Upload
dimas-fathurrahman-sholeh
View
42
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
pedoman pengelolaan keuangan daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban. Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya
mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.
Hak dan kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan
keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem
pengelolaan keuangan Negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah juga harus dilakukan dengan cara
yang baik dan bijak agak keuangan daerah tersebut bisa menjadi efisien penggunaanya
yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam makalah ini, saya menyusun bebrapa
rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini, rumusan terseut diantaranya :
1. Bagaimana pengelolaan keuangan daerah?
2. Bagaimana Analisis pengelolaan keuangan daerah?
3. Bagaimana pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap perekonomian
Indonesia?
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 1
1.3 Tujuan
Makalah ini saya susun dengan tujuan untuk :
1. Untuk Mengetahui bagaimana sebenarnya pengelolaan uang daerah secara garis
besar
2. Untuk mengetahui secara garis besar pengaruh pengelolaan keuangan daerah
terhadap perekonomian Indonesia
3. Untuk mengetahui analisis tentang pengelolaan keuangan daerah
1.4 Manfaat Penulisan
Saya berharap makalah ini bisa memeberikan manfaat baik bagi penyusun dan
juga pembaca pada umumnya, diantaranya :
1. Untuk menambah wawasan tentang manajemen keuangan dan pengelolaannya
2. Dapat mempelajari kasus-kasus yang terjadi di dunia keuangan daerah khususnya
mengenai keuangan di indonesia
3. Dapat mengetahui penyusunan anggaran keuangan daerah di indonesia
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Keuangan Daerah dan Gambaran Umum
Menurut Deddy Supriady Bratakusumah & Dadang Solihin (2004 : 379)
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, keuangan daerah adalah semua hak
dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Dengan demikian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang.
Keuangan daerah digunakan untuk membiayai semua kebutuhan daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Paradigma baru manajemen pemerintahan daerah di Negara Indonesia saat ini
banyak diilhami oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler (1992)1 yang
dituangkan dalam bukunya berjudul Reinventing Government. Dari pemikirannya
tersebut telah banyak membuka mata dan pikiran banyak pihak untuk memulai
membenahi sistem-sistem birokrasi pemerintahan di dunia.
Osborne dan Gaebler (1992)2 menguraikan karateristik pemerintahan wirausaha
tersebut melalui sepuluh prinsipnya, yang intinya mengurangi peran pemerintah dengan
cara memberdayakan masyarakat, serta menjadikan sektor pemerintah menjadi lebih
efisien.
1 Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector yang dipublikasikan pada tahun 19922 Idem
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 3
Apabila dilihat secara seksama, birokrasi pada sektor pemerintahan daerah
memiliki aspek penyelenggaraan tugas yang sangat luas dan kompleks serta memiliki
skala aktivitas dan jumlah personil penyelenggara yang sangat besar. Sebagai gambaran
adalah bahwa jumlah pemerintahan daerah di Indonesia sampai dengan tahun 2009 telah
berkembang menjadi sebanyak 510 pemerintahan daerah. Jumlah ini diperkirakan akan
terus berkembang di masa mendatang, apabila tidak terkendali secara baik.
Namun meningkatnya perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia masih
belum diiringi dengan perkembangan kinerja yang memadai. Fakta yang ditunjukkan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melalui pemeriksaan kinerja atas pengelolaan
administrasi pemekaran daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sejak tahun 1999-
2008, di Indonesia telah terbentuk 203 daerah otonom baru (DOB), dengan rincian tujuh
propinsi dan 196 kabupaten/kota, namun pemekaran daerah atau pembentukan DOB
sejak tahun 1999 hingga 2008 tersebut masih belum didukung oleh suatu grand design
yang baik, yang mengatur arah kebijakan dan strategi pemekaran daerah serta prediksi
mengenai jumlah daerah otonom yang ideal di Indonesia. Selama ini pemerintah dan
DPR masih belum memiliki pedoman yang jelas dalam menyikapi aspirasi masyarakat
mengenai pembentukan DOB.
Semakin meningkatnya jumlah pemerintah daerah di Indonesia tentunya akan
membutuhkan dukungan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin besar, apabila
arah pergerakan pemda-pemda tersebut belum mampu menghasilkan pendapatan asli
daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah, yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
belanja daerah yang justru semakin terus meningkat dari waktu ke waktu.
Sementara pemenuhan kebutuhan minimal akan belanja daerah yang ada sendiri
masih belum memberikan hasil kinerja seperti yang diharapkan, disamping masih
banyaknya terjadi kebocoran-kebocoran anggaran.
