54
BAB 1. LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue, yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN 3, DEN 4, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk beina Aedes aegyti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya. Kejadian luar biasa (KLB) pertama penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954 dan wabah demam berdarah masuk ke Indonesia pada tahun 1968 yaitu di Surabaya dan Jakarta. Pada pengamatan selama kurun waktu 20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukannya kasus DBD, kejadian luar biasa penyakit ini diestimasikan terjadi setiap lima tahun dengan angka kematian terbanyak terjadi pada anak-anak. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011 jumlah kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur sejumlah 62 orang. Selain itu dilaporkan juga bahwa pada tahun 2010, jumlah pasien demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai 26.059 orang dengan angka kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan kasus dengan laporan dari kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah melaporkan 1

Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fish bone

Citation preview

Page 1: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 1. LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan

oleh infeksi virus dengue, yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN

3, DEN 4, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk beina Aedes aegyti dan Aedes

albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD

lainnya. Kejadian luar biasa (KLB) pertama penyakit demam berdarah dengue

(DBD) di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954 dan wabah demam berdarah

masuk ke Indonesia pada tahun 1968 yaitu di Surabaya dan Jakarta. Pada

pengamatan selama kurun waktu 20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukannya

kasus DBD, kejadian luar biasa penyakit ini diestimasikan terjadi setiap lima

tahun dengan angka kematian terbanyak terjadi pada anak-anak.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011

jumlah kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur

sejumlah 62 orang. Selain itu dilaporkan juga bahwa pada tahun 2010, jumlah

pasien demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai 26.059 orang dengan

angka kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk. Hal ini berarti bahwa

terjadi peningkatan kasus dengan laporan dari kabupaten/kota di Jawa Timur yang

telah melaporkan kasusnya menyatakan bahwa DBD tidak lagi hanya menyerang

anak-anak, tetapi juga orang dewasa.

Wilayah Jember pada tahun 2011, insiden DBD sebesar 3,21 per 1000

penduduk dengan jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan

dibandingkan pada tahun 2007 yang insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk

dengan jumlah kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar

0,34 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun).

Di Jember, wilayah endemik penyakit Demam Berdarah yang patut diwaspadai,

menurut Dokter Burhan ada di lima kecamatan. Untuk wilayah kota ada di

Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Kaliwates. Sedang tiga lainnya meliputi

Kecamatan Wuluhan, Puger dan Kecamatan Balung.

1

Page 2: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

1.2 Tujuan

a. Tujuan Umum

Meningkatkan upaya program P2PL

b. Tujuan Khusus

1. Melakukan pembentukan dan pelatihan kader

2. Membentuk Pos demam berdarah dengue

1.3 Manfaat

a. Untuk Mahasiswa

Untuk mengaplikasikan kompetensi keilmuan analisis manajemen layanan kesehatan

b. Untuk masyarakat

1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

2. Memandirikan masyarakat

c. Untuk pemerintah

1. Membantu pemerintah melakukan strategi pemberdayaan masyarakat

2. Membantu pemerintah untuk melakukan deteksi, pencatatan, dan

pelaporan kasus demam berdarah dengue.

2

Page 3: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 2. PENGKAJIAN

2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk

1) Keadaan penduduk

Berdasarkan hasil sensus penduduk pada tahun 2010, jumlah penduduk

Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dengan presentase penduduk perkotaan

sebesar 49,97% (118.320.256 jiwa) dan penduduk pedesaan sebesar 50,21%

(119.321.070 jiwa). Selain itu, persebaran kependudukan di indonesia berdasarkan

luas pulau-pulau besarnya, yaitu:

1. Pulau Sumatera dengan luas 25,2% dari total luas wilayah Indonesia memiliki

penduduk sebesar 21,3% dari total penduduk;

2. Pulau Jawa dengan luas 6,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki

penduduk sebesar 57,5% dari total penduduk;

3. Pulau Kalimantan dengan luas 28,5% dari total luas wilayah Indonesia

memiliki penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;

4. Pulau Sulawesi dengan luas 9,9% dari total luas wilayah Indonesia memiliki

penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;

5. Pulau Maluku dengan luas 4,1% dari total luas wilayah Indonesia memiliki

penduduk sebesar 1,1% dari total penduduk;

6. Pulau Papua dengan luas 21,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki

penduduk sebesar 1,5% dari total penduduk (BPS, 2010).

Jumlah penduduk dari hasil proyeksi penduduk berdasarkan P4B yaitu

sebesar 37.071.731 jiwa dengan pertumbuhan sebesar 2,39 persen, dengan

kepadatan penduduk sebesar 798 jiwa setiap 1 km, dengan rasio rata-rata jiwa/kk

adalah 4 jiwa, kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan

dengan kepadatan penduduk di kabupaten (Dinkes, 2006). Berdasarkan hasil

sensus penduduk pada tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Jawa

Timur sebesar 37.476.757 jiwa yang mencakup penduduk di daerah perkotaan

sebesar 17.832.733 jiwa dan (BPS, 2010)

Sedangkan hasil sensus penduduk menyebutkan bahwa kepadatan

penduduk Kabupaten Jember pada tahun 2000 adalah 664 jiwa/km2 yang

3

Page 4: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

kemudian meningkat menjadi 707 jiwa/km pada tahun 2010 (BPS, 2010).

Kecamatan dengan penduduk terjarang adalah Kecamatan Tempurejo dengan

tingkat kepadatan 135 jiwa/km2 dan kecamatan terpadat penduduknya adalah

Kecamatan Kaliwates yaitu mencapai 4480 jiwa/Km2. Bagi daerah – daerah yang

memiliki kepadatan jauh diatas ambang batas ideal, 700 jiwa/km2 akan rawan

terhadap berbagai macam permasalahan seperti kesehatan, pengangguran,

kesenjangan sosial, kriminalitas, dan sebagainya akibat dari terbatasnya daya

tampung dan daya dukung daerah (BPS, 2010).

Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, Jember

memiliki jumlah penduduk pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 2.327.049 jiwa

dengan kepadatan penduduk sebesar 707 jiwa/km2. Sedangkan pada tahun 2011

terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 2.395.319 dengan kepadatan

penduduk sebesar 727 jiwa/km2 (Depkes, tanpa tahun).

2) Keadaan ekonomi

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 mencapai

28,59 juta orang (11,66 persen) dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk

miskin pada Maret 2012 , maka selama enam bulan tersebut terjadi penurunan

jumlah penduduk miskin sebesar 0,54 juta orang (BPS, 2013). Berdasarkan

daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2012–September 2012, baik penduduk

miskin di daerah perkotaan maupun perdesaan sama-sama mengalami penurunan,

yaitu masing-masing turun sebesar 0,18 persen (0,14 juta orang) dan 0,42 persen

(0,40 juta orang) (BPS, 2013). Pada periode Maret 2012–September 2012, Indeks

Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

menunjukkan kenaikan sehingga mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran

penduduk miskin cenderung semakin menjauhi garis kemiskinan dan

ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar (BPS, 2013).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat didukung dengan stabilitas

makroekonomi dan sistem keuangan yang terjaga yang ditandai dengan:

a. Perekonomian Triwulan III-2011 tumbuh 6.5% didukung oleh konsumsi dan

ekspor.

