Upload
arifsetyoh
View
124
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 67 tahun
Alamat : Tingkir, Salatiga
Pekerjaan : Swasta
Masuk bangsal : 18 Maret 2013
No. RM : 12-13-220030
B. ANAMNESIS tanggal 18 Maret 2013 (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama : kejang
2. Lokasi : kejang seluruh tubuh
3. Onset : kejang timbul pertama kali sekitar 2 tahun yang lalu.
Keluarga pasien mengatakan pasien kejang seluruh badan kemudian pasien
tidak sadarkan diri.
4. Kualitas : pasien sering mendapat serangan saat beraktivitas, kejang
seluruh tubuh, saat kejang pasien tidak sadar, badan kaku dan bergetar, mata
terbuka melotot, keluar air liur yang terkadang sedikit bercampur darah,
setelah kejang pasien merasa lemas, kadang timbul nyeri kepala dan tampak
seperti orang bingung serta mengantuk.
5. Kuantitas : dalam 2 tahun terakhir pasien mengalami kejang dengan
frekuensi ± 2 bulan sekali dan tidak berulang. Durasi kejang pasien selama 30-
60 menit. Satu hari sebelum periksa ke poli saraf pada tanggal 17 Maret 2013
1
pasien mengalami kejang sebanyak > 10 kali, dengan durasi 30-60 menit, dan
diikuti fase istirahat selama ± 20 menit.
6. Kronologis :
Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Salatiga bersama keluarga dengan
keluhan utama kejang. Saat dibawa ke poli pasien dalam keadaan bingung dan
gelisah. Pasien pertama kali mengalami kejang ± 2 tahun yang lalu. Umumnya
pasien mengalami kejang dengan frekuensi 2 bulan sekali dengan durasi 30-60
menit, akan tetapi sejak satu hari sebelum datang ke poli yaitu tanggal 17
Maret 2013 pasien mengalami kejang sebanyak > 10 kali dengan durasi 30-60
menit, dengan fase istirahat selama 20 menit. Saat kejang pasien tidak
sadarkan diri, badan kaku dan bergetar, mata melotot, keluar air liur dari mulut
yang terkadang bercampur darah, setelah kejang pasien kebingungan dan
kemudian tertidur. Sejak 2 tahun pasien mengalami kejang pasien tidak pernah
berobat rutin.
7. Faktor yang memperberat :
Apabila pasien mengalami kelelahan karena aktivitasnya
8. Faktor yang memperingan : beristirahat dari aktivitas.
9. Gejala penyerta : (-)
10. Riwayat Penyakit Dahulu : pasien pernah menjalani operasi ORIF 10 bulan
yang lalu setelah mengalami fraktur femur sinistra.
11. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit serupa.
2
C. DATA OBYEKTIF
1. Status present
Denyut nadi : 92 x/menit
Tekanan darah : 130/60 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,00 C
2. Status Internus
Kepala : Mesochepal, simetris, ukuran normochepal, penglihatan kabur dan
pendengaran (-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar limpa, kaku kuduk (-).
Thorak :
Pulmo
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-)
Palpasi : Ketinggalan gerak (-), vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Permukaan datar, venektasi tidak ada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
3
Ekstremitas : Akral hangat, nadi kuat angkat, CRT < 2 detik
3. Status Neurologis
Keadaan Umum : Gelisah
Kesadaran : Delirium ; GCS : E4V2M5
Orientasi : Orang (buruk), Waktu (buruk), Tempat (buruk), Situasi (buruk).
Daya Ingat : Baru (buruk), Lama (buruk)
SARAF-SARAF OTAK
Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Daya Penghidu tidak dilakukan tidak dilakukan
N II (Optikus) Kanan Kiri
Daya penglihatan tidak dilakukan tidak dilakukan
Pengenalan warna tidak dilakukan tidak dilakukan
Medan penglihatan tidak dilakukan tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
Ptosis - -
Gerakan bola mata ke :
Superior + +
Inferior + +
Medial + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil bulat bulat
Reflek cahaya langsung + +
4
N IV (Troklearis)
Gerak bola mata ke lateral bawah + +
Diplopia - -
N V (Trigeminus)
Menggigit + +
Membuka mulut + +
N VI (Abdusens)
Gerakan mata ke lateral + +
N VII (Facialis)
Kerutan kulit dahi + +
Kedipan mata + +
Mengerutkan dahi + +
Menutup mata + +
N VIII (Akustikus)
Mendengar suara + +
N IX (Glosofaringeus)
Refleks muntah tidak dilakukan tidak dilakukan
Sengau - -
N X (Vagus)
Bersuara + +
Menelan + +
N XI (Asesorius)
Memalingkan kepala + +
Mengangkat bahu tidak dilakukan tidak dilakukan
5
N XII (Hipoglosus)
Sikap lidah N N
Tremor lidah tidak dilakukan tidak dilakukan
Menjulurkan lidah tidak dilakukan tidak dilakukan
EKSTREMITAS
Gerakan : bebas/bebas bebas/bebas
Kekuatan otot : 5/5 5/5
Sensibilitas : baik
Reflek fisiologis :
Refleks patologis :
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT Scan kepala pada tanggal 20 Maret 2013 gambaran SNH di
daerah capsula interna crus anterior Dx dan genu, dan capsula interna crus genu dan
posterior Sn.
