283
POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU BUSTAMI MAHYUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

  • Upload
    lediep

  • View
    281

  • Download
    18

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS

PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

BUSTAMI MAHYUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 2: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Ku persembahkan untuk

Anak-anakku tercinta Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto dan Anita Amanda Dewi yang telah mendoakan papanya menyelesaikan kuliah

Isteriku tercinta Yartini, B.Sc yang selalu mendampingi dan memberi semangat

Almarhum ayahku Haji Mahyuddin Majid yang telah berpesan agar selalu menuntut ilmu kapan dan dimanapun dan ibuku tercinta Hajjah Syamsinar yang

selalu mendoakanku.

Page 3: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor , Mei 2007

Bustami Mahyuddin C 526010164

Page 4: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

ABSTRAK BUSTAMI MAHYUDDIN. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Dibimbing oleh ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI dan SULAEMAN MARTASUGANDA.

Pola pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) harus disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu, memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dan menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu. Analisis data yang digunakan untuk penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yaitu lokasi sektor basis menggunakan location quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I), kepadatan kolam, persaingan pelabuhan perikanan dengan metode skalogram. Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan analisis kebutuhan guna menentukan target jumlah produksi, target jumlah kapal, kapasitas fasilitas, dan jumlah konsumen. Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu dengan menggunakan PHA. Berdasarkan hasil penelitian untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu diperlukan lahan seluas 30 ha dari kondisi yang ada sekarang 7,2 ha, kolam seluas 8,6 ha dari semula 5 ha, dermaga sepanjang 1452 m’ dari kondisi yang ada sekarang 910 m’, gedung pelelangan ikan dari 900 m2 menjadi 2.600 m2, penambahan kapasitas BBM solar sebesar 37.695 kl/tahun dari kondisi sekarang 10.381 kl/tahun, kapasitas pabrik es 38.000 ton/tahun dari kondisi sekarang 18.250 ton/tahun, kapasitas air bersih 86.272 kl/tahun dari kondisi sekarang 38.370 kl/tahun. Dengan pengembangan fasilitas tersebut, maka dapat meningkatkan jumlah kapal yang mendarat sebanyak 922 unit dari kondisi yang ada sekarang 676 unit, jumlah produksi ikan yang didaratkan meningkat sebesar 19.000 ton dari kondisi sekarang 6.601 ton, jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu meningkat dari 281.049 orang tahun 2005 menjadi 542.619 orang. Urutan alternatif prioritas pengembangan terpilih adalah peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD.

Kata kunci: pelabuhan perikanan, pola pengembangan, triptyque portuaire, analisis kebutuhan, PHA dan PPN Palabuhanratu.

Page 5: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

ABSTRACT

BUSTAMI MAHYUDDIN. The Development Pattern of Fishing Port Using the Fishing Port System Concept (Triptyque Portuaire): The case of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port. Under the direction of ERNANI LUBIS, DANIEL R MONINTJA, BAMBANG MURDIYANTO, ERNAN RUSTIADI and SULAEMAN MARTASUGANDA

The development pattern of Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP) needs to be adjusted to the development of fishery activities. This research is intended to determine the course of the development of PAFP, formulate the development pattern and determine the priority of the development of PAFP. Data analysis used to determine the course of the development of PAFP is determining the need of developing PAFP by considering base-sector location using location quotient (LQ), production value relative index (I), the condition of pond density, competition of fishing port using skalogram method. Formulating the development pattern of PAFP using analysis of necessity, determining the priority of the development of PAFP using AHP. The research outputs are; to optimize the function of PAFP, the size of the pond need to be extended by 8.6 hectares of present pond 5 hectares, wharf extension by 1452 meters of the present wharf 910 m, addition of fuel capacity by 37,695 kl/years of the present condition 10,381 kl/years, ice factory by 38,000 tons/years of the presents conditions 18,250 tons/years, water capacity by 86,272 kl/years of the present condition 38,370 kl/years and the extension of the area by 30 hectares of the present size 7.2 ha. By using the above mentioned development pattern, the number of the fishing vessels can be increased by 922 vessels of the present condition 676 vessels, the number of fish production increases by 19,000 tons of the present production 6,601 tons, the number of domestic fish consumers increase significantly from 281,049 in 2005 to 542,619. The chosen alternative priority of the development of PAFP sequence is the increase of the number of vessels, increase of the fish production, increase of the port’s revenue, increase of the number of the labor and increase of the state revenue (PAD).

Key words : fishing port, development pattern, triptyque portuaire, analysis of necessity, AHP and Palabuhanratu Archipelago Fishing Port (PAFP).

Page 6: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

Page 7: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

POLA PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN DENGAN KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE : KASUS

PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

BUSTAMI MAHYUDDIN

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007

Page 8: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Judul disertasi : Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan dengan Konsep Triptyque Portuaire: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu

Nama : Bustami Mahyuddin NRP : C 526010164 Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Ernani Lubis, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc Anggota Anggota

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal ujian : 7 Mei 2007 Tanggal lulus...........................................

LEMBAR PENGESAHAN

Page 9: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kerinci, Jambi pada tanggal 29 Oktober 1959, sebagai

anak keempat dari pasangan H. Mahyuddin Majid (alm) dan Hj. Syamsinar.

Pada bulan Desember tahun 1977 penulis lulus dari SMA Negeri Sungai

Penuh (Kerinci) dan pada tahun 1978 lulus seleksi masuk IPB melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi dan

Manajemen Penangkapan Ikan pada Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor

dan selesai pada tahun 1982. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi

asisten muda tidak tetap pada mata kuliah Ekologi Umum pada tahun 1980-1981.

Tahun 1995 menempuh pendidikan Magister Manajemen di IPWIJA Jakarta dan

diselesaikan pada tahun 1997.

Penulis berkarya sebagai Kepala Seksi Identifikasi Pelabuhan Perikanan

pada Direktorat Jenderal Perikanan sejak tahun 1983-1997. Kemudian pada tahun

1998 sampai dengan sekarang penulis berkarya sebagai Kepala Pelabuhan

Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat. Selama memimpin

PPN Palabuhanratu telah tiga kali memperoleh penghargaan dari Menteri yakni

penerimaan Piagam Penghargaan Adhi Bakti Tani dari Menteri Pertanian sebagai

unit kerja pelayanan berprestasi pratama atas upaya meningkatkan mutu

pelayanan kepada masyarakat dengan baik yang diterima pada tanggal 17 Agustus

1998, Piala Adhi Bakti Tani penghargaan Menteri Pertanian untuk unit kerja

pelayanan terbaik tahun 1999 yang diterima pada tanggal 17 Agustus 1999, dan

Piala Adhi Bakti Mina Bahari dari Menteri Kelautan dan Perikanan untuk unit

kerja pelayanan yang berprestasi di lingkungan DKP tahun 2005 yang diterima

bulan Januari 2006. Penulis memperoleh penghargaan atas prestasi akademik

gemilang tahun akademik 2001/2002 dari Direktur Program Pascasarjana IPB,

tertuang dalam piagam penghargaan No.287/K13.8/KM/2002 tanggal 5 Agustus

2002. Penulis dinyatakan lulus pada sidang ujian terbuka Doktor IPB, Program

Studi Teknologi Kelautan pada hari Senin tanggal 7 Mei 2007 di IPB Darmaga

Bogor.

Page 10: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

PRAKATA

Alhamdulillah, atas karunia Allah SWT disertasi ini dapat diselesaikan. Dengan

telah selesainya disertasi ini, maka merupakan langkah penting selanjutnya untuk

memanfaatkan ilmu yang diperoleh guna diterapkan di tengah-tengah masyarakat

terutama pada masyarakat perikanan.

Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada:

1. Dr.Ir. Made L. Nurdjana selaku Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen

Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin belajar (surat izin belajar No.

5698/DPT.O/Kp.510.S3/X/2001 tertanggal 5 Oktober 2001) pada Program

Pascasarjana (S-3) IPB.

2. Ir. Ibrahim Ismail selaku Direktur Pelabuhan Perikanan DKP yang telah memberikan

dorongan dan semangat dalam penyelesaian studi penulis.

3. Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang

telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.

4. Dr.Ir. Kadarwan Suwardi, M.Sc selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

IPB yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.

5. Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan IPB

yang telah membantu penulis dalam penyelesaian studi.

6. Dr.Ir. Ernani Lubis, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Prof.Dr.Ir. Daniel R.

Monintja, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc, Dr.Ir. Ernan Rustiadi,

M.Agr dan Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing

yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan.

7. Komisi pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah

memberikan saran perbaikan disertasi.

8. Penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup yakni Dr.Ir. Anwar Bey Pane, DEA

(Staf Pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan), pada sidang

ujian terbuka yakni Dr.Ir. Ali Supardan, M.Sc (Direktur Jenderal Perikanan Tangkap

DKP) dan Dr.Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si (Staf Pengajar pada Departemen

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) yang telah memberikan saran-saran perbaikan.

Page 11: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

ii

9. Penyelesaian disertasi ini banyak mendapat bantuan dan kerjasama pihak-pihak yang

tidak dapat disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian disertasi ini. Secara

khusus saya mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Yartini, B.Sc dan anak-

anak saya Ade Wiguna Nur Yasin, S.Pi, Adli Ardianto, dan Anita Amanda Dewi serta

semua staf PPN Palabuhanratu dan terutama kepada Sdr Lukman Nur Hakim, S.Pi

yang telah banyak memberikan sumbangan pemikirannya.

Semoga disertasi ini bermanfaat. Terima kasih.

Bogor, Mei 2007

Bustami Mahyuddin

Page 12: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………………………………………………………... iv

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. vii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... ix

1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1

1.2 Perumusan Masalah Penelitian ……………………………….. ... 16

1.3 Tujuan Penelitian.....……………………………………………. 17

1.4 Manfaat Penelitian……....………………………………………. 18

1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 18

1.6 Novelty ........................................................................................... 18

2 KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………. ..... 20

3 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….. 26

3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan....................................................... 26

3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan…………………………………… 26

3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan ……. ........ 28

3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan .................... 29

3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan…….………………. ... 35

3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain ............................................. 37

3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis .............................. 42

3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah ......................... 42

3.9 Konsep Triptyque Portuaire .......................................................... 46

3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan ............................................. 49

3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)……………………………… .. 50

3.12 Kajian Penelitian Terdahulu......................................................... 51

Page 13: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

ii

4 METODOLOGI PENELITIAN …………………………………….... 53

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………… ..... 53

4.2 Tahap Penelitian………………………………………………..... 53

4.3 Metode Penelitian …………………………………………… ..... 54

4.4 Jenis dan Sumber Data…………………………………………... 54

4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data………………………….. 56 4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu ............ 57 4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan

PPN Palabuhanratu .............................................................. 62 4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu . 70

5 HASIL PENELITIAN ……………………………………… ............... 74

5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian……………………………… ... 74

5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu............................................................ 81 5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu……......................................... 81 5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu.............................. 91

5.2.3 Manajemen Pelabuhan Perikanan ......................................... 106

5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 109 5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu ............................................. 109 5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan

PPN Palabuhanratu................................................................ 114 5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu .......... 133

5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu ....................................... 148 5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu ........................ 148 5.4.2 Target jumlah kapal ............................................................... 150 5.4.3 Target kapasitas fasilitas........................................................ 151 5.4.4 Pengembangan daerah distribusi (hinterland) ....................... 155

5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu................................. 157 5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan...................... 158 5.5.2 Sensitivitas prioritas pengembangan .................................. 171

6 PEMBAHASAN ..................................................................................... 175

6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu ................................ 175 6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah

produksi (foreland) ................................................................ 175 6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu......................... 184 6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland) ......... 190

Page 14: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

iii

6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya .................................................................................. 197

6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu ......................................................................... 202

6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional.................................... 205

7 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 211

7.1. Kesimpulan..................................................................................... 211

7.2. Saran................................................................................................ 213

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 15: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006 ....................... 2 2. Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN

Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan kondisi pada tahun 2002 dan tahun 2005 .................................................. 8

3. Evaluasi PPN Palabuhanratu kelas B sampai dengan tahun 2005 ……. ... 13

4. Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok

sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000 .......................................... 15 5. Jumlah ikan tuna dan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu

bulan Januari – Oktober 2006..................................................................... 22

6. Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan)…………………….. 31

7. Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 33

8. Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 33

9. Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/ PPI di Pulau Jawa tahun 2005 ........................................................................... 34

10. Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995 .................... 38 11. Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis .......................................... 40 12. Musim ikan di PPN Palabuhanratu ............................................................ 80 13. Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan

PPN Palabuhanratu tahun 2005.................................................................. 95 14. Jumlah kapal/perahu perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu

periode tahun 1993-2005 ........................................................................... 97

15. Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005 ........................................................... 98

Page 16: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

v

16. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................ 99 17. Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ ............................................................................ 99 18. Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode

tahun 1993-2005 ........................................................................................ 100 19. Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu tahun 2004............................ 101 20. Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 ........................................................................................ 103 21. Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005........... ............................................................................. 104 22. Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005....... ................................................................................. 106 23. Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan.............. 109 24. Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline

di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006........................................ 111 25. Daerah penangkapan kapal ikan yang mendaratkan hasil

tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004 ...................................... 113 26. Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan

pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004.................... 115 27. Nilai Indeks Relatif Nilai Produksi Perikanan (I)

PPN palabuhanratu periode tahun 2000-2004 ........................................... 128 28. Kondisi kolam PPN Palabuhanratu bulan Maret 2007 .............................. 129 29. Kondisi jumlah kapal di kolam PPN Palabuhanratu tahun 2005 ............... 129 30. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan

Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005.................................................................................................. 129

31. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan

Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (strata) sumberdaya manusia pengelola pelabuhan tahun 2005................. 130

Page 17: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

vi

32. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan

perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005............................................................ 131

33. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan

Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005 .................................................... 132

34. Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan Perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal tahun 2005 ............................................................................... 132

35. Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan

di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005..................................................... 133 36. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu............. 149 37. Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan

PPN Palabuhanratu .................................................................................... 151

38. Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu .................................... 152

39. Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu........................... 154

40. Hasil perhitungan kebutuhan air bersih PPN Palabuhanratu ..................... 155

41. Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu............................................ 157

42. Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006 ................................................................ 165

43. Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005............................. 166

44. Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih ....................................................................................... 172

45. Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu.............. 178 46. Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan

PPN Palabuhanratu .................................................................................... 200 47. Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek

operasional ................................................................................................ 201

Page 18: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

vii

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman

1. Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu......................... 12 2. Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu .................. 25

3. Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu........ 64

4. Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu............. 67

5. Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu............................................................ 73

6. Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi ................................................................................................... 76

7. Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu ...................................... 78

8. Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu................................................ 79

9. Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004......................................................................................... 102

10. Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 104

11. Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005......................................................................................... 105

12. CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2005......................................................................................... 111

13. Jumlah kapal/perahu perikanan menurut daerah perairan pantai dan propinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004............................... 117

14. Jumlah pelabuhan perikanan dan PPI yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004.................................................................... 118

15. Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing ground................................................................................... 119

16. Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004......................... 137

Page 19: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

viii

17. Distribusi ikan segar di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005..................................................................................... 141

18. Distribusi ikan pindang di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.................................................................................... 142

19. Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2004............................. 144

20. Hasil proses hierarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu....................................................... 159

21. Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005............ 163

22. Produksi dan nilai ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004............................................................. 163

23. Posisi masing-masing bentuk solusi permasalahan pada aplikasi program PHA........................................................................... 167

24. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan....................................... 168

25. Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan................................... 169

26. Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA...................................... 170

27. Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.......... 173

28. Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu.............................................................................. 179

29. Cold chain system di PPS Palabuhanratu............................................. 188

30. Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu............................................................... 194

31. Hubungan alternatif strategi, fungsi dan solusi permasalahan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu................................... 197

32. Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program............................ 204

Page 20: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Daftar nama responden............................................................................... 223 2. Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu .................................................................................... 224 3. Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu .................................................................................... 225

4. Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001) ......... 226

5. Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2004........................................................................... 227 6. Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004..................................................................................... 228 7. PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi

periode tahun 2000-2004............................ ............................................... 229 8. PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku

menurut sektor periode tahun 2000-2004 .................................................. 230

9. PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa Barat periode tahun 2000-2004...................................... .... 231

10. PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Jawa Barat

periode tahun 2000-2004........................................................................... 232

11. Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004........................................................................... 233

12. Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-2004 ........................................................................... 233

13. Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober 2005................................................................................ 234

14. Produksi ikan bulan Januari-Oktober 2005 di PPN Palabuhanratu ........... 235

Page 21: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

x

15. Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005 ........................................................................... 236

16. Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................................... 237

17. Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................... 243

18. Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan

perikanan di WPP 9 Samudera Hindia ...................................................... 245

19. Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia........................................................................... 249

20. Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia....................................................................................... 252

21. Glosari........................................................................................................ 254

Page 22: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelabuhan perikanan saat ini semakin menarik bagi investor untuk dijadikan

basis dalam pengembangan industri perikanan karena berbagai alasan yakni

pertama, investor semakin sulit memperoleh tanah yang bebas masalah di luar

kawasan pelabuhan sehingga areal industri perikanan di kawasan pelabuhan

semakin diminati, kedua sesuai dengan ayat 3 pasal 41 UU No.31 tahun 2004

tentang Perikanan yang mengharuskan setiap kapal penangkap ikan dan kapal

pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan,

ketiga adanya kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa kapal-kapal

asing dilarang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia kecuali kapal-

kapal asing harus berpangkalan, mendaratkan hasil tangkapannya di pelabuhan

perikanan Indonesia dan membuka industri perikanan di Indonesia dan keempat

semakin banyak kemudahan yang diberikan kepada investor di pelabuhan mulai

dari pelayanan prima sampai kepada murahnya tarif dalam memanfaatkan fasilitas

pelabuhan.

Keberadaan pelabuhan perikanan sangat diperlukan guna menunjang

aktivitas perikanan dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

ikan, kegiatan praproduksi, produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan

pengawasan sumberdaya ikan. Keberhasilan pengelolaan pelabuhan perikanan

dalam menjalankan fungsinya merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

perikanan. Pelabuhan perikanan dapat dijadikan barometer keberhasilan

pembangunan perikanan laut pada suatu daerah karena aktivitas perikanan

terkonsentrasi dalam kawasan pelabuhan dan sangat mudah dilihat dan dievaluasi

kemajuannya. Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya sangat berdampak luas

terhadap tumbuh dan berkembangnya usaha perikanan dan usaha-usaha kecil

lainnya yang mendukung kegiatan perikanan seperti toko logistik, BAP, bengkel

dan lain-lain.

Sejak era reformasi hingga saat ini, pelabuhan perikanan dijadikan ujung

tombak dalam menjalankan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan

dan kelautan, hal ini dimungkinkan karena fungsi pelabuhan perikanan sebagai

Page 23: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

2

pusat pengembangan ekonomi masyarakat perikanan.

Mengingat pentingnya keberadaan pelabuhan perikanan, maka pemerintah

telah membangun dan mengembangkan pelabuhan perikanan di Indonesia dan

menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2006), bahwa pemerintah telah

membangun pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit yang terdiri dari 5 unit

(0,64%) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), 12 unit (1,53%) Pelabuhan

Perikanan Nusantara (PPN), 18 unit (2,17%) Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)

dan 750 unit (95,66%) Pusat Pendaratan Ikan (PPI). Tabel 1 menunjukkan

penyebaran pelabuhan perikanan.

Tabel 1. Penyebaran pelabuhan perikanan di Indonesia tahun 2006

Satuan: unit

No Kelas WIB WITA WIT Jumlah 1 PPS 4 - 1 5 (0,64%)2 PPN 7 1 4 12 (1,53%)3 PPP 8 6 3 17 (2,17%)4 PPI 483 138 129 750 (95,66%)

Jumlah 502 (64,04%) 145 (18,49%) 137 (17,47%) 784 (100%) Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.

Berdasarkan Tabel 1, tentang penyebaran pelabuhan perikanan, ternyata 502

unit atau sebesar 64,04% pelabuhan perikanan berada di wilayah Indonesia bagian

barat (WIB) dan hanya sebagian kecil saja berada di wilayah Indonesia bagian

tengah (WITA) yakni sebanyak 145 unit atau sebesar 18,49% dan di wilayah

Indonesia bagian timur (WIT) sebanyak 137 unit atau sebesar 17,47%, yang

mengakibatkan adanya kesenjangan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah

Indonesia bagian barat dan wilayah Indonesia bagian timur. Tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan di wilayah Indonesia bagian barat sudah ada yang mengalami

over fishing seperti di perairan Selat Malaka dan Laut Jawa, namun pada WIB

jumlah pelabuhan perikanan justru lebih banyak dibandingkan dengan jumlah

pelabuhan perikanan yang ada di WITA dan WIT. Potensi sumberdaya ikan di

WITA dan WIT justru banyak perairan yang masih besar potensi pemanfaatannya

dan jumlah pelabuhan perikanan lebih sedikit.

Page 24: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

3

Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2005) bahwa untuk wilayah

pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia terdapat 216 unit pelabuhan

perikanan, namun hanya ada sebanyak 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat

didarati oleh kapal berukuran >30 GT. Kemudian belum ada satu pun pelabuhan

perikanan yang secara khusus dipersiapkan sebagai pangkalan langsung untuk

melakukan kegiatan ekspor, seperti belum dilengkapinya fasilitas crane di

pelabuhan guna memindahkan kontainer, akibatnya selama ini kegiatan ekspor

ikan masih memanfaatkan pelabuhan umum.

Menurut Ditjen. Perikanan Tangkap (2006), komposisi kelas pelabuhan

perikanan menunjukkan bahwa kelas PPS hanya ada 0,64% saja, kelas PPN

sebanyak 1,53% dan PPP sebanyak 2,17% serta PPI memiliki jumlah yang

terbanyak yakni sebanyak 95,66%. Dengan komposisi kelas pelabuhan perikanan

tersebut di atas, maka lebih dari 80% atau sebanyak 627 unit pelabuhan perikanan

mengakomodasikan kapal-kapal berukuran kecil (<10 GT), yang jangkauan

operasional penangkapan ikan dilakukan di sekitar pantai saja dan sedikit kapal-

kapal perikanan memanfaatkan sumberdaya ikan di perairan ZEEI dan laut lepas.

Selain itu terdapat kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT memanfaatkan

fasilitas pelabuhan umum seperti di Pelabuhan Umum Benoa Bali, Pelabuhan

Umum Bitung yang pelayanannya belum sesuai dengan tata tertib pelayanan kapal

perikanan, sehingga layanan aktivitas perikanan menjadi tidak optimal.

Berdasarkan UU No.31/2004 tentang Perikanan telah ditetapkan bahwa

selain pemerintah, maka swasta pun diberi hak untuk ikut membangun pelabuhan

perikanan. Selama ini sudah ada pelabuhan perikanan yang telah dibangun oleh

pihak swasta seperti pelabuhan perikanan swasta yang ada di Batam dan Tual

yang secara resmi telah ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan oleh Menteri

Kelautan dan Perikanan pada tahun 2006. Namun ada juga tempat pendaratan ikan

seperti Tangkahan di Sumatera Utara yang merupakan dermaga pendaratan ikan

milik swasta serta dermaga-dermaga milik perusahaan perikanan.

Menurut Lubis (2002), bahwa tingkat operasional pelabuhan perikanan bila

dilihat dari aspek jumlah ikan laut yang didaratkan di pelabuhan perikanan adalah

sebesar 793.718 ton (tahun 1997) atau sekitar 22% dari total produksi perikanan

laut sebesar 3.612.961 ton, artinya bahwa ada 80% ikan mendarat di luar

Page 25: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

4

pelabuhan perikanan. Kemudian disebutkan bahwa dari 595 unit pelabuhan

perikanan pada tahun 1997 yang tidak berfungsi sebanyak 357 unit atau 60%.

Selanjutnya menurut Lubis et al. (2005) bahwa dari hasil penelitian yang

dilakukan terhadap kondisi fasilitas vital pada 234 unit pelabuhan perikanan yang

ada di pulau Jawa, ternyata 3 unit atau 10% dari jumlah pelabuhan perikanan

sebanyak 30 unit berkategori buruk dan 121 unit atau 59% dari jumlah pangkalan

pendaratan ikan sebanyak 204 unit memiliki kondisi fasilitas vital berkategori

buruk.

Berdasarkan indikasi-indikasi tersebut di atas, maka permasalahan yang

dihadapi pelabuhan perikanan adalah belum sempurnanya pola pengembangan

pelabuhan perikanan baik secara nasional ataupun lokal (regional). Akibat dari

permasalahan tersebut menyebabkan tidak berfungsinya pelabuhan perikanan

secara optimal.

Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2004), melaporkan bahwa belum

berfungsinya pelabuhan perikanan secara optimal tersebut disebabkan oleh:

(1) Kelembagaan atau struktur organisasi yang ada di pelabuhan perikanan belum

dapat berfungsi secara optimal, seperti halnya kesyahbandaran.

(2) Sebagian pangkalan pendaratan ikan belum dibentuk status kelembagaannya

oleh pemerintah daerah sehingga belum ada kejelasan operasionalnya.

(3) Sumberdaya manusia pelabuhan perikanan yang ada sangat kurang dari segi

kuantitas dan kualitas, sehingga pelabuhan perikanan dijalankan kurang

profesional.

(4) Terbatasnya biaya operasional.

(5) Fasilitas pelabuhan perikanan sebagian kurang memenuhi persyaratan teknis,

kualitas dan kuantitas sehingga pelayanan yang diberikan belum optimal.

(6) Belum efektifnya koordinasi antara pengelola pelabuhan perikanan dengan

instansi terkait.

(7) Rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat mendukung pengelolaan

pelabuhan perikanan.

(8) Belum jelasnya kebijakan dalam pengelolaan pelabuhan perikanan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Page 26: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

5

(9) Belum adanya standard operational procedure (SOP) pengelolaan

pelabuhan perikanan.

(10) Masih sedikitnya jumlah pelabuhan perikanan yang ada.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPN Palabuhanratu) adalah

salah satu pelabuhan perikanan yang dibangun pemerintah pusat guna menunjang

aktivitas perikanan yang memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di wilayah

pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera Hindia, melayani kapal-kapal yang

sedang melakukan operasi penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan (fishing

ground) dengan menyampaikan informasi yang diperlukan oleh nelayan, seperti

informasi mengenai prakiraan potensi daerah penangkapan ikan, harga ikan,

kondisi cuaca melalui radio komunikasi atau alat elektronik lainnya, melakukan

pelayanan terhadap kapal-kapal perikanan baik untuk keberangkatan maupun pada

saat kedatangan dan saat berada di pelabuhan, memfasilitasi kegiatan pengolahan

ikan guna mempertahankan mutu ikan yang didaratkan sehingga layak

dikonsumsi, memfasilitasi kegiatan pemasaran ikan sehingga ikan yang

dipasarkan memperoleh harga yang wajar, seperti melalui kegiatan pelelangan

ikan. Selain itu fungsi PPN Palabuhanratu guna memperlancar kegiatan distribusi

ikan ke daerah konsumen, melakukan pembinaan terhadap masyarakat perikanan

antara lain melakukan pelatihan-pelatihan dan pembinaan usaha nelayan.

Semua tugas yang dilakukan oleh PPN Palabuhanratu tersebut bertujuan

untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan usaha perikanan

guna meningkatkan pendapatan nelayan dan sekaligus kesejahteraannya. Selain

itu juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan dan devisa negara, mendorong

perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan, mutu, nilai tambah,

daya saing dan konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan

sumberdaya ikan dan meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri

pengolahan ikan serta melakukan pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan

seperti kegiatan statistik perikanan dan pemeriksaan dokumen kapal perikanan.

PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan pada tahun 1993. Sejak

pengembangannya pada periode tahun 1993-2005, PPN Palabuhanratu telah

mengalami dua tahap pembangunan, yaitu pembangunan tahap pertama pada

tahun 1993 dan beroperasi sampai dengan 2002, kemudian pembangunan tahap

Page 27: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

6

kedua selama periode tahun 2003-2005, yang merupakan pengembangan

pembangunan tahap pertama. Pembangunan pelabuhan perikanan tahap pertama

ditujukan untuk menunjang aktivitas perikanan terutama unit penangkapan ikan

dengan ukuran kapal sampai 30 GT dan pembangunan pelabuhan perikanan tahap

kedua untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30 GT sampai dengan 150 GT.

Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus direncanakan sesuai

dengan pola pengembangan yang telah ditentukan. Menurut Lubis (2002), pola

pengembangan suatu pelabuhan perikanan adalah acuan awal mengembangkan

suatu pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan

agar pembangunan dan operasionalnya sesuai dengan fungsi dan tujuan

pengembangannya. Penyusunan pola pengembangan pelabuhan perikanan harus

ada di dalam triptyque portuaire untuk pelabuhan perikanan, yakni keterkaitan

antara aspek wilayah produksi (foreland), wilayah distribusi (hinterland) dan

aspek pelabuhan perikanan (fishing port) agar fungsi dan tujuannya bisa dicapai.

Dalam pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan seharusnya

dilakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pola pengembangannya

guna meningkatkan fungsi pelabuhan perikanan. Di Indonesia, yang menjadi

acuan pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah hasil studi kelayakan,

rencana induk pembangunan dan berdasarkan pada kriteria klasifikasi pelabuhan

perikanan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut UU No.31 tahun 2004

tentang Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan ditetapkan oleh

Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pola pengembangan PPN Palabuhanratu tahap pertama sejak awal

pembangunannya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun

1987 seperti yang tertera di dalam hasil studi kelayakan dan rencana induk

pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu yang dibuat oleh Rogge

Marine Gmbh (Jerman) dan PT. Inconeb tahun 1987 dan kriteria klasifikasi

sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara (kelas B). Dalam hasil studi kelayakan

dan rencana induk tersebut telah ditentukan, bahwa pemilihan lokasi

Palabuhanratu didasarkan karena Palabuhanratu merupakan pusat perikanan sejak

zaman penjajahan Belanda, dekat dengan daerah penangkapan ikan, berada di

Teluk Palabuhanratu dan mudah diakses ke daerah pemasaran seperti Jakarta dan

Page 28: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

7

Bandung. Pembangunan PPN Palabuhanratu sudah disesuaikan dengan rencana

pembangunan perikanan secara nasional dan lokal Jawa Barat bahwa dengan

adanya PPN Palabuhanratu yang berada di Pantai Selatan Jawa Barat akan dapat

meningkatkan pembangunan perikanan di wilayah tersebut terutama untuk daerah

perikanan di Pantai Selatan Jawa Barat. Namun pada kenyataannya melalui

evaluasi tahun 2002, hasil pengoperasian PPN Palabuhanratu tidak sesuai dengan

tujuan yang diharapkan.

Pelabuhan ini pada pembangunan tahap pertama, telah menetapkan pola

pembangunan, yakni dibangun di atas tanah seluas 10,2 ha. Direncanakan bahwa

dengan adanya pembangunan kolam pelabuhan seluas 3 ha dengan kedalaman

kolam bervariasi, yakni 3,5 m, 2 m dan 1 m dan dermaga sepanjang 500 m, maka

akan dapat mengakomodir sebanyak 125 unit kapal, yakni terdiri dari kapal

perikanan berukuran 5-10 GT sebanyak 25 unit, kapal berukuran 10-20 GT

sebanyak 30 unit, kapal berukuran 20-30 GT sebanyak 56 unit, kapal berukuran

30-50 GT sebanyak 10 unit dan kapal berukuran >50 GT sebanyak 4 unit.

Wilayah produksi yang merupakan daerah penangkapan ikan oleh kapal-kapal

perikanan tersebut berada di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 9 Samudera

Hindia dan daerah pemasaran ikan yang meliputi Kabupeten Sukabumi,

Kabupaten Cianjur, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta serta

sebagian untuk diekspor. Diestimasikan sejak tahun 1995 sampai dengan tahun

2010 jumlah ikan yang didaratkan sebanyak 16.000 ton per tahun atau 43,84 ton

per hari. Kapal-kapal kecil berukuran sampai dengan 5 GT tidak diakomodir oleh

PPN Palabuhanratu, melainkan diatur dan diarahkan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk mendarat di

tempat pendaratan lain seperti di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok yang

berjarak 11 km dari Palabuhanratu dan pendaratan pantai (beach landing) untuk

kapal-kapal kincang (congkreng) ukuran <5 GT yang akan dibangun oleh

Pemerintah Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan PPN Palabuhanratu.

PPN Palabuhanratu mulai dioperasionalkan tahun 1993 dan menurut

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/Men/2006 tentang

Pelabuhan Perikanan, bahwa PPN Palabuhanratu adalah pelabuhan perikanan

kelas B, yang skala layanannya sekurang-kurangnya mencakup kegiatan usaha

Page 29: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

8

perikanan di wilayah laut teritorial dan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia.

PPN Palabuhanratu merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat

Jenderal Perikanan Tangkap yang manajemen pelaksananya diatur oleh Menteri

Kelautan dan Perikanan dan eseloneringnya ditetapkan oleh Menteri

Pendayagunaan Aparatur Negara. Pengaturan tentang kepegawaian, biaya

pembangunan dan operasional berasal dari pemerintah pusat, begitu pula segala

bentuk penerimaan yang merupakan pendapatan pelabuhan yang telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 2002 dalam bentuk Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) harus dimasukkan ke kas negara.

Sejak operasional PPN Palabuhanratu tahap pertama periode tahun 1993

hingga tahun 2002 telah mengalami banyak perubahan. Tabel 2 menunjukkan

evaluasi kondisi operasional PPN Palabuhanratu sampai akhir tahun 2002 dan

tahun 2005.

Tabel 2 Produksi perikanan dan kondisi kapal berdasarkan ukuran di PPN Palabuhanratu saat sebelum dibangun, estimasi studi kelayakan, kondisi pada tahun 2002 dan 2005

Kriteria

Kapal ukuran (unit)

Sebelum ada PPN

Palabuhanratu tahun 1986

Estimasi studi

kelayakan periode

tahun 1993-2010

Kondisi

operasional tahun 2002

Kondisi operasional tahun 2005

<5 GT 50 - 317 428 5 – 10 GT 195 25 106 95 10 – 20 GT 15 30 3 4 20 – 30 GT - 56 13 13 30 - 50 GT - 4 13 -30 – 150 GT - - - 68 Total 260 115 452 676Produksi ikan (ton) 3.119 16.000 2.890 6.601

Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005.

Evaluasi terhadap pola pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu

yang disesuaikan dengan studi kelayakan tahun 1987, yakni kapal berukuran <5

GT tidak diakomodir di PPN Palabuhanratu, ternyata pada tahun 2002 jumlah

kapal berukuran <5 GT yang menggunakan PPN Palabuhanratu justru meningkat

Page 30: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

9

menjadi 317 buah. Kondisi ini terjadi karena Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan

Pemerintah Kabupaten Sukabumi belum dapat mempersiapkan pembangunan PPI

Cisolok dan pendaratan pantai (beach landing) di daerah Patuguran, sehingga

manajemen pelabuhan mengalami kesulitan membendung masuknya kapal

berukuran <5 GT. Selanjutnya kapal berukuran 5–10 GT akan berkurang

jumlahnya dari 195 unit menjadi 25 unit, kenyataan jumlahnya turun sedikit atau

menjadi 106 unit pada tahun 2002. Sebaliknya, kapal berukuran 10-20 GT

diestimasikan jumlahnya meningkat dari 15 unit pada saat sebelum adanya

pelabuhan menjadi 30 unit, yang ada hanya 3 unit pada tahun 2002, kapal

berukuran 20–30 GT diestimasikan 56 unit, kenyataannya 13 unit, dan kapal

berukuran 30-50 GT diestimasikan 4 unit, kenyataannya kapal berukuran 30–50

GT sebanyak 13 unit pada tahun 2002. Produksi ikan diestimasikan 16.000 ton,

namun kenyataannya produksi ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 7,9 ton/hari

(tahun 2002) atau hanya 18% dari estimasi produksi ikan sebesar 16.000 ton/

tahun.

Pola pembangunan tahap I tidak sesuai dengan pola pembangunan yang

telah ditentukan dalam studi kelayakan disebabkan oleh:

(1) Kapal:

1) Struktur armada didominasi oleh kapal-kapal berukuran kecil berukuran

<10 GT yakni sebanyak 423 unit atau 94% dari jumlah kapal yang ada

pada tahun 2002 sebanyak 452 unit.

2) Kapal-kapal berukuran <5 GT direncanakan berpangkalan di PPI Cisolok

namun sampai saat ini pembangunan konstruksinya belum selesai.

3) Jangkauan kapal ke daerah penangkapan ikan masih berada di sepanjang

pantai (dibawah 12 mil), sehingga jumlah ikan yang didaratkan pada

tahun 2002 adalah 2.890 ton atau hanya 18% dari perkiraan produksi

ikan yang didaratkan menurut hasil studi kelayakan (16.000 ton).

(2) Kolam I:

1) Kolam I sering mengalami pendangkalan karena kedua pintu sungai

sering dibuka sehingga air sungai Cipalabuhan bebas masuk ke kolam

dan sering terjadi banjir.

Page 31: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

10

2) Kolam I sudah over capacity, yakni kolam I berkapasitas 125 unit kapal,

namun diisi oleh 452 unit kapal.

(3) Fasilitas pemeliharaan kapal:

1) Fasilitas docking hanya ada 1 unit, namun kondisinya rusak parah dan

kapasitasnya sangat rendah dan hanya dapat mereparasi kapal <30 GT.

2) Fasilitas bengkel milik pelabuhan tidak sempurna karena tidak

dilengkapi peralatan yang lengkap.

(4) Sumberdaya manusia (SDM): kualitas pegawai pelabuhan kurang, 67%

(jumlah pegawai 69 orang) terdiri dari tamatan SLTA yang tidak punya

pengetahuan tentang pelabuhan perikanan. Sisanya 23% tamatan D3, S1 dan

S2 yang belum banyak memiliki pengetahuan teknis kepelabuhanan

perikanan, dan pendidikan nelayan rendah, didominasi tamatan SD.

(5) Jalan sempit: jalan yang menghubungkan antara Palabuhanratu dengan

daerah lain seperti ke kota Cibadak-Sukabumi sangat sempit (lebar 6 m) dan

berbelok-belok, sehingga mobil tronton ukuran besar sulit ke Palabuhanratu.

Pemda Sukabumi berkeinginan untuk memperlebar jalan, namun masih

kekurangan biaya.

(6) Pelelangan ikan belum berjalan optimal :

1) Pengelola pelelangan (KUD Mina) belum mampu dari segi manajemen,

dan permodalan, hal ini diindikasikan oleh lemahnya kondisi

sumberdaya manusia yang ada, terutama keterampilan untuk

menjalankan kegiatan koperasi. Kemajuan koperasi sangat tergantung

kepada partisipasi anggota dan kepemimpinan koperasi. Secara

administrasi sangat sedikit anggota memiliki kartu tanda anggota (KTA),

yakni dari 7.400 orang nelayan hanya 740 orang atau 10% yang

memiliki KTA. Koperasi belum memiliki modal khusus untuk

penjaminan kegiatan pelelangan ikan, sehingga proses transaksi

pelelangan ikan berlangsung secara tidak tunai, kondisi inilah yang

menyebabkan pelelangan ikan belum berfungsi optimal.

2) Kemampuan bakul untuk membeli hasil lelang sangat kurang. Pada

tahun 2005 tercatat sebanyak 125 bakul, diantaranya 120 bakul tidak

mempunyai modal yang cukup sehingga bakul dalam membeli hasil

Page 32: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

11

lelang selalu bertransaksi tidak tunai. Kondisi tersebut merugikan pihak

nelayan sebagai penjual dan mengganggu operasional pelelangan ikan.

3) Kondisi keamanan, ketertiban dan kenyamanan di TPI belum kondusif.

Pada saat ikan dalam trays diletakkan di lantai TPI, sering kali orang

yang berlalu lalang di dalam ruang TPI yang sangat mengganggu

aktivitas pelelangan ikan

4) Pembongkaran ikan masih belum tertib. Setiap kali kapal melakukan

pembongkaran ikan ke TPI, terlihat bahwa orang-orang yang tidak

berkepentingan turun dan masuk ke kapal, sehingga mengganggu

ketertiban dan keamanan sewaktu pembongkaran ikan.

(7) Lahan sangat sempit, yakni 12,2 ha termasuk untuk kolam 5 ha, sehingga

industri perikanan sulit untuk diakomodasikan didalam lokasi pelabuhan.

(8) Ketersediaan es belum memenuhi kebutuhan. Saat ini hanya ada satu pabrik

es dengan kapasitas maksimum 1000 balok per hari. Kebutuhan es pada

tahun 2004 rata-rata per hari sebanyak 782 balok pada saat kondisi normal

dan 1500 balok/hari pada kondisi musim ikan, sehingga kapal harus antri

sekitar 3-4 hari untuk memperoleh es.

(9) SPBU BBM khusus untuk kapal berukuran >30 GT pada pembangunan

tahap I belum ada, sehingga kapal mengisi BBM dari SPBU umum.

(10) Industri pengolahan hasil perikanan belum berkembang, karena bahan baku

ikan sangat kurang. Jenis pengolahan ikan yang ada yakni pengeringan dan

pemindangan ikan.

(11) Standard operational procedure (SOP) yang ada belum dijalankan optimal,

karena lemahnya pengawasan, misalnya ada sebagian kapal keluar masuk

pelabuhan tidak melapor ke petugas.

(12) Fungsi kesyahbandaran perikanan masih dijalankan oleh syahbandar umum.

Kondisi tersebut menyebabkan kurangnya kesadaran nelayan terhadap

ketentuan operasional pelabuhan, yakni banyak kapal-kapal ukuran <10 GT

tidak melapor pada saat keluar masuk pelabuhan.

(13) Masalah-masalah yang memerlukan pendanaan cepat tidak dapat diatasi

karena terikat aturan pemerintah, seperti ada kerusakan fasilitas tidak dapat

diperbaiki seketika karena menunggu proses pencairan dana tahun depan.

Page 33: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

12

Gambar 1 memperlihatkan rumusan masalah PPN Palabuhanratu secara fish

bone analysis.

Gambar 1 Fish bone analysis rumusan masalah PPN Palabuhanratu.

Berdasarkan permasalahan di atas yang menyebabkan pola pengembangan

pelabuhan yang telah direncanakan tidak tercapai, maka pada pembangunan tahap

kedua telah ditetapkan pola pengembangannya yakni pada tahun 2002 telah

dibangun dermaga II seluas 2 ha dengan kedalaman kolam 4 m dan dermaga

sepanjang 410 m2. Pembangunan tahap II ini bertujuan untuk mengatasi masalah

terbatasnya luas kolam dan dermaga yang telah ada pada pembangunan tahap I

guna meningkatkan produksi sampai dengan 16.000 ton/tahun. Kolam dengan

kedalaman 4 m, dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 150 GT, dan dengan

PPN

PALABUHANRATU SUDAH BERFUNGSI

NAMUN BELUM OPTIMAL

PELELANGAN IKAN BLM JALAN

LAHAN SEMPIT

INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN BLM BERKEMBANG

ES KURANG

KOLAM SEMPIT

FASILITAS PEMELIHARAAN KAPAL

FASILITAS BENGKEL & DOK KURANG SEMPURNA

SDM KURANG

KUD KURANG PROFESIONAL

TANAH BLM DIBEBASKAN

PABRIK ES KAP 1000 BALOK/HR

SPDN SULIT DPT DO DARI PERTAMINA

AKSES JALAN KELUAR PEL RATU SEMPIT

SOP BELUM DIJALAN SECARA OPTIMAL

PERMEN PEL SESUAI UU 31 BLM ADA

PENGAWASAN KURANG

PENETAPAN RENCANA INDUK, DLKP

DANA KURANG

SDM BIDANG LUAR PERIKANAN KURANG

BAHAN BAKU KURANG

BANYAK KAPAL KECIL

BBM KURANG & MAHAL

PRODUKSI IKAN KURANG

DIDOMINASI KAPAL <10 GT

( 94 %)

Page 34: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

13

luas kolam 2 ha dapat menampung kapal berukuran 30 – 150 GT sekitar 40 unit

sekaligus. Kondisi operasional PPN Palabuhanratu sejak pembangunan tahap

kedua, yakni jumlah kapal berukuran <5 GT meningkat jumlahnya menjadi 457

unit, kapal berukuran 5-10 GT berjumlah 95 unit, kapal berukuran 10-20 unit

berjumlah 4 unit, kapal berukuran 20-30 GT berjumlah 13 unit dan kapal 30-150

GT berjumlah 68 unit dan produksi ikan sebesar 6.601 ton atau 18,1 ton/hari

(Tabel 2). Tabel 3 memperlihatkan evaluasi PPN Palabuhanratu.

Tabel 3 Evaluasi PPN Palabuhanratu (kelas B) sampai dengan tahun 2005

Kriteria teknis

Ukuran standar

berdasarkan Permen KP No 16/2006

Kondisi tahap I tahun 2002

Kondisi tahap II tahun 2005

Ukuran standar

Fasilitas tambat labuh

≥ 30 GT ≥30 GT ≥30 GT sesuai

Panjang dermaga 150 m 500 m 410 m melebihiKedalaman kolam 3 m 3,5 m 4 m sesuaiIndustri perikanan ada ada ada sesuai Jangkauan operasional

laut teritorial, ZEEI

laut teritorial, ZEEI

laut teritorial, ZEEI

sesuai

Daya dukung fasilitas

≥75 kapal = 2.250 GT

125 kapal = 3.230 GT

40 kapal = 2.600 GT

sesuai

Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Semua kriteria sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

No.16/2006 sebagai Pelabuhan Perikanan Nusantara telah dipenuhi oleh

pelabuhan ini, mulai dari fasilitas tambat labuh, panjang dermaga, kedalaman

kolam, industri perikanan, jangkauan operasional sampai dengan daya dukung

fasilitas. Jumlah produksi ikan yang didaratkan masih sangat rendah, yakni

sebesar 18 ton/hari yang tidak sesuai dengan jumlah produksi ikan yang

ditetapkan didalam studi kelayakan sebesar 43,8 ton/hari atau menurut Keputusan

Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Pebruari 2004

tentang Pelabuhan Perikanan yang menyatakan bahwa jumlah ikan yang

didaratkan rata-rata 30 ton/hari. Kemudian karena terbatasnya areal industri

perikanan maka hanya beberapa perusahaan swasta saja yang memanfaatkannya.

Permasalahan pada operasional tahap kedua adalah belum berfungsi

optimalnya PPN Palabuhanratu yang disebabkan oleh:

Page 35: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

14

(1) Kurangnya kapasitas dermaga dan kolam yang tersedia. Kolam I dan kolam II

seluas 5 ha dan kedalaman sampai 4 m, panjang dermaga seluruhnya 910 m

belum mampu menampung perkembangan jumlah dan struktur kapal yang

ada, yakni pada tahun 2005 jumlah kapal 676 unit, terdiri dari kapal berukuran

<10 GT sebanyak 571 unit atau 84,46% dari jumlah kapal yang ada dan kapal

berukuran 10-150 GT sebanyak 105 unit atau 15,54% dari jumlah kapal yang

ada. Kapal yang mendarat mengalami kesulitan melakukan olah gerak di

kolam I dan kolam II.

(2) Daerah penangkapan ikan semakin jauh dari pantai, seperti daerah

penangkapan untuk ikan cucut sudah sampai ke perairan Kepulauan Siberut

dan perairan sebelum Pulau Christmas.

(3) Harga BBM solar untuk kapal berukuran >30 GT tidak disubsidi, sehingga

harganya digolongkan kepada harga solar untuk industri sebesar Rp

5.400/liter. Dengan harga solar tidak bersubsidi tersebut menurunkan daya

beli solar, sehingga lebih dari 85% kapal tidak melakukan operasi ke laut.

(4) Tidak tersedianya es yang cukup. Pasokan es selama ini berasal dari satu

pabrik es yang ada di Palabuhanratu berkapasitas 1000 balok/hari. Kebutuhan

es untuk kapal >30 GT sebesar 1500 balok/hari. Kekurangan es dipasok dari

luar Palabuhanratu dan kapal-kapal harus antri hingga 4-5 hari.

Pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan dengan alasan: pertama

menurut BRKP dan LIPI (2005), bahwa potensi sumberdaya ikan di WPP 9,

khususnya untuk kelompok jenis ikan pelagis besar seperti ikan tuna dan cakalang

yang merupakan komoditi ekspor masih besar untuk dapat dieksploitasi yakni

baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton per tahun atau sebesar 51,41% dari potensi

yang ada sebanyak 366.260 ton per tahun (Tabel 4), kedua untuk memanfaatkan

sumberdaya ikan di WPP 9 tersebut diperlukan kapal-kapal perikanan yang

berukuran lebih besar (>30 GT) dan kapal angkut untuk tujuan ekspor berukuran

<1.000 GT, ketiga sejak PPN Palabuhanratu dioperasikan pada tahun 1993

sampai dengan tahun 2002 (pembangunan tahap pertama), kurang berfungsi

optimal terutama target pencapaian produksi sekelas nusantara belum tercapai

karena pendaratan ikan hanya sebesar 2.890 ton atau 18% dari target sebesar

Page 36: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

15

16.000 ton, keempat kebutuhan akan ikan berkualitas ekspor semakin meningkat

sehingga diperlukan pelabuhan perikanan berkualitas internasional yang mampu

menyediakan ikan berkualitas ekspor.

Tabel 4 Potensi lestari dan peluang pengembangan masing-masing kelompok sumberdaya ikan laut pada WPP 9 tahun 2000

No Kelompok SDI Potensi

(1000 ton/ tahun)

Produksi (1000 ton/

tahun)

Pemanfaatan (%)

1 Pelagis besar 366,26 188,28 51,412 Pelagis kecil 526,57 265,6 50,443 Demersal 135,13 134,83 99,784 Ikan karang konsumsi 12,88 19,42 150,785 Udang penaeid 10,7 10,24 95,706 Lobster 1,6 0,16 10,007 Cumi-cumi 3,75 6,29 167,73 Jumlah 1076,89 623,78 57,92

Sumber: Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2005.

Dengan alasan tersebut di atas, maka PPN Palabuhanratu perlu dioptimalkan

fungsinya, sehingga harus memiliki pola pengembangan yang lebih jelas dan

terarah. Pola pengembangan pelabuhan perikanan diperlukan untuk menjadi

standar dalam pembangunan dan operasional guna pencapaian tujuan

pembangunan pelabuhan perikanan. Pola pengembangan pelabuhan perikanan

dengan kasus di PPN Palabuhanratu dapat digunakan sebagai acuan untuk

menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan lainnya dengan

menyesuaikan parameter yang ada di komponen triptyque portuaire dari

pelabuhan lain tersebut.

Menurut Chaussade (1986) dalam Lubis (1989) bahwa, pelabuhan perikanan

adalah bagian dari sistem perikanan, dalam operasionalnya sangat terpengaruh

terhadap kondisi yang ada di luar pelabuhan perikanan yaitu kondisi yang ada di

wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi (hinterland). Selanjutnya

dikatakan bahwa, ketiga komponen tersebut disebut triptyque portuaire untuk

pelabuhan perikanan. Ketiga hubungan antara wilayah produksi, wilayah

distribusi dan pelabuhan perikanan tidak dapat dipisahkan satu sama lain,

melainkan saling terkait dan di dalam pengembangan pelabuhan perikanan harus

Page 37: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

16

mengkaitkan ketiganya, seperti pengembangan pelabuhan perikanan harus

tergantung kepada kondisi daerah penangkapan ikan sampai sejauhmana

ketersediaan potensi ikan, kemudian pengembangan pelabuhan perikanan juga

sangat tergantung kepada sampai sejauhmana konsumen membutuhkan ikan dari

pelabuhan perikanan tersebut.

Setelah PPN Palabuhanratu dapat dioptimalkan fungsinya sesuai kriteria

kelas B, maka selanjutnya perlu diantisipasi tentang rencana pengembangan PPN

Palabuhanratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS

Palabuhanratu). Hal itu berkaitan dengan masih besarnya peluang pemanfaatan

sumberdaya ikan di WPP 9 Samudera Hindia yang merupakan daerah

penangkapan ikan.

Selain itu, menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2004), bahwa prioritas

pembangunan perikanan dan kelautan tahun 2005 menitikberatkan pengelolaan

perikanan di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan dengan pusat pengembangannya

di Palabuhanratu. PPN Palabuhanratu direncanakan akan ditingkatkan menjadi

PPS Palabuhanratu. Pada tahun 2006 ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat

bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan melakukan

pembebasan areal di bagian selatan PPN Palabuhanratu seluas 30 ha untuk tahap

pertama, kemudian sampai dengan 100 ha pada tahap berikutnya. Dengan

demikian keberadaan pelabuhan perikanan di wilayah ini sangat penting dalam

menunjang pembangunan perikanan dan kelautan.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah memasukkan rencana

pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu ke dalam rencana

umum tata ruang daerah (RUTRD) yang meliputi areal seluas 500 ha. Selanjutnya

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) telah memprioritaskan PPN

Palabuhanratu masuk ke dalam program pembangunan pelabuhan perikanan yang

berada di lingkar luar wilayah Indonesia (outer ring fishing port program) dan

merupakan lokasi yang diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS

Palabuhanratu. Kriteria pemilihannya terkait dengan pelayanan, bahwa pelabuhan

perikanan tersebut harus dapat melayani kegiatan ekspor dan impor serta terkait

dengan pengembangan wilayah.

Page 38: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

17

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah:

(1) Masalah pokok PPN Palabuhanratu adalah belum berjalannya fungsi secara

optimal sebagai akibat dari pola pengembangannya yang kurang jelas.

Fasilitas pelabuhan yang tersedia relatif lengkap, namun terdapat beberapa

fasilitas yang telah mengalami daya tampung berlebihan (over capacity)

seperti kolam pelabuhan I dan II, kolam pelabuhan I tidak dapat menampung

kapal ukuran >30 GT serta areal industri perikanan yang sangat kurang

memadai, sehingga memerlukan pengembangan.

(2) Sejak awal pembangunan tahap pertama dan pembangunan tahap kedua

sudah memiliki pola pengembangan pelabuhan, yakni dengan adanya hasil

studi kelayakan dan rencana induk serta kriterianya sebagai kelas B. Pola

pengembangan yang telah disusun tersebut dalam implementasinya sudah

tidak sesuai lagi dengan kondisi perikanan sebagai akibat dari perubahan

yang terjadi pada wilayah produksi (foreland) dan wilayah distribusi

(hinterland). Pada wilayah produksi terjadi perubahan, yakni semakin

menjauhnya potensi sumberdaya ikan dari pantai yang mengakibatkan ukuran

kapal perikanan yang digunakan untuk menangkap bertambah besar.

Perubahan yang terjadi di wilayah distribusi adalah semakin meningkatnya

jumlah dan kualitas ikan yang diminta oleh konsumen sebagai akibat dari laju

pertumbuhan penduduk dan perubahan selera konsumen. Distribusi ikan

semakin meluas, baik untuk konsumen domestik maupun untuk konsumen

manca negara. Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan

implementasi pola pengembangan PPN Palabuhanratu diperlukan penetapan

strategi pengembangan PPN Palabuhanratu.

(3) PPN Palabuhanratu berpeluang untuk dikembangkan menjadi PPS

Palabuhanratu. Permasalahannya adalah kelemahan dalam perencanaan,

sehingga perlu diantisipasi agar fungsinya dapat dioptimalkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(1) Menentukan arah pengembangan fasilitas dan operasional PPN Palabuhanratu.

(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 39: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

18

(3) Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:

(1) Tersedianya suatu pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

(2) Memberi masukan dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan

pengelolaan PPN Palabuhanratu serta PPS Palabuhanratu.

(3) Dapat dijadikan acuan untuk menyusun pola pengembangan pelabuhan

perikanan lainnya.

(4) Memberikan sumbangan dalam upaya pengembangan konsep atau teori

pelabuhan perikanan.

(5) Membuka wawasan tentang pelabuhan perikanan sehingga berpeluang untuk

penelitian lebih lanjut tentang pelabuhan perikanan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada:

(1) Menganalisis arah pengembangan PPN Palabuhanratu.

(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

(3) Merekomendasikan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

1.6 Novelty

Berdasarkan hasil penelitian, maka kebaruan (novelty) yang ada dalam

penelitian ini adalah :

(1) Penerapan penggunaan konsep triptyque portuaire dalam menganalisis suatu

pelabuhan perikanan baru pertama kali digunakan dalam penelitian ini.

Selama ini untuk membangun pelabuhan perikanan hanya memperhatikan

keberadaan sumberdaya ikan dan kapasitas fisik pelabuhan perikanan tanpa

mengkaitkan tiga komponen secara terpadu dalam suatu konsep triptyque

portuaire, sehingga tidak jarang pelabuhan perikanan yang telah dibangun

tidak berfungsi optimal. Konsep triptyque portuaire adalah suatu kerangka

analisis geografi yang terdiri dari tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan

didalam menganalisis pembangunan suatu pelabuhan perikanan yakni

Page 40: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

19

komponen wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan (fishing port)

dan wilayah distribusi (hinterland). Menurut Chaussade (1986) yang diacu

Lubis (1989), konsep triptyque portuaire pertama kali digunakan untuk

menganalisis pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan di

negara Perancis. Penerapan konsep triptyque portuaire untuk pengembangan

PPN Palabuhanratu dapat berbeda apabila dibandingkan dengan konsep

triptyque portuaire yang diterapkan pertama kali di Perancis karena adanya

perbedaan penggunaan teknologi baik untuk kegiatan penangkapan ikan,

operasional pelabuhan maupun aktivitas pembinaan mutu dan pemasaran

ikan bahkan dalam kebijakan perikanan yang berlaku.

(2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan konsep triptyque portuaire

dapat dijadikan acuan didalam membangun dan mengembangkan pelabuhan

perikanan lain dengan melakukan penyesuaian terhadap parameter yang

digunakan.

Page 41: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

2 KERANGKA PEMIKIRAN

Pelabuhan perikanan merupakan prasarana yang sangat diperlukan guna

mendukung pembangunan perikanan, yang merupakan salah satu sub sistem

dalam sistem pembangunan perikanan. Fungsi pelabuhan perikanan adalah untuk

mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,

pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dalam pembangunannya pelabuhan

perikanan harus direncanakan secara terintegrasi dengan wilayah produksi

(foreland) dan wilayah distribusi (hinterland).

Pembangunan suatu pelabuhan perikanan harus didasarkan suatu

perencanaan yang matang, baik perencanaan secara nasional, perencanaan

regional maupun untuk perencanaan setiap lokasi pelabuhan perikanan.

Perencanaan perikanan secara nasional yang dibuat oleh Direktorat Jenderal

Perikanan Tangkap dan ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan harus

mencakup rencana induk pembangunan pelabuhan perikanan nasional. Rencana

induk pelabuhan perikanan secara nasional berdasarkan UU No. 31 tahun 2004

ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Menurut Peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan

Perikanan, bahwa rencana induk pelabuhan perikanan disusun dengan

mempertimbangkan daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya dukung

sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana umum tata

ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana wilayah, geografis

daerah dan kondisi perairan.

Berdasarkan rencana induk pelabuhan perikanan nasional, maka masing-

masing daerah secara regional membuat rencana induk pelabuhan perikanan

regional. Kemudian setiap lokasi pelabuhan perikanan menyusun rencana

induknya sendiri-sendiri yang merupakan pedoman atau pola pembangunan suatu

pelabuhan. Ketiga rencana induk tersebut harus saling mendukung dan sinkron,

sehingga tujuan pembangunan suatu pelabuhan perikanan dapat tercapai.

PPN Palabuhanratu dalam tahap pembangunannya sudah ditetapkan pola

pengembangan melalui proses perencanaan, yakni dari hasil studi kelayakan dan

Page 42: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

21

rencana induk pembangunannya. Pola pengembangan tersebut kemudian

diimplementasikan pada saat pembangunan, operasional dan pemeliharaan

pelabuhan. Setelah pola pengembangan PPN Palabuhanratu tersebut dilaksanakan

sejak tahun 1993 hingga tahun 2005, pelabuhan perikanan ini ternyata masih

belum optimal menjalankan fungsinya, seperti contoh jumlah produksi ikan yang

didaratkan pada tahun akhir pembangunan tahap pertama PPN Palabuhanratu

tahun 2002 sebesar 7.900 kg/hari atau 18,02% dari tagetnya, sedangkan target

yang harus dicapai menurut hasil studi kelayakan sebesar 43.840 kg/hari, sehingga

tujuan pembangunan pelabuhan perikanan yakni antara lain untuk

mensejahterakan nelayan belum tercapai. Pada tahun 2002 yang merupakan awal

pembangunan tahap kedua, telah tersedia kolam baru seluas 2 ha dengan

kedalaman kolam 4 m dan dermaga sepanjang 410 m’. Sejak operasionalnya

kolam dan dermaga tahap kedua tersebut, maka terjadi perubahan struktur armada

yang dilayani, yakni semula hanya melayani kapal sampai ukuran 30 GT

berkembang menjadi kapal berukuran 30–150 GT dengan alat tangkap longline.

Perkembangan operasional tersebut terlihat bahwa ada sebanyak 68 unit kapal

berukuran 30–150 GT yang menjadikan basisnya di PPN Palabuhanratu pada

tahun 2005, kemudian meningkat menjadi 139 unit kapal pada tahun 2006.

Sementara itu pada tahun 2006, sejak bulan Januari sampai dengan Oktober

tercatat jumlah ikan tuna segar dan ikan layur berkualitas ekspor yang telah

didaratkan sebanyak 1.013.438 kg. Ikan tuna kualitas ekspor yang didaratkan

terdiri dari 2 bentuk, yakni ikan tuna segar dan ikan tuna beku. Ikan tuna kualitas

ekspor dalam bentuk segar setelah pendaratan di dermaga dibongkar untuk

dimasukkan ke dalam mobil berinsulasi yang berisi es curai kemudian langsung

dibawa ke Jakarta. Ikan tuna beku dibongkar dari kapal untuk dipindahkan ke

mobil ber freezer kemudian diangkut ke Jakarta. Perjalanan dari Palabuhanratu ke

Jakarta memerlukan waktu sekitar 4-5 jam. Tabel 5 menunjukkan secara rinci

data ekspor ikan tuna dan ikan layur dari PPN Palabuhanratu.

Ikan layur kualitas ekspor, setelah dibeli dari nelayan oleh pedagang

pengumpul kemudian dijual ke pemilik cold storage yang ada di PPN

Palabuhanratu dan sekitarnya. Ikan layur yang telah dipacking oleh perusahaan

cold storage kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan mobil truk kontainer.

Page 43: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

22

Tabel 5 Jumlah ikan tuna dan ikan layur yang diekspor dari PPN Palabuhanratu bulan Januari sampai dengan Oktober 2006 Satuan: kg

Bulan Tuna Layur Jumlah Januari 194.360 7.200 201.560Februari 112.700 8.500 121.200Maret 120.700 5.000 125.700April 65.300 4.327 69.627Mei 171.899 5.000 176.899Juni 179.619 - 179.619Juli 57.435 5.400 62.835Agustus 46.250 25.000 71.250September 52.000 25.600 77.600Oktober 13.175 5.000 18.175Jumlah 1.013.438 91.027 1.104.465Rata-rata 101.343,8 9.102,7 110.446,5

Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Ikan tuna kualitas ekspor banyak didaratkan pada bulan Januari sampai

dengan bulan Juni. Menurut Baskoro et al. (2004), pada bulan April-September

merupakan musim ikan dengan tangkapan yang bagus di WPP 9. Ikan layur

banyak didaratkan pada bulan Agustus dan September karena pada saat itu kondisi

perairan di Teluk Palabuhanratu sedang musim ikan layur. Rata-rata per bulan

jumlah ikan tuna yang diekspor sebesar 101.343,8 kg dengan tujuan ke negara

Jepang. Ikan layur yang diekspor ke negara Korea rata-rata per bulan sebanyak

9.102,7 kg.

