51
PRESENTASI KASUS HALAMAN SAMPUL TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON) Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Syaraf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Disusun Oleh Tegar Jati Kusuma 20100310220 Diajukan Kepada : dr. Kurdi Sp.S BAGIAN ILMU SYARAF

Presus TON

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TON

Citation preview

Page 1: Presus TON

PRESENTASI KASUS

HALAMAN SAMPUL

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Syaraf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh

Tegar Jati Kusuma 20100310220

Diajukan Kepada :

dr. Kurdi Sp.S

BAGIAN ILMU SYARAF

RSUD SETJONEGORO WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

Page 2: Presus TON

HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY (TON)

Disusun Oleh:

Tegar Jati Kusuma 20100310220

Disetujui oleh:

Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Syaraf

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Kurdi Sp. S

ii

Page 3: Presus TON

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

BAB I RANGKUMAN KASUS 1

A. Identitas Pasien 1

B. Anamnesis 1

C. Pemeriksaan Fisik 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

A. TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY 8

B. VERTIGO 19

C. EPIDURAL HEMATOMA 24

BAB III PEMBAHASAN 29

BAB IV KESIMPULAN 31

DAFTAR PUSTAKA 32

iii

Page 4: Presus TON

BAB I

RANGKUMAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Bapak M.

Usia : 31 tahun

Alamat : Mekarsari 12/3 Kalibeber Mojotengah

Pekerjaan : Buruh

No. CM : 638161

B. Anamnesis

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengalami kecelakaan 11 hari SMRS. Pasien terluka pada bagian

pelipis kiri dan mendapat perawatan jahit luka. Saat kejadian pasien tidak

sadar selama +14 jam. Saat itu pasien dirawat di RSUP Semarang. Saat

sadar pasien mengeluh pusing berputar dan pandangan mata kirinya kabur.

Pasien menolak dilakukan operasi.

Sekarang pasien datang dengan keluhan kepala pusing berputar dan

pandangan mata kiri yang belum membaik. Keluhan dirasa saat berubah

posisi dari tidur ke berdiri atau posisi miring. Keluhan berkurang jika

pasien tiduran. Pasien tidak mual, tidak muntah, tidak sesak, tidak nyeri

perut, dan tidak mengalami kelemahan anggota gerak. BAB dan BAK

tidak ada keluhan.

1

Page 5: Presus TON

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Kejang (-), penglihatan kabur (-), vertigo (-), trauma (-), hipertensi (-), DM

(-)

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Kejang (-), penglihatan kabur (-), vertigo (-), trauma (-), hipertensi (-), DM

(-)

4. Riwayat Sosial

Pasien memiliki riwayat merokok namun saat sakit pasien tidak merokok

lagi. Semenjak sakit pasien tinggal dengan ibu dan saudara kandungnya.

5. Anamnesis Sistem

Sistem Cerebrospinal : pusing berputar

Sistem Indra : pandangan mata kiri kabur

Sistem Cardiovaskuler : tak ada keluhan

Sistem Respirasi : taka da keluhan

Sistem Pencernaan : tak ada keluhan

Sistem Urogenital : taka da keluhan

Sistem Integumentum : luka pada pelipis kiri

Sistem Muskuloskeletal : taka da keluhan

C. Pemeriksaan Fisik

a) Pemeriksaan Generalisata

1. Kesadaran : kompos mentis

2. GCS : E4V5M6

3. Orientasi : Waktu, tempat, situasi, orang baik

4. Memori : Jangka panjang dan pendek baik

5. Kemampuan bicara : normal

6. Intelegensi : baik

2

Page 6: Presus TON

7. Vital Sign

a) TD : 110/70 mmHg

b) HR : 92x/menit, regular, isi tegangan cukup.

c) RR : 24x/menit

d) Suhu : 37ºC

8. Kulit : warna sawo matang, kelembaban baik

9. Kepala : simetris, rambut hitam.

10. Mata : reflek cahaya (+/-), pupil isokor (3mm/3mm),

konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

oedema palpebra (-/-)

11. Hidung : bentuk normal, sekret (-/-)

12. Telinga : sekret (-/-)

13. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor (-), uvula di

tengah, tonsil T0 –T0 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

14. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar, kaku kuduk (-)

15. Thorax : retraksi (-)

16. Pulmo : I = pengembangan dada kanan sama dengan kiri

P = fremitus raba dada kanan sama dengan kiri

P = sonor/sonor

A = Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)

17. Cor : I = ictus cordis tampak di SIC V Linea midclavicularis sinistra

P = ictus cordis kuat angkat

P = batas jantung kesan tidak melebar

A = Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

18. Abdomen : I = dinding perut sejajar dinding dada

A = bising usus (+) normal

P = timpani

P = supel, nyeri tekan (-) pada regio epigastrica, hepar

permukaan licin, sudut lancip, konsistensi lunak, ukuran

tidak membesar, lien tidak teraba.

