27
Kelompok 10 : Hilda Elisabet Belang (2014005020) Nurul ’aini (2015005042) Purwaningsih (2014005031) Yusta Asniar Halawa (2014005002)

Ppt. Budaya Lokal Manggarai

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi

Citation preview

Kelompok 10 :Hilda Elisabet Belang (2014005020)Nurul ’aini (2015005042)Purwaningsih (2014005031)Yusta Asniar Halawa (2014005002)

Menurut mitologi asal-usul manusia orang Manggarai, kehidupan dipahami sebagai hasil perkawinan antara Ame –Ema Eta (Bapa di atas/langit) berupa sinar matahari dan Ine – Ende Wa (Ibu di bawah/bumi). Sinar matahari memancar ke bumi, menimpa rumpun bambu di sebuah gunung dan dua orang manusia, laki-laki dan perempuan muncul melalui rumpun bambu tersebut. Mereka mengusahakan tanah dan tanah memberikan hasil setelah mereka mengorbankan anaknya dengan cara mencincang dagingnya dan menanamnya di kebun dan kemudian darahnya disiramkan ke seluruh kebun.

Daging yang dicincang ini dipercaya kemudian yang mejadi hasil kebun mereka yang tumbuh subur karena disiram oleh darah. Seturut dengan pemahaman diatas maka apabila kita pelajari pemahaman ini akan terkandung dua makna, yaitu: kesatuan antara alam dan manusia dan pengorbanan darah. (Raho, 2005)

Orang Manggarai adalah orang-orang pribumi yang tersebar dari perbatasan timur, barat, utara, selatan wilayah Manggarai. Salah satu kekhasan Manggarai sebagai suku bangsa adalah adanya berbagai kesamaan dalam bahasa dan watak.

Secara geografis, Manggarai terletak di Flores bagian barat. Bagian utara berbatasan dengan laut Flores, bagian selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian timur berbatasan dengan kabupaten Ngada, bagian barat berbatasan dengan kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Saat ini, wilayah Manggarai terbagi dalam tiga kabupaten yaitu:

a. kabupaten Manggarai dengan ibukota Ruteng

b. kabupaten Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo

c. kabupaten Manggarai Timur dengan ibukota Borong.

Secara topografis, tanah Manggarai merupakan tanah berbukit-bukit dan juga memiliki dataran lapang yang merupakan daerah yang cocok untuk area persawahan.

Rumah Raja Manggarai di kampung Todo yang terletak 32 kilometer sebelah barat daya kota Ruteng – Flores merupakan bekas kebesaran Kerajaan Manggarai yang dibangun pada abad 17. Orang Manggarai menyebut bangunan ini dengan Niang Mbowang Todo. Para keturunan raja pada waktu tertentu masih bertemu di tempat ini untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian.

Acara wuat wai adalah suatu kebiasaan yang sudah bertahun-tahun di lakukan masyarakat Manggarai. Dengan acara ini, warga Masyarakat berkumpul bersama untuk mengumpulkan dana dalam mendukung putra daerahnya dalam melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Kebersamaan ini terlihat begitu akrab dan di balik itu semua ada nilai yang sngat tinggi bagi kemajuan pendidikan di Manggarai . Banyak orang yang berhasil dalam setudinya di perguruan tinggi berkat ada acara ini.

Kebiasaan ini sebagai suatu budaya yang melekat pada orang Manggarai. Acara ini sebagai suatu jalan menuju kemajuan sumber daya manusia orang Manggarai. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam acara wuat wai adalah :a)Semangat persaudaraanb)Semangat gotong royongc)Sebuah motivasi awal bagi anak yang melanjutkan pendidikand)Semangat pengorbanan yang tuluse)Meringankan beban bagi keluarga yang kurang mampuf)Peningkatan sumber daya manusia

Dalam lingkungan budaya Manggarai di Flores Nusa Tenggara Timur, Caci merupakan salah satu warisan budaya yang terus dilestarikan sampai saat ini. Dalam pranata budaya Manggarai, Caci adalah bagian yang menampilkan sisi heroisme dari lelaki Manggarai. Secara sederhana, Caci bisa dideskripsikan sebagai pertarungan antara dua orang pria, satu lawan satu, secara bergantian.

Yang seorang menjadi pihak yang memukul dalam bahasa setempat disebut Paki dengan menggunakan Larik atau pecut yang biasanya terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi yang sudah kering; sedangkan pihak lain akan menangkis (dalam bahasa Manggarai disebut Ta’ang) pukulan sang lawan dengan menggunakan Nggiling atau perisai, juga terbuat dari kulit kerbau dengan tambahan Agang (dikenal juga dengan nama Tereng) atau busur yang terbuat dari bambu dan di lilit dengan rotan.