Oleh karena itu, perolehan PAD, retribusi, maupun pendapatan-pendapatan
lainnya serta dana perimbangan yang dapat bervariasi antar daerah-daerah di Indonesia
tersebut, diperlukan manajemen pemanfaatan dana yang mampu digunakan semaksimal
mungkin bagi kemakmuran masyarakat yang sebesar-besarnya melalui program-
program dan kegiatan-kegiatan yang diluncurkan pemerintah daerah tersebut.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 4
Total Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh pemda di Indonesia pada tahun
2009 sekitar Rp. 62 triliun, dimana 3 peringkat peroleh PAD tertinggi diduduki oleh
pemda Propinsi DKI Jakarta, setelah itu diiukti Propinsi Jawa Barat dan terakhir
Propinsi Sumatera Utara.
Jumlah pendapatan-pendapatan pemerintah daerah tersebut digunakan untuk
memenuhi kebutuhan belanja-belanja pemerintah daerah di Indonesia. Dimana
kebutuhan-kebutuhan belanja tersebut digunakan semaksimal mungkin untuk membiaya
program dan kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat.
Belanja-belanja tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam penyusunan suatu laporan keuangan yang mengacu kepada Standar
Akuntansi Pemerintah dan Sistem Akuntansi Pemerintah yang berlaku. Dalam hal ini
telah dikeluarkan aturan pemerintah terkait dengan Standar Akuntansi Pemerintah yaitu
PP No.24 Tahun 2005 dan aturan terkait dengan Sistem Akuntansi Pemerintah, yaitu
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.59 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005.
Pertanggungjawaban pemerintah daerah (pemda) atas pengelolaan anggaran di
41 kabupaten/kota dianggap masih kurang transparan bila dibandingkan dengan tahapan
perencanaan, pembahasan, dan pelaksanaan. Skor rata-rata transparansi pengelolaan
anggaran untuk tahapan pertanggungjawaban adalah 65,83.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Forum Indonesia untuk
Transparansi (Fitra) atas 41 kabupaten/kota di Indonesia, menunjukkan bahwa skor rata-
rata daerah untuk tahapan perencanaan anggaran adalah sebesar 73,6, pembahasan 73,5,
dan pelaksanaan 78,1. Indikator skor tersebut menunjukkan bahwa pemda cenderung
untuk menutupi informasi yang terkait dengan laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Ruang gerak masyarakat untuk terlibat dalam evaluasi pelaksanaan
pembangunan menjadi lebih sempit dengan tidak dibukanya akses dan ketersediaan
dokumen anggaran. Dengan demikian pemda menghadapi tantangan yang cukup serius
dalam hal transparansi dokumen pada tahap pertanggungjawaban.4
3 Menurut Farhan, Yuna, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pada Bataviase.co.id , edisi 3 Feb 20104 Idem
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 5
Sementara berkaitan dengan ketaatan penyampaian laporan kinerja pemerintah
daerah, Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi
Birokrasi telah melaporkan bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan
laporan kinerja hingga tahun 2009 baru mencapai 60-70% dari sekitar 483 kab/kota
yang ada di seluruh tanah air5.
Padahal jelas sekali bahwa ketaatan pemerintah daerah dalam menyampaikan
laporan kinerja pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban
atas alokasi sumber daya anggaran yang mayoritas berasal dari masyarakat yang
diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Nick
Devas, et.al, (1989) mengenai tujuan pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah, yaitu
untuk:
1) Akuntabilitas (Accountability)
Pemda harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang
yang berkepentingan dan sah. Lembaga atau orang yang dimaksud antara lain,
adalah Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah, masyarakat dan kelompok
kepentingan lainnya (LSM);
2) Memenuhi kewajiban Keuangan
Keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua
ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;
3) Kejujuran
Urusan keuangan harus diserahkanpada pegawai professional dan jujur, sehingga
mengurangi kesempatan untuk berbuat curang.
4) Hasil guna (effectiveness) dan gaya guna (efficiency) kegiatan daerah.
Tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa memungkinkan setiap
program direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan dengan biaya
serendah-rendahnya dengan hasil yang maksimal.
5) Pengendalian
5 Kabarbisnis.com, edisi 3 esember 2010, Kemen PAN: 70% pemda taat laporkan kinerja
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 6
Manajer Keuangan Daerah, DPRD dan aparat fungsional pemeriksaan harus
melakukan pengendalian agar semua tujuan dapat tercapai. Harus selalu memantau
melalui akses informasi
Sedangkan fungsi manajemen sendiri terbagi atas tiga tahapan utama yaitu :
adanya proses perencanaan, adanya tahapan pelaksanaan, dan adanya tahapan
pengendalian/ pengawasan. Oleh karena itu fungsi manajemen keuangan daerah
terdiri dari unsur-unsur pelaksanaan tugas yang terdiri dari tugas :
1) Pengalokasian potensi sumber-sumber ekonomi daerah;
2) Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah;
3) Tolok ukur kinerja dan Standarisasi;
4) Pelaksanaan Anggaran yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Akuntansi;
5) Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan Kepala Daerah; dan
6) Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.
