22
5/26/2018 PrimaryImmuneThrombocytopenia-TinjauanKepustakaan-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/primary-immune-thrombocytopenia-tinjauan-kepustakaan Tinjauan Pustaka TATALAKSANA TERKINI PRIMARY IMMUNE THROMBOCYTOPENIA Ronal Ciakaren, Ketut Suega. Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpaar Pendahuluan  Immune Thrombocytopenia !I"P# adalah uatu kelainan heterogen yang dikarakteritik oleh penghan$uran platelet e$ara prematur dalam item retikuloendotelial yang dimediai oleh proe autoimun, gangguan produki platelet, dan %er%agai dera&at kerenderungan perdarahan !',(#. I"P dapat ter&adi e$ara primer apa%ila tanpa die%a%kan oleh )aktor predipoii yang &ela, dan die%ut e%agai ekunder apa%ila merupakan aki%at dari uatu penyakit lain, mialnya eperti * lupu eritematou itemik, antiphospholipid syndrome, o%at+ o%atan, in)eki I-, C-, helicobacter pylori , dan &uga pada gangguan lim)oproli)erati) !',#. Berdaarkan onetnya, I"P kemudian dapat di%edakan e%agai tipe akut atau newly diagnosed I"P apa%ila ter&adi dalam %ulan,  persistent I"P apa%ila ter&adi dalam '( %ulan dan chronic I"P apa%ila %erlangung le%ih dari '( %ulan !',0,1#. I"P merupakan uatu kelainan hematologik didapat yang ering di&umpai !2#. Berdaarkan data dari %e%erapa penelitian, ditemukan %ah3a iniden I"P adalah ekitar '.2 .4 per '55.555 populai pertahun. Sedangkan, pre6aleni I"P &auh melampaui iniden yaitu ekitar 4.1 (.2 per '55.555 populai, al ini dikarenakan, I"P merupakan kau kronik pada e%agian orang de3aa !(,2#. Ditri%ui uia penderita I"P adalah %eri)at %imodal, yaitu dengan dua pun$ak, dimana pun$ak pertama yang le%ih rendah pada de3aa muda, dan pun$ak kedua yang le%ih tinggi pada orang tua. I"P pada de3aa muda, le%ih %anyak ditemukan pada perempuan di%andingkan laki+ laki, dengan per%andingan ekitar ( * '. Se%aliknya, I"P pada orang tua, memiliki  predileki antara kedua &eni kelamin yang ama !(#. Mani)etai klini I"P angat %er6ariai mulai dari aimptomatik, perdarahan ringan, edang, hingga perdarahan %erat yang mengan$am nya3a !'#. 7am%aran klini lain mungkin ditemukan, adalah * kelelahan, gangguan kualita hidup, dan e)ek amping 1

Primary Immune Thrombocytopenia - Tinjauan Kepustakaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

FK UNUDPrimary Immune ThrombocytopeniaITPIdiopatik Trombositopenia PurpuraTrombositopeniaKarya IlmiahIlmiah

Citation preview

Tinjauan Pustaka

22

Tinjauan Pustaka

TATALAKSANA TERKINI PRIMARY IMMUNE THROMBOCYTOPENIARonal Ciakaren, Ketut Suega. Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Immune Thrombocytopenia (ITP) adalah suatu kelainan heterogen yang dikarakteristik oleh penghancuran platelet secara prematur dalam sistem retikuloendotelial yang dimediasi oleh proses autoimun, gangguan produksi platelet, dan berbagai derajat kerenderungan perdarahan (1,2).

ITP dapat terjadi secara primer apabila tanpa disebabkan oleh faktor predisposisi yang jelas, dan disebut sebagai sekunder apabila merupakan akibat dari suatu penyakit lain, misalnya seperti : lupus eritematosus sistemik, antiphospholipid syndrome, obat-obatan, infeksi HIV, HCV, helicobacter pylori, dan juga pada gangguan limfoproliferatif (1,3). Berdasarkan onsetnya, ITP kemudian dapat dibedakan sebagai tipe akut atau newly diagnosed ITP apabila terjadi dalam 3 bulan, persistent ITP apabila terjadi dalam 3 12 bulan dan chronic ITP apabila berlangsung lebih dari 12 bulan (1,4,5).ITP merupakan suatu kelainan hematologik didapat yang sering dijumpai (6). Berdasarkan data dari beberapa penelitian, ditemukan bahwa insiden ITP adalah sekitar 1.6 3.9 per 100.000 populasi pertahun. Sedangkan, prevalensi ITP jauh melampaui insiden yaitu sekitar 9.5 23.6 per 100.000 populasi, Hal ini dikarenakan, ITP merupakan kasus kronik pada sebagian orang dewasa (2,6). Distribusi usia penderita ITP adalah bersifat bimodal, yaitu dengan dua puncak, dimana puncak pertama yang lebih rendah pada dewasa muda, dan puncak kedua yang lebih tinggi pada orang tua. ITP pada dewasa muda, lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki, dengan perbandingan sekitar 2 : 1. Sebaliknya, ITP pada orang tua, memiliki predileksi antara kedua jenis kelamin yang sama (2).

Manifestasi klinis ITP sangat bervariasi mulai dari asimptomatik, perdarahan ringan, sedang, hingga perdarahan berat yang mengancam nyawa (1). Gambaran klinis lain mungkin ditemukan, adalah : kelelahan, gangguan kualitas hidup, dan efek samping dari pengobatan. Dalam pemeriksaan laboratorium, platelet yang rendah dapat merupakan satu-satunya manifestasi dari ITP (4).

Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah tepi, dan hapusan darah adalah hal-hal yang esensial dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan terhadap ITP (4,6,7). Hingga saat ini, belum ada kriteria diagnosis yang baku untuk ITP dan diagnosis hanya dapat ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab lainnya dari trombositopenia (1,4,6).

Sebagian besar pasien dengan ITP tidak memerlukan penanganan khusus (1). Terapi pada umumnya diberikan apabila jumlah platelet berada dibawah 30.000/L. Tujuan utama adalah untuk mencegah perdarahan dengan mempertahankan jumlah platelet pada nilai yang aman, serta meminimalisasi efek samping yang berhubungan dengan terapi (4).

