Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLA HUBUNGAN SOSIAL PEDAGANG KAKI LIMA : KONTROL INTERNAL DAN KONTROL EKSTERNAL PEDAGANG GULAI
TIKUNGAN BLOK M, KEBAYORAN BARU
Febry Arfandi dan Ruddy Agusyanto
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected]
Abstrak
Fenomena sosial budaya dalam masyarakat seperti hubungan antar pedagang dapat dibahas dalam berbagai konteks. Penelitian ini akan membahas interaksi dan hubungan sosial pedagang gulai tikungan. Pedagang gulai tikungan ini memiliki aturan-aturan main seperti seperti aturan piring, aturan pikulan, dan aturan-aturan lainya. Aturan main tersebut mempengaruhi berbagai hubungan sosial aktor gulai tikungan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Secara garis besar, skripsi ini akan melihat mekanisme interaksi serta berbagai pola hubungan sosial yang dipengaruhi oleh kesepakatan aturan main telah menjadi kontrol internal aktor gulai tikungan.
Kata Kunci: Interaksi dan Hubungan sosial, Aturan Main, Kontrol Internal
Model of Social Relation Street Sellers: Internal Control and External
Control in Gulai Tikungan Sellers Blok M, Kebayoran Baru
Abstract
Social and cultural phenomenon in society such as relation between sellers can be studied in various contexts. This research will discuss interaction and social relations gulai tikungan sellers. Gulai tikungan sellers has a set of rules such as piring rules, pikulan rules and others rules. Rules of game is affect various of social relation gulai tikungan actors. The method used in this research that participation observation and in-depth interviews. This paper will discuss the mechanism of interaction and various patterns of social relations that are affected by the rules of game that became internal control for all gulai tikungan actors. Key words: Interactions and social relations, Rules of Game, Internal Control Pendahuluan
Pedagang kaki lima sebagai salah satu bagian dari sektor informal tidak terlepas dari
hambatan-hambatan yang menghalangi perkembanganya diantaranya pandangan negatif
tentang pedagang kaki lima yang dianggap sebagai gangguan yang membuat kota menjadi
kotor, tidak teratur dan tidak tertib serta menyebabkan kemacetan lalu lintas (Suparlan, 1996:
63). Pada kenyataannya pedagang kaki lima ini menjadi salah satu yang penting dalam
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
kehidupan karena ini dianggap sebagai katup pengaman ledakan pengangguran. Dalam
kehidupan pedagang di perkotaan khususnya Jakarta, ini tidak akan terlepas dari adanya
hubungan atau interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut berupa interaksi di bidang
sosial, ekonomi, dan sebagainya. Dalam interaksi tersebut terkadang ada aspek-aspek yang
mempengaruhinya, tergantung di mana tempat mereka berdagang. Interaksi itu merupakan
hubungan sosial yang dinamis menyangkut antar pedagang yang memiliki kesamaan barang
dagang, perbedaan barang dagang, dan kelompok maupun aktor lainnya yang berada dalam
lingkup mereka. Penelitian ini berupaya mengatasi kekurangan pendekatan struktural
fungsional yang cenderung lebih statis dalam memahami hubungan yang terjadi dalam
sebuah masyarakat. Kecenderungan ini memperlihatkan bagaimana memahami sebuah sistem
dalam masyarakat yang senantiasa memiliki hubungan yang serasi, seimbang dan teratur.
Namun ada hal yang luput dari pendekatan ini ialah adanya dinamika yang terjadi dalam
sebuah masyarakat. Ini menjadi sebuah wadah yang dapat memperlihatkan bagaimana
dinamika yang terjadi dalam masyarakat dengan pandangan struktural fungsional. Dalam
penelitian yang saya lakukan juga terdapat dinamika dalam pola hubungan pedagang gultik
Blok M yang dipengaruhi dari berbagai aspek seperti kekerabatan kekuasaan dan aspek
lainya.
Pada kasus penelitian sebelumnya yang mengidentifikasi pola hubungan sosial
sebagai fokusnya yaitu penelitian pola hubungan sosial antar pedagang di pasar Inpres Senen
Blok VI. Penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana pada pola hubungan sosial ini,
dilihat dari berbagai hubungan yaitu pola hubungan asosiatif (kerjasama), pola disosiatif
(persaingan) dan konflik. Pola tersebut juga membentuk sebuah aturan berdasarkan etnis-
etnis yang dimiliki pedagangnya yaitu Batak dan Jawa. Menurut saya, dari penjabaran
penelitian tersebut menunjukan bagaimana aturan dalam hubungan sosial yang dijalankan di
sini yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku yang terkait. Aturan itu terbentuk
berdasarkan jenis pola hubungan sosial yang terjadi dalam konteks tertentu. Hubungan sosial
yang menjadi kajian dalam penelitian tersebut belum memperlihatkan bagaimana hubungan
emosi yang dipengaruhi kesepakatan-kesepakatan pedagang ini dapat membentuk pola
hubungan interaksi yang kompleks dalam suatu organisasi sosial yaitu pedagang gulai
tikungan. Kesepakatan itu tidak hanya dilihat sebagai suatu aturan yang menjadi kontrol bagi
aktor yang berada di dalam struktur mereka saja tetapi meluas ke seluruh aktor yang terkait
dengan pedagang gulai tikungan.
Pedagang kuliner yang menjadi fokus penelitian saya dinamakan gulai tikungan karena
letaknya yang berada di tikungan Jalan Makaham. Gulai tikungan ini sering disebut gultik
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
yang sudah mulai berjualan sejak tahun 1980. Meskipun satu porsi gulai terbilang sedikit,
namun gulai ini disukai berbagai kalangan. Permasalahan yang terjadi di dalam pedagang
gulai tikungan sepanjang tikungan Mahakam ini yaitu terdapat aspek-aspek yang
mempengaruhi hubungan dan interaksi mereka mulai dari arek-arek yang menjadi penguasa
Blok M, pedagang lain yang menjual makanan lainnya dan interaksi sesama pedagang gulai
tikungan itu sendiri. Pada aspek kehidupan pedagang gulai tikungan itu sendiri interaksi antar
pedagang mempengaruhi berbagai aspek seperti kesamaan jumlah porsi, rasa gulai yang
hampir sama antara satu dengan lainnya dan kesamaan harga di seluruh pedagang gultik ini.
Harga yang dipatok ini pertama kali tahun 1980 yaitu Rp.300,- sampai dengan sekarang yang
sudah mencapai Rp.9.000,- namun tiap pedagang menetapkan harga yang sama dengan
pedagang lainnya, padahal mereka berasal dari daerah yang berbeda antar pedagang yang
satu dengan lainnya.
Permasalahan yang ada dalam pedagang gultik ini memunculkan semacam kesepakatan
atau aturan yang digunakan dan dimanfaatkan sekelompok masyarakat tertentu dalam
mencapai tujuan tertentu. Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk tidak semata-mata
hubungan antar individu, tapi melampaui batas-batas geografis dan garis keturunan
(Agusyanto, 1992). Realitas sosial masyarakat yang kompleks ini terjadi karena keterkaitan
dari aktor-aktor yang bermain dalam sebuah organisasi sosial. Begitu juga dengan pedagang
gultik ini, mereka tanpa sadar menciptakan strategi-strategi dalam memanfaatkan hubungan
sosial dalam hal ekonomi maupun kegiatan yang menciptakan keuntungan bagi para aktor
yang terkait. Pada dasarnya memang setiap individu sebagai mahluk sosial akan selalu terkait
dengan hubungan sosial yang sangat kompleks tergantung aspek-aspek yang mempengaruhi.
Tujuan penelitian ini ingin mengetahui aturan main apa saja yang terbentuk dalam
aktor pedagang gultik, melihat bagaimana proses dan mekanisme “nilai/norma” dari aturan-
aturan dagang yang mempengaruhi interaksi dan hubungan sosial di antara aktor gulai
tikungan, aturan apa saja yang terbentuk dari berbagai hubungan sosial dan melihat
bagaimana mereka dapat memelihara hubungan sosial yang terbentuk dari kesepakatan-
kesepakatan aktor pedagang gultik.
Tinjauan Teoritis
Menurut M. Fortes (1945 : 22-25) Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
negara. Sebagai mahluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk sosial untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri. Fortes menyatakan
bahwa struktur sosial dalam organisasi sosial selalu berubah baik dalam bentuknya maupun
dalam wujudnya yang nyata. Struktur sosial tidak boleh kita bayangkan sebagai suatu hal
yang diam, struktur sosial selalu hidup, dan karena itu juga bergerak. Namun geraknya itu
ada tiga macam yaitu:
1. Bergerak, karena suatu hubungan itu merupakan aktifitas yang berlangsung dalam ruang
waktu dan ada durasi waktunya.
2. Bergerak, dalam arti kontinuitas dari struktur sosial dalam rangka waktu.
3. Bergerak, dalam arti proses pertumbuhan dari struktur sosial. misalnya suatu rumah
tangga terdiri dari dua angkatan yaitu orang tua dan anak-anaknya.
