Upload
dionissashabira
View
225
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
p
Citation preview
LAPORAN KASUS
VERTIGO DENGAN TYPHOID
Anamnesis : Autoanamnesis
Tanggal : 02 Juni 2015
Ruang : Mawar RSUD Ambarawa
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. LC
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Karang Talun RT 3/1 Karang Kajen, Secang, Magelang
Masuk RS : 01 Juni 2015, pukul 18.02 WIB
II. DATA SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Pusing berputar
1
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan pusing berputar-putar sejak 2 minggu SMRS disertai demam, nyeri
di persendian dan mual muntah. Kemudian pasien berobat ke dokter umum. Dari dokter umum
pasien mendapatkan 3 macam obat. Menurut pasien keluhan demam membaik namun keluhan
pusing berputar tidak membaik. Keluhan ini tidak sampai mengganggu aktivitas sehingga pasien
masih tetap bekerja.
3 hari SMRS, pusing berputar terasa semakin memberat, menurut pasien keluhan tersebut
sampai membuat tidak dapat berdiri. Pusing dirasakan selama 5-15 menit. Pusing terjadi tiba-
tiba, tidak dipengaruhi rasa lelah maupun ketika istirahat. Pusing dirasa bertambah jika badan
berubah posisi dan membaik jika pasien berbaring dan menutup mata.
2 hari SMRS pasien kontrol ke poli saraf RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing
berputar-putar dan disarankan untuk dirawat inap namun pasien menolak. Pasien mendapatkan
obat betahistin tetapi keluhan tetap tidak berkurang. Pasien mengakui telinga kanannya
berdengung saat mengalami pusing berputar dan berhenti ketika pusing berputarnya membaik. .
Pasien mengeluhkan mual dan muntah sebanyak 1 kali SMRS. Pada tanggal 01 juni 2015,
akhirnya pasien masuk ke rumah sakit melalui IGD dan di rawat.
Pasien menyangkal adanya penglihatan dobel dan kabur, nyeri telinga, penurunan
pendengaran, kejang, nyeri kepala, kelemahan anggota tubuh dan kesemutan/baal. Buang air
besar serta buang air kecil tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat gangguan telinga : disangkal. Pasien menyatakan tidak ada riwayat gangguan
telinga kanan maupun kiri.
Riwayat hipertensi: disangkal. Pusing berputar dirasakan hilang timbul selama ± 2
minggu ini.
Riwayat DM: disangkal
2
Riwayat infeksi: Pasien mengatakan 5 bulan yang lalu sempat di rawat inap dengan
diagnosa demam typhoid.
Riwayat cedera kepala/leher: disangkal
Riwayat gangguan tidur: disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Pusing berputar (+)
Sistem Kardiovaskular : Tidak ada keluhan
Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan
Sistem Gastrointestinal : Mual, muntah 3 jam terakhir
Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada keluhan
Sistem Integumental : Tidak ada keluhan
Sistem Urogenital : Tidak ada keluhan
Resume Anamnesis
Seorang pasien usia 25 tahun, datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan pusing
berputar-putar sejak 2 minggu SMRS. Keluhan dirasakan memberat 3 hari SMRS yang
mengakibatkan pasien sulit beraktifitas, mengakibatkan pasien merasa tidak dapat berdiri. Pasien
3
sudah berusaha untuk mengobati dengan pergi ke dokter namun keluhan pusing berputar masih
belum berkurang dan keluhan tidak membaik. Pasien hanya berbaring di tempat tidur untuk
mengurangi rasa pusing berputar. Pasien mengakui telinga kanannya berdengung saat mengalami
pusing berputar dan berhenti ketika pusing berputarnya membaik. Pasien menyangkal adanya
penglihatan dobel dan kabur, nyeri telinga, penurunan pendengaran, kejang, nyeri kepala,
kelemahan anggota tubuh dan kesemutan/baal. Buang air besar serta buang air kecil tidak ada
keluhan.
