Upload
phungkhue
View
235
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 179
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
Retno Purwanti
Balai Arkeologi Palembang.
Abstrak
Palembang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai lokasi Kerajaan Sriwijaya. kebesaran nama
Sriwijaya tidak hanya tercatat dalam sumber berita Cina, namun juga sumber berita Arab dari abad
ke-9 Masehi. Sebelum itu, nama Arab disebut dalam catatan I-Tsing saat berangkat dari Cina ke
India dengan menumpang kapal Arab dan Persia pada tahun 671. Namun demikian, bukti arkeologis
tertua baru ditemukan pada abad ke-13-14 Masehi. Berdasarkan data ini, maka komunitas Arab
sudah ada di Palembang sejak masa Sriwijaya. Keberadaan komunitas Arab dalam kurun waktu
yang panjang tentunya meninggalkan jejak permukiman. Sejak kapan dan dimana lokasi awal
permukiman, pola permukiman dan perkembangan komunitas Arab di Palembang belum banyak
dikaji oleh sejarawan maupun arkeolog. Untuk itu, tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui
keletakan permukiman dan perkembangannya, pola permukiman komunitas Arab di Palembang.
Untuk mengungkapkan dua permasalahan tersebut digunakan metode arkeologi sejarah (historical
archaeology) dalam metode pengumpulan dan analisis data, dan temuan.
Kata-kunci : permukiman, Arab, Palembang, arkeologi, sejarah
Pendahuluan
Hubungan nusantara dengan Timur Tengah
melibatkan sejarah yang panjang, karena telah
terjadi sejak sebelum Islam masuk ke wilayah
ini, yaitu dengan Arab, Persia, India dan Cina.
Kapal-kapal Arab yang melakukan perdagangan
ke Cina ternyata juga menyinggahi pelabuhan-
pelabuhan yang ada di Nusantara, termasuk
Palembang. Letak posisi geografis Palembang di
antara jalur pelayaran Arab, Persia, India
menuju Cina dan sebaliknya, menjadikannya
daerah yang amat strategis. Hal ini didukung
dengan banyaknya komoditi dagang yang ada di
bandar-bandar sungai Musi dan anak-anak
sungainya, yang mendukung kelancaran arus
barang dari daerah pedalaman ke daerah pesisir.
Posisi tersebut didukung oleh keletakan
Palembang pada jalur dua pusat peradaban
yang mendominasi percaturan politik saat itu.
Dengan kondisi geopolitik seperti inilah yang
menjadikan Palembang merupakan salah satu
kota maritim yang pernah ada dalam panggung
kesejarahan Indonesia. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya bukti-bukti arkeologis dari masa
kerajaan Sriwijaya sampai masa kolonial Be-
landa. Berdasarkan data epigrafis dan arte-
faktual yang sampai saat ini menunjukkan
bahwa sejak abad ke-7 Masehi kota ini sudah
menjadi daerah metropolis, terbukti dengan
masuknya berbagai pedagang asing, seperti
Arab, Persia, India dan Cina. Hal ini membukti-
kan bahwa sejak awal pun Palembang telah
menjadi daerah terbuka terhadap pengaruh
asing dan menjadi tempat berkumpul para pen-
datang asing. Salah satu ciri khas dari ma-
syarakat bahari adalah sifat masyarakatnya
yang dinamis (The Dinamic of Maritime Society).
Masyarakat ini pada umumnya bermukim di
sekitar daerah pantai dan merupakan kelompok
terbesar dari kelompok masyarakat di Indonesia.
Dalam konteks kehadiran muslim Timur Tengah,
mayoritas dari Arab dan Persia di Nusantara
pada periode awal ini pertama kali disebut oleh
agamawan dan pengembara terkenal Cina I-
Tsing, yang pada tahun 671 Masehi dengan
menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton
berlabuh di pelabuhan yang terletak di muara
sungai Bhoga (Sribhoga, Sribuza), yang oleh
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 180 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
pakar sejarah dan arkeologi diidentifikasikan
dengan sungai Musi di Palembang. Bahkan
dalam sumber-sumber berita Arab disebutkan
Mamlakat Al-Maharaja (Kerajaan Raja di Raja),
atau dalam sumber Cina disebut Shih-li-fo-shih
atau San-fo-chi. Bukti arkeologis adanya per-
dagangan dengan Arab dan Persia adalah te-
muan pecahan keramik Timur Tengah dari
sekitar Abad ke-13-14 Masehi di situs Candi
Angsoka, Gedingsuro dan Bukit Siguntang.
Hubungan nusantara dengan Timur Tengah me-
libatkan sejarah yang panjang, karena telah ter-
jadi sejak sebelum Islam masuk ke wilayah ini,
yaitu dengan Arab, Persia, India dan Cina.
Kapal-kapal Arab yang melakukan perdagangan
ke Cina ternyata juga menyinggahi pelabuhan-
pelabuhan yang ada di Nusantara, termasuk
Palembang. Letak posisi geografis Palembang di
antara jalur pelayaran Arab, Persia, India
menuju Cina dan sebaliknya, menjadikannya
daerah yang amat strategis. Hal ini didukung
dengan banyaknya komoditi dagang yang ada di
bandar-bandar sungai Musi dan anak-anak
sungainya, yang mendukung kelancaran arus
barang dari daerah pedalaman ke daerah pesisir.
Posisi tersebut didukung oleh keletakan
Palembang pada jalur dua pusat peradaban
yang mendominasi percaturan politik saat itu.
Dengan kondisi geopolitik seperti inilah yang
menjadikan Palembang merupakan salah satu
daerah permukiman yang pernah ada dalam
panggung kesejarahan Indonesia. Hal ini
terbukti dengan ditemukannya bukti-bukti
arkeologis dari masa kerajaan Sriwijaya sampai
masa kolonial Belanda. Berdasarkan data epi-
grafis dan artefaktual yang sampai saat ini
menunjukkan bahwa sejak abad ke-7 Masehi
kota ini sudah menjadi daerah metropolis,
terbukti dengan masuknya berbagai pedagang
asing, seperti Arab, Persia, India dan Cina. Hal
ini membuktikan bahwa sejak awal pun
Palembang telah menjadi daerah terbuka ter-
hadap pengaruh asing dan menjadi tempat
berkumpul para pendatang asing.
Dalam konteks kehadiran pedagang Timur Te-
ngah, mayoritas dari Arab (Ta-shih atau Ta-
shih-K,uo) dan Persia (Possu) di Nusantara pada
periode awal ini pertama kali disebut oleh
agamawan dan pengembara terkenal Cina I-
Tsing, yang pada tahun 671 Masehi dengan
menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton
berlabuh di pelabuhan yang terletak di muara
sungai Bhoga (Sribhoga, Sribuza), yang oleh
pakar sejarah dan arkeologi diidentifikasikan
dengan sungai Musi di Palembang (Azra,
2005:22-23; Utomo, 2008:103). Bahkan dalam
sumber-sumber berita Arab disebutkan Mam-
lakat Al-Maharaja (Kerajaan Raja di Raja), atau
dalam sumber Cina disebut Shih-li-fo-shih atau
San-fo-chi (Azra,2005:23).