6
+ +
+ +
- -
- -
Gambar 1. CT Scan kepala pasien Tn. S
E. DIAGNOSA
Diagnosa klinis : Epilepsi umum tipe tonic-clonic seizures
Diagnosa topik : Epilepsi sekunder
Diagnosa etiologi : Epilepsi sekunder e.c trauma kepala
F. DIAGNOSIS BANDING
Status epileptikus
Ensefalitis
Ensefalomeningitis
Kejang histeria
G. PENATALAKSANAAN
7
Oksigen 3 lpm
Infus RL 20 tpm
Inj. Citicolin 2x500 mg
Inj. Phenitoin 3x1 ampul
Infus Manitol 6x75 cc
BSA 10 mg 1x1
CT Scan dan EEG
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh
terjadinya serangan yang terjadi secara berulang, bersifat spontan (unprovoked) dan
berkala yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal secara berlebihan
pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.
Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan
sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan
berirama.
Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali
saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung, dan occasional
provoked seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemi. Menurut
International League Against Epilepsy, epilepsy dapat didiagnosis setelah mengalami
satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka memiliki risiko
tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsy mungkin berhubungan
dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan penyebab
epilepsy tidak diketahui.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari
bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik
sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (unprovoked). Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda
9
klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi,
umur, awitan, jenis bangkitan, faktor pencetus dan kronisitas.
B. ETIOLOGI
Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul jika
terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak,
sehingga menyebabkan terganggunya fungsi otak. Ditinjau dari penyebab epilepsi
dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Epilepsi primer/idiopatik (tidak ditemukan penyebabnya)
Pada epilepsi primer, tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga
bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-
sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal. Gangguan keseimbangan
kimiawi ini dapat menimbulkan cetusan listrik yang abnormal, tetapi mengapa
tepatnya dapat terjadi suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu-
waktu dan menyerang orang-orang tertentu belum diketahui.
2. Epilepsi sekunder (epilepsi yang penyebabnya diketahui)
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat
dari adanya kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena
dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak
pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Penyebab spesifik dari
epilepsi sebagai berikut :
Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin
contohnya ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang dapat merusak
otak janin, minum-minuman alkhohol atau mendapatkan terapi
penyinaran, mengalami infeksi atau mengalami cidera.
10
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen y
angmengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama
pada anak-anak.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
Penyakit keturunan seperti fenilketonuria, sklerosis tuberosa, dan
neurofibromatosis dapat menimbulkan kejang berulang.
Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini
disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari
normalnya yang diturunkan pada anak. Bila salah satu orangtua atau
saudara kandung menyandang epilepsi, maka kesempatan mendapat
epilepsy pada anak adalah 5%, tetapi bila kedua orang tua menyandang
epilepsi, maka kesempatan anak dengan epilepsi adalah 10%.
Adapun menurut beberapa teori, terjadinya epilepsy dapat disebabkan:
a) Berubahnya keseimbangan neurotransmitter
Neurotransmitter eksitasi di SSP umumnya diwakili oleh asam amino
Glutamat dan sebagian kecil oleh Aspartat. Sedangkan untuk
pengendalian fungsi hambat/pengereman diserahkan pada GABA
(Gamma Amino Butiric Acid). Pada orang normal fungsi eksitasi dan
inhibisi berada dalam keadaan yang seimbang. Namun pada epilepsy
diduga terjadi pergeseran keseimbangan ini sehingga fungsi ektasi
menjadi berlebihan, atau sebaliknya terjadi penurunan fungsi inhibisi.
11
b) Perubahan homeostatic ionic
Menurunnya kemampuan untuk mengatur secara ketat milieu ion
ekstra seluler. Secara teoritis diduga menjadi penyebab terjadinya
seizure. Calcium dan Kalium banyak berperan disini. Namun chloride,
Magnesium dan terkadang Zinc juga punya peranan. Ion-ion ini terlibat
dalam stabilisasi potensial membrane neuron, mengatur pelepasan
neurotransmiiter dan memodulasi respon dari reseptor
neurotransmitter.
c) Penyusunan kembali sirkuit neuronal
Pemutusan perjalanan neuron oleh sebab apapun dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan hubungan antar neuron yang dikenal sebagai
Synaptic Rearrangement. Kemampuan untuk menyusun kembali
hubungan antar neuron (synaps) ini adalah normal untuk otak yang
sehat, yang juga terjadi sebagai reaksi terhadapnya adanya jejas
(injury). Penyusunan kembali ini alamiahnya terjadi secara acak,
sehingga lesi yang identik sekalipun tidak selalu mengakibatkan
terjadinya epilepsy, tergantung keseimbanan komposisi antara synaps
yang bersifat inhibisi dan eksitasi. Epilepsy timbul bila synaps yang
bersifat inhibisi berkurang atau synaps yang bersifat eksitasi tumbuh
berlebihan.
C. GANGGUAN FUNGSI LUHUR
Otak merupakan organ untuk berfikir yang dapat terganggu oleh berbagai
sebab seperti stroke. Bagian tertentu otak mernpunyai fungsi khusus, fungsi luhur
dalam keadaan normal merupakan fungsi integritas tertinggi otak yang dapat dinilai.
12
Gambar 2. Anatomi susunan lapisan otak
Kerusakan otak unilateral akan memberikan gejala berbeda. Hemisfer kiri
merupakan hemisfer dominan untuk orang tangan kanan (right handed). Orang kidal
80% hemisfer dominan tetap dikiri. Kerusakan hemisfer kiri akan memberi gejala
gangguan bahasa / aphasia, sedang hemisfer kanan terutama visuospatial.
Dalam status neurologi, kita mengenal beberapa istilah berikut:
1. Afasia sensorik (afasia Wernicke)
Merupakan gangguan cara berbahasa, dimana penderita kehilangan daya untuk
mengubah kata-kata menjadi suatu faham.
2. Afasia motorik (afasia Broca)
Merupakan gangguan cara berbahasa, dimana penderita kehilangan daya untuk
mengubah suatu faham menjadi kata-kata.