3

Page 7: Presus TON

19. Ekstremitas:

akral dingin edema Kekuatan otot

555 555

555 555

Tonus di keempat ekstremitas normal

Tidak ada clonus

Trofi di keempat ekstremitas normal

Reflek fisiologis normal

Reflek patologis negatif

b) Pemeriksaan neurologis

1. Nervus Cranialis

Nervus I Tidak keluhan penciuman

Nervus II a) Ketajaman penglihatan OD normal, OS menurun

b) Reflek cahaya langsung (+/-)

c) Pengenalan warna OD normal OS sulit membedakan

kuning dan hijau

d) Konfrontasi normal

e) Funduskopi tidak dilakukan

Nervus III a) Ptosis mata kiri

b) Gerak mata medial, atas, bawah OD dan OS normal

c) Ukuran pupil isokor 3mm/3mm

d) Reflek cahaya konsensual (+/-)

Nervus IV a) Gerak mata lateral bawah OD dan OS normal

b) Strabismus (-) diplopia (-)

Nervus V Normal

Nervus VI Gerak mata ke lateral OD dan OS normal

Nervus VII Normal

Nervus VIII Normal

4

Page 8: Presus TON

Nervus IX Normal

Nervus X Normal

Nervus XI Normal

Nervus XII Normal

c) Pemeriksaan Penunjang

1. Laboraterium

Tak ada kelainan

2. Foto Cranium

Tampak fraktur linier di orbita sinistra

3. CT Scan

Gambaran hipodens bentuk bikonveks di orbita sinistra

d) Resume

Anamnesis

Pasien laki-laki berumur 31 tahun mengeluh pusing berputar dan

penglihatan mata kiri kabur paska kecelakaan 11 hari SMRS. Keluhan lain

tidak ada.

Pemeriksaan Fisik

Didapatkan bekas luka pada pelipis kiri dan gangguan pada N.II kiri

e) Diagnosis

Diagnosis Klinis

- Vertigo

- Penurunan fungsi visual mata kiri

Diagnosis Etiologi

- Epidural Hematoma

Diagnosis Topik

- Lesi pada N.II sinistra

5

Page 9: Presus TON

f) Usulan Terapi

Infus RL 20tpm

Inj. Dexamethasone 5mg/intravena/12jam (diberikan saat cedera kepala

fase akut)

Inf. Manitol 20% 16tpm/1fl/24jam (diberikan saat cedera kepala fase akut)

Benzodiazepine 2mg tablet/oral/12jam

Fluoxetin 10mg tablet/oral/24jam malam

Betahistine Mesilat 8mg tablet/oral/8jam

Diet nasi 3x sehari

Observasi

Tindakan bedah tidak dilakukan karena klinis pasien masih baik dan

hematom berukuran kecil

Neuroprotektan tidak diberikan karena tidak ada protap pemberian

neuroprotektan pada EDH

g) Prognosis

- Sebanyak 50% pasien mengalami perbaikan visiual meskipun minimum, namun 50%

sisanya tidak mengalami perbaikan.

- Pada trauma tidak langsung memiliki prognosis yang lebih tinggi (20-57%) mengalami

perbaikan meskipun minimum

- 85% pasien dengan fraktur orbitae memiliki cedera canalis optikus dan nervus optikus

sehingga morbiditas lebih tinggi.

- Pemberian terapi steroid memberikan hasil perbaikan fungsi penglihatan yang sama

dengan pasien tanpa terapi steroid (observasi)

Secara umum cedera langsung memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan

dengan cedera tidak langsung saraf optik. Berdasarkan studi, ada 3 variabel yang dianggap

sebagai faktor prognosis yang buruk untuk perbaikan fungsivisual, antara lain :

1. Adanya darah dalam rongga ethmoid posterior

2. Usia diatas 40 tahun

6

Page 10: Presus TON

3. Kehilangan kesadaran diikuti dengan TON

Selain itu, fraktur orbita posterior menyebabkan penglihatan yang lebih

buruk dibandingkan dengan fraktur anterior. Pasien dengan tidak adanya persepsi terhadap cahaya

kemungkinan besar tidak akan terjadi perbaikan dalam kemampuan melihat.

7

Page 11: Presus TON

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY

Definisi

Traumatic Optic Neuropathy (TON) merupakan suatu bentuk neuropati

optikus oleh adanya kerusakan pada saraf optik yang menyebabkan kerusakan

pada fungsi visual diikuti dengan defek pupil aferen relative (Marcus-Gunn

pupil).1

Fisiologi penglihatan

Saraf optik merupakan indera khusus untuk penglihatan.Cahaya dideteksi

oleh sel-sel batang dan kerucut di retina, yang dapat dianggap sebagai end-organ

sensorik khusus untuk penglihatan.Badan sel dari reseptor-reseptor ini

mengeluarkan tonjolan (prosesus) yang bersinaps dengan sel bipolar, neuron

kedua di jalur penglihatan.Sel-sel bipolar kemudian bersinaps dengan sel-sel

ganglion retina.Akson-akson sel ganglion membentuk lapisan serat saraf pada

retina dan menyatu membentuk saraf optikus.Saraf keluar dari bagian belakang

bola mata dan berjalan ke posterior di dalam kerucut otot untuk masuk ke dalam

rongga tengkorak melalui kanal optik.