Poin 1 dan 2 merupakan indicator keberhasilan dari fungsi perencanaan anggaran
daerah dimana melekat pengertian adanya partisipasi publik; Poin 3 dan 4 merupakan
indikator keberhasilan dari fungsi pelaksanaan/pengelolaan anggaran pemerintah daerah
dan Poin 5 dan 6 merupakan indicator keberhasilan pemerintah daerah dalam
menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan anggaran pemerintah daerah.
Keseluruhan indicator keberhasilan tersebut akan bermuara pada suatu indicator
keberhasilan terciptanya sistem informasi keuangan daerah yang transparan dan
akuntabel.
2.2. Sistem Anggaran
Schick (1966) mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman, penganggaran
memiliki kecenderungan untuk menekankan pada financial control, peningkatan
kemampuan manajerial atau perencanaan. Rubin (1996), yang menulis 30 tahun
kemudian setelah Schick, mengusulkan bahwa ada dua penekanan tambahan yang perlu
ditambahkan untuk mencerminkan tren yang dominan di era 1970-an, 1980-an, dan
1990-an, yaitu prioritas dan akuntabilitas.
Pada dekade terakhir abad kesembilan belas, penganggaran diartikan sebagai
“sebuah penilaian terhadap penerimaan dan belanja atau sebuah neraca publik, dan
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 7
sebagai sebuah hukum legislatif yang membangun dan mengotorisasi suatu jenis dan
jumlah dari belanja dan perpajakan” (Schiesl, 1977: 89).
Pemikiran sebuah anggaran sebagai mekanisme kendali, telah berkembang sejak
tahun 1830-an, namun baru mendapatkan momentumnya setelah perang sipil di
Amerika yang kemudian diikuti dengan adanya pertumbuhan kota-kota dan perluasan
layanan pemerintah. Di akhir tahun 1890-an terdapat tiga bentuk dasar dari
penganggaran pemerintah. Beberapa kota mula-mula mulai mempraktekan secara
sederhana dengan menggunakan pendekatan retribusi pajak, yang secara umum
merupakan pendekatan yang kurang disukai oleh para reformer, karena kurangnya
pengendalian dalam bentuk ketidakperhatian kepada pembelanjaan penganggaran,
ditambah lagi dengan dominasi belanja oleh dewan kota. (Schiesl, 1977: 89)
Selanjutnya berkembang kepada pendekatan lainnya, yaitu pendekatan retribusi
pajak yang ditambahkan dengan detail pembelanjaan. Pendekatan ini kurang merinci
mengenai estimasi pendapatan. Pendekatan terakhir yang digunakan adalah pendekatan
penggunaan retribusi pajak tetapi didahului dengan estimasi penerimaan dan
pengeluaran yang rinci, yang ternyata merupakan praktek yang disukai oleh para
reformer kelas menengah dan bisnis. (Schiesl, 1977: 89).
Banyak literatur teori menyebutkan bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Dimana fungsi-fungsi
tersebut bersatu padu dalam rangka mendukung program pemerintah untuk
menyejahterakan kehidupan masyarakat serta memberikan pelayanan yang baik bagi
aktivitas kehidupan masyarakat.
(1) Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
(2) Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
(3) Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
(4) Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk
menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 8
daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
(5) Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(6) Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian
daerah.
Tolok ukur kinerja (Performance Measurement) anggaran merupakan bagian
dari proses analisis anggaran untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan masukan dan
keluaran (Input, and Output Process Analysis) atas standarisasi pelayanan umum yang
dikembangkan oleh Pemda. Instrumen analysis ini terdiri dari Standar Analisa Belanja
(SAB), tolok ukur kinerja kegiatan, dan Standar Biaya.
SAB adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja keuangan yang merupakan
analisa dari setiap masukan dari segala aspek barang, uang, sistim operasional dan
prosedur (SOP) dengan memperhatikan keluaran, yaitu masyarakat yang akan digarap
dalam bentuk (Segmentasi Market maupun Segmentasi Aktifitas) atas pelayanan standar
yang ingin dicapai oleh satuan unit kerja, program, maupun proyek dalam bentuk
kegiatan tertentu.
Tolok ukur kinerja adalah suatu pendekatan dasar pengukuran kinerja yang bertumpu
pada kinerja non keuangan. Analisa ini digunakan untuk melihat sejauh mana keluaran
yang akan dicapai melalui proses pengukuran segmentasi market maupun segmentasi
aktifitas.
Standar Biaya adalah suatu metode untuk mengukur kinerja keuangan agar selalu up to
date dan relevan dan mengikuti pertimbangan harga pasar yang berlaku pada masing-
masing wilayah. Pemantauan standar biaya ini dilaksanakan secara terus menerus, atas
dasar satuan harga belanja yang dapat berubah fleksibel dengan memperhatikan batas
pagu anggaran yang telah direncanakan. Di bawah pagu anggaran dari Standar Biaya
yang ditetapkan merupakan alokasi dana cadangan. Di atas pagu anggaran merupakn
beban anggaran yang dapat mengurangi kualitas atau mengurangi dana cadangan.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 9
2.2.1. Azas Umum Penyusunan Anggaran
Dalam penyusunan anggaran pemerintah perlu dipahami mengenai ketentuan-
ketentuan azas umum yang menyertai suatu aktivitas penyusunan APBD, yaitu:
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai
dari dan atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di
daerah didanai dari dan atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan propinsi yang penugasannya dilimpahkan
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD propinsi.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya
dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.
