23
Kabupaten Ngada adalah sebuah kabupaten di bagian tengah pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia, dengan ibukota kabupaten adalah kota Bajawa. Luas wilayah 3.037,9 km² dengan jumlah penduduk ± 250.000 jiwa. Kabupaten Ngada memiliki tiga suku besar, yaitu suku Nagekeo, yang sebagian besar tinggal di kabupaten Nagekeo; suku Bajawa; dan suku Riung. Masing-masing suku ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti: rumah adat, ritual adat, dialek atau logat bahasa daerah (dialek) yang berbeda satu sama lainnya, tarian, pakaian adat dan lain-lain. Dalam budaya Ngada, rumah adat (sao) memiliki peranan penting dalam pola kemasyarakatan. Seorang Ngada (ata dua) adalah bagian dari suatu rumah adat, yang berarti anggota klan (ana woe). Sao diberi nama leluhur pendirinya, dan nama tersebut ditulis pada jenang pintu (pene) rumah diam (one). Siapa yang berhak menghuni sao diatur oleh kepala suku, dan para mosalaki. Keberadaan sao selain ada kaitannya dengan woe, juga selalu berhubungan dengan berdirinya bhaga dan ngadhu di loka masing- masing. Oleh sebab itu, di halaman tengah (kisanata) kampung-kampung adat di Ngada, dijumpai bangunan ngadhu dan bhaga selain bangunan batu megalith ture dan nabe, serta makam-makam dari orang-orang yang berjasa untuk kampung. Keunikan arsitektur kampung- kampung adat di wilayah budaya Ngada, serta tangkasnya tarian Caci yang selalu dipentaskan pada perayaan syukur panen, dan pesta tradisional tahun baru Reba menurut penanggalan adat suku-suku yang ada di Ngada, maka pantas kiranya daerah Ngada dimasukkan ke dalam World Heritage Tentative List UNESCO, tanggal 19 Oktober 1995 dalam kategori kebudayaan. Sistem sosial masyarakat dibangun dari jalinan hubungan kekerabatan dalam pengertian orang Ngada. Hubungan kekerabatan yang baik diungkapkan dalam bahasa Ngada sebagai “tuka mogo, tuka ghi, ura mogo,” yang artinya keseluruhan orang-orang yang mempunyai seorang ibu asal bersama, atau bapa asal bersama, atau ibu-bapa asal yang sama. Tuka mogo - rahim ibu yang sama, tekanannya pada hubungan erat didalam keluarga dekat. Sedang, tuka ghi - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh. Ura mogo - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh lagi, Pola Permukiman Lereng Gunung Inirie – Kampung Bena | 1

Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Embed Size (px)

DESCRIPTION

A little part of vernacular architecture by Dr. Ir. Martinus Bambang Susetyarto, MT

Citation preview

Page 1: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Kabupaten Ngada adalah sebuah kabupaten di bagian

tengah pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia,

dengan ibukota kabupaten adalah kota Bajawa. Luas wilayah

3.037,9 km² dengan jumlah penduduk ± 250.000 jiwa. Kabupaten

Ngada memiliki tiga suku besar, yaitu suku Nagekeo, yang sebagian

besar tinggal di kabupaten Nagekeo; suku Bajawa; dan suku Riung.

Masing-masing suku ini mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang

masih dipertahankan sampai saat ini, seperti: rumah adat, ritual

adat, dialek atau logat bahasa daerah (dialek) yang berbeda satu

sama lainnya, tarian, pakaian adat dan lain-lain. Dalam budaya

Ngada, rumah adat (sao) memiliki peranan penting dalam pola

kemasyarakatan. Seorang Ngada (ata dua) adalah bagian dari suatu

rumah adat, yang berarti anggota klan (ana woe). Sao diberi nama

leluhur pendirinya, dan nama tersebut ditulis pada jenang pintu

(pene) rumah diam (one). Siapa yang berhak menghuni sao diatur

oleh kepala suku, dan para mosalaki. Keberadaan sao selain ada

kaitannya dengan woe, juga selalu berhubungan dengan berdirinya

bhaga dan ngadhu di loka masing-masing. Oleh sebab itu, di

halaman tengah (kisanata) kampung-kampung adat di Ngada,

dijumpai bangunan ngadhu dan bhaga selain bangunan batu

megalith ture dan nabe, serta makam-makam dari orang-orang yang

berjasa untuk kampung. Keunikan arsitektur kampung-kampung adat

di wilayah budaya Ngada, serta tangkasnya tarian Caci yang selalu

dipentaskan pada perayaan syukur panen, dan pesta tradisional

tahun baru Reba menurut penanggalan adat suku-suku yang ada di

Ngada, maka pantas kiranya daerah Ngada dimasukkan ke dalam

World Heritage Tentative List UNESCO, tanggal 19 Oktober 1995

dalam kategori kebudayaan.