Di dalam tengkorak, dua saraf optikus menyatu membentuk kiasma

optikum. Di kiasma, lebih dari separuh serat mengalami dekusasio dan menyatu

dengan serat-serat temporal yang tidak menyilang dari saraf optikus sisi lain untuk

membentuk traktus optikus. Masing-masing traktus optikus berjalan ke nukleus

8

Page 12: Presus TON

genikulatum lateral.Dengan demikian, semua serat yang menerima impuls dari

separuh kanan lapang pandang masing-masing mata membentuk traktus optikus

kiri dan berproyeksi ke hemisfer serebrum kiri dan separuh kiri lapang pandang

berproyeksi ke hemisfer serebrum kanan.Dua puluh persen serat di traktus

melayani fungsi pupil. Serat-serat ini menuju ke nukleus pretektalis otak tengah,

sementara serat lainnya bersinaps di nukleus genikulatum lateral membentuk

traktus genikulo-kalkarina. Traktus ini berjalan melalui tungkai posterior kapsula

interna dan kemudian menyebar ke dalam radiasi optikus yang melintasi lobus

temporalis dan parietalis dalam perjalanan ke korteks oksipitalis (korteks

kalkarina).2

Gambar 2.2. Jaras Penglihatan3

9

Page 13: Presus TON

Etiologi

TON dikaitkan dengan kecelakaan dengan momentum tinggi dan trauma

wajah.Kecelakaan sepeda motor, kekerasan, luka tumpul, luka tusuk, luka tembak,

dan pembedahan endoskopi sinus merupakan penyebab TON.Luka tumpul

umumnya terjadi akibat deselerasi cedera pada region antefrontal

kepala.Keparahan trauma tidak selalu terkait dengan derajat penurunan

penglihatan.1

Klasifikasi

Cedera saraf optik dapat diklasifikasikan menjadi cedera langsung dan

tidak langsung berdasarkan jenis cedera.

a. Cedera Tidak Langsung Saraf Optik

Cedera tidak langsung terjadi pada trauma tertutup pada kepala,

menyebabkan timbulnya tekanan yang kemudian menekan saraf optik.Pada

pemeriksaan, tidak terdapat perubahan cepat pada pemeriksaan fundus.Diskus

optik dapat normal hingga 3-5 minggu setelahnya dan berubah pucat seiring

atrofi diskus terjadi.1,5

b. Cedera Langsung Saraf Optik

Cedera langsung saraf optik terjadi akibat dari avulsi saraf atau akibat adanya

penetrasi pada orbita, penetrasi fragmen tulang dan mengenai saraf optik

menyebabkan neuropati optikus parsial atau komplit pada pembungkus saraf

optikus.Perdarahan didalam dan sekitar saraf optik juga dapat terjadi.7,8

10

Page 14: Presus TON

Tidak seperti cedera tidak langsung, cedera langsung menyebabkan

perubahan segera pada fundus yang merangsang oklusi arteri retina sentralis,

oklusi vena retina sentralis atau iskemia anterior neuropati optik.1,9

Patofisiologi

TON terjadi secara multifaktorial, beberapa penelitian menyimpulkan

adanya mekanisme primer dan sekunder dari cedera yang terjadi.Cedera langsung

terjadi pada trauma tajam, fraktur orbita dengan fraktur midfasial. Cedera tidak

langsung umumnya disebabkan oleh adanya gaya tekanan pada cedera kepala

yang ditransmisikan hingga ke saraf optik. Baik cedera langsung maupun tidak

langsung menyebabkan kerusakan mekanis ataupun iskemia pada saraf

optik.Terkadang cedera okuli sangat kecil hingga tidak terlihat adanya penyebab

eksternal.Edema pada rongga tertutup, nekrosis akibat kontusio, robekan serabut

saraf, dan infark oleh karena thrombus dan spasme berpotensial menyebabkan

cedera saraf optik.3,9

a. Primer

Mekanisme primer menyebabkan kerusakan permanen pada akson saraf optik

pada saat terjadinya cedera.Kontusio pada akson saraf optik menyebabkan

iskemia dan edema lokal saraf optik, selanjutnya menyebabkan kompresi

neural dalam rongga kanal optik.Abnormalitas axon fokal terangsang, dengan

karakteristik gangguan transpor aksonal, hingga terjadi apoptosis sel. Robekan

pada mikrovaskular dan cedera akson menyebabkan terjadinya perdarahan

dalam saraf optik dan pembungkusnya.1,6,8

11

Page 15: Presus TON

b. Sekunder

Mekanisme sekunder menyebabkan pembengkakan saraf optik setelah terjadi

cedera akut.Gangguan homeostasis selular disekitar area kerusakan saraf optik

yang ireversibel, melalui mekanisme yang berbeda namun saling berhubungan

yang menyebabkan kerusakan akson.Meskipun nantinya pembengkakan atau

kontusio pada saraf dapat membaik, kerusakan pada akson merupakan kerusakan

permanen.1,1

Mekanisme ini antara lain :

1. Iskemia dan cedera reperfusi - iskemia parsial oleh karena berkurangnya

aliran darah. Tetapi reperfusi pada area iskemik transien menyebabkan

peroksidasi lipid membran sel dan pelepasan radikal bebas yang

menyebabkan kerusakan jaringan.