DISKUSI I
Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan pusing berputar, pusing berputar merupakan
gejala dari vertigo. Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar terasa seperti berputar
mengelilingi pasien, atau pasien merasa seperti berputar mengelilingi lingkungan sekitar.1
Keluhan yang sering disampaikan pasien beragam, misalnya puyeng, sempoyongan, mumet,
muter, pusing, rasa seperti mengambang, dan rasa seperti melayang. Vertigo berasal dari bahasa
latin vertere yang artinya memutar, merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa
keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistem keseimbangan.1
Langkah-langkah sistematis manajemen pasien vertigo, antara lain:2
1. Memastikan keluhan
2. Memastikan jenis dan letak lesi
3. Mencari penyebab
4. Memantau terapi
1. Memastikan keluhan
Pasien dapat menyampaikan keluhan kepala dengan sebutan pusing. Untuk memudahkan
dan menghindarkan salah persepsi dari gangguan kepala lainnya adalah dengan menanyakan
pasien mengenai apa yang dirasakan pasien saat terjadinya serangan. Pastikan bahwa keluhan
yang dirasakan pasien benar-benar pusing berputar. Bukan nyeri kepala atau bingung.
4
2. Memastikan jenis dan letak lesi
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan
tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik kanan dan kiri akan
diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut.
Semua rangsang yang diterima reseptor masing-masing sistem diintegrasikan di batang otak dan
serebellum, sehingga terjadi hubungan fungsional yang terpadu antara 3 sistem. Respons yang
muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di
samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika
fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan
informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping itu,
respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat
berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.3
Vertigo dapat timbul bila ada gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga sistem
tersebut pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. Vertigo dibagi menjadi dua, vertigo
vestibular bila kelainan pada vestibular, dan vertigo non vestibular apabila terjadi pada visual dan
proprioseptif. Vertigo juga dibagi menjadi vertigo yang terjadi dengan letak lesi di perifer (labirin dan n.
Vestibularis) dan vertigo yang terjadi dengan letak lesi di sentral (batang otak hingga korteks).
VERTIGO PERIFER VERTIGO SENTRAL
Letak lesi Labirin dan N. Vestibularis Batang otak hingga korteks
Sifat vertigo Rasa berputar (true vertigo)Melayang, hilang
keseimbangan
Serangan Episodik Kontinyu
Mual/muntah + –
Gangguan pendengaran
dan/atau tinitus+ / – –
Gerakan pencetus Gerakan kepala Gerakan obyek visual
Gejala gangguan SSP – + (diplopia, parestesi, gejala
5
fokal serebral)
Gejala Otonom + + –
Nistagmus Horizontal Vertikal
3. Mencari penyebab
Berbagai macam proses patologis dapat terjadi pada ketiga sistem somatosensorik,
vestibular, maupun visual, baik pada tingkat resepsi, integrasi, maupun persepsi. 4
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan
ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan apa yang dipersepsi oleh susunan
saraf pusat. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor
vestibuler, visual, dan proprioseptik. Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar,
yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik.5
Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya adalah:
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.
2. Teori konflik sensorik.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum, dan proprioseptik, atau karena
ketidakseimbangan masukan sensoris dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut
menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa
nistagmus, ataksia, rasa melayang, berputar.
6
3. Teori neural mismatch.
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik. Menurut teori ini otak
mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat dirasakan
gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan
saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
perubahan posisi. Gejala klinis timbul jika sistem simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang
jika sistem parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral.
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori serotonin (Lucat),
yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim
saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinaps.
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan
perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat.
Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (Corticotropin Releasing
Factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,
berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, kemudian berkembang menjadi
mual, muntah, dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis.
