53
LAPORAN PRESENTASI KASUS INTERNA STEMI pada Acute Heart Failure Disusun oleh : SITI SYARIFAH DIASFARI 1102011261 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo Pembimbing : Dr. Agung Fabian C, Sp. JP FIHA

Preskas -Stemi Pd Ahf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cghhjgugyb

Citation preview

LAPORAN PRESENTASI KASUS INTERNA

STEMI pada Acute Heart Failure

Disusun oleh :

SITI SYARIFAH DIASFARI

1102011261

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :

Dr. Agung Fabian C, Sp. JP FIHA

RSUD PASAR REBO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

STATUS PASIEN

Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 57 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Jl. Pejaten Timur RT 6/7, Kel. Pejaten Timur Kec. Pasar Minggu

No RM : 2015-626726

Ruang Rawat : CVCU- Flamboyan

Tanggal Pemeriksaan : 26 Juni 2015

A. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan dengan autoanamnesis terhadap pasien dan aloanamnesa

terhadap anak pasien

Keluhan utama:

Sesak napas dirasakan sejak 5 jam SMRS.

Keluhan tambahan:

Keringat dingin, lemas,dan bengkak pada kedua tungkai.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam

SMRS. Keluhan tersebut dirasakan timbul saat sedang mengerjakan pekerjaan rumah

tangga. Keluhan disertai dengan keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Anak

pasien mengaku bahwa keluhan sesak napas sudah dirasakan pasien sejak dua bulan yang

lalu dan mulai memburuk sejak 1 hari SMRS terutama saat beristirahat pada malam hari.

Sesak dirasakan bila istirahat, beraktivitas, maupun berjalan jauh. Pasien mengaku akan

sesak jika tidur tidak menggunakan bantal lebih dari satu.

Sebulan yang lalu pasien sempat dibawa ke IGD RSUD Pasar Rebo karena

mengalami nyeri dada yang menjalar ke lengan hingga menembus punggung. Nyeri

dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan berlangsung kurang lebih selama lebih dari 10 menit.

Pasien menolak dirawat karena alasan keuangan. Pasien tidak mengetahui kapan mulai

1

timbul bengkak pada kedua kakinya. Keluhan pusing, sakit kepala , mual dan muntah

disangkal. BAB dan BAK diakui normal.

Pasien tidak merokok. Pola makan pasien terhadap makanan bersantan,berlemak

tidak dikontrol. Pasien mengaku kurang dalam berolahraga.

Riwayat penyakit dahulu

1. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan seperti ini.

2. Riwayat alergi obat (-)

3. Riwayat merokok (-)

4. Riwayat hipertensi (-)

5. Riwayat diabetes Mellitus (-)

6. Asam urat (+)

7. Riwayat Asma (-)

Riwayat Penyakit keluarga

Pasien mengaku di keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti

pasien

B. STATUS GENERALIS

1. Kesadaran : Sakit sedang

2. Keadaan umum : Compos mentis

3. Tekanan darah : 95/66 mmHg

4. Nadi : 91x/menit, isi cukup, frekuensi teratur

5. Suhu : 36,7˚C

6. Pernapasan : 29/menit, tidak teratur

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala

1. Bentuk : normochepal

2. Posisi : simetris

Mata

1. Exophthalmus : Tidak ada

2

2. Enopthalmus : Tidak ada

3. Edema kelopak : Tidak ada

4. Konjungtiva anemi : -/-

5. Sklera ikterik : -/-

Telinga

1. Pendengaran : Baik

2. Darah & cairan : Tidak ditemukan

Mulut

1. Trismus : Tidak ada

2. Faring : Dalam batas normal

3. Lidah : Lidah tidak kotor berwarna putih, tidak deviasi

4. Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi

5. Tonsil : T1-T1

Leher

1. Trakea : Tidak deviasi

2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran

3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran

4. JVP : ( 5+2 cmH2O)

Paru-paru

1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris pada keadaan statis dan dinamis kanan

kiri, tidak terlihat luka, kulit kemerahan atau penonjolan

2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru. Fremitus taktil

dan vocal simetris dalam keadaan statis dan dinamis kanan kiri.