2. Bradikinin : diaktivasi setelah terjadinya trauma, dan menyebabkan

pelepasan asam arakhidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan

dari metabolisme asam arakhidonat, radikal bebas dan lipid peroksidase

menyebabkan edema pada kanal optik.

3. Ion kalsium : setelah terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium masuk ke

intraselular. Meningkatnya konsentrasi kalsium intrasel berperan menjadi

toksin metabolik dan menyebabkan kematian sel.

4. Proses inflamasi : sel polimorfonuklear (PMN) banyak pada 2 hari

pertama setelah trauma, kemudian digantikan oleh makrofag dalam 5-7

12

Page 16: Presus TON

hari. PMN menyebabkan kerusakan yang cepat, sementara makrofag

menunda kerusakan jaringan, demielinasi dan gliosis.1,3,8

Gambaran Klinis

TON posterior terkadang sulit dinilai terutama pada pasien dengan cedera

multipel, terutama pada pasien tidak sadarkan diri.Pemeriksaan teliti harus

dilakukan secepat mungkin, kemungkinan hanya diperoleh defek aferen pupil

pada pemeriksaan. Defisit penglihatan bervariasi dari penglihatan normal dengan

defek lapangan pandang hingga kehilangan total terhadap persepsi cahaya.3

Diagnosis

Diagnosis TON berdasarkan klinis, dengan adanya trauma kepala dan

wajah yang menyebabkan gangguan penglihatan. Pasien mengalami kehilangan

penglihatan yang mendadak, berat, dan unilateral. Kondisi ini dapat

bermanifestasi segera atau dalam hitungan jam hingga hari setelah trauma.

Riwayat penyakit perlu ditanyakan apakah adanya defisit penglihatan sebelum

trauma, riwayat penyakit sebelumnya, obat-obatan dan alergi obat.1,2

Pemeriksaan Klinis

Pada situasi akut, dimana pasien dalam keadaan tidak sadar dan

penilaian ketajaman penglihatan tidak dapat dilakukan, penegakan diagnosis

TON dapat terhambat. Pada pasien sadar, dapat dilakukan berbagai tes untuk

membantu penegakan diagnosis , antara lain:

13

Page 17: Presus TON

1. Ketajaman penglihatan. Diperiksa dengan menggunakan Snellen's chart

atau kartu baca jarak dekat. Angka kejadian tidak respon cahaya bervariasi

tergantung pada kejadian trauma. Harus diingat bahwa kurang dari 10%

kasus terjadi penurunan penglihatan akibat cedera saraf optik sekunder.

Bagaimanapun tajam penglihatan harus dinilai kembali setelah 24 jam.

2. Relative afferent pupillary defect (RAPD) :dinilai dengan swinging

flashlight test. Cahaya yang masuk ke mata normal akan merangsang pupil

konstriksi dan juga merangsang pupil mata lain ikut berkonstriksi. Terjadi

penurunan stimulasi pupilomotor yang mencapai batang otak ketika

cahaya masuk ke mata pada cedera saraf optik dibandingkan pada bagian

yang tidak cedera, sehingga respon pupil menurun. RAPD tidak ada pada

TON bilateral.

3. Penglihatan warna. Pasien dimintauntuk melihat objek berwarna merah

dengan sebelah mata. Objek akan dipersepsikan berwarna hitam, coklat,

atau merah buram pada mata yang cedera.

4. Lapangan pandang. Meskipun tidak ada tanda patognomonic defek

lapangan pandang dalam mendiagnosa trauma saraf optik, lapangan

pandang harus dinilai pada pasien sadar dan kooperatif sebagai informasi

kemungkinan lokasi kerusakan saraf optik.

5. Optalmoskopi. Optalmoskopi dilakukan dengan bantuan agen midriatik

kerja pendek pada semua pasien stabil. Evaluasi sirkulasi retinal dan

koroidal, morfologi saraf optik. Adanya perdarahan berbentuk cincin

didekat kepala saraf optik menunjukkan adanya avulsi parsial atau komplit

14

Page 18: Presus TON

saraf optik. Neuropati optik anterior menyebabkan gangguan sirkulasi

berakibat obstruksi arteri dan vena dan pembengkakan diskus optikus.

Atrofi optik pada trauma kepala akut dengan neuropati optikus

menunjukkan gangguan saraf optik sudah ada sebelum trauma. Kerusakan

pada saraf optik distal pada orbita, kanal optik, atau rongga intrakranial

tidak menunjukkan perubahan tampilan selama 3-5 minggu

6. Adneksa okuli. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur tepi atau dinding

orbita, edema orbita, proptosis atau enopthalmus, atau disfungsi otot ekstra

okuli.