7
PENYEBAB
Vertigo Perifer Vertigo Sentral
· BPPV
· Labirinitis
· Vestibular neuritis
· Meniere’s Disease
· Labyrinthie Ischemia
· Trauma
· Toxin
· Vascular
· Demyelinating
· Neoplasm
Demam Typhoid
Dari anamnesis juga didapatkan adanya riwayat demam 2 minggu sebelumnya, demam
biasanya diakibatkan oleh suatu infeksi. Infeksinya dapat disebabkan berbagai macam
mikroorganisme. Menurut keterengan pasien 5 bulan sebelumnya pasien pernah di rawat di RS
dengan diagnosa demam typhoid. Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam
yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.6
Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel,
dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa
kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid
akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.6
8
Patogenesis
Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian
melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organterutama hati dan
limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ-
organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke
dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid
usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat
mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang
dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh
kelainan pada usus.6
Gejala Klinis
Masa inkubasi Demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara tiba-
tiba atau berangsur angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit
kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Pada minggu pertama demam (suhu
berkisar 39-400C), nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare,
perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu kedua demam, bradikardi, lidah khas
berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran.
Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam terutama
pada sore hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi,
kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian antipiretik, tidak ada
menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal :
bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak
kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada
permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi.6
9
Patofisiologi Vertigo et causa
Thypoid
10
Infeksi typhoid
Mengeluarkan endotoksin
Rangsang Sel-sel peradangan
Rangsang aktivitas reseptor dopamine
2
Rangsang Chemoreseptor
Trigger Zone
Pusat muntah di otak
Mual dan muntah
Mediator kimiawi
Histamin Pirogen endogen
Meningkatkan thermostat
tubuh di hipotalamus
menjadi lebih tinggi dari
normal
demam
Reseptor histamine
yang menyebar di
central nervous system
Memodulasi aktivitas sel-sel nukleus vestibular
Nistagmus vertigo Gangguan keseimbangan
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara biakkan bakteri Salmonella spp dalam cairan
kandung empedu penderita. Pemeriksaan lain yaitu menguji sampel feses atau darah untuk
mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah
pada hari 14 pertama setelah terinfeksi.6 Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga
serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan
ditemukannya Salmonella.
Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan
semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari
menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis
positif dari infeksi aktif demam tifoid.6,7
Pemeriksaan berikutnya yang cukup membantu menegakkan diagnosis tifoid adalah IgM
Salmonela (Tubex TF). Pemeriksaan ini menghasilkan hasil positif di saat panas haru ke 4 atau
5, dan sebagian akan bertahan tetap positif sampai 35 hari atau ada yang sampai 2 bulan masih
positif.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah
demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti
terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis
polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.
Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu
khas seperti di atas. Pada beberapa kasus yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya
mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak
semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.
Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang serta daya tahan tubuh.
Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan
oleh sistem pelindung tubuh manusia.6
11
Penatalaksanaan
Management atau penatalaksanaan secara umum meliputi managemen medikamentosa,
managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang baik merupakan aspek penting dalam
pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,
yaitu: 7
1. Managemen Medikamentosa
A. Etiologik
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin atau
kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga
adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali
pemberian, oral atau intravena, selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun.
Pada keadaan malnutrisi atau penyulit lain diberikan hingga 21 hari. Bilamana terdapat
indikasi kontra pemberian kloramfenikol
Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol ampisilin dengan dosis 200
mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum
obat, selama 21 hari. Namun efeknya lebih rendah dibandingkan kloramfenikol
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari. Efeknya setara dengan kloramfenikol namun efek
penurunan demamnya lebih lambat.
Kotrimoksasol dengan dosis TMP 10 mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 kali pemberian, oral, selama 14 hari.
Tabel 1. Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi dan S paratyphi A11
S.typhi S.paratyphi A
Ceftriaxon 92,6 100
Kloramfenikol 94,1 100
Tetrasiklin 100 100
Trimetoprim-Sulfametoksazol 100 100
Ciprofloksasin 100 100
12
Levofloksasin 100 100
Pada kasus berat, dapat diberi sefalosporin generasi 3
Ceftriakson dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dan diberikan 2 kali sehari selama 5-7 hari,
maksimal 4 mg/hari.
Cefotaxim dengan dosis 100-200 mg/kgBB/hari melalui 3-4 kali pemberian.
Cefixim merupakan pilihan alternatif, terutama pada kasus leukosit < 2000/uL dengan
pemberian oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari.