3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru

4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, ronkhi basah halus +/+, wheezing -/-

Jantung

1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat

2. Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS 6 linea midclavicula sinistra

3. Perkusi :

Batas jantung kanan di ICS 5 linea sternalis dextra

3

Batas jantung kiri di ICS 5 di 2 jari sebelah kiri linea midclavikula sinistra

Batas pinggang jantung di ICS 2 linea sternalis sinistra

4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-) murmur sistolik (-)

Abdomen

1. Inspeksi : Datar

2. Auskultasi : Bising usus (+) normal

3. Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran

4. Palpasi : Nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak membesar, permukaan rata, nyeri

tekan (-), lien tidak teraba membesar. Refleks hepato jugular (-)

Ekstremitas

1. Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri

2. Edema positif pada ekstremitas bawah kanan kiri

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 31 Mei 2015

CK-MB 78 U/l

Troponin T 816 ng/l

Laboratorium 24 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.9 g/dL

Hematokrit L 28 %

Leukosit H 11.760 µL

Trombosit L 120.000 µL

Eritrosit L 3.2 juta/ µL

Kimia Klinik

SGOT (AST) H 114 U/L

SGPT (ALT) H 533 U/L

Ureum Darah H 91mg/dL

Kreatinin Darah H 1,39 mg/dL

4

GFR 41.5 mL/min/1.73m2

Gula Darah Sewaktu 149 mg/dL

Gas Darah + Elektrolit

pH H 7.450

pCO2 L 18.0 mmHg

pO2 L 179.0 mmHg

HCO3- L 15.2 mmol/L

HCO3 standard L 12.5 mmol/L

BE ecf L -11.5

BE (B) L -10.10 mmol/L

Saturasi O2 H 100%

Natrium L 128 mmol/L

Kalium 4.2 mmol/L

Klorida L 97 mmol/L

Laboratorium 25 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.2 g/dL

Hematokrit L 27%

Leukosit 8.260 µL

Trombosit L 98.000 µL

Eritrosit L 3 juta/ µL

HITUNG JENIS

Basofil 0%

eosinofil 0%

Neutrofil batang L 0%

Neutrofil segmen H 80%

Limfosit L 12%

5

Monosit 5%

LUC 1%

Kolesterol total 105mg/dl

Kolesterol HDL L 20 mg/dl

Kolesterol LDL 69 mg/dl

Trigliserida 81 mg/dl

Asam urat H 10.5 mg/dl

Laboratorium tanggal 26 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.5 g/dL

Hematokrit L 28 %

Leukosit 8.630 µL

Trombosit L 119.000 µL

Eritrosit L 3 juta/ µL

Basofil 0%

eosinofil H 4%

Neutrofil batang L 0%

Neutrofil segmen H 74%

Limfosit L 7%

Monosit H 13%

LUC 2%

SGOT (AST) H 40 U/L

SGPT (ALT) H 279 U/L

Hepatitis marker

HbsAg Elisa Non reaktif

Anti HAV IgM Non reaktif

Anti HCV Total 0.10 (non reaktif)

