40
ing perlu diarahkan menjadi outward looking, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara tetangga. Dalam konteks paradigma integratif, keamanan, kesejahteraan dan kelestarian ling- kungan itu, maka penguatan pertahanan, keamanan dan ketertiban di perbatasan darat maupun laut akan semakin kokoh dengan implementasi (1) konsepsi ka- wasan pengembangan ekonomi di kawasan yang mencakup beberapa kecamatan yang terikat secara fungsional mengembangkan sektor ekonomi unggulan secara terpadu, serta, (2) pengelolaan kawasan perbatasan dalam perspektif pelestarian lingkungan berkelanjutan. Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011 – 2025 (Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1/2011 telah menggarisbawahi Reposisi Peran Strategis Kawasan Perbatasan yang pada prinsip- nya mengubah posisi kawasan perbatasan sebagai ‘beranda belakang negara’ men- jadi ‘beranda depan negara’ yang memiliki peran strategis pemacu perkembangan ekonomi regional maupun nasional. Empat elemen strategi tersebut di atas meliputi: 1.) Penyediaan Sarana dan Prasarana Menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) guna mendukung kebutu- han perbatasan sebagai beranda depan negara untuk kegiatan ekonomi dan investasi seperti ketersediaan sistem jaringan listrik, air, telekomunikasi, trans- portasi, pelabuhan, pasar, dll. Pembangunan sarana dan prasarana sosial yang berkualitas, seperti sekolah dan pusat kesehatan mutlak diperlukan, terutama di wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang ekonominya relatif lebih baik dari Indonesia.Pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan diper- batasan yang memadai, dibutuhkan untuk menjamin efektivitas pelayanan administrasi pemerintahan, termasuk pembangunan unit fasilitas pendukung (support facilities unit) untuk mendukung pos lintas batas (PLB) dan fasilitas CIQS-nya (Customs, Imigration, Quarantine, dan Security). 2.) Pengembangan Simpul-simpul Pertumbuhan Mobilisasi dukungan berbagai pihak (public dan private sectors) guna lebih mempercepat pembangunan simpul-simpul pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan, dengan mendorong pengembangan permukiman baru melalui transmigrasi sebagai rintisan pusat-pusat pertumbuhan wilayah di ka- wasan perbatasan yang terintegrasi dengan pengembangan PKSN. OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI 41 OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Politik-Otonomi-Part2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

buku

Citation preview

ing perlu diarahkan menjadi outward looking, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara tetangga.

Dalam konteks paradigma integratif, keamanan, kesejahteraan dan kelestarian ling-kungan itu, maka penguatan pertahanan, keamanan dan ketertiban di perbatasan darat maupun laut akan semakin kokoh dengan implementasi (1) konsepsi ka-wasan pengembangan ekonomi di kawasan yang mencakup beberapa kecamatan yang terikat secara fungsional mengembangkan sektor ekonomi unggulan secara terpadu, serta, (2) pengelolaan kawasan perbatasan dalam perspektif pelestarian lingkungan berkelanjutan.

Desain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011 – 2025 (Peraturan Badan Nasional Pengelola Perbatasan No. 1/2011 telah menggarisbawahi Reposisi Peran Strategis Kawasan Perbatasan yang pada prinsip-nya mengubah posisi kawasan perbatasan sebagai ‘beranda belakang negara’ men-jadi ‘beranda depan negara’ yang memiliki peran strategis pemacu perkembangan ekonomi regional maupun nasional.

Empat elemen strategi tersebut di atas meliputi:

1.) PenyediaanSaranadanPrasarana Menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) guna mendukung kebutu-

han perbatasan sebagai beranda depan negara untuk kegiatan ekonomi dan investasi seperti ketersediaan sistem jaringan listrik, air, telekomunikasi, trans-portasi, pelabuhan, pasar, dll. Pembangunan sarana dan prasarana sosial yang berkualitas, seperti sekolah dan pusat kesehatan mutlak diperlukan, terutama di wilayah perbatasan dengan negara tetangga yang ekonominya relatif lebih baik dari Indonesia.Pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan diper-batasan yang memadai, dibutuhkan untuk menjamin efektivitas pelayanan administrasi pemerintahan, termasuk pembangunan unit fasilitas pendukung (support facilities unit) untuk mendukung pos lintas batas (PLB) dan fasilitas CIQS-nya (Customs, Imigration, Quarantine, dan Security).

2.) PengembanganSimpul-simpulPertumbuhan Mobilisasi dukungan berbagai pihak (public dan private sectors) guna lebih

mempercepat pembangunan simpul-simpul pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan, dengan mendorong pengembangan permukiman baru melalui transmigrasi sebagai rintisan pusat-pusat pertumbuhan wilayah di ka-wasan perbatasan yang terintegrasi dengan pengembangan PKSN.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

41

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

3.) PenguatanKapasitasPemerintahDaerahdanMasyarakat Memperkuat kapasitas kelembagaan pengelola perbatasan khususnya dan

kapasitas pemerintahan daerah otonom pada umumnya, berikut jajaran dan jaringan ke bawahnya hingga kecamatan dan desa, yang siap menciptakan pe-

layanan publik yang prima dan iklim yang kondusif sebagai “front line” pintu masuk hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Negara tetangga; Untuk mendukung, penting secara simultan dilakukan langkah membangun persepsi perbatasan sebagai beranda depan Negara dan mengembangkan wawasan ke-bangsaan yang lebih menjawab kebutuhan warga bangsa di perbatasan ser-ta. Seiring dengan ini, penataan ulang daerah otonom melalui pembentukan daerah otonom barudi kawasan perbatasan, bilamana harus dilakukan, sangat 42

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

penting untuk mempertimbangan dan mengedepankan kepentingan strategis nasional (geo-strategis, geo-politik, dan geo-ekonomi), dalam kerangka men-dukung posisi baru kawasan perbatasan sebagai beranda depan negara.