4

Page 5: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

b. Kondisi pasar keuangan domestik semakin membaik seiring dengan respon

kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam memitigasi rambatan

gejolak ekonomi global.

c. Nilai tukar relatif stabil, meskipun masih mengalami tekanan depresiasi.

d. Tekanan inflasi terus menurun dan diprakirakan kedepan tetap terkendali

(Kemenko, 2011).

Menurut BPS Jatim (2013) menyebutkjan bahwa status perekonomian di

Jawa Timur mengalami inflasi sebesar 0,97 persen pada Februari 2013. Meskipun

terjadi inflasi perekonomian di Jawa Timur, tetapi tetap terjadi peningkatan

pendapatan pada triwulan II tahun 2012 sebesar 7,24 persen dengan peningkatan

terbesar pada sektor pengangkutan dankomunikasi (4,22%), sektor perdanganan,

hotel, dan restoran (4,00%), dan sektor industri (2,67%) (BPS, 2013). Sedangkan

penurunan perekonomian terjadi pada sektor pertanian dan sektopr air bersih,

listrik dan gas.

Sedangkan perekonomian pada Kabupaten Jember ditinjau dari besarnya

jumlah penduduk (Depkes, tanpa tahun), rasio beban tanggungan penduduk

Jember pada tahun 2007 sebesar 27,80 per 100 penduduk dan pada tahun 2008

terjadi peningkatan beban tanggungan sebesar 62,28 per 100 penduduk. Pada

tahun 2011 terjadi penurunan rasio beban tanggungan menjadi 44,01 per 100

penduduk. Hal ini mengartikan bahwa seorang penduduk Jember harus

menanggung ekonomi pada 2 hingga 3 orang keluarga sehingga dapat

disimpulkan bahwa status ekonomi penduduk Jember masih dibawah rata-rata dan

memiliki beban tanggungan yang cukup tinggi.

3) Keadaan pendidikan

Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, Jember

memiliki jumlah penduduk yang melek huruf pada tahun 2011 sebesar 13,80

persen dengan penduduk laki-laki yang melek huruf sebesar 14,27 persen dan

penduduk perempuan yang melek huruf sebesar 13,36 persen (Depkes, tanpa

tahun) .

5

Page 6: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

4) Keadaan kesehatan lingkungan

Kabupaten Jember merupakan salah satu daerah yang pertumbuhan

penduduknya cukup pesat di Jawa Timur dan menempati peringkat ketiga pada

tahun 2009 dengan jumlah penduduk mencapai 2.179.829 jiwa (Mediawati,

2011). Tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup pesat ini tidak diimbangi oleh

pembangunan infrastruktur yang mendukung kualitas kesehatan masyarakat serta

pengelolaan lingkungan seperti air bersih, sanitasi, drainase dan persampahan

(Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jember, 2009 dalam Mediawati,

2011). Arahan pengembangan prasarana dasar di Kabupaten Jember adalah

pengembangan sistem setempat secara komunal untuk limbah rumah tangga,

perbaikan dan peningkatan jumlah sarana sanitasi dan program penyuluhan

mengenai sanitasi (Dhokhikah, 2007 dalam Mediawati, 2011). Oleh karena itu,

pemerintah Kabupaten Jember berupaya untuk mengatasi masalah kesehatan

lingkungan melalui program pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan

seperti pengelolaan sampah, perbaikan saluran drainase dan pembangunan

fasilitas MCK umum.

5) Keadaan perilaku masyarakat

Kabupaten jember merupakan daerah endemis penyakit demam berdarah. Dari

catatan medis jumlah penderita demam berdarah dengue di wilayah kerja

Puskesmas Sumbersari pada tahun 2009 dari bulan Januari – Desember dengan

jumlah total kasus sebanyak 110 orang, penderita tersebut menyebar di 5

kelurahan yaitu kelurahan Sumbersari 78 orang, Tegalgede 23 orang, Wirolegi 6

orang, Karangrejo 3 orang, Antirogo 0. Dan meningkat pada tahun 2010 dari

bulan Januari sampai Desember dengan total jumlah kasus 164 orang, penderita

menyebar yaitu kelurahan Sumbersari 126 orang, Tegalgede 20 orang, Wirolegi 9

orang, Karangrejo 5 orang, Antirogo 4 orang. Dan untuk tahun 2011 terhitung

mulai Januari sampai Mei penderita berjumlah 8 orang, penderita tersebut

menyebar di wilayah Kelurahan Sumbersari 6 orang, Tegalgede 0, Wirolegi 1

orang, Karangrejo 0, Antirogo 1 orang. Dari kelima wilayah kerja puskesmas

6

Page 7: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

Sumbersari, Kelurahan Sumbersari merupakan jumlah kasus terbanyak penderita

DBD. (Data Puskesmas Sumbersari Mei 2011. Kabupaten Jember)

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit demam berdarah dengue

di kabupaten Jember hal ini dikarenakan perilaku masyarakat yang masih

membuang sampah di pinggir sungai, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

penyakit demam berdarah, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan

sarang nyamuk, dan pembangunan pemukiman perumahan yang masih padat

penduduk.

2.2 Situasi derajat kesehatan

1) Mortalitas

Pada tahun 2007 jumlah kasus demam berdarah dengue adalah sebnyak

158.115 kasusu dengan jumlah kematian 1.559 kasus kematian penduduk

Indonesia dengan nilai prosentase Jawa Timur adalah 1,43%. Case Fatality Rate

(CFR) pada tahun 2007 sebessar 1,01%. CFR DBD pada tahun 2003 berfluktuasi,

namun dalam dua tahun terakhr cenderung menurun.(depkes.co.id).

Pada tahun 2011 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah

kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur

sejumlah 62 orang dari total kasus 5.372.

2) Morbiditas

Indonesia masih memiliki peningkatan transisi epidemiologi yang

menyebabkan beban ganda (double burden) yang dihadapkan pada penyakit

infeksi (baik re-emerging maupun new emerging) dan gizi kurang, serta

meningkatnya penyakit non infeksi dan degeneratif. Apabila morbiditas terjadi

pada kelompok usia produktif, maka akan mempengaruhi produktivitas dan

pendapatan keluarga yang dapat mempengaruhi status ekonomi dan peningkatan

kemiskinan.

Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat diperoleh dari

laporan pada sarana pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di

puskesmas melalui pencatatan dan pelaporan maupun dari community based data

7

Page 8: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

dari hasil pengamatan (surveilance). Berdasarkan pengamatan penyakit

brpotensial KLB dan penyakit tidak menular yang diamati di Puskesmas dan

Rumah Sakit sentinel yang merupakan gardu pandang suatu pola dan trend

penyakit didapatkan 10 besar kunjungan kasus sebagai berikut (Dinkes, 2010)

Tabel 1. Penyakit terbanyak di Rumah Sakit Sentinel

di Provinsi Jawa Timur 2008-2011

NoTahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010Penyakit % Penyakit % Penyakit %

1. Diare 33,06 Diare 21,58

Diare 19,76

2. DBD 23,75 DBD 14,15

DBD 18,75

3. Demam dengue 8,38 Kecelakaan lalu lintas

11,57

Kecelakaan lalu lintas

9,60

4. Pneumonia 6,70 TBC paru BTA (+)

5,43 Demam dengue 6,04

5. TBC paru BTA (+)

6,47 Pneumonia 5,05 Hipertensi esensial

4,89

6. Tifus perut klinis

5,45 Hipertensi esensial

4,20 TBC paru BTA (+)

4,21

7. Hepatitis klinis 3,06 Demam dengue

4,12 Pneumonia 4,04

8. Tersangka TBC paru

2,69 DM YTT 3,93 DM YTT 3,11

9. Tetanus 1,99 Tifus perut klinis

3,36 Tifus perut widal (-)

2,999

10. Influenza 0,82 Tifus perut widal (-)

3,35 DM tak bergantung insulin

2,81

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010

Berdasartkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa DBD masih tetap

menempati urutan ke-2 berturut-turut pada kasus terbanyak dalam kurun waktu 3

tahun (2008-2010). Hal ini mengartikan bahwa kondisi lingkungan masyarakat

Jawa Timur masih belum memenuhi kriteria standar sehat.

Selain itu, telah dilaporkan juga bahwa pada tahun 2010, jumlah pasien

demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai 26.059 orang dengan angka

8

Page 9: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk. Hal ini berarti bahwa terjadi

peningkatan kasus dengan laporan dari kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah

melaporkan kasusnya menyatakan bahwa DBD tidak lagi hanya menyerang anak-

anak, tetapi juga orang dewasa. Data yang diambil pada tahun 2010 membuktikan

bahwa rasio insiden (incident rate) kasus DBD di Jember sebesar 63,9 per

100.000 penduduk telah menempati di bawah rata-rata incident rate Jawa Timur,

yaitu sebesar 69,5 per 100.000 penduduk.

Pada tahun 2011, insiden DBD di jember sebesar 3,21 per 1000 penduduk

dengan jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan

dibandingkan pada tahun 2007 yang insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk

dengan jumlah kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar

0,34 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun).

3) Dampak kesehatan akibat penyakit

Dampak kesehatan akibat penyakit demam berdarah dengue di daerah

Jember bisa mengakibatkan kematian jika tidak segera mendapatkan penanganan

dari petugas kesehatan.

2.3 Situasi upaya kesehatan

1) Pelayanan kesehatan dasar

Pelayanan kesehatan dasar di kabupaten Jember yaitu meliputi Puskesmas

dengan jumlah 49 buah, Puskesmas Pembantu 131 buah, Puskesmas Keliling 28

buah, dan Posyandu 2.755 buah.

2) Pelayanan kesehatan rujukan

Salah satu rumah sakit yang menjadi rujukan penyakit demam berdarah di

Jember adalah RSUD Dr. Soebandi Kabupaten Jember yang merupakan rumah

sakit kelas B Non Pendidikan yang ditetapkan sesuai Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor : 1162/Menkes/SK/IX/1992.

RSUD Dr. Soebandi ditetapkan menjadi rumah sakit pusat rujukan untuk

wilayah bagian timur Propinsi Jawa Timur meliputi empat Kabupaten sekitar

Jember yaitu Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Lumajang dengan

9

Page 10: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

cakupan seluruh penduduknya sekitar 8 juta jiwa. Sebagai rumah sakit rujukan

dengan letak RSUD Dr. Soebandi yang berada di tengah kota Jember cukup

strategis karena berada pada titik sentral dari 4 (empat) Kabupaten diatas.

3) Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat

Pada tahun 2010 pemegang kartu Jamkesmas di Jember berjumlah

382.229 orang, sedang penerima Jamkesda 13.061 orang dan pada tahun 2011

pemegang Jamkesmas meningkat menjadi 395.360 orang dan  Jamkesda menjadi

33.061 orang.

Bagi penduduk Jember yang tidak masuk dalam daftar jaminan kesehatan

masyarakat Jember tidak bisa memperoleh peleayan kesehatan gratis. Walaupun

demikian, Dinas Kesehatan Jember masih menyediakan anggaran Rp 500 juta

bagi warga miskin yang belum tercatat sebagai penerima Jamkesmas dan

Jamkesda. Jika sakit dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka diberi

kesempatan memperoleh biaya yang disediakan dari APBD, menggunakan surat

keterangan miskin. Untuk memperoleh surat keterangan miskin setiap pasien

harus mendapat rekomendasi dari kepala desa/lurah dan camat.

(http://bappeda.jatimprov.go.id).

4) Pencegahan dan pemberantasan penyakit

Adanya peningkatan kasus DBD pada provinsi Jawa Timur menyebabkan

angka morbiditas dan mortalitas akibat DBD menjadi meningkat. Upaya

pencegahan telah dilakukan dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk

dengan pencapaian keberhasilannya dilihat dari angka bebas jentik (ABJ) maupun

jumlah kasus yang terjadi, ternyata Jawa Timur kurang berhasil dalam melakukan

gerakan pemberantasan sarang nyamuk karena angka bebas jentik nyamuk (ABJ)

masih tergolong rendah dengan target dibawah 95 persen.

Meskipun upaya pencegahan dan penanggulangan antara lain melalui

fogging dan pemberantasan sarang nyamuk melalui gerakan ”3M PLUS”

(menguras ,mengubur, dan menutup tempat penampungan air), pelatihan jumantik

dan lain sebagainya telah digalakkan oleh pemerintah, tetapi partisipasi

masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD masih rendah yang dibuktikan

10

Page 11: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

dengan cakupan Angka Bebas Jentik (ABJ) sebesar 83,50%. Diharapkan pada

tahun mendatang capaian angka Bebas Jentik (ABJ) tersebut dapat ditingkatkan

menjadi 100%, sehingga tidak memberi kesempatan nyamuk untuk berkembang

biak.

2.4 Situasi sumber daya kesehatan

1) Sarana kesehatan

Sarana kesehatan dasar yang ada di Jember berupa polindes, posyandu,

dan puskesmas. Pada tahun 2007, jumlah polindes sebesar 116 buah, jumlah

posyandu masih belum terdata, jumlah puskesmas sebesar 49 buah, dan jumlah

pustu sebesar 126 buah. Pada tahun 2008, jumlah polindes sebesar 110 buah,

jumlah posyandu sebesar 2.819 buah, jumlah puskesmas sebesar 49 buah, dan

jumlah pustu sebesar 120 buah. Sedangkan pada tahun 2011, jumlah polindes

belum terdata, jumlah posyandu sebesar 2.819 buah, jumlah puskesmas sebesar 1

buah, dan jumlah pustu tidak terdata.