Berdasarkan paparan tersebut dapat diketahui
bahwa orang-orang Arab sudah ada – meskipun
secara temporer untuk berdagang – sejak masa
kerajaan Sriwijaya. Bahkan jika mengacu pada
sumber-sumber tertulis, baik dari para penulis
Arab, kitab-kitab dari India dan sumber-sumber
berita Cina, kehadiran mereka di nusantara telah
terjadi sejak awal abad Masehi (Burger, t.t.: 1-
5). Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di
Palembang sampai saat ini menunjukkan adanya
kesinambungan kehadiran komunitas Arab yang
pada awalnya hanya untuk berdagang, namun
lambat laun kemudian menetap dan bahkan
mendirikan pemukiman yang permanen. Namun
demikian, kajian tentang komunitas Arab ini
masih sangat sedikit dilakukan, bahkan bisa
dikatakan langka, terutama yang berkaitan
dengan kesejarahan dan aspek-aspek ke-
hidupannya di masa lalu.
Penelitian tentang komunitas Arab di Palembang
pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Palem-
bang pada tahun 1996 di bawah pimpinan Mujib.
Hasil penelitian berupa perkampungan Arab
Palembang yang terletak di Seberang Ulu
berada di Kelurahan 12 Ulu, !3 Ulu, !4 Ulu dan
16 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II. Per-
mukiman-permukiman Arab tersebut ditandai
dengan adanya rumah-rumah ibadah berupa
masjid, kompleks pemakaman dan bangunan-
bangunan rumah kuna. Dalam penelitian ter-
sebut diketahui bahwa komunitas Arab yang
bermukim di seberang ulu ini berasal dari per-
tengahan abad ke-19 atau setelah runtuhnya
kesultanan Palembang Darussalam.
Penelitian berikutnya dilakukan pada tahun 2005
terutama mengenai permukiman masyarakat Pa-
lembang pasca masa Kerajaan Sriwijaya.
Retno Purwanti
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 181
Penelitian permukiman tersebut juga mencakup
pada situs-situs yang berkaitan dengan kegiatan
religi seperti masjid dan makam. Hasil eksplorasi
terhadap situs hunian pasca masa Sriwijaya
diketahui bahwa pada masa Kesultanan Palem-
bang Darussalam terdapat kelompok-kelompok
hunian baik dari penduduk lokal maupun pen-
duduk asing yang lengkap dengan segala
komponen-komponen permukimannya. Data se-
jarah menunjukkan bahwa penduduk asing pada
masa Kesultanan Palembang Darussalam ber-
asal dari Arab, India dan Cina (Mujib 2000;
Sevenhoeven 1971).
Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui
adanya sejumlah kompleks pemakaman dan
masjid-masjid kuna yang didirikan oleh ko-
munitas Arab di Palembang. Tinggalan-tinggalan
tersebut dapat ditemukan di daerah seberang
Ilir maupun seberang Ulu (Novita, 2006). Di
seberang Ilir dapat ditemukan makam-makam
komunitas Arab antara lain di situs Kambangkoci,
Kompleks Pemakaman Kawah Tengkurep, dan
Gubah Duku Sementara tempat peribadatan be-
rupa langgar ditemukan di daerah Kuto Batu. Di
seberang Ulu kompleks pemakaman terdapat di
Kelurahan 14 Ulu, dan 16 Ulu. Selain itu,
terdapat juga langgar-langgar kuna yaitu di
Lorong Al Munawar, dan Masjid Sungai Lumpur
di Kelurahan 12 Ulu. Bangunan pemakaman dan
bangunan peribadatan merupakan salah satu
komponen pemukiman, selain bangunan tempat
tinggal masyarakatnya.
Permasalahan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas
dapat diketahui bahwa komunitas Arab di
Palembang sudah mulai ada di Palembang
sejak abad ke-13-14, ditandai dengan dite-
mukannya pecahan keramik dari Timur
Tengah, dan bukti pemukiman baru ada sejak
pertengahan abad ke-19. Namun demikian
bagaimana sejarah kedatangan dan awal
permukimannya masih belum terungkap. Ber-
dasarkan pada latar belakang tersebut, masih
terlihat adanya sejumlah permasalahan ber-
kaitan dengan sejarah keberadaan komunitas
Arab sebelum masa itu, begitupun dengan
berbagai aspek yang berkaitan dengan per-
mukimannya. Untuk itu dalam penelitian ini
akan mengungkapkan beberapa permasalah-
an berkaitan dengan komunitas Arab di Pa-
lembang, antara lain: (1)Dimana letak per-
mukiman mereka yang paling awal dan bagai-
mana perkembangannya di masa-masa ke-
mudian?; (2) Bagaimana pola permukiman
komunitas Arab Palembang?
Pemilihan permukiman kelompok etnis Arab
sebagai obyek penelitian dikarena bahwa se-
cara kualititatif dan kuantitatif hanya permu-
kiman kelompok etnis Arab yang masih ter-
lihat keasliannya dibanding dengan permu-
kiman kelompok-kelompok etnis lainnya.
Tujuan Penelitian
Atas dasar latar belakang dan permasalahan
tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk: (1) Letak awal permukiman dan per-
kembangannya; (2) Pola permukiman komu-
nitas Arab di Palembang.
Metode
Dalam penelitian ini menerapkan metode pe-
nelitian arkeologi pada umumnya, yang terdiri
dari beberapa tahap, yaitu pengumpulan data,
pengolahan data dan penafsiran data. Pada
tahap pengumpulan data pelaksanaannya di-
lakukan dengan teknik survei. Survei dilakukan
dengan cara mengumpulkan data baik yang
berupa data lapangan yang merupakan data
utama maupun data kepustakaan yang merupa-
kan data pendukung.
Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan
cara mendeskripsikan semua obyek penelitian
beserta keadaan lingkungannya. Pada pengum-
pulan data kepustakaan, langkah kerja yang
dilakukan adalah mengupulkan buku-buku yang
dapat dijadikan referensi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian. Selain itu data kepus-
takaan juga berupa peta, foto, gambar dan
naskah kuno.
Selain teknik survei, pengumpulan data juga
dilakukan dengan teknik wawancara. Langkah
kerja ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 182 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
informasi tentang sejarah Kota Palembang yang
dapat diperoleh dari orang-orang yang diang-
gap berkompeten.
Setelah pengumpulan data selesai, kegiatan
selanjutnya adalah pengolahan data. Langkah
kerja yang dilakukan pada tahap ini adalah
menganalisis data berdasarkan dimensi bentuk,
ruang dan waktunya. Selain itu data yang ter-
kumpulkan akan dikritisi dengan sumber acuan
tertulis yang terkait dengan permasalahan
komunitas Arab di Palembang. Data arkeologis
yang mencerminkan sisa-sisa bendawi dari pro-
ses aktifitas di masa lampau akan diintegrasi-
kan dengan sumber-sumber tertulis yang rele-
van. Dengan demikian akan diperoleh his-
toriografi yang relatif lengkap mengenai
komunitas Arab di Palembang.
Sejarah Komunitas Arab Palembang
Sampai saat ini sumber sejarah kuna Palembang
dengan segala bentuk aktifitasnya, baik di
bidang sosial, budaya, politik dan ekonomi
diperoleh antara lain berkat ketekunan orang-
orang Arab dalam mencatat setiap perjalanan
mereka di suatu Bandar yang disinggahinya.