3. Aleksia
Kehilangan daya untuk membaca, meskipun penglihatannya baik (bukan buta
huruf)
13
4. Agrafia
Kehilangan daya atau kemampuan untuk menulis, walaupun penderita tidak
mengalami lumpuh, tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada gangguan koordinasi,
serta tidak ada gangguan ekstrapiramidal
5. Apraksia
Kehilangan daya atau kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang
tangkas meskipun penderita tidak mengalami lumpuh, tidak ada gangguan
sensibilitas, tidak ada gangguan koordinasi, serta tidak ada gangguan ekstrapiramidal.
6. Agnosia
Kehilangan daya atau kemampuan untuk mengenal benda-benda walaupun
semua panca indera-nya baik
Gambar 3. Fungsi dan anatomi otak
14
a. Lobus frontalis
Fungsi lobus frontalis antara lain :
1. presental gyrus merupakan area motor kontralateral dari wajah, lengan, tungkai,
batang.
2. area Brocca's merupakan pusat bicara motorik pada lobus dominan.
3. suplementari motor area untuk gerakan kontralateral kepala dan lirikan mata.
4. area prefrontal merupakan area untuk kepribadian dan inisiatif.
5. lobulus parasental merupakan pusat kontrol inhibisi untuk miksi dan defikasi.
Gangguan lobus frontalis antara lain :
1. presentral gyrus: monophlegi atau hemiphlegia
2. area Brocca : disfasia
3. suplementari motor area : paralysis kepala dan gerakan bola mata berlawanan arah
lesi, sehingga kepala dan mata kearah lesi hemisfer
4. area prefrontal: kerusakan sering bilateral karean gangguan aneurisma a.
communican anterior, mengakibatkan gangguan tingkah laku / kehilangan inhibisi.
Ada 3 sindroma prefrontal :
- Sindroma orbitofrontal : disinhibisi. fungsi menilai jelek, emosi labil.
- Sindroma frontal konveksitas : apati. indiferens. pikiran abstrak.
- Sindroma frontal medial: akineti, inkontinen, sparse verbal output
5. Lobulus parasentral : inkontinentia urin at alvi.
b. Lobus parietal
Fungsi lobus parietal antara lain :
1. gyrus postcentral : merupakan kortek sensoris yang menerima jaras afferent dari
posisi, raba dan gerakan pasif.
15
2. gyrus angularis dan supramarginal : hemisfer dominan merupakan bagian area
bahwa Wernic’s, dimana masukkan auditori dan visual di integrasikan. Lobus non
dominan penting untuk konsep " body imge", dan sadar akan lingkungan luar.
Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual atau ketrampilan
proprioseptik. Lobus dominan berperan pada kemampuan menghitung atau kalkulasi.
Jaras visual radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal.
Gangguan lobus parietal antara lain :
1. gangguan korteks sensoris dominan / non - dominan menyebabkan kelainan sensori
kortikal berupa gangguan : sensasi postural, gerakan pasif, lokalisasi akurat raba
halus, " two points discrimination", astereognosia," sensory inattention"
2. gyrus angularis dan supramarginal : aphasia Wernicke's
3. lobus non - dominan : anosognosia (denies), dressing apraksia, geografikal agnosia,
konstruksional apraksia.
4. lobus dominan : Gerstsman sindroma : left & right disorientasi, finger agnosia,
akalkuli dan agrafia.
5. gangguan radiasio optika : homonim kuadrananopsi bawah.
c. Lobus temporalis
Fungsi lobus temporal antara lain :
1. kortek auditori terletak pada permukaan gyrus temporal superior ( = gyrus Heschl).
Hemisfer dominan penting untuk pendengaran bahasa, sedang hemisfer non -
dominan untuk mendengar nada, ritme dan musik.
2. gyrus temporalis media & inferior berperan dalam fungsi belajar & memori.
3. lobus limbic : terletak pada bagian inferior medial lobus temporal, termasuk
hipokampus & gyrus parahipokampus. Sensasi olfaktoris melalui jaras ini, juga
emosi / sifat efektif. Serabut olfaktori berakhir di uncus.
16
4. jaras visual melalui bagian dalarn lobus temporal sekitar cornu posterior ventrikel
lateral.
Gangguan lobus Temporal antara lain :
1. kortek auditori : tuli kortikal. Lobus dominan ketulian untuk mendengar
pembicaraan atau amusia pada lobus non - dominan
2. gyrus temporal media & infrior : gangguan memori / belajar
3. kerusakan lobus limbic : halusinasi olfaktori seperti pada bangkitan parsial
komplek. Agresif / kelakuan antisosisal, tidak mampu untuk menjaga memori baru.
4. kerusakan radiasio optika : hemianopsi homonim kuadranopia bagian atas.
d. Lobus occipital
Gangguan fungsi lobus occipital antara lain :
1. Lesi Kortikal
Lesi kortikal memberikan gejala homonim dengan / tanpa kelainan macula. Bila
hanya kutub occipital terkena maka kelainan macula dengan penglihatan perifer
normal. Buta kortikal : Karena lesi kortikal yang luas, reflek pupil normal & persepsi
cahaya (- ). Anton's sindroma : Kerusakan striata dan para striata menyebabkan
kelainan interpretasi visual. Pasien tidak sadar buta dan menyangkal. Karena kelainan
arteri cerebri posterior, juga dapat mengikuti hipoksia & hipertensi ensefalopati. Balin
sindroma : tidak bisa melirikkan mata volunteer disertai visual agnosia, karena lesi
parieto-occipital bilateral.