4.) PeningkatanPengamanandanPenegakanHukum

Meningkatkan pengamanan dan penegakan hukum yang menjamin iklim yang kondusif bagi investasi di perbatasan dalam posisi sebagai hala-man depan Negara. Kepastian hu-kum, jaminan investasi, kemudahan birokrasi pengurusan perijinan (tak berbelit dan bebas pungutan liar), serta rasa aman berinvestasi menjadi fak-tor penting. Di samping itu, berbagai kegiatan pencegahan dan peninda-kan praktek illegal yang terjadi diper-batasan, menjadi bagian tak terpisah-kan dalam strategi ini. Keberadaan pos lintas batas (PLB) khususnya pada titik-titik yang sudah disepakati, yang ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana CIQS (Customs, Imigra-tion, Quarantine, dan Security) yang memadai, penting untuk dioptimalkan.

Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, dengan wilayah perairan laut seluas 5,8 juta kilometer dengan 17.504 pulau – 92 pulau diantaranya menjadi titik batas dengan negara lain – harus terus menerus memperkuat pengelo-laan perbatasan darat maupun laut.

Adalah tepat apa yang dikemukakan Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pengantar Buku Tepian Tanah Air,(Juni 2010) bahwa ‘setiap pulau pada haki-katnya merupakan sebuah tonggak yang menghubungkan tonggak-tonggak lainnya menjadi ‘pagar keliling rumah’ kita. Pulau-pulau ini adalah pagar terdepan, sekaligus beranda kehidupan bangsa dan negara Indonesia.’

43

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Pengelolaan perbatasan berbasis pemberdayaan ekonomi juga telah diuraikan dalam Disain Besar Pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tersebut di atas yakni:

44

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

1) PeningkatanKerjasamaEkonomiRegionalMeningkatkan kerjasama ekonomi dengan negara tetangga melalui skema kerja sama yang sudah ada selama ini, seperti BIMP-EAGA, IMS-GT, IMT-GT, AIDA, dan Sosek Malindo, dengan tetap membuka diri untuk penyesuaian. Sebagai penjelasan, pada beberapa aspek di wilayah perbatasan tidak akan berjalan optimal tanpa adanya kerja sama dengan negara tetangga. Karena itu upaya-upaya kerja sama harus dilakukan dan dipermudah prosedurnya. Di samping itu juga peran pemerintahan lokal harus diperluas dalam kerjasama dengan pemerintah lokal pada negara tetangga. Beberapa negara tetang-ga merupakan mitra kerja dalam perekonomian yang sangat potensial. Jika wilayah perbatasan diharapkan menjadi serambi depan dari wilayah Indonesia, maka hubungan dengan negara tetangga ini perlu ditingkatkan. Peningkatan ekspor ke negara tetangga secara geografis relatif mudah dilakukan, dan ini da-pat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi wilayah perbatasan.Peningkatan kerjasama ekonomi dengan negara tetangga dapat dilakukan mel-alui skema kerjasama yang sudah ada selama ini tersebut.

2) PeningkatanKetahananRegionalMeningkatkan ketahanan regional, mengamankan wilayah masing-masing, dan memberikan rasa tenang-aman kepada masyarakat di wilayah perbatasan, khusus nya bagi para pelaku investasi. Kerjasama dengan negara tetangga, tidak hanya pada sektor ekonomi, namun juga dilakukan dalam aspek pertahanan dan keamanan.

3) PengembanganFasilitasInsentifMendorong sektor swasta untuk melakukan investasi di kawasan per-batasan dengan dukungan fasilitas dari pemerintah baik fasilitas fiskal (dalam bentuk insentif) maupun non-fiskal (infrastruktur).Beberapa

wilayah perbatasan mempunyai peluang untuk pengembangan pusat-pu-sat pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sentra-sentra industri dan

perdagangan. Kerjasama dan kemitraan dengan sektor swasta dan stakehold-ers perlu terus dibangun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan dan kesejahteraan masyarakat. Pelibatan sektor swasta, penting untuk dilipat-gandakan untuk melakukan investasi di kawasan perbatasan, dengan dukungan fasilitas dari pemerintah baik fasilitas fiskal (dalam bentuk insentif) maupun non-fiskal (infrastruktur).Pola pemberian insentif terhadap investasi di per-batasan, banyak permasalahan yang dapat diselesaikan, diantaranya masalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jika aturan investasi di perbatasan disesuaikan dengan standar internasional serta didukung oleh kebijakan investasi yang baik dan konsisten serta aturan khusus ketenaga-kerjaan yang baik, akan banyak in-vestasi yang mengalir ke wilayah perbatasan, karena lokasi yang saat ini dinilai strategis baik dari aspek Hankam maupun akses ke pasar internasional. 45

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

4) MengembangkanKemitraanPengelolaanPerbatasanMembangun dan memperluas kemitraan dengan semua stakeholders dan jaringan strategisnya , yang memiliki misi yang sejalan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nyata. Pola kemitraan tidak dibatasi pada sektor publik dan sektor privat, namun sektor-sektor masyarakat termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi yang berkepentingan sama untuk membangun perbatasan, akan terus digalang dan dikonsolidasikan.

Penguatan ketahanan sosial-ekonomi masyarakat melalui pelaksanaan program-program pemerintah daerah untuk mengatasi munculnya masalah-masalah se-bagaimana digambarkan di atas harus lebih mengedepan sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan-kebijakan nasional dalam pengamanan dan pengelolaan perbatasan.

Peranan pemerintah daerah sebagai pelaku strategis pengelolaan perbatasan men-cakup paling tidak 7 (tujuh) wilayah kegiatan, yakni:

Pertama, dukungan atas sinergitas penguatan keamanan dan penegakan hukum di wilayah perbatasan;

Kedua, pengembangan program-program kesejahteraan masyarakat lokal;

Ketiga, pembangunan pusat-pusat pertumbuhan dan pengembangan ekonomi – terutama ekonomi unggulan – berbasis kecamatan dengan melibatkan private sec-tors serta dukungan partisipasi rakyat;

Keempat, akselerasi pembangunan infrastruktur perbatasan dan prasarana komu-nikasi;

Kelima, penguatan kelembagaan bagi pemanfaatan sumberdaya alam lokal;

Keenam, pengembangan sumber daya manusia untuk mendukung program-pro-gram pengembangan ekonomi lokal;

Ketujuh, pengokohan ketahanan sosial-politik masyarakat dalam arti penanaman wawasan kebangsaan.