Salah satu sumber berita Arab yang menyebut-
kan tentang kemegahan dan kejayaan (Kekaya-
an) raja (Kerajaan ) Sriwijaya berasal dari abad
IX – X Masehi, yaitu Kitab Al- Masalik wal
Mamaliki yang ditulis oleh Ibn Hordadzbah dari
tahun 844-848 M; Berita Arab dari Saudagar
Sulayman tentang pelayarannya ke Timur
berjudul “Akhbaru’s – Shin wa’l Hind (Kabar –
kabar Cina dan India) ditulis tahun 851 Masehi.;
Berita Arab dari Ibn Al – Fakih pada tahun 902
Masehi; Berita Arab dari Abu Sayd tahun 916
Masehi dan Berita Arab dari Abu Hasan Ali Al-
Mas’udi seorang ahli geografi yang berjudul
“Maruju’z Zahab wa Ma-adinu’l Jauhar” pada
tahun 955 Masehi (Azra,2005:23-29). Kehadiran
para pedagang tersebut kemudian dimanfaatkan
oleh penguasa Sriwijaya sebagai utusan dalam
misi diplomatik ke luar negeri, terutama negara-
negara di kawasan Timur Tengah (Azra,
2005:304-305).
Kehadiran orang-orang Arab dai Timur Tengah
menurut Storm van’s Gravensande sejak sekitar
tahun 1690 (Rahim, 1998: 59-60). Namun,
pendapat ini tampaknya harus dikoreksi, karena
menurut Berg (1989: 67) orang-orang Arab
sudah mengadakan hubungan dagang dengan
Palembang jauh sebelum masa itu. Pendapat ini
sesuai dengan data arkeologi berupa makam
Tuan Muhammad Nuh Imam Al-Pasay. Makam-
nya terletak di sebelah kanan makam Ratu
Jamaluddin Amangkurat IV (Sideng Pasareyan)
yang memerintah antara tahun 1651 – 1652.
Makam inipun juga menggunakan nisan tipe
Aceh berbentuk gada. Tipe makam ini sama
dengan makam Hasanuddin Sontang di Kom-
pleks Pemakaman Gedingsuro.
Berdasarkan peta yang dibuat oleh Belanda
pada tahun 1659 dapat diketahui bahwa kom-
pleks permukiman masyarakat Arab waktu itu
terdapat di depan kraton Kuto Gawang, atau di
seberang Ulu. Peta ini tentunya dibuat sebelum
kraton Kuto Gawang dibumihanguskan oleh
Belanda, karena detail tata letak (tata kota)
masih terlihat, bahkan dilengkapi dengan daftar
“legenda”. Kraton Kuto Gawang saat ini sudah
tidak menampakkan sisa-sisa kemegahannya,
karena sudah hancur. Di atas reruntuhan kraton
inilah PT. Pusri berdiri. Oleh karena itu lokasi
permukiman masyarakat Arab pada waktu itu
terletak di seberang Pusri sekarang, yaitu
daerah Patra Jaya, Kompleks Pertamina Plaju.
Gambar 1. Kompleks Pemakaman Gedingsuro
(Dokumentasi Balar Sumsel)
Dengan hancurnya kraton Kuto Gawang, maka
pengganti Sideng Rajek membangun keraton
baru, yaitu Kraton Tengkuruk atau Kuto Batu, di
daerah Beringinjanggut sekarang. Mengikuti
jejak para pendahulunya, Ki Mas Endi yang
kemudian bergelar Sultan Abdurrahman Khali-
fatul Mukminin Sayyidul Imam, juga mengguna-
kan orang-orang Arab untuk penasehat spiritual
Retno Purwanti
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 183
dan pemerintahannya. Hal ini terbukti dari
adanya makam Sayyid Mustafa Alaidrus, yang
letaknya di sebelah kanan makam sultan. Sultan
Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul
Imam merupakan raja Palembang pertama yang
bergelar sultan. Sejak saat itulah institusi
pemerintahan tidak lagi berbentuk kerajaan,
melainkan kesultanan. Masa kekuasaan sultan
ini adalah dari tahun 1662 -- 1706, sehingga
dapat diperkirakan bahwa selama lebih dari tiga
puluh tahun ulama ini mendampingi sultan.
Selain Sayyid Mustafa Alaidrus, tokoh-tokoh
Arab lainnya yang mendampingi sultan sebagai
penasehar adalah Sayyid Ali bin Aqil Massawa,
yang makamnya terletak di 32 Ilir dan
merupakan pendamping Sultan Muhammad
Mansyur yang memerintah dari tahun 1706 –
1714. Pengganti Sultan Muhammad Mansyur
adalah Sultan Agung Sri Teruno yang
makamnya di 1 Ilir dan berkuasa sejak tahun
1714 – 1724. kompleks pemakaman ini
kondisinya sudah rusak, sehingga tokoh-tokoh
yang dimakamkan tidak bisa teridentifikasi lagi.
Meskipun demikian, dari cerita sejarah
disebutkan bahwa orang yang mendampingi
beliau sebagai ulama kesultanan adalah orang
arab, yang belum terungkap jati dirinya.
Setelah Sultan Agung Sri Teruno yang menjadi
raja di Kesultanan Palembang Darussalam
adalah Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikramo, yang lebih dikenal dengan sebutan
Sultan Mahmud Badaruddin I. Sultan ini
memerintah pada tahun 1724 – 1758. Pada
masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin
Jayo Wikramo inilah mulai diadakan
pembangunan kompleks pemakaman “Kawah
Tengkurep”, yang pada masa itu lebih dikenal
dengan kompleks pemakaman Lemabang.
Seperti para sultan pendahulunya, sultan inipun
juga menggunakan jasa orang Arab untuk
mendampinginya sebagai penasehat di bidang
keagamaan dan pemerintahan, yaitu Imam
Sayyid Idrus Abdullah Alaidrus. Tokoh ini
dimakamkan di sebelah kanan makam sultan di
Gubah Tengkurep, kompleks pemakaman
Kawah Tengkurep. Di dalam gubah ini juga
dimakamkan permaisuri Sultan Mahmud
Badaruddin I (Rahim, 1998:46-47; 287).
Di dalam gubah lain -- masih di dalam kompleks
yang sama – yang terletak di sebelah timurnya
terdapat pemakaman Sultan Ahmad Namuddin
Adi Kesumo yang memerintah tahun 1758 –
1776. Di sebelah kanan makam seultan ini
terdapat makam Imam Sayyid Yusuf Al-Angkawy.
Sementara makam Imam Datuk Murni Al-
Haddad (Al – Habib Muhammad bin Ali Al –
Haddad), makamnya di sebelah kanan makam
Sultan Muhammad Bahauddin I yang
memerintah pada tahun 1776 – 1803.
Selain makam-makam tersebut masih terdapat
makam-makam ulama lainnya yang merupakan
orang-orang Arab, seperti makam para ulama di
Talang Kerangga dan makam-makam keluarga
sultan lainnya, baik yang dimakamkan di
kompleks pemakaman Kawah Tengkurep
maupun kompleks pemakaman lainnya (Mujib,
2002: 96).