2. Halusinasi visual
Halusinasi karena lesi occipital biasanya sederhana, tampak sebagai pola (zigzag,
kilatan) dan mengisi lapangan hemianopsi, sedang halusinasi karena lobus temporal
berupa bentuk komplek clan mengisi seluruh lapang pandang.
17
3. Ilusi visual : distoris bentuk, hilangnya warna, makropsia / mikrosia, sering pada
lesi non - dominan.
4. Prosopagnosia : pasien mengenal wajah orang tidak bisa menyebutkan namanya.
5. Brocca dysphasia : bicara tak lancar, tertahan, pengertian baik.
6. Wernicke dysphasia: pengertian terganggu, bicara lancar tapi tak bearti,
neologisme, paraphrasia, tulisan jelek.
7. Global dysphasia : bicara tak lancar, pengertian jelek.
D. KEJANG PASCA TRAUMA (Post Traumatic Seizure)
Kejang dapat terjadi segera setelah trauma kepala, hal ini telah dikenal dan
mempunyai karakter yang berbeda dari kejang yang terjadi kemudian. Adapun
klasifikasi kejang karena trauma, yaitu :
a. Immediate seizure
Terjadi dalam beberapa jam sampai 24 jam setelah trauma kepala.
b. Early-post traumatic seizure
Dimana terjadi dalam 7 hari pertama setelah trauma kepala. Hal ini meliputi
5% dari kasus cedera kepala yang dirawat di rumah sakit. Hubungannya sudah
jelas antara kejadian early seizure dengan beratnya trauma kepala. Sepertiga
pasien dengan SDH dan ICH dapat terjadi early seizure. Epidural hematoma
dan fraktur impresi di frontal, temporal atau parietal, cedera otak fokal atau
cedera yang diikuti dengan amnesia lebih dari 24 jam maka kira – kira 10%
akan timbul insiden early seizure. Hal ini juga merupakan prediktor yang
penting untuk resiko timbulnya late post traumatic seizure.
18
c. Late – post traumatic seizure
Adalah kejang yang terjadi setelah 1 minggu pertama setelah cedera kepala.
Beratnya trauma kepala adalah penentu utama dari timbulnya kejadian ini.
Hampir setengah penderita dengan SDH dan ICH atau luka tembus peluru
akan timbul .
Istilah post – traumatic epilepsy sering saling tukar penggunaannya dengan
istilah post – traumatic seizure, meskipun secara teknis istilah epilepsi berarti telah
terjadi 2 atau lebih seizure yang timbul kemudian tanpa adanya profokasi. Ada sekitar
20% dari orang yang mengalami satu kali kejang pasca trauma dan tidak pernah
berulang lagi, orang tersebut tidak harus disebut sebagai epilepsi pasca trauma.
E. EPILEPSI PASCA TRAUMA (Post Traumatic Epilepsi)
Epilepsi pasca trauma merupakan bentuk dari late post traumatic seizure yang
berulang. Individu yang mengalami trauma kepala mempunyai resiko untuk
berkembang menjadi epilepsi bila dibandingkan dengan populasi umum. Lima persen
dari semua kasus epilepsi diakibatkan oleh trauma kepala. Meskipun trauma kepala
memiliki kontribusi yang sedikit untuk terjadinya epilepsi, namun apabila
penanganannya tepat maka terjadinya epilepsi dapat dihindarkan.
Early seizure terjadi 2% sampai 5% dari pasien yang menderita trauma kepala,
dan lebih sering terjadi pada anak – anak daripada dewasa. Jika trauma kepala sangat
berat maka insidensi akan meningkat antara 10% - 15% pada dewasa dan 30% - 35%
pada anak – anak. Pada orang dewasa, angka kejadian early seizure yang diikuti oleh
late seizure sebesar 25% - 35%.
Jenis dan keparahan dari trauma kepala juga mempengaruhi terjadinya epilepsi
paska trauma. Faktor resiko terjadinya late seizure ( single atau multiple ) adalah
19
adanya kontusio otak dengan disertai hematom subdural, fraktur tengkorak,
kehilangan kesadaran, dan amnesia untuk lebih dari 1 hari.
Untuk trauma kepala tertutup, kejadian late seizure pada tahun pertama
sebesar 60% dari total populasi.
Jenis epilepsi yang sering timbul akibat trauma kepala biasanya adalah jenis
tonik klonik, dan untuk jenis absence jarang sekali diakibatkan oleh trauma kepala.
Mekanisme terjadinya epilepsi paska trauma ini masih di selidiki. Banyak ahli
mengatakan bahwa epilepsi ini disebabkan karena adanya sisa darah dari perdarahan
intrakranial yang berada pada parenkim otak. Kemungkinan juga adanya faktor
genetik pada individu untuk berkembangnya epilepsi setelah mengalami trauma
kepala, meskipun bukti – bukti yang menunjang masih sedikit
Patofisiologi
Perubahan struktur dan fisiologis yang menimbulkan kejang pasca trauma
belum begitu banyak dipahami, tetapi faktor yang menginisiasikannya dan
menimbulkan perubahan tersebut sudah diketahui antara lain perubahan struktural,
listrik dan biokimia, hipersensitif post sinap, menurunnya mekanisme inhibisi,
timbunan besi karena perdarahan, faktor genetik dan lain-lain.
Pemeriksaan secara histopatologi dari jaringan otak setelah terjadi trauma
memperlihatkan terjadinya suatu gliosis yang reaktif, axon retraction ball, degenerasi
Wallerian dan formasi mikroglial dalam lesi di massa putih. Mekanisme dari
patofisiologinya diketahui melalui 2 cara yaitu karena adanya timbunan besi dan
terjadi aktifasi dari kaskade asam arakidonat.
