20
PRESENTASI KASUS DERMATITIS KONTAK ALERGI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo Disusun Oleh : Arby Shafara Sekundaputra 20090310177 Diajukan Kepada: dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN BADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN i

Presus Dka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DKA

Citation preview

PRESENTASI KASUSDERMATITIS KONTAK ALERGIDisusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Badan Rumah Sakit Daerah Wonosobo

Disusun Oleh :Arby Shafara Sekundaputra20090310177

Diajukan Kepada:dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMINBADAN RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBOFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA2015HALAMAN PENGESAHANPRESENTASI KASUSDERMATITIS KONTAK ALERGI

Telah dipresentasikan pada tanggal:Februari 2015Bertempat di RSUD Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh :Arby Shafara Sekundaputra20090310177

Disahkan dan disetujui oleh :Dokter Pembimbing Program Pendidikan Profesi DokterBagian Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminBadan Rumah Sakit Daerah Wonosobo

dr. H. Aris Budiarso, Sp.KKKATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.WbAlhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin dengan judul :DERMATITIS KONTAK ALERGIPenulisan presentasi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:1. dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK selaku dokter pembimbing bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RSUD Wonosobo yang telah mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin serta dalam penyusunan presentasi kasus ini.2. Perawat bagian poliklinik kulit dan kelamin RSUD Wonosobo.3. Seluruh pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menyusun tugas ini.Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.Wassalamualaikum Wr.WbWonosobo, Februari 2015

Arby Shafara Sekundaputra

DAFTAR ISI

DAFTAR ISIivBAB I PENDAHULUAN1BAB II LAPORAN KASUS2BAB IV KESIMPULAN8DAFTAR PUSTAKA9

iv

BAB IPENDAHULUANDermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi2. DKA terjadi pada orang yang kulitnya sangat peka atau hipersensitif1. Penyebab DKA dapat berup bahan kimia, logam, obat-obatan, karet, dll. Beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya DKA adalah potensi sensitisasi alergen, lama pajanan, lingkungan yang basah dan lembab, suhu, serta faktor individu seperti keadaan kulit pada lokasi kontak dan status imunologi1,2.Mekanisme terjadinya DKA adalah respon imun yang diperantarai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Erupsi kulit terjadi setelah fase elisitasi yang umumnya berlangsung antara 24-48 jam1,3. Gejala yang dirasakan berupa gatal3. Pada DKA akut muncul bercak eritem yang berbatas tegas diikuti dengan edema, papulovesikel atau bula. Vesikel dan bula dapat pecah sehingga menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA kronis terjadi akibat kontak dengan alergen secara terus menerus atau berulang. Pada yang kronis kulit tampak kering, berskuama, likenifikasi dan fisur. DKA dapat meluas dari area kontak ke area tubuh lain melalui cara autosensitisasi, biasanya berpola simetris1,4,5. Secara umum prognosis DKA baik jika kontak dengan alergen dapat dihindari1.

BAB IILAPORAN KASUS

Seorang wanita Tn. St berusia 53 tahun, beralamat di watumalang, pekerjaan sebagi ibu rumah tangga datang ke poli klinik kulit dan kelamin RSUD Wonosobo dengan keluhan gatal pada telapak kaki.Pada auto anannesis ditemukan bahwa sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluh gatal, kering pada telapak dan punggung kaki, gatal dirasakan sepanjang hari, karena sangat gatal pasien sering menggaruk pada bagian tersebut. Semakin hari gatal semakin hebat dan kadang terasa nyeri, beberapa waktu setelah itu pada telapak kaki menjadi pecah-pecah. Untuk keluhan saat ini pasien belum pernah diobatiDalam kesehariannya pasien sering menggunakan sendal karet baik didalam rumah maupun diluar rumah, pasien melepas sandal karet hanya waktu-waktu tertentu seperti saat beribadah dan tidur. Pasien mengaku pernah mengalami gejala serupa 2 tahun yang lalu, sudah berobat kedokter spesialis kulit dan sudah sembuh. Pada keluarga pasien tidak ditemukan adanya keluhan serupa seperti yang dialami pasien dan tidak ada riwayat alergi. Saat ini pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.Pada pemeriksaan ujud kelainan kulit didapatkan pada seluruh jari kaki kanan dan kiri terdapat patch berwarna coklat kehitaman, bentuk tidak teratur, ukuran 4 cm, batas tidak tegas distribusi simetris. Diatasinya ditutupi oeh skuama halus berwarna putih.Pada punggung kaki, jari 1 dan jari 2 kaki kanan terdapat fisur dengan tepian eritem, bentuk linear, ukuran 1 cm , batas tegas, jumlah lesi multipel disertai adanya linkenifikasi. Pada telapak kaki kanan dan kiri terdapat fisur berukuran 4 cm, dengan diatasnya terdapat skuama.