6

Laboratorium 27 Juni 2015

Gas Darah + Elektrolit

pH L 7.310

pCO2 L 27 mmHg

pO2 H 145 mmHg

HCO3- L 13.6 mmol/L

HCO3 standard 16 mmol/L

BE ecf L -12.7

BE (B) L -11.5 mmol/L

Saturasi O2 H 99%

Laboratorium 28 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.4 g/dL

Hematokrit L 30%

Leukosit 8.260 µL

Trombosit L 61.000 µL

Eritrosit L 3 juta/ µL

HITUNG JENIS

Basofil 0%

eosinofil H 4%

Neutrofil batang L 0%

Neutrofil segmen 64%

Limfosit L 22%

Monosit 5%

LUC 3%

SGOT H 45U/l

SGPT H 162U/l

7

Gas Darah + Elektrolit

pH L 7.360

pCO2 L 24 mmHg

pO2 H 116 mmHg

HCO3- L 13.6 mmol/L

HCO3 standard 16 mmol/L

BE ecf L -11.8

BE (B) L -10.7 mmol/L

Saturasi O2 98%

Laboratorium 29 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.2 g/dL

Hematokrit L 28%

Leukosit 10.220 µL

Trombosit 159.000 µL

Eritrosit L 3.1 juta/ µL

HITUNG JENIS

Basofil 0%

eosinofil H 7%

Neutrofil batang L 0%

Neutrofil segmen 64%

Limfosit L 19%

Monosit 5%

LUC 3%

Gas Darah + Elektrolit

pH L 7.310

pCO2 L 20 mmHg

pO2 H 150 mmHg

8

HCO3- L 13.6 mmol/L

HCO3 standard 16 mmol/L

BE ecf L -12.7

BE (B) L -9.8 mmol/L

Saturasi O2 H 99%

Laboratorium 30 Juni 2015

Hematologi

Hemoglobin L 9.5 g/dL

Hematokrit L 29%

Leukosit 8.260 µL

Trombosit 174.000 µL

Eritrosit L 3 juta/ µL

HITUNG JENIS

Basofil 0%

eosinofil H 6%

Neutrofil batang L 0%

Neutrofil segmen 64%

Limfosit L 22%

Monosit H 9%

LUC 3%

SGOT 27 U/l

SGPT H 82U/l

Bilirubin total H 1.04 mg/dl

Bilirubin direk H 0.38 mg/dl

Bilirubin indirek 0.66 mg/dl

EKG (Elektrokardiogram)

9

24 JUNI 2015

IGD

Interpretasi EKG

Kaliberasi standar

Irama : sinus takikardi

QRS rate : 101 x/menit

Aksis : Left Axis Deviation (LAD)

Gelombang P : durasi 0,08 sec; amplitudo 0,2 mV

PR interval : 0,16 sec

Kompleks QRS : durasi 0.08 sec

Segmen ST : ST elevasi V2-5

Gelombang T : normal

Kesan : sinus takikardi dengan infark anterolateral dan LAD

10

26 JUNI 2015

Interpretasi EKG:

Kaliberasi standar

Irama : sinus takikardi

QRS rate : 100x/menit

Aksis : left axis deviation (LAD)

Gelombang P : durasi 0,08 sec; amplitudo 0,2 mV

PR interval : 0,16 sec

Kompleks QRS : durasi 0.08 sec; Q patologis di AVL

Segmen ST : ST elevasi V2-5

Gelombang T : normal

Kesan : sinus takikardi dengan old infark, infark anterolateral dan LAD

11

Interpretasi EKG

Kaliberasi standar

Irama : sinus rhytm

QRS rate : 95x/menit

Aksis : left axis deviation (LAD)

Gelombang P : durasi 0,08 sec; amplitudo 0,2 mV

PR interval : 0,16 sec

Kompleks QRS : durasi 0.08 sec; Q patologis di AVL

Segmen ST : ST elevasi V2-5

Gelombang T : normal

Kesan : sinus rhytm dengan old infark, infark anterolateral dan LAD

Rontgen thorax

12

29 JUNI 2015

Interpretasi Ro 24 Juni 2015

Cor : kardiomegali (CTR> 50%)

Aorta : tidak melebar, tidak elongasio dan tidak terdapat kalsifikasi

Paru : corakan bronkovaskular >2/3 lapang paru, terdapat infiltrat

Hilus : tidak melebar, tidak suram dan tidak menebal

Sudut : Sinus costofrenikus lancip

D. RESUME

Wanita 57 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 5 jam SMRS. Keluhan

tersebut dirasakan timbul saat sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga disertai dengan

keringat dingin dan seluruh badan terasa lemas. Sesak napas sudah dirasakan pasien sejak

dua bulan yang lalu dan mulai memburuk sejak 1 hari SMRS terutama saat beristirahat

pada malam hari. Sesak dirasakan bila istirahat, beraktivitas, maupun berjalan jauh. Pasien

mengaku akan sesak jika tidur tidak menggunakan bantal lebih dari satu. Sebulan yang lalu

