11
Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis Tinjauan dari aspek subyek terdampak Ahmad Fuady, Grace Wangge HEMISPHERE 2017

Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

Policy Note

Wajib Kerja Dokter Spesialis

Tinjauan dari aspek subyek terdampak

Ahmad Fuady, Grace Wangge

HEMISPHERE

2017

Page 2: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

1

Pendahuluan

Kebutuhan dan distribusi dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Indonesia masih menjadi permasalahan

yang belum terselesaikan selama beberapa dekade terakhir seperti yang dialami beberapa negara

berkembang.(Anderson et al. 2014; Ünal 2015; McPake and Edoka 2014) Secara kuantitatif, produksi

dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan

kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data Konsil Kedokteran Indonesia 2013 menunjukkan bahwa

secara nasional, rasio dokter umum terhadap populasi di Indonesia sudah mencapai 1:2270 dan telah

melampaui rasio minimal yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO)

dengan standar 1:2500. Rasio dokter spesialis terhadap populasi secara keseluruhan pun sudah

menunjukkan angka yang cukup dengan 12,7 spesialis per 100.000 populasi (Kementerian Kesehatan RI

2017; A. Kurniati et al. 2015). Namun demikian, persebaran dokter masih terpusat di daerah perkotaan

sehingga maladistribusi menjadi isu penting yang harus dipecahkan (Anderson et al. 2014; Meliala, Hort,

and Trisnantoro 2013). Dari 33 provinsi, hanya 11 provinsi yang memiliki rasio penyebaran dokter

spesialis penyakit dalam dan anestesiologi di atas standar. (Lihat Gambar 1) Kebutuhan penyebaran

dokter dan dokter spesialis ini menjadi semakin mendesak setelah implementasi Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN). JKN tidak hanya perlu memastikan bahwa seluruh warga masuk dalam skema asuransi

public dan swasta, namun juga mensyaratkan adanya ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang

adekuat di seluruh wilayah Indonesia untuk memastikan masyarakat dapat mengakses layanan

kesehatan yang dibutuhkan.

(a) (b)

Gambar 1 Persebaran dokter spesialis (a) penyakit dalam dan (b) anestesi di seluruh provinsi Indonesia pada tahun 2013 (Anderson et al. 2014)

Maladistribusi dokter dan dokter spesialis sebenarnya bukan persoalan baru. Pemerintah Indonesia telah

berupaya dalam hitungan puluhan tahun untuk mengatasinya melalui kebijakan wajib kerja sarjana

(WKS), pegawai tidak tetap (PTT), dan menyediakan beasiswa pemerintah pusat dan daerah untuk

mendorong pemenuhan tenaga kesehatan di daerah pedesaan dan terpencil (Anderson et al. 2014;

Fuady 2015). Tetapi, kebijakan dan strategi yang dijalankan mengalami perubahan (Gambar 2).

Kebijakan yang dikeluarkan pun, termasuk penyediaan bantuan pendidikan dokter spesialis, belum

menghasilkan luaran yang optimal dengan beragam masalah, seperti tidak kembali ke daerah setelah

penugasan belajar, meninggalkan tugas, atau menolak penempatan (Ilyas 2006).

Page 3: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

2

Gambar 2 Evolusi kebijakan penempatan dokter spesialis di Indonesia (1991-2013)

Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan mutakhir di bawah Peraturan Presiden No 4 Tahun 2017

(Presiden Republik Indonesia 2017) yang mewajibkan lulusan baru dokter spesialis untuk memberikan

layanan kesehatan sesuai spesialisasinya di fasilitas yang ditentukan (Lihat Box 1).

Kebijakan mewajibkan dokter spesialis untuk bekerja di daerah yang dinilai kekurangan dokter spesialis

bukanlah kebijakan yang baru. Bahkan, kebijakan ini dapat dinilai sebagai pengulangan yang berpotensi

menghasilkan luaran yang tidak optimal, bahkan kegagalan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan

sudah berupaya membentuk Komite Penempatan Dokter Spesialis (Menteri Kesehatan RI 2016) sebagai

badan pemikir (think thank) untuk memastikan setidaknya kebijakan dapat berjalan sesuai ekpektasi yang

diharapkan. Dengan demikian, pemerintah harus benar-benar melakukan kajian yang kuat sehingga,

selain memastikan kemampulaksanaan, kebijakan dapat dilangsungkan secara kontinu,

berkesinambungan, dan memiliki ukuran luaran yang jelas dan mampu dimonitor dengan baik.

