Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :
NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT AHMADIYAH
INDONESIA (JAI) DI LOMBOK
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.)
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh Nurhikmah
NIM: 086322011
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
SATU DEKADE JADI RUMPUN TERASING :
NARASI IDENTITAS DALAM KEKERASAN JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI LOMBOK
TESIS
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh Nurhikmah
NIM: 086322011
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Mempelajari kajian budaya merupakan salah satu hasrat saya untuk bisa terus
belajar. Namun, dalam prakteknya, belajar itu butuh legitimasi dan tanggung jawab
intelektual dan moral. Tesis ini salah satu manifestasinya. Sebagai tugas akhir yang dibaca
sebagai produk intelektual, saya tertarik untuk mengkaji kekerasan dalam sebuah
kelompok. Saya melihat kekerasan sebagai sesuatu yang harusnya tidak terjadi, akan tetapi
itu menjadi semacam hukum alam yang tak bisa dihindari. Ada semacam “kehausan” dari
diri saya untuk melihat fenomena kekerasan khususnya dari perspektif si korban, apalagi
pernah berkesempatan meneliti beberapa fenomena tentang hal ini. Dan semoga saja ini
bukan semacam pemuasan keingintahuan belaka.
Penulisan tesis ini bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah. Rencana
Tuhan, Allah memang mewujud dalam tangan gaibnya untuk menjadikan ini akhirnya
terjadi. Dia adalah sumber dari “Rahmah al-Intinan” yang dilukiskan Ibn’Arabii, rahmat
yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja-rahmat yang bahkan
bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik. Setiap saya merasa lemah, Dia selalu
mengingatkan saya dalam salah satu surahNya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan. Tuhan (yang memelihara) dua timur dan Tuhan (yang memelihara)
dua barat” (Qs.Ar-Rahman :16-17).
Saya haturkan terima kasih dan hormat kepada Dr. Fx. Baskara T Wardaya, yang
tak henti-hentinya memberikan semangat dan mengajak untuk selalu berpikir logis dan
sistematis termasuk dalam kajian ini. Juga Dr.St.Sunardi, yang dalam setiap obrolan selalu
punya cara pandang yang mencerahkan. Dr. G. Budi Subanar, S.J., Katrin Bandel, Mba
Devi, Dr. Budiawan yang dalam 3 semester banyak menunjukkan dan mengingatkan untuk
tidak banal dalam berpikir. Terima kasih kepada seluruh dosen yang pernah mengajar saya
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, juga Mba Desy, Staf di IRB atas bantuan dan
perhatiannya.
Teruntuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok : Koordinator Pengungsi
Syahidin, Penasehat JAI Mln.Nasiruddin, Mubalig Basyiruddin, Ir. Jauzi selaku ketuai JAI,
para pengungsi JAI di Asrama Transito. Dari kalian saya belajar bahwa penderitaan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
kenikmatan yang terselubung. Terimakasih juga atas kesabaran dan keterbukaan pemikiran
yang tak pernah habis diberikan karena menulis tesis ini (ternyata) memakan waktu yang
cukup lama.
Terima kasih tak terhingga buat kedua orang tua dan keempat kakak beserta
keluarga kalian masing-masing, yang selalu memberikan dukungan, cinta, dan
kesabarannya. Buat Essa Putra, semoga kita jadi lebih baik dan kuat kedepannya. Ucapan
terima kasih juga buat teman-teman komunitas di Yogyakarta juga IRB’08, rekan-rekan di
Taliwang, Sumbawa Barat, dan seluruh pihak yang telah terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penulisan tesis ini. Salam.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Nurhikmah. 2013. Satu Dekade Jadi Rumpun Terasing : Narasi Identitas dalam Kekerasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Dalam sejarahnya, sejak masuk ke Indonesia, Jemaat Ahmadiyah selalu mengalami
kontroversi, tak terkecuali di Lombok. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Lombok, telah menjadi sasaran kekerasan sejak 1998-2010 lalu. Tindak kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan pemicu terlebih dahulu baik berupa ceramah dari Tuan Guru (sebutan ulama di Lombok) di Masjid, atau brosur dan selebaran yang disebarkan ke masyarakat umum, yang menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran “sesat”. Selang beberapa lama, muncullah sekumpulan massa yang kemudian merusak, menjarah, dan mengusir JAI dari tempat tinggalnya. Akibatnya, bermukimlah mereka di Asrama Transito selama 7 tahun ini sebagai pengungsi. Peristiwa kekerasan menunjukkan adanya aktor yang bermain sebagai kelas hegemonik dalam mempengaruhi wacana tentang “kesesatan” Ahmadiyah di tengah masyarakat, khususnya Tuan Guru dan tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ahmadiyah, oleh beberapa elemen, dianggap telah merebut jouissance dari umat Islam “mainstream”.
Sebagai sasaran dari tindak kekerasan, JAI bukanlah muncul sebagai korban semata. Bersama dengan pengurus dan pemimpin organisasinya, JAI khususnya di Lombok akhirnya melawan dengan caranya sendiri. “Jihad dengan pena”, itulah cara mereka melakukan counter hegemony dalam perlawanannya. Mereka menangkis segala tuduhan dan fitnah yang dianggap telah membentuk identitas JAI di tengah masyarakat, terutama umat Islam di Indonesia. Di satu sisi, sebagian kelompok dan ormas Islam menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan bukanlah bagian dari Islam. Namun, di sisi yang lain, JAI mati-matian menunjukkan identitas mereka sebagai orang Islam. Atas hal tersebut, kajian ini ingin menunjukkan bentuk-bentuk pertarungan hegemoni serta pola-pola yang menentukan identitas JAI di Lombok sebagai subjek atau gerakan sipil keagamaan. Kata kunci: subjek, identitas, hegemoni, kekerasan terhadap JAI di Lombok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Nurhikmah. 2013. “One Decade of Exclusion: The Narration Identity in Violence towards Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) in Lombok”. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, University of Sanata Dharma.
In their history, since they entered Indonesia, JAI has always got bad experiences and
become controversial. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), in particular in Lombok, has become target of violence from 1998 to 2010. There is always a trigger before violence happens, for example speeches from Tuan Guru (term for Scholar of Islam, Ulama in Indonesia) in Mosque, or some brochures or leaflets given to public or society. It doesn’t take a long process before the people suddenly come to the housing of JAI to damage, plunder, and expel them from their home. As the result, JAI has to live in Transito barracks for almost 7 years as refugees. The violence happening towards JAI has indicated that there are actors who play as the hegemonic class to influence the discourse about Ahmadiyah as a “deviant” religious group, for example Tuan Guru and Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jemaat Ahmadiyah Indonesia is thought to have seized the jouissance from moslem on majority or mainstream.
However, as a target of violence, JAI doesn’t appear as powerless victims only. The refugees of JAI in Transito, together with the board and leaders of Ahmadiyah in Lombok, bring a spirit to fight by their own method. “The holy war (Jihad) with pen” is their way to do a counter hegemony upon them fight. JAI has repulsed all of the accusation and slander which have shaped their identity among Indonesian society, especially among the Islam society. On one side, many groups and mass organizations have shown Ahmadiyah as a deviant religious teaching and they are not a part of Islam. On the other side, JAI has struggled very hard to show that they are moslem and belong to Islam. Therefore, this study wants to show the various forms of hegemony struggles and also observe what pattern which determines the identity of JAI in Lombok as a subject or religious civil movement.
Keywords: subject, identity, hegemony, violence towards JAI in Lombok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................. ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................................... viii
ABSTRACT ...................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 11
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 12
F. Kerangka Teoritis ................................................................................................. 15
F. 1. Subjek Lacanian………………………. ...................................................... 15
F. 2. Hegemoni Gramsci ……………………….. ............................................... 19
F. 3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal ……………………….. ......... 22
G. Metode Penelitian ................................................................................................. 26
H. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 27
BAB II JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH ........................... 29
A. Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia ............................. 29
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu ........................................... 38
C. Jejak Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok ................................................... 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
BAB III JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL
KEAGAMAAN ............................................................................................... 54
A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal di
Lombok ...................................................................................................... 54
A. 1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok............... 57
A. 2. Wajah-wajah di Bilik Transito . ......................................................... 64
A. 3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik ............................................... 72
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok ........ 82
B. 1. Suara-suara di Balik Kekerasan ....................................................... 83
B. 2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan .................................. 95
B. 3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena ..........................108
BAB IV JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN
IDENTITAS DAN HEGEMONI ..................................................................116
A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik ...........118
B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah ........................................125
C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya” ............................. 133
BAB V PENUTUP .........................................................................................................139
DAFTAR PUSTAKA . ..................................................................................................143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR GAMBAR
http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Dokumentasi Pribadi, 15 Desember 2010
Para pengungsi Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut . Selengkapnya di:http://www.perisai.net/agama/warga_ahmadiyah_masih_bertahan_di_asrama_transito#ixzz2nblRnxFU © PERISAI.net, diunduh tanggal 16 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
Penampungan Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito Mataram, NTB. TEMPO/ Supriyanto Khafid,
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/21/058490183/Anak‐Warga‐Ahmadiyah‐Terancam‐Sulit‐Sekolah diunduh pada tangal 16 Desember 2013
Jemaat Ahmadiyah melaksanakan upacara bendera HUT RI ke 68 di lapangan asrama transito, lingkungan Majeluk, Lombok, NTB, (17/8). Ratusan Jemaat Ahmadiyah telah mengungsi di asrama transito selama 7 tahun.
TEMPO/Dwianto Wibowo, http://edsus.tempo.co/konten berita/politik/2013/08/20/505787/282/Inilah‐Lima‐Tokoh‐yang‐Merekatkan‐Indonesia diunduh pada 16 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
Salah satu sudut sekat kamar pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
http://www.portalkbr.com/nusantara/nusatenggara/2681598_4265.html diunduh pada 16 Desember 2013
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1376715903/upacara‐bendera‐ahmadiyah‐mataram, diunduh pada 16 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
Ruang Mushola. http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
http://theahmadiyya.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, diunduh pada 16 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
http://icrp‐online.org/022012/post‐1414.html, diunduh pada 16 Desember 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada periode pasca-Orde Baru, Indonesia dilanda ketegangan dan
kekerasan primordial berdasarkan perbedaan identitas. Perubahan iklim politik
dari Orde Baru ke Orde Reformasi memunculkan peralihan bentuk kekerasan dan
diskriminasi dari yang bersifat ideologis (terhadap komunisme) menjadi
primordial, berdasarkan perbedaan identitas agama dan etnis. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Yayasan Denny
JA.1 Berdasarkan hasil survei tersebut, sejak 1998 telah terjadi 2.398 kasus
kekerasan. Sebanyak 65 persen dari kasus kekerasan tersebut terjadi karena
perbedaan agama atau paham keagamaan, 20 persen kasus perbedaan etnis, dan 15
persen kasus kekerasan gender. Pelakunya rata-rata dari elemen masyarakat.
Contoh untuk ketiga jenis kasus kekerasan tersebut bermacam-macam.
Kasus berlatar belakang perbedaan etnis antara lain menimpa suku Dayak dan
Madura di Sampit. Ada pula kekerasan massal atas etnis Tionghoa di Jakarta pada
Mei 1998. Contoh kekerasan gender adalah hukuman untuk wanita yang tidak
mengenakan jilbab di Aceh atau pemerkosaan massal terhadap wanita Tionghoa
di Era Reformasi. Kasus kekerasan akibat perbedaan agama atau paham
1 http ://m.liputan6.com/news/read/473517/Isi-dari-2398-kasus-kekerasan-65-kasus-agama, pada Minggu, 23 Desember 2012 dengan tajuk LSI: Dari 2.398 Kasus kekerasan 65 persen kasus agama. Hal ini merupakan hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bersama Yayasan Denny JA dalam rangka mencari “Dicari Capres 2014 yang melindungi keberagaman”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
keagamaan bisa dilihat pada konflik pemeluk Islam versus penganut Kristen di
Maluku, muslim Sunni dan Syiah di Sampang (Madura), serta umat muslim
dengan pemeluk Ahmadiyah di berbagai daerah.
Kasus kekerasan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir di
Indonesia cukup banyak didominasi oleh konflik berlabel agama. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, misalnya “keran” Reformasi yang terbuka
terlampau lebar, sehingga memungkinkan gerakan underground atau organisasi
kemasyarakatan (ormas) muncul ke permukaan. Kelompok Pam Swakarsa dan
Front Pembela Islam (FPI) merupakan beberapa ormas yang cukup menonjol
dalam hal ini. Sementara itu, isu komunisme yang di masa Orde Baru menjadi
pemicu kekerasan juga sedikit berkurang atau menurun. Selain itu, ada perebutan
pengaruh antar-organisasi massa berlabel agama. Terjadinya bentuk-bentuk
kekerasan ini merupakan hal yang sangat ironis mengingat agama, yang
seharusnya menghadirkan kedamaian, telah menjadi penyulut konflik tiada henti.
Di antara kasus-kasus kekerasan di atas, satu kasus kekerasan yang paling
menyita perhatian justru merupakan konflik internal umat beragama, sebagaimana
tampak dalam kekerasan yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Peristiwa ini cukup meresahkan karena konfliknya terjadi dalam satu agama
tertentu, yaitu Islam. Hal ini tampak dalam hasil penelitian Setara Institute tentang
toleransi umat beragama. Dalam konferensi pers bertajuk “Paparan Survei
Keberagaman Publik dan Sikapnya terhadap Ahmadiyah” pada 20112, anggota
tim peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan toleransi antarumat
beragama di Indonesia masih dapat dikatakan baik. Namun demikian, kondisi 2 http://www.tribunnews.com/2011/09/08/survei-setara-606-persen-menolak-kekerasan-terhadap-ahmadiyah, diunduh pada 14 januari 2011. Konferensi tersebut dilaksanakan di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9/2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
sebaliknya terjadi pada persoalan perbedaan internal pada suatu agama, misalnya
dalam agama Islam terkait dengan Jemaat Ahmadiyah.
Ada banyak rentetan kejadian kekerasan yang menimpa Jemaat
Ahmadiyah. Sejak penyerangan di Lombok Barat pada 1998, kekerasan yang
menimpa warga Ahmadiyah terjadi secara massif di sejumlah tempat, seperti -
Tasikmalaya (19/12/2007), Sukabumi (25/4/2008), Bogor (30/4/2008), dan
Makassar (20/6/2008). Kekerasan mutakhir terjadi pada 6 Februari 2011 di
Cikeusik, Pandeglang, Banten. Dalam kekerasan di Cikeusik, terlihat bahwa
negara tak memberi perlindungan secara memadai ketika massa menyerang dan
membunuh empat anggota Jemaat Ahmadiyah.3 Pada 13 Januari 2012, Gabungan
Ormas Islam di Yogyakarta juga menggelar aksi menuntut pembubaran kegiatan
pengajian Ahmadiyah di Kompleks Sekolah Perguruan Islam Republik Indonesia
(PIRI). Tahun 2013 ditandai dengan adanya sekelompok orang yang merusak
Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei 2013. 4
Penelitian ilmiah mengenai Ahmadiyah penting untuk dilakukan, karena
ada begitu banyak peristiwa kekerasan yang dialami pemeluk Ahmadiyah dalam
kurun waktu lebih dari satu dekade. Menyitir pernyataan Iskandar Zulkarnain
dalam acara bedah bukunya yang berjudul Gerakan Ahmadiyah di Indonesia
(2007), Ahmadiyah menarik untuk diteliti karena merupakan gerakan yang
3 Saat itu, ribuan orang menyerang rumah Suparman, pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang. Bentrokan tak seimbang pun meletup. Sekitar 1.500 orang merangsek menuju rumah Suparman. Mereka melempari dan menghancurkan rumah. Anak muda Ahmadiyah yang sempat melakukan perlawanan lari tunggang-langgang. Tidak semuanya bisa selamat. Tiga anggota rombongan Deden, Ketua Pengamanan Nasional Ahmadiyah, yaitu Warsono, Chandra, dan Roni tewas. Hingga 2 minggu setelah kejadian, belum dipastikan otak dari pelaku penyerangan tersebut. Lih Majalah TEMPO, 14-20 Februari 2011. 4 http://www.komisikepolisianindonesia.com/main.php?page=aneka&id=7131 , diunduh 14 jan 2012, kejadiannya pada Jumat 13 Januari 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
berpengaruh, tapi kurang mendapat porsi perhatian yang cukup dalam sejarah
Indonesia.5
Melihat rentetan kekerasan tersebut, penelitian ini akan berfokus pada
kasus kekerasan terhadap warga JAI di Lombok. Ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama, di daerah Lombok, kekerasan (dalam hal ini penyerangan
terhadap JAI) berlangsung lama, yakni dari 1998 hingga 2010. Kedua, sampai saat
ini, warga JAI yang selamat dari penyerangan itu telah mengungsi selama 7 tahun
di daerahnya sendiri. Sejak 4 Februari 2006 silam, mereka yang melakukan
eksodus dari Lombok Timur itu tinggal berdesak-desakan di Asrama Transito,
Kota Mataram. Ketiga, meski menjadi pengungsi dan sasaran kekerasan selama
setidaknya satu dekade, warga JAI terkesan tegar dan memilih bertahan dalam
koridor keimanannya. Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana JAI di
Lombok membentuk identitasnya di tengah kemelut yang dihadapi.
Berbicara mengenai Jemaat Ahmadiyah tak dapat lepas dari ajaran yang
dibawakan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), pendiri Ahmadiyah.
Ajaran tersebut sudah berkembang di 185 negara. Ghulam Ahmad diberi gelar
Imam Mahdi dan Masih Mau’ud. Dipercayai bahwa dia muncul sebagai pemimpin
agama yang khusus “diutus” oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia dan
menjadi Pembaharu (mujaddid) yang dijanjikan di akhir zaman.
Secara historis, Ghulam Ahmad mendakwahkan diri sebagai mujaddid
pada 1886. Sebelumnya, Ghulam Ahmad berkhalwat selama 40 hari dan merasa
5 Berdasarkan video Bedah buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, di MPM-PPS UIN Alaudin Makasar, 11 September 2007 dengan menghadirkan penulis buku Dr.Iskandar Zulkarnain “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”, yang banyak diundang adalah kaum akademisi dan Jemaat Ahmadiyah Qadian. Banyak perdebatan yang terjadi termasuk karena ada pihak pembanding yang menyatakan bahwa Ahmadiyah nonMuslim, sedangkan dari Ahmadiyah hadir Mln. Saleh Ahmadi (JAI Sulawesi Selatan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
diperintahkan oleh Allah untuk membentuk kelompok jemaat. Tepatnya pada 23
Maret 1889 atau 20 Rajab 1306 Hijriah, untuk pertama kalinya Ghulam Ahmad
secara resmi menerima baiat dari khalayak. Saat itulah, fondasi bangunan Jemaat
Ahmadiyah diletakkan. Selanjutnya, pada 1891, Mirza Ghulam Ahmad
mendakwahkan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih, sebagaimana yang
dijanjikan Rasulullah SAW, guna menghidupkan agama Islam dan menegakkan
syariat di akhir zaman.6
Dalam konteks internasional, Jemaat Ahmadiyah Indonesia merupakan
bagian dari Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian), yang notabene memiliki
banyak pengikut dibandingkan dengan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut
Gerakan Ahmadiyah Indonesia). Dalam sejarahnya, Gerakan Ahmadiyah
Indonesia juga menyisakan jejak perdebatan penting dengan berbagai kalangan
umat Islam. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah cenderung mengalami kontroversi
sejak awal kedatangannya di Tapaktuan pada 1925. Perdebatan sengit dengan
berbagai organisasi massa dan elemen masyarakat memberi dampak besar bagi
Ahmadiyah. 7
Mengenai hal tersebut, sampai saat ini tidak semua umat Islam menerima
keberadaan dan ajaran JAI. Apalagi ajarannya tentang kemunculan Imam Mahdi
masih menjadi perdebatan. Hal ini ditambah pula dengan pengembangan wacana
oleh pihak-pihak tertentu, yang menyebutkan Ahmadiyah memiliki syahadat,
6 Hal ini disebutkan dalam berbagai literatur. Namun, salah satu literatur yaitu Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908. 7 Lihat Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 89.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
nabi, dan kitab suci yang berbeda. Kelompok Ahmadiyah pun dituduh eksklusif.
Ada pula dugaan bahwa mereka mendapat bantuan asing, yakni dari Inggris. Di
Indonesia, pihak yang menggulirkan wacana ini biasanya adalah tokoh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) atau ulama setempat. Sedangkan untuk konteks Lombok,
tokoh yang berperan adalah Tuan Guru. Bagi Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi), MUI
memiliki level yang sama dengan ormas lainnya dari segi Undang-Undang
Keormasan. Jadi, menurut JAI, lembaga tersebut tidak berhak menyatakan suatu
kaum sebagai sesat atau menentukan hidup dan matinya suatu golongan.
Akan tetapi, masyarakat, terutama umat muslim, kemudian mengikuti apa
yang disampaikan oleh ulama sebagai kalangan yang diakui keberadaan dan
ucapannya. Mulailah bermunculan penentangan dan kekerasan atas nama sesatnya
sebuah aliran. Padahal, tak ada satu pun alasan yang dapat digunakan untuk
membenarkan tindak kekerasan terhadap kelompok lain, termasuk dalam ranah
agama.
Namun demikian, tindak kekerasan terhadap warga JAI di Lombok tak
dapat dielakkan. Kekerasan tersebut telah menyebabkan rumah-rumah warga
dihancurkan dan dijarah. Penganut Ahmadiyah diusir dari kampungnya. Selain
itu, jatuh pula korban. Akibatnya, warga JAI harus tinggal di Asrama Transito,
Kota Mataram, sebagai pengungsi. Mereka adalah anggota komunitas JAI yang
sudah melakukan eksodus dari Lombok Timur sejak kejadian Pancor pada 2002,
yang menyebabkan mereka kehilangan harta benda dan harus meninggalkan
kampung halaman di Lombok Timur. Sejak saat itu, mereka berpencar dan
berpindah tempat, tidak peduli ke mana, asalkan bisa sejenak mendapatkan
ketenangan untuk hidup berkeyakinan dan berusaha. Saat ini, jumlah warga yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
tinggal di Transito ada sekitar 150 orang. Mirisnya, aparat, dalam hal ini polisi
misalnya, terlihat melakukan pembiaran terhadap kejadian tersebut. Sampai saat
ini, belum ada upaya penyelesaian berarti yang dilakukan oleh pemerintah.
Setiap tindak kekerasan pasti akan menorehkan kisah tersendiri dari
korbannya, baik berupa trauma, kesedihan, maupun rasa tertekan. Oleh karena itu,
tak mengherankan jika ada perubahan sikap karena kejenuhan yang membuncah,
aspirasi yang tak tersampaikan, dan trauma penyerangan yang terus membayangi.
Secara psikologis, pengalaman kekerasan yang diderita warga atau pengungsi JAI
pun telah memicu stres. Muncul semacam ketakutan di diri mereka karena
mendapat ancaman terus-menerus. Menariknya, hal itu tidak mereka tampakkan
sebagai sesuatu yang dominan. Mereka justru memperlihatkan hal sebaliknya,
yaitu keteguhan dan keyakinan. Dari segi akidah dan keyakinan, mereka mengaku
malah semakin kuat dan tabah menjadi bagian dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Gerakannya yang dianggap kontroversial di kalangan ormas-ormas Islam
lainnya telah membuat kekerasan terhadap JAI menjadi begitu massif dan
berulang. Hal ini terjadi karena tersebarnya banyak informasi mengenai ajaran
Ahmadiyah versi ormas-ormas Islam yang keliru. Selain itu, JAI tidak melakukan
perlawanan secara frontal, dengan akibat ormas Islam lainnya dapat bertindak
dengan bebas.
Kasus kekerasan terhadap warga JAI telah diselimuti ideologi
pembenaran. Akibatnya, aksi kekerasan bisa terus dilakukan. Salah satunya
melalui Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 tentang larangan menyebarkan aliran
Ahmadiyah. Sebagai lembaga yang memiliki kebebasan untuk berfatwa, MUI
mendasarkan pelarangan tersebut setidaknya pada dua hal, yaitu melindungi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
pokok ajaran Islam yang diyakini oleh mayoritas masyarakat Indonesia dan
menghentikan kegiatan penodaan dan pelecehan terhadap agama. Fatwa MUI
tahun 1980 dan -2005 makin diperkuat dengan munculnya Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri. Peraturan ini sering menjadi acuan pemerintah daerah.
Bahkan, Menteri Agama Suryadharma Ali sempat berniat membubarkan JAI
karena menurut dia JAI telah melecehkan agama Islam. 8
Berbicara tentang ajaran atau akidah, Jemaat Ahmadiyah dan
pengurusnya, terutama di Lombok, banyak mengoreksi fitnah-fitnah yang
berkembang melalui media yang ditujukan kepada mereka. Mereka menjelaskan
bahwa kitab, nabi, atau syahadatnya sama dengan orang Islam lainnya. Adapun
tentang tuduhan eksklusif, mereka melihat itu sebagai tuduhan yang berlebihan.
Warga JAI mengaku rindu berkumpul dan beribadah dengan umat Islam yang
lain, tetapi adanya stigma “sesat” serta berbagai celaan dan makian terhadap
mereka membuat hal itu sukar dilakukan.
Peran media, khususnya di tingkat lokal, dalam hal ini cukup penting,
khususnya dalam mengarahkan opini publik tentang JAI. Tak jarang banyak
pemberitaan di media turut memperkeruh suasana. Banyak media massa,
khususnya media lokal, melakukan kekerasan dalam bentuk pemberitaan yang
tidak seimbang. Sumber yang diambil hanya dari pemerintah daerah, dan sering
mengandung opini masyarakat yang cenderung menentang Ahmadiyah. Media
tersebut juga jarang menampilkan berita yang seimbang dan sesuai konteks. Hal
ini bisa dilihat dalam salah satu contoh tentang pernyataan: “Pokoknya
Ahmadiyah itu sesat, tidak ada dialog lagi”, yang disampaikan oleh oleh seorang
8 Lihat Majalah TEMPO. Ultimatum Suryadharma Ali. Edisi 13-19 September 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
tokoh MUI Nusa Tenggara Barat. Bagi MUI, tidak ada tawar-menawar lagi
dengan JAI karena solusi itu saja yang dianggap bisa meredam masyarakat. Ini
untuk menanggapi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Ketapang pada
2006 silam.9 Pelarangan dan pengusiran terhadap warga Ahmadiyah bagi penulis
opini itu dianggap sebagai suatu kewajaran tanpa melihat sisi humanitasnya.
Mengenai pihak yang “terlibat” di pengungsian Transito memang cukup
beragam. Ini bisa dilihat dari daftar pengunjung Transito, yaitu ada pegiat media
(wartawan) baik nasional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat,
serta pemerintah daerah. Beberapa ormas Islam, seperti Nadhlatul Wathan (NW),
sempat datang berkunjung beberapa kali, itu pun untuk memberikan ceramah,
tanpa dialog sama sekali. Sedangkan peran partai politik sangat minim. Pernah
ada satu partai politik yang memberi bantuan pada 2007, tapi setelah itu tidak lagi.
Berbagai LSM juga datang untuk memberikan bantuan dan advokasi.
Kebijakan dan intervensi negara telah memunculkan bentuk diskriminasi
terhadap warga JAI. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain mereka dilarang
tinggal di atas tanahnya sendiri. Menurut JAI, SKB Tiga Menteri misalnya hanya
melarang warga Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, bukan melarang untuk
tinggal di daerah tertentu. Artinya, SKB tidak mencabut hak warga JAI untuk
tinggal di Nusa Tenggara Barat. Namun nyatanya, selama tujuh tahun terakhir ini
mereka masih tetap mengungsi.
Atas kekerasan yang dialami secara beruntun, Jemaat Ahmadiyah
bukannya tanpa upaya atau ikhtiar. Warga JAI berusaha meminta dukungan
keamanan kepada Gubernur hingga Presiden. Bahkan kepada gubernur dan
9 Lihat Suara NTB, Edisi 6 Februari 2006.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
presiden mereka pernah mengirimkan surat. Pimpinan wilayah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Lombok Barat juga menyayangkan sikap pemerintah yang hanya
diam tanpa berusaha melindungi- masyarakat yang teraniaya. Meski hidup dalam
keadaan yang tak pasti, warga JAI di Transito selalu mendapat dukungan
kerohanian dari organisasi. Mereka menyikapi kekerasan yang dialami dalam
koridor keimanan dan kerohanian. Hal inilah yang turut membentuk pola bertahan
dan identitas mereka dalam menghadapi kekerasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, tesis ini bermaksud membahas beberapa
masalah, yaitu
a. Bagaimana sejarah kekerasan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) di Lombok?
b. Bagaimana bentuk pertarungan hegemoni antara JAI dengan pihak di luar
nya dalam menentukan identitas JAI?
c. Bagaimana mereka memandang dan memaknai kekerasan yang dialaminya
secara berkala dan massif (1998-2010) pada level ideologis dan level
praktis?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengambil salah satu potret kekerasan yang dialami pengungsi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok, penelitian ini bertujuan untuk
melihat wacana lain seputar pengalaman dan suara JAI atas peristiwa kekerasan
yang dialami. Suara-suara tersebut kemudian mempengaruhi pembentukan subjek
dan identitas JAI. Akan tetapi, yang dilihat bukan hanya semata-mata dari
perspektif JAI sebagai korban, tapi juga menilik bagaimana kekuatan kelas
hegemonik mempengaruhi keberlangsungan mereka khususnya di Lombok.
Biasanya peristiwa kekerasan berdampak besar pada identitas individu
maupun kelompok. Dalam membentuk identitasnya, kelompok sasaran tidak
selamanya memandang dirinya sebagai korban karena mereka sebenarnya
memiliki kemampuan untuk bertahan dan berstrategi. Kemampuan tersebut
bertemu dengan ideologi kelompok yang dominan sehingga memunculkan proses
negosiasi atau bahkan sebuah pertarungan.
D. Manfaat Penelitian
Berawal dari kegelisahan dan keingintahuan melihat maraknya konflik
antar-kelompok khususnya dalam konteks umat beragama, penelitian ini mulai
dirancang. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menjadi salah satu potret
kekerasan yang disorot, karena identitas yang diberikan padanya sebagai ajaran
“sesat” dan eksklusif. Terlepas dari pro kontra ajaran aliran Ahmadiyah, wacana
ini diharapkan bisa memunculkan narasi lain tentang ideologi di balik kekerasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dan identitas mana yang dominan muncul pada pengungsi JAI di Asrama
Transito.
Pertarungan identitas dan hegemoni setidaknya bisa membantu untuk
memetakan potret kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya entitas Umat Islam
di Indonesia. Lebih spesifik lagi, hal ini akan menjadi gambaran bagaimana
sebuah aliran—yang menyebut dirinya bagian dari Islam—bisa bertahan dan
ditentukan hidup atau matinya oleh ideologi tertentu.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang Ahmadiyah memang sudah banyak dilakukan, namun
sebagian besar menyorot permasalahan akidah, terutama yang kontra terhadapnya.
Penelitian yang menyorot tajam keberadaan Ahmadiyah di dunia misalnya, ditulis
oleh Abdullah Hasan Al-Hadar (1980) dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang
Bulat di Panggung Sejarah. Dia melihat bagaimana Ahmadiyah lahir,
berkembang, penuh gejolak di India, dan menyorot identitas seorang Imam Mahdi
secara cukup detail. Dalam tulisan ini pula banyak asosiasi negatif yang muncul
seputar Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata lugas seperti
Ahmadiyah sesat, sosok Mirza yang “gila” gelar keislaman banyak dipakai dalam
buku tersebut.
Penelitian lain yang juga kontra terhadap Ahmadiyah datang dari Jurnal
Ulama (Majelis Ulama Indonesia Provinsi D.I Yogyakarta : 2008). Jurnal yang
bertajuk Merekontruksi Ukhuwah dan Memahami Aliran Sesat tersebut, mengulas
tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap Ahmadiyah yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
sebenarnya sudah sangat lama sejak 1980-an. Salah satunya adalah vonis sesat
terhadap Ahmadiyah yang telah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi
setelah Nabi Muhammad. Tulisan itu menyebutkan fatwa MUI tidaklah mengada-
ngada, melainkan justru mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab lembaga
keulamaan dalam membimbing umat dan menjaga akidah mereka. Akan tetapi,
dalam tulisan tersebut juga menampilkan protes terhadap MUI yang menilai
lembaga ini telah memicu kekerasan, padahal yang berhak melakukan vonis suatu
aliran sesat atau tidak adalah Allah SWT. MUI kemudian membela diri dengan
mengatakan manusia bisa menilai sesat tidaknya sebuah ajaran berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan, karena apabila tidak maka akan terjadi kekaburan
antara yang hak dan batil.
Ada pula penelitian yang relatif objektif tentang Ahmadiyah yang
dilakukan oleh Dr. Iskandar Zulkarnain (2005), dalam bukunya Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia. Pengajar di UIN Sunan Kalijaga ini meneliti sejarah
Ahmadiyah sebagai aliran yang kontroversial, pada 1920-1942. Menurutnya,
Gerakan Ahmadiyah memang belum banyak dipahami umat Islam lainnya,
padahal ajaran ini telah banyak menyebarkan agama Islam.
Kajian hukum datang dari buku yang diterbitkan The Indonesian Legal
Resource Center (ILRC) tahun 2008 lalu. Buku tersebut menyorot keberadaan
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem)
dan sejauh mana legalitasnya berperan dalam mengawasi agama atau kepercayaan
di Indonesia. Penelitian terhadap Tim Pakem ini diharapkan mampu menjawab
persoalan kebebasan beragama/kepercayaan dan keragaman, serta membuka mata
masyarakat umum atas kerja-kerja dan landasan hukum Tim Pakem.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Banyak penelitian tentang Ahmadiyah, terutama yang beredar di
Indonesia, lebih memfokuskan dirinya pada telaah teologis terhadap ajaran yang
lahir di tanah India itu. Namun, Pusat Data dan Analisa TEMPO (2005),
menyusun dan menerbitkan buku Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat, yang
berisi fakta sosial tentang Ahmadiyah sebagai komunitas dan ajaran yang sudah
tumbuh berkembang di Indonesia. Banyak fakta menarik disajikan buku ini yang
bisa menjadi rujukan penelitian, tentang suara-suara para Ahmadi (sebutan bagi
Jemaat Ahmadiyah), dan juga membahas sejarah Ahmadiyah di India dan
Indonesia. Hanya saja, buku ini memaparkan fakta tentang JAI, dan sepertinya
tidak bermaksud untuk mengelaborasi fakta tersebut dengan teori-teori sosial.
Maraknya kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah terutama di tahun
2000-an juga telah mendorong beberapa lembaga melakukan penelitian. Salah
satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2008 lalu, menerbitkan buku yang
berjudul Laporan Investigasi Kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di
Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…, salah satunya memuat
tentang terhadap kekerasan JAI di Manislor Kuningan (2007) dan rentetan
kekerasan JAI di Lombok sejak 1998. Segelintir kekerasan yang ditulis disertai
dengan analisis hasil temuan investigasi, misalnya melihat modus kekerasan dan
peran aparatur negara didalamnya. Namun, tulisan ini merupakan hasil penelitian
berbasis investigasi yang tidak disertai dengan kerangka teori atau konseptual
untuk menganalisisnya.
Ulasan tentang kajian sosial dan budaya lainnya memang belum banyak
ditemukan, khususnya dalam konteks kekinian. Oleh karena itu, saya berusaha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
mengambil sisi lain sebagai fokus penelitian dalam kajian ini, yaitu Ahmadiyah
dari segi personalnya, kaitannya dengan kekerasan yang dialami dalam kurun
waktu satu dekade ini. Bagaimana Jemaat Ahmadiyah bisa bertahan secara pribadi
dan keorganisasian? Identitas seperti apa yang dominan muncul setelah berbagai
kejadian kekerasan? Lalu, bagaimana orang di luar JAI atau liyan
mengidentifikasi mereka? Atas hal tersebut, persoalan tentang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, khususnya di Lombok menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah.
