12
TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 179 Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang Retno Purwanti Balai Arkeologi Palembang. Abstrak Palembang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai lokasi Kerajaan Sriwijaya. kebesaran nama Sriwijaya tidak hanya tercatat dalam sumber berita Cina, namun juga sumber berita Arab dari abad ke-9 Masehi. Sebelum itu, nama Arab disebut dalam catatan I-Tsing saat berangkat dari Cina ke India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis tertua baru ditemukan pada abad ke-13-14 Masehi. Berdasarkan data ini, maka komunitas Arab sudah ada di Palembang sejak masa Sriwijaya. Keberadaan komunitas Arab dalam kurun waktu yang panjang tentunya meninggalkan jejak permukiman. Sejak kapan dan dimana lokasi awal permukiman, pola permukiman dan perkembangan komunitas Arab di Palembang belum banyak dikaji oleh sejarawan maupun arkeolog. Untuk itu, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keletakan permukiman dan perkembangannya, pola permukiman komunitas Arab di Palembang. Untuk mengungkapkan dua permasalahan tersebut digunakan metode arkeologi sejarah ( historical archaeology) dalam metode pengumpulan dan analisis data, dan temuan. Kata-kunci : permukiman, Arab, Palembang, arkeologi, sejarah Pendahuluan Hubungan nusantara dengan Timur Tengah melibatkan sejarah yang panjang, karena telah terjadi sejak sebelum Islam masuk ke wilayah ini, yaitu dengan Arab, Persia, India dan Cina. Kapal-kapal Arab yang melakukan perdagangan ke Cina ternyata juga menyinggahi pelabuhan- pelabuhan yang ada di Nusantara, termasuk Palembang. Letak posisi geografis Palembang di antara jalur pelayaran Arab, Persia, India menuju Cina dan sebaliknya, menjadikannya daerah yang amat strategis. Hal ini didukung dengan banyaknya komoditi dagang yang ada di bandar-bandar sungai Musi dan anak-anak sungainya, yang mendukung kelancaran arus barang dari daerah pedalaman ke daerah pesisir. Posisi tersebut didukung oleh keletakan Palembang pada jalur dua pusat peradaban yang mendominasi percaturan politik saat itu. Dengan kondisi geopolitik seperti inilah yang menjadikan Palembang merupakan salah satu kota maritim yang pernah ada dalam panggung kesejarahan Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bukti-bukti arkeologis dari masa kerajaan Sriwijaya sampai masa kolonial Be- landa. Berdasarkan data epigrafis dan arte- faktual yang sampai saat ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7 Masehi kota ini sudah menjadi daerah metropolis, terbukti dengan masuknya berbagai pedagang asing, seperti Arab, Persia, India dan Cina. Hal ini membukti- kan bahwa sejak awal pun Palembang telah menjadi daerah terbuka terhadap pengaruh asing dan menjadi tempat berkumpul para pen- datang asing. Salah satu ciri khas dari ma- syarakat bahari adalah sifat masyarakatnya yang dinamis (The Dinamic of Maritime Society). Masyarakat ini pada umumnya bermukim di sekitar daerah pantai dan merupakan kelompok terbesar dari kelompok masyarakat di Indonesia. Dalam konteks kehadiran muslim Timur Tengah, mayoritas dari Arab dan Persia di Nusantara pada periode awal ini pertama kali disebut oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina I- Tsing, yang pada tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton berlabuh di pelabuhan yang terletak di muara sungai Bhoga (Sribhoga, Sribuza), yang oleh

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

TEMU ILMIAH IPLBI 2016

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 179

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

Retno Purwanti

Balai Arkeologi Palembang.

Abstrak

Palembang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai lokasi Kerajaan Sriwijaya. kebesaran nama

Sriwijaya tidak hanya tercatat dalam sumber berita Cina, namun juga sumber berita Arab dari abad

ke-9 Masehi. Sebelum itu, nama Arab disebut dalam catatan I-Tsing saat berangkat dari Cina ke

India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis

tertua baru ditemukan pada abad ke-13-14 Masehi. Berdasarkan data ini, maka komunitas Arab

sudah ada di Palembang sejak masa Sriwijaya. Keberadaan komunitas Arab dalam kurun waktu

yang panjang tentunya meninggalkan jejak permukiman. Sejak kapan dan dimana lokasi awal

permukiman, pola permukiman dan perkembangan komunitas Arab di Palembang belum banyak

dikaji oleh sejarawan maupun arkeolog. Untuk itu, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui

keletakan permukiman dan perkembangannya, pola permukiman komunitas Arab di Palembang.

Untuk mengungkapkan dua permasalahan tersebut digunakan metode arkeologi sejarah (historical

archaeology) dalam metode pengumpulan dan analisis data, dan temuan.

Kata-kunci : permukiman, Arab, Palembang, arkeologi, sejarah

Pendahuluan

Hubungan nusantara dengan Timur Tengah

melibatkan sejarah yang panjang, karena telah

terjadi sejak sebelum Islam masuk ke wilayah

ini, yaitu dengan Arab, Persia, India dan Cina.

Kapal-kapal Arab yang melakukan perdagangan

ke Cina ternyata juga menyinggahi pelabuhan-

pelabuhan yang ada di Nusantara, termasuk

Palembang. Letak posisi geografis Palembang di

antara jalur pelayaran Arab, Persia, India

menuju Cina dan sebaliknya, menjadikannya

daerah yang amat strategis. Hal ini didukung

dengan banyaknya komoditi dagang yang ada di

bandar-bandar sungai Musi dan anak-anak

sungainya, yang mendukung kelancaran arus

barang dari daerah pedalaman ke daerah pesisir.

Posisi tersebut didukung oleh keletakan

Palembang pada jalur dua pusat peradaban

yang mendominasi percaturan politik saat itu.

Dengan kondisi geopolitik seperti inilah yang

menjadikan Palembang merupakan salah satu

kota maritim yang pernah ada dalam panggung

kesejarahan Indonesia. Hal ini terbukti dengan

ditemukannya bukti-bukti arkeologis dari masa

kerajaan Sriwijaya sampai masa kolonial Be-

landa. Berdasarkan data epigrafis dan arte-

faktual yang sampai saat ini menunjukkan

bahwa sejak abad ke-7 Masehi kota ini sudah

menjadi daerah metropolis, terbukti dengan

masuknya berbagai pedagang asing, seperti

Arab, Persia, India dan Cina. Hal ini membukti-

kan bahwa sejak awal pun Palembang telah

menjadi daerah terbuka terhadap pengaruh

asing dan menjadi tempat berkumpul para pen-

datang asing. Salah satu ciri khas dari ma-

syarakat bahari adalah sifat masyarakatnya

yang dinamis (The Dinamic of Maritime Society).

Masyarakat ini pada umumnya bermukim di

sekitar daerah pantai dan merupakan kelompok

terbesar dari kelompok masyarakat di Indonesia.

Dalam konteks kehadiran muslim Timur Tengah,

mayoritas dari Arab dan Persia di Nusantara

pada periode awal ini pertama kali disebut oleh

agamawan dan pengembara terkenal Cina I-

Tsing, yang pada tahun 671 Masehi dengan

menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton

berlabuh di pelabuhan yang terletak di muara

sungai Bhoga (Sribhoga, Sribuza), yang oleh

Page 2: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 180 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

pakar sejarah dan arkeologi diidentifikasikan

dengan sungai Musi di Palembang. Bahkan

dalam sumber-sumber berita Arab disebutkan

Mamlakat Al-Maharaja (Kerajaan Raja di Raja),

atau dalam sumber Cina disebut Shih-li-fo-shih

atau San-fo-chi. Bukti arkeologis adanya per-

dagangan dengan Arab dan Persia adalah te-

muan pecahan keramik Timur Tengah dari

sekitar Abad ke-13-14 Masehi di situs Candi

Angsoka, Gedingsuro dan Bukit Siguntang.