46

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Dalam kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) sangat perlu berpartisipasi penuh dan secara aktif memprakarsai serangkaian kegiatan dalam mendukung pelaksanaan Disain Besar Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan (2011-2025) serta Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Secara konsepsional kebijakan Apkasi tersebut harus bersinergi dengan realisasi Master-plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Tema baru bagi pembangunan ekonomi wilayah dalam hubungan dengan pengem-bangan Koridor Ekonomi MP3EI sebagaimana tertuang dalam konsepsi BAPPENAS yang harus memperoleh perhatian jajaran Pemerintah Daerah meliputi:

1. MP3EI tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan ekspor sumber daya alam, namun pada penciptaan nilai tambah.

2. MP3EI tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi pada daerah tertentu namun lebih pada pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif. Hal ini memungkinkan semua wilayah di Indonesia untuk dapat berkembang dengan potensinya masing-masing.

3. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh pusat, namun pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjaga keuntungan kompetitif nasional

4. MP3EI tidak menekankan pembangunan transportasi darat saja, namun pada pembangunan transportasi yang seimbang antara darat, laut, dan udara.

5. MP3EI tidak menekankan pada pembangunan infrastruktur yang mengandal-kan anggaran pemerintah semata, namun juga pembangunan infrastruktur yang menekankan kerjasama pemerintah dengan swasta (KPS).

47

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

DAN PENGUATAN PRANATA HANKAM

OTONOMI DAERAH

48

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

UUD 1945 dengan tegas mengatur dalam pasal 30 ayat (2) tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan kemanan negara. Pada ayat (2) lebih jauh dinyatakan, usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksana-kan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasion-al Indonesia dan Kepolisian RI, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

DAN PENGUATAN PRANATA HANKAM

OTONOMI DAERAH

49

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Dengan demikian, adalah tugas dan kewajiban warganegara termasuk Pemerintah Daerah untuk mendukung alat negara, baik dalam mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, maupun penegakan hukum.

Keterbatasan pranata-pranata pertahanan-keamanan dalam menjalankan fungsi pengembangan ‘sistem pertahanan – keamanan rakyat semesta’ mengingat kondisi geo-politik Indonesia yang kompleks, tentu harus mendorong adanya prakarsa dan inovasi baik dari rakyat maupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meng-galang sumberdaya guna meningkatkan efektivitas fungsi-fungsi hankam.

Dalam kerangka pemikiran itu, Pemerintah Daerah Kutai Timur melakukan pem-belian kapal patrol KRI Kudungga yang kemudian dioperasikan oleh TNI-AL untuk menjaga perairan Kutai Timur dari praktek-praktek illegal di laut.

Pelanggaran di laut berupa praktek pencurian ikan (illegal fishing), juga perdagan-gan illegal di laut (illegal trading) telah berkurang sekitar 92 persen, dari jumlah sebelumnya 620 pelanggaran di laut.

Kerugian negara dalam jumlah besar telah dapat dikurangi secara signifikan, juga pengguna perairan, termasuk nelayan lebih memperoleh jaminan keamanan.

Dukungan nyata dari Pemerintah Daerah Kutai Timur untuk meningkatkan efektivi-tas pranata hankam juga diwujudkan dalam bentuk penyediaan pusat latihan tem-pur.Hal ini menunjukkan perwujudan komitmen guna mengatasi masalah-masalah dhankam seperti persoalan-persoalan wilayah perbatasan di Kalimantan Timur.

Secara konkrit Bupati Kutai Timur telah mengeluarkan keputusan tentang Peneta-pan Lokasi Latihan Gabungan TNI seluas 26.446, 791 hektar di Kecamatan Bengalon dan Kaliorang. Dua tahun lalu, Markas Komando Latihan Gabungan TNI diresmikan di Sangatta.

Dalam mempertahankan kedaulatan NKRI, mencegah ancaman-ancaman bagi keamanan dan menindak berbagai gangguan Kamtibnas, Pemerintah Daerah perlu mengimplementasikan konsepsi otonomi daerah dalam konteks lebih luas, tidak hanya untuk kepentingan sempit daerah, akan tetapi juga kepentingan nasional.

50

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

OTONOMI DAERAH, PENEGAKAN HUKUM, DAN “GOOD GOVERNANCE”

BABIII

51

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

52

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

OPTIMALISASI TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA GOOD GOVERNANCE DAN CLEAN GOVERNMENT

Reformasi tata kelola keuangan daerah yang berorientasi pada perwujudan good governance secara bertahap sudah mencapai kemajuan signifikan, baik dari segi kelengkapan regulasi, arahan kebijakan, penataan kinerja perencanaan, pengang-

garan serta pe ngelolaan keuangan daerah. Perundang-undangan Keuangan Negara, Per-bendaharaan Negara, Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah antara lain Peraturan Pemerintah No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan,Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah serta arahan-arahan dari Menteri Dalam Negeri telah membantu pemerintah daerah untuk tidak sekadar menjalankan administrasi keuan-gan (financial administration), akan tetapi juga tata kelola keuangan (financial manage-ment).

Keseluruhan perundang-undangan serta regulasi dan kebijakan terkait tata kelola keuangan daerah dimplementasikan dengan berbekal komitmen Kepala Daerah dan DPRD untuk membangun tata kelola keuangan yang memenuhi kriteria-kriteria good governance maupun clean government.

53

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Optimalisasi tata kelola keuangan daerah yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, memerlukan sejumlah langkah politik, legal dan administratif yang mencakup:

Pertama, peningkatan kualitas dan kinerja kelembagaan di daerah dalam kebijakan pengelolaan keuangan daerah, mulai penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Dae-rah, Kebijakan Umum APBD, prioritas dan plafon anggaran sementara serta peratu-ran daerah tentang APBD, juga sinergi dan konsistensi dengan kebijakan pemerintah sebagaimana digariskan oleh Mendagri.

Dalam hubungan ini juga perlu digarisbawahi arahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saat memberikan Pidato Pengantar Nota Keuangan RAPBN 2012 yang mengintrusikan kepada para gubernur, bupati, dan Walikota agar memperbaiki pos-tur APBD dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan belanja-belanja yang lebih produktif, seperti belanja modal atau belanja infrastruktur harus diberikan porsi lebih besar dan diprioritaskan dalam pembangunan daerah.

