6
UU Nomor 36 Tahun 2009 Latar belakang umum lahirnya UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah karena beberapa pertimbangan tentang pentingnya pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi aktor dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, antara lain bahwa, pertama pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kedua, bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi- tingginya. Ketiga, bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang. Keempat, bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Kelima, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut serta untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit. Selain itu, secara historis, lahirnya undang-undang ini adalah karena adanya usulan dari Komisi IX DPR periode 2004-2009 agar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bersama undang- undang lain yang diprioritaskan untuk dibahas saat itu. Menurut

Prita praditya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aaa

Citation preview

UU Nomor 36 Tahun 2009Latar belakang umum lahirnya UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah karena beberapa pertimbangan tentang pentingnya pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi aktor dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, antara lain bahwa,pertamapelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.Kedua,bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.Ketiga,bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang.Keempat,bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.Kelima,bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut serta untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit.Selain itu, secara historis, lahirnya undang-undang ini adalah karena adanya usulan dari Komisi IX DPR periode 2004-2009 agar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bersama undang-undang lain yang diprioritaskan untuk dibahas saat itu. Menurut penuturan dari Ketua Komisi IX ketika itu, Dr. Gunawan Slamet SpB, bahwa dengan melihat rumah sakit yang memang banyak bermasalah, misalnya pasien ditolak atau disandera, sehingga tidak cukup diatasi atau diminimalisir kejadian kasus ini dengan regulasi yang sifatnya hanya sekelas keputusan menteri. Sehingga saat itu, Komisi IX berusaha untuk membuatkan sebuah regulasi kuat untuk rumah sakit.Selain itu, menurut Menkes yang menjabat saat itu, bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, globalisasi, desentralisasi, serta tuntutan masyarakat akan keterbukaan dan pelayanan kesehatan yang bermutu mengakibatkan semakin kompleksnya pengelolaan rumah sakit. Ditambah, kecenderungan rumah sakit lebih ke arah komersialisasi telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat, rendahnya mutu pelayanan, dan munculnya berbagai kasus gugatan karena adanya dugaan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dan belum memadainya landasan hukum penyelenggaraan rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga UU RS, yang masih berupa RUU saat itu, sangat mendesak disahkan guna melindungi hak-hak pasien, masyarakat dan pengelola rumah sakit.Seiring dengan pembahasan RUU rumah sakit di dalam parlemen, kasus-kasus yang melibatkan rumah sakit masih bermunculan di luar parlemen. Bukan sekadar penolakan atau penyanderaan pasien atau dugaan malpraktik. Namun kasusnya sudah lebih "berat". Misalnya upaya pemerintah daerah DKI Jakarta "menswastakan" 4 RSUD miliknya dengan mengubahnya menjadi Perseroan Terbatas, yang tentu saja lebih berorientasi kepada profit dan menomerduakan sisi sosialnya. Kasus ini sempat ramai, namun pemerintah daerah DKI Jakarta tak bergeming. Dan kasus yang paling fenomenal dan merupakan salah satu faktor pendorong disahkannya undang-undang Rumah Sakit ini adalah kasus gugatan rumah sakit Omni Internasional kepada Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui email. Tindakan ini dianggap mencemarkan nama baik dan pelaku yang merupakan ibu dua anak inipun sempat mendekam di bui selama 21 hari.Terkait kasus Prita saat itu, isu yang menjadi wacana utama dalam pembahasan undang-undang ini adalah tentang perlindungan dan keselamatan pasien. Hal ini sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan 2009. Semua UU ini memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien dan kepastian hukum. UU rumah sakit ini sebenarnya dibuat karena ada ketidakseimbangan antara pasien dengan rumah sakit. Kedudukan pasien sangat lemah. Pasien sangat tergantung pada dokter atau tenaga medis lainnya. Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara si pemberi layanan kesehatan dengan penggunanya.Beberapa pihak lain yang turut serta dandilibatkan dalam perumusan UU ini sebagai pihak yang memebrikan masukan bagi pansus saat itu adalah perwakilan dari fakultas kedokteran, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Assosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada), Ikatan Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (IRPI), berbagai perhimpunan profesi dokter spesialis yang bernaung di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pakar pengamat rumah sakit, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan stakeholder yang terkait lainnya. Sedangkan orang-orang yang menjadi tim pengkaji saat itu adalah PB IDI yang diketuai oleh Sekjen PB IDI ketika itu, yaitu Dr.Zaenal Abidin, serta dengan menghimpun pendapat dari beberapa ahli hukum, seperti Soehino, A.Hamid S.Attamimi yang dikuti Maria Farida Indrati Soeprapto, Bagir Manan dan Kuntana MagnarLahirnya undang-undang rumah sakit, menurut sejumlah pengamat, bisa dikatakan akan membawa harapan baru bagi pasien. Materi UU yang telah disahkan pada tanggal 28 Oktober 2009 ini akan lebih menjamin hak pasien dalam mendapatkan pelayanan rumah sakit. Tak hanya melindungi pasien, tetapi juga memberikan perlindungan kepada rumah sakit dan petugas yang bekerja di institusi tersebut.Selain itu, yang ingin ditekankan adalah bahwa rumah sakit harus diselenggarakan berdasarkan asas Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta memiliki fungsi sosial.Terkait wacana utama tentang Perlindungan dan Keselamatan Pasien yang diangkat dalam penyusunan undang-undang ini serta dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan undang-undang ini, maka adalah hal yang penting ketika isi dalam undang-undang ini membahas tentang peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit jika tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah tercantum dalam Bab V pasal 7-16 (pasal 17).Hal ini dikarenakan, untuk meningkatkan mutu dan meminimalisir terjadinya kasus kesalahan pelayanan terhadap pasien, peralatan harus distandarisasi agar memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai. Kasus-kasus yang terjadi pada pasien bukan hanya dikarenakanhuman errordari petugas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, namun juga dikarenakan oleh peralatan-peralatan yang tidak terstandarisasi dan tidak layak pakai.