F. Kerangka Teoritis
1. Subjek Lacanian
Kasus kekerasan yang dialami JAI menunjukkan perhatian pada objek
psikoanalisa Lacanian tentang pembentukan subjek, yaitu subject of lack ke usaha
subjek dan Other (Liyan) untuk merepresentasikan dirinya dalam kehidupan
sosial. Subjek-subjek bertemu dengan lack dan alienasi di saat mereka mencari
kesempurnaan (keutuhan) atau autre (baca:other). 10
Lacan menegaskan kembali subjek dari psikoanalisa bukanlah subjek
pengetahuan (subject of knowledge), melainkan ketidaksadaran yang direpresi,
dan mempengaruhi perkembangan subjek selanjutnya. Hal ini bertentangan
dengan semangat pencerahan—gagasan dalam tradisi filsafat—yang memberi
penghargaan tinggi pada akal dan kesadaran (“consciousness”). Subject as cogito,
justru diperlihatkan sebagai subject of lack.
10 Adalah Jacques Marie Emile Lacan (1901-1981), seorang poststrukturalis yang hadir dengan konsepnya tentang psikoanalisa, dan secara umum mempersoalkan tentang strukturalisme yang cenderung menenggelamkan subjek. Dia kemudian hadir dengan konsep pembentukan subjek.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Subjek yang mencari Liyan bisa dibaca sebagai upaya untuk mengisi lack.
Other (huruf besar) atau Liyan tersebut bukanlah sosok ibunya, melainkan bahasa.
Subjek dalam arti sebenarnya ketika seseorang mencoba bersatu dan meyakini
bahwa Liyan mampu memenuhi kebutuhan lack nya, mengikuti banyak hal, dan
beraktivitas dengan harapan memiliki pengalaman yang menyatu antara anak dan
“ibu”. Dalam adagium There is no Other of Other, tercermin subjek yang lack
ingin bertemu Other untuk memenuhi kebutuhannya (need), tapi ternyata Liyan
juga selalu mengalami lack.
Bagaimana kita melihat status lack pada Liyan? Pastinya, lack yang
dimaksud adalah lack atas sesuatu (lost object). Pada teori Lacan, yang dimaksud
dengan lack of jouissance adalah hilangnya sesuatu pada fase pre-simbolik,
kenikmatan yang nyata (real enjoyment) selalu diposisikan sebagai sesuatu yang
hilang atau dikorbankan ketika memasuki sistem simbolik dari bahasa dan realitas
sosial.
Namun, akhirnya subjek menyadari bahwa Liyan tidak mampu memenuhi
lack-nya. Lalu, muncullah Desire. Dalam pandangan Lacan, desire hanya akan
dialami setelah subjek merasa tidak pernah mendapatkan kepuasan dari dunia
simbolik atau Liyan. Ketika subjek memahami bahwa ternyata hukum dan dunia
verbal tidak bisa memuaskan sama sekali, saat itulah muncul hasrat untuk
menemukan kembali objek a (baca: autre). Desire merupakan upaya untuk
menemukan kembali jejak-jejak yang menyebabkan subjek mengalami lack.
Konsep desire berbeda dengan need atau kebutuhan. Dalam tataran
simbolik, kebutuhan yang disuarakan secara verbal disebut demand atau tuntutan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Munculnya tuntutan berdasarkan need dari subjek yang semata-mata merupakan
kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan.
Tidak adanya pemenuhan dalam level simbolik telah membawa subjek
keluar dari frustrasi yang dikenal dengan ranah fantasi. Dalam Lacan, struktur
yang kita temui dalam fantasi adalah relasi antara subjek yang split (terbelah),
subjek yang mengalami lack (hilang), dan janji untuk mengeliminasi kekurangan
tersebut. Jika kondisi manusia ditandai oleh kenikmatan yang tak tercapai atau
hilang, maka fantasi menyediakan janji pertemuan dengan jouissance yang
berharga untuk menutupi lack dan mengisi ruang kosong pada subjek.
Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan
konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah
tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek a.
Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang
direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam
simtom-simtom tersebut.
Dampak dari kekerasan memunculkan resistensi dan representasi terhadap
suatu kelompok, dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Resistensi
tersebut muncul, karena berbagai bentuk “pengawasan” terhadap warga
Ahmadiyah, yang merupakan bentuk diskriminasi dan stigma. Stigma
dikonstruksi secara sosial melalui label-label yang melekat pada diri seseorang
atau kelompok.
Subject of lack dan simtom dapat dilihat pada korban kekerasan.
Dampaknya adalah identifikasi pada subject of lack dan Liyan. Representasi yang
dihadirkan sebagai dampak dari kekerasan adalah “trauma”, stress, atau tekanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
mental. Kata trauma sengaja diberi tanda petik karena konsep ini berlaku unik
bagi Jemaat Ahmadiyah. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka
pemulihan diri. JAI yang menjadi korban kekerasan muncul dengan optimisme
yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian. Pengabaian dan
pembiaran yang dilakukan aparat hanya bisa disikapi dengan pasrah dan
menunggu penghakiman Allah. Dalam hal ini, pengungsi JAI di Asrama Transito
tidak berjuang sendiri, melainkan bersama pemimpin dan mubalignya.
Relevansi Lacan untuk analisis sosial politik dapat dilihat dalam diskursus
tentang subjek dan dan politik.11 Teori politiknya Lacan adalah diskursus tentang
impossibility atau lacking. Titik awal pertama untuk membahasnya adalah konsep
Lacan tentang subjek, yang split (subjek mengalami lack) dan teralienasi menjadi
lokus dari “impossible identity” di mana identifikasi politik mengambil tempat.
Subjek ini merupakan kontribusi terbesar Lacan dalam analisis politik
kontemporer.
Subjek Lacanian akan relevan untuk perbincangan politik secara filosofis
karena ini tidak identik dengan “individu” atau “subjek yang berkesadaran”.
Subjek Lacanian melampaui esensialis atau penyederhanaan dari subjektivitas,
dalam arti subjek tidak diturunkan menjadi ego. Dia juga melawan dan melampaui
segala tendensi yang bergerak sesuai aturan. Lacan melihat ego tidak bisa
menopang dirinya itu sendiri, dan bahwa mitos tentang kesatuan personalitas,
perpaduan segala sesuatu yang berasal dari objek sesungguhnya akan melahirkan
keretakan, ketakutan, ataupun misrecognition dari berbagai pengalaman. 11 Ibid. Hal 7. Dalam penjelasannya, Stavrakakis menyebut Lacan bukanlah seorang ahli politik, apalagi seorang filsuf. Akan tetapi, psikoanalisa politik, meminjam istilah Sherry Turkle (1992), merupakan istilah yang menjadi pertemuan antara Lacan dan politik. Lacan menggunakan konsep dari Freud tentang konsep objektivitas yang menjadi pendekatan objektivitas sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Adanya ketergantungan pada susunan simbol sosial menjadi keterkaitan
antara psikoanalisa dan sosial politik. Penerapan teori Lacan yang dirumuskan
oleh Ernesto Laclau- Chantal Mouffe dapat difokuskan pada titik pertemuan
faktor yang menentukan dalam implementasi aksi politik. Laclau-Mouffe
menggunakan konsep atau istilah psikoanalisa untuk menjelaskan fenomena
ideologi dan politik secara luas sebagai pemikiran “individual psyche”, faktor
dalam cara kerja ideologi. Pembentukan identitas bisa diusahakan melalui proses
identifikasi dengan diskursus sosial seperti ideologi. 12 Kaitan dengan kasus JAI di
Lombok, cukup penting untuk melihat bagaimana para pengungsi membentuk
identitasnya melalui sebuah ideologi Ahmadiyah.
2. Hegemoni Gramsci
Konsep teoritis lainnya yang dapat digunakan untuk membaca kasus JAI
di Lombok adalah hegemoni. Membicarakan tentang konsep hegemoni, tentu tak
bisa dilepaskan dari pemikiran Antonio Gramsci, yang telah mempengaruhi
perkembangan teori Marxis pasca Althusserian pasca tahun 1960-an. Hegemoni—
salah satu kesadaran politik Gramsci—merupakan sebuah kesadaran untuk
mengetahui kelompok kepentingan dalam perkembangan sekarang dan masa
depan, melampaui kelas ekonomi semata, yang bisa menjadi kepentingan dari
kelas subordinasi.
Hegemoni menjadi formula Gramsci yang diartikulasikan pada level
analisis mode produksi dengan formasi sosial. Konsep yang akan disorot dalam
hegemoni-nya Gramsci adalah manifestasi dari kelompok sosial sebagai
12 Lihat Yannis Stavrakakis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge. Hal 36. Hal itu diungkapkan oleh Bellamy, sebagai kritikus teori Lacan dalam karya-karya Laclau-Mouffe.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
“dominasi” dan “kepemimpinan intelektual dan moral”.13 Hegemoni yang selalu
menjadi basis dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui artikulasi kelompok
kepentingan.
Subjek tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena adanya proses
determinasi dalam ranah ideologi. Oleh karena itu, subjektivitas selalu merupakan
produk dari praktik sosial. Ideologi sebagai praktik menghasilkan subjek,
membutuhkan struktur materi dan institusi untuk mengelaborasi kemunculannya.
Aparatus, oleh Gramsci, merupakan struktur ideologi dari kelas dominan.
Sedangkan level struktur di mana ideologi diproduksi dan disebar disebut
masyarakat sipil.
Gramsci melihat adanya keunggulan superstruktur ideologi dibandingkan
dengan ekonomi, karena lebih diutamakannya masyarakat sipil (berdasarkan
konsensus) daripada masyarakat politik (berdasarkan kekuatan semata). Hal ini
ditandai dengan perjuangan ideologi yang berusaha membentuk kesatuan antara
ekonomi, politik, dan keseimbangan intelektualitas demi kepentingan bersama
bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.
Untuk menjalankan proses hegemonik, maka strategi menjadi sangat
penting. Kelas pekerja yang sedang berjuang tidak boleh mengisolasi dirinya
dalam kelas proletariatnya semata. Tapi sebaliknya, kelas ini harus mencoba
menjadi “kelas kebangsaan” yang merepresentasikan dan mengartikulasikan
kepentingannya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kelompoknya. Hal itu
akan menyebabkan perpecahan di kelas borjuis sehingga terjadi disharmoni
karena adanya pemblokan atau tidak diartikulasikannya suara mereka. Adanya
13 Lihat Chantal Mouffe. 1979. Hegemony and Ideology in Gramsci. Dalam Chantal Mouffe (ed.). Gramsci and Marxist Theory. London-Boston : Routledge. Hal 183.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
pertarungan hegemoni di antara kelas-kelas sosial termasuk yang antagonistik
menyebabkan kelas fundamental atau berkuasa ingin memenangkan kontestasi
tersebut. 14
Dalam kasus di Lombok, terjadi pertarungan hegemoni dari berbagai
elemen yang turut menentukan identitas JAI. Stigma adalah salah satu upaya
hegemoni kelas tertentu dalam memasukkan ideologi tertentu. Kelas hegemonik
tersebut, apabila menyitir Althusser dan Gramsci, merupakan Ideologi Aparatus
Negara (IAN) dan Represi Aparatus Negara (RAN). Pemerintah dalam hal ini
mengambil peran RAN yang melakukan beragam pembiaran atas rangkaian
peristiwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Tindakan represif tersebut mewujud dalam pembiaran dan upaya
“melegalkan” setiap tindakan kekerasan. Dalam catatan, setiap tindakan
pengrusakan massa yang dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah selalu dijaga oleh
polisi. Bahkan, beberapa saat sebelum kejadian kekerasan berlangsung, aparat
sudah datang untuk berjaga-jaga. Hal itu bisa dibaca sebagai upaya pemerintah
yang dilematis menghadapi persoalan Ahmadiyah ini. Dilematis dalam arti
mereka tidak mampu menghalangi massa dalam melakukan kekerasan. Selain itu,
mereka juga tidak mampu bertindak tegas terhadap massa. Jadi, upaya
perlindungan yang “setengah hati” terhadap Ahmadiyah. tidak adanya upaya
penindakan terhadap pelaku kekerasan juga menunjukkan indikasi tersebut.
Pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk menangani pengungsi yang
sudah 7 tahun hidup di Asrama Transito, Mataram. Aktor kekuatan politik dari
kelas yang berkuasa bukan hanya terdiri dari militer atau polisi, tapi juga yang
14 Ibid. Hal 197
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
berhubungan dengan ideologi, yang merasuk ke dalam masyarakat secara massif
dan seolah tak disadari. Aparatus ideologis yang berperan misalnya tokoh-tokoh
agama dan media.
3. Subjek, Hegemoni, dan Demokrasi Radikal
Setelah melihat alur pemikiran Lacan dan Gramsci, cukup penting untuk
membincangkan relasi antara Psikoanalisa dan Ekonomi Politik Marxis, yaitu
bahwa simtom di psikoanalisa juga terjadi pada ideologi Marx. Adalah Ernesto
Laclau-Chantal Mouffe sebagai pemikir post-marxis yang masih concern pada
kapitalisme. Gagasan dari Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985)15 tentang
Demokrasi Radikal akan dipakai dalam menganalisis permasalahan yang sedang
diteliti. Keduanya merupakan pemikir yang menjadi pionir dalam perdebatan
pascamarxis. Hal ini ada kaitannya dengan konsep hegemoni dan linguistik yang
digunakan Laclau-Mouffe untuk membangun logika Demokrasi Radikal.
Semangat Demokrasi Radikal bisa dilihat dari maknanya. Demokrasi
harus bersifat plural, yaitu suatu ruang politik yang dihasilkan oleh rangkaian
ekuivalensial harus diakui adanya pluralitas, maksudnya otonomi pada setiap
unsur. Demokrasi jenis ini juga harus bersifat radikal dalam arti bahwa kesatuan
suatu masyarakat demokratis sesungguhnya tidak lagi membutuhkan pusat.
Radikal juga menunjuk pada kesatuan sosial yang tidak pernah berhasil menjadi
identitas kelompok, jadi harus dibentuk ulang secara terus menerus.
Logika Demokrasi Radikal muncul dari gagasan Gramsci tentang
hegemoni yang kemudian dielaborasi oleh Laclau-Mouffe. Beberapa konsep yang
15 Dalam St Sunardi. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Humaniora Baru Vol.3 No.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
bisa dipakai di sini misalnya Bagaimana kesatuan sosial bisa terbentuk? Mereka
bersatu secara spontan atau dibutuhkan semacam pemimpin untuk
mempersatukannya. Kalau ada pemimpin, apakah pemimpin itu hanya
mengumpulkan kepentingan-kepentingan mereka atau perlu melakukan intervensi
secara ideologis atau konseptual? Apa hakekat hubungan-hubungan yang
mempersatukan unsur-unsur dalam kesatuan sosial? Ekonomi atau politis? Atau
kedua-duanya? Bagaimanakah sifat kesatuan sosial tersebut; tertutup atau
terbuka? Sejauh mana mapan dan sejauh mana labil? Apa implikasinya bagi
subjek agen-agen sosial?16
Landasan pertama yang dipakai oleh Laclau-Mouffe untuk membangun
teorinya adalah tradisi linguistik struktural-pascastruktural.17 Konsep Laclau-
Mouffe ini berfokus pada pembentukan wacana lewat praktik artikulatoris. Dilihat
dari logika artikulasi, masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah
selesai diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya
bisa dituntaskan dalam artikulasi (dengan momen-momen sebagai satuannya),
melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu.
Keberadaan etika penting dalam Demokrasi Radikal karena berusaha
menginstitusionalisasikan lack dalam realitas politik. Salah satu konsep dalam
etika Lacanian, yaitu simtom. 18 Dalam pemikiran Gramsci juga dipakai istilah
16 Ibid. Hal 5. 17 Ibid. Hal 5. Walaupun kemudian keduanya melampaui tradisi linguistik, prinsip dasar tetap mereka pakai, terutama yang berkaitan dengan konsep tentang bahasa. Akses kita pada realitas hanya bisa dicapai lewat bahasa. Hanya saja, berbeda dengan Saussure, mereka melihat bahasa sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, bukan dalam sistem umum. 18 op.cit. Hal 131. Lihat juga Yannis Stavrakakis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge. Hal 121. Sebenarnya ada dua konsep dalam etika Lacanian, yaitu sublimasi dan simtom. Namun, yang akan dijelaskan lebih jauh adalah simtom karena lebih terkait dengan isu yang dibicarakan. Sedangkan Sublimasi merupakan penghalusan atau bentuk yang berbeda dari idealisasi dalam kesadaran etika tradisional. Sublimasi menciptakan ruang publik (public space), walaupun bersifat individual tapi bisa mempersatukan ranah tertentu seperti halnya di bidang seni.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kemunculan simtom untuk menggambarkan struktur sosial, kelas buruh, atau
kelas yang tidak dominan. Simtom sebagai manifestasi dari kelas yang terepresi,
merupakan kata-kata atau penanda yang kelihatannya mengikuti hukum bahasa
atau simbolik, tapi sebenarnya tidak. Pengalaman tidak terpenuhinya need
kemudian menimbulkan simtom.
Simtom dapat ditemukan dalam kelompok yang tersubordinasi atau
menjadi sasaran kekerasan seperti JAI. Seperti yang telah dibahas dalam konsep
Gramsci di atas, muncul stigmatisasi yang dilakukan oleh kelas hegemonik.
Fantasi dalam konstruksi utopia kemudian disandingkan dengan sesuatu yang
menakutkan, paranoid yang membutuhkan korban terstigmatisasi. Stigmatisasi
biasanya diikuti oleh pembasmian. Utopia bisa saja bekerja atas dasar kekerasan
atau antagonisme yang memunculkan enemy atau musuh, sehingga muncullah
demonisasi.
Dengan konsep hegemoni-nya, Gramsci membawa spirit baru dalam
Marxisme, yang menekankan strategi kelas proletar atau tersubordinasi. Kasus
JAI di Lombok juga menunjukkan adanya counter hegemony (hegemoni
tandingan) yang dilakukannya terhadap kelas yang berkuasa atau hegemonik
dalam masyarakat. Ini menjadi salah satu strategi JAI.
Berbicara mengenai strategi tentu tak bisa dilepaskan dari subjek.
Pemikiran Lacan dan Gramsci (baca : Gramsci yang ditafsirkan oleh Laclau)
memiliki perhatian pada subjek. Gramsci lebih menekankan subjek sebagai
produk dari praktik sosial karena adanya proses determinasi dalam ranah ideologi. Hal inilah yang menjadi mediasi antara individu dengan komunalnya atau partikular dengan universal. Sublimasi mengakui lack dan pusat dari real sebagai ganti dari eliminasi ketidakmungkinan dan identifikasi dari yang ideal. Sublimasi menciptakan ruang yang ideal untuk pemenuhan desire.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Diskursus tentang ideologi dipahami sebagai artikulasi (mata rantai) dari elemen
ideologi.
Ideologi sebetulnya adalah janji kolektif yang bisa memenuhi lack subjek.
Untuk merumuskan ideologi, maka perlu diperhatikan apa yang menjadi lack
masyarakat yang bersangkutan, dan bagaimana cara memenuhinya. Setiap orang
dalam masyarakat sebenarnya memiliki sejarah kehidupan masing-masing.
Sejarah tadi akan menentukan ideologi atau objek yang diinginkan oleh subjek
atau masyarakat. Pada hakikatnya, fungsi sentral dari ideologi adalah integrasi
serta penjagaan atas status quo.
Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari bicara tentang
subjek politik. Laclau-Mouffe mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah
“mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada melainkan memainkan peran
penting dalam pembentukan subjek-subjek politik” (Laclau dan Mouffe,
1985:vii).19 Dengan kata lain, politik bukanlah sekedar melakukan mobilisasi
orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama (misalnya kepentingan
ekonomis), melainkan juga harus meliputi pembentukan subjek-subjek politik.
Gagasan Laclau-Mouffe terkait Demokrasi Radikal akan mengarah pada
revolusi demokrasi sebagai medan artikulasi hegemonik dilihat dalam fenomena
gerakan-gerakan sosial baru yang muncul sejak paruh kedua abad ke-20. Gerakan
ini bisa dibaca sebagai munculnya bentuk-bentuk antagonisme baru dalam
masyarakat, karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum terlihat
di zaman sebelumnya. Laclau-Mouffe melihat jenis-jenis hubungan subordinatif
itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial (karena sistem produksi
19 Ibid. Hal 16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
kapitalis), birokratisasi hubungan sosial (karena intervensi negara dalam
melindungi rakyat namun secara paradoks justru menghasilkan hubungan
subordinatif baru), dan hegemonisasi hubungan sosial (karena moda baru dalam
penyebaran budaya lewat media massa). 20
G. Metode Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian utama adalah di tempat pengungsian warga Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, Asrama Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, juga beberapa wilayah di Lombok Barat dan Sumbawa.
b. Sumber Data
Sumber data berasal dari sejarah lisan melalui ingatan dan pengalaman dari
para informan, yakni orang yang mengalami kekerasan baik langsung ataupun
tidak terutama yang menyangkut masalah penelitian. Data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
c. Metode Pengumpulan Data
Data primer saya kumpulkan melalui teknik wawancara terbuka dan
observasi. Wawancara saya lakukan dengan para pengungsi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, koordinator pengungsi, pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, Pengurus Lembaga atau Ormas Islam di NTB, pegiat LSM (seperti
Lembaga Studi Kemanusiaan), dan masyarakat. Selain itu, saya juga
20 Ibid. Hal 19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
melakukan penelisikan data sekunder melalui media dan dokumen yang
relevan tentang Ahmadiyah.
d. Teknik Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, saya mencoba melakukan pendekatan sosiologis, yang
memadukan antara kajian yang eksploratif dan eksplanatoris. Dengan tidak
bermaksud menguji hipotesa, penelitian ini berusaha menghasilkan suatu
deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan data-data yang diperoleh
melalui studi kasus. Metode pengolahan data, yaitu melalui penulisan narasi
dan makna dari tuturan, serta dokumen atau literatur berdasarkan konsep-
konsep teori yang digunakan. Penulisan ini bukan hanya melihat makna dari
tuturan individu maupun kolektif, akan tetapi juga melihat kekuatan sosial
politik yang turut membentuknya.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menguraikan kajian tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ini,
saya membaginya dalam beberapa bab. Bab Pertama merupakan Pendahuluan
yang menulis detail tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan sistematika
penulisan. Bab Kedua akan berisi penjelasan historis atau sejarah literer
kemunculan Jemaat Ahmadiyah di dunia, lalu masuknya ke Indonesia yang
kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Lombok.
Sedangkan dalam Bab Ketiga, saya akan menguraikan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia sebagai sebuah gerakan sipil keagamaan selama dan sesudah kekerasan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
komunal di Lombok. Pada sub-bab pertama, saya akan bercerita tentang
kekerasan yang menimpa JAI di Lombok selama satu dekade, dan adanya sebuah
kontinuitas yang menyebabkan mereka tercerai berai dari tanah kelahiran sendiri.
Dalam bagian ini pula akan saya pertontonkan teks tentang suara-suara mereka di
bilik pengungsian Transito serta aktor yang berada di balik kekerasan tersebut.
Sub-bab kedua merupakan torehan perjalanan JAI di Lombok yang menjadi
pengungsi di Asrama Transito selama 7 tahun ini. Sub-bab ini juga
memperlihatkan bagaimana pola bertahan dan strategi yang dilakukan JAI dalam
mempertahankan identitasnya.
Bab keempat merupakan hasil kajian atau refleksi dari fakta yang dilihat di
bagian ketiga dengan menggunakan konsep subjek-nya Lacan, adanya
pertarungan hegemoni, hingga terbentuknya identitas yang dominan dari suatu
kelompok, dalam hal ini JAI sebagai sebuah gerakan sipil keagamaan. Terakhir,
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan tentang apa yang sudah saya
tulis dan kaji tentang JAI di Lombok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
BAB II
JEMAAT AHMADIYAH DALAM TILIKAN SEJARAH
A. Jemaat Ahmadiyah, Tunas Islam di Berbagai Belahan Dunia
Sebelum membahas kekerasan ideologis21 yang terjadi selama lebih dari
satu dekade terhadap para pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
Asrama Transito Mataram, kita akan melihat sekelumit perjalanan Ahmadiyah
dari masa tumbuh dan berkembang, pengaruh di berbagai belahan dunia, hingga
masuk dan menyebarnya di Indonesia, termasuk di Lombok.
Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan lahir di India pada akhir
abad ke-19 dengan latar belakang kemunduran umat Islam di bidang agama,
politik, ekonomi, sosial, dan sejumlah bidang kehidupan lainnya. Hal ini terjadi
terutama setelah pecahnya Revolusi India tahun 1857, berakhir dengan
kemenangan Inggris yang terpenting di Asia.
Pendiri Ahmadiyah adalah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, yang lahir pada
hari Jumat, 13 Februari 1835 di sebuah dusun bernama Qadian, Gurdaspur, 25
KM arah Timur Laut Amritsar di Provinsi Punjab. India, negara tempat lahirnya
Ghulam Ahmad pada masa-masa itu, bahkan jauh sebelum Mirza Ghulam Ahmad
lahir diwarnai oleh pergolakan, peperangan, dan perebutan kekuasaan. Negeri
dengan mayoritas penduduk pemeluk Hindu dan Buddha itu pernah dikuasai oleh
21 Kekerasan ideologis disini hanya merupakan penamaan saja, untuk menyebut kekerasan beruntun yang terjadi di dalam pertarungan ideologi-ideologi yang ada, aktor-aktor yang berperan, dan kontestasi di dalamnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
sebelas dinasti Mughal (1526-1858 M) selama lebih kurang delapan setengah
abad.
Benih pertama “pohon” Ahmadiyah ditanam pada tanggal 23 Maret 1889
ketika Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mendirikan suatu jemaat guna memberikan
bimbingan kepada segenap umat manusia supaya mengenal Tuhan Yang Hakiki
dan menunjukkan jalan yang telah dirintis oleh Baginda Nabi Besar Muhammad
SAW. Namun, dalam sejumlah literatur Ahmadiyah disebutkan bahwa Ghulam
Ahmad memperoleh ilham dari Allah SWT untuk pertama kali pada 1886.22
Ketika itu, ia berusia 40 tahun, saat ayahnya sedang sakit. Dikatakan
bahwa ilham itu diawali dengan kata-kata: “Persumpahan demi Langit yang
merupakan sumber takdir, dan demi peristiwa yang akan terjadi setelah
tenggelamnya matahari pada hari ini”. Ilham itu kemudian menyampaikan kabar
penting, yakni bahwa ayahnya akan meninggal setelah magrib. Ternyata benar.
Beberapa saat kemudian, tak lama setelah isyarat gaib itu turun, ayahnya
meninggal saat matahari terbenam.
Menurut pengakuan Ghulam Ahmad, dengan turunnya ilham itu, ia merasa
sedih dan khawatir akan nasibnya di kemudian hari. Sebagai manusia, Ghulam
Ahmad sangat sedih dan gelisah ketika mendapat kabar demikian. Sebagian besar
penghidupan keluarganya bergantung pada ayahnya yang biasa mendapat pensiun
serta hadiah yang agak besar dari pemerintah. Dengan wafatnya sang ayah, semua
itu akan dihentikan.
22 Meskipun dalam literatur lainnya yaitu di Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan bahwa Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerima perintah kerasulan ummati (sebagai umat Rasulullah) dari Allah SWT pada bulan Maret 1882 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1908.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Setelah didera kesedihan dan kegelisahan seperti itu—menurut pengakuan
Ghulam Ahmad—ia mendapat ilham kedua dari Allah yang menentramkan
hatinya. Katanya tentang ilham kedua itu : “Dari ilham ini hati saya menjadi
teguh, bagai luka parah yang tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih karena suatu
obat…”. Ilham itu diceritakan kepada seorang penduduk Qadian beragama Hindu,
Malawa Mal. 23
Menurut pengikutnya, Jemaat Ahmadiyah seutuhnya bukan agama baru
dan tidak pula membawa ajaran baru. Akidah dasar (kepercayaan pokok) anggota
Jemaat Ahmadiyah adalah Islam, kitab sucinya adalah Al-Quran yang terdiri dari
30 juz dan 114 surah, dan nabinya Nabi Muhammad SAW berdasar kepada 5
Rukun Islam dan 6 Rukun Iman. Selain itu, Jemaat Ahmadiyah melaksanakan
sholat tetap menghadap kiblat (Kabah), dan berhaji ke Tanah Suci Mekkah. 24
Terkait dengan penamaan, Jemaat Ahmadiyah merupakan nama aliran atau
ajaran yang tidak merujuk pada nama pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad. Namun,
mereka ambil dari nama Nabi Muhammad SAW, yang memiliki dua nama yaitu
Muhammad (nama sifat keagungan) dan Ahmad (nama sifat keindahannya). 25
Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, khalifah kedua Jemaat Ahmadiyah
menjelaskan istilah jemaat bukan merujuk pada sebutan jumlah massa, melainkan
lebih ditekankan pada tujuan bersama.
23 Lihat tulisan R.Ahmad Anwar. Pohon Ahmadiyah Tumbuh di Persada Indonesia. Dalam Souvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994. Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 39. 24 Enam Rukun Iman itu adalah Iman kepada Allah, Iman Kepada Malaikat Allah, Iman pada Kitab Allah, Iman kepada Rasul Allah, Iman kepada Hari Akhirat, dan Iman kepada Qadha dan Qadar. Sedangkan 5 Rukun Islam itu adalah Mengucapkan 2 kalimat syahadat, Menunaikan Shalat, Melaksanakan Puasa, Mengeluarkan zakat, dan Menunaikan haji bagi yang mampu. 25 Penamaan inilah salah satu yang menjadi bahan polemik yang dipertanyakan oleh beberapa pihak yang kontra terhadap Ahmadiyah. Lihat Bab selanjutnya, JAI di Lombok sebagai sasaran komunal di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Mahmud Ahmad mengatakan ribuan dan jutaan individu tak dapat disebut satu
jemaat, melainkan jemaat itu dikatakan kepada individu-individu yang berkumpul
dan bersatu-padu untuk bertekad bekerja dan melaksanakan satu program
bersama.
Hal ini juga tercermin dalam Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia saat
menjawab pertanyaan Komisi VIII DPR RI.26 Menurut JAI, organisasi-organisasi
Islam di India dan Pakistan menggunakan kata jemaat. Atas hal tersebut, maka
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga menggunakan kata tersebut yang diserap
dari bahasa Urdu yang berarti organisasi atau perkumpulan. Kata jemaat juga
telah terdaftar secara resmi sebagai nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam
badan hukum. Untuk mengubahnya perlu proses panjang.
Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai organisasi kerohanian,
bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Mereka
mengaku bersifat keagamaan dan semata-mata hendak mewujudkan persatuan di
kalangan umat Islam. “Ahmadiyah tidak menginginkan kerajaan atau adanya
ambisi dalam pemerintahan. Singkatnya, Ahmadiyah tidak memiliki tujuan
politik. Jemaat Ahmadiyah memiliki hasrat untuk memperbaiki kehidupan agama
orang-orang Islam serta mengkonsolidasikan mereka sehingga dapat bersatu padu
untuk dapat mengkonfrontir musuh-musuh Islam dengan senjata akhlak dan
kerohanian”, tulis Mahmud Ahmad.27
26 Op.cit. hal 10. Saat itu, Hasyim Wahab (FPDIP) mengusulkan agar nama “Jemaat” sebaiknya diganti dengan “Jamaah” atau “Jam’iyah” sesuai asalnya dari Arab, karena Jemaat bahasa Indonesia lebih sering digunakan istilahnya oleh orang Kristen Indonesia. Dalam Dokumen Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 27 Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 57.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa
loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang
berkuasa (Ulil Amri) di manapun Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Kelompok ini juga mengenal istilah Bai’at untuk masuk ke dalam Jemaat
Ahmadiyah. Sebagian syarat-syaratnya antara lain: Tiap-tiap orang yang hendak
bai’at masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah harus berjanji dengan ikhlas hatinya
bahwa dia akan berjanji menjauhi syirik sampai meninggal dunia; akan menjauhi
diri dari zina, berdusta, memandang wanita yang bukan muhrim, menjauhi segala
macam kedurhakaan dan kemaksiatan, penganiayan dan pengkhianatan; tidak
akan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dorongan-dorongan hawa nafsunya,
betapapun kuat dan hebatnya. Jemaat Ahmadiyah juga tidak akan menyakiti
seorangpun daripada makhluk Allah pada umumnya, dan kaum muslimin pada
khususnya, baik dengan tangannya maupun dengan lidahnya, ataupun dengan
jalan lain. Dia akan mengikat janji persaudaraan dengan Hamba Allah ini (Masih
Mau’ud a.s) semata-mata karena mencari mencari keridhaan Allah Taala.28
Sepeninggal ayahnya, Mirza Ghulam Ahmad mulai menulis artikel yang
dimuat di surat kabar. Tak cuma artikel di surat kabar, ketika lawan-lawannya
semakin gencar menyerang Islam, ia mulai menulis buku tentang kebenaran
agama Islam. Buku pertamanya berjudul Barahiyn Ahmadiyah. Menurut klaim
Ahmadiyah, bagian pertama buku itu saja, berupa seruan dan pengumuman,
mampu mengguncangkan dan menggemparkan seluruh negeri.
28 Diambil dari sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Selain itu, ada amalan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah dan kadang tidak semua umat muslim lakukan yaitu perintah Sholat Jumat untuk laki laki dan perempuan kecuali perempuan yang berhalangan. Hal ini berdasarkan pada perintah Al-Quran yang menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, ….”, dari ayat ini bisa dikatakan bahwa perintah Sholat Jumat bukan hanya untuk laki-laki muslim saja, tapi juga untuk perempuan (berdasarkan wawancara dengan mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin di Asrama Transito pada 14 Desember 2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Berkat buku itu, ia diakui sebagai seorang yang cakap. Lebih dari itu, Ghulam
Ahmad dianggap sebagai seorang mujaddid, sang pembaharu. 29
Pada tahun-tahun berikutnya dakwah yang dilakukan Ghulam Ahmad
adalah untuk membangkitkan kembali semangat umat Islam dalam beragama.
Ketika menyaksikan banyak kepercayaan ditumpahkan ke pundaknya oleh umat,
yakinlah dia bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan sebagai orang yang dipilih
oleh Allah, sebagai Al-Masih yang dijanjikan untuk menegakkan kembali
keagungan Islam.
Mulailah bermunculan kontroversi yang tiada henti sampai kini. Hazrat
Mirza Ghulam Ahmad dari Dusun Qadian, India ini mengumandangkan
pengakuan sebagai Imam Mahdi dan Masih Yang dijanjikan atas perintah Tuhan.
Selain itu, dalam versi Ghulam Ahmad, Nabi Isa AS telah wafat sekaligus dia
menunjukkan makamnya di Kashmir, dan oleh karena itu tidak akan turun lagi ke
dunia. Pendakwaan mengenai dirinya mulai diumumkan melalui selebaran dan
dinyatakan secara eksplisit melalui karya Ghulam Ahmad yaitu Fateh islam,
Tauzih Maram, dan Izalah Auham yang terbit pada 1890-1891.
Sejak itu sebagian orang yang semula membelanya mulai menolak.
Namun, sebagian tetap mengikuti bahkan menjadi pengikut setia. Ajarannya
waktu itu berpusat di Qadian dan di situ mulailah dibangun Sekolah Dasar.
Ghulam Ahmad kemudian mencanangkan dakwah Islam ke Eropa melalui
majalah The Review of Religions. Lewat media ini, pembaca bisa memahami
pembahasan ajaran agama dan melihat keunggulan Islam.
29 Bagian pertama buku ini dicetak pada 1880, kedua pada 1881, ketiga 1880, dan bagian keempat pada 1884. Tulisan-tulisannya berisi penjelasan tentang Islam untuk melawan serangan dari para misionaris Kristen dan Hindu Ariya. Namanya pun mulai dikenal di masyarakat umum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Pada 1908 Ghulam Ahmad meninggal dikarenakan sakit diare yang parah
serta migrain. Sepanjang hidupnya, ia telah menuliskan dan mewariskan 84 judul
buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab, Parsi, dan Urdu. Pada 1896, Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad juga menulis karangan yang terkenal dan menjadi
masterpiece nya, yaitu buku berjudul Islami Ushul Ki Filasafi dan telah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk dalam bahasa Indonesia
yang berjudul “Filsafat Ajaran Islam”. 30
Sebagai organisasi yang berkiprah dalam bidang kerohanian dan tidak
memiliki tujuan-tujuan politik, Jemaat Ahmadiyah telah berhasil
menyebarluaskan dakwah Islam di daratan Eropa, Australia, dan Amerika dengan
mendirikan masjid-masjid dan pusat-pusat dakwah di kota-kota penting ketiga
benua tersebut.