Perkembangan dunia kedokteran terutama dibidang hematologi sangatlah cepat, dimana penatalaksanaan ITP merupakan salah satu bidang yang terus menjadi fokus penelitian. Perubahan nomenklatur idiopathic thrombocytopenia purpura, hingga menjadi primary immune thrombocytopenia (ITP) merupakan suatu bukti peningkatan pemahaman mengenai ITP dan penatalaksanaannya. Insiden dari ITP yang tinggi dan keterlambatan penanganan terhadap keadaan ini yang berpotensi fatal merupakan dua faktor utama yang mendorong lajunya perkembangan penatalaksanaan ITP. Dengan demikian, maka pada tinjauan pustaka ini akan kami bahas mengenai tatalaksana terkini primary immune thrombocytopenia (ITP).Diagnosis ITP dewasa umumnya terjadi pada usia 18 40 tahun dan 2 3 kali lebih sering mengenai wanita daripada pria. Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan ITP akut dan kronik, serta tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu untuk menyingkirkan bentuk sekunder dan diagnosis yang lain. Pada anamnesis perlu di singkirkan kemungkinan pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia. Manifestasi klinis ITP sangat bervariasi mulai dari asimptomatik, perdarahan ringan, sedang, hingga perdarahan berat yang mengancam nyawa. Perdarahan karena trombosit yang rendah dapat berupa peteki, purpura, perdarahan konjungtiva dan perdarahan selaput lendir yang lain. Gambaran klinis lain yang sering, adalah : kelelahan, gangguan kualitas hidup, dan efek samping pengobatan (4). Selain itu, dapat pula ditemukan splenomegali ringan tanpa limfadenopati (1).

Jumlah platelet yang kurang dari 100.000/L merupakan nilai ambang batas untuk diagnosis ITP. Hal ini didasarkan atas penelitian kohort prospektif dari individu-individu yang sehat yang memiliki jumlah platelet antara 100.000/L 150.000/L, dimana hanya sekitar 6.9 % yang kemudian berkembang menjadi trombositopenia berat dalam jangka waktu 10 tahun (2). Selain trombositopenia, pada umumnya hitung darah yang lain berada dalam batas yang normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologik yang lainnya. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi (1).Pemeriksaan serologi untuk antibodi terhadap trombosit pada umumnya tidak diperlukan. Hal ini dikarenakan, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah (3). Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab sekunder dari ITP meliputi : pemeriksaan HIV, hepatitis C, serologi LES, serum protein elektroforesis, dan kadar imunoglobulin. Pada penderita ITP yang disertai dengan anemia, maka pemeriksaan direct antiglobulin Coombs test dapat dilakukan untuk menyingkirkan kombinasi penyakit autoimun hemolitik anemia dengan ITP (Evans syndrome) (3,6).Pada pemeriksaan sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit yang agranuler atau tidak mengandung trombosit. Namun, pemeriksaan sumsum tulang pada umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan umur diatas 60 tahun, pada pasien dengan gambaran tidak khas, ataupun pada pasien yang tidak berespon baik dengan terapi (1,3,4).Diagnosis ITP primer ditegakkan dengan mengekslusi penyebab non-autoimun dan penyebab sekunder dari ITP. Beberapa penyebab non-autoimun dari ITP meliputi: pseudotrombositopenia, trombotik trombositopenia purpura, gestasional trombositopenia, dan sindrom mielodisplastik. Hingga saat ini tidak terdapat standar baku emas, dan salah satu bukti yang mendukung adanya suatu ITP adalah respon penyakit dengan peningkatan jumlah platelet terhadap terapi spesifik untuk ITP (1,4).

Secara klinis terdapat beberapa definisi yang dipakai pada penderita ITP, meliputi: corticosteroid dependent ITP, severe ITP, dan refractory ITP. Disebut sebagai corticosteroid dependent, apabila diperlukan pemberian kortikosteroid berulang untuk mempertahankan platelet lebih dari 30.000/L dan atau untuk menghindari terjadinya perdarahan. Severe ITP merupakan suatu keadaan perdarahan yang cukup hebat pada penderita ITP yang membutuhkan intervensi segera, ataupun perdarahan baru yang membutuhkan intervensi tambahan ataupun dengan peningkatan dosis. Refractory ITP didefinisikan sebagai keadaan severe ITP yang terjadi setelah splenektomi. Penderita severe ITP yang tidak menjalani splenektomi, dapat kemudian dikelompokkan kedalam kategori responder, ataupun non-responder (8).PenatalaksanaanITP tanpa disertai tanda-tanda perdarahan dan dengan kadar platelet yang lebih dari 30.000/L, pada umumnya tidak memerlukan penanganan spesifik (4). Pada beberapa penelitian berskala besar, ditemukan bahwa pasien dengan jumlah platelet diatas angka 30.000/L adalah aman untuk di observasi tanpa perlu diberikan terapi spesifik (3,4). Terapi umum yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari aktivitas fisik yang berlebihan, mencegah trauma terutama trauma kepala, dan menghindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit (1,9).