Box 1 Kebijakan Wajib Kerja Dokter Spesialis berdasarkan Perpres No 4 Tahun 2017

- Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) adalah penempatan dokter spesialis di rumah sakit milik

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

- Bupati/Walikota mengajukan usulan kebutuhan dokter spesialis kepada Gubernur yang dilanjutkan

kepada Menteri Kesehatan untuk diverifikasi dan ditetapkan.

- Kebijakan WKDS berlaku untuk setiap dokter spesialis lulusan pendidikan profesi program dokter

spesialis dari perguruan tinggi negeri di dalam negeri dan perguruan tinggi di luar negeri.

- Peserta WKDS ditempatkan di rumah sakit daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, rumah sakit

rujukan regional, atau rumah sakit rujukan provinsi, baik milik pemerintah pusat maupun daerah yang

berada di seluruh wilayah Indonesia.

- Tahap awal kebijakan WKDS diperuntukkan bagi lulusan program dokter spesialis obstetri dan

ginekologi, spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, dan spesialis anestesi dan

terapi intensif.

Page 4: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

3

- Jangka waktu pelaksanaan WKDS bagi peserta yang studi dengan biaya mandiri paling singkat

selama 1 (satu) tahun, sedangkan bagi penerima beasiswa dan/atau program bantuan lainnya

disesuaikan dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Survey Pendahuluan

Policy Note ini disusun dengan terlebih dahulu melakukan studi terbatas melalui survey online kepada

dokter Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di seluruh Indonesia. Survey dilakukan untuk menilai

penerimaan (acceptance) terhadap kebijakan serta pertimbangan (concerns) terkait penempatan dan

kemungkinan kelanjutan praktik di fasilitas penempatan. Menimbang bahwa kebijakan wajib kerja harus

dilakukan dalam kerangka jangka panjang, studi yang dilakukan pun melibatkan Dokter PPDS dari

hampir seluruh bidang spesialis yang memiliki kemungkinan terdampak oleh kebijakan dalam jangka

panjang dan tidak terbatas pada bidang spesialisasi anak, penyakit dalam, anestesi, obstetri dan

ginekologi, serta bedah. Survey ini dilakukan pada 15-22 Februari 2017 melalui kuesioner online berbasis

Google Form. Responden dipilih dengan metode sampling bola salju (snowball sampling) melalui pranala

media sosial, seperti Facebook, Google+, Twitter, dan WhatsApp. Setiap responden hanya dapat mengisi

kuesioner satu kali. Responden yang telah mengisi kuesioner dapat menyebarkan kuesioner tersebut ke

jejaring yang dimilikinya untuk diisi. Sebelum disebarkan, kuesioner telah diuji terlebih dahulu kepada

lima Dokter PPDS di Jakarta.

Kuesioner terdiri dari empat bagian utama, yaitu data demografi responden, pengetahuan terhadap

kebijakan, penerimaan dan ekspektasi, serta kemungkinan melanjutkan praktik di fasilitas yang

ditentukan. Responden mendapatkan informasi mengenai tujuan studi, data personal, kerahasiaan, dan

persetujuan di halaman awal kuesioner. Persetujuan (informed consent) responden diberikan secara

elektronik.

Penerimaan Calon Dokter Spesialis terhadap Kebijakan

Sebagai obyek terdampak kebijakan, dokter PPDS perlu diberikan perhatian khusus terkait kebijakan

yang dikeluarkan. Kebijakan mewajibkan lulusan baru dokter spesialis secara timbal balik akan

memengaruhi penerimaan sekaligus

kesuksesan implementasi kebijakan.

Dari 224 dokter PPDS yang mengisi

kuesioner, 97,3% sudah mengetahui

kebijakan wajib kerja dokter spesialis.

Meski demikian, tingkat pengetahuan

terhadap kebijakan masih beragam.

