  of Religious Pluralism. Gara-gara itu, akhirnya ia diskors oleh Paus sebagai dosen di Gregorian University. Dan pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit). Paus juga menyatakan, bahwa agama-agama selain Katolik, memiliki kekurangan. Dan hanya Gereja Katolik yang merupakan jalan keselamatan yang sempurna menuju Tuhan. Tahun 2000 itu juga, Paus Yohannes Paulus II mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang secara tegas menolak paham Pluralisme Agama.

Jika Katolik saja bersikap tegas terhadap paham Pluralisme Agama, kita merasa aneh, mengapa pemerintah AS mendukung penyebaran paham syirik modern ini di kalangan Muslim. Kita sangat menyayangkan sikap pemerintah AS seperti itu. Mengapa uang mereka tidak digunakan saja untuk memperbaiki jalan-jalan di Indonesia yang rusak? Mengapa uang itu bukan digunakan untuk mengentaskan kemiskinan? Tetapi, mengapa uang itu justru dikucurkan untuk merusak Islam dan keimanan kaum Muslim, melalui penyebaran paham Pluralisme Agama? Tentu saja itu hak pemerintah AS. Hanya saja, yang lebih kita sesalkan adalah, mengapa ada saja kalangan akademisi IAIN dan sejenisnya yang mau-maunya dijadikan alat untuk merusak agama mereka sendiri. Kita hanya berdoa, mudah-mudahan kita tidak termasuk dari bagian mereka. Amin. [Depok, 4 Mei 2007/www.hidayatullah.com]