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan ITP (10)

Terapi spesifik terutama ditujukan terhadap 2 faktor utama, yaitu : jumlah platelet, dan derajat perdarahan. Tujuan terapi spesifik adalah untuk mencapai ataupun mempertahankan jumlah platelet dalam batas yang aman untuk mencegah terjadinya perdarahan selagi meminimalisasi efek samping yang berhubungan dengan terapi. Terapi spesifik pada umumnya diberikan apabila jumlah platelet berada dibawah 30.000/L atau apabila terdapat perdarahan yang menyebabkan gangguan homeostasis (4,10). Algoritme penatalaksanaan ITP dapat dilihat pada gambar 1 (10).Respon terapi ITP dapat dinilai berdasarkan rekomendasi dari International Watch Group (IWG) seperti yang tertera pada table 1 (8). Respon komplit ITP (CR), apabila ditemukan jumlah platelet yang lebih dari atau sama dengan 100.000/L dalam 2 kali pengukuran dengan selang waktu 7 hari tanpa adanya tanda-tanda perdarahan. Kriteria respon (R) jika jumlah platelet lebih dari atau sama dengan 30.000/L dalam 2 kali pengukuran dengan selang waktu 7 hari dengan disertai peningkatan sebanyak 2 kali dari nilai awal tanpa adanya tanda-tanda perdarahan. Terapi ITP disebut tidak berespon (NR) apabila jumlah platelet kurang dari 30.000/L, peningkatan platelet yang kurang dari 2 kali lipat dari nilai awal, atau dengan adanya perdarahan (8).Tabel 1. Kriteria respon terapi pada pasien dengan ITP (8)TERAPI LINI PERTAMAKortikosteroid, intravenous immunoglobulin (IVIg), ataupun anti-Rh(D) dibutuhkan sebagai terapi awal pada penderita ITP untuk menghentikan perdarahan dan meningkatkan jumlah platelet (2). Dosis terapi lini pertama, respon terapi dan efek samping dapat dilihat pada tabel 2 (7).Tabel 2. Terapi lini pertama pada penderita dengan ITP (7)

Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi standar lini pertama yang berperan dalam mengurangi perdarahan, serta meningkatkan jumlah platelet dengan menghambat penghancuran platelet yang teropsonisasi serta menurunkan kadar autoantibodi dalam tubuh (11,12). Sebagai terapi awal dapat diberikan Prednison dengan dosis 0.5 2 mg/kgBB/hari selama beberapa hari hingga beberapa minggu untuk mencapai dan mempertahankan kadar platelet 30.000/L. Untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan kortikosteroid, maka dapat dilakukan tapering terapi secara bertahap untuk kemudian di hentikan pada penderita ITP yang berespon, dan terutama pada penderita ITP yang tidak berespon setelah 4 minggu terapi (1,11). Meskipun pemberian deksametason untuk terapi ITP refrakter kronik sebelumnya telah ditinggalkan, namun berdasarkan data terakhir tampak peningkatan bermakna dari respon awal yang bersifat menetap. dengan pemberian deksametason. Pemberian deksametason 40 mg/hari selama 4 hari (setara dengan prednisone 400 mg/hari) memberikan respon yang menetap pada 50% pasien dewasa dengan ITP. Pada penelitian lainnya, 4 siklus deksametason 40 mg/hari yang diberikan selama 4 hari setiap 14 hari memberikan respon sebesar 86% dan sekitar 74% menetap dengan median 8 bulan (11).Pemberian steroid parenteral dengan metilprednisolon dosis tinggi telah dipakai dengan respon sebesar 80% untuk penanganan pasien yang gagal terhadap terapi lini pertama (1,11). Dosis yang dapat dipergunakan adalah 30 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diberikan dalam waktu 1 jam, dan kemudian diturunkan secara bertahap setiap 3 hari sampai dosis 1 mg/kgBB/hari. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4.7 vs 8.4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%) dibandingkan dengan terapi konvensional prednisone (11,13).

Pemakaian kortikosteroid jangka panjang memiliki keterbatasan dikarenakan komplikasinya seperti : nekrosis avascular, diabetes mellitus, peningkatan resiko infeksi, gastritis, osteoporosis, dan ketidakstabilan emosional (1,4,12). Namun, dikarenakan efektifitasnya, biaya yang murah, dan keleluasaan pemakaian, maka kortikosteroid telah menjadi tulang punggung terapi pada ITP. Pada sebagian pasien, jumlah trombosit kembali menurun pada saat kortikosteroid diturunkan ataupun dihentikan dan remisi bertahan hanya pada sekitar 10% - 30% dari kasus (4,14).Intravenous Immunoglobulin (IVIg)

Berbagai penelitian telah dilakukan dengan pemakaian IVIg terhadap ITP sejak lebih dari 20 tahun. Namun, hingga saat ini mekanisme kerja dari IVIg masih belum jelas. Beberapa hipotesis yang dikemukakan, adalah meliputi : penghambatan penghancuran platelet yang teropsonisasi yang dimediasi oleh reseptor Fc, inhibitor kompetitif dari adsorbsi autoantibodi terhadap platelet, dan melalui interaksi antara autoantibodi platelet dengan anti-idiotipik antibodi dari IVIg (12,15).IVIg dipergunakan terutama bila terjadi perdarahan internal dengan trombosit < 5.000 / L meskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau dengan adanya purpura yang progresif (1). Dosis yang dipergunakan adalah 1 gr/kgBB/hari selama 2 3 hari berturut-turut (1,13). Sekitar 65% - 80% penderita berespon baik dan cepat dengan peningkatan trombosit. Biaya dan pemberian yang berulang dikarenakan efek yang hanya sementara merupakan faktor penghambat utama (1,4). Pemberian IVIg pada umumnya dapat ditolerir dengan baik oleh pasien. Namun, sekitar 5% pasien mengeluhkan sakit kepala, menggigil, nyeri otot, dan nyeri sendi. Komplikasi serius, seperti : gagal ginjal, kejadian trombosis, insufisiensi paru, dan syok anafilaksis pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA kongenital, merupakan hal yang jarang (1,4,5). Anti-Rh(D) IntravenaAnti-Rh(D), adalah produk dari IgG yang dihasilkan dari donor plasma Rh(D)-negatif yang bekerja melalui ikatan dengan Rh(D) positif sel darah merah. Hal ini menyebabkan penghancuran sel darah merah di sistem retikuloendotelial dan menghambat penghancuran platelet yang teropsonisasi dengan antibodi. Namun, dikarenakan jumlah sel darah merah adalah banyak, maka keuntungan yang didapat adalah melebihi resiko yang ada (5).Anti-Rh(D) hanya diberikan pada penderita dengan Rh(D)-positif, dan memiliki lien yang masih intak (non-splenectomized ITP) (11). Respon terapi terhadap ITP adalah sekitar 70%, dan menetap hingga 21 hari. Anti-Rh(D) dapat diberikan secara intermiten apabila jumlah platelet berada dibawah 30.000/L. Hal ini dapat menghindarkan tindakan splenektomi pada beberapa pasien, dan dapat pula memicu terjadinya remisi jangka panjang yang spontan. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang lebih baik apabila Anti-Rh(D) diberikan dengan dosis yang lebih tinggi (75 g/kgBB) dalam 2 sampai 5 menit dibandingkan dengan dosis standar yang telah diterima secara umum (50 g/kgBB) (4,11,13). Terapi ini tidak diindikasikan pada penderita dengan kadar hemoglobin yang kurang dari 10 gr/dL atau penderita dengan gangguan fungsi sumsum tulang, dan juga dihindari pada pasien dengan anemia hemolitik autoimun (1,4,11). Efek samping yang terjadi pada umumnya adalah demam, dan menggigil. Namun, hal ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi berupa asetaminofen ataupun kortikosteroid (1,11). Komplikasi fatal yang jarang, meliputi : hemolisis intravaskular, gagal ginjal, dan koagulasi intravaskular diseminata (4,11). Pasien yang menerima Anti-Rh(D) haruslah dimonitor selama 8 jam terhadap hemoglobinuria, hematuria, dan gangguan fungsi ginjal (13).TERAPI LINI KEDUA