Gambar 2. Rumah tipe gabungan panggung dan
Indies di Perkampungan Arab 12 Ulu (Dokumentasi
Arismunandar).
Yang menarik dari makam para ulama sultan itu
adalah bentuk nisannya menggunakan nisan
tipe Aceh berbentuk gada. Hal ini berbeda
dengan nisan-nisan makam yang digunakan
pada makam para sultan dan keluarganya yang
menggunakan nisan tipe Demak-Tralaya. Data
ini membuktikan bahwa pada ulama sultan ini,
meskipun merupakan orang-orang Arab, namun
mereka tidak langsung datang dari Arab atau
Timur Tengah, melainkan datang dari Aceh. Hal
ini tentunya bukan merupakan sesuatu hal yang
aneh karena pada kurun waktu antara abad ke-
14 sampai akhir abad ke-18 Aceh merupakan
pusat syiar agama Islam yang terkemuka di
nusantara. Pada saat kesultanan Aceh
mengalami kemunduran, tampaknya para
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 184 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
ulama-pedagang dari Arab yang tadinya
bermukim ke Aceh kemudian mulai melirik
Palembang yang mulai menampakkan per-
kembangannya sebagai pusat perekonomian
baru.
Hal ini sesuai dengan uraian van den Berg
(1989: 76-77) yang menyebutkan bahwa di
Pulau Sumatera hanya ada dua koloni Arab yang
besar, yaitu koloni di Aceh dan di Palembang.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa komunitas
Arab di Palembang yang paling menarik, baik
dilihat dari perspektif sosial maupun perda-
gangan . Dalam bukunya yang berjudul Hadra-
maut dan Koloni Arab di Nusantara disebutkan
bahwa pada masa pemerintahan Sultan Mah-
mud Badr ad-Din komunitas Arab diberi peluang
untuk tinggal dan menetap di ibukota negerinya
(Berg, 1989: 76-77; 2010: 108).
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bah-
wa orang-orang Arab sudah mulai ada di
Palembang sejak jaman kerajaan Sriwijaya,
yang awalnya hanya untuk berdagang, sehingga
mereka tidak tinggal lama di daerah ini. Namun
demikian, seiring perjalanan waktu, orang-orang
Arab dari Timur Tengah ini mulai menetap dan
mendirikan permukiman tersendiri di Palembang.
Pada masa kerajaan Palembang yang berpusat
di Kraton Kuto Gawang sejak tahun 1550-an -
1659, lokasi permukiman Arab terletak di luar
pagar tembok kraton atau di seberangnya. Bukti
tersebut dapat dilihat dari peta yang dibuat oleh
Belanda pada abad ke-17 Masehi Lokasi ini
terletak di Patrajaya atau Kompleks Pemakaman
Bagus Sekuning (sekarang). Permukiman Arab
yang paling awal ini didominasi keluarga para
ulama atau penasehat raja, seperti terungkap
dari data makam para ulama sultan di berbagai
kompleks pemakaman yang ada di Palembang.
Oleh karena itu pada saat Keraton Kuto Gawang
dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1659
dan penguasa kraton, yaitu Sideng Rajek
melarikan diri ke Inderalaya, para pemukim
Arab ini sebagian besar juga ikut menyertainya.
Hal ini membuktikan bahwa para pemukim Arab
sejak awal kedatangannya di Palembang tidak
pernah bermukim di atas rakit, seperti para
pendatang asing lainnya, yaitu orang-orang
China dan India (Tambi). Kebijakan ini terus
berlanjut pada masa kesultanan Palembang
Darussalam tahun 1662 dengan kratonnya di
Beringinjanggut dan Benteng Kuto Lamo,
penduduk pendatang dari Timur Asing (Cina,
India atau Tambi) tidak diperkenankan tinggal di
daratan dengan alasan keamanan. Oleh karena
itu kemudian mereka bermukim di atas rakit.
Kebijakan seperti itu tidak berlaku pada orang-
orang Arab yang bermukim di Palembang,
karena pada tahun 1700-an karena jasa mereka
terhadap perdagangan yang menjadikan
perekonomian Palembang maju pesat dan
kepakarannya dalam bidang keagamaan mereka
dijadikan penasehat kesultanan, sehingga diberi
hadiah tanah di daerah seberang Ilir. tanah
yang diberikan oleh sultan meliputi areal dari
Kuto yang meliputi kawasan di antara sungai
Jeruju, sungai Bayas sampai daerah Kenten Laut.
Daerah tersebut saat ini dikenal dengan “Kuto
Batu” , yang juga dikenal dengan istilah
“Kampung Sungai Bayas” di dekat Pasar Kuto
sekarang. Menurut informasi Quresh salah satu
keturunan kedelapan Arab di Palembang,
disebutkan bahwa ada warga Arab, yaitu Ahmad
bin Syekh yang diambil menantu oleh cucu
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikaramo.
Cucu Sultan Mahmud Badaruddin Jayo
Wikaramo bernama Masayu Bariyah (Purwanti,
2005; Mujib, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan Balai Arkeologi Palembang pada
tanggal 27 Maret sampai dengan 9 April 2006
memperlihatkan bahwa sampai saat ini di Kuto
Batu masih dijumpai komunitas Arab yang
menempati rumah-rumah kuna berumur ratusan
tahun dengan bentuk arsitektur tradisional. Hasil
penelitian tersebut berhasil mendata 36 buah
rumah berasal dari sekitar abad ke-18 – 20
(Novita, 2006: 9-11). Perkampungan Kuto Batu
atau Sungai Bayas ini dikelilingi oleh Sungai
Musi di sebelah selatan, Sungai Jeruju di barat,
Sungai Bayas di sebelah timur dan sungai
Sengguro di sebelah Utara. Awalnya untuk
memasuki perkampungan Arab ini hanya bisa
melalui satu pintu masuk, yang oleh masyarakat
setempat diingat dengan bentuk “gapura”.
Gapura ini terbakar pada tahun 1980-an dan
tidak pernah dibangun lagi. Lokasi gapura ini
berada di ujung Lorong Asia. Rumah tertua di
perkampungan Arab ini disebut dengan istilah
“Rumah Batu” dengan bentuk arsitektur
Retno Purwanti
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 185
“Rumah Limas”. Selain tipe rumah Limas,
ditemukan juga tipe rumah panggung, tipe Indis
dan tipe gabungan antara Indis dan Panggung.
Gambar 3. Situasi Situs Kutobatu, Kelurahan
Kutobatu, Kecamatan Ilir Timur I (Sumber: Novita,
2006: 9)
Rumah-rumah tersebut berumur antara 100 –
300 tahun. Di samping itu, antara satu rumah
dengan rumah yang lain dipisahkan oleh pagar
halaman. Rumah-rumah tersebut dibuat dari
bahan kayu, batu dan gabungan kedunya. Ko-
munitas Arab di sini berasal dari beberapa suku,
yaitu Al-Kaff, Shahab, As-Segaff, Al Musyawah,
Al-Haddad dan Al-Habsyi. Mayoritas masyarakat
Arab yang bermukim di sini adalah kaum
pedagang, dan sedikit yang berprofesi sebagai
ulama.