Mayoritas responden (81,2%) sudah

mengetahui bahwa kebijakan WKDS

akan menempatkan mereka di rumah

sakit di daerah pedesaan, terpencil dan

kepulauan. Namun, masih banyak

yang tidak tahu jika kebijakan tersebut

memungkinkan penempatan di rumah

sakit rujukan provinsi (57,3%) atau

rujukan lainnya (61,0%), dan masih

ada yang beranggapan bahwa

penempatan dapat ditujukan ke rumah Gambar 3 Penerimaan dokter PPDS terhadap kebijakan WKDS

Page 5: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

4

sakit swasta (4,6%) dan Puskesmas (6,4%). Mengenai jangka waktu penempatan, hampir seluruh

responden mengetahui jangka waktu penempatan bagi dokter spesialis mandiri (96,3%), tetapi mayoritas

responden (78,4%) tidak mengetahui jangka waktu penempatan bagi dokter spesialis yang dibiayai

beasiswa pemerintah.

Temuan ini mengindikasikan bahwa

informasi yang diterima oleh obyek

terdampak kebijakan masih terbatas.

Oleh karenanya, Pemerintah perlu

menyusun strategi terkait sosialisasi

kebijakan WKDS. Sosialisasi ini dapat

dilakukan secara terbuka maupun

dengan pendekatan kepada institusi

pendidikan pengampu. Untuk itu

diperlukan kerjasama lintas

kementerian dengan kementerian riset

dan pendidikan tinggi. Informasi yang

tepat dan menyeluruh memengaruhi

seberapa besar penerimaan dokter

PPDS terhadap kebijakan yang

dikeluarkan Pemerintah. Hal ini terlihat

dari rendahnya penerimaan dokter

PPDS terhadap kebijakan WKDS

(Gambar 3). Mayoritas responden

(67,2%) tidak setuju dengan kebijakan WKDS. Ketidaksetujuan tampak merata, baik dari mereka yang

membiayai sendiri pendidikan PPDS maupun yang dibiayai melalui beasiswa pemerintah pusat, daerah

dan LPDP. Perbedaan tingkat penerimaan terhadap kebijakan tampak pada pengalaman praktik

kedokteran dengan tingkat penerimaan tertinggi di Kalimantan (100%) dan Maluku-Papua (52%). Namun

jika melihat berdasarkan spesialisasi, persentase persetujuan akan kebijakan ini didapatkan dari

kelompok Dokter PPDS Obstetri dan Ginekologi, sedangkan dokter dari bidang spesialisasi lainnya

menunjukkan ketidaksetujuan lebih dari 60%.

Rendahnya tingkat penerimaan sesuai dengan persepsi mayoritas responden yang menyatakan bahwa

informasi mengenai kebijakan WKDS belum jelas (82,5%). Namun demikian, tingkat penerimaan ini

bertolak belakang dengan persepsi mayoritas responden (85%) yang menyatakan bahwa distribusi

dokter spesialis belum merata di seluruh Indonesia (Gambar 4). Ini menunjukkan bahwa dokter PPDS

menyadari bahwa maladistribusi dokter spesialis masih terjadi, namun persepsi tersebut tidak serta merta

membuat responden setuju terhadap kebijakan WKDS.

Beberapa literatur menyatakan bahwa penerimaan dokter untuk ditempatkan di daerah dipengaruhi oleh

beberapa faktor penting, di antaranya insentif yang disediakan dan akses dari dan menuju daerah

menempatan (Anderson et al. 2014; Ilyas 2006; Meliala, Hort, and Trisnantoro 2013; McPake and Edoka

2014) Meskipun belum ada informasi resmi mengenai besaran insentif yang akan diberikan, responden

merasa bahwa Pemerintah belum menyediakan insentif yang layak bagi dokter spesialis yang akan

diwajibkan bertugas.

Gambar 4 Persepsi terhadap kebijakan WKDS

Page 6: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

5

Selain keterkaitan dengan persepsi

terhadap insentif, penerimaan

terhadap kebijakan WKS juga terkait

dengan persepsi bahwa pemerintah

belum mengkaji kebijakan dengan

tepat, tidak berhak mewajibkan dokter

untuk bertugas di daerah tertentu, dan

tidak berhak membatasi ijin praktek

dokter spesialis. Mayoritas responden

juga tidak setuju dengan anggapan

bahwa mereka memiliki hutang budi

terhadap subsidi yang diberikan

Pemerintah selama menjalani studi

spesialis (Gambar 5). Uniknya,

persepsi ini juga muncul secara

dominan pada dokter PPDS yang

mendapatkan beasiswa, baik dari

pemerintah pusat, daerah maupun

LPDP.