Hubungan nusantara dengan Timur Tengah me-

libatkan sejarah yang panjang, karena telah ter-

jadi sejak sebelum Islam masuk ke wilayah ini,

yaitu dengan Arab, Persia, India dan Cina.

Kapal-kapal Arab yang melakukan perdagangan

ke Cina ternyata juga menyinggahi pelabuhan-

pelabuhan yang ada di Nusantara, termasuk

Palembang. Letak posisi geografis Palembang di

antara jalur pelayaran Arab, Persia, India

menuju Cina dan sebaliknya, menjadikannya

daerah yang amat strategis. Hal ini didukung

dengan banyaknya komoditi dagang yang ada di

bandar-bandar sungai Musi dan anak-anak

sungainya, yang mendukung kelancaran arus

barang dari daerah pedalaman ke daerah pesisir.

Posisi tersebut didukung oleh keletakan

Palembang pada jalur dua pusat peradaban

yang mendominasi percaturan politik saat itu.

Dengan kondisi geopolitik seperti inilah yang

menjadikan Palembang merupakan salah satu

daerah permukiman yang pernah ada dalam

panggung kesejarahan Indonesia. Hal ini

terbukti dengan ditemukannya bukti-bukti

arkeologis dari masa kerajaan Sriwijaya sampai

masa kolonial Belanda. Berdasarkan data epi-

grafis dan artefaktual yang sampai saat ini

menunjukkan bahwa sejak abad ke-7 Masehi

kota ini sudah menjadi daerah metropolis,

terbukti dengan masuknya berbagai pedagang

asing, seperti Arab, Persia, India dan Cina. Hal

ini membuktikan bahwa sejak awal pun

Palembang telah menjadi daerah terbuka ter-

hadap pengaruh asing dan menjadi tempat

berkumpul para pendatang asing.

Dalam konteks kehadiran pedagang Timur Te-

ngah, mayoritas dari Arab (Ta-shih atau Ta-

shih-K,uo) dan Persia (Possu) di Nusantara pada

periode awal ini pertama kali disebut oleh

agamawan dan pengembara terkenal Cina I-

Tsing, yang pada tahun 671 Masehi dengan

menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton

berlabuh di pelabuhan yang terletak di muara

sungai Bhoga (Sribhoga, Sribuza), yang oleh

pakar sejarah dan arkeologi diidentifikasikan

dengan sungai Musi di Palembang (Azra,

2005:22-23; Utomo, 2008:103). Bahkan dalam

sumber-sumber berita Arab disebutkan Mam-

lakat Al-Maharaja (Kerajaan Raja di Raja), atau

dalam sumber Cina disebut Shih-li-fo-shih atau

San-fo-chi (Azra,2005:23).

Berdasarkan paparan tersebut dapat diketahui

bahwa orang-orang Arab sudah ada – meskipun

secara temporer untuk berdagang – sejak masa

kerajaan Sriwijaya. Bahkan jika mengacu pada

sumber-sumber tertulis, baik dari para penulis

Arab, kitab-kitab dari India dan sumber-sumber

berita Cina, kehadiran mereka di nusantara telah

terjadi sejak awal abad Masehi (Burger, t.t.: 1-

5). Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di

Palembang sampai saat ini menunjukkan adanya

kesinambungan kehadiran komunitas Arab yang

pada awalnya hanya untuk berdagang, namun

lambat laun kemudian menetap dan bahkan

mendirikan pemukiman yang permanen. Namun

demikian, kajian tentang komunitas Arab ini

masih sangat sedikit dilakukan, bahkan bisa

dikatakan langka, terutama yang berkaitan

dengan kesejarahan dan aspek-aspek ke-

hidupannya di masa lalu.

Penelitian tentang komunitas Arab di Palembang

pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Palem-

bang pada tahun 1996 di bawah pimpinan Mujib.

Hasil penelitian berupa perkampungan Arab

Palembang yang terletak di Seberang Ulu

berada di Kelurahan 12 Ulu, !3 Ulu, !4 Ulu dan

16 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II. Per-

mukiman-permukiman Arab tersebut ditandai

dengan adanya rumah-rumah ibadah berupa

masjid, kompleks pemakaman dan bangunan-

bangunan rumah kuna. Dalam penelitian ter-

sebut diketahui bahwa komunitas Arab yang

bermukim di seberang ulu ini berasal dari per-

tengahan abad ke-19 atau setelah runtuhnya

kesultanan Palembang Darussalam.

Penelitian berikutnya dilakukan pada tahun 2005

terutama mengenai permukiman masyarakat Pa-

lembang pasca masa Kerajaan Sriwijaya.

Page 3: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Retno Purwanti

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 181

Penelitian permukiman tersebut juga mencakup

pada situs-situs yang berkaitan dengan kegiatan

religi seperti masjid dan makam. Hasil eksplorasi

terhadap situs hunian pasca masa Sriwijaya

diketahui bahwa pada masa Kesultanan Palem-

bang Darussalam terdapat kelompok-kelompok

hunian baik dari penduduk lokal maupun pen-

duduk asing yang lengkap dengan segala

komponen-komponen permukimannya. Data se-

jarah menunjukkan bahwa penduduk asing pada

masa Kesultanan Palembang Darussalam ber-

asal dari Arab, India dan Cina (Mujib 2000;

Sevenhoeven 1971).

Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui

adanya sejumlah kompleks pemakaman dan

masjid-masjid kuna yang didirikan oleh ko-

munitas Arab di Palembang. Tinggalan-tinggalan

tersebut dapat ditemukan di daerah seberang

Ilir maupun seberang Ulu (Novita, 2006). Di

seberang Ilir dapat ditemukan makam-makam

komunitas Arab antara lain di situs Kambangkoci,

Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep, dan

Gubah Duku Sementara tempat peribadatan be-

rupa langgar ditemukan di daerah Kuto Batu. Di

seberang Ulu kompleks pemakaman terdapat di

Kelurahan 14 Ulu, dan 16 Ulu. Selain itu,

terdapat juga langgar-langgar kuna yaitu di

Lorong Al Munawar, dan Masjid Sungai Lumpur

di Kelurahan 12 Ulu. Bangunan pemakaman dan

bangunan peribadatan merupakan salah satu

komponen pemukiman, selain bangunan tempat

tinggal masyarakatnya.

Permasalahan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas

dapat diketahui bahwa komunitas Arab di

Palembang sudah mulai ada di Palembang

sejak abad ke-13-14, ditandai dengan dite-

mukannya pecahan keramik dari Timur

Tengah, dan bukti pemukiman baru ada sejak

pertengahan abad ke-19. Namun demikian

bagaimana sejarah kedatangan dan awal

permukimannya masih belum terungkap. Ber-

dasarkan pada latar belakang tersebut, masih

terlihat adanya sejumlah permasalahan ber-

kaitan dengan sejarah keberadaan komunitas

Arab sebelum masa itu, begitupun dengan

berbagai aspek yang berkaitan dengan per-

mukimannya. Untuk itu dalam penelitian ini

akan mengungkapkan beberapa permasalah-

an berkaitan dengan komunitas Arab di Pa-

lembang, antara lain: (1)Dimana letak per-

mukiman mereka yang paling awal dan bagai-

mana perkembangannya di masa-masa ke-

mudian?; (2) Bagaimana pola permukiman

komunitas Arab Palembang?