Gambar 1. Dua pria ini sedang melakukan seni tari Caci

Lokasi pertandingan biasanya adalah di Natas Gendang atau halaman rumah adat, dan biasa dimainkan pada upacara-upacara adat besar seperti Penti. Dewasa ini tarian Caci bagi orang Manggarai dipentaskan untuk memeriahkan acara-acara khusus baik yang bersifat adat maupun tidak, seperti syukuran hasil panen, pentahbisan imam, atau penerimaan tamu adat maupun kenegaraan.

Gambar . Caci yang magis

Caci, selain mengajarkan kemurnian hati, juga memuat unsur seni yang tinggi, karena  para jawara tidak saja cakap bertanding, tetapi juga luwes lomes (menari) dan dere (menyanyi). Itu dimaksudkan menarik perhatian penonton, terutama gadis-gadis pujaan yang ikut menyaksikan caci dan ber-danding atau menyanyikan lagu-lagu tradisional mengiringi permainan caci.

Hal-hal lain yang selalu ada dalam tiap Permainan Caci adalah, kelompok pemusik, biasanya para wanita dan ibu-ibu yang selalu memainkan tetabuhan gong dan gendang untuk mengiringi pertandingan. Caci disebut juga sebagai tontonan kompleksitas budaya Manggarai dalam satu moment.

Go’et atau syair pantun adat Manggarai, tari-tarian tradisional Manggarai, relasi sosial yang harmonis bisa dinikmati sebagai satu paket komplit dalam kegiatan ini.

Selain itu juga ada kelompok pemuda yang selalu siap dengan sopi atau tuak bakok (arak Manggarai), minuman khas yang selalu ada dalam setiap perhelatan budaya ini

Biasanya diminum oleh petarung untuk sekedar membangkitkan semangat dan menambah keberanian, atau juga dinikmati oleh penonton. Caci adalah perhelatan budaya yang indah, semarak dan menyenangkan.Bagi orang Manggarai, pementasan caci merupakan pesta besar dimana desa penyelenggara memotong kerbau beberapa ekor untuk makanan para peserta atau siapa pun yang menyaksikan caci, secara gratis. Caci adalah warisan leluhur Manggarai yang tetap lestari sampai saat ini.

Secara umum, sistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa), meski masih terdapat cara-cara dan tempat persembahan misalnya, compang (mesbah) juga terkadang di bawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.

Compang (Mesbah)Yang didirikan di tengah kampung karena

menurut kepercayaan orang Manggarai di sana berdiamlah Sang Naga Beo (kekuatan pelindung) yang menjaga ketentraman warga kampung setiap waktu. Compang itu berbentuk bulat maksudnya atau mengandung makna kekerabatan, sehingga dalam upacara adat Manggarai sering diungkapkan kalimat sebagai berikut:

a) Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata)b) Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan)c) Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah)

Wujud nyata dari prinsip ini nampak dalam kegiatan leles, kokor tago, dan lain-lain. semuanya menekankan persaudaraan, kebersamaan, dan kekeluargaan.Di dalam masyarakat Manggarai, khususnya berkaitan dengan religius tumbuh dan berkembangnya upacara-upacara adat yang berkaitan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi misalnya :* Dalam acara penti, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi:

- Lawang morin agu ngaranArtinya untuk minta pengukuhan dari Tuhan

sebagai pemilik atau pemberi atas benih atau tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh manusia. sehingga dalam adat Manggarai, diadakannya pesta penti (syukuran) kepada T uhan atas pemberiannya itu.* Dalam upacara kematian, ucapan untuk menyebut nama Tuhan atau wujud tertinggi :

- Kamping morin agu ngaran

 Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September).Upacara penti adalah upacara syukur. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori

Jari Dedek marah. Kalau hal itu terjadi, akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai. Upacara penti terdiri dari beberapa babak, yaitu:

Penti dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati, juga sebagai tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih).

6. Perkawinan Adat Masyarakat Manggarai

Umumnya perkawinan mengikuti aturan adat dan disahkan oleh gereja. Biasanya ada mahar yang disebut belis berupa kerbau, kuda dan juga uang tunai. Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sering juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu. Perkawinan ini disebut perkawinan tungku. Pada perkawinan tungku biasanya tidak dibutuhkan suatu paca yang besar.

Mas kawin itu biasa yang dianggap sebagai syarat proforma saja. Hubungan antara anak wina dan anak ronad di dalam hal ini juga bersifat amat bebas seperti antara adik dan kakak saja.