Laserasi korteks serebri atau kontusio menyebabkan keluarnya sel darah
merah kemudian terjadi hemolisis dan timbunan sel darah merah. Besi dilepaskan dari
hemoglobin dan transferin. Besi dan komponen lainnya telah diketahui mempengaruhi
20
peningkatan kalsium di dalam sel. Aktifasi kaskade asam arakidonat menimbulkan
pembentukkan DAG (diacylglycerol) dan IP3 (inositoltidyl phospytate). Peningkatan
IP3 menyebabkan pelepasan kalsium intrasel dan memodifikasi kanal kalsium yang
akhirnya akan meningkatkan konsentrasi kalsium dalam sel dan hal ini menimbulkan
kerusakkan eksitotoksis dari sel neuron. Sel yang mati dan reaktif gliosis dapat
menimbulkan formasi jaringan parut glia, hal ini akan membentuk episenter dari
fokus yang hipereksitasi. Fokus epileptogenik ini terbentuk kira-kira 8 minggu setelah
terjadinya trauma kepala.
F. KLASIFIKASI EPILEPSI
Bentuk serangan epilepsi bermacam-macam. Pada sebagian besar penderita
epilepsi didapatkan penurunan kesadaran atau kesadaran menghilang sewaktu
serangan. Menghilangnya kesadaran ini dapat disertai oleh gerakan-gerakan motorik.
Serangan epilepsi dapat dibagi menjadi dua ketegori yaitu serangan parsial dan
serangan umum. Apabila awal serangan hanya melibatkan area otak yang terbatas
(localized) maka serangan epilepsi disebutkan sebagai serangan parsial. Sementara itu
apabila awal serangan melibatkan kedua hemisferium otak maka serangan epilepsi
disebut sebagai serangan umum.
Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsi (ILAE
1981) :
I. Epilepsi Parsial (fokal, local), kesadaran tidak berubah
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat lepas
muatan listrik di suatu daerah di korteks serabut (terdapat suatu fokus
di korteks serebri).
21
a. Serangan parsial sederhana (tanpa hilangnya kesadaran)
i. Dengan gejala motorik
Fokus epilepsi biasanya pada girus presentralis lobus
frontalis (pusat motorik). Kejang dimulai dari ibu jari,
meluas ke seluruh tangan, lengan, muka, dan tungkai.
kadang-kadang berhenti pada satu sisi. Akan tetapi bila
rangsangannya sangat kuat maka menjadi kejang umum
yang disebut Jackson motoric epilepsy.
ii. Dengan gejala sensorik
Fokus epilepsi di girus postsentralis lobus parietalis.
Penderita merasa kesemutan pada daerah ibu jari,
lengan, muka dan tungkai, tanpa kejang motoris, yang
dapat meluas ke sisi yang lain. Disebut dengan Jackson
sensoric epilepsy.
iii. Dengan gejala autonom
iv. Dengan gejala psikis
22
Gambar 4. Kejang parsial sederhana
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)
Epilepsi parsial komplek adalah epilepsi parsial yang disertai
dengan gangguan kesadaran. Tanda-tanda yang menonjol
terutama adalah gejala psikis dan automatisme, disebut juga
epilepsi psikomotor. Pada epilepsi jenis ini, meskipun penderita
mengalami gangguan kesadaran, akan tetapi masih bisa
melakukan gerakan otomatis seperti mengunyah, menguap,
menggunakan pakaian, mandi, naik sepeda dan lain-lain.
Epiliepsi jenis ini dibagi menjadi :
- Berasal dari parsial sederhana dan berkembang
kepenurunan kesadaran.
- Dengan penurunan kesadaran sejak awal.
23
Gambar 5. Kejang Partial Kompleks
c. Serangan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
Adanya perubahan dari serangan parsial sederhana dan
serangan parsial komplek menjadi serangan umum (biasanya
grandmal).
II. Serangan umum
Pada kelompok ini gambaran klinik ataupun perubahan EEG
menunjukkan bahwa dari awalnya cetusan epileptic melibatkan kedua
hemisfer dengan serentak dan tidak ada petunjuk adanya suatu fokus
epileptic di korteks serebri. Adapun jenis epilepsi serangan umum ini
dibagi menjadi:
a. Absence seizures (petit mal)
Pada epilepsi ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai
oleh terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10
detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh. Penderita berhenti
dari aktivitasnya, seakan-akan melamun, kemudian melakukan
aktivitas kembali. Serangan ini terkadang dapat mencapai 10-20
24
kali dalam sehari. Epilepsi petit mal sering terdapat pada anak-
anak, sehingga sering dimarahi gurunya karena melamun.
Gambar 6. Absence seizure
b. Myoclonic seizures
Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan, terjadi
gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter yang
aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu
dan lengan) yang disebut dengan myoclonic jerking.
Gambar 7. Myoclonic seizure
25
c. Clonic seizures
d. Tonic seizurese
e. Tonic clonic seizures (grand mal)
Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Aura tidak
terdapat pada grand mal, namun bila ada aura berarti bukan grand
mal murni, karena aura adalah suatu tanda fokal. Serangan dimulai
dengan fase tonik selama 30 detik dilanjutkan dengan fase klonik
selama 60 detik, kemudian terjadi fase post iktal selama 15-30
menit.
Fase tonik
Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak
mengejan sehingga wajah tampak merah. Kemudian
penderita menahan nafas (apnea) selama 30 detik, pada
akhir masa ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat,
pupil melebar, refleks patologis positif.
Fase klonik
Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-
kadang lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah
(buih kemerahan). Pada fase ini wajah menjadi normal
kembali, tekanan darah menurun dan tanda vital membaik.