13

pasien sempat mengalami nyeri dada yang menjalar ke lengan hingga menembus

punggung. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan berlangsung kurang lebih selama

lebih dari 10 menit. Pasien tidak mengetahui kapan mulai timbul bengkak pada kedua

kakinya. Keluhan pusing, sakit kepala , mual dan muntah disangkal. BAB dan BAK diakui

normal. Pasien tidak merokok. Pola makan pasien terhadap makanan bersantan,berlemak

tidak dikontrol. Pasien mengaku kurang dalam berolahraga.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kelainan adanya pembesaran batas jantung kiri,

suara napas ronki basah halus (+/+) dan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan

laboratorium menunjukkan adanya peningkatan leukosit , penurunan trombosit & alkalosis

respiratorik. Pada Pemeriksaan EKG terdapat infark pada daerah anterolateral Pada

pemeriksaan rontgen thorax terdapat CTR> 50%, corakan bronkovaskular>2/3 dan

terdapat infiltrat.

E. DIAGNOSIS KERJA

1. AHF functional class IV et causa STEMI late onset

2. Hipotensi et causa syok kardiogenik

F. DIAGNOSIS BANDING

1. CHF et causa dilated cardiomyopathy

2. CKD

G. PEMERIKSAAN ANJURAN

- Angiografi koroner

- Echocardigraphy

H. TATALAKSANA

Penatalaksanaan di IGD

1. IVFD Nacl 0,9% 200 cc/ 1/2 jam

2. O2 3 L/menit

14

3. Aspilet 160 mg

4. Clopidrogel 360 mg

5. Dobutamin 5u

6. Simvastatin

7. Lasix 1x 1 amp

8. Lovenox 2x 0.6 mg

9. Cefoperazone 2 x 1gr

10. SNMC inj 2 amp dimasukan daam D5% 100cc dalam 1/2 jam 3xseminggu

11. Biocurliv 3x1

12. Ranitidin 2x1

Penatalaksanaan di CVCU

1. Aspilet 1x80 mg

2. Clopidrogel 1x75mg

3. Simvastatin 1x10mg

4. Biocurliv 3x1mg

5. Concord 1x2.5mg

6. Candesartan 1x4mg

7. Alprazolam 1x0.5mg

8. Lasix 1x1mg

9. Allopurinol 1x100mg

10. Cefoperazone 2x1gr

11. Ranitidin 2x1

I. PROGNOSIS

1. Ad vitam : dubia ad bonam

2. Ad functionam : dubia ad malam

3. Ad sanationam : dubia ad malam

15

ANALISA KASUS

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham, yaitu

dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:

Kriteria Mayor :

Paroksismal nocturnal dyspnea

Distensi vena leher

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Peninggian tekanan vena jugularis

Refluks hepatojugular

Kriteria minor :

Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dispnea d’effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

Takikardia (>120 x/menit)

Kriteria mayor atau minor :

Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Pada anamnesa didapatkan bahwa pasien mengeluh sering sesak napas saat

beristirahat pada malam hari dan saat beraktifitas sejak 2 bulan yang lalu. Pada PF

didapatkan suara nafas ronki basah halus pada kedua lapang paru disertai

kardiomegali pada rontgen dada. Ketiga tersebut termasuk dari kriteria mayor

Framingham dengan kelas fungsional IV pada kriteria NYHA. Keluhan pasien juga

ditambah dengan 3 kriteria minor Framingham, yaitu edema ekstremitas bawah,

dispneu d’effort dan efusi pleura..