Sedangkan sarana rumah sakit yang tersedia berupa RS dr. Soebandi, RS

Balung, RS Paru, RS Bina Sehat, RS Citra Husada, dan RS Jember Klinik.

2) Tenaga kesehatan

Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, tenaga

kesehatan yang tersedia di Jember berupa tenaga medis, perawat dan bidan, tenaga

farmasi, tenaga gizi, tenaga teknisi medis, tenaga sanitasi, tenaga kesmas, dan

dokter gigi. Berikut ini merupakan daftar tenaga kesehatan yang ada di Jember

(Dinkes, 2011).

Tabel 2. Jumlah tenaga kesehatan Kabupaten Jember

No. Jenis tenaga kesehatanTahun

2007 2008 2011

1. Tenaga medis 102 391 59

2. Perawat dan bidan 618 1500 16

3. Tenaga farmasi 22 143 2

4. Tenaga gizi 14 56 6

11

Page 12: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

5. Tenaga teknisi medis 9 2 72

6. Tenaga sanitas 22 34 17

7. Tenaga kesmas 1 14 8

8. Dokter gigi - 114 44

Sumber: database kesehatan per kabupaten Kemenkes RI

3) Pembiayaan kesehatan

Pembiayaan kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada tahun

2011 sebanyak 29% menggunakan Jamkesmas (Jaminan Keehatan Masyarakat),

sebanyak 3% menggunakan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah), sebanyak 8%

menggunakan Askes (Ansuransi Kesehatan), sebanyak 2% menggunakan

Jamsostek. Selain itu pembiayaan kesehatan bisa didapatkan dari Bantuan

Operasional Kesehatan (BOK).

2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO

1) Kependudukan

Perbandingan beberapa data kependudukan negara Indonesia dengan

negara anggota ASEAN dan SEARO yaitu jumlah penduduk (juta jiwa)

pertengahan tahun 2012 adalah 238,2 juta jiwa (hasil sensus penduduk tahun

2010: 237,6 juta jiwa). Indonesia menduduki peringkat ke dua dari jumlah 18

anggota ASEAN dan ASERO yang meliputi Brunei Darussalam sebanyak 0,4 juta

jiwa; Filifina sebanyak 95,7 juta jiwa; Kamboja 14,7 juta jiwa; Laos 6,3 juta jiwa,

Malaysia 28,9 juta jiwa, Singapura 5,2 juta jiwa; Vietnam 87,9 juta jiwa ;

Myanmar 54,0 juta jiwa; Thailand 69,5 juta jiwa; Bangladesh 150,7 juta jiwa;

Bhutan 0,7 juta jiwa; India 1241,3 juta jiwa; Korea Utara 24,5 juta jiwa;

Maladewa 0,3 juta jiwa; Nepal 30,5 juta jiwa; Sri Langka 20,9 juta jiwa; dan

Timor Leste 1,2 juta jiwa.

2) Derajat kesehatan

Pada tahun 2007 angka kematian bayi di lima negara ASEAN yaitu

Singapura, Brunei Darussalam, Malysia, Vietnam, dan Thailand termasuk negara

12

Page 13: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

dengan angka kematian bayi rendah. 2 negara yaitu Filifina dan Indonesia

termasuk kelompok sedang. Sedangkan 3 negara lainnya masukdalam kelompok

negara yang memiliki angka kematian bayi tinggi. Tidak ada negara yang masuk

ke dalam kelompok anggka kematian bayi sangat tinggi (.100 per 1000 kelahiran

hidup).

Berdasarkan klasifikasi yang sama maka 2 negara di SEARO, yaitu Sri

Lngka dan Thailand masuk dalam kategori negara dengan angka kematian bayi

rendah, 5 kategori sedang dan sisanya, yaitu 4 termasuk kategori tingi.

Berdasarkan angka kematian bayi di negara-negara ASEAN dan SEARO

antara 2,4 dan 88 . Indonesia memilki angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran

hidup dan berada di peringkayt 10 di antara 18 negara tersebut.

3) Upaya kesehatan

Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan

SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase KB aktif pada

PUS pada tahun 2011 Brunei Darrussalam dan Malaysia sebanyak 0%, Filifina

sebanyak 34%, Kamboja 35%, Laos 29%, Singapura 55%%, Vietnam 68%,

Myanmar 38%, Thailand 77%, Bangladesh 48, Bhutan 65%, India 47%, Korea

Utara 58%, Maladewa 27%, Nepal 44%, Sri Langka 53%, Timor Leste 21%, dan

Indonesia mempunyai presentase KB aktif pada PUS yaitu sebanyak 57%.

Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan

SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi pemeriksaan antenatal pada

tahun 2000 samapi 2010 yaitu Brunei Darrussalam, Malaysia, Singapura, Laos

dan Bhutan adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 78%, Kamboja 27%, Vietnam

29%, Myanmar 43, Thailand 80%, Bangladesh 21, India 50%, Korea Utara 95%,

Maladewa 27%, Nepal 29%, Sri Langka 93%, Timor Leste 55%, dan Indonesia

mempunyai presentase pemeriksaan antenatal yaitu sebanyak 82%.

Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan

SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase persalianan oleh

tenaga kesehatan pada tahun 2011 Brunei Darrussalam 100%, Malaysia sebanyak

62%, Filifina sebanyak 44%, Kamboja 20%, Laos 100%, Singapura 100%,

13

Page 14: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

Vietnam 88%, Myanmar 37%, Thailand 99%, Bangladesh 18%, Bhutan 72%,

India 47%, Korea Utara 97%, Maladewa 95%, Nepal 19%, Sri Langka 99%,

Timor Leste 30%, dan Indonesia mempunyai presentase persalinan oleh tenaga

kesehatan yaitu sebanyak 73%.

Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan

SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi anak dengan ASI eksklusif

(6 bulan) pada tahun 2000 sampai 2012 yaitu Brunei Darrussalam, Singapura,

Malaysia adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 34%, Kamboja 34%, Laos 66%,

Singapura 26%, Vietnam 17%, Myanmar 31, Thailand 15%, Bangladesh 43,

Bhutan 10%, India 46%, Korea Utara 65%, Maladewa 48%, Nepal 53%, Sri

Langka 76%, Timor Leste 52%, dan Indonesia mempunyai presentase anak

dengan ASI eksklusif (6 bulan)yaitu sebanyak 32%.

2.6 Analisa Situasi

1) Perencanaan

Program pemerintah untuk memberantas wabah DBD sampai saat ini

masih belum mencapai indikator keberhasilan yang optimal. Strategi yang

digunakan oleh Depkes RI pada awalnya digunakan untuk memberantas nyamuk

dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi dikembangkan dengan

penggunaan larvasida untuk memberantas jentik nyamuk yang ditaburkan di

tempat penampungan air (TPA). Akan tetapi strategi ini juga masih belum

berhasil yang dibuktikan dengan adanya peningkatan kasus dan meluasnya

wilayah yang terjangkit DBD.