Persepsi yang cenderung negatif dan terkait dengan tingkat penerimaan ini perlu ditanggapi dengan

serius oleh Pemerintah. Logika yang dimunculkan bahwa biaya pendidikan spesialis telah banyak

mendapat subsidi ternyata mendapat persepsi yang berbeda dari para PPDS. Subsidi yang diberikan

pemerintah nampaknya dianggap tidak memadai dibandingkan dengan tingginya biaya pendidikan

spesialis. Selain harus membayar biaya pendidikan, seorang peserta PPDS juga tidak atau belum

mendapat imbal jasa dari praktek kedokteran yang dijalani selama masa pendidikan. Hal tersebut yang

membuat “subsidi non-material” melalui pengajaran di fasilitas publik milik Pemerintah tidak mendasari

persepsi perlunya rasa hutang budi terhadap Pemerintah. Terlebih, biaya yang tinggi ini disertai dengan

beban kerja yang tinggi dan minimnya penghargaan.

Kebijakan WKDS juga dipertanyakan mengingat banyaknya lulusan baru dokter spesialis yang

membiayai pendidikan mereka sendiri tanpa bantuan dari anggaran negara secara langsung. Padahal,

Pemerintah juga telah memberlakukan program tugas belajar dokter spesialis dalam satu dekade

terakhir. Munculnya kebijakan ini dapat dianggap sebagai kegagalan program pemerintah yang kemudian

mengorbankan hak dokter PPDS yang memilih untuk membiayai sendiri pendidikannya. Terlebih,

kebijakan WKDS berlaku langsung setelah ditetapkan dan bukan dipersiapkan dan diseminasikan lima

tahun sebelum penerapan. Kebijakan ini dapat dianggap tidak adil karena bersifat memaksa. Temuan ini

juga sejalan dengan persepsi responden yang menganggap bahwa kebijakan WKDS menghambat karir

mereka.

Ekpektasi terhadap Kebijakan WKDS

Sesuai dengan persepsi yang muncul, dokter PPDS memiliki ekspektasi tinggi terhadap insentif yang

layak dan tepat waktu, informasi yang jelas, akomodasi yang layak, ketersediaan fasilitas yang

dibutuhkan dan penerimaan yang baik dari instansi penempatan (Gambar 6)

Gambar 5 Persepsi bahwa dokter spesialis memiliki hutang budi kepada Pemerintah

yang telah memberikan subsidi biaya pendidikan spesialis.

Page 7: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

6

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Informasi mengenai WKS jelas

Insentif atau gaji layak

Insentif atau gaji tepat waktu

Akomodasi layak

Aksesibilitas

Ketersediaan fasilitas

Penerimaan dari fasilitas penempatan

Gambar 6 Ekspektasi terhadap Kebijakan WKDS

Komite Penempatan Dokter Spesialis yang dibentuk Kementerian Kesehatan memiliki tugas besar untuk

memastikan ekspektasi tersebut terpenuhi. Kisaran insentif yang dianggap layak oleh responden

bervariasi dengan median antara Rp 40-50 juta per bulan (Tabel 1). Pemerintah Pusat melalui

Kementerian Keuangan telah menyepakati insentif di kisaran Rp 20-25 juta per bulan, meskipun dalam

beberapa media Kementerian Kesehatan sempat menyebutkan bahwa insentif yang diberikan dapat

mencapai maksimum Rp 80 juta per bulan. Ada „lubang‟ yang cukup besar antara keluangan fiskal yang

diberikan oleh Kementerian Keuangan dengan janji dan ekspektasi yang telah muncul. Kesenjangan ini

harus dapat ditutupi oleh Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, serta aturan imbal

jasa yang diterapkan dan sangat mungkin bervariasi antar fasilitas kesehatan. Penjelasan mengenai

insentif ini harus secara jernih diformulasikan oleh Kementerian Kesehatan sehingga dapat diterima

sekaligus menjadi beban tersendiri dalam monitoring dan evaluasi. Proses formulasi insentif ini

hendaknya dilakukan dengan perhitungan matang dengan memperhatikan kemampuan kas negara dan

daerah. Koordinasi lintas kementerian, dalam hal ini dengan kementerian keuangan dan kementerian

dalam negeri diperlukan untuk merumusan formulasi perhitungan insentif yang dapat diterima semua

pihak.