54

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Kedua, percepatan penyesuaian sistem, prosedur, kebijakan akuntansi, kompetensi sumberdaya manusia pengelola keuangan daerah, kapasitas SKPD dalam mengang-garkan, melaksanakan dan melaporkan realisasi fungsinya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Ketiga, peningkatan kualitas penganggaran, pelaksanaan realisasi belanja dan pen-dapatan secara akuntabel serta pertanggungjawaban yang memenuhi syarat tang-gung jawab keuangan negara, sehingga dapat tersaji Laporan Keuangan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Keempat, mewujudkan tata kelola keuangan daerah dan ketentuan hukum yang baik dengan tetap menjalankan konsepsi desentralisasi realisasi fiscal secara efektif, untuk mencapai misi antara lain:

1. Mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah yang meminimum-kan ketimpangan vertikal dan horizontal.

55

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

2. Mengembangkan sistem pajak daerah yang bertanggung jawab untuk men-capai standar pelayanan minimum.

3. Mengembangkan keleluasaan belanja daerah yang bertanggung jawab untuk mencapai standar pelayanan minimum.

4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah untuk penyelenggaraan layanan pub-lik yang optimal.

Desentralisasi fiskal dengan tujuan peningkatan pembangunan ekonomi daerah tidak perlu terkendala oleh masalah-masalah dalam tata kelola keuangan daerah.

Kelima, semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, akuntabilitas harus menjadi acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah pada khususnya, sebagaimana pernah dikemu-kakan Dr. Machfud Sidik, MSc, mantan Dirjen Perimbangan Pusat dan Daerah Depar-temen Keuangan RI.

Keenam, penataan tata kelola implementasi kebijakan pendapatan daerah, kebijakan belanja dan pembiayaan daerah sesuai asas-asas umum pengelolaan keuangan daerah yakni tahunan, universalitas, kesatuan, spesialitas, akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan serta pemeriksaan keuangan yang bebas dan mandiri.

Dalam rangka penyelenggaraan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terutama prinsip transparansi, partisi-pasi dan akuntabilitas, pengelolaan keuangan harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan serta dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, salah satu bentuk tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan menyediakan informasi keuangan yang komprehensif kepada masyarakat luas, melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah.

Pelaksanaan pembangunan daerah dengan pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip-prinsip ‘good governance’ dan ‘clean government’tersebut di atas, se-harusnya dapat dijalankan tanpa harus sering dihadapkan pada kondisi yang dapat menghambat pembangunan daerah serta menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kepala daerah.

‘Praduga bersalah’ dapat terbentuk oleh publikasi yang memuat tuduhan penyim-pangan dalam tata kelola keuangan daerah yang dikonstruksikan begitu rupa seo-lah-olah seorang kepala daerah sudah benar terbukti bersalah melakukan tindak 56

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

pidana korupsi.

Hal tersebut juga melahirkan dampak negative yang paling tidak meliputi :

Pertama, potensi terjadinya ‘trial by the public’ terhadap kepala daerah, baik guber-nur maupun bupati/walikota;

Kedua, kemungkinan pengingkaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),bahkan menyebarnya praduga bersalah (presumption of guilty) di kalan-gan masyarakat terhadap kepala daerah yang dapat menghambat partisipasi rakyat dalam pembangunan daerah .

Ketiga, peluang terjadinya penyalahgunaan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk ‘menekan’ Kepala Daerah berdasarkan publikasi yang belum jeklas ke-benarannya .Hal ini tentu dapat mengganggu kinerja jajaran pem,erintahan daerah.

Keempat, kecenderungan tersebut tak jarang digunakan sebagai sarana ‘black campaign’ dalam pemilukada dengan dampak ‘character assasination’ terhadap petahana (incum-bent)

Langkah –langkah untuk optimalisasi tata kelola keuangan daerah dalam rangka men-capai keberhasilan pembangunan nasional dan daerah jelas harus mencakup refor-masi dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran, pemantauan anggaran, pengelo-laan pendapatan serta penataan akuntansi dan sistem pelaporan, juga peningkatan kontrol,audit dan mekanisme umpan balik, dengan senantiasa memelihara kondusivitas pembangunan daerah .

57

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PEMBANGUNAN DAERAHVS

PENEGAKAN HUKUM MENUJU INDONESIA BARU

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

58

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Pelaksanaan otonomi daerah yang dilandasi perubahan paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kemajuan demokrasi di tingkat lokal, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah kabupaten/kota. Lahirnya UU No.32/2004 tentang Pemerintah Dae-rah , yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 juga tel-ah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dengan demikian proses check and balances dalam penye-lenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Ka-bupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksanakan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih se-cara langsung melalui pemilukada demokratik.

Dalam hubungan ini pula, otonomi daerah telah men-dorong demokratisasi tata kelola pemerintahan. Re-alisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan ke-pemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan ekse-kutif yang terdesentralisasi, penataan sistem adminis-trasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan Negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber pe nerimaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah.

Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelengga-raan pemerintahan daerah.

Di bidang ekonomi, otonomi daerah telah memperkokoh sendi-sendi perekonomian daerah dengan semakin berkembangnya pembangunan infrastruktur yang meng-gerakkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal (local economic growth) serta peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

59

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Kemajuan lain menunjukkan , pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut terwu-judnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi. Realisa-si kebijakan daerah yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat, pada satu sisi telah meningkatkan Index Pembangunan manusia (IPM) secara rasional, dan pada sisi lain menghasilkan berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan kesehatan serta pen-gurangan kemiskinan.

Khusus tentang pelaksanaan strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan, sinergi pemerintah, pemerintah daerah dan segenap pemangku kepentingan (stake-holders) yang harus terus ditata dan dikembangkan sebagai implementasi strategi utama, yakni:

1. Memperbaiki sistem jaminan sosial;2. Meningkatkan akses masyarakat miskin pada kesehatan, pendidikan, air bersih

dan sanitasi;3. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat;4. Mendorong pertumbuhan yang berkualitas atau inclusive growth.