Sistem sosial masyarakat dibangun dari jalinan hubungan

kekerabatan dalam pengertian orang Ngada. Hubungan kekerabatan

yang baik diungkapkan dalam bahasa Ngada sebagai “tuka mogo,

tuka ghi, ura mogo,” yang artinya keseluruhan orang-orang yang

mempunyai seorang ibu asal bersama, atau bapa asal bersama,

atau ibu-bapa asal yang sama. Tuka mogo - rahim ibu yang sama,

tekanannya pada hubungan erat didalam keluarga dekat. Sedang,

tuka ghi - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh. Ura

mogo - menyatakan hubungan keluarga yang lebih jauh lagi, sampai

ke masa kehidupan yang lalu, jaman leluhur mereka. Dengan

demikian, pengertian kekerabatan dipahami lebih luas dari sekedar

hubungan Ine ema nee ana, ibu bapa dan anak, tetapi juga termasuk

hubungan ebu nusi, yang artinya relasi spiritual dengan kakek,

nenek moyang, leluhurnya, dan seterusnya. Hubungan sosial

masyarakat juga mengenal tingkat atau lapis sosial. Gae adalah

lapis sosial tertinggi, gae meze adalah klas tertinggi dalam kelompok

masyarakat. Kemudian gae kisa, sebagai lapis sosial tengah, dan

are au adalah lapis sosial rendah, atau rakyat biasa. Secara budaya,

sistem kekerabatan tersebut terekspresi secara baik dalam peri

kehidupan budaya, seni tari, seni ukiran, seni patung, seni tenun,

seni puisi, seni suara, seni membangun, dan lain-lain. Ungkapan

budaya itu dilihat sebagai simbol-simbol, baik dalam gerak, gambar,

patung, serta tatanan kata dan bahasa. Kekerabatan dalam arti yang

lebih transendental, yaitu hubungan orang-orang adat dengan

leluhurnya, diungkap secara budaya dalam setiap pesta adat, atau

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 1

Page 2: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

ritual adat. Mereka selalu mendahulukan kurban persembahan untuk

disajikan kepada leluhur terlebih dahulu, dengan menaruhnya di

bhaga, dan di ngadhu. Harapan yang dimohonkan kepada leluhur

ialah agar para leluhur turut menyertai setiap rencana besar dalam

keluarga, klan, suku, dan lain-lain, termasuk dalam hal rencana

membangun rumah adat.

Rumah adat (sao) di wilayah permukiman tradisional Ngada

menjadi sangat penting fungsi dan perannya dalam membangun

kesatuan hidup bersama. Fungsi rumah adat sebagai rumah tinggal

untuk keluarga-keluarga yang masih memiliki hubungan

kekerabatan, dengan segala aktifitas kehidupan sehari-hari maupun

aktifitas ritual adat. Rumah adat terdiri dari dua bagian utama, yakni

rumah diam, disebut one dalam bahasa Ngada, dan bangunan

serambi, atau beranda, disebut teda dalam bahasa Ngada. Rumah

diam berupa satu kamar multi guna, yang dipakai untuk tidur,

memasak, makan, dan juga tempat mengadakan perundingan

mengenai masalah-masalah keluarga yang penting. Lantai kamar

berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran satu depa, atau satu

bentang tangan nenek moyang, atau kurang lebih 3.50 - 4.00 meter.

Dinding kamar dibuat dengan tujuh lembar papan kayu fai yang

disusun berjajar rapat, dan pada sisi depan dinding rumah diam itu

terdapat pintu sorong (pere pene) ditengah-tengah. Pada tiga

dinding lainnya, khususnya pada sisi tengah adalah lembar papan

yang paling lebar (ube kedu). Jajaran papan kayu dengan ukuran

kelebarannya yang berlain-lainan, dan disusun berjajar pada rumah

diam, ada yang memiliki jarak antara papan susunan pertama dan

kedua adalah 5 - 6 cm untuk tujuan ventilasi udara, dan disebut

sebagai mata pape. Ada tiga mata pape yang menjadi target untuk

diteliti, sehubungan dengan maraknya pemekaran kamar di samping

kiri dan kanan rumah diam di wilayah Ngada.

