Upload
idris-mohammad
View
7
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
Miastenia gravis
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuscular.Miastenia gravis dapat terjadi akibat gangguan sistem saraf perifer yang ditandai
dengan pembentukan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin yang terdapat di daerah motor
and-plate otot rangka. Autoantibodi igG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin
dan mencegah peningkatan asetilkolin ke reseptor sehingga mecegah kontraksi otot. Miastenia
gravis pada awalnya dapat menyebabkan kelemahan otot yang mengontrol gerakan bola mata
atau dapat mempengaruhi seluruh tubuh.
Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang parah.Penyakit ini
merupakan penyakit neuromuscular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan
otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan.Sindrom klinis ini ditemukan pertama kali pada
tahun 1600, dan pada akhir tahun 1800 Miastenia gravis dibedakan dari kelemahan otot akibat
paralisis burbar.Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita penyakit Miastenia gravis
merasa lebih baik setelah minum obat efedrin yang sebenarnya obat ini ditujukan untuk
mengatasi kram menstruasi.Dan pada tahun 1934 seorang dokter dari Inggris bernama Mary
Walker melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara Miastenia gravis dengan keracunan
kurare.Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisiotigmin untuk mengobati Miastenia
gravis dan ternyata ada kemajuan nyata dalam penyembuhan penyakit ini.
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun.Pada umur dibawah 40 tahun
miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita.Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak
pada pria (Harsono, 1996).Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan
sebagai 1 dalam 10.000.Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena
sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis.
Patofisiologi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas.Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari
synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi
transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi
kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Miastenia
gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga
dalam hal ini, miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ.Antibodi
reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien.Antibodi ini merupakan
antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan
dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor
asetilkolin pada membran postsinaps.Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal
sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial
aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut
otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan
oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps.Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka
jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu
jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end
plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung
lama.
Klasifikasi miastenia gravis
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia.Sangat ringan, tidak ada
kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar.Sistem pernapasan tidak terkena.Respon terhadap terapi obat baik.Angka
kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan.Otot-otot
pernapasan tidak terkena.Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernapasan.Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan.Respons terhadap obat buruk.Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun
krisis gabungan keduanya tinggi.Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II.Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-
tiba.Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, yaitu:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi
yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh
masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir.Tidak ada kelainan imunologik
dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan.Jenis ini biasanya tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas.Biasa terjadi pada
miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran
asetilkolin dari ujung saraf.Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell
carsinoma).Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis.Pada umumnya
penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala
orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau
negatif.Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya
antibodi.Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB.
Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons
terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson,
dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami
miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang
menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik.Akibatnya adalah paralisis
berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B
paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see
food).Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak
disterilisasi secara sempurna.Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah
terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri.Pupil dapat
dilatasi maksimal.Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai
tahap stabil (plateau).Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat
fatal.Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah.Sebagian
besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring.Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum),
menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang
dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot
pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea
dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya.Pada kasus
yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua
otot-otot rangka.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis.Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.Wanita muda cenderung menderita hiperplasia
timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.Elektromiografi menunjukkan
penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus.
Penyebab Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan
neuromuskular.Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif
lambat.Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan obat-
obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan untuk mengobati tekanan darah
tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati malaria), dan procainamide (digunakan untuk
mengobati kelainan ritme jantung).
Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami
myasthenia gravis.Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah, bisa lewat dari
wanita hamil terus ke plasenta menuju janin.Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan
otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir.Sisa 88% bayi tidak
terkena.
Tanda dan gejala
Peristiwa pada gejala-gejala yang memperburuk sering terjadi. Pada waktu yang lain,
gejala-gejala kemungkinan kecil atau tidak ada. Gejala-gejala yang paling sering terjadi sebagai
berikut:
Kelemahan otot mata yang menyebabkan ptosis ( turunnya kelopak mata).
kelemahan otot wajah, leher dan tenggorokan yang menyebabkan kesulitan makan dan
menelan.
Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi keletihan ringan
dengan pemulihan kekuatan setelah beristirahat. Namun pada akhirnya kekuatan tidak
pulih lagi setelah melakukan istrahat.
Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk
yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu
membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya.
Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila
mereka berada dalam keadaan tegang,
Pengobatan
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu:
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga
serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau
ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai
dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os
dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta
idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.Timektomi dianjurkan pada
MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun
± 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan 40-50% mengalami perbaikan.
b. Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek
samping.Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis
yang diinginkan.Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh
imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c. Imunosupresif
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclophosphamide (CPM),
Cyclosporine,.Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2½ mg/kg
BB.Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat imunosupresif lainnya.Perbaikan lambat sesudah 3-12bulan.Kombinasi
azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus
berat.
d. Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50%
akan terjadi perbaikan klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
a. Memberikan penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem
psikis.
b. Alat bantuan non medikamentosa
Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khusus yang dilengkapi dengan
pengkait kelopak mata.Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga
dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang,
menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi
neuromuskuler seperti B-blocker, derivate kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika
seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
Konkusio syndrome
Masalah Klinis
Konkusio merupakan suatu kondisi di mana terjadi kehilangan kesadaran yang berlangsung dengan cepat dan bersifat sementara yang disertai periode amnesia setelah terjadinya benturan pada kepala. Kasus seperti ini sering ditemukan, terjadi pada 128 pasien per 100.000 populasi di Amerika Serikat tiap tahun, yang membuat hampir semua dokter pernah dipanggil untuk memberikan pertolongan di tempat kejadian atau untuk mengatasi sekuele dari konkusio. Status klinis berupa sensasi kebingungan, pasca cedera kepala bisa saja tidak disertai periode hilangnya kesadaran, namun pada umumnya hal tersebut tetap dianggap sebagai bentuk paling ringan dari konkusio kepala. Anak kecil merupakan kelompok populasi yang paling sering mengalami konkusio. Kecelakaan olahraga dan bersepeda merupakan penyebab tersering timbulnya konkusio pada anak yang berusia 5 hingga 14 tahun, sedangkan terjatuh dan kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering konkusio pada orang dewasa.
Episode konvulsi tunggal yang berlangsung singkat beberapa setelah terjadinya konkusio, seringkali menimbulkan masalah baru yang berhubungan dengan masalah bangkitan. Mekanisme kejadian tersebut hingga saat ini tidak diketahui, namun konvulsi yang berlangsung singkat yang tidak disebabkan oleh epilepsi biasanya tidak membutuhkan medikasi antikonvulsan. Konkusio yang derajatnya lebih berat bisa saja diikuti oleh keadaan kebingungan atau delirium bahkan tertidur yang lama.
Hilangnya kesadaran dalam waktu singkat yang timbul pada konkusio nampaknya diakibatkan oleh adanya gaya rotasional yang terjadi pada perbatasan antara mesensefalon superior dan thalamus sehingga hal tersebut mengganggu fungsi neuron retikuler yang mempertahankan kesadaran manusia (gambar 1). Mekanisme lain, seperti kejang atau peningkatan tekanan intrakranial, juga dianggap sebagai faktor yang berperan namun hanya sedikit bukti yang mendukungnya. Penyebab timbulnya amnesia hingga saat ini masih belum diketahui.
Evaluasi Pasien yang mengalami Konkusio
Pasien yang mengalami konkusio harus dipertahankan jalan napasnya agar tetap paten dan kita harus waspada dengan kemungkinan timbulnya cedera leher. Jika pasien mengalami nyeri leher, maka tindakan imobilisasi servikal merupakan hal yang wajib dilakukan. Semua pasien konkusio wajib dibawa ke unit gawat darurat untuk mendapatkan evaluasi, meskipun banyak pasien yang menolaknya.
Kriteria Untuk melakukan Pencitraan Kranial
Hal yang harus dikhawatirkan pada pasien konkusio adalah timbulnya perdarahan subdural, epidural maupun perdarahan parenkim, meskipun hanya sekitar 10% yang mengalami perdarahan intrakranial pasca-konkusio, dan kurang dari 2% yang membutuhkan bedah saraf. CT scan kranial yang tanpa kontras sudah cukup adekuat untuk mendeteksi perdarahan intrakranial; MRI tidak diperlukan.
Tanda-tanda neurologis seperti hemiparese atau buruknya kesadaran merupakan indikasi utama untuk melakukan CT. Hanya saja, hingga saat ini masih sulit untuk memprediksi pasien yang layak untuk menjalani pemeriksaan radiologi. Bukti yang pemeriksaan klinis yang menunjukkan bahwa cedera yang dialami oleh pasien tergolong ringan masih belum dapat memastikan bahwa pasien tidak memiliki lesi intrakranial.
Observasi Pasca-Konkusio
Durasi dan cara pemantauan pasien pasca-konkusio sangat bergantung pada periode penurunan kesadaran, amnesia, dan keberadaan cedera sistemik. Pasien yang memiliki hasil pemeriksaan neurologis yang normal pada umumnya cukup diobservasi selama dua jam dan dapat dipulangkan selama ada yang dapat mengawasinya di rumah. Kita juga dapat membuat instruksi tertulis mengenai daftar gejala yang patut diwaspadai dan pasien harus balik ke rumah sakit jika gejala tersebut timbul. Adapun gejala yang harus diwaspadai antara lain peningkatan nyeri kepala, muntah berulang, kelemahan, kebingungan, penurunan kesadaran, dan timbulnya cairan dari hidung atau telinga yang menandakan bahwa telah terjadi kebocoran cairan serebrospinalis. Nyeri kepala dan iritabilitas lazim terjadi dalam beberapa hari setelah konkusio, terutama pada anak. Pada umumnya direkomendasikan agar pasien tidak melakukan aktivitas sehari-hari hingga bebas dari rasa sakit kepala dan pusing, namun tidak ada bukti yang mengindikasikan bahwa memulangkan pasien ke rumah lebih awal dapat menimbulkan bahaya.