Selain itu, penemuan mengenai obat dan vaksin untuk membunuh virus

dengue sampai saat ini masih belum ada, maka pemerintah berupaya untuk

mengatasi masalah DBD ini melalui pencegahan yang terbukti efektif untuk

memberantas sarang nyamuk, yaitu dengan membentuk program P2DBD, yaitu

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Program PSN ini merupakan program

prioritas pemerintah yang berbasis masyarakat dan dilaksanakan oleh

masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Hal ini dikarenakan

14

Page 15: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

wabah DBD dipengaruhi oleh lingkungan sehingga pelibatan masyarakat dalam

pemberantasan sarang nyamuk diharapkan dapat menurunkan kasus DBD.

Program PSN ini awalnya direncanakan untuk periode 2005-2010 melalui

Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (Gertak PSN). Tujuan dari

pembentukan PSN ini yaitu meningkatkan kesadaran dan kemauan hidup sehat

bagi setiap masyarakat agar terhindar dari penyakit DBD melalui terciptanya

masyarakat yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat terbebas dari

penyakit DBD, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu dan merata (Depkes RI, 2004). Tujuan khusus yang

ditetapkan oleh Depkes RI (2004), yaitu:

1. Menurunnya angka insiden kasus DBD sebesar 20/100.000 penduduk di

daerah endemis

2. Dicapainya penurunan insiden kasus DBD sebesar 5/100.000 penduduk pada

tahun 2010.

3. Tercapainya angka bebas jentik > 95%

4. Tercapainya angka kematian DBD < 1%

5. Daerah KLB DBD < 5%

Namun, ditinjau dari insiden kasus pada tahun 2011, Jawa Timur

mengalami pencapaian angka bebas jentik dibawah standar pemerintah. Hal ini

mengartikan bahwa masyarakat masih belum memiliki kesadaran tinggi akan

kemamuan hidup sehat bebas dari DBD. Perilaku masyarakat yang meningkatkan

lingkungan yang kurang sehat, terutama yang dapat menimbulkan pembentukan

sarang nyamuk baru perlu dibenahi dan masyarakat perlu diberdayakan agar kasus

DBD menjadi menurun.

Oleh karena itu, perpanjangan program perlu dilakukan mengingat

pencapaian indikator masih belum optimal. Strategi yang dapat dilakukan untuk

penanggulangan DBD menggunakan srtategi yang pernah dibentuk oleh Depkes

RI (2004), yaitu:

1. Pemberdayaan masyarakat

2. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD

3. Peningkatan profesionalisme pengelola program

15

Page 16: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

4. Desentralisasi

5. Pembangunan berwawasan kesehatan lingkungan

Kegiatan PSN yang dapat dilakukan meliputi gerakan 3M plus,

pemeriksaan jentik berkala oleh petugas jumantik, dan abatisasi. Contoh anggaran

yang ditulis oleh Depkes RI (2005) untuk sasaran per desa/kelurahan per 100

sampel, yaitu:

Tabel 3. Contoh analisis satuan harga tahun 2005

Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)

No. Uraian volume Satuan Satuan

harga

(Rp)

Jumlah

biaya

(Rp)

1. Pemeriksaan jentik

berkala:

1. Gaji/upah

a. Petugas: 100/20 rmh x 4

kl

b. Kepala regu: 100/100

rmh x 4 kl

2. Bahan

3. Perj. Pengawasan

teknis ops. Kab.

a. Petugas puskesmas: 1 or

x 1 kl

b. Petugas kabupaten: 1 or

x 1 kl

20

4

1

1

1

OH

OH

PT

OH

OH

20.000

25.000

75.000

50.000

75.000

400.000

100.000

75.000

50.000

75.000

Jumlah 700.000

Untuk di wilayah Jember sendiri, penggalakan program PSN melalui

penyebaran JUMANTIK sebanyak 2.819 relawan selama musim hujan (Antara

News, 2009). Penyebaran jumantik ini bertujuan untuk mengajak masyarakat

melakukan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di setiap wilayah

16

Page 17: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

RT/RW dengan membentuk kegiatan “Jumat Bersih”. Meskipun demikian,

penyebaran petugas jumantik belum dapat memberikan hasil yang optimal. Hal ini

diakibatkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan PSN.

Terbukti dengan adanya sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menyebabkan

peningkatan sarang nyamuk. Program selama ini yang sebenarnya ditujukan untuk

memberdayakan masyarakat justru belum berjalan dengan optimal akibat

kurangnya kesadaran masyarakat mengenai lingkungan sehat.

2) Pengorganisasian

Sistem administratif dalam upaya pengendalian DBD di Indonesia berada

di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona (Bappenas) yang bekerja

sama dengan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (Ditjen P2PL) dan Departemen Kesehatan RI (Depkes RI).

Penanggulangan wabah DBD ini dimonitoring langsung oleh sub unit Ditjen

P2PL, yaitu unit penanggulangan penyakit menular akibat binatang. Unit ini akan

bekerjasama dengan perusahaan pemberantasan hama untuk memberantas hama

dengan menggunakan pestisida hygiene lingkungan.

Untuk di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, program pengendalian

DBD dipegang oleh bagian Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan

Lingkungan yang menaungi Puskesmas pada sub unit Pemberantasan Penyakit

Menular (P2M). Selain itu, Dinkes Kabupaten Jember juga membawahi rumah

sakit pemerintah dan rumah sakit swasta dalam rangka pengendalian DBD, serta

unit pelayanan kesehatan lain, seperti Balai Pengobatan, Poliklinik, dokter praktek

swasta, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, pengorganisasian untuk penanggulangan DBD selama ini

kurang melibatkan TOGA dan TOMA. Selama ini, penjalanan program hanya

melibatkan sektor swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang

memiliki komitmen dalam penanggulangan penyakit. Masyarakat Jember yang

cenderung lebih menghormati TOGA dan TOMA seharusnya dapat terlibat dalam

program P2-DBD ini. Kemitraan bersama TOGA dan TOMA diharapkan mampu

17

Page 18: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

menggerakkan masyarakat dalam penyehatan lingkungan, khususnya untuk

menanggulangi wabah DBD.

3) Pengarahan

Pengorganisasian mengenai upaya pengendalian DBD di Indonesia

berfokus pada sistem desentralisasi. Optimalisasi pendelegasian wewenang

pengelola program kepada kabupaten/kota karena angka kesakitan akibat DBD

bervariasi antar daerah masing-masing akibat perbedaan situasi dan kondisi

wilayah. Pengoordinasian pengendalian DBD meliputi koordinasi antar

pemerintah daerah karena penyebaran DBD tidak mengenal batas daerah. Bentuk

koordinasi antar pemerintah daerah meliputi pencegahan dan penanggulangan,

serta tular-menukar informasi (cross notification).

Selain berfokus pada pemerintah daerah dan instansi kesehatan daerah,

pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam

pencegahan dan penanggulangan DBD merupakan kunci keberhasilan program.

