Upload
pamela-actinina-sri-rumata
View
32
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
Diagnosis Dan Penatalaksanan
Polip NasiDiajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Prasyarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT - KL
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang
Disusun Oleh:
Anna Yunita (406080032)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
Periode 18 Januari – 20 Februari 2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah..................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 1
D Manfaat........................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 2
A. HIDUNG..................................................................................... 2
B. POLIP NASI................................................................................ 6
C. PENGELOLAAN PENDERITA.................................................12
D. KOMPLIKASI OPERASI........................................................... 13
BAB III KESIMPULAN ......................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Polip nasi merupakan massa udematous yang lunak berwarna putih atau keabu-abuan
yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari pembengkaan mukosa hidung atau sinus.
Prevalensi yang pasti dari polip nasi belum ada datanya, oleh karena studi epidemiologi yang
dilakukan dan hasilnya bergantung pada populasi studi serta metodenya.(1,2)
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini,
polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi
yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan
tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut “ Bagaimana
cara menegakkan Diagnosis dan Penatalaksanaan Polip Nasi “
C. TUJUAN
1. Dapat mengetahui dan memahami cara menegakkan diagnosis Polip Nasi.
2. Dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan Polip Nasi.
D. MANFAAT
Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca tentang diagnosis dan penatalaksanaan Polip Nasi.
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIDUNG
1. ANATOMI (3)
Hidung (nasus) terdiri dari piramid hidung (nasus eksternus) dan rongga hidung (cavitas
nasi).
a. Hidung Luar (Nasus Eksternus)
Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang wajah. Bagian atas sempit
dan berhubungan dengan dahi disebut radiks nasi. Dari sini ke bawah terbentang dorsum nasi
dan berakhir sebagai ujung yang disebut apeks nasi. Di bagian depan terdapat lubang disebut
nares. Nares di sebelah medial dibatasi oleh sekat yang disebut collumella sedang di sebelah
lateral dibatasi oleh alae nasi. Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi. Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di sebelah superior
diperkuat oleh tulang-tulang : os. nasalis, prosesus frontalis os. maksila dan prosesus nasalis os
frontal.
Di bagian bawah terdapat kerangka tulang rawan yang disebut cartilagines nasi yang
terdiri dari :
1) sepasang cartilago nasi lateralis superior
2) sepasang cartilago alaris mayor
3) sepasang cartilago alaris minores
4) cartilago septi nasi.
b. Rongga Hidung (Kavitas Nasi)
Struktur ini dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah anterior sampai koana di
sebelah posterior. Rongga hidung terbagi dua, kanan dan kiri oleh septum nasi. Rongga hidung
mempunyai atap, lantai, dinding lateral dan dinding media.
Atap : Dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os frontale lamina cribosa,
os eithmoidale dan corpus os sphenoidale.
Dasar : Dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina horizontalis os palatum.
Dinding medial atau septum nasi : Dari anterior ke posterior terdiri atas cartilage septi nasi,
lamina perpendicularis os eithmoidale dan vomer
Dinding lateral : Dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os eithmoidale, concha
nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini tidak rata, ditandai tonjolan-tonjolan
conchae nasalis dan meatus nasi yang terletak di bawah tiap conchae . Conchae nasales tersebut
adalah :
- conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak)
- conchae nasalis superior
- conchae nasalis media
- conchae nasalis inferior
Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu :
- meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae eithmoidales posterior
- meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari sinus maxilaris, sinus frontalis, cellulae
ethmoidais anterior.
- meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis.
c. Vaskularisasi Hidung
1. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna
2. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi sepertiga depan dinding lateral dan
sepertiga depan septum nasi
3. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior
4. cabang-cabang A. facialis
5. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna.
Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara R. septi nasi A. labialis
superior cabang A. facialis dengan rami septales posterior A. Sphenopalatina cabang A.
maxillaris interna, juga kadang-kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis anterior dan
cabang dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak superfisial. Daerah tempat anastomosis
ini disebut daerah Kiesselbach. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena di hidung tidak memiliki
katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
d. Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensorik dari n.ethmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensorik dari n.maxillaris melalui ganglion
sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina, selain mendapat persarafan sensorik, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensorik dari n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion tersebut terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media.
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
sepertiga atas hidung.
2. FISIOLOGI (2,4,5)
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara, mukosanya lebih
kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi epitel skuamosa. Dalam keadaan normal, mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Palut lendir dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di
rongga hidung akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur .
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan
mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga hidung,
hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih
sedikit dan terutama ditemukan di dekat ostium.
Sekresi mukosa nasal merupakan campuran dari komponen-komponen : sekresi kelenjar
mukosa dan sel goblet, transudasi dan eksudasi dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari
leukosit dan sel epitel.
Fungsi hidung adalah untuk :
i. Sebagai jalan nafas
ii. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang masuk ke
alveolus dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
iii. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakakukan
oleh rambut, silia, palut lendir (mucous blanket), dan lysozyme.
iv. Indra penghidu
v. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
vi. Proses berbicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng)
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
vii.Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskular dan pernafasan.
B. POLIP NASI
1. Definisi
Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan penonjolan
keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak, bertangkai, bulat, berwarna
putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung (2). Sering kali berasal dari sinus
dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi
terletak di dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel
eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus
dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).(6)
2. Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih banyak menimbulkan
perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi
septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi (2).
Penyebab lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin, perubahan polisakarida dan
ketidakseimbangan vasomotor(7).
