Upload
trinhnga
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
POSISI YURIDIS HONORARIUM ADVOKAT
TERDAKWA KORUPSI
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum
(MA.Hk) pada Shari>‘ah al-Fiqh
Oleh:
Nurul Etika
NIM: 12.2.00.0.01.01.0171
Pembimbing:
Dr. JM Muslimin, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas taufik dan
hidayah-Nya sehingga tesis yang sederhana ini dapat terwujud sebagai
syarat untuk memperoleh gelar magister agama dalam bidang hukum.
Salawat dan salam tak lupa pula penulis persembahkan kepada junjungan
dan teladan Nabi Muhammad saw.
Atas terselesaikannya tesis ini, penulis banyak berterima kasih
kepada beberapa pihak yang telah membantu, baik moral maupun material.
Kepada mereka, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya dan semoga Allah swt. memberikan balasan yang tinggi
serta menjadi nilai amal yang baik di sisi-Nya.
Ucapan rasa syukur dan terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada:
1. Dr. JM Muslimin, MA sebagai pembimbing sekaligus ketua program
magister yang telah banyak meluangkan waktu dan sabar memberikan
bimbingan serta arahan dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA sebagai Direktur Sekolah
Pascasarjana, ketua program doktor Prof. Dr. Didin Saepudin, MA,
serta seluruh guru besar dan dosen, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA,
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MSPD, Prof. Dr. H. Abdul Gani
Abdullah, SH, Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA, Prof.
Dr. Suwito, MA, almarhum Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH, Prof.
Dr. Iik Arifin Mansur Noor, Prof. Dr. Murodi, Prof. Dr. Hj. Huzaemah
T. Yanggo, Prof. Dr. Yunasril Ali, Dr. Yusuf Rahman, MA, Dr. Asep
Saepuddin Jahar, MA, M. Zuhdi, M.Ed, Ph.D, Dr. Ali Munhanif, MA,
yang telah memberikan masukan dan kritikan melalui beberapa ujian
di antaranya Work in Progress (WIP) dan Pendahuluan.
3. Dr. Rizal S. Gueci, SH, MIC sebagai advokat/pengacara yang telah
membantu memberikan data dan bersedia meluangkan waktunya
untuk proses wawancara yang penulis butuhkan dalam penyelesaian
tesis ini.
4. Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
membantu penyelesaian tesis ini, seperti petugas perpustakaan
Sekolah Pascasarjana, petugas akademik di sekretariat Sekolah
Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, serta
teman-teman diskusi yang banyak memberikan inspirasi dan
semangat dalam penulisan tesis, Hifdhotul Munawwarah, Nurjanah,
Rahmah Ningsih, Puji Pratiwi, Reksiana, Arianto, Harun
Mulawarman, M. Zainal Muttaqin, Syafiudin al-Ayubi, Desi, Nuzul
Iskandar, dan rekan-rekan seangkatan lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
iii
5. Kepada seluruh keluarga, orang tua tercinta ayahanda H. Affandi
Yakin dan ibunda Hj. Jasmaniwar yang telah memberikan motivasi,
dukungan, dan doa yang sangat berharga hingga selesainya penulisan
tesis ini. Kepada adik-adik penulis, Ulfa Husna, Intan Rahmi, dan
Syarah Adha terus semangat belajar pantang menyerah mencapai cita-
cita. Terima kasih ayah, ibu, dan adik-adik, ku persembahkan karya
kecil ini kepadamu.
Sebagai hasil karya manusia, tesis ini dipastikan banyak kekurangan
dan sarat kelemahan, terlebih karena penulis masih dangkal pada aspek
penalaran dan kurangnya informasi serta referensi. Oleh karena itu, penulis
berharap ada masukan dan kritik konstruktif sehingga penelitian ini ke
depannya dapat diperbaiki dan disempurnakan. Semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi setiap manusia serta kemajuan bangsa dan agama.
Jakarta, 23 Juni 2015
Penulis
Nurul Etika
xi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nurul Etika
NIM : 12.0.00.0.1.01.0171
Jenjang Pendidikan : Program Magister (S2)
Konsentrasi : Syariah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul “Posisi Yuridis
Honorarium Advokat Terdakwa Korupsi” adalah hasil karya saya, kecuali
kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat
kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.
Selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi, maka saya siap dikenakan
sanksi yang berlaku.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 17 Juni 2015
Yang membuat pernyataan,
Nurul Etika
xii
xiii
ABSTRAK
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan suatu
upah dikatakan halal atau haram tergantung pada jenis pekerjaan yang
dilakukan dan maslahat yang ditimbulkan dari upah tersebut. Penelitian ini
membuktikan bahwa honorarium seorang advokat yang diterima dari
terdakwa tindak pidana korupsi dibolehkan apabila advokat tersebut bekerja
berdasarkan kode etik yang sesuai dengan ajaran agama. Sebagai usaha
preventif yang dapat mencegah advokat terjerat kasus korupsi kliennya,
maka posisi seorang advokat cukup sebagai “wakil” atau pendamping
terdakwa korupsi yang menjaga hak-hak terdakwa (klien) sesuai dengan
sistem waka>lah bi al-khus}u>mah.
Penelitian ini mendukung pernyataan para peneliti sebelumnya, di
antaranya Muslim al-Yu>suf (2001), al-S}a>diq ‘Abd al-Rah}man al-Gharya>ni>
(2003), Muhammad Rustamaji (2007), Binoto Nadapdap (2008) yang
menyatakan bahwa advokat berhak mendapatkan honor, karena profesi
advokat dibutuhkan untuk memberikan jasa hukum. Pernyataan ini
diperkuat dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang advokat
bahwa advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah
diberikan kepada kliennya, meskipun kliennya tersebut merupakan terdakwa
tindak pidana korupsi. Penelitian ini menolak pernyataan beberapa tokoh di
antaranya al-Mawdu>di> (1975), Pamela S. Karlan (1993), Kha>dim H{usayn
(2009) yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan menerima upah/honor
bagi advokat.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan normatif, yuridis, komparatif. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah penelusuran kepustakaan dan wawancara. Proses analisis
dilakukan dengan mengumpulkan data dan mencari hubungan antara data
yang ada dengan realitas yang sedang diteliti kemudian membandingkan
pendapat para ulama fikih dengan peraturan perundang-undangan Indonesia.
Kata Kunci: Honorarium, Advokat, Terdakwa, Korupsi, Hukum Islam.
xiv
xv
ABSTRACT
This study concludes that substance the position of honor is called
halal or haram depending on the type of work is performed and maslah}a>t who arising from that honor. This research proves that an advocate
honorarium received from the corruption actor allowed if advocate works
based on the code of ethics according to the dogma. As preventive effort
who can prevent advocate caught in corruption case of his client, then the
position of advocate quite as "representative" or companion of corruption
actor who keep the rights of actor (client) corresponding to the system of
wakalah> bi> al-khus}u>mah.
This study supports the opinions of Muslim al-Yu>suf (2001), al-
S}a>diq 'Abd al-Rah}man al-Gharya>ni> (2003), Muhammad Rustamaji (2007),
Binoto Nadapdap (2008) who states that an advocate is entitled to get
honor, because the profession of advocate is required to provides legal
services. This statement is reinforced the provisions which included in the
constitution of advocate, that an advocate is entitled to receive honorarium
for legal services has been given to his clients, although his client is actor of
corruption. This study rejects the opinions from al-Mawdu>di> (1975), Pamela
S. Karlan (1993), Kha>dim H{usayn (2009) who states that it’s not allowed to
receive honor of an advocate.
This study is a qualitative study by using normative approach,
juridical, and comparative. Methods of data collection used library searches
and interviews. The analysis process is performed by collecting data and
searching relations between existing data with the reality is being studied,
then comparing the statement of the jurists with the laws and regulations of
Indonesia.
Keywords: Honorarium, Advocate, actor, corruption, Islamic law.
xvi
xvii
البحث ملخص
امها أن موقف األجور حبسب حالهلا أم حر الرسالةاالستنتاج الرئيسي يف هذه الرسالة هذه ثبتتيعتمد على نوع عمل الذي يؤدي اليها واملصاحل املستنتجة منها.