Bahkan pusat Jemaat itu kini berada di London, Inggris. Perpindahan itu
dikarenakan Jemaat Ahmadiyah di Qadian atau Pakistan dicerca dan dianggap
kontroversial. Hal itu terjadi pada masa Khalifah keempat, Hazrat Mirza Tahir
Ahmad, yang kemudian hijrah ke London. Pada waktu itu, di zaman pemerintahan
Ali Bhuto, disusun rencana untuk membunuh khalifah Ahmadiyah tersebut. Tahir
Ahmad bisa lolos karena petugas salah informasi dan menyangka khalifah
Ahmadiyah saat itu masih Nasir Ahmad.31
30 Dalam buku Filsafat Ajaran Islam (2008) yang diterjemahkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia nama lengkap Ghulam Ahmad ditulis dengan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, bukan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. 31 Saat itu, kekhalifahan sudah berganti dari Nasir Ahmad ke Tahir Ahmad dan ini tidak diketahui oleh petugas pemerintahan. Bagi orang Ahmadiyah, selamatnya khalifah mereka merupakan pertolongan dari Allah, seperti halnya yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW saat menyelamatkan diri dari musuh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Jauh sebelum pusat Ahmadiyah aliran Qadian berpindah dari Pakistan ke
Inggris pada 1913, Ahmadiyah sudah mengirim mubalig-nya, Khwaja
Kamaluddin ke sana guna mendirikan “Working Moslem Mission”. Bahkan
ketika Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, ia pernah menulis surat dakwah
kepada Ratu Inggris agar mau memeluk Islam. Meskipun ratu tidak sempat masuk
Islam, sejumlah keluarga menjadi pemeluk Islam, salah satunya Lord Headley
yang naik haji bersama Khawaja Kamaluddin pada 1923. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Muhammad bahwa pada suatu saat matahari akan terbit dari Barat,
tapi bukan berarti dhahirnya, melainkan sinar Islam yang muncul dari sana.
Sedangkan di daratan Benua Afrika, Jemaat Ahmadiyah mencatat selain
berhasil mengembangkan dakwah Islamnya, mereka juga telah berhasil
mengembangkan dunia pendidikan dan kesehatan dengan mendirikan sekolah-
sekolah dan rumah-sakit hampir di semua negara di Afrika. Demikian juga di
Asia, dakwah terus berkembang di daratan India dan Timur Tengah hingga ke
Jepang, China, dan Korea, belahan negeri yang sebelumnya dakwah Islam
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berkembang. Dalam literatur Jemaat
Ahmadiyah disebutkan bahwa pengikut Jemaat Ahmadiyah ini terus-menerus
memperoleh kemajuan. Saat Mirza Ghulam Ahmad wafat, pemeluknya telah
berjumlah lebih dari 300.000 orang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Setelah pendiri Jemaat Ahmadiyah wafat, terpilihlah Hazrat Maulana Al-
Haj Nuruddin sebagai Khalifatul Masih I pada tanggal 27 Mei 1908. Maulana AL-
Haj Nuruddin lahir di Behra, Distrik Shahpur, Punjab, India. Dia menduduki
urutan ketiga puluh tiga dalam silsilah keturunan Sayyidina Umar bin Khattab r.a.
Dalam masa kepemimpinannya, jemaat diarahkan kepada pembangunan akhlak
yang tinggi. Khalifah pertama ini wafat pada tanggal 13 Maret 1914.
Khalifah kedua yang terpilih adalah Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad yang lahir pada tanggal 12 Januari 1889. Selepas kematian khalifah
pertama, Mahmud Ahmad terpilih untuk menggantikan pada 14 Maret 1914.
Dalam tahun 1947 dia memindahkan pusat Jemaat Ahmadiyah dari Qadian (India)
ke Rabwah (Pakistan). Menurut catatan jemaat Ahmadiyah, di bawah
kepemimpinan Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah mendapat kemajuan yang
pesat hingga mulai tersebar di seluruh dunia. Setelah membina jemaat selama 51
tahun, Mahmud Ahmad wafat pada 8 November 1965 dan meninggalkan 225
karya tulis.
Khalifatul Masih III adalah Hazrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad yang lahir di
Qadian pada tanggal 15 November 1909. Khalifah ini menyelesaikan pendidikan
di Baliol college, Oxford. Pada tanggal 9 November 1965, Nasir Ahmad terpilih
menjadi Imam Jemaat sebagai Khalifatul Masih III. Pada tanggal 9 Oktober 1980,
dia meletakkan batu pertama masjid di Pedro Abad, Cordova, Spanyol. Masa
khilafatnya berlangsung lebih dari 17 tahun dengan membimbing jemaat
menanggulangi berbagai cobaan dan ujian. Nasir Ahmad wafat pada 9 Juni 1982.
Imam Jemaat Khalifatul Masih IV adalah Hazrat Mirza Tahir Ahmad yang
lahir pada 18 Desember 1928 di Qadian, India. Tahir Ahmad adalah putra Hazrat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Khalifatul Masih II, yang menempuh pendidikan di Government College, Lahore
dan University of London. Dia terpilih menjadi Khalifahtul Masih IV pada
tanggal 10 Juni 1982.
Saat ini, Jemaat Ahmadiyah dipimpin oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad
(atba), yaitu Khalifah ke-5 penerus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Sejak mulai
didirikannya hingga tahun 2008, Jemaat Ahmadiyah telah berkembang dan
tersebar di 185 negara di seluruh benua di dunia. Mereka yang menjadi Jemaat
Ahmadiyah harus benar-benar mengerti tentang Ahmadiyah dan Islam, bukan
sekedar ikut-ikutan. Para pengikut atau Jemaat Ahmadiyah dikenal dengan
sebutan Ahmadi.
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Pusaran Waktu
Masuknya ajaran Ahmadiyah yang lahir di India semasa kolonial ke
Indonesia telah melalui proses panjang. Ajaran Ahmadiyah bisa dirunut dalam
sejarah dan pelbagai peristiwa di Sumatra (Ahmadiyah Qadian). Adalah
perguruan Sumatra Thawalib yang pada waktu itu dipimpin oleh H. Abdul Karim
Amrullah dan tak hentinya mengirimkan para pelajarnya untuk mencari
pengetahuan baru tentang agama Islam. Perguruan ini merupakan sebuah lembaga
pendidikan yang dikenal gencar mencari pengetahuan untuk memperkaya
modernisme Islam pada tahun 1920-an. Hal ini terkait dengan kultur masyarakat
Minangkabau di Sumatra Barat yang selalu ingin mencari ilmu pengetahuan baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Pencarian pengetahuan baru tentang dunia Islam sudah berlangsung sejak
abad sebelumnya. Ambil contoh Imam Bonjol yang berlayar ke jazirah Arab pada
abad ke-19. Kegairahan untuk belajar Islam kembali terjadi pada 1922, dua anak
muda Perguruan Tinggi Sumatra Thawalib, Abu Bakar Ayyub, dan Ahmad
Nuruddin. Namun, mereka bukannya pergi ke Mekkah, melainkan ke India, atas
anjuran Zainuddin Labai El Yunusyiyah dan Syekh Ibrahim Musa Parabek, dua
ulama besar dari Minangkabau.
Dua anak muda itu menuju Kota Lucknow, India. Di sana mereka bertemu
dengan ulama bernama Abdul Bari Al-Anshari. Di kota Lucknow, mereka
kedatangan teman yang menyusul dari Padang Panjang, yaitu Zaini Dahlan.
Setelah tinggal di Lucknow selama dua setengah bulan, mereka bertiga hengkang
menuju Lahore karena guru mereka ternyata seorang penyembah kuburan.
Di Kota Lahore, 3 orang pemuda tersebut berkenalan dengan ajaran
Ahmadiyah aliran Lahore melalui didikan Maulana Abdus Sattar. Akan tetapi,
mereka tidak puas. Pada suatu hari, ada 3 ulama Ahmadiyah aliran Qadian yang
datang ke Kota Lahore untuk berdebat dengan pemimpin Ahmadiyah Lahore,
Maulana Muhammad Ali. Dari mereka, ketiga pemuda Sumatra itu mengetahui
kalau pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad disebut-sebut sebagai
Imam Mahdi dan Al Masih yang kedatangannya dijanjikan Rasulullah SAW.
Setelah enam bulan menetap di Lahore, 3 pemuda Sumatra itu melanjutkan
perjalanan ke kota Qadian. Disana, mereka bertemu Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad, Khalifah II yang juga putra Mirza Ghulam Ahmad. Ketiganya lalu masuk
ke Madrasah Ahmadiyah, selanjutnya Jami’ah Ahmadiyah, dan akhirnya menjadi
Jemaat Ahmadiyah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Mereka pun mengirim kabar ke Sumatra tentang ajaran Ahmadiyah dan
biaya hidup di Kota Qadian yang sangat murah. Bahkan ada biaya dari wakaf
sekolah bagi para pelajar yang tidak mampu. Informasi ini menarik para pelajar di
Sumatra sehingga mereka berdatangan ke Kota Qadian. Selain banyak
memberikan kontribusi dalam penyebaran ajaran Islam di Eropa atau Barat,
Ahmadiyah juga turut membiayai orang-orang Indonesia yang saat itu berasal dari
organisasi Muhammadiyah untuk belajar ke Barat.
Pada 1924, terjadi sebuah pertemuan antara Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad dengan mahasiswa Indonesia di Qadian. Dalam pertemuan tersebut,
tercatat 19 orang mahasiswa Ahmadi asal Indonesia. Para mahasiswa Indonesia
meminta sang khalifah berkunjung ke Indonesia. Menyikapi permintaan tersebut,
khalifah Ahmadiyah menunjuk Maulana Rahmat Ali, sang guru “Ta’limul Islam
High School” di Kota Qadian sebagai Mubalig Ahmadiyah pertama yang akan
menyebarkan ajaran Ahmadiyah di Indonesia, khususnya untuk daerah Sumatra
dan Jawa.
Maulana Rahmat Ali dikenal sebagai salah seorang murid generasi
pertama Madrasah Ahmadiyah di Kota Qadian. Pria yang lahir pada 1893 ini lulus
pada 1917 dan ditugaskan sebagai guru bahasa Arab dan agama di “Ta’limul
Islam High School Qadian”. Pada 1924, ia dipindahkan ke Departemen Tablig.
Tahun berikutnya, pada Juli 1925, ia ditugaskan sebagai Mubalig di Indonesia.
Akhirnya, berlayarlah Maulana Rahmat menuju Indonesia pada bulan Juli 1925.
Ia berlayar melalui Penang, Medan, dan Sabang. Di Sabang, ia mendapat kesulitan
dan sempat ditahan selama 15 hari oleh polisi kolonial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Namun, ia bisa lepas dan masuk ke Aceh. Kapalnya mendarat di
Tapaktuan, sebuah kota kecil di pesisir Barat Aceh yang menghadap Samudera
India secara langsung. Pendaratan itu terjadi pada 2 Oktober 1925. Di kota inilah
untuk pertama kalinya Maulana Rahmat Ali, penebar benih Ahmadiyah di
Indonesia, menyebarkan ajaran-ajaran Islam versi Mirza Ghulam Ahmad.
Pada awalnya, kedatangan mubalig Maulana Rahmat Ali diterima dengan
baik oleh masyarakat muslim Tapaktuan. Namun, ketika Maulana Rahmat Ali
berbicara dan muridnya menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, keterangan
mubalig tersebut dinilai bertentangan dengan keyakinan Islam secara umum.
Sebagai contoh keterangan dari mubalig tersebut jika Nabi Isa telah meninggal,
dan akan turun kembali dunia. Ternyata yang turun bukan Nabi Isa, melainkan
Mirza Ghulam Ahmad yang mengklaim diri sebagai seorang Al-Masih, Al-Mahdi,
penjelmaan Krisna, dan seorang mujaddid (pembaharu).
Di tengah kemelut yang ada, wilayah Tapaktuan dikenal sebagai ladang
pertama tumbuhnya ajaran Ahmadiyah Qadian di Indonesia. Di antara mereka ada
tiga belas orang yang menyatakan diri masuk Ahmadiyah pada bulan Desember
1925. Adapun tokoh yang menentang dengan keras antara lain alumnus Sumatra
Tawalib yang menjadi guru di Tapaktuan, yaitu Muhammad Isa dan Ahmad
Sjukur .
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pengikut Ahmadiyah di
Tapaktuan tidak menunjukkan kemajuan berarti, apalagi setelah kepergian
Maulana Rahmat Ali untuk melanjutkan misi penyebaran ajaran Ahmadiyah ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
wilayah lainnya. Bahkan, pada pertengahan 1926, pemerintah Tapaktuan
menjalankan strategi menghambat pertumbuhan Ahmadiyah.
Usaha yang dilakukan antara lain melarang kaum Ahmadiyah melakukan
salat Jumat di tempat mereka sendiri. Mereka diharuskan untuk melakukan salat
Jumat di masjid umum sebagaimana sebagian besar kaum muslim di kota itu.
Penentangan keras ini dilakukan oleh tokoh-tokoh agama setempat dengan alasan
ajaran Ahmadiyah berbeda dengan ajaran agama Islam yang diyakini masyarakat
setempat.
Setelah menyebarkan ajaran Ahmadiyah di Tapaktuan selama 3 bulan,
Maulana Rahmat Ali melanjutkan perjalanan ke Padang. Penyebaran ajaran
Ahmadiyah di Sumatra Barat mendapat tantangan yang jauh lebih hebat
dibandingkan ketika pertama kali masuk melalui Tapaktuan. Meski penentangan
terhadap Ahmadiyah lebih keras di Sumatra Barat, Maulana Rahmat Ali terbantu
dengan kedatangan mubalig-mubalig asal Sumatra yang telah pulang dari sekolah
di Kota Qadian.
Saat Republik Indonesia mulai berdiri dan tatanan pemerintahan serta
Undang-Undang mulai terbangun, Jemaat Ahmadiyah pun segera menyesuaikan
diri dengan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang ada di negara
Republik Indonesia. Pada akhir 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah
Indonesia mengajukan surat permohonan pengesahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) nya Jemaat Ahmadiyah untuk diakui
sebagai badan hukum. Pada tanggal 13 Maret 1953, Menteri Kehakiman Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan No.JA.5/23/13 menetapkan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan
hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan
Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26.
Penetapan Ahmadiyah sebagai badan hukum ini tak lepas dari amanat
Konstitusi, khususnya bagian mengenai Agama dan Keyakinan, yaitu Bab X Pasal
28-E ayat (1), (2), dan (3), bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali; setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyertakan pikiran, dan sikap sesuai hati nuraninya; dan
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Selain itu, kaitannya dengan JAI sebagai organisasi kemasyarakatan,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
menjamin keberadaannya. Dalam Undang-Undang ini di antaranya telah diatur
tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 sebagai
berikut, bahwa Organisasi Kemasyarakatan berhak melaksanakan kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi; dan mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan
tujuan organisasi.” Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah organisasi masyarakat
yang anggotanya adalah warga Negara Indonesia dan tataran organisasinya telah
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985, baik mengenai AD-
ART maupun ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur dalam undang-undang.32
32 Munasir Sidik. 2008 (Cet.II). Dasar-dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Hal 13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Sedangkan dalam Pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) menyatakan: “Setiap orang berhak atas segala macam hak dan
kebebasan yang tertuang dalam Deklarasi ini, tanpa membeda-bedakan apapun
juga, baik ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya,
kebangsaan atau asal-usul kewarganegaraan, kekayaan, kelahiran, atau status.
Dalam DUHAM juga disebutkan Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah
elemen warga negara yang berhak memperoleh dan mendapatkan hak-haknya
dalam memiliki kepercayaan dan keyakinan.
Ada beberapa tingkatan Jemaat Ahmadiyah yang dibagi berdasarkan
klasifikasi usia dan jenis kelamin. Golongan itu adalah Ladjnah Imaillah, terdiri
dari wanita Ahmadi; Nasiratul Ahmadiyah untuk puteri-puteri Ahmadi; Athfatul
Ahmadiyah untuk anak-anak Ahmadi; Khudamul Ahmadiyah untuk pemuda
Ahmadi; dan Ansarullah untuk orang-orang tua Ahmadi.
Dalam Ahmadiyah sendiri, terdapat dua aliran yang kemudian berkembang
masing-masing, yaitu Jemaat Ahmadiyah (Ahmadiyah Qadian) dan Gerakan
Ahmadiyah (Ahmadiyah Lahore). 33 Awal pemisahan Ahmadiyah Lahore dari
Jemaat Ahmadiyah saat pemilihan khalifah ketiga setelah kematian Mirza Ghulam
Ahmad. Ahmadiyah Lahore tidak mau mengakui silsilah kepemimpinan dari
33 Qadian dan Lahore merujuk pada nama daerah tempat ajaran ini lahir. Sebelumnya aliran ini adalah satu, dari Mirza Ghulam Ahmad. Menurut salah satu Jemaat Ahmadiyah (Qadian), dalam sejarahnya, saat itu Ahmadiyah Lahore berambisi ingin menjadi pemimpin. Pada waktu pemilihan khalifah kedua, yang memilih khalifah harus istikharah dulu, siapa sebenarnya bayangan yang terlihat. Tiba-tiba ada suara pada malam hari, banyak orang mendengar, namanya Maulana Nasiruddin, anaknya Mirza Ghulam Ahmad. Waktu itu dia berumur 25 tahun. Yang Lahore tidak setuju karena seolah-olah yang memimpin masih terlalu muda. Akhirnya mereka memisahkan diri. Lahore tidak bisa berkembang sampai sekarang. Dalam sejarah yang berkembang Ahmadiyah Qadiyan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
khalifah tersebut, yaitu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (Putra dari Mirza
Ghulam Ahmad) karena dianggap masih terlalu muda dengan usia 25 tahun.
Karena adanya perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan inilah,
Ahmadiyah terpecah jadi dua. Namun, menurut versi Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (GAI)34, alasan memisahkan diri adalah karena sesaat setelah Mahmud
Ahmad memangku jabatan, ia mengajukan klaim atas 3 hal, pertama, Mirza
Ghulam Ahmad adalah benar-benar Nabi; kedua, kata Ahmad yang tercantum
dalam Quran Surat Ash-Shaf ayat 6 adalah Mirza Ghulam Ahmad; ketiga, orang
Islam yang tidak berbaiat kepada Ghulam Ahmad adalah kafir dan keluar dari
Islam.
Dalam konteks Indonesia, Gerakan Ahmadiyah Indonesia secara resmi
lahir pada 10 Desember 1928. GAI tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai
nabi, juga tidak mengakui adanya sistem kekhalifahan seperti dalam Ahmadiyah
Qadian. Apabila Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Ahmadiyah Qadian
dipimpin oleh seorang Amir yang dipilih oleh para jemaat dan bertanggung jawab
terhadap khalifah, tidak demikian halnya dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(GAI).
Ahmadiyah Lahore di Indonesia (GAI) secara struktural tidak
berhubungan dengan Gerakan Ahmadiyah yang berpusat di Lahore Pakistan, yaitu
Ahmadiyah anjuman Isha’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiar Islam). Dengan
posisi seperti ini, maka GAI tidak menganggap Ahmadiyah Lahore di Pakistan
sebagai pusatnya, sehingga Ahmadiyah Lahore tidak memiliki otoritas untuk
mengatur atau bahkan sekedar memberi saran kepada GAI.
34 Op.cit… menurut Mulyono, Sekretaris GAI, Dalam Aris Mustafa, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat Data dan Analisa TEMPO. Hal 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Berbicara tentang dua aliran ini, di Yogyakarta, ada seniman Ahmadiyah
yang mengenal Ahmadiyah Lahore terlebih dahulu, baru kemudian juga meyakini
Ahmadiyah Qadian. Dialah H. Suhadi, seorang seniman yang banyak mengarang
lagu tentang Islam. H.Suhadi merupakan salah satu komposer yang turut memberi
warna pada perkembangan musik Tanah Air.35 Menurutnya, kehidupan umat
beragama secara kuantitas cukup luas jika melihat wacana dan kesempatannya.
Akan tetapi, Suhadi berharap agar kualitas dan kesempatan yang luas tersebut
tumbuh dengan sadar, terisi dengan kualitas imani yang Islami. Islam disini
merujuk pada kata damai, ada pengertian tunduk kepada Tuhan dengan segala
hukumnya.
Saat diwawancarai tahun 2005 silam oleh majalah SULUH36, Suhadi
banyak bercerita tentang perjalanannya aktif di Ahmadiyah. “Saya mulai aktif
tahun 1986. Karena mencari terus, maka saya bertemu dengan Ahmadiyah
Internasional. Namanya Jemaat Ahmadiyah Internasional karena tersebar di lebih
dari 180 negara. Akan tetapi sebelumnya saya sudah di Ahmadiyah Lahore
(Gerakan Ahmadiyah Indonesia) sejak 1963”, ujarnya.
Suhadi mulai tertarik sejak mengikuti “Sunday Morning Class” bersama
Dawam Raharjo. Ia tertarik untuk mempelajari karena di dalamnya tidak ada
dogma. Segala hal bersifat rasional. Tidak ada hal yang tabu. Dialog untuk
bernalar sangat terbuka, dan tidak terikat pada tradisi. Menurutnya, pada Zaman
Belanda, kaum intelek seperti Bung Karno, Bung Hatta, Prof. Supomo, dan
Kartini mempelajari “Al-Quran”-nya Ahmadiyah. Dalam Al-Quran terdapat 35 Suhadi juga merupakan seorang peraih rekor MURI atas prestasinya sebagai pencipta lagu terpanjang (lagu Ar-Rahman) terdiri dari 9 Kelompok Syair, masing-masing kelompok 2 bait, dinyanyikan selama 27 menit 30 detik. 36 Mona. 2005. H. Suhadi : Berkarya dengan Musik. Yogyakarta : Majalah SULUH edisi September-Oktober 2005
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
rasionalitas Islam yang bukan dogma sehingga memungkinkan orang untuk
berwawasan luas dan tidak fanatik.
Hal-hal yang terkait dengan ke-Ahmadiyah-an ini tidak akan banyak digali
di sini. Perbincangan akan berfokus pada Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(Ahmadiyah Qadian), khususnya di Lombok. Selain karena perkembangannya
dalam peradaban terus menerus mengundang kontroversi, hal ini dilakukan karena
Jemaat Ahmadiyah Indonesia lah yang menjadi sasaran kekerasan lebih dari satu
dekade.
C. Jejak Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok
Jemaat Ahmadiyah telah ada di wilayah Lombok sejak 1957. Ajaran ini
dibawa oleh Jafar Ahmad, seorang asli Sasak yang memperoleh pengetahuan
tentang Ahmadiyah dari Surabaya. Ajaran Ahmadiyah kemudian disebarkan ke
kota Mataram, berkembang di Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok
Tengah. Selanjutnya, Ahmadiyah berkembang sebagai ormas Islam seperti halnya
Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, atau Nadhlatul Wathan (NW). Di Pulau
Lombok terdapat beberapa organisasi keagamaan seperti NW, Nadhlatul Ulama
(NU), Hizbut Tahrir, dan Muhammadiyah. Akan tetapi, Nadhlatul Wathan (NW)
merupakan organisasi keagamaan terbesar yang bergerak di bidang pendidikan,
sosial, dan dakwah. Banyak pula ormas-ormas yang berafiliasi dengan Tuan Guru,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
antara lain AMPIBI, yang didirikan oleh Tuan Guru Sibawae dari Kab. Lombok
Timur untuk pengamanan swakarsa.37
Perkembangan Ahmadiyah Qadian yang lumayan pesat adalah di daerah
Pancor, Lombok Timur. Hal ini diungkapkan oleh koordinator pengungsi di
Asrama Transito, Mataram. “Ahmadiyah di Pancor datang tahun 1970an, saya
masih kecil, waktu adik saya lahir. Kami hidup rukun dengan masyarakat lain.
Ahmadiyah yang didalam hati kami bukan hanya terwariskan, tapi itu adalah
karunia. Kami, orang Ahmadiyah, dari lahir itu menghimbau mendengarkan
lantunan Allah SWT. Umpamanya dia nangis, jangan dipukul, tapi bacain
shalawat, harus banyak sabar”, begitu sekelumit ceritanya.38
Sampai saat ini, Ahmadiyah bagi para pengikutnya merupakan ajaran
Islam. Hanya saja, Jemaat Ahmadiyah sudah mengakui kepemimpinan Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi. Apabila dikerucutkan, maka ada 3 hal yang
menjadi inti pokok perdebatan tentang Ahmadiyah terkait dengan tokoh
pendirinya. Pertama, adanya titik persamaan dalam umat Islam bahwa mayoritas
ulama dan umat Islam mempercayai akan turun Nabi Isa atau Al-Masih di akhir
zaman. Ormas terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah juga percaya
akan turunnya Imam Mahdi tersebut. Begitu pula dengan Ahmadiyah yang
37 Lihat Ali Nursyahid. 2008. Laporan Investigasi (Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…). Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Hal 45. Dilihat dari struktur sosialnya, 80 % penduduk Pulau Lombok adalah Suku Sasak. Sebagian besar penduduk di Pulau Lombok adalah beragama Islam, dan 15 % beragama Hindu dan sisanya beragam Kristen Protestan dan Katolik. Uniknya, di Lombok Barat bagian Utara masih dijumpai para penganut Islam Watu Telu yang berbeda dengan mainstream ajaran Islam dalam hal menjalankan ibadah shalat. Mereka hanya menjalankan ibadah shalat tiga kali dalam sehari. Adapun Tuan Guru merupakan istilah untuk pemimpin agama Islam di Lombok, atau di Pulau Jawa disebut dengan istilah Kyai. Dalam tulisan ini, para penulisnya menyebut JAI sebagai jamaah, bukan jemaat. 38 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
percaya bahwa Nabi Isa yang kedua (Imam Mahdi) akan datang. Kedua, titik
perbedaannya adalah Jemaat Ahmadiyah mengatakan Imam Mahdi sudah datang.
Sedangkan umat muslim yang lain mengatakan belum datang. Ketiga, apabila
dikerucutkan maka ada kelompok yang meyakini “sudah” dan “belum” datangnya
Imam Mahdi. Hal inilah yang memicu perdebatan, dan berkembang ke isu lainnya
seperti syahadat beda, kitab suci berbeda, dan isu-isu lainnya. Harapan dari
Jemaat Ahmadiyah adalah adanya titik kompromi untuk mempersempit jurang
keduanya. Hal ini memerlukan dialog yang khidmat tanpa adanya kebencian.
Semua elemen bisa mempercayai versinya masing-masing asal tidak keluar dari
ajaran pokok Islam.
Sejauh ini dialog dari masa ke masa belum bisa menjembatani segala
kepentingan. Sebagai sebuah ajaran yang kontroversial, ajaran Ahmadiyah tak
lepas dari versi pihak yang kontra dengannya, yaitu pihak yang pemikirannya
bersebrangan dengan versi Ahmadiyah tentang siapakah Mirza Ghulam Ahmad.
Menurut sumber yang kontra dengan ajaran Ahmadiyah, Ghulam Ahmad tumbuh
dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Ghulam
Ahmad juga dikatakan telah mengabdi kepada penjajah. Ketika dia mengangkat
dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung menyibukkan diri dengannya
sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan penjajahan Inggris.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada Ahmadiyah sehingga Ghulam
Ahmad dan pengikutnya memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris.
Ajaran ini merupakan bentukan penjajah, dalam konteks ini Inggris, sehingga
Ahmadiyah menganggap Tuhan-nya adalah Inggris. Mereka juga menuduh orang
yang di luar Ahmadiyah sebagai kafir; mereka mengatakan bahwa tidak ada Al-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Qur’an selain apa yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad. Mereka meyakini
bahwa Al-Qadian sama dengan Madinah Al-Munawarah dan Mekkah Al-
Mukarramah, merupakan kiblat, dan ke sana-lah mereka berhaji.39
Bukan hal yang baru ketika Ahmadiyah menghadapi sangkaan dan
pendefinisian Ahmadiyah menurut versi pihak-pihak yang kontra tersebut.
Bahkan, inilah yang menjadi pemicu kekerasan yang dialami oleh Jemaat
Ahmadiyah. Beberapa hal yang diklarifikasi antara lain tentang Jemaat
Ahmadiyah bukanlah sebagai bentukan penjajah atau negara-negara Barat. Jemaat
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad as di Qadian India. Opini bahwa
Ahmadiyah didirikan oleh Barat hanyalah isu dan fitnah yang tidak berdasar sama
sekali. Hanya saja, sifat mereka yang cenderung kooperatif dan loyal terhadap Ulil
Amri atau pemerintah seperti yang dijelaskan diatas membuat beberapa pihak
memandang Jemaat Ahmadiyah bekerja sama dengan Inggris.40
Sangkaan tentang Ahmadiyah sebagai agama bentukan penjajah diikuti
pula dengan anggapan jika organisasi ini mendapatkan dana dari Barat. Atas hal
ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok menyanggah dengan
mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan dana dari Inggris atau negara
manapun. “Malah kami yang berkorban. Setiap Jemaat Ahmadiyah menyerahkan
seperenambelas dari penghasilannya disetorkan untuk biaya menyebarkan Islam
39 http://www.islampos.com/siapa-dan-bagaimanakah-ajaran-ahmadiyah-57472/, ditulis pada 12 Mei 2013 dan diunduh pada 27 Agustus 2013. Keterangan ini hanya menjadi pembanding dan salah satu pandangan mencengangkan tentang Ahmadiyah dari pihak yang kontra. 40 Lihat Ali Basit. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor : Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia hal 11. ”Ishna’il fulka bi a’yuninaa wawahyinaa” berarti “Buatlah sebuah bahtera dihadapan pandangan Kami dan atas dasar Wahyu Kami”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
di seluruh dunia. Termasuk anak yang kecil sudah masuk perjanjian.”, ujar
Nasiruddin. 41
Menurutnya, dana itu dikumpulkan untuk membangun sarana peribadatan,
syiar agama, dan untuk diberikan ke mubalig, karena tugas mubalig hanya
menyebarkan ajaran Islam dan memperkenalkan bahwa Imam Mahdi sudah
datang. Mubalig tidak boleh berbisnis. Dia hanya berfokus untuk menyebarkan
ajaran Islam. Selain sepuluh syarat untuk Baiat, seorang yang masuk Jemaat
Ahmadiyah wajib berjanji akan memberikan sumbangan untuk dakwah dan
tabligh Islam sedikitnya seperenam belas (1/16) dan adakalanya sampai sepertiga
(1/3) dari penghasilan atau gaji yang didapatnya dalam tiap-tiap bulan.
Selain isu tentang bantuan dana, kesimpangsiuran buku Tadzkirah
mewarnai perdebatan Ahmadiyah. Akan hal tersebut, Tim Peneliti Puslitbang
Lektur Keagamaan Departemen Agama Republik Indonesia telah meneliti dan
mengemukakan telaahnya tentang isi buku Tadzkirah ini42, antara lain Tadzkirah
merupakan buah mimpi; pernyataan Mirza Ghulam Ahmad yang ditafsirkan oleh
murid-muridnya dalam bahasa Urdu dengan intisari bahwa pengikutnya
membenarkan dan memberikan justifikasi tentang kenabian Mirza Ghulam
Ahmad, seruan dan pujian kepadanya, doa-doanya, hingga mengkafirkan orang
yang mengingkarinya.
Akan hal tersebut, tim JAI membuat klarifikasi atas penelitian Puslitbang
tersebut. Ilham atau wahyu yang terdapat dalam buku Tadzkirah sebagai
penjelasan ataupun kabar gaib yang merujuk kepada ayat-ayat suci Al-Quranul-
41 Berdasarkan keterangan Penasehat Ahmadiyah JAI di Lombok, Mln. Nasiruddin Ahmad saat wawancara dengannya pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. 42 Lihat dokumen Tim Klarifikasi Tadzkirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 2003. Klarifikasi atas telaah Buku Tadzkirah. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
karim ataupun Sabda Nabi Muhammad SAW. Buku ini juga berisi ungkapan yang
menunjuk kepada keadaan yang sedang atau akan terjadi didalam kehidupan
manusia. Hal ini dimaksudkan agar manusia bisa mengantisipasi ataupun
mendapatkan keteguhan dan keyakinan yang lebih mendalam bahwa Islam adalah
agama yang hidup karena Tuhan-nya tetap hidup. Salah satu bukti adalah dengan
masih adanya wahyu sebagai tanda sifat Al-Mutakallim-Nya (sifat berkata-kata).
Buku Tadzkirah tidak disusun oleh Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, tetapi oleh Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul
Qadir, dan Maulwi Abdul Rasyid. Buku tersebut terbit 30 tahun setelah Ghulam
Ahmad wafat. Penerbitan buku Tadzkirah pertama kali dilakukan oleh Book
Depot Ta’lif wa Isyaa’at Qadian pada 1935 yang terdiri dari 664 halaman. Isinya
adalah himpunan ilham/wahyu, kasyaf, dan rukya (mimpi yang benar), selebaran,
catatan harian, dan 84 buku karya pendiri Jemaat Ahmadiyah. Tadzkirah juga
disebut kumpulan perjalanan spiritual dari pendiri Ahmadiyah, yaitu Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad.
Upaya untuk mengklarifikasi ajaran Ahmadiyah terus dilakukan
pengikutnya. Perbincangan mengenai Ahmadiyah sempat terjadi dengan damai
pada tahun 2007 lalu saat bedah buku Gerakan Ahmadiyah Indonesia (2005)43,
dan mubalig Jemaat Ahmadiyah Indonesia diberikan kesempatan untuk berbicara.
Mubalig JAI tersebut membuka dengan ucapan shalawat salam dan pujian
terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Khataman Nabiyyin. Dia juga
menekankan syarat masuk ke dalam jemaat adalah orang yang telah masuk Islam, 43 Berdasarkan video Bedah buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, di MPM-PPS UIN Alaudin Makasar pada 11 September 2007 dengan menghadirkan penulis buku Dr.Iskandar Zulkarnain “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia” dan pembicara lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
kitabnya adalah Al-Quran, mengakui Rasulullah, serta hidup dan matinya pada
agama Islam. Akan hal tersebut, salah satu peserta mengemukakan pendapat jika
memang itu benar, adalah sebuah kebaikan jika Ahmadiyah diterima dalam
masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
BAB III
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA, GERAKAN SIPIL KEAGAMAAN
A. Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai Sasaran Kekerasan Komunal
di Lombok
Jika ditilik secara historis, kemunculan Ahmadiyah di Indonesia dengan
“ajaran yang berbeda” daripada umumnya menimbulkan perdebatan dan
pertentangan. Pada awal kedatangannya di Tapak Tuan, ajaran Ahmadiyah sudah
ditentang, salah satunya yaitu pelarangan warga Ahmadiyah untuk Sholat Jumat di
rumah kaum Ahmadi pada 1926. Namun, setelah kejadian tersebut, pergolakan
dan pertentangan lebih diwarnai setidaknya oleh perang wacana, yang mungkin
lebih “bermakna”. Perdebatan sengit terjadi di kalangan intelektual Ahmadiyah
Qadian dan Islam Sunni Indonesia. Pada 1928, terjadi perang wacana melalui
publikasi. Dr. Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) merupakan orang pertama
yang membuka perdebatan dengan menulis sebuah buku berbahasa Arab yang
berjudul Al-Qaulush Sahieh yang berarti Sabda yang Benar. Setelah buku ini
terbit, kaum Ahmadiyah segera membalasnya dengan menerbitkan sebuah buku
berbahasa Arab pula yaitu Izharul Haqq yang artinya Kumandang Kebenaran.
Perang wacana terus berlanjut hingga ke media massa di Zaman Kolonial.
Majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan pada 1937 membuat tulisan-
tulisan yang berisi serangan terhadap Ahmadiyah. Majalah Panji Masyarakat di
Jakarta pada 1936 juga memuat tulisan dengan nada sama. Tulisan ini dibalas oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
tokoh Ahmadiyah Qadian waktu itu, Abu Bakar Ayub, yang menerbitkan brosur
berjudul “Bantahan Lengkap”.
Pada 1933, perdebatan paling akbar terjadi antara kelompok Ahmadiyah
aliran Qadiani dengan tokoh Pembela Islam (sebelum Persatuan Islam/Persis) di
waktu itu. Perdebatan pertama terjadi di Bandung pada 14-16 April 1933
bertempat di Gedung Societet Ons Genoegen, Naripanweq, Bandung. Debat yang
disaksikan sekitar 1000 orang dari berbagai elemen dan organisasi tersebut
membahas masalah kenabian dalam Islam dan masalah hidup matinya Nabi Isa.
Kubu Ahmadiyah diwakili oleh Maulana Rahmat Ali, Abu Bakar Ayub, dan Moh.
Sadik. Pihak Pembela Islam diwakili A. Hassan dan pimpinan Partai Sarekat
Islam (PSII) Bandung, yaitu Moh. Syafi’i.44
Tak berhenti di situ, perdebatan dilangsungkan kembali di Salemba,
Jakarta. Jumlah peserta yang menghadiri acara tersebut dua kali lipat dari
perdebatan di Bandung. Berbagai media hadir untuk meliputnya. Organisasi yang
hadir antara lain Persatuan Islam, Pendidikan Islam, An Nadil Islamie, Persatuan
Islam Garut, MAS Garut, Persatuan Islam Leles, dan Islamiyah Jatinegara. Tema
perdebatannya adalah “Apakah sesudah Nabi Muhammad SAW akan ada nabi
lain?” Seperti yang terjadi di Bandung, tidak ada kesimpulan dalam debat terbuka
tersebut. Perdebatan pun berakhir dengan damai.
Besarnya perhatian terhadap mimbar tersebut menunjukkan Ahmadiyah
bukanlah “benda asing” bagi masyarakat waktu itu. Banyaknya media yang
44 Berbagai organisasi yang menghadiri antara lain Muhammadiyah Garut dan Pekalongan, Persatuan Islam Bandung, Jong Islamic Bond (JIB) Bandung dan Betawi, serta Pendidikan Islam Bandung. Dari kalangan pers antara lain Sinar Islam, Bintang Timoer, Pembela Islam, Soeara Pemoeda, Thahaja Islam, An Noer (Het Licht), dan Pers Bureua Hindia Timoer. Dalam Iskandar Zulkarnain. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS. Hal 224-225.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
meliput perdebatan membuat Ahmadiyah semakin dikenal masyarakat. Serangan
terhadap Ahmadiyah bukannya berhenti, melainkan jalan terus. Jemaat
Ahmadiyah tidak pernah berdiam diri. Mereka terus menangkis serangan tersebut
dengan menerbitkan Majalah Sinar Islam mulai tahun 1932. Selain sebagai media
penangkis, Sinar Islam juga memuat ajaran-ajaran yang bersumber dari karya-
karya Mirza Ghulam Ahmad.
Berbagai serangan dan tangkisan yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (Ahmadiyah Qadian) membuatnya menorehkan jejak perdebatan
penting dengan berbagai kalangan Islam, tidak halnya dengan Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore). Meskipun begitu, Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI) memiliki majalah Risalah Ahmadiyah yang
diterbitkan pertama kali pada 1927. Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah
mengalami kekerasan fisik dan simbolik (baca: ideologis) secara komunal, namun
itu yang membuatnya mampu menambah jumlah pengikut dengan cukup pesat.
Setelah Era Reformasi tahun 1998 silam, “keran” demokrasi terbuka lebar.
Berbagai perubahan dan hentakan terjadi di setiap lini kehidupan bangsa
Indonesia. Gerakan underground, khususnya di bidang sosial agama yang selama
Orde Baru terpendam suaranya, mulai muncul. Antara lain Pam Swakarsa dan
FPI. Di Zaman Soeharto sempat ada sedikit riak tapi gerakannya banyak bersifat
underground, karena kontrol sosial politik saat itu cukup ketat. Ahmadiyah di
Desa Manislor, Kuningan, misalnya, telah mengalami debat terbuka soal
Ahmadiyah antara ulama Muhammadiyah dengan kelompok muslim lainnya.
Perang pamflet dan spanduk antara yang pro dan kontra terjadi di jalan desa
tersebut. Namun, kekerasan juga tak dapat dihindari pada tahun 1976 dan sempat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
meredup seiring waktu, sampai kemudian muncul lagi pada Desember 2007
silam.45
Era Reformasi juga tidak diimbangi dengan undang-undang yang kuat
mengenai bagaimana menjaga kerukunan, perdamaian, keragaman dalam
masyarakat. Tak pelak kebebasan yang ada kemudian disalahgunakan. Menurut
Nasiruddin (Mubalig JAI), sebenarnya keberadaan agama di Indonesia cukuplah
dilihat dan dipahami dengan Pancasila karena butir-butirnya sudah Islami dalam
arti kedamaian. “Setelah zaman Reformasi, Ahmadiyah mau dijadikan alih-
perhatian orang, agar masyarakat menafikkan masalah kebangsaan lainnya. JAI
sebenarnya mencari sosok-sosok seperti A. Hasan, seorang Islam yang mau
terbuka untuk berdialog dengan fair saat kejayaan debat terjadi tahun 1933”, ujar
Nasiruddin. 46
1. Langgengnya Kekerasan dan Berseraknya JAI di Lombok
Sejak kedatangannya di Lombok pada tahun 1970-an, pada Era Soeharto,
tidak ada konflik yang berarti terjadi di sana. Riak-riak konflik pada umumnya
terjadi di tingkat pusat dan belum mengarah pada kekerasan fisik karena lebih
didominasi perdebatan intelektual. Namun, sejak awal Reformasi, para JAI di
Lombok menjadi sasaran kekerasan komunal hingga 2010.
Benih-benih kerusuhan mulai menyeruak saat Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengeluarkan fatwa tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang
45 Lihat Ali Nursyahid. 2008. Laporan Investigasi (Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…). Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Hal 36-38. 46 Seorang Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmad pada wawacara tanggal 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
sesat berdasarkan 9 buah buku.47 Fatwa ini langsung mempengaruhi pendapat
masyarakat, meskipun dari segi UU Keormasan, MUI dan Ahmadiyah berada
pada level yang sama, namun MUI seperti punya hak prerogatif, karena bisa
menentukan suatu hal termasuk sesat tidaknya suatu ajaran. Hanya saja riak
konflik tak terlalu menonjol saat itu sehingga kekerasan terhadap JAI bisa
diredam.
Dalam dialog yang diselenggarakan Tim peneliti Setara Institut 2011
silam, salah satunya tim-nya, Ismail Hasani menjelaskan bahwa toleransi antar
umat beragama di Indonesia Era Reformasi masih dalam taraf baik. Namun
terdapat kondisi sebaliknya, berkaitan dengan soal perbedaan intern dalam suatu
agama, misalnya Ahmadiyah.48 Kita bisa melihat fakta yang terurai di bawah ini
sebagai penjelasan bahwa di Era Reformasi, konflik justru terjadi didalam intern
umat Islam.
Aksi-aksi kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
teridentifikasi terjadi pertama kali pada 1998 di Keruak, Lombok Timur, setelah
Tuan Guru Sibawae (AMPIBI) dalam ceramahnya menyatakan Ahmadiyah kafir,
murtad, sesat, serta merusak aqidah Islam.49 Kekerasan kembali memuncak
setelah rangkaian seminar tentang Ahmadiyah yang diselenggarakan Lembaga
Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) pada 2002 di Masjid Istiqlal dan Lombok
saat Ahmadiyah kembali dinyatakan sebagai ajaran “sesat”. 47 Hal ini berdasarkan literatur dari MUI dan wawancara dengan Muhsin mewakili MUI DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY. Dia tidak menyebutkan secara jelas 9 buah buku itu apa saja. Akan hal ini, Jemaat Ahmadiyah menyanggah kenapa menyesatkan ajaran lain tidak berdasarkan Al-Quran dan Hadis saja, bukan buku-buatan manusia yang berpotensi banyak salah dan tafsir. 48 Sudah dibahas dalam bab Pendahuluan, lihat http://www.tribunnews.com/2011/09/08/survei-setara-606-persen-menolak-kekerasan-terhadap-ahmadiyah, diunduh pada 14 januari 2011. 49 Dalam tulisan Sentot Setya Siswanto, dkk. Maret 2011. Kertas Kerja tentang Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Desa Umbulan-Cikeusik-Pandeglang dalam Bahan Aksi Refleksi : Konstitusi, Negara, dan Hak Asasi Manusia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Seperti yang tersebut di atas, kekerasan massif dan terparah memang
terjadi di Lombok. Rumah-rumah warga dihancurkan dan dijarah. Warga JAI
diusir dari kampungnya. Jatuh pula korban. Mereka adalah warga yang sampai
saat ini mengungsi di Asrama Transito, Kota Mataram. Pengungsi tersebut
merupakan komunitas warga JAI yang sudah eksodus dari Lombok Timur sejak
kejadian Pancor pada 2002. Adapun kronologi kejadian yang terjadi lebih dari
sepuluh tahun lalu dan menimpa warga Ahmadiyah sebagai berikut :
Pertama, kasus penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Desa Keruak,
Lombok Timur. Warga Ahmadiyah di Keruak diusir dari rumah mereka masing-
masing pada 1998. Alhasil, sebanyak 13 buah rumah hangus terbakar yang
kemudian disusul dengan pengusiran terhadap 15 Kepala Keluarga (KK).
Kedua, kasus Ahmadiyah Sambielen. Pada tanggal 22 Juni 2001, sebanyak
17 KK warga Ahmadiyah di Sambielen, Lombok Barat, diusir setelah rumah
mereka dibinasakan. Dalam peristiwa tersebut, jatuh satu korban, yakni Papuk
Hasan (65 tahun), dan istrinya mengalami luka berat. Pelakunya sudah diketahui,
namun dibiarkan bebas oleh Polres Kota Mataram. Selepas kasus pengusiran
tersebut, pada tanggal 21 Juli 2001, Tim Advokasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) mengeluarkan surat tugas kepada dua orang untuk mengurus/mendampingi
hak dan kewajiban anggota jemaat di Dusun Sambielen, Kecamatan Bayan,
Lombok Barat tersebut.
Ketiga, Kasus Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur. Saat itu, terjadi
pengrusakan dan pembakaran rumah milik Jemaat Ahmadiyah di Pancor sejak 9
September 2002. Selama seminggu, terjadi penyerangan dan pengrusakan 73
rumah, 1 buah masjid, dan 1 mushola milik warga JAI. Penyerangan diawali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
dengan pengkondisian berupa penyebaran ide dan penggiringan opini publik
tentang kesesatan Ahmadiyah. Hal ini terjadi pasca-Seminar Lembaga Penelitian
dan Pengkajian Islam (LPPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18
Agustus 2002 di Asrama Haji Ampenan, yang dihadiri mayoritas pondok
pesantren se-Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan narasumber Amin Djamaludin,
Ulama Pakistan Dr. Haafids Abdurrasyid, dan Atase Keagamaan Kedutaan Besar
Arab Saudi di Jakarta, yaitu Syeikh Ibrahim Sulaiman. Tak hanya itu, mereka juga
menyebarkan buku-buku, brosur-brosur, dan majalah Sabili. Mereka melakukan
intimidasi dan ancaman terhadap JAI untuk keluar dari ajarannya.
Kejadian ini mengakibatkan sekitar 83 KK, yang terdiri dari 350 jiwa
terusir dan kerugian material yang mencapai 25 milyar rupiah. Kejadian Pancor
pada 2002 telah membuat mereka harus kehilangan harta benda dan meninggalkan
kampung halaman di Lombok Timur. Mulailah mereka berpencar dan berpindah
tempat. Mereka tidak peduli pergi kemanapun, asalkan bisa sejenak mendapatkan
ketenangan untuk hidup berkeyakinan dan berusaha.
Keempat, kekerasan dalam skala kecil menyusul kejadian Pancor dan
terjadi pada Jemaat Ahmadiyah di Sembalun Lawang dan Medas, Lombok Timur,
pada 2002. Sebanyak 5 KK JAI diusir. Setahun kemudian, kasus penyerangan
terjadi lagi di Empan, Sumbawa.
Kelima, kasus paling besar dan beruntun mulai terjadi sejak warga
Ahmadiyah ini menetap tinggal di suatu perumahan Bank Tabungan Negara
(BTN) di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.
Mereka adalah Jemaat Ahmadiyah yang melakukan eksodus dari Lombok Timur
dan harus meninggalkan kampung halamannya saat kejadian Pancor berlangsung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Warga JAI kemudian secara bersama-sama mengumpulkan uang untuk membeli
sebuah komplek perumahan BTN tersebut yang dijual dengan harga murah.
Penyerangan pertama terjadi pada 19 Oktober 2005 bertepatan dengan
bulan Ramadhan 1426 H. Peristiwa ini berawal dari pengajian yang digelar oleh
Tuan Guru Muhammad Izzi di Masjid dekat Ketapang. Ceramah Tuan Guru ini
telah mengundang reaksi dari massa untuk melakukan penyerangan terhadap
Jemaat Ahmadiyah. Namun, kejadian tersebut tak membuat Jemaat Ahmadiyah
meninggalkan wilayah tempat tinggalnya.
Geram dengan hal tersebut, massa kembali menyerang pada 4 Februari
2006. Kejadian yang cukup parah ini mengulang pengalaman pahit yang dialami
oleh warga Ahmadiyah setelah terusir dari Lombok Timur. Secara psikologis,
pengalaman di Keutapang telah membuat mereka shock, stress, ketakutan karena
mendapat ancaman terus-menerus. Identitas mereka sebagai Ahmadiyah turut
terancam.
Mereka, Jemaat Ahmadiyah yang juga sekaligus warga Pancor ini, tidak
bisa kembali ke rumah mereka di Lombok Timur. Selain karena menghindari
penyerangan kembali, warga Ahmadiyah sudah tidak memiliki harta benda lagi di
Lombok Timur. Mereka juga sudah menjual semua aset untuk menetap di
Ketapang. Sejak kejadian 2006, hak mereka untuk tinggal di Ketapang pun nyaris
hilang.
Setelah penyerangan tersebut, Jemaat Ahmadiyah di Lombok tak patah
arang. Upaya hukum tetap diusahakan agar mereka mendapat perlindungan
hukum. Namun, dalam upaya tersebut, mereka tidak melalui jalur kekerasan,
melainkan lewat negosiasi atau dialog agar mereka bisa menyampaikan keinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
sekaligus mengklarifikasi pokok masalah yang beredar di masyarakat tentang
Ahmadiyah. Mereka juga mulai membangun kembali puing puing bangunan yang
sudah berserakan akibat penyerangan tahun 2006 agar mereka bisa kembali
tinggal di perumahan BTN Ketapang.
Sayangnya, penyerangan terjadi kembali ke rumah Jemaat Ahmadiyah
berlangsung pada 26 November 2010 dan membuat mereka benar-benar
kehilangan harta benda. Kali ini bahkan lebih naas, karena sebagian besar dari
warga sudah mulai membangun kembali rumah yang sebelumnya telah menjadi
puing. Baru beberapa bulan berdiri dan upaya pemulihan mulai dilakukan,
harapan itu pupus lagi.
Bagi warga JAI, aparat dalam hal ini polisi terkesan melakukan pembiaran
terhadap 8 kali kejadian kekerasan. Bahkan, menurut mereka, ada massa yang
berceletuk : “Kami berani menyerang karena disuruh oleh polisi”. Hal ini juga
disesalkan oleh kalangan ibu-ibu dan anak-anak Ahmadi. Menurut mereka,
seharusnya pemerintah atau gubernur menjadi pemimpin bagi semua orang,
apapun golongan dan keyakinannya. Tapi sebaliknya, yang dilihat selama ini,
gubernur cenderung memainkan peran sebagai seorang Tuan Guru yang berpihak,
bukan seorang abdi rakyat.50
Akan hal tersebut, mereka melihat penegakan hukum di Indonesia sangat
rapuh. Selain harta benda yang terjarah dan habis, saat kasus di Sambielen ada
korban yang meninggal. Massa pun bebas melakukan penyerangan di depan
polisi, seolah aparat tidak punya kuasa untuk menghalangi. Media pun bagi JAI
seringkali tidak menampilkan wacana yang seimbang, karena lebih menyorot
50 Berdasarkan wawancara dengan ibu-ibu pengungsi di Transito, 17 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
pihak-pihak yang kontra. “Kami tidak boleh mengklarifikasi apapun di surat
kabar, maka kami mencetak buku-buku. Salah satu contohnya adalah Kami Orang
Islam”, ujar Nasiruddin.51 Hanya saja, warga JAI tidak melakukan penuntutan
yang berarti agar kasus ini diusut. Mereka hanya berupaya bertemu dan bersurat
kepada pihak-pihak yang mempunyai wewenang sembari melakukan klarifikasi
lewat tulisan.
Tindakan pembiaran dan lambatnya antisipasi dari pemerintah juga dapat
dilihat dari penyerangan yang terjadi pada 13 Juli 2012 silam di tempat yang
berbeda. Penyerangan terhadap komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di
Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
yang dilakukan oleh sekelompok orang berjumlah sekitar 20 orang, dengan
melempari masjid yang didirikan dan digunakan oleh warga JAI. Berdasarkan
keterangan dari Pengurus JAI Cisalada, aparat kepolisian dari Resort Bogor tiba
1,5 jam kemudian setelah pelaporan oleh Pengurus JAI Cisalada. Yang disesalkan
oleh pengurus JAI bahwa tidak ada pelaku yang ditahan dalam kasus penyerangan
ini.
Kasus penyerangan terbaru dapat pula dilihat saat sekelompok orang
merusak Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 5 Mei
2013. Menurut keterangan salah seorang Jemaat Ahmadiyah, hal ini terjadi pada
pukul 01.30 WIB. Pada malam sebelumnya, telah digelar pengajian Jemaat
Ahmadiyah di masjid tersebut. Akibat serangan itu, sejumlah rumah warga
Ahmadiyah, toko, dan masjid mengalami kerusakan pecah kaca. Peristiwa itu
51 Loc,cit… Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmad pada tanggal 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
tidak menimbulkan korban jiwa atau menyebabkan warga Jemaat Ahmadiyah
terluka.52
2. Wajah-wajah di Bilik Transito
Setelah mengalami pengusiran dan amukan massa secara berantai sejak
1998, secara otomatis warga JAI tergabung menjadi kelompok orang yang
mencari suaka dan tempat untuk bernaung. Mereka meminta perlindungan ke
pemerintah. Akhirnya, warga JAI diperbolehkan menempati sebuah gedung
kosong yang sudah tak terpakai lagi di kota Mataram. Gedung atau Asrama
Transito—eks gedung transmigrasi—adalah tempat mereka bernaung pasca
kerusuhan 4 Februari 2006 silam. Rumah-rumah warga JAI di perumahan BTN
Ketapang saat itu sudah tinggal puing karena dihancurkan massa, sehingga
mereka tidak mempunyai tempat untuk tinggal lagi.
Hal ini sepertinya bertentangan dengan seruan Walikota Mataram pada
2002, atau 4 tahun sebelum kejadian di perumahan BTN Ketapang. Sehubungan
dengan keberadaan pengungsi dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah
administratif kota Mataram sebagai dampak dari peristiwa di Lombok Timur,
Pemerintah Kota Mataram menyampaikan seruan khususnya kepada para
pengungsi.53 Seruan itu berisi perhatian agar JAI mentaati beberapa hal, antara
lain menghindari pertemuan yang sifatnya berkelompok dengan jemaatnya,
membaur dan bersosialisasi dengan warga sekitar, menghindari tinggal secara
berkelompok dalam satu tempat, tidak ekslusif dalam beribadah, dan tidak
diperkenankan untuk mengembangkan ajarannya di tengah masyarakat. Selain itu, 52 Lihat http://www.kabar24.com/index.php/masjid-ahmadiyah-tasikmalaya-dirusak massa-menyerang-setelah-pengajian/, diunduh tanggal 5 Mei 2013. 53 Berdasarkan Seruan Walikota Mataram No.008/283/X/INKOM/02 tertanggal 10 Oktober 2002.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
kepolisian juga menghimbau pada masyarakat agar tidak bertindak di luar hukum
kepada warga JAI, dan jika terjadi apa-apa, Jemaat Ahmadiyah diminta untuk
segera melapor ke lurah setempat.
Apabila melihat seruan Wali Kota Mataram di atas, salah satunya adalah
menyebutkan agar JAI menghindari tinggal secara berkelompok dalam satu
tempat, atau tidak ekslusif dalam beribadah. Akan tetapi, tragedi tahun 2006, telah
membuat pengungsi JAI dari Lombok Timur berkumpul di satu kanal
pengungsian yaitu di Gedung atau Asrama Transito, Mataram.
Sebenarnya pemilihan tempat untuk Jemaat Ahmadiyah di Transito
merupakan ide dari pemerintah. Mereka dibawa ke Transito dengan sedikit
dipaksa. Menurut para pengungsi, pada saat penyerangan, sebenarnya mereka
bertahan untuk tetap di rumah. Polisi kemudian menyuruh mereka meninggalkan
rumah dengan dalih aparat akan menjaga komplek tersebut. Lalu, anak-anak dan
ibu-ibu segera diangkut dengan mobil dan dibawa ke Kantor Dinas Sosial, baru
kemudian ke Transito. Menurut Jemaat Ahmadiyah yang tersisa di sana, setelah
warga JAI meninggalkan rumah, barulah massa menyerbu rumah-rumah tersebut
dengan ditonton oleh aparat.
Keadaan pengungsian para JAI, yaitu di Asrama Transito terbilang cukup
miris. Gedung pengungsian yang berusia tua itu sudah tidak terawat lagi, gedung
yang pernah digunakan untuk pendidikan orang-orang yang akan transmigrasi,
dan sudah tak terlihat papan nama bangunannya. Kini, Jemaat Ahmadiyah yang
mengungsi disitu lebih akrab menyebut gedung tersebut dengan asrama. Dengan
ruangan seadanya, fasilitas listrik yang sangat terbatas menjadi pemandangan di
pengungsian. Tak hanya itu, ruangan tempat tinggal mereka hanya dibatasi oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
spanduk-spanduk bekas, dengan luas hanya 2 meter untuk tiap keluarga. Pada
malam hari, gedung itu berubah seperti tempat tak berpenghuni karena tidak ada
listrik atau cahaya yang terlihat, kecuali di Mushola yang terletak agak belakang
asrama tersebut.
Saat ditemui di Asrama Transito pada 2010 hingga 2012 lalu, banyak
cerita seputar perjalanan mereka saat melakukan eksodus dari satu tempat ke
tempat lainnya. Awalnya mereka enggan untuk bercerita, namun ketika sang
koordinator pengungsi, Syahidin, mengatakan bahwa ini digunakan untuk
penelitian, bukan dari pihak berwajib atau pemerintah, maka keramahan terpancar
dari wajah mereka.54
Kekecewaan terjadi bukan hanya karena pembiaran dan hilangnya rasa
aman warga JAI untuk melaksanakan ajaran dan keyakinan mereka. Akan tetapi,
juga hilangnya harta benda dan kesempatan untuk berusaha. Warga JAI
menganggap mereka tidak dihargai oleh pemerintah dan masyarakat pada
umumnya. Mereka masih mengingat bagaimana setelah penyerangan tahun 2002,
warga JAI kemudian pulang ke Lombok Timur untuk menjual aset yang masih
tersisa, mengumpulkan remah-remah rezeki yang ada untuk membeli perumahan
BTN Keutapang sebagai tempat tinggal baru. Namun, sayangnya BTN tersebut
hanya tinggal cerita karena tidak mungkin mereka kembali lagi ke sana. Selain
karena takut bahwa penyerangan itu terjadi lagi, mereka sudah kehabisan uang
untuk membangun kembali rumah-rumah tersebut.
Hal inilah yang membuat mereka tak habis pikir, mengapa masih saja ada
yang menganggap JAI menerima bantuan dari luar negeri. “Walaupun nasib 54 Menurut keterangan mereka, warga JAI sudah cukup malas mengharapkan sesuatu dari pihak berwajib karena tidak ada tindakan yang tegas untuk menindak rentetan kekerasan yang sudah terjadi satu dekade ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
warga Ahmadiyah seperti ini, masing-masing dari mereka selalu mengeluarkan
uang pengorbanan tiap bulannya. Ibaratnya, warga Ahmadiyah ini bekerja untuk
organisasi, bukan organisasi yang mendanai. Makanya kalau dilihat, banyak
pengorbanan, kita disebut jemaah pengorbanan, bahkan bisa dilacak dari bukti
atau kuitansi”, ujar Basyiruddin.55 Seperti yang sudah dibahas di bab sebelumnya,
uang pengorbanan itu sebagian diberikan ke mubalig untuk penghidupannya
karena mereka hanya menyebarkan ajaran Islam dan memperkenalkan bahwa
Imam Mahdi sudah datang. Mubalig tidak boleh berbisnis, dia ditugaskan khusus
menyebarkan ajaran Islam.
Lalu, mengapa pengorbanan orang Ahmadiyah cukup kuat? Seperti yang
dijelaskan oleh Basyiruddin, bahwa dalam surah Al-Baqarah: 4, disampaikan
bahwa orang-orang bertakwa percaya terhadap yang gaib, mendirikan sholat, dan
menafkahkan sebagian hartanya untuk orang lain. Setiap rezeki adalah hak Allah,
dan pahalanya akan dilipatgandakan 700 kali. “Barang siapa yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah tidak ada yang bangkrut, lihat saja warga Ahmadiyah
walaupun beberapa kali diusir tetap bisa bertahan, dihancurkan rumahnya,
kemudian dibangun lagi. Satu persen pun tidak meminta dana dari manapun,
termasuk kalau membangun masjid. Kita cukup sedih melihat fenomena orang-
orang yang meminta uang di jalan-jalan untuk membangun masjid. Apa kata
orang agama lain melihat seperti itu, orang Islam miskin, mau membangun masjid
harus meminta-minta di jalan”, begitu keluhnya.
55 Wawancara dengan Mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin pada 14 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. Basyiruddin mengatakan jika memang pihak-pihak yang menyebarkan isu bahwa Ahmadiyah mendapat dana dari luar, Ahmadiyah menantang dan menawarkan orang-orang seperti itu. “Tolong di cek kita mendapatkan dana dari Inggris, kalau itu terbukti, maka kita akan membiayai berapapun jumlahnya. Tapi sampai sekarang ga ada yang berani untuk meneliti, karena tidak terbukti”, tukasnya. Basyiruddin adalah mubalig JAI yang sudah 7 tahun ini ditugaskan di Lombok.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Mereka juga menyebut dirinya sebagai jemaat pengorbanan yang tidak
memiliki peluang untuk korupsi. Mereka mengemukakan contoh ketika di
rekening JAI pusat bertambah uang sekian puluh juta, namun tidak diketahui
darimana datangnya. Pengurus JAI kemudian menyebarkan surat ke ratusan
cabang untuk menanyakan uang tersebut. Ternyata ada orang yang mengeluarkan
uang pengorbanan, tapi tidak mau diketahui namanya. Hal ini juga terjadi pada
Jemaat Ahmadiyah di Lombok. Termasuk mereka yang menjadi pengungsi,
meskipun sudah kehilangan harta benda dan pekerjaan, Jemaat Ahmadiyah tidak
mau bergantung atau mengharapkan bantuan dari Pemerintah, termasuk Pemkot
Mataram, tempat mereka bernaung. Hal ini seperti disampaikan oleh Syahidin :
“Makanya salah kalau orang bilang kami dibiayai pemerintah untuk membangun rumah kembali, bahkan ada yang bilang kami digaji. Hanya Allah yang tahu betapa itu uang kami. Beberapa keluarga juga pernah di Transito setelah kasus Pancor. Tapi disuruh mengosongkan, akhirnya pada berusaha mengontrak rumah. Kemarin ada isu kami disuruh pergi dari Transito karena akan direhab. Saya bilang silahkan direhab. Terus ada petugas yang meminta kami untuk tidur di lantai, tanpa bangku-bangku. Tapi saya bilang, tidak boleh, karena saya akan mengadu. Akhirnya petugas itu diganti, dan petugas yang sekarang udah lembut.”56
Adalah Syahidin, koordinator pengungsi di Asrama Transito selama 7
tahun sejak 2006 silam. Bersama mubalig dan pengurus JAI NTB, dia mengatur
semua urusan warga JAI yang ada di pengungsian Asrama Transito. Dia
menceritakan sedikit tentang dirinya dan perjalanannya selama menjadi Jemaat
Ahmadiyah yang dirongrong terus-menerus. “Saya pada dasarnya dari Lombok
Utara, Bayan. Pada tahun 2001, tanggal 12 juli, Ahmad Hariyadi dari Jakarta
(pihak LPPI) menyebarkan brosur-brosur bahkan masuk ke masjid yang
menuliskan bahwa Ahmadiyah itu kafir, pokoknya macam-macam lah. Itu sudah 5
56 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kali mushola kami diserang, rumah kami dihabiskan di Bayan, Sambielen”,
ucapnya.
Setelah itu, JAI yang di sana pindah ke Medas, 70 KM dari Sambielen,
Lombok Timur. Namun, di Medas mereka diusir lagi. Berpindahlah Syahidin dan
rekan-rekannya ke Pancor, Lombok Timur. Baru satu minggu menempati rumah
di Pancor, mereka kembali diusir (baca: peristiwa tahun 2002). Seakan sudah
putus asa untuk tinggal di Lombok, mereka akhirnya hijrah ke Pulau Sumbawa,
yang kebetulan di sana juga banyak Jemaat Ahmadiyah.
Sayangnya, baru satu tahun di Sumbawa, oknum Pancor datang ke sana,
sehingga camat setempat pun turun tangan untuk meminta Syahidin dan
kelompoknya pergi. “Akhirnya kami ke Lombok Tengah selama satu tahun, lalu
pindah ke Monjok selama setengah tahun. Saya berusaha mencari, kami ketemu
dengan perumahan BTN di Ketapang, sudah 5 tahun tidak laku, saya berusaha
untuk membeli. Ada tanah warisan dari nenek di Lombok Tengah, saya jual
sawah, untuk beli rumah di Ketapang, dengan tambahan berhutang pula”, terang
Syahidin. Dia pun mengajak Jemaat Ahmadiyah yang belum mendapat tempat
tinggal untuk membeli rumah di komplek BTN tersebut. Sampai akhirnya mereka
harus hijrah lagi karena kasus penyerangan pada 2006 dan 2010 lalu.
Semua tindak pengusiran dan kekerasan yang dialami Syahidin dan jemaat
lainnya diterima dengan lapang dada. Namun, tak dapat dimungkiri jika mereka
sudah apatis dan tidak hormat lagi dengan aparat. Syahidin mengaku malas
dengan perilaku yang seolah-olah “diam-diam” saja melihat keadaan Jemaat
Ahmadiyah, yang mungkin tidak dianggap warga Lombok lagi. “Kesal kan kita,
kita berusaha menjaga supaya NTB, Indonesia ini aman. Seandainya polisinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
tegas mungkin tidak akan terjadi. Lha ini malah dibiarkan. Ini NTB, Indonesia,
lebih-lebih Islam tercoreng”, keluhnya lagi.
Akan tetapi, dia masih berharap ada titik cerah bagi kehidupan mereka dan
anak-anaknya kelak. Oleh karena itu, ketika ada ormas atau LSM, mahasiswa,
peneliti, bahkan orang-orang dari mancanegara, mereka menyambut baik dan
bercerita apapun yang terjadi. Bahkan, Basyiruddin, mubalig JAI mengatakan
seraya berseru, “Silahkan foto. Kalau bisa sebarkan ke seluruh dunia akibat
dampak dari fatwa MUI”.
Sebenarnya jauh sebelum kejadian di Zaman Reformasi, kekerasan
simbolik yang mengakibatkan adanya diskriminasi telah terjadi. Hal ini
diungkapkan oleh Fauziyah57. Dia sudah menganut Ahmadiyah sejak kecil karena
faktor keturunan. Akan tetapi, setelah mempelajari Ahmadiyah lebih mendalam,
dia pun menyadari ke-islam-an nya semakin kuat. Hanya saja, ketika pihak
sekolah mengetahui jika dia seorang Ahmadi, Fauziyah kecil yang biasanya
membaca doa saat upacara di sekolah dilarang untuk melakukannya lagi. Terlebih
lagi, ayahnya yang seorang penghulu harus berhenti dari jabatannya karena
menjadi Ahmadi. Dia juga mengaku tidak pernah melihat buku Tadzkirah
diajarkan oleh mubalig ataupun keluarganya, apalagi mempelajarinya. Oleh
karena itu, dia menyayangkan atas fitnah yang dilontarkan oleh pihak luar kepada
Ahmadiyah.
Berbincang mengenai fasilitas yang ada di Transito sangatlah minim.
Mereka benar-benar seperti pengungsi atas musibah tertentu. Uniknya, mereka
mengungsi di tengah kota yang serba kecukupan. Mereka menjadi lubang hitam
57 Wawancara dengan salah satu pengungsi, Bu Fauziyah , 16 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
kecil di antara cahaya. Menurut keterangan ibu-ibu Jemaat Ahmadiyah yang
mengungsi di sana, bantuan listrik tidak ada, terbatas hanya di Mushola, sehingga
malam pun gelap gulita. Pada 2006 hingga 2007, pemerintah daerah melalui
Departemen Sosial sempat memberikan bantuan bahan makanan dan pelayanan
kesehatan. Tapi setelah itu, sudah tidak ada bantuan atau pihak pemerintah yang
datang. Banyak pula pihak yang berjanji akan datang, khususnya pemerintah pusat
dan daerah. Sayangnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum dan politik
dari berbagai lembaga di pemerintahan. Mirisnya lagi, warga JAI ini sampai
sekarang masih kesulitan untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Meskipun kepala daerah sempat mengatakan lewat media untuk memfasilitasi
pembuatan KTP bagi warga JAI, tapi hal itu belum terealisasi dengan nyata
hingga saat ini.58
Oleh pengurus JAI ada beberapa hal yang telah dilakukan agar para
jemaatnya bisa diperhatikan oleh pemerintah. Tentu penyampaiannya dilakukan
dengan cara damai, sebuah ciri khas dari Ahmadiyah. Selain meminta
pengamanan kepada pihak berwajib, setelah kejadian di Sambielen, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia membuat dokumen tentang “Penjelasan Jamaah Islam
Ahmadiyah Wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011.59 Penjelasan ini dengan
maksud untuk mengakhiri polemik, miskomunikasi, dan misinformasi tentang
Jemaat Islam Ahmadiyah serta upaya meyakinkan umat muslim di NTB dan
Indonesia pada umumnya.
58 Loc.cit…Berdasarkan wawancara dengan ibu-ibu pengungsi di Transito, 17 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. 59 Dokumen tersebut disertai surat pengantar ke Gubernur Prov NTB. Surat dan penjelasan tersebut sesuai dengan permintaan Gubernur melalui Tuan Guru Anwar MZ (Tuan Guru yang toleran terhadap Ahmadiyah) agar JAI membuat “Penjelasan mengenai Eksistensi Hukum dan Teologi JAI wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Beberapa penjelasan tersebut diawali dengan pembahasan tentang
Ahmadiyah yang berbadan hukum, terdaftar di Jakarta, dan berkedudukan di
Parung, Bogor. Sesuai dengan Anggaran Dasar JAI disebutkan bahwa kelompok
ini berakidah sesuai dengan akidah 6 rukun Iman, dan beramal sesuai dengan 5
rukun Islam. Sumber pokok ajaran Islam Ahmadiyah adalah Al-Quran Al-Karim,
Sunnah Nabi Muhammad SAW (Hadis), dan Ijma’ para sahabat. Sejak semula,
JAI melaksanakan semua ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW.60 Selain itu, hingga sekarang mereka selalu mengirimkan surat ke Gubernur
NTB, Tuan Guru Tertentu, dan media untuk mengklarifikasi beberapa hal yang
ditudingkan kepada JAI. Hanya saja, kekuatan besar di depan mereka belum
cukup untuk memahami keinginan mereka. JAI merasa butuh waktu dan
kesabaran untuk memimpikan “kedamaian” versi mereka di Bumi Gora, NTB.