Kondisi kolam II saat ini sudah dipenuhi oleh kapal-kapal longline, yakni

lebih dari 30 unit kapal (kapasitas kolam II sebanyak 40 unit kapal). Sehingga

perlu dilakukan upaya pengembangan. Untuk itu perlu pengkajian terhadap

operasional pelabuhan melalui monitoring dan evaluasi guna menentukan sampai

sejauhmana operasional berdasarkan fungsi yang ada dan permasalahannya

sehingga sesuai dengan pola pengembangan yang ditentukan. Menurut Lubis

(2002), dalam melakukan monitoring dan evaluasinya akan dikaitkan dengan

seberapa jauh pelabuhan ini telah memanfaatkan wilayah produksinya (foreland)

dan wilayah distribusinya (hinterland) yang merupakan komponen-komponen

dari konsep triptyque portuaire. Pada wilayah produksi, beberapa faktor yang

perlu diperhitungkan adalah kondisi potensi sumberdaya ikan yang masih besar

peluang untuk dimanfaatkan, jumlah dan struktur kapal yang memanfaatkan WPP

Page 44: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

23

9, serta pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu ke daerah fishing ground

kemudian kembali ke PPN Palabuhanratu serta berbagai kemungkinan rute kapal

perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground. Pada wilayah distribusi,

faktor-faktor yang perlu diperhitungkan adalah kondisi permintaan ikan oleh

konsumen, kondisi jalan yang menghubungkan PPN Palabuhanratu ke daerah

konsumen terutama ke Jakarta dan Bandung. Dari hasil monitoring dan evaluasi,

kemudian dilakukan identifikasi untuk setiap permasalahan dan akan ditemukan

permasalahannya.

Berdasarkan kondisi dan permasalahannya, maka perlu diupayakan untuk

menentukan apakah PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan baik untuk

optimalisasi PPN Palabuhanratu maupun antisipasi menjadi PPS Palabuhanratu.

PPS Palabuhanratu yang akan dibangun harus diarahkan kepada pemanfaatan

potensi ikan di WPP 9. Ikan tuna dan cakalang adalah sumberdaya ikan yang

masih potensial untuk dimanfaatkan yang merupakan komoditi high migration,

sehingga kapal-kapal yang memiliki tonase >30 GT dapat menangkap ikan-ikan

tersebut di perairan ZEEI (12-200 mil) dan samudera lepas (>200 mil).

Untuk mengembangkan PPS Palabuhanratu, maka perlu kajian antara lain

tentang penentuan apakah Kabupaten Sukabumi merupakan lokasi sektor basis,

yakni lokasi yang mencerminkan:

(1) Kondisi sumberdaya ikan nya dapat dijadikan komoditi ekspor.

(2) Bagaimana kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu dibandingkan

dengan daerah lain.

(3) Kondisi tingkat operasional kolam dan dermaga saat ini.

Selanjutnya parameter-parameter tersebut dipakai untuk menyusun pola

pengembangan pelabuhan perikanan yang telah mempertimbangkan konsep

triptyque portuaire.

Pola pengembangan pelabuhan perikanan yang dikaitkan dengan konsep

triprtyque portuaire dirancang dengan tujuan mengoptimalkan fungsi pelabuhan

perikanan berdasarkan permasalahan yang ada guna menentukan target produksi,

target jumlah kapal, luas kolam, kedalaman kolam, panjang dermaga, kapasitas

pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih serta manajemen pelabuhan

perikanan.

Page 45: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

24

Penentuan prioritas pengembangannya dilakukan dengan mengidentifikasi

dan menentukan prioritas pengembangan melalui proses hierarki analitik (PHA).

Untuk menentukan stabil atau tidaknya prioritas pengembangan maka diperlukan

analisis sensitivitas terhadap prioritas pengembangan yang terpilih.

Dalam pelaksanaan pengembangan berdasarkan pada pola yang didapat,

maka perlu dilakukan antisipasi apabila PPN Palabuhanratu menjadi PPS

Palabuhanratu baik terhadap aktivitas, fasilitas maupun pengelolaannya dengan

konsep triptyque portuaire. Antisipasi pelaksanaan pola pengembangan pelabuhan

perikanan dengan menganalisis perkembangan kondisi foreland dengan kesiapan

PPS Palabuhanratu, yaitu kaitannya dengan berbagai kemungkinan bertambah nya

jumlah kapal yang memanfaatkan PPS Palabuhanratu, sehingga jangkauan dan

bertambah luasnya fishing ground ke arah perairan wilayah pengelolaan perikanan

9 (WPP 9) Samudera Hindia dan kemungkinan kapal-kapal tersebut melakukan

pendaratan di tempat lain. Kaitan hinterland dengan rencana pembangunan PPS

Palabuhanratu, perlu dianalisis banyaknya jumlah ikan yang didaratkan, diolah

dan dipasarkan serta berkembangnya berbagai bentuk transportasi untuk

menjangkau konsumen.

Gambar 2 menunjukkan diagram alir pemikiran pelaksanaan penelitian pada

penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 46: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

25

Gambar 2 Kerangka penelitian pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

EVALUASI DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PELABUHAN

PERIKANAN

OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

RENCANA INDUK PPN PALABUHANRATU

PRIORITAS PENGEMBANGAN

KONSEP TRIPTYQUE PORTUAIRE :

FORELAND FISHING PORT HINTERLAND

PENENTUAN PERLUNYA PENGEMBANGAN PELABUHAN

PERIKANAN

KONDISI: SDI, SDM, WPP, RUTR,PRASARANA WILAYAH, GEOGRAFIS DAERAH DAN KONDISI PERAIRAN

Pola pengembangan PPN Palabuhanratu

Analisis kebutuhan pengembangan

Page 47: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

3 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tujuan Pengelolaan Perikanan

Tujuan pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU No. 31 tahun 2004

tentang Perikanan adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan

pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara,

mendorong perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan ketersediaan dan

konsumsi sumber protein ikan, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,

meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, meningkatkan

ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, mencapai pemanfaatan

sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal serta menjamin

kelestarian sumberdaya ikan, dan tata ruang.

Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan diarahkan untuk mencapai

tujuan pengelolaan perikanan tersebut di atas.

Kondisi pengelolaan perikanan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan

harapan karena tidak dikelola secara baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan di

perairan banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab yang menggunakan

alat-alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bagan dengan

mata jaring berukuran sangat kecil, banyak aktivitas perikanan tidak dilaporkan

secara benar dan akurat sehingga kebijaksanaan yang diambil selalu ada

penyimpangan dan banyak aturan-aturan yang telah dibuat tidak aplikatif di

lapangan, sebagai contoh masih adanya sebagian dari masyarakat nelayan

menggunakan trawl.

3.2 Definisi Pelabuhan Perikanan

Ditinjau dari sub sistem angkutan (transpor), menurut Kramadibrata (1985)

bahwa pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai bagi kelancaran

angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah

perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat

berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, sedemikian rupa hingga

bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna

mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas

penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan

Page 48: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

27

dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan menuju tujuan selanjutnya dapat

dilakukan.

Menurut Ayodhyoa (1975) pelabuhan perikanan adalah:

(1) Pelabuhan khusus merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan, baik

dilihat dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya.

(2) Gabungan area perairan dan daratan dengan dilengkapi berbagai fasilitas yang

dapat digunakan oleh kapal perikanan.

(3) Wilayah perairan terbuka dan terlindung dari angin topan, badai sehingga

menjadikannya tempat yang aman dan menyenangkan bagi kapal yang

mencari tempat perlindungan, pengisian bahan bakar, pengisian keperluan

melaut, perbaikan atau aktivitas bongkar.

(4) Pusat berbagai aktivitas industri perikanan, kegiatannya mulai dari kapal

berangkat ke laut dan kembali ke pangkalan.

Selanjutnya menurut Lubis (2002), pelabuhan perikanan adalah suatu

wilayah perpaduan antara wilayah daratan dan lautan yang dipergunakan sebagai

pangkalan kegiatan penangkapan ikan dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas

sejak ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Pelabuhan perikanan adalah

merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi,

pengolahan dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional.

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1994) yang diacu Lubis (2002),

bahwa aspek-aspek tersebut secara terperinci adalah:

(1) Produksi: bahwa pelabuhan perikanan sebagai tempat para nelayan untuk

melakukan kegiatan-kegiatan produksinya, mulai dari memenuhi kebutuhan

perbekalan untuk menangkap ikan di laut sampai membongkar hasil

tangkapannya.

(2) Pengolahan: bahwa pelabuhan perikanan menyediakan sarana-sarana yang

dibutuhkan untuk mengolah hasil tangkapannya.

(3) Pemasaran: bahwa pelabuhan perikanan merupakan pusat pengumpulan dan

tempat awal pemasaran hasil tangkapannya.

Pengembangan ekonomi perikanan tersebut juga ditunjang oleh industri

perikanan baik hulu maupun hilir dan pengembangan sumberdaya manusia

khususnya masyarakat nelayan.

Page 49: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

28

Menurut Murdiyanto (2004), Jepang sebagai negara terkemuka dalam

bidang perikanan mendefinisikan pelabuhan perikanan atau ’Fishing Port’ sebagai

berikut: ..........is a composition of water area, land area and facilities to be used

as a natural or artificial fishing base, which is designated by the Minister of

Agriculture and Forestry………

Definisi pelabuhan perikanan menurut UU No.31 tahun 2004 tentang

Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya

dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan

sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan

bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas

keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

3.3 Pengertian Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan

Menurut Al Barry (1994), yang dimaksud dengan ”pola” adalah model;

contoh; pedoman (rancangan); dasar kerja. Sedangkan pengertian”pola”menurut

Wojowasito (1972) adalah contoh; suri; model. Berdasarkan pengertian ”pola” di

atas, maka yang dimaksud ”pola” dalam penelitian ini adalah suatu contoh atau

pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan

berdasarkan konsep triptyque portuaire. Ukuran-ukuran yang akan ditentukan

yang merupakan pola pengembangan pelabuhan perikanan terdiri dari ukuran-

ukuran pada komponen wilayah produksi (foreland), komponen pelabuhan

perikanan dan komponen wilayah distribusi (hinterland). Pengembangan adalah

merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang dinilai kurang kepada

suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai kemajuan. Pengembangan

yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses untuk mencapai kemajuan

pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sesuai dengan pola

pengembangannya guna mengoptimalkan fungsinya.

Pola pengembangan pelabuhan perikanan adalah acuan awal yang sangat

diperlukan didalam mengembangkan pelabuhan perikanan. Selama ini didalam

perencanaan pelabuhan perikanan di Indonesia banyak dilakukan belum

sempurna, yakni dalam penyusunan pola pengembangan tidak mengkaitkan

sinergitas antara wilayah produksi (foreland), pelabuhan perikanan dan wilayah

Page 50: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

29

distribusi (hinterland), sehingga mengakibatkan banyak pelabuhan perikanan

yang tidak berkembang dan berfungsi secara optimal. Hal tersebut diindikasikan

bahwa pada tahun 1997 produksi perikanan laut yang didaratkan dipelabuhan

perikanan hanya sebesar 793.710 ton atau sekitar 22% dari total produksi

perikanan laut sebesar 3.612.961 ton. Sebanyak 357 buah atau sekitar 60% dari

total pelabuhan perikanan sebanyak 595 buah belum berfungsi secara optimal

(Lubis, 2002).

3.4 Landasan Hukum Pengelolaan Pelabuhan Perikanan

Undang-undang yang baru tentang perikanan yaitu UU No 31 tahun 2004

tentang Perikanan pada pasal 41, menyatakan bahwa:

(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.

(2) Menteri menetapkan:

1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional.

2) Klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan

bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan

pengoperasian pelabuhan perikanan.

3) Persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam

perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan

pelabuhan perikanan.

4) Wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan.

5) Pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah.

Penjabaran UU No 31/2004 tentang Perikanan, maka telah diterbitkan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23

Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan antara lain mengatur bahwa:

(1) Rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional disusun dengan

mempertimbangkan: daya dukung sumberdaya ikan yang tersedia, daya

dukung sumberdaya manusia, wilayah pengelolaan perikanan (WPP), rencana

umum tata ruang wilayah propinsi/kabupaten/kota, dukungan prasarana

wilayah, dan geografis daerah dan kondisi perairan.

(2) Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan rencana induk secara nasional.

(3) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan yang

Page 51: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

30

dibangun oleh pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta.

(4) Pemerintah, BUMN maupun perusahaan swasta yang akan membangun

pelabuhan perikanan wajib mengikuti rencana induk pelabuhan perikanan

secara nasional dan peraturan pelaksanaannya.

(5) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan melalui pentahapan study,

investigation, detail design, construction, operation dan maintenance

(SIDCOM).

(6) Selain pemerintah, pihak swasta dapat membangun dan mengoperasionalkan

pelabuhan perikanan.

(7) Klasifikasi pelabuhan perikanan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23

Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan membagi ke dalam 4 kelas Pelabuhan

Perikanan, yakni Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan

Pendaratan Ikan (PPI).

Tabel 6 memuat secara rinci kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan

menurut Menteri Kelautan dan dan Perikanan

(8) Setiap pembangunan pelabuhan perikanan wajib terlebih dahulu memperoleh

persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Lokasi pembangunan pelabuhan

perikanan ditetapkan oleh Bupati/Walikota setempat.

(9) Pengelolaan pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang Kepala Pelabuhan.

Kepala Pelabuhan Perikanan bertindak sebagai koordinator tunggal dalam

penyelenggaraan pelabuhan perikanan.

(10) Dalam menata dan menertibkan penyelenggaraan pelabuhan perikanan,

kepala pelabuhan perikanan dapat menerbitkan ketentuan-ketentuan yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pelabuhan perikanan.

(11) Fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan perikanan:

1) Fasilitas pokok, yaitu fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di

suatu pelabuhan. Fasilitas ini berfungsi untuk menjamin keamanan dan

kelancaran kapal baik sewaktu berlayar keluar masuk pelabuhan

maupun sewaktu berlabuh di pelabuhan. Fasilitas pokok antara lain: (a)

pelindung seperti breakwater, revetment, dan groin dalam hal secara

Page 52: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

31

teknis diperlukan, (b) tambat seperti dermaga dan jetty, (c) perairan

seperti kolam, dan alur pelayaran, (d) penghubung seperti jalan,

drainase, gorong-gorong, jembatan, (e) lahan pelabuhan perikanan.

Tabel 6 Kriteria teknis klasifikasi pelabuhan perikanan

Kelas Pelabuhan Perikanan Samudera

Pelabuhan Perikanan Nusantara

Pelabuhan Perikanan Pantai

Pangkalan Pendaratan Ikan

Daerah penangkapan ikan

Laut teritorial, ZEEI, laut lepas

Laut territorial, ZEEI

Perairan pedalaman, Perairan kepulauan, laut teritorial

Perairan pedalaman dan perairan kepulauan

Fasilitas tambat labuh ukuran kapal (GT) ≥60 ≥30 ≥10 ≥3

Panjang dermaga (m) ≥300 ≥150 ≥100 ≥50Kedalaman kolam (m) ≥3 ≥3 ≥2 2

Kapasitas tampung kolam sekaligus

≥100 unit kapal atau ≥6000 GT

≥75 unit kapal atau ≥2250 GT

≥30 unit kapal atau ≥ 300 GT

≥20 unit kapal atau ≥ 60 GT

Pemasaran Sebagian untuk ekspor

- - -

Keberadaan industri perikanan ada ada - -

Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.

2) Fasilitas fungsional, yakni fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan

nilai guna dari fasitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di

pelabuhan, (a) pemasaran hasil perikanan seperti tempat pelelangan

ikan, (b) navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet,

SSB, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas, (c) suplai air

bersih, es dan listrik, (d) pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan

seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring,

(e) penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan

laboratorium pembinaan mutu, (f) perkantoran seperti kantor

administrasi pelabuhan, (g) transportasi seperti alat-alat angkut ikan dan

Page 53: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

32

es dan (h) pengolahan limbah seperti instalasi pengolah air limbah

(IPAL).

3) Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung

meningkatkan peranan pelabuhan, yakni fasilitas (a) pembinaan

nelayan seperti balai pertemuan nelayan, (b) pengelolaan pelabuhan

seperti mess operator, pos jaga, dan pos pelayanan terpadu, (c) sosial

dan umum seperti tempat peribadatan dan MCK, (d) kios IPTEK, (e)

penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,

K3, bea dan cukai, keiimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan

masyarakat, dan karantina ikan.

Selanjutnya Lubis et al. (2005) mengatakan bahwa selain fasilitas yang vital

juga terdapat fasilitas penting dan fasilitas pelengkap. Fasilitas vital atau fasilitas

yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan ada 9 jenis yakni dermaga

pendaratan ikan dan muat, kolam pelabuhan, sistem rambu-rambu navigasi yang

mengatur keluar masuknya kapal, tempat pelelangan ikan, dimana dilakukan

transaksi lelang, pabrik es, tangki dan instalasi air, penyediaan bahan bakar,

bengkel reparasi dan kantor administrasi.

Jenis fasilitas lainnya yakni fasilitas penting, adalah fasilitas yang jelas

diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun

realisasinya dapat ditunda. Fasilitas penting tersebut adalah generator listrik,

kantor kepala pelabuhan, tempat parkir, pos penghubung radio (SSB), ruang

pengepakan.

Fasilitas pelengkap adalah jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan

perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada

pengembangan pelabuhan tahap ketiga. Fasilitas pelengkap ini meliputi dermaga

muat terpisah, slipway, ruang pertemuan, kamar kecil, pos penjagaan, balai

pertemuan nelayan, rumah dinas, mushola, mobil dinas dan motor dinas.

Selanjutnya Lubis et al. (2005) menyatakan bahwa, setelah dilakukan

penelitian terhadap fasilitas pelabuhan perikanan di Laut Jawa, ternyata bahwa

jumlah pelabuhan yang termasuk kategori baik sangat sedikit, yakni 5 unit

pelabuhan perikanan. Sebagian besar pelabuhan perikanan termasuk kategori

Page 54: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

33

cukup (73%), tetapi mayoritas PPI termasuk buruk (59%). Tabel 7 menunjukkan

evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun

2005.

Tabel 7 Evaluasi kondisi fasilitas vital pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005

No Hasil penelitian % PP % PPI

1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 0 dari 204 (0%)

2 Kategori cukup 22 dari 30 (73%) 83 dari 204 (41%)

3 Kategori buruk 3 dari 30 (10%) 121 dari 204 (59%)

Sumber : Lubis et al. 2005.

Selanjutnya dikatakan bahwa, dari 30 unit pelabuhan perikanan, 14 unit atau

46% diantaranya berkategori buruk, sedangkan 184 unit PPI atau 90% dari 204

unit PPI berkategori buruk. Adanya 90% dari PPI di Pulau Jawa yang masih

termasuk kategori buruk, merupakan suatu jumlah yang besar sekali, dan hal ini

berarti adanya kesulitan yang begitu besar bagi para nelayan dalam melakukan

kegiatan-kegiatannya. Tabel 8 memperlihatkan evaluasi kondisi fasilitas penting

di pelabuhan perikanan/PPI.

Tabel 8 Evaluasi kondisi fasilitas penting pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005

No Hasil penelitian % PP % PPI

1 Kategori baik 5 dari 30 (17%) 2 dari 204 (1%)

2 Kategori cukup 11 dari 30 (37%) 18 dari 204 (9%)

3 Kategori buruk 14 dari 30 (46%) 184 dari 204 (90%)

Sumber : Lubis et al, 2005.

Demikian juga keberadaan fasilitas pelengkap, yakni sebanyak 12 unit atau

40% dari 30 unit pelabuhan perikanan memiliki fasilitas pelengkap berkategori

buruk dan ada 183 unit atau 90% dari 204 unit PPI berkategori buruk seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 9. Kondisi ini sangat memperlemah kinerja pelabuhan

perikanan/PPI sehingga pelayanan yang diberikan tidak optimal.

Page 55: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

34

Tabel 9 Evaluasi kondisi fasilitas pelengkap pelabuhan perikanan/PPI di Pulau Jawa tahun 2005

No Hasil penelitian % PP % PPI

1 Kategori baik 2 dari 30 (7%) 0 dari 204 (0%)

2 Kategori cukup 16 dari 30 (53%) 19 dari 204 (9%)

3 Kategori buruk 12 dari 30 (40%) 183 dari 204 (90%)

Sumber : Lubis et al. 2005.

Menurut pasal 42 UU No. 31/2004 tentang Perikanan bahwa:

(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan

perikanan.

(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib

memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh

syahbandar.

(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan

mempunyai kewenangan lain yakni: memeriksa ulang kelengkapan dokumen

kapal perikanan dan memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di

kapal perikanan. Syahbandar di pelabuhan perikanan diangkat oleh Menteri

Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, landasan hukum yang mendasari pengelolaan pelabuhan

perikanan adalah:

(1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan

Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP).

(2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan.

(3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang

Usaha Perikanan Tangkap.

Peraturan mengenai pelabuhan perikanan sangat tertinggal dibandingkan

dengan peraturan pelabuhan umum, sehingga didalam pelaksanaan pembangunan

dan operasionalnya sejak tahun 1972 (mulai adanya istilah dan pembangunan

pelabuhan perikanan) mengalami banyak hambatan karena setiap kali

Page 56: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

35

pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan selalu didahului melalui

proses perijinan dari Menteri Perhubungan. Akibatnya perkembangan

pembangunan dan operasional pelabuhan perikanan terganggu. Namun dengan

adanya UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri No.16

tahun 2006, maka kedudukan, hak dan kewajiban, tugas dan aturan lainnya

mengenai pelabuhan perikanan semakin jelas dan petugas di lapangan tidak ragu-

ragu lagi untuk mengupayakan agar fungsi pelabuhan perikanan dapat berjalan

secara optimal.

3.5 Fungsi dan Peranan Pelabuhan Perikanan

Menurut Lubis (2002), terdapat dua jenis pengelompokan fungsi pelabuhan

perikanan yakni ditinjau dari pendekatan kepentingan dan pendekatan aktivitas.

Fungsi pelabuhan perikanan berdasarkan pendekatan kepentingan adalah:

(1) Fungsi maritime, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan melalui

penyediaan kolam pelabuhan dan dermaga.

(2) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat

awal untuk mempersiapkan pemasaran produksi perikanan dengan

melakukan transaksi pelelangan ikan.

(3) Fungsi jasa, dimana pelabuhan perikanan memberikan jasa-jasa pelabuhan

mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan.

Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari segi aktivitas khususnya adalah:

(1) Fungsi pendaratan dan pembongkaran, dalam hal ini pelabuhan perikanan

lebih ditekankan sebagai pemusatan sarana dan kegiatan pendaratan dan

pembongkaran hasil tangkapan di laut.

(2) Fungsi pengolahan, dimana pelabuhan perikanan sebagai tempat membina

peningkatan mutu serta pengendalian mutu ikan dalam menghindari

kerugian dari pasca tangkap.

(3) Fungsi pemasaran, dimana pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat

untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan atau mendapat

harga yang layak baik bagi nelayan maupun bagi pedagang.

Page 57: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

36

(4) Fungsi pembinaan terhadap masyarakat nelayan, dimana pelabuhan

perikanan dapat dijadikan sebagai lapangan kerja bagi penduduk di

sekitarnya dan sebagai tempat pembinaan masyarakat nelayan.

Menurut Murdiyanto (2004), pelabuhan perikanan merupakan basis utama

kegiatan industri perikanan tangkap yang harus dapat menjamin suksesnya

aktivitas usaha perikanan tangkap di laut. Pelabuhan perikanan berperan sebagai

terminal yang menghubungkan kegiatan usaha di laut dan di darat ke dalam suatu

sistem usaha yang berdaya guna tinggi.

Aktivitas unit penangkapan ikan di laut keberangkatannya dari pelabuhan

harus dilengkapi dengan bahan bakar, perbekalan makanan, es dan lain-lain

secukupnya. Informasi tentang data harga dan kebutuhan ikan di pelabuhan perlu

dikomunikasikan dengan cepat dari pelabuhan ke kapal di laut. Setelah selesai

melakukan pekerjaan di laut, kapal akan kembali dan masuk ke pelabuhan untuk

membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Selain memberikan pelayanan

terhadap kapal, yaitu melayani segala kebutuhan keberangkatan, kedatangan,

berlabuh, perbaikan dan docking, pelabuhan juga melayani aktivitas pemasaran

dan distribusi ikan dan pedagang atau pihak lainnya untuk berusaha dalam bidang

perikanan. Selain itu pelabuhan juga mengumpulkan data statistik perikanan.

Selanjutnya dinyatakan bahwa fungsi khusus pelabuhan perikanan yang

membedakan dengan pelabuhan lain adalah terutama yang dicirikan dari

karakteristik komoditas perikanan yang sifatnya mudah busuk (highly perishable).

Hal ini menghendaki pelayanan khusus berupa perlakukan penanganan,

pendistribusian hasil ikan secara cepat ataupun pengolahan (fish processing) yang

tepat. Untuk komoditas hasil perikanan ini perlu bongkar muatan ikan dilakukan

berkali-kali dalam sehari. Ciri khusus lain adalah ukuran kapal yang relatif kecil

dan berjumlah banyak. Hal ini menyebabkan perlunya bangunan pelabuhan yang

dapat memberikan perlindungan dengan derajat yang lebih tinggi untuk kapal-

kapal ukuran besar. Selain itu sifat usaha perikanan tangkap yang tergantung dari

kondisi alam yang tidak menentu, ada musim ikan, ada musim paceklik

menyebabkan perhitungan arus lalu lintas kedatangan dan keberangkatan kapal

(traffic flow) menjadi tidak teratur sehingga diperlukan alokasi waktu lama dan

area yang cukup lapang untuk kapal bertambat pada musim paceklik.

Page 58: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

37

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per. 16/Men/2006,

pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai

dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Fungsi

pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya dapat berupa

pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan,

pelayanan bongkar muat, pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil

perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil

perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan,

pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan

pengendalian sumberdaya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, pelaksanaan fungsi

karantina ikan, publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah

pesisir dan wisata bahari dan pengendalian lingkungan.

Dalam penjelasan pasal 41 ayat 1 UU No.31/2004 tentang Perikanan,

dinyatakan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi antara lain sebagai tempat

tambat-labuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan

distribusi ikan, tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat

pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan serta

pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk memperlancar kegiatan

operasional kapal perikanan.

3.6 Pelabuhan Perikanan di Negara Lain

Terdapat beberapa pengalaman pembangunan dan pengelolaan pelabuhan

perikanan di negara Jepang, Philipina, Jerman dan Perancis yang dapat dijadikan

contoh keberhasilannya, sehingga perlu meneladani pelabuhan-pelabuhan yang

sudah ada di negara lain.

(1) Pelabuhan perikanan di Jepang

Negara Jepang membagi pelabuhan perikanan menjadi 4 tipe. Tabel 10

menunjukkan tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995.

Dengan jumlah 2.944 unit pelabuhan perikanan tahun 2001 dan panjang

pantai negara Jepang 34000 km berarti setiap pelabuhan perikanan memiliki jarak

Page 59: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

38

12 km. Selain itu ada 7000 desa nelayan, 5000 desa nelayan diantaranya berada

dekat dengan pelabuhan perikanan. Bandingkan dengan negara Indonesia yang

memiliki 17.508 buah pulau dan panjang pantai 81000 km, wilayah lautannya

meliputi 5,8 juta km2 atau 70% dari luas total territorial Indonesia hanya memiliki

pelabuhan perikanan sebanyak 784 unit, dengan demikian setiap pelabuhan

perikanan berjarak 103 km.

Tabel 10 Tipe dan jumlah pelabuhan perikanan di Jepang tahun 1995

Tipe Jumlah Karakteristik Tipe 1 2.218 Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan untuk perikanan

lokal Tipe 2

512

Pelabuhan-pelabuhan yang kisaran kebutuhannya lebih luas dari tipe 1 dan dibawah tipe 3

Tipe 3

113

Pelabuhan-pelabuhan yang digunakan oleh seluruh kapal Jepang

Tipe 4

101

Pelabuhan-pelabuhan di dalam isolasi (tertutup) oleh pulau-pulau atau tempat terpencil yang dibutuhkan untuk pengembangan daerah penangkapan dan tempat berlindung kapal-kapal penangkapan.

Jumlah 2.944 Sumber: National Fishing Port Association, 1995.

Selanjutnya dikatakan bahwa, jumlah kapal perikanan tahun 1993 di

pelabuhan perikanan terbanyak pada pelabuhan perikanan tipe I yakni sebesar

150.581 unit, pada tipe II sebanyak 91.140 unit, tipe III sebanyak 22.878 unit dan

tipe IV sebanyak 14.331 unit. Jumlah pendaratan ikan pada tahun 1993 terbanyak

pada tipe III yakni sebesar 2.384.000. ton, pada tipe II sebanyak 1.382.000 ton,

pada tipe I sebanyak 1.343.000 ton.

Jepang adalah negara kepulauan yang sering dilanda gempa dan sering

terjadi tsunami. Sebagai contoh tsunami yang terjadi pada tahun 1986 telah

menimbulkan naiknya gelombang air laut setinggi 24,4 m dan telah menewaskan

sebanyak 27.122 orang. Untuk mengatasi masalah tsunami tersebut, maka selain

memperbaiki struktur pantai, pembangunan rumah, gedung tahan gempa, maka

pelabuhan perikanan yang dibangun di sepanjang pantai dirancang sekokoh

mungkin sehingga berfungsi untuk mempertahankan pantai dari serangan

gelombang tsunami. Akibatnya dana pembangunan pelabuhan perikanan menjadi

lebih besar (National Fishing Port Association, 1995).

Page 60: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

39

Pelabuhan perikanan dipimpin oleh seorang administrator yang diangkat

oleh walikota. Peraturan pelabuhan perikanan di Jepang mengatur bagaimana

Pemerintah merencanakan, membangun, mengelola dan memelihara pelabuhan

perikanan. Jika pelabuhan perikanan secara legal diakui, maka pertama

rancangannya harus disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian,

Kehutanan dan Perikanan setelah mendengar pendapat dari lembaga umum lokal.

Pemerintah Pusat menetapkan rencana induk pelabuhan perikanan 5 sampai 6

tahun ke depan. Administrasi pelabuhan perikanan di Jepang semuanya dikelola

oleh Dinas Perikanan di Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Dana

pembangunan breakwater, dermaga, alur pelayaran, kolam pelabuhan, jalan dan

fasilitas transportasi dibiayai 50% dari Pemerintah Pusat dan 50% dari Pemerintah

Daerah. Pembangunan fasilitas yang bersifat komersial seperti unit pembekuan

ikan, pabrik es diserahkan kepada pihak swasta atau koperasi perikanan. Biaya

pemeliharaan dan manajemen ditanggung oleh Pemerintah Daerah.

(2) Pelabuhan perikanan di Perancis

Menurut Lubis (2002), di Perancis sebelum tahun 1965, pelabuhan

mempunyai dua pembagian wewenang yaitu kementerian perhubungan adalah

penanggung jawab infrastruktur dan kamar dagang dan industri adalah

penanggung jawab suprastruktur. Namun sejak tahun 1983, pengelolaan

sepenuhnya dipegang oleh kamar dagang dan industri dan pemerintah pusat tetap

sebagai pemiliknya. Sejak tahun 1992, di beberapa daerah, pengelolaaannya

diserahkan oleh perusahaan swasta yang mempunyai kontrak mengelola

pelabuhan perikanan selama 15 tahun. Perancis pada umumnya mengelompokkan

pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan perikanan besar dan kecil, masing-

masing mempunyai karakteristik. Tabel 11 menunjukkan karakteristik pelabuhan

perikanan di Perancis.

Tabel 11 Karakteristik pelabuhan perikanan di Perancis

Jenis Pelabuhan Tipe pelabuhan Ukuran kapal

Distribusi

Pelabuhan besar Industri & semi industri >50 GT Nasional & ekspor Pelabuhan kecil Tradisional atau pantai <50 GT Lokal & nasional

Sumber : Lubis, 2002.

Page 61: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

40

Menurut Le Ry JM (2005), bahwa di Cornouaille terdapat 7 pelabuhan

perikanan pada 100 km garis pantai, yakni Douarnenez, Audierne, Saint Guenole,

Guilvinec, Lesconil, Loctudy dan Concarneau. Pada tahun 2004 telah didaratkan

sebanyak 59.000 ton ikan pada 7 pelabuhan perikanan tersebut. Ada sebanyak

500 buah kapal perikanan memanfaatkan pelabuhan perikanan tersebut, mulai dari

handliner berukuran panjang 6 m sampai kepada kapal high sea trawlers

memiliki panjang 30 m dan tuna seiner memiliki panjang lebih dari 75 m. Fasilitas

pokok telah dibangun oleh negara Perancis. Pengelolaan pelabuhan dilakukan

oleh Regional Administration. Kontrak telah dibuat antara Regional

Administration dengan chambers of commerce and industry (CCI) untuk

memelihara pelabuhan perikanan, membangun baru pelabuhan perikanan. CCI

mewakili perusahaan swasta lokal. Pelelangan ikan dilaksanakan satu sampai dua

kali sehari. Beberapa kegiatan di pelabuhan perikanan antara lain penanganan ikan

di kapal oleh koperasi dan perusahaan swasta, penyaluran BBM oleh koperasi,

penyediaan es oleh CCI atau perusahaan swasta, pembangunan kapal oleh

perusahaan swasta, perbaikan kapal oleh perusahaan swasta, slipway atau boat lift

oleh CCI, kredit oleh professional bank Marine Credit, pembongkaran ikan oleh

CCI, penjualan ikan oleh perusahaan swasta, cold storage oleh perusahaan swasta,

pengalengan ikan oleh perusahaan swasta dan transportasi refrigerasi oleh

perusahaan swasta.

(3) Pelabuhan perikanan di Jerman

Menurut Lubis (2002), di Jerman, pengklasifikasian pelabuhan perikanan

lebih ditekankan pada jenis ikan dan atau skala perikanan yang beroperasi, yaitu:

1) Pelabuhan perikanan skala besar/perikanan laut dalam (port of large-scale

deep sea fisheries); pelabuhan ini mempunyai karakteristik sama dengan

pelabuhan besar di Perancis. Seperti contoh: Bremerhaven, Cuxhaven,

Hamburg dan Kiel.

2) Pelabuhan untuk perikanan hering (port of lugger hering fisheries); di

pelabuhan ini terdapat banyak perusahaan-perusahaan penangkapan khusus

untuk ikan hering. Seperti contoh: Bremen-Vegesack, Emden, Gluckstad dan

Laer.

Page 62: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

41

3) Pelabuhan perikanan pantai (port of inshore fisheries); pelabuhan ini adalah

tempat mendaratnya kapal-kapal kecil yang beroperasi di perairan pantai.

Hasil tangkapan umumnya dijual pada koperasi dan perusahaan-perusahaan

industri perikanan. Contoh: Dorum, Biisum, Maasholan, dan Nieustad.

(4) Pelabuhan perikanan General Santos-Philipina

Menurut Mahyuddin (2004) bahwa Pelabuhan Perikanan General Santos-

Philipina Selatan adalah salah satu pelabuhan perikanan yang ada di Philipina.

Perencanaan pelabuhan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat Philipina.

Perencanaan pelabuhan dilakukan dengan pendekatan keterpaduan, yakni

perencanaan yang mensinergikan antara pemanfaatan potensi perikanan di

wilayah foreland dan pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan dikaitkan

dengan penyerapan hasil produksi ikan dari pelabuhan perikanan ke daerah

hinterland. Pembangunan pelabuhan perikanan dilakukan oleh Pemerintah Pusat,

pengoperasionalannya dilakukan oleh administrator pelabuhan yang diangkat oleh

pemerintah. Pasokan listrik dari Pemerintah sangat murah guna merangsang

pengusaha untuk meningkatkan investasinya di pelabuhan perikanan, seperti

pabrik es, cold storage, industri pengalengan ikan.

Pelabuhan tidak memungut biaya tambat labuh guna mengurangi biaya

operasional setiap kapal penangkap. Berjarak 3 km dari pelabuhan, terdapat

lapangan pesawat terbang yang sehari-harinya dapat digunakan untuk mengekspor

ikan ke luar negaranya. Jalan yang menghubungkan pelabuhan ke daerah

hinterland sangat bagus dan cukup lebar. Di sepanjang pantai kiri-kanan

pelabuhan telah banyak tumbuh pabrik-pabrik yang mendukung kegiatan

perikanan, seperti pabrik es, cold storage, pengalengan ikan. Kegiatan-kegiatan

yang ada di pelabuhan perikanan adalah aktivitas bongkar muat ikan/barang,

aktivitas pelelangan ikan, tambat labuh kapal, aktivitas pengisian perbekalan kapal

melaut, aktivitas distribusi ikan, penyortiran ikan kualitas ekspor, aktivitas

perbaikan kapal dan alat tangkap dan administrasi pelabuhan.

3.7 Persaingan Antar Pelabuhan Perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dan Penentuan Sektor Basis

Pelabuhan perikanan dalam operasionalnya diharuskan untuk

mengoptimalkan fungsinya, sehingga masing-masing pelabuhan harus memiliki

Page 63: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

42

kesiapan misalnya fasilitas, sumberdaya manusia dan layanan yang semakin

membaik. Semakin besar peranannya, maka semakin lengkap pula fasilitas,

sumberdaya manusia dan layanan yang diberikan. Untuk melihat tingkat

persaingan antar pelabuhan perikanan, maka menurut Rustiadi et al. (2005), dapat

menggunakan metode hierarki perkembangan wilayah (metode skalogram).

Metode skalogram adalah metode untuk menentukan hirarki wilayah termasuk

hierarki pelabuhan perikanan. Rumus dan cara untuk menentukan indeks hierarki

skalogram dapat dilihat pada metodologi.

Menurut Budiharsono (2001), bahwa inti dari model ekonomi basis

(economic base model) adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan

oleh ekspor wilayah tersebut. Ekspor tersebut berupa barang-barang dan jasa,

termasuk tenaga kerja. Sektor (industri) yang bersifat seperti ini disebut sektor

basis. Selain sektor basis, ada kegiatan-kegiatan sektor pendukung yang

dibutuhkan untuk melayani pekerja pada sektor basis dan kegiatan sektor basis itu

sendiri. Kegiatan sektor pendukung, seperti perdagangan dan pelayanan

perseorangan, disebut sektor non basis. Kedua sektor tersebut mempunyai

hubungan dengan permintaan dari luar wilayah. Sektor basis berhubungan

langsung, sedangkan sektor non basis berhubungan secara tidak langsung, yaitu

melalui sektor basis dulu. Apabila permintaan dari luar meningkat, maka sektor

basis akan berkembang. Hal ini pada gilirannya nanti akan mengembangkan

sektor non basis. Salah satu metode apakah suatu sektor merupakan sektor basis

atau non basis adalah menggunakan metode pengukuran tidak langsung melalui

metode location quotient (LQ). Alasan penggunaan metode ini karena tidak

memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang banyak seperti metode pengukuran

langsung dengan survei lapangan.

3.8 Hubungan Pelabuhan Perikanan dengan Wilayah

Pelabuhan perikanan adalah bagian penting dari wilayah pesisir. Pelabuhan

perikanan adalah pusat aktivitas perikanan dan titik temu antara aktivitas ekonomi

masyarakat berbasis daratan dan lautan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang

strategis di dalam kawasan strategis di wilayah pesisir.

Menurut Rustiadi (2001), bahwa wilayah pesisir adalah kawasan strategis.

Kawasan strategis adalah suatu kawasan ekonomi yang secara potensial memiliki

Page 64: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

43

efek ganda (multiplier effect) yang signifikan secara lintas sektoral, lintas spasial

(wilayah) dan lintas pelaku. Dengan demikian, perkembangan wilayah strategis

memiliki efek sentrifugal karena dapat menggerakkan secara efektif

perkembangan ekonomi sektor-sektor lainnya, perkembangan wilayah di

sekitarnya serta kemampuan menggerakan ekonomi masyarakat secara luas,

dalam arti tidak terbatas ekonomi masyarakat kelas-kelas tertentu saja. Peranan

strategis wilayah pesisir hanya tercapai jika memenuhi persyaratan-persyaratan

berikut:

(1) Basis ekonomi (economic base) wilayah yang bertumbuh atas sumberdaya-

sumberdaya domestik yang terbarui (domestic renewable resources).

(2) Memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward

linkage) terhadap berbagai sektor ekonomi lainnya di daerah yang

bersangkutan secara signifikan, sehingga perkembangan sektor basis dapat

menimbulkan efek ganda terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya di

daerah yang bersangkutan.

(3) Efek ganda (multiplier effect) yang signifikan dari sektor basis dan sektor-

sektor turunan dan penunjangnya dengan penciptaan tenaga kerja dan

pendapatan masyarakat (sektor rumah tangga), sektor pemerintah dan PDRB

wilayah.

(4) Keterkaitan lintas regional di dalam maupun antar wilayah yang tinggi (intra

and inter-regional interactions) akan lebih menjamin aliran alokasi dan

distribusi sumberdaya yang efisien dan stabil sehingga menurunkan

ketidakpastian (uncertainty).

(5) Terjadinya learning process secara berkelanjutan yang mendorong terjadinya

koreksi dan peningkatan secara terus menerus secara berkelanjutan.

Menurut Hagget et al. (1977), yang diacu Rustiadi (2001), bahwa konsep

wilayah terdiri dari 3 kategori, yaitu wilayah homogen, wilayah nodal dan wilayah

perencanaan.

Konsep wilayah homogen yang lebih menekankan prinsip pewilayahan yang

menekankan homogenitas (kesamaan) di dalam kelompok dan memaksimumkan

perbedaan antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional

antar wilayah-wilayahnya. Berbeda dengan konsep homogen, konsep wilayah

Page 65: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

44

nodal adalah konsep yang menekankan adanya pemisahan bagian-bagian di dalam

wilayah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal didasarkan atas asumsi

bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai sel hidup yang mempunyai plasma

dan inti. Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan

kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah

maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral.

Menurut Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2000), proses

pengembangan pelabuhan perikanan dipengaruhi oleh 8 faktor kewilayahan

pelabuhan perikanan yang masing-masing bersifat saling berpengaruh terhadap

pengembangan pelabuhan perikanan. Kedelapan faktor kewilayahan pelabuhan

perikanan adalah sebagai berikut:

(1) Kondisi wilayah perairan laut, meliputi kondisi sumberdaya ikan dan daerah

penangkapan ikan. Besarnya potensi sumberdaya ikan yang tersedia dan

lestari dan adanya daerah-daerah penangkapan ikan yang dapat dijangkau

armada perikanan suatu pelabuhan perikanan akan menentukan

pengembangan pelabuhan perikanan dan sebaliknya.

(2) Aktivitas perikanan wilayah, terutama yang terkait dengan berapa besar

permintaan pasar terhadap komoditi perikanan (lokal, regional dan atau

global) akan mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan dan

sebaliknya.

(3) Pertumbuhan ekonomi wilayah, seperti yang tergambar dalam PDRB dan

inflasi, dapat memacu pengembangan suatu pelabuhan perikanan baik berupa

kesiapan ekonomi pemerintah, maupun kesiapan ekonomi masyarakat dan

sebaliknya.

(4) Kondisi prasarana dan sarana umum wilayah, merupakan unsur pendukung

penting bagi pengembangan suatu pelabuhan perikanan. Kondisi prasarana

sarana umum yang tersedia (prasarana dan sarana transportasi, air, listrik dan

telekomunikasi) aktivitas-aktivitas didalam dan keluar pelabuhan perikanan

seperti distribusi pemasaran ikan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, aktivitas

yang tinggi dari suatu pelabuhan perikanan, akan memberikan tekanan

kepada perlunya dikembangkan prasarana dan sarana umum yang telah ada

disuatu wilayah.

Page 66: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

45

(5) Kondisi penduduk suatu wilayah, terutama didalam bentuk pendapatan

perkapita, konsumsi ikan perkapita (yang juga dapat diartikan sebagai potensi

pasar), pertumbuhan penduduk suatu wilayah, dan kondisi aspek sosial

penduduk adalah jelas mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan.

Pendapatan perkapita yang tinggi, konsumsi ikan yang tinggi, pertumbuhan

penduduk yang tinggi dan kondisi sosial penduduk yang positif akan

memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan suatu pelabuhan

perikanan disuatu wilayah. Sebaliknya walau tidak terjadi secara otomatis,

ketersediaan jumlah komoditi ikan yang tinggi akibat pengembangan suatu

pelabuhan perikanan misalnya, akan memberikan tekanan kepada

peningkatan pendapatan, sekurang-kurangnya pada sebagian penduduk suatu

wilayah seperti nelayan dimana suatu pelabuhan perikanan berada.

Demikian pula berdampak sosial positif bagi penduduk tersebut.

(6) Kondisi lahan lokasi pelabuhan perikanan yang meliputi lahan daratan dan

perairan suatu pelabuhan perikanan menentukan pula pengembangan

pelabuhan perikanan tersebut. Keterbatasan lahan daratan suatu pelabuhan

perikanan akan dapat membatasi pengembangannya.

(7) Aktivitas-aktivitas non perikanan wilayah yang terdapat disekitar pelabuhan

perikanan dapat mempengaruhi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.

Aktivitas-aktivitas di sekeliling pelabuhan perikanan yang sudah tertata rapi,

tidak akan mudah untuk diubah peruntukkannya bagi kepentingan pelabuhan

perikanan. Aktivitas-aktivitas pelabuhan perikanan yang mungkin dapat

menghasilkan limbah ke perairan laut misalnya mempengaruhi usaha tambak

masyarakat sekitar pelabuhan perikanan, dapat menimbulkan tekanan yang

negatif bagi pengembangan pelabuhan perikanan tersebut.

(8) Kebijakan pemerintah daerah ataupun pusat, secara jelas akan mempengaruhi

pengembangan suatu pelabuhan perikanan karena pemerintah merupakan

pihak yang melakukan pengarahan bagi pengembangan perikanan; melalui

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Terhadap kedelapan faktor tersebut diatas maka PPN Palabuhanratu sudah

memenuhi kebutuhan kedelapan faktor tersebut walaupun masih ada masalah-

masalah yang perlu ditindaklanjuti untuk diselesaikan.

Page 67: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

46

3.9 Konsep Triptyque Portuaire

Menurut Vigarié (1979) yang diacu oleh Lubis (1989) bahwa ada tiga

komponen yang harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan niaga

yakni avant pays marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays

terrestre (hinterland) yang disebut triptyque portuaire. Dalam bukunya, Vigarié

(1979) menjelaskan pengertian dari triptyque sebagai berikut : "La notion de

triptyque; elle évoque l’image de trois volets qui sont ici : l’arrière-pays, l’avant-

pays océanique, et au milieu, l’étendue correspondant au périmètre portuaire".

Triptyque ini digunakan dalam suatu metode analisis pelabuhan niaga.

Selanjutnya dijelaskan lebih detil tentang pengertian l’arrière-pays dan l’avant-

pays adalah sebagai berikut :

"L’arrière-pays réel d’un port est la partie de l’espace terrèstre dans laquelle il

vend ses services et, par concéquent, recrute sa clientèle; de façon générale, l’on

peut concidérer que celle-ci se trouve en arrière du rivage où se trouvent les

installations portuaires concidérer; mais il peut y avoir à cette interprétation des

exceptions, par exemple dans le cas de trasshipment. D’autre part, cette notion

est souvent obscurcie par celle d’un hinterland théorique" .

"La définition de l’avant-pays repose sur l’existence des routes maritimes. Ces

dernières sont des faisceaux de cheminements permanents que suivent les navires;

elles sont marquées par certains caractères : leur tracé sur le globe dépend des

secteurs côtiers séparés par l’Océan, et que l’on veut relier; elles ont une certaine

largeur : 20-30 milles généralement sauf lorsqu’elles se ressertent dans un détroit

ou dans un canal transisthmique. La notion d’avant-pays peut être approchée soit

en terme de relation maritimes exprimées par le nombre de lignes de navigation,

le nombre de départs ou le tonnage our une certaine direction, soit un termes

d’origine et de distination des marchandises traversant le port ".

Pengertian l’avant-pays dapat didekati melalui hubungan kemaritiman yang

dinyatakan pada jumlah jalur pelayaran, jumlah unit atau GT kapal yang

berangkat dari suatu pelabuhan untuk tujuan tertentu, baik ditinjau dari asal

maupun tujuan barang.

Pengertian l’arrière-pays dan l’avant-pays masing-masing ekivalen dengan

hinterland dan foreland. Hal ini diperjelas lagi oleh Charlier (1983) bahwa : "Les

Page 68: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

47

termes arrière-pays et avant-pays ont pour équivalents respectifs hinterland et

foreland en anglais, hinterlandslage et meerslage en allemand, retroterra et

proiezone marittima en italien. La plupart des auteurs donnent des définitions très

voisines de l’arrière-pays, alors que le contenu conféré à l’avant-pays varie

davantage ".

Selanjutnya menurut Chaussade (1986) yang diacu Lubis (1989), konsep

triptyque portuaire tersebut diterapkan untuk pelabuhan perikanan yang terdiri

dari sub sistem wilayah produksi/foreland, sub sistem wilayah distribusi/

hinterland dan sub sistem pelabuhan perikanan/fishing port sendiri. Hinterland

dan foreland adalah dua wilayah yang saling bergantung sama lain yang tidak

dapat dipisahkan. Pelabuhan perikanan adalah sebagai penghubung diantara

keduanya. Dalam merencanakan pelabuhan perikanan perlu dilakukan analisis

secara geografis terhadap tiga elemen tersebut di atas yaitu foreland, pelabuhan

perikanan dan hinterland-nya.

Analisis foreland berkaitan dengan daerah penangkapan ikan, potensi dan

tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara khusus foreland dapat dikatakan

sebagai fishing ground atau daerah penangkapan ikan dan jalur maritim yang

dilalui oleh kapal-kapal dalam rangka pendistribusian baik secara nasional

maupun ekspor.

Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa foreland selain disebut juga

daerah penangkapan, secara umum juga berarti :

(1) Tempat beroperasinya nelayan-nelayan penangkapan ikan di fishing ground.

(2) Jalur distribusi hasil tangkapan dari fishing ground ke fishing base atau

menuju pasar yang melalui laut.

(3) Wilayah perairan di jalur transportasi maritim nasional atau internasional.

(4) Beberapa wilayah perairan merupakan perairan yang ramai dan dapat

meningkatkan resiko terjadinya tabrakan antar kapal-kapal ikan.

(5) Jalur-jalur maritim yang dilalui oleh kapal penangkapan tersebut untuk

menuju fishing ground dan untuk mendaratkan hasil tangkapan ke pelabuhan

perikanan.

Fishing ground sangat berkaitan dengan pelabuhan perikanan karena:

(1) Fishing ground ini sangat menentukan dalam memperoleh informasi

Page 69: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

48

penyebaran ikan yang menjadi tujuan penangkapan, wilayah yang over

fishing, jalur-jalur yang ramai.

(2) Fishing ground dapat berkaitan dengan pembagian wilayah perairan dimana

terdapat wilayah perairan dengan jenis tertentu agar nantinya dapat diketahui

jenis alat tangkap apa saja yang harus dikembangkan di masing-masing

wilayah perairan tersebut.

(3) Fishing ground di daerah tropis mempunyai jenis dan ragam ikan yang lebih

banyak dari pada fishing ground di daerah sub tropis.

Hinterland pelabuhan perikanan secara khusus dapat dikatakan sebagai

daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan perikanan (Lubis, 2003). Parameter ini

penting dalam analisis perencanaan pelabuhan perikanan karena berkaitan dengan

pasar atau sampai sejauh mana konsumen menyerap ikan-ikan yang didaratkan di

pelabuhan perikanan. Parameter ini berkaitan dengan jumlah dan daerah

konsumen.

Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa terdapat 3 jenis hinterland:

(1) Hinterland primer adalah hinterland yang merupakan daerah distribusi dari

ikan-ikan hasil pendaratan langsung.

(2) Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan

daerah distribusi ikan hasil pengolahan, hasil pembekuan.

(3) Hinterland perpaduan atau overlap hinterland adalah suatu hinterland yang

didistribusikan oleh beberapa pelabuhan perikanan yaitu dari pelabuhan

perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan perikanan yang sama

besar atau sama kecil.

Ketiga jenis hinterland tersebut dapat bersifat lokal, interinsuler dan ekspor.

Dengan mengetahui jenis hinterland, maka kita dapat merencanakan

bagaimana pola pendistribusian yang akan dilakukan serta sarana transportasi,

lembaga-lembaga dan organisasi yang diperlukan serta peraturan yang

menyertainya. Luasnya hinterland dari suatu pelabuhan dipengaruhi oleh sampai

sejauh mana proses penanganan, pengolahan dan jenis sarana transportasi yang

digunakan. Semakin baik penanganan ikan yang dilakukan akan semakin jauh

hinterland, berarti jenis pengolahan ikan juga akan mempengaruhi luas

Page 70: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

49

hinterland. Demikian halnya jenis transportasi apabila ikan didistribusikan dengan

menggunakan pesawat terbang akan lebih dapat menjangkau hinterland yang

jauh.

Selanjutnya dikatakan oleh Lubis (2003), bahwa keterkaitan hinterland dan

pelabuhan perikanan ini perlu dianalisis agar :

(1) Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dapat

terserap habis sesegera mungkin tanpa menunggu terlalu lama.

(2) Dapat diketahui kemungkinan dalam memperluas hinterland.

(3) Dapat diketahui berapa produksi ikan yang harus dieksploitasi oleh para

nelayan untuk dapat didaratkan pelabuhan perikanan tersebut.

(4) Dapat diketahui jenis dan kapasitas fasilitas di pelabuhan perikanan untuk

menampung sejumlah ikan tersebut.

(5) Dapat diketahui hubungan antara hinterland yang satu dengan hinterland

yang lain dalam menerima produksi perikanan dari pelabuhan itu dan atau

dari pelabuhan perikanan lain.

(6) Dapat diketahui distribusi jenis olahan di hinterland sehubungan dengan

rencana pengembangan terhadap tipe olahan ikan yang dikembangkan di

pelabuhan.

3.10 Penentuan Kualitas Pemasaran Ikan

Kegiatan pemasaran ikan yang merupakan komponen dari hinterland sangat

berpengaruh terhadap penyerapan produksi ikan di PPN Palabuhanratu.

Bagaimanapun banyaknya produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu,

jika tidak didukung oleh kegiatan pemasaran yang optimal, maka fungsi PPN

Palabuhanratu tidak akan optimal. Nelayan akan tertarik mendaratkan kapalnya di

suatu pelabuhan, apabila pemasaran ikan di pelabuhan tersebut lebih menarik

dibandingkan dengan tempat lain. Untuk melihat perbandingan kualitas

pemasaran di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan di kabupaten/

provinsi, maka menurut Lubis (2003) perlu dihitung indeks relatif nilai

produksinya (I).

Page 71: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

50

3.11 Proses Hierarki Analitik (PHA)

Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode analisis dalam

mengambil keputusan yang baik dan fleksibel. Salah satu alat analisis yang dapat

menentukan prioritas kegiatan pembangunan adalah PHA.

PHA pada dasarnya didesain untuk mendapatkan persepsi orang yang

berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang

didesain untuk sampai kepada suatu skala preferensi diantara berbagai set

alternatif.

Menurut Saaty (1988), dalam memecahkan persoalan dengan PHA terdapat

tiga prinsip:

(1) Menyusun hierarki

Menentukan tujuan, kriteria dan aktivitas yang terdapat dalam suatu hirarki

bahkan dalam sistem yang lebih umum. Masalah yang harus dipecahkan

dalam bagian ini adalah menentukan atau memilih tujuan dalam rangka

mengkomposisikan kompleksitas sistem. Perlu pendefinisian tujuan secara

rinci sesuai dengan persoalan yang akan ditangani.

(2) Struktur hierarki

Struktur hirarki merupakan bagian dari suatu sistem yang mempelajari fungsi

intereaksi komponen secara menyeluruh. Struktur ini mempunyai bentuk yang

saling terkait, tersusun dari suatu sasaran utama turun ke sub-sub tujuan, lalu

ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan, turun ke tujuan-tujuan aktor dan

kemudian alternatif strategi. Penyusunan hirarki atau struktur keputusan

dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan

yang teridentifikasi.

(3) Penyusunan bobot

Tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada

setiap tingkat hirarki keputusan, ditentukan melalui penilaian pendapat dengan

cara komparasi berpasangan. Komparasi tersebut adalah membandingkan

setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hirarki secara

berpasangan, sehingga terdapat nilai tingkat kepentingan. Untuk

menstransformasikan dari data kualitatif menjadi data kuantitatif digunakan

skala penilaian, sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka yang

Page 72: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

51

menggambarkan variabel mana yang mempunyai prioritas tinggi.

3.12 Kajian Penelitian Terdahulu

Menurut Ibrahim (2001), bahwa strategi yang perlu dilakukan dalam

meningkatkan upaya peningkatan kinerja PPN Palabuhanratu adalah peningkatan

sarana dan prasarana. Dalam penelitian tersebut belum terungkap jenis sarana dan

prasarana yang akan dikembangkan, kuantitas setiap sarana dan prasarana yang

akan dikembangkan sehingga perlu penelitian lebih lanjut.

Dalam penelitian Lubis (1998) tentang pola pengembangan pelabuhan

perikanan di wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang efisien

dan efektif, menyimpulkan bahwa PP dan PPI yang berada di kedua wilayah

perairan tersebut hampir semuanya (90%) tidak berfungsi optimal. Penyebabnya

adalah keterbatasan kondisi dan ketersediaan fasilitas, jarak antara fishing

ground/foreland dan lokasi PP/PPI yang tidak menguntungkan, rendahnya harga

ikan di PP/PPI, jauhnya jarak PP/PPI terhadap pemukiman nelayan dan problem

hasil distribusi hasil tangkapan ikan ke daerah hinterland. Berdasarkan analisis

triptyque portuaire terdapat dua pola dasar, yakni pola dasar I lebih diperuntukkan

bagi pengembangan PP/PPI untuk melayani ekspor hasil tangkapannya. Pola dasar

II lebih ditujukan untuk pengembangan PP/PPI untuk melayani pasar lokal atau

pemerintah kabupaten di masing-masing provinsi.

Pemanfaatan daerah penangkapan ikan oleh nelayan longline dengan perahu

congkreng dan kapal gillnet sering menimbulkan konflik. Menurut Herwening

(2003), bahwa modernisasi perikanan di Palabuhanratu menyebabkan persaingan

pemanfaatan wilayah penangkapan sehingga menimbulkan potensi konflik antar

armada yang meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah penangkapan antara

armada bagan apung dengan perahu congkreng dan antara armada longline

dengan perahu congkreng dan kapal motor gillnet. Dalam kaitan ini, maka

potensi konflik yang melibatkan armada penangkapan di PPN Palabuhanratu dan

merupakan suatu hambatan didalam pengembangan PPN Palabuhanratu.

PPN Palabuhanratu berkewajiban menjaga kualitas ikan sesuai dengan

standar mutu ikan. Menurut Nurani et al. (2004), bahwa kualitas produksi ikan

layur yang dihasilkan nelayan Palabuhanratu berada diluar batas proses produksi

untuk tujuan kualitas ekspor. Secara umum faktor penyebab ikan layur tidak

Page 73: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

52

memenuhi kualitas ekspor yaitu pelaku utamanya belum menyadari akan

pentingnya ikan yang berkualitas, kesalahan proses penangkapan, sarana

penanganan tidak mencukupi dan proses transportasi dan alat transportasi belum

memadai. Dalam kaitan ini, karena kualitas beberapa ikan layur tidak memenuhi

standar ekspor, maka akan melemahkan kondisi di hinterland.

Page 74: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PPN Palabuhanratu, Kecamatan Palabuhanratu,

Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dan di Institut Pertanian Bogor. Waktu

penelitian dilaksanakan sejak bulan April tahun 2002 sampai dengan bulan Maret

tahun 2006.

4.2 Tahap Penelitian

Jadwal kegiatan penelitian dibagi ke dalam 5 tahap, yakni tahap persiapan,

tahap pengumpulan data, tahap pengolahan dan analisis data, tahap pembuatan

laporan dan tahap seminar dan ujian.

(1) Tahap persiapan penelitian.

1) Melakukan studi literatur di perpustakaan dan instansi terkait.

2) Menyusun rencana pelaksanaan penelitian secara menyeluruh.

Dalam penyusunan rencana ini, yang perlu dipersiapkan adalah bahan-bahan,

alat-alat, kuesioner. Selanjutnya direncanakan juga bagaimana teknik

pelaksanaan, persiapan penelitian, bilamana dilaksanakan, sasarannya, dan

seterusnya sampai memperoleh data dan informasi yang diperlukan.

(2) Tahap pengumpulan data.

Merencanakan pengumpulan data, yakni pada saat desk study dan pada saat di

lapangan. Ditentukan pula jumlah responden yang akan mengisi kuesioner

dan untuk diwawancara.

(3) Tahap mengolah dan analisis data.

Tahap ini dilakukan pengolahan dan penganalisisan data. Hal ini dilakukan

apabila data dan informasi sudah tersedia. Data dan informasi yang diperoleh

perlu segera dicek kesahihannya.

(4) Tahap pembuatan laporan.

Setelah laporan dibuat, dilakukan konsultasi ke dosen pembimbing dan

perbaikan laporan.

Page 75: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

54

(5) Tahap seminar dan ujian.

Laporan yang sudah selesai dikonsep dilakukan sidang komisi pembimbing,

siap untuk diseminarkan dan ujian tertutup. Setelah perbaikan, maka

dilakukan ujian terbuka.

4.3 Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam bentuk studi kasus, yakni di PPN

Palabuhanratu. Dikatakan kasus karena hanya satu aspek yang diteliti yakni

terbatas pada pengembangan pelabuhan perikanan. Penelitian hanya dilakukan di

Palabuhanratu yang sangat berbeda kondisinya dengan daerah lain, baik dari segi

ekonomi, sosial, budaya maupun karakteristik perairan dengan satu aspek

penelitian dan juga merupakan hal yang sangat baru, yakni pengembangan

pelabuhan perikanan dengan konsep triptyque portuaire.

4.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif baik

sifatnya primer maupun sekunder. Pengambilan data primer dilakukan langsung

melalui observasi lapangan, pengisian kuesioner, wawancara, dokumentasi dan

pengamatan langsung di lapangan. Parameter-parameter yang terdapat dalam

kuesioner adalah berdasarkan elemen-elemen dalam pendekatan triptyque

portuaire yang meliputi foreland, fishing port dan hinterland. Data sekunder

diperoleh dari instansi-instansi terkait, studi pustaka dan sumber lainnya. Khusus

untuk data operasional PPN Palabuhanratu didata sejak mulai operasionalnya PPN

Palabuhanratu yakni tahun 1993 sampai dengan tahun 2005.

Jenis dan sumber data adalah:

(1) Data yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan (fishing port):

1) Kondisi lahan darat dan perairan wilayah PPN Palabuhanratu, luas lahan

yang tersedia di areal PPN Palabuhanratu yang digunakan untuk

pengembangan.