ادم يؤسس عمله متثبت حبالل لرشوةاب من املدعي عليه املكافات اليت أخذها احملام أنابلسلوك و االداب الدينية. وقاية للمحام عن التدخل يف مسألة الرشوة هي أن حيدد
فقا أو قرينا للمدعي عليه ابلرشوة و حيافظ على حقوقه و " وكيال"موقفه فيها بكونه .وكالة ابخلصومةبعقد
م يوسفكمسل ن،و السابق نو الباحث تؤكد بعض ما توصل إليه الرسالة هذه، (2007) وحممد روستماجي ،(3002)الصادق عبد الرمحن الغرايين ،(2001)
نأل للمحام، الرواتب الشبهة/ األجور جبواز أخذ ، القائلون(2008) بينوتوا ندابداب القانون يف هذا الرأي ابلفقرة الشرطية املكتوبة ويدعم. من جهده مثرة هي املكافات
أن رغم ل،للموك القانونية قدر خدماهتم املكافات أخذ يف حق احملامني هلم أن احملامى يالباحثين منهم المودود رأيالرسالة هذه رفضت. لرشوةاب من املدعي عليه موك له
مبنع القائلون 2009)) ، خادم حسني(1993) ابميال س. كارالن ،(5791) .الرواتب الشبهة/ األجور أخذ
ة،ياريكاملع االقرتاابتبعض و تستخدم النوعي البحث منالرسالة هذه. و املقابالت يباملكت البحث املستخدمة فيه البياانت مجع طريقة. املقارنة القانونية، و
والوقائع احلالية البياانت بني العالقة عن و البحث البياانت جبمع التحليل عملية تتم .ندونيسياأ يف القوانني و الفقهاء آراء بني املقارنة و اجلارية
: أجرة، حمامي، مدعى عليه، رشوة، شريعة إسالمية. سيةيالرئالكلمة
xviii
xix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
Ţ ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
xx
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
... ي Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan
wau Au
A da W
Contoh:
H{aul :حول H{usain :حسني
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
<Fatḥah dan alif a ــا a dan garis di
atas
ي Kasrah dan ya Ī ــ I dan garis di
atas
Ḑamah dan wau Ū ــ وu dan garis di
atas
D. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
xxi
madrasah :مدرسة mar’ah: مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya,
kecuali dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شو ال <Rabbana :رب نا
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: القلم : al-Qalam
xxii
xxiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ......................
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ...............................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................
ABSTRAK .............................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ..............................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................
SINGKATAN DAN AKRONIM ............................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah ................................................................
2. Perumusan Masalah .................................................................
3. Pembatasan Masalah ...............................................................
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...............................................
D. Tujuan Penelitian ...........................................................................
E. Manfaat Penelitian .........................................................................
F. Metodologi Penelitian ....................................................................
G. Sistematika Penulisan ....................................................................
BAB II TEORI PENGUPAHAN
A. Konsep Upah menurut Teori Ekonomi
1. Pengertian dan Dasar Hukum Upah ........................................
2. Bentuk-bentuk Pemberian Upah .............................................. 3. Penetapan Sanksi Hukum terhadap Pengupahan .....................
B. Konsep Upah dalam Islam
1. Upah dalam Akad Ija>rah ..........................................................
2. Tujuan Kerja dan Bentuk Kerja ...............................................
3. Kaidah Fikih dalam Upah ........................................................
4. Syubhat dan Haram dalam Upah .............................................
5. Teori Sadd al-Dhari>‘ah ............................................................
BAB III ADVOKAT BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Korupsi dalam Perundangan di Indonesia .............
B. Kedudukan Hukum Advokat dalam Melayani Klien .....................
C. Kasus-Kasus tentang Peran Advokat dalam Tindak Pidana Korupsi
........................................................................................................
xxiv
BAB IV HONORARIUM ADVOKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
A. Profesi Advokat dalam Islam .........................................................
B. Perjanjian Hubungan Kerja ............................................................
1. Advokat Sebagai Penerima Honorarium .................................
2. Metode Pembayaran Honorarium Advokat .............................
C. Dampak Hukum dari Kesepakatan Perjanjian Hubungan Kerja
dalam Waka>lah ...............................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
GLOSARIUM ........................................................................................
INDEKS .................................................................................................
BIOGRAFI PENULIS ............................................................................
LAMPIRAN
xxv
SINGKATAN DAN AKRONIM
GNP
IAIN
ICW
Jo
JPU
KEAI
KPK
KUHAP
KUHD\
KUHP
KUHPer
MA
MUI
PBB
PT
PTUN
RUU
Tipikor
TPPU
UIN
UU
UUD
: Gross National Product
: Institut Agama Islam Negeri
: Indonesian Corruption Watch
: Juncto
: Jaksa Penuntut Umum
: Kode Etik Advokat Indonesia
: Komisi Pemberantasan Korupsi
: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
: Mahkamah Agung
: Majelis Ulama Indonesia
: Persatuan Bangsa-Bangsa
: Pengadilan Tinggi
: Pengadilan Tata Usaha Negara
: Rancangan Undang-Undang
: Tindak Pidana Korupsi
: Tindak Pidana Pencucian Uang
: Universitas Islam Negeri
: Undang-Undang
: Undang-Undang Dasar
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus korupsi telah menjadi isu sentral dalam praktik hukum di
Indonesia. Diagnosis perilaku tentang korupsi tampaknya semakin endemi,
yang dilakukan oleh pelaku bisnis atau para elite birokrat dengan cara yang
profesional dengan memanfaatkan hi-tech dan bentuk kejahatan dimensi
baru bahkan melibatkan investor asing.1 Skandal korupsi telah mewabah
secara internasional ke setiap negara, nilai-nilai budaya tertentu seolah
memberikan peluang bagi koruptor untuk melakukan praktek tersebut,2
sehingga kasus ini tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak
tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi juga telah
meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, tatanan hukum
dan keamanan nasional,3 maka pemberantasannya pun harus disertai dengan
reformasi moral, transformasi gaya hidup, dan perubahan struktural dalam
perekonomian.4
Korupsi yang terjadi di Indonesia dilihat dari sisi modus
operandinya dapat digolongkan kepada: Pertama, suap menyuap di berbagai
sektor, antara lain berupa mafia peradilan, suap menyuap dalam proses
rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), dan lain-lain. Kedua, pungutan-
pungutan liar (pungli) di segala sektor publik. Ketiga, mark up (penggelembungan). Keempat, pembobolan dan kredit macet lembaga
perbankan. Kelima, penggelapan uang negara.5
Korupsi dapat menyangkut janji, ancaman, atau keduanya dapat
dimulai oleh seorang pegawai negeri abdi masyarakat atau pihak lain yang
mempunyai kepentingan, dapat mencakup tindakan-tindakan penghilangan
jejak atau pun komisi, yang melibatkan jasa yang halal maupun tidak halal,
1 IGM Nurdjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi
“Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum” (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), 11 2 Bryan W. Husted, “Wealth, Culture, and Corruption,” Journal of
International Business Studies, Vol. 30, No. 2 (2nd Qtr., 1999) : 341 3 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis
UURI Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002 juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009 (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), 28 4 Umer Chapra, Islam and Economic Development: A Strategy for
Development with Justice and Stability (New Delhi: Adam Publishers and
Distributors, 2007), 91 5 Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi (Jakarta: Republika,
2004), 1
2
dan bisa terjadi di dalam atau di luar organisasi pemerintah.6 Praktik korupsi
merupakan cermin tingkat kesadaran hukum warga negara. Maraknya
korupsi dapat berarti rendahnya kesadaran hukum dan remuknya supremasi
hukum. Lebih tragis lagi jika korupsi telah merambah kalangan penegak
hukum, sehingga masyarakat akan kehilangan mekanisme sosial yang
berarti.7
Lebih umum faktor penyebab korupsi dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan pelaku korupsi sebagai pemegang amanat berupa
jabatan dan wewenang yang diembannya. Hal yang sangat berpengaruh
adalah lemahnya peran agama sebagai pembentuk perilaku masyarakat.8
Sedangkan faktor eksternal berupa sistem pemerintahan dan kepemimpinan
serta pengawasan yang tidak seimbang sehingga bisa membuka peluang
terjadinya korupsi.9 Selain itu, persaingan dalam bidang politik dan bentuk
pemerintahan pun termasuk dalam faktor penyebab korupsi.10
Lebih khusus, tentang kausa atau sebab orang melakukan perbuatan
korupsi di Indonesia di antaranya adalah; Pertama, kurangnya gaji atau
pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
hari makin meningkat. Kedua, latar belakang kebudayaan atau kultur
Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Ketiga,
6 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2001), terj., xx 7 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi (Jakarta:
Zikrul Hakim, 1997), 58 8 Ghulam Shabbir and Mumtaz Anwar, “Determinants of Corruption in
Developing Countries,” The Pakistan Development Review, Vol. 46, No. 4, 2008
(Winter 2007) : 762 9 Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah: 2012),
37 10 Sebagian pendapat menyatakan bahwa tingkat korupsi lebih rendah pada
pemerintahan yang diktator dibanding negara-negara yang memiliki sebagian
demokratisasi. Penelitian lainnya mengungkapkan sebaliknya bahwa korupsi tidak
menimbulkan efek yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara
demokrasi, sementara negara-negara non-demokrasi menderita kerugian ekonomi
yang signifikan dari korupsi. Lihat A. Cooper Drury, Jonathan Krieckhaus and
Michael Lusztig, “Corruption, Democracy, and Economic Growth,” International Political Science Review / Revue internationale de science politique, Vol. 27, No. 2
(Apr., 2006) : 1\21. Intervensi negara dalam ekonomi dan persaingan politik yang
lemah memudahkan terjadinya korupsi. Prakteknya teori ini cocok dengan
pengalaman dari sejumlah negara berkembang. Lihat Gabriella R. Montinola and
Robert W. Jackman, “Sources of Corruption: A Cross-Country Study,” British Journal of Political Science, Vol. 32, No. 1 (Jan., 2002) : 147
3
manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien.