Perkawinan adat lain yang tidak sering terjadi adalah perkawina levirat. Dalam hal itu seorang diminta mengawini janda dari adik atau kakak laki-lakinya yang meninggal. Perkawinan levirat atau perkawinan liwi dalam bahasa Manggarai, tidak membutuhkan syarat paca. Sebaliknya perkawinan sororat, atau timu lalo dalam bahasa Manggarai, membutuhkan prosedur lamaran yang baru dengan syarat paca yang juga tinggi.Proses perkawinan bagi orang Manggarai pada umumnya dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain:

Tahap perkenalan yang disebut dengan toto, maka keluarga laki-laki berkumpul untuk mempersiapkan untuk meminang gadis. Perempuan yang menentukan pokok-pokok pembicaraan.a)Tei hang ende agu ema (persemabahan), ada satu kebiasaan malam menjelang pemina ngan diadakan upacara persembahan kepada nenek moyang agar diberkati perjalanan hidup mereka.b)Taeng, peminangan dilakukan melalui tongka juru bicara masing-masing, dilanjutkan dengan pemberian belis sebagai tanda ikatan.c)Nempung, umber, merupakan acara perkawinan pihak keluarga laki-laki menghantar seluruh belis yang diminta.Didaerah manggarai, jarang terjadi poligami. poligami terjadi pada orang yang bangsawan karena mayoritas masyarakat manggarai adalah beragama Katolik. Dalam hukum gereja, tidak diijinkan untuk berpoligami.

• Kepemilikan Tanah AdaTTanah Adat (ulayat) dibagi menjadi tiga macam yaitu Lingko Rame, Lingko Bon dan neol. Lingko rame adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang memiliki tempat pemujaan atau mempersembahkan sesaji pada pusat atau di tengah-tengahnya. Lingko Bon bentuknya sama dengan lingko rame, hanya tidak memiliki tempat pemujaan pada pusat tanahnya. Sedangkan lingko neol tidak berbentuk sarang laba-laba.

• Pembagian Pekerjaan Dalam Rumah TanggaPria mempunyai tugas bekerja di kebun, mengumpulkan kayu bakar, membuat pagar, membangun rumah, memelihara kuda dan kerbau, menjadi buruh bangunan pada proyek pembangunan jalan, membawa hasil pertanian ke pasar atau melakukan transaksi dengan pembeli dan mengumpulkan kayu api dari hutan

Wanita mempunyai tugas memasak, mengurus anak, memberi makan ternak, mengambil air, mencuci pakaian dan bekerja di ladang, dan mencari kayu api dari ladang setiap hari. Anak-anak mempunyai tugas membantu mengambil air, kayu api dan memberi makan ternak.

Manggarai adalah daerah yang memiliki berbagai macam budaya yaitu:1.Rumah raja Manggarai yang merupakan salah satu rumah adat yang masih digunakan untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian.2.Wuat Wai

Wuat wai adalah suatu acara berkumpulnya seluruh warga sebagai wujud dukungan kepada anak dengan menyumbangkan dana bagi kebutuhan anak yang hendak melanjutkan pendidikan tinggi.

3. Tarian Caci, Warisan Leluhur ManggaraiCaci menurut berbagai sumber termasuk tokoh ada

Manggarai bisa dibahasakan sebagai permainan atau tarian perang yang dilakonkan dua pria jawara dari dua kelompok yakni Ata One (warga kampung) dan Ata Pe’ang (pendatang) yang disebut juga Landang (penantang). Caci, selain mengajarkan kemurnian hati, juga memuat unsur seni yang tinggi, karena  para jawara tidak saja cakap bertanding, tetapi juga luwes lomes (menari) dan dere (menyanyi). 4. Religi/Agamasistem religi asli orang Manggarai adalah monoteis implisit, dengan dasar religinya yakni menyembah Tuhan Maha Pencipta dan Maha Kuasa (mori jadi dedek – Ema pu’un kuasa). Memiliki tempat-tempat persembahan seperti combang (mezbah) dan terkadang dibawah pohon-pohon besar yang dipandang angker dan suci.

5. Upacara Penti Upacara penti adalah upacara masyarakat Manggarai

yang bertujuan untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan para leluhur atas hasil pertanian selama setahun atau beberapa tahun. Susunan upacara ini adalah: upacara Podo Tenggeng, Barong Wae Teku, Barong Compang, Libur Kilo, Wae Owak Dan Tudak Penti.Saat ini, upacara penti tidak lagi dijalankan oleh semua orang Manggarai. Alasan-alasan yang mungkin adalah modernisasi, perkembangan agama katolik, dan sosialisasi budaya penti yang kurang berhasil.

6. Perkawinan Adat Masyarakat ManggaraiPerkawinan yang paling umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pedesaan di Manggarai adalah perkawinan akibat pacar-pacaran antara pemuda-pemudi. Kalau antara pemuda-pemudi sudah ada pengertian dan persetujuan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, maka keluarga si pemuda melamar (cangkang) pada keluraga si gadis.

Suatu perkawinan adat yang banyak terjadi terutama di antara orang bangsawan , tetapi sering juga di antara orang biasa, adalah perkawinan yang sudah ditentukan dahulu oleh orang tua. Di dalam hal mencarikan jodoh untuk anaknya orang akan selalu mencari seorang jodoh yang menurut adat merupakan perkawinan yang paling ideal bagi seorang Manggarai, ialah perkawinan dengan seorang anak wanita saudara pria ibu.

Kami dari kelompok 10 menyarankan agar pelestarian budaya harus selalu dilakukan secara continue agar budaya tersebut selalu abadi dari generasi ke generasi.