Meskipun tidak dibatasi secara tegas oleh dinding, tirai

transparan, tetapi pada prinsipnya diatur pendaerahan pada kamar

multi guna itu. Daerah di pojok sebelah kanan pintu rumah diam

bagian dalam dibuat tempat perapian, disebut juga dapur tradisional

(tolo lapu) langsung diatas lantai anyaman bambu (naja). Tempat

perapian berupa peninggian lantai dengan ukuran kurang lebih satu

setengah meter persegi, dibatasi oleh papan kayu (ube lapu), diisi

tanah dan tiga batu (watu lika). Diatasnya terdapat rak penyimpanan

kayu bakar (kae) dengan konstruksi menggantung di konstruksi atap.

Pada masa lalu, rak penyimpanan kayu bakar tersebut didukung

oleh tiang kayu (duke kae) pada sudutnya, sehingga kae bertambah

kokoh untuk ditempati perkakas dapur yang lainnya. Dihadapan

tempat perapian arah jam dua belas ada daerah perempuan (papa

bhoko ana fai), dimana pada daerah tersebut diletakkan tempat

perhiasan (pedho loda), dan menjadi tempat terhormat, tempat tidur

perempuan. Diantara papa bhoko dan lapu lika terdapat ruang

antara yang disebut dhiri, tempat duduk ibu bekerja di dapur.

Kemudian, daerah di arah jam Sembilan, disebut sebagai papa lewa,

yang merupakan tempat laki-laki (ana saki) duduk pada waktu

diselenggarakan ritual adat di dalam rumah diam, atau tempat duduk

orang-orang dengan tingkat sosial paling rendah. Bagian pojok

depan papa lewa, atau di pojokan di sisi sebelah kiri pintu disebut

roro, yang artinya tempat menyimpan air. Orang yang terhormat,

mosalaki yang paling bersih, kepala suku, atau ketua adat, akan

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 2

Page 3: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

memiliki keistimewaan tempat duduk, yaitu lokasinya di depan papan

kayu utama (ube kedu) di bawah simbol adat mataraga. Mataraga

juga berfungsi sebagai tempat perletakan benda-benda adat, benda-

benda bertuah, dan alat-alat perang. Keberadaan benda-benda

tersebut menyimbolkan kehadiran leluhur, yang sejak awal

berdirinya kampung adat bertanggungjawab atas keselamatan

warga kampung (isi woe). Kehadiran nenek moyang dan leluhur

direpresentasikan sebagai sua dan bhoko yang selalu tergantung di

matarga, dan merupakan benda adat yang diletakkan diantara

tombak (gala) dan parang/golok (sau), perangkat pelindung kegiatan

mencari nafkah, sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar

perspektif terpotong berikut ini.

Sumber : Susetyarto, 2011

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 3

Page 4: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

1. Kampung Bena

8°52'40.45"S 120°59'8.18"E

Kampung Bena yang terletak di lembah gunung Inerie

adalah salah satu perkampungan vernakular di kabupaten Ngada

yang masih utuh dan terpelihara dengan baik. Di kampung adat

Bena terdapat sembilan suku atau klan (woe) dengan jumlah

penduduk 320 jiwa, serta 65 KK. Sembilan klan tersebut adalah

Bena, Ago, Ngadha, Kopa, Dizi Kae (Dizi A), Dizi Azi (Dizi B),

Deru Kae (Deru A), Deru Azi (Deru B), dan Wato. Arndt (2009)

mencatat pada awalnya ada sebelas klan, yang mana terdiri atas

sembilan klan yang sudah disebut terdahulu dan dua tambahan klan,

yakni: Siga, dan Raba. Klan Siga saat ini bermukim di kampung adat

Tololela, lokasinya berada 2 km lebih jauh dan lebih rendah dari

kampung adat Bena. Sedangkan, klan Raba hingga disertasi ini

ditulis belum diketahui dimana keberadaannya. Keunikan kampung

Bena dibandingkan dengan komunitas vernakular lainnya adalah

sistem kekerabatan yang dianut, yaitu berdasarkan garis ibu

(matrilinear). Sistem kekerabatan itu tercermin pada ruang kampung

dan bentuk arsitekturnya.