Kemajuan-kemajuan sosial-politik yang dicapai dalam pelaksanaan pembangunan daerah berlandaskan konsepsi otonomi daerah sejak era reformasi tahun 1999 masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan strategis, antara lain:

Pertama, realisasi otonomi daerah mendorong perkembangan aspirasi untuk me-nuntut pemekaran daerah. Dalam kurun waktu 199-2009, tercatat 164 kabupaten baru telah terbentuk, demikian halnya pertumbuhan kota-kota pemekaran dari 59 kota pada tahun 2009. Kecamatan bertambah sekitar 19 persen, kelurahan 35 per-sen, dan desa 14,4 persen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menyatakan kritik terha-dap daerah-daerah pemekaran yang berkinerja buruk, namun sampai akhir Desem-ber 2011 masih tercatat 112 usul daerah otonom baru. Daerah pemekaran dengan kinerja tidak memadai berpengaruh terhadap pelayanan publik, serta menjadi ken-dala upaya-upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, harus ada kebijakan tegas mencabut status kabupaten/kota yang dinilai tidak mampu menyelenggara-kan otonomi daerah dan harus dilakukan evaluasi regular atas kemampuan pemer-intah daerah menyelenggarakan otonomi daerah, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan publik dan perningkatan daya saing daerah.

Kedua, masih terdapatnya perundang-undangan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam, misalnya ma-

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

60

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

teri muatan beberapa pasal dalam UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang dinilai mencerminkan kebijakan resentralisasi yang bertentangan dengan isi serta jiwa pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945.

Ketiga, masih diberlakukannya ketentuan perundang-undangan mengakibatkan konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Antara lain dalam pelaksanaan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah di-ubah dengan UU No. 19/2004 tentang Kehutanan.

Berdasarkan kajian KPK, akibat penunjukan yang belum dilakukan pengukuhan ka-wasan hutan mengakibatkan terdapat 119 potensi konflik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang sebagian atau seluruhnya berada di kawasan hutan. Hal ini menunjukkan disharmoni antara kecenderungan resentralisasi di sektor kehutanan dengan desentralisasi kebijakan kehutanan.

Keempat, efektifitas ‘governability’ Kepala Daerah yakni kemampuan dan kapasitas untuk memimpin perencanaan, pengendalian dan implementasi kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika pembangunan daerah serta perkembangan so-sial, ekonomi dan politik baik dalam skala nasional maupun lokal dihadapkan pada kendala bukan saja permasalahan sumberdaya strategis dalam implementasi kebi-jakan publik, akan tetapi juga seringkali dihadang oleh keterbatasan ruang hukum yang memadai untuk mengambil diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sebagai akibatnya, maka berbagai inovasi yang dapat dikembangkan oleh Kepala Daerah tidak berjalan, ‘the best practice of governability’ terhalang, dan lebih pa-rah lagi Kepala Daerah dapat menjadi korban kriminalisasi kebijakan yang meliputi ‘peradilan opini publik’ maupun proses peradilan tindak pidana korupsi. Peristiwa kriminalisasi ini berdampak negatif tidak hanya secara personal terhadap Kepala Daerah dan keluarganya, akan tetapi juga lebih jauh berpengaruh terhadap melu-asnya ketidakpercayaan publik.

Berkaitan dengan persoalan di atas, sangat tepat, Penjelasan dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ‘majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut.’ Lebih jauh dijelaskan, mengenai perlu-nya perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh Kepala Daerah dalam memajukan daerahnya. Di samping itu juga, harus ada kriteria objektif yang dapat menjadi pegangan bagi pejabat daerah untuk melaku-kan kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut, inovasi akan terpacu tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum.

Rancangan Naskah Akademis RUU Pemerintahan Daerah secara tajam menegaskan tentang hal itu.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

61

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

62

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyeleng-gara pemerintah di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengam-bil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil ‘sifat pasif’ dan kurang ‘responsif’ terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mere-ka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi, dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik.

Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh daerah dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practices) yang berhasil dikembangkan oleh daerah. Dari lebih dari 490 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, hanya sedikit dari mereka yang berhasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dae-rah. Lebih dari itu, banyak data menunjukkan bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan banyak dana daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk meng-gerakan sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini cenderung ditempatkan di SBI.

Diskresi jelas tidak dapat diinterpretasikan sebagai unsur penyalahgunaan kekua-saan dan wewenang, walaupun tetap perlu diberikan rambu-rambu bagi suatu ke-giatan disebut inovatif dan memerlukan diskresi. Kriteria yang dapat dikonstruksikan secara yuridis, apabila kegiatan atau suatu program mampu menciptakan terobosan dalam penyediaan pelayanan publik atau peningkatan daya saing daerah, tidak ada kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan umum.

Gagasan ‘Indonesia Baru’ harus dirancang dengan mengacu pada konsepsi strategis, antara lain:

Pertama, penguatan dan implementasi untuk otonomi daerah yang bertanggung jawab dalam bingkai NKRI dengan meninggalkan kecenderungan politik untuk melemahkan paradigma desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik melalui komunikasi wacana yang bermuatan ‘pemikiran-pemikiran resentralistik’ maupun regulasi – termasuk materi muatan dalam undang-undang – yang secara faktual berpotensi mengubah hubungan-hubungan kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Konstitusionalitas perundang-undangan dengan mua-tan yang mengeliminasi substansi otonomi daerah tersebut telah ditanggapi oleh Apkasi melalui langkah hukum Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.

Kedua, masalah pembangunan infrastruktur yang mendukung aktivitas ekono-mi dengan memperhatikan konektivitas antar wilayah masih harus ditingkatkan guna mencapai tujuan pemerataan pembangunan nasional. Masterplan Percepa-

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

63

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

tan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sebagai Disain Besar Pembangu nan Ekonomi ke depan, harus dipandu oleh visi ‘keNusantaraan’, tidak hanya terpusat pada koridor ekonomi yang relative maju.

Ketiga, diperlukan kebijakan-kebijakan nasional maupun daerah yang segera da-pat dioperasionalisasikan untuk menghadapi perkembangan dalam kerja sama ekonomi regional seperti Asean-China Free Trade Area (ACFTA) terutama dalam pengembang an daya saing produk serta penataan pengelolaan rantai pasokan (sup-ply chain management) secara terintegrasi.

Keempat, diperlukan upaya-upaya untuk terus membangun tata kelola pemerinta-han yang baik, melalui peningkatan kapasitas ‘governability’. Dalam hubungan ini, politik penegakan hukum perlu senantiasa mengacu pada prinsip-prinsip Negara Hukum yang lebih menjamin kepala daerah dalam menjalankan otoritas secara ber-tanggungjawab.