3. Aktor dan Tirai Kekerasan Simbolik
Apabila melihat langenggnya kekerasan dan penyerangan terhadap JAI,
dapat dipastikan setidaknya ada aktor-aktor yang berperan dibaliknya. Pada
tulisan sebelumnya telah dibahas sedikit mengenai kekuatan organisasi Islam
mana saja yang ada di Lombok, seperti Nadhlatul Wathan (NW), Muhammadiyah,
atau Wahabi. Tak ketinggalan pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai
lembaga yang memiliki otoritas, salah satunya untuk menentukan sesat atau
tidaknya suatu ajaran.
Ajaran Ahmadiyah menurut versi MUI adalah salah satu paham yang
berasal dari Pakistan, masuk ke Indonesia saat penjajahan. Paham yang utama
60 Ini sesuai dengan misi organisasi “Yuhyiddina wa yuqiimusy-syariah”, yang bermakna menghidupkan kembali agama dan menegakkan syariat Islam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
berbeda dari umat Islam lain itu ialah Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam
Ahmad sebagai pemimpin dan nabi atau Rasul serta menerima wahyu. Bahkan,
dikatakan oleh MUI jika Ghulam Ahmad menuding orang yang tidak percaya
padanya sebagai kafir. Hal inilah yang menjadi patokan ulama-ulama Islam bahwa
Ahmadiyah dianggap menyimpang atau sesat. Namun, karena Ahmadiyah masuk
Indonesia pada Zaman Belanda, secara organisasi mereka langsung mendaftarkan
di pemerintah dan tercatat sebagai organisasi yang sah. Ada sebuah legalitas.
Itulah yang dipedomani sampai saat ini bahwa Ahmadiyah itu legal.61
Menurut tokoh MUI tersebut, Ahmadiyah dinyatakan sesat berdasarkan 9
buah buku, namun tidak disebutkan secara detail buku apa saja yang menjadi
patokan. Hal ini juga disampaikan oleh tokoh MUI NTB bahwa organisasi pusat
mereka sudah menetapkan atas 9 buah buku, namun memang dia tidak
mengetahui persis buku apakah itu. “Saya juga tidak tahu persis. Tapi bagi saya,
satu saja yang menyebutkan misalnya bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci, sesat
sudah, karena agama kita hanya mengakui Al-Quran saja. Dulu paling awal kan
mereka mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad, berarti mereka sudah
kafir itu. Ahmadiyah ini sebenarnya cerita lama. Apa yang mereka katakan saat
ini adalah takiyah, berbohong untuk keamanan atau semacam siasat. 62
Agaknya itulah reaksi yang diperlihatkan oleh tokoh MUI apabila
mengetahui beragam klarifikasi yang dilontarkan Ahmadiyah agar tetap disebut
Islam sebagai takiyah. Kalaupun sama, tokoh MUI mempertanyakan mengapa
harus menggunakan istilah Ahmadiyah? Nampaknya penjelasan tentang
Ahmadiyah yang telah dijabarkan (baca: tulisan sebelumnya tentang Jemaat 61 Berdasarkan wawancara dengan Muhsin mewakili Majelis Ulama Indonesia DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY. 62 Wawancara dengan salah satu tokoh MUI NTB pada 02 Januari 2012 di Sumbawa Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Ahmadiyah dalam Tilikan Sejarah) tidak diterima atau bahkan mungkin tidak
diketahui oleh pihak MUI. Berikut petikan kalimat yang dilontarkan anggota MUI
atas keberatannya terhadap penamaan Ahmadiyah sebagai ajaran dari JAI ini :
“Saya kemudian berseloroh, kalau sama, kenapa harus memakai kata Ahmadiyah. Selama anda memakai kata Ahmadiyah, orang tidak akan percaya. Kalau pengikut Muhammad, ya jadilah Muhammadiyah. Saya berikan solusi, kalau bukan Ahmadiyah, ya Ahmadiyah Ahlussunnah Waljamaah. Itu kayak Muhammadiyah dan NU kan Ahlussunnah Waljamaah. Itu seloroh saya pada dia. Tapi kalau anda tetap menggunakan kata Ahmadiyah, susah orang untuk percaya. MUI DIY secara resmi sudah membuat surat kepada Gubernur, Polres, Korem, Kantor Agama, usulnya melarang ajaran Ahmadiyah. Ajarannya yang dilarang”.63
Selain itu, Ahmadiyah versi lain juga dimunculkan oleh beberapa pihak,
salah satunya lewat internet. Dugaan bahwa Ahmadiyah melakukan takiyah demi
melindungi dirinya juga disebutkan dalam sebuah jejaring sosial64. Sumber
tersebut menyebutkan Ahmadiyah mengistilahkan Nabi Muhammad SAW
sebagai Nabi Besar, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi kecilnya.
Selain itu, disebutkan pula jika Ahmadiyah memiliki masjid sendiri, dan mereka
lihai dalam melakukan “freemanson/ilumination”. Situs lain di sebuah website65
menyebutkan Ahmadiyah sebagai ajaran yang dibentuk oleh Inggris dengan Mirza
Ghulam Ahmad sebagai nabinya. Apabila tidak masuk Ahmadiyah, maka akan
dinyatakan kafir. Selain itu, Qadian merupakan tanah suci dan kiblat mereka,
bukan di Mekkah.
Akan reaksi MUI yang sedari dulu sudah menyatakan final atas sesatnya
Ahmadiyah, mubalig JAI di Lombok menyatakan hal itu lebih tepatnya
63 Op,cit…Wawancara dengan Muhsin mewakili MUI DI. Yogyakarta pada 31 Maret 2011 di Kantor MUI DIY. 64 Kutipan kata-kata dari seorang teman di jejaring sosial facebook pada 8 Januari 2012. Dia mengaku pernah diajak untuk berbaiat di Ahmadiyah. Ajaran yang dilihat oleh teman saya ini benar-benar tidak sesuai dengan Islam. Menurutnya, Ahmadiyah ya Ahmadiyah, bukan Islam, tapi kayak Islam. 65Lihat tulisan sebelumnya, http://www.islampos.com/siapa-dan-bagaimanakah-ajaran-ahmadiyah-57472/, ditulis pada 12 Mei 2013 dan diunduh pada 27 Agustus 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
pernyataan organisasi, bukan orang per orang. Ada juga tokoh MUI yang
memiliki pendapat pribadi tentang Ahmadiyah.66 Dia menyitir pendapat salah
seorang tokoh MUI di Sumbawa bahwa dalam MUI masih ada perbedaan
pendapat, tapi keputusan di daerah tidak bisa mempengaruhi kalau dari pusat
belum terjamah.
Selain MUI, sosok Tuan Guru merupakan sosok yang berpengaruh,
khususnya bagi masyarakat Lombok yang mayoritas Islam. Tuan Guru merupakan
istilah ulama agama Islam yang ada di Pulau Lombok dan Sumbawa. Tuan Guru
biasanya tergabung dalam Nadhlatul Wathan (NW), sebuah organisasi terbesar di
dua pulau tersebut. Beberapa Tuan Guru yang tergabung dalam NW dan punya
pengaruh kuat di akar rumput yaitu Tuan Guru Sibawae (Pendiri AMPIBI), dan
Muhammad Izzi. Para Tuan Guru menyebarkan informasi ke masyarakat tentang
segala hal yang menyatakan sesatnya Ahmadiyah.
Menurut salah satu Tuan Guru67, buku Amin Djamaluddin tentang
“Ahmadiyah Membajak Al-Quran” disebarkan oleh MUI Provinsi NTB ke
seluruh pondok pesantren. Buku ini menjadi referensi utama untuk menolak
Ahmadiyah, selain seminar yang diadakan Lembaga Penelitian dan Pengkajian
Islam (LPPI) di Mataram yang menghadirkan Amin Djamaluddin, Atase
Kedutaan Arab Saudi, dan Ulama Pakistan.
Aktor lain yang berperan adalah LPPI, pimpinan Amin Djamaluddin, aktif
mendukung gerakan anti-Ahmadiyah di Lombok. Amin Djamaluddin juga
langsung hadir di sebuah pertemuan untuk membahas Ahmadiyah awal 2002 di 66 Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmadi, 23 Januari 2012 via telepon. 67 Lihat Ali Nursyahid. 2008. Laporan Investigasi (Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…). Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Hal 53.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Lombok, dan aktif memberikan materi, atau buku tentang kesesatan Ahmadiyah.
Kantor LPPI yang berpusat di Jakarta sepertinya mengendalikan penyerangan
terhadap Ahmadiyah, karena intensitas penyerangan terhadap Ahmadiyah
semakin meningkat pasca pertemuan yang difasilitasi oleh LPPI tersebut.
Terkait dengan LPPI, kedutaan besar Saudi Arabia memberikan kontribusi
pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah di Lombok dan Sumbawa. Dalam seminar
yang dilaksanakan oleh LPPI, Atase keagamaan Kedubes Saudi Arabia
memberikan ceramah soal kesesatan Ahmadiyah, pada tanggal 18 Agustus 2002.
Pemikiran Wahabi yang melarang Ahmadiyah telah meracuni para Tuan Guru,
dan mendorong massa untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Ulama
Pakistan juga memberikan kontribusi untuk melarang Ahmadiyah di Lombok dan
Sumbawa.
Keterlibatan LPPI yang mengakibatkan kekerasan juga terjadi di Desa
Manislor, Kabupaten Kuningan, pada tanggal 18 Desember 2007. Sebenarnya
kriminalisasi terhadap warga Ahmadiyah sudah terjadi sejak 1954. Namun,
peluang kekerasan terbuka lagi pada 1976. Pasca-Reformasi, tepatnya pada 11
Agustus 2002, LPPI mengadakan seminar tentang anti-Ahmadiyah dengan
mengundang para tokoh pemuda Manislor. Pasca seminar tersebut, mulai muncul
spanduk-spanduk atas nama remaja masjid dan LPPI yang menghina Ahmadiyah.
Pihak pemerintah daerah di Kab. Lombok Tengah, Lombok Timur, dan
Lombok Barat juga melakukan upaya intimidasi agar JAI keluar dari Ahmadiyah.
Bahkan, Pemerintah Daerah (Pemda) Sumbawa melarang warga JAI untuk tinggal
di wilayahnya. Pemda-pemda di Lombok Barat dan Sumbawa dengan sengaja
melakukan upaya lokalisasi Ahmadiyah di satu tempat, seperti yang menimpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
warga JAI di Ketapang, Lombok Barat. Sejak 2006, warga JAI menempati
Asrama Transito di Mataram.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di berbagai daerah, termasuk di Lombok
juga antipati terhadap Ahmadiyah. Dalam sejarahnya, fatwa MUI baik pusat
maupun daerah, yaitu pada tahun 1980 dan 2005 telah menyatakan bahwa
Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Untuk daerah Lombok, Fatwa MUI tahun
1984 soal Ahmadiyah merupakan pemicu kekerasan untuk pelarangan Ahmadiyah
di pulau tersebut. Fatwa MUI menjadi referensi untuk pelarangan Ahmadiyah di
Pulau Lombok, dan MUI bersama dengan LPPI aktif melakukan kampanye untuk
melarang Ahmadiyah di Pulau Lombok, seperti adanya keterlibatannya di dalam
pelatihan/seminar tentang anti-Ahmadiyah. Termasuk salah satu surat dari Majelis
Ulama Indonesia Kabupaten daerah Tingkat II Lombok Barat yang dialamatkan
ke Bupati Lombok Barat tentang sebuah rekomendasi yang memohon perhatian
pemerintah daerah agar menurunkan Pelarangan Operasional atas Gerakan Jemaat
Ahmadiyah yang sudah menyimpang dari ajaran Islam.
Agaknya inilah yang mendasari keluarnya Surat Keputusan (SK) dari
Bupati Lombok Barat No 35 yang ditanda tangani tanggal 10 Juli tahun 2001
tentang Pelarangan dan Penghentian Penyebaran Ajaran/Paham Ahmadiyah di
Kabupaten Lombok Barat. Latar belakang dari pengeluaran SK tersebut menurut
pemerintah adalah telah terjadi konflik berdarah di Kecamatan Bayan sebagai
akibat dari penyebaran ajaran Ahmadiyah. Bahwa untuk menjaga ketertiban dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
keamanan masyarakat, penyebaran paham Ahmadiyah di Pulau Lombok perlu
diperhatikan.68
Pemerintah Daerah Lombok Timur juga telah mengeluarkan Surat
Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lombok Timur tanggal 7
November 1983 Nomor : Sospol X.223.3/58/1983 tentang penghentian sementara
kegiatan Ahmadiyah Qadian di Lombok Timur. Pasca-Reformasi, dengan
maraknya kembali kekerasan terhadap Ahmadiyah, Bupati Lombok Timur
mengeluarkan lagi surat edaran tentang larangan kegiatan penyebarluasan ajaran
Ahmadiyah Qadian baik secara lisan maupun tertulis di wilayah Lombok Timur.
Semua elemen pemerintah, militer, dan kejaksaan dilibatkan dalam hal ini.
Ada pula “AMANAH” (Aliansi Masyarakat Anti Ahmadiyah) Kabupaten
Lombok tengah yang menuliskan pernyataan sikap mereka dengan
menyampaikan somasi atas keberadaan Ahmadiyah di sana. Isinya seputar
peringatan jika Ahmadiyah masih mengaku dirinya Islam maka secepatnya
menyadari kesalahannya dan bertaubat kembali ke ajaran Islam; dan jika
Ahmadiyah masih pada keyakinannya, maka JAI harus meninggalkan wilayah
Kabupaten Lombok Tengah. JAI diberikan waktu sampai dengan tanggal 17
Maret 2006.
Kepala Kejaksaan Negeri Selong juga turut mengeluarkan Surat
Keputusan No : Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tentang Pelarangan terhadap
68 Berdasarkan dokumen SK Bupati Lombok Barat. Pertimbangan lain dari dikeluarkannya SK ini adalah berdasarkan Surat Edaran Direktorat Bimas Islam dan urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984 yang merekomendasikan bahwa ajaran atau paham Ahmadiyah dianggap menimpang dari Islam. Disitu disebutkan alasannya karena mempercayai adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka dipandang perlu mencegah penyebarannya agar tidak menimbulkan keresahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Cabang Pancor Lombok Timur.69 Pertimbangannya
antara lain karena semenjak berdirinya aliran kepercayaan Ahmadiyah Cabang
Pancor di wilayah Lombok Timur, telah beberapa kali menimbulkan pertentangan
dan keresahan diantara sesama umat Islam di wilayah Lombok Timur (Lotim).
Selain itu, kejaksaan memandang pelarangan JAI di Lombok Timur sebagai upaya
untuk memelihara kerukunan hidup umat beragama khususnya umat Islam di
sana.
Pihak Militer juga mengambil peran dalam penahanan dan penindakan
terhadap Jemaat Ahmadiyah. Mereka ikut melakukan intimidasi terhadap JAI agar
keluar dari Ahmadiyah. Jika mereka tidak keluar dari Ahmadiyah, maka akan ada
upaya kekerasan yang dilakukan massa. Militer bahkan termasuk unsur Muspida
telah ikut menandatangani penerbitan SKB di beberapa wilayah Lombok.
Setelah kejadian di Sambielen pada 22 Juni 2001 silam, ada upaya dari
Ketua Jemaat Ahmadiyah kota Mataram untuk bersurat kepada pihak Kepolisian
Daerah Resort Lombok Barat memohon perlindungan hukum. Atas hal tersebut,
pada 25 September 2002 mengeluarkan surat balasan yang isinya menyatakan
pihak Polres akan berupaya memberikan perlindungan hukum dan bantuan
pengamanan terhadap anggota JAI beserta aset-asetnya. Hanya saja karena
beberapa pertimbangan70, anggota JAI diharapkan berinteraksi sosial di
lingkungannya khususnya mengenai masalah peribadatan. Selain itu, mereka 69 Hal ini berdasarkan pertemuan antara Bupati Lombok Timur, Ketua DPRD Tingkat II Lotim, Kepala Kantor Departemen Agama dan MUI Lotim tanggal 5 November 1983 yang secara bulat menyetujui dan mendesak pihak yang berwajib agar menghentikan kegiatan Ahmadiyah di Lombok Timur. 70 Selain surat permohonan perlindungan hukum dari Ketua JAI Mataram, yang menjadi rujukan kepolisian mengambil tindakan dan memberi saran adalah Keputusan Bupati Lombok Barat No 35 Tahun 2001 tanggal 10 Juli 2001 perihal Pelarangan dan Penghentian penyebaran ajaran/paham Ahmadiyah di Lombok Barat. Ada pula surat rekomendasi Majelis Ulama Indonesia Kab.Lombok Barat yang intinya memohon kepada pemerintah untuk pelarangan operasional gerakan Ahmadiyah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
diharapkan untuk menurunkan sementara waktu segala atribut atau simbol yang
memperlihatkan tanda khusus Jemaat Ahmadiyah guna menghindari
berkembangnya kasus Lombok Timur di Kota Mataram.
Pengurus Jemaat Ahmadiyah menyayangkan segala fatwa final tentang
kesesatan Ahmadiyah, kecaman, dan surat peringatan dari berbagai organisasi
yang ditujukan kepada mereka. Menurut mereka, akan lebih baik jika semua
elemen tersebut membuka dialog dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Setidaknya berkaca pada sejarah tentang kejayaan dialog nasional dan terbuka
yang pernah terjadi tahun 1933. Jemaat Ahmadiyah membaca jika ada
keengganan dari orang-orang di luar mereka (outsiders) untuk mengenal JAI.
Padahal Al-Quran membolehkan dialog dengan tujuan kembali ke jalan yang
benar. Bagi JAI, hak prerogatif Allah (An-Nahl:26) di ambil oleh MUI.
Menurutnya, yang berhak menentukan sesat atau tidaknya seseorang hanya Allah
SWT. Mereka menyesalkan pihak MUI yang tidak mau menyaksikan sendiri
ibadah yang dilakukan warga Ahmadiyah agar mereka tahu adanya kesalahan atau
tidak. Sebaliknya, Saat Al-Qur’an dan Masjid dibakar oleh oknum, pihak MUI
pun hanya diam dan tidak melakukan apapun. 71
Sebenarnya upaya dialog telah diusahakan oleh mubalig JAI di Lombok.72
Saat itu, ada stasiun radio yang siarannya tiap pagi diisi oleh penceramah yang
selalu menjelekkan Ahmadiyah. Akhirnya, mubalig JAI mendatangi radio
tersebut. Mereka tidak mempermasalahkan adanya siaran tersebut, tapi JAI juga
meminta kesempatan untuk menjelaskan atau berdialog agar kesalapahaman tidak
71 Op,cit…Wawancara dengan Mubalig JAI di Lombok, Mln. Basyiruddin pada 14 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram. 72 Loc,cit…Wawancara dengan Penasehat Ahmadiyah, Mln. Nasiruddin Ahmadi, 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
bertambah panjang. Namun, kesempatan itu tidak diberikan oleh radio tersebut,
hanya siaran mengenai ceramah itu yang dihentikan. Padahal, JAI mengharap
adanya dialog tersebut.
JAI di Lombok juga menyesalkan masyarakat yang tidak mempertanyakan
sesuatu langsung dari sumbernya, tapi lebih cenderung ikut suara tokoh agama
atau golongan mayoritas. Bagi JAI, mayoritas belum tentu benar, pun sebaliknya.
Jika logika ini bertahan maka akan membahayakan bangsa itu sendiri. Inilah yang
menjadi kendala saat umat Islam dituntut kritis. Mayoritas/minoritas bukanlah
ukuran kebenaran, hanya Tuhan yang menentukan.73
Kekerasan yang terjadi menjadi suatu yang kontra apabila melihat,
mendengar, dan membaca literatur Ahmadiyah. Dari tuturan dan sumber tertulis,
dapat ditemukan jika ajaran mereka sarat dengan cinta kasih, tolong menolong
dan menekankan pentingnya dialog. Bahkan, tak sedikit orang-orang berpengaruh
menjadi Ahmadi, di antaranya WR Supratman, Arif Rahman Hakim, dan H.
Suhadi.
Bertahan dan berdialog. Itulah alat ideologi yang dilakukan oleh JAI
untuk membendung perdebatan yang menimpa mereka sejak masuk di Indonesia.
Bagi mereka, bukanlah perkara yang mudah untuk mengubah pola pikir orang
pada umumnya. Warga JAI sangat berharap agar orang-orang yang tidak
mengetahui Ahmadiyah bertanya langsung ke mereka, bukan sebaliknya hanya
bertanya pada NU, NW, atau lembaga lainnya.
73 Ibid. Nasiruddin memberikan contoh misal di Indonesia, yang akan terancam agama lain, tapi sebaliknya, di Manado, saudara kita yang Kristen mayoritas, berarti dianggap benar. Di skala dunia, Islam menduduki peringkat ketiga, pertama Kristen lalu Hindu. Kalau dilihat jumlah tersebut, jika menggunakan logika mayoritas benar, maka yang paling benar adalah Kristen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Hal ini juga ditanamkan oleh Ahmadiyah kepada pengikutnya agar nilai-
nilai Islam dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Jemaat Ahmadiyah memberikan
doktrin seperti itu ke umat-umatnya sehingga mereka masih bertahan di tempat
pengungsian, yakni di Asrama Transito, hingga sekarang. “Saat ini, jumlah warga
yang tinggal di Transito sekitar 150 orang. Dari tempat ini, sudah lahir belasan
bayi keturunan Ahmadiyah. Dua diantaranya adalah anak saya, bernama Transiti
Mariyam dan Muhammad Khataman Nabiyyin. Kami juga belum tahu kapan akan
bisa keluar dari sini, dan hendak kemana nantinya. Entahlah”, ujar Syahidin.
Pertanyaan inilah yang belum terjawab hingga saat ini.
B. Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca Kekerasan Komunal di Lombok
Ragam konflik yang dialami oleh JAI di Lombok dengan berbagai
kelompok yang ada membuatnya memaknai kekerasan pada level ideologi dan
praktis. Pemaknaan tersebut telah membentuk identitas mereka yang disertai
dengan keunikan pola bertahan. Pasca-kekerasan yang dialami, ada semacam
pemaknaan religiusitas yang muncul. Bisa jadi sebuah resistensi.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok (Ahmadi) mengaku jika identitas
ke-Ahmadiyah-an mereka semakin kuat pasca-kekerasan tersebut. Tak hanya
menurut JAI, pihak-pihak seperti Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa) yang
membantu mereka dalam advokasi pun menilai JAI menjadi lebih tegar dan tidak
kapok karena kekerasan itu. Mereka terlihat semakin yakin dengan ajaran yang
dianutnya, tabah menghadapi kemelut yang sedang dihadapinya, namun tetap taat
kepada keputusan pemerintah (Ulil Amri).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Fenomena untuk bertahan ini menjadi menarik tatkala disadari bahwa JAI
juga tidak pernah berniat untuk melawan secara fisik. Mereka lebih suka
melakukan “perlawanan” dengan pemaknaan yang religius serta pendekatan
damai berdasarkan dialog. Inilah yang kemudian menjadi alasan kelompok ini
terus-menerus menjadi sasaran untuk diserang, yakni karena JAI tidak melawan
dalam arti memberi respon kontra. Mereka hanya menyerahkan keputusan pada
pemerintah. Namun, bentuk “perlawanan” seperti ini justru semakin membuat
warga JAI tidak diberi akses untuk berbicara dengan penuh kebebasan. Ada
semacam pemanfaatan dari kelompok tertentu untuk terus melakukan kekerasan,
karena “bungkam”-nya warga JAI.
Sebagai subjek, siapa yang coba dilawan oleh JAI? Banyak aktor yang
bermain di dalamnya, termasuk pemerintah yang terkesan melakukan pembiaran
atas satu kali kekerasan dan memicu kekerasan berikutnya. Dalam kasus
kekerasan massal dan beruntun yang dialami oleh JAI, biasanya diawali dengan
demonisasi, yang kemudian mendorong munculnya spiral kekerasan. Kekerasan
menjadi suatu yang rutin, sah, dan tampak sebagaimana mestinya. Apabila
menyitir Galtung (2003: 13-14), agama dan ideologi menjadi penyebab terjadinya
kekerasan. Padahal sejatinya semua agama cenderung mengajarkan kedamaian
dan non-kekerasan. Hal inilah yang tercermin dalam penyerangan terhadap warga
Ahmadiyah.
1. Suara-Suara di Balik Kekerasan
Setelah menempati Asrama Transito, kelompok JAI yang kemudian
menjadi pengungsi ini, tetap melakukan aktivitas mereka seperti biasanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Kegiatan selama di Transito adalah semata-mata kegiatan keagamaan dan usaha
untuk menggerakkan perekonomian mereka. Kegiatan keagamaan meliputi
pembinaan keagamaan dan pengajian oleh mubalig dan pengurus JAI. Ujar
Syahidin :
“Kalau kegiatan sholat rutin, terus malam ajar anak ngaji, cuma itu, tidak ada kegiatan lain. Belum ada ketrampilan yang diajarkan disini. Kalau pengajian ya tetap, bahkan di wanitanya yang paling sering. Pengajian laki-laki dan perempuan tidak campur seperti agama Islam lain, tapi ada juga pengajian umum untuk semua. Mengenai masalah pernikahan misalnya, itu dibahas untuk perempuan, bagaimana dalam Islam terhadap suami. Dulu, saya sering marah-marah, pukul istri. Setelah masuk Ahmadiyah, tidak pernah saya marah atau berlaku kasar lagi.”74
Sementara itu, untuk memenuhi kehidupan perekonomian, mereka
menggerakkan usaha kecil-kecilan di pasar. Ada yang berdagang, menjadi kuli,
atau apa saja yang bisa menyambung hidup mereka sehari-hari. Di Ketapang,
mereka juga masih memiliki sedikit lahan untuk menanam tomat, sayur bayam,
dan tanaman lainnya. Itulah jenis pekerjaan yang mereka tekuni. Sedangkan
warga JAI di Lombok yang tidak mengungsi ada pula yang menjadi guru atau
pegawai.
Hasil dari jerih payah tersebut mereka pergunakan untuk membeli
kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun dalam
keadaan yang terhimpit, pendidikan bagi Jemaat Ahmadiyah penting disediakan
untuk generasi mudanya. Mereka juga menyisihkan sebagian uangnya untuk
diserahkan ke organisasi sebagai “uang pengorbanan”. Hal ini seperti yang sudah
dijelaskan pada tulisan sebelumnya.
Mereka memulai aktivitas sehari-hari dengan berangkat bekerja dan
meninggalkan Transito sehabis Sholat Subuh. Lalu, menjelang siang, mereka
74 Kutipan berdasarkan wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
kembali pulang ke pengungsian. Pada sore hari, pengungsi banyak menggunakan
waktunya untuk kegiatan santai, olahraga, atau bercengkrama dengan para
pengungsi lainnya. Biasanya Jemaat Ahmadiyah akan berkumpul di Mushola. Jika
ada tamu, mereka akan mengajak berbicara sesuai dengan maksud kedatangannya.
Tak bisa dimungkiri, sekuat apapun mereka menjalani kehidupan setelah
kekerasan, pasti tertoreh kenangan pahit yang traumatis. Trauma dalam berbagai
level. Menurut keterangan para pengungsi, saat kejadian tahun 2006, pernah ada
yang sampai dibawa ke rumah sakit jiwa, merasa shock, karena rumahnya habis
dibakar. Tidak ada yang tersisa. Namun, itu hanya segelintir dari kisah trauma
mereka. Sebagian besar dari mereka memiliki keinginan besar untuk tetap
bertahan. Kalaupun mereka tetap tinggal di Transito sampai mati, para pengungsi
menganggap mungkin itu yang terbaik.
Atas segala yang dihadapi, ada seorang pengungsi yang nyeletuk, “Kalau
mau belajar sabar, datanglah ke Transito”. Kekerasan yang dialaminya dianggap
sebagai cobaan. Mereka justru cenderung bangga, karena bisa merasakan masa
seperti yang dialami Nabi Muhammad SAW 14 abad silam. Hal ini diakui oleh
kalangan bapak, ibu, remaja, hingga anak-anak Ahmadiyah (Ahmadi).
Dari beberapa kalangan yang tinggal di pengungsian Transito, kaum
remaja (Khudamul Ahmadiyah dan Nasiratul Ahmadiyah) cukup menarik
perhatian. Remaja, umumnya memiliki jiwa muda yang masih penuh dengan
idealisme kebebasan. Mereka juga sarat dengan sifat labil. Apa yang terjadi jika
kaum remaja ini mengalami kekerasan yang menyebabkan kehidupannya morat-
marit? Namun, sebagian dari remaja Ahmadiyah yang hidup di Transito tak
seperti sebagian besar remaja pada umumnya. Mereka seolah sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
terinternalisasi oleh nilai-nilai Ahmadiyah yang diajarkan, yaitu keteguhan,
kesabaran, dan kedamaian. Hal ini bukanlah sesuatu yang mencengangkan di
kalangan Ahmadiyah. Sebagian dari mereka juga sudah terpisah dari orang tua
sejak kecil. Sedari kecil, anak-anak dan remaja sudah memahami ajaran
Ahmadiyah karena selalu rutin diberikan tarbiyah. Jika hari libur, mereka
menggunakan waktu untuk mengenal keorganisasian Ahmadiyah dan pemahaman
ajaran Islam. Meskipun pada praktiknya, ada sisi dari para remaja itu yang butuh
kesenangan atau hiburan.
Hal ini bisa kita lihat dari omongan mereka seputar pengalaman menjadi
Ahmadi dan tinggal di Transito. Beberapa pengalaman menarik terlontar dari
remaja Ahmadiyah, yang saat kecilnya harus terpisah dari orang tua karena
kejadian Pancor tahun 2006.75 Malik (18 tahun), saat kejadian di Pancor masih
duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (SD). Atas peristiwa itu, Malik dan puluhan anak
Ahmadiyah lainnya diungsikan ke Jawa Barat untuk bersekolah dan harus terpisah
dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua mereka masih terpuruk secara
sosial dan ekonomi. Agar anak-anak itu tetap bisa sekolah, mereka akhirnya harus
tinggal bersama orang tua angkat, yang juga Jemaat Ahmadiyah (Ahmadi).
Setamat Sekolah Dasar, Malik ingin kembali berkumpul bersama orang
tuanya lagi. Lambat laun, kehidupan perekonomian orang tuanya pun juga pulih.
Saat Sekolah Menengah Pertama (SMP), Malik dan beberapa anak lainnya balik
lagi ke Lombok. Saat itu, para orang tua mereka sudah menetap di perumahan
BTN, Dusun Ketapang. Belum genap setahun tinggal, pada 2006, mereka diserang
lagi. Malik dan teman-teman Ahmadi-nya merasakan kembali peristiwa
75 Wawancara dengan para pengungsi remaja Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
kekerasan. “Saat kami balik kesini, kejadian lagi bulan Februari tahun 2006. Ini
bisa dikatakan kejadian terbesar yang terjadi di Ketapang. Secara ekonomi dan
mental kami drop saat itu. Daripada nyusahin orang tua, saya dan 3 teman balik
lagi ke Jawa Barat melanjutkan SMA”, ungkapnya. Di Jawa Barat, tepatnya di
Tasikmalaya, mereka bersekolah di bawah Yayasan Jemaat Ahmadiyah. Yayasan
Ahmadiyah merupakan sekolah umum karena ada juga yang non-Ahmadi
bersekolah disana. Hanya saja, berbeda dengan sekolah umum lainnya, sekolah ini
memiliki tambahan mata pelajaran, yaitu bahasa Urdu.
Saat mengungsi ke Jawa Barat dan terpisah dari orang tua, Malik dan
teman-temannya merasa sangat sedih. Apalagi di sana, Malik melihat banyak anak
yang tinggal dengan orang tuanya. Akan tetapi, dia menganggap hal tersebut
sebagai pengorbanan. Ketika ditanyakan sisi historis dan pengalaman menjadi
Ahmadi, Malik menjawab awalnya ikut orang tua. Meskipun begitu, orang tuanya
tidak pernah memaksakan aliran tersebut pada Malik. Dia mengakui setelah
beranjak remaja, Malik bisa benar-benar meyakini kebenaran dari ajarannya yaitu
Ahmadiyah. Hal ini sesuai dengan penuturannya sebagai berikut :
“Saya mulai meyakini Ahmadiyah sejak SMP, banyak bukti-bukti yang mendukung. Salah satunya kalau aliran nya tidak benar, mungkin tidak akan bertahan lama. Ajaran yang benar selalu mendapat tantangan dari orang lain. Saya benar-benar yakin dengan Ahmadiyah”.
Setelah menamatkan SMA, Malik dan seorang temannya bertekad pulang
lagi ke Lombok untuk mencari pekerjaan. Hanya saja, mereka harus mendapat
kenyataan pahit lagi, dengan penyerangan 26 November 2010 silam. Mereka
akhirnya ikut mengungsi di Asrama Transito. Kesulitan yang dihadapi lagi adalah
terhambatnya mendapat pekerjaan karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP) Lombok, di daerahnya sendiri, dan tak kunjung dilayani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Untungnya, dia dan temannya sudah membuat KTP daerah Tasikmalaya.
Walaupun tinggal di Transito, dia dan temannya memiliki segudang harapan.
Katanya :
“Supaya kita hidup layak seperti warga lain. Yang kami khawatirkan adik-adik kami, takut terkena mentalnya, kalau kami kan sudah besar, bisa berpikir sendiri. Untuk pemerintah, kami minta ditegakkan lah hukum itu. Jangan tidur lah hukum di Indonesia ini. Bagi masyarakat, kami tidak minta dikasihani, hadapi kami selayaknya masyarakat lain yang bukan Ahmadiyah, karena masalah keyakinan itu personal.”
Kekhawatiran itu bukan tak beralasan. Menurutnya, pernah ada anak
Ahmadiyah di Sekolah Dasar, yang dipukuli oleh teman-temannya, karena dia
seorang Ahmadi. Di tengah kegalauan menemukan identitasnya, anak-anak
remaja ini tetap terlihat teguh dengan keyakinannya. Meskipun sudah beberapa
kali rumah mereka dirusak. Mereka diusir dan diungsikan ke tempat yang kurang
layak. Saat ini, Malik sedang menempuh kuliah di Bogor.
Mardianah76, seorang remaja putri yang juga pernah mengungsi ke
Tasikmalaya, Jawa Barat, mengakui keteguhan itu. “Ya, Zaman Rasulullah kan
banyak ditentang, dibilang kafir, tapi kan pada akhirnya berkembang juga. Kalau
ini sih kita anggap sebagai ujian, ini bukan azab, tapi sedang diuji iman kita”,
begitu ungkapnya. Keteguhan atas keyakinan tersebut ibarat oase di tengah
keadaan pengungsian Asrama Transito yang kumuh dan tak layak bagi mereka.
Mardianah juga menginsyafi jika masa muda biasanya harus dinikmati, tapi dia
menyadari tidak selamanya akan hidup di dunia ini. Dia merasa harus memiliki
bekal untuk hidup di akhirat nanti, yang lebih abadi. Jika harus ditempuh dengan
hidup di pengungsian, dia merasa itu fase yang harus dijalani.
76 Berdasarkan wawancara dengan Mardianah, salah satu pemudi Jamaah Ahmadiyah yang mengungsi, di Lombok pada tanggal 14 Maret 2012.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Warga Ahmadiyah juga mengaku minimnya bantuan dan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah. Kamaruddin dan Fauziyah77 misalnya, mengatakan
jika selama 8-9 bulan awal mereka tinggal di Transito, tersedia pelayanan
kesehatan dari puskesmas. Hanya saja, setelah itu tidak ada lagi bentuk pelayanan.
Mereka juga tidak mendapatkan fasilitas listrik yang memadai layaknya sebuah
tempat tinggal.