7. Tekanan intraokuli. Tonometri harus dilakukan pada orbita yang intak.

Peningkatan tekanan intraokuli dapat bersamaan pada hematom orbital,

perdarahan orbital, emfisema orbital, atau edema jaringan lunak.1,8

Pemeriksaan Penunjang

1. Visual evoked potential (VEP)

Karena sulitnya penilaian neuro-oftalmologi pada fungsi jaras

visual pada pasien cedera berat atau selama rekonstruksi

kraniomaksilofasial, VEP dan elektroretinogram (ERG) diyakini sebagai

metode elektrofisiologis untuk mengumpulkan informasi apakah fungsi

penglihatan intak ataupun patologis.VEP juga digunakan sebagai alat

diagnostik pada pasien yang diduga cedera saraf optik bilateral.

Evaluasi elektrofisiologi dengan multiplanar CT penting pada

identifikasi segera pada trauma saraf optik.Hasil evaluasi memberikan

15

Page 19: Presus TON

informasi apakah dibutuhkan intervensi bedah dan/atau terapi konservatif

untuk mencegah kerusakan sekunder saraf optik.1

2. Imaging

Pada pasien politrauma dengan penurunan kesadaran, CT scan

dengan eksplorasi klinis merupakan metode penting untuk menilai TON

pada keadaan darurat yang akut. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan

tanda patologi saraf optik, berupa hematoma pembungkus saraf optik,

fraktur pada greater atau lesser wing sphenoid, hematoma superiosteal,

perdarahan hingga apeks orbital, sinus ethmoid dam sphenoid, dan

pneumoencephalus.1,3

Penatalaksanaan

Berbagai kontroversial muncul dalam penanganan TON.Sebagian besar

penanganan pada TON meliputi observasi, steroid dan dekompresi bedah.

1. Medikamentosa.

Selama beberapa decade, kortokosteroid diyakini dapat menstabilisasi

membran lipid, mengurangi spasme, meningkatkan pemasokan darah, dan

mengurangi edema jaringan neural dan nekrosis. Penanganan medikamentosa

TON dengan steroid mega-dose dilakukan oleh National Acute Spinal Cord Injury

StudyII (NASCIS II) yang dievaluasi pada pasien cedera tulang belakang akut.

Pada studi ini, pasien diterapi dengan plasebo, metilprednisolone, atau

naloxone.Secara farmakologis, terapi metilprednisolone dosis besar atau

16

Page 20: Presus TON

megadosis terkait dalam stabilisasi sirkulasi mikrovaskular dan homeostasis

kalsium.

Pada kasus TON dimana tidak terdapat kontraindikasi pemberian

kortikosteroid, dosis awal metilprednisolone diberikan sebanyak 30mg/kg/IV,

dilanjutkan 15mg/kgBB pada 2 jam kemudia, dan 15 mg/kgBB setiap 6 jam. Jika

terdapat perbaikan visual, dosis steroid dilanjutkan hingga hari ke-5, kemudian

diturunkan secara cepat.Jika tidak terdapat perbaikan dalam 48-72 jam, pemberian

steroid langsung dihentikan tanpa penurunan dosis sebelumnya. Pemberian

kortikosteroid mega dosis dalam 8 jam pertama setelah cedera kemungkinan dapat

memperbaiki pembengkakan saraf optik.Apakah terapi metilprednisolone

memiliki efek yang samadibandingkan hanya observasi dalam penatalaksanaan

TON belum terbukti, dan keterlambatan penanganan terapi dan derajat kehilangan

penglihatan belum jelas terbukti mempengaruhi prognosis.1,3,6,9

2. Pembedahan

Dekompresi bedah optik kanal dan pembungkus saraf optik digunakan

sebagai terapi TON indirek.Tetapi tidak terdapat konsensus waktu optimum untuk

intervensi optimum.Peningkatan tekanan intrakanalikuli dapat menyebabkan

gangguan vaskular dengan iskemia hingga kebutaan, dan dekompresi saraf optik

secara teori membebaskan strangulasi dan memngembalikan fungsi saraf.Prosedur

ini ditambah dengan pemberian steroid untuk mengurangi inflamasi dan

edema.Berbagai metode bedah yang digunakan berupa kraniotomi trans nasalis,

17

Page 21: Presus TON

extra-nasal trans-ethmoidalis, trans-nasal trans-ethmoidalis, lateral fasial,

sublabial, dan endoskopi.1,9

18

Page 22: Presus TON

B. VERTIGO

Definisi

Vertigo adalah suatu istilah yang bersumber dari bahasa latin vertere

yang artinya memutar. Vertigo merupakan keluhan subyektif dalam bentuk rasa

berputar dari tubuh/kepala atau lingkungan disekitarnya. Vertigo dapat merupakan

gejala mandiri tanpa ada gejala lain tetapi dapat juga merupakan kumpulan gejala

(sindroma). Sindroma vertigo biasanya terdiri dari gejala vertigo, mual, muntah,

nistagmus dan unsteadiness (rasa goyah).12

Etiologi

Di tingkat pusat, iskemia vertebra-basiler merupakan penyebab yang

sering dari vertigo.Vertigo dapat juga disebabkan oleh lesi di serebelum dan lobus

temporalis.Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus dapat pula

menyebabkan lesi di nervus vestibularis. Berikut ini dikemukakan penyebab yang

sering dijumpai.13

Gangguan jenis perifer

Neuronitis vestibular

Vertigo posisional benigna

Mabuk kendaraan (motion sickness)