Pada dasarnya pola kampung adat Bena sama dengan

permukiman vernakular di wilayah Ngada lainnya, yaitu rumah-

rumah yang berderet mengelilingi halaman tengah yang berbentuk

segi empat yang disebut kisaloka, atau pada umumnya di wilayah

Ngada disebut sebagai kisanata. Kisaloka di kampung adat Bena

yang berkontur terbagai dalam sembilan loka, yaitu daerah atau

halaman depan kelompok rumah adat, yang dibatasi oleh turap batu,

untuk menunjukkan area loka dari klan yang bersangkutan. Ke-

sembilan loka tersebut adalah loka Dizi Azi, loka Kopa, loka Ago-

Ngadha, loka Bena, loka Deru, loka Wato, loka Dizi Kae, dan loka

Seu, yang satu dengan lainnya dibatasi oleh batu (ture), yang

disusun alami secara berderet dan/atau bertumpuk. Ture terbesar

ada di loka Seu, di bagian depan kampung adat Bena, disebut

sebagai ture Bupati. Sembilan loka yang terhimpun didalam kisaloka

itu, secara umum terkelompokkan menjadi dua loka besar, yaitu: (1)

loka Lau, daerah kampung adat Bena yang letaknya lebih ke bawah,

ke arah loka Seu, dan (2) loka Zele, daerah kampung adat Bena

yang letaknya lebih ke atas, ke arah Bowoza. Batas antara dua loka

tersebut adalah ture kecil di depan rumah ibadat (kapel).

Lahan permukiman vernakular Bena, terdiri dari halaman

tengah yang dikelilingi oleh rumah-rumah adat, dengan bangunan

adat bhaga dan ngadhu yang berdiri di loka masing-masing di

halaman tengah itu. Bagian loka yang merupakan halaman depan

sao disebut wewa sao, yang merupakan area sirkulasi milik bersama

pada bagian samping rumah disebut piro sao, dan yang

merupakan bagian belakang rumah disebut logo sao.

Kampung adat Bena masih asli ini, lokasi belum pernah pindah

tempat sejak berdirinya, kurang lebih 1200 tahun yang lalu. Rumah-

rumah adat berdiri di lahan berkontur, dan jika musim hujan rawan

longsor tanahnya, sehingga penduduk membuat turap pada kisa

loka yang memiliki perbedaan ketinggian tanah cukup signifikan.

Misalnya, turap ture bupati di bagian depan kampung adat Bena,

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 4

Page 5: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

yang mempunyai beda ketinggian 4.30 meter dengan loka Dizi Azi.

Demikian pula, ture bena, yang menerus dengan ture ago-ngadha,

yang membatasi loka Bena dan loka Ago-Ngadha dengan loka Dizi

Azi, memiliki beda ketinggian 2 meter. Pada setiap loka, terdapat

watu woe atau watu terelengi, suatu lempengan batu besar

berbentuk lingkaran ceper, yang diletakkan diatas susunan tiang

batu megalith, dan difungsikan sebagai altar persembahan kurban

kepada leluhur. Ture besar itu diyakini sebagai makam leluhur

pendiri kampung dari setiap suku. Di kampung adat Bena hanya

terdapat enam buah ture, yang terletak di loka Bena, loka Ago-

Ngadha (2 buah), loka Kopa, loka Deru, dan loka Dizi. Hal itu

menunjukan, bahwa ketiga suku lainnya adalah suku baru yang

bergabung di kampung adat Bena.

Rumah-rumah adat yang berkelompok menurut suku/klan

masing-masing memiliki empat tipologi bentuk, yaitu: (1) rumah adat

perempuan (sao saka pu’u), (2) rumah adat laki-laki (sao saka lobo),

(3) rumah adat anak perempuan (sao kaka pu’u), dan rumah adat

anak laki-laki (sao kaka lobo). Secara fisik, ada perbedaan pada

denah dan tampak bangunan dalam hal dimensi/ ukuran rumah diam

(one), dan ornamen bubungan atapnya (nedhu). Ukuran denah

rumah diam yang paling besar ada pada sao pu’u adalah ± 16 meter

persegi, sedangkan paling kecil ada pada sao lobo, yakni ± 12.25

meter persegi.