Terapi ini hanya ditujukan terhadap penderita dengan trombositopenia yang persisten dan simptomatik meskipun telah diterapi dengan terapi pada lini pertama. Hal ini dikarenakan, efek samping yang signifikan dibandingkan dengan terapi pada lini pertama (13). Terapi ini meliputi pemakaian: azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide, danazol, dapsone, mycophenolate mofetil, rituximab, thrombopoietin receptor agonists (TRAs), vinca alcaloids, serta terapi pembedahan dengan splenektomi (1,4). Dosis, respon terapi, dan efek samping dari terapi lini kedua dapat dilihat pada tabel 4 (2). Tabel 3. Terapi lini kedua dari ITP (2)

Splenektomi

Splenektomi untuk ITP telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an (1,13). Peran splenektomi pada ITP adalah melalui 2 mekanisme, yaitu: dengan menghilangkan tempat utama penghancuran platelet yang teropsonisasi dengan antibodi, dan menurunkan produksi antibodi antiplatelet. Oleh karena ITP dapat mencapai remisi secara spontan pada sebagian kecil penderita, maka splenektomi pada umumnya ditunda hingga 6 bulan sesudah diagnosis (13). Prosedur ini merupakan terapi yang paling efektif untuk ITP dengan angka tertinggi remisi komplit yang menetap (11,13). Sekitar 80% dari penderita ITP memberikan respon yang baik terhadap splenektomi. Dimana, keadaan ini menetap tanpa terapi tambahan selama 5 tahun pada sekitar 66% kasus (11). Namun, sekitar 20% dari pasien yang berespon dapat mengalami relaps setelah beberapa minggu, bulan, ataupun tahun setelah prosedur tersebut (11,16). Satu-satunya prediktor respon dari splenektomi adalah umur penderita. Pasien dengan usia muda memberikan respon yang lebih baik dibandingkan penderita dengan usia lanjut (13).Komplikasi dari splenektomi terjadi lebih sering pada penderita yang berusia diatas 65 tahun, dan meliputi: komplikasi peri-operatif, perdarahan, sepsis, komplikasi vaskular serta masa rawat inap yang panjang (11). Komplikasi peri-operatif lebih rendah apabila splenektomi dilakukan secara laparoskopik. Berdasarkan data yang telah ada, morbiditas splenektomi laparoskopik adalah 9.6%, dan 12.9% pada splenektomi standar. Sedangkan, mortalitas adalah sekitar 0.2% untuk splenektomi laparoskopik, dan 1% pada splenektomi standar (13).Tabel 4. Intervensi peri-operatif untuk menurunkan komplikasi splenektomi (16)

Sejak 1952, penderita asplenik telah diketahui memiliki resiko yang tinggi terhadap infeksi yang dapat mengancam nyawa. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi splenektomi peri-operatif dapat dilihat pada tabel 4 (16). Penanganan sepsis, meliputi: vaksinasi, pengukuran temperatur dan evaluasi di unit gawat darurat apabila didapatkan temperature yang lebih dari 101 F (38.3 C), dan dengan pemberian antibiotik profilaksis (4,16). Penderita disarankan untuk menerima vaksinasi terhadap bakteri berkapsul dan pneumococcal. Vaksin haemophilus influenza tipe B dan meningokokal haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum splenektomi elektif (4). Komplikasi vaskular post splenektomi, dapat berupa: hipertensi pulmonal, tromboemboli arteri dan ataupun vena (7,16).Meskipun splenektomi memiliki angka kesuksesan yang tinggi, namun dengan bertambahnya jenis-jenis terapi yang dapat diberikan menyebabkan kecenderungan untuk menghindari splenektomi pada pasien dengan ITP kronik, dan pada umumnya pasien cenderung ragu untuk menerima splenektomi sebagai terapi terhadap ITP (7).Rituximab

Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal terhadap antigen CD20 yang terdapat pada sel B limfosit. Mekanisme kerjanya adalah dengan mendeplesi sel B dengan CD20 yang memiliki peran dalam memproduksi antibodi antiplatelet (4,12). Regimen ini pertama kali dipergunakan sebagai terapi pada keganasan klonal sel B, misalnya : limfoma (4).

Kira-kira sekitar 60% dari penderita ITP yang menerima rituximab dapat mencapai remisi, dengan 40% adalah merupakan remisi komplit. Remisi pada umumnya terjadi setelah 1 2 minggu hingga 6 8 minggu dan bertahan hingga 2 bulan pada penderita yang hanya memberikan remisi parsial hingga lebih dari 5 tahun pada sekitar 15% - 20% penderita. Sebagian besar penderita dengan remisi komplit yang bertahan lebih dari 1 tahun akan berespon kembali terhadap terapi ulangan apabila terjadi relaps (11).