Gambar 1. DKA dengan lesi patch kehitaman dan linkenifikasi

Gambar 2. DKA pada telapak kaki dengan lesi fisur dan skuamaBerdasarkan anamnesis dan pemeriksaan ujud kelainan kulit pasien tersebut didiagnosis dermatitis kontak alergi. Penatalaksanaaan umum pada pasien tersebut adalah edukasi tentang hindari penggunaan sendal karet, gunakan sendal yang terbuat dari kain Penatalaksanaan khusus diberikan obat oral berupa Metilprednisolon 4 mg 3x1 tablet, Cetirizin 1x1 tablet dan Clobetasol 0,05% dioleskan 2 kali pada kulit yang kering.

BAB IIIPEMBAHASAN

Diagnosis dermatitis kontak alergi pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan ujud kelainan kulit. Penegakkan diagnosis DKA dilakukan berdasarkan anamnesis, penemuan klinis dan tes alergi. Pada anamnesis ditanyakan mengenai gejala, bentuk kelainan kulit dan hal-hal yang kemungkinan menyebabkan alergi. Pertanyaan juga meliputi pekerjaan, penggunaan kosmetik dan pakaian, kondisi lingkungan, riwayat pengobatan yang sedang dilakukan. Beberapa alergen berupa bahan logam berat, kosmetik (lipstik, deodoran, cat rambut), perhiasan (kacamata, anting-anting, jam tangan), obat-obatan (obat kumur), karet pada sepatu, dll. Ditanyakan pula onset timbulnya gejala sejak pajanan dan lokasi awal kelainan kulit. Gejala DKA dapat muncul 24-48 jam bahkan lebih setelah fase elisitasi. Keluhan yang biasa muncul adalah gatal1,2,4,5,6. Pada kasus ini, pasien mengeluh gatal dan kering pada telapak kaki sejak 6 bulan. Diketahui dari kebiasaan pasien yang sering menggunakan sendal karet saat di dalam maupun di luar rumah. Sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa, sempat sembuh setelah mendapat pengobatan, namun kali ini bertambah parah dari sebelumnya.Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi8.Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya1. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap). Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit, dan sel langerhans9. Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu1.Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan8. Pada kasus ini, pasien sudah terpapar alergen berupa sendal karet (mercaptobenzotiazol) secara terus menerus, walaupun termasuk alergen ringan namun jika terpapar terus menerus akan menyebabkan dermatitis yang kronikUjud kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran1. Pada pasien didapatkan kulit kering, berskuama, linkenifikasi dan terdapat fisur. Berdasarkan kelainan kulit tersebut pasien ini termasuk dalam DKA kronis.Kelainan kulit pada DKA sering kali tidak khas sehingga dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis numularis dan dermatofitosis. Diagnosis banding yang utama pada DKA adalah dermatitis kontak iritan. Untuk membedakan keduanya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa uji tempel1,2. Uji tempel diindikasikan terutama pada dermatitis kronis atau berulang atau likenifikasi. Tempat dilakukan uji tempel biasanya di punggung atas. Antigen yang digunakan biasanya antigen standar pada Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E. uji tempel dibuka setelah 2 hari dan diobservasi pada hari ke 3 sampai hari ke 71,7. Pada kasus ini tidak dilakukan uji tepel dikarenakan masih terjadi proses radang, jika tetap dilakukan dikhawatirkan akan terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu, dapat juga memperberat penykit yang dideritanyaHal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul1,10,11. Penatalaksanaan sistemik dapat diberikan antihistamin dan kortikosteroid, sedangkan pengobatan topikal diberikan kortikosteroid poten. Penatalaksanaan khusus diberikan obat oral berupa Metilprednisolon 4 mg 3x1 tablet, Cetirizin 1x1 tablet dan salap Clobetasole 0,05% dioleskan 2 kali pada kulit kering. Obat yang diberikan telah sesuai dengan yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan DKA.Prognosis pada DKA baik jika pasien dapat mengindari terulangnya kontak dengan alergen1,2. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularos atau psoriasis) atau terpajan alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan suatu tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.