Tabel 1 Insentif yang diharapkan dari Kebijakan WKDS (dalam juta Rupiah)

Spesialis Insentif atau gaji yang diharapkan

Median (IQR)

Obstetri dan ginekologi 50 (30-90)

Bedah 50 (40-75)

Anesiologi 50 (30-60)

Anak 45 (37,5-50)

Penyakit dalam 40 (30-60)

. Ruang fiskal yang lapang dibutuhkan bagi pemerintah daerah untuk menyokong besarnya anggaran

yang akan dikeluarkan. Asumsi kasar jika pemerintah daerah menanggung secara penuh kesenjangan

untuk memenuhi ekspektasi tersebut, maka proporsi antara pemerintah pusat dan daerah seimbang

dengan rasio mendekati 1:1 untuk satu dokter spesialis yang ditempatkan. Dengan perhitungan

sederhana, satu daerah membutuhkan masing-masing tiga dokter spesialis di lima bidang spesialisasi

tersebut dengan penyediaan insentif Rp 20 juta per bulan, maka setidaknya anggaran yang harus

Page 8: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

7

disiapkan mencapai Rp 3,6 miliar per tahun untuk insentif dasar. Meskipun terbilang kecil, tidak semua

daerah mampu menanggungnya. Perbedaan kesanggupan antar daerah, di sisi lain, tidak akan

mengatasi maladistribusi dokter spesialis. Di samping itu, studi menunjukkan bahwa ruang fiskal yang

lapang tidak serta merta menarik minat dokter spesialis untuk praktik. Hal ini disebabkan ruang fiskal

hanya menunjukkan potensi kapasitas daerah dan tidak mengindikasikan kapasitas implementasi

aktualnya (World Bank, 2014). Pemerintah daerah bukan hanya harus sanggup memenuhi insentif

financial, tetapi juga sedianya sanggup memenuhi tunjangan dan akomodasi yang ditimbulkan akibat

kesulitan akses dan keterpencilan daerah, serta keterbatasan infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang

ada. Beban tidak langsung ini yang seringkali diabaikan dan tidak tampak dalam perhitungan matematis

saat perencanaan.

Monitoring dan evaluasi pelaksanan kebijakan ini harus jauh lebih baik dibandingkan implementasi

kebijakan sebelumnya. Meskipun belum ada bukti ilmiah terpublikasi, pengalaman dokter PTT di

lapangan menunjukkan adanya permasalahan terkait insentif, mulai dari ketidaksesuaian besaran insetif,

pemotongan insentif oleh instansi penempatan, dan keterlambatan pencairan insentif. Kewajiban Komite

Penempatan Dokter Spesialis lainnya –yang juga telah sebagian dilaksanakan, adalah memastikan

bahwa fasilitas kesehatan yang tersedia di instansi penempatan sesuai dengan bidang spesialisasi yang

ditugaskan. Akomodasi termasuk ketersediaan rumah dinas dan sejenisnya menjadi pertimbangan

penting dalam penilaian kesesuaian fasilitas. Selain itu, penerimaan dari daerah penempatan menjadi

poin kritis lainnya. Tugas dan tanggungjawab dokter spesialis yang ditempatkan bergantung banyak dari

seberapa baik penerimaan dari instansi penempatan, baik instansi kesehatan maupun instansi lain yang

terkait dengan ranah kerja dokter spesialis tersebut..

Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Kesehatan melalui Komite Penempatan Dokter Spesialis

seharusnya juga membangun sistem komunikasi dan evaluasi yang terintegrasi mencakup pelaporan

penempatan, keaktifan, laporan permasalahan, dan penyaluran insentif setransparan mungkin. Sistem

tersebut juga harus memungkinkan adanya umpan balik (feedback) dari semua pelaksana kebijakan,

baik dokter spesialis, instansi penempatan, maupun Kementerian Kesehatan. Sistem monitoring

beasiswa seperti yang dibangun oleh Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian

Keuangan dan QLue yang dikembangkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menjadi contoh sistem

monitoring dan evaluasi yang baik.