Untuk itu, pemberdayaan masyarakat dalam dilakukan melalui KIE, sosial

marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya yang

dilakukan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai sarana dan

media massa. Namun upaya pemberantasan DBD tidak hanya berfokus pada

sektor kesehatan, tetapi juga perlu melibatkan kemitraan melalui identifikasi

stake-holder untuk memadukan berbagai sumber daya yang tersedia.

Selain itu, perlunya pengadaan kemitraan bersama sektor terkait, yaitu

swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang komitmen dalam

penanggulangan DBD bersama kepala wilayah/pemerintah daerah untuk

menerapkan pembangunan yang berwawasan bebas penularan penyakit. Hal ini

juga perlu pemberdayaan SDM bidang kesehatan, berupa tenaga kesehatan RS

dan Puskesmas untuk mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam

rangka penurunan angka kematian akibat DBD.

18

Page 19: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

4) Pengawasan

Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian penyakit DBD dilakukan

secarta bertingkat, yaitu tingkat kota/kabupaten oleh wali kota/bupati, tingkat

kecamatan oleh camat, dan tingkat kelurahan oleh lurah.

Sistem pencatatan dan pelaporan kasus DBD berawal dari unit pelayanan

kesehatan selain puskesmas yang menemukan tersangka atau pasien DBD.

Pelaporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota harus dilakukan sesegera mungkin

selambat-lambatnya 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah setempat.

Hal ini dilakukan untuk tindakan kewaspadaan dan perencanaan tindak lanjut

penanggulangannya. Puskesmas setempat juga wajib lapor kepada dinas kesehatan

kabupaten/kota sehingga pelaporan dapat dilakukan secara berjenjang ke dinas

kesehatan provinsi dan pusat. Untuk situasi Kejadian Luar Biasa (KLB),

pelaporan juga dilakukan berjenjang mulai dari unit pelayanan kesehatan selain

puskesmas hingga ke Ditjen PPM dan PL. Setelah dilakukan pengolahan laporan,

maka umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualiatas dan

memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan, dan ketepatan waktu

pelaporan, serta analisis terhadap laporan (Dinkes, 2006). Frekuensi umpan balik

oleh masing-masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal

dua kali dalam setahun (Dinkes, 2006).

Namun kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan

penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD, yaitu:

a) Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam

penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan

surveilans dan penanggulangan DBD

b) Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan

operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-

masing

c) Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi

pusat

19

Page 20: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

d) Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan

dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular

(Bappenas, 2006).

20

Page 21: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 3. MASALAH PROGRAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN

3.1 Analisis Masalah Fish Bone

21

Kurangnya pelibatan TOGA dan TOMA dalam pelaksanaan program

Masalah Manajemen:

1. Sistem pelaporan belum terintegrasi dan belum ada mekanisme tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.

2. Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD

3. Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing

4. Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi pusat

5. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular

planning organizing

Kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD

Belum optimalnya program P2-DBD

Belum adanya kejelasan koordinasi jumantik

Belum adanya kejelasan kebijakan daerah mengenai P2-DBD

Keterbatasan dana untuk pelaksanaan program

Belum adanya kejelasan pembagian wewenang dalam pelaksanaan program

Kurang optimalnya program pemberdayaan masyarakat

Kurangnya motivasi masyarakat untuk melakukan PSN

Kurang optimalnya program pemberdayaan SDM bidang kesehatan

Keterlambatan pelaporan kasus

Kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah

Belum optimal kegiatan supervisi program P2-DBD

actuatingcontrolling

Page 22: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

3.2 Daftar Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan

1. Belum efektifnya program P2-DBD berhubungan dengan program

pemberdayaan masyarakat tidak efektif

2. Kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD berhubungan

dengan belum adanya kejelasan pembagian wewenang dalam pelaksanaan

program

3.3 Prioritas masalah

Tabel 4. Penentuan Peringkat Masalah

No Masal

ah

Besarnya

Masalah

Tingkat

Kegawata

n Masalah

Kemudahan

Penanggulang

an Masalah

P E A R L

0-10 0-10 0,5-1,5 0/1 0/1 0/1 0/1 0/1

1 1 8 8 1 1 1 1 1 1

2 2 7 5 1 1 1 1 1 1

22

Page 23: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 4. PERENCANAAN

4.1 Perencanaan

Tabel 5. Rencana Program Manajemen Pelayanan Kesehatan Penyakit Global

No Diagnosa Tujuan Rencana Kegiatan Aktivitas Evaluasi

Indikator Evaluator

1. Belum efektifnya

program P2-DBD di RW

X berhubungan dengan

program pemberdayaan

masyarakat tidak efektif

ditandai dengan:

kesadaran dan kemauan

masyarakat akan hidup

sehat masih rendah,

pengetahuan masyarakat

tentang pertolongan

pertama pasien DBD

kurang, dan supervisi

TUM:

Program P2-DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan pembinaan selama 1 minggu

TUK:

Tersedianya layanan kesehatan DBD di komunitas

1. Pembentukan mini organisasi (minor) P2-DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan kader DBD

1.1 Membentuk mini organisasi (minor) P2-DBD beserta struktur dan pembagian kerjanya

1.2 Menyusun program kerja minor P2-DBD

1.1.1 Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X

1.1.2 terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program

1.1.3 terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW

1.1.4 terdapatnya pembagian kerja kader di RW

1.2.1 terbentuknya rencana kegiatan minor

Mahasiswa

Masyarakat

Petugas puskesmas

Mahasiswa

23

Page 24: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

program kurang optimal. yang terhimpun dalam program P2-DBD dan difasilitasi oleh tenaga kesehatan dan TOMA

P2-DBD di tingkat RW

1.2.2 Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader DBD

Masyarakat

Petugas puskesmas

2. Kurangnya pelibatan

kemitraan untuk

penanggulangan DBD di

RW X berhubungan

dengan belum adanya

kejelasan pembagian

wewenang dalam

pelaksanaan program

ditandai dengan: tidak

adanya pelibatan

TOMA/TOGA dalam

implementasi program

TUM:

Pembentukan kemitraan TOGA/TOMA terkait program P2-DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan pembinaan selama 1 minggu

TUK:

Tersedianya layanan

2. Pembentukan kemitraan melalui pemberdayaan TOGA/TOMA

2.1 Membentuk pelatihan TOGA/TOMA terkait program P2-DBD

2.1.1 terlaksanakannya pelatihan TOMA/TOGA

2.1.2 terdapat pembagian kerja dan tanggung jawab pada TOMA/TOGA dan kader DBD

2.1.3 terdapatnya kerjasama antara TOGA/TOMA dan kader DBD

Mahasiswa

Masyarakat

Kader

24

Page 25: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

kesehatan DBD di komunitas yang terhimpun dalam program P2-DBD dan difasilitasi oleh kader DBD

4.2 POA (Plan of Action)

Tabel 6. Plan of Action (PoA)