Kamaruddin dan Fauziyah, pasangan pengungsi yang bercerita bahwa
mereka sudah tidak berani pulang ke rumah di Ketapang. Fauziyah juga
menceritakan kisahnya saat terusir dari perkampungannya di Lombok Timur pada
tahun 2002 silam. Menurutnya :
“Kejadian Lotim, saya hamil muda, lari lewat belakang kuburan, tidak pakai sandal. Udah lama baru ingat kalo saya hamil, untung saya tidak keguguran. Kita tidak sempat ambil barang-barang, tidak ada yang diselamatkan. Pas 2002, setiap malam digilir kampung yang diserang. Sebelumnya warga diungsikan ke Mapolres, selama 5 malam kejadian Lotim.78
Selain karena tidak harta lagi yang tertinggal, mereka masih takut dengan
ancaman serangan lagi dari massa. Akhirnya, mereka harus tinggal di
pengungsian dengan kondisi memprihatinkan, dengan bilik-bilik buatan yang
dibatasi kain-kain, dan tidak adanya listrik. Kesulitan utama menurut ibu-ibu
pengungsi di Transito adalah masalah ruangan. Dalam hukum Islam, anak umur 8
tahun sudah harus terpisah tidur dari orang tua. Namun, karena keadaan akhirnya
mereka harus bercampur, dan berdesakan. Sedangkan untuk laki-laki dewasa tidur
di Mushola.
Minimnya fasilitas tersebut juga dibarengi dengan penanganan yang lemah
dari pemerintah. Menurut JAI, mulai tahun 2006, penyelesaian dari Departemen
77 Berdasarkan wawancara dengan bapak ibu pengungsi di Transito pada 15 Desember 2010. 78 Wawancara dengan salah satu pengungsi, Bu Fauziyah , 16 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Sosial untuk membantu pengungsi sudah tidak ada. “Kepercayaan kami sudah
luntur kepada aparat. Beberapa kali saya sudah ingin bertatap muka dengan
gubernur yang dulu dan sekarang. Tidak pernah diberikan peluang. Yang
disayangkan pula jika penyerangan itu selalu yang disalahkan kami. Makanya
terbalik hukum sekarang”, ujar Syahidin. Untuk membuat Kartu Tanda Penduduk
(KTP) pun mereka tidak dilayani. Prosesnya dipersulit karena JAI dianggap bukan
warga Mataram. Akibatnya, para pengungsi tersebut tidak memiliki status
kependudukan yang jelas.
Namun, warga JAI masih berharap agar pemerintah memberikan
kebebasan seperti kepada warga negara lainnya. Selain itu agar tidak ada
diskriminasi kepada warga JAI terutama dalam memberikan status kependudukan.
Warga Ahmadiyah juga bersedia ditindak secara hukum apabila terbukti bersalah
atau melanggar pasal yang terdapat di undang-undang. Syahidin misalnya,
mengaku siap dan rela dipenjara bila terbukti bersalah. Toh, dia berjuang bersama
kelompoknya untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah. Sebenarnya
mereka sangat berharap para pelaku atau massa ditindak oleh aparat. Akan tetapi,
hal tersebut seolah-olah menjadi utopia bagi warga JAI.
Warga yang ada di pengungsian akan selalu mengikuti keputusan
pemerintah tentang penghidupan mereka. Namun, mereka hanya berharap agar
pemerintah dan elemen yang ada dalam masyarakat tidak ikut campur urusan
keyakinan JAI. Harapan mereka yang lain adalah untuk tidak dikeluarkan dari
Islam, apalagi dihimbau untuk membuat agama baru. Bagi mereka, tidak ada satu
manusiapun yang berhak membuat agamanya. Hal ini juga diungkapkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Basyiruddin79, yang menuntut agar pemerintah tidak ikut campur keyakinan
seseorang, apalagi menyuruhnya keluar dari Islam. “Kan selama ini yang
digembor gemborkan adalah bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam. Bahwa
Ahmadiyah harus bikin agama baru. Tidak ada manusia yang berhak membuat
agama. Semua agama yang terdahulu dari Allah SWT, kan ga bisa manusia buat
agama baru. Mungkin nanti dikutuk oleh Allah SWT. Marilah kita berjalan, sesuai
dengan koridornya”, jelasnya.
Menurut mereka, begitu banyak fitnah yang dilontarkan membuat identitas
JAI secara tidak langsung dibentuk oleh masyarakat. Setelah mereka
mengklarifikasi tentang kenabian dan kitab suci, isu tentang perbedaan syahadat
mulai gencar disebar oleh elemen yang kontra dengan Ahmadiyah. Atas hal
tersebut, Jemaat Ahmadiyah menguraikan bahwa mereka pun akan marah jika ada
yang membuat syahadat berbeda dan mengaku sebagai umat Islam. Sayangnya,
mereka tidak diberi kesempatan untuk mengklarifikasi hal tersebut. Jika saja
masyarakat bertanya, warga Ahmadiyah sangat ingin menjelaskannya secara baik-
baik.
JAI juga dituding ekskusif karena memiliki masjid sendiri dan tidak
beribadah bersama umat Islam lainnya. Akan hal itu, Syahidin mengatakan
penamaan masjid “Ahmadiyah” atau “Non-Ahmadiyah” sebenarnya tidak ada.
Hanya saja, Ahmadiyah memiliki tempat bernaung (basecamp), sama halnya
seperti Muhammadiyah atau NU. Jadi, pada dasarnya, warga JAI bukan
bermaksud eksklusif. Kecuali untuk masalah mencari jodoh, mereka memang
79 Berdasarkan wawancara dengan Mubalig JAI, Baasyir, di Asrama Transito, Mataram pada tanggal 15 Desember 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
mengupayakan jodohnya sesama Ahmadi agar memiliki visi atau misi yang sama
secara agama dalam menjalankan biduk rumah tangga.
Sebenarnya mereka ingin beribadah bersama umat Islam lainnya, karena
semua masjid adalah tempat ibadah. Hanya saja kekerasan yang dialami dalam 1
dekade belakangan telah membuat kelompok ini tersingkir. Warga Ahmadiyah
merasa kurang nyaman sholat di “Masjid Non-Ahmadiyah”, karena apabila ada
ceramah atau khutbah selalu menyudutkan Ahmadiyah dengan pelabelan kafir
atau “sesat”. Warga JAI tidak mau mendengar semua itu. Akhirnya mereka sholat
di tempat sendiri. Saat ini, rumah ibadah yang tersedia hanya mushola kecil di
tempat pengungsian. Akan tetapi, mereka merasa cukup tenang dalam beribadah.
Hal ini ditambahkan oleh Basyiruddin, bahwa pada hakikatnya, orang
yang menjalankan ibadah ingin mendapat ketenangan. “Sebenarnya kita rindu,
serindu-rindunya untuk berkumpul bersama umat muslim lainnya, tapi apa boleh
dikata, pertama begini, rindu sholat bersama orang lain, tapi kenyataannya apakah
kita mau menjadi makmum dari imam yang menghujat dan memfitnah
Ahmadiyah, kita tidak rela. Kan beribadah mencari ketenangan. Tapi kalau kita
diterima, kita siap kok jadi makmum”, paparnya pula.
Atas segala realita ini Basyiruddin mengingatkan Sabda Rasulullah, yaitu
pada suatu saat sejahat-jahat makhluk di bawah kolong langit adalah ulama. Saat
sekali dia bicara, maka akan didengarkan. Warga JAI menyayangkan banyaknya
Tuan Guru yang ada di daerah Lombok, tapi mereka hanya berkoar-koar didepan
umat Islam bahwa Ahmadiyah sesat. Ketika melabeli Ahmadiyah “sesat”, mereka
bukannya berusaha untuk mengarahkan dan membimbing Jemaat Ahmadiyah ke
jalan yang lurus, tapi malah menyerukan agar massa menyerang kelompok ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Hal ini misalnya terjadi ketika Tuan Guru Izzy berceramah dan kemudian
terjadilah penyerangan tahun 2006 di Ketapang.
Jemaat Ahmadiyah menyebut dirinya sebagai pengungsi paling lama di
seluruh Indonesia karena sudah terjadi selama 7 tahun. Lebih-lebih mereka
mengungsi di tanah kelahiran sendiri, karena semua JAI dari suku Sasak. Hanya
mubalig dan penasehat JAI saja yang dari Jawa. Bahkan sempat ada wacana
pemindahan warga Ahmadiyah ke suatu pulau terpencil di Gili, atau mencari
suaka ke Australia. Namun, saat ini wacana tentang evakuasi atau pemindahan
sudah tidak ada lagi.
Ketika ditanyakan pada Pimpinan Wilayah JAI di Lombok, Jauzi, tentang
hak-hak warga Ahmadiyah secara organisasi, dia melihatnya dari dua hal.
Pertama, organisasi hanya bisa ikut campur dalam hal dukungan kerohanian
(melalui mubalig), dan sebagai fasilitator dalam upaya advokasi dan negosiasi
dengan pemerintah atau pihak lain. Kedua, selain hal-hal pertama tadi, organisasi
tidak memiliki hak untuk intervensi baik berkaitan dengan masalah relokasi,
transmigrasi, dan pemulihan aset. “Itu adalah hak warga, silahkan pemerintah
berdialog dengan mereka. mau dijual atau tidak hak mereka. itu kan kekayaan
mereka, bukan organisasi”, jelasnya. 80
Terkait dengan kekerasan yang terjadi pada jemaatnya, Jauzi pun
menyayangkan sikap pemerintah yang selaiknya harus melindungi warga
masyarakatnya. Menurutnya, orang-orang yang berwatak benar, berperilaku lurus,
menjadi potensi suatu negara. Hal yang menggelitik ketika orang yang benar,
80 Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
lurus, dan baik kemudian disingkirkan. Sementara itu, masyarakat yang anarkis,
tukang fitnah, dan pembohong dipelihara tanpa adanya penindakan.
Jauzi juga melihat bahwa Jemaat Ahmadiyah memiliki konsep “bertahan”
bila dilihat dari sisi untuk memperjuangkan kemanusiaan. Bagi mereka, semua itu
bagian dari perjuangan. Pada prinsipnya, orang Ahmadiyah secara pribadi tidak
bisa dibantu orang lain. Apabila mereka terlihat kuat, itu semata-mata karena
kemauan diri sendiri dan keyakinan. “Kita sering mendengar fitnah, bahwa
Ahmadiyah dibantu dana dari luar. Padahal kekuatan orang yang dibantu dana
tidak itu bisa dilihat. Kalau orang dibantu, itu tidak akan bisa bertahan. Dia
ketergantungan”, tambah Jauzi. Dia pun mengakui walaupun nasib warga
Ahmadiyah seperti ini, masing-masing dari mereka selalu mengeluarkan “uang
pengorbanan” tiap bulannya.
Pangkal dari semua ajaran Ahmadiyah adalah berdasarkan pada ajaran Al-
Quran dan Hadis. Itulah inti kehidupan bagi JAI, yaitu beragama dengan
mencontoh teladan. Di situlah letak kenikmatannya. Bagi mereka, penderitaan
adalah kenikmatan yang terselubung. Konsep bertahan Ahmadiyah juga tidak
lepas dari salah satu pembinaan akhlak, sehingga muncul tingkat kesabaran yang
tidak ada batasnya. Bagi kalangan Ahmadiyah, kesabaran tidak punya batas. Hal
itu merupakan indikator bahwa tarbiyah, pendidikan ta’lim, atau dakwah berhasil.
Kesabaran yang mereka peroleh tidak lepas dari pembinaan dan penghayatan
terhadap nilai-nilai Islam. 81
Fenomena pengungsian warga JAI ini telah menarik perhatian pihak-pihak
luar seperti kalangan wartawan, mahasiswa, peneliti, dan LSM baik dari dalam
81 Ibid…Wawancara dengan Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat, Ir.Jauzi.2010. 16 Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
maupun luar negeri. Sebagian dari mereka mendatangi Transito untuk berdialog.
Ada pula yang memberikan sumbangan kebutuhan sehari-hari bagi warga JAI.
Yang cukup aktif untuk berkunjung dan membantu advokasi JAI adalah Lembaga
Studi Kemanusiaan (Lensa).
2. Liyan dan Representasi JAI yang Dihadirkan
Selain pihak yang kontra terhadap Ahmadiyah, ada beberapa elemen yang
turut berada di belakang JAI baik secara langsung maupun tidak. Sejak JAI
menempati Asrama Transito pada 2006 silam, banyak media yang datang untuk
meminta klarifikasi atas isu yang berkembang. Ada pula beberapa Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Lensa (Lembaga Studi Kemanusiaan),
LARD (Lembaga Advokasi Rakyat Demokrasi), Jarik (Jaringan Islam Kampus),
dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, yang melakukan advokasi dan
pemberitaan. Berdasarkan keterangan dari para pengungsi JAI, belum ada yang
mengatasnamakan diri dari partai politik mendatangi mereka. Pada tahun pertama,
dari pemerintah melalui Departemen Sosial cukup rutin untuk datang dan
memberikan bantuan.
Salah satu lembaga yang cukup aktif memantau perkembangan JAI di
Transito adalah Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa). Lensa, yang saat itu
diwakili oleh Yusuf82, menjelaskan keterlibatan mereka dalam mendampingi para
pengungsi terutama di ranah sosial dan hukum. Menurut Yusuf, tidak ada LSM
yang mau mendampingi JAI yang ada di pengungsian. Para pengacara pun
memasang tarif tinggi untuk mau melakukan advokasi.
82 Wawancara dengan Yusuf, salah satu pegiat dan aktivis Pegiat Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa) pada14 Desember 2010 di kantor Lensa di Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Yang Lensa ketahui saat itu bahwa pemerintah berjanji akan membuat
posko di kampung Ketapang, tempat JAI telah terusir akibat penyerangan pada
2006 dan 2010. Akan tetapi, lembaga ini tidak mengetahui pasti untuk apa posko
tersebut karena ketika JAI mencoba balik ke Ketapang, mereka tetap saja diserang
massa. Isu mereka akan dipindahkan pun bermacam-macam, kadang diisukan ke
Pulau Sekotong, sebuah pulau terpencil di Lombok, bahkan hingga Australia. Hal
itu disampaikan saat audiensi pada 2006, namun hasilnya nihil. Yusuf
memaparkan :
“Kami menganggap pemerintah terkesan hanya menyikapi, tapi tidak berpikir menyelesaikan masalah. Katanya mereka mau dipindah ke Sekotong, pulau terpencil. Asetnya mau dibeli, tapi harga yang ditawarkan belum sesuai. Setelah disana, mereka berharap bisa dibuatkan sekolah, tempat yang layak, sehingga tidak dianggap makhluk asing di NTB. Orang Ahmadiyah dianggap penyakit, harus dibuang, ga peduli mau dilempar, mau seperti apa. Itu yang kami tangkap. Katanya sempat disuruh ngungsi ke Australia.”
Penanganan 5 tahun pertama di pengungsian Transito tidak berjalan
dengan baik. Setidaknya itulah yang dilihat oleh aktivis Lensa. Asrama Transito
yang berdekatan lokasinya dengan kantor gubernur tak cukup membuat para
pejabat, termasuk gubernur untuk mendatangi pengungsi Ahmadiyah. Hanya saja,
gubernur pernah membentuk tim penyelaras yang bertugas untuk mendatangi dan
mencari jalan keluar atas permasalahan tersebut. Namun, hasilnya masih saja
nihil. Sebaliknya, tim ini datang dengan mendakwahi para pengungsi yang di
mata mereka sudah terlanjur sesat. “Mereka kan aparat, harusnya memperlakukan
orang Ahmadiyah setara dengan warga negara lainnya, bukan dilihat dari yang
dianut”, sesal Yusuf.
Yusuf juga melihat ada keganjilan dalam penyerangan di perumahan BTN
Ketapang. Warga JAI memiliki hubungan yang cukup baik dengan warga lainnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
di desa Ketapang. Bahkan, pada waktu pembangunan masjid desa, para Ahmadi
ikut bergotong royong untuk membangunnya. Saat pengajian bersama, warga JAI
kerap membaur dengan warga Desa Ketapang. Akan hal ini, Lensa menduga
massa yang merusak rumah-rumah warga Ahmadiyah tahun 2006 dan 2010 silam
adalah kelompok yang dikoordinir dari luar desa tersebut. Polisi lagi-lagi
melakukan pembiaran akan hal tersebut, bahkan massa semakin berani ketika ada
aparat kepolisian.
Ketimpangan lain yang dilihat Lensa adalah tidak seimbangnya
pemberitaan di media massa yang cenderung menyesatkan Ahmadiyah. Salah satu
contohnya adalah berita yang muncul di media dengan tajuk “Warga Ahmadiyah
Bersyahadat Ulang”. Asumsinya syahadat Jemaat Ahmadiyah selama ini tidak
sama dengan umat Islam lainnya. Sumber yang diambil sebagian besar hanyalah
dari pemerintah daerah saja, tanpa melakukan cek ulang kepada sumber-sumber
lain. Pemberitaan semacam ini yang turut menambah masalah. Sebuah bentuk
kekerasan yang dilakukan oleh media massa di sana.
Produk hukum seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri juga
dipandang sering menjadi acuan pemerintah daerah dalam memperlakukan
Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah dilarang menyebarkan ajarannya, tapi tidak
seharusnya mereka juga dilarang untuk tinggal. Artinya SKB tidak mencabut hak
warga Ahmadiyah untuk tinggal di Provinsi NTB. Akan tetapi, hingga saat ini
status kewarganegaraan mereka bermasalah, karena tidak memiliki KTP. Apabila
mereka tidak memiliki KTP maka susah bagi warga JAI untuk mengakses fasilitas
lainnya semisal akte kelahiran atau Jamkesmas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Jemaat Ahmadiyah juga kesulitan mendapatkan kepastian hukum. Selain
kasus kekerasan yang terjadi sejak 1998 yang seolah diendapkan, penyerangan
juga terjadi di Kota Bima, Provinsi NTB. Di sana, rumah perwakilan JAI yang
sudah selesai direnovasi diserang lagi. Saat warga JAI melapor ke Polda setempat,
keterangan Jemaat Ahmadiyah tidak diterima. Hal ini memperlihatkan bahwa
sangat sulit bagi warga Ahmadiyah untuk membuat laporan atas kasus
penyerangan tersebut. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut atas kasus tersebut.
Atas kesulitan tersebut, Lensa tetap mendampingi warga JAI dan
berencana mendorong pemerintah daerah agar memberikan status
kewarganegaraan yang jelas bagi warga Ahmadiyah, terlepas dari keyakinan dan
ajarannya. Selain itu, mereka juga mendorong upaya hukum atas kekerasan yang
ada, agar pelaku ditangkap, dan tidak terjadi pembiaran. Ketika wartawan
misalnya menanyakan ke Polda tentang kelanjutan kasus ini, pihak Polda hanya
menjawab sedang diselidiki. “Misalnya wartawan tanya pada polda, mereka hanya
menjawab sedang diselidiki. Padahal, mungkin pelaku dan polisi saling kenal”,
ungkap Yusuf lagi. Dalam melaksanakan misinya, Lensa juga berjejaring dengan
lembaga lain, di antaranya The Wahid Institute di Jakarta dan Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta.
Setelah bergaul dengan pengungsi, para aktivis Lensa melihat keteguhan
JAI dalam menghadapi permasalahannya. Kejenuhan dan stress pasti muncul,
akan tetapi sikap mereka menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Mereka malah
semakin kuat dengan ajarannya di balik cobaan yang ada. Kenyataan ini
merupakan sesuatu yang dikagumi oleh aktivis Lensa karena tidak semua
kelompok korban kekerasan memperlihatkan hal yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Meskipun sudah tinggal di Asrama Transito selama 7 tahun terakhir,
Jemaat Ahmadiyah di Lombok ternyata tak cukup akrab dengan masyarakat
sekitarnya. Bahkan, nyaris tak bergaul. Padahal Asrama Transito letaknya di
tengah pemukiman penduduk Kampung Majeluk, Kota Mataram. Hal ini
diungkapkan oleh beberapa penduduk sekitar termasuk penilaian pribadi mereka
tentang pengungsi Jemaat Ahmadiyah.
Salah satunya adalah Safni.83 Ia menuturkan bahwa selama 5 tahun
pengungsi JAI tinggal di Transito, Safni tidak pernah masuk ke asrama tersebut.
Dia juga melihat JAI di Transito—sebagai warga yang menumpang di sana—
tidak melakukan sosialisasi dengan warga sekitar. Meskipun begitu, kesan yang
dilihat terhadap para pengungsi umumnya baik. Safni menyadari kemungkinan
bahwa warga JAI yang mengungsi tersebut minder sehingga tidak pernah
mendatangi warga sekitarnya. Apalagi pernah ada kejadian yang membuat mereka
tersudut. Begini papar Safni :
“Tidak pernah ada acara bersama. Walaupun kegiatan dia, kita tidak pernah dilibatkan. Berapa orang yang meninggal di sana, besok pagi sudah tidak ada, kita tidak tahu kapan acara pemakaman atau penguburannya. Terus waktu itu ada yang mau melaksanakan acara akad nikah di Mushola Asrama Transito, kebetulan anak penjaga malam di Asrama Transito. Namun, Kepala Lingkungan tidak mengizinkan karena tidak mau terjadi sesuatu jika mengadakan acara di sana.”
Istri Safni juga berkomentar perihal keberadaan warga JAI di Transito.
“Saya tidak pernah bergaul dengan mereka karena lain jalurnya, bukan karena
kesibukan. Mereka juga tidak pernah ke masjid atau musholla di sekitar sini.
Mereka hanya di gedung itu saja. Mereka juga tidak pernah menghubungi saya
tentang kebutuhannya. Makanya saya tidak tahu persis”, ujarnya. Terkait
83 Berdasarkan wawancara dengan Pak Safni, Ketua RT sekaligus warga asli di Majeluk, pada tanggal 22 Juli 2011 di kediamannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
kebutuhan JAI, dia menyebutkan jika pengungsi tidak mau menerima bantuan.
Para pengungsi ini kelihatannya lebih senang untuk bekerja dan memenuhi
kebutuhannya sendiri. Agaknya hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan JAI dan
pengurusnya, jika mereka enggan menerima bantuan agar tidak ketergantungan.
Meskipun tak pernah ada kontak langsung yang berarti di antara pengungsi
JAI dengan warga sekitar, Safni merasa memiliki kewajiban untuk melindungi.
Namun, hal yang terkait dengan pembuatan KTP, dia tidak tahu menahu karena
merasa bukan wewenangnya. Dia hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan
dan berharap tidak terjadi apa-apa di lingkungan tersebut. Menurutnya, pernah ada
yang datang ke tempatnya dengan maksud meminta izin untuk melakukan
kekerasan. Hanya saja, Safni memberi pengertian untuk tidak melakukan hal
tersebut, karena walaupun berbeda aliran, mereka juga manusia. Selain karena
alasan ini, ada indikasi warga sekitar takut jika penyerangan akan berdampak ke
lingkungan mereka.
Kesan lain muncul dari seorang warga yang sering nongkrong di depan
Transito, di sebuah warung.84 Menurutnya, pengungsi Ahmadiyah di Transito
sepertinya tidak ingin bergaul dengan warga di sini. Kesannya seperti menutup
diri, sehingga warga sekitar cenderung tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh
JAI di dalam pengungsian. Atas hal tersebut, warga lainnya berpendapat bisa jadi
pengungsi JAI merasa malu atau sungkan untuk memperkenalkan diri karena
identitas yang melekat sebagai Ahmadi. Memang, warga sekitar tersebut
menduga-duga Ahmadiyah berbeda dari Islam pada umumnya. Salah satunya,
yaitu perbedaan syahadat.
84 Berdasarkan wawancara dengan seorang warga Majeluk, pada tanggal 22 Juli 2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Ada pula warga lain yang merasa kasihan dengan apa yang dialami oleh
pengungsi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok. Menurutnya, mereka seperti
tidak berdaya karena mendapat kekerasan terus-menerus. Walaupun iba dengan
hal tersebut, tapi warga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela. “Toh, mereka
sudah berbeda keyakinan dengan kita, bukan Islam seperti kita. Atau mungkin
lebih tepatnya bukan Islam mayoritas seperti di Indonesia”, tukas warga tersebut.
Penilaian lain datang dari salah satu orang yang mengaku pernah bergaul
dengan Jemaat Ahmadiyah di Kalimantan.85 Menurutnya, JAI memiliki syahadat
yang berbeda. Dulu banyak ajaran yang tidak seperti ini, mereka mengajak orang
untuk masuk Ahmadiyah. Mungkin dengan kekerasan dan kecaman yang
berlangsung terus ini, Ahmadiyah semakin mendekati dan meng-identik-kan
dirinya sebagai Islam.
Pola saling pandang antara warga sekitar dengan pengungsi JAI di Asrama
Transito juga terjadi. Ketika masyarakat sekitar memiliki pendapat sendiri atas
pengungsi Ahmadiyah, JAI juga memiliki pandangan tentang warga di sekitar
Transito. Hal itu bisa dilihat dari pendapat pengungsi JAI bahwa orang-orang di
sekitar Transito memiliki toleransi yang bagus, baik-baik, dan rajin beribadah.
Tapi warga JAI tetap menyayangkan, seharusnya jika ada sangkaan dari warga,
akan lebih baik jika ditanyakan langsung ke sumbernya.
Untuk kasus di Lombok, salah satu elemen masyarakat yang memiliki
keengganan untuk bersentuhan langsung dengan Ahmadiyah adalah sejumlah
tokoh MUI. Hal ini berdasarkan keterangan JAI di pengungsian jika tokoh MUI
hanya menyampaikan ceramah di masjid bahwa Ahmadiyah itu “sesat”, tapi tidak
85 Kutipan kata-kata dari seorang teman di jejaring sosial facebook pada 8 Januari 2012 yang mengaku pernah bergaul dengan Ahmadiyah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
pernah mendatangi Transito untuk memberitahu apa yang salah dengan ajaran
tersebut. Pengalaman tidak bersentuhan langsung juga diakui oleh salah satu
tokoh MUI NTB di Sumbawa.86 Perihal pengakuan JAI bahwa tidak ada
keinginan dialog dari ulama Islam, tokoh MUI tersebut menyanggah pendapat
tersebut. Menurutnya, malah JAI yang tidak mendatangkan pemimpinnya untuk
berdialog dengan MUI. “Kita dari pihak Islam mendatangkan ulama untuk
menemukan kebenaran, tapi kalau yang didatangkan bukan orang orang
terdepannya, itu pelecehan. Ahmadiyah ini cerita lama. Apa yang mereka katakan
saat ini, adalah takiyah, berbohong untuk keamanan, semacam siasat”, jelasnya.
Meskipun belum pernah bertemu langsung dengan JAI, tapi dia
mendengar dari teman-temannya yang menyebutkan Ahmadiyah provokatif dalam
menyebarkan ajarannya. Menurutnya, ketika JAI menyebutkan Tadzkirah sebagai
kitab suci, maka hal itu menunjukkan kesesatan. Selain itu, dia masih
menyangsikan pengakuan JAI bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid.
Sepanjang yang didengar dan diketahui MUI, Jemaat Ahmadiyah berusaha
mengurangi martabat Mirza dari Nabi menjadi mujaddid. Bagi ulama MUI
tersebut, hal itu menunjukkan kefasikan sebuah ajaran.
Ketidakkonsistenan inilah yang dibaca oleh tokoh MUI sekaligus tokoh
Muhammadiyah tersebut sebagai bukti Jemaat Ahmadiyah menyembunyikan
sesuatu. Ketika JAI ingin melakukan klarifikasi dan mendapat tanggapan dari
kelompok Islam, Ahmadiyah tidak serius untuk menghadapinya. Hal itu terjadi
berulang ulang hingga sebagian besar umat Islam tidak menerima Ahmadiyah.
Menurutnya, solusi bijak adalah mereka bebas meyakini Mirza sebagai apapun,
86 Wawancara dengan salah satu tokoh MUI NTB, Ust Maruf. Pada 02 Januari 2012 di Sumbawa Barat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
bahkan Tuhan sekalipun, asal tidak mengatasnamakan Islam. Kekerasan yang
terjadi sebenarnya adalah upaya masyarakat mengambil alih karena pemerintah
tidak kunjung bertindak. Apabila ajaran ini hanya didiamkan, maka Ahmadiyah
akan merajalela.
Akan berbagai hal kontroversial tentang JAI, ada tulisan menarik dari
Saiful Mujani87, yang mengatakan bahwa para ulama melihat Ahmadiyah sebagai
ancaman terhadap umat Islam. Akan tetapi, para pejabat negara terkait sebenarnya
tidak merasa seperti itu. Banyak di antara mereka yang memandang paham seperti
yang dipegang oleh Ahmadiyah merupakan hak jemaatnya dan negara tidak boleh
memaksa mereka ber-Islam selain caranya sendiri. Mereka juga percaya bahwa
negara wajib melindungi setiap keyakinan apa pun, termasuk keyakinan yang
dikaitkan dengan Islam, seperti Ahmadiyah. Sayangnya, negara takut terhadap
umat jika harus mengatakan demikian secara terbuka kepada publik. Mereka
merasa takut dinilai merusak Islam dan akhirnya dimusuhi umat Islam.
Dalam sebuah media, ada beberapa tokoh yang juga menyatakan keberatan
dengan kekerasan yang menimpa Ahmadiyah. Djoko Suyanto88 misalnya
menyebutkan sikap pemerintah sudah jelas bahwa sebuah kepercayaan tidak bisa
dibekukan atau dilarang. Menurutnya, jika ada yang tidak suka dengan
87Dua artikel DR. Saiful Mujani (Dosen UIN Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Ahmadiyah: Dalam Bayang-Bayang Kuasa Umat” yang diterbitkan di Koran TEMPO, 9/2/2011, diambil https://www.facebook.com/akhmad.sahal.5/posts/10152838840370045, diunduh tanggal 14 Mei 2013. 88 Djoko Suyanto yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 6 Mei 2011. Lihat Koran “Darsus” (edaran khusus untuk kalangan sendiri) vol VI no 3 Edisi Maret 2011 dalam Kliping Nasional Tempo Interaktif, “Pemerintah Tidak Bisa Melarang Kepercayaan”. Yang ditulis oleh Eko Siswono. Mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah menurutnya harus mengacu pada dua landasan yakni UUD 1945 Pasal 28 dan 29 serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri soal Ahmadiyah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Ahmadiyah sah-sah saja, tapi ketidaksenangan tersebut tidak boleh lantas
digunakan untuk menghakimi orang lain.
Tak ketinggalan Mahfud MD menyatakan : “Saya lebih suka kembali ke
dalilnya Gus Dur bahwa setiap orang tidak usah membela Tuhan, karena Tuhan
itu tidak perlu dibela. Tuhan itu bisa membela dirinya sendiri kok. Kalau
Ahmadiyah memang salah, biar Tuhan yang menghakimi”. Dia menyayangkan
tindakan intimidasi, penganiayaan, serta pengrusakan yang dilakukan kepada JAI
akan membunuh masa depan setiap warga yang akan menjalankan keyakinannya.
Mengenai desakan pembubaran JAI, hal itu bukanlah solusi terbaik, karena tidak
akan menghilangkan keyakinan mereka. 89
Dalam koran yang sama, juga ditampilkan pendapat Adnan Buyung
Nasution yang menanggapi SKB Tiga Menteri harusnya bisa melindungi warga
Ahmadiyah. “Pembatasan terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah semata-mata
mengenai penyebaran yang menyimpang dari ajaran Islam”. Buyung menilai
kurang pahamnya pemerintah atas esensi SKB Tiga Menteri berbuntut pada
menjamurnya penerbitan surat keputusan atau peraturan daerah yang melarang
aktivitas Ahmadiyah. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang
Dasar 1945. Selain itu, Prof. Dr Buya Hamka juga sempat menuliskan, “Adapun
kaum Ahmadi dan usahanya melebarkan Islam di Benua Eropa dan Amerika,
dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga.” 90
89 Ibid. Lihat Koran “Darsus” (edaran khusus untuk kalangan sendiri) vol VI no 3 Edisi Maret 2011 dalam Kliping Nasional Antara, Mahfud MD [MK] : “(Kalau) Ahmadiyah salah, biar Tuhan sendiri menghukumnya”. Dalam Koran yang sama, juga ditampilkan pendapat Adnan Buyung Nasution yang menanggapi SKB Tiga Menteri harusnya bisa melindungi warga Ahmadiyah. 90 Menurut Buya Hamka, kaum Ahmadi menafsirkan Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa yang hidup di Eropa. Padahal zaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh menafsirkan Al-Quran. Penafsiran Al-Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang mengingini kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali buat memperdalam sedikitnya tentang Islam…(Pelajaran Agama Islam, Cet I :199, Kami orang Islam,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Saiful Mujani juga mengingatkan bahwa banyak ulama besar pada masa
keemasan Islam yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu, yang
menganggap akal lebih penting daripada wahyu. Ada ulama besar tasawuf, seperti
Yazid Albustami atau Al-Hallaj, yang memiliki ungkapan ganjil bagi umat Islam
awam ketika mengatakan, misalnya, "tidak ada Tuhan selain Aku"; "Aku adalah
Tuhan", dan seterusnya. Itu semua wilayah akidah. Berbeda paham dalam soal
akidah adalah hal biasa. “Kalau Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya seorang
nabi, ya, tidak ada apa-apanya kalau kita melihat perbedaan paham para ulama
pada zaman keemasan Islam tersebut. Jangankan perbedaan paham dalam
menafsirkan sumber doktrin Islam, yakni Al-Quran, yang menganggap Al-Quran
kurang penting pun ada. Dan semuanya berdasarkan atas otoritas keulaman
mereka”, ungkap Saiful dalam tulisannya.
Bagi Saiful Mujani, para ulama yang berdiri di belakang SKB cukup tahu
sejarah Islam, tapi mereka memilih secara selektif. Seleksi itu bukan karena
mereka sudah bertemu dengan Allah sehingga membenarkan substansi SKB
tersebut, tapi lebih karena perasaan dan sejarah sosial mereka sendiri dalam
lingkungan ulama Indonesia yang jumud, yang mata hatinya tertutup terhadap
kenyataan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam.
Sejauh ini para ulama yang bernafsu mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam
cukup berhasil memonopoli arti dan makna Islam, sehingga paham yang lain
harus dimusnahkan. Lebih dari itu, mereka kemudian berhasil juga menciptakan
ketakutan di seantero negeri, termasuk umat muslim yang paham keislamannya
hal.106, cetak ulang, 2007 Dalam Dokumen tersebut disertai surat pengantar ke Gubernur Provinsi NTB. Surat dan penjelasan tersebut sesuai dengan permintaan Gubernur melalui Tuan Guru Anwar MZ (Tuan Guru yang toleran terhadap Ahmadiyah) agar JAI membuat “Penjelasan mengenai Eksistensi Hukum dan Teologi JAI wilayah NTB” pada 20 Oktober 2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
dari tradisi abangan. Dia juga menekankan perbedaan akidah itu ada dan sangat
manusiawi. Perbedaan tersebut akan melahirkan bencana ketika negara ikut
campur menyensor akidah seseorang atau sekelompok orang.
Meskipun pendapat Saiful Mujani ini terlihat ekstrem, setidaknya untuk
kondisi saat ini di Indonesia, agaknya pendapat itu ada benarnya ketika kita
melihat kembali Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
melindungi kebebasan paham beragama, dan mempraktekkannya sesuai dengan
keyakinannya. Konstitusi kemudian menjadi dasar untuk menilai apakah paham
dan perilaku umat beragama, termasuk dalam hubungan antar-paham agama,
menyimpang atau tidak menyimpang. Jika ada yang menyebarkan paham dan
apalagi melakukan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi tersebut, maka
harus diluruskan, dibina, atau setidaknya dibui. Bukan dengan cara-cara koersi
yaitu membunuh, termasuk kepada orang Ahmadiyah.
Guntur Romli, seorang aktivis muda NU91, yang meneliti tentang
Ahmadiyah dari sisi HAM juga punya pendapat tentang kekerasan terhadap JAI.