Kuinolon baik diberikan untuk tifoid namun tidak dianjurkan pemberiannya pada anak-
anak.
Pada kasus yang diduga mengalami MDR (Multi Drug Resistance), maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan kesadaran
(delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg IV,
selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosa klinik : pusing berputar onset akut berulang, mual, dan muntah
Diagnosa topik : organ vestibuler, organ non-vestibuler
Diagnosa etiologik : Central : -vaskulogenik
-hemodinamik
Perifer : -otogenik
-infeksi
13
DATA OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis (tanggal 02 Juni 2015)
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 73 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36 oC
Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS E4V5M6
Kepala : mesocephal
Mata : edema palpebra -/-, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/, pupil isokor 3 mm,
RCL +/+, RCTL +/+, refleks kornea +/+, tes nistagmus -.
Telinga : OD à bentuk normal, lubang lapang, serumen -, MT intak, OS à bentuk normal,
lubang lapang, serumen -, MT intak
Mulut : Lidah Coated Tongue
Leher : simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi
trakhea, tidak terdapat pembesaran KGB, kaku kuduk -, meningeal sign -.
Thorax : Cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen : Supel, datar, BU meningkat, nyeri tekan (+)
Ekstremitas : Edema -, sianosis -, CRT < 2”, parese (-), plegi (-)
14
STATUS NEUROLOGIS
Sikap tubuh : normal
Gerakan abnormal : –
NERVUS KRANIALIS
N I (Olfaktorius) Kanan Kiri
Daya Penghidu N N
N II (Optikus)
Daya penglihatan N N
Pengenalan warna N N
Medan penglihatan N N
N III (Okulomotorius)
Ptosis – –
Gerakan bola mata ke
Superior N N
Inferior N N
Medial N N
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil bulat bulat15
Reflek cahaya langsung + +
Reflek kornea + +
N IV (Troklearis)
Gerak bola mata ke lateral bawah N N
Diplopia – –
Strabismus – –
N V (Trigeminus)
Menggigit N N
Membuka mulut N N
N VI ( Abdusens)
Gerakan mata ke lateral N N
N VII (Facialis)
Kerutan kulit dahi N N
Kedipan mata N N
Mengerutkan dahi N N
Mengerutkan alis N N
Menutup mata N N
Lipatan nasolabial N N
Sudut mulut N N16
Meringis N N
Menggembungkan pipi N N
Lakrimasi + +
N VIII (Akustikus)
Mendengar suara + +
Mendengar detik arloji + +
N IX (Glosofaringeus)
Daya kecap lidah 1/3 belakang + +
Reflek muntah + +
Sengau – –
Tersedak – –
N X (Vagus)
Denyut nadi 73x/ menit 73x/menit
Bersuara + +
Menelan + +
N XI (Asesorius)
Memalingkan kepala + +
Sikap bahu N N
Mengangkat bahu N N17
Trofi otot bahu eutrofi eutrofi
N XII (Hipoglosus)
Sikap lidah N N
Tremor lidah – –
Menjulurkan lidah + +
Trofi otot lidah eutrofi eutrofi
ANGGOTA GERAK
Gerakan B B Kekuatan 5/5/5/5 5/5/5/5 Tonus + +
B B 5/5/5/5 5/5/5/5 + +
Refleks Fisiologis + + Refleks Patologis - - Trofi eutrofi eutrofi
+ + - - eutrofi eutrofi
Clonus -/-
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetatif : dalam batas normal
Pemeriksaan tambahan
Romberg test: +
Nistagmus: +
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin :
Hemoglobin : 15,5 Limfosit : 1,8
18
Leukosit : 6400
Eritrosit : 5,15 jt
Hematokrit : 46,2%
Trombosit : 262.000
Monosit : 0,1
Eosinofil : 0,1
Basofil : 0,0
Neutrofil : 4,4 Kimia darah:
Kolesterol : 159
Trigliserida : 82
HDL : 37
LDL : 105,6
Asam Urat : 5,85
Ureum : 29,45
Kreatinin : 0,85
Anti Salmonella IgM : 7 (positif kuat)
Rontgen servikal AP/Lateral/Obliq :
o Alignment lordotik
o Tak tampak kompresi
o Tak tampak penyempitan foramen intervertebralis
DISKUSI II
Pada pemeriksaan bagian kepala, di bagian lidah terdapat tanda khas berupa coated
tongue salah satu ciri dari infeksi typhoid. Coated tongue adalah lapisan berwarna putih, kuning,
atau kecoklatan di atas permukaan lidah yang disebabkan oleh adanya akumulasi dari bakteri,
debris makanan, leukosit dari poket periodontal dan deskuamasi sel epitel. Selain itu pada pasien
ditemukan adanya nyeri tekan di bagian perut yang mengarah terhadap suatu proses patologis
pada organ dalam perut. Pada kasus ini khususnya ke infeksi saluran pencernaan.