2) Kondisi fasilitas, yakni kondisi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan

fasilitas penunjang: jenis, ukuran, tahun pembuatan, kondisi fisik, aktivitas

pemeliharaan, penempatan fasilitas yang terdapat di PPN Palabuhanratu

serta lay out pelabuhan.

Page 76: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

55

3) Tata letak fasilitas: alir aktivitas (flow of activities), alir barang atau ikan

(flow of goods) dan alir manusia (flow of human).

4) Data teknis: topografi, hidrometri, kondisi alam, sumber air bersih,

fasilitas penunjang di wilayah PPN Palabuhanratu.

5) Kondisi aktivitas perikanan: aktivitas pendaratan dan pembongkaran,

aktivitas pengolahan, aktivitas pemasaran, aktivitas pembinaan terhadap

masyarakat nelayan di wilayah PPN Palabuhanratu.

6) Kondisi organisasi dan pengelolaan: kondisi SDM, layanan prima,

pengelolaan.

7) Sistem peraturan dan kelembagaan: jenis aturan, bentuk kelembagaan.

(2) Data dari wilayah hulu atau wilayah produksi (foreland):

1) Alur pendaratan ikan.

2) Ketersediaan sumberdaya ikan dan daerah-daerah penangkapan yang

dapat dijangkau oleh kapal-kapal ikan.

3) Kondisi pemanfaatan SDI.

4) Kondisi sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, nelayan, dan bahan

melaut.

5) Kegiatan pemasaran ikan dari suatu pelabuhan perikanan ke daerah

pemasaran melalui laut.

6) Aktivitas pengendalian dan pengawasan SDI, termasuk penjualan ikan di

tengah laut (ship to ship).

(3) Data dari hilir atau wilayah distribusi (hinterland): kondisi ikan yang

didaratkan (mutu), pasar dari komoditi perikanan yang didaratkan, kondisi

prasarana-sarana pendukung dan tingkat konsumsi.

(4) Data aspek lingkungan, yakni sanitasi, kondisi keamanan, kondisi sosial

politik dan budaya.

(5) Data informasi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan otonomi

daerah dan globalisasi dalam rangka pengembangan pelabuhan perikanan.

misalnya tentang peraturan-peraturan daerah, kebijakan-kebijakan daerah,

RUTR daerah, rencana pengembangan akses jalan dan sarana perhubungan,

permintaan ikan tingkat internasional, pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di

atas 12 mil (ZEEI) dan laut internasional.

Page 77: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

56

Langkah berikutnya adalah pengisian kuesioner oleh responden. Pemilihan

dan jumlah responden serta nara sumber dilakukan dengan sengaja (purposive)

yaitu dengan mempertimbangkan bahwa nara sumber dan responden itu

memahami arti dan maksud serta arah pengembangan PPN Palabuhanratu.

Pemilihan jumlah dan jenis responden telah mempertimbangkan keragaman

responden dan pengetahuan responden tentang pengembangan PPN

Palabuhanratu. Responden yang digunakan berjumlah 29 orang yang berasal dari

staf Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, staf PPN Palabuhanratu, Kepala PPN

Tanjung Pandan (Belitung) (mantan staf PPN Palabuhanratu), staf Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, pengurus KUD Mina, HNSI

Kabupaten Sukabumi, investor, dan nelayan. Lampiran 1 memuat nama-nama dan

jabatan responden.

Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan studi literatur,

meliputi perpustakaan di lingkungan IPB Bogor, lingkungan Departemen

Kelautan dan Perikanan, PPN Palabuhanratu, Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Sukabumi dan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan

dari berbagai sumber data yang diperoleh secara perorangan.

4.5 Metode Pengambilan dan Analisis Data

Analisis data dikelompokkan menjadi 4 bagian, yakni:

(1) Menentukan arah pengembangan PPN Palabuhanratu yakni dengan :

1) Mengetahui kondisi PPN Palabuhanratu berdasarkan analisis deskriptif.

2) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN

Palabuhanratu antara lain menentukan apakah pelabuhan perikanan

merupakan lokasi sektor basis, yakni dengan menggunakan location

quotient (LQ), indeks relatif nilai produksi (I) dan kondisi kepadatan

kolam pelabuhan, manajemen pelabuhan serta persaingan jenis fasilitas,

sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal antar

pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia dengan menggunakan

metode skalogram.

Page 78: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

57

3) Penentuan faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan menjadi PPS

Palabuhanratu secara deskriptif terhadap komponen foreland, pelabuhan

perikanan dan hinterland.

(2) Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dengan

mengoptimalkan fungsi pelabuhan melalui analisis kebutuhan terhadap

pengembangan beberapa fasilitas, operasional dan manajemen pelabuhan

perikanan.

(3) Menentukan strategi pengembangan PPN Palabuhanratu dengan

menggunakan proses hierarki analitik (PHA) (Saaty, 1988).

(4) Antisipasi pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu dianalisis secara

kualitatif berdasarkan estimasi kebutuhan fasilitas, hasil tangkapan ikan dan

pendistribusiannya.

4.5.1 Penentuan arah pengembangan PPN Palabuhanratu

(1) Kondisi PPN Palabuhanratu

Analisis terhadap kondisi PPN Palabuhanratu dilakukan secara deskriptif

dengan konsep triptyque portuaire.

1) Kondisi PPN Palabuhanratu:

Kondisi PPN Palabuhanratu yang dianalisis adalah :

(a) Hasil studi kelayakan pembangunan PPN Palabuhanratu yang dilakukan

Rogge et al. (tahun 1987), terutama mengenai pola pembangunan yang

ditentukannya.

(b) Kondisi fasilitas pembangunan tahap pertama dan operasionalnya (periode

tahun 1993-2002) yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan

fasilitas penunjang. Kondisi operasional pelabuhan berdasarkan fungsinya.

(c) Kondisi pembangunan dan operasional PPN Palabuhanratu tahap kedua

(periode tahun 2003-2005). Kondisi pembangunan adalah fisik bangunan

dan kondisi operasional adalah tentang pelaksanaan fungsinya.

2) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah produksi (foreland), yang

dianalisis adalah kondisi daerah penangkapan ikan di WPP 9 Samudera

Hindia, daerah penangkapan ikan kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya

Page 79: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

58

di PPN Palabuhanratu, pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu

dan daerah penangkapan ikan.

3) Hubungan pelabuhan perikanan dengan wilayah distribusi (hinterland), yang

dianalisis adalah pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu, produksi ikan

segar, daerah distribusi ikan segar (hinterland primer), distribusi ikan pindang

dan distribusi ikan asin (hinterland sekunder), hinterland perpaduan serta

kondisi sarana angkutan dan prasarana jalan.

Analisisi dilakukan terhadap data primer dan sekunder melalui penyajian

tabel, grafik, gambar, peta dan foto.

(2) Faktor-faktor pendukung perlunya pengembangan PPN Palabuhanratu

Indikasi perlunya PPN Palabuhanratu dapat dikembangkan antara lain:

1) Penentuan lokasi pelabuhan perikanan sangat terkait dengan adanya potensi

sumberdaya ikan yang akan dieksploitasi atau sejauh mana kondisi di wilayah

produksinya (foreland). Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa lokasi

keberadaan pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi merupakan sektor

basis bagi Kabupaten Sukabumi, dapat ditentukan dengan menggunakan

location quotient (LQ):

t

i

t

i

VVvv

LQ = ,

Dengan:

=LQ Location Quotient.

=iv PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar

harga berlaku tahun 2000-2004.

=tv PDRB seluruh sektor Kabupaten Sukabumi (Rp) atas dasar harga

berlaku tahun 2000-2004.

=iV PDRB sub sektor perikanan Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar

harga berlaku tahun 2000-2004.

=tV PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat (Rp) atas dasar harga

berlaku tahun 2000-2004.

Page 80: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

59

Apabila nilai:

LQ > 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor basis.

LQ < 1; maka sektor perikanan tersebut merupakan sektor non basis.

2) Pengembangan pelabuhan perikanan sangat tergantung kepada sejauh mana

produk ikan yang didaratkan dapat dipasarkan atau didistribusikan ke daerah

hinterland-nya. Kualitas pemasaran ikan di lokasi tersebut dibandingkan

misalnya dengan kualitas pemasaran ikan di kabupaten dimana pelabuhan

perikanan itu berada, yakni dengan menentukan indeks relatif nilai produksi

(I) (Lubis, 2003):

t

p

t

p

QQNN

I =

Dengan,

=pN Nilai produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (Rp).

=tN Nilai produksi perikanan di Kab. Sukabumi (Rp).

=pQ Jumlah produksi perikanan di PPN Palabuhanratu (kg).

=tQ Jumlah produksi perikanan di Kabupaten Sukabumi (kg).

=I 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu sama

dengan nilai relatif produksi perikanan Kabupaten Sukabumi, yang

berarti pula bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu

sama bagusnya dengan kualitas pemasaran ikan di Kabupaten

Sukabumi.

I > 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih baik

apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan dari

Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran

ikan di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dengan kualitas pemasaran

ikan di Kabupaten Sukabumi.

I < 1; nilai relatif produksi perikanan dari PPN Palabuhanratu lebih

rendah apabila dibandingkan dengan nilai relatif produksi perikanan

Page 81: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

60

Kabupaten Sukabumi yang berarti pula bahwa kualitas pemasaran

ikan di PPN Palabuhanratu lebih rendah dengan kualitas pemasaran

ikan Kabupaten Sukabumi.

3) Kepadatan kolam pelabuhan yang ada sekarang.

Kepadatan kolam yang ada saat ini perlu dievaluasi tentang kapasitas

pemanfaatannya, apakah kepadatan kolam saat ini sudah sesuai kapasitasnya.

4) Manajemen pelabuhan perikanan

(a) Legalitas pelabuhan perikanan, dianalisis tentang dasar hukum

pembangunan pelabuhan perikanan.

(b) Organisasi pelabuhan perikanan, dianalisis tentang organisasi pelabuhan

termasuk tugas pokok dan fungsinya serta sampai seberapa jauh organisasi

pelabuhan dapat mendukung berfungsinya pelabuhan.

(c) Tata hubungan kerja, dianalisis tentang instansi terkait yang berhubungan

dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan.

(d) Sumberdaya manusia, dianalisis tentang kondisi SDM pengelola

pelabuhan.

(e) Standard operational procedure (SOP), dianalisis tentang SOP masing-

masing kegiatan pelabuhan.

(f) Pelayanan operasional pelabuhan, dianalisis tentang layanan operasional

pelabuhan kaitannya dengan fungsi pelabuhan perikanan.

(3) Persaingan antar pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia.

Pada WPP 9 terdapat 216 unit pelabuhan perikanan, diantaranya terdapat

11 pelabuhan perikanan yang dapat didarati oleh kapal berukuran >30 GT

sehingga dianggap pelabuhan perikanan tersebut dapat saling bersaing yakni

PPN Palabuhanratu, PP Sabang, PPS Bungus, PPN Sibolga, PPI Pulau Baai,

PP Pulau Tello, PPS Jakarta, PPS Cilacap, PPI Muncar, PPN Prigi dan

Pelabuhan Umum Benoa. Namun dalam penelitian ini yang memiliki data

lengkap adalah PPN Palabuhanratu, PPS Jakarta, PPN Sibolga, PPS Bungus,

PPN Prigi dan PPS Cilacap, sehingga hanya ada 6 pelabuhan perikanan yang

dianalisis persaingannya.

Page 82: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

61

Rustiadi et al. (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan konsep wilayah

nodal, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan

jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Unit

wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah

penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap

dibandingkan dengan unit wilayah yang lain, akan menjadi pusat atau

mempunyai hierarki lebih tinggi. Sebaliknya jika suatu wilayah mempunyai

jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan

kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit

wilayah yang lain.

Dalam kaitan penelitian ini, maka yang dijadikan elemen persaingan

adalah fasilitas dan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan berdasarkan

strata tingkat pendidikan pegawai untuk masing-masing pelabuhan perikanan,

jenis ikan ekonomis penting dan nilai harga ikan, alat penangkapan ikan, jenis

kapal. Metode yang dipakai dalam analisis persaingan antar pelabuhan didalam

WPP 9 Samudera Hindia adalah metode hierarki perkembangan wilayah

(metode skalogram).

Menurut Rustiadi et al. (2005) bahwa metode skalogram adalah metode

untuk menentukan hierarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh

fasilitas pelabuhan perikanan (6 unit PP), tingkat pendidikan pegawai, jenis

ikan, jenis alat tangkap dan jenis kapal masing-masing pelabuhan didata dan

disusun dalam suatu tabel. Penyusunan tabel ini menggunakan asumsi bahwa

masing-masing fasilitas yang dimiliki oleh setiap pelabuhan mempunyai bobot

dan kualitas yang bersifat indifferent termasuk juga tingkat pendidikan

pegawai, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan kapal. Kemudian langkah

selanjutnya adalah menyusun hierarki yang paling tinggi berdasarkan jumlah

total fasilitas, tingkat pendidikan pegawai, jenis ikan, jenis alat tangkap dan

jenis kapal yang dimiliki masing-masing pelabuhan perikanan. Selanjutnya

menyusun hierarki berdasarkan indeks masing-masing pelabuhan dengan

urutan dari indeks paling tinggi. Terakhir ditentukan urutan indeks yang di

perbandingkan untuk masing-masing pelabuhan. Adapun rumus untuk

menentukan indeks hierarki adalah:

Page 83: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

62

Indeks hierarki (Ii) = ).(aknF

n

kik∑

Dengan: akn

adalah bobot fasilitas atau jenis pendidikan SDM atau jenis ikan

yang didaratkan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal /faktor penentu

hierarki, n = Jumlah pelabuhan, k = Jumlah fasilitas atau jenis pendidikan SDM

atau jenis ikan atau jenis alat penangkapan ikan atau jenis kapal, ak = Jumlah

pelabuhan yang memiliki fasilitas atau jenis pendidikan SDM, jenis ikan yang

didaratkan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal dan Fik = Fasilitas atau

jenis pendidikan SDM atau jenis ikan yang didaratkan atau jenis alat penangkapan

ikan atau jenis kapal yang dimiliki pelabuhan. Akan ditentukan 6 komponen yang

diperbandingkan melalui 6 skalogram yakni: skalogram berdasarkan jenis

fasilitas, sumberdaya manusia pengelola, jenis ikan, alat penangkapan ikan dan

jenis kapal. Masing-masing skalogram akan ditentukan jumlah jenis variabel

yang dibandingkan, bobot kelangkaan dan bobot jenis. Jumlah jenis variabel

adalah semua jenis komponen yang ada di masing-masing pelabuhan. Bobot

kelangkaan adalah seberapa besar setiap pelabuhan memiliki komponen atau

beberapa komponen sehingga dianggap langka dan diberi nilai besar. Bobot jenis

adalah cara pandang lain untuk menilai persaingan yang memiliki jenis

komponen.

Khusus untuk PPN Palabuhanratu digunakan data sesuai dengan kelasnya

yakni kelas nusantara.

4.5.2 Memformulasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu

Pola pengembangan didalam penelitian ini adalah suatu contoh atau

pedoman atau ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan. Sebagai

contoh atau pedoman atau ukuran, maka diperlukan ukuran-ukuran baik secara

kuantitatif maupun kualitatif terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi

pengembangan suatu pelabuhan perikanan berdasarkan konsep triptyque portuaire

yakni ukuran-ukuran komponen wilayah produksi (foreland) terbatas pada

variabel target jumlah produksi ikan yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia,

dan target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu yang akan

Page 84: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

63

dikembangkan. Ukuran-ukuran komponen pelabuhan perikanan (fishing port)

terbatas pada fasilitas pokok seperti lahan, kolam, dermaga, gedung pelelangan

ikan, air bersih, BBM dan es. Komponen wilayah distribusi (hinterland) dibatasi

pada variabel jumlah konsumen, daerah konsumen dan jumlah produksi ikan yang

didistribusikan di daerah hinterland.

(1) Perhitungan target jumlah produksi (ton)

Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah produksi dan

target jumlah kapal:

1) MSY WPP 9 Samudera Hindia di kalikan dengan persentase jumlah tangkapan

yang diperbolehkan (80%) yang disebut jumlah tangkapan yang diperbolehkan

(JTB) (SK Mentan No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang Potensi Sumberdaya Ikan

dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan

Republik Indonesia).

2) Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan di WPP 9

Samudera Hindia sebanyak 216 unit yang terdiri dari 3 unit PPS, 3 unit PPN, 3

unit PPP dan 207 unit PPI.

3) Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: KEP.10/MEN/2004

tanggal 24 Pebruari 2004 tentang pelabuhan perikanan bahwa bahwa kapasitas

minimum produksi ikan untuk masing-masing kelas pelabuhan perikanan

adalah 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun untuk PPS, 30 ton/hari atau 19.950

ton/tahun untuk PPN. Diperkirakan kapasitas minimum PPP sebesar 10

ton/hari atau 3.650 ton/tahun dan 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun untuk PPI.

4) Kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan perikanan adalah jumlah

hasil tangkapan minimum yang didaratkan di masing-masing kelas pelabuhan

perikanan.

6) Alokasi pemanfaatan SDI bagi masing-masing kelas pelabuhan perikanan

(Pelabuhan Perikanan Samudera, Pelabuhan Perikanan Nusantara, Pelabuhan

Perikanan Pantai dan Pangkalan Pendaratan Ikan) didapatkan dari kapasitas

produksi minimum masing-masing kelas pelabuhan perikanan di WPP 9 per

tahun dibagi dengan kapasitas produksi minimum seluruh kelas pelabuhan

perikanan di WPP 9 kemudian dikalikan dengan JTB WPP 9.

Page 85: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

64

7) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu didapatkan dari alokasi

pemanfaatan SDI untuk kelas PPN dibagi jumlah PPN yang ada di WPP 9.

Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu seperti

pada Gambar 3.

MSY WPP 9 Samudera Hindia

JTB = 80% X MSY WPP 9

Jml PP di WPP 9 = A

Jml PPS = 3 unit, Kapasitas

minimum 60 ton/hari

Kap. Produksi minimum seluruh PP di WPP 9= a1+a2+a3+a4 = B

Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu = b2/3

Jml PPN = 3 unit, Kapasitas

minimum 30 ton/hari

Jml PPP = 3 unit, Kapasitas

minimum 10 ton/hari

Jml PPI = 207 unit, Kapasitas

minimum 5 ton/hari

Kapasitas minimum

PPS/tahun = 3x60 ton x365= a1

Kapasitas minimum

PPN/tahun = 3x30ton x365= a2

Kapasitas minimum

PPP/tahun = 3x10 ton x365= a3

Kapasitas minimum

PPI/tahun = 207x5 ton x365= a4

Alokasi pemanfaatan SDI PPS = (a1/B)xJTB = b1

Alokasi pemanfaatan SDI PPN =(a2/B)xJTB = b2

Alokasi pemanfaatan SDI PPP =(a3/B)xJTB = b3

Alokasi pemanfaatan SDI PPI =(a4/B)xJTB = b4

Gambar 3 Mekanisme perhitungan target jumlah produksi PPN Palabuhanratu.

Page 86: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

65

(2) Perhitungan target jumlah kapal (unit)

Langkah-langkah pada perhitungan penentuan target jumlah kapal

1) Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu adalah sebesar 19.000

ton/tahun.

2) Kondisi jumlah unit kapal PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 untuk masing-

masing kelompok ukuran kapal <5 GT (A1), 5-30 GT (A2), dan 30-150 GT

(A3) dikalikan dengan rata-rata GT untuk masing-masing kelompok ukuran

kapal <5 GT (B1), 5-30 GT (B2), dan 30-150 GT (B3) maka akan diperoleh

jumlah GT untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT

(C2), dan 30-150 GT (C3). Penjumlahan dari semua jumlah GT untuk masing-

masing kelompok ukuran kapal akan menghasilkan jumlah total GT untuk

semua kapal yang ada di PPN Palabuhanratu (D).

3) Posisi awal produktivitas kapal untuk setiap GT adalah jumlah produksi ikan

tahun 2005 dibagi jumlah GT untuk semua kapal yang ada di PPN

Palabuhanratu tahun 2005.

4) Perhitungan target produktivitas unit penangkapan (E) diperoleh dari hasil

perhitungan CPUE untuk masing-masing unit penangkapan yang ada saat ini

di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih

prospek ke depan, menurut hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN

Palabuhanratu tahun 2005 diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan

longline berukuran 30 GT memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1

ton/GT per tahun. Sehingga dalam perhitungan target kapal untuk PPN

Palabuhanratu digunakan produktivitas 1 ton/GT per tahun. Selain itu

longline menangkap ikan tuna. Tuna merupakan ikan yang bernilai ekonomi

tinggi dan berpeluang besar sebagai komoditi ekspor (Departemen Kelautan

dan Perikanan, 2003).

5) Komposisi persentase kapal berdasarkan ukuran <5 GT (E1), 5-30 GT (E2),

dan 30-150 GT (E3) diperoleh dari jumlah GT untuk masing-masing

kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan 30-150 GT (C3)

dibagi jumlah total GT untuk semua kapal (D). Kemudian persentase masing-

masing tersebut dikalikan dengan jumlah alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN

Palabuhanratu sehingga diperoleh alokasi pemanfaatan SDI oleh masing-

Page 87: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

66

masing kelompok ukuran kapal <5 GT (F1), 5-30 GT (F2), dan 30-150 GT

(F3).

6) Alokasi pemanfaatan SDI masing-masing ukuran kapal dibagi dengan target

produktivitas unit penangkapan, maka diperoleh jumlah GT kapal masing-

masing ukuran <5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3).

7) Jumlah kapal untuk masing-masing ukuran <5 GT (H1), 5-30 GT (H2), dan

30-150 GT (H3) diperoleh dari jumlah GT kapal untuk masing-masing ukuran

<5 GT (G1), 5-30 GT (G2), dan 30-150 GT (G3) dibagi dengan rata-rata GT

untuk masing-masing kelompok ukuran kapal <5 GT (C1), 5-30 GT (C2), dan

30-150 GT (C3).

8) Jumlah seluruh unut kapal yang akan dikembangkan didapatkan dari

penjumlahan semua kapal untuk masing-masing ukuran.

Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu lebih

jelasnya seperti pada Gambar 4.

(3) Perhitungan kapasitas fasilitas

Jenis fasilitas yang diperhitungkan adalah beberapa fasilitas pokok seperti

lahan, kolam dan dermaga. Fasilitas fungsional seperti gedung pelelangan ikan,

pabrik es, kebutuhan solar dan kebutuhan air bersih. Fasilitas-fasilitas tersebut

menurut Lubis et al. (2005) termasuk fasilitas yang mutlak diperlukan. Pemilihan

jenis fasilitas pokok seperti lahan karena lahan yang ada saat ini seluas 7,2 ha

sudah terpakai untuk berbagai fasilitas pelabuhan sehingga areal untuk

pengembangan dan areal industri perikanan tidak tersedia. Kapasitas kolam dan

dermaga perlu untuk dikembangkan karena saat ini kondisi pemanfaatannya sudah

tidak mampu menampung aktivitas kapal tambahan. Gedung pelelangan perlu

untuk dikembangkan karena adanya tambahan produksi ikan akibat adanya

pengembangan PPN Palabuhanratu. Penyediaan tambahan pabrik es sangat

diperlukan karena hanya tersedia satu pabrik es dengan kapaitas 1000 balok/hari

dan tidak mampu memenuhi kebutuhan es untuk operasional kapal sebanyak 1500

balok/hari. Kebutuhan solar saat ini dipasok oleh SPDN dengan kapasitas 160

kl/bulan dan SPBB dengan kapasitas 250 kl/bulan. Kebutuhan pemakaian solar

rata-rata per hari pada tahun 2004 sebanyak 28 kl (tersedia pasokan 14 kl/hari),

Page 88: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

67

sehingga pasokan dari SPDN dan SPBB tidak mencukupi. Selama ini sebagian

kapal memperoleh BBM dari SPBU yang berada diluar pelabuhan. Kebutuhan air

bersih untuk keperluan aktivitas kapal pada tahun 2005 tercatat rata-rata 16,5

ton/hari yang dipasok dari PDAM. Pasokan ini belum memperhitungkan

kebutuhan air untuk pembuatan es, kebutuhan ikan dan untuk aktivitas penghuni.

Target jumlah total unit kapal yang akan dikembangkan = H1+H2+H3

Total GT untuk semua kapal = C1+C2+C3 =D

Alokasi pemanfaatan SDI PPN Palabuhanratu (SDI)

KM <5 GT A1

KM 5-30 GT A2

KM 30-150 GT A3

Rata-rata GT KM <5 GT = B1

Rata-rata GT KM 5-30 GT = B2

Rata-rata GT KM 30-150 GT = B3

Jml GT KM <5 GT = A1xB1=C1

Jml GT KM 5-30 GT = A2xB2=C2

Jml GT KM 30-150 GT = A3xB3=C3

Target produktivitas unit penangkapan = 1 ton/GT

per tahun = E

% KM <5 GT = C1/D=E1

% KM 5-30 GT = C2/D=E2

% KM 30-150 GT = C3/D=E3

Alokasi pemanfaatan SDI KM <5 GT = E1 x SDI = F1

Alokasi pemanfaatan SDI KM 5-30 GT = E2 x SDI = F2

Alokasi pemanfaatan SDI KM 30-150 GT

= E3 x SDI = F3

Jml GT KM <5 GT = F1/ E = G1

Jml GT KM 5-30 GT = F2/ E = G2

Jml GT KM 30-150 GT = F3/ E = G3

Jml KM <5 GT = G1/ B1 = H1

Jml KM 5-30 GT = G2/ B2 = H2

Jml KM 30-150 GT = G3/ B3 = H3

Gambar 4 Mekanisme perhitungan target jumlah kapal PPN Palabuhanratu.

Page 89: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

68

1) Perhitungan luas kolam (m2)

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan

luas kolam adalah sebagai berikut:

Dengan :

L = Luas kolam pelabuhan (m2)

Lt = Luas untuk memutar kapal (turbin basin) (π r 2)

n = Jumlah kapal maksimal berlabuh setiap hari (unit)

l = Panjang kapal (m)

b = Lebar kapal (m)

2) Perhitungan panjang dermaga (m)

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), dermaga

dengan bentuk yang memanjang sejajar garis pantai dan diperuntukkan bagi kapal

yang berlabuh dengan posisi badan kapal sejajar dengan sisi dermaga, maka

panjang dermaga tersebut dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Dengan ;

D = Panjang dermaga (m)

l = Ukuran panjang kapal (m)

0,1 = Jarak aman antara dua kapal (m)

3) Luas gedung pelelangan (m2)

Luas gedung pelelangan ikan dihitung berdasarkan perbandingan antara luas

gedung pelelangan yang ada sekarang dan produksi rata-rata per hari dengan rata-

rata target produksi ikan pengembangan dan luas gedung pelelangan yang akan

dikembangkan.

Luas gedung pelelangan pengembangan adalah (rata-rata target produksi ikan

pengembangan x luas gedung pelelangan yang ada sekarang) dibagi (produksi

ikan rata-rata sekarang).

L = Lt + 3 [(n x l x b)]

D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x (0,1) x l

Page 90: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

69

4) Kapasitas pabrik es (ton/tahun)

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Inconeb (1981), perhitungan

kapasitas pabrik es adalah sebagai berikut:

Dengan :

K = Kapasitas pabrik es

a = 2

5) Kebutuhan solar (kl/tahun)

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999),

perhitungan kebutuhan solar adalah sebagai berikut:

Dengan :

S = Kebutuhan solar ( kl/ tahun)

Kapal ukuran <5 GT = bermesin 15 DK, kapal ukuran 5-30 GT = bermesin 60

DK, kapal berukuran 30-100 GT = bermesin 180 DK, kapal berukuran 100-150

GT = bermesin 225 DK).

6) Kebutuhan air bersih (kl/tahun)

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999),

kebutuhan ABK adalah 20 liter/orang/hari. Kebutuhan bahan baku es adalah 1 kg

air untuk 1 kg es, kebutuhan ikan adalah 1 liter/kg ikan, kebutuhan TPI adalah 1,5

liter/ m2 luas TPI, kebutuhan penghuni adalah 10% dari kebutuhan total.

7) Luas lahan (ha)

Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan

Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan

perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan.

Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN

Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).

K = a x Produksi rata-rata per hari

S = 0,2 liter / DK / jam

Page 91: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

70

(4) Perhitungan jumlah konsumen untuk ikan dari PPN Palabuhanratu

Jumlah konsumen diperoleh dari jumlah target produksi untuk dalam negeri

dibagi dengan rata-rata tingkat konsumsi ikan untuk penduduk dalam negeri.

Menurut Barani (2006) bahwa tingkat konsumsi ikan /kapita penduduk secara

nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/kapita/tahun (angka perkiraan).

Distribusi ke daerah hinterland primer untuk produk ikan segar komoditas ekspor

kondisi saat ini sebesar 3% dan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu jumlah

ekspor ikan diperkirakan sebesar 35% dari target produksi PPN Palabuhanratu

yang didasarkan kepada jumlah potensi ikan pelagis besar yang ada di WPP 9

Samudera Hindia untuk target jumlah produksi PPN Palabuhanratu.

4.5.3 Menentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu

Prioritas pengembangan diperoleh dengan menggunakan proses hierarki

analitik (PHA).

Langkah-langkah yang dilakukan:

(1) Penentuan hierarki

Penentuan hierarki dilakukan penulis bersama-sama dengan responden

berdasarkan kuesioner dan wawancara. Ada 4 tingkatan hierarki yakni:

hierarki pertama adalah goal (tujuan): optimalisasi fungsi PPN

Palabuhanratu, hierarki kedua adalah: pelaku/lembaga yang berpengaruh

terhadap pencapaian tujuan: Ditjen.Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu,

Pemerintah Daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan), KUD Mina Sinar Laut

dan Nelayan. Hierarki ketiga adalah: solusi pengembangan terhadap

alternatif prioritas pengembangan: perluasan kolam dan dermaga, perluasan

lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM dan pelayanan prima.

Hierarki keempat adalah alternatif prioritas pengembangan, adalah

peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal, peningkatan

produksi ikan, peningkatan PAD dan peningkatan lapangan kerja.

Hierarki ketiga dan keempat ditentukan dengan menggunakan metode

skoring. Solusi pengembangan dan alternatif prioritas pengembangan untuk

pengembangan PPN Palabuhanratu dipilih berdasarkan tahapan.

Tahap pertama adalah penentuan jenis prioritas pengembangan yakni

Page 92: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

71

dengan cara mencari informasi tentang pengembangan PPN Palabuhanratu

kepada beberapa nelayan, tokoh nelayan, ketua HNSI dan ketua KUD Mina,

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten

Sukabumi. Selanjutnya dari informasi yang diperoleh tersebut untuk

selanjutnya dibicarakan dengan pihak manajemen pelabuhan. Manajemen

pelabuhan memfasilitasi pertemuan guna membicarakan jenis prioritas

pengembangan dan jenis solusi pengembangan PPN Palabuhanratu antara

stakeholder manajemen pelabuhan dan peneliti. Setelah ditetapkan bersama

jenis alternatif prioritas pengembangan dan jenis solusi pengembangan,

kemudian dicari data pendukungnya melalui laporan statistik perikanan,

laporan tahunan pelabuhan, laporan studi pembangunan.

Adapun jenis alternatif prioritas pengembangan yang akan dipilih

berdasarkan kesepakatan dengan stakeholder (Lampiran 2) adalah peningkatan

jumlah kapal, peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan,

peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja, peningkatan pelelangan ikan,

peningkatan investasi, penyempurnaan docking, peningkatan SDM,

aksesibilitas, peningkatan kapasitas pabrik es, pengadaan SPBB untuk kapal

berukuran >30 GT, peningkatan industri pengolahan, aplikasi SOP dan

operasional syahbandar. Solusi pengembangan dalam pengembangan PPN

Palabuhanratu yang telah ditetapkan secara bersama (Lampiran 3) adalah

pembangunan perluasan kolam dan dermaga, perluasan lahan, operasional

tempat pelelangan ikan (TPI), pengadaan BBM, pelayanan prima, pengadaan

pabrik es, pengerukan alur pelayaran, pemeliharaan lampu navigasi,

rehabilitasi pasar ikan, balai pertemuan nelayan, indtalasi air, pengadaan bak

sampah dan pembuatan jalan kompleks pelabuhan.

Tahap kedua, setelah jenis alternatif prioritas pengembangan tersebut

dimasukkan ke dalam kuesioner, maka selanjutnya responden mengisi

kuesioner tentang penilaiannya mengenai alternatif prioritas pengembangan.

Setelah kuesioner diisi maka dilakukan penilaian responden yakni, penilaian

alternatif prioritas pengembangan apakah alternatif prioritas pengembangan

tersebut sangat tinggi prioritasnya untuk dilaksanakan, prioritas sedang untuk

dilaksanakan dan prioritas kurang untuk dilaksanakan.

Page 93: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

72

Kemudian ditentukan nilai masing-masing alternatif prioritas pengembangan

dan ranking setiap alternatif prioritas pengembangan. Penilaian oleh

responden untuk jenis alternatif prioritas pengembangan yang dianggap paling

tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Setiap jenis

alternatif prioritas pengembangan dijumlahkan nilainya kemudian baru

ditentukan ranking untuk masing-masing alternatif prioritas pengembangan

berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi pengembangan yang

terpilih adalah peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan jumlah kapal,

peningkatan produksi ikan, peningkatan PAD, peningkatan lapangan kerja.

Dalam penentuan jenis solusi pengembangan yang perlu dikembangkan,

mekanismenya hampir sama dengan penentuan jenis alternatif prioritas

pengembangan, yakni pertama mendiskusikan dengan pihak manajemen PPN

Palabuhanratu dan stakeholder lainnya tentang jenis-jenis variabel solusi

pengembangan yang diperlukan. Adapun jenis variabel solusi pengembangan

yang perlu dikembangkan adalah perluasan kolam dan dermaga, penambahan

kapasitas pabrik es dan SPBU, perluasan lahan, operasional lampu navigasi,

operasional TPI, operasional pasar ikan, operasional balai pertemuan nelayan

(BPN), peningkatan kapasitas instalasi air, penambahan bak sampah,

operasional radio SSB dan perbaikan jalan kompleks pelabuhan. Kedua,

setelah variabel solusi pengembangan tersebut dimasukkan ke dalam

kuesioner, selanjutnya 29 responden mengisi kuesioner tentang penilaiannya

mengenai variabel solusi pengembangan. Adapun 29 responden yang dipilih

secara purposive adalah Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu,

Pemda Kabupaten Sukabumi /Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Sukabumi, Kepala PPN Tanjung Pandan, HNSI, KUD Mina Sinar Laut,

nelayan penangkap, nelayan pengolah, nelayan pemasar, investor perikanan.

Setelah kuesioner diisi, dilakukan penilaian responden, yakni penilaian

variabel solusi pengembangan apakah sangat tinggi prioritasnya untuk

dikembangkan, prioritas sedang untuk dikembangkan, dan prioritas kurang

untuk dikembangkan.

Setelah itu, kemudian ditentukan nilai masing-masing solusi

pengembangan dan ranking setiap variabel solusi pengembangan. Penilaian

Page 94: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

73

oleh responden untuk jenis variabel solusi pengembangan yang dianggap

paling tinggi bernilai 10, sedang bernilai 5 dan kurang bernilai 3. Tahap

ketiga selanjutnya setiap jenis variabel solusi pengembangan dijumlahkan

nilainya kemudian ditentukan ranking untuk masing-masing jenis solusi

pengembangan berdasarkan nilai paling tinggi. Adapun variabel solusi

pengembangan yang terpilih adalah perluasan kolam dan dermaga, perluasan

lahan, operasional pelelangan ikan, pengadaan BBM untuk kapal, pelayanan

prima.

(2) Membuat skala perbandingan, untuk membandingkan setiap sub kriteria yang

ada pada masing-masing hierarki

(3) Penentuan prioritas: untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan

perbandingan berpasangan. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah

untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif . Bentuk hierarki

pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Gambar 5.

OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

Ditjen Perikanan

Tangkap

Pemda/ Dinas KUD

Nelayan

Peningkatan penda patan pelabuhan

Peningkatan Jlh kapal

Peningkatan produksi

ikan

Peningkatan PAD

Peningkatan lapangan

kerja

SOLUSI

Perluasan kolam dan dermaga

Perluasan lahan Operas ional

pelelangan ikan

Pengadaan BBM

Pelayanan prima

PPN Palabuhanratu

LEMBAGA/ PELAKU

GOAL

ALTERNATIF PRIORITAS PENGEMBANGAN

PENGEMBANGAN

Gambar 5 Bentuk proses hierarki analitik yang akan ditentukan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 95: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

5 HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menyajikan data dan informasi yang meliputi kondisi umum

lokasi penelitian, fasilitas, operasional dan manajemen PPN Palabuhanratu guna

mendukung tujuan penelitian, hasil perhitungan yang berkaitan dengan tujuan

penelitian yakni arah pengembangan, memformulasikan pola pengembangan dan

prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

5.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

PPN Palabuhanratu terletak di kota Palabuhanratu yang merupakan ibu kota

Kabupaten Sukabumi. Menurut Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten

Sukabumi (1999) bahwa Palabuhanratu dijadikan ibu kota Kabupaten Sukabumi

yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi, pusat perdagangan

dan jasa, pusat pengembangan perikanan laut dan pusat pengembangan pariwisata.

Dengan adanya perubahan fungsi kota, maka banyak hal yang belum dapat

ditangani dan ditata oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi misalnya tata ruang

wilayah pesisir dan laut belum dapat dibuat karena Pemerintah Daerah masih

mengupayakan agar ada bantuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi.

Selain itu dengan perubahan fungsi kota, maka kondisi ini membawa dampak

terhadap kemajuan pembangunan kota Palabuhanratu terutama untuk mendukung

pembangunan sektor perikanan dan kelautan.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu daerah dataran tinggi di Jawa

Barat yang memiliki ketinggian berkisar 0 – 2960 m. Luas wilayah Kabupaten

Sukabumi sekitar 412.799 ha dan merupakan daerah terluas di Jawa Barat. Secara

geografis Kabupaten Sukabumi terletak antara 6o57’-7o25’ LS dan 106o49’-

107o00’ BT, dengan curah hujan rata-rata pada tahun 2000 sebanyak 130 hari

hujan setiap tahun, sehingga bulan basah lebih banyak dibandingkan bulan kering

dengan kelembaban 70-90%. Pada tahun 2000 tercatat jumlah penduduknya

sebanyak 2.038.961 jiwa.

Kota Palabuhanratu berada di ketinggian 0 – 50 meter dari permukaan laut.

Di belakang kota ini terbentang bukit-bukit sehingga sedikit sekali areal

persawahan. Penduduk banyak bekerja di kebun-kebun dan sebagai nelayan. Pada

saat musim ikan, mereka beralih pekerjaannya menangkap ikan di laut. Luas

Page 96: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

75

Kecamatan Palabuhanratu adalah 10.288 ha. Jumlah penduduk Kecamatan

Palabuhanratu sebanyak 88.995 orang atau 4% dari jumlah penduduk Kabupaten

Sukabumi.

Kabupaten Sukabumi memiliki 35 desa pesisir dan 9 kecamatan pesisir,

yakni Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciomas, Simpenan,

Palabuhanratu, Cikakak dan Cisolok. Luas seluruh kecamatan pesisir 141.133 ha

(34,19% dari luas Kabupaten Sukabumi 412.799 ha). Bila dilihat dari luas wilayah

pesisir, maka prioritas pembangunan sebaiknya di arahkan pada daerah pesisir dan

laut. Batas administratif Kabupaten Sukabumi adalah sebelah: Utara berbatasan

dengan Kabupaten Bogor, Selatan dengan Samudera Hindia, Timur dengan

Kabupaten Cianjur, dan Barat dengan Kabupaten Lebak.

Panjang pantainya 117 km membentang dari Mina Jaya (Kecamatan Surade)

sampai Cibangban (Kecamatan Cisolok) dan di sepanjang pantai tersebut terdapat

7 tempat pendaratan ikan dengan jumlah nelayan 11.736 orang atau 0,58% dari

jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada tahun 2000, dengan rincian

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Mina Jaya-Kecamatan Surade sebanyak 118

orang, PPI Ujung Genteng-Kecamatan Ciracap 399 orang, PPI Ciwaru-Kecamatan

Ciomas jumlah nelayan 146 orang, PPI Loji-Kecamatan Simpenan 515 orang,

PPN Palabuhanratu-Kecamatan Palabuhanratu 7.400 orang, PPI Cisolok-

Kecamatan Cisolok 2.748 orang dan PPI Cibangban-Kecamatan Cisolok 409

orang. Berdasarkan penyebaran nelayan di masing-masing kecamatan sepanjang

pesisir, maka Palabuhanratu paling banyak jumlahnya, yakni sebanyak 7.400

orang atau 63% dari jumlah nelayan Kabupaten Sukabumi. Diantara ketujuh

tempat pendaratan ikan, PPN Palabuhanratu memiliki fasilitas operasional yang

paling baik. Hasil tangkapan ikan dari kapal yang berasal dari 6 PPI lain tersebut

sebagian diangkut ke Palabuhanratu. Keenam PPI dikelola oleh Pemerintah

Kabupaten Sukabumi. Semua PPI yang ada belum dibentuk unit pelaksana teknis

(UPT)-nya dan belum ada petugas khusus yang menangani PPI tersebut. Gambar

6 memperlihatkan peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten

Sukabumi.

Semua urusan pembangunan dan operasional PPI ditangani langsung oleh

kepala cabang Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, sehingga

Page 97: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

76

operasional PPI tersebut belum optimal. Pengumpulan data statistik dilaksanakan

tidak sempurna dan tidak ada petugas khusus untuk pengumpulan data statistik.

Data statistik dikumpulkan langsung oleh Kepala Cabang Dinas Perikanan dan

Kelautan Kabupaten Sukabumi.

Sumber: Lubis et al. 2005.

Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, bahwa

musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April,

dimana 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1662 mm, dan

rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya

termasuk besar yaitu sebesar 2565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84 – 376

mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Pada tahun 2006 terjadi

kemarau panjang yakni sejak bulan April sampai dengan bulan Oktober 2006.

Gambar 6 Peta penyebaran lokasi pelabuhan perikanan di Kabupaten Sukabumi.

U

106 0 49’ 1070 00’

- 70 25’

- 60 57’

I I

Page 98: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

77

Kondisi kemarau panjang ini justru membawa dampak yang positif bagi nelayan

karena hasil tangkapan ikannya lebih banyak dari biasanya. Penyebabnya adalah

terjadi pertumbuhan chlorofil di perairan sehingga menumbuh suburkan perairan.

Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,80C sampai 28,80C.

Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim monsoon dan pola angin di sekitar

Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan

November-Maret dan musim timur bulan Mei-September. Kecepatan angin

berkisar antara 4,4-23,5 km per jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/

jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus sampai dengan Desember. Secara

keseluruhan angin dominan bertiup dari Tenggara (22,6%) dan Barat (13,6%).

Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah: Januari dari

Barat dan Barat Laut, Februari dari Barat Laut, Maret dari Barat Laut, April

sampai Oktober dari Tenggara, November dari Tenggara dan Barat, dan

Desember dari Barat Laut.

Menurut penyelidikan PT. Tripatra Engineering (1989), Palabuhanratu

terletak pada zone gempa 2 yaitu zone gempa dengan aktivitas tinggi, dengan

koefisien gempanya 0,07 g. Oleh karena itu, disamping kerusakan langsung

akibat guncangan gempa, bencana dapat pula timbul akibat gelombang tsunami

yang melanda daerah pantai.

Lahan lokasi PPN Palabuhanratu merupakan daratan yang terbentuk dari

endapan yang dibawa Sungai Cipalabuhan dan Cipanyairan. Jenis sedimen

terutama adalah lanau, pasir, dan kerikil. Lahan semacam ini sangat cocok untuk

penempatan bangunan konstruksi beton pelabuhan.

Topografi lahan di lokasi pelabuhan perikanan dan sekitarnya sepanjang

pantai dapat dikatakan datar, akan tetapi di belakang kota Palabuhanratu

topografinya berbukit-bukit. Ketinggian tanah lahan lokasi pelabuhan perikanan

berkisar +1,0 – 3,5 m LWS.

Gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu adalah:

(1) Kedalaman -5,0 LWS dicapai dari garis pantai 50 - 80 m ke laut, dengan

kemiringan pantai berkisar 6 -10%.

(2) Pada jarak 50 – 80 m dari garis pantai ke arah laut kemiringan dasar laut

sangat curam yaitu berkisar 25 – 36%.

Page 99: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

78

(3) Daerah dengan kemiringan dasar laut yang relatif landai terletak di bagian

Selatan dan Barat Daya pelabuhan.

Gambar 7 menunjukkan gambaran kondisi batimetri di lokasi PPN Palabuhanratu.

Hasil analisis data pasang surut oleh Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana

Djaja (1999) adalah:

1) Highest Water Spring (HWS) = 165,2 cm.

2) Mean High Water Spring (MHWS) = 149,9 cm.

3) Mean High Water Level (MHWL) = 113,9 cm.

4) Mean Sea Level (MSL) = 75,3 cm.

Pelabuhan

saat ini

0 m

5 m

U

Skala 1 : 1.500

Gambar 7 Batimetri perairan dekat site PPN Palabuhanratu (Sumber : Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999).

Palung dengan kedalaman 10-200 m

Page 100: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

79

5) Mean Low Water Level (MLWL) = 35,2 cm.

6) Mean Low Water Spring (MLWS) = 10,5 cm, dan

7) Lowest Water Spring (LWS) = 0 cm.

Gambar 8 menunjukkan korelasi antara rambu pengamatan pasang surut

dan elevasi.

Secara umum gelombang besar terjadi selama musim barat, yaitu pada

bulan November-Maret. Pada musim barat ini banyak nelayan takut melaut karena

mengandung resiko tinggi, terutama untuk kapal-kapal ukuran kecil (<10 GT).

Sebaliknya selama musim timur kondisi perairan Palabuhanratu relatif tenang.

Pada musim ini gelombang didominasi oleh swell dengan arah rambatan menuju

selatan dan barat daya. Pada saat musim barat terjadi pengikisan pantai sehingga

pada bagian-bagian pantai terjadi penggerusan/abrasi pantai ke arah darat, namun

pada saat musim timur, terjadi hal sebaliknya, yakni terjadi penumpukan pasir dan

bibir pantai melebar ke arah laut.

Menurut Adi (1995), perubahan musim di Palabuhanratu sangat

berpengaruh terhadap kegiatan perikanan. Pada umumnya upaya penangkapan

ikan terbesar terjadi pada musim Selatan, ditandai dengan angin yang lemah, laut

Palem rambu pasut

HWS

MHWS

MHWL

MSL

MLWL

MLWS LWS

257,0 cm

241,7 cm

205,7 cm

167,1 cm

127,0 cm

102,3 cm91,8 cm

Referensi

HWS

MHWS

MHWL

MSL

MLWL

MLWSLWS

165,2 cm

149,9 cm

113,9 cm

75,3 cm

35,2 cm

10,5 cm 0.0 cm

0.0 cm

Chart Datum

Gambar 8 Pasang surut air laut di PPN Palabuhanratu (Sumber: Ditjen. Perikanan dan PT. Perentjana Djaja, 1999).

Page 101: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

80

tenang serta curah hujan yang rendah. Musim Selatan merupakan musim

terjadinya banyak ikan dan musim tersebut terjadi pada bulan Juni-Oktober.

Sebaliknya pada musim Barat merupakan musim kurang ikan ditandai dengan

angin yang bertiup kencang, gelombang besar dan sering terjadi hujan lebat.

Periode musim barat berlangsung sekitar bulan November – Mei. Tabel 12

menunjukkan periode musim ikan di PPN Palabuhanratu.

Tabel 12 Musim ikan di PPN Palabuhanratu

Bulan Musim

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop DesSelatan/ banyak ikan √ √ √ √ √

Barat/ kurang ikan

Selanjutnya menurut Baskoro et al. (2004), bahwa pengetahuan mengenai

pola migrasi ikan bagi usaha pemanfaatan sumberdaya adalah dengan mengetahui

pola migrasi ikan yang menjadi tujuan penangkapan, maka efisiensi dan

efektivitas penangkapan ikan dapat dilakukan dengan baik. Selanjutnya dengan

mengetahui pola migrasi ikan, maka kita dapat mengetahui keberadaan ikan

disuatu perairan sekaligus dapat pengetahui swimming layer dari suatu jenis ikan.

Ikan pelagis besar yang merupakan high migration (migrasi jauh) seperti ikan tuna

disebabkan oleh beberapa hal seperti untuk keperluan memijah karena memang

naluri sejak lahirnya memijah disuatu tempat, untuk mencari makan, dan untuk

mencari lingkungan yang optimum. Selanjutnya dikatakan bahwa tuna mata

besar (big eye tuna) menyebar di Samudera Pasifik melalui perairan diantara

pulau-pulau Indonesia ke Samudera Hindia. Pemijahan tuna ini terjadi di bagian

Timur dan bagian Barat Samudera Hindia, di Indonesia ikan ini banyak ditangkap

di laut-laut dalam antara lain di perairan sebelah Selatan Jawa, sebelah Barat Daya

Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Untuk

jenis ikan albacore, penangkapannya banyak dilakukan di Samudera Hindia.

Pencatatan di Benoa-Bali yang menjadi salah satu pusat pendaratan ikan tuna

menunjukkan, jenis albacore hampir tertangkap sepanjang tahun, terutama bulan

April-September yang merupakan musim dengan tangkapan yang bagus.

Page 102: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

81

Arus di Palabuhanratu sangat lemah, arus umumnya ditimbulkan oleh angin

musim yang dipengaruhi oleh pasang surut dan besarnya kedua komponen arus ini

sangat lemah. Selama musim timur, arus di sepanjang Pantai Selatan Jawa

bergerak menuju barat dan pada musim barat arus berbalik arah.

Sedimentasi yang terjadi di sekitar mulut kolam pelabuhan disebabkan

masuknya sebagian longshore sedimen terdiri dari pasir dengan diameter rata-rata

200 mm. Pada waktu musim hujan atau banjir, material longshore sedimen terdiri

dari campuran sedimen yang berasal dari sungai dan dasar pantai. Sungai

Cipalabuhan yang bermuara di samping kolam pelabuhan adalah sungai yang aktif

membawa endapan sampah kota, lumpur dan pasir. Dalam merencanakan

Pelabuhan Perikanan Samudera Palabuhanratu (PPS Palabuhanratu), faktor

adanya pengaruh sungai ini perlu diperhitungkan dengan matang sehingga dapat

mengeliminir pengaruh masuknya sedimen ke dalam kolam pelabuhan yang akan

dibangun tersebut. Terhindarnya mulut kedua kolam (kolam I dan II) dari

masuknya endapan sedimen disebabkan karena posisi mulut berada pada palung

dengan kedalaman 10-200 m (Gambar 7). Pengalaman meletakkan posisi mulut

kolam ini hendaknya diaplikasikan juga pada kolam III yang akan dibangun pada

PPS Palabuhanratu.

5.2 Kondisi PPN Palabuhanratu

Operasional PPN Palabuhanratu sangat tergantung kepada kondisi fisik

pembangunannya dan sejauh mana hubungan PPN Palabuhanratu dengan wilayah

produksi dan wilayah distribusi.

5.2.1 Fasilitas PPN Palabuhanratu

Fasilitas yang telah dibangun sejak operasionalnya pada tahun 1993 adalah:

1) Fasilitas pokok:

(a) Lahan seluas 12,2 ha. Sebagian lahan digunakan untuk pembangunan

kolam seluas 5 ha dan untuk bangunan darat berupa gedung dan

perkantoran. Pada saat ini, lahan pelabuhan sudah semuanya

dimanfaatkan, sehingga tidak tersedia lagi untuk industri perikanan.

Dalam upaya untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu yang ada

sekarang agar lebih optimal fungsinya dan pengembangannya menjadi

Page 103: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

82

PPS Palabuhanratu, maka kapasitas beberapa fasilitas pelabuhan

perikanan perlu di tingkatkan sehingga memerlukan tambahan perluasan

areal terutama untuk mengembangkan fasilitas pokok seperti dermaga dan

kolam pelabuhan serta penyediaan areal bagi industri perikanan.

Ketersediaan lahan untuk perluasan areal akan disiapkan oleh pemerintah

daerah di selatan areal pelabuhan perikanan yang ada sekarang. Lahan

yang akan dibebaskan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat

tersebut akan digunakan untuk pembangunan fasilitas pokok dan areal

industri perikanan.

(b) Penahan gelombang pada pengembangan PPN Palabuhanratu dan

pengembangan menjadi PPS Palabuhanratu sangat diperlukan karena

adanya penambahan kapasitas kolam pelabuhan. Berdasarkan pengalaman

pembangunan penahan gelombang dermaga I dan penahan gelombang

dermaga II, maka konstruksi yang paling sesuai untuk pembangunan

penahan gelombang baru adalah dengan batu buatan yang disebut dengan

a-jack. A-jack digunakan pertama kalinya di Indonesia pada pembangunan

dermaga PPN Palabuhanratu, namun a-jack juga perlu disempurnakan

dalam pembuatannya yakni dengan penambahan pemakaian tulang besi,

sehingga lebih kokoh dan tidak mudah patah. A-jack telah digunakan

pada pembangunan penahan gelombang dermaga II sejak tahun 2000,

sampai saat ini kondisinya masih baik. Penggunaan a-jack telah digunakan

pula oleh PPS Cilacap dan PPN Prigi. Penggunaan a-jack sebagai

pengganti batu alami sangat tepat, hal ini dikarenakan ketersediaan batu

alami yang sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan sangat terbatas

(misalnya dibutuhkan ukuran batu sampai dengan 7 ton). Keunggulan a-

jack dibandingkan dengan batu alami adalah, a-jack mempunyai 11 kali

daya redam gelombangnya dibandingkan dengan daya redam batu alami

(PT. Perentjana Djaja, 1999).

(c) Kolam pelabuhan dermaga I seluas 3 ha dengan kedalaman kolam 1,5 –

3,5 m. Pendangkalan kolam tetap akan terjadi karena adanya sampah-

sampah yang berasal dari limbah padat dan limbah cair yang dibuang dari

kapal-kapal, aktivitas docking dan aktivitas tempat pelelangan ikan serta

Page 104: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

83

adanya sampah-sampah yang berasal dari adanya arus pasang ke dalam

kolam. Pihak pelabuhan harus memiliki petugas khusus untuk mengatasi

sedimen ini dengan membersihkan kolam dari sampah-sampah padat dan

cair secara rutin setiap minggu. Pihak pelabuhan dapat saja mengadakan

kapal pemungut sampah di kolam. Untuk limbah padat yang terendap di

dasar kolam, maka pihak pelabuhan harus dapat mengusahakan untuk

melakukan pengerukan kolam secara periodik. Sebaiknya pihak pelabuhan

memiliki back hoe jenis long arm guna mengeruk kolam. Selain itu untuk

pengaturan kapal di kolam, maka zonasi penempatan kapal di kolam

dermga I perlu ditingkatkan kepatuhan pemanfaatannya sehingga tidak

mengganggu aktivitas di kolam terutama pada saat proses bongkar muat

ikan dan tambat kapal. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah

perlunya peningkatkan keamanan dan ketertiban di kolam dermaga I oleh

tim keamanan terpadu dan pengurus-pengurus kapal.

(d) Kolam dermaga II, seluas 2 ha dioperasionalkan sejak tahun 2002 dengan

kedalaman kolam 4 m. Kolam dermaga II perlu dilakukan pemeliharaan,

terutama menjaga kebersihan kolam dari buangan sampah, selain itu perlu

dijaga ketertiban pemanfaatan kolam. Berdasarkan kondisi kolam dermaga

I dan dermaga II yang sudah penuh (melebihi kapasitas tampung), maka

untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu saat ini dan

pembangunan PPS Palabuhanratu diperlukan penambahan kapasitas

kolam baik dari segi perluasannya maupun dari segi kedalaman kolam.

(e) Dermaga (wharf) I sepanjang 500 m berkonstruksi beton dibangun tahun

1993 dan telah berfungsi secara baik. Sepanjang dermaga sudah

disediakan fender agar kapal tidak bersentuhan langsung dengan badan

dermaga yang terbuat dari beton. Kemudian juga tersedia bolard untuk

digunakan sebagai tempat pengikat kapal. Kondisi fender dan bolard saat

ini dalam keadaan rusak, sehingga pihak pelabuhan diharapkan

memperbaiki atau menggantinya dengan yang baru. Dermaga II sepanjang

410 m berkonstruksi beton dibangun tahun 2002 dan telah berfungsi

secara baik. Sebagian fender dan bolard telah rusak sehingga perlu

Page 105: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

84

diganti dengan yang baru. Dengan adanya pembangunan kolam baru

sehingga memerlukan dermaga yang baru

(f) Tempat pendaratan di pantai (beach landing) seluas 6600 m2 berfungsi

untuk pendaratan kapal ukuran kecil (jenis kapal kincang) dan untuk

tempat perbaikan kapal. Lokasi beach landing berada di pangkal kolam

dermaga I. Selain itu juga sudah tersedia fasilitas slipway yang dapat

mengakomodir kapal berukuran <30 GT. Kondisi slipway dalam keadaan

rusak namun masih dapat digunakan. PT. CKU sebagai pengelola

diharapkan untuk memperbaikinya. Dengan adanya slipway di kolam

dermaga I , menyebabkan kondisi kolam menjadi kotor karena limbah

hasil perbaikan kapal terbawa hanyut oleh arus pasang surut ke dalam

kolam. Dalam rencana pengembangan PPS Palabuhanratu, maka perlu

dirancang konstruksi dock dan slipway dan secara khusus ditempatkan

dalam satu kolam yang terpisah dengan kolam utama, sehingga tidak

mengganggu aktivitas-aktivitas kapal di kolam dan kebersihan kolam

dapat terjaga. Selain itu perlu dirubah fungsi tempat pendaratan di pantai

ini kearah tempat perbaikan kapal dan diharapkan pemerintah daerah

mampu menyiapkan tempat pendaratan di pantai ke arah selatan

pelabuhan (diluar kolam pelabuhan), yakni di pantai Patuguran sehingga

kapal-kapal kecil berukuran <5 GT dapat memanfaatkan tempat

pendaratan di pantai tersebut, sedangkan untuk menarik kapal-kapal kecil

dalam memanfaatkan tempat pendaratan di pantai patuguran yang akan

dibangun oleh pemerintah daerah, maka perlu dilengkapi dengan fasilitas

pemasaran dan pengolahan hasil perikanan di sekitar tempat pendaratn

tersebut.

2) Fasilitas fungsional dan operasionalnya berupa:

(a) Tempat pelelangan ikan (TPI) seluas 900 m2 dalam keadaan baik dan

terpelihara. TPI telah menyediakan fasilitas air bersih, tetapi terbatas

penggunaannya untuk keperluan karyawan TPI. Nelayan cenderung

menggunakan air laut untuk membersihkan ikannya karena mudah

diperoleh di depan dermaga dan ketersediaan air tawar di TPI belum

Page 106: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

85

cukup memadai. Pada tahun 2004 telah dilakukan penyediaan pompa air

laut guna memperoleh air laut yang bersih, namun dalam operasionalnya

mengalami kesulitan dalam pemeliharaan karena alat pemompanya mudah

korosi akibat pengaruh air laut. Pada tahun 2005 telah disediakan pompa

air laut bertekanan tinggi guna membersihkan lantai TPI. Setiap hari

dilakukan pembersihan lantai oleh petugas kebersihan. Sampah cair

langsung dibuang ke perairan laut sekitar dermaga. Kondisi ini

menyebabkan kotornya air laut. Kegiatan tersebut dilakukan karena PPN

Palabuhanratu belum mempunyai unit pengolah limbah cair dan limbah

padat. Pembersihan sampah padat dilakukan oleh petugas, kemudian

dikumpulkan dalam tempat sampah sementara yang telah disediakan di

sekitar TPI. Setiap dua hari sampah-sampah yang ada dalam tempat

sampah sementara diangkut oleh mobil sampah, kemudian dibuang ke

tempat pembuangan akhir di daerah Cibadak. PPN Palabuhanratu

sebaiknya memiliki tempat pembakaran limbah padat (incinerator),

sehingga tidak tergantung kepada tempat pembuangan sampah. Pada

saatnya nanti PPN Palabuhanratu diharapkan memiliki instalasi pengolah

limbah (IPAL). Limbah cair, sebaiknya diolah terlebih dahulu hingga

menjadi bersih kemudian dapat dibuang ke laut. Selain itu tersedia pula

fasilitas untuk pelelangan ikan seperti timbangan, trays (keranjang ikan),

gerobak dorong, sound system, kantor TPI. Semua fasilitas tersebut

dikelola oleh KUD dan sebagian alat tersebut disewakan kepada nelayan.

Pengoptimalan fungsi TPI, akan diarahkan untuk menciptakan TPI yang

benar-benar hygienis sesuai dengan persyaratan tempat pelelangan ikan.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan

Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan

dan Distribusi, bahwa persyaratan tempat pelelangan ikan adalah :

a) Terlindung dan mempunyai dinding yang mudah untuk dibersihkan.

b) Mempunyai lantai yang kedap air yang mudah dibersihkan dan

disanitasi, dilengkapi dengan saluran pembuangan air dan mempunyai

sistem pembuangan limbah cair yang hygiene.

Page 107: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

86

c) Dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti tempat cuci tangan dan

toilet dalam jumlah yang mencukupi. Tempat cuci tangan harus

dilengkapi dengan bahan pencuci tangan dan pengering sekali pakai.

d) Mempunyai penerangan yang cukup untuk memudahkan dalam

pengawasan hasil perikanan,

e) Kendaraan yang mengeluarkan asap dan binatang yang dapat

mempengaruhi mutu hasil perikanan tidak diperbolehkan berada

dalam TPI.

f) Dibersihkan secara teratur minimal setiap selesai penjualan, wadah

harus dibersihkan dan dibilas dengan air bersih atau air laut bersih.

g) Dilengkapi dengan tanda peringatan dilarang merokok, meludah,

makan dan minum, dan diletakkan ditempat yang mudah dilihat

dengan jelas.

h) Mempunyai pasokan air bersih dan atau air laut bersih yang cukup.

i) Mempunyai wadah khusus yang tahan karat dan kedap air untuk

menampung hasil perikanan yang tidak layak untuk dimakan.

Sebagai akibat adanya penambahan produksi ikan, maka

diperlukan lagi tambahan gedung pelelangan ikan. Dalam operasionalnya

berbeda dengan penataan TPI awal, yakni menampung ikan komoditi

ekspor sehingga fasilitas TPI dan operasionalnya harus mengikuti standar

penanganan ikan untuk ekspor.

(b) Pasar ikan 352 m2 digunakan untuk tempat penjualan ikan secara grosir.