(5) Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang,
barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam
APBD.
(6) Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum
penganggaran.
Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan kewajiban
pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
2.2.2. Rencana Kerja Pemda
Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah perlu menyusun Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJMD dengan
menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang
mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah.
RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan
dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam menunaikan kewajiban daerah perlu mempertimbangkan prestasi capaian
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 10
standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2.2.3. Kebijakan Umum APBD
Sebagai langkah awal dalam penyusunan anggaran pemerintah, maka Kepala
Daerah menyusun sebuah rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) berdasarkan pada
RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri setiap tahun.
Pedoman penyusunan APBD memuat antara lain: (1) pokok-pokok kebijakan
yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah; (2) prinsip
dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan; (3) teknis penyusunan
APBD; dan (4) hal-hal khusus lainnya.
Rancangan KUA akan memuat hal-hal mengenai target pencapaian kinerja yang
terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk
setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah,
alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan
asumsi yang mendasarinya.
Penyusunan program-program yang selaras dengan prioritas pembangunan yang
ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan asumsi-asumsi yang mendasarinya
mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dapat dibantu oleh TAPD yang
dipimpin oleh sekretaris daerah. Rancangan KUA yang telah disusun disampaikan oleh
sekretaris daerah kepada kepala daerah.
2.2.4. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Apabila KUA telah tersusun dan disepakati antara Pemda dan DPRD, maka
langkah selanjutnya adalah membuat rancangan PPAS. Rancangan PPAS ini disusun
dengan tahapan sebagai berikut: (1) menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan
urusan pilihan; (2) menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan (3)
menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 11
Rancangan PPAS yang telah disusun, diajukan oleh Kepala daerah kepada
DPRD untuk dibahas. Pembahasan dilakukan oleh Tim Asistensi Pemerintah Daerah
(TAPD) bersama panitia anggaran DPRD.
KUA serta PPA yang telah disepakati dituangkan ke dalam nota kesepakatan
yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.
2.2.5. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA)
Penyusunan RKA-SKPD didasarkan pada prestasi kerja, indikator kinerja,
capaian atau target kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Dengan penjelasan sebagai berikut:
(1) Indikator kinerja merupakan ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program
dan kegiatan yang direncanakan.
(2) Capaian kinerja merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud
kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan
kegiatan.
(3) Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya
yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
(4) Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku
disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(5) Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam menentukan
capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing
program dan kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci
sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju
untuk tahun berikutnya.
RKA-SKPD juga memuat informasi tentang urusan pemerintahan daerah,
organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang akan dicapai dari program dan kegiatan.
RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas
lebih lanjut oleh TAPD.
Pembahasan yang dilakukan oleh TAPD berkaitan dengan kesesuaian antara
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 12
RKA-SKPD dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran
sebelumnya, dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator kinerja,
kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga, standar
pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD. Apabila hasil
pembahasan RKA-SKPD terdapat ketidaksesuaian, maka kepala SKPD dapat
melakukan penyempurnaan.
RKA-SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD disampaikan kepada
Pejabat Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD
disampaikan kepada kepala daerah, dan sebelum disampaikan kepada DPRD
disosialisasikan kepada masyarakat.
2.3. Beberapa hal penting terkait Penyusunan Anggaran Pemda
Beberapa kendala yang secara umum dialami pemerintah daerah dalam
pembuatan rancangan anggaran pemerintah daerah yang baik juga dapat dikemukakan
di bawah ini, seperti (USAID, 2007):
1. Belum dilembagakannya penganggaran partisipatif.
Peraturan dan perundangan baru tidak selalu menyediakan instrumen yang efektif
untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan
penganggaran. Pada kenyataannya, masih dijumpai misalnya keterbatasan
transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah daerah; terbatasnya
keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan DPRD dalam proses perencanaan dan
penganggaran; masih kurangnya analisis dampak kebijakan anggaran atas
pengurangan kemiskinan dan kepentingan kaum perempuan; serta keterlibatan
organisasi masyarakat sipil yang terbatas hanya pada pemantauan dan evaluasi
anggaran. Kelompok masyarakat umumnya memiliki pemahaman yang sangat
terbatas atas proses perencanaan dan penganggaran daerah yang cukup kompleks.
2. Komitmen pimpinan daerah yang tidak merata.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 13
Perencanaan partisipatif sukar untuk mencapai keberhasilan tanpa komitmen yang
kuat dari pimpinan daerah. Tingkat kemauan dan komitmen menerapkan
perencanaan dan penganggaran partisipatif sangat bervariasi antar daerah.