Potensi praktik permanen di tempat penempatan

Meski dominan, insentif bukan satu-satunya konsideran bagi dokter spesialis untuk praktik di tempat

penempatan secara permanen. Studi Meliala dkk (2013) juga menunjukkan bahwa insentif finansial tidak

efektif secara jangka panjang dalam mengatasi maladistribusi dokter (Meliala, Hort, and Trisnantoro

2013). Adanya rumah sakit pemerintah harus didukung dengan upaya pengembangan daerah. Salah

satu faktor ketertarikan dokter spesialis bekerja di suatu daerah adalah ketersediaan tempat praktik lain,

seperti rumah sakit swasta (Gambar 8). Untuk menunjang hal ini, peran pemerintah lokal harus

dikembangkan secara simultan. Selain kesiapan rumah sakit pemerintah, kebijakan WKDS juga harus

memperhatikan kesiapan pemerintah daerah dalam mengembangkan daerahnya. Kemitraan antara

Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah tidak dapat lagi sekadara permohonan dokter dan

kesiapan suplai untuk memenuhi kebutuhan dokter. Harus ada kemitraan kuat antar pemangku kebijakan

(multi-stakeholders coordination) yang mencakup perencanaan pembangunan nasional dan

pembangunan kesehatan daerah secara komprehensif dalam jangka panjang (Anna Kurniati, Efendi, and

Yeh 2014; A. Kurniati et al. 2015). Koordinasi ini harus menjadi upaya lintas kementerian di bawah

koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian, serta melibatkan pemerintah daerah dan aliansi non-pemerintah.

Page 9: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

8

Semakin besar ruang fiskal daerah dan semakin jelas arah pembangunan kesehatan nasional dan

daerah, akan meningkatkan ketertarikan dokter spesialis untuk praktik di daerah tersebut. Dalam jangka

panjang, strategi komprehensif ini yang akan dapat secara sinambung mengatasi maladistribusi dokter

spesialis.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Status kepegawaian

Insentif atau gaji layak

Insentif atau gaji tepat waktu

Akomodasi layak

Aksesibilitas

Ketersediaan fasilitas kesehatan

Penerimaan dari fasilitas penempatan

Apakah memberikan keluangan praktik dan tidak membatasi ijin praktik dokter spesialis hanya di satu

rumah sakit pemerintah akan memberikan dampak yang baik? Beberapa studi menunjukkan bahwa

kebebasan untuk praktik di rumah sakit swasta akan menurunkan frekuensi layanan dokter spesialis di

rumah sakit pemerintah (Hipgrave and Hort 2014; Anderson et al. 2014; Meliala 2014). Temuan tersebut

didasarkan pada populasi dokter spesialis yang terpusat di perkotaan. Jika tetap pada pola restriksi untuk

meniadakan praktek ganda (dual practice), pemerintah harus siap dengan imbas beban anggaran untuk

dapat menyediakan insentif yang cukup bagi mereka yang hanya mendapatkan penghasilan dari satu

sumber. Namun, jika yang diharapkan pemerintah adalah meningkatkan ketertarikan dokter spesialis

untuk praktik di daerah secara sinambung, paparan terhadap kemungkinan praktik di layanan luar

fasilitas pemerintah tetap harus dibuka.

Keluangan ijin praktik ini akan bermanfaat untuk mendorong dua hal. Pertama, dokter spesialis yang

ditempatkan akan memiliki kesempatan untuk membangun kepercayaan dan citranya di masyarakat yang

meningkatkan peluang keterikatannya dengan masyarakat di daerah penempatan. Kedua, studi World

Bank (2010) menunjukkan bahwa keterbukaan praktik di fasilitas non-pemerintah akan meningkatkan

utilisasi layanan kesehatan (Anderson et al. 2014). Akan muncul kongesti dengan semakin

terkonsentrasinya masyarakat miskin di layanan pemerintah dan berpisahnya masyarakat menengah ke

atas ke layanan non-pemerintah. Meski demikian, jika keluangan ini dibuka, Pemerintah harus secara

sigap menyusun regulasi dan prosedur yang ketat dan menjamin layanan kesehatan di fasilitas

pemerintah tidak terbengkalai. Upaya ini harus diimbangi dengan penyediaan jumlah layanan kesehatan

yang adekuat (Hipgrave and Hort 2014).