Pemilihan permukiman kelompok etnis Arab

sebagai obyek penelitian dikarena bahwa se-

cara kualititatif dan kuantitatif hanya permu-

kiman kelompok etnis Arab yang masih ter-

lihat keasliannya dibanding dengan permu-

kiman kelompok-kelompok etnis lainnya.

Tujuan Penelitian

Atas dasar latar belakang dan permasalahan

tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk: (1) Letak awal permukiman dan per-

kembangannya; (2) Pola permukiman komu-

nitas Arab di Palembang.

Metode

Dalam penelitian ini menerapkan metode pe-

nelitian arkeologi pada umumnya, yang terdiri

dari beberapa tahap, yaitu pengumpulan data,

pengolahan data dan penafsiran data. Pada

tahap pengumpulan data pelaksanaannya di-

lakukan dengan teknik survei. Survei dilakukan

dengan cara mengumpulkan data baik yang

berupa data lapangan yang merupakan data

utama maupun data kepustakaan yang merupa-

kan data pendukung.

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan

cara mendeskripsikan semua obyek penelitian

beserta keadaan lingkungannya. Pada pengum-

pulan data kepustakaan, langkah kerja yang

dilakukan adalah mengupulkan buku-buku yang

dapat dijadikan referensi yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian. Selain itu data kepus-

takaan juga berupa peta, foto, gambar dan

naskah kuno.

Selain teknik survei, pengumpulan data juga

dilakukan dengan teknik wawancara. Langkah

kerja ini dilakukan dengan cara mengumpulkan

Page 4: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 182 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

informasi tentang sejarah Kota Palembang yang

dapat diperoleh dari orang-orang yang diang-

gap berkompeten.

Setelah pengumpulan data selesai, kegiatan

selanjutnya adalah pengolahan data. Langkah

kerja yang dilakukan pada tahap ini adalah

menganalisis data berdasarkan dimensi bentuk,

ruang dan waktunya. Selain itu data yang ter-

kumpulkan akan dikritisi dengan sumber acuan

tertulis yang terkait dengan permasalahan

komunitas Arab di Palembang. Data arkeologis

yang mencerminkan sisa-sisa bendawi dari pro-

ses aktifitas di masa lampau akan diintegrasi-

kan dengan sumber-sumber tertulis yang rele-

van. Dengan demikian akan diperoleh his-

toriografi yang relatif lengkap mengenai

komunitas Arab di Palembang.

Sejarah Komunitas Arab Palembang

Sampai saat ini sumber sejarah kuna Palembang

dengan segala bentuk aktifitasnya, baik di

bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi

diperoleh antara lain berkat ketekunan orang-

orang Arab dalam mencatat setiap perjalanan

mereka di suatu Bandar yang disinggahinya.

Salah satu sumber berita Arab yang menyebut-

kan tentang kemegahan dan kejayaan (Kekaya-

an) raja (Kerajaan ) Sriwijaya berasal dari abad

IX – X Masehi, yaitu Kitab Al- Masalik wal

Mamaliki yang ditulis oleh Ibn Hordadzbah dari

tahun 844-848 M; Berita Arab dari Saudagar

Sulayman tentang pelayarannya ke Timur

berjudul “Akhbaru’s – Shin wa’l Hind (Kabar –

kabar Cina dan India) ditulis tahun 851 Masehi.;

Berita Arab dari Ibn Al – Fakih pada tahun 902

Masehi; Berita Arab dari Abu Sayd tahun 916

Masehi dan Berita Arab dari Abu Hasan Ali Al-

Mas’udi seorang ahli geografi yang berjudul

“Maruju’z Zahab wa Ma-adinu’l Jauhar” pada

tahun 955 Masehi (Azra,2005:23-29). Kehadiran

para pedagang tersebut kemudian dimanfaatkan

oleh penguasa Sriwijaya sebagai utusan dalam

misi diplomatik ke luar negeri, terutama negara-

negara di kawasan Timur Tengah (Azra,

2005:304-305).

Kehadiran orang-orang Arab dai Timur Tengah

menurut Storm van’s Gravensande sejak sekitar

tahun 1690 (Rahim, 1998: 59-60). Namun,

pendapat ini tampaknya harus dikoreksi, karena

menurut Berg (1989: 67) orang-orang Arab

sudah mengadakan hubungan dagang dengan

Palembang jauh sebelum masa itu. Pendapat ini

sesuai dengan data arkeologi berupa makam

Tuan Muhammad Nuh Imam Al-Pasay. Makam-

nya terletak di sebelah kanan makam Ratu

Jamaluddin Amangkurat IV (Sideng Pasareyan)

yang memerintah antara tahun 1651 – 1652.

Makam inipun juga menggunakan nisan tipe

Aceh berbentuk gada. Tipe makam ini sama

dengan makam Hasanuddin Sontang di Kom-

pleks Pemakaman Gedingsuro.

Berdasarkan peta yang dibuat oleh Belanda

pada tahun 1659 dapat diketahui bahwa kom-

pleks permukiman masyarakat Arab waktu itu

terdapat di depan kraton Kuto Gawang, atau di

seberang Ulu. Peta ini tentunya dibuat sebelum

kraton Kuto Gawang dibumihanguskan oleh

Belanda, karena detail tata letak (tata kota)

masih terlihat, bahkan dilengkapi dengan daftar

“legenda”. Kraton Kuto Gawang saat ini sudah

tidak menampakkan sisa-sisa kemegahannya,

karena sudah hancur. Di atas reruntuhan kraton

inilah PT. Pusri berdiri. Oleh karena itu lokasi

permukiman masyarakat Arab pada waktu itu

terletak di seberang Pusri sekarang, yaitu

daerah Patra Jaya, Kompleks Pertamina Plaju.

Gambar 1. Kompleks Pemakaman Gedingsuro

(Dokumentasi Balar Sumsel)

Dengan hancurnya kraton Kuto Gawang, maka

pengganti Sideng Rajek membangun keraton

baru, yaitu Kraton Tengkuruk atau Kuto Batu, di

daerah Beringinjanggut sekarang. Mengikuti

jejak para pendahulunya, Ki Mas Endi yang

kemudian bergelar Sultan Abdurrahman Khali-

fatul Mukminin Sayyidul Imam, juga mengguna-

kan orang-orang Arab untuk penasehat spiritual

Page 5: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Retno Purwanti

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 183

dan pemerintahannya. Hal ini terbukti dari

adanya makam Sayyid Mustafa Alaidrus, yang

letaknya di sebelah kanan makam sultan. Sultan

Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul

Imam merupakan raja Palembang pertama yang

bergelar sultan. Sejak saat itulah institusi

pemerintahan tidak lagi berbentuk kerajaan,

melainkan kesultanan. Masa kekuasaan sultan

ini adalah dari tahun 1662 -- 1706, sehingga

dapat diperkirakan bahwa selama lebih dari tiga

puluh tahun ulama ini mendampingi sultan.

Selain Sayyid Mustafa Alaidrus, tokoh-tokoh

Arab lainnya yang mendampingi sultan sebagai

penasehar adalah Sayyid Ali bin Aqil Massawa,

yang makamnya terletak di 32 Ilir dan

merupakan pendamping Sultan Muhammad

Mansyur yang memerintah dari tahun 1706 –

1714. Pengganti Sultan Muhammad Mansyur

adalah Sultan Agung Sri Teruno yang

makamnya di 1 Ilir dan berkuasa sejak tahun

1714 – 1724. kompleks pemakaman ini

kondisinya sudah rusak, sehingga tokoh-tokoh

yang dimakamkan tidak bisa teridentifikasi lagi.

Meskipun demikian, dari cerita sejarah

disebutkan bahwa orang yang mendampingi

beliau sebagai ulama kesultanan adalah orang

arab, yang belum terungkap jati dirinya.