Kelima, proses demokrasi melalui pemilu legislatif serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke depan perlu dikembangkan tidak hanya untuk memenuhi demokrasi procedural, akan tetapi harus merupakan proses seleksi politik untuk menghasilkan terpilihnya wakil-wakil rakyat serta kepemimpinan nasional yang dilakukan secara terbuka, tidak hanya disaring oleh oligarkhi politik dominan di pusat. Pemilu Legis-latif serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang harus merupakan proses penyegaran politik untuk Indonesia Baru ke depan.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

64

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Pelaksanaan tugas dan kewenangan Kepala Daerah yang berjalan dalam kerangka otonomi daerah kian menuntut pelaksanaan prinsip-prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance ) dengan landasan 4

(empat) pilar, (1) akuntabilitas, (2) transparansi, (3) kebijakan dapat diprediksi, (4) partisipasi masyarakat.

Dalam hubungan itu, Kepala Daerah harus memiliki ‘governability’ yakni kemam-puan dan kapasitas untuk memimpin perencanaan, pengendalian dan implemen-tasi kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika pembangunan daerah serta perkembangan sosial, ekonomi dan politik baik dalam skala nasional maupun lokal.

Efektivitas ‘governability’ dihadapkan pada kendala bukan saja permasalahan sum-berdaya strategis daam implementasi kebijakan publik, akan tetapi juga seringkali dihadang oleh keterbatasan ruang hukum yang memadai untuk mengambil dis-kresi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

DAN KEWENANGAN KEPALA DAERAH SERTA MASALAH DISKRESI

TUGAS DINAMIKAPELAKSANAAN

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

65

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Sebagai akibatnya, maka berbagai inovasi yang dapat dikembangkan oleh Kepala Daerah tidak berjalan, ‘the best practice of governability’ terhalang, dan lebih parah lagi Kepala Daerah dapat menjadi korban kriminalisasi kebijakan yang meliputi ‘peradilan opini pub-lik’ maupun proses peradilan tindak pidana korupsi.Peristiwa kriminalisasi ini berdampak negatif tidak hanya secara personal terhadap Kepala Daerah dan keluarganya, akan tetapi juga lebih jauh berpengaruh terhadap meluasnya ketidakpercayaan publik .

Berkaitan dengan persoalan di atas, sangat tepat, Penjelasan dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ‘majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan bangsa tersebut.’ Lebih jauh dijelaskan, mengenai perlu-nya perlindungan terhadap kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh Kepala Daerah dalam memajukan daerahnya. Di samping itu juga, harus ada kriteria objektif yang dapat menjadi pegangan bagi pejabat daerah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut, inovasi akan terpacu tanpa ada kekhawatiran menjadi obyek pelanggaran hukum. Rancangan Naskah Aka-demis RUU Pemerintahan Daerah secara tajam menegaskan tentang hal itu.

Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyeleng-gara pemerintah di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengam-bil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak 66

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

penyelenggara pemerintahan yang mengambil ‘sifat pasif’ dan kurang ‘responsif’ terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mere-ka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi, dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik.

Rendahnya kreativitas dan inovasi yang dilakukan oleh daerah dapat diamati dengan sedikitnya teladan (best practices) yang berhasil dikembangkan oleh daerah. Dari lebih dari 490 provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, hanya sedikit dari mereka yang ber-hasil mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Lebih dari itu, banyak data menunjukkan bahwa daya serap APBD cenderung rendah dan ban-yak dana daerah yang sebenarnya dapat digunakan untuk menggerakan sektor riil dan mempercepat pembangunan daerah sekarang ini cenderung ditempatkan di SBI.

Diskresi jelas tidak dapat diinterpretasikan sebagai unsur penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, walaupun tetap perlu diberikan rambu-rambu bagi suatu ke giatan dis-ebut inovatif dan memerlukan diskresi. Kriteria yang dapat dikonstruksikan secara yu-ridis, apabila kegiatan atau suatu program mampu menciptakan terobosan dalam pe-nyediaan pelayanan publik atau peningkatan daya saing daerah, tidak ada kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan umum. 67

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

68

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Sebagai contoh, dalam UU Prosedur Administrasi Negara Jerman, para pembuat UU (leg-islatif dan pemerintah) sengaja memasukan ketentuan penggunaan Ermessen atau yang kemudian disetarakan dengan diskresi. RUU Administrasi Pemerintahan di Indonesia yang mengadopsi sebagian gagasan serta pasal UU Prosedur Administrasi Negara Jerman, be-berapa waktu lalu merumuskan sejumlah pasal tentang diskresi .

Ermessen dalam UU Prosedur Administrasi Negara Jerman berarti bahwa tindakan admin-istrasi negara dari awalnya tidak diatur secara jelas oleh aturan hukum. Tujuan Ermessen adalah memberikan administrasi negara keleluasan/kelonggaran tertentu untuk bertin-dak, demi melayani kepada kepentingan individual publik. Ermessen hanya ada, jika ada alternatif tindakan atau jika aturan hukum yang digunakan di sisi Rechtsfolge (akibat hu-kum) mengizinkan beberapa keputusan untuk turun.

Dalam UU Prosedur Administrasi Negara, Ermessen harus dimanfaatkan, “Jika administrasi negara berkewenangan atau diberi kewenangan untuk melakukan Ermessen, administrasi itu negara harus menggunakan Ermessen sesuai dengan maksud kewenangan yang diberi-kan kepadanya dan sesuai dengan batas-batas hukum yang berlaku bagi Ermessen tersebut”.

Alasan keputusan berdasar Ermessen itu sendiri hendaknya dapat diketahui secara terbu-ka tentang sudut pandang administrasi negara dalam penggunaannya. De ngan demikian, tidak memanfaatkan Ermessen seperti yang diperintahkan UU, membuat tindakan admin-istrasi negara bertentangan dengan hukum.

Ketentuan hukum yang dimuat dalam RUU tentang Pemerintahan Daerah seyog yanya dapat disetujui guna mengatur inovasi yang dapat menggunakan diskresi, yakni Pemerin-tah Daerah mengacu pada prinsip-prinsip:

a. Peningkatan efisiensib. Perbaikan efektivitasc. Perbaikan kualitas pelayanand. Tidak ada konflik kepentingane. Berorientasi pada kepentingan umumf. Dilakukan secara terbukag. Memenuhi nilai-nilai kepatutan, danh. Dapat dipertanggung jawabkan tidak untuk kepentingan diri sendiri.