Trauma

Obat-obatan, misalnya streptomisin

Labirinitis

Penyakit Meniere

Tumor difossa posterior, misalnya neuroma akustik

Keadaan patologis yang merusak nervus akustikus, dapat pula menyebabkan

lesi di nervus vestibularis.

19

Page 23: Presus TON

Gangguan jenis sentral

Stroke atau iskemia batang otak (vertebra-basiler)

Migren basilar

Trauma

Perdarahan atau lesi di serebelum

Lesi lobus temporalis

Neoplasma

Lain-lain

1. Toksik (misalnya antikonvulsan fenitoin, sedatif)

2. Infeksi

3. Hipotiroidi

Patogenesis / patofisiologi

Secara umum vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan

tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen)

yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat (pusat

kesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan

vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan

impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik

dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan

nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.

Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor

vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi

paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang

paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik (Kovar M, 2006).14

20

Page 24: Presus TON

Pada Vertigo post trauma dapat terjadi akibat kerusakan telinga dalam,

N.VIII atau hubungan vertibular sentral atau adanya salah pilih antara input

sensoris yang dibutuhkan untuk keseimbangan yang sempurna. Mekanisme

vertigo post trauma kepala adalah trauma kepala penetrasi seperti luka tembak

yang merupakan penyebab utamanya, 40% mengenai tulang temporal dan pada

penderita yang hidup kerusakan labirin dan N. VIII menyebabkan kerusakan

permanen fungsi kohlea dan vertibular ; fraktur tulang tempora peka terhadap

trauma karena ia padat terletak pada dasar tengkorak dan mengandung rongga

labyrin; komosio labyrin yaitu perdarahan mikroskopis kohlea dan labyrin, terjadi

paling sering sesudah trauma oksipital; komosio serebri dimana vertigo

disebabkan perubahan otak mikroskopis yang difus yang menyertai komosio

ringan, mekanisme paling sering kerusakan otak akibat trauma kepala tumpul

adalah gerakan dan deformitas otak pada waktu gerakan kepala yang cepat tiba-

tiba dihentikan, bagian viskoelastik otak menyebabkan ia tetap bergerak, dengan

rotasi di sekitar sumbu batang otak sehingga dapat menyebabkan keruskaan saraf

cranial, termasuk N.VIII; dan fistula perilympatik sebagai akibat rupture

membrane “oval or round window”.12

Diagnosis

Diagnosis vertigo sentral dan perifer ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

Pemeriksaan fisik terdiri dari nistagmus; pemeriksaan neurologis dengan

perhatian khusus pada: tes Romberg yang dipertajam, past-pointing test,

21

Page 25: Presus TON

maneuver nylen-barany atau dix-hallpike, tes kalori, saraf-saraf cranial, fungsi

saraf motorik dan sensorik.

Pemeriksaanpenunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium (darah

lengkap, profil lipid, asam urat, dan hemostatis), foto rontgen servikal,

neurofisiologi sesuai indikasi EEG (Elektroensefalografi), ENG

(Elektronistagmografi), EMG (Elektromigrafi) Brainstream Auditory Evoked

Potential dan audimetri, neuroimaging: CT-Scan, MRI, arteriografi.15

Pada vertigo post trauma (VPT) kebanyakan akibat trauma kepala,

trauma leher atau baro trauma. Sindroma VPT dapat berupa: vertigo posisional

benigna tipe paroksismal akibat trauma kepala ringan, vertigo akut akibat

komosio labyrin, sindroma neurologis yang berat akibat trauma kepala berat

dengan vertigo dan ataxia karena kerusakan batang otak dan serebelum, Gejala

trauma kepala tumpul tanpa fraktur sering didapat gangguan vestibular disertai

tuli persepsi bilateral akibat komosio labyrin. Ada 2 sindom labyrin yang

menonjol:

1) vertigo posisional benigna tipe paroksismal merupakan sindrom

terbanyak, penderita mengalami serangan vertigo dan nystagmus yang

mendadak, singkat yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala.

Prognosa baik tapi dapat kambuh selama beberapa tahun.

2) Vertigo post trauma akut akibat gangguan vestibuler perifer: onset

mendadak setelah trauma kepala dengan gejala vertigo mual muntah yang

akut dengan atau tanpa tuli persepsi. Prognosa baik dimana biasanya

vertigo menghilang spontan dalam beberapa hari dan sembuh total secara

22

Page 26: Presus TON

bertahap dalam beberapa minggu (1-3 bulan). Bila terdapat tuli persepsi

biasanya permanen.

Gangguan vestibuler perifer yang khas bila ditemukan nystagmus

vestibuler spontan ke arah telinga yang normal.12

Penatalaksanaan

Benzodiazepine (Diazepam)

Antiemetik

Vestibulosupressant

23

Page 27: Presus TON

C. EPIDURAL HEMATOMA

Definisi

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang

paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang

tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna

sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,

menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika

seorang mendapat benturan yang hebat dikepala kemungkinan akan terbentuk

suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau

robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dandura, ketika pembuluh

darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura

dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutanepidural

hematom.17 Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat

emergency dan biasanya  berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan

arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural

hematom berhubungan dengan robekan  pembuluh vena dan berlangsung

perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi padamiddle meningeal artery yang

terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk kedalam ruang epidural, bila

terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.19

Etiologi

Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,

beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya

24

Page 28: Presus TON

benturan padakepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat

trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan

laserasi pembuluh darah.18

Patofisiologi

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak

dan durameter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah

satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur

tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat  pula terjadi di daerah

frontal atau oksipital.18

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan  jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os

temporale.Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh

hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga

hematom bertambah besar.18 Hematoma yang membesar di daerah temporal

menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.

Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah

pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik

yang dapat dikenal oleh tim medis.17 Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi

arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan

hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga

(okulomotorius). Tekanan pada saraf inimengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis

kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortiko spinalis yang berjalan naik pada

25

Page 29: Presus TON

daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks

hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski  positif.17 Dengan makin

membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang

berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda

lanjut  peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan

gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.17 Karena perdarahan ini berasal

dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin

besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar

dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan

nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun.

Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi

kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera

primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma

cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma

primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri

dan tidak pernah mengalami fase sadar.18

Penatalaksanaan

Penanganan darurat

Dekompresi dengan trepanasi sederhana

Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi Medikamentosa

26

Page 30: Presus TON

Elevasi kepala 30º dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera

spinal atau gunakan  posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan

intracranial danmeningkakan drainase vena.18 Pengobatan yang lazim diberikan

pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg

kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari)

yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini

masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk

memberikan terapi  profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama)

untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka

panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana

(THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan

secarateoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk

mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan

inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari

anoksia dan iskemik dosis yang  biasa diterapkan adalah diawali dengan 10

mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3

jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum3-4mg%.18  

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat :

Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

Keadaan pasien memburuk

Pendorongan garis tengah > 3 mm Indikasi operasi di bidang bedah saraf

adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving .

27

Page 31: Presus TON

Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi

emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.18

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

>25 cc → desak ruang supra tentorial

>10 cc→ desak ruang infratentorial

>5 cc→ desak ruang thalamus.

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

Penurunan klinis

Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang  progresif.

Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunanklinis yang  progresif.

28

Page 32: Presus TON

BAB

III PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis Traumatic Optic Neuropathy ditegakkan

berdasarkan :

A. Anamnesis didapatkan :

1. Riwayat trauma tumpul pada kepala

2. Penglihatan kabur mendadak unilateral

3. Terdapat gangguan membedakan warna

4. Tidak ada riwayat penurunan penglihatan sebelumnya

5. Tidak ada riwayat hipertensi maupun diabetes sebelumnya

B. Pemeriksaan Fisik didapatkan

1. Gangguan nervus II (tajam penglihatan, gangguan melihat warna, reflek

cahaya direct (+/-))

2. Gangguan nervus III (ptosis dan reflek cahaya konsensual (+/-)

C. Pemeriksaan penunjang

Didapatkan gambaran radiologi fraktur pada orbita dan adanya lesi

hipodens bentuk bikonveks di orbita sinistra. Hal ini menunjukkan adanya

perdarahan epidural.

Bila berdasarkan kriteria diagnosis TON, pasien dapat didiagnosis dengan

TON berdasarkan penemuan klinis sebagai berikut :

1. Adanya riwayat trauma tumpul

2. Terdapat penurunan visus unilateral tiba-tiba dan berat

3. Terdapat gangguan membedakan warna karena adanya atrofi

nervus II

4. Bisa disertai gangguan gerak bola mata

5. Penurunan visus bukan disebabkan oleh komplikasi penyakit

sistemik seperti hipertensi atau diabetes mellitus

29

Page 33: Presus TON

Pada kasus ini, Penderita dimondokkan, karena adanya keluhan pusing

berputar yang mengganggu aktivitas. Pusing berputar dicurigai akibat adanya

rangsangan nervus VIII akibat trauma. Gangguan visual pada pasien ini

disebabkan oleh adanya gangguan pada nervus opticus maupun okulomotor akibat

trauma.