Pengertian organisasi tersebut juga mengisyaratkan dalam organisasi sosial yang
strukturnya selalu bergerak pasti memiliki aturan-aturan sesuai dengan konteks-konteks
tertentu seperti pada pedagang gulai tikungan yang terdapat aturan-aturan yang mengatur.
Aturan adalah sekumupulan intruksi yang dijadikan pedoman dalam perperilaku. Perilaku
budaya dibangun dari proses belajar dan mengikuti intruksi. Aturan budaya dapat dikatakan
sebagai seperangkat intruksi untuk diletakan bersama berbagai elemen dalam berperilaku.
Pengetahuan budaya juga mempengaruhi peraturan. Kita mempelajari intruksi yang
memandu persepsi kita dan menentukan atribut-atribut yang digunakan dalam membentuk
konsep (Spradley 1972: 20). Manusia adalah agen yang aktif dalam menggunakan budaya
sehingga aturan-aturan yang merupakan bagian dari kebudayaan berarti banyak bagi
masyarakat penganut kebudayaan tersebut (Black dalam Spradley, 1972).
Semi autonomous social field adalah fakta bahwa sebuah lapangan yang dipilihi
untuk diteliti peneliti antropologi dapat menciptakan peraturan, kebiasaan, dan simbol, secara
internal, tetapi fakta tersebut sangat rapuh ketika dihadapkan dengan dunia yang
mengelilinginya. Batasan dan definisi dalam sebuah semi autonomous social field
diidentifikasi dengan karakter yang prosesual bukan oleh organisasi mengingat adanya fakta
bahwa peraturan dan koersi dapat muncul dari “bawah”. Konsep semi autonomous social
field menekankan pada absennya otonomi dan isolasi sekaligus berfokus pada kapasitas untuk
menciptakan peraturan, mempengaruhi atau memaksa konformitas. Hal ini dilakukan oleh
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
pedagang gultik dengan munculnya kesepakatan-kesepakatan yang mengatur hubungan sosial
mereka.
Semi autonomous social field secara umum memiliki beberapa karakteristik yang
khas. Istilah semi otonom digunakan karena aturan-aturan yang merupakan semi autonomous
social field muncul dan dibuat oleh masyarakat sendiri dan mengikat masyarakat yang
merupakan anggota dari bidang-bidang sosial yang terkait. Aturan-aturan tersebut bersifat
koersif karena itu memiliki mekanisme pemaksa agar dapat menjamin pelaksanaan atau
penerapannya. Bidang-bidang sosial ini tidak mutlak otonom karena rentan dengan pengaruh
lingkungan luarnya. Terakhir, bidang-bidang sosial semi otonom yang dimaksudkan di sini
tak selalu berbentuk organisasi yang terstruktur rapih tetapi dapat juga berstruktur cair.
(Moore, 1978: 55-58).
Terkait dengan aturan biasanya terdapat benda yang menggambarkan bahwa suatu
individu masuk dalam suatu golongan masyarakat, konsep lain yang relevan adalah atribut
identitas. Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi baik disengaja maupun tidak, yang
dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidiri seseorang atau
suatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari benda atau tubuh orang,
sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan, atau bahasa yang digunakan. Corak jatidiri
seseorang ditentukan oleh atribut-atribut yang digunakan, yaitu agar dilihat dan diakui ciri-
cirinya oleh para pelaku yang dihadapi dalam interaksi, agar jatidiri dan peranan seseorang
tersebut diakui dan masuk akal bagi pelaku yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada jatidiri
yang tidak dapat diubah, walaupun dapat ditutupi untuk sementara, dan ada jatidiri yang
dapat dengan mudah diubah dengan cara memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah atribut
yang diperlukan untuk tujuan tersebut (Suparlan, 2005: 29-30).
Menurut Agusyanto (2013: 223) Kontrol Internal atau Pengendalian Sosial ini
merupakan pengendalian yang terpola (dalam diri individu) yang bersandar pada alat
pencegahan seperti rasa malu dan takut akan hukuman supernatural. Ini berkaitan dengan
aktor pedagang gultik di Blok M yang membentuk aturan dagang yang diberlakukan setiap
pedagang berdasarkan kesepakatan supaya tidak terjadi konflik yang artinya juga sebagai alat
pengendalian supaya mereka tetap menjaga ketertiban sosial di lingkungan pedagang.
Adapun aturan ini sudah menjadi kontrol internal bagi mereka karena mereka takut bahwa
bila mereka berlaku curang dengan menambahkan bahan baku yang sudah ditentukan maka
rezeki yang ia terima tidak akan berkah. Mereka malu jika melakukan kecurangan dalam
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
berdagang gulai tikungan karena ada kesepakatan-kesepakatan yang sudah ada. Rezeki yang
merupakan berkah ini merupakan ketakutan akan hukuman supernatural dari kepercayaan
mereka, yaitu agama yang mereka anut. Kontrol internal yang terbentuk tersebut membentuk
aturan pada para pedagang gulai dan mengatur interaksi mereka mulai dari mencari bahan
baku, penetapan harga sampai pemasaran ke konsumen. Pengendalian sosial ini ditunjukan
untuk memelihara ketertiban sosial di masyarakat yang ditunjukan dengan terbentuknya
jaringan sosial pedagang gultik dan aturan-aturan yang mereka gunakan demi menjaga
hubungan sosial diantara mereka.
Bila ditinjau dari hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial yang ada dalam
masyarakat, dapat dibedakan menjadi tiga jenis jaringan sosial. Pertama adalah Jaringan
kekuasaan (power), merupakan jaringan dimana hubungan-hubungan sosial yang
membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam
jaringan kekuasaan konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan antar pelaku di dalamnya
disengaja atau diatur. Tipe jaringan sosial ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang
telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi antar ketehubungan antar
pelaku biasanya bersifat permanen. Unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau
distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial ini harus mempunyai pusat
kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja unit-unit sosialnya, dan
mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dengan demikian jaringan
sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para anggotanya untuk
memenuhi kewajiban secara sukarela tanpa intensif.
Kedua, jaringan kepentingan (interest), yang merupakan jaringan dimana hubungan-
hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna
pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini
adalah sebentar dan berubah-berubah. Sebaliknya jika tujuan-tujuan tersebut tidak sekonkrit
dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut hampir selalu berulang, maka struktur yang
terbentuk relatif stabil dan permanen.
Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar
hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dimana hubungan-hubungan sosial itu
sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan
perasaan ini cenderung mantap dan menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai perilaku-perilaku lain dalam jaringan. Oleh
karena itu adanya saling kontrol yang relatif kuat antar pelaku (Agusyanto, 1996: 18-19).
Ketiga hubungan sosial ini terlihat dalam aktor gulai tikungan yang saling berinteraksi satu
dengan lainya dalam konteks-konteks tertentu.
Hubungan patron klien juga terdapat dalam jaringan pedagang gultik yang mana
mereka sebagai pedagang gultik menjadi klien sedangkan bos-bos yang memberinya modal
untuk berdagang sebagai patronya. Hubungan ini bisa digambarkan sebagai hubungan bapak-
anak yang mana menurut James C Scott adalah :
“Sebagai hubungan antar peranan-peranan dapat didefinisikan sebagai kasus khusus ikatan-ikatan diadik yang memperlihatkan hubungan pertemanan yang sebagian besar melibatkan instrumental dimana seorang individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan sumber daya dan kekuatanya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan (atau ke dua-duanya) kepada orang dengan status sosial yang lebih rendah yang membalas pemberian-pemberian tersebut dengan memberikan kepada patron dukungan yang mencakup jasa pribadi", (Scott, 1977 :125)
Metode Penelitian
Metode penelitian yang saya lakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode yang dianalisis secara deskriptif dan lebih banyak menekankan pada pendekatan
kualitatif. Adapun beberapa cara saya untuk memperoleh data-data yang ada di lapangan
maupun data otentik yang membahas “Pola Hubungan Sosial Pedagang Kaki Lima : Kontrol
Internal dan Kontrol Eksternal dalam Pedagang Gulai Tikungan, Blok M, Kebayoran Baru”
yaitu Pengamatan langsung yang dilakukan di lapangan yaitu di daerah Blok M yang
terdapat pedagang gulai tikungan dari berbagai spot dagang yang berbeda. Pengamatan ini
dilakukan dengan melihat hubungan yang terjadi pada lingkup pedagang gultik teresebut.
Saya juga mewawancara informan yaitu orang-orang yang menjalankan usaha gulai dan
melakukan interaksi serta hubungan dengan preman atau aparat keamanan disana. Tehnik
wawancara ini dilakukan sebagai data lapangan yang nantinya dihubungkan dengan kerangka
berfikir mengenai pola hubungan sosial yang telah saya buat. Saya juga memasuki lebih
dalam mengenau kehidupan pedagang gultik ini dengan melakukan observasi partisipatoris
terhadap pedagang yang memegang penting hubungan sosial di jaringan sosial ini dengan
cara berbaur dengan para pedagang. Observasi ini saya lakukan beberapa kali di hari yang
berbeda-beda. Observasi ini saya lakukan ketika salah satu pedagang yang bernama Pak Pian
dimana ia mulai pergi ke pasar jam setengah enam pagi di pasar Kebayoran, lalu ia mulai
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
memasak bahan-bahan gulai tikungan di lokasi berjualan gultik pada pukul setengah tujuh
pagi, sampai akhirnya ia selesai berjualan jam 4 sore karena ia digantikan oleh pedagang lain.