Fese post iktal
Setelah kejang penderita tertidur. Waktu bangun penderita
mula-mula mengalami disorientasi, tetapi beberapa menit
setelah fase ini penderita menjadi normal kembali dan
berjalan seperti biasa.
26
Gambar 8. Generalized Tonic-Clonic seizure
f. Atonic seizures (astatic seizures)
Penderita secara mendadak kehilangan tonus otot. Hal ini dapat
mengenai bagian tubuh maupun seluruh tubuh misalnya tiba-tiba
kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher atau secara
tiba-tiba penderita terjatuh karena penderita kehilangan tonus otot
tubuh. Serangan ini berlangsung singkat yang disebut dengan drop
attack.
Gambar 9. Atonic seizure
27
III. Serangan epilepsi yang tak terklasifikasikan.
Misalnya : gerakan ritmis pada mata, gerakan mengunyah dan
berenang.
Selain klasifikasi diatas, terdapat klasifikasi berdasarkan
ILAE1989, dimana klasifikasi ini berkaitan dengan: (1) lokasi kelainan;
(2) epilepsi umum dan berbagai syndrome epilepsi berurutan sesuai
dengan peningkatan luhur; (3) epilepsy dan syndrome yang tidak dapat
ditentukan focal ataupun umum; (4) sindrom khusus. Adapun
pembagian menurut ILAE 1989 yaitu:
I. Berkaitan dengan lokasi
a. Idiopatik (primer)
Epilepsi benigna gelombang paku daerah sentro temporal
(Childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
Epilepsi benigna gelombang daerak paroksismal daerah
oksipital.
Epilepsy membaca (primary reading epilepsy)
b. Simptomatik (sekunder)
Epilepsy parsial kontinua kronik pada anak-anak (sindrom
kojenikow)
Sindrom bangkitan. Dipresipitasi rangsangan (kurang tidur,
alcohol, obat, hiperventilasi, epilepsy refleks, stimulasi
fungsikortikal tinggi, membaca)
Epilepsy lobus temporal
Epilepsy lobus frontal
Epilepsy lobus parietal
28
Epilepsy lobus oksipital
c. Kriptogenik
II. Epilepsy umum dan sindorme epilepsy berurutan umur
a. Idiopatik (primer)
Kejang neonatus familial beningna
Kejang neonatus benigna
Kejang epilepsy mioklonik pada bayi
Epilepsy Absan anak
Epilepsy Absan remaja
Epilepsy mioklonik remaja
Epilepsy bangkitan tonik-klonik saat terjaga
Epilepsy umum idiopatik lain
Epilepsy tonik-klonik dipresipitasi aktivitas tertentu
b. Kriptogenik/ simptomatik berurutan sesuai peningkatan usia
Sindom west (spasme infantile dan spasme salam)
Sindrom lennox-gastaut
Epilepsy mioklonik astatik
Epilepsy Absan mioklonik
c. Simptomatik
i. Etiologi non spesifik
- Enselofati mioklonik dini
- Eselofati infantile dini dengan brust suppression
- Epilepsy simptomatik lainnya
ii. Etiologi spesifik
- Bangkitan epilepsy komplikasi penyakit
29
III. Epilepsy dan syndrome yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsy mioklonik berat pada bayi
- Epilepsy spike wave selama tidur dalam
- Epilespi afasia
- Epilepsy tidak terklasifikasikan
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
IV. Sindrom khusus
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/ status epileptikus hanya sekali (Isolated)
c. Bangkitan hanya pada kejadian Metabolik akut, atau toksis,alcohol,
obat-obatan, eklampsia, hiperglikemia non ketotik.
d. Bangkitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)
G. PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan
baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi
kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan
bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme
pengaturan ini adalah :
- Glutamat, yang merupakan neurotransmitter eksitatori otak
30
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida.Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di
area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang
disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok
kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh
neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut
terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Gambar 10. Patofisiologi Epilepsi
31
H. FAKTOR PENCETUS
Adapun berbagai faktor yang dapat mencetuskan timbulnya epilepsi, antara
lain :
1. Kurang tidur
Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan
serangan
2. Stres emosional
Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan.
3. Infeksi
Infeksi biasanya disertai demam. Dan demam inilah yang merupakan pencetus
serangan karena demam dapat mencetuskan terjadinya perubahan kimiawi dalam
otak, sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang dapat menimbulkan serangan.
4. Obat-obat tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti penggunaan obat-obat anti
depresan trisiklik, obat tidur (sedative) atau fenotiasin. Begitu pula menghentikan
obat penenang mendadak seperti barbiturate da valium dapat mencetuskan kejang.
5. Alkohol
Alcohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinyaserangan. Biasanya
peminum alcohol juga mengalami kekurangan tidur sehingga memperburuk
keadaan.
6. Perubahan hormonal
Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormone (berupa peningkatan
kadar estrogen) dan stress, dan hal ini diduga merupakan pencetus
terjadinya serangan.
32
7. Terlalu lelah
Terlalu lelah atau stress fisik dapat menimbulkan hiperventilasi dimana terjadi
peningkatan kadar CO2 dalam darah yang mengakibatkan terjadinya penciutan
pembuluh darah otak yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.
8. Fotosensitif
Ada beberapa dari penderita epilepsi yang sensitive terhadap kerlipan/ kilatan
sinar pada kisaran 10-15 Hz. Hal itu ditemukan pada tempat diskotik ataupun pada
pesawat televisi.
I. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis. Akan tetapi pada
beberapa kasus epilepsy ditemukan beberapa pertanda pada kejang epilepsy antara
lain:
Gejala yang dialami penderita sebelum kejang. Ditemukannya aura,
takikardia, pusing ringan, mengencangkan dada, dan beberapa mengalami
gerakan lambat sebelum kejang.