Terapi yang diberikan ialah observasi dan pemberiaan golongan

benzodiazepam, anti anxiety serta antihistamin. Penatalaksanaan vertigo pada

kasus ini ialah menggunakan diazepam, fluoxetin dan betahistin. Sedangkan

manajemen TON pada pasien ini ialah cukup diobservasi karena menurut

penelitian Steinsapir & Goldberg, 2011 menunjukkan tidak ada perbedaan yang

bermakna antara pemberian steroid sistemik dengan observasi pada fungsi visual

pasien TON. Steroid sistemik diduga meningkatkan morbiditas karena dosis yang

tinggi sehingga menimbulkan efek samping yang merugikan pasien. Perbaikan

fungsi visual dapat terjadi meskipun minimal meski tanpa pemberian steroid..

Prognosis gangguan visual pada pasien ini adalah dubia ad malam karena

adanya gangguan kesadaran saat trauma disertai adanya fraktur orbitae.

30

Page 34: Presus TON

BAB IV

KESIMPULAN

Traumatic Optic Neuropathy (TON) adalah kasus yang jarang terjadi.

Kejadian ini disebabkan oleh trauma tumpul yang secara langsung maupun tidak

langsung merusak saraf optikus maupun okulomotor. Pada pasien ini didiagnosis

TON karena :

1) Riwayat trauma tumpul pada kepala

2) Penglihatan kabur mendadak unilateral

3) Terdapat gangguan membedakan warna

4) Tidak ada riwayat penurunan penglihatan sebelumnya

5) Tidak ada riwayat hipertensi maupun diabetes sebelumnya

6) Gangguan nervus II (tajam penglihatan, gangguan melihat warna, reflek

cahaya direct (+/-))

7) Gangguan nervus III (ptosis dan reflek cahaya konsensual (+/-)

Terapi yang diberikan ialah observasi untuk TON dan pemberian

diazepam, anti anxiety serta anti histamin yang dimaksudkan untuk terapi vertigo.

Prognosis gangguan visual pada pasien ini ialah dubia ad malam.

31

Page 35: Presus TON

DAFTAR PUSTAKA

1. Tsai, et al. 2011. Neuro-Ophthalmology. In :Oxford American Handbook

of Ophthalmology. Oxford:University Press. P:514-521.

2. Awan, Ayyaz Hussain. 2007. Traumatic Optic Neuropathy. Available in:

[www.pjo.com.pk]. Accessed at September 25, 2012.

3. Remington, Lee Ann. 2005. Visual Pathway. In: Remington, Lee Ann.

Clinical Anatomy Of The Visual System, Second Edition. USA: Elsevier.

P:232-253.

4. Zoumalan, Christopher. 2012. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :

[http://emedicine.medscape.com/article/868129-overview]. Accessed at

September 24, 2012.

5. Srinivasan, Renuka, Chaitra. Traumatic Optik Neuropathy [TON] – A

Review. Available

in :[ksos.in/ksosjournal/jounalsub/jounal_article_11_138.pdf]. Accessed at

September 24, 2012.

6. Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. 2000. Neuro-Oftalmologi. In :

Vaughan, Daniel G. Asbury, Taylor. Oftalmologi umum (General

Ophthalmology)edisi14. EGC: Jakarta: Widya Medika.

7. Liesegang, et al. 2007. Optic Neuropathy. In :Neuro-Ophthalmology,

American Academy of Ophthalmology. San Francisco : AAO, The Eye

MD Association. P:153-155.

8. Girkin, Christopher A dan Kline, Lanning B. 2002. Optic Nerve and

Visual Pathway. In: Kuhn, Ferenc. Ocular Trauma, Principles and

Practice. Italy:Thieme. P:392-404

9. Sarkies, N. 2003. Traumatic Optic Neuropathy. Available in :

[http://www.nature.com/eye/journal/v18/n11/full/6701571a.html].

Accessed at September 24,2012.

10. Boughton, Barbara. 2009. Traumatic Optik Neuropathy:Previous

Therapies Now Questioned or Shelved. Available in:

[http://www.aao.org/publications/eyenet/200911/trauma.efm]. Accessed at

September 24,2012.

32

Page 36: Presus TON

11. Man, Yu Wai dan Griffiths. 2011. Steroids for Traumatic Optic

Neuropathy. Available in : [www.ncni.nlm.nih.gov/pubmed/21249673].

Accessed at September 24, 2012.

12. Joesoef AA dan Kusumastuti Kurnia. 2002. Neuro-Otologi Klinis:

Vertigo. Surabaya: Airlangga University Press.

13. Lumbantobing, SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2010.

14. Kovar, M, Jepson, T, Jones, S. 2006. Diagnosing and Treating: Benign

Paroxysmal Positional Vertigo in Journal Gerontological of Nursing.

December:2006

15. Dewanto G, Suwono WJ., Riyanto B dan TuranaYuda. 2007. Diagnostik

dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

16. Steinsapir KD & Goldbreg RA. Treatment of Traumatic Optic Neuropathy

with High-Dose Corticosteroid. J Neuroophtalmol. 2011;26(1)

17. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi

4,Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016

18. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong

W.D.EGC, Jakarta, 2004, 818-819

19. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral,

Updates In  Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI,

Jakarta, 2002, 80

33