BAB IVKESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus dermatitis kontak alergi pada seorang wanita berusia 53 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan kelainan kulit. Dari anamnesis pasien mengeluh gatal dan kering pada telapak kaki sejak 6 bulan yang lalu, diketahui memiliki kebiasaan menggunakan sandal karet baik didalam maupun di luar rumah dan pasien melepas sendal karet hanya saat tidur dan beribadah, sebelumnya pasien pernah mengalami hal serupa 2 tahun lalu. Pada pemeriksaan ujud kelainan kulit didapatkan pada seluruh jari kaki kanan dan kiri terdapat patch berwarna coklat kehitaman, bentuk tidak teratur, ukuran 4 cm, batas tidak tegas distribusi simetris, disertai adanya linkenifisaki dan pada telapak didapatkan fisur multipel. Pasien diobati dengan pengobatan sistemik berupa Metilprednisolon 4 mg 3x1 tablet, Cetirizin 1x1 tablet dan salap Clobetasol 0,05% dioleskan 2 kali pada kulit yang kering, dan edukasi untuk tidak menghindari penggunaan sandal karet.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, S.A., Djuanda, S. (2007). Dermatitis. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 129-153.2. Health and Safety Executive, 2000. Coontact Dermatitis in Worker. Diperoleh dari: http://www.hse-Skin_at_work_Work-related_skin_disease-contactdermatitis. mht.hsebooks.co.uk. (diakses 17 Februari 2015)3. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.4. Wolff, K., Saavedra, A. P., Johnson, R. A. (2013). Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 7th Edition. New York: McGraw Hill.5. Streit, M., Braatahen, L. R. (2001). Contact Dermatitis: Clinics And Pathology. Acta Odontol Scand 59. Diakses melalui www.odont.umu.se pada 13 Januari 2015.6. Beltrani, V. S. Bernstein, L., Cohen, D. E., Fonacier, L. (2006). Contact Dermatitis: A Practice Paraneter. Annals Of Allergy, Asthma & Immunology. Diakses melalui: www.aaaai.com pada 17 Februari 2015.7. Sasseville, D. (2008). Occupational Contact Dermatitis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology, Vol 4, No 2, pp 5965. Diakses melalui www.aacijournal.compada 13 Januari 2015.8. Spiewak, R. (2008). Patch Testing for Contact Allergy and Allergic Contact Dermatitis. The Open Allergy Journal, 42-51. Diakses melalui www.radoslawspiewak.netpada 13 Januari 2015.9. Trihapsoro, I., 2003. Dermatitis Kontak Alergi pada Pasien Rawat Jalan di RSUP H Adam Malik Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.10. Hogan, D. J., 2009. Contact Dermatitis, Allergic. Diperoleh dari: http://www.ContactDermatitis,allergic_eMedicineDermatology.mht. (diakses 17 Februari 2015)11. Brown University Health Service, 2003. Contact Dermatitis, Patient Education Series. Diperoleh dari: http://www.brown.edu/health. (diakses 17 Februari 2015)8