Kemudian dilanjutkan oleh Pak Bambang yang berjualan bisa sampai jam 2 pagi.
Metode wawancara yang saya lakukan adalah metode wawancara tak bestruktur
yaitu metode wawancara bias yang bersifat bebas atau terfokus (Koentjaraningrat 1999 :
139). Dalam metode ini tidak memakai kuisioner akan tetapi wawancara dilakukan dengan
panduan wawancara yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan dari data yang dicari.
Wawancara ini bebas dilakukan terhadap keduapuluh pedagang gultik guna mengetahui latar
belakang dan peran mereka dalam suatu jaringan pedagang gultik. Wawancara ini digunakan
untuk mengidentifikasi posisi-posisi aktor yang terkait dalam pedagang gultik ini. Saya
melakukan wawancara yang terfokus pada konteks tertentu pada masing-masing pedagang
supaya dapat melihat pola hubungan sosial yang terbentuk.
Aturan Main dalam Berdagang
Kemunculan gulai tikungan di terminal Blok M ini awalnya tidak dikenal sebagai
gulai tikungan karena mereka berjualan di terminal. Setelah kepindahannya ke belakang Blok
M Plaza yang saat itu masih gedung bioskop. Gulai ini mulai banyak di beli oleh orang-orang
karena kekhasan rasa dan cara berjualan mereka yang memakai pikulan. Kemudian dari
berbagai konsumen yang datang ke tempat tersebut akhirnya banyak yang menamakanya
sebagai gulai tikungan karena mereka berada di tikungan belakang Blok M Plaza. Banyak
orang yang memberi nama gulai tikungan membuat banyak orang yaitu khususnya penduduk
yang tinggal di Jakarta Selatan ini familiar didengar. Namun, karena gulai tikungan ini terlalu
panjang untuk disebutkan atau dilafalkan maka, orang-orang menyingkat gulai tikungan ini
dengan sebutan gultik.
Kemunculan gulai tikungan awalnya tidak memiliki aturan yang saklek antar
pedagang. Setelah tahun ke tahun pedagang ini mulai terdapat aturan mengenai jumlah piring,
porsi maupun pikulan yang menjadi ciri khas bagi mereka. hampir setiap tahunya pada awal
1990-an setiap mereka pulang kampung ke Solo, saat hari raya idul fitri, mereka biasanya
mengajak akan mengajak kerabatnya untuk bekerja di Jakarta untuk menjual gulai tikungan,
yang mana akhirnya pedagang gulai tikungan mulai menjamu di kawasan belakang Blok M
Plaza. Mereka juga mengajak tetangga maupun kerabat tempat tinggalnya di Jakarta yang
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
mana mereka tidak berasal dari Solo saja, namun ada yang berasal dari Betawi, Makassar,
Batak maupun daerah lainya. Hubungan yang yang terjalin antar pedagang ini sudah cukup
lama terjalin disini. Mereka saling menghargai pedagang satu dengan yang lainya dengan
cara penentuan spot yang dilakukan oleh mereka. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh
pernyataan pak Kumis.
“..kalo disini emang udah ada tempatnya sendiri mas... kalo yang dagang gultik tempatnya yaa di sekitaran sini sampai kesana.. (menunjuk daerah tikungan Blok M sampai jalan Menuju mahakam). Kalo pedagang lainya biasanya disana.. cuma saya gak kenal-kenal banget sama orang sana soalnya kan itu cuma kuli dan masih baru-baru dagang, cuma kadang aja ngobrol kalo lewat..” (Wawancara dengan Pak Kumis)
Dengan kata lain penentuan spot tersebut sebagai salah satu cara yang digunakan
para pedagang untuk menghargai dagangan orang lain dengan tidak mengambil lapak atau
tempat orang lain berdagang. Mereka juga menjaga hubungan dengan mengobrol dengan
pedagang lainya walaupun intensitas mereka mengobrol hanya sesekali saja atau dapat
dikatakan jarang. Interaksi yang mereka lakukan hanya sekedar hubungan tatap muka saja.
Di sini terdapat aktor yang disebut pedagang individu, kuli dagang dan bos.
Pedagang individu adalah pedagang yang berasal dari Solo. Pedagang kuli ialah pedagang
yang direkrut oleh aktor yang dianggap bos. Bos yang dimaksud dalam aktor gultik disini
ialah orang yang menjadi pemodal mereka dalam melakukan kegiatan dagang gulai tikungan.
Bos ini bisa disebut sebagai orang yang senior dalam bidang gulai tikungan karena mereka
ternyata awalnya juga merupakan pedagang gulai tikungan. Bos ini merupakan pedagang
yang menjual gulai tikungan pada awal kemunculanya tahun 1988-an di sekitar belakang
Blok M. Kemudian bos ini karena sekiranya mereka sudah lebih sukses dari pedagang lain
mereka memperkerjakan orang lain untuk berjualan gultik.
“..wah iya dulunya sih saya juga jualan gultik mas, pas masih 2-3 orang, tapi ya karena udah cukup lah duitnya buat beli beberapa pikulan, yah saya beliin aja tuh trus ajak temen saya buat jualan. Kan sama-sama untung jadinya mas..” (Wawancara dengan Ibu Pipit)
Mereka ini tidak semua memperkerjakan teman atau kerabat dekatnya karena
beberapa kuli (pedagang yang mendapat modal) yang menjual gultik ini adalah teman dari
kerabat lainya yang sedang membutuhkan pekerjaan. Hal itulah yang membuat pedagang
gultik ini tidak semua berasal dari daerah yang sama. Dalam aktor gulai tikungan ini terdapat
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
sekiranya 2 bos yang membawahi beberapa kuli dagang. Hubungan yang terjalin antar
pedagang dengan bosnya ini sangat harmonis karena mereka saling membutuhkan satu
dengan yang lainya.
Awalnya aturan ini belum dibuat oleh para pedagang pada saat mereka memulai
berjualan di daerah terminal Blok M. Aturan mengenai porsi satu piring gulai tikungan ini
terbentuk dari awal gulai tikungan berada di daerah tikungan Blok M menuju jalan mahakam.
Aturan tersebut dibentuk dari sebuah filosofi jawa dimana mereka (orang-orang Jawa) hidup
secara subsisten atau dapat dikatakan tidak boleh lebih maupun kekurangan. Aturan
mengenai satu piring ini memang diperuntukan untuk para konsumenya supaya mereka tidak
makan terlalu kenyang maupun tidak kekenyangan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak
Bambang sebagai pedagang yang berasal dari Solo (Jawa Asli).
“..Itu mah porsinya udah pas mas... biar yang makan nanti ga terlalu kenyang.. kan kalo di jawa kaya gitu mas, kalo makan ga boleh kenyang-kenyang, sama kaya islam ngajarinya gitu... kalo porsinya ditambahin nanti malah kekenyangan...” (Wawancara dengan Pak Bambang)
Harga satu porsi piring di sini Rp.9000 tetapi dulu pada pada zaman Presiden
Soeharto tahun 1985-1990 harga satu porsi gultik ini hanya dihargai Rp.500. Harga satu porsi
setiap pedagang gultik ini selalu disesuaikan ke seluruh aktor gultik. Maksudnya ialah setiap
ada perubahan harga, maka pedagang ini membuat kesepakatan untuk menyamaratakan harga
satu porsi. Terkadang banyak konsumen yang makan gultik dua porsi sekaligus dikarenakan
porsi gulainya yang dapat dikatakan sedikit. Biasanya pada awalnya pembeli membeli satu
porsi, tetapi pada kenyataanya banyak pembeli yang akhirnya membeli satu porsi lagi untuk
dimakan. Hal itu tidak membuat para pedagang menjadi berfikir ulang untuk mengubah atau
menambahkan porsi yang sudah ditetapkan sejak dahulu karena menurut mereka porsi yang
sudah disediakan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan perut dan sudah sesuai dengan
kesepakatan bersama. Banyak juga pembeli yang mengatakan bahwa membeli satu porsi
gultik itu belum bisa membuat perut kenyang tetapi kalo menambah satu porsi lagi, jadinya
kebanyakan atau kekenyangan.