Lemahnya komitmen antara lain disebabkan oleh pemahaman yang terbatas atas
peranan dan manfaat jangka panjang partisipasi masyarakat untuk menghasilkan
pembangunan daerah berkelanjutan; sukar membedakan antara partisipasi
masyarakat dan partisipasi politik. Tindak korupsi dan pengaruh partai politik dalam
proses penganggaran juga merupakan hambatan yang signifikan.
3. Keterbatasan pengawasan legislatif dalam penyusunan anggaran. Ketidakterpaduan
masa reses DPRD dengan Musrenbang dan proses perencanaan dan penganggaran
serta keterbatasan dalam penyediaan informasi dan analisis untuk pembahasan
anggaran sedikit banyak menyebabkan keterbatasan dalam pengawasan penyusunan
anggaran.
4. Keterbatasan Musrenbang untuk mempengaruhi alokasi anggaran.
Faktor yang antara lain membatasi efektifitas Musrenbang untuk mempengaruhi
proses alokasi anggaran adalah kurang memadainya kualitas dan transparansi
informasi yang disiapkan pemerintah daerah bagi peserta Musrenbang; kurangnya
keterwakilan stakeholders dalam proses penganggaran, dimana proses ini lebih
didominasi oleh eksekutif dan DPRD dengan pengaruh partai politik yang kuat
dalam kebijakan anggaran; terbatasnya pemahaman organisasi masyarakat sipil
tentang proses penganggaran dan hak-haknya untuk menyuarakan perspektifnya atas
pembangunan daerah.
5. Keterbatasan kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk memahami proses
perencanaan dan mendorong perubahan.
Terdapat keterbatasan pengetahuan organisasi masyarakat sipil dalam memahami
proses penganggaran yang cukup panjang dan kompleks serta hak-hak ekonomi
untuk menyuarakan perspektif dan kepentingannya dalam pembangunan daerah.
Kepentingan kaum perempuan dan kelompok masyarakat miskin seringkali kurang
terwakili dalam pengambilan keputusan alokasi anggaran. Juga terdapat
kekurangpercayaan dari masyarakat bahwa proses Musrenbang akan mampu
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 14
membawa perbaikan dalam kesejahteraan hidup mereka; masyarakat seringkali
melihat Musrenbang hanya merupakan seremonial dengan dominasi pengambilan
keputusan lebih banyak dilakukan oleh elit daerah. Organisasi masyarakat sipil
kerap kurang memahami cara melakukan advokasi, penelitian, dan analisis
informasi untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses perencanaan dan
penganggaran. Selain itu, kendala dalam menjalin hubungan yang lebih erat dengan
eksekutif dan legislatif menyebabkan keterbatasan organisasi masyarakat sipil dalam
mempengaruhi proses alokasi anggaran.
6. Kompleksitas isu pembangunan daerah.
Permasalahan yang dihadapi daerah sangat kompleks seperti perbaikan kualitas dan
akses pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengurangan kemiskinan dan malnutrisi;
kesejahteraan anak; keamanan; penguatan peranan kaum perempuan dalam
pembangunan daerah; peningkatan keamanan, keteraturan; konflik daerah, sosial
dan etnik; revitalisasi sektor pertanian; pengembangan ekonomi lokal; dan degradasi
kualitas lingkungan hidup. Semua itu memerlukan tidak saja pengambilan keputusan
yang demokratis melainkan juga pemahaman teknis dan analisis permasalahan;
penerapan praktek-praktek yang telah terbukti baik dan efektif; serta keseimbangan
prioritas antardaerah, antara propinsi dan kabupaten/kota untuk menghasilkan solusi
yang efektif dan tuntas.
Dari seluruh penjelasan di atas, jelaslah bahwa reevaluasi efektifitas mekanisme
Musrenbang dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran
daerah amat sangat diperlukan.
2.4 Manajemen Kinerja Pemerintah Daerah
Pengelolaan anggaran yang baik diperlukan untuk mendukung pengelolaan
sumber daya yang baik, mencapai kinerja yang diharapkan oleh masyarakat dan untuk
menciptakan akuntabilitas terhadap masyarakat.
Agar dapat menilai kinerja satuan unit kerja maka diperlukan indikator-
indikator penilaian kinerja, yang menurut Mardiasmo (2002) terbagi menjadi dua
macam, yaitu:
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 15
a. Informasi finansial.
Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah
dibuat. Penilaian diukur dengan menganalisi antara kinerja aktual dengan yang
dianggarkan (selisih antara pendapatan dengan pengeluaran).
b. Informasi non-finansial.
Pengukuran kinerja yang diukur bukan dari aspek finansialnya saja akan tetapi juga
aspek non-finansial, seperti:
Kepuasan pelanggan.
Efesiensi proses internal.