Untuk menegakan diagnosis vertigo diambil dari pemeriksaan fisik, melaui pemeriksaan
fisik kita dapat membedakan adanya proses patologis di perifer atau di sentral. Pada pasien
dilakukan pemeriksaan Romberg’s Test:
19
\
Romberg’s Test
Pasien dengan vertigo perifer memiliki gangguan keseimbangan namun masih dapat
berjalan, sedangkan pasien dengan vertigo sentral memiliki instabilitas yang parah dan sering
kali tidak dapat berjalan. Walaupun Romberg’s sign konsisten dengan masalah vestibular atau
propioseptif, hal ini tidak dapat digunakan dalam mendiagnosis vertigo. Pada sebuah studi,
hanya 19% sensitive untuk gangguan vestibular dan tidak berhubungan dengan penyebab yang
lebih serius dari dizziness (tidak hanya terbatas pada vertigo) misalnya drug related vertigo,
seizure, arrhythmia, atau cerebrovascular event3.
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka
kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa
penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara
tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang
menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak.
Sedangkan pada kelainan serebellum badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka
maupun pada mata tertutup. Pada pasien ini hanya bergoyang menjauhi garis tengah saat mata
tertutup.
Pada pemeriksaan motorik didapatkan sistem motorik masih dalam batas normal, fungsi
vegetatif masih dalam batas normal sehingga vertigo sentral dapat dihilangkan. Hal ini
memungkinkan bahwa vertigo yang terjadi bersifat otogenik.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium, darah rutin dalam batas normal, kimia darah
dalam batas normal, namun ditemukan tes Tubex untuk salmonella positif kuat. Igm untuk
salmonella yang positif kuat ini membuktikan bahwa pada pasien memang sedang terjadi infeksi
oleh salmonella typhosa. Akan tetapi dalam kasus ini mungkin gejala klinis nya tidak terlalu
muncul. Pada pemeriksaan x-foto cervical tidak ditemukan adanya kelainan artinya kita dapat
mengesampingkan penyebab vertigo yang di akibatkan gangguan saraf di leher.
20
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis klinik : vertigo akut, mual, muntah, riwayat febris
Diagnosis topik : organ vestibularis, chemoreseptor trigger zone
Diagnosis etiologik : vertigo vestibular perifer et causa infeksi typhoid
PENATALAKSANAAN
Pada pasien ini diberikan terapi:
Piracetam 2 x 3 gr
Ranitidin 2 x 1 amp
Meticobalamin 1 x 1 amp
Clobazam 2 x 5 mg
Betahistin 3 x 1 tab
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Paracetamol 3 x 500 mg (KP)
DISKUSI III
Piracetam
Berperan untuk meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktivitas adenylat siklae
yang merupakan kunci metabolisme energi, meningkatkan sintesis dan pertukaran cytochrome
21
B5 yang merupakan komponen kunci dalam transport elektron. Piracetam digunakan untuk
memperbaiki defisit neurologis.
Metilcobalamin
Merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan dalam reaksi
transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12
lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak.
Methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin
bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin
pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan
mecobalamin mempercepat sintesis Lesitin, suatu komponen utama dari selubung
mielin.Mecobalamin diperlukan untuk kerja normal sel saraf.