Keempat, penyebab korupsi adalah modernisasi.11
Selain itu nepotisme juga mempengaruhi proses berkembangnya
korupsi yang mengakibatkan hancurnya perekonomian sebuah negara.
Misalnya, nepotisme dapat mengakibatkan kurangnya produktivitas jangka
panjang publik dan swasta. Menurut James Scott (1976) sebagaimana yang
dikutip oleh Ellinor Ostrom, bahwa perilaku korupsi tidak terbatas pada
nepotisme. Beberapa kasus, posisi pelayanan publik yang seharusnya
diberikan kepada masyarakat, sering diganti dengan pelayanan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, terlepas dari keluarga atau status etnis.12
Korupsi tidak semata-mata sebagai tindak pidana yang sanksinya
berhenti di situ saja, lebih lanjut tindak pidana ini juga dapat meluas hingga
tindak pidana pencucian uang.13 Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi
yang paling pokok dalam sektor keuangan Indonesia. Pencucian uang dapat
terjadi ketika aktivitas kriminal menghasilkan keuntungan besar, individu
atau kelompok yang terlibat harus menemukan cara untuk mengendalikan
dana tanpa menarik perhatian pada aktivitas yang mendasari atau orang
yang terlibat. Pelaku kejahatan ini melakukannya dengan menyamarkan
sumber, perubahan bentuk, atau memindahkan dana ke tempat yang kurang
mungkin untuk diketahui pihak lain.14 Relevansinya di antara kedua tindak
pidana tersebut merupakan kehendak yang similaritas dari permasalahan
dalam lingkup pers, yaitu delik penyebaran yang merupakan suatu delik
yang mendahului dan dilakukan setelah delik pokok selesai dilakukan.15
Tindak pidana korupsi dan pencucian uang memiliki hubungan timbal balik
dan saling mendukung. Artinya, lingkungan yang dicemari oleh penyakit
korupsi akan memudahkan proses pencucian uang. Begitu juga sebaliknya,
pencucian uang akan memberikan peluang bagi koruptor untuk menikmati
dan mengamankan hasil korupsinya.16
11 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2008), 13 12 Ellinor Ostrom, etc., Institutional Incentives and Sustainable
Development: Infrastructure Policies in Perspective (USA: Westview Press, 1993),
66 13 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Diadit
Media, 2009), 181 14 Vandana Ajay Kumar, “Money Laundering: Concept, Significance and
its Impact,” European Journal of Business and Management, Vol 4, No. 2 (2012) :
114 15 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Diadit
Media, 2009), 181 16 I Gde Made Sadguna, “Peranan PPATK dalam Pemberantasan Korupsi
Menuju Good Corporate Governance Sektor Keuangan,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
24 No. 3 ( 2005) : 19
4
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana asal (predicate crime) sebagai delik pokok yang mendahului haruslah dibuktikan terlebih
dahulu. Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana
khusus. Keberadaan tindak pidana ini dalam hukum positif Indonesia
sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah diadopsi oleh Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, yang selanjutnya juga diadopsi oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.17
Perhatian terhadap tindak pidana korupsi, sudah seharusnya
memperoleh perhatian yang berkaitan dengan unsur-unsur yang termuat di
dalamnya, yaitu: (1) perbuatan yang dilakukan mengandung unsur
“melawan hukum”; (2) mengandung unsur “kesengajaan”; (3) adanya
penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan jabatan yang melekat pada
dirinya; (4) perbuatan itu merugikan keuangan maupun perekonomian
negara dan masyarakat. Unsur “melawan hukum” dalam undang-undang No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selain
mempunyai pengertian formal, juga mengandung pengertian material
sebagai upaya perluasan menghadapi perbuatan-perbuatan koruptif yang
sangat sulit memperoleh pembuktiannya, termasuk perbuatan pencucian
uang dengan menggunakan sarana perbankan yang mengakibatkan kerugian
bagi masyarakat dan negara dalam skala besar.18
Berdasarkan unsur-unsur dan terminologi korupsi, hukum pidana
Islam telah mengkualifikasikan beberapa tindak pidana yang mendekati
terminologi korupsi pada saat ini, beberapa jari>mah tersebut di antaranya
ghulu>l (penggelapan), rishwah (penyuapan), ghas}ab (mengambil paksa
hak/harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), h}ira>bah (perampokan),
al-maks (pungutan liar), al-ikhtila>s (pencopetan), dan al-ihtiha>b
(perampasan).19 Beberapa tindak pidana ini diindikasikan memiliki
kesamaan secara unsur dengan korupsi yang terdiri dari tindak pidana h}ad
(sariqah dan h}ira>bah) dan tindak pidana ta‘zi>r (ghulu>l, rishwah, ghas}ab, khianat, al-maks, al-ikhtila>s, dan al-ihtiha>b).
Pemerintah melalui undang-undang tentang korupsi ini berusaha
maksimal untuk menindaklanjuti para pelakunya dalam setiap tahap
pemeriksaan, tahap penyidikan hingga tahap pembuktian. Ketentuan dalam
proses penyidikan ini tentunya dengan tetap memperhatikan hak-hak
17 Pasal-pasal dalam KUHP tentang tindak pidana korupsi di antaranya
209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435. Pasal-pasal
dalam UU No. 31 Tahun 1999 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 13. Pasal-pasal dalam UU
No. 20 Tahun 2001 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 A, 12 B, dan 23. Lihat Ermansjah
Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK ..., 34. 18 Indriyanto Seno Adji, “Korupsi Sistemik Sebagai Kendala Penegakan
Hukum di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 24 No. 3 (2005), 8. 19 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 78
5
tersangka20 salah satunya adalah hak yang sama sebagai warga negara untuk
mendapatkan bantuan hukum. KUHAP telah meletakkan landasan prinsip
legalitas dan pendekatan pemeriksaan dalam semua tingkat. Jadi, sesuai
dengan asas legalitas maka aturan-aturan yang berlaku di masyarakat sudah
sepatutnya menempatkan terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan
sebagai manusia yang mempunyai hak asasi dan harkat martabat harga
diri.21
Hak untuk mendapatkan bantuan hukum oleh tersangka didapatkan
dari seorang advokat.22 Keberadaan advokat di tengah proses penyidikan
mempunyai andil yang cukup besar dalam rangka membela hak-hak
tersangka/terdakwa. Pasal 54 dan pasal 55 KUHAP23 menentukan bahwa
hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari advokat
dapat diberikan pada setiap tingkat pemeriksaan.24 Pengabaian terhadap
ketentuan ini mengakibatkan tidak sahnya proses pemeriksaan yang telah
dilakukan terhadap tersangka dalam proses penyidikan. Bahkan berakibat
pada tidak diterimanya tuntutan Jaksa Penuntut Umum, sesuai dengan
putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1565 K/Pid/1991 tanggal 16
September 1993.25
Menurut Ima>m al-Mawdu>di, pengacara atau advokat dilarang dalam
Islam. al-Mawdudi berpendapat bahwa profesi pengacara atau advokat tidak
20 Selain hak tersangka, hak saksi juga harus diperhatikan dalam
persidangan, sehingga masing-masing haknya harus diakomodasi agar seimbang.
