36
BAB I PENDAHULUAN Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi organ yang disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling sering menyebabkan syok hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang cepat (syok hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan gastrointestinal yang berat. Prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan syok hipovolemik adalah untuk memastikan adekuasi ventilasi dan oksigenasi, mengendalikan perdarahan, dan mengembalikan perfusi ke organ-organ vital. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi perdarahan dan melakukan resusitasi untuk menggantikan kehilangan cairan (darah) yang telah terjadi. Komplikasi syok dapat menyebabkan berbagai masalah mulai dari depresi sistem kardiorespirasi, gangguan koagulasi, gangguan sistem imun, dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai penanganan syok hipovolemik. 1

Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi

kehilangan cairan dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi

organ yang disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat

pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling sering menyebabkan syok

hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang cepat (syok

hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan

gastrointestinal yang berat.

Prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan syok

hipovolemik adalah untuk memastikan adekuasi ventilasi dan

oksigenasi, mengendalikan perdarahan, dan mengembalikan

perfusi ke organ-organ vital. Berbagai cara dilakukan untuk

mengatasi perdarahan dan melakukan resusitasi untuk

menggantikan kehilangan cairan (darah) yang telah terjadi.

Komplikasi syok dapat menyebabkan berbagai masalah

mulai dari depresi sistem kardiorespirasi, gangguan koagulasi,

gangguan sistem imun, dan bahkan dapat menyebabkan

kematian. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik

mengenai penanganan syok hipovolemik.

1

Page 2: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari

volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat

perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah.

2.2 Etiologi Syok Hipovolemik

Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat

trauma termasuk kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang

dimaksud dapat berupa trauma tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis

atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti trauma tumpul abdomen (ruptur

hepar, spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma tumpul dada (seperti

pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur

anuerisme aorta dan perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua

tersering dari syok hipovolemik.

Penyebab syok hipovolemik non –trauma termasuk diabetes mellitus yang

tidak terkontrol dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan

kehilangan cairan tubuh yang banyak melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare,

dan luka bakar dapat menimbulkan kehilangan cairan plasma. Berikut adalah

tabel yang menggambarkan penyebab syok hipovolemik.

Tabel 2.1 Penyebab syok hipovolemik

Causes of Hypovolemic ShockLoss of Blood Internally- rupture of vessels, spleen,

liver, extrauterine pregnancyExternally- Trauma, gastrointestinal, pulmonary,renal blood loss

Loss of Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses (diarrhea, ileus, pancreatitis)

Loss of Fluids and Electrolytes Gastrointestinal and renal losses (uncontrolled diabetes mellitus, adrenocortical insufficiency)

2

Page 3: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Terkadang hemoptisis masif yang timbul akibat dari suatu tumor,

tuberculosis, infeksi jamur atau bronkietasis dapat menjadi penyebab syok

hipovolemik. Kehilangan darah merupakan penyebab yang esensial dari syok

hipovolemik namun trauma itu sendiri menyebabkan pelepasan dari mediator

inflamasi yang menyebabkan perburukan syok.

2.3 Patofisiologi Syok Hipovolemik

Tubuh manusia merespon perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem

fisiologi utama yaitu sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem

neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan

akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah

(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (melalui

pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada

sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang

selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.

Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan

darah dan menjadi bentuk yang sempurna. 

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik

dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan

pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur

oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah

pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke

otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus

gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hipovolemik dengan peningkatan

sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi

angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama,

yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hipovolemik, yaitu

vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari

3

Page 4: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan

akhirnya akan menyebabkan retensi air. 

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hipovolemik dengan

peningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari

glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah

(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang

dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan

peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus

kolektivus, dan lengkung Henle.

Patofisiologi dari syok hipovolemik telah tercakup dalam mekanisme

diatas. Mekanisme yang rumit tersebut efektif dalam memenuhi perfusi organ

vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau

koreksi pada keadaan patologi yang mendasari perdarahan akan mengakibatkan

berkurangnya perfusi jantung, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.

2.4 Manifestasi klinis Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah

keterlambatan terapi. Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan dengan

kanul besar. Perjalanan klinis pasien dengan syok hipovolemik ditentukan oleh

penyebab syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan haus, diaphoresis, dan nafas

yang pendek dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak terganggu kecuali pada

syok berat pasien dapat menjadi apatis.

Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari iskemia

organ. Tanda klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan darah

sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah lebih dari 40 mmHg dibawah

presyok level dengan nadi yang lemah. Pada syok hipovolemik dapat ditandai

dengan orthostatik hipotensi, postural dizziness, takikardi dan hipotensi adalah

gejala dan tanda awal dari syok hipovolemik. Gejala lainnya yang dapat timbul

yaitu mukosa membrane yang kering, penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria,

sianosis perifer, supine hipotensi dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul

tidak mempunyai nilai diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok

hipovolemik akibat perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan tanda dan

gejala klinis seperti yang tertera pada tabel sebagai berikut.

4

Page 5: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Table 2.2 Clinical classes of severity of Hypovolemic shock after hemorrhage

Class I Class II Class III Class IVBlood lossmL%

<750<15%

750-150015-30%

>1500-2000>30-40%

>2000> 40%

Heart Rate (beat/min)

<100 >100 >120 >140

Systolic blood pressure

Normal Normal Decreased Decreased

Pulse pressure

Normal Decreased Decreased Decreased

Capillary refill time

Delayed Delayed Delayed Delayed

Respiratory rate/min

14-20 20-30 30-40 >35

Urine output (ml/h)

>30 20-30 5-15 <5

Mental Status

Slightly anxious

Anxious Confused Confused and lethargic

2.5 Diagnosis Syok Hipovolemik

1. Anamnesa

Riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab dan untuk

penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar

biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak

nyata, biasanya pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan

status mental. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan menggali

beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu

misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, atau gangguan

kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan

napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara

bersamaan. Sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala –

gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai

indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme

kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga

5

Page 6: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan,

dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker

mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:

analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN,

kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang

mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan

pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah.

4. Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama

kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada

pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat

ke ruang operasi. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan

pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma

aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya

dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada

posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave.

Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya

mencari sumber perdarahan.

2.6 Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok

hipovolemik antara lain:

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang

adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan

napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman

dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi

keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang

mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam

jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi

tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami

syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

6

Page 7: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille

mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan

berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang

ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada

panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena

saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik

Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus

berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur

intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan

pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan

perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah

secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi

adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal

1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien

dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan

darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik

sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika

perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus

dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan

kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).

Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan

kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur,

terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu

contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain

dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil

dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena

cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan

untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi

Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat

mengganggu pertukaran udara. 

7

Page 8: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan

intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi

dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam

membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi

untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal

tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada

aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya

bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi. 

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan

H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi

negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus.

Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2

Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan

ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal

yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja

vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.

Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-

Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon

esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus

bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang

buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena

alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara

pada keadaan yang ekstrim. 

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi

(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista,

keguguran) memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang

tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk

menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan,

dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk

membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

8

Page 9: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah

terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera

tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri

abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk

mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya

diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan

yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

3. Resusitasi Cairan.

Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium

(croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis

gas darah dan pH, laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai

kebutuhan oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen

> 90%).

Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid

sebesar 3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat,

sementara kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma

(setelah 1 jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati

terganggu). Tujuan utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume

sirkulasi darah. Penggantian volume intravascular sangat penting untuk

kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang

disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan

transfusi darah. Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok

hipovolemik yaitu:

Tabel 2.3 Indikasi transfusi komponen darah

Indication for blood component therapyComponent Indication Usual strating dosePacked RBC Replacement of Oxygen-

carrying capacity2-4 units IV

Platelets Thrombocytopenia with bleeding

6-10 units IV

Fresh frozen plasma Coagulopaty 2-6 units IVCrycoprecipitate Coagulopaty with fibrinogen 10-20 units IV

9

Page 10: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,

konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan

parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi

medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting

yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid

dan darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi

dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah

cairan plasma expander karena kemampuan untuk memindahkan cairan

intrselular dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat menggantikan

volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah

cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran.

Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma.

Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi. Cairan

kristaloid terdiri dari:

1. Cairan Hipotonik

Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena

itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada

dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada

keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes

insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada

kegawatan (dextrosa 5%).

2. Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat

dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi

intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari

kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang

diperlukan relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.

3. Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama.

Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke

10

Page 11: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

dalam ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu

cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain

memvasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk

luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan

mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%. Beberapa

contoh cairan kristaloid :

1)  Ringer Laktat (RL)Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4

mEq/l, Klorida 109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada

larutan ini dimetabolisme didalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga

terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang

menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat

kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzimpiruvat

dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua

proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan

terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit

plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler

yang akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni dan

demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya

bisa diguyur.