UU Nomor 11 Tahun 2008Kasus antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional adalah salah satu kasus yang termasuk pelanggaran UU No. 11 Tahun 2008. Alur mula dari kasus ini adalah ketika Prita mulyasari menyampaikan keluh kesal atas perlayanan yang diberikan kepada dirinya saat berobat di RS Omni melalui surat elektronik yang disebarkan kepada teman-temannya. Surat elektronik yang diberikan kepada teman-temannya sebagai sarana "curhat" ini menjadi masalah ketika RS Omni menganggap tindakan tersebut sebagai tindakan pencemaran nama baik. Prita mulyasari pun akhirnya dijerat dengan UU no 11 tahun 2008 tentang ITE, pasal yang dikenakan adalah pasal 27 dari undang-undang tersebut.

Dari sepenggal kasus diatas kita dapat mengambil sedikit gambaran mengenai tindakan apa saja yang dapat dijerat ke dalam pasal 27 tersebut. Pasal 27 sendiri berbunyi bahwa yang dimaksud dengan tindakan terlarang adalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mengandung muatan kesusilaan, penghinaan, perjudiaan, pencemaran nama baik dan pemerasan.

Dari penjelasan mengenai pasal 27 mengenai tindakan yang dilarang tersebut kita dapat melihat bahwa tindakan mengirimkan e-mail yang berisi keluh kesah dari Prita Mulyasari tersebut dianggap oleh RS Omni sebagai salah satu perbuatan mencemarkan nama baik. Seperti penjelasan pada postingan sebelumnya, munculah sedikit masalah dalam penerjemahan dari pasal tersebut karena tindakan Prita tersebut bisa saja dianggap sebagai salah cara mengungkapkan pendapat yang tentu saja mendapat jaminan dari undang-undang dasar tentang kebebasan mengeluarkan pendapat.

Sekarang kita melihat tentang pasal mengenai hukuman yang ditetapkan kepada pelaku dari pelanggaran Undang-undang tersebut. Pasal yang digunakan untuk menghukum dari pelaku pelanggaran pasal 27 tersebut adalah pasal 45 ayat 1 dimana pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 27 dapat djerat dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda maksimal sebesar 1 milyar rupiah. Mengenai pelaksanaan dari pasal tersebut sendiri hakim sebenarnya dapat menambahkan dengan pasal lain yang terdapat di KUHP mengenai pidanatambahan bersifat fakultatif, artinya bukan merupakan suatu keharusan,artinya hakim boleh tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut.

Kesimpulan yang dapat diambil dari pasal 27 tersebut adalah bahwa pada beberapa kasus seperti kasus prita mulyasari tersebut faktanya membuktikan bahwa meskipun tindakan prita menyebarkan e-mail mengenai ketidakpuasannya terhadap RS Omni menggunakan media teknologi, itu merupakan salah satu bentuk dari kebebasan menyatakan pendapat yang harus lebih hati-hati disingkapi sehingga tidak menimbulkan suatu kebingungan saat menggunakan pasal tersebut sebagai tindakan melakukan pencemaran nama baik. Di sisi lain bagi para pengguna internet tetap harus memperhatikan aturan yang berlaku sehingga tidak berubah menjadi tindakan yang melanggar UU tersebut.