Faktor status kepegawaian cenderung tidak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah

dokter spesialis akan tetap berkarir di satu daerah penempatan atau tidak (Gambar 9). Mirip dengan

ekspektasi terhadap kebijakan WKDS, pertimbangan untuk melanjutkan karier di daerah penempatan

bergantung pada kesiapan akomodasi, akses, ketersediaan fasilitas kesehatan, dan penerimaan yang

baik dari daerah penempatan.

Gambar 8 Korelasi antara jumlah dokter spesialis dan

jumlah rumah sakit swasta (World Bank, 2013)

Gambar 9 Pertimbangan untuk melanjutkan praktik di daerah

penempatan

Page 10: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

9

Pesan kunci dan rekomendasi bagi perumus kebijakan

Mengatasi maladsitribusi dokter spesialis yang masih menjadi problem tenaga kesehatan di Indonesia

memerlukan strategi yang komprehensif. Kebijakan WKDS yang dikeluarkan secara teknis akan

menutupi kesenjangan maladistribusi dalam jangka pendek. Kebijakan yang sama juga diterapkan di

negara berkembang lain, seperti Turki dan Malaysia,(Ünal 2015; Faizah et al. 2011) dengan catatan

pembelajarannya masing-masing.

Aspek penting dalam penyusunan kebijakan dan teknis implementasi selanjutnya adalah pemahaman

terhadap dokter PPDS yang menjadi obyek terdampak kebijakan dalam jangka panjang. Diseminasi

informasi belum dilaksanakan dengan baik sehingga pengetahuan obyek terdampak saat ini masih

minim, keliru, dan berpotensi menyebabkan mispersepsi. Kondisi ini dipersulit dengan persepsi yang

dominan bahwa Pemerintah tidak berhak mewajibkan lulusan dokter spesialis baru tanpa memberikan

informasi dan opsi yang adil ketika mereka memutuskan melanjutkan pendidikan dokter spesialis.

Strategi diseminasi informasi harus diformulasikan sebaik mungkin dengan mengedepankan kerjasama

lintas kementerian.Penyediaan insentif yang adil dan transparan menjadi salah satu faktor kunci yang

perlu dipertimbangkan dengan matang. Kapasitas anggaran pemerintah pusat harus dengan cermat

dihitung dengan imbangan anggaran pemerintah daerah dengan tetap mempertimbangkan ekspektasi

dari obyek terdampak kebijakan. Ketimpangan kapasitas financial antar daerah dalam memenuhi insentif

dapat menimbulkan efek samping maladistribusi dan tingginya kecenderungan pemenuhan distribusi ke

daerah tertentu. Meski demikian, insentif bukan satu-satunya factor yang memengaruhi penerimaan

obyek terdampak. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan ketersediaan fasilitas

kesehatan bagi setiap bidang spesialis yang ditempatkan, transparansi keuangan, dan penerimaan dari

daerah penempatan. Faktor-faktor tersebut yang juga secara dominan menjadi pertimbangan bagi obyek

terdampak untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan praktik kedokteran di fasilitas atau area

penempatan.

Restriksi ijin praktek tunggal dapat dievaluasi dalam satu tahun pertama dengan dua pertanyaan evaluasi

mendasar, yaitu (a) apakah restriksi meningkatkan utilisasi dan akses masyarakat terhadap layanan

kesehatan atau sebaliknya dan (b) apakah keluangan ijin praktik mendorong ketertarikan dokter spesialis

untuk bekerja secara permanen di lokasi penempatan. Strategi jangka panjang perlu disiapkan dengan

mempertimbangkan ketersediaan fasilitas kesehatan lainnya dan bersinergi dengan pemerintah daerah

dalam upaya pembangunan kesehatan daerah.

Cetak biru (blue print) pemenuhan dokter dan dokter spesialis di Indonesia menjadi perhatian penting

yang harus disiapkan dengan melibatkan semua pemangku kebijakan yang terkait, baik lintas

kementeraian coordinator, kementerian, serta pemerintah daerah dan aliansi non-pemerintah. Tahun

pertama implementasi kebijakan ini harus dipantau secara ketat dan dievaluasi dengan jernih untuk

menjadi bahan perbaikan dan penyusunan cetak biru yang ajeg dalam jangka panjang. Untuk itu,

Kementerian Kesehatan perlu melibatkan kementerian dan institusi lain, baik pemerintah maupun non-

pemerintah, untuk ikut terlibat dalam riset implementasi (implementation research) yang digunakan

sebagai evaluasi dan dasar pertimbangan untuk perluasan (scaling up) kebijakan di tingkat nasional.