Lihat Paul Roberts and Jill Hunter, “The Human Rights Revolution in Criminal
Evidence And Procedure,” Criminal Evidence And Human Rights: Reimagining Common Law Procedural Traditions (May 25, 2012), 21,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2066771, (accessed February
12, 2015). 21 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan Dan Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 331. 22 Herbert Sturz, “Experiments in the Criminal Justice System,” Federal
Sentencing Reporter, Vol. 24, No. 1 (October 2011) : 5. 23 Pasal 54 dan 55 KUHAP:
Pasal 54: Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan
pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-
undang ini.
Pasal 55: Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka
atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya. 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 12 25 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1565 K/Pid/1991 tanggal 16
September 1993 yang menyatakan: Apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak
tersangka/terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk
penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum
dinyatakan tidak dapat diterima.
6
ada dalil (al-Quran atau Hadis), yang membenarkan profesi tersebut di
pengadilan. Ima>m al-Mawdu>di, bahkan menegaskan profesi pengacara
sering melakukan pemanipulasian hukum Tuhan. Profesi pengacara, tidak
lebih merupakan komoditi keterampilan, untuk membela dan
mempertahankan tuntutan pihak atau klien yang membayar, dan tanpa
mempedulikan bahwa kliennya berada di pihak yang benar atau salah.26
Beberapa pendapat tentang pengingkaran adanya advokat oleh
sebagian ulama tersebut, kemudian mendapatkan bantahan dari mayoritas
ulama bahwa dalam Islam juga dikenal adanya advokat dalam pembelaan
hak tersangka tindak pidana.27 Landasan normatif yang termuat dalam
berbagai ayat dan hadis tentang hukum mengkonsepsikan prinsip dan asas
bantuan hukum dalam proses penegakan hukum Islam.28 Para ahli fikih
mengkonsepsikan pembelaan dari advokat tersebut dalam bentuk yang lebih
dinamis dan komprehensif ke dalam sistem waka>lah (perwakilan).
Berbeda dengan sistem acara pidana di Indonesia, dalam Islam tidak
semua perkara pidana harus didampingi oleh advokat, meskipun dalam
perkembangannya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut
Ima>m Abu> H{anifah dan Muh}ammad ibn H{asan al-Shaybani, Apabila tindak
pidana tersebut tidak memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim seperti
zina dan meminum minuman keras maka tidak boleh diwakilkan. Kemudian
menurut ulama mazhab Sha>fi‘i, tidak boleh mewakilkan tindak pidana yang
menyangkut hak Allah. Berbeda dengan hal itu, Ulama mazhab H{anbali
menyatakan bahwa boleh mewakilkan pembuktian dan pelaksanaan
hukuman yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT seperti zina dan hak-
hak pribadi seperti tindak pidana pencurian.29
26 Al-Ima>m al-Maududi, “Mihnah al-Muh}a>mah,”
http://www.almodares.net/articles, (accessed April 15, 2014). 27 Kebanyakan para ulama mengakui adanya keberadaan pengacara,
pernyataan tersebut didasarkan pada beberapa alasan: Dalil al-Qur’an surat at-
Taubah ayat 60 28 Di antara prinsip-prinsip bantuan hukum dalam penegakan hukum Islam:
prinsip keesaan Allah, keadilan, kebebasan, persamaan, amar makruf nahi mungkar,
tolong menolong, hak Allah dan hak manusia, musyawarah untuk mufakat,
toleransi. Di samping itu, beberapa asas hukum Islam yang erat kaitannya dengan
konsep bantuan hukum di antaranya asas kehormatan manusia, penataan hukum,
kekeluargaan dan kemanusiaan, asas gotong royong dalam kebaikan, asas keadilan,
kelayakan dan kebaikan, menarik manfaat dan menghindari mud}arat, kebebasan dan
kehendak, kesukarelaan. Lihat Didi Kusnadi, Bantuan Hukum dalam Hukum Islam Hubungannya dengan UU Advokat dan Penegakan Hukum di Indonesia (Jakarta:
Kementerian agama RI, 2011), 52-54 29 ‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1999), Jilid ke-3, 176-178
7
Tindak pidana korupsi termasuk dalam pelanggaran hak Allah dan
hak adami,30 karena akibat dari korupsi tidak hanya berdampak terhadap diri
sendiri dan melanggar ketentuan Allah saja, tetapi lebih dari itu, korupsi
bahkan dapat merampas hak dan meruntuhkan kehidupan masyarakat secara
umum. Sehingga apabila tindak pidana tersebut dikualifikasikan dalam
jina>yah, tidak dapat dipastikan bahwa ia masuk ke dalam perkara h}ad
(sariqah dan h}ira>bah), karena unsur-unsur korupsi tidak sepenuhnya
memenuhi unsur-unsur yang tercakup di dalam perkara h}ad tersebut.
Mengingat tidak adanya ketentuan yang baku terhadap tindak pidana ini
dari sumber hukum Islam baik al-Qur’an maupun hadis, maka pembelaan
dan perwakilan untuk terdakwa korupsi masih menjadi perdebatan para
ulama, sebagian mazhab ada yang membolehkan dan sebagian lain tidak
memperbolehkannya.
Di Indonesia, perjalanan profesi advokat merupakan etika perilaku
kehormatan dan kepribadian advokat. Advokat termasuk di dalam kalangan
profesional, yang dalam pelaksanaan profesinya memerlukan suatu tuntunan
dan tolak ukur etika untuk menjalankan profesinya dan untuk menghindari
perilaku profesi yang buruk.31 Kode etik advokat berhubungan dengan
kepribadian seorang advokat pada umumnya, salah satunya hubungan antara
advokat dengan klien.32 Dalam pengaturan kode etik profesi advokat
Indonesia33 dan pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 200334 tentang
30 Hak Allah merupakan setiap hal yang melekat pada kepentingan publik
yang tidak seorang pun memiliki kewanangan untuk menuntutnya. Tidak ada jalan
dalam pelaksanaan hak Allah untuk digantikan dengan perdamaian seperti h}udu>d, kafarat, dan lainnya. Pelaksanaan terhadap hak Allah merupakan wujud dari
perdamaian yang dilakukan oleh hamba dengan Tuhannya sehingga tidak dapat
dibatalkan. Apabila seorang pemimpin menghilangkan hak Allah ini, maka Allah
akan melaknat pemberi syafaat dan yang diberi syafaat. Sedangkan hak adami
merupakan hak manusia yang menerima perdamaian dan pengguguran pelaksanaan
hukuman. Ia berhubungan dengan kemaslahatan manusia seperti masalah utang,
ija>rah, shirkah, rahn, h}iwa>lah, kafa>lah dan sejenisnya. Lihat H{asan ‘Ali> al-Sha>dhali>,
Jina>ya>t fi al-Fiqh al-Isla>mi> Dira>sah Muqa>ranah Bayna al-Fiqh al-Isla>mi> wa al-Qanu>n, (Da>r al-Kita>b al-Ja>mi‘i>, 2010), juz 1, 19
31 Eka Martiana Wulansari, “Perkembangan, Peranan dan Fungsi Advokat
dan Organisasi Advokat di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 10 No. 1 -
Maret 2013, 35, www.djpp.kemenkumham.go.id/files/doc/2432_JURNAL
LEGISLASI INDONESIA VOL 10 OK.pdf (accessed April 20, 2014) 32 Michael Wood, “Introductory Remarks by Michael Wood”, Proceedings
of the Annual Meeting (American Society of International Law), Vol. 106 (March
2012): 154 33 BAB I Ketentuan Umum Kode Etik Profesi Advokat Indonesia.
Pasal 1 huruf f: Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan
jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya. 34 Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2003: (1) Advokat berhak menerima
Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. (2) Besarnya
8
Advokat, diatur tentang kebolehan adanya honor35 tanpa adanya batasan,
tidak terkecuali terhadap klien yang merupakan tersangka tindak pidana
korupsi.36 Selain itu, di dalam kode etik advokat juga dijelaskan tentang
kerahasiaan advokat terhadap klien.37 Kerahasiaan ini mengindikasikan
sebuah kedekatan antara advokat dan kliennya, sehingga tidak dengan
mudah seorang advokat mengungkapkan harta yang dimiliki kliennya yang
diduga merupakan hasil tindak pidana.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), profesi advokat
digolongkan ke dalam perbuatan aktif (tindak pidana positif) sebagaimana
yang terdapat pada pasal 6 dan pasal 12 huruf d,38 sehingga dapat dikatakan
Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. 35 Terdapat beberapa istilah dalam pembayaran jasa, di antaranya adalah
honor dan upah. Kedua istilah ini memang terlihat sama yaitu pembayaran terhadap
jasa, tetapi pada hakikatnya berbeda. Upah adalah uang dan sebagainya yang
dibayarkan sebagai pembalas jasa atau sebagai pembayar tenaga yang sudah
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah lebih umum dari honor. Pada
umumnya upah digunakan untuk pelayan toko, buruh pabrik dan buruh kasar.