3. Patogenesis
Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan luar melalui udara yang
diinspirasi yang berpotensial menyebabkan kerusakan epitel dan infeksi. Polip nasi terjadi
karena adanya peradangan kronis pada membran mukosa hidung dan sinus yang disebabkan oleh
kerusakan epitel akibat paparan iritan, virus atau bakteri. Banyak faktor yang berperan dalam
pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat
mengalami aktivasi dalam respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan
mengeluarkan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan pemulihannya, antara
lain neuropeptide-degrading enzym, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat, sitokin inflamasi
yang mempengaruhi sel inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi mukus, stimulasi fibroblas dan kolagen.(5)
Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan dihasilkan pada polip nasi.
Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, nitric
oxide synthese, granulocyte-macrophage colony–stimulating factor (GM-CSF), eosinophil
survival enhancing activity (ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin lainnya. (8)
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang kemungkinan berperan juga
dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan selular yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai
respon dari bocornya elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan sistem endogenous
enzyme (MAO, P450, dsb)
Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang
kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi nasal dan rinorrhea. Sintesis mukus
dan hiperplasia sel globet diduga terjadi karena peranan epidermal growth factors (EGF). (8)
Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hyperplasia membran mukosa rongga
hidung, adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema,
kemudian karena pengaruh gaya gravitasi. Akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps
mukosa. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip,(9,13) kemudian terdorong ke dalam
rongga hidung oleh gaya berat.
Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh darah sedikit atau
banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti eosinofil, neutrofil, sel mast, plasma sel
dan lain-lain. Eksudasi plasma mikrovaskular berperan dalam perkembangan kronik edem pada
polip nasi.
Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang edem dengan sedikit
kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul, menandakan komponen alergi.
Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses
regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi.
Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip nasi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari jaringan polip atau
dalam sekret hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma
dan rinitis alergi (9).
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari polip nasi. Pada
polip nasi yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel
eosinofil tidak ditemukan. Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung
disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan septum yang
cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada bagian rongga hidung
dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi lain.
Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif.
Tekanan negatif ini merupakan rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi
edema (2).
Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena inhibisi cyclooxygenase
enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan mediator radang, yaitu cysteinyl leucotrienes.(10)
4. Gejala dan Tanda
Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah
infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama. Dimana dirasakan semakin hari semakin
berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh(6) , sengau, sakit kepala.
Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika
ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak
mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa
berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring (1).
5. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip
nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan
pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi. Gambar dari suatu
polip nasi yang tampak dengan endoskopi.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari polip nasi adalah :
a. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal tumor ini
mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral atap rongga hidung. Dari
anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan pada hidung dan epistaksis berulang yang masif.
Terjadi obstruksi hidung sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman.
Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan sefalgia
menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial. Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi
posterior terlihat adanya massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu
sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada pemeriksaan penunjang radiologik
konvensional akan terlihat gambaran klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu
pendorongan prosesus Pterigoideus ke belakang.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan tumor dan
destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena
bisa terjadi perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak atau remaja
laki-laki(9).
b. Keganasan pada hidung
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu kayu,
formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa
obstruksi hidung, rhinorhea, epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada
palatum, nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea. Pemeriksaan CT scan
memperlihatkan adanya pendesakan dari massa tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor
termasuk sel squamous berkeratin(9).
C. PENGELOLAAN PENDERITA POLIP NASI
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif. Pengelolaan polip nasi
seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi sayangnya penyebab polip nasi belum
diketahui secara pasti. Karena penyebab yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi
alergi, pengelolaanya adalah mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat
diobati dengan konservatif.
1. Terapi Konservatif (8)
a. Kortikosteroid sistemik merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip
nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara
aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
b. Kortikosteroid spray dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif untuk polip
yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif
pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan.
c. Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan
leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
2. Terapi operatif
Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang sangat besar, sehingga
tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi : (11,12,13)
a. Polipektomi intranasal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal
d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL)
f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
D. KOMPLIKASI OPERASI
Komplikasi yang terbanyak meliputi :
· SSP – Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak, hernisasi otak
· Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-otot mata bisa
menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus lakrimalis dapat menyebabkan epiphora
· Pembuluh darah – trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan.
· Kematian
BAB IV
KESIMPULAN
1. Polip nasi adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari mukosa hidung atau
sinus paranasalis yang terdorong karena adanya gaya berat.
2. Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya reaksi alergi, infeksi,
deviasi septum hidung, intoleransi aspirin, perubahan polisakarida, dan ketidakseimbangan
vasomotor.
3. Diagnosis polip nasi berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
4. Pengelolaan penderita polip nasi dengan cara operatif (polipektomi) atau dengan non operatif
(kortikosteroid).
5. Diagnosis dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar penderita tidak jatuh ke dalam
penyulit yang lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Van Der Baan. Epidemilogy and natural history dalam Nasal Polyposis. Copenhagen:
Munksgaard,1997. 13-15.
2. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2000: 97- 99.
3. Staf Pengajar Bagian Anatomi. Materi Kuliah Anatomi: organum sensuum. FK Undip, 2000.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997: 173-
94
5. Calderon, Devalia, Davies. Biology of Nasal Epithelium dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997. 31-41
6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
7. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology. 5th ed. Vol 4
(Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 : 142-53.
8. Archer. Nasal Polyps, Non surgical Treatment. http:// emedicine.com
9. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997: 173-
94
10. szczeklik. Intolerence to aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory drugs in airway
disease dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard,
1997. 105-106
11. Montgomery William. Surgery of the Ethmoid and Sphenoid sinuses in Surgery of the Upper
Respiratory System vol 1. Philadelphia : Lea & febiger,1971 : 41-52
12. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the ethmoid sinuses. In : Head and neck Surgery
vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New York : George Thiem Verlag, 1995 :
465-9
13. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the Maxillary antrum. In : Head and neck
Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New York : George Thiem Verlag,
1995 : 465-9