2)  Ringer AsetatCairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4

mEq/l, Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi

keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat

dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat didalam hati. Laju metabolisme

asetat 250 ± 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam.Asetat akan

dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-

enzim A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A

sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa

mengganti pemakaian Ringer Laktat.‡ Glukosa 5%, 10% dan 20%Larutan yang

berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa 5%

digunakanpada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%

11

Page 12: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal

ginjal akut dengan oliguria.

3)  NaCl 0,9%Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L

Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal

untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia,

hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam

berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan

dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi

adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl

biasanya dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa

5%. Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :

1)  Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:

a)  Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang

dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000,

terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan

berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 %

akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.

b)  Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,

albumin eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan albumin

eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari plasma manusia

yang dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam

fisiologis. Albumin 25% biladiberikan intravaskuler akan meningkatkan isi

intravaskuler mendekati 5x jumlah yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena

peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi

cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.

Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi

fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi

protein yangdimurnikan. Hal ini karena factor aktivator prekalkrein yang cukup

tinggi dan disamping ituharganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.

Larutan ini digunakan padasindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.

12

Page 13: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

2)  HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang

menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung partikel dengan BM beragam dan

merupakan campuran yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk larutan 6%

dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan

osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah

satu cabang polimer glukosa. Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES

merupakan volume ekspander yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat

berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan intravasuler melebihi jumlah cairan

yang diberikan oleh karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi

yang dijumpai adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini

terjadi bila dosisnya melebihi 20ml/ kgBB/ hari.

3) Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam

ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes

yang dikembangbiakkan di mediasucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu

sampai jutaan Dalton. Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. Dextran 70

mempunyai BM 70.000 (25.000-125.000). Sediaannya terdapat dalam konsentrasi

6% dalam garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan

dextran 40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander

dan merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40

mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis

atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat

memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran

kapiler dan masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik

kembali ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok

dan kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan

transpor oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik dan

dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik

dan gangguan pembekuan darah.

4)  Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada

orang dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid Gelatin (MFG)

2.Urea Bridged Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis

13

Page 14: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

gelatin ini punya efek volume expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi

yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis. Cairan ini digunakan sebagai cairan

rumatan pada penyakit bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.

Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih

menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok

hipovolemik post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat

dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering

dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan

dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.

Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan

plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada

kasus diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang

menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi

terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat mempertahankan volume

intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah

diindikasikan pada kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV.

Menurut CPG 2007 resusitasi cairan optimal pada syok hipovolemik yang

disebabkan oleh trauma adalah penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak

tersedia maka penggunaan kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid

menghasilkan peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara

umum didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah

alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien

hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang

ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic.

Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative

lain yang dapat diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun

pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan asidosis metabolic.

2.7 PrognosisSyok hipovolemik merupkan kondisi yang mengancam jiwa dan bila tidak

ditangani segera maka dapat menjadi ireversibel. Resusitasi yang cepat dan

adekuat dibutuhkan untuk meyelamatkan hidup.

14

Page 15: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

BAB III

ILUSTRASI KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. TT

No. RM : 01239027

Usia : 22 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Alamat : Depok

Berat Badan : 60 kg

Diagnosa : Tamponade jantung

3.2 ANAMNESIS

Asma (-), Alergi (-). Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), penyakit jantung (-),

riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat TB (-).

3.3 Keadaan Intraoperasi 6 Juni 2013 (Catatan Anestesia)

Diagnosa PreOp : Tamponade jantung

Jenis Operasi : Torakotomi anterior

Lama Operasi : 14.30 – 17.30 (3 jam)

Lama Anestesi : 13.30 – 17.45 (4 jam 15 menit)

Premedikasi : Midazolam 5 mg, Fentanyl 300 mcg

Induksi : Ketamin 50 mg, Atracurium 30 mg

Teknik Anestesi : General anestesia

Respirasi : Ventilator, VT 500 ml, RR 14 x/mnt

Jalan Napas : ETT 7.5, Cuff (+)

Posisi : Terlentang

Infus : Tangan kiri – Vasofix G18 / Kaki kanan – Vasofix G18

CVC

Syringe pump : Vascon® 0.2mcg/kgBB/mnt

Dobutamin 5mcg/kgBB/mnt

15

Page 16: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Keadaan Prabedah:

BB : 60 kg

TD : 74/39 mmHg

RR : 20 x/menit

N : 135 x/menit

Temp. : afebris

Hb : 14.7 g/dL

HT : 47

Monitoring Saat Operasi:

JAMTEKANAN

DARAH NADIOBAT

13.30 74 / 39 mmHg 135 x/menit13.45 72 / 38 mmHg 137 x/menit14.00 73 / 40 mmHg 130 x/menit14.15 80 / 42 mmHg 129 x/menit14.30 75 / 40 mmHg 125 x/menit Fentanyl 50 mcg

Atracurium 10 mg14.45 79 / 38 mmHg 111 x/menit15.00 88 / 45 mmHg 115 x/menit15.15 90 / 53 mmHg 108 x/menit15.30 87 / 45 mmHg 117 x/menit Fentanyl 50 mcg

Atracurium 10 mg15.45 79 / 42 mmHg 120 x/menit16.00 70 / 39 mmHg 0 x/menit16.15 73 / 40 mmHg 30 x/menit16.30 75 / 45 mmHg 70 x/menit Fentanyl 50 mcg

Atracurium 10 mg16.45 78 / 51 mmHg 90 x/menit17.00 85 / 55 mmHg 88 x/menit Ca glukonas

1 ampul17.15 118 / 68 mmHg 84 x/menit17.30 109 / 58 mmHg 85 x/menit Fentanyl 50 mcg

Atracurium 10 mgTramadol 100 mgOndansetron 4 mg

17.45 84 / 52 mmHg 81 x/menit

16

Page 17: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Keadaan Akhir Pembedahan:

TD : 84 / 52 mmHg

N : 81 x / menit

CRT : > 2 detik

CVC : 13

Muntah : (-)

Mual : (-)

Sianosis : (-)

3.4 Balans cairan

KEBUTUHAN CAIRAN

Jenis Operasi : 8 cc/kg x 60 kg = 480 cc

Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 cc

Puasa : 4 x 100 cc = 400 cc

1 jam pertama : M + O + ½ P = 100 + 480 + 200 = 780 cc

1 jam kedua : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 100 = 680 cc

1 jam ketiga : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 100 = 680cc

Setiap 1 jam selanjutnya : M + O = 100 + 480 = 580 cc

Intake cairan seharusnya selama operasi : 780 + 680 + 680 + 1(580) = 2720 cc

Cairan masuk

Infus : RL 500 ml x 6 3000 ml

NaCl 500 ml x 5 2500 ml

HES 500 ml x 2 1000 ml

Gelofusin 500 ml x 3 1500 ml

Darah : PRC 250 ml x 5 1250 ml

FFP 300 ml 300 ml +

9550 ml

Cairan keluar

Urin : 100 ml

Perdarahan : ± 5000 ml

IWL : ± 500 ml =

` 5600 ml

17

Page 18: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Balans : 9550 – 5600 = 3950 cc

Estimate Blood Volume (EBV) = 75 cc/kg x 60 kg = 4500 cc

18

Page 19: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

BAB IV

ANALISIS KASUS

Berdasarkan ilustrasi kasus sebelumnya, pasien ini ditegakkan diagnosis

syok hipovolemik berat berdasarkan adanya tanda-tanda klinis sebagai berikut.

atau dapat juga ditegakkan berdasarkan criteria berikut ini :

Class I Class II Class III Class IVBlood lossmL%

<750<15%

750-150015-30%

>1500-2000>30-40%

>2000> 40%

Heart Rate (beat/min)

<100 >100 >120 >140

Systolic blood pressure

Normal Normal Decreased Decreased

Pulse pressure

Normal Decreased Decreased Decreased

Capillary refill time

Delayed Delayed Delayed Delayed

Respiratory rate/min

14-20 20-30 30-40 >35

Urine output (ml/h)

>30 20-30 5-15 <5

Mental Status

Slightly anxious

Anxious Confused Confused and lethargic

Berdasarkan 2 kriteria diatas, maka pada pasien ini ditegakkan diagnosis

syok hipovolemik berat atau syok hipovolemik class III-IV. Oleh karena itu

penatalaksanaan yang harus diberikan adalah sesuai dengan algoritma dibawah

19

Page 20: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini sudah benar. Pasien

diberikan cairan berupa kristaloid, koloid, FFP, dan PRC. Kristaloid memiliki

berat molekul yang lebih kecil dengan distribusi lebih cepat sehingga lebih cepat

pula mengisi dan meninggalkan vascular menuju intertisial. Oleh karena itu terapi

cairan perlu dikombinasikan dengan koloid. Molekul-molekul koloid lebih besar,

dapat bertahan lebih lama di dalam vascular dibanding kristaloid sehingga dapat

lebih lama pula mempertahankan volume intravaskular.