Clobazam
Merupakan golongan benzodiazepin yang bekerja berdasarkan potensial inhibisi neuron
dengan GABA sebagai mediator. Clobazam memiliki efek antikonvulsi, ansiolitik, sedatif, dan
relaksasi otot.
Betahistin
Mengurangi vertigo dengan memperlebar sphincter prekapiler sehingga meningkatkan
aliran darah pada telinga bagian dalam. Betahistin juga memperbaiki sirkulasi serebral dan
meningkatkan sirkulasi serebral dan meningkatkan aliran darah arteri karotis interna.
Ceftriaxone
Ceftriaxone merpakan golongan sefalosporin yang mempunyai spektrum luas dengan
waktu paruh eliminiasi 8 jam. Efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif.
Ceftriaxone juga stabil terhadap enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri.
Ranitidin
22
Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat
lain. Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin
pada reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.
Paracetamol
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda. Parasetamol
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang menyebabkan
Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan panas.
Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah yang
menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai
sedang.
PROGNOSIS
Death : dubia ad bonam
Disease : dubia ad bonam
Disability : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad bonam
Dissatisfaction : dubia ad bonam
Distitution : dubia ad bonam
23
FOLLOW UP
TGL S O A P
01/06/15
Pasien merasa
jauh lebih enak,
tapi masih sulit
tidur
KU: tampak sakit
sedang
Kes: CM
TD: 110/70
N: 68 x/m
S: 36,4oC
Vertigo– Betahistin 3 x 1
– Ondansetron 3 x 1
02/06/15
Pasien merasa
pusing kembali
pada sore hari.
Telinga agak
berdenging
KU: tampak sakit
sedang
Kes: CM
TD: 120/80
N: 74 x/m
S: 36,5oC
Vertigo
– Inj. Piracetam 2 x 3 gr
– Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
– Inj. Mecobalamin 1 x 1
– Clobazam 2 x 1
– Betahistin 3 x 1
– Ceftriaxone 2 x 1 gr
03/06/15 Pasien masih
merasa pusing,
telinga
KU: tampak sakit
sedang
Vertigo – Inj. Piracetam 2 x 3 gr
24
berdenging,
merasa mual
Kes: CM
TD: 155/104
N: 80 x/m
S: 36,5oC
– Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
– Inj. Mecobalamin 1 x 1
– Clobazam 2 x 1
– Betahistin 3 x 1
– Ceftriaxone 2 x 1 gr
04/06/15Keluhan
membaik
KU: tampak sakit
sedang
Kes: CM
TD: 110/80
N: 80 x/m
S: 36,5oC
Vertigo
– Inj. Piracetam 2 x 3 gr
– Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
– Inj. Mecobalamin 1 x 1
– Clobazam 2 x 1
– Betahistin 3 x 1
– Ceftriaxone 2 x 1 gr
05/06/15Tidak ada
keluhan
KU: tampak sakit
sedang
Kes: CM
TD: 120/80
N: 80 x/m
S: 36,5oC
Vertigo
– Inj. Piracetam 2 x 3 gr
– Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
– Inj. Mecobalamin 1 x 1
– Clobazam 2 x 1
– Betahistin 3 x 1
– Ceftriaxone 2 x 1 gr
25
DAFTAR PUSTAKA
1. 2004. Vertigo: aspek neurologi. Bogor: Cermin Dunia Kedokteran.
2. Longo, D.L., kasper, D.L., Jameson, J.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L. & Loscalzo, J. 2011.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill.
3. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient with Dizziness
and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and wilkins)
4. Luxon, L. M. 2004. Evaluation and Management of The Dizzy Patient. Journal
Neurology and Neurophysiology. 75 (4) p 45-52.
5. Swartz, R, Longwell, P. 2005. Treatment of Vertigo in Journal of American Family
Physician March 15,2005:71:6.
6. Widodo, D., Demam tifoid buku ajar penyakit dalam 2009, jakarta: Interna publising
7. WHO, The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. 2003, Geneva:
Department of Vaccines and Biologicals.
26