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini, yaitu laboraratorium,

rontgen thorax, ekg (elektrokardiogram). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

14

hasil alkalosis respiratorik yang menggambarkan pasien menglami sesak napas yang

diakibatkan penyempitan saluran napas akibat adanya akumulasi cairan di paru. Pada

pemeriksaan rontgen thorax didapatkan nilai CTR>50%, hal itu menunjukkan bahwa

jantung pasien membesar atau kardiomegali dan adanya akumulasi cairan pada paru

sebelah kiri. Hasil elektrokardiogram menunjukkan adanya infark pada dinding

anterolateral.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat

disimpulkan bahwa diagnosis pasien adalah gagal jantung kongestif karena mencakup

3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kemungkinan besar etiologi penyakit pada

pasien ini adalah disebabkan karena CAD yang dibuktikan dengan adanya infark pada

dinding anterolateral. Gagal jantung akibat infark miokard terjadi karena gangguan

fungsi miokardium akibat perubahan maladaptif sel miosit dan matriks ekstraseluler

yang akan menyebabkan remodeling ventrikel berupa turunnya kekuatan kontraksi,

menimbulkan abnormalitas gerakan dinding dan mengubah daya kembang ruang

jantung (dilatasi).

15

TINJAUAN PUSTAKA

I. Gagal Jantung Akut

I.1. Definisi

Suatu sindroma dimana timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan

singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada

para penderita dengan atau tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan

bila tidak diatasi segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik

atau diastolik, irama jantung abnormal, terdapat ketidak sesuaian antara prelod dan

afterload (preload and afterload mismatch) (Sudoyo, 2010).

GJA sendiri dapat terjadi sebagai onset baru GJA pada penderita tanpa disfungsi

jantung sebelumnya (disebut sebagai acute de novo) atau dekompensasi akut dari

gagal jantung kronik (GJK) yang sudah diketahui sebelumnya (acute on chronic),

GJA seperti ini dikategorikan sebagai gagal jantung akut dekompensata (ADHF)

(Sudoyo, 2010).

I.2. Epidemiologi

Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia.

America Heart Association memperkirakan terdapat 4,7 juta orang menderita gagal

jantung di Amerika Serikat pada tahun 2000 dan dilaporkan terdapat 550.000 kasus

baru setiap tahunnya. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1 – 2%.

Diperkirakan setidaknya ada 550.000 kasus gagal jantung baru didiagnosis setiap

tahunnya (Indrawati, 2009).

I.3. Klasifikasi

Pasien GJA teediri atas 6 subset klinis sebagai berikut:

Gagal jantung akut dekompensata (dekompensasi gagal jantung kronik)

Terdapat tanda dan gejala GJA yang ringan dan tidak memenuhi criteria untuk

syok kardiogenik, edema pulmoner, atau krisis hipertensi. Merupakan perburukan

GJK yang progresif (Sudoyo, 2010).

Sindroma koroner akut dan gagal jantung (de novo)

16

Dapat dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Biasanya

disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF, VT) (Sudoyo, 2010).

GJA Hipertensif

Terdapat tanda dan gejala gagl jantung terkait dengan tekanan darah tinggi dan

fungsi ventrikal kiri yang masih baik disertai gambaran edema pulmoner akut dari

foto toraks (Sudoyo, 2010).

Edema paru akut

Terdapat distresspernapasan yang berat, ronki kasar (crakles) diseluruh lapang

paru, orthopnoea, saturasi 02 < 90% pada udara kamar sebelum terapi (Sudoyo,

2010).

Syok kardiogenik

Keadaan dimana ada tanda hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah

koreksi preload. Parameter hemodinamik syok kardiogenik antara lain penurunan

tekanan darah (TD sistolik < 90 mmHg atau turunnnya takanan arteri rereta (mean

arterial pressure= MAP) > 30 mmHg dan / penurunan dieresis (< 0.5 cc/kg/jam),

dengan laju nadi > 60 denyut per menit dengan atau tanpa bukti kongesti organ

(Sudoyo, 2010).

Gagal jantung kanan akut terisolasi

Ditandai sindroma output rendah dengan peningkatan vena juguler, hepetomegali

dan hipotensi (Sudoyo, 2010).

Tabel 1.1 Klasifikasi Gagal jantung menurut ACC dan NYHA

17

I.4. Etiologi dan Faktor Resiko

I.5. Patofisiologi

Penyebab tersering terhadinya gagal jantung adalah gangguan/ kerusakan fungsi

miokard ventrikel kiri disamping adanya penyakit pada perikardium, miokardium,

endokarium ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi ventrikel kiri

mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan

18

teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan

kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan jaringan.