Dia sering “berkicau” lewat akun twitter-nya bahwa ajaran Ahmadiyah versi
Ahmadiyah tidak ada yang salah, selama Ahmadiyah berikrar syahadat, shalat,
puasa, zakat dan hajinya sama. Itu berarti dia muslim. Apabila ada perbedaan,
dalam kelompok yang lain juga banyak. Jadi, ajaran Ahmadiyah yang sesat adalah
Ahmadiyah versi MUI yang menyatakan Nabi-nya berbeda, kitab suci, dan
syahadat yang juga berbeda. Menurutnya, mungkin saja ulama ini mengetahui,
tapi karena sudah terlanjur benci maka Ahmadiyah tetap dianggap “sesat” dan
menjadi ancaman.
91 Lihat twitahmadiyah.wordpress.com/2013/05…pada 30 Mei 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Pendapat terbuka lainnya datang dari salah satu ulama di Sumbawa Barat
yang juga cukup mengetahui tentang ajaran Ahmadiyah, hanya saja belum pernah
bersentuhan langsung dengan JAI di manapun.92 Dia menuturkan pengetahuannya
tentang Ahmadiyah. Semua kelompok termasuk Ahmadiyah masuk dalam
gerakan sufi dan Mirza Ghulam Ahmad dalam sejumlah literatur merupakan
seorang ulama yang cerdas. Saat kemunculannya, Imam Mahdi tidak langsung
mengaku sebagai Nabi. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi yang pertama, titisan,
atau Imam Mahdi secara langsung. Kemudian berubah lagi ajarannya itu, dan dia
mengikrarkan diri sebagai Isa al-Masih. Lambat laun, pengikutnya semakin
banyak, dan Mirza merasa mendapatkan wahyu, dititisi oleh Nabi Muhammad
SAW.
Ulama tersebut mengaku cukup perlu untuk mengenal Ahmadiyah secara
langsung dan mendetail. Hal ini diperlukan agar kita bisa menyikapi dan
menghindari tindak kekerasan. Justru perbincangan ini akan menarik apabila
diangkat ke publik agar masyarakat umum bisa tahu seperti apa ajaran
Ahmadiyah. Hanya saja, tidak boleh ada tindak kekerasan yang mewarnai diskusi
tersebut. Semua elemen yang ada harus menggunakan pikiran jernihnya dalam
melihat permasalahan ini dan tidak terjebak dalam tindak kekerasan. Menurutnya,
perbedaan dalam hal yang cabang itu tidak masalah dan sesuatu yang wajar. Ahlus
Sunnah Wal Jamaah ada dalam tiap organisasi dan kelompok. Setiap kelompok
semisal NU, NW, Muhammadiyah, Ahmadiyah pasti ada kelemahannya juga.
92 Wawancara dengan salah tokoh Islam di Sumbawa Barat, KH. Syamsul Ismain pada 30 Desember 2011 di Pondok Pesantren binaannya di Sumbawa Barat. Dia memandang Ahmadiyah dari kacamata literatur dan teks Al-Quran, tapi memang belum mengenal lebih jauh tentang Ahmadiyah, baru berasal dari literatur. Tokoh ini juga sering dikirimkan berbagai macam literatur dari Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok, yang sedang saya teliti. Dia termasuk yang kaget juga mendengar pengakuan peneliti bahwa mubalig dan JAI di Lombok terbuka ngobrol dan berdiskusi dengan siapa saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Orang-orang yang ada dalam kelompok tersebut tidak sepenuhnya baik, pasti ada
juga yang melenceng. Jadi, bukan dilihat dari kelompok mana yang diberikan
label “benar”, tapi sejauh mana mereka menjalankan ajaran Islam sesuai dengan
ajaran Nabi Muhammad SAW.
3. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bicara dengan Pena
Sebagai subjek yang hidup dalam masyarakat, apalagi tergabung dalam
sebuah perkumpulan atau jemaat, tentunya JAI memiliki visi/misi yang ingin
disuarakan. Apalagi Jemaat Ahmadiyah di Lombok—yang menjadi sasaran
kekerasan dalam satu dekade—berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
sejatinya memiliki cerita dibalik kejadian tersebut. Sebagai korban kekerasan, JAI
menjadi subjek yang “tak berdaya”. Namun, ketidakberdayaan telah melahirkan
keberdayaan, sesuatu yang menjadi hasil dari ideologi dan strategi JAI. Bahkan,
kebungkaman dan kepatuhan pun adalah perwujudan atas ideologi yang
digunakan.
Bagaimana para pengungsi memaknai dan menyikapi pengalaman mereka
pada level ideologis dan level praktis? Dalam level ideologis, para warga JAI
ternyata semakin memperjelas identitas mereka sebagai orang Islam dengan
memperbanyak literatur dan tulisan yang menyatakan bahwa mereka merupakan
orang Islam. Mereka juga mengatakan jihad dengan pedang bukanlah masanya
sekarang. Istilah yang digunakan saat ini adalah jihad dengan pena, dengan lisan
dan tulisan. Menurut mereka, Ahmadiyah tidak senang berdebat, namun lebih
mengarah pada diskusi yang lebih hikmah dan bijaksana. Ahmadiyah
memperjelasnya dengan mengutip kata-kata dalam Al-Quran bahwa untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
memperbaiki ajaran yang “sesat”, bukan dengan kekerasan, makian, celaan, tapi
dengan nasehat yang hikmah.
Pada level praktis mereka melakukan tindakan konkrit dalam
menyebarkan dakwahnya. Jemaat Ahmadiyah menggunakan berbagai elemen
ideologi untuk menancapkan hegemoninya. Usaha tersebut dilakukan jemaat ini
untuk melebarkan sayap ajarannya. Jemaat Ahmadiyah memiliki TV
Internasional, “Muslim Television Ahmadiyya” (MTA) di London, yang
mengudara selama 24 jam tanpa iklan. Semuanya memberitakan tentang agama
Islam dan perilaku manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Stasiun TV
tersebut tidak menayangkan acara hiburan yang menurut mereka hanya
menghabiskan waktu. Jemaat Ahmadiyah juga memiliki banyak koleksi Video
tentang ajaran dan perkembangannya di berbagai negara khususnya di Eropa.
Tak terkecuali banyak pula media yang mereka hasilkan untuk menulis
tentang Islam dan Ahmadiyah, termasuk wadah untuk menangkis pihak luar yang
menuliskan segala hal yang tak sesuai dengan Ahmadiyah. Khusus untuk Jemaat
Ahmadiyah Indonesia juga memiliki sekolah Mubalig Nasional di Parung, Bogor.
Bahasa pengantar sekolah ini adalah bahasa Urdu, dan juga bahasa lainnya seperti
bahasa Arab, Jerman, dan Perancis. Hal ini menjadi semacam ideologi
Ahmadiyah, melalui pengikutnya di seluruh belahan dunia termasuk di Indonesia
untuk menyerukan Islam lewat pena, dan perang dalam suara.
Selain itu, praktik dalam pola bertahan yang dilakukan oleh Jemaat
Ahmadiyah Indonesia khususnya di Lombok yaitu dengan tak melawan secara
koersif serta patuh kepada Ulil Amri. Mereka juga mengaku semakin teguh
dengan keyakinannya karena terbukti Ahmadiyah selama 125 tahun eksis di muka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
bumi. Mereka ditentang dan dijarah habis-habisan, tapi kebenaran bagi JAI yang
menuntunnya untuk tetap saja bertahan dengan keyakinannya. Warga JAI merasa
semakin kuat walaupun harus tinggal di pengungsian Transito. Fitnah dan kata-
kata yang menyudutkan mereka sungguh menjadi amunisi bagi JAI untuk tetap
bertahan. Bagi JAI, dunia merupakan surga bagi orang kafir, derita bagi orang
mukmin. Semua ini menjadi bagian dari perjuangan. Jemaat Ahmadiyah juga
tidak mau dibantu orang lain, karena mereka tidak ingin bergantung dan akan
mengarah pada ketidakberdayaan.
Keadaan yang tak kunjung pasti dan belum adanya solusi yang jitu bagi
JAI di Lombok telah membuat Pemerintah Provinsi bertindak “aman”. Pada tahun
2011, Gubernur melalui Kesbangpoldagri melakukan program pembinaan
(Tausiah) selama 6 bulan.93 Pembinaan ini dilakukan karena desakan dari
beberapa Ormas Islam yang dipimpin oleh para tokoh agama dengan
mengatasnamakan umat kepada Gubernur Provinsi NTB. Mereka mendesak agar
pemerintah mengeluarkan Pergub atau peraturan sejenisnya mengenai pelarangan
aktivitas bahkan pembubaran bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di NTB. Desakan
tersebut disikapi dengan cara yang “bijaksana“ (baca: istilah yang dipakai oleh
JAI untuk menggambarkan simpatinya atas sikap toleran) oleh Gubernur NTB.
Tidak seperti yang dilakukan oleh wilayah lainnya seperti Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Banten, Gubernur Nusa Tenggara Barat tidak mengeluarkan
Pergub Pelarangan/Pembubaran Aktivitas Islam Ahmadiyah Wilayah NTB. Selain
karena pengeluaran Pergub itu akan melanggar konstitusi NKRI, Gubernur lebih
melihat JAI sebagai saudara-saudara yang perlu dibina. Kepala Kejati NTB juga 93 Berdasarkan Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
menegaskan : “Secara konstitusi, keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia
adalah legal, sudah berbadan hukum SK Menteri Kehakiman sejak Tahun 1953,
berarti Pemerintah Daerah tidak berhak melarang atau membubarkan Ahmadiyah,
karena hal itu wewenang Pemerintah Pusat.” Atas dasar itulah dilakukan
pembinaan 6 bulan untuk warga JAI yang ada di Transito.94
JAI memandang pembinaan tersebut sebagai pelaksanaan dakwah damai
yang elegan dan diharapkan sesuai dengan visi jihad mereka. Menurut mereka,
jumlah narasumber cukup mewakili dari tokoh agama, bidang akademisi, dan
masyarakat. Materi tausiyah sekitar Rukun Islam dan Rukun Iman, masalah
lingkungan, dan perekonomian. Namun, menurut JAI masih sedikit yang
menyinggung masalah semangat kebangsaan, konstitusi NKRI, dan penegakan
hukum, kecuali dari Gerakan Pemuda (GP) Anshar Provinsi NTB. Pada
kenyataannya, JAI melihat apa yang diajarkan tersebut sama dengan apa yang
mereka lakukan. Perbedaannya adalah pada kepercayaan sudah atau belum
turunnya Imam Mahdi. Sebenarnya Syahidin95 menyayangkan sistem pembinaan
lebih mengarah pada ceramah dan tidak ada dialog. Jemaat Ahmadiyah tidak
diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya di forum tersebut. Jika
terpaksa mereka harus mengklarifikasi, para Jemaat Ahmadiyah ini mendatangi
rumah para penceramahnya secara pribadi.
Setelah berjalan kurang lebih 2 bulan, Jemaat Ahmadiyah di Lombok
menilai positif terhadap kegiatan tersebut. Menurut pandangan JAI, ada 3
94 Sebelum melakukan pembinaan, pada tanggal 19 April 2011 dan 19 Mei 2011, Bakorpakem NTB mengundang beberapa pengurus JAI wilayah NTB seperti Mln. Nasiruddin Ahmadi, Ir.Jauzi Jafar, Drs.Udin,M.Pd, Mln.Basyiruddin Azis, Syahidin, Parmono, Musipuddin di Aula Kejati untuk membahas teknis pelaksanaannya. 95 Op, cit…Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 22 Juli 2011 di Asrama Transito, Mataram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kelompok yang memiliki pola berbeda dalam pembinaan tersebut. Pertama,
kelompok yang diwakili beberapa narasumber moderat yang melihat keyakinan
seseorang tidak bisa diintervensi dan diintimidasi. Kelompok pertama ini
memiliki kesimpulan apabila orang tersebut sudah membaca syahadat, Nabinya
Muhammad, Agamanya Islam, kitab sucinya Al-Quran, dan taat pemerintah maka
mereka muslim, serta haram hukumnya apabila menganggu apalagi
membunuhnya. Kedua, kelompok kebangsaan yang diwakili oleh GP Anshar.
Menurut kelompok ini, untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah harus ada
penegakan hukum yang jelas berdasarkan konstitusi, jaminan keamanan, dan
pelayanan publik yang memadai, serta bisa membuka “keran” silaturrahmi atau
dialog. Ketiga, kelompok yang menginginkan hasil akhir pembinaan agar JAI
“ruju’ilal-haq an bertaubat” sesuai dengan versinya. Jika ini tidak dilakukan oleh
JAI, kemungkinan kelompok ini akan melakukan desakan kembali kepada
pemerintah.96
Menurut warga JAI, pembinaan tersebut tidak menyentuh substansi yang
sedang dibutuhkan oleh penghuni Transito. Substansi yang dimaksud oleh mereka
adalah kebutuhan ekonomi, hidup layak, dan pelayanan dengan fasilitas yang
sama sebagaimana dinikmati oleh warga masyarakat lainnya.
Selain melakukan pembinaan, pemerintah daerah juga memberikan janji-
janji kepada pengungsi Ahmadiyah di Transito. Kegiatan pembinaan ini
sebenarnya merupakan salah satu langkah sebagai solusi yang dijanjikan oleh
pemerintah. Solusi lainnya antara lain Pemerintah NTB melalui Badan Koordinasi
96 Loc.cit…Berdasarkan Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) dan pihak-pihak yang berwenang
akan mensosialisasikan SKB Tiga Menteri untuk masyarakat pada umumnya dan
warga JAI pada khususnya. Selain itu, Pemerintah melalui Kementerian Agama
NTB juga akan memfasilitasi dialog damai terbuka dan moderat antara
Ahmadiyah dengan pihak-pihak yang selama ini belum memahami Ahmadiyah
sampai ke akar rumput (umat).
Solusi terpenting lainnya adalah Bakorpakem berjanji akan membantu
memfasilitasi warga JAI dengan Pemerintah Lombok Barat mengenai pembelian
aset-aset warga di Ketapang, meskipun yang tersisa tinggal tanah dan puing-puing
rumah. Seperti yang diketahui, warga JAI sudah menyerahkan ke pemerintah
bagaimana penyeleseian aset-aset tersebut. Apabila dijual, maka akan ada ganti
rugi yang diberikan oleh pemerintah kepada warga JAI. Sempat ada rumor dari
pihak non-Ahmadiyah yang mengatakan bahwa pengungsi Ahmadiyah tidak mau
menerima ganti rugi tersebut. Hal ini bertentangan dengan keterangan JAI yang
mengatakan belum ada sama sekali keputusan dari pemerintah yang mengarah ke
hal tersebut.
Hingga kini, solusi-solusi tersebut masih menjadi janji janji pemerintah.
Yang baru terlaksana hanyalah tentang poin pembinaan. Padahal solusi lainnya
juga merupakan hal utama untuk masuk dan mengenal Ahmadiyah yang dianggap
sebagai ajaran yang kontroversial. Harapannya, agar solusi tersebut bisa
menghindari terjadinya kekerasan lagi. Pemenuhan kebutuhan JAI sebagai warga
negara juga perlu dilakukan agar hak-hak mereka tidak terbengkalai.
Jemaat Ahmadiyah masih berharap adanya solusi ke depan yang lebih
baik. Apalagi ketika melihat kejayaan tradisi debat dan dialog yang terjadi di masa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
silam. Mulai dari perdebatan sengit melalui buku dari ayah Hamka dengan
Ahmadiyah, perang wacana di media massa, perdebatan akbar, hingga dialog
sempat terjadi di bumi Indonesia. Nasiruddin, Mubalig JAI pun masih
membayangkan hal yang sama ketika dalam konteks nasional, pemerintah
melaksanakan dialog damai dengan menghadirkan kubu yang selama ini kurang
paham tentang Ahmadiyah, pihak Ahmadiyah sendiri, lalu dimoderatori oleh
LSM atau pihak yang netral. Setiap kubu-kubu berlawanan bisa mengemukakan
logika masing-masing dan masyarakat bisa menilai. Jika hal ini bisa dilaksanakan,
maka tidak akan adanya kecaman tak berdasar ke Ahmadiyah karena semua orang
bisa memahami dengan cara pandang masing-masing.
Dengan pelaksanaan hal-hal tersebut, warga JAI di Lombok berharap bisa
merdeka tanpa intervensi dan intimidasi dari siapapun. Masalah keyakinan
merupakan hak privat seseorang dengan Tuhannya. Bagi mereka, keyakinan
tersebut menjadi sah saja ketika tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain,
tidak memperburuk citra Islam di mata agama lain, serta tidak merongrong
kewibawaan pemerintah yang sah. Selain itu, mereka juga sangat berharap agar
segera mendapatkan kepastian hukum dan jaminan keamanan di manapun mereka
akan tinggal. “Sebenarnya kami ingin mengharumkan nama pemerintah, dengan
menghilangkan pengungsi di NTB. Akan tetapi pemerintah berkata lain. Mungkin
selama-lamanya NTB ini dibicarakan di luar Indonesia”, ungkap Syahidin.97
Berbagai solusi yang tertera di atas sebenarnya menunjukkan pola
penanganan JAI di NTB yang bisa menjadi model untuk penyelesaian konflik dan
kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ahmadiyah tersebar di berbagai
97 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin, 15 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
daerah di Indonesia dan memiliki sejarah kontroversial yang beragam. Kasus di
Lombok bisa menjadi cermin kekerasan yang bisa diupayakan solusinya demi
meminimalisir atau bahkan menghilangkan riak-riak kekerasan. Segala daya
upaya juga dilakukan JAI untuk mengartikulasikan suaranya dan menepis wacana
liyan yang merongrong mereka. Mereka sepertinya tak kenal putus asa untuk
mencapai penyelesaian yang lebih baik. Pengungsi JAI tetap berdiri tegak di
tengah kemelut yang mereka hadapi, berdiam di Asrama Transito selama 7 tahun
terakhir ini. Namun, jika semua daya upaya sudah tak bisa lagi, maka dalam
istilah Jemaat Ahmadiyah, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan
Mahkamah Ilahi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
BAB IV
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA DALAM PERTARUNGAN
IDENTITAS DAN HEGEMONI
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Lombok senyatanya merupakan
bagian dari entitas Islam di Indonesia. Ajaran ini tumbuh dan berkembang sebagai
sebuah gerakan perluasan dan pendalaman revolusi Demokrasi dalam arti
menciptakan ruang-ruang politik baru, yaitu sebagai gerakan sipil keagamaan.
Meskipun secara organisatoris JAI menyebut dirinya bukanlah organisasi berbau
politik, keberadaannya telah memberi dampak pada kehidupan sosial politik di
tengah masyarakat. Di kala mereka menjadi sasaran kekerasan, suara-suara JAI
sebagai korban menjadi faktor penentu identitas yang melibatkan unsur keimanan.
Ini merupakan fenomena gerakan sipil keagamaan yang berbeda dari kemunculan
budaya atau subkultur lainnya.
Membaca fenomena JAI dapat dilihat dari sudut pandang Demokrasi
Radikal yang digagas oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe (1985). Cara kerja
dari Demokrasi Radikal, yaitu hegemoni menjadi fakta menentukan dari narasi
kekerasan yang dialami pengungsi JAI di Lombok dalam kurun waktu setidaknya
satu dekade (1998-2010). Selain memberikan pengaruh terhadap kekerasan yang
muncul, hegemoni juga turut menentukan pembentukan identitas JAI.
Hegemoni—yang dikembangkan oleh Gramsci—memberikan ruang bagi
para pekerja untuk menjadi masyarakat politik tanpa dipaksakan. Dalam
pengertian tradisional, cita cita sosialis adalah masyarakat kelas pekerja. Namun,
sejarah menunjukkan bahwa untuk mencapai cita-cita tersebut, yang terjadi justru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
adalah fragmentasi kelas pekerja. Sementara itu kapitalisme terus berkembang
sambil menimbulkan efek proletarisasi masyarakat.
Dalam kajian mengenai Jemaat Ahmadiyah Indonesia, hegemoni yang
dibincangkan ialah terkait umat Islam, khususnya fragmentasi masyarakat muslim
di Indonesia. Seperti diketahui bahwa umat Islam di Indonesia terbagi dalam
berbagai organisasi, paham, dan elemen. Salah satunya adalah Ahmadiyah. Oleh
beberapa kelompok dan elemen Islam lainnya, Ahmadiyah dijadikan sasaran
kekerasan dan dipersoalkan identitasnya.
Konsep yang dikembangkan oleh Gramsci dan diradikalisasi oleh Laclau-
Mouffe ini memiliki beberapa poin yang hendak dipecahkan, yaitu seputar
hegemoni dan perjuangan kelas pekerja (dalam hal ini kelas subaltern) untuk
mencapai sosialisme. Poin-poin tersebut di antaranya melihat bagaimana kesatuan
sosial tersebut terbentuk, siapa pemimpinnya, sifat dari kelompok tersebut, serta
sejauh mana kesatuan sosial tersebut mapan atau labil. JAI merupakan suatu
kesatuan sosial yang terbentuk karena suatu ajaran Ahmadiyah yang lahir di India
dengan seorang pendiri sekaligus pemimpin yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Setelah
itu ajaran Ahmadiyah menyebar ke seluruh belahan dunia, termasuk ke Indonesia.
Salah satu contohnya adalah Ahmadiyah di Lombok.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka berkumpul sebagai Jemaat
Ahmadiyah yang memiliki visi/misi sama. Ada intervensi ideologis yang
menyebabkan mereka bersatu dan pemimpin mengambil peran. Menurut sejarah
dan penuturan mereka, ideologi yang dipegang semata-mata merupakan urusan
rohani keagamaan, dan bukan ekonomi apalagi politik. Mereka bukanlah agen-
agen sosial dalam kelompok yang terjun ke ranah politik praktis. Namun, JAI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
muncul sebagai entitas sosial Islam dengan “wajah lain” yang berbeda dari Islam
mainstream.
Atas hal tersebut, JAI kemudian menjadi kelompok yang kontroversial
dan akhirnya menjadi sasaran kekerasan sehingga mereka harus mengungsi.
Awalnya mereka tersebar di berbagai daerah di Lombok Timur. Namun demikian,
karena adanya kekerasan dari 1998 hingga 2010, mereka akhirnya dipersatukan
dalam suatu wadah yang sama bernama Asrama Transito.
A. Wacana Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Formasi Hegemonik
Seperti telah dijelaskan di atas, membaca Ahmadiyah, khususnya para
pengungsi JAI di Lombok menggunakan konsep Gramsci, yaitu hegemoni.
Hegemoni selalu menjadi basis yang dioperasikan oleh masyarakat sipil melalui
artikulasi kelompok kepentingan. Dengan mengatakan hegemoni sebagai hasil
suatu proses artikulasi, formasi hegemonik dengan sendirinya meliputi
pengorganisasian kekuatan-kekuatan sosial (yang berfungsi sebagai floating
signifiers) sehingga menghasilkan hubungan-hubungan diferensial dalam suatu
totalitas struktural.
Formasi hegemonik menghasilkan ruang politik, yaitu hubungan
oposisional antara totalitas tersebut dengan totalitas yang dieksklusikan, antara
sistem di dalam dan sistem di luar. Totalitas hegemonik merepresentasikan
seluruh kekuatan-kekuatan sosial sehingga menjadi the social. Totalitas
hegemonik tersebut menjadi identitas hegemonik dan par excellence politis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Disebut identitas dalam arti bahwa totalitas merepresentasikan seluruh unsur-
unsur pembentuknya baik secara kolektif maupun tunggal.
Pembicaraan ini menjadi penting ketika melihat bagaimana representasi
para pengungsi JAI di Lombok dalam identitas hegemonik. JAI sebagai salah satu
identitas dan menjadi kekuatan sosial telah diartikulasikan oleh kelompok
kepentingan yang ada, baik oleh ulama, tokoh agama, ormas Islam, ataupun
elemen masyarakat lainnya. Kelompok-kelompok ini merepresentasikan JAI
dalam kancah politik identitas Islam secara khusus, bahwa JAI adalah kelompok
non-Islam.
JAI di Lombok yang mengalami kekerasan dan pengusiran dalam kurun
waktu satu dekade menjadi semacam material dari wacana. Fakta ini bermakna
setelah melalui bahasa. Representasi akan peristiwa tersebut muncul melalui
wacana. Adanya pewacanaan terhadap pengungsi JAI Lombok di Asrama
Transito, dan perbedaan bahasa (bahasa jurnalistik, penduduk setempat, tokoh
agama, ormas, atau gerakan sipil lainnya) memunculkan representasi serta
pemaknaan atas terjadinya kekerasan yang berbeda-beda pula.
Formasi yang menghasilkan ruang politik terlihat dalam fenomena latar
belakang terjadinya kekerasan terhadap JAI. Kekerasan yang menimpa warga JAI
di Lombok setidaknya selalu diawali dengan seminar atau ceramah dari tokoh
agama dan ormas Islam tertentu. Hal ini berlanjut dengan intimidasi melalui
media seperti pamflet atau brosur. Setelah segala sesuatu seolah dikondisikan,
maka terjadi penyerangan oleh massa yang “tidak diketahui” dari kelompok mana
saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Kelompok yang mengeklusikan JAI juga mendefinisikan Ahmadiyah
sesuai versinya. MUI misalnya, melihat JAI mengakui Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi setelah Nabi Muhammad, kitab sucinya adalah Tadzkirah,
syahadatnya berbeda dari Islam mainstream, dan hal-hal yang telah dibahas pada
bab sebelumnya. MUI juga menganggap apa yang diklarifikasi atau apapun
argumentasi dari JAI adalah strategi untuk bisa mengelabui umat Islam di
Indonesia. Strategi ini juga dilihat oleh kelompok Islam lainnya atau Other
(Liyan) sebagai upaya JAI untuk melindungi diri dari kekerasan yang
menimpanya. Strategi itu disebut Takiyah. Untuk kasus di Lombok, MUI
menjadikan Ahmadiyah sebagai objek kebenciannya karena dianggap berbahaya
dan mengancam keberadaan umat Islam disana.
Dalam menghadapi Ahmadiyah, Liyan atau kelompok yang ingin
membedakan JAI dalam formasi hegemonik melakukan logika ekuivalensi.
Logika ekuivalensi berarti logika mengumpulkan semua unsur yang memiliki
common differentiation yaitu semua unsur yang sama dengan sesuatu yang berada
di luar. Secara lebih sederhana, logika ekuivalensi adalah logika menghadapi
musuh bersama. 98
Kelompok-kelompok Islam yang berpengaruh dalam penentuan identitas
Ahmadiyah terdiri dari unsur-unsur yang hakikatnya sama, meskipun memiliki
perbedaan secara organisatoris. Mereka kemudian dipersatukan oleh satu
pendapat, yakni bahwa JAI adalah “musuh bersama” yang harus dilarang karena
membahayakan kehidupan umat muslim di Indonesia. Meskipun sebagian dari
mereka tidak bersentuhan langsung dengan Ahmadiyah, kelompok-kelompok ini 98 Lihat St.Sunardi. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Humaniora Baru Vol.3 No.1 Hal 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
memandang JAI sebagai organisasi yang provokatif dan membahayakan
keyakinan umat muslim.
Apabila menggunakan bahasa-nya Lacan, Ahmadiyah dipandang sebagai
elemen yang telah merebut jouissance atau kenikmatan (baca: ketentraman) umat
Islam mainstream di Indonesia. JAI dianggap sebagai musuh atau object of
hattered, yang menyalahi akidah Islam ortodoks. Hal itulah yang membuat JAI
menjadi objek kebencian dan sasaran kekerasan di Indonesia. Keberadaan
Ahmadiyah yang membawa “wajah lain” dianggap telah membuat kekacauan
dalam entitas Islam. Tak hanya menimbulkan kekacauan, JAI juga dianggap telah
menghalangi umat Islam untuk mencapai cita-citanya. Apabila JAI masih
meyakini ajarannya tersebut, maka tak ada alasan mereka untuk diterima dalam
masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan bentuk-bentuk diskursif yang membuat
JAI sebagai evil atau enemy.
Atas dasar semangat untuk menyelamatkan umat Islam dari ajaran yang
“sesat” itulah, kelompok yang menyerang JAI lahir sebagai subjek politik dan
berhadapan dengan bentuk subordinasi baru. Mereka juga mengatasnamakan
kepentingan masyarakat muslim khususnya di Indonesia, yang disamakan secara
“suka rela”, yaitu melarang keberadaan JAI khususnya di Lombok. Menurut
mereka, apabila JAI tetap bersikeras untuk tinggal di Indonesia, maka harus
menanggalkan identitas ke-Ahmadiyah-an. Namun, jika tidak, kekerasan akan
terus terjadi.
Kepentingan umat Islam yang seolah-olah disamakan terlihat dalam upaya
untuk menyerang ajaran Ahmadiyah yang dicap sebagai bukan-Islam. Imaji
tentang Ahmadiyah seperti ini digambarkan oleh kelompok-kelompok tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
yang mewakili diri sebagai Islam. Kelompok ini memiliki pengaruh ke
masyarakat muslim lainnya. Artinya, bersifat hegemonik.
Pada tataran inilah kelompok kelas dominan seperti MUI dan ormas-ormas
Islam lainnya menghegemoni masyarakat sipil. Apalagi Jemaat Ahmadiyah
hanyalah kelompok kecil yang menghadapi kelompok besar, yakni sebuah entitas
bernama Islam di Indonesia. Meskipun terbilang kecil, keberadaan JAI lagi-lagi
dianggap sebagai ancaman. Menurut sebagian ulama dan ormas Islam, apabila
Ahmadiyah dibiarkan berkembang terus-menerus akan membahayakan kehidupan
umat. Dengan berkembangnya Ahmadiyah dan ragam ideologinya, dikhawatirkan
akan mengancam kehidupan entitas Islam di Indonesia.
Selain konsep hegemoni-nya Gramsci, keterlibatan aparatur baik aparatus
represif maupun ideologis juga terlihat dalam kasus ini. Negara dalam hal ini juga
mengambil peran, setidaknya peran aparatus melalui polisi atau militer. Aparat
menurut Gramsci adalah struktur ideologi dari kelas dominan. Telah dibahas
dalam bab sebelumnya bahwa beberapa kali kekerasan yang menyasar JAI di
Lombok disikapi dengan “pembiaran” oleh aparat. Hal ini menunjukkan rapuhnya
penegakan hukum untuk menindak kasus tersebut. Menurut keterangan warga JAI
di Lombok, dari sekian tindak kekerasan, tidak ada satupun pelaku yang ditahan.
Malah sebaliknya, yaitu ada kecenderungan aparat untuk membiarkan kejadian
penyerangan berlangsung.
Akan hal ini, JAI menyikapi pengabaian dan pembiaran yang dilakukan
aparat tersebut dengan kepasrahan. Rasa yang diliputi kepasrahan itu senantiasa
diserahkan sepenuhnya pada “penghakiman” Allah, yakni bahwa hanya sang
pencipta yang bisa menyelesaikan masalah dengan seadil-adilnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Sebagai sasaran kekerasan baik secara fisik maupun simbolik, JAI menjadi
korban yang mengalami “trauma”, stress, tekanan mental, dan sejenisnya. Kata
trauma sengaja diberi tanda petik karena inipun berlaku unik bagi JAI terutama di
Lombok. Mereka melibatkan unsur keimanan dalam rangka pemulihan. Ada
semacam optimisme yang berasal dari diri sendiri dengan bimbingan kerohanian.
Trauma pasti ada, tapi dalam level tertentu tidak terlihat. Dalam kondisi “sub-
human” seperti yang mereka alami biasanya manusia menderita tekanan, alienasi,
dehumanisasi martabat, dan pada skala tertentu mendorong mereka melakukan
pemberontakan dan protes di jalan-jalan. Akan tetapi, hal ini tidak dilakukan oleh
Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Selain karena alasan ideologis, pemberontakan
dengan cara frontal—dalam struktur dan bangunan besar yang dihadapi JAI—
tidak akan berhasil.
JAI juga tidak mau tergantung pada orang lain. Pada bab sebelumnya telah
dijelaskan jika mereka yang mendanai organisasi, bukan sebaliknya. Mereka juga
menolak tuduhan bahwa menerima bantuan dana dari luar negeri. Warga JAI
memiliki prinsip jika mengandalkan dana dari orang lain maka mereka akan
tergantung dan tidak mandiri. Masyarakat sekitar tempat pengungsian juga
mengatakan bahwa pengungsi JAI tidak mau menerima bantuan dari warga
sekitarnya.
Keterasingan yang dialami JAI dan dirasakan oleh warga sekitar itu bisa
disebabkan oleh rasa malu yang membuncah atau tidak percaya diri ketika ingin
bergaul dengan si Liyan. Apalagi pernah ada penolakan dari Kepala Lingkungan
setempat ketika warga sekitar ingin mengadakan acara di Asrama Transito. Dalam
melakukan proses identifikasi, subjek dalam hal ini yaitu JAI bisa dipahami saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
melihat hubungan antara subjek dan struktur. JAI dapat dilihat sebagai subjek
yang dislokasi, yakni dirinya tidak merasa berada dalam struktur itu sepenuhnya.
Ada bagian yang tersembunyi karena tak terartikulasikan namun kelihatan, sebuah
ketidakpercayaan untuk bergaul dengan Liyan karena sudah terlanjur dijadikan
“musuh bersama”.
Sikap mereka yang lunak dan tak pernah menanggapi kekerasan dengan
kekerasan pula menyebabkan ideologi kelompok superstruktur bisa
melanggengkan hegemoninya pada masyarakat umum. Bahkan, pasca terjadinya
kekerasan komunal, tidak bisa dikatakan bahwa kekerasan serupa tidak akan
terjadi lagi. Setiap waktu massa bisa saja tersulut kembali amarahnya karena
adanya “provokasi” dari pihak tertentu.
Di sinilah bisa dilihat bahwa zaman ini ditandai dengan fragmentasi sosial
akibat dari kondisi sosial politik yang berubah-ubah. Demokrasi secara umum
tidak bisa menghindari konflik, dislokasi, kekerasan, dan pemecahbelahan.
Tujuannya lebih untuk membangun kesatuan dalam lingkungan yang penuh
konflik dan keberagaman, menciptakan masyarakat yang penuh keraguan, dengan
identifikasi musuh yang disangka benar untuk mencapai sebuah utopia. Mimpi
tersebut adalah sebuah negara yang aman sentosa bebas dari konflik.
Mimpi dari utopia tentang tatanan sosial yang harmonis hanya bisa
berlangsung terus-menerus jika kekacauan dilakukan oleh pengacau atau “orang
yang (di)asing(kan)”, yaitu sebuah identifikasi “musuh” yang disangka benar. Hal
ini ditambahkan dengan ideologi berdasarkan logika mayoritas/minoritas. Apabila
logika ini dipertahankan, akan cukup berbahaya dan sebenarnya semakin jauh dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
utopia negara demokrasi. Logika tersebut berpegang pada prinsip bahwa yang
mayoritas selalu benar.
Dengan melihat formasi hegemonik dan implikasinya, dapat dikatakan
bahwa masyarakat hegemonik bukan ditentukan dari luar, melainkan oleh salah
satu unsur kelompok hegemonik. Kelompok pengungsi JAI di Lombok menjadi
salah satu kelas, bukan sebagai kelas berkuasa, melainkan hanya sebagai bagian
dari sebuah entitas. Keberadaan dan identitas Ahmadiyah sangat dipengaruhi oleh
formasi hegemonik yang mendefinisikan mereka. Dalam formasi hegemonik,
masalah identitas selalu berada dalam ketegangan, yaitu identitas setiap unsur dan
identitas totalitas dari unsur-unsur yang membentuknya.
B. Desire dalam Pergumulan Identitas Ahmadiyah
Dalam pandangan psikoanalisa Lacanian, subjek selalu melakukan
identifikasi dengan masyarakat, yang kemudian menghasilkan split. Subjek yang
split mengalami lack, dan mencari lost object (baca : other atau autre) untuk dapat
mewujudkan desire nya. Pemenuhan desire ini bisa melalui hegemoni sebagai
sebuah cara kerja, karena hegemoni merupakan artikulasi yang memerlukan
bahasa, sebagaimana dimanifestasikan dalam omongan, dan bukan dalam sistem
umum seperti halnya Saussure. Proses menjadi subjek atau pada dasarnya sedang
mengidentifikasi diri dengan totalitas terstruktur inilah yang disebut identitas.