Efektifitas pengeluaran
Perlu diingat pula bahwa untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik
seyogyanya pengeluaran anggaran belanja tidak langsung perlu ditekan semaksimal
mungkin sehingga alokasi anggaran belanja publik dapat memperoleh alokasi yang
lebih besar. Literatur penelitian yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan pemerintah
daerah belum sepenuhnya melakukan upaya efisiensi dalam pengelolaan keuangan
daerah terutama yang terkait belanja tidak langsung (Brata, 2009).
Masalah yang dirasakan saat ini sangat penting untuk mendapatkan fokus
perhatian pemerintah adalah masalah ketepatan sasaran program dan kegiatan.
Bermacam evaluasi penerapan manajemen kinerja di Indonesia menunjukkan hasil yang
belum memuaskan. Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP) oleh BPKP tahun 2006 terhadap 153 pemerintah daerah di Indonesia
menunjukkan; 3 Pemda memiliki nilai sangat baik (1,9%), 15 Pemda Baik (9,49%), 61
Pemda memperoleh nilai cukup (38.61%), selebihnya 79 Pemda memperoleh nilai
kurang (50 %). Kelemahan-kelemahan tersebut diperkirakan berasal dari semua
komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan, sejak di perencanaan kinerja,
pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian kinerja itu
sendiri.
Apabila dilihat secara lebih mendalam, beberapa masalah penyebab penerapan
manajemen kinerja di lingkungan pemerintahan daerah yang kurang berjalan secara
optimal di lapangan, antara lain: (a) masalah legal yuridis yang ada yang sering
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 16
tumpang tindih, disorientasi dan bersifat partial dalam pelaksanaan manajemen kinerja
di Indonesia; (b) manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan
dalam fungsi manajemen pemerintah daerah, seperti halnya dalam perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit; (c) tidak
terdapatnya manajemen kompensasi yang mengedepankan mekanisme reward dan
punishment yang merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen
publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur dalam proses
transisi paradigma sumber daya manusia yang dimulai dari paradigma lama yang
berorientasi pada input ke paradigma baru yang berorientasi pada kesuksesan kerja
melalui pengukuran hasil “outcome oriented”; dan (e) peran publik masih sangat lemah
untuk “memaksa” pemerintah daerah mampu berlaku akuntabel dan transparan dalam
pengelolaan anggarannya. (USAID, www.lgsp.or.id)
2.5. Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, maka pertanggungjawaban anggaran dalam bentuk
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah harus mengacu kepada Standar Akuntansi
Pemerintah.
Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan
keuangan pemerintah (statuory) yang menyajikan informasi tentang realisasi dan
anggaran (pendapatan, belanja, transfer, surplus/ defisit dan pembiayaan) entitas
pelaporan secara tersanding untuk suatu periode tertentu.
Penyandingan antara anggaran dan realisasi menunjukkan tingkat capaian target-
target yang telah disepakati antara legislatif dan eksekutif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Informasi tersebut berguna bagi para pengguna laporan dalam
mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber-sumber daya ekonomi, akuntabilitas
dan ketaatan entitas pelaporan terhadap anggaran. Dalam pelaporannya, anggaran
disandingkan dengan realisasinya, sehingga dalam penyusunan APBN/D seharusnya
digunakan struktur, definisi, dan basis yang sama dengan yang digunakan dalam
pelaporannya.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 17
Laporan Kinerja Keuangan merupakan laporan hasil operasi pemerintah yang terdiri
dari pos-pos:
a) Pendapatan dari kegiatan operasional;
b) Beban berdasarkan klasifikasi fungsional dan klasifikasi ekonomi;
c) Surplus atau defisit.
Pada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan disebutkan bahwa laporan
ini adalah laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disusun berdasarkan basis
akrual. Dalam laporan tersebut disajikan informasi tentang pendapatan operasional,
belanja, dan pengungkapan surplus atau defisit. Pada PSAP Nomor 01 tentang
Penyajian Laporan Keuangan disebutkan bahwa analisis dalam laporan ini dapat
digolongkan menurut klasifikasi ekonomi (misalnya beban penyusutan, beban gaji dan
tunjangan pegawai, dan sebagainya) atau klasifikasi fungsi (berdasarkan program).
Ada tiga kebijakan yang diharapkan dari Laporan Kinerja Keuangan:
o Outcome 1: mengetahui keadaan Makroekonomi Nasional;
o Outcome 2: Efektifnya belanja Negara dan kebijakan perpajakn yang tepat
o Outcome 3: Penyerapan Pasar yang berfungsi baik.
Kinerja keuangan entitas pelaporan dalam Laporan Realisasi Anggaran
mengikhtisarkan indikator dan pencapaian kinerja kegiatan operasional yang berdimensi
keuangan dalam suatu periode pelaporan.
Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus dihubungkan dengan tujuan dan
sasaran dari rencana strategis pemerintah dan indicator sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan harus:
a. menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.
b. Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam
satu entitas pelaporan; dan
c. Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk
dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan
yang dilaporkan adalah relevan dan andal.