Sedangkan honor merupakan upah sebagai imbalan jasa yang diberikan kepada
pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer. Kata honor
digunakan untuk kalangan profesional. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia. 36 Muhammad Rustamaji, “Legal Service Fee Penasehat Hukum Terdakwa
Money Laundering dalam Sinkronisasi UU Advokat dan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang,” Yustisia, Edisi Nomor 72 Sept. - Des. 2007, 107,
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/view/192/179 (accessed
April 20, 2014). 37 Pasal 4 Kode Etik Advokat Indonesia bahwa advokat wajib memegang
rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan
dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat
dan klien itu. 38 Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001: (1) Dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri
sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
9
bahwa advokat termasuk ke dalam subjek hukum yang dapat dipidana
berdasarkan undang-undang tersebut. Advokat yang menerima hadiah atau
janji sama dengan korupsi. Dalam kaitan ini, “menerima hadiah atau janji”
dikualifikasikan sebagai bentuk suap-menyuap.39
Dalam pemberantasan korupsi sering pihak penyidik terlalu
menfokuskan diri menyidik para pelakunya saja, sehingga penelusuran dana
atau aset negara yang telah dikorupsi terabaikan. Akibatnya, mereka tidak
mengetahui kekayaan si pelaku yang berasal dari hasil korupsi yang
dilakukannya, apalagi jenis dan jumlahnya, di mana disimpan, dan di tangan
siapa saja kekayaan itu berada.40 Apabila seseorang terbukti melanggar delik
pokok (tindak pidana korupsi), maka ia akan pula dianggap terbukti
melakukan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutan
(supplementary crime).41 Advokat yang terbukti melakukan korupsi dengan
dugaan penerimaan suap berdasarkan pasal 6 dan 12 huruf d Undang-Undang
Tipikor, secara tidak langsung ia pun akan terjerat pada pasal 5 Undang-
Undang No. 8 Tahun 2010 tentang pencucian uang42 yang tergolong ke
dalam subjek hukum pasif.
Menurut pasal 12 huruf d begitu juga dalam pasal 6 ayat 1 Undang-
Undang Tipikor dijelaskan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi
Pasal 12 huruf d UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah): seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. 39 Asmawi, Teori Mas}lah}at dan Relevansinya dengan Perundang-
Undangan Pidana Khusus di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag
RI, 2010), 131 40 Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta:
Kompas, 2001), 58 41 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum (Jakarta: Diadit
Media, 2009), 243 42 Pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010:
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor
yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
10
memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Advokat yang dijadikan subjek hukum dalam ketentuan pasal ini
adalah advokat yang menghadiri sidang di pengadilan. Logikanya adalah
hanya advokat yang menghadiri sidang pengadilan saja yang dimaksud
dalam pasal ini.43
Melirik kepada subjek hukum korupsi, sebagaimana yang tertulis
pada pasal 6 dan 12 huruf d UU No. 20 Tahun 2001, dan juga terdapat dalam
pasal 5 UU No. 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang, setiap
orang yang menerima, menguasai, menggunakan atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana, juga dapat dipidana. Dengan adanya
kedekatan profesional antara kedua pihak ini maka sangat mungkin bagi
advokat untuk menduga bahwa keberadaan honor yang diterima dari
kliennya adalah hasil tindak pidana korupsi, sebagaimana yang dijelaskan
pada pasal 6 dan 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Tugas seorang advokat adalah melakukan pembelaan terhadap hak
klien yang menjadi tersangka suatu tindak pidana. Pembelaan ini harus
dilakukan dengan profesionalitas yang tinggi. Sebelum vonis hakim
dikeluarkan, kasus klien yang ditanganinya belum dapat dipastikan secara
nyata bersalah atau tidak.44 Sehingga, sekalipun kliennya adalah
tersangka/terdakwa korupsi, ia tetap dituntut untuk membela dan
mendampingi. Jasa hukum advokat dalam pembelaan, berhak dihargai
dengan honorarium yang pantas dari kliennya.
Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa asal dari perbuatan manusia
adalah terikat dengan hukum syara’. Hukum syara’ yang terkait dengan
perbuatan manusia adalah hukum-hukum yang dipahami berupa tuntutan
atau memberikan pilihan. Hal ini menjadi cakupan pembagian tuntutan
hukum terhadap perbuatan manusia yang terdiri dari lima macam (al-ah}ka>m al-khamsah), yaitu ija>b (wajib), nadb (sunnah), iba>h}ah (boleh), karahah (tidak disukai), tah}ri>m (larangan).45
43 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia (Malang: Bayumedia, 2005), 219 44 Keyakinan ini berdasarkan asas praduga tak persalah (presumption of
innocence) bahwa seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sampai terbukti
bersalah di persidangan. Lihat Shima Baradaran, “Restoring the Presumption of
Innocence,” Ohio State Law Journal, Vol. 72, No. 4, (2011) : 3. 45 Pembagian hukum Islam terbagi dua, yaitu hukm taklifi hukm wad }‘i.
hukm taklifi yang termasuk ke dalam hukum positif merupakan hukum-hukum yang
berkaitan dengan tindakan-tindakan manusia yang berkaitan dengan perintah
berbuat atau meninggalkan suatu perbuatan dan yang mengatur perilakunya secara
langsung dalam berbagai bidang yang berbeda dalam kehidupannya. Sedangkan
hukm wad }‘i yang dikenal dengan hukum situasional merupakan hukum yang tidak
menetapkan secara langsung aturan bagi manusia dalam segenap tindakan dan
11
Pemberian upah secara umum kepada seseorang atas jerih payahnya
dalam bekerja dibolehkan (iba>h}ah) dalam hukum Islam.46 Allah menegaskan
tentang upah dalam al-Qur’an surat at-Taubah: 105, an-Nahl: 97. Fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI tentang pembiayaan ijarah juga menjelaskan
bahwa dibolehkannya melakukan pembayaran honor/fee untuk memperoleh
jasa pihak lain yang melakukan pekerjaan tertentu.47 Menurut Al-S}a>diq
‘Abd al-Rah}man al-Gharya>ni, mengambil upah atas jasa persengketaan
(advokat) diperbolehkan karena termasuk dalam kategori ija>rah (sewa-
menyewa) di mana jumlah upah yang diberikan tergantung kepada masa
sengketa dan frekuensi sidang. Bisa juga dikategorikan dalam kategori
ju‘alah (sayembara) jika ia memenangkan perkara dan menyelesaikan
sengketa.48
Muslim Muh}ammad Yu>suf juga mengukuhkan bahwa advokat
memiliki hak berupa honor untuk pekerjaan yang dilakukan dalam lingkup
karirnya. Di antara hak advokat adalah untuk mengambil honor yang
disepakati ketika pekerjaan telah berakhir, dan menerima honor tersebut
sebelum kering keringatnya.49 Advokat yang telah menyelesaikan
pekerjaannya berhak dan lebih pantas mendapatkan honor dengan segera
karena honornya adalah harga kerjanya. Oleh karena itu haram hukumnya
bagi orang yang mampu, menunda-nunda honor kepada seseorang yang
perilakunya. Hukum ini terdiri dari sabab, sharth, mani‘, sah, fasad, batal, ‘azimah, rukhs}ah. Lihat At}a’ bin Khalil, Us}ul Fiqh, terj. (Bogor: Pustaka T{ariqul Izzah,
2003). Baqir al-S}adr dan Murtad}a Murt}ahhari, Pengantar Us}ul Fiqh dan Us}ul Fiqh Perbandingan, terj. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993). Lihat juga Said Agil Husin
Munawar, Membangun Metodologi Us}ul Fiqh (Telaah Konsep al-Nadb dan al-Karahah) (Jakarta: Ciputat Press, 2004) dan Nasrun Haroen, Us}ul Fiqh 1 (Ciputat:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1997). 46 Ah}mad Abu> Sarh}a>n wa ‘Ali> ‘Abd Allah Abu> Yah}ya>, “Faskh al-Ija>rah bi
al-‘Uzr fi al-Fiqh al-Isla>mi>,” ‘Ulu>m al-Shari>‘ah wa al-Qanu>n (2013), 112
http://dspace.ju.edu.jo/xmlui/bitstream/handle/123456789/161685/16.pdf?sequenc
e=1 (accessed February 12, 2015). 47 Tim Penulis Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional
No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah (Jakarta: PT. Intermasa,
2003), 59 48 al-S}a>diq ‘Abd al-Rah}man al-Gharya>ni, Fata>wa al-Mu‘a>mala>t al-Sha>’i‘ah
(al-Qa>hirah: Da>r al-Sala>m, 2003), 32 49 Muslim Muh}ammad Yu>suf, Ujrah al-Muh}a>mi> fi D{haw’i al-Shari >‘ah al-
Isla>miyah (Badl al-At‘ab),
http://faculty.ksu.edu.sa/27566/Documents/%D8%AD%D8%B5%D8%A7
%D9%86%D8%A9%20%D9%88%D8%AD%D9%82.doc (accessed April
25, 2014).
12
bekerja padanya.50 Kemudian memenuhi semua biaya yang ditanggung pada
saat proses berperkara.51
Senada dengan Muslim Muh}ammad Yu>suf, dari sudut pandang
hukum positif Indonesia, Muhammad Rustamaji menyatakan bahwa seorang
advokat berhak menerima honor atas usahanya dalam mendampingi klien.
Kedudukan advokat yang menerima honor sesuai ketentuan undang-undang
advokat tersebut, tidak dapat dimasukkan dalam kerangka subjek hukum
yang dapat dipidana. Sesuai dengan ketentuan hukum pidana, seseorang
dapat dikenai sanksi pidana sebagai subjek hukum didasari dengan norma
tidak tertulis, tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini berkaitan
erat dengan kemampuan seseorang bertanggung jawab atas perbuatan yang
telah dilakukan.52
Asas tiada pidana tanpa kesalahan menentukan bahwa seseorang
yang melakukan perbuatan pidana tanpa adanya unsur kesalahan baik berupa
kesengajaan maupun kealpaan tidak dapat dijatuhi pidana. Asas ini
didasarkan pada prinsip keadilan. Tidaklah adil menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan belaka tanpa kesalahan.53 Menurut pendapat lain juga
disebutkan bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan, Untuk menjatuhkan
pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan
bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.54
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Jacob Elfinus Sahetapy
menyatakan bahwa pengacara atau advokat yang menerima honor dari hasil
korupsi bisa dikenakan sanksi hukum. Pendapat ini dianalogikan dengan
keterlibatan para publik figur yang ikut menerima fee dari koruptor. Pada
dasarnya, tidak ada perbedaan perlakuan hukum yang dikenakan kepada
50 Yu>suf al-Qard}a>wi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
terj., (Jakarta: Rabbani Press, 1997), 404 51 Muslim Muh}ammad Yu>suf, Ujrah al-Muh}a>mi> fi D{aw’i al-Shari>’ah al-
Isla>miyah (Badl al-At‘ab),
http://faculty.ksu.edu.sa/27566/Documents/%D8%AD%D8%B5%D8%A7
%D9%86%D8%A9%20%D9%88%D8%AD%D9%82.doc (accessed April
25, 2014). 52 Muhammad Rustamaji, “Legal Service Fee Penasehat Hukum Terdakwa
Money Laundering dalam Sinkronisasi UU Advokat dan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang,” Yustisia, Edisi Nomor 72 Sept. - Des. 2007, 112
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/view/192/179 (accessed
April 20, 2014). 53 Wirojono Pradjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia
(Bandung: Eresco, 2003), 77 54 Fully Handayani, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), 59-61
13
setiap orang, tidak terkecuali advokat yang secara jelas mendampingi
terdakwa kasus korupsi.55
Pamela S. Karlan juga menyatakan bahwa semakin banyak klien
yang memberikan honor kepada pengacara maka semakin besar peluang
pengacara tersebut terlibat dalam perkara kliennya.56 Lebih lanjut, dalam
proses penyamaran hasil korupsi yang dilakukan dengan pencucian uang,
Yenti Garnasih menyatakan bahwa advokat yang menerima honor dari
kliennya yang sedang tersangkut kasus tindak pidana pencucian uang, maka
bisa dipastikan bahwa advokat yang memperoleh honor tersebut berasal dari
kejahatan yang berarti bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Intinya, para
advokat atau pengacara dari tersangka/terdakwa kasus pencucian uang,
dapat dikatakan sebagai pelaku pencucian uang juga kalau menerima honor
dari uang hasil tindak pidana dari klien.57
Gandjar L. Bondan juga menyatakan bahwa pasal 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang melarang setiap orang menerima atau menguasai
penempatan, berdasarkan hubungan transaksi apapun harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga sebagai hasil tindak pidana. Jasa advokat
termasuk sebagai salah satu bentuk “menerima” atau “menguasai”. Bila
kliennya adalah pengusaha dan berpotensi memiliki kekayaan yang besar,
maka seorang advokat dapat menafsirkan uang jasanya berasal dari
pendapatan sang klien.58
Islam telah menetapkan bahwa pendapatan yang haram adalah
pendapatan yang didapatkan oleh seseorang melalui cara-cara yang tidak
dibenarkan oleh syariat, baik dengan cara menzalimi harta orang lain tanpa
kerelaan ataupun dengan cara melanggar hukum syariat. Siapa saja yang
menjadikan perbuatan haram sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan
maka uang penghasilannya adalah harta yang haram, dengan berdasarkan
kesepakatan ulama. Rasulullah saw. mengharamkan harta yang didapatkan
dari dua sumber,59 pertama, dari jual beli barang yang diharamkan, kedua,
penghasilan yang didapatkan melalui cara yang tidak diperbolehkan oleh
syariat. Semua harta yang didapatkan dengan cara terlarang yang tidak
55 Sabar Hutasoit, “Layakkah Pengacara Koruptor diperiksa?, 25 Februari
2014, www.tubasmedia.com/berita/layakkah-pengacara-koruptor-diperiksa/
(accessed April 10, 2014). 56 Pamela S. Karlan, “Contingent Fees and Criminal Cases,” Columbia
Law Review, Vol. 93, No. 3 (Apr., 1993) : 595. 57 Redaksi, “Pencucian Uang”, 2010
http://hukum.kompasiana.com/14/05/2012, (accessed May 3, 2014). 58 http://www.hukumonline.com/03/05/2014, (accessed May 4, 2014). 59 Hadis Rasulullah SAW “Dari Abu Mas‘ud al-Ans}a>ri, bahwa
sesungguhnya Rasu>lullah saw., melarang hasil penjualan anjing, upah pelacur, dan upah yang didapatkan oleh dukun.” (HR. Bukha>ri dan Muslim), dalam S}ahih
Bukha>ri hadis nomor 2282 dan S{ahih Muslim hadis nomor 1567.
14
diizinkan oleh syariat adalah harta yang haram. Haram bagi seorang muslim
untuk memilikinya atau berupaya mendapatkannya dengan melakukan hal
terlarang tersebut. Kha>dim H{usayn60 menyatakan bahwa status honor
pengacara tidak dapat dipastikan apakah benar-benar halal, dan hukum
Islam tidak mengakui adanya transaksi yang masih belum jelas
kehalalannya.61
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu kiranya permasalahan ini
diteliti dan dibahas lebih lanjut yang disajikan dalam bentuk tesis yang
berjudul “Posisi Yuridis Honorarium Advokat Terdakwa Korupsi.”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa
masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
b. Sistem upah dalam akad ija>rah.
c. Kriteria subjek hukum yang bisa dikategorikan sebagai
pelaku tindak pidana korupsi.
d. Hak dan kewajiban advokat dalam pembelaan klien menurut
Undang-Undang Advokat.
e. Konsep advokat/pengacara dalam hukum Islam.
f. Perbedaan sistem advokasi dan waka>lah bi al-khus}u>mah
g. Advokat sebagai penerima honor dalam hukum Islam.
h. Metode pembayaran honorarium advokat.
i. Dampak hukum dari kesepakatan perjanjian antara advokat
dan klien.
2. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan identifikasi masalah yang telah diuraikan di atas,
maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah
60 Kha>dim H{usayn, lahir di Pakistan pada tahun 1953 61 Muslim Muh}ammad Yu>suf, H{al al-Muh}a>mah H{ala>l am H{ara>m?,
http://abdoaborayah.yoo7.com/t643-topic (accessed April 25, 2014).