Gejala pada saat kejang. Gejala yang dialami oleh seseorang selama kejang
tergantung di mana di otak gangguan dalam aktivitas listrik terjadi. Sebagian
gejala saat kejang yaitu dapat ditemukan deficit kognisi antara lain: probelma
persepsi, antensi, emosi, praxis, atau bicara. Disitorsi memori dapat bersifat
negative seperti gangguan formasi dan pengulangan memori dan dapat pula
bersifat positif seperti déjà vu. Dan juga status memori perludipertimbangkan,
karena terkadang pasien merasa takut, rasapuas, cemas, gembira, dan sedih
yang tidak dapat diterangkan dengan sensasi primer.
33
Gejala setelah kejang. Pada fase ini, keadaan otak sudah mulai pulih. Dapat
ditemukan gejala kerugian sementara memori, biasanya memori jangka
pendek.
Sedangkan untuk gejala klinisnya sendiri, sebaiknya dicari tentang deskripsi
kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejalanya. (Prof. Chandra,
1994)
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah
yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas
luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah
ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin
dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena
pemberian fenobarbital jangka lama.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papil edema mungkin
dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas.
34
Adanya nistagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
obat anti epilepsi seperti karbamazepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil
mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Mioklonus yang makin
memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis
ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis.
2. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik
ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum
elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” ,
kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat
berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya “ drug abuse”.
3. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan
stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan
laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut :
a. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
35
mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
b. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
c. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan
keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-
orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat
digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
36
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus
pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
4. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,
atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan
terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%
dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi
(Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).
5. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak
Indikasi CT Scan kepala adalah:
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
37
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding
dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan.
Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan
minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan sagital.
K. PENATALAKSANAAN
1. Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa
upaya antara lain : menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan,
mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian,
dan mencegah timbulnya efek samping OAE. Dalam mengobati epilepsi kita
harus memperhatikan bahwa selain pengobatan medisional, harus juga
memberikan bimbingan psikis pada penderita.
38
Yang penting dalam memberikan obat antiepilepsi adalah mempertimbangkan
antara lain :
Efek samping
Tipe Kejang
Umur
Latar belakang
Pengobatan epilepsi baiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu setelah
penderita mengalami satu serangan. Dan karena pengobatan epilepsi merupakan
pengobatan jangka panjang maka sebaiknya diberi pengarahan yang jelas dan
praktis.
2. Prinsip Terapi Farmakologi
Pemberian OAE menurunkan risiko separuh kekambuhan. Pengobatan dini
dengan OAE mengubah prognosis epilepsi. Prognostik epilepsi diprediksi dengan
banyaknya bangkitan dalam 6 bulan pertama sesudah diagnose ditegakkan dan
respon terhadap OAE pertama. OAE dapat langsung diberikan sesudah serangan
pertama bangkitan dalam keadaan berikut :
a. Pasien telah mengalami serangan myoclonic
b. Absan atau bangkitan parsial sebelumnya
c. Congenital neurogical deficit
d. Pasien takut risiko kekambuhan
Keputusan pemberian OAE bila :
Diagnosis epilepsi telah dipastikan
Setelah pasien dan atau keluarganya telah menerima penjelasan tentang
tujuan pengobatan.
Pasien dan atau keluarganya setuju dengan jenis dan dosis OAE.
39
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis epilepsi. Monoterapi mempunyai keuntungan efektif, sederhana,
kurang toksisitas, kemungkinan interaksi OAE sedikit dan murah. Pengobatan
epilepsy dimulai dengan dosis rendah, kemudian tingkatkan dosis secara perlahan-
lahan. Dosis baru boleh dinaikkan bila kadar obat di serum stabil. Umumnya
kadar obat baru stabil setelah 5 kali waktu paruh obat tersebut. Obat–obat utama
untuk epilepsi yang ada di Indonesia antara lain Phenytoin (Dilantin),
Carbamazepine (Tegretol), Valproate (Depakote). Pemilihan obat bergantung dari
jenis seizurenya, selain pertimbangan-pertimbangan lain:
a) Grand Mal
Drug of Choice adalah Difenilhidantoin. Hal ini karena obat tersebut
efektif, murah, dan mempunyai efek samping minimal. Kecuali untuk wanita
hamil tidak dianjurkan. Dosis 3 x 100 mg (dewasa), dimulai dengan 3 x 60
mg, kemudian setiap 5 hari dosis ditingkatkan. Bila penggunaan
Difenilhidantoin tidak menolong, maka dianjurkan pemakaian Karbamazepin
atau sodium valproat. Bila penggunaan obat tersebut masih refrakter maka
ditambah dengan Flunarizin.
b) Epilepsi Parsial
Drug of Choice adalah Karbamazepine. Dosis 3 x 200 mg (dewasa),
dimulai dengan 3 x 100 mg. Bila Karbamazepin tidak menolong maka
dianjurkan untuk menggunakan Difenilhidantoin atau sodium valproat. Bila
masih belum menolong maka digunakan Flunarizin. Efek samping dari
penggunaan Karbamazepin yang paling ditakuti adalah terjadinya
Sindroma Steven Johnson.
40
c) Mioklonik atau Petit mal
Drug of Choice adalah Sodium Valproat, karena hingga sekarang
Ektosuksimid sulit didapatkan di Indonesia. Dosis 3 x 300 mg (4 x 300mg),
dimulai dengan 3 x 100mg. Bila masih belum menolong maka dianjurkan
untuk menggunakan Klonazepam. Hati-hati pada penggunaan Valproat karena
mempunyai sifat hepatotoksik, terutamabila digunakan kepada anak-anak yang
berusia kurang dari 2 tahun.