Pada pasien ini total kebutuhan cairan selama operasi 2720 cc. Pasien

diberikan kristaloid sebanyak 5500 cc berupa RL dan NaCl. RL mengandung Na

131 mEq, K 5 mEq, Ca 2, Cl 111, HCO3 29 dan NaCl mengandung Na 154, Cl

154. Selain kristaloid, pasien ini juga mendapatkan cairan koloid sebanyak 2500

cc berupa gelofusin dan HES. Gelofusin berasal dari gelatin yang diambil dari

hidrolisis kolagen bovine. Penggunaan gelofusin pada pasien ini sudah tepat

20

Page 21: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

karena gelofusin dapat menambah volume plasma dan mempunyai efek

antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES. Penggunaan gelofusin harus

hati-hati karena dapat menimbulkan reaksi alergi. Selain gelofusin, pasien juga

mendapatkan cairan HES. HES mengandung  Starches yang tersusun atas 2 tipe

polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Penggunaan HES pada pasien ini

juga sudah tepat karena pada resusitasi post trauma dapat menurunkan

permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran

kapiler. Reaksi alergi pada HES lebih kecil dibandingkan dengan gelofusin.

Pasien ini juga mendapatkan transfusi darah berupa FFP (300 cc) dan PRC

(1250 cc). Indikasi transfusi pada pasien ini adalah karena perdarahan yang

dialami selama operasi > 20 % dari estimasi volume darah. Pada pasien ini

didapatkan estimasi volume darah adalah = 75 cc/kg x 60 kg = 4500 cc dimana

perdarahan yang terjadi selama operasi melebihi dari estimasi volume darah itu

sendiri.

PRC (packed red blood cell) merupakan sel darah merah pekat berisi

eritrosit, trombosit, leukoist, dan sedikit plasma. Indikasi pemberian PRC sendiri

adalah untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang

menunjukkan gejala anemia, yang memerlukan massa sel darah merah pembawa

oksigen saja misalnya pada pasien gagal ginjal dan anemia karena keganasan.

Pada pasien ini tidak ada indikasi untuk diberikan PRC sehingga pemberian PRC

pada pasien ini kurang tepat. PRC dapat diganti dengan WBC. WBC (whole

blood cell) merupakan darah lengkap yang berisi sel darah merah, leukosit,

trombosit, dan plasma. Indikasi pemberian WBC adalah untuk meningkatkan

jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan,

misalnya pada perdarahan massif dengan kehilangan lebih dari 25-30% volume

darah total.

FFP (fresh frozen plasma) merupakan plasma segar beku yang berisi

plasma, semua factor-faktor pembekuan, komplemen,dan protein plasma. Indikasi

pemberian FFP sendiri adalah untuk pasien dengan gangguan pemebekuan bila

tidak tersedia factor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada penyakit

hati, KID, TIP, dan dilusi koagulopati akibat transfusi massif. Pasien ini diberiakn

FFP karena pasien ini telah menerima transfusi darah yang massif.

21

Page 22: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Syok hipovolemik adalah keadaan tersering yang menyebabkan kegagalan

sirkulasi. Penyebab tersering syok hipovolemik adalah trauma. Bila keadaan

perfusi jaringan yang tidak adekuat tidak segera dikenali dan ditangani maka

akan menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan yang memicu ke arah

kegagalan multiorgan (Multiple Organ Failure) dan dapat berakhir dengan

kematian.

Sehingga dapat dimengerti bahwa shok hipovolemik merupakan suatu kondisi

yang mengancam jiwa, membutuhkan penegakan diagnosa dini dan terapi

awal yang adekuat untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem organ dan

kematian.

Prinsip utama penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu penggantian volume

sirkulasi darah secara cepat dan penatalaksanaan terhadap sumber atau

penyebab yang mendasarinya.

Penatalaksanaan syok hipovolemik bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan

sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Hal ini lebih cepat terpenuhi dengan

pemberian koloid dibandingkan cairan kristaloid. Transfusi darah

diindikasikan pada keadaan kehilangan darah seperti pada trauma.

22

Page 23: Preskas Syok Hipovolemik _ Stase Anestesi

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:

Interna Publishing; 2009

2. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:

Interna Publishing; 2009

3. Longo DL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th

edition. USA: The McGraw-Hill Companies; 2012

4. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Reanimasi. Jakarta: PT Indeks: 2010

5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intensif FKUI; 2010

6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 5th

edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006

7. Rull G. Resuscitation in Hypovolaemic Shock. Available online

at: http://patient.co.uk. Assessed June 9th 2013

23