8
Policy Brief RUU PERTANAHAN DAN PERLUNYA PENYELESAIAN KRISIS SOSIAL EKOLOGIS PEDESAAN Oleh: Muhammad Yusuf Volume Tahun 2016 6 :ĂůĂŶ :ĂƟWĂĚĂŶŐZĂLJĂEŽ͘ Ϯϱ͕ :ĂŬĂƌƚĂϭϮϱϰϬ͘ Telepon: 021-78832167 Faksimile: 021-78830500 E-mail: [email protected] www.epistema.or.id ƉŝƐƚĞŵĂ/ŶƐƟƚƵƚĞ mendorong untuk terwujudnya pusat- pusat pembelajaran tentang hukum, masyarakat dan lingkungan dalam rangka mendukung gerakan ke arah terbentuknya sistem hukum nasional yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial dan lingkungan, serta pluralisme kebudayaan. Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utama krisis sosial ekologis pedesaan saat ini. Terdapat korelasi yang kuat antara ketimpangan penguasaan tanah dengan peningkatan jumlah buruh tani dan penderita gizi buruk. Selama ini pengaturan mengenai batas minimum dan maksimum penguasaan tanah belum memadai, sehingga belum mencerminkan perlindungan pada hak rakyat atas tanah. Naskah ini disusun untuk menampilkan potret krisis pedesaan melalui peningkatan jumlah rumah tangga petani buruh tani (Podes 2011), penderita gizi buruk (Podes 2011), ketimpangan penguasaan tanah (sensus pertanian) serta data-data relevan lainnya. ini merekomendasikan Policy brief perlunya penegasan pengaturan dalam RUU Pertanahan terkait dengan jaminan perlindungan tanah garapan masyarakat, batas maksimum dan minimum penguasaan tanah, penegasan fungsi sosial, dan keberlanjutan ekologis dalam kerangka menjawab persoalan krisis sosial dan ekologi di pedesaan. Ringkasan Eksekutif Penulis adalah Program Manager pada Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK). Penulis dapat dihubungi pada: [email protected] “…Karena maklum, orang yang kaya, tidak mungkin ia akan mengayunkan cangkul di ladang, biarpun ia tahu caranya, sebagai guyonan pun tidak. Tetapi Anda pasti mengerti bahwa pangan sehari-hari berasal dari ladang itu, 'kan? Semua berasal dari tangannya kaum miski coffee plantation workers, n ..." ( Sao Paulo, Colombia Stolcke 1995: 69 ) dalam White 2009

Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

PolicyBrief

RUU PERTANAHAN DAN PERLUNYAPENYELESAIAN KRISIS SOSIAL EKOLOGIS PEDESAAN

Oleh:Muhammad Yusuf

Volume Tahun 20166

:ĂůĂŶ�:ĂƟ�WĂĚĂŶŐ�ZĂLJĂ�E Ž͘ �Ϯϱ͕ �:ĂŬĂƌƚĂ�ϭϮϱϰϬ͘�Telepon: 021-78832167Faksimile: 021-78830500E-mail: [email protected]

�ƉŝƐƚĞŵĂ�/ŶƐƟƚƵƚĞ�mendoronguntuk terwujudnya pusat-pusat pembelajaran tentanghukum, masyarakat danlingkungan dalam rangkamendukung gerakan ke arahterbentuknya sistem hukumnasional yang berlandaskannilai-nilai demokrasi, keadilansosial dan lingkungan, sertapluralisme kebudayaan.

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utamakrisis sosial ekologis pedesaan saat ini. Terdapat korelasi yangkuat antara ketimpangan penguasaan tanah denganpeningkatan jumlah buruh tani dan penderita gizi buruk.Selama ini pengaturan mengenai batas minimum danmaksimum penguasaan tanah belum memadai, sehinggabelum mencerminkan perlindungan pada hak rakyat atastanah.

Naskah ini disusun untuk menampilkan potret krisispedesaan melalui peningkatan jumlah rumah tangga petaniburuh tani (Podes 2011), penderita gizi buruk (Podes 2011),ketimpangan penguasaan tanah (sensus pertanian) sertadata-data relevan lainnya. ini merekomendasikanPolicy briefperlunya penegasan pengaturan dalam RUU Pertanahanterkait dengan jaminan perlindungan tanah garapanmasyarakat, batas maksimum dan minimum penguasaantanah, penegasan fungsi sosial, dan keberlanjutan ekologisdalam kerangka menjawab persoalan krisis sosial dan ekologidi pedesaan.

Ringkasan Eksekutif

Penulis adalah Program Managerpada Konsorsium Pendukung

Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK).Penulis dapat dihubungi pada:

[email protected]

“…Karena maklum, orang yang kaya, tidak mungkin ia akan mengayunkan cangkul di ladang, biarpunia tahu caranya, sebagai guyonan pun tidak. Tetapi Anda pasti mengerti bahwa pangan sehari-hari

berasal dari ladang itu, 'kan? Semua berasal dari tangannya kaum miski coffee plantation workers,n ..." (Sao Paulo, Colombia Stolcke 1995: 69 )dalam White 2009

Page 2: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

I n s t i t u t e

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

POLICYBRIEF Volume Tahun 201662

PendahuluanJudul buku kumpulan karya Prof. S.M.P.

Tjondronegoro "Negara Agraris Ingkari Agraria"merupakan frasa yang tepat untuk menggambarkanprakt k kebijakan negara terhadap pengaturanisumber-sumber agraria dan kondisi pedesaan diIndonesia saat ini. Indonesia yang memiliki sekitar74.775 ribu lebih desa berbasis pertanian terusm e n g a l a m i k e t e r p u r u k a n m e n d a l a m .Meningkatnya ketimpangan penguasaan, pemilikandan pemanfaatan tanah, bertambahnya rumahtangga petani buruh tani dan penderita gizi buruk dipedesaan menjadi penanda krisis pedesaantersebut.

Terbalik dengan situasi rakyat pedesaan,konglomerasi yang bersumber dari prakt kiakumulasi tanah untuk pembangunan danperluasan usaha perkebunan, kehutanan,pertambangan bahkan usaha pertanian panganskala luas, semakin tidak terbendung. Prakt k iniibahkan berdampak pada kehancuran sumberdaya(ekologi) pedesaan. perampasan1 Tren tanahmenunju kan satu fenomena dimana tanahkmenjadi daya tarik baru yang diburu oleh pemilikmodal. Gelombang investasi telah menjadikantan a h seb a ga i ta rget pe rb u ru an u nt u k

memaksimalkan keuntungan. Tanah bersinonimdengan uang, sementara uang bersinonim dengankekuasaan. Lebih banyak tanah berarti lebih banyakuang dan lebih banyak uang berarti lebih banyakkekuasaan dan lebih banyak tanah (Land = Money =Power = More Land = More Money =More Power =More and more Land,etc).2

Untuk menggambarkan dan memahami krisisakut di pedesaan, kajian ini memilih tiga indikatorutama yang tidak terpisah, yakni peningkatanrumah tangga buruh tani (Podes 2011), peningkatanpenderita gizi buruk (Podes 2011) dan ketimpanganpenguasaan tanah (Sensus Pertanian) serta data-data yang relevan lainnya. Keberadaan rumahtangga petani buruh tani merupakan indikatorproses penciptaan tenaga kerja bebas akibatkehilangan/ketiadaan tanah garapan, penguasaantanah menunjukkan hubungan-hubungan agrarispetani dengan tanah dan kemampuan rumahtangga petani dalam memperoleh manfaat daritanah garapan sebagai basis kesejahteraan rumahtangga petani, dan penderita gizi burukmengindikasikan hilangnya kemampuan rakyatdalam memperoleh dan memproduksi pangan yanglayak.

Potret Krisis Keselamatan Rakyat pedesaanPedesaan di Indonesia saat ini masih didominasi

desa-desa pertanian dengan jumlah mencapaisekitar 68.797 desa (88,25% dari jumlah seluruhdesa). Pertanian padi menjadi sumber pendapatanutama rakyat pedesaan. Terdapat kurang lebih 34,8ribu desa pertanian padi yang di dalamnya ada 16juta kepala keluarga. Desa perkebunan terdapatpada 17,4 ribu desa dengan melibatkan 5,5 jutakepala keluarga, dan pertanian palawija di 10,3 ribudesa dengan 3,5 juta kepala keluarga.

Dari ketiga sektor pertanian tersebut di atas,desa pertanian padi penyumbang buruh tani

terbesar yakni mencapai 8,8 juta kepala keluarga.Dari 27,2 juta kepala keluarga yang terlibat dalampertanian, terdapat 12,5 juta (46,3%) sebagai buruhtani. Buruh tani di desa perkebunan mencapai 1,6juta kepala keluarga dan desa pertanian palawijamencapai 1,2 juta kepala keluarga. Ironisnya, ketigalapangan pertanian tersebut di atas juga merupakanpenderita gizi buruk terbesar, dimana 48,21%penderita gizi buruk ada di desa-desa pertanianpadi, 27,41% di desa pertanian palawija, dan 15,94%di desa perkebunan.

Page 3: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

POLICYBRIEF3

I n s t i t u t e

Bila dilihat dari sebaran desa pertanian,pedesaan Jawa didominasi oleh pertanian padimerupakan penyumbang kepala keluarga pertanian(14,6 juta), kepala keluarga buruh tani (9,4 juta),dan penderita gizi buruk (46 ribu). Jumlah ini adalahyang terbesar di Indonesia. Di sisi lain, Pulau Jawamasih merupakan lumbung padi nasional dan pusatpertumbuhan industri dengan laju konversi tanahsawah yang sangat cepat.

Mirip pola Jawa adalah Pulau Sulawesi khususnyaProvinsi Sulawesi Selatan. Untuk Pulau Sumatera,

desa perkebunan merupakan penyumbang kepalakeluarga buruh tani (1 juta) dan penderita gizi buruk(6,8 ribu orang) terbesar dibandingkan sektorlainnya. Selain krisis pedesaan pertanian padi danperkebunan, krisis juga terjadi pada masyarakatdesa dengan sumber mata pencaharian utamaadalah palawija seperti kasus Provinsi NusaTenggara Timur yang mewakili contoh kasus krisiskeselamatan rakyat pedesaan di pulau-pulau kecildan tipe pertanian tanah kering.

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

Berdasarkan data sensus pertanian 1973 hingga2003, luas penguasaan tanahmenunjukkan bahwaterdapat kecenderungan rakyat di pedesaansemakin terpolarisasi. Jika pada tahun 1973, jumlahrumah tangga petani (RTP) yang menguasai tanahdibawah 0,1 ha mencapai 3,4 persen maka padatahun 2003 meningkat menjadi 17,17 persen. Biladibandingkan Jawa dan luar Jawa, maka Gini Rasio

penguasaan tanah di Jawa mencapai 0,72 dan di luarJawa mencapai 0,58 (Booth 2012).3

Data mutakhir Sensus Pertanian 2013menunjukkan indeks ketimpangan penguasaantanah mencapai 0,72 atau sangat timpang. Hal inisangat berdampak pada semakin lebarnyaketimpangan pendapatan. Laporan Bank Dunia(2015) mencatat indeks gini di Indonesia mencapai

Volume Tahun 20166

Page 4: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

POLICYBRIEF Volume Tahun 201664

I n s t i t u t e

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

0,41 atau timpang. Selain itu, dalam kurun periodesensus 2003-2013 menunjukkan sekitar 4 juta RTPgurem di Jawa terlempar dari lapangan usahapertanian. Sementara di Papua dan Maluku, jumlahRTP gurem memiliki tren peningkatan secarasignifikan. Padahal, dibandingkan Jawa tingkatkepadatan agraris di Papua dan Maluku relatif tidaksepadat Jawa.

Seluruh paparan data di atas menunjukkanbahwa desa-desa dengan jumlah buruh taniterbesar merupakan wilayah penyumbangpenderita gizi buruk terbanyak. Kehilangan atauketiadaan tanah garapan di tingkat rumah tanggapetani telah menciptakan jutaan buruh tani danhilangnya kemampuan rakyat pedesaan dalammemperoleh dan memproduksi pangan yang layak.

Laporan The World Development Report (WDR)2008: Agriculture for Development yang dirilis olehBank Dunia menyebutkan, angka kemiskinan dipedesaan Indonesia memiliki tren penurunan (WorldBank 2008). Indonesia dan sebagian negara Asialainnya dimasukkan dalam kategori negara yangsedang mengalami transformasi struktural dimanakontribusi sektor pertanian hanya sekitar 25 persen

terhadap GDP. Transformasi struktural tersebut diikutioleh penurunan jumlah penduduk miskin di pedesaan,dimana 60% dari total penduduk miskin berada dipedesaan. Penurunan angka kemiskinan di pedesaanIndonesia bersandar pada tiga jalur, yakni usaha tanikomersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani,pengerahan tenaga kerja upahan (pertanian dan nonpertanian), dan migrasi keluar desa. Dalam laporan

Anomali Pembangunan Pedesaan dan Sumber Krisis

Page 5: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

I n s t i t u t e

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

POLICYBRIEF5Volume Tahun 20166

Bank Dunia (2011) lainnya, “Rising Global Interest inFarmland: Can it Yield Sustainable and EquitableBenefits?”, disebutkan bahwa aku sisi tanah secarailuas merupakan sebuah salah satu jalan dalammengurangi kemiskinan melalui tiga mekanisme yaknipenciptaan tenaga kerja upahan, pertanian kontrakdan pembayaran sewa/pembelian atas tanah.

Berbeda dengan dua laporan Bank Dunia di atas,beberapa studi lain menunjukkan penguasaan tanahadalah basis kesejahteraan di tingkat rumah tanggapetani pedesaan. Hilangnya akses petani terhadaptanah merupakan awal mula krisis sosial-ekologis dipedesaan. Sebuah kondisi yang bertolak belakang darisemangat Undang-Undang Pokok Agraria yangmenegaskan tanah sebagai fungsi sosial dankeberlanjutan pemanfaatan sumber-sumber agraria.Jika di Jawa bagian utara, proses penyingkiran petani

dari tanah garapan banyak disebabkan oleh prakt kirevolusi hijau (pertanian pangan/sawah) maka didaerah Jawa bagian Selatan dan luar Jawa banyakdisebabkan oleh pembangunan dan perluasan usahaperkebunan, kehutanan dan pertambangan skala luas.Selain harus kehilangan tanahnya, prakt k perkebunanibesar di Indonesia sangat rendah dalam menyeraptenaga kerja lokal di sekitar perkebunan. al lain yangH

4

perlu digarisbawahi, kemiskinan penduduk di sekitarperkebunan merupakan kondisi yang ideal bagiekspansi usaha berbasis tanah skala luas untukmemaksimalkan tingkat keuntungan ( ) selainprofitsuplai tenaga kerja dan ketersediaan tanah murahyang berlimpah.

Penelitian yang dilakukan tim Sekolah TinggiPertanahan Nasional (STPN 2010) di KalimantanSelatan, menunjukkan rasio penyerapan tenaga kerja

Page 6: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

POLICYBRIEF Volume Tahun 201666

I n s t i t u t e

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

terhadap tanah di perkebunan besar kelapa sawitlebih kecil dibandingkan dengan perkebunan rakyat,yakni 8:10 ha untuk karet, 26:10 ha untuk kelapadalam, dan 6:10 ha untuk kelapa sawit. Begitu jugapenelitian yang dilakukan Li (2011), di perkebunanbesar sawit rasio tenaga kerja terhadap tanah 1:10 ha(Li 2009) atau bahkan mencapai 1:100 seperti yangterjadi di Sambas Kalimantan Barat (Li 2011). Kondisiini berbeda dengan perkebunan rakyat non kelapasawit yang mencapai 25:10.

Fakta lain yang harus diperhatikan sebagai sumberkrisis di pedesaan adalah deforestasi dan kemiskinanmasyarakat desa-desa hutan. Menurut data BankDunia, persentase areal hutan pada tahun 2011mencapai 51,75 % yang sebelumnya pada tahun 1990luas areal hutan sebesar 65,44 % dari total daratan.

Laju deforestrasi yang terus meningkat, turutdibarengi oleh penurunan jumlah pendudukpedesaan dan jumlah orang yang bekerja di pertanian.Di tengah berkurangnya hutan di Indonesia,perkebunan besar kelapa sawit semakin meningkat.Saat ini, praktek pengembangan usaha perkebunan(sawit) skala luas dicirikan oleh “tebang, ganti, hapus.”Perubahan tata guna tanah melalui pembongkaranhutan (tebang) yang menjadi sumber penghidupanbagi sebagian besar warga pedesaan, “digantikan”oleh model pemanfaatan ruang untuk kepentinganperkebunan besar berorientasi ekspor. Konsekuensilogis dari model pembangunan wilayah dan ekpansiruang oleh perkebu nan skala lu as yakni“penghapusan” ruang-ruang hidup pendudukpedesaan.

Berbagai kondisi yang dipaparkan di atasmembawa kita pada kesimpulan bahwapertanian rakyat harus diselamatkan. Untukmencapainya maka kepastian penguasaan,penggunaan dan pemanfaatan tanah untukpetani dan buruh tani adalah keniscayaan. Jikaperbaikan melalui jalur legislasi akan diupayakan,maka berikut adalah rekomendasi untukRancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan:

1. RUU Pertanahan harus mengatur perihaljaminan dan perlindungan atas tanahgarapan masyarakat desa, khusus di wilayahpertanian pangan. Dalam hal ini perlupengaturan secara jelas mengenai jaminanterhadap rumah tangga petani untukmemperoleh manfaat secara langsung atastanah garapan guna memenuhi kebutuhanpangan dan asupan kalori minimu . Jaminanmdan perlindungan penguasaan tanah ini jugadiperlukan untuk memenuhi prinsip keadilan

dan perombakan struktur agraria yangt im p an g se la ma in i . J am in an d a nperlindungan penguasaan tanah juga berlakuuntuk penguasaan kolektif dan komunal.Dengan semangat UU No. 6 Tahun 2014tentang Desa, maka penguatan Desa sebagaipelaksana Reforma Agraria dan BUM Desasebagai pelaksana ekonomi kerakyatanadalah sebuah keniscayaan.

2. RUU Pertanahan harus mengatur ulangsecara tegas perihal batas minimum danmaksimum penguasaan tanah secaraberkeadilan. Sejauh ini, pengaturan batasmaksimum hanya terbatas pada pertaniandan perorangan, belum ada pengaturanterkait dengan non- pertanian dan bahanusaha atau gabungan dari badan usaha( ). Pengaturan ini sebagaiholding companyprasyarat untuk menjamin rumah tanggapetani mendapatkan tanah bagi pemenuhan

Tanah untuk Kesejahteraan Petani:Rekomendasi untuk RUU Pertanahan

Page 7: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

pangan mereka. Pengaturan batas minimumberdasarkan pertimbangan skala usahaekonomi bagi rumah tangga petani,sedangkan pengaturan pengaturan batasmaksimum untuk usaha skala luas diperlukanuntuk menghindari konglomerasi tanah.Tingkat kepadatan penduduk, ketersediaantanah dan tingkat kesuburan tanah jugamenjadi dasar perlunya pengaturan ulangbatas minimun dan maksimum penguasaantanah.

3. RUU Pertanahan harus menegaskan fungsisosial dari penguasaan tanah. Menjadikantanah garapan sebagai komoditi ekonomitelah mendorong transfer penguasaankepada kelompok ekonomi kuat. Proses inipada akhirnya menciptakan konglomerasiberbasis tanah, pada satu sisi, dan secaraekstrem di sisi yang lain menciptakan massapetani tanpa tanah. Sebagai fungsireproduksi sosial di pedesaan, RUUPertanahan hendaknya mengatur prinsipkeadilan dan fungsi sosial tanah bagi rakyatpedesaan. Salah satu poin penting adalahmemperkuat implementasi UU Nomor 2Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil

dalam mengatur posisi tawar bagi hasil bagiburuh tani.

4. RUU Pertanahan juga harus mengatur secarajelas terkait dengan fungsi ekologis daripemanfaatan tanah. Krisis sosial ekologispedesaan saat ini tidak hanya karenaketiadaan jaminan dan perlindunganpenguasaan tanah untuk penggarap,pengaturan batas minimum dan maksimumpenguasaan tanah dan komodifikasi tanah dip e d e s a a n , n a m u n a k i b a t p ra k t e kperombakan ekosistem yang melampauidaya dukung wilayah serta praktek pertanianyang mengabaikan pengolahan tanah yangberkelanjutan. Perombakan ekosistem danpraktek pengolahan baik untuk usahaperkebunan monokultur, kehutanan danpertambangan skala luas tidak sajamenyingkirkan rakyat pedesaan daritanahnya akan tetapi turut merampaskekayaan hara di pedesaan. Secaraoperasional, RUU Pertanahan perlumengatur rencana peruntukkan danpemanfaatan tanah berdasarkan fungsi tataguna tanah tradisional.

I n s t i t u t e

RUU Pertanahan dan PerlunyaPenyelesaian Krisis Sosial Ekologis Pedesaan

POLICYBRIEF7Volume Tahun 20166

Kami harus meminjam uang untuk makan.

Terkadang tetangga mau meminjamkan kami uang

tanpa bunga, tapi seringnya kami harus menjual beras sebelum panen.

Rentenir itu akan membayar di muka, dan mengambil kita setengah dariberas

harga pasar. Tidak peduli seberapa keras kita bekerja, kita tidak pernah punya

cukup uang tunai. Kami mulai menjual barang-barang - ranjang kayu, sapi dan

bajak kami. Kemudian kami mulai menjual tanah kami sedikit demi sedikit.

Sekarang kita memiliki kurang dari satu dun, dan sebagian besar

digadaikan kepada Mahmud Haji (Bernstein et al., 1992,

hal 19 dikutip dalam )Murray, 2001

Page 8: Policy Brief Epistema Institute vol 6/2016

1http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/13/206642351/29-taipan-sawit-kuasai-tanah-hampir-setengah-pulau-jawa

2Ditsi Carolino. 2010. . International Land Coalition.Walk for Land Walk for Justice, the Story of The Sumilao Farmers in Bukidnon

3 Lihat juga Dianto Bachriadi & Gunawan Wiradi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: ARC, Bina Desa dan KPA4 Kondisi ketersingkiran tenaga kerja lokal diperkuat oleh stigma “the myth of the lazy native” sejak era kolonial yang menjadi dasar impor tenaga kerja murah dari Jawa

(Breman 1990). Akibatnya, Jawa dengan adanya perkebunan menjadi pulau “pengekspor buruh murah” bagi kepentingan pengembangan perkebunan di luar Jawa(Soetrisno 1983).

Penulis:

Foto dan Dokumentasi:

Andi Sandhi

Tata Letak:

Andi Sandhi

Muhammad Yusuf

Policy Brief ini diterbitkan oleh Epistema Instituteatas dukungan dari Right and Resources Initiatives

Daftar PustakaBachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. 2011. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia.

Bandung: ARC, Bina Desa dan KPA.

Booth, Anne. 2012. The Performance of The Indonesian Agricultural Sector: Twelve Questions and Some TentativeAnswers. In Anne Booth, Chris Manning, and Thee Kian Wie, editors. Land, Livelihood, the Economy and theEnvironmnet in Indonesia: Essays in Honour of Joan Hardjono. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2012.

Ditsi Carolino. 2010. International LandWalk for Land Walk for Justice, the Story of The Sumilao Farmers in Bukidnon.Coalition.

Li, T.M., 2009a. To make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of the Surplus Population. Antipode41(s1): 66-93.

Murray, Colin. 2001. , ChronicLivelihoods research: some conceptual and methodological issues. Background Paper 5Poverty Research Centre.

White, Ben. 2009. :Melacak nilai lebih Rejim ketenagakerjaan, rantai komoditi dan bentuk-bentuk peralihan nilai lebih dipedesaan. Bahan Presentasi pada acara Ceramah dan Lokakarya Metodologi Penelitian Agraria, atas kerjasamaSains, STPN, KPM IPB dan HKTI, tanggal 24-25 Juli 2009 bertempat di Aula P4W IPB.

World Bank, 2010. Washington, DC:Rising Global Interest in Farmland: Can it Yield Sustainable and Equitable Benefits?The World Bank.

World Bank, 2008. Washington, DC: TheThe World Development Report (WDR) 2008: Agriculture for Development.World Bank.

Yusuf, M dkk. 2010. “Membaca Ulang Keberadaan Hak Guna Usaha dan Kesejahteraan Rakyat”. Dalam PengembanganKebijakan Agraria Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis. Yogyakarta,

POLICYBRIEF Volume Tahun 201668