Setelah Sultan Agung Sri Teruno yang menjadi

raja di Kesultanan Palembang Darussalam

adalah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo

Wikramo, yang lebih dikenal dengan sebutan

Sultan Mahmud Badaruddin I. Sultan ini

memerintah pada tahun 1724 – 1758. Pada

masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin

Jayo Wikramo inilah mulai diadakan

pembangunan kompleks pemakaman “Kawah

Tengkurep”, yang pada masa itu lebih dikenal

dengan kompleks pemakaman Lemabang.

Seperti para sultan pendahulunya, sultan inipun

juga menggunakan jasa orang Arab untuk

mendampinginya sebagai penasehat di bidang

keagamaan dan pemerintahan, yaitu Imam

Sayyid Idrus Abdullah Alaidrus. Tokoh ini

dimakamkan di sebelah kanan makam sultan di

Gubah Tengkurep, kompleks pemakaman

Kawah Tengkurep. Di dalam gubah ini juga

dimakamkan permaisuri Sultan Mahmud

Badaruddin I (Rahim, 1998:46-47; 287).

Di dalam gubah lain -- masih di dalam kompleks

yang sama – yang terletak di sebelah timurnya

terdapat pemakaman Sultan Ahmad Namuddin

Adi Kesumo yang memerintah tahun 1758 –

1776. Di sebelah kanan makam seultan ini

terdapat makam Imam Sayyid Yusuf Al-Angkawy.

Sementara makam Imam Datuk Murni Al-

Haddad (Al – Habib Muhammad bin Ali Al –

Haddad), makamnya di sebelah kanan makam

Sultan Muhammad Bahauddin I yang

memerintah pada tahun 1776 – 1803.

Selain makam-makam tersebut masih terdapat

makam-makam ulama lainnya yang merupakan

orang-orang Arab, seperti makam para ulama di

Talang Kerangga dan makam-makam keluarga

sultan lainnya, baik yang dimakamkan di

kompleks pemakaman Kawah Tengkurep

maupun kompleks pemakaman lainnya (Mujib,

2002: 96).

Gambar 2. Rumah tipe gabungan panggung dan

Indies di Perkampungan Arab 12 Ulu (Dokumentasi

Arismunandar).

Yang menarik dari makam para ulama sultan itu

adalah bentuk nisannya menggunakan nisan

tipe Aceh berbentuk gada. Hal ini berbeda

dengan nisan-nisan makam yang digunakan

pada makam para sultan dan keluarganya yang

menggunakan nisan tipe Demak-Tralaya. Data

ini membuktikan bahwa pada ulama sultan ini,

meskipun merupakan orang-orang Arab, namun

mereka tidak langsung datang dari Arab atau

Timur Tengah, melainkan datang dari Aceh. Hal

ini tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang

aneh karena pada kurun waktu antara abad ke-

14 sampai akhir abad ke-18 Aceh merupakan

pusat syiar agama Islam yang terkemuka di

nusantara. Pada saat kesultanan Aceh

mengalami kemunduran, tampaknya para

Page 6: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 184 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

ulama-pedagang dari Arab yang tadinya

bermukim ke Aceh kemudian mulai melirik

Palembang yang mulai menampakkan per-

kembangannya sebagai pusat perekonomian

baru.

Hal ini sesuai dengan uraian van den Berg

(1989: 76-77) yang menyebutkan bahwa di

Pulau Sumatera hanya ada dua koloni Arab yang

besar, yaitu koloni di Aceh dan di Palembang.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa komunitas

Arab di Palembang yang paling menarik, baik

dilihat dari perspektif sosial maupun perda-

gangan . Dalam bukunya yang berjudul Hadra-

maut dan Koloni Arab di Nusantara disebutkan

bahwa pada masa pemerintahan Sultan Mah-

mud Badr ad-Din komunitas Arab diberi peluang

untuk tinggal dan menetap di ibukota negerinya

(Berg, 1989: 76-77; 2010: 108).

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bah-

wa orang-orang Arab sudah mulai ada di

Palembang sejak jaman kerajaan Sriwijaya,

yang awalnya hanya untuk berdagang, sehingga

mereka tidak tinggal lama di daerah ini. Namun

demikian, seiring perjalanan waktu, orang-orang

Arab dari Timur Tengah ini mulai menetap dan

mendirikan permukiman tersendiri di Palembang.

Pada masa kerajaan Palembang yang berpusat

di Kraton Kuto Gawang sejak tahun 1550-an -

1659, lokasi permukiman Arab terletak di luar

pagar tembok kraton atau di seberangnya. Bukti

tersebut dapat dilihat dari peta yang dibuat oleh

Belanda pada abad ke-17 Masehi Lokasi ini

terletak di Patrajaya atau Kompleks Pemakaman

Bagus Sekuning (sekarang). Permukiman Arab

yang paling awal ini didominasi keluarga para

ulama atau penasehat raja, seperti terungkap

dari data makam para ulama sultan di berbagai

kompleks pemakaman yang ada di Palembang.

Oleh karena itu pada saat Keraton Kuto Gawang

dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1659

dan penguasa kraton, yaitu Sideng Rajek

melarikan diri ke Inderalaya, para pemukim

Arab ini sebagian besar juga ikut menyertainya.

Hal ini membuktikan bahwa para pemukim Arab

sejak awal kedatangannya di Palembang tidak

pernah bermukim di atas rakit, seperti para

pendatang asing lainnya, yaitu orang-orang

China dan India (Tambi). Kebijakan ini terus

berlanjut pada masa kesultanan Palembang

Darussalam tahun 1662 dengan kratonnya di

Beringinjanggut dan Benteng Kuto Lamo,

penduduk pendatang dari Timur Asing (Cina,

India atau Tambi) tidak diperkenankan tinggal di

daratan dengan alasan keamanan. Oleh karena

itu kemudian mereka bermukim di atas rakit.

Kebijakan seperti itu tidak berlaku pada orang-

orang Arab yang bermukim di Palembang,

karena pada tahun 1700-an karena jasa mereka

terhadap perdagangan yang menjadikan

perekonomian Palembang maju pesat dan

kepakarannya dalam bidang keagamaan mereka

dijadikan penasehat kesultanan, sehingga diberi

hadiah tanah di daerah seberang Ilir. tanah

yang diberikan oleh sultan meliputi areal dari

Kuto yang meliputi kawasan di antara sungai

Jeruju, sungai Bayas sampai daerah Kenten Laut.

Daerah tersebut saat ini dikenal dengan “Kuto

Batu” , yang juga dikenal dengan istilah

“Kampung Sungai Bayas” di dekat Pasar Kuto

sekarang. Menurut informasi Quresh salah satu

keturunan kedelapan Arab di Palembang,

disebutkan bahwa ada warga Arab, yaitu Ahmad

bin Syekh yang diambil menantu oleh cucu

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikaramo.

Cucu Sultan Mahmud Badaruddin Jayo

Wikaramo bernama Masayu Bariyah (Purwanti,

2005; Mujib, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan Balai Arkeologi Palembang pada

tanggal 27 Maret sampai dengan 9 April 2006

memperlihatkan bahwa sampai saat ini di Kuto

Batu masih dijumpai komunitas Arab yang

menempati rumah-rumah kuna berumur ratusan

tahun dengan bentuk arsitektur tradisional. Hasil

penelitian tersebut berhasil mendata 36 buah

rumah berasal dari sekitar abad ke-18 – 20

(Novita, 2006: 9-11). Perkampungan Kuto Batu

atau Sungai Bayas ini dikelilingi oleh Sungai

Musi di sebelah selatan, Sungai Jeruju di barat,

Sungai Bayas di sebelah timur dan sungai

Sengguro di sebelah Utara. Awalnya untuk

memasuki perkampungan Arab ini hanya bisa

melalui satu pintu masuk, yang oleh masyarakat

setempat diingat dengan bentuk “gapura”.