Selain perkampungan Arab Kuto Batu,
Kecamatan Ilir Timur I, masih terdapat sejumlah
perkampungan Arab lain di daerah Seberang Ulu,
yaitu di Kelurahan 9/10 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14
Ulu dan 16 Ulu yang secara administratif masuk
wilayah Kecamatan Seberang Ulu II.
Perkampungan Arab di Kelurahan 9/10 Ulu
terdapat lima 5 buah rumah kuna yang didirikan
mengelilingi lapangan. Permukiman ini dibatasi
oleh Sungai Aur di sebelah Barat dan Lorong
Masjid Sungai Lumpur di sebelah Timur.
Sementara di bagian depannya merupakan
Sungai Musi. Selain kelima rumah tersebut
masih ada satu buah rumah kuna yang tidak
terdata, karena saat penelitian rumah sedang
tidak ada penghuninya. Rumah-rumah tersebut
berumur di atas 100 tahun dan berarsitektur
rumah Limas dan Panggung.
Permukiman Arab lainnya dijumpai di Kelurahan
11 Ulu. Hanya saja di daerah ini tidak berhasil
mendata rumah-rumah lama yang masih dihuni
para pemukim keturunan Arab Palembang.
Meskipun demikian, di sini masih berdiri masjid
yang tertua di perkampungan tersebut adalah
Masjid Sungai Lumpur. Masjid tersebut dibangun
oleh Sayid Abdullah bin Salim Al-Kaf pada tahun
1289 Hijriah (1873). Angka tahun 1289 Hijrah
tersebut dituliskan pada mihrab yang ditulis
dengan menggunakan huruf Arab timbul.
Permukiman Arab di Keurahan 12 Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu II terletak di tepi
Lorong BBC, di sebelah selatan Sungai Musi, di
sebelah barat Sungai Ketemengungan dan di
sebelah timur Sungai Lumpur. Suku-suku yang
berdiam di perkampungan tersebut adalah Al-
Habsyi, Al-Munawar, Al-Hadad, As- Seggaf dan
Al-Kaf. Di sini didata lima buah rumah dengan
arsitektur rumah “limas”, Rumah Panggung dan
rumah tipe Indies. Rumah-rumah tersebut
berumur di atas 100 tahun. Adapun rumah
tertua adalah rumah milik Alwi bin Ahmad As-
Segaff yang telah berumur sekitar 250 tahun.
Selain kelima rumah tersebut ditemukan rumah-
rumah lain, namun tidak bisa diteliti karena
pemiliknya sedang tidak ada di tempat.
Sebagian besar pekerjaannya adalah berdagang
dan bertempat tinggal di rumah-rumah
panggung yang dibuat dari kayu.
Perkampungan Arab di Kelurahan 13 Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu II terletak di tepi
sebelah selatan Sungai Musi dan sebelah timur
sungai Ketemenggungan, serta di sebelah barat
Sungai Kangkang. Suku-suku yang mendiaminya
mayoritas adalah suku Al-Munawwar, yang
menjadi nama lorong masuk utama perkam-
pungan ini. Selain itu masih ada suku Al-Habsyi,
Al-Hadad, dan Al-Kaf Rumah-rumah tinggal yang
ada di kanan kiri lorong Al-Munawwar meru-
pakan bangunan rumah dengan gaya arsitektur
yang khas pada jamannya, yaitu rumah Limas,
rumah Panggung, Indies dan gabungan antara
Rumah Panggung dan Indies. Jumlah rumah
yang terdata di sini yaitu enam belas rumah dan
berusia antara 100 – 300 tahun. Salah satu
rumah di sini merupakan tempat tinggal kapiten
Arab terakhir bernama Ahmad bin Al-Munawwar
alias Ayib Kecik yang kemungkinan diangkat
menjadi kapiten pada tahun 1855. Kapiten ini
bertugas menjadi perantara antara orang-orang
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 186 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
keturunan Arab dengan pihak pemerintah Hindia
Belanda.
Selain di Lorong Al-Munawwar permukiman etnis
Arab Palembang di Kelurahan 13 Ulu juga
terdapat di Lorong Al-Haddad, yaitu di sebelah
barat Sungai Kangkang. Di sini ditemukan tiga
buah rumah dengan arsitektur “Rumah Limas”
dan “Rumah Panggung”. Meskipun nama lorong
ini Al-Haddad, namun yang bermukim di ketiga
rumah tersebut berasal dari fam Madihi.
Berdasarkan penuturan salah satu pemilik
rumah, disebutkan bahwa rumah tersebut
memang hasil pembelian dari keluarga berfam
Al-Haddad. Awalnya di sini dulu merupakan
lokasi permukiman Arab Palembang dari fam Al-
Haddad, namun sekarang mayoritas sudah
berpindah ke Kelurahan 14 Ulu.
Perkampungan Arab di Kelurahan 14 Ulu
terdapat tidak kurang dari sepuluh rumah dari
fam Al-Kaf dan lima rumah dari fam Al-Habsyi.
Kedua fam tersebut dipisahkan oleh lorong yang
berbeda. Permukiman kelompok Al Habsyi
menempati lahan di Lorong Al-Habsyi,
sementara kelompok Al Kaff terletak di Lorong
Tuanku Kapar. Di perkampungan inilah
diperoleh sejumlah informasi penting berkaitan
dengan asal usul suku Al-Habsyi yang berdiam
di Kelurahan 12, 13 dan 14 Ulu. Menurut
penuturan Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin
Idrus bin Hadi Al-Habsyi (72 tahun), yang
dimaksud suku Al-Habsyi bukan suku asli dari
negeri Habysi (Ethiopia), melainkan orang-orang
Arab yang hijrah dari Hadramaut ke Habsyi, dan
kemudian menetap di negeri tersebut. Informan
tersebut adalah seorang pedagang dan pengajar
agama serta keturunan keempat dari Abdullah
bin Ahmad Al-Habsyi, seorang pemukim Arab
pertama di perkampungan tersebut.
Selain kompleks perkampungan di Kelurahan 14
Ulu ini juga terdapat kompleks pemakaman Arab
dengan jumlah makam tidak kurang dari 200
buah, terdiri dari tiga kelompok suku: al-Habsyiy,
Al-Munawwar dan Al-Kaf. Dari tulisan yang
tertera pada nisan makam dapat diketahui
bahwa makam tertua berasal dari tahun 1277 H
(1856 M), yaitu makam Sayyidat Al-Sarifat binti
Al-Sayyid Al-Sarif Umar bin Muhammad Al-
Habsyiy. Nisan-nisan makam yang digunakan
mempunyai tipe nisan Aceh dan Demak-Troloyo.
Permukiman etnis Arab Palembang juga
ditemukan di Kelurahan 16 Ulu dan berasal dari
kelompok As-Segaff. Pendiri permukiman di sini
adalah Alwi As-segaff, yang merupakan
menantu dari Abdurrahman Al-Munawwar. Masa
pembangunan lokasi permukiman ini sejaman
dengan di Lorong Al-Munawwar. Sama halnya
dengan kelompok permukiman lainnya, pada
awal pendiriannya permukiman di 14 Ulu ini
juga dilengkapi dengan mushalla. Hanya saja,
lokasi mushalla awal tidak terletak dit epi sungai
seperti permukiman-permukiman lainnya, me-
lainkan sejajar dengan rumah-rumah tinggalnya
yang agak jauh dari tepian Sungai Musi.