Biasanya jenis-jenis ikan yang dijual disini adalah jenis-jenis ikan untuk

konsumsi lokal dan restoran atau pembeli yang datang dari luar

Palabuhanratu. Jenis-jenis ikan segar yang terjual antara lain adalah

kakap, udang, tongkol, kuwe, cumi-cumi. Selain gedung pasar ikan, pihak

pelabuhan telah membangun lapak-lapak sebanyak 60 lapak yang telah

diisi oleh penjual ikan eceran dan ikan olahan kering. Dengan adanya

lapak-lapak ini, maka kebersihan, ketertiban dan keindahan di sekitar TPI

lebih terjaga. Pihak pelabuhan juga menanam tanaman hias di sekitar TPI

dan menyediakan tempat-tempat sampah. Permasalahan yang dihadapi

adalah belum semua kios atau lapak pasar ikan digunakan oleh pedagang

Page 108: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

87

karena kondisi ikan pada saat paceklik sangat kurang. Selain itu adanya

keengganan pemilik lapak menggunakan lapaknya karena lokasi lapak

berada jauh kedalam. Untuk pengembangan PPN Palabuhanratu, maka

pasar ikan ini perlu ditata kembali terutama mengenai tata ruangnya,

sistem drainase, sistem instalasi air bersih, instalasi BBM dan pengaturan

pemanfaatannya oleh pedagang-pedagang serta menjaga kebersihan,

ketertiban dan keindahan pasar agar tidak terlihat kumuh

(c) Kantor pelabuhan 528 m2 digunakan untuk keperluan administrasi

pelabuhan. Kantor utama digunakan untuk keperluan kepala pelabuhan

dan kepala seksi serta untuk perpustakaan, gudang arsip, pusat informasi

pelabuhan perikanan. Kondisi kantor saat ini sudah terisi penuh dan

kondisi fisik bangunannya perlu diperbaharui sehingga untuk pengadaan

kantor pada PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan secara optimal

sebaiknya dibangun gedung baru dengan konstruksi bertingkat empat dan

khusus lantai pertama dibuat tidak memakai ruangan (bebas partisi) guna

mengantisipasi adanya kejadian tsunami.

(d) Pos pelayanan terpadu yang terdiri dari petugas syahbandar, PPN

Palabuhanratu, TNI AL, Polisi Air dan petugas pengawas SDI. Kondisi

fisik gedung saat ini perlu direhab atau dibangun baru, karena sebagian

bangunannya sudah mengalami pelapukan dan belum disiapkan fasilitas

pendingin ruangan (AC). Selain itu petugas kurang disiplin menempati pos

sehingga memperlemah kinerja pelayanan, untuk itu perlu dibuat

kesepakatan bersama tentang operasional pos pelayanan terpadu guna

meningkatkan kinerja pelayanan.

(e) Kantor syahbandar (petugas dari PPN Palabuhanratu). Saat ini syahbandar

di pelabuhan perikanan ada dua yakni syahbandar umum dari Departemen

Perhubungan dan syahbandar perikanan dari Departemen Kelautan dan

Perikanan. Syahbandar perikanan yang telah ditetapkan oleh Menteri

Kelautan dan Perikanan tahun 2006 belum dapat menjalankan tugasnya

karena menurut kesepakatan antara Dirjen. Perikanan Tangkap dan Dirjen.

Perhubungan Laut bahwa syahbandar umum di PPN Palabuhanratu akan

Page 109: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

88

ditarik kemudian syahbandar perikanan sudah mulai berfungsi. Kantor

yang digunakan untuk petugas syahbandar sementara berada di pos

pelayanan terpadu, namun pada tahun 2007 akan dibangun kantor khusus

syahbandar di pelabuhan perikanan. Petugas syahbandar perikanan yang

telah dilatih ada dua orang dibantu oleh satu orang staf PPN

Palabuhanratu. Tugas syahbandar adalah untuk mengeluarkan surat ijin

berlayar (SIB). Sebelum syahbandar beroperasional, maka pihak

manajemen PPN Palabuhanratu harus sudah mempersiapkan personil yang

bertugas sebagai syahbandar, administrasi yang diperlukan seperti form

SIB, standard operational procedure (SOP) syahbandar, koordinasi

dengan instansi terkait khususnya mengenai ruang lingkup tugas dan

mempersiapkan kantor operasional sementara syahbandar.

(f) Kantor pengawasan perikanan dan kelautan digunakan untuk aktivitas

pengawasan perikanan dan kelautan. Kondisi kantornya cukup

representatif karena selain baru, setiap ruangan dilengkapi pendingin

ruangan (AC). Jumlah personil pengawasan sebanyak lima orang, yang

telah memiliki kewenangan untuk menyidik sebanyak empat orang karena

telah berstatus sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Dalam

pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan

pelimpahan berkas perkara kepada Kejaksaan dibantu oleh petugas

Angkatan Laut, Polisi Air, Dinas Perikanan dan Kelautan. Selama tahun

2006 telah dilakukan dua kali gelar operasi ke laut dan berhasil

menangkap 15 kapal ukuran <30 GT karena tidak memiliki surat ijin

penangkapan. Dari hasil penyelidikan ini telah dilimpahkan perkaranya

kepada PPNS Kabupaten Sukabumi karena menyangkut kapal-kapal

berukuran <30 GT. Menurut petugas pengawasan bahwa lembaga

pengawasan ini akan ditingkatkan menjadi unit pelaksana teknis (UPT)

Ditjen. Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan

Perikanan sehingga tidak tergantung pada pelabuhan perikanan.

Permasalahan yang dihadapi adalah sangat sedikitnya petugas pengawas

(lima orang) sehingga banyak tugas-tugas yang tidak tertangani dengan

baik, sebagai contoh masih banyaknya kapal-kapal yang tidak berijin yang

Page 110: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

89

memerlukan pembinaan lebih lanjut. Selain gelar operasi, kegiatan-

kegiatan yang sudah terlaksanan adalah pembentukan dan penumbuhan

kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) perikanan dan

kelautan. Terhadap permasalahan sedikitnya jumlah petugas dan luasnya

wilayah pengawasan, maka disepanjang 117 km pantai Sukabumi ada

sebanyak 7 tempat pendaratan ikan, pada masing-masing tempat tersebut

telah dibentuk POKMASWAS yang beranggotakan masing-masing 20

orang terdiri dari tokoh nelayan, pengusaha, tokoh masyarakat, petugas

desa, nelayan. Mulai pada tahun 2003, secara resmi POKMASWAS di 7

titik tersebut telah dikukuhkan dengan surat keputusan Bupati. Sebanyak

140 orang telah dilakukan pemusatan latihan di PPN Palabuhanratu guna

menyerap pengetahuan mengenai perikanan dan kelautan serta peraturan-

peraturan yang berkaitan dengan pengawasan. Dalam operasionalnya

POKMASWAS telah dilengkapi radio SSB (single side band) yang dapat

dihubungkan dan didengar nelayan dilaut yang sedang melakukan operasi

penangkapan ikan. Setiap hari petugas POKMASWAS ini diminta untuk

melaporkan kejadian perikanan di wilayahnya kepada pusat

POKMASWAS di PPN Palabuhanratu. Berdasarkan laporan dari

POKMASWAS tersebut, maka PPN Palabuhanratu akan melakukan

koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan permasalahan tersebut.

Jaringan radio SSB ini juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah,

Angkatan Laut dan Polisi Air. POKMASWAS telah membentuk forum

POKMASWAS yang bertugas untuk mengkoordinasikan masalah-

masalah yang berkaitan dengan tugas pengawasan. Hasil kerja dari

POKMASWAS telah melaporkan tentang kejadian penggunaan alat,

bahan terlarang dalam melakukan penangkapan ikan hias di karang.

Terhadap laporan ini pemerintah daerah telah mengupayakan

penyelesaiannya dengan cara musyawarah. Permasalahannya adalah,

petugas POKMASWAS menghendaki agar pemerintah dapat memberikan

insentif kepada mereka setiap bulan.

Page 111: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

90

(g) Laboratorium Bina Mutu Hasil Perikanan seluas 170 m2 digunakan untuk

pemeriksaan hasil tangkapan nelayan, selama ini pengujian yang

dilaksanakan antara lain pengujian organoleptik dan pengujian formalin.

(h) Balai pertemuan nelayan 150 m2 secara aktif digunakan sebagai tempat

pelatihan-pelatihan nelayan, rapat HNSI, pengajian, sunatan. Balai ini

perlu dilengkapi dengan sound system, AC dan penambahan kursi serta

fasilitas audio visual.

(i) Puskesmas nelayan yang beroperasi setiap hari Selasa dan Kamis dengan

jumlah pasien 55 orang setiap hari. Pelayanan dilakukan oleh dokter

umum dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Biaya pengobatan

relatif murah sebesar Rp 3.000,- setiap kali berobat. Direncanakan

Puskesmas Nelayan ini akan ditingkatkan menjadi RS Pelabuhan

Perikanan yang berfungsi memberi pelayanan kesehatan nelayan dan

kesehatan lingkungan pelabuhan.

(j) Kantor penjualan BBM 96 m2 dilengkapi dengan tangki BBM

berkapasitas 320 m3 dan 208 m3. Usaha BBM yang bernama SPDN ini

dikelola oleh KUD Mina Sinar Laut bekerjasama dengan Perum Prasarana

Samudera Jakarta. KUD Mina memperoleh aliran minyak sebanyak 160

Kl sebulan untuk keperluan BBM solar bagi kapal-kapal ukuran <30 GT.

Harga jual BBM Solar untuk nelayan sama dengan harga BBM di SPBU.

Kebutuhan solar untuk 628 buah kapal yang ada pada tahun 2005 adalah

sebanyak 1.820 kl/bulan, namun yang tersedia di SPDN sebanyak 160

kl/bulan ditambah 500 kl/bulan di SPBB sehingga kekurangannya

diperoleh dari SPBU. Menurunnya frekuensi jumlah kapal melaut setiap

bulan dari sejumlah 60 kapal per bulan menjadi 5 kapal per bulan sebagai

akibat kenaikan biaya operasional melaut terutama harga solar BBM.

Dengan adanya pengembangan PPN Palabuhanratu, maka SPDN dan

SPBB yang ada perlu ditambah persediaan solarnya sehingga memenuhi

kebutuhan kapal untuk operasi ke laut. Hampir semua nelayan

menghendaki agar harga BBM untuk nelayan diturunkan menjadi

Page 112: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

91

Rp 2.500/liter guna menutupi biaya operasional melaut yang terus

membengkak.

(k) Tangki air 400 m3 dan rumah pompa 27 m2 dikelola oleh PT. Eko Mulyo

Sukabumi. Air bersih dialirkan oleh PDAM ke reservoir kemudian baru

dialirkan ke kapal-kapal nelayan yang ada di pinggir dermaga. Apabila

PDAM tidak beroperasi, maka pihak pelabuhan telah menyediakan mobil

tanki air bersih dimana air bersih diambil di sumber mata air milik

perorangan, sehingga penyediaan air bersih untuk kapal-kapal nelayan

tidak mengalami masalah. Untuk jangka menengah dan panjang,

penambahan kapasitas air bersih ini perlu ditingkatkan dengan cara

membuat reservoir baru yang diisi oleh sumber air tanah dan untuk

keperluan lainnya maka perlu dilakukan pemanfaatan air Sungai

Cimandiri untuk dialirkan ke pelabuhan perikanan.

(l) Tempat perbaikan jaring 500 m2 saat ini sudah tidak berfungsi lagi dan

dialih fungsikan menjadi areal industri. Saat ini telah ditempati oleh

perusahaan cold storage.

(m) Gudang box 74 m2 digunakan untuk menyimpan box-box dan trays.

(n) Gardu jaga 52 m2 digunakan untuk pos keamanan pelabuhan.

(o) Toilet umum 45 m2 sudah berfungsi yang dikelola oleh koperasi

karyawan.

3) Fasilitas penunjang berupa rumah operator seluas 131 m2 dan guest house

seluas 150 m2 serta mushola nelayan.

5.2.2 Kondisi operasional PPN Palabuhanratu

Operasional pelabuhan dijalankan oleh satu manajemen yang dibentuk oleh

pemerintah pusat. Berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, maka manajemen

pelabuhan saat ini menjalankan fungsi dalam rangka membantu aktivitas

perikanan agar lebih efisien dan efektif, dan ikut membina dan mengembangkan

perekonomian masyarakat nelayan. Pada umumnya nelayan-nelayan tangkap di

Palabuhanratu yang mengoperasikan alat payang, gill net dan pancing kekurangan

modal serta mengalami kesulitan dalam memperoleh faktor produksi seperti alat

tangkap, mesin, bahan bakar dengan harga yang murah, kebutuhan-kebutuhan

Page 113: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

92

tersebut harus dibeli dari pedagang perantara dengan harga yang tinggi. Selain itu

biaya operasional melaut diperoleh dari pinjaman uang melalui rentenir/tengkulak

dengan cara yang mudah, dan sebagai imbalannya nelayan harus menjual hasil

tangkapan ikannya kepada rentenir dengan harga yang tidak wajar, akibatnya

pendapatan nelayan semakin berkurang.

Menyadari hal tersebut, maka sejak tahun 2003 Direktorat Jenderal

Perikanan Tangkap telah mencoba meluncurkan program revitalisasi pelabuhan

perikanan dan menumbuhkan unit-unit bisnis perikanan terpadu (UBPT) di

pelabuhan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi pelabuhan

perikanan, yang semula hanya melayani aktivitas perikanan di pelabuhan,

kemudian diperluas untuk ikut membina pengembangan ekonomi perikanan.

Dengan demikian tugas dan fungsi pelabuhan perikanan yang dijalankan

merupakan ujung tombak pelaksanaan program DKP di daerah, termasuk juga

menjalankan program-program lain di luar DKP, seperti fungsi kesehatan

pelabuhan, keamanan dan ketertiban pelabuhan, imigrasi dan kesyahbandaran.

Pelaksanaan fungsi PPN Palabuhanratu selama program revitalisasi

pelabuhan perikanan dijalankan sejak periode tahun 2003-2005 adalah:

(1) Sebagai tempat tambat labuh kapal:

1) Menyelenggarakan pemeliharaan vender dan bolard yang ada di dermaga,

lampu suar pintu masuk kolam pelabuhan, penerangan dermaga, instalasi

air di dermaga.

2) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran, yakni mempersiapkan tenaga

syahbandar.

3) Melakukan fungsi pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan,

pemberian ijin kapal keluar masuk pelabuhan.

4) Melakukan pemantauan dan pengaturan terhadap kapal yang berlabuh dan

bongkar muat.

5) Menerima dan mengelola jasa tambat.

6) Memberikan kemudahan dalam hal kebutuhan sarana dan jasa komunikasi

dan telekomunikasi.

(2) Tempat pendaratan ikan:

1) Memberikan pelayanan teknis untuk pendaratan ikan.

Page 114: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

93

2) Menyediakan tenaga dan sarana pendaratan.

3) Pelayanan untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan.

4) Alat bantu bongkar dan alat angkut ikan hasil tangkapan lainnya.

5) Pelayanan terhadap kebutuhan tenaga dan petugas bongkar muat ikan.

(3) Tempat untuk memperlancar kegiatan kapal-kapal perikanan.

1) Memberikan pelayanan teknis untuk memudahkan kapal-kapal melakukan

kegiatan di pelabuhan (merapat, berlabuh, bongkar muat, keluar

pelabuhan).

2) Melayani kebutuhan kapal (BBM, es, garam dan perbekalan lain).

3) Memberikan dokumen perijinan surat tanda bukti lapor kedatangan

/keberangkatan kapal (STBLKK).

4) Membantu pemeriksaan kesehatan kapal.

5) Membantu melaksanakan pemeriksaan dokumen keimigrasian ABK

warga negara asing.

6) Membantu pelaksanaan pemeriksaan muatan sehubungan dengan

peraturan bea dan cukai.

7) Memberikan pelayanan dalam hal kebutuhan perbekalan ABK, jasa

perbengkelan dan perawatan kapal serta jasa lainnya.

(4) Tempat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan.

1) Menyediakan dan merawat tempat pelelangan ikan.

2) Menyediakan pasar ikan dan lapak pengecer ikan segar.

3) Menyediakan gedung perkantoran dan toko BAP.

(5) Tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan.

1) Mengadakan dan mengembangkan berbagai sarana yang mendukung

penanganan pasca penangkapan ikan (tempat/ruangan penanganan,

pengolahan dan pengepakan ikan, ruangan pendingin, pabrik es dll.).

2) Membantu Dinas Perikanan dalam pembinaan kegiatan penanganan,

pengolahan, pengepakan dan pengangkutan hasil perikanan serta

penyuluhannya sebagai upaya untuk menjamin mutu hasil perikanan.

3) Mengkoordinasikan upaya pembinaan mutu hasil perikanan bersama

Dinas Perikanan.

Page 115: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

94

4) Membantu kelancaran sertifikasi mutu ikan dari Dinas Perikanan.

5) Melakukan uji tes formalin pada ikan dan bekerja sama dengan Polres

setempat dalam pemberantasan penggunaan formalin.

(6) Tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data.

1) Mengkoordinasikan pengumpulan data statistik perikanan di pelabuhan

bersama dengan Dinas Perikanan.

2) Mewajibkan kepada unit usaha yang beroperasi di lingkungan pelabuhan

untuk memberikan data yang diperlukan.

3) Melakukan tindakan pemeriksaan teknis kapal perikanan.

4) Melakukan pemantauan tugas dan kegiatan pemeriksaan kapal perikanan

oleh petugas pengawasan penangkapan ikan.

5) Penyuluhan dan sosialisasi hasil riset serta mengadakan pelatihan berkaitan

dengan peningkatan usaha perikanan.

(7) Tempat pelaksanaan pengawasan (MCS) sumberdaya ikan.

1) Penyebaran dan pengumpulan log book.

2) Melakukan pendataan dan evaluasi terhadap log book.

3) Melakukan pendugaan stock.

4) Melakukan perhitungan terhadap CPUE.

5) Memberikan informasi tentang kondisi fishing ground.

Hasil dari program revitalisasi pelabuhan perikanan dari Ditjen. Perikanan

Tangkap yang dijalankan adalah tumbuhnya pelaku-pelaku unit bisnis di

pelabuhan, seperti :

(1) KUD Mina Sinar Laut bergerak dibidang pelayanan SPDN (station package

dealer nelayan) untuk menyediaan solar kapal perikanan ukuran <30 GT,

penyelenggaraan pelelangan ikan.

(2) Yayasan Anak Nelayan bergerak dibidang pengolahan ikan dalam bentuk filet

ikan dan usaha rumpon serta mengasuransikan sebagian nelayan binaannya.

(3) Program pengembangan perikanan tangkap skala kecil dari Ditjen. Perikanan

Tangkap yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi

oleh nelayan skala kecil dalam melakukan aktivitas perikanannnya sehingga

pendapatannya semakin meningkat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan

Page 116: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

95

adalah berupa optimalisasi kapal dan alat penangkapan ikan (OPTIKAPI),

optimalisasi pelelangan ikan (OPTILANPI), optimalisasi pengolahan ikan

(OPTIHANKAN) dan optimalisasi pemasaran ikan (OPTISARKAN) yakni

berupa pembentukan kelompok usaha bersama (KUB), pelatihan terhadap

nelayan dan memberi bantuan permodalan berupa unit alat tangkap,

pengolahan dan tempat pemasaran ikan.Tabel 14 menunjukkan perkembangan

KUB binaan PPN Palabuhanratu. Berdasarkan Tabel 13, dari 9 KUB yang ada

semuanya telah beroperasional, ditandai oleh jumlah anggota yang terlibat

sebanyak 200 orang. Pada tahun 2005, KUB tersebut telah berhasil

melakukan usaha penangkapan ikan atas bantuan kapal yang diberikan oleh

pemerintah sebanyak 278.870 kg senilai Rp 760.879.200 dan dapat disimpan

sebanyak Rp 46.896.791 untuk dana bergulir bagi anggotanya.

Tabel 13 Kondisi kelompok usaha bersama (KUB) binaan PPN Palabuhanratu tahun 2005

Nama KUB

Jumlah anggota

Jumlah prod (kg)

Nilai Prod (Rp)

Dana bergulir

(Rp)

Majelis Nusantara 1 26 3.814 22.110.200 6.339.000Putra Bahari Nusantara 33 9.655 48.889.250 500.000Cempaka Putih Nusantara 33 22.623 102.817.000 14.000Gumelar Nusantara 16 5.382 48.701.600 100.000Bungsu Nusantara 20 - - -Majelis Nusantara 2 22 12.814 87.006.800 14.000.000Lembayung Nusantara 27 213.544 161.708.750 13.243.791Sumber Bahari 19 29.558 289.645.600 12.600.000Bina Usaha Nusantara 14 - - 100.000

J U M L A H 200 278.870 760.879.200 46.896.791Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

(4) PT. Citra Karya Utama bergerak dibidang docking kapal.

(5) PT. AGB bergerak dibidang cold storage dengan membeli semua produk

hasil tangkapan ikan nelayan. Hasil ikan olahan diekspor ke negara Korea.

(6) CV Burhan bergerak penjualan suku cadang alat bahan perikanan.

(7) PT. Sari Sagara bergerak di bidang penangkapan ikan dengan alat tangkap

longline dan cold storage.

Page 117: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

96

(8) PT. Paridi mengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar di Bunker (SPBB)

bergerak dibidang penyediaan solar untuk kapal ukuran >30 GT. Menerima

pasokan solar dari Pertamina sebanyak 1.500 kl setiap bulan.

(9) Bank Danamon dalam penyediaan kredit untuk nelayan. Sampai bulan

Agustus 2006 sudah tersalurkan kredit sekitar Rp 4.000.000.000,-.

(10) PT. Ratu Prima bergerak dibidang cold storage dan pabrik es.

(11) Tumbuh dan berkembangnya 8 kelompok masyarakat pengawas perikanan

(POKMASWAS) yang berada di setiap titik pendaratan ikan. Tugasnya

adalah mengawasi kegiatan perikanan di daerahnya dan melaporkan kepada

PPN Palabuhanratu tentang kejadian tersebut melalui radio SSB.

(12) Digunakannya peta prakiraan daerah penangkapan ikan oleh kapal nelayan

sebanyak 52 kapal setiap bulannya, sehingga nelayan memiliki alternatif

petunjuk tentang daerah penangkapan ikan.

(13) Terbangunnya PUSKESMAS nelayan pada tahun 2005 yang melayani rata-

rata sebanyak 15 orang nelayan setiap bulan.

(14) Berfungsinya Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) yang memiliki

jaringan langsung internet ke Ditjen. Perikanan Tangkap, sehingga data

pelabuhan on line ke DKP.

(15) Beroperasionalnya kios IPTEK yang menyampaikan hasil-hasil penelitian

dan kegiatan perikanan dan kelautan kepada masyarakat perikanan.

(16) Program statistik perikanan yakni pelaksanaan pengumpulan data secara

benar dan akurat menurut petunjuk yang telah ditetapkan oleh Ditjen.

Perikanan Tangkap. Pelaksanaan program ini telah menghasilkan

tersedianya data statistik perikanan tentang produksi ikan tuna berikut

ukuran dan beratnya, statistik ikan lainnya, statistik distribusi ikan dan

pengolahan ikan. Walaupun di PPN Palabuhanratu sangat baik pendataan

statistiknya, namun sangat disayangkan pendataan kabupaten belum

sempurna terutama pengumpulan data karena keterbatasan petugas.

Page 118: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

97

Pelayanan PPN Palabuhanratu terhadap aktivitas-aktivitas perikanan antara

lain adalah:

(1) Kapal perikanan

Kapal-kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu dan melakukan

operasi penangkapan ikan di WPP 9 sejak periode tahun 1993–2005 dapat dilihat

pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14, bahwa komposisi kapal-kapal berukuran kecil (<5

GT) jumlahnya semakin meningkat yakni pada tahun 1993 sebanyak 342 unit

meningkat menjadi 428 unit pada tahun 2005. Kapal motor berukuran 5-30 GT

juga mengalami kenaikan yakni dari 65 unit pada tahun 1993 meningkat menjadi

180 unit pada tahun 2005. Begitu juga untuk kapal motor ukuran 30-150 GT naik

dari 13 unit pada tahun 1993 menjadi 68 unit pada tahun 2005. Tabel 15

menunjukkan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan

daerah asalnya.

Tabel 14 Jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005

satuan: unit

Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Berdasarkan Tabel 15, dari 676 unit kapal pada tahun 2005, terdapat

sebanyak 465 unit kapal atau 69% berasal dari Palabuhanratu sedangkan sisanya

berasal dari daerah lain.

Tahun PMT < 5 GT

Kapal Motor 5-30 GT

Kapal Motor >30 – 150 GT Jumlah

1993 342 65 13 420 1994 344 85 16 445 1995 352 94 15 461 1996 365 111 12 488 1997 290 104 12 406 1998 275 137 9 421 1999 278 170 11 459 2000 235 170 11 416 2001 243 188 13 444 2002 317 132 13 462 2003 253 130 11 394 2004 266 125 139 530 2005 428 180 68 676

Page 119: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

98

Tabel 15 Jumlah kapal perikanan yang mendarat di PPN Palabuhanratu berdasarkan daerah asal tahun 2005

satuan: unit No Daerah asal Perahu Motor Tempel Kapal Motor Jumlah

1 Palabuhanratu 310 155 465 2 Ujung Genteng 10 - 10 3 Ciwaru 5 - 5 4 Loji 5 - 5 5 Cisolok 87 - 87 6 Cibangban 9 - 9 7 Cisaar - 4 4 8 Binuangeun 2 8 10 9 Cilacap - 44 44 10 Pekalongan - 2 2 11 Jakarta - 16 16 12 Benoa Bali - 9 9 13 Sibolga - 1 1 14 NTT - 1 1 15 NTB - 3 3 16 Jawa Timur - 5 5 Jumlah 428 248 676 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

(2) Produksi ikan

Produksi ikan PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993-2005 berfluktuasi setiap

tahunnya, Tabel 16 menunjukkan produksi ikan di PPN Palabuhanratu.

Berdasarkan Tabel 16, jumlah produksi semakin meningkat yakni dari 3.118.782

kg pada tahun 1993 menjadi 12.473.099 kg pada tahun 2005. Produksi ikan pada

tahun 2005 sebesar 6.600.530 kg atau 53% berasal dari pendaratan langsung di

dermaga PPN Palabuhanratu, sedangkan sisanya sebesar 5.872.569 kg atau 47%

berasal dari ikan yang masuk ke PPN Palabuhanratu melalui jalan darat.

Pada tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg

dan naik menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar

30,77%. Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg

pada tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995 Sedangkan

distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu sejak tahun 1993 sampai 2005

ditunjukkan seperti pada Tabel 17.

Page 120: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

99

Tabel 16 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005

Satuan : kg Tahun Produksi ikan

didaratkan Produksi ikan

masuk pelabuhan lewat darat

Jumlah produksi

pelabuhan 1993 3.118.782 - 3.118.782 1994 3.424.725 - 3.424.725 1995 3.521.745 - 3.521.745 1996 3.386.376 - 3.386.376 1997 4.134.871 - 4.134.871 1998 2.381.967 806.223 3.188.190 1999 2.765.495 1.036.144 3.801.639 2000 2.505.091 1.010.060 3.515.151 2001 1.766.963 1.737.487 3.504.450 2002 2.890.118 985.350 3.875.468 2003 4.105.260 520.503 4.625.763 2004 3.367.517 3.036.662 6.404.179 2005 6.600.530 5.872.569 12.473.099

Jumlah 43.969.440 15.004.998 58.974.438 Rata-rata 3.382.265 1.875.625 5.257.890 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Tabel 17 Produksi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 -2005

Satuan : kg Tahun Produksi ikan segar

1993 93.240 1994 104.565 1995 52.192 1996 101.198 1997 191.444 1998 633.056 1999 1.187633 2000 1.100.360 2001 579.569 2002 1.384.923 2003 1.985.877 2004 1.605.468 2005 3.397.443

Rata-rata 955.158 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Page 121: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

100

Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 1993-

2005 ditunjukkan seperti pada Tabel 18.

Tabel 18 Produksi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 – 2005

Satuan : kg

Tahun Ikan pindang

1993 59.942 1994 205.710 1995 25.783 1996 46.990 1997 270.672 1998 930.251 1999 844.678 2000 870.348 2001 777.062 2002 771.770 2003 1.222.139 2004 1.053.441 2005 1.747.187

Rata-rata 678.921 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Rata-rata pendistribusian ikan pindang sejak tahun 1993 sampai dengan

tahun 2005 adalah 678.921 kg. Volume distribusi ikan pindang mengalami

perkembangan, yakni dari 59.942 kg pada tahun 1993, naik menjadi 1.747.187 kg

pada tahun 2005 atau rata-rata kenaikan sebesar 89,51%.

Distribusi ikan asin dari PPN Palabuhanratu pada periode tahun 1993-

2005 ditunjukkan seperti pada Tabel 19.

Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang

pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN

Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari

ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Rata-rata distribusi ikan asin dari

Palabuhanratu sebesar 326.399 kg/tahun. Kota tujuan distribusi ikan asin adalah

ke Palabuhanratu, Sukabumi, Cibadak, Cicurug, Bogor, Cianjur dan Bandung.

Page 122: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

101

Tabel 19 Produksi ikan asin dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005

Satuan: kg

Tahun Ikan asin

1993 15.445 1994 6.285 1995 8.600 1996 5.575 1997 10.256 1998 94.326 1999 175.866 2000 156.064 2001 364.193 2002 352.550 2003 894.054 2004 707.385 2005 1.452.585

Rata-rata 326.399 Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

(2) Pelayanan logistik

Terdapat tiga kebutuhan kapal yang sangat penting untuk disediakan yaitu

BBM solar, air bersih dan es.

1) Solar

Volume pemakaian solar sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 terus

meningkat, peningkatan sangat besar terjadi pada tahun 2002 yakni meningkat

dari 1.045.000 liter tahun 2001 menjadi 4.041.110 liter pada tahun 2002 atau naik

286,71%. Pada tahun 2004, solar meningkat dari 4.821.870 liter pada tahun 2003

menjadi 10.380.781 liter, kemudian pada tahun 2005 jumlah solar yang digunakan

nelayan menurun menjadi sebesar 5.528.785 atau turun sebesar 46,74%. Pada

tahun 2005, nelayan dikejutkan terhadap adanya kenaikan harga BBM untuk kapal

ikan berukuran >30 GT dengan harga Rp 5.300 per liter (Oktober 2005),

akibatnya walaupun Pertamina telah membangun SPBB untuk melayani BBM

solar bagi kapal berukuran >30 GT, namun saat ini tetap saja nelayan mencari

harga solar yang lebih murah yakni di SPDN dan SPBU dengan harga Rp 4.300

Page 123: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

102

per liter (Oktober 2005). Hal yang salah ini tidak akan berlangsung lama,

sehingga pemerintah harus membantu kapal-kapal ikan yang berukuran >30 GT

untuk memperoleh solar dengan harga yang sama dengan harga di SPBU.

2.6691.662 1.745 1.847 1.747 1.619 1.917

4.0414.821

10.380

5.528

1.153 1.045

0.000

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Ton

Gambar 9 Kebutuhan logistik solar (BBM) di PPN Palabuhanratu periode tahun

1993 – 2004.

Pada tahun 2004 permintaan solar naik 115,29%. Kenaikan permintaan solar

tersebut sebagai akibat beroperasinya dermaga II (Gambar 9). Permasalahan yang

ada dalam menyalurkan solar untuk keperluan operasional kapal ikan sampai

dengan tahun 2002 adalah bahwa selama ini kapal-kapal ikan sudah terbiasa

membeli solar dari dua SPBU yang ada di Palabuhanratu. Kegiatan penyaluran

BBM untuk kapal ikan yang diperoleh dari SPBU melanggar peraturan yang ada

karena SPBU hanya diperuntukkan penyediaan solarnya bagi kendaraan bermotor

di darat.

Kebutuhan BBM solar untuk nelayan yang memiliki kapal berukuran <30

GT dipasok dari SPDN (Station Package Dealer untuk Nelayan). Bahan bakar

solar untuk kapal berukuran >30 GT, sebelumnya dipasok dari 2 unit SPBU yang

ada di Palabuhanratu ditambah satu buah SPBU lagi yang baru beroperasi pada

tahun 2004, namun sejak bulan Oktober 2005, kebutuhan solar untuk kapal

berukuran >30 GT juga telah dipasok dari SPBB (stasiun pengisian bahan bakar di

bunker) PPN Palabuhanratu yang dikelola oleh PT Paridi. SPBB tersebut

berlokasi di dalam pelabuhan dan dikhususkan untuk menyalurkan solar ke kapal-

kapal yang berukuran <30 GT dengan harga bersubsidi, yakni Rp 4.300/liter

(bulan Oktober 2005) atau lebih murah Rp 200,- dibandingkan dengan harga di

Page 124: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

103

SPBU. Selama ini SPDN memperoleh DO (delivery order) solar dari Pertamina

sebanyak 160 kiloliter/bulan. Solar sebanyak itu cukup untuk kebutuhan kapal

berukuran <30 GT yang berjumlah 608 buah dengan rincian ukuran kapal 5-30

GT sebanyak 180 buah dan kapal ukuran <5 GT sebanyak 428 buah. Kebutuhan

solar setiap hari untuk kapal berukuran 30–150 GT, selama ini rata-rata 60 ton

diperoleh dari tiga buah SPBU yang ada di Palabuhanratu.

Tabel 20 Pemakaian BBM solar untuk kapal di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993 - 2005

Satuan : liter Tahun Kebutuhan BBM 1993 1.153.640 1994 2.669.300 1995 1.662.085 1996 1.745.859 1997 1.847.490 1998 1.747.497 1999 1.619.586 2000 1.917.155 2001 1.045.000 2002 4.041.110 2003 4.821.870 2004 10.380.781 2005 5.528.785

Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

2) Air

Kebutuhan air bersih untuk nelayan dipasok dari PDAM kemudian dikelola

oleh pihak PPN Palabuhanratu. Gambar 10 menunjukkan gambaran

perkembangan kebutuhan air bersih sejak tahun 1993-2005 di PPN Palabuhanratu.

Berdasarkan Gambar 10, pemakaian air meningkat tajam sampai dengan tahun

2005, yakni sebesar 6.034.700 liter atau rata-rata/hari sebanyak 16.533,42 liter.

Peningkatan penggunaan air bersih ini sebagai akibat semakin banyaknya kapal

perikanan dari luar masuk ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan yang ada dalam

menyalurkan air bersih untuk kapal ikan adalah tidak setiap hari PDAM dapat

menyalurkan air bersih untuk keperluan kapal ikan.

Page 125: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

104

0.70

2.084

0.99

4.749

6.035

1.5911.48

2.443

0.381.111.212

1.63 1.469

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Ton

Gambar 10 Perkembangan kebutuhan air di PPN Palabuhanratu periode tahun

1993-2005.

Setiap hari Senin dan Kamis, PDAM memutuskan tidak menyalurkan air ke

PPN Palabuhanratu dengan alasan belum mampu menyalurkan air bersih untuk

kebutuhan maksimal, sehingga pihak manajemen pelabuhan pada tahun 2005

telah mengadakan mobil tangki air guna menyediakan air bersih apabila PDAM

tidak menyalurkan air bersih ke PPN Palabuhanratu. Permasalahan penyediaan

air bersih sudah dapat diatasi oleh manajemen pelabuhan. Selama ini kebutuhan

air bersih di PPN Palabuhanratu digunakan untuk keperluan melaut, aktivitas

kantor, kapal, TPI dan WC umum.

Tabel 21 Kebutuhan air bersih di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005

Satuan : liter Tahun Kebutuhan air 1993 697.090 1994 1.211.890 1995 1.629.500 1996 1.469.195 1997 1.110.240 1998 2.084.000 1999 988.000 2000 2.443.000 2001 380.000 2002 1.479.900 2003 1.591.300 2004 4.749.000 2005 6.034.700

Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Page 126: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

105

3) Es

Pemerintah seharusnya mendorong penggunaan es sebagai bahan pengawet

untuk menciptakan cold chain system dalam mempertahankan mutu ikan yang

didaratkan di pelabuhan perikanan dan untuk mencegah penggunaan formalin

sebagai bahan pengawet ikan, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap

bahaya penggunaan formalin pada ikan dan perlu dilakukan penegakan hukum

bagi pengguna formalin. Selain itu pemerintah juga harus mengatur tentang tata

perdagangan formalin di pasar.

Penggunaan es sebagai pengawet oleh nelayan Palabuhanratu dari tahun ke

tahun semakin berkembang karena konsumen juga menghendaki ikan yang lebih

segar dan bermutu. Sejak periode tahun 1993-2004 penggunaan es meningkat

yakni dari 152.698 balok pada tahun 1993 meningkat menjadi 285.470 balok

pada tahun 2004. Peningkatan ini disebabkan penggunaan es balok oleh kapal

longline. Es disuplai oleh satu pabrik es di Palabuhanratu yang berkapasitas 1000

balok per hari, padahal kebutuhan es setiap harinya sebasar 1500 balok, sehingga

kapal-kapal yang membutuhkan es harus antri selama 3 hari di pelabuhan.

Banyak investor ingin membangun pabrik es, namun mereka masih

mempertimbangkan keberlangsungan usahanya mengingat kondisi operasional

kapal-kapal sedang mengalami penurunan akibat kenaikan harga BBM. Gambar

11 menunjukkan perkembangan pemakaian es di PPN Palabuhanratu.

152.698136.807 143.560

90.300

11.490

285.470

112.450112.335

219.595

277.704

74.632

132.740122.246

0.000

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Jum

lah

(bal

ok)

Gambar 11 Perkembangan kebutuhan es di PPN Palabuhanratu periode tahun

1993-2005.

Page 127: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

106

Tabel 22 Kebutuhan logistik es di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005

Satuan : balok Tahun Kebutuhan es 1993 152.698 1994 136.807 1995 112.335 1996 122.246 1997 132.740 1998 143.560 1999 90.300 2000 74.632 2001 11.490 2002 277.704 2003 219.595 2004 285.470 2005 112.450

Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

5.2.3 Manajemen pelabuhan perikanan

Pengelolaan pelabuhan perikanan tergantung antara lain kepada aspek

legalitas, organisasi, tata hubungan kerja, kondisi sumberdaya manusia, standard

operational procedure (SOP) dan pelayanan.

(1) Legalitas pelabuhan perikanan

Sejak tahun 1974, yakni permulaan adanya pelabuhan perikanan di

Indonesia sampai dengan tahun 2004, peraturan yang mengatur mengenai

pelabuhan perikanan belum ada, walaupun UU No.9 tahun 1985 tentang

Perikanan menyebutkan antara lain bahwa pelabuhan perikanan dibina oleh

pemerintah, namun sampai tahun 2004 peraturan pemerintah tentang pelabuhan

perikanan belum diterbitkan sehingga pembangunan dan operasional pelabuhan

sangat tergantung kepada aturan yang dikeluarkan oleh menteri perhubungan.

Sejak tahun 2004 telah ada pengaturan tentang pelabuhan perikanan yakni pada

UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan serta telah dikeluarkannya peraturan

Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006.

Selain itu terdapat pula peraturan lain yakni :

Page 128: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

107

1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan

Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP).

2) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/MEN/2002 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan.

3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang

Usaha Perikanan Tangkap.

(2) Organisasi pelabuhan perikanan

Didalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.

KEP.26.I/MEN/2001 tanggal 1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Pelabuhan Perikanan, telah ditetapkan bahwa susunan organisasi PPN

Palabuhanratu adalah sebagai berikut :

1) Kepala pelabuhan perikanan, yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas

pokok dan fungsi pelabuhan perikanan dan bertanggung jawab terhadap

pembangunan dan operasional pelabuhan.

2) Sub Bagian Tata Usaha, yang mempunyai wewenang melakukan administrasi

keuangan, kepegawaian, persuratan, kearsipan, perlengkapan dan rumah

tangga, pelaporan dan pengembangan serta pengelolaan informasi dan

publikasi perikanan.

3) Seksi Tata Pengusahaan, yang bertugas untuk melakukan pembangunan,

pemeliharaan, pengembangan dan pendayagunaan sarana dan prasarana,

pelayanan jasa, fasilitasi usaha dan wisata bahari, pemberdayaan masyarakat

perikanan, koordinasi peningkatan produksi hasil perikanan, pengendalian

lingkungan, koordinasi urusan keamanan dan ketertiban serta pelaksanaan

kebersihan kawasan pelabuhan perikanan.

4) Seksi Tata Pelayanan, yang bertugas melakukan pelayanan teknis kapal

perikanan dan kesyahbandaran perikanan, memfasilitasi pemasaran dan

distribusi hasil perikanan, pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dan

statistik perikanan serta pengembangan dan pengelolaan sistem informasi

perikanan.

5) Kelompok jabatan fungsional, yang terdiri dari jabatan fungsional pengawas

penangkapan yang mempunyai tugas melakukan kegiatan pengawasan

Page 129: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

108

penangkapan ikan serta jabatan fungsional kehumasan yang mempunyai tugas

untuk menyampaikan informasi berkaitan dengan fungsi-fungsi

kepelabuhanan.

Struktur organisasi PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Lampiran 4.

(3) Tata hubungan kerja

Di wilayah PPN Palabuhanratu terdapat beberapa lembaga yang terkait

dengan pengelolaan wilayah pelabuhan yang masing-masing mempunyai

kewenangan yang berbeda. PPN Palabuhanratu berkewajiban mengkoordinasikan

segenap kegiatan yang dilakukan oleh instansi terkait agar lebih bersinergi untuk

mencapai tujuan. Instansi tersebut antara lain adalah :

1) UPT Pelabuhan Perikanan

UPT pelabuhan perikanan mempunyai wewenang

(a) Menyelenggarakan pembangunan, pengembangan, pemeliharaan dan

pengelolaan sarana pokok dan penunjang yang menjadi aset pemerintah.

(b) Menyelenggarakan pelayanan teknis terhadap kapal perikanan.

(c) Menyelenggarakan keamanan, ketertiban dan kebersihan di pelabuhan

perikanan.

(d) Menyelenggarakan fungsi kesyahbandaran.

(e) Mengkoordinasikan kegiatan instansi terkait di pelabuhan.

2) Dinas Perikanan

Dinas perikanan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan

pembinaan teknis perikanan sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah

dibidang perikanan

3) Kesehatan Pelabuhan

Kesehatan pelabuhan mempunyai wewenang dan tanggung jawab melakukan

penanganan dan pengawasan kesehatan di pelabuhan.

4) POLISI AIR

Polisi air mempunyai wewenang dan tanggung jawab melaksanakan

penangkapan, penyidikan dan penanggulangan kasus-kasus kejahatan

umum/kriminal.

Page 130: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

109

5) TNI Angkatan Laut

TNI AL mempunyai wewenang menjaga pertahanan dan keamanan laut

termasuk melakukan upaya hukum terhadap pelanggaran perikanan di laut.

(4) Sumberdaya manusia

Jumlah pegawai PPN Palabuhanratu saat ini sebanyak 69 orang yang terdiri

dari 57 orang PNS dan 12 orang pegawai honorer. Secara terperinci komposisi

pegawai PPN Palabuhanratu disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23 Komposisi pegawai PPN Palabuhanratu berdasarkan pendidikan

Satuan : orang PENDIDIKAN Unit kerja S2 S1 D4 D3 SLTA SLTP SD TSD Jumlah

Kepala pelabuhan 1 - - - - - - - 1Subbag. Tata Usaha 1 1 - - 7 1 1 - 11Seksi Tata Pelayanan - 4 1 2 12 - - - 19Seksi Tata Pengusahaan 1 1 2 - 19 - 3 - 26Honorer - - 1 - 2 1 1 7 12Jumlah 3 6 4 2 40 2 5 7 69

Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2005 Keterangan : TSD = Tidak Tamat SD (5) Standard operational procedure (SOP)

Beberapa SOP yang telah dipersiapkan oleh PPN Palabuhanratu antara lain

adalah: operasional pelelangan ikan, operasional bengkel, operasional alat berat,

operasional tambat labuh, operasional K3 (kebersihan, keindahan dan ketertiban),

operasional sewa tanah, gedung bangunan, operasional instalasi air bersih,

instalasi BBM, aliran dari barang (flow of goods), aliran orang (flow of person)

dan tata tertib lainnya seperti keluar masuk kapal.

5.3 Arah Pengembangan PPN Palabuhanratu

5.3.1 Potensi sumberdaya ikan dan daerah penangkapan kapal-kapal dari Palabuhanratu

(1) Sumberdaya ikan

Menurut Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan

Pengembangan Oseanologi (2005), bahwa kelompok ikan pelagis besar di

perairan Samudera Hindia (WPP 9) masih besar peluang untuk dimanfaatkan,

Page 131: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

110

karena baru dimanfaatkan sebesar 188.280 ton atau 51,41% dari potensi sebesar

366.260 ton/tahun. Begitu juga untuk kelompok ikan pelagis kecil baru

dimanfaatkan sebesar 264.560 ton atau 50,44% dari potensi sebesar 526.570

ton/tahun. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang dominan didaratkan di PPN

Palabuhanratu adalah tuna, cakalang, tenggiri, layaran, tongkol, jangilus, namun

jenis ikan yang merupakan komoditas ekspor adalah ikan tuna dan cakalang, serta

ikan layur yaitu jenis ikan demersal.

Dalam kaitan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pemanfaatan

sumberdaya ikan diarahkan untuk memanfaatkan kelompok SDI pelagis besar,

pelagis kecil dan demersal.

Pendaratan ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005 tercatat sebanyak 67%

terdiri dari jenis ikan pelagis besar, 8% jenis ikan pelagis kecil, 21% jenis ikan

demersal dan 4% jenis ikan lainnya dari produksi sebesar 6.601 ton. Sehingga

arah ke depan dalam pemanfaatan SDI untuk jenis-jenis ikan, sama dengan

kondisi saat ini, yakni lebih mengutamakan untuk memanfaatkan jenis ikan

pelagis besar. Jenis-jenis ikan utama yang akan dimanfaatkan adalah tuna

albacora, tuna big eye, tuna yellowfin, cakalang, tongkol, layur.

Unit penangkapan ikan yang prospek untuk dikembangkan adalah unit

penangkapan ikan tuna longline, hal ini sesuai dengan hasil kajian PPN

Palabuhanratu (2006) bahwa longline adalah unit alat penangkapan ikan yang

paling produktif. Unit penangkapan ikan tuna longline sejak tahun 2003 telah

dimulai penggunaannya di PPN Palabuhanratu bersamaan dengan adanya kolam II

yang dapat mengakomodir kapal-kapal tuna longline berukuran 30-150 GT.

Adapun produksi ikan tuna hasil tangkapan longline dan frekuensi kapal tuna

longline yang mendaratkan ikan tuna periode tahun 2003 – 2006 seperti Tabel 24.

Berdasarkan Tabel 24, bahwa dalam kurun waktu tahun 2003-2005, jumlah

produksi tuna tertinggi terjadi pada tahun 2005 sebesar 1.472.457 kg dan produksi

terendah terjadi pada tahun 2003 yang disebabkan oleh pertama kalinya kapal tuna

longline mendarat di PPN Palabuhanratu. Ikan tuna yang paling banyak

didaratkan di PPN Palabuhanratu berdasarkan jenis pada tahun 2006 adalah tuna

yellow fin. Menurut Fuji Kizae (1960) yang diacu oleh Nurani et al. (2007) bahwa

Page 132: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

111

fishing ground tuna untuk bigeye, yellowfin, albacore, swordfish, dan sedikit jenis

sailfish dan southern bluefin berada di Samudera Hindia.

Tabel 24 Produksi, frekuensi kapal dan CPUE unit penangkapan tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006

Tahun Frekuensi kapal tuna longline yang mendaratkan ikan (kali) Produksi (kg) CPUE

2003 164 449.378 2.740,112004 281 710.131 2.527,162005 579 1.472.457 2.543,102006 223 1.244.068 5.578,78

Rata-rata 311.75 969.008,5 3.347,29Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Adapun perkembangan upaya penangkapan (CPUE) tuna longliner seperti

pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa sejak tahun 2003 sampai

dengan 2006, secara umum grafik CPUE menunjukkan kenaikan, walaupun pada

tahun 2004 terjadi penurunan yang disebabkan oleh berkurangnya musim ikan

tuna di Samudera Hindia. Kenaikan CPUE terbesar terjadi pada tahun 2006

disebabkan oleh musim ikan tuna di Samudera Hindia.

5578.78

2543.102527.16

2740.11

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

2003 2004 2005 2006

Tahun

Nila

i CPU

E

Gambar 12 CPUE unit tuna longline di PPN Palabuhanratu periode tahun 2003-2006.

Page 133: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

112

Adanya kenaikan nilai CPUE untuk unit tuna longline mengindikasikan

bahwa unit alat tangkap tuna longline masih berpeluang untuk dikembangkan

guna mendukung arah pengembangan PPN Palabuhanratu.

(2) Daerah penangkapan ikan nelayan Palabuhanratu

Kapal-kapal nelayan dari Palabuhanratu menangkap ikan di WPP 9

(Samudera Hindia), namun demikian tidak semua WPP 9 dijadikan daerah

penangkapan ikan karena perairan WPP 9 sangat luas yang membentang dari

perairan laut di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sampai ke perairan

laut Nusa Tenggara Timur. Jauhnya daerah penangkapan ikan yang ditempuh

tergantung antara lain pada ukuran kapal dan kapasitas mesin kapal yang dimiliki

nelayan (Tabel 25).

Daerah penangkapan ikan untuk kapal perahu motor tempel (< 5 GT) yang

menggunakan jenis alat tangkap payang, pancing ulur, rampus, jaring klitik dan

trammel net, berada di Teluk Palabuhanratu (jalur penangkapan ikan I sepanjang

0-3 mil laut) yang jarak operasinya sekitar 2 jam. Kapal-kapal ini dalam operasi

umumnya tidak membawa es karena lamanya operasi penangkapan hanya satu

hari (one day fishing). Hasil tangkapan ikan ditempatkan di dalam box styrofoam.

Jenis-jenis ikan yang tertangkap khususnya oleh kapal yang menggunakan alat

tangkap payang adalah ikan cakalang, pepetek dan ikan pelagis kecil lainnya.

Pancing ulur biasanya bergabung dengan alat tangkap jaring. Jenis ikan yang

tertangkap lebih dominan adalah ikan layur. Kapal dengan alat tangkap trammel

net memiliki daerah penangkapan di muara sungai untuk menangkap udang.

Daerah penangkapan ikan untuk kapal motor <10 GT yang menggunakan

jaring purse seine, bagan, gillnet, pancing ulur dan rawai memiliki daerah

penangkapan di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun dan Ujung Kulon

yang berjarak sekitar 2-4 jam (jalur penangkapan ikan I sepanjang 3-6 mil laut

dan jalur penangkapan ikan II, sepanjang >6 mil laut). Jenis-jenis ikan yang

tertangkap, khusus untuk purse seine adalah ikan cakalang dan ikan pelagis kecil

lainnya. Bagan apung tersebar di dalam teluk, jenis ikan yang tertangkap oleh

bagan adalah jenis ikan-ikan pelagis kecil. Bagan saat ini menjadi alat yang

sangat tidak ramah lingkungan karena menggunakan jaring dengan mata jaring

Page 134: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

113

yang sangat kecil (< 2 inci) yang mengakibatkan tertangkapnya semua ukuran

ikan.

Tabel 25 Daerah penangkapan ikan dari kapal yang mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu tahun 2004

No

Jenis/ukuran

kapal

Jenis alat tangkap

Daerah penangkapan ikan

Payang Teluk Palabuhanratu Pancing ulur Teluk Palabuhanratu Rampus Teluk Palabuhanratu Jaring klitik Teluk Palabuhanratu

1

Perahu Motor Tempel ( PMT)

Trammel net Teluk Palabuhanratu Purse seine Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Bagan Teluk Palabuhanratu Gillnet Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon

(Perairan Selatan Jawa) Pancing ulur Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng

2 Kapal Motor (KM) < 10 GT

Rawai Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 3 Kapal Motor

(KM) 11 - 20 GT

Rawai Sumatera

Gillnet Sumatera, Jawa Tengah 4 Kapal Motor (KM)

21 - 30 GT Rawai Sumatera

Gillnet Sumatera, Jawa Tengah Rawai Sumatera, Jawa Tengah

5 Kapal Motor (KM)

> 30 GT Tuna long line

Samudra Hindia

Sumber : Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Kapal motor yang berukuran 11 - >30 GT (jalur penangkapan ikan II

sepanjang >6-12 mil laut dan jalur penangkapan ikan III sepanjang >12-200 mil

laut) dengan alat tangkap gillnet dan rawai memiliki daerah penangkapan sampai

ke daerah Sumatera, Samudera Hindia dan Jawa Tengah, bahkan kadang-kadang

menangkap ikan sampai ke perairan Pulau Christmas (Australia). Jarak tempuh ke

daerah penangkapan sekitar 2-4 hari perjalanan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap

di daerah tersebut adalah ikan cakalang, tuna, marlin, pari, cucut dan layaran.

Kapal motor berukuran 11- >30 GT umumnya telah memiliki dokumen kapal

yang cukup lengkap, namun banyak kapal-kapal ini tidak memiliki kompas dan

Page 135: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

114

peta laut sehingga seringkali menangkap ikan pada wilayah negara lain seperti

Australia.

Permasalahan yang muncul didalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah

tidak ditaatinya ketentuan jalur penangkapan ikan menurut SK Menteri Pertanian

No.392/kpts/IK.120/4/99 sehingga menyebabkan terjadinya konflik antara

nelayan gillnet, payang dengan nelayan longline. Berdasarkan hasil wawancara

dengan nelayan diperoleh informasi bahwa pada tahun 2006 terjadi konflik antara

nelayan gillnet dengan nelayan yang memanfaatkan rumpon, namun telah dapat

diredam konflik tersebut dengan cara mengajak semua nelayan untuk

memanfaatkan rumpon berdasarkan tata tertib yang disepakati. Permasalahan lain

adalah belum tertibnya kapal-kapal dari luar Palabuhanratu mengurus surat ijin

andon kapal dari Dinas Perikanan setempat sehingga hal ini akan berpotensi

menimbulkan konflik.

5.3.2 Faktor-faktor pendukung pengembangan PPN Palabuhanratu

Terdapat beberapa indikasi bahwa PPN Palabuhanratu perlu untuk

dikembangkan yakni berdasarkan lokasi sektor basis (LQ) yang memiliki

komoditas untuk dapat diekspor seperti ikan tuna, indeks relatif nilai produksi (I),

kepadatan kolam pelabuhan. Kemudian perlu ditentukan solusi permasalahan

pengembangan PPN Palabuhanratu dan jenis-jenis fasilitas yang diperlukan,

kekuatan persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan pelabuhan

perikanan lain di WPP 9 Samudera Hindia.

(1) Kapal perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003), bahwa terdapat 13

propinsi yang menghadap WPP 9 Samudera Hindia, yakni: Nangroe Aceh

Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa

Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.

Selanjutnya didalam 13 provinsi tersebut ada sebanyak 65 kabupaten, dan 216

pelabuhan perikanan yang mempunyai kontribusi dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan di perairan WPP 9 termasuk kapal-kapal dari DKI Jakarta,

disamping itu juga menurut informasi beberapa nelayan yang diperoleh dari

Page 136: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

115

wawancara menyatakan bahwa terdapat kapal-kapal nelayan negara asing yang

ikut memanfaatkan secara ilegal penangkapan ikan.

Jumlah kapal dari 13 provinsi yang memanfaatkan sumberdaya ikan di WPP

9 Samudera Hindia seperti Tabel 26.

Tabel 26 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia, 2004

Satuan: unit

No Perairan Pantai Kapal ukuran 30-100 GT

Kapal ukuran 100->1000

GT

Jumlah kapal provinsi semua ukuran

1 Barat Sumatera NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Bengkulu Lampung

93 - 83 -

10 -

9 - 9 - - -

28.925 9.216 9.122 6.897 2.924 766

2 Selatan Jawa Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur

59 -

6 48 2 3

29 -

5 24

- -

19.143 1.586 3.475 3.211 527

10.3443 Bali-Nusatenggara

Bali Nusa Teng.Barat Nusa Teng.Timur

169

157 9

3

107

107 -

-

63.779

13.363 19.916

30.500

4 DKI Jakarta 919 1.166 6.614

Jumlah 1.240 1.311 118.461 Sumber: Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006.

Jumlah kapal yang memanfaatkan SDI di WPP 9 tahun 2004 sebanyak

118.461 unit, yakni tersebar di Pantai Barat Sumatera sebanyak 28.925 unit dan

93 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT dan 9 unit berukuran 100-1000 GT,

di Selatan Jawa sebanyak 19.143 unit diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak

59 unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 29 unit, di perairan Bali-Nusa

Tenggara sebanyak 63.779 unit, diantaranya berukuran 30–100 GT sebanyak 169

Page 137: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

116

unit dan berukuran 100-1000 GT sebanyak 107 unit, dan dari DKI Jakarta

sebanyak 6.614 unit diantaranya berukuran 30 – 100 GT sebanyak 919 unit dan

kapal ukuran 100->1000 GT 1.166 unit. Jumlah kapal berukuran 30 – 100 GT

dari WPP 9 tersebut yang berpeluang mendarat di PPN Palabuhanratu yang akan

dikembangkan tersebut sebanyak 1.240 unit (Gambar 13). Menurut Triatmojo

(1996) menyebutkan bahwa kapal sebagai sarana pelayaran mempunyai peran

sangat penting didalam sistem angkutan laut.

(2) Pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.11/ Men/ 2004 tentang

Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan, menetapkan lokasi pelabuhan

pangkalan bagi kapal yang daerah penangkapannya di WPP 9 Samudera Hindia,

adalah: Pelabuhan Perikanan Sabang-NAD, PPN Sibolga-Sumatera Utara, PPP

Pulau Tello-Sumatera Utara, PPS Bungus-Sumatera Barat, PPI Pulai Baai-

Bengkulu, PPS Nizam Zachman Jakarta, PPN Palabuhanratu-Jawa Barat, PPS

Cilacap-Jawa Tengah, PPI Sadeng-Yogyakarta, PPI Muncar-Jawa Timur, PPN

Prigi-Jawa Timur, PPI Pengambengan-Bali dan Pelabuhan Umum di Benoa-Bali.

Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pesaing bagi PPN Palabuhanratu

yang dikembangkan. Namun dari 12 pelabuhan perikanan tersebut yang dapat

didarati oleh kapal >30 GT dan merupakan pesaing bagi PPN Palabuhanratu

adalah PP Sabang, PPS Bungus, PPP Pulau Tello, PPS Nizam Zachman Jakarta,

PPS Cilacap, dan Pelabuhan Umum Benoa, atau dua diantaranya berada di Selatan

Jawa yaitu PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. Jumlah PP/PPI yang merupakan

basis kapal-kapal penangkapan ikan terdapat 216 unit (Gambar 14) yang

menghadap Samudera Hindia, maka Jawa Timur memiliki jumlah PPI/PP yang

paling banyak, yakni 24 PPI/PP (11,11%), Jawa Barat 23 PPI/PP (10,65%), Jawa

Tengah memiliki 22 PPI/PP (10,18%), dan NTB memiliki 21 PPI/PP (9,7%).

Menurut Pane et al. (2005), bahwa aktivitas perikanan tangkap pulau Jawa

terkonsenterasi di wilayah Pantai Utara Jawa dan selebihnya di Pantai Selatan

Jawa, sehingga perlu ada upaya untuk menyeimbangkan aktivitas perikanan antara

lain dengan mengembangkan perikanan dan pelabuhan perikanan di Selatan Jawa.

Page 138: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

117

20° 20°

15° 15°

10° 10°

10° 10°

15° 15°

20° 20°

90 °

90°

95°

95°

100°

100°

105°

105°

110°

110°

115°

115°

120°

120°

125°

125°

130°

130°

135°

135°

140°

140°

N

EW

S

Gambar 13 Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut daerah perairan pantai dan provinsi di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2006).

0 B

0 A

Jml U

9 B

83 A

Jml U

0 B

10 A

Jml U

0 B

0 A

Jml U

0 B

0 A

Jml U

1.166 B

919 A

Jml U

5 B

6 A

Jml U

24 B

48 A

Jml U

0B

2A

JmlU

0 B

3 A

Jml U

107 B

157 A

Jml U

0B

9A

JmlU

0B

3A

JmlU

0 B

0 A

Jml U

Keterangan :U : Ukuran kapal A : 30 – 100 GT : 1.240 UNIT B : > 100 GT : 1.311 UNIT TOTAL : 2.551 UNIT

117

Sabang

Sibolga

Bungus

Jakarta

P. Ratu Cilacap Prigi

P.Tello

P.Baai

Benoa Kupang

Page 139: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

118

20° 20°

15° 15°

10° 10°

10° 10°

15° 15°

20° 20°

90 °

90°

95°

95°

100°

100°

105°

105°

110°

110°

115°

115°

120°

120°

125°

125°

130°

130°

135°

135°

140°

140°

N

EW

S

Gambar 14 Jumlah pelabuhan perikanan dan pangkalan pendaratan ikan yang berada di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2004 (Sumber : Ditjen. Perikanan Tangkap, 2006).

0 B

0 A

24 D

1 C

Jml P

1 B

0 A

2 D

1 C

Jml P

0B

1 A

19D

0 C

JmlP

0 B

0 A

12 D

0 C

Jml P

0B

0A

10D

0C

JmlP

0 B

0 A

13 D

0 C

Jml P

0 B

1 A

0 D

0 C

Jml P

1B

0A

22D

0C

JmlP

0B

1A

21D

0C

JmlP

0B

0A

19D

0C

JmlP

1 B

0 A

23 D

0 C

Jml P

0B

0A

11D

0C

JmlP

0B

0A

21D

0C

JmlP

0B

0A

10D

1C

JmlP

Keterangan : P : Jenis Pelabuhan A : PPS : 3 B : PPN : 3 C : PPP : 3 D : PPI : 207 TOTAL : 216 PP PP DIDARATI KAPAL >30 GT : 11 PP

118

Sibolga

Bungus

Jakarta

P. Ratu Cilacap Prigi

Sabang

P.Tello

P.Baai

Benoa Kupang

Page 140: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

119

(3) Pergerakan kapal dari PPN Palabuhanratu

Adapun hubungan PPN Palabuhanratu dengan fishing ground dijelaskan

sebagai berikut (Gambar 15):

Gambar 15 Pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu dan fishing

ground.

Keterangan gambar:

Kapal menuju fishing ground

Kapal menjual ikan

= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground (WPP 9 ), mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu.

= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan ikan di tempat lain.

= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, menjual ikan di tengah laut mendarat di PPN Palabuhanratu.

= Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di pelabuhan perikanan atau PPI asal kapal atau pelabuhan perikanan lainnya atau di tengah laut.

= Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground, mendaratkan atau menjual ikan di PPN Palabuhanratu.

PPN Palabuhanratu

Cilacap, Jakarta, Binuangeun, P.Baai, Ujung Genteng, Lempasing

Fishing ground di WPP 9 Samudera Hindia

1

4

2

3

5

1

2

3

4

5

Page 141: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

120

1) Kapal berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di PPN Palabuhanratu.

Kapal-kapal jenis motor tempel berukuran <5 GT dengan alat tangkap

bagan, payang, pancing ulur, jaring rampus, jaring klitik, dan jaring dogol

yang berjumlah 266 unit (tahun 2004) melakukan operasi penangkapan ikan

harian (one day fishing) hanya di sekitar perairan pantai Sukabumi/Teluk

Palabuhanratu dengan lama tempuh dari PPN Palabuhanratu ke daerah

penangkapan ikan antara 1 – 2 jam. Musim penangkapan ikan untuk alat-alat

tersebut tergantung kepada banyaknya keberadaan ikan di laut, dan kondisi

gelombang, ombak dan angin. Walaupun musim barat, ternyata kapal-kapal

ukuran kecil ini banyak juga melakukan operasi penangkapan ikan, mungkin

mereka sudah terbiasa dengan kondisi musim barat.