Dosis yang diberikan pada penderita ITP adalah 375 mg/m2/minggu secara intravena selama 4 siklus, namun dosis yang lebih rendah yaitu 100 mg/m2/minggu dapat pula efektif meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat memberikan respon (11,12). Terapi ini efektif untuk pasien sebelum splenektomi ataupun sesudah splenektomi (5). Pemberian terapi rituximab tidak menurunkan nilai respon terhadap splenektomi, apabila kemudian dibutuhkan jika terjadi kegagalan terhadap rituximab (13).

Efek samping dari rituximab meliputi: infusion-related reactions, komplikasi infeksi, dan serum sickness. Berdasarkan data penelitian, didapatkan bahwa sekitar 22% penderita mengalami efek samping yang ringan hingga sedang, dengan mayoritas 83% adalah infusion related reactions (7). Beberapa komplikasi lainnya yang lebih jarang, meliputi: neutropenia, reaktivasi penyakit kronik seperti tuberkulosis, dan progressive multifocal leukoencephalopathy (4,5,12).

Rituximab merupakan pilihan terapi lini kedua bagi penderita ITP yang tidak sesuai atau menolak untuk menjalani prosedur pembedahan. Respon rituximab terhadap remisi dan durabilitas adalah lebih kurang jika dibandingkan dengan splenektomi. Namun, hingga saat ini, rituximab masih merupakan obat yang paling menjanjikan sebagai terapi ITP refrakter (13).Thrombopoietin Receptor Agonists (TRA)TRA merupakan satu-satunya terapi ITP dengan efikasi yang tervalidasi melalui penelitian acak terkontrol dan telah disetujui oleh FDA untuk dipergunakan pada ITP kronik dengan respon yang kurang memuaskan dengan kortikosteroid, IVIg, ataupun splenektomi (13,17,18). TRA berperan melalui stimulasi produksi platelet oleh megakariosit sumsum tulang, yang menyebabkan peningkatan jumlah platelet dalam sirkulasi darah tepi (5,7,12).Respon penderita ITP terhadap pemberian TRA adalah sekitar 59%-88%, dan dapat bertahan 3 5 tahun selama terapi ini dilanjutkan (2,16). Pemberian TRA tidaklah bersifat kuratif dan penghentiannya secara tiba-tiba sering disertai dengan kembalinya keadaan trombositopenia (7,16). Pada penderita yang berespon terhadap TRA, dosis dapat diindividualisasi untuk mempertahankan hemostasis. Dosis dapat ditingkatkan sementara sebagai persiapan untuk menghadapi pembedahan elektif (16,18).Saat ini terdapat 2 TRA yang telah diterima secara umum, yaitu : romiplostim (nplate), dan eltrombopag (promacta) (5). Selain itu, terdapat pula beberapa TRA yang sedang dikembangkan saat ini, yaitu : ARK-501, totrombopag, dan LGD-4665 (4,18).Romiplostin adalah suatu peptibody, yaitu fusi fragmen Fc dengan 4 peptida yang identik yang menyebabkan aktifasi intracellular transcriptional pathways melalui interaksi dengan reseptor trombopoietin c-mpl (5,17). Romiplostin tidak mempunyai runtutan asam amino yang homolog dengan trombopoietin endogen sehingga tidak memicu terjadinya cross-reacting antibodies (4,5). Dosis yang diberikan adalah sekitar 1 10 g/kgbb/minggu secara subkutan. Platelet lebih dari 50.000/L tercapai pada sekitar 79% pasien ITP post-splenektomi dan 88% pada penderita yang tidak menjalani splenektomi dalam 1 4 minggu setelah terapi (4,17).

Eltrombopag adalah TRA nonpeptida yang menstimulasi proliferasi dan diferensiasi megakariosit pada sumsum tulang melalui ikatan dengan transmembrane domain dari reseptor trombopoietin c-mpl (5,12). Dosis yang diberikan berkisar antara 25 75 mg/hari secara oral. Dimana, sekitar 70% penderita yang menerima dosis 50 mg/hari dan sekitar 80% penderita dengan dosis 75 mg/hari berhasil mencapai jumlah platelet 50.000/L dalam 2 minggu, Peningkatan enzim aminotransferase terlihat pada sekitar 7% penderita yang menerima eltrombopag (4).Walaupun TRA dapat ditolerir dengan baik dalam meningkatkan jumlah platelet, namun terdapat beberapa kekurangan, yaitu: terapi ini tidak mengubah perjalanan penyakit, dan memerlukan pemberian berulang jangka panjang untuk dapat mencapai respon jumlah platelet yang adekuat. Hal ini menyebabkan terapi TRA ini tidak dapat dipergunakan pada keadaan gawat darurat (4,16). Selain itu, terdapat efek jangka panjang dari pemakaian TRA, yang meliputi: trombositopenia berulang setelah penghentian terapi, fibrosis sumsum tulang dengan peningkatan retikulin, trombosis, keganasan darah, serta bersifat hepatotoksik (4,5,18).Immunosuppressant