Uniknya aturan satu porsi yang awalnya adalah kesepakatan antara pedagang Jawa,
ini dilakukan juga oleh pedagang-pedagang yang tidak mempunyai latar belakang orang Jawa
yaitu orang Makassar, Betawi dan Sunda. Berbagai pedagang yang menjual gulai tikungan
disini memiliki porsi yang sama antara yang satu dengan yang lainya. Hal itu dilakukan
karena mereka (pedagang yang berasal dari luar Jawa) merupakan aktor-aktor yang terdapat
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
dalam organisasi sosial pedagang gulai tikungan, otomatis mereka harus menghormati
kebudayaan yang sudah melekat pada para pedagang. Hubungan-hubungan ini berlangsung
terus-menerus sampai akhirnya ini sudah menjadi mendarah-daging dan menjadi budaya di
dalam keseluruhan aktor gulai tikungan. Dengan kata lain, filosofi Jawa ini sudah menjadi
pedoman bagi para pedagang gulai tikungan dalam melakukan interaksi dan menjadi kontrol
internal bagi aktor-aktor yang terkait.
Berbeda dengan kontrol internal yang terbentuk dalam pedagang gultik Jawa, di sini
bentuk pengendalian yang dilakukan pedagang gultik di luar etnis Jawa merupakan kontrol
eksternal bagi mereka, layaknya “hukum positif” yang ditunjukan dengan mengikuti aturan
yang dianjurkan. Otomatis ini merupakan respon adaptif yang dilakukan pedagang diluar
Jawa yang juga merupakan aktor yang terkait di dalam kesatuan pedagang gultik. Hal itu mau
tidak mau dilakukan oleh seluruh aktor yang berada dalam lingkup wilayah gulai tikungan
untuk turut mengikuti seperangkat aturan main yang ditaati keseluruhan pedagang di sini.
Dalam menjual gulai, para pedagang gultik ini menggunakan pikulan sebagai wadah
dari seluruh bahan-bahan yang mereka bawa seperti nasi, gulai yang ada di sebuah gentong
berukuran lumayan besar, saos, kecap, piring serta sendok dan garpu. Pikulan yang mereka
gunakan ini berbentuk sangat khas dengan bagian kiri yang diisi dengan bakul nasi dan
piring, sedangkan di sisi kanan di sisi dengan gentong yang di dalamnya terdapat gulai yang
dipanaskan setiap saat. Pikulan yang digunakan pun dengan bentuk dan model yang sama
antara aktor yang satu dengan yang lainya yang bisa dilihat seperti gambari bawah ini.
Sebenarnya mereka membawa seluruh bahan masakan untuk gulai yang dijual
menggunakan gerobak. Gerobak ini hanya sebagai tempat menampung bahan makanan saja
supaya mereka mudah membawanya, namun, setelah sampai di area gultik, mereka
diharuskan untuk memakai pikulan dalam menjual gulainya. Hal itu dilakukan supaya gultik
dapat tetap eksis dalam mempertahankan budaya yang telah dibawa sejak dahulu. Budaya
tersebut sudah menjadi ciri khas yang yang dimiliki gultik di daerah ini. Selain itu, bila
berjualan dengan gerobak atau yang lainya dapat memicu anggapan bahwa pedagang tersebut
berjualan lebih dari 200 piring.
“Kalo gak jual pake pikulan yaaa gak bisa jualan disini, soalnya semua yang jualan gulai disini pasti pake pikulan, bukan gerobak. Kalo ada yang pake gerobak ya jangan jualan disini mas kecuali yaa jualanya beda bukan gulai” (Wawancara dengan Pak Kumis)
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Selain sebagai ciri khas, Pikulan ini juga sebagai alat yang menjadi pembeda dari
organisasi sosial pedagang gultik. Ini digunakan supaya orang-orang yang berada di luar
organisasi sosial ini mengetahui keberadaan aktor- aktor yang terkait dengan organisasi sosial
pedagang gultik. Ciri khas yang menjadi pembeda gulai tikungan yang berupa Pikulan
tersebut menjadi simbol bagi para pedagang gultik yang sudah membudaya yaitu sebagai
simbol kesederhanaan bagi mereka yang mana itu seperti pernyataan talal asad.
“Hubungan antara simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai hubungan satu arah dimana hubungan budaya memmpengaruhi dan membentuk kehidupan sosial” Talal Asad (1983 : 40)
Hal tersebut dibuktikan dengan pedagang-pedagang gulai tikungan yang menjadikan
pikulan yang digunakan mereka berjualan ini sebagai simbol budaya atau ciri khas yang
membedakan mereka dengan pedagang lain. Pikulan sebagai simbol budaya mereka ini juga
dihubungkan dengan kehidupan sosial mereka sebagai pedagang gulai tikungan yang mana
mereka masih memegang teguh filosofi kehidupan subsisten orang Jawa, yang mana mereka
tidak ingin mengubah pikulan yang hanya dapat memasak sekitar 100 piring dengan gerobak
atau membuat outlet sendiri supaya dapat memasak lebih banyak gulai setiap harinya. Hal itu
terjadi karena memang mereka memiliki aturan sendiri yang mengatur jumlah piring yang
harus dijualkan setiap harinya. Artinya simbol budaya ini sangat berkaitan dengan kehidupan
sosial yang mengisyaratkan bahwa Hubungan ini merupakan hubungan satu arah yang
membentuk kehidupan sosial pedagang gulai tikungan.
“..ini mau yang kuli dagang atau yang pedagang – pedagang jawa yaa semua mesti pake pikulan, tapi kalo saya sih emang tinggal jualin aja, biasanya bos saya udah kasih tau nanti ke orang-orang yang nganter buat nyiapin pikulan dan semuanya.. “ (Wawancara dengan Pak Iwan)
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam aturan pikulan yang terkait dengan
penjelasan Suparlan (2005) mengenai atribut yang kegunaanya untuk mengenali identitas
atau jatidiri seseorang atau suatu gejala. Atribut yang terlihat dalam pedagang gulai tikungan
ini berupa ciri-ciri yang menyolok dari benda. Benda tersebut berupa pikulan yang bukan
ditunjukkan oleh pedagang yang beretnis Jawa saja melainkan berlaku kepada keseluruhan
aktor pedagang gulai tikungan. Hal ini diakui sebagai ciri-ciri para aktor yang dihadapi dalam
interaksi, agar jatidiri dan peranan seseorang tersebut diakui dan masuk akal bagi aktor lain
yang terlibat dalam interaksi tersebut. Ada jatidiri yang tidak dapat diubah, walaupun dapat
ditutupi untuk sementara dan ada jatidiri yang dapat dengan mudah diubah dengan cara
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
memanipulasi atau mengaktifkan sejumlah atribut yang diperlukan untuk tujuan berdagang.
Hal ini dilakukan mereka karena ciri-ciri ini sudah menjadi aturan main yang harus mereka
taati untuk dapat berdagang gulai di daerah Blok M.
Aturan jumlah piring yang dimaksud ini ialah aturan yang mengharuskan pedagang
menyesuaikan jumlah piring yang mereka jual setiap harinya dengan keseluruhan aktor yang
terdapat dalam kesatuan pedagang gulai tikungan. Aturan jumlah piring ini sebenarnya tidak
secara tertulis termuat ataupun diharuskan secara paksa oleh para pedagang, namun ini
merupakan cara berdagang pedagang Jawa yang pertama berjualan gulai di sini. Aturan main
mengenai jumlah piring terdapat nilai-nilai yang mengisyaratkan pedagang Jawa di sini tidak
semata-mata mementingkan keuntungan saja karena yang terpenting adalah dapat
menghidupi kehidupan mereka sehari-hari.
Aturan piring yang harus dijual dalam aturan main pedagang gulai tikungan ini
adalah berjumlah 200 piring untuk setiap hari. Hal ini awalnya ditentukan oleh dua pedagang
yang merintis gulai tikungan saat sudah berada di tikungan Blok M. Penentuan jumlah piring
ini ditentukan dengan cara mereka menjual dagangan seperti biasa tanpa ada ketentuan
apapun. Awalnya mereka membeli bahan baku untuk 250 piring, namun ketika jumlah piring
lebih dari 200 piring mereka selalu merugi dan menyisakan beberapa porsi, akhirnya Pak
Kumis selalu mengurangi jumlah piringnya sampai dengan 200 piring. Pada saat sudah 200
piring, ternyata dagangan gulai yang mereka jual ini selalu mendapatkan untung dan semua
piring habis ludes. Di sinilah mereka mulai menentukan bahwa mereka harus menjual 200
piring setiap harinya dan selalu habis oleh para pembelinya. Keuntungan yang didapat
sebenarnya tidak banyak tetapi saat mereka tidak bisa menghabiskan 200 porsi, mereka juga
tidak akan merugi. Ketika dagangan yang mereka jual ini mendapatkan untung dan habis,
maka mereka harus menjual dengan jumlah piring yang sama dengan catatan berdagang di
tempat yang sama juga. Mereka tidak boleh mengurangi atau melebihkan piring walaupun
pada hari itu pembeli yang datang melebihi dari kapasitas piring gulai yang mereka sediakan
setiap harinya.