Arsitektur vernakular Bena kekhasannya adalah dalam membedakan

tipologi rumah sesuai dengan dalam keluarga ini lebih kompleks

daripada kampung-kampung adat lain di Ngada, karena sistem

kekerabatan matrilinear masih dianut dengan kuat. Dengan sistem

yang mengikuti garis perempuan, maka hak menghuni rumah

diberikan kepada perempuan, atau keturunan dari garis ibu, bisa

anak perempuannya, atau juga saudari perempuannya. Anak laki-

laki dari keturunan keluarga mempunyai hak bicara didalam

musyawarah keluarga, dan boleh tinggal di rumah itu selama masih

lajang, atau boleh menggarap kebun untuk kesejahteraan dirinya.

Tetapi, hasil kebun harus dibagi adil dengan anggota keluarga yang

memiliki hak menggarap kebun. Sao saka pu’u ditandai dengan

oranamen Anaie, miniatur bhaga, simbol perempuan, pada

bubungan atapnya yang berbentuk seperti silinder. Sao saka lobo

ditandai dengan oranamen Ata, boneka laki-laki sedang mengangkat

tombak dan parang, simbol laki-laki, pada bubungan atapnya yang

berbentuk seperti silinder. Sedangkan, rumah-rumah adat yang tidak

memakai ornamen diatas bubungan atapnya, disebut sebagai sao

kaka lobo, atau sao kaka pu’u. Selain itu, rumah disebut sebagai

rumah adat jika didalam one dipasang mataraga, dan pada

mataraga itu terdapat sua dan bhoko warisan nenek moyang pendiri

rumah adat, juga termasuk gala dan sau . Bilamana rumah di

kampung Bena tidak memiliki sua dan bhoko, maka rumah itu

merupakan rumah biasa.

Bangunan adat bhaga dan ngadhu berdiri di loka masing-

masing suku, dan keberadaanya berhubungan dengan woe, dan

menjadi simbol keberadaan suku/klan di kampung adat Bena.

Kegiatan dan mata pencaharian komunitas adat di Bena adalah

bertani, berkebun, berburu, dan para perempuannya pada siang hari

membuat tenun ikat di serambi rumah (teda wewa). Kegiatan

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 5

Page 6: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

menenun hanya dilakukan di siang hari atau di suasana terang langit

yang cukup untuk melakukannya. Itulah mengapa kegiatan menenun

biasanya dikerjakan di teda wewa, atau di kolong teda wewa jika

rumah adat memiliki lantai panggung yang tinggi. Mereka tidak

bekerja di ruang yang kurang penerangan alaminya, semacam di

teda one atau one. Hingga penelitian ini selesai dikerjakan dicatat

bahwa aliran listrik PLN belum masuk ke Kampung Bena. Jadi, untuk

penerangan pada malam hari mereka menggunakan tenaga diesel,

atau lampu minyak tanah. Hal inilah yang antara lain menjadi

kendala yang harus diantisipasi peneliti bagaimana teknik

pengambilan gambar harus dilakukan di ruang one dan teda one,

terlebih lagi jika malam hari.

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 6

Page 7: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Pola Kampung Bena

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 7

Page 8: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

2. Kampung Nage

8°53'9.61"S 121° 0'29.44"E

Kisanata dan Nabe, Nage

Kampung Nage memiliki banyak keunikan pada arsitektur

vernakularnya. latar budayanya, dan pada konsep yang melandasi

arsitektur dan lingkungan binaan yang tercipta.Kampung nage

diyakini sebagai sebuah daratan yang muncul di tengah-tengah

lembah pegunungan Jerebuu, Flores. Sebagai batasan kemunculan

itu adalah sederetan pohon-pohon bambu yang mengelilingi

kampung ini. Selain bamboo, kampung Nage menghasilkan tanaman

vanili, kemiri, merica, kelapa, kopi, dan alang-alang untuk mengganti

atap rumah adat. Kampung ini memiliki jenis bangunan altar batu,

Ngadhu dan Bagha, Nage

yang disebut Nabe, dipakai untuk persembahan korban bagi wujud

tertinggi. Kampung Nage mengandalkan sumber air (panas) dari

gunung Irenie, atau aliran air pegunungan yang ada di sekitarnya.