Permukiman di sini berpola linier, searah dengan
aliran sungai Musi. Rumah tinggal yang ada di
sini berjumlah 30 rumah. Hanya saja yang
berusia sekitar 100 tahun hanya tiga buah
rumah dengan bentuk arsitektur rumah
“Panggung”.
Di samping lokasi rumah tinggal, di 16 Ulu ini
juga ditemukan kompleks pemakaman etnis
Arab, antara lain Al-Haddad, Al-Kaff, Al-Habsyi
dan As-Segaff. Kompleks pemakaman ini sudah
ada jauh sebelum rumah-rumah tinggal didirikan.
Pada abad ke-19 Masehi, van den Berg juga
telah mengadakan penelitian tentang komunitas
Arab di Palembang. Salah satu urainanya yang
menarik ialah tentang permukiman mereka di
sini. Disebutkan oleh van den Berg bahwa
rumah-rumah Arab kaya di Palembang pada
umumnya tampak nyaman dan jauh lebih bersih
daripada yang terlihat di tempat lain. Sebagaian
rumah tersebut adalah rumah panggung yang
terbuat dari papan, namun lebih besar dan
peralatan rumah tangganya lebih baik daripada
rumah-rumah pribumi. Di rumah orang-orang
Arab yang terkemuka tersimpan naskah dan
buku, juga berbagai senjata berharga, yang
menandakan tingkat kemakmuran dan strata
soialnya. Rumah orang Arab terkemuka itu
dibangun di sepanjang Sungai Musi. Wilayah
Arab tidak ada, namun di sekeliling rumah orang
tua terdapat rumah-rumah anak dan
menantunya, apabila mereka tidak mempunyai
rumah sendiri. Di depan rumah lebih menjorok
Retno Purwanti
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 187
ke sungai, biasanya terlihat bangunan kecil yang
disebut langgar untuk keluarga melakukan
kegiatan keagamaan (Ibid.). Paparan tersebut
ternyata terbukti pada penelitian dan hasil
wawancara yang dikumpulkan Tim Balai Arkeo-
logi Palembang. Menurut van den Berg orang-
orang Arab Palembang, selain berprofesi se-
bagai pedagang atau ulama, mereka juga
mempunyai usaha percetakan, bahkan ada yang
berprofesi sebagai pengacara yang pada tahun
1855 berjumlah tidak kurang dari 20 orang.
Ketika sultan diturunkan dari tahta pada tahun
1821 oleh pemerintahan Belanda, yang telah
menganeksasi Palembang dan berada langsung
di bawah pemerintahannya. Pada saat itu jum-
lah orang arab di Palembang sudah men-capai
500 jiwa. Sejak saat itu jumlah pemukim Arab di
Palembang mengalami peningkatan selama dua
puluh lima tahun kemudian. Mulai saat inilah
warga Arab yang menetap di Pa-lembang relatif
stabil dalam segi kuantitas. Hal ini disebabkan
karena makin berkurangnya ko-munitas Arab
Hadramaut yang memilih Palem-bang sebagai
lokasi permukiman dan mencari mata penca-
hariannya. Perkembangan komunitas Arab di
Palembang perkembangannya sejajar dengan
perkembangan pelayaran atau perniagaan
mereka, dan sejak usaha tersebut mengalami
kemunduran, perekonomiannyapun menjadi
hancur. Meskipun demikian modal yang telah
terkumpul pada masa-masa sebelumnya masih
ada. Bahkan pada waktu yang sama di-sebutkan
bahwa jumlah kapitalis Arab di Palem-bang tidak
tertandingi oleh komunitas-komuni-tas Arab lain
yang bermukim di nusantara.
Di Palembang sendiri tidak pernah ada toko atau
penjaja dari komunitas arab, karena sektor
perdagangan ini dikuasai oleh orang-orang Cina,
Benggali, atau pribumi. Orang Arab sendiri
memfokuskan diri pada sektor perdagangan
grosir, atau yang miskin bekerja pada orang
arab yang kaya.
Bentuk Arsitektur Rumah Komunitas Arab
Palembang
Secara umum, situs-situs permukiman kelompok
etnis Arab terletak di wilayah Palembang Timur
dan Seberang Ulu. Secara administratif, situs-
situs tersebut termasuk dalam Kelurahan Kuto
Batu, Kecamatan Ilir Timur I dan Kelurahan 9-
10 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, 16 Ulu,
Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang.
Hasil pengumpulan data arkeologi di lapangan
diketahui bahwa terdapat 4 tipe bangunan
hunian, yaitu:
1. Tipe limas 2. Tipe Panggung 3. Tipe Indis
4. Tipe gabungan panggung dan Indis
Yang menarik dari rumah-rumah kuna keempat
tipe tersebut mempunyai sebutan, karena
masing-masing bangunan rumah mempunyai
nama sebagai identitas dan pembeda antara
satu rumah dengan rumah lainnya. Adapun
nama-nama bangunan rumah tersebut antara
lain: “Rumah Kembar Laut”, “Rumah Tinggi”,
“Rumah Darat”, “Rumah Batu”, “Rumah Kembar
Darat” dan “Rumah Tengah”. Penamaan
rumah-rumah tersebut didasarkan pada
keletakaannya terhadap sungai Musi dan bahan
yang digunakan untuk pembangunannya. Pada-
hal jika dilihat dari bentuk arsitekturnya semua-
nya mengarah keempat tipe di atas. Lebih dari
itu, istilah-sitilah itu digunakan pada rumah-
rumah lama di Lorong Al-Munawwar, Kelurahan
13 Ulu. Perkecualian pada istilah “Rumah Batu”,
karena di Kuto Batu juga ada “Rumah Batu”,
yang merupakan rumah paling tua di daerah
tersebut.
“Rumah Kembar Laut” terletak di tepi Sungai
Musi atau menghadap ke arah sungai Musi
(Utara) (Lihat gambar 4). Rumah ini merupakan
gabungan dua buah rumah Limas yang dipi-
sahkan oleh ruangan terbuka, namun dihu-
bungkan dengan semacam “jembatan” dari kayu.
Rumah Tinggi merupakan rumah yang didirikan
pada tahun 1875 Masehi oleh Al Habib
Abdurrahman. Rumah ini berarsitektur rumah
panggung, namun ketinggian tiangnya lebih
tinggi dari rumah-rumah limas lainnya yang ada
di sekitarnya pada saat itu. Oleh karena rumah
ini secara turun temurun disebut dengan
“Rumah Tinggi”. Konstruksi bangunannya meng-
gunakan konstruksi kayu yaitu bangunan yang
konstruksi utamanya adalah rangka yang
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 188 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
menyangga bagian atap yang bahannya dari
kayu (Parmono Atmadi 1978/1979: 4).
Gambar 4. Rumah “Kembar Laut” Kampung Al
Munawar 13 Ulu (Sumber: Balar Sumsel)
“Rumah Darat” disebut demikian karena terletak
jauh dari tepian sungai Musi dan terletak tepat
di depan “Rumah Tinggi”. Bentuk arsitektur
rumah ini adalah limas dan mempunyai garang
pada awal pendiriannya. Namun seiring dengan
perkembangan jumlah penghuni, maka garang
tersebut kemudian dihilangkan dan bagian ini
dipisah, sehingga membentuk rumah lain yang
mandiri. Pemisahan ini terjadi sekitar awal abad
ke-20. yang membedakan “Rumah Darat”
dengan “Rumah Tinggi” adalah bentuk dan
keletakan tangga naiknya. Rumah darat tang-
ganya terletak di kanan dan kiri rumah dan
selrurhnya terbuat dari kayu, jadi merupakan
bentuk asli rumah limas Palembang. Sementara
tangga naik “Rumah Darat” diletakkan di bagian
tengah dan terbuat dari batu.
Langgam arsitektur rumah Limas secara filosofis
menunjukkan adanya pengaruh strata masya-
rakat yang tercermin pada ketinggian lantai
yang berbeda. Lantai tertinggi merupakan ruang
‘Gegajah’ yang diperuntukkan bagi pemilik ru-
mah; Sedangkan lantai berikutnya yang lebih
rendah, ke arah depan diperuntukkan bagi ke-
lompok masyarakt tertentu sesuai dengan
statusnya. Karena di kalangan masyarakat Pa-
lembang dikenal sebutan atau gelar: Raden,
Kemas, Masagus, Masayu, Kiagus dan Nyayu,
maka urutan status tersebut juga turut menen-
tukan kedudukannya dalam tingkatan lantai
(kekijing/bengkilas) dalam rumah Limas. Di luar
strata tersebut atau rakyat biasa menempati
pagar teggalong. Seiring dengan perkembangan
jaman dan kepemilikan rumah yang tidak lagi
dimonopoli elite kesultanan saja, maka pem-
bagian lantai rumah tersebut kemudian dise-
suaikan dengan usia, sehingga orang yang pa-
ling tua atau dituakan diutamakan untuk me-
nempati bengkilas paling atas. Di kalangan
komunitas Arab sendiri pembagian lantai ter-
sebut disesuaikan dengan tingkatan dalam
bidang keagamaan, misalnya untuk para ulama
ditempatkan di bagian paling atas, sementara
yang lainnya menyesuaikan.
Secara arsitektural, ketinggian lantai yang ber-
beda disertai dengan plafond (gulmat) yang
menyesuaikan dengan kemiringan atap, kecuali
bagian lantai paling tinggi yang berupa plafon
(kajang angkap) datar, tetap memberikan ke-
nyamanan dalam skala manusia. Penyesuaian
tersebut juga bukan merupakan masalah bagi
rumah Limas yang merupakan rumah panggung.
Sementara “Rumah Batu” mendapat julukan
seperti ini karena bangunannya menggunakan
kontruksi batu dan tidak berbentuk panggung.
Rumah ini kemungkinan merupakan rumah
pertama di Palembang yang didirikan dengan
menggunakan pondasi batu dan tidak berbentuk
panggung. Lebih dari itu rumah ini mencirikan
arsitektur Indies yang kental. Penggunaan lantai
marmer, ubin-ubin bermotif flora, ukuran jen-
dela dan pintu yang berukuran besar dan ber-
bentuk massif merupakan cirri utamanya. Be-
gitupun dengan bentuk atap rumahnya.
Konstruksi bangunannya merupakan konstruksi
susunan batu ialah bangunan yang mempunyai
konstruksi utama dinding penahan beban
(bearing wall) yang menahan bagian atap atau
kepalanya, yang disusun di atas suatu pondasi
dengan bahan yang sama yakni batu alam
(ibid.).
Berbeda dengan kedua rumah tersebut, “Rumah
Tengah” sebenarnya merupakan rumah tingkat
Arab, karena rumah ini disusun bertingkat dan
bentuk arsitektur seperti ini hanya dijumpai
pada rumah-rumah tingkat milik orang-orang
Arab di Palembang. Bentuk arsitektur rumah ini
merupakan perpaduan antara rumah Limas dan
“Indies” dan dibangun dengan menggunakan
konstruksi campuran antara kayu dan batu.
Rumah ini disebut “Rumah Tengah”, karena
keletakannya yang ada di tengah, diapit oleh
Retno Purwanti
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 189
“Rumah Kembar Tengah”, “Rumah Tinggi”,
“Rumah Darat” dan “Rumah Batu”. Yang
menarik dari rumah ini adalah hiasan pada
bagian atas kusen jendela, yaitu hiasan krawang
dengan morif bunga, namun di bagian
tengahnya menggunakan angka Arab ”۱۳۰۶”.
Angka tahun di atas jendela rumah tinggi ini
adalah 1306 H, yang jika dikonfersikan ke dalam
tahun Masehi adalah 1889. Angka tahun
tersebut diduga merupakan tahun pen-
dirian ”Rumah Tengah”.
“Rumah Kembar Batu” terdiri dari dua buah
rumah yang berdiri saling berhadapan dan di-
pisahkan oleh sebuah halaman di depannya.
Salah satu rumah ini terletak di sebelah kanan
“Rumah Batu” (lihat gambar 6), sementara
rumah lainnya terletak di sebelah kiri “Rumah
Tengah”. “Rumah Kembar Tengah” tersebut
merupakan rumah tipe Tingkat Arab dengan
menggunakan konstruksi batu. Gaya
arsitekturnya adalah “Indies”.
Berdasarkan kronologi pendiriannya, tipe
bangunan yang tertua adalah tipe Limas
sedangkan tipe-tipe bangunan yang lain
memiliki kronologi pendirian yang relatif sama.
Dari hasil wawancara disimpulkan bahwa tipe
bangunan limas yang tertua berasal dari per-
tengahan abad 18 M. Pembagian ruang yang
bertingkat-tingkat pada bangunan tipe limas
oleh kelompok etnis Arab diterapkan berda-
sarkan tingkat pengetahuan agama, sehingga
dapat dilihat pada acara-acara keagamaan kaum
ulama menempati ruangan yang tertinggi. Hasil
wawancara tersebut memang kurang didukung
oleh data tertulis. Namun dengan ditemukannya
angka tahun pada ”Rumah Tengah” yang
berangka tahun 1206 Hijriah (1792 Masehi),
maka perkiraan tersebut masih mendekati ke-
benaran, karena hanya ada selisih sekitar 40-an
tahun.
Dilihat dari penerapan ragam hias pada bangun-
an tipe limas, diketahui bangunan tipe ini juga
tetap didirikan pada masa-masa selanjutnya
dengan kata lain meskipun pada masa-masa
selanjutnya tengah berkembang tipe bangunan
baru tetapi tipe bangunan limas masih tetap
dipertahankan. Tipe bangunan limas yang
didirikan pada masa yang lebih muda dapat
terlihat pada penerapan ragam hiasnya, yaitu
yang mendapat pengaruh ragam hias Eropa.
Berdasarkan teknologi pembuatan juga dapat
dilihat bahwa ragam hias pada bangunan tipe
limas yang lebih muda berupa ukiran tera-
wangan sedangkan pada bangunan tipe limas
yang lebih muda bukan berupa ukiran tera-
wangan dan diukirkan pada satu papan kayu
utuh.
Pada semua tipe bangunan mempunyai kesa-
maan pola ruang, yaitu adanya ruangan terbuka
yang memisahkan bangunan induk dan dapur,
meskipun demikian tidak semua bangunan tipe
Indis dan gabungan memiliki ruang terbuka.