“..orang kampung saya (Solo) kalo jualan gak mikirin untungnya dulu.. yang penting bisa hidupin kehidupan sehari-hari aja dulu..” (Wawancara dengan Pak Kumis)
Dari berbagai penjelasan diatas tersebut terlihat bahwa beberapa prinsip dagang
orang jawa ini diikuti oleh para pedagang gulai tikungan Blok M sebagai nilai kecermatan
dan ketelitian untuk memperoleh hasil yang dikehendaki dengan menetapkan aturan 200
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
piring tersebut, serta melaukam kalkulasi untung rugi yang sangat matang. Mereka juga
selalu menabungkan uangnya untuk kehidupan keluarga mereka (dikelolah mandiri), dan
menahan diri dari segala hawa nafsu yang dibuktikan dengan semua aktor yang terlibat tidak
melakukan kecurangan atau keserakahan dengan menjual piring melebihi aturan yang
berlaku walaupun aturan tersebut tidak tertulis atau tidak terbentuk secara formal namun
terbentuk secara personal (kontrol internal). Kemudian, yang paling penting gulai tikungan
ini menekankan etos dagang yang menjadi nilai utama orang jawa seperti pernyataan diatas
yaitu bukan dari harta yang diperoleh tetapi ini harus benar menurut tradisi dan ajaran agama
serta juga menjaga semangat kebersamaan antar aktor yang terkait dalam pedagang gulai
tikungan dengan menekankan kekeluargaan. Itu semua ditujukan dengan terciptanya
keharmonisan diantara mereka.
Merujuk pada Moore (1978) aturan-aturan main ini yang terbentuk di sini awalnya
hanya kesepakatan sebagian aktor saja, namun ketika ada beberapa aktor lain yang masuk ke
dalam suatu organisasi mereka harus mengikuti aturan-aturan main tersebut. Aturan main ini
bersifat koersif karena itu memiliki mekanisme pemaksa agar dapat menjami pelaksanaan
dan penerapanya dalam suatu konteks sosial. Bidang-bidang sosial semi otonomi ini tidak
selalu berbentuk organisasi yang membuat aktor yang dibawah harus menaati aturan dari
atas, namun dalam hal ini aturan ini berstruktur cair yang membuat kesepakatan-kesepakatan
terjadi dalam seluruh aktor gulai tikungan demi keadilan atau pemerataan keuntungan
keseluruh pedagang gulai tikungan.
Keadilan yang terbentuk di antara aktor sosial gulai tikungan ini diperkuat dengan
aturan-aturan yang mengatur segala interaksi mereka secara tidak langsung membentuk
hubungan kerjasama. Aturan-aturan main yang berasal kesepakatan antar pedagang tersebut
meminimalisir terjadinya konflik diantara mereka yang mana seakan ini membentuk
keteraturan sosial. Artinya aturan main awalnya dibuat sebagai cara berdagang sebagian
pedagang saja, sekarang digunakan keseluruhan aktor gulai tikungan supaya keteraturan
sosial tercapai.
Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa aktor-aktor yang ada dalam
organisasi pedagang gulai tikungan, ternyata ada beberapa macam hubungan sosial yang
terjadi yaitu salah satunya hubungan kuli dagang dan bos (pemilik / pemodal). Dalam
organisasi gulai tikungan ini terdapat beberapa gulai tikungan yang di kelola secara mandiri
dan ada pula yang dikelola secara patron klien. Dalam organisasi sosial yang utuh ini
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
terdapat beberapa hubungan sosial dalam lingkup yang lebih kecil. Dari informasi yang
didapat terdapat 2 jenis pedagang dalam lingkup pedagang gulai tikungan. Pertama, gulai
tikungan yang dikelola secara mandiri yang pengelolaanya berdasarkan kekerabatan (adik-
kakak, maupun saudara kampung). Adapun pedagang yang dikelola secara sistem bos dengan
hubungan patron klien karena tidak semua aktor yang terdapat di sini ini berasal dari daerah
yang sama. Hal ini ditunjukan dengan perbedaan ras maupun etnis pada sistem bos yang
mengenal istilah kuli dagang. Kuli dagang ini ada yang berasal dari Jawa Timur (Malang),
Jakarta, Makassar, Jawa Tengah dan Medan.
Hal yang menarik di lokasi gulai tikungan ini ialah ketika pedagang gulai tikungan
yang berasal dari ras dan etnis yang berbeda ini diharuskan untuk menjual gulai dengan
aturan main yang sudah ditentukan oleh pedagang Jawa. Namun, hal ini tidak membuat
pedagang-pedagang yang berasal dari luar Jawa menjadi terpaksa menjalankan aturan yang
ada. Hal ini mengisyaratkan bahwa kontrol internal tidak hanya dimiliki oleh pedagang-
pedagang yang beretnis Jawa saja, namun juga dimiliki oleh pedagang yang memasuki ruang
lingkup gulai tikungan Blok M dengan kesepakatan yang tercipta dari diri mereka sendiri.
“..iya disini saya sih ikutin aja aturanya bang, porsinya harus pas, terus juga saya gak jualan lebih dari 200 piring bang, kalo saya jual lebih dari itu kan namanya ngambil rejeki orang bang, nanti kalo berantem berabeh..”(Wawancara dengan Pak Pian)
Hal ini menandakan bahwa kesepakatan yang tidak tertulis ini sudah masuk ke
dalam pikiran pedagang dari luar Jawa. Penuturan diatas dapat diartikan sebagai kontrol
internal bagi etnis Jawa, dan kontrol eksternal bagi berbagai etnis yang berada di wilayah
gultik Blok M yang terbentuk tersebut membentuk aturan pada organisasi gulai tikungan dan
mengatur interaksi mereka mulai dari mulai dari pikulan yang digunakan, porsi tiap piringnya
sampai dengan jumlah piring yang harus dijualkan. Pengendalian yang dilakukan ini seolah-
olah menampakan sanksi (kontrol eksternal) masyarakat yang ditunjukan oleh bala atau
musibah yang didapat. Pengendalian sosial ini ditunjukan untuk memelihara ketertiban sosial
di masyarakat yang ditunjukan dengan terbentuknya organisasi gulai tikungan dan aturan-
aturan yang mereka gunakan demi menjaga hubungan sosial diantara mereka supaya tidak
terjadi konflik.
“..iya mas asli betawi, iya kan saya bilang saya Cuma jualin aja disini, Cuma tetep ikutin aturan main aja.... udah ketentuan dari dulu aja mas , kepercayaan dagang jawa kaya gitu... kalo mau jualan disini yaa gitu.. tapi bukan ketentuan dari bos..” ( Wawancara dengan Pak Iwan)
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Aturan tersebut juga diberlakukan pada pedagang yang dalam aturan patron klienya
memiliki aturan sendiri. Aturan yang diberlakukan antar kuli dagang dan bos ini biasanya
mengenai waktu kerja yang diberikan. Di sini terdapat dua bos yang mengatur segala
aktivitas dan interaksi aktor gulai tikungan. Bos yang bernama Ibu Pipit memliki aturan
waktu kerja yang dikenal sebagai sistem shift antar pedagang. Ada pedagang yang berjualan
dari jam 10 pagi sampai jam 4 sore, adapun pedagang yang berjualan dari jam 4 sore sampai
dengan 3 pagi. Waktu kerja yang diberlakukan oleh bos kepada pedagang gulai tikungan ini
tidak mempengaruhi aturan main dalam gultik di wilayah Blok M. Sistem kerja seperti ini
pun dapat memodifikasi aturan seperti aturan 200 piring yang harus dijualkan tiap pedagang.
Mereka yang berjualan pagi hari ini menjualkan 100 piring pada jam 10 pagi sampai 4 sore,
sedangkan pedagang yang nantinya menggantikan pada spotnya juga akan menjual 100 piring
dari jam 4 sore sampai dengan 3 pagi.
Adapun aturan lain yang dibuat oleh bos Pak Slamet. Aturan yang dibuat oleh Pak
Slamet ini sama dengan Ibu Pipit yaitu mengenai jam kerjanya juga namun sistem waktu
yang diberikan oleh pak slamet berbeda dengan Ibu Pipit. Sistem waktu yang mengatur para
aktor gulai tikungan ini yaitu sistem ganti perhari. Maksud dari sistem ini ialah pedagang
sebagai aktor ini selalu berganti setiap harinya, yang mana hari yang satu dengan hari
esoknya akan berbeda. Di sini ia membagi kepada 2 orang pedagang saja, yang artinya setiap
pedagang selalu libur sehari dan kemudian bekerja lagi sebagai kuli gulai tikungan. Aturan
ini tidak mempengaruhi aturan piring yang sudah melekat pada para aktor gulai tikungan
yaitu mereka tetap harus menjual 200 piring setiap harinya tanpa ada modifikasi aturan
seperti pada aturan dalam sistem bos Ibu Pipit.