RUU tersebut lebih jauh mengatur, dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah dan inovasi tersebut tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan, aparatur daerah tidak dapat dipidana.

Pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan diskresi Kepala Daerah, diharapkan juga dapat berjalan efektif dengan Sistem Pengendalian Intern (PP No. 60/2008 tentang Sistem P engendalian Intern Pemerintah). 69

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

70

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

BAHAN KONFERENSI PERS MENYAMBUT ULANG TAHUN KE-16 HARI OTONOMI DAERAHSesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 11/1996 tertanggal 7 Februari 1996 tentang Hak Otonomi Daerah, tanggal 25 April ditetepkan sebagai Hari Otonomi Daerah.

Dalam rangka memperingati Ulang Tahun ke-16 Hari Otonomi Daerah 25 April 2012, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Ap-kasi) menyampaikan pokok-pokok pandangan dan evaluasi sebagai berikut:

Pertama, legalitas pelaksanaan Otonomi Dae-rah semakin kokoh, setelah lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta mempunyai landasan konstitusional dalam pasal 18 dan 18A UUD 1945.

Perubahan paradigma sentralisasi ke paradigm desentralisasi tidak hanya memperkuat otoritas pemerintah daerah serta menghasilkan kema-juan demokrasi di tingkat lokal, akan tetapi juga pemberdayaan berkelanjutan baik pemerintah daerah provinsi, maupun pemerintah daerah ka-bupaten/kota. 71

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Kedua, lahirnya UU Pemerintah Daerah yang baru yakni UU No. 32/2004, yang kini sudah diubah dengan UU 12/2008 juga telah melahirkan sistem politik baru di daerah, oleh karena kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Dengan demikian proses check and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berjalan secara sistemik, oleh karena pada satu sisi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu yang dilaksana-kan secara regular, demikian pula halnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilukada demokratik.

Dalam hubungan ini pula, otonomi daeraah telah mendorong demokratisasi d tata kelola pemerintahan.

Ketiga, realisasi otonomi daerah juga telah menghasilkan kepemimpinan dae-rah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pela-yanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan Negara dan daerah, serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelo-laan sumberdaya alam, pajak dan retribusi, juga pinjaman daerah.

Keempat, otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyek-tif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kelima, otonomi daerah telah memperkokoh sendi-sendi perekonomian daerah dengan semakin berkembangnya pembangunan infrastruktur yang menggerakkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal (local economic growth) serta peningka-tan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.

Keenam, pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang lebih transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah reformasi birokrasi.

Kemajuan-kemajuan sosal-politik yang dicapai terutama dalam 12 (dua belas) tahun pelaksanaan otonomi daerah – terhitung sejak era reformasi tahun 1999 – masih di-hadapkan pada sejumlah permasalahan strategis, antara lain:

Pertama, realisasi otonomi daerah mendorong perkembangan aspirasi untuk me-nuntut pemekaran daerah. Dalam kurun waktu 1999 – 2009, tercatat 164 kabupaten 72

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

baru telah terbentuk, demikian halnya dengan pertumbuhan kota-kota pemekaran dari 59 kota pada tahun 2009. Kecamatan bertambah sekitar 19 persen, kelurahan 35 persen dan desa 14,4 persen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu menyatakan kritik terha-dap daerah-daerah pemekaran yang berkinerja buruk, namun sampai akhir Desem-ber 2011 masih tercatat 112 usul daerah otonom baru.

Apkasi berpendapat (1) harus ada kebijakan tegas mencabut status kabupaten/kota yang dinilai tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah (2) harus dilakukan evaluasi regular atas kemampuan pemerintah daerah menyelenggarakan otonomi daerah, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan public dan daya saing daerah.

Kedua, masih terdapatnya perundang-undangan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengelolaan sumberdaya alam, misalnya ma-teri muatan beberapa pasal dalam UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang dinilai mencerminkan kebijakan resentralisasi yang bertentangan dengan isi serta jiwa pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945.

Pengujian Undang-undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Ba- 73

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

tubara oleh Pemohon Ir. H. Isran Noor, MSi, Bupati Kutai Timur telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Inti permohonan, pengelolaan Minerba yang tetap berada di tangan pemerintahan pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya pihak ‘diajak berkoordinasi’ tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang mengkhendaki pem-berian kewenangan secara utuh tidak terpecah belah. Pengujian Undang-undang ini masih dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, masih diberlakukannya ketentuan perundang-undangan mengakibatkan konflik kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Dalam hubungan ini telah dilakukan pengujian UU No. 41/1999 tentang Kehutanan se-bagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2004 tentang Kehutanan, yang diaju-kan oleh 5 bupati di Kalimantan Tengah. UU ini dinilai membuka peluang adanya penafsiran penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah Kementerian Kehutanan sehingga mengakibatkan kepala daerah tidak dapat men-jalankan otonomi seluas-luasnya, bahkan berpotensi dipidana. Kriminalisasi para bupati terjadi dengan dikeluarkannya Surat Menteri Kehutanan tanggal 18 April 2011. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 45/PUU-IX/2012 tanggal 21 Febru-ari mengabulkan permohonan di atas.

Berdasarkan kajian KPK, akibat penunjukan yang belum dilakukan pengukuhan ka-wasan hutan mengakibatkan terdapat 119 potensi konflik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang sebagian atau seluruhnya berada di kawasan hutan. Hal ini menunjukkan disharmoni antara kecenderungan resentralisasi di sektor kehutanan dengan desentralisasi kebijakan kehutanan.

Keempat, efektivitas pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah sering kali dihadapkan pada ‘kriminalisasi kebijakan’, walau pun sudah dijalankan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Apkasi mengusulkan agar pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah dinilai berdasarkan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD) serta Evaluasi Kinerja Penye-lenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) sejalan dengan upaya membangun ‘good governance’ dan mempercepat reformasi birokrasi.