Gapura ini terbakar pada tahun 1980-an dan

tidak pernah dibangun lagi. Lokasi gapura ini

berada di ujung Lorong Asia. Rumah tertua di

perkampungan Arab ini disebut dengan istilah

“Rumah Batu” dengan bentuk arsitektur

Page 7: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Retno Purwanti

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 185

“Rumah Limas”. Selain tipe rumah Limas,

ditemukan juga tipe rumah panggung, tipe Indis

dan tipe gabungan antara Indis dan Panggung.

Gambar 3. Situasi Situs Kutobatu, Kelurahan

Kutobatu, Kecamatan Ilir Timur I (Sumber: Novita,

2006: 9)

Rumah-rumah tersebut berumur antara 100 –

300 tahun. Di samping itu, antara satu rumah

dengan rumah yang lain dipisahkan oleh pagar

halaman. Rumah-rumah tersebut dibuat dari

bahan kayu, batu dan gabungan kedunya. Ko-

munitas Arab di sini berasal dari beberapa suku,

yaitu Al-Kaff, Shahab, As-Segaff, Al Musyawah,

Al-Haddad dan Al-Habsyi. Mayoritas masyarakat

Arab yang bermukim di sini adalah kaum

pedagang, dan sedikit yang berprofesi sebagai

ulama.

Selain perkampungan Arab Kuto Batu,

Kecamatan Ilir Timur I, masih terdapat sejumlah

perkampungan Arab lain di daerah Seberang Ulu,

yaitu di Kelurahan 9/10 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14

Ulu dan 16 Ulu yang secara administratif masuk

wilayah Kecamatan Seberang Ulu II.

Perkampungan Arab di Kelurahan 9/10 Ulu

terdapat lima 5 buah rumah kuna yang didirikan

mengelilingi lapangan. Permukiman ini dibatasi

oleh Sungai Aur di sebelah Barat dan Lorong

Masjid Sungai Lumpur di sebelah Timur.

Sementara di bagian depannya merupakan

Sungai Musi. Selain kelima rumah tersebut

masih ada satu buah rumah kuna yang tidak

terdata, karena saat penelitian rumah sedang

tidak ada penghuninya. Rumah-rumah tersebut

berumur di atas 100 tahun dan berarsitektur

rumah Limas dan Panggung.

Permukiman Arab lainnya dijumpai di Kelurahan

11 Ulu. Hanya saja di daerah ini tidak berhasil

mendata rumah-rumah lama yang masih dihuni

para pemukim keturunan Arab Palembang.

Meskipun demikian, di sini masih berdiri masjid

yang tertua di perkampungan tersebut adalah

Masjid Sungai Lumpur. Masjid tersebut dibangun

oleh Sayid Abdullah bin Salim Al-Kaf pada tahun

1289 Hijriah (1873). Angka tahun 1289 Hijrah

tersebut dituliskan pada mihrab yang ditulis

dengan menggunakan huruf Arab timbul.

Permukiman Arab di Keurahan 12 Ulu,

Kecamatan Seberang Ulu II terletak di tepi

Lorong BBC, di sebelah selatan Sungai Musi, di

sebelah barat Sungai Ketemengungan dan di

sebelah timur Sungai Lumpur. Suku-suku yang

berdiam di perkampungan tersebut adalah Al-

Habsyi, Al-Munawar, Al-Hadad, As- Seggaf dan

Al-Kaf. Di sini didata lima buah rumah dengan

arsitektur rumah “limas”, Rumah Panggung dan

rumah tipe Indies. Rumah-rumah tersebut

berumur di atas 100 tahun. Adapun rumah

tertua adalah rumah milik Alwi bin Ahmad As-

Segaff yang telah berumur sekitar 250 tahun.

Selain kelima rumah tersebut ditemukan rumah-

rumah lain, namun tidak bisa diteliti karena

pemiliknya sedang tidak ada di tempat.

Sebagian besar pekerjaannya adalah berdagang

dan bertempat tinggal di rumah-rumah

panggung yang dibuat dari kayu.

Perkampungan Arab di Kelurahan 13 Ulu,

Kecamatan Seberang Ulu II terletak di tepi

sebelah selatan Sungai Musi dan sebelah timur

sungai Ketemenggungan, serta di sebelah barat

Sungai Kangkang. Suku-suku yang mendiaminya

mayoritas adalah suku Al-Munawwar, yang

menjadi nama lorong masuk utama perkam-

pungan ini. Selain itu masih ada suku Al-Habsyi,

Al-Hadad, dan Al-Kaf Rumah-rumah tinggal yang

ada di kanan kiri lorong Al-Munawwar meru-

pakan bangunan rumah dengan gaya arsitektur

yang khas pada jamannya, yaitu rumah Limas,

rumah Panggung, Indies dan gabungan antara

Rumah Panggung dan Indies. Jumlah rumah

yang terdata di sini yaitu enam belas rumah dan

berusia antara 100 – 300 tahun. Salah satu

rumah di sini merupakan tempat tinggal kapiten

Arab terakhir bernama Ahmad bin Al-Munawwar

alias Ayib Kecik yang kemungkinan diangkat

menjadi kapiten pada tahun 1855. Kapiten ini

bertugas menjadi perantara antara orang-orang

Page 8: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 186 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

keturunan Arab dengan pihak pemerintah Hindia

Belanda.

Selain di Lorong Al-Munawwar permukiman etnis

Arab Palembang di Kelurahan 13 Ulu juga

terdapat di Lorong Al-Haddad, yaitu di sebelah

barat Sungai Kangkang. Di sini ditemukan tiga

buah rumah dengan arsitektur “Rumah Limas”

dan “Rumah Panggung”. Meskipun nama lorong

ini Al-Haddad, namun yang bermukim di ketiga

rumah tersebut berasal dari fam Madihi.

Berdasarkan penuturan salah satu pemilik

rumah, disebutkan bahwa rumah tersebut

memang hasil pembelian dari keluarga berfam

Al-Haddad. Awalnya di sini dulu merupakan

lokasi permukiman Arab Palembang dari fam Al-

Haddad, namun sekarang mayoritas sudah

berpindah ke Kelurahan 14 Ulu.

Perkampungan Arab di Kelurahan 14 Ulu

terdapat tidak kurang dari sepuluh rumah dari

fam Al-Kaf dan lima rumah dari fam Al-Habsyi.

Kedua fam tersebut dipisahkan oleh lorong yang

berbeda. Permukiman kelompok Al Habsyi

menempati lahan di Lorong Al-Habsyi,

sementara kelompok Al Kaff terletak di Lorong

Tuanku Kapar. Di perkampungan inilah

diperoleh sejumlah informasi penting berkaitan

dengan asal usul suku Al-Habsyi yang berdiam

di Kelurahan 12, 13 dan 14 Ulu. Menurut

penuturan Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin

Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin

Idrus bin Hadi Al-Habsyi (72 tahun), yang

dimaksud suku Al-Habsyi bukan suku asli dari

negeri Habysi (Ethiopia), melainkan orang-orang

Arab yang hijrah dari Hadramaut ke Habsyi, dan

kemudian menetap di negeri tersebut. Informan

tersebut adalah seorang pedagang dan pengajar

agama serta keturunan keempat dari Abdullah

bin Ahmad Al-Habsyi, seorang pemukim Arab

pertama di perkampungan tersebut.