Perdebatan tentang tidak diakuinya keberadaan pengacara ini dikemukakan dengan
berbagai argumen, di antaranya: Pertama, profesi ini baru dikenal di negara
Islam pada abad ke-12 yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa. Kedua, dalam
Islam tidak boleh adanya perwakilan dalam persengketaan di pengadilan
kecuali dalam hal darurat. Ketiga, honor untuk pengacara tersebut tidak
lepas dari tipuan. Keempat, perwakilan untuk menolak perkara h}ad tidak
dibenarkan dalam hukum Islam. Kelima, pengacara sama hal nya dengan
bersyafa’at terhadap had Allah. Keenam, profesi pengacara tidak ada
bedanya dengan produksi minuman keras dan penjualan daging babi,
sehingga profesi ini merupakan penyelewengan yang tidak dibenarkan
dalam syari’at Islam.
15
bagaimana kedudukan honor advokat terdakwa tindak pidana korupsi dalam
perspektif hukum Islam?
3. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini dibatasi pada masalah seputar honor advokat
yang menangani tindak pidana korupsi di Indonesia dalam perspektif hukum
Islam. Selain itu, Undang-Undang yang digunakan sebagai acuan dalam
penelitian adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20
Tahun 2001), dan Undang-Undang tentang Pencucian Uang (UU No. 8
Tahun 2010), serta Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
C. Kajian Kepustakaan dan Penelitian Terdahulu yang Relevan
Terdapat beberapa studi terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
ini, di antaranya:
Penelitian oleh Muslim Muh}ammad al-Yu>suf, yang berjudul “Ujrah
al-Muh}a>mi> fi D{aw’i al-Shari>‘ah al-Isla>miyah,” seorang advokat harus
diberikan honor atas jasanya sesuai dengan kesepakatan ketika pekerjaannya
telah berakhir, dan hendaklah pemberian honor advokat tersebut sebelum
kering keringatnya dengan kata lain tidak menangguhkan pembayaran dan
menyegerakannya. Selain itu, penyewa jasa advokat haruslah menanggung
semua biaya saat proses penyelesaian perkara.62 Dengan kata lain, penelitian
ini masih secara umum membahas berbagai hak advokat salah satunya
adalah tentang honorarium. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
penulis terletak pada kasusnya. Penelitian Muslim Muh}ammad al-Yu>suf
membahas advokat secara umum yang memberikan bantuan hukum pada
setiap jenis kasus, namun pada penelitian penulis pokok pembahasan
hanyalah advokat terdakwa korupsi saja.
Selanjutnya penelitian Demba> Cherno> Jallow “al-Muh}a>mah fi> al-
Fiqh al-Isla>mi> wa al-Qa>nu>n.” Penelitian ini secara keseluruhan merupakan
upaya sungguh-sungguh untuk menjelaskan profesi advokat yang
mempertahankan hubungan dengan semua strata sosial. Penelitian ini
bertujuan untuk menyajikan ruang lingkup relatif profesi yang dipraktikkan
oleh advokat. Sehingga memberikan orientasi kepada seorang advokat
muslim yang berkomitmen untuk mematuhi aturan dalam spektrum syariat
Islam. Di antara topik yang disajikan oleh Demba> Cherno> Jallow yaitu
waka>lah bi al-khus}u>mah, sistem waka>lah dan status profesi advokat dalam
Islam dan hukum modern.63 Penelitian ini termasuk dalam kajian
62 Muslim Muhammad Yusuf, Ujrah al-Muh}a>mi> fi> D{haw’i al-Shari>‘ah al-
Isla>miyah (Beirut: Mu’assasah al-Raya>n, 2001),
http://faculty.ksu.edu.sa/27566/Documents/%D8%AD%D8%B5%D8%A7%D9%
86%D8%A9%20%D9%88%D8%AD%D9%82.doc 63 Demba> Cherno> Jallow, al-Muh}a>mah fi> al-Fiqh al-Isla>mi> wa al-Qa>nu>n
(Riyad: Naif Arab Academy for Security Sciences (NAASS), 2003),
http://www.nauss.edu.sa/Ar/DigitalLibrary/Books/Pages/Islamiccriminal.aspx?Bo
okId=689 (accessed February 19, 2015).
16
kontemporer yang membandingkan sistem perwakilan pada masa klasik
(waka>lah bi al-khus}u>mah) dengan sistem advokasi pada saat ini. Meskipun
dari segi esensi kedua sistem ini memiliki fungsi dan tujuan yang sama,
namun terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya. Pada dasarnya,
objek penelitian penulis sama dengan penelitian ini, namun penelitian
penulis lebih khusus membahas tentang honorarium advokat (waka>lah bi al-khus}u>mah) dalam Islam.
Penelitian dari Asmuni, yang berjudul “Eksistensi Pengacara
dalam Perspektif Islam”. Dalam penelitian ini dipaparkan bahwa Islam
melindungi hak mendapatkan pembelaan di pengadilan termasuk hak-hak
lain yang terkait erat dengan pembelaan tersebut dengan tetap memberikan
perlindungan dan hak-hak pembelaan di depan pengadilan. Dengan kata lain,
dalam penelitian ini ditetapkan bahwa dalam Islam dikenal adanya profesi
pengacara dan peranannya menurut Islam yang dikenal dengan istilah
waka>lah.
Islam mengharuskan keadilan dalam bidang hukum tanpa membeda-
bedakan antara yang satu dengan yang lain, dan persamaan kedudukan bagi
pihak-pihak yang berperkara, serta memberikan peluang secukupnya dan
juga jaminan hukum untuk mengajukan alasan atau alat bukti secara
langsung maupun melalui kuasa hukum yang telah ditunjuk sesuai dengan
sistem waka>lah yang sudah digariskan di dalam fikih. Mekanisme waka>lah di persidangan terutama dari aspek legalitas, ruang lingkup, hak dan
kewajiban, serta beberapa aspek lain yang berkenaan dengan akad
waka>lah.64 Penelitian Asmuni pada dasarnya membahas tentang seluk beluk
pengacara secara historis dan mekanismenya dalam perspektif Islam. Dalam
64 Pada permulaan perkembangan Islam, waka>lah hanya dilakukan dan
ditetapkan di depan hakim, dengan melakukan pernyataan ijab dan qabul oleh kedua
belah pihak secara lisan maupun tulisan. Namun karena perubahan zaman dan
perkembangan peradaban Islam, serta adanya kebebasan dalam berijtihad di
samping telah diaturnya dasar-dasar beracara di dalam suatu hukum di berbagai
negara, maka sistem waka>lah pun juga diatur antara lain kewajiban para wukala>’ al-da‘wa atau kuasa hukum untuk membuat surat izin dan didaftarkan pada
Departemen Kehakiman. Biasanya profesi kepengacaraan bergabung dalam suatu
lembaga sehingga dalam suatu kasus seorang klien akan didampingi oleh seorang
atau beberapa orang pengacara yang tergabung dalam suatu lembaga. profesi
kepengacaraan sama dengan akad ju‘alah. Oleh sebab itu, hukumnya tidak mengikat
sebelum pekerjaan yang diwakilkan itu terlaksana. Jika muwakkil membatalkan
akad sebelum wakil menyelesaikan tugasnya, maka wakil tersebut berhak atas honor
wajar, dan jika seluruh tugas yang diwakilkan kepadanya dapat diselesaikan, maka
wakil berhak atas honor yang telah disepakati. Hal ini terjadi jika waka>lah dilakukan
tanpa menentukan besarnya honor dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan. Lihat
Asmuni, “Eksistensi Pengacara dalam Perspektif Islam,” Jurnal al-Mawarid, Edisi
XII, (2004)
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=8668&val=577
(accessed April 15, 2014).
17
penelitian ini tidak dikaji tentang honorarium pengacara menurut hukum
Islam, sehingga penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis yang
lebih memfokuskan pada honorarium pengacara.
Penelitian Muhammad Rustamaji, dengan judul “Legal Service Fee
Advokat Terdakwa Money Laundering dalam Sinkronisasi UU Advokat dan
UU Tindak Pidana Pencucian Uang”. Dalam penelitiannya, dikatakan
bahwa advokat memiliki hak untuk mendapatkan honor dari kliennya.
Kedudukan advokat yang menerima legal service fee dari klien yang menjadi
tersangka tindak pidana pencucian uang sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003, tidak dapat dimasukkan dalam kerangka
subjek hukum yang dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga seorang
advokat tidak bisa diidentikkan dengan kliennya. Ia berargumen bahwa
seseorang dapat dikenai sanksi pidana sebagai subjek hukum atas suatu
peraturan perundang-undangan didasari dengan asas tidak ada pidana jika
tidak ada kesalahan. Dasar ini berkaitan erat dengan kemampuan seseorang
bertanggungjawab atas perbuatan yang telah dilakukannya.65
Penelitian Muhammad Rustamaji pada dasarnya memiliki
kesamaan dengan penelitian penulis, yaitu tentang honorarium advokat. Di
dalam penelitian ini juga digunakan Undang-Undang Advokat sebagai
rujukan dan landasan hukum mengenai honor advokat. Namun, kasus yang
diangkat oleh Muhammad Rustamaji adalah tentang pencucian uang serta
sinkronisasi undang-undang tersebut dengan undang-undang advokat,
sehingga penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis yang
mengemukakan kasus korupsi.
Penelitian dari Binoto Nadapdap, “Menjajaki Seluk Beluk
Honorarium Advokat.”66 Dalam penelitian tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa seorang advokat berhak mendapatkan honorarium atas usaha yang
dilakukannya dalam pendampingan klien. Pernyataan ini berdasarkan
ketentuan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat. Memang dalam Undang-Undang tidak
dijelaskan secara rinci mengenai besarnya honorarium advokat, tetapi
peneliti dalam buku ini menetapkan besaran honorarium tersebut dalam
batas yang wajar, artinya tidak memberatkan klien. Pada prinsipnya, tugas
utama advokat adalah memperjuangkan hak-hak terdakwa dengan
melakukan pendampingan di persidangan, sehingga tidak bergantung pada
honorarium. Di antara jenis metode pembayarannya yaitu honorarium
berdasarkan rentenir, kontingen, dan pro bono. Tidak hanya memaparkan
65 Muhammad Rustamaji, “Legal Service Fee Penasehat Hukum Terdakwa
Money Laundering dalam Sinkronisasi UU Advokat dan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang,” Jurnal Yustisia, Edisi Nomor 72 Sept. - Des. 2007. 66 Binoto Nadapdap, Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat (Jakarta:
Jala Permata, 2008).
18
bentuk dan metode pembayaran honorarium advokat di Indonesia, ia juga
membandingkan pengaturan honorarium advokat di berbagai negara di
antaranya Malaysia, Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat.
Secara umum, penelitian Binoto Nadapdap memiliki kesamaan
dengan penelitian penulis yaitu tentang honorarium advokat. Perbedaannya,
penelitian Binoto diangkat dan dijelaskan dari perspektif hukum positif
dengan menggunakan Undang-Undang Advokat sebagai landasannya.
Berbeda dengan penulis, honorarium advokat tersebut dipaparkan dari
perspektif hukum Islam, meskipun Undang-Undang Advokat juga
digunakan dalam penelitian ini, namun yang menjadi fokus penulis adalah
hukum Islam itu sendiri. Sehingga juga digunakan kitab-kitab fikih sebagai
rujukan dalam penyelesaiannya. Selain itu, dalam penelitian penulis tidak
hanya menjelaskan honorarium secara umum saja, tetapi lebih khusus yaitu
advokat yang mendampingi klien yang tersangkut perkara korupsi.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana
kedudukan honor yang diperoleh advokat dari terdakwa kasus korupsi
perspektif hukum Islam.
E. Manfaat Penelitian
Secara akademis, hasil penelitian ini akan memperkaya penelitian
di bidang hukum khususnya mengenai tindak pidana korupsi serta
hubungannya dengan honor advokat dari terdakwa tindak pidana tersebut.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif67 dan akan dilakukan
melalui pendekatan normatif yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum
tertulis dari berbagai aspek. Penelitian normatif sering kali disebut dengan
penelitian hukum dogmatik yang objek penelitiannya adalah dokumen
perundang-undangan, dokumen hukum, putusan pengadilan, dan laporan
hukum.68 Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara pengkajian
mendalam mengenai honorarium dalam undang-undang advokat dan kode
etik advokat serta beberapa pasal tentang advokat dalam undang-undang
tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Penelaahan ini dilakukan dengan
cara memahami dan menganalisa maksud yang sebenarnya dari kata per-
kata pada pasal 6 dan 12 huruf d undang-undang tindak pidana korupsi dan
67 Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti kondisi objek yang ilmiah.
Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai instrument kunci. Lihat
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,
2011), 9 68 Muh }ammad ‘Abd al-Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2004), 101
19
pasal 5 undang-undang tindak pidana pencucian uang, begitu juga dengan
undang-undang advokat.
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yang
diperoleh dari sumber-sumber yang telah tersedia di antaranya adalah
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010,
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, Kode Etik Advokat Indonesia,
yurisprudensi, KUHP, KUHAP, perundang-undangan lainnya yang terkait,
kitab-kitab fikih, serta wawancara dengan aparat yang berkepentingan
dalam objek penelitian ini, di antaranya adalah aparat yang tergabung dalam
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka pengamatan berbagai
kasus korupsi dan beberapa advokat serta lembaga bantuan hukum yang
terkait guna observasi tentang hubungan advokat terhadap klien termasuk
masalah fee atau honorarium. Kemudian dibutuhkan juga data sekunder
yang menjelaskan data primer seperti buku-buku, tesis, disertasi, jurnal,
surat kabar, artikel internet, hasil seminar, serta berbagai referensi lainnya
yang sesuai dengan penelitian ini.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelusuran
kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data teoritis
tentang honor yang terkait dengan advokat dari terdakwa kasus korupsi
menurut hukum Islam. Untuk melengkapi data yang relevan dalam
penelitian, penulis merujuk pada undang-undang, peraturan pemerintahan
yang berlaku, dan kitab-kitab us}ul fiqh dan kitab fiqh yang relevan seperti
kitab Wahbah al-Zuhayli> yang berjudul al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh,
Kita>b al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah oleh ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri,
dan yang lainnya. Selain itu juga dilakukan penelaahan terhadap buku-buku,
disertasi jurnal dan artikel, serta karya ilmiah lainnya yang terkait dengan
penelitian ini.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi
(content analysis)69 dan analisis komparatif. Penerapan komparasi hukum
dalam penelitian ini digunakan untuk memudahkan dalam melakukan
unifikasi, kepastian hukum maupun penyederhanaan hukum.70 Tujuan
analisis diidentifikasi dengan cara deskriptif melalui pengumpulan data dan
mencari hubungan antara data yang ada dengan realitas yang sedang diteliti.
Kemudian data tersebut dianalisa dan ditafsirkan dengan cara
membandingkan pendapat para ulama fikih dengan peraturan perundang-
undangan, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari analisis kritis tersebut
terhadap penelitian yang akan dilakukan.
69 Metode analisis ini pada dasarnya merupakan suatu teknik sistematik
untuk menganalisa isi pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk
mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari
komunikator yang dipilih. Lihat Budd Richard, Content Analysis of Communication (New York: The Mac Millan Company, 1967), 2
70 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), 263
20
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, bab satu (pendahuluan) yang
diawali dengan latar belakang masalah. Kemudian dirumuskan
permasalahan di antaranya identifikasi masalah, perumusan masalah, dan
pembatasan masalah. Pada bab satu dibahas penelitian terdahulu yang
relevan, tujuan, manfaat, dan metodologi penelitian. Dalam metodologi,
penulis menjelaskan tentang jenis pengumpulan data, alat pengumpulan
data, pengolahan dan analisis data, serta bahan penelitian. Selanjutnya
diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab dua merupakan landasan teori. Pada bab ini akan dibahas
tentang teori upah dan pengupahan, dibagi menjadi; Pertama, konsep upah
menurut teori ekonomi, pengertian dan dasar hukum upah, bentuk-bentuk
pemberian upah, penetapan sanksi hukum tehadap pengupahan. Kedua,
konsep upah dalam Islam yang dibagi menjadi upah dalam akad ija>rah,
tujuan kerja dan bentuk kerja, kaidah fikih dalam upah, syubhat dan haram
dalam upah, serta teori sadd al-dhari>‘ah. Bab tiga membahas tentang advokat bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Pada bab ini akan lebih dirinci, bagian pertama tentang tindak
pidana korupsi dalam perundangan di Indonesia. Kemudian bagian kedua
tentang kedudukan hukum advokat dalam melayani klien. Bagian
selanjutnya dibahas tentang kasus-kasus tentang peran advokat dalam
tindak pidana korupsi.
Pada bab empat dibahas tentang honorarium advokat dalam
perspektif Islam. Pada bab ini akan dirinci, yaitu profesi advokat dalam
Islam. Kemudian bagian kedua dibahas mengenai perjanjian hubungan kerja
yang dirinci menjadi dua bagian di antaranya advokat sebagai penerima
honor, dan metode pembayaran honor advokat. Selanjutnya, dampak hukum
dari kesepakatan perjanjian hubungan kerja dalam waka>lah. Bab lima adalah
penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.