Terapi ini meliputi pemakaian: azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide, danazol, dapsone, mycophenolate mofetil, dan vinca alcaloids (1,4). Dosis dan efek samping dari berbagai pilihan immunosuppressant dapat dilihat di tabel 5 (2). Pemakaian terapi ini bermanfaat untuk sebagian kecil penderita ITP, namun sering disertai dengan efek samping yang bermakna. Hal ini menyebabkan terapi ini lebih kurang dipakai saat ini dibandingkan dahulu (5).Pemberian azathioprine dengan dosis 150 mg/hari selama 18 bulan dapat memicu remisi komplit pada sekitar 45% penderita ITP post-splenektomi. Meskipun pemakaian bersifat kontinu, namun penurunan dosis dapat dilakukan secara bertahap. Cyclosporine dapat diberikan sebagai terapi tunggal dengan dosis 2.53 mg/kgbb/hari ataupun dikombinasikan dengan prednisone. Perbaikan klinis terlihat pada sekitar 80% pasien yang resisten dengan terapi lini pertama. Sekitar 42% penderita berhasil mencapai remisi komplit dengan cyclosporine (1,11).Pemberian cyclophosphamide dapat dilakukan secara oral dengan dosis 1-2 mg/kgbb/hari selama 16 minggu, ataupun secara intravena dengan dosis 0.4-1 gr/m2 setiap 2-4 minggu sebanyak 1-3 siklus. Respon terlihat pada sekitar 24%-85% penderita ITP yang mendapat cyclophosphamide (11). Danazol dapat diberikan 2-4 kali sehari dengan dosis 200 mg peroral (10-15 mg/kgbb/hari) selama sedikitnya 6 bulan. Peningkatan platelet lebih dari 50.000/L terlihat pada sekitar 60%-67% penderita ITP post-splenektomi selama lebih dari 2 bulan (1,11).Dapsone yang diberikan dengan dosis 75-100 mg/hari peroral dapat menangguhkan splenektomi hingga 32 bulan pada penderita ITP yang tidak berespon terhadap terapi kortikosteroid (1). Peningkatan produksi platelet yang tidak menetap sebanyak 39% pada penderita ITP refrakter terjadi pada pemberian mycophenolate mofetil (MMF), dengan dosis yang meningkat secara progresif (250-1000 mg/hari) (1,11). Vinca alkaloid jarang digunakan meskipun dapat dipertimbangkan ketika terapi lainnya gagal. 2 jenis vinca alkaloid yang dapat dipergunakan, yaitu : vincristin dengan dosis 1-2 mg intravena, atau vinblastine dengan dosis 510 mg. Vincristin ataupun vinblastine diberikan setiap minggu selama 4 6 minggu (1). Respon terlihat pada sekitar 50% penderita ITP post-splenektomi namun menetap (11).Tabel 5. Pemakaian immunosuppressant pada ITP (2)

TERAPI LINI KETIGA

Sekitar 20% penderita ITP tidak berespon terhadap terapi standar dan sekitar 10%-20% responder post-splenektomi kemudian mengalami relaps. Untuk penderita yang mengalami kegagalan terapi standar, dan masih membutuhkan terapi lanjutan, maka pertimbangan risiko dan keuntungan terapi haruslah didiskusikan secara seksama dengan penderita (11). Algoritma pemilihan terapi pada ITP primer dapat dilihat pada gambar 2 (10). Pasien dengan ITP yang resisten terhadap terapi standar memiliki peningkatan resiko kematian, penyakit penyerta, dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi (4).

Gambar 2. Algoritme pemilihan terapi pada ITP primer (10)Kemoterapi Kombinasi

Imunosupresan seperti: azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide, dan mycophenolate mofetil sebelumnya digunakan sebagai regimen agen tunggal dengan efikasi yang terbatas. Pemilihan terapi ini memiliki keterbatasan, yaitu: toksisitas obat dan profil keamanan yang rendah. Namun, terdapat peningkatan bukti klinis terhadap peran kombinasi kemoterapi untuk penanganan ITP kronik yang refrakter untuk mencapai efikasi yang lebih bermakna dengan efek samping yang lebih rendah (1,4).Salah satu regimen terapi yang dapat diberikan adalah dengan azathioprine 2 mg/kgBB dengan maksimal 150 mg/hari yang dikombinasikan dengan cyclophosphamide (1). Regimen lainnya, adalah pemberian cyclophosphamide (100-200 mg/hari intravena, hari ke-1 hingga hari ke-5 atau hari ke-7), dan prednison (0.5-1.0 mg/kgbb/hari per oral, hari ke-1 hingga hari ke-7), yang dikombinasikan dengan vincristine (1-2 mg intravena, pada hari ke-1), dan salah satu dari berikut: azathioprine (100 mg/hari per oral, hari ke-1 hingga hari ke-7) ataupun etoposide (50 mg/hari per oral, hari ke-1 hingga hari ke-7). Dari hasil penelitian pada 31 partisipan, sekitar 68% memberikan respon terhadap kombinasi kemoterapi ini, dengan remisi komplit sebesar 42%. Namun, monitor jangka panjang tetap dibutuhkan untuk menilai durabilitas remisi dan risiko terjadinya keganasan sekunder (11).Hematopoietic Stem Cell Transplantation (HSCT)

HSCT secara autologous ataupun allogeneic telah berhasil memberikan remisi pada sejumlah pasien. Namun, hal ini disertai dengan toksisitas fatal seperti : febril neutropenia, perdarahan serebral, graft versus host disease dan septicemia. Oleh karena itu, modalitas ini dicadangkan untuk kasus ITP refrakter berat dengan komplikasi perdarahan yang tidak berespon terhadap modalitas terapi yang lain (4,11).PENANGANAN PADA KEADAAN KHUSUS ITP Kronik Refrakter

Sekitar 25%-30% penderita dengan ITP termasuk dalam kategori kronik refrakter (1). ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu keadaan ITP yang tidak berespon ataupun mengalami relaps dan masih memerlukan terapi peningkatan platelet post-splenektomi (1,2,8). ITP kronik refrakter adalah ITP refrakter yang menetap lebih dari 12 bulan yang disertai dengan atau berisiko untuk mengalami perdarahan yang fatal (1,19). Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi (1,8).Terapi lini ketiga sebagai terapi tunggal ataupun sebagai terapi kombinasi sebelumnya dipakai pada ITP kronik refrakter. Namun, terapi ini terbatas oleh karena respon yang kurang dengan toksisitas obat dan profil keamanan yang rendah. Bukti klinis yang mendukung pemakaian jenis terapi ini hanyalah terbatas pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol (2). Dengan adanya rituximab dan TPAs, yang memiliki nilai respon sekitar 40% - 80%, pada pasien yang telah menjalani splenektomi dan refrakter, maka pemakaian terapi lini ketiga pada ITP kronik refrakter adalah semakin berkurang (2,13). Hingga saat ini, penanganan penderita ITP kronik yang refrakter masih merupakan suatu tantangan dibidang kedokteran dan memerlukan pemberian terapi imunosupresif lanjutan, yang juga akan meningkatkan risiko infeksi, dan kematian yang berhubungan dengan infeksi (4). Secara garis besar terapi pada ITP kronik refrakter dapat dilihat pada tabel 6 (19).Tabel 6. Pemilihan terapi pada ITP kronik refrakter (19)ManagementClinical Setting