Aktivasi sistem simpatis menimbulkan peingkatan denyut jantung dan

vasokontriksi perifer sehingga curah jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi

Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS) menyebabkan vasokontriksi

(angiotensin) dan peningkatan volume darah melalui retensi air dan natrium

(aldosteron). Mekanisme kompensasi yang terus berlangsung ini akan menyebabkan

stress pada miokardium sehingga menyebabkan terjadi remodelling yang progresif,

dan pada akhirnya dengan mekanisme kompensasi pun jantung tidak dapat

memenuhi kebutuhan jaringan (dekompensasi).

I.5. Manifestasi Klinis

Tabel 1.2 Gejala klinis AHF

I.6. Diagnosis

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung yaitu

dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

Adapun kriteria Framingham sebagai berikut: Algoritma 1. Diagnosis Gagal Jantung

19

Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG digunakan untuk mengetahui irama jantung, etiologi gagal

jantung akut, kondisi jantung seperti sindroma koroner akut, dan hipertrofi rongga

jantung. Aritmia jantung dinilai dengan EKG 12 sadapan dapat dilakukan

pemanangan EKG monitor kontinu diruang CVCU (Sudoyo, 2010).

Foto Thorax dan pencitraan lain

Ro thorax dilakukan untuk evaluasi kelainan tambahan paru (infeksi, tanda

kongesti) maupun jantung (bentuk dan ukuran) dan kongesti paru. Juga diperlukan

untuk konfirmasi dignosis, dan tindak lanjut untuk evaluasi adanya perbaikan atau

perburukan. CT scan dan scintigrafi toraks dilakukan untuk mengetahui emboli

paru atau penyakit paru lainnya serta Ekokardiografi Transesofageal dan MRI

untuk menyingkirkan diseksi aorta di centre yang memiliki fasilitas (Sudoyo,

2010).

20

Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim

hati dan INR merupakan pemeriksaan awal pada HF. Analisa gas darah arteri

(Astrup) diperiksa pada semua pasien dengan GJA yang berat. Pemeriksaan non

infasif seperti oksimetri dapat menggantikan data Astrup terutama pada pasien

yang sulit diakses arteri.(Sudoyo, 2010).

Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk evaluasi perubahan fungsi dan

struktur jantung pada gagal jantung akut pada seperti pada sindrom koroner akut.

Hal penting yang dinilai dengan ekokardiografi : fungsi ventrikel kiri dan kanan,

keadaan katup, perikard, komplikasi mekanik dari infark miokard dan adanya

massa dijantung (jarang), tekanan arteri pulmonal, dan curah jantung. Pemeriksaan

ini dilakukan bila pasien stabil untuk transfer (Sudoyo, 2010).

Treadmill test

Treadmill test memiliki kemampuan terbatas dalam diagnosisi gagal jantung,

meskipun demikian seseorang dengan kapasitas fisik maksimal pada pemeriksaan

treadmill dan tidak dalam terapi gagal jantung dapat disingkirkan dalam diagnosis

gagal jantung. Aplikasi utama pemeriksaan treadmill pada gagal jantung adalah

untuk menilai fungsi, kemajuan terapi dan stratifikasi prognosis (Sudoyo, 2010).

I.7. Prognosis

Peningkatan ureum, kreatinin disertai hiponatremia menandakan prognosis

buruk, demikian juga dengan peningkatan troponin pada AHF ec ACS. Pemeriksaan

BNP atau NT-proBNP saat masuk dan sebelum pulang juga dapat memberikan nilai

prognosis pasien HF (Sudoyo, 2010).

I.8. Tatalaksana

Algoritma penatalaksanaan terapi gagal jantung berdasarkan klasifikasi fungional

NYHA. (Harrison, 2012)

21

II. STEMI (ST Elevation Miokard Infark)

22

1. Definisi

IMA (infark miokard akut) dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya1.

2. EtiologiSTEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, arterosclerosis. dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.Faktor risiko6 : Merokok Memiliki kadar kolesterol tinggi Tidak berolahraga secara teratur Memiliki hipertensi, atau tekanan darah tinggi Makan makanan yang tinggi lemak jenuh dan kolesterol Memiliki diabetes melitus Berat badan lebih dari 30 persen dari berat badan ideal Memiliki anggota keluarga (terutama orang tua atau saudara kandung) yang

pernah menderita penyakit jantung koroner atau stroke Menggunakan stimulan atau narkoba, seperti kokain atau amfetamin (zat ini

tidak menyebabkan penyakit jantung koroner tetapi dapat meningkatkan dampak dari setiap penyakit jantung koroner yang mendasari).

3. PatofisiologiSTEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.3

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner cenderung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid (lipid rich core).

23

Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich redtrombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. 3

Selanjutnya  pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. Infark transmural biasanya mengenai seluruh tebal dinding yang bersangkutan, sedangkan infark subendokardial terbatas pada separuh bagian dalam miokardium otot yang mengalami infark akan mengalami serangkaian perubahan selama berlangsungnya proses penyembuhan. Mula-mula otot yang mengalami infark tampak memar dan sianotik akibat berkurangnya aliran darah regional. Dalam jangka waktu 24 jam timbul edema pada sel-sel, respons peradangan disertai infiltrasi leukosit. Enzim-enzim jantungdilepaskan dari sel-sel ini. Menjelang hari kedua atau ketiga mulai terjadi prosesdegradasi jaringan dan pembuangan semua serabut nekrosik. Selama fase ini, dindingnekrotik menjadi relatif tipis. Sekitar minggu ketiga mulai terbentuk jaringan parut. Lambat laun jaringan ikat fibrosa menggantikan otot yang nekrosis dan mengalamipenebalan yang progresif. Pada minggu ke enam, jaringan parut sudah terbentuk dengan jelas.

24

4. Manifestasi Klinis

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.(Djohan, anwar.2004).

Nyeri DadaBila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:

1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,

seperti ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.3. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,

gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

25

6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut. (Djohan, anwar.2004).

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.

5. Pemeriksaan DiagnostikPemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.Biomarker Kerusakan JantungPemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

1. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

2. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

26

5. Penatalaksanaan

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).7

1. Tatalaksana Awal2. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

27

Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar  kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain:

1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan

resusitasi.3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU

serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.4. Melakukan terapi perfusi.

Tatalaksana Umum Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

Nitrogliserin (NTG)Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

Mengurangi/menghilangkan nyeri dadaMengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

MorfinMorfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok

28

jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.

AspirinAspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

Penyekat BetaJika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.

Terapi ReperfusiReperfusi dini akan memeperpendek  lama oklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi  kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan  jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.

REPERFUSI FARMAKOLOGIS8

Fibinolisis8

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen

29

menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.

Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:

1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena infark.

2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.

3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.

4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.

Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.

Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival  sedikit lebih baik.

OBAT FIBRINOLITIKStreptokinase (SK)Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien  yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan  selanjutnya karena terbentuknya antibody.  Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insiden perdarahan intracranial yang rendah, manfaat pertama diperlihatkanpada GISSI-1 trial.

30

Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase)GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intracranial sedikit lebih tinggi.

Reteplase (Retevase)INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebvanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.

Tenekteplase (TNKase)Keuntungan mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1). LAporan awal dari TIMI 10B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahanyang sama dibandingkan tPA.Indikasi Terapi Fibrinolitik:

1. Kelas I1. Jika tidak ada kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada

pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.

2. Jika tidak ada kontaindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga baru.

2. Kelas II aa. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten dengan infark miokard posterior.b. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemik yang terus berlanjaut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya  2 sadapan prekordial yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas.C. Trombolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST >50% dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG dating dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah percutaneous coronary intervention (PCI).

TERAPI FARMAKOLOGISAntitrombotikPenggunaan terapi antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis. Tujuan primer pengobatan adalah untuk mementapkan dan memepertahankan potensi arteri kororner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI dapat dilihat padaAntiplatelets Trialists Collaboration. Data dari

31

hampir 20.000 pasien dengan infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet. PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vascular sebesar 23% dan infark nonfatal sebesar 49%. Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting. Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stent.Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah infractionated heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK) membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankanpatensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.