Sebagaimana dengan keyakinan masyarakat Ngada pada

umumnya, masyarakat adat Kampung nage adalah anak dari dua

gunung berapi di sekitar lokasi, yakni: Gunung Inerie (ibu Agung)

dan Gunung Surulaki (gunung laki-laki). Kampung Nage didiami oleh

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 8

Page 9: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

kurang lebih 42 KK, yang berasal dari dua suku, yakni: Suku Tegu

dan Suku Metu. Oleh sebab itu, kisanata dibagi dua loka, dimana

loka yang ada disebelah bawah disebut sebagai Loka Metu,

sedangkan loka sebelah atas disebut sebagai Loka Tegu. Jumlah

rumah adat ada 42 rumah, 30 diantaranya terletak di wilayah Nage

besar, dan dua belas rumah adat lainnya berada di Nage kecil, yakni

daerah perluasan yang berada di sebelah barat. Daerah sebelah

barat lebih rendah (wewa) daripada daerah sebelah timur, sehingga

posisi Ulu ada di wilayah loka Tegu. Dengan demikian, berdasarkan

sumbu ritual, maka keluar kampung adalah dari wilayah Tegu ke

wilayah Metu, dan sebaliknya masuk kampung diawali dari wilayah

Metu ke wilayah Tegu.

Pada Kisanata, terdapat bangunan Ngadhu, Bagha, Peo,

dan Nabe. Bentuk kisanata yang memanjang, dan adanya dua

pasang Ngadhu dan bagha, dua watu peo, dan satu susunan batu

nabe, maka kisanata pada waktu pesta adat Reba tetap terasa luas.

Perletakan bagha sebagai simbol perempuan selalu menghadap

kearah ulunua. Sedangkan, Ngadhu selalu berada di depan bagha,

dengan kedua tangan Ngadhu memegang senjata menghadap

kearah kearah bagha. Di depan Ngadhu terdapat watu peo, yang

berfungsi untuk mengikatkan hewan korban. Bentuk bagha

sebenarnya sama dengan bentuk one, rumah inti. Pintu pada

bangunan bagha selalu terbuka menandakan perempuan.

Sedangkan, bentuk ngadhu, atau madhu, yang artinya makmur,

sebenarnya merupakan simbol peringatan terhadap nenek moyang

laki-laki. Ngadhu harus kuat, maka di dalam pembangunannya

digunakan kayu dari suatu pohon yang memiliki akar tiga cabang,

dan pada waktu memasukkan ketiga akar tersebut sebagai bagian

pondasi disertai tiga hewan yang dikubur secara hidup-hidup

bersamaan dengan penanaman tiang ngadhu. Sedangkan, yang

dimaksud dengan Nabe Tegu adalah altar batu yang dimiliki oleh

suku Tegu, dan berfungsi untuk memperingati nenek moyang

kampung pendiri kampung Nage. Nabe tegu hanya dipakai pada

saat upacara Rebha, dan sesunggunya Nabe Tegu adalah sacral

karena simbol dari arwah nenek moyang pendiri kampung.

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 9

Page 10: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Sumber: Tim Expedisi Arsitektur Hijau, 2004

Pola Kampung Nage

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 10

Page 11: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

3. Kampung Gurusina

8°53'45.78"S 120°59'27.89"E

Kampung adat Gurusina adalah salah satu kampung

vernakular di daerah Jere bu’u dengan kekayaan budaya

Ngada yang masih bisa dikembangkan untuk pariwisata.

Kelebihan kampung adat Gurusina adalah cukup mudah

diakses oleh mobil atau sepeda motor, meskipun dengan

kondisi jalan bergelombang, sehingga kampung Gurusina

yang lebih dekat dengan ibukota kecamatan Jere bu’u dan

dekat dengan kota Aimere menawarkan alternatif wisata yang

lebih pendek waktu tempohnya, dari pada ke kampung Bena

yang cukup jauh dan lebih tinggi letaknya. Kunjungan wisata

ke Gurusina juga dapat dikombinasikan dengan paket

kunjungan ke kampung adat Bena, sebagai dampak yang baik

atas ketenaran nama kampung adat Bena bagi turis

mancanegara, yang datang ke lembah gunung Inerie mencari

lingkungan alam yang indah, udara segar, hawa sejuk -

termasuk melihat hutan bambu yang rapi - dan pulang

melewati desa Tololela. Meskipun jarak jangkau dan

aksesibilitas saat ini mudah, tetapi banyaknya jalan tembus

dapat menyebabkan pengunjung pemula tersesat di hutan.