Page 11: Policy Note Wajib Kerja Dokter Spesialis...dokter, perawat, dan bidan telah ditanggulangi dengan semakin banyaknya institusi pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya. Data

10

Penyusun

Ahmad Fuady, Grace Wangge

Peneliti di HEMISPHERE –institusi non-pemerintah yang bergerak dalam bidang penelitian kedokteran

serta manajemen dan kebijakan kesehatan. Keduanya juga merupakan peneliti di Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Policy Note ini disusun secara independen dengan pembiayaan mandiri di bawah naungan

HEMISPHERE. Dengan ini pula penyusun menyatakan tidak ada conflict of interest dalam penyusunan

Policy Note.

Referensi

Anderson, Ian, Andreasta Meliala, Puti Marzoeki, Eko Pambudi, and others. 2014. “The Production, Distribution, and Performance of Physicians, Nurses, and Midwives in Indonesia: An Update.” The World Bank, 1–56.

Faizah, A., D Kamilah, S Sivasampu, PK Tahrani, and M Kasturi. 2011. “Distrbution of Clinical Specialist in Malaysian Hospitals.” Kuala Lumpur: National Clinical Research Centre. http://www.crc.gov.my/nhsi/wp-content/uploads/document/Distribuation_of_Clinical_Specialist_in_Malaysia.pdf.

Fuady, Ahmad. 2015. Jaminan kesehatan universal dan pemenuhan hak kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Hipgrave, David Barry, and Krishna Hort. 2014. “Dual Practice by Doctors Working in South and East Asia: A Review of Its Origins, Scope and Impact, and the Options for Regulation.” Health Policy and Planning 29 (6): 703–716.

Ilyas, Y. 2006. “Determinan distribusi dokter spesialis di kota/kabupaten Indonesia.” Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan 9 (3): 146–55.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Menkes soroti masalah distribusi dokter spesialis Indonesia.” depkes.go.id. February 24. http://www.depkes.go.id/article/print/17022400008/menkes-soroti-masalah-maldistribusi-dokter-spesialis-indonesia.html.

Kurniati, A., E. Rosskam, M. M. Afzal, T. B. Suryowinoto, and A. G. Mukti. 2015. “Strengthening Indonesia‟s Health Workforce through Partnerships.” Public Health 129 (9): 1138–1149.

Kurniati, Anna, Ferry Efendi, and Pi-Ming Yeh. 2014. “Human Resource Development for Health in Indonesia: Challenges of Achieving the Millennium Development Goals.” JURNAL SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN 1 (1). http://jurnalsdmk.observatorisdmkindonesia.org/ojs-asli/index.php/jsdmk/article/view/1.

McPake, Barbara, and Ijeoma Edoka. 2014. “Universal Health Coverage Reforms: Implications for the Distribution of the Health Workforce in Low-and Middle-Income Countries.” http://imsear.li.mahidol.ac.th/handle/123456789/172035.

Meliala, Andreasta. 2014. “Distribution and Engagement of Specialist Doctors in Public Hospitals in Indonesia.” BMC Public Health 14 (Suppl 1): O15. doi:10.1186/1471-2458-14-S1-O15.

Meliala, Andreasta, Krishna Hort, and Laksono Trisnantoro. 2013. “Addressing the Unequal Geographic Distribution of Specialist Doctors in Indonesia: The Role of the Private Sector and Effectiveness of Current Regulations.” Social Science & Medicine 82 (C): 30–34.

Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Komite Penempatan Dokter Spesialis. Vol. No 10 Tahun 2016. http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._10_ttg_Komite_Penempatan_Dokter_Spesialis_.pdf.

Presiden Republik Indonesia. 2017. Peraturan Presiden RI tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis. Vol. No 4 Tahun 2017. http://www.kopertis12.or.id/2017/01/29/perpres-no-4-tahun-2017-tentang-wajib-kerja-dokter-spesialis.html.

Ünal, Erdinç. 2015. “How the Government Intervention Affects the Distribution of Physicians in Turkey between 1965 and 2000.” International Journal for Equity in Health 14 (1): 1.