Selain kompleks perkampungan di Kelurahan 14

Ulu ini juga terdapat kompleks pemakaman Arab

dengan jumlah makam tidak kurang dari 200

buah, terdiri dari tiga kelompok suku: al-Habsyiy,

Al-Munawwar dan Al-Kaf. Dari tulisan yang

tertera pada nisan makam dapat diketahui

bahwa makam tertua berasal dari tahun 1277 H

(1856 M), yaitu makam Sayyidat Al-Sarifat binti

Al-Sayyid Al-Sarif Umar bin Muhammad Al-

Habsyiy. Nisan-nisan makam yang digunakan

mempunyai tipe nisan Aceh dan Demak-Troloyo.

Permukiman etnis Arab Palembang juga

ditemukan di Kelurahan 16 Ulu dan berasal dari

kelompok As-Segaff. Pendiri permukiman di sini

adalah Alwi As-segaff, yang merupakan

menantu dari Abdurrahman Al-Munawwar. Masa

pembangunan lokasi permukiman ini sejaman

dengan di Lorong Al-Munawwar. Sama halnya

dengan kelompok permukiman lainnya, pada

awal pendiriannya permukiman di 14 Ulu ini

juga dilengkapi dengan mushalla. Hanya saja,

lokasi mushalla awal tidak terletak dit epi sungai

seperti permukiman-permukiman lainnya, me-

lainkan sejajar dengan rumah-rumah tinggalnya

yang agak jauh dari tepian Sungai Musi.

Permukiman di sini berpola linier, searah dengan

aliran sungai Musi. Rumah tinggal yang ada di

sini berjumlah 30 rumah. Hanya saja yang

berusia sekitar 100 tahun hanya tiga buah

rumah dengan bentuk arsitektur rumah

“Panggung”.

Di samping lokasi rumah tinggal, di 16 Ulu ini

juga ditemukan kompleks pemakaman etnis

Arab, antara lain Al-Haddad, Al-Kaff, Al-Habsyi

dan As-Segaff. Kompleks pemakaman ini sudah

ada jauh sebelum rumah-rumah tinggal didirikan.

Pada abad ke-19 Masehi, van den Berg juga

telah mengadakan penelitian tentang komunitas

Arab di Palembang. Salah satu urainanya yang

menarik ialah tentang permukiman mereka di

sini. Disebutkan oleh van den Berg bahwa

rumah-rumah Arab kaya di Palembang pada

umumnya tampak nyaman dan jauh lebih bersih

daripada yang terlihat di tempat lain. Sebagaian

rumah tersebut adalah rumah panggung yang

terbuat dari papan, namun lebih besar dan

peralatan rumah tangganya lebih baik daripada

rumah-rumah pribumi. Di rumah orang-orang

Arab yang terkemuka tersimpan naskah dan

buku, juga berbagai senjata berharga, yang

menandakan tingkat kemakmuran dan strata

soialnya. Rumah orang Arab terkemuka itu

dibangun di sepanjang Sungai Musi. Wilayah

Arab tidak ada, namun di sekeliling rumah orang

tua terdapat rumah-rumah anak dan

menantunya, apabila mereka tidak mempunyai

rumah sendiri. Di depan rumah lebih menjorok

Page 9: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Retno Purwanti

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 187

ke sungai, biasanya terlihat bangunan kecil yang

disebut langgar untuk keluarga melakukan

kegiatan keagamaan (Ibid.). Paparan tersebut

ternyata terbukti pada penelitian dan hasil

wawancara yang dikumpulkan Tim Balai Arkeo-

logi Palembang. Menurut van den Berg orang-

orang Arab Palembang, selain berprofesi se-

bagai pedagang atau ulama, mereka juga

mempunyai usaha percetakan, bahkan ada yang

berprofesi sebagai pengacara yang pada tahun

1855 berjumlah tidak kurang dari 20 orang.

Ketika sultan diturunkan dari tahta pada tahun

1821 oleh pemerintahan Belanda, yang telah

menganeksasi Palembang dan berada langsung

di bawah pemerintahannya. Pada saat itu jum-

lah orang arab di Palembang sudah men-capai

500 jiwa. Sejak saat itu jumlah pemukim Arab di

Palembang mengalami peningkatan selama dua

puluh lima tahun kemudian. Mulai saat inilah

warga Arab yang menetap di Pa-lembang relatif

stabil dalam segi kuantitas. Hal ini disebabkan

karena makin berkurangnya ko-munitas Arab

Hadramaut yang memilih Palem-bang sebagai

lokasi permukiman dan mencari mata penca-

hariannya. Perkembangan komunitas Arab di

Palembang perkembangannya sejajar dengan

perkembangan pelayaran atau perniagaan

mereka, dan sejak usaha tersebut mengalami

kemunduran, perekonomiannyapun menjadi

hancur. Meskipun demikian modal yang telah

terkumpul pada masa-masa sebelumnya masih

ada. Bahkan pada waktu yang sama di-sebutkan

bahwa jumlah kapitalis Arab di Palem-bang tidak

tertandingi oleh komunitas-komuni-tas Arab lain

yang bermukim di nusantara.

Di Palembang sendiri tidak pernah ada toko atau

penjaja dari komunitas arab, karena sektor

perdagangan ini dikuasai oleh orang-orang Cina,

Benggali, atau pribumi. Orang Arab sendiri

memfokuskan diri pada sektor perdagangan

grosir, atau yang miskin bekerja pada orang

arab yang kaya.

Bentuk Arsitektur Rumah Komunitas Arab

Palembang

Secara umum, situs-situs permukiman kelompok

etnis Arab terletak di wilayah Palembang Timur

dan Seberang Ulu. Secara administratif, situs-

situs tersebut termasuk dalam Kelurahan Kuto

Batu, Kecamatan Ilir Timur I dan Kelurahan 9-

10 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, 16 Ulu,

Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang.

Hasil pengumpulan data arkeologi di lapangan

diketahui bahwa terdapat 4 tipe bangunan

hunian, yaitu:

1. Tipe limas 2. Tipe Panggung 3. Tipe Indis

4. Tipe gabungan panggung dan Indis

Yang menarik dari rumah-rumah kuna keempat

tipe tersebut mempunyai sebutan, karena

masing-masing bangunan rumah mempunyai

nama sebagai identitas dan pembeda antara

satu rumah dengan rumah lainnya. Adapun

nama-nama bangunan rumah tersebut antara

lain: “Rumah Kembar Laut”, “Rumah Tinggi”,

“Rumah Darat”, “Rumah Batu”, “Rumah Kembar

Darat” dan “Rumah Tengah”. Penamaan

rumah-rumah tersebut didasarkan pada

keletakaannya terhadap sungai Musi dan bahan

yang digunakan untuk pembangunannya. Pada-

hal jika dilihat dari bentuk arsitekturnya semua-

nya mengarah keempat tipe di atas. Lebih dari

itu, istilah-sitilah itu digunakan pada rumah-

rumah lama di Lorong Al-Munawwar, Kelurahan

13 Ulu. Perkecualian pada istilah “Rumah Batu”,

karena di Kuto Batu juga ada “Rumah Batu”,

yang merupakan rumah paling tua di daerah

tersebut.

“Rumah Kembar Laut” terletak di tepi Sungai

Musi atau menghadap ke arah sungai Musi

(Utara) (Lihat gambar 4). Rumah ini merupakan

gabungan dua buah rumah Limas yang dipi-

sahkan oleh ruangan terbuka, namun dihu-

bungkan dengan semacam “jembatan” dari kayu.