Jumlah nelayan per unit penangkapan ikan antara 1–3 orang. Mereka

melaut membawa es setengah balok yang dimasukkan ke dalam box

styrofoam. BBM yang digunakan adalah bensin dan minyak tanah yang

mudah diperoleh di pelabuhan. Jenis ikan yang didaratkan berupa ikan layur,

kakap merah, kerapu, baronang, kuwe, udang, lobster, cumi-cumi, teri,

selayang dan kembung. Karena operasi penangkapannya one day fishing,

maka ikan yang didaratkan masih segar dan disukai oleh sea food restaurant.

Produksi ikan yang didaratkan oleh perahu motor tempel ini pada tahun 2004

sebanyak 1.377.854 kg atau 40,92% dari jumlah produksinya sebesar

3.367.517 kg, Pasarnya cukup bagus dan banyak penampungnya di PPN

Palabuhanratu, maka mereka tidak pernah menjual hasil tangkapannya ke

tempat pendaratan ikan lain atau menjualnya di tengah laut. Selain alasan itu,

umumnya nelayan kecil ini sudah terikat kepada pemodal/tengkulak/rentenir

dalam menjual hasil tangkapan ikannya. Dengan terikatnya nelayan kepada

tengkulak, maka sistem pelelangan ikan tidak berfungsi sehingga gedung

pelelangan ikan tidak berfungsi optimal. Akibat keterikatan nelayan kepada

tengkulak, maka nelayan tidak memperoleh harga jual ikan yang normal.

Sampai saat ini belum ada satu lembaga atau aturan pun yang dapat membantu

melepaskan keterikatan nelayan terhadap tengkulak, walaupun sudah ada

Page 142: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

121

upaya pemerintah memberikan jaminan kredit kepada nelayan melalui

perbankan.

2) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan lain

Kapal motor berukuran 5-10 GT dengan alat tangkap purse seine, gill

net dan rawai melakukan operasi penangkapan ikan dengan lama operasi

sekitar seminggu di Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng, Cidaun, dan Ujung

Kulon. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan sekitar 3–5 jam. Jumlah

ABK sebanyak 4–10 orang. Sewaktu ke laut mereka mengisi BBM solar

sekitar 600 liter, air bersih sebanyak 100 liter, dan es sebanyak 20 balok.

Semua kebutuhan melaut mereka peroleh di pelabuhan. Frekuensi keluar

kapal motor berukuran 5-10 GT pada tahun 2004 tercatat untuk unit

penangkapan purse seine sebanyak 1119 kali atau rata-rata sebulan sebanyak

93 kali, unit alat tangkap gillnet sebanyak 483 kali atau rata-rata sebulan

sebanyak 40 kali dan unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 1017 setahun

atau rata-rata sebulan sebanyak 85 kali. Frekuensi kapal masuk untuk kapal

ukuran 5-10 GT pada tahun 2004 sebanyak 187 kali untuk jenis unit alat

tangkap purse seine atau rata-rata 16 kali sebulan, sedikitnya unit alat tangkap

purse seine masuk kembali ke Palabuhanratu disebabkan antara lain

banyaknya kapal purse seine mendarat di tempat lain misalnya di Sibolga

karena kapal purse seine melakukan penangkapan ikan pada fishing ground

yang dekat dengan Sibolga.

Unit alat tangkap gillnet sebanyak 1603 kali atau 134 kali sebulan dan

unit alat tangkap pancing/rawai sebanyak 355 kali setahun atau atau rata-rata

30 kali sebulan. Setelah mereka memperoleh hasil tangkapan berupa ikan

tuna, cakalang, tongkol, layur dan jenis ikan pelagis lainnya, maka sebagian

didaratkan di PPN Palabuhanratu dan ada sebagian menjual/mendaratkan

hasil tangkapan ikan ke tempat pendaratan lain seperti di daerah Binuangeun

atau ke Ujung Genteng. Umumnya kapal dari Palabuhanratu yang

mendaratkan hasil tangkapan ke daerah lain dengan alasan harga dan layanan

di TPI di luar Palabuhanratu lebih baik.

Page 143: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

122

Kapal motor ukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan purse

seine mengisi perbekalan melaut berupa solar, es, air bersih dan makanan di

PPN Palabuhanratu. Setelah melakukan operasi penangkapan ikan selama

7–14 hari, hasil tangkapannya didaratkan di PPI Binuangeun (Banten) atau

PPI Pulau Baai (Bengkulu) atau PPI Lempasing (Lampung). Jumlah kapal

ukuran 10–30 GT yang melakukan kegiatan seperti ini berjumlah 5 unit kapal.

Kegiatannya tidak berlangsung lama, hanya sewaktu-waktu saja tergantung

pada harga ikan. Apabila harga ikan lebih baik di luar PPN Palabuhanratu,

maka kapal-kapal tersebut akan mendaratkan hasil tangkapannya ke

pelabuhan di luar PPN Palabuhanratu.

3) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di tengah laut.

Menurut informasi dari beberapa orang nelayan bahwa kapal-kapal

ukuran 10-30 GT dijalankan oleh ABK yang ditunjuk oleh pemilik kapal

(juragan), dari PPN Palabuhanratu kapal tersebut berangkat ke fishing ground,

hasil tangkapannya dijual kepada kapal-kapal lain di tengah laut tanpa

sepengetahuan pemilik kapal. Jumlah kapal seperti ini sedikit sekali (5 unit

kapal). Kegiatan ini terjadi karena ABK yang menjalankan kapal tersebut

ingin mendapatkan penghasilan lebih, akibatnya pemilik kapal sangat

dirugikan.

Kapal motor berukuran 10-30 GT dengan alat tangkap gillnet dan rawai

dengan lama operasi sampai 3 minggu mempunyai daerah pangkapan ikan di

perairan Lampung, Bengkulu, Jawa Barat Bagian Selatan dan Jawa Tengah

bagian Selatan. Waktu tempuh ke daerah penangkapan ikan antara 2-4 hari.

Jumlah ABK sebanyak 5-6 orang. Semua kebutuhan BBM, air bersih dan es

diperoleh di PPN Palabuhanratu. Sebagian kapal jenis ini setelah melakukan

operasi penangkapan akan mendaratkan hasil tangkapannya berupa ikan tuna,

cakalang, tongkol, tenggiri, layur, cucut dan jenis ikan pelagis lainnya di PPI

lain seperti di Lampung dan Bengkulu, atau ke Binuangeun. Sebagian lagi

mendaratkan hasil tangkapan ikannya ke PPN Palabuhanratu.

Mutu ikan yang didaratkan umumnya sudah menurun, dikarenakan tidak

sempurnanya palkah kapal dan buruknya penanganan ikan pasca

Page 144: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

123

penangkapan. Frekuensi kapal keluar pada tahun 2004 untuk ukuran kapal 10-

30 GT dengan alat tangkap gillnet sebanyak 147 kali dan rawai sebanyak 9

kali. Frekuensi kapal masuk pada tahun 2004 untuk ukuran 10-30 GT

sebanyak 200 kali, rawai sebanyak 54 kali.

4) Kapal-kapal yang berasal dari PPN Palabuhanratu berangkat ke fishing ground, kemudian mendaratkan/menjual ikan di PPN Palabuhanratu atau pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan lainnya atau di tengah laut.

Kapal berukuran 30-150 GT dengan alat tangkap gillnet, rawai dan long

line dengan lama operasi 2 sampai 3 bulan melakukan penangkapan ikan ke

Perairan Pantai Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu,

Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Waktu tempuh ke daerah penangkapan

ikan selama 4-5 hari. Frekuensi kapal masuk selama tahun 2004 rata-rata 27

kali per bulan (Lampiran 5) dan keluar sebanyak 24 kali per bulan (Lampiran

6). Semua kapal jenis ini sudah memiliki kelompok tangkapan, yakni mereka

sudah memiliki kapal khusus untuk mengumpulkan hasil tangkapan ikan.

Kapal-kapal tangkapan akan berkomunikasi melalui radio SSB dengan kapal

pengumpul setelah hasil tangkapannya diperoleh, kemudian kapal pengumpul

membawanya ke PPN Palabuhanratu. Semua hasil tangkapan yang

dikumpulkan tersebut sudah didata oleh kapal pengumpul untuk disampaikan

kepada petugas produksi/statistik di PPN Palabuhanratu terutama dalam

pengisian log book. Terdapat juga sebagian kecil atau sekitar 10% kapal jenis

ini setelah menangkap ikan, hasil tangkapannya dibawa ke pelabuhan lain

seperti ke PPS Nizam Zachman atau ke PPS Cilacap.

5) Kapal berasal dari tempat lain ke fishing ground mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu

Selama ini banyak kapal andon dari luar Palabuhanratu setelah

melakukan penangkapan ikan di tengah laut kemudian kapal tersebut

mendaratkan atau menjual ikan ke PPN Palabuhanratu. Ukuran kapal yang

melakukan operasi penangkapan ikan di tengah laut adalah >10 GT. Akhir-

akhir ini banyak sekali kapal-kapal melakukan kerja sama dalam satu

kelompok untuk meningkatkan pendapatan kelompok usaha penangkapan

Page 145: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

124

tersebut, sebagai contoh setiap 10 kapal longline yang sedang melakukan

operasi penangkapan di tengah laut, hasilnya langsung dikumpulkan dalam

satu kapal angkut untuk didaratkan atau dijual di PPN Palabuhanratu.

Dari uraian di atas, maka sistem pendaratan ikan dari kapal-kapal yang

berasal dari PPN Palabuhanratu beragam, tidak semua data hasil tangkapan kapal-

kapal PPN Palabuhanratu tercatat, hal ini berkaitan dengan semakin luasnya

wilayah foreland dan kapal-kapal dari PPN Palabuhanratu memiliki daerah

penangkapan yang semakin jauh ke laut bebas. Kondisi tersebut sesuai dengan

pernyataan Lubis (2002), yang menyatakan bahwa hubungan pelabuhan perikanan

dengan foreland ditandai dengan aktivitas kapal yang melalukan operasi

penangkapan di daerah fishing ground kemudian setelah memperoleh hasil maka

kapal-kapal tersebut bisa saja kembali ke pangkalan atau mendarat ke tempat

pendaratan lainnya.

Dari kelima pergerakan kapal perikanan dari PPN Palabuhanratu ke fishing

ground, maka yang paling banyak terjadi saat ini adalah bentuk pergerakan kapal

pertama, yakni kapal dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian

mendaratkan hasilnya di PPN Palabuhanratu yang diperkirakan pada tahun 2005

sebanyak 608 unit kapal atau 90%, sisanya sebanyak 10% atau 68 unit kapal

bergerak dari PPN Palabuhanratu ke fishing ground kemudian mendaratkan ikan

di tempat lain atau menjualkan ikan atau transhipment di tengah laut. Selanjutnya

dari pergerakan kapal tersebut diatas, ada beberapa hal yang kemungkinan dapat

menimbulkan masalah yakni :

1) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground

mendaratkan ikan di tempat lain menyebabkan terganggunya operasional

pelabuhan, karena produksinya tidak tercatat di Palabuhanratu dan

mengurangi pendapatan pelabuhan dan pendapatan masyarakat pemasar ikan.

Kondisi tersebut terjadi karena adanya selisih harga antara PPN

Palabuhanratu yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di tempat

lain, atau kondisi keamanan, ketertiban di tempat lain jauh lebih kondusif

dibandingkan dengan di PPN Palabuhanratu. Untuk mencegah hal tersebut

Page 146: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

125

tidak terjadi, maka PPN Palabuhanratu selain mempersiapkan fasilitas juga

melakukan pelayanan prima terhadap aktivitas-aktivitas perikanan.

2) Apabila kapal berasal dari PPN Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground,

menjual ikan di tengah laut, kemudian mendaratkan kapalnya di PPN

Palabuhanratu, juga akan mempengaruhi operasional pelabuhan. Kondisi

tersebut dapat dicegah dengan meningkatkan pengawasan oleh aparat

pengawas.

Kondisi yang diharapkan adalah kapal-kapal yang berasal dari PPN

Palabuhanratu, berangkat ke fishing ground mendaratkan ikan di PPN

Palabuhanratu atau kapal-kapal yang berasal dari tempat lain ke fishing ground,

mendaratkan atau menjual ikannya di PPN Palabuhanratu.

(4) Lokasi PPN Palabuhanratu sebagai sektor basis

Berdasarkan data PDRB sub sektor perikanan Kabupaten Sukabumi atas

dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 adalah sebesar

Rp 136.699,94 juta (Lampiran 7), PDRB seluruh sektor dalam Kabupaten

Sukabumi atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000–2004

sebesar Rp 7.366.411,51 juta (Lampiran 8), PDRB sub sektor perikanan Provinsi

Jawa Barat atas dasar harga berlaku rata-rata selama tahun 2000-2004 sebesar Rp

2.540.043,03 juta (Lampiran 9) dan PDRB seluruh sektor Provinsi Jawa Barat

atas dasar harga berlaku rata-rata setiap tahun selama tahun 2000-2004 sebesar Rp

231.985.884,60 juta (Lampiran 10), maka diperoleh nilai LQ sebagai berikut :

60,884.985.23103,043.540.251,411.366.7

44,699.136

=LQ =1,69

LQ = 1,69

LQ>1, artinya bahwa sub sektor perikanan di Kabupaten Sukabumi adalah

sektor basis. Sukabumi sebagai sektor basis akan menghasilkan produk yang

dapat di ekspor berupa ikan. Sektor basis ini apabila berkembang akan

mempengaruhi sektor non basis seperti kegiatan pelayanan jasa tenaga kerja dan

sebagainya. Sehingga arah pengembangan PPN Palabuhanratu dalam kaitannya

Page 147: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

126

sebagai lokasi sektor basis adalah bahwa PPN Palabuhanratu sebagai sentra

produksi ikan terutama ikan komoditas untuk ekspor seperti tuna.

(5) Indeks relatif nilai produksi (I)

Kualitas pemasaran ikan dari ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu

sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 ditentukan dengan menggunakan

Indeks Relatif Nilai Produksi (I).

Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu

tahun 2000 sebesar 3.515.151 kg dan Rp 3.857.799.500 (Lampiran 11) dan

produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun

2000 sebesar 4.353.000 kg dan Rp 21.791.572.500 (Lampiran 12), maka diperoleh

nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:

000.353.4000.515.3

500.572.791.21500.799.857.3

=I = 0,22

Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu

tahun 2001 sebesar 3.504.450 kg dan Rp 4.793.207.839 (Lampiran 11) dan

produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun

2001 sebesar 4.825.000 kg dan Rp 23.951.778.000 (Lampiran 12), maka diperoleh

nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:

000.825.4450.504.3

000.778.951.23839.207.793.4

=I = 0,28

Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu

tahun 2002 sebesar 3.875.468 kg dan Rp 15.335.105.315 (Lampiran 11) dan

produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun

2002 sebesar 6.286.270 kg dan Rp 31.902.950.000 (Lampiran 12), maka diperoleh

nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:

270.286.6468.875.3

000.950.902.31315.105.335.15

=I = 0,78

Page 148: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

127

Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu

tahun 2003 sebesar 4.625.763 kg dan Rp 18.154.560.568 (Lampiran 11) dan

produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun

2003 sebesar 7.069.860 kg dan Rp 35.643.248.000 (Lampiran 12), maka diperoleh

nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:

860.069.7763.625.4

000.248.643.35568.560.154.18

=I = 0,78

Berdasarkan produksi ikan dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu

tahun 2004 sebesar 6.404.179 kg dan Rp 31.566.769.254 (Lampiran 11) dan

produksi ikan dan nilai produksi ikan laut di Kabupaten Sukabumi periode tahun

2004 sebesar 9.120.320 ton dan Rp 45.601.600.000 (Lampiran 12), maka

diperoleh nilai indeks relatif nilai produksi (I) sebagai berikut:

320.120.9179.404.6

000.600.601.45254.769.566.31

=I = 0,99

Berdasarkan produksi ikan dan nilai rata-rata produksi ikan di PPN

Palabuhanratu periode tahun 2000–2004 sebesar 4.385 ton dan Rp 14.741.488.500

(Lampiran 11) dan produksi ikan dan nilai produksi ikan laut rata-rata di

Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000 – 2004 sebesar 6.330,89 ton (Lampiran

12) dan produksi (I) rata-rata sebagai berikut:

89,330.600,385.4

700.229.778.31500.488.741.14

=I = 0,67

Jika dilihat indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu (I) selama

periode tahun 2000-2004, maka diperoleh perkembangan indeks relatif nilai

produksinya seperti pada Tabel 27.

Page 149: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

128

Tabel 27 Nilai indeks relatif nilai produksi (I) PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2004

Tahun Indeks relatif nilai produksi

(I) Keterangan

2000 0,22 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

2001 0,28 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

2002 0,78 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

2003 0,78 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

2004 0,99 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

Rata-rata 0,67 Kualitas pemasaran PPNP lebih rendah dari Sukabumi

Berdasarkan Tabel 27, terlihat bahwa indeks relatif nilai produksi dari tahun

ke tahun terjadi peningkatan bahkan pada tahun 2004 nilainya hampir mendekati

angka 1, artinya bahwa kualitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu selalu

mengalami perbaikan kualitas setiap tahun. Sehingga berdasarkan indeks relatif

nilai produksi tersebut, maka arah pengembangan PPN Palabuhanratu adalah

melakukan upaya agar mutu produk ikan dapat dipertahankan mulai dari

penangkapan ikan di laut, penanganan ikan di atas kapal sampai ke pelabuhan dan

persiapan distribusinya. Kemudian mekanisme pemasaran ikan melalui mekanime

pelelangan ikan agar dibenahi terutama tentang manajemen pengelolaan

pelelangan ikan dan bakul. Dengan cara mempertahankan mutu dan pelaksanaan

penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan ikan maka harga atau nilai ikan

akan semakin besar dan pada akhirnya akan menaikkan pendapatan nelayan.

(6) Kapasitas kolam pelabuhan

PPN Palabuhanratu saat ini memiliki 2 kolam. Fungsi kolam PPN

Palabuhanratu saat ini selain untuk tempat berlabuh, juga sebagai tempat istirahat

dan seringkali juga untuk tempat perbaikan ringan kapal. Kondisi kolam sangat

tenang karena kolam terlindung oleh dermaga dan breakwater. Tinggi maksimum

gelombang di kolam sekitar 50 cm terjadi pada saat musim barat. Kolam juga

Page 150: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

129

relatif aman terhadap pengaruh sedimentasi karena kuantitas sedimen yang masuk

ke kolam relatif sedikit.

Tabel 28 Kondisi kolam PPN Palabuhanratu tahun 2007

Kolam Luas (ha)

Kedalaman (m)

Kapasitas (unit)

Jlh kapal (unit) di kolam bln Maret 2007

Keterangan

I

II

3

2

1,2, dan 3

4

125

40

334

24

Penuh

Lebih dari setengah kolam

digunakan Sumber: Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, 2006.

Kolam I memiliki luas 3 ha dengan kedalaman 1,5 m, 2 m dan 3 m. Kolam I

dipenuhi oleh kapal-kapal berukuran <30 GT. Pada saat musim barat yang terjadi

pada bulan Maret 2007, di kolam I terdapat 334 unit kapal (terdiri dari 215 unit

kapal ukuran <5 GT dan 119 unit kapal ukuran 5-30 GT) dan di kolam II

sebanyak 24 unit kapal (ukuran kapal 30-150 GT). Kondisi kolam II cukup tenang

dengan luas kolam 2 ha dan kedalaman kolam 4 m, berkapasitas 40 kapal yang

berukuran 30 – 150 GT. Penuhnya kolam disebabkan oleh banyaknya kapal yang

tidak melaut akibat biaya operasional semakin tinggi dan kurang lamanya musim

ikan atau kondisi kapal sedang docking atau rusak atau sedang diservis atau

sedang musim barat. Sehingga arah pengembangan kolam sebaiknya diperluas

Tabel 29 Kondisi jumlah kapal di kolam tahun 2005

Jenis kapal Rata-rata keluar

(kali)/hari

Rata-rata masuk

(kali)/hari

Jumlah kapal di kolam yang sedang docking/

rusak/ servis(unit) tahun 2005

Perahu motor tempel KM 10-20 GT KM 20-30 GT KM 30-150 GT Jumlah

60,1

19,7 1,1 0,3 81,2

60,3

19,8 1,1 0,3 81,5

368

132 27 67

594 Sumber: Diolah dari data statistik PPN Palabuhanratu tahun 2005.

Page 151: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

130

(7) Persaingan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan 6 unit pelabuhan perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia

Berdasarkan metode skalogram, maka diperoleh nilai indeks hierarki (Ii)

berdasarkan fasilitas, pendidikan sumberdaya manusia, jenis ikan, jenis alat

tangkap dan jenis kapal dari 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera

Hindia seperti pada Tabel 30, 31, 32, 33 dan 34.

Tabel 30 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 5 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas tahun 2005.

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis

Fasilitas Index A Index B PPS Jakarta 58 93,1 12,723PPN Palabuhanratu - Jabar 54 88,9 11,897

PPS Bungus- Sumbar 47 77,1 10,376PPS Cilacap - Jateng 47 63,3 10,100PPN Prigi - Jatim 39 53,9 8,472PPN Sibolga - Sumut 32 43,7 6,890

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot fasilitas. Berdasarkan Tabel 30 bahwa nilai indeks hierarki untuk persaingan

pelabuhan berdasarkan fasilitas ternyata PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan

pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis fasilitas dengan nilai 58

maupun dari segi kelangkaan dengan nilai 93,1 dan dari segi bobot fasilitas

dengan nilai 12,7. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan fasilitas

seperti pada Lampiran 16.

Hasil persaingan pendidikan sumberdaya manusia berdasarkan strata

pelabuhan seperti pada Tabel 31. Berdasarkan sumberdaya manusia pengelola

pelabuhan bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit

pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis pendidikan SDM

pengelola pelabuhan dengan nilai 7, bobot kelangkaan dengan nilai 10,2 dan

bobot SDM pengelola pelabuhan dengan nilai 2,4. Hasil perhitungan persaingan

pelabuhan berdasarkan jumlah jenis pendidikan SDM pengelola pelabuhan seperti

pada Lampiran 17.

Page 152: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

131

Tabel 31 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan (starata) sumberdaya pengelola pelabuhan tahun 2005

Pelabuhan Perikanan Jumlah Jenis

Pendidikan SDM Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,4 PPS Jakarta 6 7,4 2,1 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 2,1 PPS Bungus- Sumbar 5 5,9 1,8 PPN Prigi - Jatim 5 5,9 1,6 PPN Sibolga - Sumut 4 6,2 1,4

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis pendidikan SDM.

Berdasarkan jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan di pelabuhan

(Tabel 32), bahwa PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit

pelabuhan perikanan lainnya baik dari segi jumlah jenis ikan yang didaratkan

dengan nilai 34, bobot kelangkaan dengan nilai 94,4 dan bobot jenis ikan dengan

nilai 7,3. Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis ikan

ekonomis penting seperti pada Lampiran 18.

Tabel 32 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis ikan ekonomis penting tahun 2005

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 34 94,4 7,3 PPS Cilacap – Jateng 28 73,4 6,1 PPN Prigi – Jatim 18 33,9 3,9 PPS Jakarta 15 22,9 3,3 PPN Sibolga – Sumut 9 13,4 2,0 PPS Bungus- Sumbar 6 14 1,3

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis ikan.

Page 153: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

132

Tabel 33 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis alat penangkapan ikan tahun 2005

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis alat

penangkapan ikan Index A Index B PPN Palabuhanratu - Jabar 11 32,6 2,760 PPS Jakarta 7 24,6 1,943 PPN Prigi - Jatim 7 19,4 1,864 PPN Sibolga - Sumut 5 10,4 1,226 PPS Bungus- Sumbar 3 3,6 0,706 PPS Cilacap - Jateng 3 5,4 0,723

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot jenis alat penangkapan ikan

Berdasarkan jenis alat penangkapan ikan di pelabuhan (Tabel 33), bahwa

PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan

lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 11, bobot kelangkaan

dengan nilai 32,6 dan bobot jenis alat tangkap dengan nilai 2,76. Hasil

perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan jenis alat penangkapan ikan seperti

pada Lampiran 19.

Tabel 34 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan jenis kapal (GT) tahun 2005

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ukuran

kapal Index A Index B PPS Jakarta 7 13,4 2,107 PPN Palabuhanratu - Jabar 7 10,4 2,057 PPS Cilacap - Jateng 6 7,4 1,707 PPS Bungus- Sumbar 5 5,4 1,387 PPN Sibolga - Sumut 5 5,4 1,387 PPN Prigi - Jatim 4 6 1,152

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan. Index B = bobot jenis kapal. Berdasarkan ukuran kapal di pelabuhan (Tabel 34), bahwa PPS Jakarta dan

PPN Palabuhanratu lebih unggul dibandingkan dengan 4 unit pelabuhan perikanan

lainnya baik dari segi jumlah jenis alat tangkap dengan nilai 7, PPS Jakarta

Page 154: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

133

dengan bobot kelangkaan sebesar 13,4 dan bobot ukuran kapal dengan nilai 2,107.

Hasil perhitungan persaingan pelabuhan berdasarkan ukuran kapal seperti pada

Lampiran 20.

Berdasarkan perhitungan di atas, maka secara keseluruhan hasil perhitungan

persaingan seperti Tabel 35.

Tabel 35 Hasil perhitungan persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia tahun 2005

Jenis persaingan Fasilitas SDM Ikan Alat

tangkap Kapal Pelabuhan

Perikanan A B C A B C A B C A B C A B C

PPN Palabuhanratu 54 89 12 7 10 2 34 94 7 11 33 3 7 10 2 PPS Jakarta 58 93 13 6 7 2 15 23 3 7 25 2 7 13 2 PPS Cilacap 47 63 10 6 7 2 28 73 6 3 5 1 6 7 2 PPN Prigi 39 54 9 5 6 2 18 34 4 7 19 2 4 6 1 PPS Bungus 47 77 10 5 6 2 6 14 1 3 4 1 5 5 1 PPN Sibolga 32 44 7 4 6 1 9 13 2 5 10 1 5 5 1

Keterangan : A = jenis. B = bobot kelangkaan. C = bobot jenis.

Persaingan 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

diperoleh hasil bahwa PPN Palabuhanratu unggul dari segi jenis pendidikan SDM

pengelola pelabuhan, jenis ikan ekonomis penting yang didaratkan dan jenis alat

penangkapan ikan. PPS Jakarta unggul dari segi jenis fasilitas dan jenis kapal.

5.3.3 Daerah distribusi hasil tangkapan PPN Palabuhanratu

Luasnya daerah distribusi sangat tergantung kepada teknik pengolahan,

pengaturan sarana transportasi, konsentrasi konsumen dan kebiasaan makan

konsumen (Lubis, 2002).

(1) Daerah distribusi berdasarkan pada teknik pengolahan

Di PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan ikan masih

didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pindang, pengasinan, terasi,

kerupuk kulit ikan. Terdapat pula produk olahan lain seperti bakso ikan, fish

nugget dan abon ikan. Ikan-ikan segar yang dikumpulkan oleh pengusaha cold

storage selanjutnya dilakukan processing-nya kemudian diekspor ke negara lain

Page 155: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

134

melalui Jakarta. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih didominasi oleh

teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas hanya di dalam

negeri, dengan daerah pendistribusian ke Jakarta, Bandung, Cianjur, Sukabumi.

Ikan-ikan segar seperti tuna dan layur diekspor ke Jepang dan Korea. Arah tehnik

pengolahan ikan lebih mengutamakan mutu sehingga program cold chain system

harus dijalankan terutama untuk ikan-ikan segar yang akan diekspor ataupun

untuk konsumsi lokal. Menurut Hanafiah (1983) bahwa cold chain system

mencakup penggunaan metode-metode icing, chiling dan freezing pada hasil

perikanan selama proses-proses pengangkutan, penyimpanan dan penjualan

sehingga kesegaran dari hasil perikanan tersebut dapat dipertahankan. Peranan

pelabuhan didalam penyiapan cold chain system adalah melengkapi kapasitas

pabrik es, menyiapkan atau memfasilitasi adanya cool room dan mobil truck

freezer. Daerah distribusi ikan mencapai negara Jepang atau Korea bahkan

sampai ke pasar Uni Eropa atau Amerika untuk produk ikan segar terutama ikan

tuna. Diupayakan pula peningkatan teknik pengolahan tradisional dan

diversifikasi hasil olahan terutama dalam menjaga hygienitas produk. Diharapkan

dalam jangka pendek daerah distribusi ikan dari Palabuhanratu tidak akan

mengalami perubahan karena melemahnya kondisi perekonomian dalam negeri

termasuk sektor perikanan tangkap.

(2) Sarana transportasi

Sarana transportasi berkaitan dengan masalah pengangkutan. Menurut

Hanafiah (1983), bahwa pengangkutan berarti bergeraknya atau pemindahan

barang-barang dari tempat produksi dan / atau tempat penjualan ke tempat-tempat

dimana barang-barang tersebut akan dipakai. Pengangkutan dengan bantuan

komunikasi akan memperluas daerah pasar dari barang. Pengangkutan hasil-hasil

perikanan yang sifatnya cepat dan mudah rusak itu memerlukan kecepatan dan

perawatan serta handling tambahan selama di perjalanan. Perkembangan teknologi

dibidang pengangkutan darat, laut dan udara telah memberikan sumbangan sangat

berarti bagi distribusi hasil perikanan. Pengangkutan tersebut dapat dilaksanakan

dengan cepat dan volume lebih besar. Perkembangan refrigerated transportation

telah memungkinkan pengangkutan jarak jauh untuk hasil perikanan. Kondisi

sarana transportasi hasil perikanan dari PPN Palabuhanratu ke luar dengan

Page 156: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

135

menggunakan sarana transportasi darat berupa kendaraan roda empat (mobil pick

up), truk cool room, truk freezer dan angkutan kendaraan roda dua untuk jarak

yang lebih dekat. Arah pengembangan sarana transportasi adalah menyiapkan

sarana transportasi darat yang memenuhi syarat untuk mengangkut hasil perikanan

yakni dalam bentuk kendaraan roda empat yang memiliki cool room dan freezer

sehingga jangkauan pengangkutan produk semakin luas dan jauh. Selama ini

pengangkutan produk melalui udara diangkut dari Palabuhanratu ke pabrik

pengepakan ikan di Jakarta kemudian diangkut keluar negeri dengan pesawat

udara. Adanya rencana pemerintah provinsi untuk menyiapkan lapangan udara di

Palabuhanratu sangat mendukung arah pengembangan transportasi pengangkutan

ikan yang lebih cepat dengan volume yang lebih besar dan menerapkan prinsip-

prinsip cold chain system. Angkutan melalui laut tetap menggunakan pelabuhan

umum di Jakarta untuk keperluan ekspor.

(3) Konsentrasi dan kebiasaan makan konsumen

Semua kegiatan distribusi ditujukan untuk menyediakan kepada konsumen

berupa ikan pada waktu, tempat dan dalam waktu yang diinginkan. Menurut

Hanafial (1983) bahwa distribusi ikan dilakukan produsen, wholesaler ataupun

retailer harus dimulai dengan menganalisa konsumen antara lain berapa jumlah

konsumen, tempat tinggal mereka, berapa pendapatan mereka, serta bagaimana

penggunaannya, apa kesukaannya bagaimana susunan kebutuhan mereka dan

sebagainya.

Tingkat konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia tahun 2005 masih

rendah yakni sebesar 22,76 kg/kapita/tahum (Barani, 2006), belum sesuai dengan

standar FAO sebesar 30 kg/kapita/tahun dan jika dibandingkan dengan negara

Jepang yang tingkat konsumsi ikan penduduknya mencapai 150 kg/kapita/tahun,

Malaysia 48 kg/kapita/tahun dan Thailand 32,4 kg/kapita/tahun (Ditjen. Perikanan

Tangkap, 2006). Masih rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat di Indonesia

disebabkan antara lain adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau

memilih ikan sebagai pilihan menu utamanya dan tingkat pendapatan yang belum

mampu untuk membeli ikan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, tingkat

pendapatan dan kesadaran pentingnya ikan sebagai sumber protein yang rendah

kolesterol maka kebutuhan ikan akan semakin meningkat. Dalam hal ini

Page 157: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

136

diperlukan peranan pelabuhan untuk mendistribusikan ikan bermutu ke daerah

konsumen dalam jumlah yang cukup.

Distribusi produk perikanan dari Palabuhanratu selama ini terkonsentrasi

pada konsumen di daerah Jakarta dan Jawa Barat yang jumlah penduduknya

menurut hasil sensus penduduk dari Biro Pusat Statistik tahun 2000 sekitar 44

juta. Jumlah konsumen akan bertambah banyak akibat dari peningkatan jumlah

produksi. Permintaan akan produk perikanan akan bertambah dan semakin

berkualitas akibat dari semakin berubahnya selera konsumen akibat bertambahnya

pendapatan dan semakin banyaknya tempat-tempat penjualan ikan baik dipasar

tradisional maupun di supermarket serta akibat pengaruh melemahnya permintaan

akan produk protein dari daging sapi, ayam karena adanya wabah flu burung dan

penyakit sapi gila (Direktorat Standardisasi dan Akreditasi, 2005). Tuntutan

makanan yang bergizi dan rendah kolesterol banyak terdapat pada produk

perikanan sehingga jumlah permintaan ikan akan meningkat. Peranan pelabuhan

perikanan terhadap konsentrasi konsumen adalah mempersiapkan produk ikan

yang didaratkan dan ikan yang didistribusikan dalam keadaan bermutu baik

sehingga pelabuhan perikanan harus mempersiapkan hygienitas penanganan ikan

di pelabuhan perikanan. PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium

bina mutu guna dipakai sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar

dari PPN Palabuhanratu.

(4) Pemasaran ikan di hinterland

Pemasaran ikan di hinterland akan dijelaskan mulai dari PPN

Palabuhanratu, hinterland primer, hinterland sekunder dan hinterland perpaduan.

1) Pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu

Terdapat dua bentuk kegiatan pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu yakni

yang mengikuti pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan (TPI) dan tidak

melalui TPI (Gambar 16). Ikan-ikan yang tidak dilelang ada yang berasal dari

pendaratan langsung dan ada dari ikan-ikan yang berasal dari luar pelabuhan

masuk melalui jalan darat seperti ikan-ikan dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun,

Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji. Kondisi ini dikarenakan ikan-

ikan dari daerah tersebut yang masuk ke PPN Palabuhanratu telah

Page 158: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

137

memperlihatkan surat keterangan asal ikan dan telah membayar retribusi di

tempat asal ikan tersebut sehingga di PPN Palabuhanratu tidak membayar

retribusi lagi. Ikan-ikan dari luar Palabuhanratu melalui darat terjadi pada saat di

Palabuhanratu tidak musim ikan guna memenuhi bahan baku untuk unit

pengolahan pindang.

Gambar 16 Pola pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2004.

Penjualan ikan melalui pelelangan ikan di TPI harus mengikuti aturan

sebagaimana yang diatur oleh Perda Provinsi No 8 dan 9 tahun 2000, antara lain

bahwa semua ikan yang didaratkan diharuskan untuk dilelang di TPI, dikecualikan

untuk ikan-ikan sebagai lauk-pauk, hasil tangkapan yang diperoleh dari

penangkapan yang bertujuan olah raga dan hasil penangkapan untuk kepentingan

Bakul

Produksi ikan PPN Palabuhanratu

TPI

Agen longline

Cold storage di Jakarta

Ekspor melalui Jakarta

Konsumen lokal

Agen layur

Cold storage P.Ratu

Ekspor melalui Jakarta

Non TPI

Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat

Ikan didaratkan langsung di dermaga PPNP

Pengecer Pengolah

Agen Ikan segar untuk

konsumsi lokal Pengecer

Non TPI

Konsumen luar Palabuhanratu : Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor

Ke Jepang Ke Korea

Pengecer Pengolah

Konsumen lokal

Page 159: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

138

penelitian. Ikan-ikan yang dilelang adalah ikan dengan kategori baik secara

organoleptik. Sampai bulan Oktober dalam tahun 2005 tercatat jumlah ikan yang

dilelang sebesar 1.469.763 kg dengan nilai Rp 4.541.600.000,00 (Lampiran 13).

Jika dibandingkan dengan produksi ikan PPN Palabuhanratu (Lampiran 14), maka

jumlah ikan yang dilelang dalam kurun waktu yang sama hanya 22,76% dari total

produksi pelabuhan sebesar 6.099.116 kg. Rendahnya produksi ikan yang dilelang

penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen KUD sebagai pengelola TPI.

Jumlah ikan yang masuk melalui darat sampai bulan Nopember dalam

tahun 2005 tercatat sebesar 4.560.244 kg atau 75,77% dari produksi ikan yang

didaratkan langsung atau 43,11% dari jumlah produksi seluruh pelabuhan sebesar

10.578.535 kg.

Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan di TPI Palabuhanratu adalah sebagai

berikut:

1) Setelah kapal melaporkan kedatangannya ke petugas pelabuhan, maka kapal

akan mendapatkan nomor urut pendaratan di dermaga.

2) Setelah ikan didaratkan di dermaga di depan TPI, pemilik harus melapor

kepada petugas TPI.

3) Ikan dicuci dengan air laut, kemudian dipisahkan menurut jenis dan ukuran

untuk menentukan harga, dimasukkan kedalam keranjang yang disediakan

oleh pengelola TPI.

4) Ikan ditimbang oleh petugas TPI, kemudian ikan yang sudah ditimbang

mendapat label/karcis yang berisikan nama pemilik dan nomor urut lelang.

5) Para bakul/pembeli diijinkan untuk melihat ikan-ikan yang akan dilelang.

6) Lelang dilaksanakan secara terbuka dan bebas. Penawaran dimulai dengan

harga terendah. Penawaran tertinggi dinyatakan sebagai pemenang dan berhak

menjadi pembeli ikan yang dilelang. Pemenang lelang dicatat dalam karcis

lelang.

7) Bakul sebagai pembeli membayar tunai hasil pembeliannya kepada petugas

TPI ditambah biaya retribusi lelang 3%. Apabila pembayaran tidak tunai,

maka harus ada persetujuan dari manajer TPI.

8) Pihak TPI membayarkan hasil pelelangan kepada nelayan setelah dipotong

retribusi sebesar 2%.

Page 160: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

139

9) Kemudian ikan masuk ke ruang pengepakan untuk selanjutnya didistribusikan

ke luar TPI.

Berbagai pihak yang terlibat dalam pelelangan ikan adalah nelayan sebagai

penjual, bakul sebagai pembeli dan KUD Mina Sinar Laut sebagai penyelenggara

lelang. Permasalahan dalam pelelangan ikan adalah belum tertibnya pelaksanaan

pelelangan ikan, seperti para bakul tidak menitip uang jaminan lelang karena

bakul-bakul kurang memiliki modal, dengan kata lain setelah pelelangan

dilaksanakan nelayan peserta lelang tidak memperoleh uang tunai dari bakul

sebagai pembeli. Bakul sudah dapat membayar uang lelang kepada nelayan

tersebut setelah beberapa hari kemudian (5 hari). Kondisi ini terjadi karena bakul

menunggu uang hasil pembelian ikan dari pihak konsumen (pengolah dan

pengusaha cold storage). Apabila bakul tidak dapat membayar hasil lelang maka

seharusnya pihak KUD Mina sebagai penyelenggara lelang harus bertanggung

jawab terhadap kasus tersebut. Jumlah bakul/pembeli besar di TPI sebanyak 144

orang dan pengecer ikan segar 51 orang. Selain itu ada sebanyak 32 orang tenaga

kerja bongkar muat ikan yang terlibat di TPI. Pengurus kapal/penjual ada

sebanyak 171 orang.

Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengusaha perikanan bahwa

solusi terhadap permasalahan pelelangan ikan antara lain dapat ditempuh melalui :

1) Menghadirkan investor lain selain bakul untuk membeli hasil pelelangan ikan.

Diharapkan pemerintah daerah dapat mengundang pengusaha untuk

membantu pembelian ikan di pelelangan. Ajakan tersebut dapat melalui

promosi atau temu mitra usaha. Alternatif lain, para bakul diberikan kredit

murah sebagau jaminan untuk mengikuti pelelangan ikan.

2) Manajemen KUD sebagai pelaksanan lelang harus dilakukan perombakan,

terutama untuk memasukan tenaga yang berpendidikan dan berpengalaman

dalam bidang perkoperasian

Peranan pelabuhan perikanan dalam mengembangkan sistem pelelangan

ikan adalah untuk menciptakan sistem pelelangan sesuai dengan aturan dan

mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan

nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan

pedagang pengumpul.

Page 161: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

140

Ikan yang didaratkan langsung dijual melalui non TPI:

1) Ikan-ikan tuna segar yang didaratkan oleh kapal longline selama bulan Januari

sampai dengan bulan September 2005 sebanyak 1.170.538 kg atau rata-rata

sebulan sebanyak 4,58 ton per hari. Ikan-ikan tersebut selanjutnya diurus oleh

agen untuk segera diangkut menggunakan mobil cool box ke Jakarta.

Sesampainya di Jakarta diproses untuk tujuan ekspor.

2) Semua ikan hasil pancingan dalam bentuk segar ditampung oleh agen

penjualan/ lapak yang merangkap tengkulak, kemudian dijual ke bakul/

pengecer dan konsumen lokal, atau ke restoran-restoran.

Ikan layur segar dijual oleh agen penjual ke perusahaan cold storage yang

ada di Palabuhanratu. Ikan-ikan layur tersebut diproses pengepakannya dan

dimasukkan kedalam cold storage, kemudian diekspor. Kegiatan pemasaran ikan

di luar sistem pelelangan ikan diarahkan kepada tuntutan pasar secara bebas dan

peranan pelabuhan perikanan mempersiapkan atau memfasilitasi adanya fasilitas

untuk menampung produk perikanan baik dalam bentuk lahan maupun gudang-

gudang untuk industri perikanan menciptakan iklim yang kondusif dilingkungan

pelabuhan perikanan sehingga pengusaha dapat berusaha tanpa gangguan.

2) Hinterland primer

Hinterland primer adalah daerah distribusi untuk ikan-ikan segar. Pada

tahun 1993, tercatat ikan segar yang didistribusikan sebesar 93.240 kg dan naik

menjadi 3.397.443 kg pada tahun 2005, atau rata-rata kenaikan sebesar 30,77%.

Jumlah ikan yang didistribusikan tertinggi adalah sebanyak 3.397.443 kg pada

tahun 2005 dan terendah sebanyak 52.192 kg pada tahun 1995. Gambar 17

menunjukkan perkembangan distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode

tahun 1993-2005.

Tujuan distribusi terbanyak adalah ke Jakarta pada tahun 2004 yaitu sebesar

1.312.381 kg (81,74%), sebagian besar untuk tujuan ekspor ke Cina, Jepang dan

Korea yang diangkut dengan pesawat terbang melalui bandara Soekarno Hatta.

Selebihnya didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bandung, Bogor,

Cikotok, Cianjur dan Cirebon. Wilayah distribusi tersebut menurut Lubis (2002)

termasuk dalam hinterland primer. Wilayah hinterland primer dalam negeri

Page 162: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

141

tersebut terfokus kepada produk ikan yang bukan komoditas ekspor untuk

memenuhi pasaran dalam negeri seperti supermarket, restoran dan pasar retail

yang menyiapkan fasilitas untuk penjualan ikan segar.

53

1385

1986

3398

1605

580

11001187

634192102

10493

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Jum

lah

(Ton

)

Arah pengembangan hinterland primer lebih diutamakan untuk memasarkan

produk ikan segar ke luar negeri karena lokasi PPN Palabuhanratu termasuk

lokasi sektor basis yang mana produk unggulannya berupa ikan tuna dan ikan

layur yang merupakan komoditas ekspor, sehingga ikan segar lebih dominan

untuk diekspor ke negara Jepang, Amerika, Korea, Taiwan bahkan sampai ke

negara Uni Eropa.

3) Hinterland sekunder

Hinterland sekunder atau tidak langsung adalah hinterland yang merupakan

daerah distribusi ikan hasil pengolahan dan hasil pembekuan (Lubis, 2002). Jenis-

jenis ikan olahan di PPN Palabuhanratu yang didistribusikan adalah pindang, ikan

asin dan abon. Volume distribusi ikan pindang mengalami perkembangan, yakni

dari 60 ton pada tahun 1993, naik menjadi 1.747 ton pada tahun 2005 atau rata-

rata kenaikan sebesar 89,51%. Kenaikan tersebut disebabkan oleh tersedianya

bahan baku yang cukup berupa ikan cakalang untuk dijadikan pindang. Adanya

kenaikan permintaan pindang oleh daerah konsumen di Sukabumi, Cibadak,

Bogor, Jakarta dan Cianjur (Gambar 18).

Gambar 17 Distribusi ikan segar dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.

Page 163: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

142

Ikan pindang ini didistribusikan ke Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor,

Cianjur, dan Bandung dengan jumlah distribusi terbanyak ke Bogor dan Bandung.

Jumlah unit pengolahan/rumah tangga perikanan adalah pemindangan 27 RTP dan

108 rumah tangga buruh perikanan (RTBP), pengeringan 30 RTP dan 90 RTBP,

pendinginan/segar 20 RTP dan 91 RTBP, pembekuan 1 RTP dan 15 RTBP, terasi

6 RTP dan 22 RTBP, bakso ikan 5 RTP dan 10 RTBP, abon ikan 2 RTP dan 50

RTBP dan kerupuk ikan 2 RTP dan 11 RTBP.

206

930777 772

1.747

1.0531.222

870845

27147

2660

0200400600800

1.0001.2001.4001.6001.8002.000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tahun

Prod

uksi

(To

n)

Unit pengolahan atau rumah tangga perikanan (RTP) tersebut berada di

dalam pelabuhan seperti 2 unit cold storage dan lainnya berada tersebar di

Palabuhanratu. Saat ini terdapat tiga unit perusahaan cold storage milik Korea di

Palabuhanratu, terutama menampung ikan layur untuk diekspor ke Korea.

Ikan-ikan asin dibuat oleh pengolah ikan asin yang berada di sepanjang

pantai Sukabumi. Bahan-bahan ikan asin umumnya berasal dari PPN

Palabuhanratu yang merupakan hasil tangkapan bagan dan sebagian kecil dari

ikan-ikan hasil tangkapan pancingan. Tahun 2004, jumlah ikan asin dari

Palabuhanratu yang didistribusikan ke kota Palabuhanratu, Sukabumi, Bogor,

Cianjur dan Bandung sebesar 707.385 kg atau pendistribusian terbanyak adalah

ke Sukabumi dan Bogor.

Menurut Mahyuddin et al. (2005), Saat ini telah berkembang luas

pemakaian formalin terhadap produk ikan di kalangan pedagang ikan di PPN

Gambar 18 Distribusi ikan pindang dari PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.

Page 164: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

143

Palabuhanratu. Kondisi ini selain mengakibatkan rusaknya kesehatan masyarakat

yang memakan produk perikanan berformalin tersebut, juga membuat lemahnya

kualitas pemasaran di PPN Palabuhanratu. Pihak pelabuhan sejak tahun 2005

telah memiliki laboratorium sendiri dalam memeriksa kandungan formalin pada

ikan. Berdasarkan hasil pengujian formalin yang telah dilaksanakan terhadap

beberapa jenis ikan segar dan ikan olahan yang dijual di pasar ikan PPN

Palabuhanratu, serta produk ikan olahan dari pengolah Palabuhanratu, diperoleh

bahwa beberapa ikan segar seperti ikan marlin, ikan layur, cumi-cumi, kembung

dan peperek mengandung formalin. Jenis olahan ikan asin seperti cumi asin, pari

asin, jambal roti asin positif mangandung formalin. Pemakaian formalin secara

bebas terjadi karena ada dorongan dari pedagang pengecer untuk mempertahan

mutu ikan dengan harga yang murah sehingga kualitas ikan dan harganya dapat

dipertahankan tanpa memperhatikan bahayanya terhadap kesehatan manusia.

Selain itu lemahnya pengawasan terhadap penjualan formalin dan pemakaian

formalin pada produk perikanan serta belum adanya bahan pengganti formalin

sebagai bahan pengawet ikan

Saat ini pihak manajemen pelabuhan telah memasang spanduk tentang

bahaya penggunaan formalin sebagai bahan pengawet ikan. Pihak PPN

Palabuhanratu telah melakukan kerja sama dengan pihak POLRI guna mencegah

penggunaan formalin. Pihak POLRI telah menggunakan laboratorium milik PPN

Palabuhanratu untuk melakukan pengujian formalin.

Secara keseluruhan mekanisme pendistribusian ikan yang didaratkan di

PPN Palabuhanratu dan dari luar PPN Palabuhanratu pada tahun 2005 terlihat

pada Gambar 19.

Arah pengembangan hinterland sekunder adalah untuk mendistribusikan

ikan-ikan olahan dalam bentuk ikan beku, ikan pindang, ikan asin dan produk ikan

olahan lainnya untuk tujuan ekspor ataupun dipasarkan di dalam negeri. Ikan

beku yang di produksi oleh perusahaan cold storage bertujuan untuk melakukan

ekspor ikan beku ke luar negeri seperti ikan layur beku dipasarkan ke Korea, ikan

tuna beku dipasarkan ke Jepang dan sebagiannya lagi untuk keperluan pembuatan

ikan kaleng dan pindang. Ikan pindang, ikan asin dan produk ikan olahan lainnya

adalah komoditas untuk pasaran dalam negeri.

Page 165: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

144

4) Hinterland perpaduan

Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland adalah suatu hinterland

yang merupakan wilayah pendistribusian ikan dari beberapa pelabuhan perikanan

yaitu dari pelabuhan perikanan besar dan kecil atau dari beberapa pelabuhan

perikanan yang sama besar atau sama kecil (Lubis, 2002). Hinterland perpaduan

dari PPN Palabuhanratu adalah kota-kota Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor,

Cianjur dan Cirebon serta ekspor ke luar negeri (ke Jepang dan Korea). Pada

daerah-daerah tersebut dipasok juga ikan-ikan dari pelabuhan perikanan lain

seperti dari Pekalongan, Pati, Tegal, Batang, Indramayu, Lampung dan daerah

lain di luar Jawa. Hal ini dikarenakan kebutuhan ikan untuk daerah-daerah

tersebut cukup besar walaupun tingkat rata-rata konsumsi ikan penduduknya di

Gambar 19 Distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu tahun 2005.

Produksi ikan PPN Palabuhanratu 12.173.099 kg

Ikan dari luar PPNP lewat jalan darat

5.872.569 kg

Ikan didaratkan langsung di

dermaga PPNP 6.600.530 kg

Pal.ratu (9%) Sukabumi (1%) Bandung (2%) Bogor (0%) Jakarta (82%) Ekspor (6%)

Pal.ratu (5%) Sukabumi (34%) Bogor (31%) Cianjur (24%) Bandung (6%)

Pal.ratu (12%) Sukabumi (13%) Bogor (23%) Cianjur (25%) Bandung (21%) Garut (6%)

Pal.ratu (100%)

Ikan segar 3.397.443 kg

Ikan asin 1.452.585 kg

Ikan pindang bahan baku dari PPNP 1.747. 187 kg Ikan pindang bahan baku dari luar 5.872.569 kg

Proses lainnya 3.315 kg

Page 166: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

145

bawah rata-rata konsumsi ikan nasional pada tahun 2005 yakni sebesar 22,76

kg/kapita/tahun (Barani, 2006). Tingkat konsumsi ikan daerah Sukabumi 16,82

kg/kapita/tahun. Umumnya ikan-ikan dari Pantai Utara Jawa adalah ikan untuk

konsumsi lokal, sedangkan ikan-ikan dari kawasan Timur Indonesia yang

mendarat di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru Jakarta

adalah ikan-ikan untuk diekspor.

Hinterland perpaduan Jakarta selain hasil tangkapan dari PPN

Palabuhanratu juga dari tempat-tempat pendaratan ikan di sepanjang Pantai

Sukabumi yaitu PPI Cisolok sebesar 244 ton, PPI Ujung Genteng sebesar 459 ton,

tempat pendaratan ikan Cibitung sebesar 77 ton, tempat pendaratan ikan Tegal

Buled sebesar 85 ton, PPI Mina Jaya sebesar 420 ton, PPI Ciwaru sebesar 1.331

ton, PPI Loji sebesar 480 ton, tempat pendaratan ikan Cipatuguran sebesar 407

ton dan PPI Cibanban sebesar 452 ton pada tahun 2005. Adapun jenis-jenis ikan

yang dikirim ke daerah hinterland perpaduan di Jakarta adalah ikan cakalang,

layur, tongkol dan tuna serta ikan demersal seperti ikan kuwe, udang lobster.

Selain dari PPI di sepanjang pantai Sukabumi, Jakarta juga mendapat pasokan

ikan dari wilayah lain baik dari Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa seperti

Sumatera.

Dengan adanya hinterland perpaduan ini, maka PPN Palabuhanratu harus

mempersiapkan diri untuk bersaing terutama kesiapan fasilitas dan pelayanan

serta penyediaan ikan yang berkualitas baik.

(5) Prasarana perhubungan

Prasarana perhubungan selain jalan, laut juga ada prasarana udara sangat

penting untuk menghubungkan pelabuhan dengan daerah konsumen. Dari

Palabuhanratu ke daerah lain atau menuju Jakarta, Bandung, Sukabumi dan

Cianjur, Bogor dapat ditempuh melalui jenis prasarana:

1) Melalui Cikidang, dengan jarak tempuh sampai ke Cibadak sekitar 40 km atau

dapat ditempuh sekitar 1 jam dengan kondisi jalan lebar 6 m beraspal cukup

baik untuk dilalui jenis kendaraan roda empat kecil seperti sedan, minibus.

Truk atau kontainer mengalami kesulitan melewati jalan ini karena berliku-

liku dan menempuh medan yang cukup berat, sehingga kurang baik dilalui

oleh mobil truk atau mobil kontainer. Jalan ini sering digunakan untuk mobil

Page 167: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

146

touring sejenis mobil pick up mitsubithsi diesel atau truk ukuran kecil. Jalan

melalui Cikidang ini telah ditetapkan sebagai jalan provinsi sehingga ada

kewajiban pemerintah provinsi untuk mengembangkan jalan ini.

Direncanakan jalan ini untuk diperlebar dari lebar 6 meter menjadi lebih lebar

lagi (sekitar 10 meter), kemudian mengurangi tanjakan-tanjakan dan belokan-

belokan jalan yang cukup berbahaya. Dengan adanya rencana pengembangan

jalan melalui Cikidang ini, maka diharapkan mobil kontainer dan truk ukuran

besar dapat melaluinya dengan mudah, sehingga memperlancar arus distribusi

ikan dan waktu tempuh lebih cepat dari Palabuhanratu ke Jakarta atau

Bandung melalui Cikidang.

2) Melalui Cikembang, dengan waktu tempuh sampai ke Cibadak 1,5 jam atau

jaraknya sekitar 55 km. Kondisi jalan ini relatif baik, beraspal dengan lebar

jalan 8 m. Mobil kontainer ukuran sedang sering menggunakan jalan ini untuk

mengangkut ikan tujuan Jakarta. Permasalah jalan melalui Cikembang adalah

kondisi jalan yang berliku-liku, relatif sempit dan banyak tanjakan. Jalan

melalui Cikembang ini telah ditetapkan sebagai jalan negara, sehingga

pemerintah pusat, pemerintah provinsi berkewajiban untuk mengembangkan

jalan ini. Direncanakan jalan ini akan diperlebar sampai dengan 10 m dan

mengurangi tanjakan dan belokan sehingga dapat mengurangi waktu tempuh

dan dapat memperlancar arus distribusi ikan dari Palabuhanratu ke Cibadak

melalui Cikidang.

3) Melalui Cikembar, dengan jarak tempuh sampai ke Sukabumi sekitar 2 jam

dengan jarak sekitar 70 km. Jalan ini telah ditetapkan juga sebagai jalan negara

sehingga perbaikan jalan juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan

pemerintah daerah. Kondisi jalan beraspal dengan lebar 8 meter. Jalan ini

sering digunakan mobil kontainer ukuran sedang untuk mengangkut ikan

tujuan Sukabumi atau Cianjur dan Bandung. Jenis angkutan untuk mengangkut

ikan dari pelabuhan adalah mobil pick up touring, truk, truk box serta truk

thermoking ber-freezer. Diharapkan jalan ini dapat diperlebar menjadi 10

meter.

4) Jalan lainnya adalah Palabuhanratu – Cisolok – Bayah – Pandeglang - Jakarta.

Kondisi jalan ini belum sempurna, sehingga praktis belum digunakan untuk

Page 168: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

147

jalan mengangkut ikan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten akan

merehab dan memperlebar jalan yang keluar dari Palabuhanratu. Diharapkan

adanya perbaikan dan pelebaran jalan ke Pandeglang ini dapat memperlancar

arus distribusi ikan ke daerah lain.

5) Saat ini Pemerintah Provinsi telah membuat jalan lingkar luar trans selatan

Jabar yang menghubungkan Bandung – Pangandaran - Ciamis, Garut –

Tasikmalaya – Cianjur - Palabuhanratu sejauh 367 km. Dengan adanya jalan

lingkar luar trans Selatan Jabar, maka diharapkan hubungan dan distribusi ikan

dari Palabuhanratu atau dari daerah sekitarnya ke Palabuhanratu dapat berjalan

lancar dengan daerah pemasaran yang luas, selain itu juga akan menambah

kuantitas mobil yang melewatinya.

6) Direncanakan juga membuat lapangan terbang berlokasi di Palabuhanratu guna

mengakomodasi perkembangan perikanan dan pariwisata. Rencana ini sudah

sesuai dengan kebutuhan distribusi ikan yang memerlukan sarana yang lebih

cepat sehingga ikan dari Palabuhanratu akan cepat sampai ke konsumen.

Daerah-derah konsumen yang akan dituju adalah Jepang, Korea, Amerika,

China. Pasar dalam negeri adalah Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bogor,

Bandung, Depok, Tangerang, Bekasi dan Serang. Keuntungan lain dari

adanya sarana pesawat terbang ini adalah akan mempercepat pembangunan

daerah sekitarnya karena akan mendukung wilayah Kabupaten Sukabumi

sebagai lokasi sektor basis.

7) Pemerintah Pusat telah merencanakan membangun jalan tol dari Ciawi ke

Sukabumi-Cianjur-Bandung. Dengan adanya rencana ini, maka Palabuhanratu

akan berkembang pesat dan akan berpengaruh kepada operasional dan

pengembangan PPN Palabuhanratu.

5.4 Pola Pengembangan PPN Palabuhanratu

Dalam penelitian ini, pola pengembangan pelabuhan ditentukan dengan

mengoptimalkan fungsi pelabuhan dengan berbagai permasalahan yang ada

melalui analisis kebutuhan terhadap produksi, kapal dan fasilitas.

Page 169: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

148

5.4.1 Target jumlah produksi PPN Palabuhanratu

(1) Jumlah MSY WPP 9 Samudera Hindia sebesar 1.056.890 ton, sehingga

jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 80% sebesar 845.510 ton.

(2) Kapasitas minimum untuk PPS diperoleh dari kapasitas minimum standar

untuk PPS sebesar 60 ton/hari atau 21.900 ton/tahun dikalikan dengan

jumlah PPS di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 65.700 ton/tahun.

Kapasitas minimum untuk PPN diperoleh dari kapasitas minimum standar

untuk PPN sebesar 30 ton/hari atau 10.950 ton/tahun dikalikan dengan

jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 32.850 ton/tahun.

Kapasitas minimum untuk PPP diperoleh dari kapasitas minimum standar

untuk PPP sebesar 10 ton/hari atau 3.650 ton/tahun dikalikan dengan

jumlah PPP di WPP 9 sebanyak 3 unit sehingga menjadi 10.950 ton/tahun.

Kapasitas minimum untuk PPI diperoleh dari kapasitas minimum standar

untuk PPI sebesar 5 ton/hari atau 1.825 ton/tahun dikalikan dengan jumlah

PPI di WPP 9 sebanyak 207 unit sehingga menjadi 377.775 ton/tahun.

Jumlah seluruh kapasitas minimum untuk pelabuhan perikanan adalah

sebesar 487.275 ton/tahun.

(3) Kapasitas minimum PPN diperoleh dari jumlah kapasitas minimum untuk

PPN sebesar 32.850 ton/tahun dibagi dengan jumlah semua kapasitas

minimum pelabuhan perikanan sebesar 487.275 ton/tahun dikalikan

dengan JTB WPP 9 Samudera Hindia sebesar 845.512 ton/tahun diperoleh

57.001 ton/tahun. Alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu

diperoleh dari kapasitas minimum PPN sebesar 57.001 ton/tahun dibagi

dengan jumlah PPN di WPP 9 sebanyak 3 unit, diperoleh hasil sebesar

19.000 ton/tahun.

Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI untuk PPN Palabuhanratu

seperti pada Tabel 36.

Page 170: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

149

Tabel 36 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu Tipe pelabuhan PPS PPN PPP PPI Kapasitas minimum (ton)/hari 60 30 10 5 Jumlah PP/PPI (unit) 3 3 3 207

Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)

PPS PPN PPP PPI Jumlah Sumberdaya Ikan

Potensi lestari (ton)

Estimasi JTB (80% potensi)

(ton)

180 x 365 = 65.700

90 x 365 = 32.850

30 x 365 =10.950

1035 x 365 = 377.775 487.275

Alokasi pemanfaatan

SDI untuk PPN Palabuhanratu

(Ton)

Pelagis besar 366.260 293.008 39.507 19.753 6.584 227.164 293.008 6.584Pelagis kecil 526.570 421.256 56.799 28.399 9.466 326.592 421.256 9.466Demersal 135.130 108.104 14.576 7.288 2.429 83.811 108.104 2.429Ikan karang 12.880 10.304 1.389 695 232 7.988 10.304 232Udang paneid 10.700 8.560 1.154 577 192 6.636 8.560 192Lobster 1.600 1.280 173 86 29 992 1.280 29Cumi-cumi 3.750 3.000 404 202 67 2.326 3.000 67Jumlah 1.056.890 845.512 114.002 57.001 19.000 655.509 845.512 19.000

Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 19.000 - 3.382 = 15.618 ton

149

Page 171: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

150

5.4.2 Target jumlah kapal yang akan diakomodir oleh PPN Palabuhanratu

(1) Berdasarkan jenis unit penangkapan yang lebih prospek ke depan, menurut

hasil kajian pemantauan dan evaluasi CPUE PPN Palabuhanratu tahun 2005

diperoleh hasil bahwa untuk unit penangkapan longline berukuran 30 GT

memiliki nilai produktivitas paling tinggi yakni 1 ton/GT per tahun.

Kemudian diikuti dengan unit penangkapan ikan longline berukuran 50 GT

dengan nilai 0,4 ton/GT per tahun, longline 100 GT dengan nilai 0,24 ton/GT

per tahun, longline 150 GT dengan nilai 0,2 ton/GT per tahun, payang dengan

nilai 0.09 ton/GT per tahun, bagan dengan nilai 0,02 ton/GT per tahun, purse

seine dengan nilai 0,06 ton/GT per tahun. Dengan demikian dalam

perhitungan target kapal untuk PPN Palabuhanratu digunakan produktivitas 1

ton/GT per tahun.