Pada musim penghujan, setelah hujan deras turun, embun

dapat membuat jalan hampir tidak terlihat, dan karenanya

sangat dianjurkan untuk pejalan kaki berpengalaman untuk

melakukan eksplorasi ini dengan pemandu lokal.

Rumah tradisional Gurusina yang berdiri mengelilingi

kisanata, halaman tengah yang luas, yang menampilkan

beberapa pasang bhaga dann ngadhu, watu lenggi, dan altar

batu leluhur. Desa ini didirikan pada sekitar tahun 1934 oleh

orang-orang yang datang dari dataran tinggi. Saat ini, ada

sekitar 33 keluarga tinggal di kampung adat Gurusina, warga

adat dari tiga klan, yakni: klan Ago ka'e, klan Ago Gasi, dan

klan Kabi. Sesuai dengan adat Ngada, marga masing-masing

memiliki sendiri sao Pu'u (asli atau rumah 'batang'), sebuah

sa'o lobo (bungsu atau rumah 'tip'), seorang ngadhu, dan

sebuah bhaga, sebuah kuil leluhur. Dalam penyebutan ini,

makna simbolis lebih terasa daripada di kampung lain.

Pemakaian kata ’seorang’ ngadhu lebih kuat dalam cara

pengungkapan personifikasinya seorang penjaga bangunan

suci bhaga, simbol perempuan, daripada istilah sebuah

ngadhu saja. Ngadhu dalam arsitekturnya memang sebuah

bangunan berbentuk payung peneduh, dengan tiang kokoh

yang didukung oleh tiga akar yang kuat, dan memiliki jenjang

leher dan kepala diatas bentuk atapnya yang bulat dari

material bahan ilalang. Filosofi grafisnya adalah gambaran

seorang laki-laki kuat yang menjagai kuil, atau bhaga di

depannya, yang pintunya selalu terbuka untuk siapa saja yang

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 11

Page 12: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

datang memerlukan permohonan kepada leluhur. Mata

pencaharian penduduk kampung adat Gurusina sebagaimana

lahan pekerjaan di kecamatan Jere Bu’u lainnya adalah

tanaman pokok jagung, umbi-umbian, kelapa, dan pisang,

serta kopi, cengkeh, kemiri, dan kakao sebagai tanaman yang

populer. Tenun ikat merupakan kegiatan sehari-hari penting

bagi wanita Gurusina.

Seperti di komunitas adat lainnya di seluruh kabupaten

Ngada dan bagian lain dari pulau Flores, penduduk kampung

adat Gurusina dibagi dalam tiga kasta yang berbeda.

Kewenangan kelas penguasa, disebut ga'e, klas social yang

diperoleh karena keturunan mereka dari nenek moyang asli

kampung adat Gurusina. Rakyat klas tengah disebut dengan

ga'e kisa. Sedangkan, klas masyarakat bawah disebut so'o -

yang dimanfaatkan untuk menjadi semacam

penjaga/pengamanan rumah. Sanksi berat pada masa lalu

akan diterapkan pada wanita yang menikah dengan pria dari

status klas sosal yang lebih rendah. Sanksi terberat yang

diterima adalah perempuan tersebut tidak menerima waris

apapun dari leluhurnya, bahkan dibuang dari anggota klan,

keluar dari kampung Gurusina. Saat ini, kasta so'o tidak ada

lagi, dan batas sosial dari sistem kasta pada umumnya hampir

dibubarkan. Hal ini dilakukan setelah mereka menyadari

bahwa sistem lapis sosial semacam itu membawa dampak

pada semakin berkurangnya orang-orang dari klas sosial ga’e

sebagai pihak yang berhak atas rumah adat. Jika jumlah

mereka semakin sedikit, berarti biaya perawatan, pesta adat,

rekonstruksi, dan upaya pelestarian kampung adat menjadi

semakin besar untuk ditanggung sedikit kelompok ga’e yang

ada.

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 12

Page 13: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Pola Kampung Gurusina

4. Kampung Tololela

8°53'37.57"S 120°58'57.58"E Kampung Tololela adalah salah satu kampung

vernakular di sekitar kampung Bena yang ada di daerah Jere

bu’u dengan ketinggian permukaan tanah yang sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan kampung Bena. Survey

menempuh jelajah penelitian meso ke kampung adat Tololela

setelah peneliti melakukan perjalanan ke kampung Gurusina.