Penghentian obat merupakan suatu keputusan yang sulit,karena :
Dapat terjadi relaps terutama pada bangkitan parsial dan secondary
generalized seizures.
Ulangan (relaps) kejang setelah obat dihentikan sering terjadi bila terdapat
suatu kelainan neurologis atau psikiatris, atau bila terdapat kelainan dari
struktur otak (tumor).
41
Karena itu penghentian obat dilakukan secara perlahan bila :
a. Bebas bangkitan selama tiga tahun.
b. Menderita kejang umum primer.
c. Tidak ada kelainan neurologis psikiatris
d. Waktu datang untuk berobat belum lama menderita kejang.
e. EEG normal.
Bila faktor-faktor ini tidak dipenuhi maka sebaiknya obat dihentikan setelah 4-
5 tahun bebas kejang. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar
kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut :
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin tinggi
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG yang abnormal
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita. Epilepsi mioklonik
pada anak adalah yang paling sering kambuh.
Mendapat terapi lebih dari 10 tahun
L. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari :
1. Bentuk epilepsi : Epilepsi mioklonik lebih sulit untuk diobati.
2. Umur penderita : Kejang yang mulai pada neonatus prognosis lebih jelek.
3. Kelainan Neurologis, prognosis lebih jelek.
4. Adanya penyakit hepar, prognosis lebih jelek
42
BAB III
PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan data bahwa pasien kejang pertama 2 tahun yang lalu.
Pasien sering mendapat serangan saat beraktivitas, kejang seluruh tubuh, saat kejang pasien
tidak sadar, badan kaku dan bergetar, mata terbuka melotot, keluar air liur yang terkadang
sedikit bercampur darah, setelah kejang pasien merasa lemas, kadang timbul nyeri kepala dan
tampak seperti orang bingung serta mengantuk. Dalam 2 tahun terakhir pasien mengalami
kejang dengan frekuensi ± 2 bulan sekali dan tidak berulang. Durasi kejang pasien selama 30-
60 menit. Satu hari sebelum periksa ke poli saraf pada tanggal 17 Maret 2013 pasien
mengalami kejang sebanyak > 10 kali, dengan durasi 30-60 menit, dan diikuti fase istirahat
selama ± 20 menit. Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Salatiga bersama keluarga dengan
keluhan utama kejang. Saat dibawa ke poli pasien dalam keadaan bingung dan gelisah. Sejak
2 tahun pasien mengalami kejang pasien tidak pernah berobat rutin. Pasien pernah menjalani
operasi ORIF 10 bulan yang lalu setelah mengalami fraktur femur sinistra. Di keluarga pasien
tidak ada yang mengalami penyakit serupa.
Dari pemeriksaan fisik, untuk tanda-tanda vital pasien semua dalam batas normal.
Hanya saja pasien dalam keadaan gelisah, yang disertai gangguan orientasi dan daya ingat.
Dari pemeriksaan status neurologis dan status internus dalam batas normal. Reflek fisiologis
pasien positif dan reflek patologis pasien negatif.
Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis yang didapatkan yaitu pasien
mengalami kejang berulang sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengalami kejang seluruh tubuh
selama 30-60 menit tanpa disertai adanya meningeal sign serta demam. Pasien mengalami
riwayat trauma (tabrak lari) hingga pasien mengalami benturan serta fraktur femur sinistra
43
dan menjalani operasi ORIF. Dari hasil CT Scan didapatkan gambaran SNH di daerah
capsula interna crus anterior Dx dan genu, dan capsula interna crus genu dan posterior Sn.
Pada pasien ini diberikan terapi beberapa obat yaitu :
a. Fenitoin
Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya
pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang.
Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan
fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang
disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di
mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk
penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas
maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-
klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22
jam (antara 7-42 jam). Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang
tonik-klonik(grand mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”. Kontra indikasi
pada pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin
lain.
b. Citicoline
Mekanisme kerja pada level neuronal meningkatkan pembentukan colin dan
menghambat pengrusakan fosfatidil –colin ( menghambat fosfolipase),
meningkatkan ambilan glukosa, menurunkan pembentukan asam laktat,
mempercepat pembentukan asetil kolin , dan menghambatat radikalisasi asam lemak
dalam keadaan iskemia. Meningkatkan biosintesis dan mencegah hidrolisis
kardiolipin, memelihara asam arakidonat terikat pada fosfatidil colin, merangsang
pembentukan glutation yang merupakan antioksidan dan endogen otak terhadap
44
radikal bebas hidrogen dan lipid peroksida, mengurangi peroksidasi lipid, serta
mengembalikan aktivitas Na+ K+ ATPase.
c. Manitol
Menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema serebral,
meningkatkan diuresis pada pencegahan dan/atau pengobatan oliguria yang
disebabkan gagal ginjal, menurunkan tekanan intraokular, meningkatkan ekskresi
uriner senyawa toksik, sebagai larutan irigasi genitouriner pada operasi prostat atau
operasi transuretral. Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non
hemoragik dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke.
Pemberian manitol direkomendasikan tidak boleh lebih dari 5 hari.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahrudin M, Dasar-Dasar Neurologi, Malang, 2008.
2. Chandra B, Neurologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Unair,Surabaya, 1994
3. Ginsberg L., 2007 Lecture Notes Neurology, Erlangga Medical Series
4. Mardjono M,Prof,Dr dan Sidharta dan Sidharta Priguna, Prof, Dr .Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta, 2009
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996, Gadjah Mada University Press
6. Gejala Kejang Epilepsi. 6 Februari 2012.
http://www.news-medical.net/health/Epileptic-Seizure-Symptoms(28Indonesian).aspx
46