No Rencana Kegiatan Tujuan Kegiatan Sumberdaya

Penanggung Jawab Waktu Pelaksanaan

Alokasi Dana Tempat Pelaksanaan

1 Pembentukan mini organisasi (minor) P2-DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan kader DBD

1. Terbentuknya kader DBD

2. Melaksanakan pelatihan

kader oleh

dinkes/puskesmas secara

berkala

Mahasiswa

Masyarakat

Pihak Puskesmas

Minggu I s/d minggu II

Swadana Masyarakat

Donatur

RW X

25

Page 26: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

3. Terbentuknya Pos DBD

Desa (Pos DeDe)

4. Kader terlatih mampu

memberikan pelayanan

secara mandiri

2. Pembentukan kemitraan melalui pemberdayaan TOGA/TOMA

1. Terselenggaranya

program P2-DBD

2. Peningkatan partisipasi

masyarakat untuk

menjalankan program

akibat adanya motivasi

dari TOMA/TOGA

Mahasiswa

Masyarakat

Pihak swasta

Puskesmas

Minggu I s/d minggu II

Swadana masyarakat

Donatur

RW X

26

Page 27: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 5. IMPLEMENTASI

5.1 Pilot Project

a. Judul Program: Pembentukan Kader DBD

b. Desripsi Komunitas:

Komunitas di RW X merupakan masyarakat yang memiliki

kemauan rendah dalam program hidup sehat. Padahal, RW X merupakan

desar yang setiap tahunnya memiliki pasien DBD. Masyarakat juga kurang

mengerti mengenai pencegahan DBD dan pembentukan lingkungan sehat

agar terhindar dari wabah DBD. Program DBD yang dijalankan

pemerintah kurang mendapat respon positif dari masyarakat sehingga

perlu adanya pembentukan kader DBD untuk membantu mengendalikan

wabah DBD di RW X.

c. Diagnosis Manajemen Pelayanan Kesehatan Komunitas:

Belum efektifnya program P2-DBD di RW X berhubungan dengan

program pemberdayaan masyarakat tidak efektif

d. Deskripsi Populasi Target

Masyarakat RW X belum menyadari program penanggulangan

DBD. Adanya ketidakmauan dan ketidaktahuan dalam penanggulangan

DBD menjadi masalah utama bagi komunitas di RW X.

e. Model Program Perencanaan

Gambar 1. Model program Perencanaan

27

puskesmas mahasiswa

Pos DBD Desa

TOMA/TOGAKader DBD

Kelompok Resiko/kasus

Page 28: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

f. Deskripsi program

Program ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk strategi pemerintah

dalam penanggulangan DBD yang berbasis masyarakat sesuai program P2-DBD.

Program ini diadop dari program pemberantasan malaria melalui Pos Malaria

Desa dan Kader Malaria. Pelaksanaan program ini perlu membangun kemitraan

antara Puskesmas sebagai pemegram program pemberdayaan masyarakat dan

P2M bersama tokoh masyarakat atau tokoh agama untuk membentuk kader DBD

dan memberdayakan komunitas yang merupakan kelompok resiko atau kasus

DBD. Peran mahasiswa di sini adalah sebagai fasilitator dan advokasi program

antara pemerintah dan masyarakat.

Program pemberdayaan kader DBD ini memiliki alur seperti gambar

diatas (gambar 1) tersebut. Mahasiswa berperan dalam membentuk koordinasi

dengan puskesmas terkait program yang telah direncanakan. Hasil koordinasi

antara mahasiswa dan puskesmas yaitu pembentukan kader DBD di RW X yang

didukung oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat sehingga dibentuk

sub unit Pos DBD Desa (Pos DeDe) di wilayah tersebut.

Rasionalisasi pembentukan Pos DBD Desa ini adalah untuk memberikan

pelayanan kesehatan dasar, berupa penanggulangan wabah dan pertolongan

pertama pada pasien DBD pada wilayah endemis DBD yang termasuk dalam desa

terpencil dengan akses pelayanan kesehatan dan sosial-ekonomi masyarakat

tergolong rendah. Hal ini berguna dalam menurunkan beban kerja Puskesmas

dalam penanggulangan wabah penyakit menular.

Pemberdayaan kader desa ini dilakukan melalui pelatihan kader untuk

memberikan KIE, menggalakkan PSN, dan memberikan pertolongan pertama

pada pasien DBD sesuai dengan program Depkes RI. Pelaksanaan program ini

akan difasilitasi dalam pembentukan jadwal rutin kunjungan dan struktur

organisasinya sehingga diharapkan program pemerintah mengenai P2-DBD dapat

berjalan optimal dan dapat menekan jumlah kasus DBD.

28

Page 29: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

g. Tujuan program

Adapun tujuan dari pembentukan kader DBD, yaitu untuk

mengembangkan pelayanan Pos DBD Desa sesuai dengan tugas kader, yaitu

menemukan kasus, merujuk masien, melakukan penyuluhan dan upaya PSN

bersama masyarakat desa, dan memberikan pertolongan pertama pada pasien

DBD. Selain itu, Pos DBD Desa memiliki tujuan, yaitu:

a) Meningkatkan jangkauan penemuan kasus DBD melalui peran aktif

masyarakat dan dirujuk ke fasilitas kesehatan setempat

b) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD

h. Kriteria evaluasi

Kriteria evaluasi yang disusun adalah sebagai berikut.

1) Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X

2) terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program

3) Terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW

4) Terdapatnya pembagian kerja kader di RW

5) terbentuknya rencana kegiatan minor P2-DBD di tingkat RW

6) Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader

DBD

i. Aktivitas intervensi program

Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan program, yaitu memberikan

pengarahan kepada calon kader DBD terkait penanggulangan DBD melalui

pembentukan Pos DBD Desa bersama tokoh masyararakat maupun tokoh agama

setempat.

j. Sumber-sumber dan keterbatasan

Sumber-sumber yang dapat menjadi pendukung dalam pelaksanaan

program, yaitu adanya kegiatan perkumpulan masyarakat dan sistem gotong

royong yang diterapkan pada masyarakat desa. Adanya kegiatan perkumpulan

29

Page 30: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

masyarakat dapat menjadi sarana untuk implementasi program. Selain itu,

masyarakat desa yang masih memiliki rasa gotong royong yang tinggi tidak

terlalu menjadi persoalan yang sulit untuk mencapai tujuan program ini.