Timbulnya penurunan kesadaran, hemiplegia, atau afasia yang onsetnya masih baru kemungkinan besar berhubungan dengan hematoma epidural atau subdural yang onsetnya lambat dan hal ini membutuhkan pemeriksaan yang lebih hati-hati, yang disertai oleh pencitraan. Jika tanda-tanda fokal tersebut tidak berasal dari perdarahan intraserebral, maka kita dapat mempertimbangkan adanya diseksi arteri karotis yang terselubung. Ketika pencitraan otak dan vaskuler servikal serta serebral menunjukkan hasil yang normal, maka kemungkinan besar gejala yang dialami oleh pasien merupakan suatu fenomena yang menyerupai migrain.
Sindrom Pasca-konkusio (instabilitas nervus pasca-traumatik)
Sindrom pasca-kontusio terdiri atas beberapa gejala yang dapat mendapat membatasi pasien, seperti nyeri kepala, rasa pusing, dan kesulitan berkonsentrasi, selama beberapa hari atau minggu. Frekuensi dan perjalanan sindrom pasca-trauma hingga saat ini masih belum diketahui.
Pada suatu serial kasus, diketahui bahwa insidensi nyeri kepala dan rasa pusing dapat mencapai 90% selama bulan pertama, dan menurun menjadi 25% selama tahun pertama atau beberapa tahun setelahnya, dan insidensi gangguan memori berkisar antara 4 hingga 59%. Jika telah terjadi selama lebih dari beberapa minggu, maka gejala-gejala tersebut dapat bertahan hingga beberapa bulan dan cenderung resisten terhadap terapi, meskipun tingkat keparahannya mengalami penurunan. Gangguan kompensasi dan litigasi berhubungan dengan gejala yang sifatnya persisten. Di negara-negara yang litigasinya rendah, maka insidensi kecacatan pasca-konkusio cenderung lebih rendah dan masalah nyaris tidak ditemukan pada anak-anak yang berusia muda. Meskipun begitu, kesulitan konsentrasi tetap saja menjadi masalah yang cukup pelik dan hal tersebut tetap dapat ditemukan pada pasien yang menjalani uji neuropsikologis dalam beberapa bulan setelah konkusio.
Kecemasan dan depresi dilaporkan terjadi pada lebih dari sepertiga pasien yang memiliki gejala pasca-konkusio persisten, namun sulit untuk menentukan apakah gejala psikiatrik tersebut telah terjadi sebelum cedera atau setelah cedera. Gejala pasca-konkusio lebih sering ditemukan pada pasien yang mengalami preokupasi dan disertai kerusakan otak atau pasien yang mengalami intensifikasi gejala ketika sedang bergiat secara mental atau fisik.
Ketidakseimbangan merupakan pertanda telah terjadi kerusakan vestibuler (konkusio vestibuler). Pasien dengan gangguan tersebut biasanya mengalami vertigo atau merasa berputar ketika sedang berjalan atau berkendara. Kerusakan vestibuler terlihat jelas pada pasien yang mengalami gangguan reflesk vestibulo-okuler, yang dapat diuji dengan cara memalingkan kepala pasien hingga beberapa derajat dengan cepat ke satu sisi, sambil mata pasien fokus pada satu titik tetap, lalu kita memperhatikan perubahan fiksasi pasien.
Data dari percobaan terkontrol yang dapat digunakan sebagai panduan terapi pasien sindrom pasca-konkusio hingga saat ini masih terbatas. Namun upaya meyakinkan pasien dan edukasi mengenai efek konkusio sejak stadium awal penyakit dapat menurunkan insidensi dan durasi gejala pada bulan ke-enam. Banyak pengalaman klinis yang menunjukkan bahwa analgesik lemah cukup bermanfaat untuk mengatasi nyeri kepala, menghindari morphine dan penggunaan meclizine, promethazine (Phenergan) serta latihan vestibuler dapat membantu mengatasi rasa pusing, hanya saja semua terapi tersebut belum diteliti secara menyeluruh pada pasien sindrom pasca-konkusio. Antidepresan dapat digunakan untuk pasien yang mengalami pemanjangan durasi gejala yang disertai rasa cemas, sulit tidur, konsentrasi rendah, dan nyeri kepala pasca-cedera. Pada pasien yang memiliki riwayat migraine, konkusio dapat memicu timbulnya rasa nyeri kepala yang lebih lama. Beberapa pengalaman klinis mendukung pengguna terapi untuk migrain yang terjadi secara spontan (triptan, anti-konvulsan, β-bloker, CCB atau kortikosteroid).