74

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

GAGASAN PEMBAHARUAN HUKUM

BABIV

75

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

76

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

PENGANTARBeberapa tanggapan yang dapat disampaikan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) pada kesempatan Rapat Dengan Pendapat Umum de ng an Pansus RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa DPR RI kali ini ada-lah sebagai berikut:

POKOK-POKOKPIKIRANRUUTENTANGPEMERINTAHANDAERAHDalam pokok-pokok pikiran RUU tentang Pemerintahan Daerah, Apkasi menitikber-atkan pada permasalahan, antara lain:

1. Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah2. Pemerintah Daerah3. Pembagian Urusan Pemerintahan4. Urusan Pemerintahan Umum5. Hubungan Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/

Kota6. Pengawasan dan Pembinaan terhadap Pemerintah Daerah dan Peran Gubernur

sebagai Wakil Pemerintah Pusat7. Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota8. Pemberhentian Kepala daerah9. Penataan Daerah

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

77

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

10. Kawasan khusus 11. Tindakan hukum terhadap Aparatur Daerah12. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah

Masalah-masalah lain dalam RUU Pemerintah Daerah disampaikan oleh Apkasi se-cara tertulis yang mana perubahan-perubahan pasal per pasal yang dianggap perlu terdapat dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4.

1. HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH

Konsep daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas-batas wilayah yang berwenang mengatur uru-san pemerintahan dan kepenti-ngan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri ber-dasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatu-an Republik Indonesia, belum sepenuhnya dapat berjalan terutama dalam hubungan harmonisasi pendelegasian we-wenang.

Pendelegasian wewe nang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pen-gelolaan sumberdaya strategis – secara khusus sumberdaya alam – serta implementasi prin-sip pembangunan berkelanju-tan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintah daerah mempunyai tujuan ganda yakni peningkatan akselerasi, efisiensi dan efektivitas dalam konteks desentralisasi, juga pelembagaan partisipasi sosial.

Penyerahan kewenangan yang bersifat atributif, delegatif dan mandataris dalam pelaksanaan otonomi daerah, sejauh ini masih dihadapkan pada sejum-lah permasalahan baik dalam bentuk hambatan operasionalisasi perundang-undangan terkait maupun kendala-kendala praktis.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

78

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Pelaksanaan pembangunan di daerah yang menunjukkan kecenderungan re-sentralistik, dalam arti program pembangunan direncanakan secara terpusat oleh Pemerintah Pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutu-han, karakteristik dan spesifikasi masing-masing daerah, dan mengasumsikan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah adalah sama. Hal ini membawa dampak negatif bagi daerah, seperti hilangnya kreatifitas dae-

rah, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspi-rasi dan kebutuhan masyarakat dae-rah. Kewenangan Pemerintah Dae-rah dalam mengembangkan dunia usaha juga sangat terbatas karena banyak kebijakan dan regulasi be-rada pada Pemerintah Pusat. Berba-gai perizinan masih diputuskan oleh Pemerintah Pusat.

Melalui desentralisasi penyeleng-garaan urusan pemerintahan, maka daerah akan mempunyai kewenan-gan yang luas dan utuh (i) untuk mengatur dan me ngelola aspirasi/tuntutan masyarakatnya; (ii) untuk merencanakan dan me ngelola pelak-sanaan pembangunan di daerahnya. Dengan demikian Pemerintah Dae-rah dapat mengembangkan kreativi-tas dalam menggali dan mengelola potensi yang dimiliki daerah untuk dimanfaatkan seoptimal mung-kin bagi pembangunan daerah dan pengembangan usaha di daerah.

2. PEMERINTAH DAERAHPemberdayaan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, serta pene-gasan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah sesuai UU No. 7/2009 tentang DPR, DPD dan DPRD, masih memerlukan pengaturan guna mencapai hubungan kemitraan harmonis antara DPRD dengan kepala daerah.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

79

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

Masalah yang seringkali muncul seperti hubungan tidak sinergis antara kepala daerah dengan DPRD terkait penyusunan APBD atau pemberdayaan sekretariat DPRD harus dapat diakomodasi dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru.

3. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHANArsitektur pembagian urusan pemerintahan memerlukan penataan yang lebih jelas dan rinci guna menghindari konflik otoritas.

Konsepsi untuk membagi menjadi urusan eksklusif dan urusan konkuren (dapat didesentralisasikan). Urusan ekslusif adalah urusan yang sepenuh-nya menjadi kewenangan pemerintahan pusat, sedangkan urusan kong-kuren adalah urusan yang dapat diatur oleh pemerintah dan atau daerah, yang penentuannya diatur melalui kriteria tertentu. Kedua, memperjelas cara penyeleggaraan urusan pusat dengan menentukan urusan yang sebai-knya dilakukan oleh pemerintah sendiri secara langsung, dengan menggu-nakan dekosentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi perlu dibatasi hanya pada urusan ekslusif dan urusan konkuren yang karena kriteria tert-entu diambil kembali oleh pemerintah sebagai urusan pemerintah. Dengan memperjelas cara penyelenggaraan urusan pemerintahan, hubungan antar tingkat dan susunan pemerintahan dalam penyelenggaraan urusan pemer-intahan akan dapat ditata lebih baik.

Pendekatan ekologis dalam urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal RUU Pemerintahan Daerah serta Penjelasannya khu-susnya dalam urusan Pemerintah di bidang kehutanan, kelautan dan peri-kanan yang dinilai banyak permasalahan sehingga lebih efektif diserahkan ke provinsi perlu dipertimbangkan secara cermat, efektivitas dan efisiensi pengelolaan sumberdaya atau berdasarkan pendekatan ekologis tidak serta merta dapat diselesaikan dengan penyerahan kewenangan ke provinsi de-ngan mengabaikan fungsi, peran serta otoritas pemerintahan kabupaten/kota.

4. URUSAN PEMERINTAHAN UMUMPemerintah daerah turut bertanggung jawab atas urusan Pemerintah umum yang berkait dengan masalah-masalah memelihara persatuan dan kesatuan bangsa di daerah, menjaga dan mengawal Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, membangun demokrasi dan lain-lain.

Oleh karena itu, maka biaya pemyelenggaraan urusan pemerintahan di dae-rah tersebut di atas, tanggung jawab pembiayaan ada pada Pemerintah Pusat melalui APBN.

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI

80

OTONOMI DAERAH UNTUK PENGUATAN NKRI