(2) Persentase jumlah masing-masing tipe kapal diperoleh dari jumlah GT untuk

masing-masing tipe kapal dibagi dengan jumlah semua tipe kapal sehingga

diperoleh persentase awal sebesar 17% untuk kapal <5 GT, 29% untuk kapal

5-30 GT dan 54% untuk kapal 30-150 GT. Persentase pengembangan kapal

diperoleh 15% (lebih kecil dari persentase awal) yakni adanya pengurangan

2% dari kondisi semula karena beberapa kapal ukuran kecil (<5 GT) tidak

semua diakomodir di PPN Palabuhanratu. Persentase pengembangan untuk

kapal 5-30 GT dikurangi menjadi 25% dari kondisi semula 29% karena

jumlah kapal-kapal ukuran tersebut saat ini sudah cukup memadai sehingga

penambahan jumlahnya diharapkan tidak terlalu besar.

Persentase pengembangan kapal 30-150 GT mengalami kenaikan dari 54%

menjadi 60% disebabkan oleh adanya rencana penambahan kolam baru.

(3) Persentase GT masing-masing ukuran kapal yang akan dikembangkan (15%,

25% dan 60%) dikalikan dengan target jumlah produksi maksimum PPN

Palabuhanratu perhitungan target jumlah produksi (19.000 ton/tahun)

diperoleh produksi maksimum tipe kapal <5 GT sebesar 2.850 ton, kapal 5-30

GT sebesar 4.750 ton dan kapal 30-150 sebesar 11.400 ton.

(4) GT kapal yang diperlukan untuk pengembangan diperoleh dari produksi

maksimum masing-masing tipe kapal dibagi 1 ton/GT (target produktivitas)

Page 172: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

151

sehingga diperoleh untuk kapal <5 GT sebesar 2850 GT, kapal 5-30 GT

sebesar 4750 GT dan kapal 30-150 GT sebesar 11400 GT.

(5) Target jumlah kapal untuk masing-masing tipe ukuran kapal diperoleh dari GT

kapal untuk pengembangan dibagi dengan rata-rata GT masing-masing tipe

kapal (<5 GT = 5 GT, 5-30 GT = 20 GT dan 30-150 GT = 100 GT). Untuk

kapal <5 GT diperoleh hasil sebanyak 570 unit dari semula 428 unit, untuk

kapal 5-30 GT sebanyak 238 unit dari semula 180 unit dan untuk kapal 30-

150 GT sebanyak 114 unit dari semula 68 unit. Dari hasil penjumlahan

jumlah kapal masing-masing ukuran diperoleh target jumlah seluruh kapal

yang akan dikembangkan untuk pola ini sebesar 922 unit.

Hasil perhitungan target jumlah kapal dengan target produksi ikan sebesar

19.000 ton/tahun seperti pada Tabel 37.

Tabel 37 Hasil perhitungan target jumlah kapal untuk pengembangan PPN Palabuhanratu dengan target produksi ikan 19.000 ton/tahun

Target produksi maksimum PPNP (ton) 19.000Target produktivitas unit penangkapan (ton/GT) 1Ukuran kapal (GT) < 5 5-30 30-150 Jumlah Jumlah kapal tahun 2005 (unit) 428 180 68 676Rata-rata GT 5 20 100 125Jumlah GT kapal tahun 2005 2140 3600 6800 12540Persentase awal (%) 17 29 54 100Persentase pengembangan (%) 15 25 60 100Produksi (ton) 2.850 4.750 11.400 19.000GT kapal yg diperlukan 2850 4750 11400 19000Target jml kapal pengembangan (unit) 570 238 114 922

5.4.3 Target kapasitas fasilitas

(1) Perhitungan luas kolam (m2)

L = Lt + 3 [(n x l x b)]

Lt = π r 2

Radius putar (r), D = 2r = 3 x panjang kapal terbesar

2r = 3 x 30 meter , r = 45 meter.

Lt = 3,14 x 45 x 45 = 6.359 m2

Page 173: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

152

3 [(n x l x b)] = 79.590

Luas kolam = 6.359 + 79.590 = 85.949 m2.

Hasil perhitungan luas kolam selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38.

(2) Perhitungan kebutuhan panjang dermaga (m)

Hasil perhitungan seperti Tabel 39 , yakni panjang dermaga = 1.452 m.

(3) Kedalaman kolam (m)

Kedalaman kolam untuk kapal <5 GT – 30 GT sama dengan kedalaman

kolam pola lama yakni sampai dengan 3,5 meter dan kedalaman kolam untuk

kapal 30-150 GT sedalam 4 m.

Tabel 38 Hasil perhitungan luas kolam PPN Palabuhanratu

Variabel Volume Jumlah kapal maksimum berlabuh pada peak season (n) (unit) < 5 GT 286 5-30 GT 157 30-150 GT 40 Jumlah 483 Jumlah frekuensi kapal pada peak season (unit / hari) < 5 GT 69 5-30 GT 17 30-150 GT 2 Jumlah 88 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 10 5-30 GT 18,5 30-150 GT 30 Jumlah 58,5 Lebar kapal (b) (m) < 5 GT 2 5-30 GT 4,5 30-150 GT 6,45 Jumlah 12,95 Luas putaran (π r 2) (m2) 6.359 ( n x (l x b)) < 5 GT 5.720 5-30 GT 13.070 30-150 GT 7.740 Jumlah 26.530 3 ( n x (l x b)) 79.590 Luas kolam (m2) 85.949

D = Jumlah frekuensi kapal maksimum x l x ( jarak aman antar kapal = 0,1) x l

Page 174: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

153

(4) Luas Gedung TPI

Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton per hari maka

dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2.

(5) Kapasitas pabrik es (ton/tahun)

K = 2 x 19.000 ton = 38.000 ton/tahun.

(6) Kebutuhan solar (kl/tahun)

S = 0,2 liter per DK per jam (Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja,

1999).

Ukuran kapal < 5 GT = mesin 15 DK , ukuran kapal 5-30 GT = mesin 60

DK, ukuran kapal 30 – 100 GT = mesin 180 DK, ukuran kapal 100-150 GT =

mesin 225 DK.

1) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran <5 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x

(jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (15 DK)

= 570 x 0,2 x 120 x 24 x 1 x 15 = 4.924.800 liter = 4.925 kl/tahun.

2) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 5-30 GT adalah jumlah kapal x (0,2) x

(jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (60 DK)

= 238 x 0,2 x 12 x 24 x 14 x 60 = 11.515.392 liter = 11.515 kl/tahun.

3) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 30-100 GT adalah jumlah kapal x (0,2)

x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (180

DK) = 80 x 0,2 x 6 x 24 x 30 x 180 = 12.441.600 liter = 12.442 kl/tahun.

4) Kebutuhan solar untuk kapal ukuran 100-150 GT adalah jumlah kapal x (0,2)

x (jumlah trip per tahun) x (24 jam) x (jumlah hari operasi per trip) x (225

DK) =34 x 0,2 x 4 x 24 x 60 x 225 = 8.812.800 liter = 8.813 kl/tahun.

5) Jumlah solar yang dibutuhkan adalah : 37.695 kl/tahun.

(7) Kebutuhan air bersih (kl/tahun)

1) Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) standar kebutuhan

air bersih untuk ABK sebesar 20 liter/orang/hari sehingga :

- Untuk kapal <5 GT ada sebanyak 570 x (5 ABK) x (20 liter) x (120 trip) x

(1hari) = 6.840 kl/tahun.

Page 175: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

154

- Untuk kapal 5-30 GT ada sebanyak 238 x (8 ABK) x (20 liter) x (12 trip)

x (14 hari) = 6.397 kl/tahun.

- Untuk kapal 30-100 GT ada sebanyak 80 x (15 ABK) x (20 liter) x (6 trip)

x (30 hari) = 4.320 kl/tahun.

- Untuk kapal 100-150 GT ada sebanyak 34 x (15 ABK) x (20 liter) x (4

trip) x (60 hari) = 2.448 kl/tahun.

Tabel 39 Hasil perhitungan panjang dermaga PPN Palabuhanratu

2) Kebutuhan baku es (ton/tahun)

Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air

untuk TPI adalah 1 kl air untuk 1 ton es = 38.000 kl.

3) Kebutuhan ikan (kl/tahun)

Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air

untuk TPI adalah 1 liter per kg ikan = 19.000 kl/tahun.

4) Kebutuhan TPI

Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999) kebutuhan air

untuk TPI adalah 1,5 liter / m2 . TPI yang ada saat ini seluas 900 m2 dengan

No Variabel Volume

1 Jumlah frekuensi kapal pada peak season / hari (unit)

< 5 GT 69 5-30 GT 17 30-150 GT 2 Jumlah 882 Panjang kapal (l) (m) < 5 GT 10 5-30 GT 18,5 30-150 GT 30 Jumlah 58,53 Panjang dermaga (D) (m) < 5 GT 690 5-30 GT 582 30-150 GT 180 Jumlah 1.452

Page 176: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

155

produksi 18 ton/ hari. Untuk menampung produksi 19.000 ton/tahun atau 52 ton

per hari maka dibutuhkan bangunan TPI seluas : (52/18) x 900 = 2.600 m2.

Jadi kebutuhan air untuk TPI yang akan dikembangkan adalah : 1,5 x 2.600 m2 =

3.900 liter/m2 per hari, atau 1.424 kl/m2 per tahun.

5) Kebutuhan penghuni

Menurut Ditjen. Perikanan dan PT Perentjana Djaja (1999), kebutuhan air

untuk penghuni adalah 10% dari kebutuhan total = 7.843 kl/tahun.

Tabel 40 Hasil perhitungan kebutuhan air bersih

Satuan : kl/tahun No Variabel Volume 1 Kebutuhan ABK < 5 GT 6.840 5-30 GT 6.397 30-100 GT 4.320 100-150 GT 2.4482 Kebutuhan baku es 38.0003 Kebutuhan ikan 19.0004 Kebutuhan TPI 1.4245 Kebutuhan penghuni 7.843 Jumlah 86.272

(8) Luas lahan (ha)

Luas lahan yang diperlukan menurut Keputusan Menteri Kelautan dan

Perikanan No. KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan

perikanan diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan.

Sehingga paling tidak maksimum luas lahan yang diperlukan untuk PPN

Palabuhanratu adalah 30 ha (sesuai dengan batas minimum lahan PPS).

5.4.4 Pengembangan wilayah distribusi (hinterland)

Pengembangan wilayah distribusi berkaitan dengan daerah konsumen atau

hilir dari pelabuhan perikanan yakni sampai sejauh mana konsumen menyerap

ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan sehingga perlu suatu pola

pengembangan mengenai jumlah dan daerah konsumen.

Jumlah penduduk disuatu tempat atau negeri merupakan konsumen

potensial. Berdasarkan jumlah produksi ikan yang ada saat ini dan target produksi

Page 177: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

156

serta rata-rata tingkat konsumsi penduduk, maka akan diperoleh jumlah konsumen

untuk produksi ikan PPN Palabuhanratu. Menurut Barani (2006), bahwa tingkat

konsumsi/kapita penduduk secara nasional pada tahun 2005 sebesar 22,76 kg/

kapita /tahun (angka perkiraan). Apabila dari target jumlah produksi PPN

Palabuhanratu sebesar 19.000.000 kg/tahun untuk dipasarkan didalam negeri

sebanyak 65% atau 12.350.000 kg dan sisanya 35% atau 6.650.000 kg untuk

diekspor, maka diperkirakan jumlah konsumen dalam negeri yang akan

mengkonsumsi ikan dari PPN Palabuhanratu sebanyak 12.350.000 kg dibagi

22,76 kg menjadi 542.619 orang. Dari produksi ikan yang akan dikonsumsi oleh

penduduk dalam negeri sebesar 12.350.000 kg, maka didistribusikan untuk

hinterland primer dalam negeri sebesar 32% atau sebesar 6.162.650 kg dan untuk

hinterland sekunder dalam negeri sebesar 33% atau sebesar 6.187.350 kg.

Rincian jumlah konsumen seperti pada Tabel 41.

Daerah konsumen untuk ikan yang berasal dari Palabuhanratu apabila

diasumsikan sama dengan kondisi tahun 2005, maka dari produksi ikan

19.000.000 kg diperoleh penyebaran untuk distribusi hinterland primer dalam

negeri sebesar 6.162.650 kg dan hinterland primer untuk ekspor sebesar

6.650.000 kg, hinterland sekunder sebesar 6.187.350 kg. Adapun pengembangan

penyebaran produksi untuk hinterland primer sebesar 12.812.650 kg yakni daerah

Sukabumi sebesar 653.241 kg, Bandung sebesar 129.416 kg, Jakarta sebesar

5.379.993 kg dan untuk ekspor sebesar 6.650.000 kg. Hinterland sekunder untuk

ikan pindang sebesar 3.403.043 kg tersebar ke Sukabumi sebesar 1.327.387 kg,

Bogor sebesar 1.054.943 kg, Cianjur sebesar 816.730 kg, Bandung sebesar

204.183 kg. Hinterland sekunder untuk ikan asin sebesar 2.784.307 kg tersebar ke

Sukabumi sebesar 696.077 kg, Bogor sebesar 640.391 kg, Cianjur sebesar

696.077 kg, Bandung sebesar 584.704 kg dan Garut sebesar 167.058 kg.

Berdasarkan kondisi tersebut terlihat bahwa untuk hinterland primer penyebaran

yang dominan adalah Jakarta (42%) dan untuk ikan ekspor (35%), sedangkan

pada hinterland sekunder penyebarannya merata.

Page 178: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

157

Tabel 41 Pola hinterland hubungannya dengan PPN Palabuhanratu posisi tahun 2005 dan pengembangan PPN Palabuhanratu

Variabel

Posisi tahun 2005 Pengembangan PPN

Jumlah produksi (kg)

6.601.000 19.000.000

Distribusi di hinterland primer dalam negeri (kg)

3.193.596(48%) 6.162.650(32%)

Distribusi di hinterland primer luar negeri/ekspor (kg)

203.847 (3%) 6.650.000(35%)

Distribusi di hinterland sekunder (kg)

3.203.087(49%) 6.187.350(33%)

Jumlah konsumen dalam negeri (orang)

281.049 542.619

Daerah sebaran produksi a. Hinterland primer (kg) -Sukabumi (10%) (kg) -Bandung (2%)(kg) -Jakarta (82%) -Ekspor (6%)(kg) b.Hinterland sekunder (kg) Ikan pindang (55%) (kg) - Sukabumi (39%)(kg) - Bogor (31%) (kg) - Cianjur (24%) (kg) - Bandung (6%) (kg) Ikan asin (45%) (kg) - Sukabumi (25%) (kg) - Bogor (23%) (kg) - Cianjur (25%) (kg) - Bandung (21%) (kg) - Garut (6%) (kg)

3.397.443 (51%) 339.744 (10%) 67.949 (2%)

2.785.903 (82%) 203.847 (6%)

3.203.557(49%) 1.747.187

681.403541.628419.325104.831

1.459.685364.921335.728364.921306.53487.581

12.812.650 (77%)

653.241(5%) 129.416(1%)

5.379.993(42%) 6.650.000 (52%)

6.187.350 (33%)

3.403.043 1.327.187 1.054.943

816.730 204.183

2.784.307 696.077 640.391 696.077 584.704 167.058

5.5 Prioritas Pengembangan PPN Palabuhanratu

Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu yang akan ditentukan,

diperlukan agar pola pengembangan yang telah disusun tersebut dapat dijalankan

lebih terarah. Dalam penentuan prioritas pengembangan ini ditentukan alternatif

prioritas pengembangan, kemudian dari alternatif prioritas pengembangan

tersebut, maka ditentukan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 179: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

158

5.5.1 Penentuan alternatif prioritas pengembangan dan solusinya

Jenis alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu berturut-turut

adalah: Peningkatan jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan jumlah

tenaga kerja, peningkatan pendapatan pelabuhan, peningkatan PAD.

Prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu diperoleh setelah penetapan

alternatif prioritas pengembangan melalui analisis PHA. Didalam analisis PHA

akan terjadi interaksi antar berbagai komponen pada jenis solusi pengembangan,

jenis alternatif prioritas pengembangan dan keterkaitan pelaku guna

mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Komponen pelaku/lembaga yang

dianggap berperan untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu adalah :

Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten

Sukabumi (Dinas Perikanan), KUD Mina Sinar Laut, nelayan.

Selanjutnya solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas

pengembangan berdasarkan interaksi keterkaitannya dalam bentuk struktur hirarki

PHA seperti Gambar 20. Pada Gambar 20 terlihat bahwa, dalam penentuan

prioritas pengembangan pelabuhan perikanan dilakukan terhadap lima alternatif

solusi pengembangan dan lima alternatif pelaku/lembaga, setiap alternatif

prioritas pengembangan dipertimbangkan untuk setiap solusi pengembangan yang

akan dijalankan dan pelaku/lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN

Palabuhanratu. Agar semua kepentingan dapat diakomodasikan maka setiap

bentuk solusi pengembangan, pelaku/lembaga dan alternatif prioritas

pengembangan diminta pertimbangannya kepada stakeholder melalui kuesioner.

Berdasarkan lima alternatif prioritas pengembangan yaitu: (1) Peningkatan

pendapatan pelabuhan, (2) Peningkatan jumlah kapal, (3) Peningkatan produksi

ikan, (4) Peningkatan PAD dan (5) Peningkatan lapangan kerja maka urutan

prioritas pengembangan yang dianggap paling sesuai untuk pengembangan PPN

Palabuhanratu adalah:

(1) Peningkatan jumlah kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu, dengan nilai

prioritas paling tinggi sebesar 0,244 pada inconsistency 0,01. Batas

inconsistency yang diperbolehkan secara statistik adalah maksimum 0,1

(Gambar 20). Masih sedikitnya kapal berukuran >30 – 150 GT mendarat di

kolam pelabuhan. Pada tahun 2002 terdapat kapal >5 GT yang mendarat

Page 180: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

159

sebanyak 145 buah kapal atau 31% dari jumlah kapal sebanyak 462 unit

(Tabel 14). Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan kolam I untuk

menampung kapal-kapal >30 GT karena dengan luas kolam 3 ha dominan

diisi oleh kapal-kapal ukuran <10 GT (95%). Kapal-kapal ukuran <10 GT

hanya melakukan penangkapan ikan di sepanjang perairan pantai sampai

dengan 12 mil sehingga produksi ikan yang diperoleh tidak sesuai dengan

harapan sekelas PPN Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Sukabumi (2001), bahwa potensi ikan-ikan pelagis besar seperti

tuna dan cakalang sudah sangat jauh dari perairan pantai. Sebagai akibatnya,

maka kapal-kapal penangkap ikan harus diperbesar ukurannya menjadi >10

GT, khususnya kapal berukuran >30 GT sehingga dapat menjangkau daerah

penangkapan ikan pada jalur >12 mil dari pantai atau menarik kapal-kapal

dari luar masuk ke Palabuhanratu.

OPTIMALISASI FUNGSI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

Ditjen Perikanan

Tangkap (0.244)

Pemda/ Dinas

(0.112)

KUD (0.122)

Nelayan (0.214)

Peningkatan penda patan pelabuhan

(0.221)

Peningkatan Jlh kapal (0.244)

Peningkatan produksi

ikan (0.232)

Peningkatan PAD

(0.143)

Peningkatan lapangan

kerja (0.160)

SOLUSI PENGEMBANGAN Perluasan

kolam dan dermaga

Perluasan lahan

Operas ional

pelelangan ikan Pengadaan

BBM

Pelayanan prima

PPN Palabuhanratu (0.308)

LEMBAGA/PELAKU

GOAL

ALTERNATIF

PRIORITAS PENGEMBANGAN

(0.290) (0.253)

(0.086) (0.272) (0.099)

Gambar 20 Hasil proses hirarki analitik untuk alternatif prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 181: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

160

Peningkatan jumlah kapal yang mendarat adalah merupakan alternatif

prioritas pengembangan yang pertama untuk dilaksanakan terutama untuk

kapal-kapal yang berukuran >30 GT, karena saat ini struktur armada di PPN

Palabuhanratu komposisinya >95% terdiri dari kapal-kapal ukuran kecil (<10

GT). Tercatat pada tahun 2002 jumlah kapal 30-150 GT mendarat di PPN

Palabuhanratu sebanyak rata-rata 16 unit kapal dalam satu bulan atau rata-rata

4 buah kapal dalam seminggu. Kapal ukuran kecil <10 GT sangat

mendominasi dengan jumlah 423 unit atau 93,58% dari jumlah kapal yang ada

pada tahun 2002 sebanyak 452 unit kapal, daerah operasi penangkapan kapal-

kapal tersebut masih berada di sepanjang pantai Kabupaten Sukabumi.

Akibatnya produksi ikan yang didaratkan juga rendah yakni sebesar 2.890.118

kg atau 240.843 kg/bulannya. Banyaknya kapal-kapal ukuran kecil, akan

menimbulkan permasalahan operasional pelabuhan terutama kesulitan dalam

pengaturan kapal di kolam yang berdampak terhadap frekuensi kapal yang

akan melakukan pendaratan di PPN Palabuhanratu. Menurut Rogge et al.

(1987) bahwa untuk mewujudkan PPN Palabuhanratu, maka kapal-kapal yang

berukuran <5 GT berbasis di PPI Cisolok (berjarak 11 km dari Palabuhanratu)

sehingga kapal-kapal berukuran kecil akan berkurang di PPN Palabuhanratu

dan memberi peluang kapal-kapal berukuran >5 GT berbasis lebih banyak di

PPN Palabuhanratu. Prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal

berukuran besar akan mempengaruhi produksi ikan yang didaratkan dan

peningkatan aktivitas di pelabuhan sehingga fungsi pelabuhan akan lebih

dioptimalkan. Apabila prioritas pengembangan ini dilaksanakan maka

terhadap solusi pengembangan perlu diupayakan untuk direalisasikan terutama

keputusan untuk memperluas kolam dan dermaga, perluasan lahan,

operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM serta pelayanan prima oleh

pelabuhan (Gambar 20).

(2) Alternatif kedua adalah peningkatan jumlah produksi ikan yang didaratkan

dengan nilai rasio kepentingan 0, 232 pada inconsistency 0,01. Pelaksanaan

alternatif ini sejalan dengan pelaksanaan alternatif peningkatan jumlah kapal

berukuran 30 GT – 150 GT mendarat di PPN Palabuhanratu.

Page 182: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

161

Jumlah ikan yang didaratkan belum sesuai dengan jumlah ikan yang

seharusnya mendarat di PPN Palabuhanratu. Kondisi ini disebabkan oleh

sedikitnya kapal-kapal ukuran >10 GT mendarat di PPN Palabuhanratu. Pada

tahun 2002 tercatat jumlah kapal yang berukuran >30 GT mendarat di PPN

Palabuhanratu hanya 13 unit dan yang berukuran >10 GT sebanyak 29 unit

(PPN Palabuhanratu, 2003).

Produksi ikan yang didaratkan mengalami peningkatan yang berfluktuatif

sejak tahun 2001 – 2005. Rata-rata ikan yang didaratkan setiap tahun sejak

tahun 2001 sampai dengan 2005 yakni 3.746 ton. Produksi ikan yang

didaratkan tertinggi pada tahun 2005 sebesar 6.601 ton dan produksi terendah

pada tahun 2001 sebesar 1.766 ton (Lampiran 15). Penurunan produksi

tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi cuaca terutama gelombang di laut

cukup besar yang terjadi berbulan-bulan sehingga mengurangi jumlah kapal

yang melaut. Disamping karena faktor alam, hal tersebut disebabkan juga oleh

musim ikan sangat berkurang dan potensi perikanan di fishing ground-nya

sudah menurun. Menurut Lubis (2002), bahwa produksi perikanan yang

didaratkan menurun disuatu pelabuhan disebabkan antara lain:

1) Harga ikan di pelabuhan perikanan tidak layak. Pada tahun 2001 kondisi

pemasaran ikan melalui aktivitas pelelangan tidak berjalan sempurna

akibat lemahnya manajemen KUD Mina sebagai pengelola pelelangan

ikan sehingga harga ikan tidak sesuai dengan harga pasar. Rata-rata harga

ikan cakalang di pasaran sebesar Rp 5.000/kg, namun karena tidak ada

proses lelang maka harga ikan turun menjadi sekitar Rp 3.000/kg.

Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar Palabuhanratu seperti dari Cilacap

sedikit (2 buah kapal setiap bulan) mendarat di PPN Palabuhanratu.

2) Lokasi pelabuhan perikanan berjauhan dengan lokasi perumahan nelayan.

Kondisi ini tidak berlaku untuk PPN Palabuhanratu karena perumahan

nelayan relatif dekat dengan lokasi pelabuhan perikanan.

3) Daerah pemasarannya jauh atau terdapat permasalahan dalam

pendistribusian ikan. Kondisi di PPN Palabuhanratu memang jarak antara

pelabuhan perikanan dengan daerah pemasaran relatif jauh yakni di Jakarta

Page 183: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

162

dan Bandung dengan kondisi jalan yang sempit dan berliku-liku sehingga

mempersulit pendistribusian ikan ke daerah konsumen.

4) Potensi perikanan di daerah penangkapan ikan sudah menurun. Hal ini

disebabkan banyaknya alat tangkap bagan yang berada di Teluk

Palabuhanratu yang menyebabkan ikan-ikan pelagis besar jumlahnya

sedikit memasuki teluk.

5) Tidak terdapatnya fasilitas yang diperlukan dan atau beberapa fasilitas

yang ada sudah rusak. Kondisi ini memang sesuai dengan PPN

Palabuhanratu, dimana kondisi fasilitasnya tidak dapat mengakomodir

kapal-kapal berukuran >30 GT. Akibatnya banyak kapal-kapal dari luar

tidak masuk ke PPN Palabuhanratu.

6) Tidak terdapatnya pengorganisasian aktivitas yang baik di pelabuhan

perikanan. Hal ini tidak berlaku bagi PPN Palabuhanratu karena

aktivitasnya terorganisir dengan baik, walaupun beberapa SOP yang ada

belum dijalankan oleh petugas secara optimal.

Menurut statistik PPN Palabuhanratu 2005, bahwa jenis-jenis ikan

yang banyak didaratkan adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

917.429 kg dengan nilai Rp 4.270.593.510,-, ikan tongkol lisong ( Auxis

thazard) 230.787 kg dengan nilai produksi Rp 1.074.328.700,-, tongkol

abu-abu (Thunnus tonggol) 86.447 kg dengan nilai produksi Rp

385.583.100,-, tongkol banyar 18.993 kg dengan nilai produksi Rp

89.249.400,-, ikan eteman/koyo (Menemaculata sp) 153.897 kg dengan

nilai produksi Rp 198.610.750,-, ikan layur (Trichiurus sp) 145.537 kg

dengan nilai produksi Rp 730.159.250,-, ikan tuna albakora (Thunnus

alalunga) 51.311 kg dengan nilai produksi Rp 378.615.176,-, tuna yellow

fin (Thunnus albacares) 641.702 kg dan nilai produksi Rp 4.961.427.350,-

,ikan tembang (Sardinella fimbriata) 109.270 kg dengan nilai produksi Rp

132.242.400,- dan ikan layang (Decapterus ruselli) 186.791 kg dengan

nilai produksi Rp 310.533.550,-.

Page 184: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

163

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005Tahun

Jumlah (Ton)

Produksi Ikan Didaratkan Produksi Ikan Masuk Pelabuhan Jumlah Produksi Pelabuhan

Selain ikan yang didaratkan oleh kapal penangkap, banyak juga ikan yang

masuk melalui darat ke pelabuhan yakni dari Jakarta, Cianjur, Binuangeun,

Ujung Genteng, Ciwaru, Cisolok, Cibangban, Loji dan dari Lampung. Jenis

ikan yang masuk lewat darat ke pelabuhan antara lain cakalang, layaran,

layur, peperek, tembang, tuna dan tongkol. Pada tahun 2004 tercatat

sebanyak 3.036.662 kg ikan masuk ke pelabuhan melalui darat.

86

917

231 19 154 145 51642

109 187386

4271

1074

89 199730 379

4961

132 310

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Cakalang Tongkollisong

Tongkolabu-abu

Tongkolbanyar

Eteman Layur Tunaalbakora

Tunayellow fin

Tembang Layang

Jenis ikan

Nilai

Produksi (ton) Nilai (Rp. jutaan)

Gambar 21 Produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005.

Gambar 22 Produksi dan nilai produksi ikan-ikan ekonomis penting di PPN Palabuhanratu tahun 2004 (Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005).

Page 185: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

164

Sebagian ikan yang ada di PPN Palabuhanratu didistribusikan untuk

keperluan bahan baku pengolahan ikan seperti pindang yang berlokasi di

Palabuhanratu, ikan asin, abon ikan yang berlokasi di Cisolok, dan untuk

ikan-ikan jenis tertentu seperti layur diekspor ke Korea. Selain itu ikan-

ikan olahan juga dijual ke Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor

dan Cirebon. Lokasi tersebut menurut Lubis (2002) termasuk hinterland

sekunder yaitu daerah distribusi dari ikan-ikan olahan.

(3) Alternatif ketiga adalah peningkatan pendapatan pelabuhan dengan nilai

rasio kepentingan 0,221 pada inconsistency 0,01. Pendapatan pelabuhan

akan meningkat apabila terjadi peningkatan perluasan kolam dan dermaga,

perluasan lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan

BBM dan pelayanan prima oleh pelabuhan. Pendapatan pelabuhan sangat

kecil. Sebagai akibat jumlah produksi ikan yang belum sesuai dengan

harapan sekelas PPN Palabuhanratu, maka pendapatan PPN Palabuhanratu

juga relatif kecil, disamping itu PPN Palabuhanratu belum memiliki areal

khusus untuk industri perikanan. Pada tahun 2005 tercatat pendapatan

pelabuhan sebesar Rp 166.766.050 yang diperoleh dari sewa tanah dan

bangunan, sewa peralatan, sewa gedung, pas pintu masuk (uang peron),

retribusi dari pedagang, sewa listrik dan usaha air bersih. Jumlah

pendapatan pelabuhan rata-rata per tahun sejak periode tahun 2001-2006

adalah sebesar Rp 103.056.097 (Tabel 42). Relatif kecilnya pendapatan

pelabuhan disebabkan oleh kecilnya tarif yang diatur oleh PP 62 tahun

2000, seperti sewa lahan Rp.1.000 / m2 per tahun. Banyak pendapatan lain

yang dihasilkan oleh pelabuhan misalnya retribusi lelang tidak masuk

menjadi pendapatan pelabuhan melainkan menjadi PAD.

Menurut PKSPL-IPB dan Ditjen. Perikanan (2000) bahwa pungutan

perikanan termasuk pendapatan pelabuhan merupakan pungutan non

pajak. Hasil pungutan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan

kinerja pengelolaan pelabuhan perikanan sehingga layanan terhadap

aktivitas perikanan dapat dijalankan dengan lebih efisien dan efektif.

Page 186: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

165

Tabel 42 Pendapatan PPN Palabuhanratu berdasarkan PP 62 tahun 2000 tentang PNBP periode tahun 2001-2006

Tahun Jumlah (Rp)

2001 29.706.444

2002 74.507.270

2003 92.763.415

2004 153.984.400

2005 166.766.050

2006 100.609.000

Jumlah 618.336.579

Rata-rata 103.056.097

(4) Alternatif keempat adalah peningkatan lapangan kerja dengan nilai rasio

kepentingan sebesar 0,160 pada inconsistency 0,01. Peningkatan lapangan

kerja bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama

masyarakat nelayan yakni dengan adanya pelaksanaan alternatif prioritas

pengembangan pertama dan kedua, yang berdampak terhadap peningkatan

penyerapan tenaga kerja. Apabila alternatif prioritas pengembangan ini

dijalankan memerlukan peningkatan perluasan kolam dan dermaga, perluasan

lahan, peningkatan operasional pelelangan ikan, penyediaan BBM dan

pelayanan prima oleh pelabuhan. Jumlah tenaga kerja yang terserap relatif

kecil disebabkan belum berkembangnya kapal-kapal berukuran besar (>30

GT) yang mendarat di PPN Palabuhanratu, belum banyaknya industri

perikanan yang tumbuh di PPN Palabuhanratu. Pada tahun 2005 jumlah

tenaga kerja sebanyak 4.301 orang terdiri dari nelayan yang langsung terlibat

dalam produksi sebanyak 3.498 orang, nelayan yang tidak langsung terlibat

dalam produksi sebanyak 803 orang (Tabel 43). Dengan adanya

pengembangan PPN Palabuhanratu, maka diperkirakan jumlah tenaga kerja

akan semakin meningkat.

Page 187: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

166

Tabel 43 Jumlah tenaga kerja di PPN Palabuhanratu tahun 2005

Jenis-jenis tenaga kerja Jumlah (orang)

Nelayan 3.498

Bakul 150

Pedagang ikan segar 60

Pedagang ikan asin 15

Pemindang 8

Penyedia es 10

Penyedia garam 5

Penyedia BBM 11

Penyedia alat tangkap 5

Tenaga kerja bongkar muat 40

Pengurus dan penjual kapal 175

Tukang roda 50

Docking 67

Juru batu 70

Pengrajin alat tangkap 14

Motoris 24

Jumlah 4.301

(5) Alternatif kelima adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)

dengan nilai rasio kepentingan sebesar 0,143 pada inconsistency 0,01.

PAD sangat kecil, disebabkan oleh terbatasnya tanah areal industri yang

ada di dalam pelabuhan, sehingga PAD daerah Kabupaten Sukabumi dari

pelabuhan sangat sedikit. Sumber PAD terbanyak berasal dari retribusi

lelang, namun banyak sekali sumber-sumber pendapatan daerah tidak

langsung, sebagai contoh tumbuhnya usaha-usaha pendukung aktivitas

perikanan seperti perhotelan, toko-toko yang menjual kebutuhan

masyarakat nelayan, perbankan dan industri-industri perikanan lainnya

seperti cold storage dan pabrik es yang menghasilkan PAD dari pajak.

Page 188: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

167

Berdasarkan Gambar 23 bahwa untuk mengoptimalkan fungsi PPN

Palabuhanratu maka prioritas solusi pengembangan yang perlu dijalankan adalah:

(1) Pembangunan kolam dan dermaga dengan nilai rasio kepentingan paling

penting dibandingkan dengan bentuk solusi permasalahan lainnya yaitu 0,290

pada inconsistency 0,01. Batas inconsistency yang diperbolehkan secara

statistik adalah maksimum 0,1. Keputusan ini dianggap tepat karena selama

ini masalah yang dihadapi adalah terbatasnya kapasitas kolam dan dermaga.

(2) Penambahan kapasitas penyediaan BBM dengan nilai 0,272 adalah merupakan

bentuk solusi pengembangan kedua yang perlu dijalankan untuk

mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu. Hal ini beralasan karena semakin

banyak dan semakin besar ukuran kapal yang mendarat maka memerlukan

BBM yang banyak pula.

Gambar 23 Posisi masing-masing bentuk solusi pengembangan pada aplikasi program PHA.

Page 189: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

168

(3) Perluasan lahan dengan nilai 0,253 adalah solusi pengembangan yang sangat

mendesak untuk dilakukan dan merupakan satu paket dengan pembangunan

kolam dan dermaga. Lahan yang berada di sebelah selatan pelabuhan sekarang

adalah merupakan lahan yang cocok untuk membangun kolam dan dermaga.

Lahan tersebut akan dibebaskan oleh pemerintah daerah.

(4) Pelayanan prima dengan nilai adalah syarat mutlak yang diperlukan agar

aktivitas pelabuhan berjalan efisien dan efektif sehingga dengan nilai 0,099

maka pelayanan prima adalah salah satu solusi pengembangan yang sangat

diperlukan untuk meningkatkan fungsi PPN Palabuhanratu.

(5) Penyelenggaraan lelang dengan nilai 0,086 adalah solusi pengembangan untuk

menggerakkan aktivitas pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu.

Penyelenggaraan lelang yang baik akan meningkatkan harga jual ikan yang

pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nelayan.

Gambar 24 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dengan peningkatan produksi untuk semua solusi pengembangan.

Page 190: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

169

Sebagai perbandingan menyeluruh antara prioritas pengembangan yang

terpilih terhadap semua alternatif prioritas pengembangan maka ditunjukkan dua

perbandingan yaitu pertama peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah

produksi, kedua peningkatan jumlah kapal dan peningkatan jumlah pendapatan

pelabuhan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 24.

Pada Gambar 24 terlihat bahwa solusi pengembangan perluasan lahan dan

penyediaan BBM diakomodir pada peningkatan jumlah kapal masing-masing

lebih tinggi dari peningkatan produksi. Solusi pengembangan penyediaan BBM

diakomodir pada prioritas pengembangan peningkatan jumlah kapal dengan nilai

lebih tinggi dari penyediaan lahan (Gambar 25). Penyediaan BBM selama ini

mengalami kendala karena pasokan sangat kurang dan harganya relatif mahal

yakni lebih besar dari harga solar bersubsidi sebesar Rp 4.800 (beda harga Rp

500), sehingga mengganggu operasional kapal melaut dan berdampak pada

operasional PPN Palabuhanratu.

Gambar 25 Perbandingan peningkatan jumlah kapal dan peningkatan pendapatan untuk semua solusi pengembangan.

Page 191: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

170

Dari aspek kelembagaan untuk merealisasikan prioritas pengembangan PPN

Palabuhanratu, maka berdasarkan olahan PHA diperoleh bahwa, lembaga yang

berperan dalam pembangunan PPN Palabuhanratu adalah Ditjen.Perikanan

Tangkap, PPN Palabuhanratu, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, KUD

Mina Sinar Laut dan nelayan. Gambar 26 memperlihatkan posisi masing-masing

lembaga untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu.

Posisi pertama adalah PPN Palabuhanratu yang merupakan instansi pusat

yang ada di daerah dan merupakan UPT Departemen Kelautan dan Perikanan

sehingga sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu dan

sebagai pelaksana program. Posisi ketiga adalah Ditjen. Perikanan Tangkap yang

merupakan instansi pemerintah pusat yang akan mengeluarkan kebijakan dapat

tidaknya PPN Palabuhanratu dikembangkan karena segala kebijakan

pengembangan PPN Palabuhanratu termasuk aspek pendanaannya dikeluarkan

Gambar 26 Posisi lembaga yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu berdasarkan olahan PHA.

Page 192: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

171

oleh Dirjen. Perikanan Tangkap. Posisi ketiga adalah nelayan yang berpengaruh

terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek pengguna, karena semakin

berkembang PPN Palabuhanratu, maka diharapkan aktivitas perikanan yang

melibatkan nelayan akan semakin bekembang. Posisi keempat adalah KUD Mina

sebagai lembaga usaha nelayan sangat berperan didalam mengembangkan PPN

Palabuhanratu guna mengoptimalkan fungsinya sehingga berkembangnya PPN

Palabuhanratu akan menjadikan secara otomatis usaha KUD akan berkembang.

Posisi kelima adalah Pemerintah daerah yang sangat diharapkan dukungannya

dalam meyiapkan lahan guna pembangunan fasilitas dan lahan industri yang akan

dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu pemerintah daerah berkewajiban untuk

mempersiapkan prasarana untuk kelancaran aksesibilitas dari Palabuhanratu ke

luar Palabuhanratu. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Pemerintah Jawa Barat

sangat berkepentingan untuk mengembangkan PPN Palabuhanratu karena akan

berdampak terhadap pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah

diharapkan membantu penyediaan lahan, jalan dan pelabuhan udara untuk

kepentingan PPN Palabuhanratu mengembangkan dan mengoptimalkan

fungsinya. KUD dan nelayan berperan dalam hal penggunaan PPN Palabuhanratu

sebagai basis usaha.

Pada Gambar 26 terlihat bahwa PPN Palabuhanratu mempunyai rasio

kepentingan paling tinggi (pertama), yaitu 0,308 pada inconsistency 0,02. Hal ini

cukup beralasan karena PPN Palabuhanratu adalah pelaksana sehingga

mempunyai komitmen besar untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu.

Kebijakan pembangunan PPN Palabuhanratu dihasilkan Ditjen. Perikanan

Tangkap dengan nilai rasio kepentingan kedua sebesar 0,244 dan inconsistency

0,02. Pelaku yang berperan dalam pengembangan PPN Palabuhanratu : nelayan,

KUD dan PEMDA masing – masing memiliki nilai rasio kepentingan ketiga,

keempat dan kelima sebesar 0,112, 0,122, dan 0,214.

5.5.2 Sensitivitas prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu

Berdasarkan prioritas pengembangan yang telah ditentukan di atas, maka

perlu ditentukan seberapa besar persentase perubahan yang terjadi pada strategi

prioritas yang telah ditetapkan, yakni dengan melakukan perubahan terhadap

Page 193: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

172

parameter-parameter yang mempengaruhinya seperti strategi, solusi

pengembangan dan stakeholder-nya.

Kestabilan prioritas pengembangan pelabuhan perikanan yang telah dipilih

perlu dilakukan uji sensitivitas terhadap strategi terpilih tersebut. Untuk melihat

sensitifnya perubahan strategi maka berdasarkan simulasi terhadap grafik

sensitivitas (Gambar 27) diperoleh hasil seperti pada Tabel 44 :

Tabel 44 Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan pelabuhan perikanan terpilih

Hasil uji sensitivitas terhadap peningkatan jumlah kapal sebagai

prioritas pertama No Aspek/kriteria Rasio

kepentingan (RK )awal Range RK stabil Range RK sensitif

1 Ditjen. PT 0,244 0 – 1 Tidak ada

2 PPNP 0,308 0 – 1 Tidak ada

3 PEMDA 0,112 0 – 0,987 Tidak ada

4 KUD 0,122 0 – 0,995 Tidak ada

5 Nelayan 0,214 0 – 0,992 Tidak ada

Hasil uji sensitivitas terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu

terpilih (peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama) terlihat pada Tabel

44. Berdasarkan Tabel 44, RK Ditjen Perikanan Tangkap masih di range RK

stabil, artinya bahwa Ditjen Perikanan Tangkap sangat mendukung

pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan peningkatan

jumlah kapal. Begitu juga untuk pelaku yang lain seperti PPN Palabuhanratu, ,

Pemda, KUD dan nelayan tidak mengganggu kestabilan alternatif prioritas

pengembangan. Hal tersebut dimungkinkan karena keempat pelaku/lembaga

tersebut lebih besar dukungannya terhadap pengembangan PPN Palabuhanratu.

Pemerintah daerah akan membantu terhadap proses pembebasan lahan dalam

rangka pengembangan PPN Palabuhanratu (Gambar 27).

Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk mempersiapkan aksesibilitas

prasarana perhubungan. Selanjutnya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi

investor, maka pemerintah harus memberikan insentif keringanan pajak kepada

pengusaha, menghindari adanya pajak yang berlebihan akibat adanya otonomi

Page 194: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

173

daerah serta memberikan kemudahan didalam proses perijinan dan menciptakan

kondisi keamanan yang kondusif dalam berusaha.

Pengembangan PPN Palabuhanratu dengan prioritas pengembangan

peningkatan jumlah kapal yang mendarat menghendaki untuk segera dilengkapi

fasilitas terutama perluasan kolam pelabuhan dan penambahan kapasitas dermaga,

kapasitas BBM, dan perluasan lahan. Kendala yang mungkin akan timbul dalam

melaksanakan prioritas pengembangan ini adalah tidak tersedianya dana untuk

pengembangan PPN Palabuhanratu, sehingga pembangunan fasilitas belum dapat

dilakukan atau terkendala karena adanya kebijakan pemerintah, misalnya tentang

kenaikan BBM sehingga menyebabkan menurunnya aktivitas perikanan. Kondisi

Gambar 27 Hasil uji sensitivitas peningkatan jumlah kapal sebagai prioritas pertama prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu.

Page 195: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

174

tersebut menyebabkan jumlah kapal yang melakukan operasi penangkapan relatif

sedikit atau ada pengaruh global tentang embargo ekspor ikan sehingga

menyebabkan unit penangkapan mengurangi aktivitasnya.

Dengan kemungkinan adanya kejadian tersebut diatas, maka perlu dilakukan

beberapa skenario terhadap pelaksanaan prioritas pengembangan PPN

Palabuhanratu. Ada beberapa skenario pengembangan PPN Palabuhanratu yakni:

(1) Akibat terbatasnya dana pembangunan, maka dilakukan skala prioritas tentang

pentahapan pembangunan fisik, misalnya membangun kolam dan dermaga

terlebih dahulu, kemudian apabila dana sudah tersedia lagi, maka dilakukan

pembangunan fisik lainnya.

(2) Akibat adanya kebijakan pemerintah tentang kenaikan BBM, maka

pembangunan fasilitas fisik pelabuhan tetap dilakukan.

(3) Membangun semua fasilitas fisik yang ditentukan sehingga semua kendala-

kendala yang ada dapat diatasi.

Page 196: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

6 PEMBAHASAN

6.1 Antisipasi Pengembangan PPN Palabuhanratu

PPN Palabuhanratu yang akan dikembangkan berdasarkan konsep triptyque

portuaire perlu diantisipasi agar berfungsi optimal terutama setelah tercapainya

kapasitas pelabuhan untuk type B (nusantara) dan selanjutnya berkembang kearah

type A (samudera). Pengembangan PPN Palabuhanratu ke arah type A ini telah

diwacanakan dalam beberapa pertemuan antara Dirjen Perikanan Tangkap dengan

Gubernur Jawa Barat pada bulan Oktober tahun 2005. Wacana-wacana tersebut

telah didukung oleh pemerintah daerah untuk membangun airport di

Palabuhanratu guna memperlancar distribusi produk perikanan, akan

memperlebar jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak sehingga mobil-mobil yang

berkapasitas besar seperti mobil truk berkontainer dapat dengan mudah melalui

jalan tersebut untuk mendistribusikan produk perikanan, selain itu sedang

dilakukan penyelesaian jalan lingkar pantai selatan yang menghubungkan

Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten

Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Pemerintah pusat akan mengusahakan dana

pembangunan fisiknya. Dalam hal ini penulis mencoba menguraikan berbagai

antisipasi yang dilakukan apabila hal tersebut benar-benar akan dilaksanakan

adanya kemungkinan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu

sehingga aspek-aspek operasional, penyediaan fasilitas, manajemen, pembinaan

mutu, pemasaran dan distribusi ikan serta industri perikanan maupun peranan

pemerintah dalam mendukung pengembangan PPN Palabuhanratu serta perlunya

keterkaitan antara pengaturan internasional yang berkaitan dengan pelabuhan

perikanan. Adapun pola kegiatan operasional PPS Palabuhanratu, baik untuk

kegiatan operasional di laut, maupun kegiatan operasional di pelabuhan perikanan

dan distribusi ikan (Gambar 28) adalah sebagai berikut:

6.1.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan dan fishing ground (foreland)

Berdasarkan potensi MSY di WPP 9 Samudera Hindia, maka hasil

perhitungan target produksi ikan untuk pengembangan PPN Palabuhanratu adalah

19.000 ton/tahun atau 52 ton/hari, sehingga masih dibawah target minimum kelas

Page 197: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

176

PPS yaitu sebesar 60 ton/hari. Target produksi ikan sebesar 52 ton/hari tersebut

apabila diasumsikan bahwa pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan yang

ada di WPP 9 Samudera Hindia semuanya berfungsi. Menurut Lubis (2002),

bahwa 40% PPI tidak berfungsi, maka apabila hal tersebut diberlakukan, target

produksi ikan adalah sebesar 35.476 ton/tahun atau 97 ton/hari yang melebihi

target minimum produksi ikan PPS (Tabel 45). Fishing ground dari kapal-kapal

yang berukuran >30 GT – 150 GT akan mencapai perairan Samudera Hindia baik

yang ada di Perairan Sebelah Barat Sumatera, Perairan Selatan Jawa, Perairan

Selatan Bali dan Nusa Tenggara yang jaraknya lebih besar dari 12 mil atau

mencapai ZEEI.

Kegiatan penangkapan ikan di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal ukuran

<10 GT adalah untuk daerah penangkapan ikan di sepanjang pantai sampai

dengan jarak 3 mil dari pantai. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring payang,

pancing ulur, gillnet, jaring dogol, bagan apung. Jenis-jenis ikan yang tertangkap

kebanyakan ikan-ikan dasar seperti udang, tongkol kuwe, lobster, bambangan,

kakap hitam. Jenis-jenis ikan pelagis yang tertangkap seperti cakalang, pepetek,

teri. Kelompok kedua adalah kegiatan kapal-kapal ukuran 10–30 GT yang

melakukan penangkapan ikan di wilayah 3 mil sampai 12 mil dari pantai. Alat

tangkap yang digunakan umumnya adalah gillnet dan pancing ulur. Pada wilayah

ini sudah terpasang beberapa buah rumpon. Rumpon laut dalam ini sangat

menguntungkan karena cepat mendatangkan gerombolan ikan sehingga

mempermudah nelayan menangkapnya. Jenis-jenis ikan yang tertangkap adalah

tuna, cakalang, layur, layaran, cucut, pari dan ikan pelagis besar lainnya.

Kelompok ketiga adalah kapal-kapal berukuran 30–150 GT. Dengan

bertambahnya kapal berukuran besar, maka kapal-kapal tersebut yang akan

beroperasi melakukan penangkapan ikan sampai ke laut lepas internasional di

Samudera Hindia (WPP 9). Jenis-jenis ikan utama yang menjadi tujuan

penangkapan adalah jenis tuna. Dalam kegiatan penangkapan ikan ini mencakup

pula kegiatan penanganan ikan di atas kapal berupa pembersihan (cleaning),

pengawetan dengan pendinginan /pembekuan menggunakan es (icing/freezing)

atau penggaraman (salting) dan penyimpanan dalam fish hold (storage). Semua

Page 198: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

177

kebutuhan kapal untuk melakukan operasi penangkapan ikan tersebut akan dapat

difasilitasi oleh PPS Palabuhanratu.

Penanganan ikan yang baik adalah dengan menjaga agar ikan tetap segar

setelah ditangkap. Ikan-ikan hasil tangkapan tersebut dibersihkan dari kotoran isi

perut dan insangnya. Ikan-ikan tersebut disimpan dalam palkah (fish hold) dan

diawetkan dengan es. Sebagian kapal yang memiliki mesin pendingin/pembeku

akan menyimpan dalam ruangan pendingin. Dengan demikian ikan-ikan tersebut

tetap dingin dan segar selama perjalanan di laut. Sehubungan dengan hal itu,

maka kapal-kapal penangkapan ikan yang berlayar harus dibekali dengan es yang

cukup untuk menjaga mutu ikan selama operasi penangkapan. Semua es yang

diperlukan agar difasilitasi oleh pelabuhan untuk memperolehnya.

Berdasarkan pengkajian status pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP 9

Samudera Hindia, ternyata bahwa sumberdaya jenis ikan pelagis besar masih

besar potensi untuk dimanfaatkan terutama untuk ikan tuna. Jenis ikan tuna yang

bersifat high migration melintasi antar perairan negara saat ini telah diatur

pemanfaatannya oleh organisasi internasional seperti Indian Ocean Tuna

Comission (IOTC), Convention for the Conservation of South Bluefin Tuna

(CCSBT) dan WCPFC (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003). Saat ini

Indonesia belum menjadi anggota organisasi internasional yang mengatur tuna

tersebut sehingga Indonesia tidak diperhitungkan didalam pengaturan

pemanfaatan tuna yang menyebabkan kepentingan Indonesia untuk memanfaatkan

tuna terbatas bahkan akan ada embargo terhadap ekspor tuna ke luar negeri.

Kondisi ini akan berdampak kepada pemanfaatan tuna oleh nelayan Palabuhanratu

sehingga pemerintah diharapkan berperan dalam organisasi perikanan regional

dan peningkatan intensitas loby perdagangan internasional. Pelaksanaan

monitoring terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan oleh PPN Palabuhanratu

selama ini telah dilakukan dengan baik dalam arti bahwa kegiatan pengumpulan

data dilakukan oleh petugas yang terlatih dan diatur pelaksanaannya selama 24

jam. Hasil pelaksanaan pendataan statistik perikanan dilaporkan kepada Direktorat

Sumberdaya Hayati Ditjen. Perikanan Tangkap di Jakarta.

Page 199: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

178

Tabel 45 Perhitungan target alokasi pemanfaatan SDI PPS Palabuhanratu

Tipe pelabuhan PPS PPN PPP PPI Kapasitas minimum (ton)/hari 60 30 10 5 Jumlah PP/PPI (unit) 3 3 3 83

Kapasitas minimum masing-masing tipe pelabuhan perikanan berdasarkan kelompok SDI (ton/tahun)

PPS PPN PPP PPI Jumlah Sumberdaya Ikan

Potensi lestari (ton)

Estimasi JTB (80% potensi) (

ton)

180 x 365 = 65.700

90 x 365 = 32.850

30 x 365 =10.950

1035 x 365 = 151.475 260.975

Alokasi pemanfaatan

SDI untuk PPN Palabuhanratu

(Ton)

Pelagis besar 366.260 293.008 73.764 38.882 12.294 170.068 293.008 12.294Pelagis kecil 526.570 421.256 106.050 53.025 17.675 244.505 421.256 17.675Demersal 135.130 108.104 27.215 13.607 4.536 62.746 108.104 4.536Ikan karang 12.880 10.304 2.594 1.297 432 5.981 10.304 432Udang paneid 10.700 8.560 2.155 1.077 359 4.968 8.560 359Lobster 1.600 1.280 322 161 54 743 1.280 54Cumi-cumi 3.750 3.000 755 378 126 1.741 3.000 126Jumlah 1.056.890 845.512 212.856 106.428 35.476 490.752 845.512 35.476

Produksi ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 1993-2005 (ton) = 43.969 ton Rata-rata/tahun = 3.382 ton Peluang pengembangan penangkapan PPN Palabuhanratu (ton) = 35.476 - 3.382 = 32.094 ton

178

Page 200: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

179

Aktivitas di laut Aktivitas di darat

Pembersihan Pendinginan Penyimpanan

Penangkapan Di Laut Bongkar Angkut Sortir

Tabur Es

Pemasaran Antar Pulau

Transportasi Darat

Tabur Es

Pemasaran Lokal

Suplai Air Suplai BBM

Suplai Makanan

Pelayanan

Kapal Mesin Alat

Perbaikan

Pembersihan

Istirahat

Tambat / Istirahat

Pendaratan

Lelang

Angkut

Pembersihan

Pelelangan

Pember sihan

Packing

Freezer

Pembersihan Sortir

Packing

Cold Storage

Penyortiran Pengepakan

Angkut Pember sihan Packing Tabur Es

Pengolahan

PengeringanPenggara man PengalenganFilletingTepung IkanKrupuk IkanMinyak

dll

Gambar 28 Rencana kegiatan operasional di darat dan di laut PPS Palabuhanratu.

179

Page 201: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

180

Dalam hal pengawasan, telah dibentuk satuan pengawas perikanan yang

sehari-harinya bertugas sebagai pengawas dan mengeluarkan surat laik

operasional (SLO) untuk setiap kapal yang melakukan operasi penangkapan ikan.

Selain itu pula dibentuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) PPN Palabuhanratu

yang juga sekaligus sebagai satuan pengawas perikanan untuk melakukan

tindakan hukum terhadap pelanggaran perikanan yang dilakukan oleh masyarakat

perikanan. Dengan adanya pengawas perikanan ini maka pemanfaatan

sumberdaya akan lebih terkendali.

PPN Palabuhanratu berada di WPP 9 Samudera Hindia, sehingga dalam

operasionalnya harus menghadapi persaingan dengan pelabuhan-pelabuhan

perikanan yang ada di WPP 9 Samudera Hindia. Dari 216 unit pelabuhan

perikanan yang ada di WPP 9 hanya ada 11 unit pelabuhan perikanan yang dapat

mengakomodasi kapal-kapal perikanan berukuran >30 GT. Berdasarkan data

yang tersedia dari 6 unit pelabuhan perikanan yang terdapat di WPP 9 yakni PPS

Jakarta, PPN Palabuhanratu, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Prigi dan PPN

Sibolga, maka bentuk persaingan yang dibandingkan adalah fasilitas pelabuhan,

jenis pendisikan SDM, jenis ikan, jenis alat penangkapan ikan dan jenis kapal

pelabuhan perikanan.

Dari hasil perhitungan menurut metode skalogram terhadap persaingan 6

unit pelabuhan perikanan, ternyata bahwa:

(a) Dari segi jumlah jenis fasilitas, kelangkaan fasilitas dan bobot fasilitas, maka

PPS Jakarta memiliki nilai indeks hierarki pelabuhan perikanan (Ii) lebih

besar dibandingkan dengan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya. Hal tersebut

disebabkan oleh besarnya peranan PPS Jakarta dalam menjalankan fungsinya

sehingga memiliki fasilitas yang relatif lengkap. Menurut Rustiadi et al.

(2005) bahwa semakin besar nilai indeks hierarki maka semakin besar pula

peranannya sebagai pusat pengembangan wilayah dalam hal ini berkaitan

dengan pengembangan ekonomi perikanan. Sehingga PPS Jakarta dapat

dikatakan sebagai inti dalam wilayah nodal yang diasumsikan sebagai pusat

kegiatan industri perikanan, pusat pasar serta pusat inovasi yang berkaitan

dengan aktivitas perikanan. Sedangkan 5 unit pelabuhan perikanan lainnya

dapat sebagai plasma atau hinterland yang memasok bahan mentah ke PPS

Page 202: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

181

Jakarta. Kondisi ini tergambar bahwa PPN Palabuhanratu pada tahun 2005

memasok ikan segar ke PPS Jakarta sebanyak 2.780.734 kg berupa ikan tuna.

Berkaitan dengan pengembangan PPN Palabuhanratu, maka pengembangan

fasilitas fisik diarahkan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas terutama

perluasan kolam, perluasan dermaga dan perluasan areal.

(b) Dari segi sumberdaya manusia pengelola pelabuhan bahwa PPN

Palabuhanratu memiliki keunggulan baik dari jumlah jenis pendidikan SDM,

bobot kelangkaan SDM, dan bobot SDM. Keunggulan PPN Palabuhanratu

ini disebabkan oleh semakin membaiknya pembinaan yang dilakukan oleh

manajemen pelabuhan terutama adanya kemudahan yang diberikan dalam

mengembangkan kualitas pendidikan sehingga saat ini sudah tersedia 3 orang

berpendidikan S2, 8 orang berpendidikan S1, 4 orang berpendidikan DIV, 2

orang berpendidikan D3, dan sisannya SLTA, SLTP dan SD. Kemudian saat

ini sedang diberi kesempatan sebanyak 11 orang berpendidikan SLTA

mengikuti jenjang S1. Dengan demikian dilihat dari segi SDM, maka PPN

Palabuhanratu sudah menyiapkan diri untuk menjadi PPS Palabuhanratu.

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1998) bahwa semua

pegawai harus bersifat proaktif meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

melaksanakan pembangunan. Hal ini berarti pelayanan yang diberikan oleh

pegawai harus memberikan nilai tambah berupa pemberdayaan masyarakat,

mengayomi masyarakat dan meningkatkan produktivitas masyarakat.

(c) Dari segi jenis ikan yang didaratkan ternyata bahwa PPS Cilacap memiliki

jumlah jenis ikan, bobot kelangkaan jenis ikan dan bobot jenis ikan lebih

besar dibandingkan dengan 5 pelabuhan perikanan lainnya karena PPS

Cilacap terletak dekat dengan daerah penangkapan ikan di perairan Segara

Anakan, Teluk Pangandaran dan Samudera Hindia yang merupakan tempat

berbagai jenis ikan. Selain itu PPS Cilacap terletak diantara beberapa tempat

pendaratan seperti PPI Pangandaran, PPI Sadeng dan merupakan tempat

pendaratan alternatif untuk kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan

di Laut Jawa Bagian Selatan. Pengembangan PPN Palabuhanratu diarahkan

untuk memperbanyak jumlah jenis ikan yang didaratkan yang berasal dari

kapal-kapal yang melakukan operasi penangkapan di Samudera Hindia.

Page 203: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

182

Selain itu diupayakan untuk bekerjasama dengan Balai Besar Penangkapan

Ikan Semarang dan perguruan tinggi untuk mengintrodusir jenis alat

penangkapan ikan yang baru seperti alat penangkapan untuk ikan laut dalam

dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan yakni rumpon.

(d) Jenis alat penangkapan ikan yang paling banyak terdapat di PPN

Palabuhanratu sebanyak 11 jenis, kemudian bobot kelangkaannya paling

besar, dan bobot jenis alat tangkap memiliki nilai paling besar. Hal tersebut

terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh PPN Palabuhanratu terhadap

semua jenis tipe kapal sehingga hasil tangkapan yang didaratkan bervariasi.

Arah pengembangan PPN Palabuhanratu untuk jenis alat penangkapan ikan

terutama pengembangan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon,

pemanfaatan purse seine dan pengenalan alat penangkapan ikan yang lebih

modern.

(e) Berdasarkan jenis kapal ikan ternyata bahwa PPS Jakarta dan PPN

Palabuhanratu memiliki nilai yang paling besar, namun dari segi indeks bobot

kelangkaan, maka PPS Jakarta lebih unggul dibandingkan dengan PPN

Palabuhanratu. Berdasarkan bobot jenis kapal ternyata bahwa PPS Jakarta

dan PPN Palabuhanratu memiliki angka yang sama untuk jumlah jenis kapal.

Perbedaannya adalah bahwa PPN Palabuhanratu banyak melayani kapal-

kapal ukuran kecil.

Berdasarkan data teknis dan operasional untuk masing-masing pelabuhan,

maka PPS Bungus memiliki kedalaman kolam pelabuhan sampai dengan

8 m sehingga dapat didarati oleh kapal >30 GT. Pada tahun 2005 menurut

Ditjen Perikanan Tangkap (2005) tercatat kapal ukuran >30 GT jumlahnya

sekitar 10-15 unit kapal yang mendarat di pelabuhan ini. Prospek

pemanfaatan PPS Bungus cukup bagus mengingat Bandara Internasional

Minangkabau sudah dapat berfungsi untuk melayani kargo ikan, namun tetap

saja ikan ekspor tersebut diangkut ke Jakarta. PPS Cilacap hanya memiliki

kedalaman kolam 3 m, sehingga kapal-kapal berukuran >30 GT sulit masuk

ke kolam, dan aksesibilitas dari PPS Cilacap ke Jakarta cukup jauh

dibandingkan dengan posisi PPN Palabuhanratu. Selanjutnya untuk PPS

Page 204: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

183

Jakarta memiliki tempat yang strategis karena berada di ibu kota negara,

kondisi kolamnya cukup dalam sampai dengan 6 m sehingga dapat

menampung kapal ukuran >30 GT, industri perikanan sudah tumbuh, saat ini

menjadi pusat pertumbuhan perikanan di DKI Jakarta karena PPS Jakarta

menampung sebagian produksi ikan yang datang dari berbagai daerah di

Pulau Jawa termasuk dari Palabuhanratu dan dekat dengan Bandara

Internasional Sukarno-Hatta. Pelabuhan umum Benoa memiliki keunggulan

dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali sehingga kegiatan

ekspor ikan segar cukup mudah. PPN Sibolga kondisi teknis kolam dan

dermaga hanya dapat menampung kapal <30 GT, selain itu banyak kapal

melakukan pendaratan di masing-masing Tangkahan sehingga PPN Sibolga

kurang berfungsi. Kemudian aksesibilitas dari PPN Sibolga ke kota Medan

relatif jauh berjarak 384 km dengan kondisi jalan yang berliku-liku dan

sempit. Pelabuhan Perikanan Sabang adalah basis bagi kapal-kapal yang

melakukan operasi penangkapan di Perairan Aceh dan Samudera Hindia.