Pembahasan mengenai kinerja keuangan harus:
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 18
a. meliputi baik hasil yang positif maupun negative;
b. menyajikan data historis yang relevan;
c. membandingkan hasil yang dicapai dengan tujuan dan rencana yang telah
ditetapkan;
d. menyajikan informasi penjelasan lainnya yang diyakini oleh manajemen akan
dibutuhkan oleh pembaca laporan keuangan untuk dapat memahami indicator, hasil,
dan perbedaan yang ada dengan tujuan atau rencana.
Laporan Arus Kas merupakan laporan keuangan yang memberikan informasi
historis mengenai perubahan kas dan setara kas suatu entitas pelaporan dengan
mengklasifikasikan arus kas berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan,
pembiayaan, dan nonanggaran selama satu periode akuntansi.
Laporan Arus Kas merupakan salah satu komponen laporan keuangan
pemerintah. Laporan ini menggambarkan arus masuk dan arus keluar kas selama satu
periode, kemudian dihubungkan dengan saldo kas awal dan akhir periode. Arus kas
diklasifikasikan berdasarkan aktivitas-aktivitas. Laporan Arus Kas berhubungan dengan
Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca.
Laporan Arus Kas mempunyai kekhususan. Laporan tersebut menggambarkan
saldo awal kas, perubahan selama periode tertentu, dan saldo akhir. Dalam Laporan
Arus Kas disajikan seluruh arus masuk dan keluar kas serta saldo baik yang berasal dari
transaski yang berhubungan dengan anggaran maupun yang tidak. Laporan ini juga
hanya disajikan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang tersusun berdasarkan Standar
Akuntansi pemerintah tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui seberapa besar
komitmen pemerintah dalam upaya untuk memberikan maksimalisasi pelayanan kepada
masyarakat.
Tujuan penyajian laporan keuangan pemerintah daerah yang baik (Hanafi dan
Halim, 2003) adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas,
saldo neraca dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek suatu unit
pemerintahan;
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 19
2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan mempredikasikan kondisi
ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahaan yang terjadi di
dalamnya;
3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kerja, kesesuaiannya dengan
peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati dan ketentuan lain
yang disyaratkan;
4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk
memprediksikan pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi
terhadap pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional
antara lain:
a. untuk menentukan biaya program, fungsi dan aktivitas sehingga memudahkan
analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah ditetapkan,
membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya dan kinerja unit
pemerintahan lain;
b. untuk mengevaluasi tingkat ekonomi dan efisiensi operasi program aktivitas dan
fungsi tertentu di unit pemerintah;
c. untuk mengevaluasi hasil suatu program, aktivitas dan fungsi serta efektifitas
terhadap pencapaian tujuan target; dan
d. untuk mengevaluasi tingkat pemerataan (equity).
Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan masih dirasakan tidak seperti
yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan Semester II 2008 yang menyimpulkan bahwa perkembangan opini Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2004 sampai dengan 2007 menunjukkan kualitas
yang semakin memburuk. Persentase LKPD yang informasi keuangannya tidak dapat
diandalkan oleh para pengguna laporan keuangan, semakin banyak dan sebaliknya
persentase LKPD yang informasi keuangannya dapat diandalkan semakin sedikit.
(Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)
Dalam Pemeriksaan Semester II tahun 2008, BPK juga menemukan 3.051 kasus
senilai Rp 9,93 triliun dari hasil pemeriksaan atas 191 LKPD terkait dengan
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 20
ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan yang berlaku. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 556 kasus senilai Rp 310,86 miliar merupakan kategori kerugian daerah.
Pemeriksaan atas LKPD pada semester II 2008 merupakan pemeriksaan atas LKPD
pada 2007 yang terlambat diserahkan oleh 191 pemerintah daerah kepada BPK. (Harian
Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009)
BPK juga menemukan semakin buruknya kualitas Laporan Keuangan Daerah,
dari 191 LKPD yang diperiksa, sebanyak 72 LKPD memperoleh opini disclaimer,
delapan opini tidak wajar, 110 LKPD wajar dengan pengecualian, dan satu LKPD
mendapat opini wajar tanpa pengecualian. (Harian Pikiran Rakyat, Selasa 19 Mei 2009).
Apa penyebab lambatnya kemajuan pemda dalam mewujudkan laporan
keuangan yang akuntabel tersebut dilihat dari aspek ketersediaan sumber daya manusia,
konsistensi kebijakan pemerintah pusat, dan paradigma kepala daerah terhadap laporan
keuangan Pemda? Apabila melihat ke belakang pada reformasi pengelolaan keuangan
daerah yang berjalan sejak 1999, telah menyebabkan berubahnya praktik akuntansi
keuangan daerah yang sebelumnya berbasis single entry menjadi praktik akuntansi yang
berbasis double entry yang lebih rumit. Hal ini dilakukan agar dapat menghasilkan
neraca dan laporan arus kas di samping laporan realisasi anggaran yang konsisten antara
pencatatan barang dan uang.