Desire, dalam pandangan Lacan, hanya akan dialami setelah subjek
merasa tidak pernah puas akan dunia simbolik atau Liyan. Ketika subjek
memahami bahwa ternyata hukum dan dunia verbal tidak bisa memuaskan sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
sekali, saat itulah muncul hasrat untuk menemukan kembali objek a (baca: autre).
Desire merupakan upaya untuk menemukan kembali jejak-jejak yang
menyebabkan subjek mengalami lack. Konsep ini berbeda dengan need atau
kebutuhan. Dalam tataran simbolik, kebutuhan yang disuarakan secara verbal
disebut demand atau tuntutan. Munculnya tuntutan berdasarkan need yang
semata-mata merupakan kebutuhan organik atau hewani untuk bertahan.
Salah satu kebutuhan atau need yang diharapkan JAI adalah bisa
mengartikulasikan suara sebagai pembentuk identitas, sehingga Liyan menerima
kehadiran mereka. Ada kebutuhan dari JAI untuk diakui sebagai subjek.
Meskipun dalam sejarahnya Ahmadiyah belum atau bahkan tidak diterima
sepenuhnya oleh masyarakat khususnya di Lombok, namun harapan JAI masih
tetap ada.
Janji-janji atau tuntutan tersebut hendak dicapai melalui kelas berkuasa.
Namun dalam hal ini, kelas berkuasa mengalami dilema. Di satu sisi mereka tidak
bisa melarang Ahmadiyah karena legalitas dan konstitusi yang menjamin
keberadaan JAI. Di sisi lain ada ketakutan dikecam oleh umat Islam lainnya, yang
secara jumlah jauh lebih besar dibandingkan JAI. Dunia simbolik juga memiliki
demand, yaitu agar JAI mengubah akidahnya seperti ajaran Islam “mainstream”
lainnya. Lalu, tuntutan atau kebutuhan masyarakat mana yang hendak
diwujudkan? Negara akhirnya menanggapinya dengan setengah-setengah. Adanya
pembiaran, pengabaian, dan membuat pengungsi berdiam di Transito menjadi
indikasinya.
Hal inilah yang oleh Laclau-Mouffe disebut sebagai birokratisasi
hubungan sosial, yakni adanya intervensi negara dalam melindungi rakyat namun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
secara paradoks justru menghasilkan hubungan subordinatif baru. Gerakan sipil
keagamaan seperti JAI bisa dibaca sebagai munculnya bentuk antagonisme baru
dalam masyarakat karena adanya jenis-jenis hubungan subordinatif yang belum
terlihat di zaman sebelumnya. Apabila menggunakan istilah Laclau-Mouffe, jenis-
jenis hubungan subordinatif itu sebagai akibat komodifikasi hubungan sosial
(karena sistem produksi kapitalis), birokratisasi hubungan sosial (karena
intervensi negara dalam melindungi rakyat namun secara paradoks justru
menghasilkan hubungan subordinatif baru), dan hegemonisasi hubungan sosial
(karena moda baru dalam penyebaran budaya lewat media massa).
Para pengungsi Jemaat Ahmadiyah cukup menyayangkan sikap
pemerintah sebagaimana tercermin dalam pernyataan berikut : “Kalau diibaratkan,
rakyat kan jadi anak, pemerintah sebagai orang tua, masa kalau ada perbedaan kita
selsaikan antarsaudara, otomatis orang tua dong yang harus turun tangan. Dari
pimpinan kami juga ada ajaran patuhi pemerintah siapapun yang berkuasa, karena
itu sudah menjadi ajaran Islam”.99
Adanya pola pembinaan pada 2011-2012 bagi pengungsi JAI di Transito
dianggap sebagai jalan tengah oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Hal ini dilihat sebagai upaya untuk memastikan ideologi yang ada di kelas
dominan tersebar dan tersampaikan ke JAI di Lombok. Pola pembinaan tersebut
berisi kegiatan ceramah mengenai agama Islam dan ajakan untuk “kembali” ke
ajaran Islam bagi warga JAI yang ada di pengungsian. Jika JAI menanggalkan
identitas ke-Ahmadiyah-annya, maka umat Islam di Indonesia akan membiarkan
99 Wawancara dengan Koordinator Pengungsi, Syahidin. 2010, 14 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
mereka hidup bebas. Atau dengan pilihan lain, yaitu benar-benar keluar dari
entitas Islam dan mewujud menjadi agama baru.
Pola pembinaan seperti ini memperlihatkan Liyan salah membaca need
atau kebutuhan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Lombok. Memang, setelah
berjalan kurang lebih 2 bulan, Jemaat Ahmadiyah di Lombok menilai positif
terhadap kegiatan tersebut. Kalau membahas masalah esensi ke-Islam-an, JAI
merasa sudah mendapatkannya. Materi yang disampaikan oleh para tokoh agama
juga diajarkan oleh pemimpin atau mubalig JAI. Hanya saja, menurut mereka hal
itu tidak menyentuh substansi yang sedang dibutuhkan oleh penghuni Transito.
Substansi yang dimaksud oleh JAI adalah bagaimana mereka memenuhi
kebutuhan ekonomi, hidup layak, pelayanan dengan fasilitas yang sama
sebagaimana dinikmati oleh warga masyarakat lainnya, serta pemenuhan fasilitas
publik lainnya.
Adanya benturan identitas ini menyebabkan Jemaat Ahmadiyah khususnya
di Lombok memiliki pola untuk tetap bisa bertahan. Identitas JAI terbentuk
melalui resistensi yang unik, yakni dengan melibatkan unsur keagamaan atau
pemaknaan pada level religiusitas. Justru dengan adanya kekerasan dan kecaman
kepada JAI, mereka semakin mempertegas identitas ke-Islam-annya. JAI menjadi
minoritas yang semakin memperkuat keyakinan Islam dan ke-Ahmadiyah-an
mereka. Sayangnya, hidup damai berdasar keyakinan merupakan fantasi bagi para
warga JAI.
Fantasi seperti itu akan lebih bisa dimengerti bila dihubungkan dengan
konsep Lacanian lainnya yaitu simtom. Dalam analisis sosial, simtom adalah
pemikiran ideologi untuk memperkenalkan adanya disharmoni dalam masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
yang sebaliknya akan menjadi harmoni di bawah utopia ideal tertentu. Simtom
adalah tanda-tanda bagi sesuatu yang direpresi. Dari simtom inilah muncul objek
a. Simtom menjadi begitu penting karena didalamnya dapat dibaca apa yang
direpresi. Atau dengan kata lain, residu jouissance dapat ditemukan dalam
simtom-simtom tersebut.
Kata-kata atau ungkapan simtomatik (baca: sakit) inilah yang bisa
melampaui demand dalam tataran simbolik. Justru hal-hal tak terungkapkan dan
tak terkatakan adalah sesuatu menuju objek a. Dilihat dari logika artikulasi,
masyarakat terdiri dari identitas-identitas yang tidak pernah selesai
diartikulasikan. Masyarakat sebagai praktik artikulatoris tidak sepenuhnya bisa
dituntaskan dalam artikulasi (dengan momen-momen sebagai satuannya)
melainkan senantiasa meninggalkan residu-residu. Dalam identitas hegemonik
tampak sesuatu yang tidak terkatakan, disebut absent fullness suatu masyarakat,
karena represi.
Hal ini bisa dilihat dalam komunitas pengungsi JAI Lombok di Asrama
Transito, yakni bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibahasakan karena mereka
terepresi oleh penyerangan yang dilakukan dalam kurun waktu satu dekade. Bisa
jadi, memang ada yang disembunyikan untuk melindungi dirinya sendiri—yang
oleh MUI atau kelompok penuding—disebut dengan istilah takiyah. Meskipun
secara tersurat agen sosial seperti Jemaat Ahmadiyah bisa mengungkapkan segala
hal yang direpresi oleh Liyan dengan berbagai wadah, akan tetapi tak menutup
kemungkinan ada hal-hal tersirat yang tak terjelaskan.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia menggunakan simtom untuk melampaui
demand yang tidak tercapai. Jika meminjam bahasa Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
simtom yang muncul adalah perlawanan secara santun. Mereka selalu menyebut
diri mereka taat terhadap Ulil Amri dan berdialog dengan menggunakan kata-kata
yang hikmah. Misalnya dalam penutup setiap surat yang ditulis mereka selalu
menggunakan kata-kata : “Wassalam, hamba yang lemah”. Sementara itu, di awal
surat, mereka selalu menggunakan kata pembuka yang santun dan mendoakan.
Hal itu agaknya meniru pemimpin Jemaat Ahmadiyah atau mujaddid-nya yaitu
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang selalu menutup surat dengan kata-kata “yang
lemah” dan doa-doa kebaikan. (Lih. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad : 2008).
Misalnya : “Semoga Allah SWT selalu memberikan kepada Bapak nikmat
kesehatan, kekuatan dan kelancaran dalam mengabdi, melayani, mengayomi
masyarakat, bangsa dan negara…”100
Doktrin yang ditanamkan Ahmadiyah pada jemaatnya pun terbilang kuat
dan cenderung seia-sekata. Hal ini bisa dilihat dari segi pendapat, analogi-analogi
yang diucapkan, harapan, serta pandangan mereka tentang kekerasan yang
dialami. Banyak persamaan kata-kata yang diucapkan warga JAI, koordinator
pengungsi, mubalig, ataupun pengurus organisasi.
Meskipun kekerasan menimpa mereka dengan beruntun, tetapi ke-
Ahmadiyah-an mereka semakin kuat. Gejala ini tak hanya terjadi pada warga JAI
yang sudah dewasa, melainkan juga termasuk para remaja dan anak-anak yang
merasakan kepedihan mengungsi. Ini semacam adanya interpelasi dari ideologi
mereka terhadap kehidupannya. Hal ini cukup mencengangkan apabila melihat
kehidupan remaja pada umumnya yang biasanya sarat dengan ke-labil-an karena
sibuk mencari Liyan untuk memenuhi need-nya. Ada sebuah kalimat yang 100 Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia, sebuah surat evaluasi yang dilayangkan pada Kepala Kesbangpoldagri prov NTB di Mataram pada 19 September 2011 tentang evaluasi hasil pembinaan yang dilakukan Pemerintah Provinsi kepada JAI di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
dilontarkan seorang remaja Ahmadiyah tentang teror yang mereka hadapi, “Pak,
kalau kami masih disuruh keluar dari Ahmadiyah, gini aja suruh kami baris
semua, tembak kami satu-satu. Itu kalau bapak tidak mengizinkan kami jadi
Ahmadiyah”.101
JAI khususnya di Lombok sebagai subjek sangat butuh berdialog dan
untuk didengar oleh Liyan. Mereka masih memiliki keinginan untuk diakui oleh
Liyan dalam hal ini entitas Islam dan bangsa Indonesia. Mereka bahkan tidak
takut identitasnya ditulis dalam penelitian. Warga JAI memiliki hasrat untuk
diketahui oleh masyarakat luas tentang omongan mereka yang belum bisa
diartikulasikan. Selain untuk pengakuan, hasrat berdialog tersebut dibutuhkan
untuk menangkis bentuk-bentuk kekeliruan masyarakat memandang JAI serta
menghindari diri sebagai sasaran kekerasan lagi.
Selain itu, mereka juga berharap bisa hidup merdeka tanpa intervensi dan
intimidasi dari siapapun, karena mereka yakin bahwa masalah keyakinan
merupakan hak privat seseorang dengan Tuhan-nya. Bagi mereka, asalkan
keyakinan tersebut tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, tidak
memperburuk citra Islam di mata agama lain, serta tidak merongrong kewibawaan
pemerintah yang sah, maka tak ada salahnya menjadi JAI. Selain itu, mereka juga
sangat berharap agar segera mendapatkan kepastian hukum dan jaminan
keamanan di manapun mereka akan tinggal.
Terbentuknya kelompok pengungsi JAI di Lombok sebagai hasil dari
praktik artikulatoris juga dipengaruhi oleh wacana di luar dirinya. Satuan wacana
tersebut membentuk identitas mereka secara kolektif. Adanya Ahmadiyah versi
101 Kutipan kata kata seorang remaja JAI berdasarkan wawancara dengan para pengungsi remaja Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada 15 Desember 2010 di Asrama Transito.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
MUI, NU, Muhammadiyah, atau elemen lain baik yang pro maupun kontra
dengan Ahmadiyah merupakan bagian dari wacana tersebut.
Yang menjadi bahan perdebatan adalah Apakah JAI termasuk Islam atau
tidak? Tak sedikit dari kelompok Islam yang menginginkan Ahmadiyah keluar
dari entitas bernama Islam. Namun, JAI menanggapi hal tersebut dengan tenang
dan santun, seolah tidak mengalami lack secara internal. Walaupun pada dasarnya,
warga JAI sangat ingin diakui. Mereka menyadari sulitnya hidup di tengah
bangunan besar (superstruktur) yang turut membentuk identitas sekaligus
menentukan kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini, JAI melakukan konformitas
dengan bersikap damai, sabar, dan taat terhadap Ulil Amri.
Pada tataran simbolik, JAI memiliki need pada Liyan. Akan tetapi, JAI
mengaku sudah melampaui kebutuhan tersebut, karena sudah memiliki fantasi
yang diperjuangkan. Fantasi ini kemudian bermuara pada desire yang mendorong
mereka untuk melampaui yang legal formal, dan mencapai jouissance. Hal ini
untuk menjaga apabila demand atau tuntutan di dunia verbal tidak didapatkan oleh
JAI, maka mereka memiliki fantasi, yaitu berpasrah dengan menyerahkan
sepenuhnya pada mahkamah Ilahi.
Dalam konteks keimanan, Tuhan lagi-lagi dihadirkan, karena diyakini
sebagai zat yang bisa memenuhi desire mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Ketua JAI NTB : “Walaupun penjelasan kami sudah final, maka bagi siapa saja
yang masih menyangsikan, ragu-ragu, muncul syak wasangka dan belum paham,
maka kami masih membuka diri untuk diskusi bil-hikmah, selebihnya kami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
serahkan sepenuhnya kepada keputusan MI (Mahkamah Ilahi). 102 Inilah ciri khas
yang muncul dari JAI, sebuah entitas yang disatukan oleh prinsip tunggal gerakan
keagamaan.
Reaksi tersebut menunjukkan JAI sudah melampaui need atau kebutuhan
dalam tataran verbal, dan sedang menuju desire atau hasrat. Mereka merasa
tuntutan pada dunia simbolik (hukum dan masyarakat) tidak bisa memenuhi
hasratnya. Saat ini, mereka tengah memelihara fantasi, untuk menemukan gairah
kembali pada kediriannya yang utuh. Akan tetapi, di sisi lain mereka tengah
menggunakan strategi untuk melawan hegemoni tersebut. Jemaat Ahmadiyah
melakukan counter hegemony dengan caranya sendiri, damai, yaitu jihad dengan
pena.
C. Jihad dengan Pena : Artikulasi Subjek yang “Berdaya”
Persoalan JAI di atas telah dibaca melalui pisau analisis hegemoni dan
pembentukan identitas. Perdebatan sekaligus pertarungan identitas dan hegemoni
terlihat pada dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, adanya beberapa kelompok dalam
entitas Islam menginginkan agar Ahmadiyah keluar dari Islam dengan alasan-
alasan yang sudah dijelaskan. Kelompok masyarakat muslim yang awam
kemudian mendengar kata-kata ulama dan mengikuti kelompok muslim yang
hegemonik tersebut. Di sisi lain, Ahmadiyah dengan segala argumennya mati-
matian mempertahankan dirinya bagian dari Islam. Pertentangan yang belum ada
102 Dalam kutipan surat Ketua DPW JAI NTB yang dialamatkan ke Gubernur NTB dengan menyertakan tulisan seputar penjelasan JAI tentang Eksistensi Hukum dan teologi JAI Wilayah NTB, pada tanggal 20 Oktober 2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
titik temunya ini terus-menerus menjadi wacana, yaitu sesuatu yang
diartikulasikan.
Selain perdebatan tersebut, satu hal yang tak bisa dilupakan adalah JAI
khususnya di Lombok merupakan masyarakat sebagai praktik artikulatoris.
Kelompok ini menjadi subjek yang berada dalam struktur dan masyarakat yang
selalu belum selesai, sehingga secara terus menerus menyuarakan
kepentingannya. Hal ini untuk menunjukkan identitas ke-Ahmadiyah-annya, yang
bagi sisi Liyan merupakan suatu identitas yang bermasalah. Identitas bisa
terbentuk sebagai akibat dari proses identifikasi dengan ideologi. Jemaat ini pun
terbentuk karena ideologi yang ditanamkan oleh organisasi atau alirannya.
Berbicara tentang hegemoni tidak bisa dilepaskan dari subjek politik.
Meskipun menjadi kelas subordinasi dan korban kekerasan, JAI juga merupakan
subjek yang memiliki artikulasi. Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga menyadari
sebagai bagian dari struktur harus mengikuti hukum yang berlaku di dalamnya.
Dengan mengikuti hal tersebut, JAI telah menjadi subjek politik. Dalam praktik
diskursif, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Lombok mati-matian
membentuk identitasnya sebagai bagian dari Islam. Perjuangan ini terasa begitu
sulit bagi JAI, karena mereka berhadapan dengan bangunan besar, yaitu entitas
Islam di Indonesia. Oleh karena itu, mereka memerlukan strategi, yang dalam
bahasa-nya Gramsci adalah untuk melakukan counter hegemony.
Kekerasan biasanya memunculkan kebungkaman, yakni diam atas segala
peristiwa yang dialami. Tidak demikian halnya dengan para pengungsi JAI.
Mereka bersama dengan para pemimpinnya dan mubalig aktif menyuarakan hasrat
atau kebutuhan mereka. Kelompok warga JAI ini berjuang untuk mendapatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
setidaknya dua hal, yaitu legalitas identitas dan ketenangan dalam menjalankan
ajarannya. Untuk hal yang pertama, pengakuan itu akan berhasil jika adanya titik
kompromi yang mempersempit jurang perbedaan dari setiap entitas. Inilah yang
menurut JAI perlu sebuah dialog khidmat tanpa adanya kebencian.
Bagi Jemaat Ahmadiyah, pengertian jihad saat ini adalah dengan tulisan
atau pena. Jihad menggunakan kekerasan atau pedang hanya ada di zaman Nabi
Muhammad SAW (Rasulullah SAW). Menurut Jemaat Ahmadiyah, jihad
menggunakan tulisan berdasarkan argumen tertentu akan menjadikan prosesnya
lebih menarik. Untuk mencapai kebenaranpun berdialog melalui tulisan tidak
sampai menjatuhkan korban. Hal inilah yang cukup disayangkan oleh JAI atas
fenomena kekerasan yang terjadi. Mengapa tidak mengulang sejarah yang dulu,
berdialog, dan debat terbuka? Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, yaitu ada
semacam keengganan dari pihak Liyan untuk mengakrabi Ahmadiyah lebih jauh.
Dalam sejarahnya, penyebaran ajaran Ahmadiyah memang melalui tulisan.
Dapat dilihat, terdapat 84 buah buku dan tulisan-tulisan lainnya yang dibuat oleh
pendiri Ahmadiyah, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Buku dan tulisan itulah yang
menjadikan jemaatnya memiliki banyak pengetahuan tentang Islam dan ajarannya,
baik yang terkait hal-hal duniawi maupun surgawi. Bacaan-bacaan itu pula yang
menjadikan mereka gemar berdialog atau berargumen dengan nalar. Menurut
mereka, perbedaan pendapat itu merupakan hal yang biasa. Itulah guna bertemu
dan berdialog, yakni untuk menemukan titik kompromi.
Perjuangan dengan jihad pena dilakukan oleh Ahmadiyah termasuk
pengurus JAI di Lombok melalui majalah, koran, dokumen, dan buku-buku berisi
klarifikasi tentang sangkaan dari kelompok yang kontra dengannya. Selain itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
seperti dikatakan di depan, Ahmadiyah juga memiliki TV Internasional, Muslim
Television Ahmadiyya (MTA), di London, yang mengudara selama 24 jam tanpa
iklan. Semuanya memberitakan tentang agama Islam. Televisi inilah yang
ditonton oleh semua Jemaat Ahmadiyah termasuk oleh para pengungsi. JAI di
Lombok juga memiliki koleksi VCD yang berisi tentang perjalanan Ahmadiyah di
berbagai negara Barat. Inilah yang sering dibagi-bagikan jika ada orang non-
Ahmadi yang ingin melihat perkembangan Ahmadiyah di berbagai negara. Pada
tataran ini Jemaat Ahmadiyah sedang melawan arus hegemonisasi hubungan
sosial yang terjadi, karena moda baru dalam penyebaran budaya lewat media
massa.
Dalam lingkup nasional, JAI juga memiliki sekolah mubalig nasional di
Parung, Bogor yang berbahasa Urdu, Jerman, dan Perancis untuk mempelajari
agama Islam. Akan tetapi, sudah beberapa tahun ini sekolah itu tidak diberikan
izin beroperasi oleh pemerintah seiring dengan keluarnya SKB Tiga Menteri,
karena dianggap sebagai upaya penyebaran ajaran Ahmadiyah.
Sejak awal kedatangannya di Indonesia, Jemaat Ahmadiyah mendapat
kecaman keras lewat tulisan di Tapaktuan. Hal ini ditanggapi dengan tulisan pula
oleh JAI. Hanya saja, di era Reformasi yang katanya mengagung-agungkan
kebebasan, ternyata tak membuat pikiran masyarakat Indonesia menjadi lebih
bebas. Yang lebih menonjol adalah justru seruan untuk membenci dengan
bertindak di luar batas, serta menjadikan JAI sebagai “musuh bersama” umat
Islam. Oleh karena itu, jadilah JAI di Lombok sebagai salah satu sasaran
kekerasan yang berlangsung selama satu dasawarsa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
JAI dapat digambarkan dalam sebuah adagium, berdaya dalam
ketidakberdayaan. Seperti itulah situasi yang dialami oleh JAI khususnya
pengungsi di Asrama Transito. Kekuatan mereka adalah pada strategi untuk
menulis dan berdialog. Tentunya ini dilakukan JAI bersama para pemimpin dan
mubalignya di barisan depan. Inilah yang disebut Gramsci dengan strategi dengan
menonjolkan kepemimpinan intelektual dan moral. Mereka seolah-olah tak
melawan dan menerima takdir yang diberikan.
Dalam bahasanya Lacan, JAI seolah-olah berkompromi dengan Liyan
(neurosis), yaitu melindungi dirinya dari hasrat yang tak sadar sekaligus diam-
diam mengekspresikannya. Kaitan dengan melindungi diri, takiyah yang
dituduhkan kepada mereka bisa dibaca seperti itu. Sebagai korban, mereka
bukanlah sekelompok orang yang lemah dan tak berdaya, melainkan subjek yang
melakukan strategi tertentu untuk lepas dari belenggu kekerasan.
Hal yang tidak bisa diabaikan pula dalam konteks Ahmadiyah adalah
dibutuhkannya peran pemerintah untuk melindungi JAI yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. JAI merupakan warga negara Indonesia
yang memiliki hak asasi dan membutuhkan perlindungan. Sangat disayangkan
apabila negara justru menjadi pemicu keresahan masyarakat dan menjadi salah
satu agen penyebar wacana yang mendorong kekerasan. Hal ini sejalan dengan
konsep Laclau-Mouffe yang mengingatkan bahwa politik bukanlah masalah
“mendaftar kepentingan-kepentingan yang sudah ada, melainkan memainkan
peran penting dalam pembentukan subjek-subjek politik”. Yang paling penting
untuk diamati adalah bentuk-bentuk hubungan eksploitatif yang ada. Harapan JAI
bertumpu besar pada pemerintah untuk tidak menjadikan hubungan eksploitatif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
berlangsung terus-menerus dan berperan penting untuk pembentukan subjek
politik dalam sebuah entitas besar bernama Indonesia.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia menyadari bahwa masyarakat tidak mungkin
menerima keberadaan mereka sepenuhnya. Akan tetapi, mereka masih memiliki
need (kebutuhan), sehingga segala usaha tetap dilakukan. Jemaat Ahmadiyah
sebagai wacana, yang identitasnya masih terus diperjuangkan dan tak pernah
selesai, berjuang demi kehidupan yang lebih baik, sekaligus bebas dari kekerasan.
Kebutuhan untuk mendapatkan hal tersebut juga disertai dengan hasrat
untuk melampauinya melalui fantasi mendapatkan keutuhan dari Ilahi.
Mungkinkah need dan “tuntutan” pada dunia simbolik ini akan terwujud ataukah
hanya akan menjadi sebuah utopia? Terwujud atau tidak, toh bagi JAI, mereka
sudah memiliki fantasi bahwa perjuangan akan tetap berlanjut. Dengan menjadi
Ahmadi, itulah sebenar-benarnya hasrat yang ingin dicapai JAI. Setidaknya
mereka juga memahami satu hal bahwa penderitaan adalah kenikmatan yang
terselubung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
BAB V
PENUTUP
Perbincangan mengenai Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) memang
selalu mengundang perdebatan. Organisasi JAI yang sudah masuk ke Indonesia
sejak tahun 1925 ini telah mengalami rangkaian sejarah pertentangan dengan
berbagai kelompok atau ormas Islam lainnya. JAI menyebut dirinya sebagai
organisasi atau jemaat yang menjadi bagian dari entitas Islam di Indonesia. Inilah
yang menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam masyarakat muslim di
Indonesia. Bahkan, penyebutan ini telah menjadi pemicu bagi terjadinya
kekerasan yang beruntun terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia, khususnya di
Lombok sejak tahun 1998.
Yang menjadi sumber perdebatan sekaligus pertarungan identitas dan
hegemoni adalah beberapa kelompok dalam entitas Islam yang menginginkan
Ahmadiyah keluar dari Islam. Alasan mereka seperti hal-hal yang sudah
dijelaskan menurut versi dan sejarah yang diketahui. Jemaat Ahmadiyah
Indonesia dianggap telah merenggut jouissance atau ketenangan yang menjadi
cita-cita umat Islam pada umumnya. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah dengan segala
argumennya mati-matian menamakan dirinya bagian dari Islam. Sementara itu
kelompok masyarakat muslim yang awam mendengar kata-kata ulama dan
akhirnya mengikuti kelompok hegemonik tersebut. Pertentangan ini belum
menemukan titik kompromi, atau bahkan takkan menemukan titiknya ini terus-
menerus menjadi wacana. Dalam hal ini JAI sebagai subjek harus berhadapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
dengan entitas umat Islam, yang sekaligus menjadi bagian dari entitas besar
bangsa Indonesia.
Sebagai sasaran kekerasan massa selama lebih dari satu dekade (tahun
1998-2010), JAI bukannya tanpa trauma karena telah kehilangan harta benda dan
ketenangan untuk beribadah terganggu. Akan tetapi, mereka tidak memandang
diri sepenuhnya sebagai korban. Dengan dukungan kerohanian dari organisasi dan
peran pemimpin serta mubalig mereka terlihat sangat tangguh. Di satu sisi, warga
JAI terkesan tak berdaya karena menjadi korban dan kelas tersubordinasi. Namun
di sisi lain, JAI muncul sebagai jemaat atau kelompok yang bisa berstrategi dan
“berdaya”.
Pola bertahan Jemaat Ahmadiyah telah mempengaruhi cara mereka
mengelola trauma pasca-kekerasan. Mereka memaknai kekerasan yang ada dalam
koridor keimanan bahwa semua yang terjadi itu adalah takdir dari Allah SWT,
sebagai ujian dan cobaan. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka hanya diam.
JAI tetap melakukan perlawanan dalam arti lain. Mereka sangat menghindari
perlawanan dengan kekerasan,dan membahasakan perlawanan mereka dengan
santun. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa kelompok anti-kekerasan
tidak selamanya berarti lemah dan tak berdaya. Mereka berdaya dalam
ketidakberdayaan.
Jihad dengan pena adalah semboyan warga JAI dalam melakukan
perjuangan. Telah banyak upaya dialog, debat, dan tulisan dari Ahmadiyah untuk
menangkis pernyataan kelompok-kelompok yang bagi mereka merupakan fitnah.
Dalam melawan, mereka juga mengaku taat dengan keputusan Ulil Amri
(pemerintah berkuasa). Hal ini terbukti dari ketaatan mereka terhadap semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
keputusan pemerintah. Warga JAI selalu mengikuti keputusan pemerintah
termasuk untuk tetap tinggal di Asrama Transito. Dari JAI dapat dilihat bahwa
perlawanan itu tidak harus dilakukan secara frontal, melainkan bisa juga dengan
penanaman ideologi yang dapat menjadikan suatu kelompok bisa terus bertahan.
JAI menjadi subjek yang lack dan tetap membutuhkan pengakuan dari
Liyan. Namun, melihat kekuasaan keberagamaan yang terdiri dari superstruktur
yang disebut Islam di Indonesia, keinginan itu tidaklah mudah untuk dicapai.
Islam di Indonesia terdiri dari berbagai elemen dengan ideologinya masing-
masing. Untuk menghadapi entitas besar tersebut, JAI melakukan strategi dengan
counter hegemony. Mereka berjuang untuk diakui, atau lebih tepatnya untuk
diberi ketenangan dalam beribadah dan menjalankan ajarannya. Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, khususnya di Lombok pasang badan untuk membela
(ideologi) ajarannya.
Tak bisa dimungkiri, proses tersebut tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Tak tertutup kemungkinan bahwa sewaktu-waktu riak-riak kecil kekerasan
bisa meletup lagi apabila pihak-pihak dalam kelompok hegemonik tetap
melakukan pelabelan terhadap JAI. Selain itu, apabila JAI gagal pada tataran
untuk menegosiasikan dialog dan melakukan counter maka identitasnya pun akan
terancam. Keberadaan aktor-aktor yang kontra dan melarang Ahmadiyah tetap
akan melihat Jemaat Ahmadiyah sebagai ancaman. JAI dianggap sebagai
penganggu dan perebut jouissance dari umat Islam mainstream.
Jemaat Ahmadiyah merupakan kelompok yang muncul sebagai “wajah
lain” dari Islam yang ada di Indonesia. Bagi JAI, menjadi Ahmadi adalah fantasi
menuju pencapaian hasrat mereka, yaitu Ilahi. Keberadaan “wajah lain” ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
mengakibatkan tindak kekerasan muncul sebagai akibat dari ekses atas kelompok
umat Islam “mainstream” yang tidak bisa menerima kelompok subordinasi.
Harapan Jemaat Ahmadiyah sebenarnya merupakan harapan kelompok
tersubordinasi yang tidak ingin identitasnya dibentuk dan ditentukan oleh elemen
lain yang memiliki kuasa.
Kecenderungan yang muncul kemudian adalah bahwa identitas dan
kelangsungan hidup suatu kelompok ditentukan oleh kelompok lain. Pada
dasarnya orang beragama sebaiknya tidak perlu takut dipengaruhi oleh ajaran
yang dianggap “sesat” jika dia memiliki basis kegamaan yang kuat dalam dirinya
masing-masing.
Harapan yang kemudian muncul dari kajian ini adalah untuk mencapai
semangat sosialisme yang membuka ruang-ruang bagi munculnya gerakan sipil
baru. Perlu adanya keterbukaan pemikiran untuk memahaminya. Harus diakui
keterbukaan itu kadang terhalang oleh keinginan untuk selalu menguasai dan
muncul sebagai yang paling “benar”. Di sinilah terletak pentingnya dialog dalam
sebuah artikulasi wacana karena bukanlah suatu hal yang bijak untuk men-judge
satu kelompok berdasarkan keyakinan yang dianutnya. Tarik ulur dan perdebatan
semacam ini bisa jadi merupakan sebuah proses yang normal dalam kehidupan
sosial budaya : ada pertarungan, ada perebutan. Itulah ruang-ruang yang
disediakan untuk perubahan demokrasi. []
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. 2008 (cet Indonesia). Mukhlis Ilyas
(penerj.). Filsafat Ajaran Islam. Bogor : Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Ahmadiyah Indonesia, Jemaat. 2007. Kami Orang Islam. Jakarta : Jemaat
Ahmadiyah Indonesia
Al Hadar, Abdullah Hasan. 1980. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung
Sejarah. Bandung : Al.Ma’aruf
Ali, Suryadharma. Ultimatum Suryadharma Ali. Tempo. Edisi 13-19 September
2010
Basit, Ali. 2005. Jawaban Jemaat Ahmadiyah Indonesia Atas Pertanyaan Komisi
VIII DPR RI pada Temu Wicara Tanggal 31 Agustus 2005. Bogor :
Dokumen Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Callinicos, Alex. 1976. Althusser’s Marxism. London: Pluto Press Limited
Dokumen-dokumen Dewan Pengurus Wilayah Jemaat Ahmadiyah Lombok Barat.
2002-2010
Galtung, Johan. 2003. Asnawi dan Safruddin (penerj.). Studi Perdamaian :
Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya :
Pustaka Eureka
Green, Gill. 2009. The End of Stigma?: Changes in the Social Experience of Long
Term Illness. London and New York : Routledge
Muslim, Syaiful. 2006. Pemda Mesti Tegas. Suara NTB Edisi 6 Februari 2006
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Madaniy, KH.A. Malik. 2008. Memahami Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Tentang Ahmadiyah. Dalam Merekonstruksi Ukhuwah dan Memahami
Aliran Sesat. Yogyakarta : Majelis Ulama Indonesia
Mona. 2005. H. Suhadi : Berkarya dengan Musik. Dalam Ahmadiyah antara
Stigma dan Diskriminasi. Yogyakarta : Majalah SULUH
Mouffe, Chantal. 1979. Hegemony and Ideology in Gramsci. Dalam Chantal
Mouffe (ed). Gramsci and Marxist Theory. London-Boston : Routledge
Mustafa, Aris, dkk. 2005. Ahmadiyah : Keyakinan yang Digugat. Jakarta : Pusat
Data dan Analisa TEMPO
Nursyahid, Ali. 2008. Laporan Investigasi (Kekerasan terhadap Jamaah
Ahmadiyah di Manislor Kuningan-Jawa Barat dan Lombok-NTB…).
Jakarta : Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Kontras (Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
Sidik, Munasir. 2008 (cet.II). Dasar-dasar Hukum dan Legalitas Jemaat
Ahmadiyah Indonesia. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Sihombing, Uli Parulian dkk. 2008. Menggugat Bakorpakem (Kajian Hukum
Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia). Jakarta :
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
Siswono, Eko. “Djoko Suyanto : Pemerintah Tidak Bisa Melarang Kepercayaan”.
Jakarta : Tempo, Dalam media Darsus Volume VI, Nomer 3 edisi Maret
2011
Stavrakakis, Yannis. 1999. Lacan and The Political. London : Routledge
Sunardi, St. Logika Demokrasi Plural-Radikal. Desember 2012. Yogyakarta :
Jurnal Ilmu Humaniora Baru Vol.3 No.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
Tim Klarifikasi Tadzkirah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 2003. Klarifikasi atas
Telaah Buku Tadzkirah. Jakarta : Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Zulkarnain, Iskandar. 2005. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Wawancara dengan Anang Sanusi, Koordinator Mubalig JAI di wilayah DIY dan
Jawa Tengah. 29 Maret 2011 di Markas JAI di Yogyakarta
Wawancara dengan Ir. Jauzi, Pimpinan Wilayah Ahmadiyah Lombok Barat. 16
Desember 2010 di Rumah Pribadinya di Lombok
Wawancara dengan Ust Maruf, salah satu anggota MUI NTB. 02 Januari 2012 di
Sumbawa Barat
Wawancara dengan Muhsin, salah satu anggota MUI Yogyakarta,. 31 Maret 2011
di Kantor MUI DIY
Wawancara dengan Nasiruddin Ahmadi Penasehat Ahmadiyah di Lombok. 15
Desember 2010 di Asrama Transito
------------------------. 23 Januari 2012 via telepon
Wawancara dengan Remaja Ahmadiyah. 15 Desember 2010 di Asrama Transito
Wawancara dengan Syahidin Koordinator Pengungsi. 14-16 Desember 2010 di
Asrama Transito
------------------------. 22-23 Juli 2011 di Asrama Transito
Wawancara dengan KH. Syamsul Ismain Lc, ulama di Sumbawa Barat. 30
Desember 2011 di Sumbawa Barat
Wawancara dengan Yusuf, Pegiat Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa). 14
Desember di kantor Lensa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI