Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi Armada Riyantostfwidyasasana.ac.id/wp...Hukum-Mahkamah-Konstitusi_Armada-Riy… · Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi ... waktu itu hukum

Embed Size (px)

Citation preview

  • Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi Kritik atas Pembatalan UU Antiterorisme Bom Bali

    http://www.huma.or.id

    1

    Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi 1 Kritik atas Pembatalan UU Antiterorisme Bom Bali Armada Riyanto2

    DALAM sejarah peradaban manusia, salah satu musuh paling hebat bagi prinsip keadilan ialah apa yang disebut dengan positivisme hukum. Positivisme, dari rujukan etimologisnya bahasa Latin ponere-posui-positus yang berarti meletakkan, memaksudkan bahwa tindakan manusia itu disebut adil atau tidak sepenuhnya bergantung kepada peraturan atau hukum yang diletakkan, diberlakukan. Dengan demikian, sebuah kejahatan konkret dan hebat atas kemanusiaan tidak perlu menuai hukuman setimpal semata karena hukum tidak mengatakan delik ketentuannya.

    Positivisme hukum dari sendirinya tidak mengenal prinsip "berlaku surut" (prinsip retroaktif). Positivisme hukum menjadi soal amat serius pada periode sesudah Perang Dunia II. Ini terjadi pada pengadilan para mantan tentara Nazi Jerman. Salah satu yang paling tekenal ialah peradilan Adolf Eichmann tahun 1961. Eichmann disebut "Master of Death" bagi jutaan orang-orang Yahudi tahun 1944 di kamp-kamp konsentrasi. Sesudah perang, dia lari ke Argentina dan ditangkap serta diekstradisi ke Israel untuk diadili atas tindakan kejinya sepanjang perang berlangsung. Dalam peradilan, Eichmann dijerat dengan tuduhan telah melakukan "kejahatan atas kemanusiaan". Eichmann membela diri: "Bagaimana saya bisa dipersalahkan telah melakukan sebuah kejahatan selagi pada waktu itu hukum yang berlaku (hukum positif) mewajibkan saya untuk melakukan semuanya itu?"

    Positivisme hukum mempromosikan mutlaknya sebuah pemberlakuan delik- delik ketentuan hukum dalam tata hidup bersama. Adolf Eichmann hanyalah sebuah contoh. Kendati telah melakukan kejahatan luar biasa, dia tetap merasa innocent atau tidak bisa dipandang telah berbuat kejahatan melawan kemanusiaan karena telah merasa tidak melanggar hukum. "I was just following orders." Sebuah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebagai pembelaan terakhirnya, sekaligus tanda keyakinan bahwa dia tidak berdosa.

    SEKARANG mari kita simak argumentasi positivistik Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan pembatalan UU Antiterorisme Bom Bali (Kompas, Sabtu 24 Juli 2004). MK (dalam hal ini Jimly Asshiddiqie, Laica Marzuki, Muktie Fadjar, Ahmad Rustandi, dan Sudarsono) mengemukakan tujuh argumentasi.

    Pertama, asas nonretroaktif adalah sesuatu yang bersifat mutlak dan universal. MK mengutip Pasal 1 Ayat (1) Wetboek van Strafrecht (WvS). Argumentasi ini memiliki sebuah perspektif, yang dalam bahasa Latin disebut nullum delictum nulla poena (jika tidak ada delik ketentuannya, tidak ada hukuman). Dalam hal ini, MK kurang memiliki

    1 Kompas Cyber Media, Jumat 30 Juli 2004 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/30/opini/1178409.htm 2 Armada Riyanto CM Doktor Filsafat Etika Politik, Meneliti Konsep Positivisme Hukum Hobbesian di Universitas Gregoriana, Roma. Sekarang Ketua STFT Widya Sasana, Malang.

  • Armada Riyanto

    http://www.huma.or.id

    2

    distingsi perspektif prinsip hukum. WvS adalah hukum pidana berasal dari periode 1881 (tanggal 3 Maret). Periode itu mengatakan secara amat gamblang perihal suasana positivistik yang menyelimuti tatanan societas Eropa. Apa yang disebut sebagai sebuah "kejahatan masif dan terorganisasi" sebagaimana kita simak dalam setiap tindakan terorisme belum bisa diandaikan ada pada periode itu. Dari sebab itu, menerapkan prinsip hukum yang berasal dari WvS terhadap sebuah perkara terorisme akan jatuh dalam apa yang disebut latius hos (sebuah kesalahan logika karena menerapkan sebuah premis atau prinsip lebih lebar dari apa yang dimaksudkan).

    Kedua, MK menyebut bahwa sampai saat ini tidak ada definisi universal tentang terorisme. Kecenderungan yang terjadi ialah apa yang disebut dengan one dimensional conception on terrorism. Padahal, terorisme juga dapat dilakukan oleh negara dalam bentuk berbagai kekerasan struktural. Di sini terjadi campur aduk jalan pikiran mengenai sebuah pemahaman tentang terorisme. Di satu pihak, ketika MK menyebut tidak adanya definisi universal tentang terorisme, jelas memaksudkan sebuah ide positivistik. Artinya, MK melakukan pengandaian bahwa apabila definisi itu sudah disepakati (sudah diletakkan, dipromulgasikan) secara universal, peledakan bom Bali dapat dikategorikan sebagai sebuah aktivitas teroristik. Pengandaian semacam ini bukan hanya memiliki konsekuensi naif (sebuah kejahatan sangat keji dan terorganisasi tidak mendapat sanksi setimpal semata-mata karena ketiadaan definisi), melainkan juga sebuah pengandaian impossible.

    Universalitas definisi dalam hukum selalu merupakan sebuah kesepakatan internasional yang tali-temali dengan berbagai kepentingan politik. Menunggu kesepakatan definisi universal semacam itu dan lantas baru memasukkannya dalam delik ketentuan hukum teroristik jelas tidak realistis. Tambahan lagi, MK melakukan kerancuan jalan pikiran manakala menyebut bahwa "kekerasan struktural toh juga dilakukan oleh negara". Sudah barang tentu bila negara melakukan kekerasan struktural, itu berarti negara yang buruk, negara tidak adil (tidak perlu harus memeras otak untuk mengategorikan apakah itu negara teroristik atau apa). Apakah pemahaman negara yang tidak adil terhadap rakyatnya sejajar dengan soal kejahatan terorganisasi atas manusia-manusia tak berdosa dan yang menimbulkan teror luar biasa?

    Ketiga, argumentasi MK bergerak ke "jenis" kejahatan. Bahwa kejahatan bom Bali (12 Oktober 2002) tidak perlu membuat efektif UU Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebab "jenis" kejahatan bom Bali sudah dapat dimasukkan dalam "jenis" kejahatan yang diancam dengan pidana berat oleh hukum sebelumnya. Di sini MK melakukan sebuah pertimbangan yang memiliki konsekuensi amat besar. Di mana letak perbedaan antara sebuah kejahatan terorisme dan yang bukan? MK dalam argumentasi ini sepertinya jelas menafikan distingsi itu semata-mata karena tidak adanya kejelasan positus sebuah tindakan jahat teroristik.

    Salah satu yang tidak diperhitungkan oleh MK ialah bahwa dalam memandang kasus pengeboman di Bali, pertimbangannya terlalu diletakkan pada materia tindakan jahatnya. Jika disimak materi tindakannya, pengeboman di Bali telah menghancurkan 202 manusia (188 warga asing) dan 519 luka atau cacat seumur hidup serta tak terbilang yang kehilangan pekerjaan karena itu. MK-dalam hal ini Jimly Asshiddiqie dan kawan-kawan- semestinya harus pula berani menjawab persoalan demikian: jika MK mengklasifikasikan kejahatan bom Bali sebagai "jenis" kejahatan biasa (yang sudah bisa dikenai sanksi berdasar hukum pidana biasa), lantas apa yang Anda maksudkan dengan tindakan

  • Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi Kritik atas Pembatalan UU Antiterorisme Bom Bali

    http://www.huma.or.id

    3

    terorisme? Apakah kalau sudah memakan korban 500-an manusia tak berdosa, baru kita sebut sebagai tindakan terorisme?

    MK telah mereduksi sebuah kejahatan hanya pada materia tindakan jahatnya, sedangkan forma dan esensi kejahatannya luput dari perspektif pertimbangannya. Pihak yang mengajukan dissenting opinion (I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Harjono, dan Maruarar Siahaan) melakukan counter argument dengan menyebut prinsip bonum commune dan jumlah korban yang sangat besar.

    Argumentasi semacam ini masih bertumpu pada kisaran materia sebuah tindakan jahat. Tentu saja harus dikatakan benar bahwa bom Bali ini telah dikerjakan dalam sebuah organisasi yang rapi dengan intensi teror masif sekaligus dengan sekian alasan ideologis yang sangat destruktif. Sebuah kenyataan yang luput dari rasionalitas pertimbangan MK.

    KEEMPAT, MK melakukan konstatasi mengenai sebuah prinsip retroaktif hukum. Bahwa "berlaku surut"-nya sebuah hukum hanya dikenakan pada pelanggaran HAM berat. Dari mana validitas konstatasi ini diasalkan? Sebuah aktivitas teror yang terorganisasi dan menebar ketakutan yang luar biasa, yang karenanya societas tidak mendapat kepastian apakah hidupnya aman atau tidak, hanya dilihat sebagai sebuah kejahatan biasa saja? MK telah melangkahi prinsip keadilan dengan kedok argumentasi yang dibangun atas prinsip positivistik sebuah hukum.

    Argumentasi semacam ini (kelima) dirujukkan oleh MK pada Statuta Roma tahun 1998 tentang kejahatan HAM berat, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dengan mengatakan begitu, MK berkeyakinan pengeboman di Bali belum dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa yang dapat menyebabkan efektifnya prinsip retroaktif hukum. Jalan pikiran ini naif sebab apakah baru apabila Statuta Roma menyebut "tindakan pengeboman ratusan manusia di Cafe Legian, Bali" sebagai salah satu kategori tindakan pelanggaran HAM berat, MK akan setuju prinsip retroaktif diberlakukan atas UU Nomor 16 tahun 2003??? (tanda tanya tiga kali). Apakah segala teror dan terbunuhnya ratusan manusia tak berdosa itu merupakan sebuah kejahatan biasa dan bukan "kejahatan terhadap kemanusiaan"? Sebuah pemahaman prinsip hukum adil yang amat reduktif.

    Argumentasi keenam dan ketujuh menyentuh prosedural hukum positif. MK yakin bahwa bahwa pemberlakuan UU Nomor 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkret yang terjadi sebelumnya itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (1). Tetapi apakah MK juga memperhitungkan Preambule UUD 1945 mengenai tugas Pemerintah Indonesia untuk menjaga ketenteraman dan melindungi warganya? Juga, apakah MK memperhitungkan esensi sebuah "hukum" yang menjadi kewenangan instansi yang bertanggung jawab atas bonum commune warganya. Pembagian kekuasaan adalah prinsip demokrasi, bukan prinsip esensi tugas negara. Dengan demikian, pemberlakuan surut atas sebuah UU yang mengatur ketentuan tindakan jahat luar biasa (seperti bom Bali dan aneka teror lain yang terorganisasi) tidak bisa disebut bertentangan dengan UUD 1945.

    Memang. Jika positivisme hukum dikedepankan, prinsip keadilan-atau lebih tepat cita rasa keadilan-lenyap di Tanah Air kita.