ObservationNo bleeding symptoms, with platelet count 30.000/L

Thrombopoiesis-stimulating agents (eg. romiplostim, or eltrombopag)Persistent, symptomatic thrombocytopenia; platelet count < 20.000/L to 30.000/L or potential risk for clinically important bleeding

Observation with supportive care (eg. short courses of steroids or IVIg as needed for bleeding symptoms or preparation for procedures; platelet and/or red cell transfusions)This may be the option preferred by many patients. Lack of response to treatment with TSA with minimal or no bleeding inspite of persistent severe thrombocytopenia

Immunosuppressive agents (eg. cyclophosphamide, vincristine, vinblastine, azathioprine, danazol, MMF, cyclosporine, etc)Persistent thrombocytopenia with bleeding symptoms, platelet count < 20.000/L. Goal is only a safe platelet count with control of bleeding

Terapi Gawat Darurat

Perawatan rawat inap dibutuhkan pada penderita ITP dengan platelet kurang dari 20.000/L yang disertai dengan risiko ataupun perdarahan yang signifikan. Pasien yang dirawat di RS pada umumnya diterapi dengan terapi standar lini pertama, dan dipulangkan apabila perdarahan telah berhenti, dengan target platelet yang lebih dari 30.000 /L. Sebelum ditemukannya TRA, induksi kombinasi dengan metilprednisolon, IVIg, anti-Rh(D) dan vinca alkaloid menunjukan efikasi yang tinggi pada pasien rawat inap yang gagal dengan terapi lini pertama (2,11).

Penanganan umum, meliputi: penghentian obat-obatan yang menurunkan fungsi platelet, kontrol tekanan darah, minimalisasi trauma, dan kontrol terhadap perdarahan yang terjadi (11). Transfusi platelet dengan ataupun tanpa IVIg, vinca alkaloids, emergency splenectomy, dan terapi anti-fibrinolitik berupa asam tranexamat dan epsilon-aminocaproic acid dapat bermanfaat pada keadaan dengan perdarahan masif tidak terkontrol yang berisiko mengalami kegagalan organ (2,4,11). Faktor VIIA rekombinan, direservasi untuk beberapa pasien yang tidak berespon terhadap modalitas yang lain dan memerlukan kontrol hemodinamik yang cepat (2).Prosedur Invasif dan Terapi Antitrombotik

Perdarahan peri-operatif pada penderita dengan jumlah platelet yang rendah merupakan salah satu risiko mayor dari pembedahan dan merupakan tantangan penting dibidang bedah. Terdapat 2 indikasi mayor terhadap transfusi platelet pada pasien dengan ITP, yaitu : untuk mengatasi perdarahan akut yang fatal, dan sebagai persiapan dalam menghadapi pembedahan. Transfusi platelet untuk pembedahan, disarankan diberikan 1-2 jam sebelum prosedur operasi (9).Terdapat keterbatasan bukti klinis dalam penanganan ITP pada keadaan peri-operatif. Batasan platelet untuk prosedur medis dapat lihat pada tabel 7 (5). Pada umumnya, batasan jumlah platelet untuk pembersihan gigi, regional dental block, dan ekstraksi gigi sederhana adalah 30.000/L. Untuk ekstraksi gigi kompleks dan operasi minor, dibutuhkan kadar platelet 50.000/L, sedangkan kadar platelet 80.000/L diperlukan untuk operasi major, dan operasi saraf(2). Untuk penderita yang membutuhkan terapi anti trombotik atau dengan pengobatan anti koagulan, pada umumnya jumlah platelet dipertahankan 50.000/L (2).

Terapi lini pertama pada umumnya dapat di pakai untuk meningkatkan jumlah platelet. Sebagai terapi tambahan, dapat pula diberikan agen anti-fibrinolitik, perekat thrombin dan fibrin topikal untuk mencegah perdarahan pada tindakan dental (2,20). Penderita ITP yang memerlukan pembedahan segera, membutuhkan penanganan yang agresif berupa kombinasi terapi dengan: pemberian IVIg (1 gram/kgBB/hari selama 2 hari), kortikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 1 gram/hari selama 3 hari), dan transfusi platelet (5 unit setiap 4-6 jam atau 2 unit/jam) (20). Pemakaian TRA untuk terapi perioperatif masih memerlukan investigasi yang lebih lanjut (2).Tabel 7. Batasan platelet untuk prosedur medis (5)Prosedur MedisPlateletProsedur MedisPlatelet

Dentistry10.000/LMajor surgery80.000/L

Extractions30.000/LVaginal delivery20.000/L

Regional dental block30.000/LCesarean delivery50.000/L

Minor surgery50.000/LSpinal, epidural anesthesia80.000/L

Kehamilan

ITP terjadi pada sekitar 3% wanita hamil dengan trombositopenia. ITP pada kondisi ini haruslah dibedakan dari penyebab trombositopenia non-autoimun dan trombositopenia yang berhubungan dengan pre-eklampsia, eklampsia, sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzymes, Low Platelet), dan trombositopenia gestasional. Keadaan trombositopenia ringan pada umumnya tidak memerlukan terapi, dan pada umumnya mengalami resolusi setelah melahirkan (2). Penanganan ITP pada kehamilan meliputi 2 aspek, yaitu: penanganan selama kehamilan, dan penanganan saat persalinan. Kortikosteroid dan IVIg adalah aman untuk diberikan selama kehamilan, namun terdapat beberapa efek samping terhadap ibu hamil, misalnya: eksaserbasi dari diabetes gestasional, dan gangguan psikiatrik post-partum (8,13).Terapi sitostatika, seperti cyclophosphamide dan vinca alkaloid dihindari selama kehamilan, dikarenakan bersifat teratogenik. Azathioprine telah digunakan sebagai salah satu terapi imunosupresan dalam kehamilan tanpa toksisitas yang bermakna, namun, belum ada laporan yang terpublikasi mengenai keberhasilan pemakaiannya pada ITP dengan kehamilan. Pemakaian anti-D(Rh) memiliki data yang masih terbatas. Rituximab selama kehamilan belumlah terevaluasi, namun telah berhasil digunakan pada limfoma non-hodgkin dalam kehamilan. Splenektomi dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan prematur apabila dilakukan pada trimester pertama sedangkan pada trimester ketiga prosedur ini sulit untuk dikerjakan secara teknis dikarenakan ukuran uterus (8).