Antikoagulan alternative pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan.Penyekat BetaManfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnnya infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.

Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau fungsi sistolik kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).

Inhibitor ACEInhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada

32

semua pasien dengan haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme remodeling ventrikel pasca infark berulang juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat inhibitor ACE menahun pasca infark.

Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan  fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif. Penelitian klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor. 6. PrognosisKelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:

1. Aspirin2. clopidrogel3. statin (cholesterol lowering) drugs4. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi

otot jantung)5. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)

III. STEMI pada Acute Heart Failure

Infark miokardium akan menurunkan fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis kehilngan daya kontraksi sedangkan otot yang iskemia di sekitarnya juga mengalami gangguan daya kontraksi. Secara fungsional infark miokardium akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia: (1) daya kontraksi menurun,(2) gerakan dinding abnormal, (3) perubahan daya kembang dinding ventrikel, (4)pengurangan volume sekuncup, (5) pengurangan fraksi ejeksi, (6) peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolic ventrikel, dan (7) peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri

33

.

 

Pada pasien gagal jantung, terjadi perubahan miosit jantung, yakni berkurangnya

kontraktilitas otot jantung, berkurangnya miofilamen miosit jantung, perubahan

protein sitoskeleton, serta desensitisasi sinyal β-adrenergik. Selain itu, terjadi pula

pelepasan mediator-mediator radang seperti TNF-α dan IL-1 saat terjadi kerusakan

pada jantung, yang berperan dalam perburukan gagal jantung. Hipertrofi miosit

34

jantung karena peningkatantekanan sistolik dinding ventrikel menyebabkan

penambahan sarkomer paralel dan peningkatan ukuran miosit sehingga menyebabkan

penebalan dinding ventrikel kiri (pressure overload menyebabkan hipertrofi

konsentrik). Pada volume overload, peningkatan tekanan diastolik menyebabkan

peningkatan panjang miosit dan penambahan jumlah sarkomer serial (hipertrofi

eksentrik).Pada gagal jantung terjadi mekanisme kompensasi Frank Starling. Gagal

jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri menyebabkan isi

sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan jantung normal. Penurunan isi

sekuncup menyebabkan pengosongan ventrikel menjadi tidak adekuat; akhirnya

volume darah yang terakumulasi di ventrikel selama fase diastolik menjadi lebih

banyak dibandingkan keadaan normal. Mekanisme Frank-Starling menyebabkan

peningkatan peregangan miofiber sehingga dapat menginduksi isi sekuncup pada

kontraksi berikutnya, sehingga dapat membantu pengosongan ventrikel kiri dan

meningkatkan curah jantung (cardiac output). Kompensasi ini memiliki keterbatasan.

Pada kasus gagal jantung berat dengan depresi kontraktilitas, curah jantung akan

menurun, lalu terjadi peningkatan enddiastolic volume dan end-diastolic pressure

(yang akan ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler)

sehingga dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema.

35

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2013. 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management

of Heart Failure: A Report of the American College of Cardiology

Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Dallas:

AHA Journal

Djohan, T. bahri anwar.2004. Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensi,

http://library.usu.ac.id/download/fk/gizi-bahri8.pdf.

European Society of Cardiology. 2012. ESC Guidelines for the diagnosis and

treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Heart Journal

Indrawati E. 2009. Hubungan antara penyakit jantung coroner dengan angka

mortalitas gagal jantung akut di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember

2005-2006.

Kalim. Harmani dkk, 2004 . Tata laksana sindroma koroner akut dengan ST Elevasi,

PERKI.. Jakarta Fakultas Kedokteran Indonesia; 1-2

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007.

Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.

Shah RV, Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS [edt.]. Pathophysiology of Heart

Disease. USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. P 225-51.

Statistik Rumah Sakit di Indonesia Seri 3: Morbiditas / Mortalitas. Departemen

kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. 2009

Sudoyo AW, et al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

36