Pola Hubungan Sosial Berdasarkan Aturan Main
Hubungan patron klien adalah hubungan sosial yang muncul melalui dan di dalam
interaksi-interaksi sosial yang mempunyai ciri-ciri khusus, yang membedakannya dari
hubungan-hubungan sosial lainnya (Suparlan, 2005). Pada pola aturan dengan sistem bos,
aktor gulai tikungan yang dianggap sebagai bos merupakan patron dari beberapa aktor gulai
tikungan lainya. Bos ini membawahi para klien khususnya para pedagang yang sudah
diberikan sumber daya dari bos yang berupa wilayah, peralatan dagang (pikulan), dan
sebagainya yang berhubungan dengan aturan dalam menjual gulai tikungan. Beberapa
pedagang yang mendapatkan sumber daya ini secara jelas dianggap sebagai klien seperti yang
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
diungkapkan oleh Scott (1977 dalam Suparlan, 2005: 259-260) bahwa seorang klien adalah
seorang yang menjalin hubungan saling tukar menukar barang dan jasa secara tidak seimbang
dengan patronya.
Hal itu juga berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh Wolf (2001: 179) bahwa
orang- orang yang terlibat dalam hubungan patron-klien tidak bertukar barang dan jasa secara
ekuivalen. Patron memberikan manfaat yang kasat mata seperti bantuan seperti peralatan
dagang, menentukan waktu dan wilayah berdagang untuk para klien yang mana itu
merupakan bantuan sumber daya khusunya dalam bidang ekonomi. Sedangkan, para klien
memberikan manfaat timbal balik secara kasat mata dan tidak kasat mata seperti seperti
dukungan untuk para klien seperti setor uang untuk tiap harinya dan kesetiaan untuk para
bosnya. Para pedagang yang menjadi klien ini seperti pak Iwan dan Pak Pian ini harus
mengikuti aturan yang diberikan oleh bosnya. Aturan yang diberikan ini yaitu mengenai
aturan wilayah dan aturan waktu berjualan para pedagang. Aturan wilayah ini menentukan
dimana mereka harus berjualan di lokasi gulai tikungan namun, aturan ini tidak sepenuhnya
berlaku di lapangan karena yang berhak menentukan lokasi ini ialah hubungan para aktor di
lokasi tempat yang berhubungan dengan pedagang lain dan arek-arek setempat. Adapun
aturan mengenai waktu ini sepenuhnya ditentukan oleh patron kepada klienya yang membuat
mereka harus berjualan sesuai dengan aturan yang diberikan oleh para bos. Aturan waktu ini
terbagi dua yaitu aturan yang diberikan oleh Pak Slamet kepada Pak Iwan, dimana ia harus
berjualan sesuai waktu yang ditentukan yaitu ia mendapat aturan shift dengan pedagang
lainya yang ditentukan dengan hari dimana ia harus bekerja. Sedangkan Ibu pipit yang
merupakan patron dari beberapa pedagang gultik seperti Pak Pian memberikan aturan shift
seperti apa yang dilakukan oleh pak Slamet kepada klienya namun aturan tersebut ditentukan
oleh waktu pagi-sore dan sore-malam. Pola hubungan salah satu hubungan patron klien, bos
dan pedagang ini dapat dilihat dari gambar dibawah.
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Gambar 1. Pola Hubungan Patron Klien
Patron dalam hal ini mempunyai kedudukan dan kekuatan sosial-ekonomi yang lebih
tinggi, juga kekuatan sosial yang lebih besar dibandingkan klienya. Selain itu,
ketidakseimbangan hubungan diantara patron dan kliennya juga muncul dan menjadi suatu
hal yang fixed, karena adanya ketidakseimbangan dalam hal saling tukar menukar benda dan
jasa tetapi dinilai seimbang oleh masing-masing pelakunya. Ketidakseimbangan ini muncul
karena patron berada dalam posisi untuk memberikan benda dan jasa secara sepihak, yang
dibutuhkan oleh klien dan bahkan juga untuk kelangsungan hidup klien itu sendiri. Pola
hubungan ini tetap bertahan sampai sekarang karena patron dapat memenuhi kebutuhan
kliennya dalam dimensi kultural maupun dimensi objektif.
Adapun hubungan sosial yang dipengaruhi kekuasaan juga terdapat di wilayah
pedagang gulai tikungan yaitu dalam kasus arek-arek Blok M dan Para pedagang gulai
tikungan. Hubungan kekuasaan dalam kasus ini lebih memperlihatkan adanya
ketidakseimbangan kekuatan (Power) antar Arek-arek Blok M dengan para pedagang yang
mana terlihat jelas bahwa para pedagang tunduk ketika Arek-arek Blok M meminta uang
setoran atas alasan untuk alasan keamanan dan wilayah. Artinya hubungan kekuasaan ini
yang mana arek-arek Blok M sebagai aktor yang memiliki power lebih tinggi, memberikan
manfaat kepada para pedagang dalam hal wilayah dagang di area Blok M dan keamanan
mereka berdagang. Sedangkan pedagang gulai tikungan (power lebih rendah) ini memberikan
manfaat dalam memberikan uang setoran yang juga dapat disebut uang keamanan. Selain itu,
uang setoran yang diberikan ini juga disebut sebagai uang pinjaman para arek-arek kepada
pedagang gulai tikungan. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Pak Harun sebagai
berikut.
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
“..iya dulu mah pedagang istilahnya sebelum ujan sedia payung jadi harus ada duit dulu lahhh biar kalo ada yang minta nanti bisa di kasihin. Tapi ya itu minta juga bilangnya buat uang keamanan. Padahal mah gatau mereka ngamanin apa enggak dulu apa supaya pedagang lain ga ada yang masuk apa gimana.... kalo dulu yaaa emang gitu jadi arek-arek suka minta tapi kan yaa ini pedagang bilang kalo lagi punya duit mah yaah dikasih lebih banyak tpi kalo lagi ga rame atau gimana kan dia ngasih seadanya aja. Yah tapi kan serem juga kalo main asal ambil nyolong gitu kan kalo arek-areknya lagi mabok atau emosi..” (Wawancara dengan Pak Harun)
Dari pernyataan tersebut dapat uraikan bahwa uang setoran kepada para arek-arek
ini sebagai hal yang harus dilakukan klien sebagai timbal balik dari keamanan yang diberikan
oleh para arek-arek. Keamanan yang dimaksud di sini supaya pedagang-pedagang di luar
pedagang gulai tikungan seperti pedagang soto, pedagang nasi goreng, pedagang mie ayam
ini tidak berada di wilayah gulai tikungan. Penentuan wilayah ini secara tidak langsung
memperlihatkan batas-batas wilayah yang ditetapkan atau dengan kata lain ini dilakukan
supaya pedagang lain tidak merebut lapak pedagang gulai tikungan. Setoran yang diberikan
kepada arek-arek pun tidak menentu seperti pada hubungan patron klien pada bos-pedagang,
karena dalam hubungan kekuasaan ini mereka dapat menegosiasi setoran yang mereka dapat
berikan kepada preman tergantung dari pedagang itu sendiri dalam me-lobby para arek-arek
Blok M tersebut.
Pola hubungan power ini tidak berjalan secara mulus karena seiring berjalanya
waktu, pola hubungan pedagang dan arek-arek mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi
saat beberapa aktor gulai tikungan ini menerapkan sistem Bos dan kuli dagang. Sistem ini
secara otomatis membuat para Bos yang mana mereka juga pedagang gulai tikungan pada
dahulunya ini harus mencari atau merekrut orang-orang yang ingin bekerja menjadi pedagang
gulai tikungan. Kegiatan-kegiatan ini akhirnya membentuk pengelompokan sendiri tersendiri
dan terjadi perluasan dan penyempitan hubungan-hubungan sosial yang sudah dibina
sebelumnya. Perluasan yang terjadi dalam aktor gulai tikungan ini berupa sistem perekrutan
kuli dagang yang diberlakukan oleh bos.
“..kuli dagang yang saya pekerjakan sih tetangga-tetangga saya pas saya tinggal di jakarta mas, tapi ternyata pak pian tuh punya temen arek Blok M jadi yaa arek jadi bantuin kita jualan..” (Wawancara dengan Ibu Pipit)
Dalam perluasan hubungan tersebut yang menarik adalah ketika pak Pian yang
notabene ialah pedagang gulai tikungan yang direkrut oleh ibu Pipit memiliki hubungan
pertemanan dengan salah satu pedagang warung yang merupakan teman dari salah satu arek-
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
arek Blok M. Pedagang warung ini sering dipanggil oleh sebutan si Batak oleh Pak Pian
maupun arek-arek. Hal ini menarik karena hubungan kedua aktor tersebut imembuat pola
hubungan kekuasaan yang sudah lama terbina di lokasi gulai tikungan berubah seketika.
Padahal bila dilihat dari segi posisi, Pak Pian ini hanyalah pedagang yang baru direkrut,
namun, pada kenyataanya posisinya dianggap tinggi oleh beberapa aktor lainya karena
bertema dengan arek-arek. Hal itu tidak dijadikan Pak Pian sebagai sesuatu yang negatif
bahkan ini membawa pengaruh positif bagi para pedagang gulai tikungan lainya. Pada kasus
ini Pak Pian dan si Batak merupakan aktor yang menghubungkan relasi pedagang dengan
arek-arek yang mana ini seolah-olah menjadi titik pertemuan berbagai pihak yang membuat
perubahan pola hubungan sosial. Selain sebagai titik penghubung, mereka juga sebagai aktor
utama yang membuat hubungan ini berubah menjadi hubungan sosial yang mengedepankan
faktor kepentingan dan emosional dalam pembentukanya. Dengan kata lain, pembentukan
struktural baru dengan adanya perluasan ini juga membuat pola hubungan kekuasaan yang
dahulu arek-arek mempunyai power lebih besar dari para pedagang, sekarang berubah
menjadi hubungan kerja. Hal diatas juga dapat dibuktikan dari pernyataan pak Pian sebagai
berikut.