Rumah Tinggi merupakan rumah yang didirikan

pada tahun 1875 Masehi oleh Al Habib

Abdurrahman. Rumah ini berarsitektur rumah

panggung, namun ketinggian tiangnya lebih

tinggi dari rumah-rumah limas lainnya yang ada

di sekitarnya pada saat itu. Oleh karena rumah

ini secara turun temurun disebut dengan

“Rumah Tinggi”. Konstruksi bangunannya meng-

gunakan konstruksi kayu yaitu bangunan yang

konstruksi utamanya adalah rangka yang

Page 10: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 188 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

menyangga bagian atap yang bahannya dari

kayu (Parmono Atmadi 1978/1979: 4).

Gambar 4. Rumah “Kembar Laut” Kampung Al

Munawar 13 Ulu (Sumber: Balar Sumsel)

“Rumah Darat” disebut demikian karena terletak

jauh dari tepian sungai Musi dan terletak tepat

di depan “Rumah Tinggi”. Bentuk arsitektur

rumah ini adalah limas dan mempunyai garang

pada awal pendiriannya. Namun seiring dengan

perkembangan jumlah penghuni, maka garang

tersebut kemudian dihilangkan dan bagian ini

dipisah, sehingga membentuk rumah lain yang

mandiri. Pemisahan ini terjadi sekitar awal abad

ke-20. yang membedakan “Rumah Darat”

dengan “Rumah Tinggi” adalah bentuk dan

keletakan tangga naiknya. Rumah darat tang-

ganya terletak di kanan dan kiri rumah dan

selrurhnya terbuat dari kayu, jadi merupakan

bentuk asli rumah limas Palembang. Sementara

tangga naik “Rumah Darat” diletakkan di bagian

tengah dan terbuat dari batu.

Langgam arsitektur rumah Limas secara filosofis

menunjukkan adanya pengaruh strata masya-

rakat yang tercermin pada ketinggian lantai

yang berbeda. Lantai tertinggi merupakan ruang

‘Gegajah’ yang diperuntukkan bagi pemilik ru-

mah; Sedangkan lantai berikutnya yang lebih

rendah, ke arah depan diperuntukkan bagi ke-

lompok masyarakt tertentu sesuai dengan

statusnya. Karena di kalangan masyarakat Pa-

lembang dikenal sebutan atau gelar: Raden,

Kemas, Masagus, Masayu, Kiagus dan Nyayu,

maka urutan status tersebut juga turut menen-

tukan kedudukannya dalam tingkatan lantai

(kekijing/bengkilas) dalam rumah Limas. Di luar

strata tersebut atau rakyat biasa menempati

pagar teggalong. Seiring dengan perkembangan

jaman dan kepemilikan rumah yang tidak lagi

dimonopoli elite kesultanan saja, maka pem-

bagian lantai rumah tersebut kemudian dise-

suaikan dengan usia, sehingga orang yang pa-

ling tua atau dituakan diutamakan untuk me-

nempati bengkilas paling atas. Di kalangan

komunitas Arab sendiri pembagian lantai ter-

sebut disesuaikan dengan tingkatan dalam

bidang keagamaan, misalnya untuk para ulama

ditempatkan di bagian paling atas, sementara

yang lainnya menyesuaikan.

Secara arsitektural, ketinggian lantai yang ber-

beda disertai dengan plafond (gulmat) yang

menyesuaikan dengan kemiringan atap, kecuali

bagian lantai paling tinggi yang berupa plafon

(kajang angkap) datar, tetap memberikan ke-

nyamanan dalam skala manusia. Penyesuaian

tersebut juga bukan merupakan masalah bagi

rumah Limas yang merupakan rumah panggung.

Sementara “Rumah Batu” mendapat julukan

seperti ini karena bangunannya menggunakan

kontruksi batu dan tidak berbentuk panggung.

Rumah ini kemungkinan merupakan rumah

pertama di Palembang yang didirikan dengan

menggunakan pondasi batu dan tidak berbentuk

panggung. Lebih dari itu rumah ini mencirikan

arsitektur Indies yang kental. Penggunaan lantai

marmer, ubin-ubin bermotif flora, ukuran jen-

dela dan pintu yang berukuran besar dan ber-

bentuk massif merupakan cirri utamanya. Be-

gitupun dengan bentuk atap rumahnya.

Konstruksi bangunannya merupakan konstruksi

susunan batu ialah bangunan yang mempunyai

konstruksi utama dinding penahan beban

(bearing wall) yang menahan bagian atap atau

kepalanya, yang disusun di atas suatu pondasi

dengan bahan yang sama yakni batu alam

(ibid.).

Berbeda dengan kedua rumah tersebut, “Rumah

Tengah” sebenarnya merupakan rumah tingkat

Arab, karena rumah ini disusun bertingkat dan

bentuk arsitektur seperti ini hanya dijumpai

pada rumah-rumah tingkat milik orang-orang

Arab di Palembang. Bentuk arsitektur rumah ini

merupakan perpaduan antara rumah Limas dan

“Indies” dan dibangun dengan menggunakan

konstruksi campuran antara kayu dan batu.

Rumah ini disebut “Rumah Tengah”, karena

keletakannya yang ada di tengah, diapit oleh

Page 11: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Retno Purwanti

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 189

“Rumah Kembar Tengah”, “Rumah Tinggi”,

“Rumah Darat” dan “Rumah Batu”. Yang

menarik dari rumah ini adalah hiasan pada

bagian atas kusen jendela, yaitu hiasan krawang

dengan morif bunga, namun di bagian

tengahnya menggunakan angka Arab ”۱۳۰۶”.

Angka tahun di atas jendela rumah tinggi ini

adalah 1306 H, yang jika dikonfersikan ke dalam

tahun Masehi adalah 1889. Angka tahun

tersebut diduga merupakan tahun pen-

dirian ”Rumah Tengah”.

“Rumah Kembar Batu” terdiri dari dua buah

rumah yang berdiri saling berhadapan dan di-

pisahkan oleh sebuah halaman di depannya.

Salah satu rumah ini terletak di sebelah kanan

“Rumah Batu” (lihat gambar 6), sementara

rumah lainnya terletak di sebelah kiri “Rumah

Tengah”. “Rumah Kembar Tengah” tersebut

merupakan rumah tipe Tingkat Arab dengan

menggunakan konstruksi batu. Gaya

arsitekturnya adalah “Indies”.

Berdasarkan kronologi pendiriannya, tipe

bangunan yang tertua adalah tipe Limas

sedangkan tipe-tipe bangunan yang lain

memiliki kronologi pendirian yang relatif sama.

Dari hasil wawancara disimpulkan bahwa tipe

bangunan limas yang tertua berasal dari per-

tengahan abad 18 M. Pembagian ruang yang

bertingkat-tingkat pada bangunan tipe limas

oleh kelompok etnis Arab diterapkan berda-

sarkan tingkat pengetahuan agama, sehingga

dapat dilihat pada acara-acara keagamaan kaum

ulama menempati ruangan yang tertinggi. Hasil

wawancara tersebut memang kurang didukung

oleh data tertulis. Namun dengan ditemukannya

angka tahun pada ”Rumah Tengah” yang

berangka tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi),

maka perkiraan tersebut masih mendekati ke-

benaran, karena hanya ada selisih sekitar 40-an

tahun.

Dilihat dari penerapan ragam hias pada bangun-

an tipe limas, diketahui bangunan tipe ini juga

tetap didirikan pada masa-masa selanjutnya

dengan kata lain meskipun pada masa-masa

selanjutnya tengah berkembang tipe bangunan

baru tetapi tipe bangunan limas masih tetap

dipertahankan. Tipe bangunan limas yang

didirikan pada masa yang lebih muda dapat

terlihat pada penerapan ragam hiasnya, yaitu

yang mendapat pengaruh ragam hias Eropa.