Kondisi teknis kolam dan dermaga dapat menampung kapal berukuran >30

GT. Aksesibilitas menuju Banda Aceh harus ditempuh melalui jalan laut.

Adanya persaingan pelabuhan, mendorong PPN Palabuhanratu untuk

memberikan hal-hal yang menarik bagi kapal-kapal untuk datang ke PPN

Palabuhanratu mulai dari penyediaan fasilitas vital seperti kondisi dermaga dan

kolam yang memenuhi syarat sehingga kapal-kapal cukup terlindung, hal tersebut

sesuai dengan pernyataan Ayodhyoa (1975), bahwa pelabuhan perikanan adalah

suatu tempat di wilayah perairan yang terlindung bagi kapal-kapal untuk

melakukan bongkar muat maupun berlabuh. Selanjutnya PPN Palabuhanratu telah

memfasilitasi perusahaan untuk menyiapkan BBM, air bersih dan es yang

merupakan keperluan pokok kapal-kapal, sehingga dengan penyediaan fasilitas

tersebut menyebabkan kapal-kapal dari luar akan tertarik untuk mendarat di PPN

Palabuhanratu. Saat ini terlihat bahwa banyak kapal-kapal dari Cilacap, Benoa

dan Jakarta mendarat di PPN Palabuhanratu. Sejak tahun 2002 sampai tahun 2005

ada sebanyak 139 unit kapal berukuran 30–150 GT mendarat di PPN

Palabuhanratu atau 11,2% dari total kapal ukuran 30-100 GT sebanyak 1.240 unit

yang memanfaatkan WPP 9 Samudera Hindia.

Page 205: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

184

6.1.2 Fasilitas dan operasional PPS Palabuhanratu

Direncanakan ada pengembangan kolam III dengan kedalaman 6 m,

sehingga dapat mengakomodir kapal sampai ukuran 1000 GT. Kegiatan

pendaratan kapal penangkap ikan di dermaga mencakup bongkar ikan

(unloading), pengangkutan ikan ke cold storage, ke tempat pengalengan ikan atau

pengolahan ikan lainnya atau pengangkutan ke TPI dan pembersihan

(sortir/cleansing).

Dalam rangka pembangunan PPS Palabuhanratu, maka direncanakan ada 3

kolam yang berfungsi untuk tempat labuh kapal sekaligus tempat membongkar

ikan di dermaga bongkar. Hasil tangkapan ikan kapal-kapal kecil (<30 GT) di

dermaga I setelah dibongkar di dermaga bongkar, kemudian diangkut ke areal TPI

untuk dilakukan pelelangan. Setelah dilelang, maka sebagian ikan dijual dalam

bentuk segar guna keperluan konsumsi masyarakat lokal atau restoran.

Sebagiannya lagi dibawa ke tempat pengolahan ikan untuk diolah menjadi ikan

pindang atau sebagian dibawa ke Jakarta untuk bahan baku industri pengolahan

ikan. Kapal-kapal berukuran 30–100 GT yang mendarat dan membongkar hasil

tangkapannya di dermaga II hampir semuanya jenis-jenis ikan untuk ekspor

seperti ikan tuna.

Kapal-kapal yang telah selesai melakukan pembongkaran ikan hasil

tangkapannya, akan menuju ke dermaga pelayanan (service berth) untuk memuat

perbekalan melaut berupa bahan bakar minyak, air bersih, es, bahan makanan dan

keperluan lainnya. Dalam perencanaannya, dermaga pelayanan akan dipisahkan

dengan dermaga bongkar, sehingga kegiatan-kegiatan pembongkaran ikan

memiliki dermaga khusus untuk mempercepat pembongkaran ke TPI atau mobil

angkutan.

Kapal-kapal yang telah beroperasi memerlukan pemeliharaan dan perbaikan.

Biasanya setiap 6 bulan kapal akan naik dock. Kegiatan ini mencakup perbaikan

bagi kapal-kapal yang rusak berat/rusak ringan, penggantian suku cadang, maupun

perawatan rutin sebelum melaut. Pihak pelabuhan harus menyiapkan tempat

perbaikan kapal berupa slipway, bengkel, dan toko tempat pembelian spare part

kapal maupun mesin dan alat tangkap untuk melaksanakan kegiatan ini

Page 206: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

185

Kapal-kapal yang telah selesai membongkar hasil tangkapannya maupun

yang belum selesai membongkar hasil tangkapannya dan kapal yang telah selesai

diperbaiki, akan tambat dan istirahat sambil menunggu operasi penangkapan ikan

berikutnya. Selama menunggu masa tambat/istirahat, maka ABK akan beristirahat

di darat. Banyak hotel-hotel dan penginapan murah yang tersedia di

Palabuhanratu. Sebagian hotel tersebut juga menyediakan berbagai hiburan. Di

pelabuhan juga tersedia mushola, masjid, puskesmas nelayan, wartel, bank,

pegadaian yang dapat digunakan oleh ABK. Lokasi ini berdampingan dengan

pasar yang menyediakan keperluan untuk nelayan.

Hasil tangkapan ikan dari kapal-kapal ukuran <30 GT umumnya dilakukan

pelelangan terlebih dahulu, karena umumnya jenis-jenis ikan yang didaratkan

mutunya sudah menurun sehingga produknya dijual untuk konsumsi masyarakat

lokal atau sebagai bahan baku pindang. Kegiatan pelelangan ikan hasil tangkapan

ini merupakan kegiatan utama dan dilakukan di tempat pelelangan ikan (TPI).

Didalam kegiatan pelelangan ikan ini mencakup kegiatan administrasi

(pencatatan, penarikan retribusi, dan lain-lain) yang dilakukan oleh petugas TPI,

kegiatan jual beli yang melibatkan pemilik ikan/penjual dan pedagang/pembeli.

Pelabuhan perikanan akan membangun gedung baru pelelangan, untuk

mengantisipasi produksi hasil tangkapan yang lebih banyak. Direncanakan gedung

pelelangan yang lama akan dijadikan areal untuk pemasaran ikan segar.

Bagi ikan-ikan hasil tangkapan yang telah dilelang selanjutnya disortir dan

dipak untuk kemudian dipasarkan atau diolah lebih lanjut. Kegiatan ini dilakukan

pada satu ruangan di dalam TPI. Apabila terjadi produksi yang melimpah, maka

penyortiran dilakukan di atas meja sortir yang dirancang khusus, kemudian

menambah tenaga kerja untuk penyortiran ikan.

Dalam proses pembongkaran ikan dari laut ke dermaga dan pengangkutan

ikan ke TPI atau ke cold storage atau ke tempat pengolahan ikan lainnya,

diperlukan penanganan ikan yang lebih baik agar mutu tetap terjaga. Pada saat

kapal merapat di dermaga, ikan-ikan yang dibongkar dari palkah, dibersihkan dari

kotoran dan es dengan menggunakan air bersih bukan dengan air dari kolam

pelabuhan, kemudian disortir dan disusun dalam keranjang dengan ditaburi es.

Selanjutnya keranjang-keranjang yang berisi ikan tersebut diangkut ke tempat

Page 207: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

186

penyimpanan atau tempat pengolahan atau langsung dipasarkan. Pelabuhan juga

akan menyediakan ruangan khusus untuk penanganan jenis ikan tuna yang

diproses dalam bentuk segar atau tuna loin.

Kegiatan pengolahan meliputi kegiatan pengalengan ikan (canning),

pendinginan/pembekuan di dalam cold storage atau freezer, pengawetan dengan

pengeringan (drying), pembuatan abon ikan, baso ikan, kerupuk ikan, kerupuk

kulit ikan, terasi, pemindangan dan sebagainya. Kegiatan industri pengolahan ikan

akan ditempatkan dalam satu kawasan berikat industri perikanan yang dikelola

Pemerintah Daerah. Kegiatan pengolahan ini akan banyak melibatkan para

pengolah tradisional, maupun para pengolah modern yang mengolah ikan untuk

kepentingan pemasaran antar pulau maupun ekspor. Kegiatan ini akan banyak

menyerap tenaga kerja lokal sehingga masyarakat pencari kerja tidak perlu ke luar

daerah mencari kerja dan kegiatan ini akan mengurangi jumlah pengangguran.

Jaringan drainase, untuk setiap gedung harus ada dengan kedalaman dan

lebar yang cukup serta mempunyai pengaturan kemiringan ke arah outlet.

Kemudian di sisi jalan komplek harus terdapat drainase. Agar air laut tetap bersih,

maka outlet air kotor akan diarahkan ke jaringan IPAL.

PPS Palabuhanratu dapat berperan sebagai pusat pembinaan penanganan

ikan hasil tangkapan mulai dari pembinaan penanganan ikan di atas kapal hingga

didaratkan di pelabuhan (TPI). Tujuan pembinaan penanganan ikan ini adalah

untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar mutu dan memperoleh

jaminan keamanan pangan untuk memperluas pasar dan untuk mendukung

kebutuhan bahan baku industri. Strategi yang dijalankan untuk mencapai tujuan

tersebut adalah :

(a) Mempersiapkan fasilitas pelabuhan perikanan sesuai dengan standar

pembangunan pelabuhan perikanan sehingga aktivitas perikanan yang

dilayani berjalan seefisien mungkin, misalnya fasilitas instalasi penyediaan

air, instalasi BBM, crane untuk bongkar muat harus selalu ada ditepi

dermaga.

(b) Membangun sistem rantai dingin (cold chain system). Pengembangan cold

chain system di Pelabuhan Perikanan, meliputi:

Page 208: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

187

a) Penyediaan pabrik es oleh pihak swasta dalam kuantitas dan kualitas es

yang terjamin mutunya dengan harga yang terjangkau.

b) Mempersiapkan alat penghancur es (ice crusher) dalam jumlah yang

cukup.

c) Mempersiapkan kapal yang memenuhi syarat untuk penanganan ikan

dengan konstruksi palkah yang memenuhi kriteria penanganan mutu,

dan melengkapi freezer pada kapal-kapal yang berukuran besar (>30

GT).

d) Mempersiapkan awak kapal yang terlatih untuk menangani ikan di atas

kapal.

e) Penanganan ikan sampai di TPI, mulai dari persiapan pemindahan ikan

dari palkah atau freezer, pengangkutan ikan ke TPI atau truk

berefrigerasi. TPI harus dirancang agar tercipta kondisi kegiatan

pelelangan ikan yang dapat mempertahan mutu ikan. Sebaiknya TPI

selalu dijaga kondisi kebersihan, ketertiban dan keamanannya. Di

sekeliling TPI atau di luar pintu masuk TPI harus terdapat tempat

penampung air bersih agar peserta lelang dapat membersihkan kakinya

sebelum masuk ke TPI. Penerangan di dalam TPI agar disesuaikan

dengan kebutuhan sehingga setiap tempat di dalam TPI memperoleh

cahaya penerangan yang cukup. Perlu pula dipersiapkan lampu

serangga di dalam ruang TPI. Di ruang peragaan ikan yang hendak

dilelang perlu dilengkapi dengan kran air bersih. Lantai TPI harus

memiliki kemiringan sekitar 5% sehingga mencegah adanya genangan

air. Lantai TPI dibuat licin guna mencegah kerusakan tubuh ikan pada

saat dilelang. Sistem drainase gedung TPI agar dirancang sehingga

mengalir ke tempat instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Pintu

masuk ke dalam TPI perlu dilengkapi dengan sistem entry yakni setiap

orang dapat masuk apabila menggunakan kartu masuk sehingga pintu

dapat terbuka. Begitu juga orang yang akan keluar, perlu ada bukti

karcis masuk, agar kegiatan nelayan berjalan efisiensi dan produktif,

sehingga aktivitas mereka dapat dipantau dan dikendalikan.

Page 209: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

188

Di atas Kapal

TPI/PPI/ Pelabuha

Cold Storage

UPITruk berefrigerasi

Gerobak Dorong

Sepeda berinsulasi

Motor berinsulasi

Truk berefrigerasi

Super Market

Pasar Dalam Negeri

Pasar Tradisional

Perkantoran

Perumahan

RefrigratedContainer

Pesawat

Es crusher Pabrik es

Domain Perikanan Tangkap

Gambar 29 Cold chain system di PPS Palabuhanratu.

f) Disediakan pula tempat parkir yang luas untuk truk-truk berefrigerasi.

Motor berinsulasi, sepeda berinsulasi dan gerobak dorong perlu pula

dipersiapkan, kendaraan-kendaraan tersebutlah yang mengantarkan

ikan-ikan ke cold storage, refrigerated container, atau ke pesawat

terbang, ke pasar dalam negeri, super market, pasar tradisional,

perkantoran atau ke perumahan. Gambar 29 menunjukkan pola cold

chain system usaha perikanan.

Page 210: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

189

Umumnya bila kita berkunjung ke pelabuhan perikanan, hal pertama yang

kita rasakan adalah bau, kotor, penuh sampah, saluran drainase mampat, genangan

air kotor, terkesan buruk sanitasinya dan tidak hygienis. Kondisi tersebut pada

umumnya disebabkan oleh:

(1) Kepadatan kegiatan di pelabuhan perikanan yang tinggi.

(2) Kurang atau tidak berfungsinya sarana dan prasarana air bersih, drainase, air

limbah, pengelolaan sampah.

(3) Kurangnya kesadaran masyarakat pengguna pelabuhan akan kebersihan.

Sebuah pelabuhan memerlukan pemeliharaan secara periodik untuk menjaga

fungsi/perannya sebagai pusat kegiatan pendaratan hasil perikanan, tempat

pemasaran hasil laut, tempat penyimpanan, suplai kebutuhan bahan bakar dan air

besih kapal, tempat pemeliharaan dan perbaikan kapal. Seluruh kegiatan tersebut

akan menghasilkan pencemar (polutant) baik limbah padat maupun cair. Jika

sarana dan prasarana tidak mencukupi, maka lingkungan pelabuhan akan menjadi

buruk, kualitas air dan tingkat kebersihan rendah. Sumber pencemaran di

Pelabuhan perikanan dapat dikategorikan sebagai berikut:

(a) Limbah buangan padat (sampah organik, sampah non organanik dan sampah

beracun). Penanganan produk sampah tersebut dilakukan dengan:

- Menyiapkan pewadahan sampah. Sebaiknya disediakan tempat sampah yang

sudah dipisahkan. Setiap kapal diminta untuk menyediakan tempat sampah

di kapalnya.

- Pengumpulan sampah secara periodik.

- Pengangkutan sampah ke TPS dan TPA.

- Pihak pelabuhan harus menyewa/memiliki alat crane yang lebih besar

kapasitasnya atau back hoe guna menghancurkan bangkai kapal di kolam

pelabuhan.

(b) Limbah buangan cair (ceceran bahan bakar, oli, minyak, air limbah dari toilet,

air bekas pencucian ikan, air limbah industri). Cara penanganannya sesuai

dengan karekteristik limbah tersebut, namun yang lebih penting adalah

adanya kesadaran pemakai pelabuhan terhadap pentingnya kebersihan

pelabuhan.

Page 211: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

190

Peningkatan kebersihan lingkungan pelabuhan yang meliputi lingkungan

darat dan lingkungan air. Penyediaan alat-alat kebersihan seperti truk sampah,

truck crane, forklift, tungku pembakaran (insimirator), dan peralatan kebersihan

lainnya seperti keranjang, cangkul dan tempat-tempat sampah perlu segera

disiapkan guna menjaga kebersihan lingkungan darat dan lingkungan air (kolam).

Selain itu sistem drainase pelabuhan perlu ditata ulang dan direhabilitasi sesuai

dengan hasil studi amdal. Didalam kawasan pelabuhan agar diberi petunjuk-

petunjuk tentang peringatan kepada pengguna pelabuhan agar selalu menjaga

kebersihan, keindahan dan ketertiban.

6.1.3 Potensi pengembangan wilayah distribusi (hinterland)

Kegiatan pemasaran meliputi pemasaran lokal, antar pulau, dan ekspor.

Pemasaran lokal meliputi kota-kota yang ada di Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Pemasaran ke luar negeri meliputi negara Jepang, Taiwan, Korea, dan Uni Eropa.

Pengembangan fasilitas pemasaran dilakukan dengan penyedian informasi

harga melalui PIPP yang telah on line dengan semua pelabuhan perikanan melalui

jaringan internet, media elektronik dan media cetak, penyelenggaraan pelelangan

sesuai dengan ketentuan aturan, menghadirkan banyak pembeli ke PPN

Palabuhanratu dengan cara promosi, temu mitra dengan pihak investor perikanan,

perbankan dan investor-investor yang terkait dengan usaha pemasaran.

Pengembangan sarana transportasi distribusi ikan berupa penyediaan mobil-mobil

berpendingin sehingga wilayah distribusi ikan semakin jauh, mendorong

pemerintah daerah membangun lapangan terbang yang saat ini sedang dilakukan

studi sehingga berpeluang besar untuk menjangkau distribusi ikan keluar negeri,

selain itu mendorong pemerintah daerah memperlebar jalan antara Pelabuhanratu-

Cibadak, Pelabuhanratu-Cikidang dan Pelabuhanratu–Bayah Pandeglang sehingga

mobil-mobil ukuran besar seperti kontainer dapat lebih leluasa mengangkut ikan

dalam jumlah besar dari Pelabuhanratu. Mendukung upaya pemerintah provinsi

untuk menyelesaikan jalan trans Jabar mulai dari Bandung, Cianjur,

Palabuhanratu sehingga akan mendorong PPN Palabuhanratu sebagai pusat

pertumbuhan (growth center).

Page 212: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

191

Pengangkutan hasil produksi merupakan penghubung mata rantai kegiatan

perikanan yang sangat penting. Pengangkutan hasil produksi perikanan (ikan

segar maupun olahan) dari pelabuhan ke kota-kota tujuan pemasaran dalam

negeri, maupun ke negara-negara tujuan ekspor, merupakan komponen penting

yang mempengaruhi harga penjualan. Kegiatan pengangkutan ini melibatkan

sarana dan prasarana transportasi darat (jalan, jembatan, truk, trailer, peti kemas),

laut (pelabuhan umum, kapal carrier) dan udara (pelabuhan udara, pesawat

terbang). Pemerintah Daerah akan memperlebar jalan akses masuk ke

Palabuhanratu, yakni jalan Palabuhanratu – Cikidang - Cibadak, jalan

Palabuhanratu – Cikembang - Cibadak, jalan Palabuhanratu - jalan pelabuhan II-

Sukabumi, jalan tembus ke daerah Pandeglang, jalan lingkar Selatan Jawa Barat.

Menurut Gubernur Provinsi Jawa Barat pada saat kunjungan kerja Dirjen

Perikanan Tangkap bulan Oktober tahun 2005, pemerintah provinsi sedang

merencanakan pembuatan landasan pesawat terbang di Palabuhanratu untuk

mendukung pariwisata dan perikanan tuna ekspor di Palabuhanratu. Jalan TOL

dari Ciawi akan disambung sampai ke Sukabumi-Bandung. Semua sarana dan

prasarana transportasi akan mempercepat kemajuan pembangunan di Selatan Jawa

Barat khususnya Palabuhanratu sebagai pusat kota perikanan dan kelautan.

Jaringan jalan dari Palabuhanratu ke Cibadak diperlebar, adanya rencana

pembangunan jalan TOL dari Ciawi ke Sukabumi dan Cianjur akan mempercepat

distribusi ikan ke daerah konsumen. Jalan tembus lingkar Selatan Jawa Barat

mulai dari Palabuhanratu sampai Pangandaran sudah hampir selesai dibangun oleh

pemerintah Propinsi Jawa Barat. Fasilitas bandara sedang dilakukan studi

pembangunannya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Hasil perikanan yang didaratkan di dermaga I, dermaga II dan dermaga III,

setelah dilelang, maka dijual dalam bentuk segar untuk konsumsi lokal, atau

dijual ke pedagang pengolah (ikan asin, ikan pindang, ikan asap maupun hasil

fermentasi) untuk selanjutnya hasil olahan dijual ke kota-kota terdekat dari

Palabuhanratu, yakni Jakarta, Bandung, Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Ikan yang

akan dijual dalam keadaan segar, memerlukan penanganan yang baik selama

pengangkutan agar tetap terjaga mutunya. Apabila jarak pengangkutan cukup

jauh, maka ikan-ikan tersebut harus diangkut dalam keadaan tetap dingin dengan

Page 213: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

192

cara disimpan dalam peti berinsulasi dan ditaburi es. Sementara untuk jarak yang

relatif dekat, diangkut bersama-sama dengan keranjangnya dan ditaburi es curai.

Ikan beku diekspor dengan kapal carrier, disimpan dalam keadaan beku di dalam

palkah kapal carrier yang biasanya sudah dilengkapi dengan pendingin, atau

dengan container yang memakai sistem pendingin. Sistem pendingin ikan dengan

rantai dingin (cold chain system) merupakan alternatif terbaik dalam

mempertahankan dan peningkatan mutu serta pengembangan ekspor hasil-hasil

perikanan.

Dengan meningkatnya jumlah produksi ikan, maka perlu diantisipasi

perluasan pasar baik lokal, regional, nasional, maupun ekspor. Mengingat

Palabuhanratu adalah lokasi sektor basis, maka sebagian produksinya seperti ikan

tuna segar, ikan layur beku dan produk olahan seperti cumi-cumi olahan, abon

ikan dan ikan kaleng akan diekspor ke pasar Korea, Jepang dan Cina bahkan

sampai ke Amerika Serikat. Menurut Soepanto (2003), ikan tuna di Indonesia

dipasarkan dalam bentuk ikan segar, ikan beku dan ikan kaleng. Selanjutnya

dikatakan bahwa tuna segar bukan hanya untuk konsumsi domestik tetapi untuk

pasar luar negeri yang menuntut kesegaran tinggi dengan target pasarnya adalah

Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sebagian produk lainnya seperti ikan pelagis

besar (tongkol, cakalang, cucut dll) akan dijual ke pasar lokal baik dalam bentuk

segar maupun dalam bentuk beku sebagai bahan produk ikan olahan seperti ikan

pindang. Begitu juga untuk ikan-ikan demersal seperti ikan kakap, lobster, kuwe,

sebelah dan ikan dasar lainnya merupakan pangsa pasar lokal baik untuk restoran

maupun untuk rumah tangga dan pasar regional seperti Jakarta dan Bandung.

Antisipasi ini dimaksudkan untuk penyerapan produksi hasil tangkapan, sehingga

harga ikan yang maksimal dapat tercapai.

Seperti yang telah dikatakan oleh Mappangara (2005), bahwa pelabuhan

sebagai pintu strategis memegang peranan vital terhadap kelangsungan interaksi,

barter produksi dan jasa. Pelabuhan sebagai tempat perpindahan intra dan antar

moda transportasi serta sebagai pintu gerbang perekonomian yang sangat

tergantung dari pengaruh eksternal baik yang bersifat internasional maupun

nasional.

Page 214: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

193

PPS Palabuhanratu dalam operasionalnya sangat tergantung kepada kondisi

kapal-kapal ikan yang berukuran 30-150 GT yang melakukan penangkapan ikan

di fishing ground WPP 9 Samudera Hindia dan permintaan ikan dari daerah

hinterland pelabuhan. Semakin baik pelayanan yang diberikan oleh PPS

Palabuhanratu terhadap aktivitas perikanan maka semakin banyak permintaan

ikan oleh konsumen, serta semakin jauh ikan didistribusikan ke daerah lain

bahkan sampai diekspor, sehingga semakin maju pula operasional pelabuhan

perikanan. Adapun gambaran rencana distribusi ikan dari PPS Palabuhanratu

seperti pada Gambar 30.

Semua ikan yang didaratkan melalui PPS Palabuhanratu, baik yang berasal

dari laut maupun dari darat akan dipasarkan sebagian besar untuk pasaran ekspor

dan sebagian kecil untuk pemasaran dalam negeri. Kebutuhan ikan untuk ekspor

akan semakin meningkat dengan adanya perluasan pasar misalnya ke pasar Uni

Eropa untuk komoditi ekspor tuna.

Pemasaran ekspor dari PPN Palabuhanratu ditujukan untuk ikan-ikan jenis

tuna segar, tuna beku dan ikan beku lainnya serta ikan segar atau untuk keperluan

hotel. Sebelum ikan-ikan tersebut diekspor, khusus untuk tuna segar, dilakukan

intial proses yakni ikan tuna mengalami pembersihan kemudian dilakukan

pengepakan dan langsung dibawa ke bandara untuk tujuan ekspor. Ikan tuna

beku, layur beku dilakukan ekspor melalui kapal cargo yang telah ada di PPS

Palabuhanratu. Begitu juga untuk jenis crustacea seperti udang, lobster, kepiting,

rajungan, cumi-cumi, ubur-ubur, kerang-kerangan dilakukan proses pembersihan

sebelum dibekukan di cold storage dengan suhu -30oC, kemudian produk tersebut

diangkut ke kapal untuk diekspor. Khusus untuk jenis ikan olahan seperti pindang,

ikan asin, abon, kerupuk, terasi langsung dijual di pasar dalam negeri.

Di wilayah PPN Palabuhanratu dan daerah sekitarnya, teknik pengolahan

ikan masih didominasi oleh teknik pengolahan tradisional seperti pemindangan,

pengasinan, pembuatan terasi, pembuatan kerupuk kulit ikan. Ada pula pengolah

yang membuat bakso ikan, kaki naga (fish nugget) dan abon ikan. Ikan-ikan segar

yang dikumpulkan oleh pengusaha cold storage dilakukan processing-nya

kemudian diekspor ke negara lain. Akibat dari kondisi teknik pengolahan masih

didominasi oleh teknik pengolahan tradisional, maka luas hinterland terbatas di

Page 215: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

194

dalam negeri, dalam hal ini didistribusikan ke Jakarta, Bandung, Cianjur,

Sukabumi. Hinterland ikan segar seperti tuna dan layur dapat lebih jauh karena

diekspor ke Jepang dan Korea dengan menggunakan pesawat terbang.

Sarana transportasi untuk distribusi ikan dari PPN Palabuhanratu, terbatas

pada kendaraan jenis pick up (Mitsubishi L 300) khususnya untuk pengangkutan

Gambar 30 Diagram alir rencana distribusi ikan dan hasil tangkapan lainnya di PPS Palabuhanratu.

Ikan segar yang didaratkan dari kapal

Ikan segar budidaya

Crustacea : (udang. Lobster, kepiting, rajungan) Moluska (Cumi2, ubur2, kekerangan)

Tuna beku

Pabrik pembekuan dan cold storage

Ikan segar untuk eksport / hotel

Proses penbekuan

Pembekuan

Wholesale market

Retail

Proses

Proses Pengemasan

Pasar d alam negeri

Ekspor

Tuna segar

Ikan beku

Transhipment

Proses

Cold storage (- 50 C )

Cold storage

(- 300 C )

Bandara

Pelabuhan laut

Intial process

Page 216: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

195

ikan cakalang atau tuna kualitas sedang yang dijual ke Jakarta. Pengangkutan ikan

cakalang dan tuna kualitas sedang ke Jakarta, dilakukan dengan menambahkan es

curah. Lama perjalanan adalah sekitar 4-5 jam. Kendaraan pick up sewaan banyak

tersedia di depan PPN Palabuhanratu. Ikan segar tuna untuk ekspor setelah

diturunkan dari kapal-kapal longline, kemudian diangkut ke Jakarta menggunakan

truk berpendingin. Jenis kendaraan ini cukup tersedia di Palabuhanratu, biasanya

kendaraan ini disewa oleh pemilik kapal longline. Permasalahan yang dihadapi

oleh sarana transportasi semacam ini adalah kondisi jalan yang sempit dan

berliku-liku serta naik turun melintasi pegunungan. Ikan-ikan pindang diangkut ke

Sukabumi, Bandung, Bogor, Cianjur dan Jakarta dengan menggunakan kendaraan

pick up. Jarak tempuh ke daerah konsumen sekitar 2-4 jam. Ikan segar ekspor

seperti tuna diangkut ke Jakarta menggunakan kendaraan mobil box yang

memiliki cool room. Mobil angkutan ini memilih berangkat ke Jakarta pada

malam hari untuk menghindari macet. Selanjutnya ikan tuna segar langsung di

pack dan diekspor ke Jepang via pesawat terbang. Khusus layur yang telah

terkumpul di cold storage dan telah di pack, dikirim ke Jakarta kemudian diekspor

ke negara Korea melalui kapal laut.

Konsentrasi konsumen berada di Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Cianjur.

Jumlah penduduk yang memanfaatkan ikan kiriman dari Palabuhanratu cukup

banyak dan selalu meningkat, sebagai contoh bahwa ikan segar pada tahun 2005

tercatat sebesar 3.397.443 kg atau 52% dari total produksi (Tabel 16). Kualitas

ikan yang diinginkan oleh masyarakat konsumen semakin meningkat sehingga

pihak PPN Palabuhanratu telah mempersiapkan laboratorium bina mutu yang

digunakan sebagai sarana pemeriksaan kualitas ikan sebelum keluar dari PPN

Palabuhanratu.

Selanjutnya Monintja (2002), menjelaskan bahwa pengembangan perikanan

tangkap berbudaya industri dengan penerapan sistem akuabisnis dapat

meningkatkan kinerja perikanan tangkap yang ada dan pendapatan yang

kompetitif. Sistem akuabisnis terdiri dari beberapa subsistem yakni sarana

produksi, usaha penangkapan (proses produksi), prasarana (pelabuhan), unit

pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan masyarakat. Pengembangan

industri perikanan sangat tergantung kepada hubungan yang baik antar sub sistem

Page 217: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

196

didalam sistem akuabisnis termasuk peranan pelabuhan perikanan sebagai

prasarana penunjang untuk kegiatan proses produksi unit pengolahan, unit

pemasaran dan pembinaan masyarakat perikanan.

Kondisi di PPN Palabuhanratu menunjukkan bahwa sistem akuabisnis telah

terjadi hubungan antar subsistem. Namun tingkat hubungannya belum optimal,

sebagai contoh bahwa PPN Palabuhanratu telah berfungsi untuk menunjang

aktivitas perikanan baik untuk mengakomodir kebutuhan kapal untuk beroperasi

di laut, penanganan mutu hasil perikanan maupun proses pemasaran ke daerah

hinterland. Permasalahan yang muncul adalah masih sedikitnya investasi di

bidang industri perikanan yang disebabkan oleh terbatasnya produksi ikan yang

didaratkan sebagai bahan baku dan tidak tersedianya areal industri perikanan di

PPN Palabuhanratu, sehingga kedepan perlu pengembangan PPN Palabuhanratu

ke arah PPS Palabuhanratu dengan penyediaan areal industri yang cukup.

Bidang investasi yang dapat dilakukan pada PPS Palabuhanratu sebagai

akibat penyedian kawasan industri yang diperkirakan seluas 500 ha adalah pabrik

bahan jaring, pabrik alat tangkap, galangan kapal, program latihan, pabrik

instrumen perikanan, kapal perikanan, tenaga kerja, alat bantu penangkapan, fish

carrier, pabrik es, cold storage, canning factory, fish meal plan, fish oil factory,

aktivitas pengolahan (pemindangan, pengasapan, pengasinan), pemasaran,

transportasi, perhotelan dan wisata bahari. Bidang investasi tersebut akan ada di

PPS Palabuhanratu apabila rencana PPS Palabuhanratu terlaksana sesuai dengan

master plan nya (pola pengembangannya) dengan memperhatikan pro-business

environment. Menurut Monintja (2002), bahwa pro-business environment terdiri

dari adanya konsistensi atau kepastian hukum bisnis, jaminan keamanan,

tersedianya infrastruktur, tersedianya sumberdaya manusia dan adanya perpajakan

atau retribusi yang cukup rasional. Adanya kepastian hukum dimaksudkan untuk

menjamin terselenggaranya bisnis yang tertib, aman dan berkelanjutan, sehingga

diharapkan pemerintah untuk menciptakan hukum yang berpihak kepada

pengusaha dan masyarakat. Begitu pula untuk jaminan keamanan sangat perlu

tercipta guna menjaga proses industri dalam menjalankan misinya sehingga

memperoleh keuntungan usaha. Perpajakan atau retribusi yang dibebankan kepada

pengusaha harus cukup rasional dan dihindari biaya ekonomi tinggi, sebagai

Page 218: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

197

contoh saat ini terjadi pungutan ganda untuk hasil perikanan mulai dari

pengurusan surat ijin usaha perikanan, surat ijin penangkapan ikan, retribusi

lelang dan retribusi angkutan jalan untuk setiap kabupaten yang dilintasi selama

pendistribusian hasil tangkapan.

6.2 Hubungan Alternatif Prioritas Terhadap Fungsi Pelabuhan dan Solusinya

Pola pengembangan pelabuhan adalah suatu contoh, pedoman atau

penetapan ukuran-ukuran dalam mengembangkan suatu pelabuhan perikanan.

Penyusunan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dibatasi pada penyediaan

pola pengembangan target produksi, target kapal dan fasilitas pelabuhan

perikanan terutama fasilitas pokok dikaitkan dengan upaya mengoptimalkan

beberapa fungsi pelabuhan perikanan serta pola distribusi di hinterland.

Pengembangan merupakan suatu usaha ke arah perubahan dari kondisi yang

dinilai kurang kepada suatu kondisi baik atau suatu proses untuk mencapai

kemajuan.

Adapun hubungan antara alternatif prioritas, fungsi dan solusi permasalahan

dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu adalah seperti Gambar 31.

Gambar 31 Hubungan alternatif prioritas, fungsi dan solusi pengembangan dalam pola pengembangan PPN Palabuhanratu.

1. Jumlah kapal 2. Produksi ikan 3. Tenaga kerja 4. Pendapatan

pelabuhan 5. PAD

Alternatif prioritas 1. Tambat labuh

2. Pendaratan ikan 3. Keperluan kapal 4. Pemasaran &

distribusi 5. Pembinaan mutu 6. Penyuluhan &

Pengumpulan data 7. Pengawasan SDI

Fungsi PPN Palabuhanratu

1. Kolam 2. Dermaga 3. Lahan 4. BBM 5. Pelelangan

ikan 6. Pelayanan

Solusi pengembangan

Page 219: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

198

Berdasarkan Gambar 31, bahwa jumlah kapal adalah merupakan gambaran

seberapa jauh PPN Palabuhanratu dapat difungsikan sebagai tempat tambat labuh

kapal, tempat pendaratan ikan, tempat memperlancar kegiatan kapal perikanan,

tempat penyuluhan dan pengumpulan data, tempat pembinaan mutu hasil

perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data serta tempat

pelaksanaan pengawasan sumberdaya ikan sehingga diperlukan pengembangan

kolam, dermaga, lahan, BBM, pelelangan ikan dan pelayanan pelabuhan

perikanan.

Ilustrasinya adalah bahwa berdasarkan perhitungan JTB untuk PPN

Palabuhanratu diperoleh sebesar 19.000 ton/tahun yakni terdiri dari pelagis besar

sebanyak 6.584 ton/tahun, pelagis kecil 9.466 ton/tahun dan demersal sebesar

2.429 ton/tahun serta kelompok sumberdaya ikan lainnya sebesar 521 ton/tahun.

Dari JTB 19.000 ton/tahun tersebut telah dimanfaatkan rata-rata per tahun selama

periode 1993-2005 sebesar 3.382 ton/tahun sehingga peluang pengembangan

penangkapan ikan untuk PPN Palabuhanratu sebesar 15.618 ton/tahun. Kemudian

berdasarkan perhitungan target jumlah kapal untuk diakomodir oleh

pengembangan PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yakni terdiri dari 676 unit

yang ada pada tahun 2005 ditambah dengan target jumlah kapal tambahan

sebanyak 246 unit yang terdiri dari 142 unit kapal berukuran <5 GT, 58 unit

kapal berukuran 5-30 GT dan 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan 246

unit kapal sebagian berasal dari kapal andon dan sebagian kecil dari hasil

pembangunan kapal baru di PPN Palabuhanratu. Kondisi kolam I dan kolam II

pemanfaatannya sudah melebihi kapasitasnya yang disebabkan oleh banyaknya

kapal-kapal yang tidak melakukan operasional karena besarnya biaya operasional

melaut terutama naiknya harga BBM. Sehingga dalam operasionalnya untuk

menampung kapal dan produksi ikan diperlukan penambahan kolam dan dermaga,

BBM, air, dan es.

Hasil perhitungan kebutuhan kolam untuk pengembangan pelabuhan seluas

8,6 ha yakni terdiri dari luas kolam I sebesar 2 ha, luas kolam II sebesar 3 ha dan

luas kolam III sebesar 3,6 ha. Hasil perhitungan kolam III seluas 3,6 ha memiliki

daya tampung sebanyak 46 unit kapal berukuran 30-150 GT. Tambahan kapal

untuk pengembangan PPN Palabuhanratu yang berukuran 5-30 GT sebanyak 58

Page 220: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

199

unit diakomodir oleh kolam II dan kapal berukuran <5 GT sebanyak 142 unit

diakomodir oleh kolam I.

Secara keseluruhan, kebutuhan tambahan panjang dermaga 1.452 meter

untuk melayani frekuensi kapal sebanyak 88 kali sehari. Agar kebutuhan es

terhadap ikan adalah 2 : 1, maka kapasitas pabrik es yang diperlukan sebesar

sebesar 38.000 ton/tahun atau 104 ton/hari. Kondisi pabrik es yang ada sekarang

berkapasitas 50 ton/hari sehingga untuk mencapai kapasitas 104 ton diperlukan

tambahan kapasitas pabrik es sebesar 54 ton/hari.

Kebutuhan solar sebanyak 37.695 kl/tahun, kondisi saat ini sebanyak 10.381

kl/bulan, sehingga perlu ada penambahan solar sebanyak 27.314 kl/tahun

sehingga diperlukan penambahan SPDN.

Kebutuhan air bersih untuk operasional pelabuhan perikanan sebanyak

86.272 kl/tahun yang antara lain untuk kebutuhan ABK sebesar 20.005 kl/tahun,

kebutuhan baku es sebesar 38.000 ton/tahun, kebutuhan ikan sebesar 19.000

ton/tahun, kebutuhan TPI sebesar 1.424 ton/tahun, kebutuhan penghuni sebesar

7.843 kl/tahun dan untuk kebutuhan pendingin mesin-mesin sebesar 7.843

kl/tahun.

Lahan darat menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.

KEP.10/Men/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang pelabuhan perikanan

diperlukan seluas minimal 15 ha belum termasuk kolam pelabuhan. Sehingga

paling tidak luas lahan yang diperlukan untuk PPN Palabuhanratu adalah 30 ha.

Menurut hasil pertemuan Bupati Kabupaten Sukabumi dengan Pemda Provinsi

Jawa Barat dan Ditjen. Perikanan Tangkap pada tanggal 25 Agustus 2006

dinyatakan bahwa ketersediaan lahan yang ada seluas 500 ha dan untuk

memperkuat jaminan ketersediaan lahan, maka lahan seluas 500 ha ini akan

dimasukan dalam RUTR tentang peruntukannya bagi pengembangan industri

perikanan. Khusus lahan industri akan dikelola oleh Pemerintah Daerah Jawa

Barat dan Kabupaten Sukabumi.

Dari perhitungan pengembangan daerah hinterland primer dalam negeri

sebanyak 32% dari target produksi 19.000 ton didistribusikan untuk ikan segar

kebutuhan konsumen dalam negeri. Sebesar 35% atau 6.650 ton didistribusikan

Page 221: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

200

di hinterland primer luar negeri, sebesar 6.187 ton didistribusikan di hinterland

sekunder dan jumlah konsumen dalam negeri sebanyak 542.619 orang.

Adapun hasil studi kelayakan yang merupakan pola pengembangan awal,

pola saat ini dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 46.

Tabel 46 Hasil studi kelayakan, kondisi tahun 2005 dan pola pengembangan PPN Palabuhanratu

Variabel Hasil studi kelayakan tahun 1987

Kondisi tahun 2005

Pola pengembangan

Perbedaan

(1) (2) (3) (4) (4) – (3) Jumlah kapal (unit) 125 676 922 246

Produksi ikan (ton) 16.000 6.601 19.000 12.399

Luas kolam (ha) 3 5 8,6 3,6 Kedalaman kolam (m) 1, 2 dan 3 3,5 dan 4 3,5 dan 4 -

Lahan (ha) 7,2 7,2 30 22,8 Dermaga (m) 500 910 1.452 542 Solar (kl/thn) 10.423 10.381 37.695 27.314 Pabrik es (ton/thn) 32.000 18.250 38.000 19.750

Gedung TPI (m2) 900 900 1.424 524

Air bersih (kl/thn) 54.385 38.370 86.272 47.902

Distribusi di hinterland primer dalam negeri (ton)

- 3.194 6.163 2.969

Distribusi di hinterland primer luar negeri (ton)

- 204 6.650 6.446

Distribusi di hinterland sekunder (ton)

- 3.203 6.187 2.984

Jumlah konsumen dalam negeri (orang)

- 281.049 542.619 261.570

Page 222: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

201

Dari aspek operasional, maka pola pengembangan PPN Palabuhanratu akan

disesuaikan terlebih dahulu dengan kondisi pengembangan fisik yang diarahkan

untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu yang ada saat ini sehingga

terdapat perubahan kapasitas layanan yang berkaitan dengan penyiapan standard

operational procedure. Adapun perubahan-perubahan dari aspek operasional

terhadap pola pengembangan PPN Palabuhanratu seperti pada Tabel 47.

Berdasarkan Tabel 47 maka banyak perubahan-perubahan yang akan terjadi

apabila pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang baru dilaksanakan terutama

untuk optimalisasi fungsi PPN Palabuhanratu mulai dari kegiatan tambat labuh,

pendaratan ikan, pemasaran dan distribusi ikan, pembinaan mutu, penyuluhan dan

pengumpulan data serta pengawasan SDI dan adanya perubahan struktur

organisasi serta syahbandar perikanan.

Tabel 47 Perubahan pola pengembangan PPN Palabuhanratu dari aspek operasional

Variabel

Kondisi tahun 2005 Pola pengembangan

Tambat labuh Pengaturan zonasi kapal, dermaga I untuk kapal <30GT, dermaga II untuk kapal 30-150 GT

Tambahan dermaga III , kapal 30-150 GT

Pendaratan ikan

Pendaratan ikan sebesar 6.601 ton

Pendaratan ikan sebesar 19.000 ton/tahun

Pemasaran dan distribusi

Ekspor sebesar 3%, pemasaran dalam negeri 97%

Ekspor sebesar 35%, pemasaran dalam negeri 65%

Pembinaan mutu

Belum ada Uji formalin setiap bulan dan belum ada laboratorium

Uji formalin, organoleptik, histamin, mikrobiologi, logam berat di laboratorium

Penyuluhan dan statistik

Dilakukan oleh petugas PPNP berstatus bukan penyuluh

Dilakukan oleh petugas PPNP melakukan penyuluhan dan pengumpulan data

Pengawasan SDI

Masih dibawah pembinaan PPN Palabuhanratu

Langsung dilakukan oleh Satker dari P2SDKP.

SDM Dominan sarjana perikanan dan SLTA umum

Disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan dengan menambah sarjana teknik,hukum, komputer, lingkungan, statistik.

Struktur organisasi

Sederhana dan belum kaya fungsional

Disesuaikan dengan kebutuhan dengan menambah kesyahbandaran dan memperkaya jabatan fungsional

Syahbandar Dilaksanakan oleh syahbandar umum

Dilaksanakan oleh syahbandar perikanan

Page 223: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

202

6.3 Dukungan Kelembagaan Terhadap Pengembangan PPN Palabuhanratu

Dukungan pemerintah sangat diharapkan dalam upaya pengembangan PPN

Palabuhanratu menjadi PPS Palabuhanratu. Dirjen Perikanan Tangkap dan

Gubernur Jawa Barat telah sepakat untuk membangun PPS Palabuhanratu secara

bersama. Telah disepakati bahwa pemerintah daerah menyiapkan lahan dan

infrastruktur sedangkan pemerintah pusat menyiapkan dana untuk pembangunan

fisik. Sebagai dukungannya, seperti yang telah dilaporkan oleh Gubernur Jawa

Barat (2005), bahwa saat ini sudah terbangun jalan tembus trans Jabar Selatan

yang menghubungkan Palabuhanratu, Cianjur, Pangandaran, Bandung sejauh 367

km. Pada tahun 2005 Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah merencanakan

pembangunan lapangan terbang di Palabuhanratu guna menunjang aktivitas

pariwisata dan perikanan yang ditandai dengan telah dimulainya pelaksanaan studi

pembangunannya di lapangan.

Selanjutnya Pemerintah Pusat telah merencanakan pembangunan jalan tol

yang menghubungkan Ciawi, Sukabumi, Cianjur, Bandung. Dengan adanya

sarana jalan dan lapangan terbang tersebut, maka ikan-ikan yang didaratkan di

PPS Palabuhanratu akan terdistribusi secara luas dan jauh. Sebagai akibat

kemudahan distribusi ikan ke hinterland, maka aktivitas perikanan di

Palabuhanratu akan semakin meningkat sehingga PPS Palabuhanratu yang

dibangun akan berfungsi optimal.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 telah menetapkan Selatan

Jawa Barat merupakan daerah yang akan diprioritaskan untuk pengembangan

sektor perikanan laut yang berpusat di Palabuhanratu guna mendukung

pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berlimpah di pantai Selatan Jawa

Barat, sehingga perlu adanya peningkatan status PPN Palabuhanratu menjadi PPS

Palabuhanratu.

Sejalan dengan program pengembangan pelabuhan perikanan lingkar luar

wilayah Indonesia (outer ring fishing port) dari Direktorat Jenderal Perikanan

Tangkap yang bertujuan untuk mempersiapkan pelabuhan perikanan yang berada

di lingkar luar wilayah perairan Indonesia guna mengamankan potensi perikanan,

maka Palabuhanratu telah ditetapkan sebagai salah satu pelabuhan dari 25 buah

Page 224: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

203

pelabuhan perikanan yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi PPS

Palabuhanratu (Gambar 32).

Pada bulan Oktober tahun 2005, Gubernur Jawa Barat dan Dirjen Perikanan

Tangkap pada saat pertemuan di Bandung telah sepakat bahwa PPS Palabuhanratu

akan diprioritaskan pembangunannya melalui program outering fishing port.

Hasil analisis pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang direncanakan ini

telah sejalan dengan rencana pemerintah daerah, namun perbedaannya adalah

bahwa pemerintah menginginkan langsung dibangun fasilitas dengan kapasitas

PPS alasan mereka bahwa untuk fasilitas laut sebaiknya dibangun sekaligus. Hasil

penelitian ini merencanakan pengembangan dilakukan secara bertahap yakni

pertama membangun fasilitas untuk mengoptimalkan fungsi PPN Palabuhanratu,

kemudian apabila sudah optimal fungsi yang dijalankan, maka perlu

pengembangan kolam III untuk meningkatkan statusnya menjadi PPS

Palabuhanratu. Seperti telah dijelaskan pada halaman 16, sesuai dengan RUTR,

pemerintah daerah telah menyediakan areal industri perikanan seluas 100 ha

sampai 500 ha guna mendukung pembangunan PPS Palabuhanratu disertai dengan

kemudahan-kemudahan investasi akan menjadi daya tarik bagi investor untuk

berusaha di PPS Palabuhanratu dan akan berdampak positif terhadap

perekonomian daerah, penyerapan tenaga kerja, pendapatan pelabuhan, PAD dan

kesejahteraan nelayan.

Berdasarkan hasil uji sensitivitas terhadap alternatif prioritas pengembangan

terpilih yakni prioritas pertama untuk peningkatan jumlah kapal, maka diperoleh

kesimpulan bahwa alternatif prioritas pengembangan apabila diterapkan sangat

stabil karena semua lembaga yang terkait terhadap pengembangan PPN

Palabuhanratu yakni, Ditjen. Perikanan Tangkap, PPN Palabuhanratu, pemerintah

daerah, KUD Mina dan nelayan sangat mendukung alternatif prioritas ini. Bentuk

dukungan yang mungkin diberikan oleh Ditjen. Perikanan Tangkap adalah dalam

hal antara lain peraturan yang berkaitan dengan pelabuhan perikanan, penyediaan

dana fisik maupun operasional dan SDM pengelola pelabuhan.

Pemerintah daerah dapat memberikan dukungan dalam hal penyediaan areal

untuk pengembangan, penyiapan aksesibilitas jalan, peraturan daerah yang

mendukung investasi perikanan. KUD Mina dan nelayan mempersiapkan

Page 225: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

204

anggotanya untuk memanfaatkan PPN Palabuhanratu yang sudah dikembangkan

baik persiapan kemampuan teknis dan manajemen untuk menjalankan usaha dan

membina anggotanya untuk patuh terhadap aturan yang ada.

Pembiayaan untuk merealisasikan pola pengembangan PPN Palabuhanratu

dapat berasal dari pemerintah (pusat dan daerah), swasta atau berasal dari negara

lain. Peran swasta perlu ditingkatkan lagi terutama untuk menginvestasikan usaha

di Palabuhanratu baik dalam usaha penangkapan ikan, pengolahan maupun

distribusi ikan. Guna merangsang masuknya investasi ke Palabuhanratu, maka

perlu adanya kelembagaan kredit maritim yang memudahkan pengusaha

perikanan untuk mengakses modal dalam mengembangkan usahanya. Kemudian

menghapus semua bentuk pungutan atau retribusi ganda yang memberatkan

pengusaha perikanan dan memberikan insentif berupa keringanan pajak untuk

usaha-usaha perikanan yang produktif seperti usaha penangkapan ikan,

pengolahan dan distribusi ikan. Pemerintah daerah secara proaktif menciptakan

Gambar 32 Lokasi (25 buah) pelabuhan perikanan yang akan dikembangkan dalam outering fishing port program (Ditjen. Perikanan Tangkap, 2005).

Pelabuhan perikanan

950 1000 1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350 1400

00

50

50

100

100

150

950 1000 1050 1100 1150 1200 1250 1300 1350 1400

00

50

50

100

100

150

Page 226: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

205

kondisi keamanan, ketertiban dan keindahan di daerah perusahaan perikanan

sehingga perusahaan perikanan dapat berjalan sempurna.

6.4 Peluang Penerapan Peraturan Internasional

PPN Palabuhanratu sebagai pelabuhan perikanan yang akan ditingkatkan

kapasitasnya menjadi PPS Palabuhanratu, akan melayani kapal-kapal perikanan

lintas negara, sehingga perlu dipersiapkan PPS Palabuhanratu sesuai dengan

aturan internasional. Menurut Nugroho (2004), bahwa pengaturan/konvensi

internasional yang terkait dengan pelabuhan perikanan dan operasional kapal ikan

adalah:

1) Agreement to promote compliance with international conservation and

management measures by fishing vessels on the high seas (compliance

agreement 1993).

2) Code of conduct for responsible fisheries (CCRF, 1995).

3) The amendments to the convention for the safety at sea (SOLAS 1974) dan

ISPS code 2002.

4) The joint ILO/IMO code of practice (COP) on security in ports (2002).

Selanjutnya dikatakan bahwa persyaratan yang perlu diperhatikan pada

pelabuhan perikanan untuk dukungan ekspor adalah:

1) Aspek teknis, yakni untuk membangun:

-Fasilitas pelabuhan dengan memperhatikan bobot kapal yang akan dilayani,

panjang dermaga, kedalaman di depan dermaga dan pengaturan zonasi

pelabuhan.

- Jumlah armada yang akan dilayani.

- Volume produksi ikan yang akan ditampung.

- Pengaturan dampak erosi dan endapan lumpur.

2) Aspek kelembagaan, yakni

- Penyusunan struktur organisasi harus menjangkau semua lini pekerjaan,

- Peraturan operasional pelabuhan perikanan, misalnya harus ada standard

operational procedure (SOP).

- Penegakan hukum.

- Penetapan kawasan industri perikanan.

Page 227: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

206

- Penetapan kawasan peti kemas.

3) Aspek teknologi, yakni

- Mutu produk perikanan harus diperhatikan.

- Sistem pembuangan limbah.

4) Aspek anggaran, yakni

- Anggaran operasional.

- Anggaran pemeliharaan harus cukup.

5) Aspek informasi, yakni

- Informasi harga ikan.

- Informasi traceability.

- Informasi mutu produk.

6) Aspek pengamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, menggunakan international

ships and port security facility (ISPS).

ISPS adalah suatu penerapan sistem kode pengamanan kapal dan fasilitas

pelabuhan internasional. Pelabuhan perikanan yang bersifat internasional harus

disertifikasi melalui ISPS. Ketentuan ISPS code diterima dan disahkan di forum

international maritime organization (IMO) pada tanggal 12 Desember 2002 dan

menjadi Bab XI-2 dari konvensi SOLAS 1974 tentang keselamatan jiwa di laut.

Aturan baru ini akan diterapkan terhadap kapal-kapal yang melakukan pelayaran

internasional. Hal ini penting karena jika kapal dan pelabuhan internasional di

Indonesia belum disertifikasi, kapal Indonesia tidak akan diterima atau ditolak di

pelabuhan asing. Sementara pelabuhan Indonesia juga tidak akan dapat dikunjungi

kapal asing. Persyaratan penetapan ISPS di pelabuhan perikanan adalah:

1) Pengumpulan dan pemeriksaan informasi yang berkaitan dengan ancaman

keamanan dan pertukaran informasi tersebut antar negara.

2) Mewajibkan pemeliharaan protokol komunikasi untuk kapal dan fasilitas

pelabuhan.

3) Pencegahan akses yang tidak berkepentingan ke kapal, fasilitas pelabuhan dan

area terlarang untuk umum.

4) Mencegah membawa senjata api yang tidak memiliki ijin, alat pembakar atau

bahan peledak ke kapal atau fasilitas pelabuhan.

Page 228: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

207

5) Menyediakan peralatan untuk membunyikan alarm sebagai reaksi terhadap

ancaman/insiden keamanan.

6) Mewajibkan rancangan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan berdasarkan

pada hasil penilaian keamanan.

7) Mewajibkan pelatihan gladi dan latihan untuk memastikan agar terbiasa

dengan rancangan dan prosedur pengamanan.

Ketentuan Uni Eropa tentang penerapan standarisasi mutu di pelabuhan

perikanan (Direktur Standardisasi dan Akreditasi DKP, 2005) adalah:

1) Peralatan yang digunakan selama pembongkaran dan pendaratan harus

dikonstruksi dengan bahan yang mudah dibersihkan dan disinfektan serta di

tempat yang bersih.

2) Selama pembongkaran dan pendaratan harus dihindarkan produk perikanan

tersebut dari kontaminasi dan ditangani secara khusus antara lain: operasi

pembongkaran dan pendaratan dilakukan secara cepat; produk perikanan

harus ditempatkan tanpa mengalami penundaan dan dilindungi dari

lingkungan suhu yang tinggi dan selalu menggunakan es selama transportasi,

kemudian disimpan dalam cold storage; tidak diijinkan menggunakan

peralatan dan cara penanganan yang dapat menyebabkan rusaknya nilai gizi

dari produk-produk perikanan.

3) TPI harus dilengkapi dengan atap dan dindingnya mudah dibersihkan;

lantainya harus tahan air dan mudah dibersihkan, mempunyai fasilitas

drainase dan sistem pembuangan air kotor; peralatan harus dilengkapi

dengan fasilitas sanitasi, antara lain untuk pencucian dan kamar mandi/wc

terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan; pembersihan harus dilakukan

secara teratur baik sebelum maupun sesudah pelelangan, lantai TPI

dibersihkan baik bagian luar maupun dalam dengan menggunakan air

laut/air minum dan harus dengan disinfektan; tidak diperkenankan merokok,

makan dan minum di area penjajaan ikan; mempunyai suplai air bersih;

khusus untuk ikan-ikan harus ditempatkan pada alat yang tidak berkarat;

produk perikanan setelah pendaratan harus aman, selama transportasi tidak

mengalami penundaan; jika produk perikanan tersebut mengalami

penundaan pendistribusian, maka harus disimpan diruangan dingin/cool

Page 229: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

208

room dalam kondisi yang baik dan pada suhu yang sesuai daripada suhu

pelelehan es/mendekati suhu pelelehan es; untuk pedagang besar produk-

produk perikanan harus dijajakan pada kondisi yang bersih.

4) Persyaratan pelabuhan perikanan dalam mencapai standar sanitasi dan

hygiene: bangunan, fasilitas dan lingkungan harus sesuai dengan

persayaratan pelabuhan perikanan yang hygienis dan berstandar sanitasi;

sanitation standard operating procedured (SSOP) adalah prosedur

pelaksanaan standar sanitasi dan hygiene yang harus dipenuhi oleh

pelabuhan untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang

ditangani; setiap pelabuhan harus memiliki rencana SSOP yang tertulis dan

spesifik sesuai dengan lokasi, peralatan dan jenis penanganan serta

diterapkan secara konsisten.

5) Penanganan mutu ikan: pengembangan fasilitas penanganan ikan-ikan yang

didaratkan di pelabuhan seperti penyediaan laboratorium mutu hasil

perikanan, penyediaan air bersih, penyediaan es, garam, kebersihan TPI dan

alat angkut ikan, penerangan (instalasi listrik), penyuluhan mengenai

penanganan ikan, penyediaan petugas pengolahan ikan, penyediaan data

statistik penanganan ikan, keranjang ikan, WC umum, drainase TPI yang

baik, pengaturan lalu lintas orang di TPI, penyediaan keamanan, ketertiban

dan keindahan pelabuhan serta pengaturan petugas pelayanan penanganan

ikan yang dilengkapi dengan standard operational procedure (SOP) yang

jelas serta pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh manajemen

pelabuhan. Hal itu dilakukan dengan maksud agar semua ikan-ikan yang

akan didistribusikan dari PPN Palabuhanratu hingga ke tangan konsumen

telah memperoleh jaminan mutu.

Peraturan Uni Eropa yang berkaitan dengan penanganan ikan juga telah

dikemukakan oleh Le Ry (2005), bahwa sejak 22 Juli 1991 diatur tentang

peraturan-peraturan hygienitas untuk nelayan di kapal, kondisi penanganan ikan di

kapal, kondisi penanganan pada saat pembongkaran ikan dan kondisi prosessing

dan pengepakan ikan. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2007 dikeluarkan

peraturan baru tentang Undang-undang pangan yang mengatur tentang

Page 230: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

209

traceability, informasi mengenai pelanggan, tanggung jawab dari comercial

operator. Begitu pentingnya penanganan ikan di negara-negara Uni Eropa, maka

sudah selayaknya perlu diterapkan juga di Indonesia khususnya di pelabuhan

perikanan dalam menghadapi era globalisasi untuk perdagangan hasil perikanan

tujuan ekspor.

Menurut FAO (1995) tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries

(CCRF), bahwa persyaratan lokasi pelabuhan perikanan dan kaitannya dengan

lokasi PPS Palabuhanratu adalah:

1) Tempat berlindung yang aman bagi kapal penangkap ikan dan disediakan

pelayanan yang memadai bagi kapal, pedagang dan pembeli. Kondisi lokasi

(site) yang akan dijadikan kolam PPS Palabuhanratu berada pada bagian

Selatan Pelabuhan yang ada sekarang. Direncanakan akan dibangun kolam

seluas 20 ha dengan kedalaman kolam bervariasi antara -4 m, -6 m dan -8 m.

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah penentuan mulut masuk kolam

pelabuhan harus tepat pada tempat yang telah diperhitungkan dengan

mempertimbangkan kondisi oceanografi nya terutama arus, gelombang,

sedimentasi, dan kedalaman perairan.

2) Pasokan air tawar yang memadai dan pengaturan sanitasi harus disediakan.

Kondisi pasokan air tawar di Palabuhanratu saat ini berasal dari PDAM

dengan kondisi debit air yang kadang-kadang tidak cukup terutama pada saat

musim kemarau. Pihak PDAM merencanakan menambah kapasitasnya dengan

merehab dan mengembangkan instalasi air tawar. Selain itu air bersih berasal

dari sumur air tanah yang dikelola oleh penduduk. Seringkali air tawar dari

PDAM tidak mengalir, maka pihak PPN Palabuhanratu dengan menggunakan

mobil tanki air melakukan pengangkutan air dari sumber air tanah tersebut,

sehingga sampai saat ini tidak ada keluhan dari kapal tentang pasokan air

tawar ini. Perusahaan pabrik es memasok air tawar dari Sungai Cimandiri

yang berada sekitar 2 km dari PPN Palabuhanratu. Sehingga masalah pasokan

air untuk keperluan industri perikanan bisa berasal dari air Sungai Cimandiri

yang harus diolah terlebih dahulu. Dalam pembangunannya, PPS

Palabuhanratu harus membuat fasilitas yang berkaitan dengan sanitasi

lingkungan, terutatam sistem drainase dan tempat pembuangan sampah.

Page 231: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

210

3) Sistem pembuangan limbah, termasuk pembuangan minyak, air berminyak dan

alat penangkapan ikan harus diintroduksikan. Pembangunan IPAL merupakan

keharusan dalam membangunan PPS Palabuhanratu, sehingga perlu adanya

studi AMDAL. Dari hasil studi AMDAL, tentu harus ada tindak lanjutnya

seperti perlunya IPAL. Kebersihan kolam harus dijaga. Hal yang harus

dilakukan adalah bagaimana menyadarkan pemakai kolam agar menjaga

kebersihan kolam, sehingga perlu adanya sosialisasi terus menerus mengenai

cara menjaga kebersihan kolam, termasuk keamanan dan ketertiban memakai

kolam. Saat ini sudah ada alat pembersih kolam secara manual dan secara

mesin. Secara manual, petugas cukup menggunakan skop untuk

membersihkan kolam pelabuhan, secara mesin, maka petugas menggunakan

kapal yang dilengkapi alat penyedot sampah dan minyak di kolam.

4) Pencemaran dan kegiatan perikanan dan sumber eksternal harus

diminimumkan. Sehingga dalam hal ini perlu penyadaran pengguna pelabuhan

tentang pentingnya menjaga pelabuhan agar tidak tercemar dari bahan yang

merugikan aktivitas perikanan. Apalagi akhir-akhir ini banyak pedagang dan

nelayan menggunakan formalin untuk mengawetkan ikannya, yang sangat

membahayakan kesehatan manusia. Seperti yang telah dijelaskan pada

halaman 181 bahwa pihak PPN Palabuhanratu telah melakukan kerja sama

dengan pihak kepolisian untuk mencegah penggunaan pemakaian formalin

dan telah melakukan pengujian formalin pada berbagai produk perikanan di

laboratorium milik PPN Palabuhanratu pada ikan segar dan ikan olahan.

Ternyata terbukti memang ada masyarakat yang menggunakan formalin. Pihak

Kepolisian telah menggunakan bukti uji formalin tersebut untuk menangkap

para pelaku yang berakibat berkurangnya penggunaan formalin oleh

masyarakat.

5) Pengaturan untuk menanggulangi efek erosi dan siltasi harus dibuat. Dalam

perencanaan PPS Palabuhanratu harus diperhitungkan dampak atau efek

terhadap bangunan yang direncanakan terhadap bangunan lain atau pantai

yang ada di sekitarnya.

Page 232: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

(1) PPN Palabuhanratu sangat perlu dikembangkan guna mengoptimalkan

fungsinya. Pengembangan PPN Palabuhanratu diarahkan untuk

mengembangkan fasilitas dan operasionalnya guna menunjang aktivitas

perikanan yang memanfaatkan potensi SDI di WPP 9 Samudera Hindia.