“..arek sini jadi yaaa gak mungkin kan mereka minta-minta lagi... jadinya yaaa sekarang mereka nyetorin minuman botol ke kita, atau bantuin kita sih kadang kaya buat nganter gulai..” (Wawancara dengan Pak Pian)
Hubungan-hubungan sosial yang dibina oleh para aktor (tindakan instrumental) ini
dilakukan dalam rangka memperebutkan sumber daya yang tersedia di lokasi yaitu Blok M.
Sumber daya yang dimaksud disini ialah lahan pekerjaan yang menghasilkan nilai ekonomi
bagi para aktor-aktor yang mana ini membuat kekuatan ekonomi yang dimiliki pedagang
gulai tikungan ini secara tidak langsung lebih besar dari pedagang lainya. Hal ini memang
dimaksudkan untuk menghadapi kehidupan di kota yang kompleks. Hubungan sosial yang
terjadi ini merupakan sebuah hubungan kerja antar aktor. Bila dilihat dari pertukaran-
pertukaran yang terjadi hubungan sosial yang terwujud membentuk sebuah pola hubungan
pedagang dengan para preman yang menitipkan minuman botol di beberapa pedagang gulai
tikungan. Hal ini dilakukan setiap hari oleh para arek-arek kepada pedagang pedagang gulai
sebagai perubahan manfaat ekonomi. Selain itu, Pak Pian dan si Batak yang menjadi
penghubung hubungan ini membuat hampir di seluruh pedagang ini dititipkan minuman botol
dan sisanya ialah arek-arek yang secara individu menjual minuman botol. Pedagang yang
dititipkan minuman botol pun tidak mengambil keuntungan dari hasil menjual minuman
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
botol. Dengan kata lain, hubungan emosi yang diaktifkan dalam perluasan di sini diwujudkan
dalam rangka memperoleh power dan sumber daya di lokasi Blok M. Hubungan ini terbentuk
karena adanya kesamaan tujuan dan mereka menganggap bahwa mereka memiliki kesamaan
nasib yang membawa mereka bekerja di daerah Blok M.
“..kita mah gak ngambil untung dari minuman botol ini mas, kita kasih semua keuntunganya ke arek-arek, yaaa... biar sama-sama enak kan kalo gini, sama-sama untung...” (Wawancara dengan Pak Pian)
Pada perubahan pola hubungan sosial antara arek-arek dan pedagang terdapat
hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Hal ini bermakna pada tujuan-
tujuan tertentu atau khusus. Struktur yang muncul dari hubungan sosial hampir selalu
berulang, maka hubungan sosial ini memliliki struktur yang terbentuk relatif stabil dan
permanen. Salah satu hubungan yang terbentuk di sini ialah bentuk hubungan kerja para
aktornya memiliki tujuan-tujuan khususnya ekonomi supaya mereka dapat berjualan dengan
baik. Hubungan ini menghubungkan beberapa aktor untuk memperlancar dagangan sekaligus
sebagai efisiensi kuli dalam ruang dagang untuk berjualan.
Pola hubungan kerja ini dibahas dalam penelitian ini karena terdapat beberapa
fenomena menarik dalam hubungan ini karena ini berkaitan dengan aturan 200 piring yang
harus dijual. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang saya lakukan di lokasi gulai
tikungan ini memperlihatkan bahwa konsumen ini sudah tersebar keseluruh pedagang gulai
tikungan. Maksudnya ialah masing-masing pedagang di sini sudah memiliki pelangganya
sendiri-sendiri yang membuat mereka tidak saling berebutan satu dengan yang lainya. Hal ini
dilakukan supaya masing-masing dari mereka tidak mengambil rejeki orang lain dan
menimbulkan konflik. Hal ini sudah menjadi sebuah kesepakatan dagang dan aturan main di
masing-masing aktor yang bermain di sini. Biasanya yang mengatur mobilitas pelanggan ini
ialah para tukang parkir. Namun, ada hal yang menarik yang membuat pola hubungan ini
perlu dibahas.
Dalam aturan piring 200 piring terdapat kesepakatan mengenai pelanggan yang
akan berubah pada waktu-waktu tertentu. Konsumen gulai tikungan dalam aturan ini dapat
dikatakan sebagai pelanggan. Hal ini ditunjukan bahwa pelanggan gulai tikungan memiliki
langgananya sendiri di masing-masing pedagang. Misalnya pada gambar di atas yang
menunjukan bahwa pelanggan Pak Bambang suatu waktu dapat beralih menuju Pak Sugeng
dengan alasan ketika Pak Bambang yang sedang mendapat banyak pelanggan sudah hampir
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
menghabiskan 200 piring. Hal itu juga harus diikuti dengan kondisi di mana Pak Sugeng
sedang sepi pelanggan. Pak Bambang akan menyuruh pelanggannya untuk pindah menuju
pak Sugeng. Begitu pula dengan Sugi yang akan mempersilakan pelangganya untuk makan
gulai di Pak Uli jika ia hampir menghabiskan 200 porsi gulai. Hal itu sesuai dengan
pernyataan pak Harun seorang tukang parkir yang menjadi pelanggan pak Agus.
“..waktu itu saya lagi mau makan gulai di pak Bambang, dia malah nyuruh makan di pak sugeng soalnya katanya dia udah gulainya udah mau abis...” (Wawancara dengan Pak Harun)
Hal itu menarik karena aktor-aktor di sini memperlihatkan sifat kekeluargaan yang
sangat kuat berdasarkan seperangkat aturan-aturan main yang berasal dari kesepakatan yang
dibentuk antar aktor tergantung dengan konteks tertentu. Ini membuktikan bahwa kontrol
internal yang ada dalam diri mereka ini berimplikasi juga pada pola hubungan yang
melibatkan konsumen gulai tikungan. adapun beberapa pedagang lain yang menerapkan
kesepakatan seperti ini yaitu Pak Pian dengan Pak Tukiran, Pak Iwan dengan Pak Agus, Pak
Iman dengan Pak Supri.
Hubungan kekerabatan yang terjalin di sini bukan merupakan hubungan kekerabatan
yang aktor-aktor ini memiliki kesamaan daerah, seketurunan, sedarah atau sebagainya,
melainkan aktor-aktor tersebut diangkat atau diadopsi sebagai warga kekerabatan. Hal ini
dibuktikan dari beberapa aktor yang memilik etnis berbeda seperti pak Pian yang memilik
etnis Bugis Makassar, Pak Iwan yang beretnis Betawi dan Pak Maman yang beretnis Sunda.
Di sini terlihat bahwa mereka mengaktifkan hubungan kekerabatan dalam konteks ekonomi
sehingga membentuk satuan sosial yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai
hubungan kerja untuk mencari keuntungan di luar dari dagangan harian. Hubungan ini
terlihat ketika salah satu pedagang yang mendapat orderan dalam suatu acara kepolisian,
acara pesta pernikahan maupun acara lain yang megikutsertakan pedagang untuk memasak
gulai. Adapun ketika salah satu kuli dagang sedang sakit, bos dan beberapa kuli dagang akan
menjenguknya, selain itu juga setiap memasuki bulan Ramadhan terdapat ajang silaturahmi
juga di sini. Hubungan yang kuat ini secara tidak langsung juga memperkuat kegiatan
ekonominya yang mana ini juga berimplikasi pada power mereka menguasai sumber daya di
Blok M
Di sini juga terdapat hubungan kategorial yang merupakan hubungan sosial yang
dangkal (superficial) dan selintas. Lebih lanjut Mitchell menyatakan bahwa hubungan
kategorial ini paling jelas terlihat pada hubungan antar sukubangsa. Akan tetapi, masalah
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
sukubangsa bukanlah menjadi dasar penentuan identitas pelaku di daerah Blok M. Di dalam
situasi dan kondisi tertentu aktor dalam hubungan aktor gulai tikungan yang memiliki
sukubangsa berbeda, menggolongkan dirinya masuk dalam kelompok tersebut karena mereka
juga mengikuti kesepakatan dari aturan main yang menjadi pedoman bagi pedagang gulai
tikungan dalam menjual gulainya. Maka, pelaku-pelaku ini mengkategorikan dirinya dengan
konteks sosial yang berlaku. Pelaku gulai tingkunan ini mengkategorikan dirinya ini dalam
konteks ekonomi yaitu berdagang. Mitchell (1968:59) selanjutnya menyatakan bahwa
seseorang akan memilih kategori dan tingkah laku yang paling menguntungkan bagi dirinya
dan paling dapat mengurangi konflik yang akan dihadapinya dalam interaksi dan situasi
sosial lainya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang saya jabarkan mengenai pedagang gulai tikungan,
dapat dikatakan bahwa interaksi antar aktor gulai tikungan ini membentuk berbagai macam
bentuk hubungan sosial sesuai dengan konteks-konteks aktivitas para pelaku-pelaku atau
aktor gulai tikungan itu sendiri. Di mana konteks tersebut yang membentuk konfigurasi
hubungan sosial yang terbina di dalam organisasi sosial ini. Hubungan-hubungan yang
terbina diantara aktor gultik tersebut tanpa disadari bisa mengalami perluasan atau
penyempitan hubungan sesuai dengan situasi, kondisi ataupun adaptasi para aktor yang
terkait di dalam organisasi gulai tikungan. Hubungan sosial ini terbentuk dalam berbagai
konteks seperti konteks ekonomi, konteks kekerabatan, konteks etnis, konteks kepentingan
tertentu seperti konteks bos dan pedagang, dan konteks-konteks lainnya.