Praktik akuntansi double entry berbasis akrual, walaupun relatif lebih rumit,
dipandang memiliki kelebihan memiliki kandungan informasi yang lebih baik kepada
publik karena tidak saja menginformasikan jumlah dana masyarakat yang dibelanjakan,
melainkan juga menginformasikan nilai aset yang dibeli maupun yang dikuasai pemda.
Dengan demikian, potensi maupun kinerja keuangan pemda akan tergambar secara lebih
baik, jika menggunakan praktik akuntansi double entry berbasis akrual tersebut.
Permasalahannya, untuk menerapkan akuntansi double entry berbasis akrual
diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang memahami ilmu akuntansi secara baik.
Aparatur pemda yang menangani masalah keuangan tidak cukup hanya menguasai
penatausahaan anggaran, melainkan juga harus memahami karakteristik transaksi yang
terjadi dan pengaruhnya pada rekening-rekening dalam laporan keuangan pemda.
Kegagalan SDM pemda dalam memahami dan menerapkan ilmu akuntansi akan
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 21
berdampak pada kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan
dengan standar yang ditetapkan pemerintah.
Banyaknya SDM keuangan pemda yang berlatar belakang nonakuntansi
merupakan satu kendala utama saat ini. Akibatnya, berbagai pelatihan yang diadakan
pemda maupun pemerintah pusat tidak memberikan hasil maksimal. Dengan demikian,
upaya melakukan rekrutmen pegawai berlatar belakang akuntansi dengan spesifikasi
teknis akuntansi yang baik merupakan suatu pilihan yang tepat untuk dikembangkan.
Oleh karena itu kiranya tidak terlalu berlebihan apabila pemda-pemda seluruh
Indonesia dapat bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi Negeri maupun swasta
setempat maupun di daerah terdekatnya, untuk segera dapat mengatasi kelangkaan
tenaga-tenaga SDM pengelola keuangan daerah yang berlatarbelakang ilmu akuntansi
agar akuntansi pengelolaan keuangan daerah dapat dilaksanakan secara benar dan
terpadu di seluruh komponen perangkat daerah.
Dengan demikian kualitas pelaporan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan
daerah dapat lebih ditingkatkan. Namun yang lebih penting lagi pemanfaatan keuangan
daerah bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat dapat lebih
ditingkatkan secara lebih baik.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengelolaan keuangan daerah di Indonesia secara kualitas masih perlu
ditingkatkan lagi. Hal ini dimaksudkan agar opini pelaporan keuangan yang
dihasilkannya memperoleh hasil yang lebih baik. Kondisi realitas yang ada akan dapat
terlihat sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK di waktu-waktu
mendatang terhadap pemda-pemda di seluruh Indonesia.
Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah yang dapat memberikan dampak
pada turunnya pengurangan tingkat kemiskinan ke depan akan sangat membantu
program pemerintah pusat dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan secara
nasional.
Opini pelaporan keuangan pemda yang semakin baik diharapkan menjadi
indikasi semakin baiknya pula pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh
pemda-pemda. Dengan demikian, harapan dapat ditingkatkannya pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.
Namun demikian perubahan basis pencatatan akuntansi pemerintah seperti yang
diamanatkan dalam UU Keuangan Negara perlu disikapi secara jeli dan responsif,
sehingga dampak-dampak yang tidak diharapkan yang mengakibatkan menurunnya
kuantitas maupun kualitas pelayanan serta kesejahteraan masyarakat dapat diantisipasi
secara baik.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 23
DAFTAR PUSTAKA
Bratha, Deni (2009), Hanya 51% APBD untuk Rakyat, Belanja untuk Keperluan "Abdi
Masyarakat" Lebih Besar, Majalah Komunitas.
Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim, 2003, Analisis Laporan Keuangan, Edisi
Revisi, Penerbit UPP AMP YKPN: Yogyakarta.
Harian Pikiran Rakyat (Selasa 19 Mei 2009), Opini Keuangan Pemda Buruk, Hanya
Satu Daerah Memperoleh “Wajar Tanpa Pengecualian”
Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Press
Nick Devas, et. Al., ”Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia”, UI Press, Jakarta
1989.
USAID, www.lgsp.or.id, Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja
Berbasis Hasil (Outcome-Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia
Rubin, I. (1996, Summer), "Budgeting for Accountability: Municipal Budgeting for the
1990s," Public Budgeting and Finance, 16: 112-132.
Schick. A. (1966, December), "The Road to PPB: The Stages of Budget Reform,"
Public Administration Review, 26: 243-258.
Schiesl, M. J. (1977), The Politics of Efficiency: Municipal Administration and
Reform in America 1800-1920, Berkeley, CA: University of California Press.
Potret manajemen pengelolaan keuangan daerah di indonesia 24