Namun ada beberapa kendala yng harus dihadapi, yaitu pada waktu

sosialisasi karena umumnya masyarakat desa bekerja sepanjang hari sehingga

koorninasi warga untuk berkumpul pada jam dinas (siang hari) juga sedikit

menemui kendala. Selain itu, jumlah TOMA/TOGA juga tidak selalu mencukupi

jika pelaksanaan program harus dilakukan dalam wilayah yang lebih luas. Selain

itu, melibatkan TOMA/TOGA juga harus disesuaikan dengan keseragaman

jadwal. Kendala lain yang akan dihadapi, yaitu masalah keterbatasan dana karena

umumnya wilayah endemis yang terpencil memiliki masyarakat yang berstatus

ekonomi ke bawah, terutama dalam hal pembiayaan transportasi dan pendirian

Pos DBD Desa, kecuali jika ada yang memberikan tempat/ruang untuk pendirian

Pos DBD Desa tersebut.

k. Rencana dana

Tabel 7. Rancangan Dana Kegiatan

No. Kriteria rincian Biaya

1. Persediaan ATK

Konsumsi peserta dan tamu

Transportasi petugas

5 or x 1 kl

12 or x 1 kl

2 or x 1 kl

25.000

120.000

40.000

jumlah 185.000

Sampel: 1 RW dan 3 RT

5.2 Tingkat Kegiatan Implementasi di KomunitasTabel 8. Tingkat Kegiatan Implementasi

No Level Target Intervensi

1 Downstream Individu Pendidikan kesehatan

Konseling

30

Page 31: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

2 Midstream Komunitas Kemitraan dengan masyarakat

Pembentukan Kader DBD

3 Upstream Pemerintah Koordinasi dengan Puskesmas terkait keberlangsungan Program

31

Page 32: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 6. EVALUASI

Kriteria evaluasi yang disusun adalah sebagai berikut.

1) Terdapatnya struktur minor P2-DBD di RW X

2) terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program

3) Terdapatnya struktur pengurus minor P2-DBD di RW

4) Terdapatnya pembagian kerja kader di RW

5) terbentuknya rencana kegiatan minor P2-DBD di tingkat RW

6) Tersedianya pelayanan DBD melalui Pos DBD Desa (Pos DeDe) dan Kader

DBD

6.1 Evaluasi Formatif

Program ini dikembangkan berdasarkan strategi pemerintah melalui

pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan peran masyarakat dilakukan dengan

pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mendukung pencapaian tujuan

program. Pencapaian program perlu didukung dengan adanya kemitraan antar

sektor, baik pemerintah maupun swasta bersama dengan masyarakat setempat

sebagai sasaran utama pelaksanaan program ini. Pembentukan program ini tidak

terlepas dari hasil identifikasi data pengkajian yang didapat dari data statistik dan

wawancara pada pihak terkait, yaitu puskesmas, pemerintah daerah, dan tokoh

masyarakat atau tokoh agama setempat. Hal ini berguna dalam pemberian

dukungan untuk menekan penyebaran penyakit menular melalui pemberdayaan

masyarakat dan pembentukan kader DBD sebagai langkah awal untuk menekan

krisis akibat penyakit DBD.

6.2 Evaluasi Proses

Implementasi dari program yang akan dijalankan berupa pemberian

pengarahan kepada calon kader DBD yang berasal dari masyarakat setempat

untuk membentuk struktur organisasi mini P2-DBD dan pembentukan Pos DBD

Desa dengan didukung oleh TOMA/TOGA. Pengarahan kader DBD berguna

untuk melatih kader dalam pemberian KIE dan penggalakan program PSN, serta

32

Page 33: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

pemberian pertolongan pertama untuk suspek DBD. Pembentukan Pos DBD Desa

sebagai wadah masyarakat untuk menjalankan program penanggulangan DBD

secara berkesinambungan sesuai dengan tujuan dari Pos DBD Desa tersebut.

6.3 Evaluasi Sumatif

Pembentukan kader DBD yang didukung oleh TOMA/TOGA setempat

dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran

akan kepedulian dalam penanggulangan wabah DBD. Adanya pembentukan

kesadaran pada masyarakat diharapkan masyarakat peduli dan mampu mengubah

perilaku menjadi adaptif melalui partisipasi masyarakat dalam penanggulangan

DBD sehingga diharapkan masyarakat menjadi bebas DBD dan wilayah tersebut

siap menjadi salah satu Desa Siaga.

33

Page 34: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

BAB 7. PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit menular yang

menyebabkan jumlah pasien demam berdarah dengue di Jawa Timur mencapai

26.059 orang dengan angka kesakitan (IR) sebesar 68,53/100.000 penduduk

sehingga pemerintah berupaya membentuk program untuk memberantas wabah

DBD melalui pencegahan yang terbukti efektif untuk memberantas sarang

nyamuk, yaitu dengan membentuk program P2DBD. Strategi yang dapat

dilakukan untuk penanggulangan DBD menggunakan srtategi yang pernah

dibentuk oleh Depkes RI (2004), yaitu pemberdayaan masyarakat, peningkatan

kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD, peningkatan profesionalisme

pengelola program, desentralisasi, dan pembangunan berwawasan kesehatan

lingkungan

Namun salah satu kendala utama yang dihadapi dalam implementasi

kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD, yaitu

tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam

implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular. Oleh karena

itu, pembentukan mino organisasi P2-DBD melalui pembentukan Kader DBD dan

Pos DBD Desa diharapkan mampu menekan angka insiden kasus DBD.

7.2 Saran

Kemitraan merupakan sarana penting dalam pelaksanaan program. Hal ini

tentunya memerlukan sistem koordinasi yang baik antara petugas pelayanan

kesehatan, khususnya puskesmas dengan sektor lain yang terkait, baik pemerintah

maupun swasta bersama masyarakat untuk mencapai hasil pencapaian program

secara optimal.

34

Page 35: Pilot Project Analisa Situasi Fish Bone

DAFTAR PUSTAKA

Antara News. 2011. Dinkes Jember Siagakan 2.819 Jumantik Antisipasi DB.

http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/75422/dinkes-jember-siagakan-

2819-jumantik-antisipasi-db [3 Maret 2013].

Bappenas. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit

Menular: Studi Kasus DBD. Jakarta: Bappenas.

BPS. 2013. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan II Tahun 2012 (y-on-y)

mencapai 7, 24 persen. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur [serial on

line]. http://jatim.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/brs-jawa-timur/

brs-pdrb-jatim/241-pertumbuhan-ekonomi-jawa-timur-triwulan-iii-tahun-

2012-y-on-y-mencapai-724-persen [1 Maret 2013].

BPS. 2010. Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Indonesia [serial

online]. http://sp2010.bps.go.id/ [26 Februari 2013].

Depkes. Tanpa tahun. Database Kesehatan Per Kabupaten. Kemenkes RI [serial

on line]. http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/ [1

Maret 2013].

Depkes. 2005. Pencegahan Dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue di

Indonesia. Jakarta: Ditjen P2PL.

Depkes. 2004. Kebijakan Program P2-DBD Dan Situasi terkini DBD Di

Indonesia. Jakarta: Dirjen P2M PL.

Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenko RI. 2011. Indonesia Economy Observation 2011-2012: Membangun

Sinergi Untuk Menghadapi Gejolak Ekonomi. Jakarta: Kementrian

Koordinator Bidang Ekonomi Republik Indonesia.

Pemda Depok. Tanpa tahun. Strategi pengendalian demam berdarah dengue

(DBD) [serial on line]. http://www.depok.go.id/02/04/2011/03-kesehatan-

kota-depok/strategi-pengendalian-demam-berdarah-dengue-dbd [1 Maret

2013].

35