Berdasarkan teknologi pembuatan juga dapat

dilihat bahwa ragam hias pada bangunan tipe

limas yang lebih muda berupa ukiran tera-

wangan sedangkan pada bangunan tipe limas

yang lebih muda bukan berupa ukiran tera-

wangan dan diukirkan pada satu papan kayu

utuh.

Pada semua tipe bangunan mempunyai kesa-

maan pola ruang, yaitu adanya ruangan terbuka

yang memisahkan bangunan induk dan dapur,

meskipun demikian tidak semua bangunan tipe

Indis dan gabungan memiliki ruang terbuka.

Keletakan ruang terbuka ini bervariasi ada yang

terletak di bagian tengah dan dibagian sisi kiri

atau kanan bangunan induk. Secara umum

denah bangunan hunian memiliki 4 variasi, yaitu

huruf ‘T’ terbalik, ‘J’, ‘L’, ‘I’, ‘U’, ‘U’ terbalik dan

persegi.

Pola Permukiman

Berdasarkan hasil paparan di atas dapat

diketahui bahwa tata letak hunian kelompok

etnis Arab ini memiliki pola segi empat. Terlihat

bahwa bangunan-bangunan hunian tersebut

ditempatkan mengelilingi suatu area (ruang)

terbuka (lapangan berbentuk segiempat),

dimana bangunan yang tertua menghadap ke

arah sungai. Rumah-rumah yang mengelilingi

ruang terbuka tersebut berjumlah tujuh

bangunan, seperti yang terlihat di Lorong Al-

Munawar dan 9/10 Ulu. Pola permukiman

seperti ini sampai pertengahan tahun 1980-an

masih dijumpai di Kuto Batu. Namun, karena

pertambahan jumah penduduk yang semakin

besar dan membutuhkan lahan untuk pendirian

rumah baru, maka pola segi empat tidak tersisa

lagi. Hal ini, karena ruang terbuka sudah

dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan

rumah baru. Batas permukiman tersebut adalah

sungai.

Kesimpulan

Pada bagian kesimpulan dituliskan temuan pe-

nelitian secara ringkas, tanpa tambahan inter-

pretasi baru lagi. Pada bagian ini juga dapat

Page 12: Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang · India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis ... terbesar dari kelompok masyarakat

Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang

G 190 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

dituliskan kebaruan penelitian, kelebihan dan

kekurangan dari penelitian, serta rekomendasi

untuk penelitian selanjutnya.

Daftar Pustaka

Ilmiah, T (2007). Ideologi dalam Pengembangan Pe-

ngetahuan. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 1,

01-12.

Abdullah Syukri bin Idrus shahah.(2005). Ziarah Kubra

& Sekilas Mengenai Ulama dan Auliya’ Palembang

Darussalam. Palembang: Panitia Pelaksana Ziarah

Kubra.

Al Qurtuby, Sumanto. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa

Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam

penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan

XVI. Yogyakarta: INSPEAL Press.

Azra, Azyumardi. (2002). Islam Nusantara: Jaringan

Global dan Lokal. Bandung: Mizan.

Berg, L.W.C. van den. (1989). Hadramaut dan Koloni

Arab di Nusantara. Seri INIS Jilid III. Terjemahan

Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS.

Burger, D.H. (1962). Sejarah Ekonomis Sosiologis

Indonesia. Terjemahan Prajudi. Jakarta:

Pradjnaparamita.

Cortesao, Armando. (1944). The Summa Oriental of

Tome Pires. An Account of the east, from the Red

Sea to Japan, Written in Malacca and India 1512-

1515. London: Hakluyt Society.

Faille, P. De Roo De. (1971). Dari Zaman Kesultanan

Palembang. Jakarta: Bhratara.

Graff, H.J. de dan Th. G. Pigeaud. (2001). Kerajaan-

kerajaan Islam Pertama di Jawa tinjauan sejarah

politik abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti.

Groenevelt, W.P. (1960). Historical Notes on Indonesia

Malay Compiled from Chinese Sources. Jakarta:

Bhratara.

Hirth, F. & W.W. Rockhill. (1967). Chau Ju-kua: His

Work on the Chinese and Arab trade in the twelft

and thireenth centuries, entitled Chu-fan-chi. Taipei.

Jumhari dan Iim Imaduddin. (2005). Arab Palembang

dari Masa Kesultanan sampai Kolonial Berlanda

Suatu Kajian Sejarah Sosial. Balai Kajian Sejarah dan

Nilai Tradisional Padang Departemen Kebudayaan

dan Pariwisata (belum terbit).

Marsden, William. (1975). The History of Sumatra.

Kuala Lumpur: Oxford University Press.

McRoberts, R.W. (1986). “Notes events in Palembang

1389 – 1511 the everlasting colony”, dalam JMBRAS

Vol. LIX. Part I, th. 1986. Hlm. 73-84.

Meilink-Roelofsz, M.A.P. (1962). Asian Trade and

European Influence in the Indonesian Archipelago

between 1500 and about 1630. The Hague:

Martinus Nijhoff.

Mujib. (1998). “Yang Tersisa dari Situs Makam Koci:

Menarik untuk Kajian Filo-Arkeologi, Linguistik, dan

Kaligrafi” Jurnal Arkeologi Siddhayatra Nomor:

2/III/Nopember/1998. Palembang: Balai Arkeologi

Palembang. Hlm. 35-39.

---------- (2004). ”Pemukiman Masyarakat Asing di

Palembang Pada Masa Kesultanan”, Kalpataru

Majalah Arkeologi No. 17. Jakarta: Deputi Bidang

Sejarah dan Purabakala—Asdep Urusan Arkeologi

Indonesia. Hlm. 28-52.

Lohanda, Mona. (1999). “Studi Minoritas dalam

Spektrum Kajian Sejarah Indonesia”, dalam Henry

Chamber-Loir & Hasan Muarif Ambary (editor),

Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof. Dr.

Denys Lombard. Jakarta: EFEO-Puslit Arkenas-

Yayasan Obor Indonesia.

Lombart, Denys. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya

Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jilid 3.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Purwanti, Retno. (2002). “Stempel Dari Masa

Kesultanan Palembang dan Beberapa aspek

Kesejarahannya” dalam Tammadun Jurnal

Kebudayaan dan Sastra Islam Fakultas Adab-IAIN

Raden Patah Palembang Nomor 2/Volume IV Juli

2002. Hlm. 110-121.

-------.. (2005). “Komunitas Arab Palembang dalam

Perspektif Arkeo-Historis”, makalah dalam Seminar

Sehari …………

Rahim, Husni, (1998). Sistem Otorasi dan Administrasi

Islam. Studi tentang Pejabat Agama Masa

Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta:

Logos.

Reid, anthony. (1999). dari Ekspansi hingga Krisi II

Jaringan Perdagangan global Asia Tenggara 1450 –

1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Resink, G.J. (1987). Raja dan Kerajaan yang merdeka

di Indonesia 1850-1910. Jakarta: Djambatan.

Riklefs, M.C. (1998). Sejarah Indonesia Modern.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sevenhoven, J.L. van, (1971), Lukisan Tentang

Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.

Syamsu As., Drg. H. Muhammad. (1999). Ulama

Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya.

Jakarta: Lentera Baritama.

Taim, Eka Asih Putrina. (2002). “Pemukiman Tepi

Sungai di Kota Palembang dari Masa Ke Masa”,

dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume 7 No.2 .

Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

Tjandrasasmita, Uka (Editor). (1993). Sejarah Nasional

Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Wolders, M O. (1975). Het Sultanaat Palembang 1811

– 1825. ‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Wolter, O.W. (1970). The fall of Srivijaya in Malay

History. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

---------. (1974). Early Indonesian Commerce. A Study

of the Origin of Srivijaya. Ithaca: Cornell University

Press.