Dari Gurusina, letak kampung Tololela terlihat jauh diatas

ketinggian pegunungan, karena letak Gurusina itu

sesungguhnya dibawah, dan akan jelas terlihat setelah

mencapai ujung kampung Tololela yang berudara bersih itu.

Pada waktu menjelajah untuk mencapai kampung ini, peneliti

sekaligus melewati uma milik penduduk, yang menanam kayu

hoja (laki-laki), dan kayu fai (perempuan), serta banyak hutan

bambu, yang menanam bambu jenis betho, guru, piri, dan

bentang ladang ilalang, yang sengaja ditanam untuk

menyiapkan material pengganti bahan bangunan rumah adat.

Gambar tersebut dibawah ini adalah lahan uma, kebun milik

klan penyedia material bahan bangunan konstruksi rumah adat

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 13

Page 14: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

di daerah Jere bu’u. Uma moni merupakan kebun milik

Yakobus Titu,Sao Jawa Tena, Woe Ngada.

Keindahan kampung Tololela terdapat pada kebersihannya

dan udara segar yang dimilikinya. Kampung yang memiliki warga

adat hanya 21 KK ini memiliki 31 rumah adat, yang terkelompok

dalam 2 suku (woe) saja. Secara keseluruhan, kampung ini

mempunyai jumlah penduduk 94 jiwa, yang terdiri atas 43 orang laki-

laki, dan 51 orang perempuan. Kampung Tololela, (tolo artinya

tinggi, lela artinya kampung) memiliki kekhasan arsitektur pada

ornamen yang dibuat, khususnya seni grafis pada dinding one

sebelah luar, di kanan dan kiri pintu (pene). Ornamen ukir (weti)

gambar tanduk kerbau dan nama sao pada jenang pintu, dipadu

dengan gambar ayam jago hitam yang sedang berkokok diatas,

unggas putih yang sedang menegakkan kepala, serta kuda hitam di

papan kabapere merupakan contoh kreasi grafis arsitektur yang

dilakukan oleh arsitek tradisional (lima padhe) dari kampung adat

Tololela.

Bentuk atap sama dengan bentuk atap rumah adat kampung Bena,

dimana atap ilalang menerus hingga teda one. Sedangkan atap

lenga hanya sampai di teda moe. Bentuk keindahan arsitektur

vernakular yang secara detail terpelihara sendiri oleh kesadaran jiwa

penduduknya merupakan kekayaan budaya kabupaten Ngada yang

masih bisa dikembangkan untuk pariwisata. Kelebihan kampung

adat Tololela adalah cukup mudah diakses oleh mobil atau sepeda

motor, meskipun dengan kondisi jalan berkelok tajam, terjal, dan

berbahaya rawan longsor atas bukit-bukit disebelahnya. Mengingat

aksesibilitas kampung Tololela lebih dekat dengan Gurusina, Jere

bu’u, dan kota kecamatan Aimere, maka alternatif perjalanan wisata

bisa dibuat lebih pendek dalam waktu tempohnya, dari pada ke

kampung Bena lebih dahulu yang cukup jauh dan lebih tinggi

letaknya. Kunjungan wisata ke Tololela juga dapat dikombinasikan

dengan paket kunjungan ke kampung adat Bena, sebagai dampak

yang baik atas ketenaran nama kampung adat Bena bagi turis

mancanegara, yang datang ke lembah gunung Inerie mencari

lingkungan alam yang indah, udara segar, hawa sejuk - termasuk

melihat hutan bambu yang rapi. Meskipun jarak jangkau dan

aksesibilitas saat ini mudah, tetapi banyak jalan tembus keluar

masuk kebun/hutan yang sangat menarik untuk anak muda

melakukan jelajah medan.

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 14

Page 15: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

Pola Kampung Tololela

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 15

Page 16: Pola Permukiman Kampung Megalithik Di Flores

DAFTAR PUSTAKA

Kampung Nage, Arsitektur Hijau UNPAR, 2004

Disertasi: Arsitektur Vernakuler – Keberlanjutan Budaya di Kampung Bena Flores, Bambang Susetyarto, 2013

P o l a P e r m u k i m a n L e r e n g G u n u n g I n i r i e – K a m p u n g B e n a | 16