Penanganan ITP pada saat persalinan tergantung pada penilaian risiko perdarahan maternal dengan persalinan, anestesi epidural, dan kebutuhan minimum platelet sesuai batasan keamanan prosedur peri-operatif. Berdasarkan data yang ada, risiko perdarahan intraserebral neonatus adalah kurang dari 1%, dan tidak berhubungan dengan metode persalinan. Oleh karena itu, metode persalinan dipilih sesuai dengan indikasi obstetrik yang ada (8,13).Ringkasan

Immune Thrombocytopenia (ITP) adalah suatu kelainan yang dikarakteristik oleh penghancuran platelet secara prematur, gangguan produksi platelet, dengan peningkatan risiko perdarahan. ITP dapat terjadi secara primer ataupun sekunder, dan berdasarkan onsetnya dibedakan sebagai tipe akut, persisten dan kronik. ITP merupakan suatu kelainan hematologik didapat yang sering dijumpai dengan distribusi usia yang bersifat bimodal.

Manifestasi klinis ITP sangat bervariasi mulai dari asimptomatik, perdarahan ringan, sedang, hingga perdarahan berat yang mengancam nyawa. Jumlah platelet yang kurang dari 100.000/L merupakan nilai ambang batas untuk diagnosis ITP. Hingga saat ini tidak terdapat standar baku emas, dan salah satu bukti yang mendukung adanya suatu ITP adalah respon penyakit dengan peningkatan jumlah platelet terhadap terapi spesifik untuk ITP.

Kortikosteroid, intravenous immunoglobulin (IVIg), ataupun anti-Rh(D) merupakan terapi lini pertama dari ITP. Azathioprine, cyclosporine, cyclophosphamide, danazol, dapsone, mycophenolate mofetil, rituximab, splenektomi, TRA, dan vinca alkaloid ditujukan terhadap penderita dengan trombositopenia persisten dan simptomatik meskipun telah diterapi dengan terapi lini pertama. Untuk penderita yang mengalami kegagalan terapi standar, maka kombinasi kemoterapi, dan HSCT merupakan pilihan terapi lini ketiga yang dapat ditawarkan.Daftar Pustaka1. I P. Purpura Trombositopenia Imun. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009. p. 11651673.

2. Lakshmanan S, Cuker A. Contemporary Management of Primary Immune Thrombocytopenia in Adults. Journal of Thrombosis and Haemostasis. 2012;10(10):19881998.

3. Konkle B. Immune Thrombocytopenic Purpura. In: Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th Edition. McGraw-Hill Medical; 2012. p. 968969.

4. Thota S, Kistangari G, Daw H, Spiro T. Immune Thrombocytopenia in Adults: An Update. Clevelan Clinical Journal of Medicine. 2012;79(9):641650.

5. McCrae K. Immune Thrombocytopenia: No Longer Idiopathic. Cleveland Clinical Journal of Medicine. 2011;78(6):358373.

6. George JN, Leung L, Tirnauer J. Clinical Manifestations And Diagnosis of Immune Thrombocytopenia. Uptodate. 2012.7. Neunert CE. Current Management of Immune Thrombocytopenia. American Society of Hematology. 2013:276282.

8. Neunert C, Lim W, Crowther, Cohen A, Solberg L, Crowther M. The American Society of Hematology 2011 Evidence-Based Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia. 2011;117;4190-4207.

9. Toyomasu Y, Shimabukuro R, Moriyama et al. Successful Perioperative Management of a Patient with Idiopathic Thrombocytopenic Purpura undergoing Emergent Appendectomy: Case Report. International Journal of Surgery. 2013;4(10):898900.

10. Kashiwagi H, Tomiyama Y. Pathophysiology and Management of Primary Immune Thrombocytopenia. International Journal of Hematology. 2013;98(1):2433.11. Provan D, Stasi R, Newland AC, Blanchette VS, Bolton-Maggs P, Bussel JB, et al. International Consensus Report on the Investigation and Management of Primary Immune Thrombocytopenia. Blood Journal. 2010;115(2):168186.

12. Warrier R, Chauhan A. Management of Immune Thrombocytopenic Purpura: An Update. Ochsner Journal. 2012;12(3):221227.

13. George JN, Leung L, Tirnauer J. Treatment and Prognosis of Immune Thrombocytopenia. UpToDate. 2012.

14. Cines DB, Blanchette VS. Medical Progress: Immune Thrombocytopenic Purpura. New England Journal of Medicine. 2002;346(13):9951008.

15. Silvergleid AJ, Schrier SL, Tirnauer JS. Intravenous Immunoglobulin in Hematologic Disorders. Uptodate. 2013.

16. Ghanima W, Godeau B, Cines DB, Bussel JB. How I Treat Immune Thrombocytopenia: The Choice Between Splenectomy or a Medical Therapy as a Second-Line Treatment. Blood Journal. 2012;120(5):960969.

17. Pabinger I, Selleslag D, Rodeghiero F, Chong H, Wang X, Berger DP. Romiplostim or Standard of Care in Patients with Immune Thrombocytopenia. New England Journal of Medicine. 2010;363:188999.

18. Imbach P, Crowther M. Thrombopoietin Receptor Agonists for Primary Immune Thrombocytopenia. New England Journal of Medicine. 2011;365(8):73441.

19. George JN, Leung L, Tirnauer J. Chronic Refractory Immune Thrombocytopenia. Uptodate. 2012.20. Stasi R, Provan D. Management of Immune Thrombocytopenic Purpura in Adults. Mayo Clinical Proc. 2004;79:504522.

1