Alokasi pemanfaatan SDI di WPP 9 untuk PPN Palabuhanratu sebesar

19.000 ton/tahun, yang terdiri dari potensi kelompok SDI pelagis besar

sebesar 6.584 ton/tahun, kelompok SDI pelagis kecil sebesar 9.466 ton/tahun,

kelompok SDI demersal sebesar 2.429 ton/tahun dan kelompok SDI lainnya

sebesar 521 ton/tahun. Target jumlah kapal yang akan memanfaatkan SDI

tersebut untuk PPN Palabuhanratu sebanyak 922 unit yang terdiri dari kapal

ukuran <5 GT sebanyak 530 unit, kapal ukuran 5-30 GT sebanyak 238 unit

dan kapal ukuran 30-150 GT sebanyak 114 unit.

Pemanfaatan kolam pelabuhan sudah melebihi kapasitasnya, yakni

kapasitas kolam I sebanyak 125 unit kapal berukuran 5-30 GT dimuati oleh

kapal sebanyak 527 unit kapal yang sedang ada di kolam atau melakukan

docking atau mengalami kerusakan, kolam II berkapasitas 40 unit kapal

berukuran 30-150 GT dimuati oleh 67 unit kapal yang ada di kolam atau

melakukan docking atau mengalami kerusakan, sehingga memerlukan

perluasan kolam.

Sesuai dengan analisis location quoatient (LQ) Kabupaten Sukabumi,

sektor perikanan adalah sektor basis yang berpotensi mengembangkan sektor

non basis dan perekonomian kawasan. Indeks relatif nilai produksi (I) sebesar

0.6 menunjukkan bahwa pemasaran ikan di PPN Palabuhanratu perlu

dikembangkan.

Hasil skalogram menunjukkan bahwa terjadi persaingan antar 6 unit

pelabuhan perikanan (PPS Jakarta, PPS Bungus, PPS Cilacap, PPN Sibolga,

PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi) yang menunjukkan bahwa dari segi

fasilitas PPS Jakarta lebih unggul, dari segi SDM PPN Palabuhanratu lebih

unggul, dari segi jenis ikan yang didaratkan PPS Cilacap lebih unggul, dari

Page 233: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

212

segi alat penangkapan ikan PPN Palabuhanratu lebih unggul dan dari segi

jenis kapal PPS Jakarta lebih unggul. Pengembangan fasilitas dan operasional

PPN Palabuhanratu terlebih dahulu adalah mengoptimalkan fungsi PPN

Palabuhanratu yang selanjutnya akan diarahkan untuk meningkatkan kelasnya

menjadi pelabuhan perikanan samudera berdasarkan indikasi foreland dan

hinterland nya .

(2) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu untuk mengoptimalkan fungsinya,

telah diformulasikan sebagai berikut : diperlukan perluasan kapasitas kolam

dari 5 ha menjadi 8,6 ha dengan kedalaman 4 m, panjang dermaga dari 910

meter menjadi 1.452 meter, penambahan luas gedung TPI dari 900 m2

menjadi 1.424 m2, kebutuhan solar dari 10.381 kl/tahun menjadi 37.695

kl/tahun, kebutuhan es dari 18.250 ton/tahun menjadi 38.000 ton/tahun,

kebutuhan air bersih dari 38.370 kl/tahun menjadi 86.272 kl/tahun dan

penambahan luas areal dari 7,2 ha menjadi 30 ha. Dengan pengembangan

fasilitas tersebut, maka diharapkan tercapai target jumlah kapal yang

mendarat sebesar 922 unit/tahun, target jumlah produksi ikan sebesar 19.000

ton/tahun yang berasal dari WPP 9 Samudera Hindia.

Distribusi ikan di hinterland primer dalam negeri dari ikan segar PPN

Pabuhanratu akan meningkat dari 3.194 ton tahun 2005 menjadi 6.163 ton

setelah PPN Palabuhanratu dikembangkan, distribusi ikan di hinterland

primer luar negeri (ekspor) dari ikan segar PPN Palabuhanratu meningkat

dari 204 ton tahun 2005 menjadi 6.650 ton pada saat pengembangan PPN

Palabuhanratu. Distribusi ikan di hinterland sekunder dari jenis ikan olahan

dari PPN Palabuhanratu sebesar 3.203 ton tahun 2005 menjadi 6.187 ton

pada saat pengembangan PPN Palabuhanratu. Daerah distribusi

pengembangan hinterland relatif tetap yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta

serta negara tujuan ekspor diperkirakan semakin luas sampai ke Uni Eropa.

Jumlah konsumen dalam negeri terhadap ikan dari PPN Palabuhanratu

sebanyak 281.049 orang tahun 2005 meningkat menjadi 542.619 orang. Hal-

hal tersebut akan berdampak terhadap perubahan pola operasional pelabuhan

pada kegiatan tambat labuh, pendaratan ikan, penanganan ikan, pemasaran

Page 234: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

213

dan distribusi ikan, penyuluhan dan pengumpulan data statistik, manajemen

pelabuhan serta kegiatan pengawasan sumberdaya perikanan.

(3) Urutan prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu adalah: peningkatan

jumlah kapal, peningkatan jumlah ikan, peningkatan pendapatan pelabuhan

perikanan, peningkatan jumlah tenaga kerja dan peningkatan PAD.

7.2 Saran

(1) Pola pengembangan PPN Palabuhanratu dapat dijadikan bahan pertimbangan

untuk merevisi pola pengembangan PPN Palabuhanratu yang ada.

(2) Pola pengembangan pelabuhan perikanan ini dapat dijadikan acuan dalam

menyusun pola pengembangan pelabuhan perikanan, namun perlu

memperhatikan kondisi masing-masing komponen triptyque portuaire.

Page 235: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

DAFTAR PUSTAKA

Adi I.S. 1995. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan dalam Tata Niaga Ikan di Daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 145 hlm.

Al Barry M.D. 1994. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Yogyakarta: PT. Arkola.

hlm 519. Alkadri R. 1997. Analisis Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis,Linn)

di Perairan Pelabuhanratu, Jawa Barat (skripsi). Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 46 hlm.

Ayodhyoa. 1975. Lokasi dan Fasilitas Pelabuhan Perikanan. Bahan untuk kursus Administrasi Pelabuhan Angkatan ke-2, Direktorat Jenderal Perikanan. Bagian Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan. Bogor. Institut Pertanian Bogor : hlm 1.

Barani H.M. 2006. Pelaksanaan dan Evaluasi Kebijaksanaan Teknologi Penangkapan Ikan yang Bertanggung Jawab di Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Perikanan Tangkap ”Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggung Jawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hlm 14.

Baskoro M.S, Ronny I Wahyu, Arif Effendy. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (skripsi). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 154 hlm.

[BPS-BAPPEDA] Badan Pusat Statistik-Badan Penelitian dan Badan Perencanaan

Daerah Kabupaten Sukabumi. 2000. Kabupaten Sukabumi dalam Angka. Sukabumi: BPS Kabupaten Sukabumi. 261 hlm.

Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan

Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. 159 hlm. Charlier J. 1983. Ports et régions Françaises: une Analyse Macro-Géographique.

177 hlm. Chaussade. 1986. La Baie de Bourgneuf: les formes socio-spatiales de la pêche.

Di dalam Cahier Nantais No.27: ATP-CNRS. Socio economic du littorale ” Baie de Bourgneuf ”. Institut de Geographic et d’Amenagement Regional. Univ. Nantes. France. 15 hlm.

Page 236: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

215

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.46/MEN/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Kebijakan dan Program

Pembangunan Kelautan dan Perikanan tahun 2004. Jakarta: DKP. 25 hlm. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.10/MEN/2004 tanggal 24 Februari 2004 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 10 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP. 6 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan No: PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan Perikanan. Jakarta: DKP. 15 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Jakarta: DKP. 30 hlm.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.01/MEN/2007 tanggal 5 Januari 2007 tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Jakarta: DKP. 10 hlm.

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. 2001. Laporan Akhir Survey dan Pendataan Potensi Perikanan dan Kelautan Sukabumi. Sukabumi: Dinas Perikanan Kabupaten Sukabumi. 74 hlm.

Ditjen Perikanan dan PT. Inconeb. 1981. Standar Rencana Induk dan Pokok-pokok Desain Untuk Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 168 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1994. Petunjuk Teknis Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Departemen Pertanian. hlm 10.

Ditjen Perikanan dan PT. Perentjana Djaja. 1999. Perencanaan dan Perancangan Detail Desain Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Review Master Plan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan. 157 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Rencana Induk Pengelolaan dan

Pengembangan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 43 hlm.

Page 237: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

216

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2002. Pedoman Pengelolaan Pelabuhan Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan dan Japan Internatinal Cooperation Agency (JICA).hlm 35.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Profil Pelabuhan Perikanan di

Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 146 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2003. Revitalisasi Pelabuhan Perikanan

Menunjang Pengembangan Perikanan Nasional. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.. 76 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2005. Statistik Perikanan Tangkap

Indonesia tahun 2003. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 104 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Statistik Perikanan Tangkap

Indonesia tahun 2004. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 130 hlm.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Program Pengembangan Pelabuhan

Perikanan tahun 2006. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. 20 hlm.

Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap. 2004. Rencana Pengembangan

Prasarana Perikanan Tangkap tahun 2005. Didalam; Rapat Kerja Teknis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tahun 2004. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 15. (Tidak dipublikasikan)

Direktorat Pemasaran Dalam Negeri Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Perikanan. 2007. Warta Pasar Ikan No. 42 Edisi Februari 2007. hlm 11. Direktorat Standardisasi dan Akreditasi. 2005. Penerapan Standardisasi Mutu di

Pelabuhan Perikanan. Di dalam: Temu Koordinasi Pelabuhan Perikanan sebagai Pusat Pengembangan Unit Bisnis Perikanan Terpadu. Batam, 5-8 Desember 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 20. (Tidak dipublikasikan).

Food and Agriculture Organization of The United Nations. 1995. Code of

Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). hlm 15. Fuzi Kizae. 1960. Catalogue. Japan : Fuzi Kizae Co.,Ltd. Hagget P, AD Cliff, A Frey. 1977. Locational Analysis in Human Geography.

John Willey and Sons. 605 hlm.

Page 238: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

217

Hanafiah A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 208 hlm.

Herwening E. 2003. Modernisasi Perikanan dan Potensi Konflik (Studi kasus di

Kelurahan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi) (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hlm.

Haluan J, Tri Wiji Nurani, Sugeng Hari Wisudo, Eko Sri Wiyono, Mustaruddin.

2004. Manajemen Operasi: Teori dan Praktek pada Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. hal 47-80.

Ibrahim RHS. 2001. Strategi Peningkatan Kinerja Pelabuhan Perikanan Nusantara

Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat (tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 190 hlm.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 1998. Program Model Pelayanan.

Jakarta: Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara. hlm 6.

Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.995/kpts/ik.210/9/99 tentang

Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) di Wilayah Perikanan Republik Indonesia). 15 hlm.

Keputusan Menteri Pertanian No.392/kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur Penangkapan

Ikan. 10 hlm. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. KEP.26.I/MEN/2001 tanggal

1 Mei 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan Perikanan. 20 hlm. Kramadibrata S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Bandung: PT Ganeca Exact. 479

hlm. Le Ry J M. 2005. Cornouaille Fishing Harbours. Di dalam: Sosialisasi Buku Atlas

Perikanan Tangkap dan pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa tahun 2005. Bogor, 7 Juni 2005. 6 hlm. (Tidak dipublikasikan).

Lubis E. 1989. L’ Organisation et L’ amenagement des ports de peche

Indonesiens. Comparaison avie l’organisation et l’amenagement des port Francais et Europeens. Disertasi S3. Univ. Nantes. France. 366 hlm.

Lubis E. 1998. Pola Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Wilayah Perairan

Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang Efisien dan Efektif. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing V Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1997/1998. Bogor: Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Dikti Departemen Pendidikan Kebudayaan dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.

Page 239: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

218

Lubis E. 2002. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor : Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 73 hlm.

Lubis E. 2002. Analisis Sistem Pelabuhan Perikanan. Buku I Bahan Kuliah

Program Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm.

Lubis E. 2003. Analisis Produksi Hasil Tangkapan di Pelabuhan. Bahan Kuliah

Pascasarjana m.a Pelabuhan Perikanan. Bogor: Laboratorium Pelabuhan Perikanan Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 10 hlm.

Lubis E, Anwar Bey Pane, Yeyen Kurniawan, Jean Chausade, Christine Lamberts,

Patrick Pottier. 2005. Atlas Perikanan Tangkap dan Pelabuhan Perikanan di Pulau Jawa, Suatu Pendekatan Geografi Perikanan Tangkap Indonesia.Atlas Bogor: PK2PTM LP-IPB. 120 hlm.

Mahyuddin B. 2004. Overseas Training on Community Based Fisheries

Resources Management in Philipines. General Santos, 5-8 December 2004. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 10 hlm. (Tidak dipublikasikan)

Mahyuddin B, Lukman Nur Hakim, Passion C.Z, Agus Nugraha A. 2005.

Laporan Pengujian Formalin Pada Ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 30 hlm.

Mappangara A C. 2005. Penentuan Hierarki Pelabuhan sebagai Konsep

Pengembangan Pelabuhan Kawasan Timur Indonesia. Neptunus vol 12 no.1: 11-18.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

Jakarta: Grasindo. 197 hlm. Monintja D.R. 2002. Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Provinsi Jawa

Barat. Disampaikan dalam Makalah Rapat Kerja Teknis Perikanan Provinsi Jawa Barat tahun 2002. hlm 2. (Tidak dipublikasikan)

Muthukude P, James L Novak, Curtis Jolly. 1991. A goal Programming

evaluation of fisheries development plans for Sri Lanka’s coastal fishing fleet, 1988-1991. Fisheries Research vol 12: 325-339.

Page 240: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

219

Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan Perikanan: Fungsi, Fasilitas, Panduan Operasional, Antrian Kapal. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. 143 hlm.

Murdiyanto B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Jakarta: Proyek

Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 200 hlm.

National Fishing Port Association. 1995. Fishing Port of Japan. National Fishing

Port Association. hlm 11. Nugroho A. 2004. International Ships and Port Security Facility Sebagai Salah

Satu Persyaratan Pelabuhan Perikanan Ekspor. Makalah. Di dalam: Rapat koordinas Evaluasi Pembangunan Pelabuhan Perikanan/PPI; Bogor, 18 Desember 2004. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 15 hlm. (tidak dipublikasikan).

Nurani Tri W, Anita. 2004. Penerapan Manajemen Kualitas pada Proses Produksi

Ikan Layur untuk Tujuan Ekspor. Bul PSP Vol.14 No.2: 1-15. Nurani Tri W, Sugeng Hari Husodo. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline.

Institut Pertanian Bogor. 58 hlm. Pane A.B, B. Ibrahim, Dinarwan, E. Lubis, D. Rochnadi, Diniah, I. Mukhsin, S.

Amanah. 2005. Tinjauan dan Kajian Perikanan Tangkap di Pulau Jawa: Peran Strategis dan Prospeknya Kedepan dalam Pembangunan Perikanan Indonesia dan Menghadapi Tantangan Nasional dan Global. Di dalam: Makalah Semiloka Internasional ”Revitalisasi Dinamis Peran Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap di Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan Indonesia; Bogor, 6-7 Juni 2005. hlm 1. (Tidak dipublikasikan)

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1998. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1993-1997. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 205 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 1999. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1998. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 116 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2000. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 1999. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 118 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2001. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2000. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 79 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2002. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2001. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 69 hlm.

Page 241: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

220

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2003. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2002. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 97 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. 2004. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2003. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 77 hlm

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2004. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2006. Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 78 hlm.

Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu.2005. Laporan Pemantauan dan Evaluasi CPUE Unit Penangkapan Ikan di PPN Palabuhanratu tahun 2005. Sukabumi: PPN Palabuhanratu. 41 hlm. (Tidak dipublikasikan).

Pemerintah Daerah Tk.II Kabupaten Sukabumi. 1994. Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) Kawasan Perencanaan Palabuhanratu 1994-2004. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 57 hlm.

Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Sukabumi. 1999. Rencana Detail Tata Ruang Kota Palabuhanratu. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. 53 hlm.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2004. Prioritas Pembangunan Perikanan dan Kelautan tahun 2005 di Provinsi Jawa Barat. Sukabumi: PEMDA Kabupaten Sukabumi. hlm 15.

[PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2000. Studi

Pengembangan Pelabuhan Perikanan di Pantura Jawa Serta Sistem Data dan Informasi. Bogor: PKSPL-IPB. 201 hlm.

[PRTK BRKP – LIPI] Pusat Riset Perikanan Tangkap BRKP-DKP - Pusat

Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. 2005. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. 66 hlm.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 8 tahun 2000 tentang Pengelolaan

Tempat Pelelangan Ikan. 8 hlm. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 9 tahun 2000 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan. 15 hlm. Peraturan Pemerintah No.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak (PNBP). 25 hlm. Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah no.62 tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 30 hlm.

Page 242: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

221

PT. Tripatra Enginering. 1989. Perencanaan Detail Desain Pembangunan Pelabuhan Perikanan Palabuhanratu. Jakarta: PT. Tripatra Enginering. Hlm 15-50.

Rogge, Marine and PT.Inconeb. 1987. Feasibility Study Province West Java, Sub

Project: Pelabuhanratu. Jakarta: Directorate General of Fisheries. hlm 60-70.

Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Perencanaan dan

Pengembangan Wilayah. Diktat Edisi Januari 2006. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. 333 hlm.

Rustiadi E., Sunsun Saefulhakim dan Dyah R.Panuju. 2005. Penuntun Praktikum

Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 20-50.

Rustiadi E. 2001. Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Kawasan Strategis

Pembangunan Daerah. Di dalam: Pelatihan Pengelolaan dan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. hlm 1-10.

Saaty T.L. 1988. Multicriteria Decision Making The Analytic Hierarchy Process.

Planning, Priority Setting, Resource Allocation. USA: University of Pittsburgh. 153 hlm.

Subandi W. 2000. Jenis-jenis Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. BPPL

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. hlm 1.

Soepanto. 2003. Analisis Perilaku Pemasaran Tuna Segar Indonesia di Pasar

Dunia Menggunakan Metode Ekonometrika. Buletin PSP vol 12 no.1: hlm 34-59.

Sultan M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional

Laut Taka Bonerate (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 174 hlm.

Triatmodjo B. 1996. Pelabuhan. Yogyakarta: Beta Offset. hlm 1-41. Undang-undang No.9 tahun 1985 tentang Perikanan. hlm 10. Undang-undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan. hlm 44-46. Vigarie A. 1979. Port de Commerce et Vie Littorale. Hachette. Paris. 392 hlm. Wojowasito S. 1972. Kamus Bahasa Indonesia. Bandung: Shinta Dharma.

hlm 150.

Page 243: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

223

Lampiran 1 Daftar nama responden

Nama responden

Jabatan

Imas Masriah, S.Pi Petugas statistik PPNP Abdulrahman Ekaputra,SE Petugas laporan tahunan PPNP Tatang Suherman, A.Pi Kepala seksi pelayanan teknis PPNP Drs. Eno Sandy Prayitno,MM Ka.Sub Bag TU PPNP Edi Ruhendi, SE Petugas Pusat Informasi PPNP Hendi Supriyadi, S.Pi Pegawai Bank Danamon PPNP M.Trimurti , A.Md Pegawai PT.AGB Badri Suhendri Pengurus longline H. Unang Pengusaha cold storage Marzuki Daud Pengusaha docking Asep Lukman Manajer TPI Ujang SB Nelayan gillnet Nasir Pengurus longline Ujang Suprihatin Ketua KUD Maman Suparman Tokoh nelayan Ceceng Sofyan Juragan Suhendar Pengusaha pindang Murtado Bakul Sudiarto Pemilik kapal KUB Ujang Mitra Tokoh nelayan Ir. Hanura Petugas statistik Dinas Kelautan Sukabumi Rawida Nelayan gillnet Suhebot Petugas perijinan Dinas Kelautan

Kabupaten Sukabumi Ir. Dedah Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Iwan Priyatna Petugas Dinas Perikanan Kab. Sukabumi Ir. Nina Nirmala Ka. Sub Dit PPI DKP Ir. Arif R. Lamatta Kepala PPN Tanjung Pandan / mantan staf

PPN Palabuhanratu Ir. S. Komariah Ka.Sie Monev Pelabuhan DKP Hendrawan, S.Pi Petugas Pusat Informasi Pelabuhan

Perikanan DKP

Page 244: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

224

Lampiran 2 Hasil penilaian 29 responden terhadap prioritas pengembangan PPN Palabuhanratu

Penilaian responden Kendala

Tinggi Sedang Kurang Nilai Rangking

Peningkatan jumlah kapal 28 1 0 285 1Peningkatan produksi ikan 27 2 0 280 2Perluasan kolam 18 11 0 235 11Peningkatan pelelangan ikan 22 7 0 255 7Peningkatan pendapatan pelabuhan 26 3 0 275 3

Peningkatan lapangan kerja 25 4 0 270 4Peningkatan PAD 24 5 0 265 5Peningkatan investasi 23 6 0 260 6Penyempurnaan docking 16 11 2 221 12Peningkatan SDM 15 10 4 212 13Aksesibilitas 14 9 6 203 14Perluasan lahan 19 10 0 240 10Peningkatan kapasitas pabrik es 21 8 0 250 8Pengadaan SPBB kapal >30 GT 20 9 0 245 9Peningkatan industri pengolahan 13 12 4 202 15Aplikasi SOP 10 15 4 187 16Operasional syahbandar perikanan 9 11 9 172 17

Catatan: Tinggi =10, sedang = 5, kurang = 3

Page 245: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

225

Lampiran 3 Hasil penilaian 29 responden terhadap solusi pengembangan PPN Palabuhanratu

Dikembangkan

Jenis fasilitas Tinggi Sedang Kurang

Nilai Ranking

Kolam dan dermaga 28 1 0 285 1 Perluasan lahan 27 2 0 280 2 Operasional TPI 26 3 0 275 3 Pabrik es 17 10 2 226 8 Pengadaan SPBB 25 4 0 270 4 Pelayanan prima 24 4 1 263 5 Alur pelayaran 20 8 1 243 6 Lampu navigasi 18 9 2 231 7 Pasar ikan 15 14 0 220 9 Balai pertemuan nelayan 13 12 4 202 10 Instalasi air 11 15 3 197 11 Bak sampah 10 15 4 187 12 Jalan kompleks pelabuhan 3 21 5 150 13

Keterangan: Tinggi=10, Sedang=5, Kurang=3

Page 246: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

226

Lampiran 4 Bagan struktur organisasi PPN Palabuhanratu ( SK Menteri Kelautan dan Perikanan No : KEP.26.I/ MEN/ 2001 )

KEPALA PELABUHAN Ir. Bustami Mahyuddin, MM

SEKSI TATA PENGUSAHAAN

Tatang Suherman, A.Pi

SUB BAG TATA USAHA Drs. Eno Sandy Prayitno, MM

SEKSI TATA PELAYANAN Maulana Raphita, A.Pi

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Page 247: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

250

Lampiran 5 Frekuensi masuk kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2004

Per jenis kapal/perahu perikanan per alat tangkap (kali)

KM 11 - 20 GT KM 21 - 30 GT KM > 30 GT No

Bulan

Gill Net Rawai Gill Net Rawai Gill Net Rawai Tuna longline

Jumlah (kali)

1 Januari 35 - 8 - 2 4 25 74 2 Februari 13 - 5 - 7 5 26 56 3 Maret 7 10 11 1 5 3 27 64 4 April 1 35 8 - 1 9 38 92 5 Mei 14 - 3 1 2 - 25 45 6 Juni 5 - 7 - 6 3 36 57 7 Juli 10 - 15 - 9 4 25 63 8 Agustus 5 - 14 - 3 4 23 49 9 September 1 - 10 3 9 3 39 65 10 Oktober 5 - 9 2 26 2 15 59 11 November 2 - 4 - 10 3 14 33 12 Desember 3 - 5 2 10 5 30 55 Jumlah 101 45 99 9 90 45 323 712 Rata-rata perbln 8 4 8 1 8 4 27 59 Rata-rata perhari 2 Kondisi Maksimum 35 35 15 3 26 9 39 92

Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.

227

Page 248: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

251

Lampiran 6 Frekuensi keluar kapal/perahu perikanan di PPN Palabuhanratu tahun 2004

Jenis alat tangkap KM < 10 GT KM 11 - 20 GT KM 21 - 30 GT KM > 30 GT

No Bulan Purse seinne Gill net Pancing

ulur/rawai Gill net Rawai Gill net Rawai Gill net Rawai Tuna longline

1 Januari 103 13 78 4 2 6 - 5 - 202 Februari 125 14 90 3 2 6 - 5 - 243 Maret 161 13 177 4 2 6 - 5 - 274 April 258 16 169 4 - 11 - 5 - 65 Mei 257 24 20 14 3 2 - 24 - 126 Juni 96 11 20 3 - 7 - 14 - 417 Juli 13 239 24 3 - 7 - 30 - 268 Agustus 68 53 119 4 - 24 - 15 - 429 September 38 58 160 4 - 7 - 13 - 4410 Oktober - 17 90 5 - 8 - 22 - 811 November - 13 20 3 - 4 - 12 - 1612 Desember - 12 50 3 - 5 - 9 - 19

Jumlah 1.119 483 1.017 54 9 93 - 159 - 285Rata-rata 93 40 85 5 1 8 - 13 - 24Kondisi Maksimum 258 239 177 14 3 24 - 30 - 44Rata-rata per hari 9

Sumber : PPN Palabuhanratu 2005 228

Page 249: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

229

Lampiran 7 PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Kabupaten Sukabumi tahun 2000-2004

Satuan: dalam juta rupiah

Tahun PDRB

2000 109.131,36

2001 125.334,53

2002 136.498,00

2003 149.246,91

2004 163.288,89

Rata-rata 136.699,94

Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005.

Page 250: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

240

Lampiran 8 PDRB Kabupaten Sukabumi atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 – 2004 Satuan: juta rupiah

Sektor 2000 2001 2002 2003* 2004**

Pertanian 2.146.545,50 2.505.020,57 2.834.225,89 3.140.787,79 3.342.354,25

Pertambangan & Penggalian 302.355,65 364.876,90 395.700,08 420.114,59 483.460,47

Industri pengolahan 906.851,09 1.093.753,10 1.207.572,03 1.394.413,96 1.505.879,22

Listrik,gas & air minum 48.201,55 62.057,62 70.023,64 101.108,22 130.620,10

Bangunan & Konstruksi 82.265,00 9.501,01 111.766,42 190.162,47 295.613,84

Perdagangan,Hotel&Restoran 586.200,65 1.196.968,35 1.206.409,37 1.283.952,45 1.472.768,61

Angkutan & Komunikasi 310.364,94 375.695,31 422.941,85 468.725,80 625.969,01

Keuangan,Persewaan & jasa perusahaan 199.422,37 241.451,01 267.595,37 292.315,26 332.428,98

Jasa-jasa 659.575,15 815.571,79 915.041,07 974.517,57 1.038.911,67

PDRB 5.241.781,90 6.664.895,66 7.431.275,72 8.266.098,11 9.228.006,15

Rata-rata PDRB = 7.366.411,51 Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara

230

Page 251: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

231

Lampiran 9 PDRB sub sektor perikanan atas dasar harga yang berlaku Provinsi Jawa - Barat tahun 2000 – 2004

Tahun PDRB

2000 1.744.492,72 2001 2.268.421,02 2002 2.732.966,42 2003* 2.718.168,52 2004** 3.236.166,49 Rata-rata 2.540.043,03

Sumber: Jawa Barat dalam angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaki **) angka sementara

Page 252: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

242

Lampiran 10 PDRB Provinsi Jawa Barat atas dasar harga berlaku menurut sektor periode tahun 2000 - 2004

Sektor 2000* 2001* 2002* 2003* 2004** Pertanian,peternakan,kehutanan dan perikanan 29.135.323,89 30.987.527,27 33.465.518,60 36.358.471,17 40.162.265,47Pertambangan dan penggalian 18.597.723,64 20.784.668,70 22.170.507,05 16.006.590,04 20.543.169,26Industri pengolahan 67.750.802,37 73.633.845,15 79.911.695,26 115.267.941,97 123.471.213,49Listrik, gas dan air 3.700.173,11 4.852.728,33 5.702.977,49 6.273.427,06 7.948.353,59Bangunan 5.254.511,71 5.540.795,54 6.389.815,32 7.133.557,43 8.479.964,12Perdagangan,hotel dan restoran 25.309.138,21 26.925.720,54 30.883.177,81 46.894.010,52 53.857.801,61Pengangkutan dan komunikasi 7.089.545,26 8.094.492,51 9.934.813,36 13.453.428,44 16.125.218,22Keuangan,persewaan dan jasa perusahaan 5.062.255,96 5.910.959,16 7.077.409,26 8.064.022,99 8.718.983,06Jasa-jasa 14.750.974,96 16.395.327,41 18.826.332,77 21.253.558,86 25.778.685,30PDRB 176.650.449,11 193.126.064,61 214.362.246,92 270.705.008,48 305.085.654,12Rata-rata PDRB = 231.985.884,60 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2005. Keterangan: *) angka diperbaiki **) angka sementara

232

Page 253: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

233

Lampiran 11 Produksi dan nilai produksi ikan di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000 - 2004

Tahun Produksi (kg) Nilai Produksi (Rp)

2000 3.515.151,00 3.857.799.500,00

2001 3.504.450,00 4.793.207.839,00

2002 3.875.468,00 15.335.105.315,00

2003 4.625.763,00 18.154.560.568,00

2004 6.404.179,00 31.566.769.254,00

Rata-rata 4.385.002,20 14.741.488.495,20

Sumber: PPN Palabuhanratu, 2005. Lampiran 12 Produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi periode tahun 2000-

2004

Tahun Produksi (ton) Nilai (x Rp.1000)

2000 4.353,00 21.791.572,50

2001 4.825,00 23.951.778,00

2002 6.286,27 31.902.950,00

2003 7.069,86 35.643.248,00

2004 9.120,32 45.601.600,00

Rata-rata 6.330,89 31.778.229,70

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Sukabumi, 2005

Page 254: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

234

Lampiran 13 Produksi dan nilai ikan yang dilelang di PPN Palabuhanratu bulan Januari-Oktober tahun 2005

Bulan Produksi (kg) Nilai (Rp)

Januari 201.160 663.873.450

Februari 185.173 623.408.510

Maret 188.694 611.318.040

April 177.816 402.000.000

Mei 191.213 546.000.000

Juni 183.519 565.000.000

Juli 112.813 417.000.000

Agustus 170.000 440.000.000

September 58.522 170.000.000

Oktober 853 103.000.000

Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.

Page 255: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

238

Lampiran 14 Produksi ikan bulan Januari-Oktober tahun 2005 di PPN Palabuhanratu

Yang didaratkan di pelabuhan Dari luar pelabuhan Jumlah Bulan

Produksi (kg) Nilai (Rp) Produksi (kg) Nilai (Rp) Produksi (kg) Nilai (Rp)

Januari 251.835 1.610.690.627 581.710 3.222.730.000 833.545 4.833.420.627Februari 433.331 2.468.397.950 578.235 3.105.958.400 1.011.566 5.574.356.350Maret 528.960 2.841.230.794 552.125 3.138.490.000 1.081.085 5.979.720.794April 866.482 3.045.571.683 635.232 3.735.496.000 1.501.714 6.781.067.683Mei 1.359.537 5.616.690.434 169.270 754.280.000 1.528.807 6.370.970.434Juni 757.949 3.410.348.426 294.172 1.489.830.000 1.052.121 4.900.178.426Juli 425.963 2.023.290.828 373.030 1.821.000.000 798.993 3.844.290.828Agustus 623.020 2.862.882.458 224.200 1.063.350.000 847.220 3.926.232.458September 472.700 1.895.590.122 354.680 2.322.560.000 827.380 4.218.150.122Oktober 379.339 1.675.397.899 399.060 2.490.370.000 778.399 4.165.767.899Nopember 119.175 789.395.477 398.530 2.055.660.000 517.705 2.845.055.477Desember 582.239 3.914.448.126 409.415 2.958.392.500 991.654 6.872.840.626Jumlah 6.800.530 32.153.934.824 4.969.659 28.158.116.900 11.770.189 60.312.051.724Rata-rata perbln 550.044 2.679.494.569 414.138 2.346.509.742 964.182 5.026.004.310

Sumber : PPN Palabuhanratu, 2005.

235

Page 256: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

236

Lampiran 15 Jumlah ikan yang didaratkan di dermaga PPN Palabuhanratu periode tahun 2001-2005

Satuan: ton Tahun Jumlah 2001 1.767 2002 2.890 2003 4.105 2004 3.368 2005 6.601

Jumlah 18.731 Rata-rata 3.746

Sumber : Statistik PPN Palabuhanratu 2006.

Page 257: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

237

252

Page 258: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lampiran 16 Hasil perhitungan indeks fasilitas 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Areal

Pelabuhan (Ha)

Dermaga (m)

Kolam Pelabuhan

(Ha)

Jalan Komplek

(m)

Revetment (m) Trotoar (m) TPI (m2)

Tangki BBM dan Instalasi

(m3)

Listrik dan Instalasi

(KVA)

Kantor Administrasi

(m2)

Areal Parkir (m2) Pagar (m) Pos Satpam/

Jaga (m2) SSB (unit)Pompa Air/

Hydrant (unit)

Drainase (m)

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6Jumlah PP yang terisi 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1Bobot Fasilitas 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Areal

Pelabuhan (Ha)

Dermaga (m)

Kolam Pelabuhan

(Ha)

Jalan Komplek

(m)

Revetment (m) Trotoar (m) TPI (m2)

Tangki BBM dan Instalasi

(m3)

Listrik dan Instalasi

(KVA)

Kantor Administrasi

(m2)

Areal Parkir (m2) Pagar (m) Pos Satpam/

Jaga (m2) SSB (unit)Pompa Air/

Hydrant (unit)

Drainase (m)

1 PP Samudera Jakarta 75 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 602 PP Samudera Bungus 74 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 593 PP Samudera Cilacap 73 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 584 PP Nusantara Sibolga 72 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 575 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 57 566 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59 58 57 56 55

435 429 423 417 411 405 399 393 387 381 375 369 363 357 351 345Bobot Fasilitas 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21052 PP Samudera Bungus 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21053 PP Samudera Cilacap 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21054 PP Nusantara Sibolga 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21055 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.21056 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2083 0.2085 0.2086 0.2087 0.2088 0.2090 0.2091 0.2092 0.2094 0.2095 0.2097 0.2098 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105

No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Page 259: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Rumah Jaga (m2)

11111166

10.2107

Rumah Jaga (m2)

595857565554

3390.2107

0.21070.21070.21070.21070.21070.2107

111111

Page 260: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 16

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Garasi (m2)Rambu

Navigasi (unit)

Tangki Air dan Instalasi

(m3)

Genset dan Instalasi

(KVA)

Gedung Pertemuan

Nelayan (m2)

MCK (m2)Gedung

Pengepakan (m2)

Gapura (unit)

Tempat Pengolahan

Ikan (m2)

Gudang Penyimpanan Keranjang

(m2)

Mess Operator

(unit)

Breakwater (m)

Pabrik Es (ton/hari)

Bengkel (m2)

Rumah Genset (m2)

Slipway (GT/unit)

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4Jumlah PP yang terisi 6 6 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4Jumlah PPBobot Kelangkaan 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5Bobot Fasilitas 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Garasi (m2)Rambu

Navigasi (unit)

Tangki Air dan Instalasi

(m3)

Genset dan Instalasi

(KVA)

Gedung Pertemuan

Nelayan (m2)

MCK (m2)Gedung

Pengepakan (m2)

Gapura (unit)

Tempat Pengolahan

Ikan (m2)

Gudang Penyimpanan Keranjang

(m2)

Mess Operator

(unit)

Breakwater (m)

Pabrik Es (ton/hari)

Bengkel (m2)

Rumah Genset (m2)

Slipway (GT/unit)

1 PP Samudera Jakarta 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 432 PP Samudera Bungus 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 423 PP Samudera Cilacap 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 414 PP Nusantara Sibolga 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 405 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 54 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 396 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 53 52 51 50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38

333 327 321 315 309 303 297 291 285 279 273 267 261 255 249 243Bobot Fasilitas 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.0000 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.21502 PP Samudera Bungus 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.0000 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.0000 0.2140 0.2143 0.2146 0.21503 PP Samudera Cilacap 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.0000 0.2143 0.2146 0.21504 PP Nusantara Sibolga 0.2109 0.2111 0.2113 0.0000 0.2118 0.2120 0.0000 0.2125 0.0000 0.2130 0.2133 0.0000 0.2140 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.0000 0.2128 0.0000 0.2133 0.2136 0.0000 0.2143 0.2146 0.21506 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2109 0.2111 0.0000 0.2115 0.2118 0.0000 0.2122 0.2125 0.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.0000 0.0000 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.52 PP Samudera Bungus 1 1 1.2 1.2 0 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.5 1.5 1.5 1.53 PP Samudera Cilacap 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 0 1.5 1.5 1.54 PP Nusantara Sibolga 1 1 1.2 0 1.2 1.2 0 1.2 0 1.2 1.2 0 1.5 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0 1.2 0 1.2 1.5 0 1.5 1.5 1.56 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 0 1.2 1.2 0 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.5 1.5 0 0 0

Page 261: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Rumah Pompa Air/

Hydrant (m2)

111

1

44

1.50.2154

Rumah Pompa Air/

Hydrant (m2)

424140393837

2370.2154

0.21540.21540.21540.00000.21540.0000

1.51.51.5

01.5

0

Page 262: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 16

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Tower (unit) Area Dock (m2)

Docking (unit)

Dump Truck (unit)

Lahan Kawasan

Industri (Ha)

Fish Room (ton/hari)

Masjid/ Musholla

(m2)

Rumah Kepala

Pelabuhan (m2)

Groin (m)Kantor

Syahbandar (m2)

Fork Lift (unit)

Cold Storage

(unit)

Winch House (m2)

Ruang Generator

(m2)

Rumah Pompa BBM

(m2)

Kantor Samsat (m2)

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3Jumlah PP yang terisi 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3Jumlah PPBobot Kelangkaan 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 2 2 2 2 2 2 2 2Bobot Fasilitas 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Tower (unit) Area Dock (m2)

Docking (unit)

Dump Truck (unit)

Lahan Kawasan

Industri (Ha)

Fish Room (ton/hari)

Masjid/ Musholla

(m2)

Rumah Kepala

Pelabuhan (m2)

Groin (m)Kantor

Syahbandar (m2)

Fork Lift (unit)

Cold Storage

(unit)

Winch House (m2)

Ruang Generator

(m2)

Rumah Pompa BBM

(m2)

Kantor Samsat (m2)

1 PP Samudera Jakarta 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 262 PP Samudera Bungus 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 253 PP Samudera Cilacap 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 244 PP Nusantara Sibolga 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 235 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 226 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21

231 225 219 213 207 201 195 189 183 177 171 165 159 153 147 141Bobot Fasilitas 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.0000 0.0000 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.22612 PP Samudera Bungus 0.0000 0.2162 0.2167 0.0000 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194 0.0000 0.0000 0.2214 0.2222 0.0000 0.2240 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.0000 0.2194 0.2200 0.2207 0.0000 0.0000 0.2231 0.0000 0.2250 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.2158 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.22615 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.0000 0.0000 0.2188 0.2194 0.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.2240 0.2250 0.22616 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2158 0.0000 0.0000 0.2171 0.2176 0.2182 0.0000 0.2194 0.2200 0.0000 0.0000 0.2222 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 2 2 2 2 2 2 22 PP Samudera Bungus 0 1.5 1.5 0 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 2 2 0 2 0 03 PP Samudera Cilacap 0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 0 1.5 2 2 0 0 2 0 2 04 PP Nusantara Sibolga 1.5 0 0 0 0 0 1.5 0 0 0 0 0 0 0 0 25 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1.5 1.5 1.5 1.5 0 0 1.5 1.5 2 2 2 0 2 2 2 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1.5 0 0 1.5 1.5 1.5 0 1.5 2 0 0 2 0 0 0 0

Page 263: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Gedung Penyaluran BBM (m2)

1

11

33

20.2273

Gedung Penyaluran BBM (m2)

252423222120

1350.2273

0.22730.00000.00000.22730.22730.0000

200220

Page 264: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 16

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Truck Folder Crane (unit)

Guest House(m2)

Toko BAP (m2)

Zona Pengemban

gan (Ha)

Lampu Tanda

Pelabuhan (unit)

Jetty (m2) Pasar Ikan (m2)

Shelter Nelayan

(m2)

Gedung Peralatan

(m2)

Reservoir (m3)

Fasilitas Olah Raga

(unit)

Vessel Lift (GT)

Vessel Lift House (m2)

Laboratorium BMHP

(m2)

Gedung Utility (m2) IPAL (unit)

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1

Jumlah 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1Jumlah PP yang terisi 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1Jumlah PPBobot Kelangkaan 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 6 6 6 6 6Bobot Fasilitas 0.2286 0.2300 0.2316 0.2333 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.2500 0.2545 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Truck Folder Crane (unit)

Guest House(m2)

Toko BAP (m2)

Zona Pengemban

gan (Ha)

Lampu Tanda

Pelabuhan (unit)

Jetty (m2) Pasar Ikan (m2)

Shelter Nelayan

(m2)

Gedung Peralatan

(m2)

Reservoir (m3)

Fasilitas Olah Raga

(unit)

Vessel Lift (GT)

Vessel Lift House (m2)

Laboratorium BMHP

(m2)

Gedung Utility (m2) IPAL (unit)

1 PP Samudera Jakarta 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 92 PP Samudera Bungus 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 83 PP Samudera Cilacap 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 74 PP Nusantara Sibolga 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 65 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 56 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4

129 123 117 111 105 99 93 87 81 75 69 63 57 51 45 39Bobot Fasilitas 0.2286 0.2300 0.2316 0.2333 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.2500 0.2545 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2286 0.2300 0.2316 0.0000 0.2353 0.2375 0.2400 0.2429 0.2462 0.0000 0.2545 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.30002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.0000 0.0000 0.2333 0.0000 0.2375 0.0000 0.0000 0.0000 0.2500 0.0000 0.2600 0.2667 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.2286 0.0000 0.0000 0.2333 0.2353 0.0000 0.0000 0.2429 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2462 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2857 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2286 0.2300 0.2316 0.0000 0.2353 0.0000 0.2400 0.0000 0.0000 0.2500 0.2545 0.0000 0.0000 0.2750 0.0000 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.0000 0.2300 0.2316 0.2333 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 2 2 2 0 2 3 3 3 3 0 3 0 0 0 0 62 PP Samudera Bungus 0 0 0 2 0 3 0 0 0 3 0 6 6 0 0 03 PP Samudera Cilacap 2 0 0 2 2 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 04 PP Nusantara Sibolga 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 6 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 2 2 2 0 2 0 3 0 0 3 3 0 0 6 0 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Page 265: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Tempat Penjemuran Jaring (m2)

1

11

60.3200

Tempat Penjemuran Jaring (m2)

876543

330.3200

0.00000.00000.00000.00000.32000.0000

000060

Page 266: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 16

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Sumur Artesis (buah)

Mess Nelayan (unit)

1 PP Samudera Jakarta2 PP Samudera Bungus 13 PP Samudera Cilacap4 PP Nusantara Sibolga5 PP Nusantara Pelabuhan Ratu6 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1

Jumlah 1 1Jumlah PP yang terisi 1 1Jumlah PPBobot Kelangkaan 6 6Bobot Fasilitas 0.3500 0.4000

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Sumur Artesis (buah)

Mess Nelayan (unit)

1 PP Samudera Jakarta 7 62 PP Samudera Bungus 6 53 PP Samudera Cilacap 5 44 PP Nusantara Sibolga 4 35 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 3 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 2 1

27 21Bobot Fasilitas 0.3500 0.4000

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.0000 0.00002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.40003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.0000 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.3500 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 0 02 PP Samudera Bungus 0 63 PP Samudera Cilacap 0 04 PP Nusantara Sibolga 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 6 0

Page 267: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

242

Lanjutan lampiran 16 Hasil perhitungan nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan fasilitas.

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis fasilitas Index A Index B

PP Samudera Jakarta 58 93.1 12.723 PP Samudera Bungus 47 77.1 10.376 PP Samudera Cilacap 47 63.3 10.100 PP Nusantara Sibolga 32 43.7 6.890 PP Nusantara Palabuhanratu 54 88.9 11.897 PP Nusantara Prigi 39 53.9 8.472

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot fasilitas

Page 268: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lampiran 17 Perhitungan persaingan jenis pendidikan SDM berdasarkan strata pada 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1

1 = ada0 = tdk ada

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 12 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 13 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 1

Jumlah 4 5 6 6 2 6 4Jumlah PP yang terisi 4 5 6 5 2 6 4Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1.5 1.2 1 1.2 3 1 1.5Bobot Pendidikan 0.275 0.2857 0.3 0.32 0.35 0.4 0.5

1 PP Samudera Jakarta 11 10 9 8 7 6 52 PP Samudera Bungus 10 9 8 7 6 5 43 PP Samudera Cilacap 9 8 7 6 5 4 34 PP Nusantara Sibolga 8 7 6 5 4 3 25 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 7 6 5 4 3 2 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 6 5 4 3 2 1 0

51 45 39 33 27 21 15Bobot Pendidikan 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000 0.5000

Index BPP Samudera Jakarta 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Samudera Bungus 0 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Samudera Cilacap 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0.5PP Nusantara Sibolga 0 0 0.3 0.32 0.35 0.4 0PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.275 0.2857 0.3 0.32 0.35 0.4 0.5PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.275 0.2857 0.3 0.32 0 0.4 0

Index APP Samudera Jakarta 1.5 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Samudera Bungus 0 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Samudera Cilacap 1.5 1.2 1 1.2 0 1 1.5PP Nusantara Sibolga 0 0 1 1.2 3 1 0PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1.5 1.2 1 1.2 3 1 1.5PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1.5 1.2 1 1.2 0 1 0

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan

SD SLTP SLTA D3 D4 S1 S2

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan

SD SLTP SLTA D3 D4 S1 S2

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP)Pendidikan

S2 S1 D4 D3 SLTA SLTP SD

Page 269: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep
Page 270: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep
Page 271: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

244

Lanjutan lampiran 17 Nilai indeks hierarki PPN Palabuhanratu terhadap 6 unit pelabuhan perikanan lainnya di WPP 9 Samudera Hindia berdasarkan pendidikan sumberdaya manusia pengelola pelabuhan

Pelabuhan Perikanan Jumlah jenis pendidikan

SDM Index A Index B

PP Samudera Jakarta 6 7,4 2,1 PP Samudera Bungus 5 5,9 1,8 PP Samudera Cilacap 6 7,4 2,1 PP Nusantara Sibolga 4 6,2 1,4 PP Nusantara Palabuhanratu 7 10,4 2,4 PP Nusantara Prigi 5 5,9 1,6

Keterangan : Index A = bobot kelangkaan Index B = bobot SDM

Page 272: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting di 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9

No Nama Pelabuhan Perikanan 1 PP Samudera Jakarta 12 PP Samudera Bungus3 PP Samudera Cilacap 1 1 1 14 PP Nusantara Sibolga 15 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 16 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1

Jumlah 1 1 1 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2Jumlah PP yang terisi 1 1 1 1 1 3 2 2 2 2 2 2 2Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 6 6 6 6 6 2 3 3 3 3 3 3 3Bobot jenis ikan 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125

No Nama Pelabuhan Perikanan 1 PP Samudera Jakarta 63 62 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 512 PP Samudera Bungus 62 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 503 PP Samudera Cilacap 61 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 494 PP Nusantara Sibolga 60 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 485 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 59 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 476 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 58 57 56 55 54 53 52 51 50 49 48 47 46

363 357 351 345 339 333 327 321 315 309 303 297 291Bobot jenis ikan 0.2100 0.2102 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.2125

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2118 0.0000 0.0000 0.00002 PP Samudera Bungus 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.0000 0.2102 0.0000 0.0000 0.0000 0.2109 0.2111 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.21254 PP Nusantara Sibolga 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2109 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2100 0.0000 0.2103 0.2105 0.2107 0.2109 0.2111 0.2113 0.2115 0.2118 0.2120 0.2122 0.21256 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2113 0.2115 0.0000 0.2120 0.2122 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 02 PP Samudera Bungus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 PP Samudera Cilacap 0 6 0 0 0 2 3 0 0 0 0 0 34 PP Nusantara Sibolga 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 6 0 6 6 6 2 3 3 3 3 3 3 36 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 3 3 0

Tembang Talang-talang Swangi Selar Pedang-

pedang

Tembang Talang-talang Swangi Selar Pedang-

pedang

Julung-julung Sunglir Eteman/koyo TetengkekTeri Remang Cendro Deles

Julung-julung Sunglir Eteman/koyo TetengkekTeri Remang Cendro Deles

Page 273: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 18

1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1 1 1 1

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 2 3 4 5 4 4 4 1 6 2 6 1 2 3 5 42 2 3 4 5 4 4 4 1 6 2 6 1 2 3 5 4

3 3 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 6 1 3 1 6 3 2 1.2 1.50.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194

50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 3449 48 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 3348 47 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 3247 46 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 3146 45 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 3045 44 43 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 30 29

285 279 273 267 261 255 249 243 237 231 225 219 213 207 201 195 1890.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.2162 0.2167 0.2171 0.2176 0.2182 0.2188 0.2194

0.0000 0.0000 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.0000 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.0000 0.2182 0.2188 0.21940.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.2176 0.0000 0.0000 0.00000.0000 0.0000 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.0000 0.2158 0.2162 0.2167 0.0000 0.2176 0.2182 0.2188 0.21940.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2140 0.0000 0.0000 0.2150 0.0000 0.2158 0.2162 0.2167 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.00000.2128 0.2130 0.2133 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.2154 0.2158 0.0000 0.2167 0.2171 0.0000 0.2182 0.2188 0.21940.2128 0.2130 0.0000 0.2136 0.2140 0.2143 0.2146 0.2150 0.0000 0.2158 0.0000 0.2167 0.0000 0.0000 0.0000 0.2188 0.2194

0 0 2 1.5 1.2 1.5 1.5 0 0 1 0 1 0 0 2 1.2 1.50 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3 0 0 00 0 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 0 1 3 1 0 3 2 1.2 1.50 0 0 0 1.2 0 0 1.5 0 1 3 1 0 0 0 1.2 03 3 2 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 6 1 0 1 6 0 2 1.2 1.53 3 0 1.5 1.2 1.5 1.5 1.5 0 1 0 1 0 0 0 1.2 1.5

Layang Sardin Bawal Alu-alu Manyung Cucut Kembung Layur Pisang-pisang Tongkol Sebelah Cakalang Beronang Kerapu Jangilus Kuwe Kakap

Layang Sardin Bawal Alu-alu Manyung Cucut Kembung Layur Pisang-pisang Tongkol Sebelah Cakalang Beronang Kerapu Jangilus Kuwe Kakap

Page 274: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lanjutan lampiran 18

Jumlah Jenis ikan Index A Index B

1 1 1 1 15 22.9 3.31 1 1 6 14.0 1.3

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 28 73.4 6.11 1 9 13.4 2.01 1 1 1 1 1 1 34 94.4 7.3

1 1 1 18 33.9 3.94 4 4 1 2 1 1 1 1 2 6 34 4 4 1 2 1 1 1 1 2 6 3

1.5 1.5 1.5 6 3 6 6 6 6 3 1 20.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.2316

33 32 31 30 29 28 27 26 25 24 23 2232 31 30 29 28 27 26 25 24 23 22 2131 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 2030 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 1929 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 1828 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17

183 177 171 165 159 153 147 141 135 129 123 1170.2200 0.2207 0.2214 0.2222 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.2316

0.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.00000.0000 0.0000 0.0000 0.2222 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.23160.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.2240 0.2250 0.2261 0.2273 0.2286 0.2300 0.23160.2200 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.00000.2200 0.2207 0.2214 0.0000 0.2231 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2286 0.2300 0.23160.0000 0.2207 0.2214 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.2300 0.0000

1.5 1.5 1.5 0 0 0 0 0 0 0 1 00 0 0 6 0 0 0 0 0 0 1 2

1.5 1.5 1.5 0 3 6 6 6 6 3 1 21.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 01.5 1.5 1.5 0 3 0 0 0 0 3 1 2

0 1.5 1.5 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Cumi-cumi Layaran Tenggiri Teripang Udang jerbung Udang dogol Tuna LobsterUdang barat Udang

kerosok Udang tiger Setuhuk

Cumi-cumi Layaran Tenggiri Teripang Udang jerbung Udang dogol Tuna LobsterUdang barat Udang

kerosok Udang tiger Setuhuk

Page 275: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

248

Lanjutan lampiran 18 Perhitungan indeks jenis ikan ekonomis penting 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ikan Index A Index B

PP Samudera Jakarta 15 22,9 3,3 PP Samudera Bungus 6 14 1,3 PP Samudera Cilacap 28 73,4 6,1 PP Nusantara Sibolga 9 13,4 2,0 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 34 94,4 7,3 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 18 33,9 3,9

Page 276: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Nama Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah Jenis Alat tangkap Index A Index BPP Samudera Jakarta 7 24.6 1.943PP Samudera Bungus 3 3.6 0.706PP Samudera Cilacap 3 5.4 0.723PP Nusantara Sibolga 5 10.4 1.226PP Nusantara Pelabuhan Ratu 11 32.6 2.760PP Nusantara Pelabuhan Prigi 7 19.4 1.864

Index A (bobot kelangkaan)Index B(bobot fasilitas)

Keterangan: 1 = Ada Fasilitas0 = Tidak Ada Fasilitas

Page 277: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

251

Lanjutan lampiran 19 Perhitungan indeks jenis alat tangkap 6 unit pelabuhan perikanan

di WPP 9 Samudera Hindia

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis alat tangkap Index A Index B

PP Samudera Jakarta 7 24,6 1,943 PP Samudera Bungus 3 3,6 0,706 PP Samudera Cilacap 3 5,4 0,723 PP Nusantara Sibolga 5 10,4 1,226 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 11 32,6 2,760 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 7 19,4 1,864

Page 278: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

Lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 100-200 GT <5 GT 200-300 GT Jumlah Jenis ukuran kapal Index A Index B

1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1 1 1 1 7 13.4000 2.10742 PP Samudera Bungus 1 1 1 1 1 5 5.4000 1.38743 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1 1 1 6 7.4000 1.70744 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1 1 5 5.4000 1.38745 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1 1 1 1 7 10.4000 2.05746 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 1 4 6.0000 1.1517

Jumlah 6 6 6 5 5 3 2 1Jumlah PP yang terisi 6 6 6 5 5 3 2 1Jumlah PP 6Bobot Kelangkaan 1 1 1 1.2 1.2 2 3 6Bobot Fasilitas 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000

No Nama Pelabuhan Perikanan (PP) 5-10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT 50-100 GT 100-200 GT <5 GT 200-300 GT1 PP Samudera Jakarta 13 12 11 10 9 8 7 62 PP Samudera Bungus 12 11 10 9 8 7 6 53 PP Samudera Cilacap 11 10 9 8 7 6 5 44 PP Nusantara Sibolga 10 9 8 7 6 5 4 35 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 9 8 7 6 5 4 3 26 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 8 7 6 5 4 3 2 1

63 57 51 45 39 33 27 21Bobot Fasilitas 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.4000

No Index B1 PP Samudera Jakarta 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.0000 0.40002 PP Samudera Bungus 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.0000 0.0000 0.00003 PP Samudera Cilacap 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.0000 0.00004 PP Nusantara Sibolga 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.0000 0.0000 0.00005 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 0.2600 0.2667 0.2750 0.2857 0.3000 0.3200 0.3500 0.00006 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 0.2600 0.2667 0.2750 0.0000 0.0000 0.0000 0.3500 0.0000

No Index A1 PP Samudera Jakarta 1 1 1 1.2 1.2 2 0 62 PP Samudera Bungus 1 1 1 1.2 1.2 0 0 03 PP Samudera Cilacap 1 1 1 1.2 1.2 2 0 04 PP Nusantara Sibolga 1 1 1 1.2 1.2 0 0 05 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 1 1 1 1.2 1.2 2 3 06 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 1 1 1 0 0 0 3 0

Page 279: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

253

Lanjutan lampiran 20 Perhitungan indeks jenis kapal 6 unit pelabuhan perikanan di WPP 9 Samudera Hindia

Pelabuhan Perikanan (PP) Jumlah jenis ukuran kapal Index A Index B

PP Samudera Jakarta 7 13,4 2,107 PP Samudera Bungus 5 5,4 1,387 PP Samudera Cilacap 6 7,4 1,707 PP Nusantara Sibolga 5 5,4 1,387 PP Nusantara Pelabuhan Ratu 7 10,4 2,057 PP Nusantara Pelabuhan Prigi 4 6 1,152

Page 280: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

254

Lampiran 21 Glosari

1. AMDAL : Hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.

2. Break water : salah satu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menahan gelombang.

3. Bobot kelangkaan : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang tidak dimiliki oleh pelabuhan lain sehingga memiliki nilai bobot yang tinggi.

4. Bobot jenis : Suatu ukuran keunggulan pelabuhan perikanan yang memiliki secara lengkap jenis (fasilitas, SDM, ikan, alat penangkapan ikan dan kapal perikanan). Semakin banyak jenis yang dimiliki oleh suatu pelabuhan maka semakin tinggi nilai bobotnya.

5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) : Tata laksana yang memuat asas dan standar internasional mengenai sikap atau perilaku dalam praktek yang bertanggung jawab di perairan nasional, Zona Ekonomi Eksklusif maupun pengelolaan perikanan di Laut Lepas.

6. Chlorofil : zat hijau yang terdapat pada tumbuhan.

7. Cold chain system : suatu system rantai dingin yang berfungsi untuk mempertahankan mutu ikan.

8. Cold storage : suatu fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk mempertahankan mutu dengan proses pendinginan.

9. Crane : fasilitas pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk alat bongkar muat dan pemindahan ikan.

10. Daerah lingkungan kepentingan pelabuhan (DLKP) : batas areal yang dimiliki oleh pelabuhan.

11. Daerah lingkungan kerja pelabuhan (DLKR) : batas areal sejauh pengaruh operasional pelabuhan.

12. Dock : fasilitas pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat pembangunan atau perbaikan kapal.

13. Fasilitas fungsional : fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktifitas di pelabuhan.

14. Fasilitas pelengkap : jenis fasilitas yang diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, tetapi pengadaannya baru pada tahap pengembangan pelabuhan.

15. Fasilitas penting : fasilitas yang jelas diperlukan agar pelabuhan perikanan dapat berfungsi dengan baik, namun realisasinya dapat ditunda.

16. Fasilitas penunjang : fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan.

Page 281: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

255

Lanjutan lampiran 21

17. Fasilitas pokok : fasilitas dasar yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan.

18. Fasilitas vital : fasilitas yang mutlak diperlukan di pelabuhan perikanan.

19. Fish bone analysis : suatu metode analisis dengan menggunakan kerangka tulang ikan, guna menentukan masalah pokok.

20. Fish processing : suatu kegiatan yang ditujukan untuk penanganan ikan dengan berbagai metode guna mempertahankan mutu ikan ataupun menghasilkan produk baru.

21. Fishing ground : daerah penangkapan ikan yang menjadi tujuan kegiatan penangkapan.

22. Foreland pelabuhan perikanan : wilayah produksi atau daerah penangkapan ikan yang merupakan salah satu sub sistem dalam tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan.

23. Groin : jenis bangunan untuk mempertahankan tanah agar tidak berubah strukturnya.

24. Growth center : pusat pertumbuhan suatu wilayah.

25. Hand liner : salah satu alat penangkap ikan yang menggunakan pancing dan dalam operasionalnya menggunakan tangan.

26. Highly Perishable : suatu sifat produk perikanan yang sangat cepat membusuk sehingga memerlukan penanganan khusus.

27. Hinterland pelabuhan perikanan : wilayah distribusi ikan yang merupakan salah satu sub sistem tryptique portuaire untuk pelabuhan perikanan.

28. Hinterland perpaduan atau overlapping hinterland : hinterland yang merupakan wilayah pendistribusian dari beberapa pelabuhan perikanan.

29. Hinterland primer : daerah konsumen untuk ikan segar.

30. Hinterland sekunder : daerah konsumen untuk ikan olahan.

31. Ikan demersal : jenis ikan yang hidup di dasar perairan.

32. Ikan pelagis : jenis ikan yang hidup diatas dasar perairan dan permukaan perairan.

33. Indeks relatif nilai produksi (I) : suatu metode untuk mengukur seberapa jauh kualitas pemasaran ikan disuatu daerah.

34. Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) : suatu system yang digunakan untuk menangani limbah.

35. Jetty : suatu fasilitas pelabuhan yang berfungsi untuk pendaratan ikan.

36. Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) : suatu kelompok masyarakat yang bertugas untuk mengawasi aktivitas perikanan.

Page 282: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

256

Lanjutan lampiran 21

37. Kelompok usaha bersama (KUB) : organisasi usaha masyarakat perikanan yang dibentuk secara berkelompok.

38. Labuh : Apabila kapal telah membongkar hasil tangkapannya, kemudian bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu yang bukan tempat bongkar, untuk beristirahat dan menunggu keberangkatan ke laut atau menunggu naik dok, maka kapal tersebut dikatakan berlabuh.

39. Lautan lepas : bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia dan perairan pedalaman Indonesia.

40. Laut territorial : jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

41. Liniear, Interactive, Descret, Optimizer (LINDO) : suatu program komputer yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada.

42. Linear goal programming : Adalah suatu model matematika yang dapat mengoptimalkan fungsi tujuan dengan kendala-kendala yang ada.

43. Location quotient (LQ) : model matematika yang dapat menentukan sektor basis.

44. Log Book : suatu informasi mengenai aktivitas kapal perikanan di laut.

45. Longshore sediment : pergerakan sediment disepanjang pantai.

46. Nelayan skala kecil : orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari..

47. Outering Fishing Port Program : suatu program untuk membangun pelabuhan-pelabuhan perikanan yang berada di wilayah terluar Indonesia.

48. Over fishing : suatu kondisi tangkap lebih disuatu perairan.

49. Proses Hierarki Analisis (PHA) : suatu metode yang dapat dipergunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan pada masalah-masalah yang kompleks dan tidak terstruktur.

50. Pelabuhan Perikanan : tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan/ atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.

51. Perikanan : semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya, mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

52. Purposive : suatu metode yang disengaja dalam pemilihan responden yang dianggap dapat mewakili tujuan penelitian.

Page 283: pola pengembangan pelabuhan perikanan dengan konsep

257

Lanjutan lampiran 21

53. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP) : suatu lembaga di dalam pelabuhan perikanan yang berfungsi untuk menyusun, menginformasikan segenap aktivitas pelabuhan perikanan.

54. Standard Operational Procedure (SOP) : standar prosedur yang ditetapkan oleh pelabuhan untuk pedoman pelaksana.

55. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) : Izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan.

56. Tambat : Kapal dikatakan bertambat apabila kapal bersandar atau mengikat tali ditempat tertentu untuk melakukan kegiatan membongkar hasil tangkapan.

57. Triptyque portuaire : suatu sistem kepelabuhanan yang terdiri dari tiga komponen yang saling terkait, yakni foreland, fishing port dan hinterland.

58. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) : jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.