Keletakan ruang terbuka ini bervariasi ada yang
terletak di bagian tengah dan dibagian sisi kiri
atau kanan bangunan induk. Secara umum
denah bangunan hunian memiliki 4 variasi, yaitu
huruf ‘T’ terbalik, ‘J’, ‘L’, ‘I’, ‘U’, ‘U’ terbalik dan
persegi.
Pola Permukiman
Berdasarkan hasil paparan di atas dapat
diketahui bahwa tata letak hunian kelompok
etnis Arab ini memiliki pola segi empat. Terlihat
bahwa bangunan-bangunan hunian tersebut
ditempatkan mengelilingi suatu area (ruang)
terbuka (lapangan berbentuk segiempat),
dimana bangunan yang tertua menghadap ke
arah sungai. Rumah-rumah yang mengelilingi
ruang terbuka tersebut berjumlah tujuh
bangunan, seperti yang terlihat di Lorong Al-
Munawar dan 9/10 Ulu. Pola permukiman
seperti ini sampai pertengahan tahun 1980-an
masih dijumpai di Kuto Batu. Namun, karena
pertambahan jumah penduduk yang semakin
besar dan membutuhkan lahan untuk pendirian
rumah baru, maka pola segi empat tidak tersisa
lagi. Hal ini, karena ruang terbuka sudah
dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan
rumah baru. Batas permukiman tersebut adalah
sungai.
Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan dituliskan temuan pe-
nelitian secara ringkas, tanpa tambahan inter-
pretasi baru lagi. Pada bagian ini juga dapat
Pola Permukiman Komunitas Arab di Palembang
G 190 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
dituliskan kebaruan penelitian, kelebihan dan
kekurangan dari penelitian, serta rekomendasi
untuk penelitian selanjutnya.
Daftar Pustaka
Ilmiah, T (2007). Ideologi dalam Pengembangan Pe-
ngetahuan. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 1,
01-12.
Abdullah Syukri bin Idrus shahah.(2005). Ziarah Kubra
& Sekilas Mengenai Ulama dan Auliya’ Palembang
Darussalam. Palembang: Panitia Pelaksana Ziarah
Kubra.
Al Qurtuby, Sumanto. (2003). Arus Cina-Islam-Jawa
Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam
penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan
XVI. Yogyakarta: INSPEAL Press.
Azra, Azyumardi. (2002). Islam Nusantara: Jaringan
Global dan Lokal. Bandung: Mizan.
Berg, L.W.C. van den. (1989). Hadramaut dan Koloni
Arab di Nusantara. Seri INIS Jilid III. Terjemahan
Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS.
Burger, D.H. (1962). Sejarah Ekonomis Sosiologis
Indonesia. Terjemahan Prajudi. Jakarta:
Pradjnaparamita.
Cortesao, Armando. (1944). The Summa Oriental of
Tome Pires. An Account of the east, from the Red
Sea to Japan, Written in Malacca and India 1512-
1515. London: Hakluyt Society.
Faille, P. De Roo De. (1971). Dari Zaman Kesultanan
Palembang. Jakarta: Bhratara.
Graff, H.J. de dan Th. G. Pigeaud. (2001). Kerajaan-
kerajaan Islam Pertama di Jawa tinjauan sejarah
politik abad XV dan XVI. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Groenevelt, W.P. (1960). Historical Notes on Indonesia
Malay Compiled from Chinese Sources. Jakarta:
Bhratara.
Hirth, F. & W.W. Rockhill. (1967). Chau Ju-kua: His
Work on the Chinese and Arab trade in the twelft
and thireenth centuries, entitled Chu-fan-chi. Taipei.
Jumhari dan Iim Imaduddin. (2005). Arab Palembang
dari Masa Kesultanan sampai Kolonial Berlanda
Suatu Kajian Sejarah Sosial. Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Padang Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata (belum terbit).
Marsden, William. (1975). The History of Sumatra.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
McRoberts, R.W. (1986). “Notes events in Palembang
1389 – 1511 the everlasting colony”, dalam JMBRAS
Vol. LIX. Part I, th. 1986. Hlm. 73-84.
Meilink-Roelofsz, M.A.P. (1962). Asian Trade and
European Influence in the Indonesian Archipelago
between 1500 and about 1630. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Mujib. (1998). “Yang Tersisa dari Situs Makam Koci:
Menarik untuk Kajian Filo-Arkeologi, Linguistik, dan
Kaligrafi” Jurnal Arkeologi Siddhayatra Nomor:
2/III/Nopember/1998. Palembang: Balai Arkeologi
Palembang. Hlm. 35-39.
---------- (2004). ”Pemukiman Masyarakat Asing di
Palembang Pada Masa Kesultanan”, Kalpataru
Majalah Arkeologi No. 17. Jakarta: Deputi Bidang
Sejarah dan Purabakala—Asdep Urusan Arkeologi
Indonesia. Hlm. 28-52.
Lohanda, Mona. (1999). “Studi Minoritas dalam
Spektrum Kajian Sejarah Indonesia”, dalam Henry
Chamber-Loir & Hasan Muarif Ambary (editor),
Panggung Sejarah Persembahan kepada Prof. Dr.
Denys Lombard. Jakarta: EFEO-Puslit Arkenas-
Yayasan Obor Indonesia.
Lombart, Denys. (2000). Nusa Jawa: Silang Budaya
Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jilid 3.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Purwanti, Retno. (2002). “Stempel Dari Masa
Kesultanan Palembang dan Beberapa aspek
Kesejarahannya” dalam Tammadun Jurnal
Kebudayaan dan Sastra Islam Fakultas Adab-IAIN
Raden Patah Palembang Nomor 2/Volume IV Juli
2002. Hlm. 110-121.
-------.. (2005). “Komunitas Arab Palembang dalam
Perspektif Arkeo-Historis”, makalah dalam Seminar
Sehari …………
Rahim, Husni, (1998). Sistem Otorasi dan Administrasi
Islam. Studi tentang Pejabat Agama Masa
Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta:
Logos.
Reid, anthony. (1999). dari Ekspansi hingga Krisi II
Jaringan Perdagangan global Asia Tenggara 1450 –
1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Resink, G.J. (1987). Raja dan Kerajaan yang merdeka
di Indonesia 1850-1910. Jakarta: Djambatan.
Riklefs, M.C. (1998). Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sevenhoven, J.L. van, (1971), Lukisan Tentang
Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.
Syamsu As., Drg. H. Muhammad. (1999). Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya.
Jakarta: Lentera Baritama.
Taim, Eka Asih Putrina. (2002). “Pemukiman Tepi
Sungai di Kota Palembang dari Masa Ke Masa”,
dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra Volume 7 No.2 .
Palembang: Balai Arkeologi Palembang.
Tjandrasasmita, Uka (Editor). (1993). Sejarah Nasional
Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Wolders, M O. (1975). Het Sultanaat Palembang 1811
– 1825. ‘Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Wolter, O.W. (1970). The fall of Srivijaya in Malay
History. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
---------. (1974). Early Indonesian Commerce. A Study
of the Origin of Srivijaya. Ithaca: Cornell University
Press.