Jadi, Hubungan-hubungan yang terjadi dan sudah menjadi kontrol internal bagi para
aktor gulai tikungan ini bukan hanya hubungan yang terjadi dalam aspek ekonomi saja tetapi
juga meluas pada berbagai bentuk hubungan (many stranded) yang meliputi berbagai aspek
kehidupan lainya. Di dalam hubungan itu juga terdapat muatan emosi. Hubungan-hubungan
yang telah tercipta dalam berbagai bentuk ini menjadi lentur dan tidak mudah terputus.
Kehidupan ekonomi yang dilakukan sehari-hari telah membuat semacam solidaritas diantara
para aktor yang terkait. Hubungan-hubungan sosial ini membuat semacam internalisasi yang
tidak hanya memperkuat hubungan ekonomi diantara para aktornya saja, tetapi juga
hubungan-hubungan yang sifatnya personal dan membuat aman sebagian aktor atau bahkan
keseluruhan aktor gulai tikungan yang mana itu merupakan ketertiban sosial yang
ditimbulkan dari aturan-aturan main yang berlaku di sini.
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Refrensi :
Adams R. N. dan Raymond Fogelson. 1977 The Anthropology of Power. New York : Academic Press Inc. Agusyanto, Ruddy. 1994 “Pengelompokan Sosial dan Perebutan Sumberdaya: Kasus Arek-arek Suroboyo di
Jakarta”, ANALISIS. Jakarta: CSIS. Hlm: 204 – 212. 2004 “Struktur Sosial Dunia Kerja Di Perusahaan: Kasus Perusahaan TH di Gerbang
Barat” dalam Konvensi Wanita di Indonesia (Sulityowati dan Archie Sudiarti, ed). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm, 75 – 88.
2007 Jaringan Sosial dalam Organisasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
2010 Fenomena Dunia Mengecil : Rahasia Jaringan Sosial. Depok: Institut Antropologi Indonesia.
2013 Budaya Sontoloyo : Matahari itu Berkah atau Kutukan?. Jakarta : Institut
Antropologi Indonesia
Asad, Talal. 1983 Anthropological Conception of Religion: Reflection on Geertz. Man, New Serie,
Vol. 18, No. 2 (Jun 1983) 237-259. Barnes J.A. 1969 Network and Political Process dalam Social Network in Urban Situation: Analysis
of Personal Relationships in Central Afrika Town (ed.Mitchell), hlm 51-71. Manchester : University of Manchester Press.
Beattie R dan C. Robert Taylor. 1985 The Economics of Production. New York : John Willey amp Sons Boissevain, Jeremy. 1974 Friends of Friends: Network, Manipulators and Coalitions. Oxford : Basil
Blackwell. Claessen, H. J. M. 1984 Antropologi Politik Suatu Orientasi. Jakarta : Erlangga. Fortes, M. 1945 The Dinamics of Clanship among the Tallensi. London : Oxford University Press
for International African Institute 1949 The Web of Kinship among the Tallensi. London : Oxford University Press for
International African Institute Gregory, CA dan J.C. Altman 1989 Observing The Economy. Routledge. London and New York.
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Hardesty D.I. 1977 Ecological Anthropology. New York : McGraw-Hill Haryono, T. J. S. 2007 Jaringan Sosial Migran Sirkuler: Analisis tentang Bentuk dan Fungsi. Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik. Surabaya. th. XX: 75-86 Ihromi T.O. 1984 ‘Kerabat dan Bukan Kerabat’ dalam Pokok – Pokok Antropologi Budaya. Jakarta :
Gramedia Joesoef, Djoenaidi. 1996 “Sistem Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Bisnis China”, dalam Etika
Bisnis China: Suatu Kajian terhadap Perekonomian di Indonesia, Ed. By Wastu Pragantha Zhong, Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat 1985 Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Moore, Sally Falk. 1978 Law as Process. London : Routledge and Kegan Paul Mahardika, Mario. 2007 Setting Group Pedagang Kaki Lima di Kawasan Terminal Blok M. Semarang :
Universitas Dipenogoro Mitchell, Joyce M. 1969 Political Analysis and Public Policy. Chicago: Rand Mc Nally Robertson C. dan Bradley Olson. 2007 A Cultural Comparison of Ethical Orientation and Willingness to Sacrifice Ethical
Standards : China Versus Peru. Volume 8, Issue 2. PP 413-425 Sarwono S.S dan Robert Amstrong 2001 “Microcultural Differences and Perceived Ethical Problems an International
Business Perspective” dalam Journal of Business Ethics. (Impact Facor 1,33) 02/2001 30(1) : 40-56 DOI 10.1023/A:1006222023373. Yogjakarta : The University of Atma Jaya Yogyakarta
Scott, J. C. 1977 “Patron Client, Politics and Political Change in South East Asia” dalam Friends,
Followers and Factions a Reader in Political Clientalism, Steffen W. Schimidt, James C. Scott (eds.), Berkeley: University of California Press.
Scott, John. 1991 Social Network Analysis: A Handbook. London : Sage Publication S, N, Eisendtadt dan L. Roniger. 1984 “Patron, Clients. And Friends : Interpersonal Relations and The Structure of Trust
in Society. London : Cambridge
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
. Spradley, James. 1972 Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. USA: Holt, Rinehart and Winston Spradley, J.P. dan David McCurdy. 1972 The Culture Experience Ethnography in Complex Society. Chicago: Science
Reseach Association, Inc. 1975 Anthropology: The Cultural Perspective. New York: John Willey and Sons, Inc. Suparlan, Parsurdi. 1982 “Jaringan Sosial”, dalam Media IKA Februari, No 8/X hlm 29-47. Jakarta: Ikatan
Kekerabatan Antropologi Fakultas Sastra UI. 1994 Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Universitas Indonesia 2005 Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan.
Jakarta : Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian 2006 Suku Bangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan
Kajian Ilmu Kepolisian Suseno, F.M. 1984 Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta:
Gramedia, 1984. Trice H.M. dan J.M. Beyer 1992 The Cultures of Work Organizations. New Jersey : Hall Singlewood Cliffs Wolf, Eric. 1978 “Kinship, Friendship and Patron Client Relationship” dalam The Social
Anthropology of Complex Societies. Michael Banton (ed.) London: Tovistock Pub. 2001 Pathways of Power: Building Anthropology of the Modern World. Berkeley:
University of California Press.
Sumber Skripsi:
Agusyanto, Ruddy 1990 Jaringan Sosial dan Kebudayaan : Kasus Arek – Arek Suroboyo di Monas,
Jakarta. Skripsi Program Sarjana Reguler Antropologi, FISIP UI, tidak diterbitkan Hilman, Arief 2005 Pemanfaatan Jaringan Sosial di Majalah Remaja Aneka Yess! Sebagai Awal
Karier Model di Dunia Hiburan dan Modelling. Skripsi Program Sarjana Reguler Antropologi, FISIP UI, tidak diterbitkan
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016
Laila, Cut 2004 Strategi Adaptasi Komunitas Pedagang Kaki Lima di Pasar Minggu, Jakarta
Selatan. Skripsi Program Sarjana Reguler Antropologi, FISIP UI, tidak diterbitkan Soepoetra, Bintang 2009 Jaringan Sosial Para Pelaki Sektor Ekonomi Informal di Stasiun Manggarai,
Jakarta Selatan. Skripsi Program Sarjana Reguler Antropologi, FISIP UI, tidak diterbitkan
Rafianto, Ridwan 2014 Kegiatan Pengelolaan Parkiran Pemda DKI dan Profesi Preman Arek-Arek
Suroboyo di Blok M Kebayoran. Skripsi Program Sarjana Reguler Antropologi, FISIP UI, tidak diterbitkan
Tarqiyyah, B 2002 Hubungan Sosial dalam Sektor Informan Tanah Abang: Pedagang Kaki Lima,
Preman, dan Pemerintah Daerah. Skripsi Program Sarjana Reguler Sosiologi, FISIP UI, tidak diterbitkan
Pola hubungan ..., Febry Arfandi, FISIP UI, 2016