Upload
trinhminh
View
235
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEH
(Analisis terhadap Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Bisril Hadi NIM: 109032100019
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sripsi berjudul PROBLEMATIKA PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI
ACEH (Analisis Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Februari 2017. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Jurusan Studi Agama-Agama.
Jakarta, 14 Februari 2017
i
ABSTRAK
BISRIL HADI
“Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 25 Tahun 2007)”
Bisril Hadi, “Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007)”. Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi
Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 29
Januari 2017.
Pada dasarnya beribadah dan membangun rumah ibadah adalah dua hal yang berbeda.
Beribadah merupakan ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan membangun rumah ibadah adalah tindakan yang berhubungan dengan
warga negara lainnya karena berhubungan dengan hal-hal yang fundamental, seperti:
kepemilikan tanah, kedekatan lokasi, dan lain sebagainya. Mendirikan rumah ibadah
di Aceh tidak semudah mendirikan rumah ibadah di daerah-daerah lain di Indonesia.
Meskipun Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006 sebetulnya sudah sangat detail dalam mengatur pendirian rumah
ibadah, tapi di tingkat daerah khususnya Aceh merasa penting untuk menindaklanjuti
dengan aturan yang lebih detail lagi karena Aceh mempunyai keistimewaan dan
kekhususan melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun
2016. Berkaitan dengan pendirian rumah ibadah di Aceh telah diatur melalui
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 disingkat Pergub. Dikeluarkannya
Pergub ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, bagi kalangan yang
mendukung beranggapan bahwa adanya Pergub ini merupakan langkah konkrit
sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang pelaksanaan syariat Islam
sebagai agama mayoritas di Aceh. Sebaliknya, bagi golongan yang kontra
menganggap bahwa Pergub ini mempersempit peluang minoritas dalam mendirikan
rumah ibadah di Aceh. Kekurangan yang terdapat pada Pergub ini adalah posisi
landasan hukumnya belum kuat dan tidak adanya sanksi hukum bagi yang melanggar.
Oleh karena itu, Pemerintah Aceh segera mengesahkan qānūn/peraturan daerah agar
status hukumnya lebih kuat. Selain memperkuat kerukunan umat beragama,
kehadiran qānūn ini diharap mampu menyelesaikan permasalahan pendirian rumah
ibadah di Aceh.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan mengkaji muatan-muatan yang terkandung
dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 dan realisasi pelaksanaannya
serta untuk mengetahui bagaimana respon umat beragama dan Pemerintah Daerah
terkait muatan dalam Pergub tersebut. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti
menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan sosiologis
untuk mengetahui realita interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat Aceh.
Dalam usaha memperoleh data, penulis melakukan wawancara (interview) dengan
beberapa narasumber yang dianggap dapat mewakili untuk mendeskripsikan
mengenai masalah yang diteliti. Adapun dalam pembahasan skripsi ini, penulis
menggunakan metode analisis deskriptif.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ilahi Rabbi dengan segala karunia dan nikmat yang
diberikan kepada umat manusia, hingga sebahagian kecil dari sebuah perjalanan
hidup yang diarungi oleh salah seorang hamban-Nya, tak pernah luput dari
pantauan dan perhatian-Nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang
kepada-Nya. Tuhanku dan Tuhan semesta alam karena kesehatan fisik dan mental
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis danpat merampungkan penulisan
skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di Program Studi Perbandingan
Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syrif Hidayatullah
Jakarta.
Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi akhir zaman dan
kekasih Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW., yang telah memperkenalkan
kepadaku sesuatu yang telah menjadi way of life selama perjalanan hidup yang
telah, sedang, dan dijalani penulis merupakan bagian hidup yang tak terpisahkan
untuk memahami dan mengerti tentang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan, bimbingan, dan
motivasi dari semua pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik.
Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-
besarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis, MA. selaku pembimbing dalam
penulisan skripsi ini yang di tengah kesibukan masih berkenan meluangkan
iii
waktu dan tenaganya serta kesabarannya memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis sehingga membuka cakrawala berfikir dan nuansa keilmuan
yang baru. Hanya Allah yang dapat membalas semua kebaikan Bapak, dan
semoga Bapak beserta keluarga selalu dikaruniai kesehatan, umur panjang,
kelancaran rezeki dan bahagia dunia maupun akhirat kelak.
2. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, selaku Penasehat Akademik penulis.
Terimakasih atas nasehat-nasehatnya yang telah bersedia memberi arahan
dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer,
MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si.
selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Bapak Dr. H. M. Suryadinata,
M.Ag. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan
Kerjasama.
4. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA. selaku Ketua Prodi Studi Agama-
Agama dan Ibu Dra. Halimah SM, MA. selaku Sekretaris Prodi Studi
Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan arahan dan juga masukan kepada penulis. Bapak
Abdul Hakim Wahid, MA selaku dosen pembantu Prodi Agama-Agama
yang telah memberikan nasehat-nasehat dan saran-saran kepada penulis,
juga mempermudah dalam pengurusan surat-menyurat administratif jurusan.
iv
5. Para dosen Fakultas Ushuluddin terutama Prodi Studi Agama-Agama yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen
selalu diberikan kesehatan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis
dapat bermanfaat.
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Pimpinan beserta staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan
Utama dan Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Bapak Prof. Dr. Farid Wajdi, MA. selaku Rektor UIN Ar-Ranirry Banda
Aceh, Bapak Drs. H. Ghazali Abbas Adan selaku Anggota DPD RI
(Provinsi Aceh), Bapak Drs. H. Hasyim Syamsuddin, MA. yang merupakan
salah satu tokoh Aceh di Jakarta, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Aceh dan Bapak Willy Putrananda selaku Pengurus Vihara Shakyamuni
Banda Aceh. Terimaksih atas kesediaan dan waktunya untuk penulis
wawancarai dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
9. Keluarga tercinta yaitu Ibunda Asnimar dan Bapak Taharuddin yang selalu
memberikan doa restu dan dukungannya berupa materi, motivasi, nasehat,
serta kasih sayang yang tiada hentinya bagi penulis. Adik-adik ku tersayang
Taufik Muftawin, Ariadi Ananda, Faizun Saputra, Agus, Fachrul Rizal, dan
“si kembar” Alya Adriana dan Alya Jazilla. Semoga selalu dalam lindungan
Allah Swt. Amin. Miss You All!
v
10. Big Thanks to Pak Puk atas doa, arahan, nasehat dan bantuan materilnya
yang sangat membantu selama tinggal di Jakarta. Semoga dalam lindungan-
Nya, dimudahkan rezekinya dan sehat selalu. Terimakasih juga kepada Pak
Uwo, Bengsu, Pak Soehardi dan Ibu, Bundo, Pak Tanga, Pak Uda, Pak Acu,
Angku GosTel, Angku Sibolga, Angku Tanjung Pinang, Paman Wasil, Kak
Wardiah, Mak Janul, Mak Azwir dan Mak Azmal yang tidak henti-hentinya
mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan studi. Terimakasih atas
semua bantuan materilnya. Semoga tetap dalam lindungan-Nya dan
dimudahkan rezekinya.
11. Dan untuk seseorang yang spesial My Love Elis Rostiani, S.Th.I yang lebih
dahulu menyelesaikan studinya. Meskipun demikian, selalu membantu,
menemani, dan tak henti-hentinya mengingatkan serta memberikan
semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan
mempermudah urusan kita. Amin.
12. Thanks soo much to Juli Ahsani, S.Th.I yang juga sedang menyelesaikan
Tesis. Terimakasih atas masukan dan ide-ide nya sehingga penulis ter-
inspirasi untuk menemukan judul skripsi ini. Good luck brooo!
13. Pak Mahyudin dan Ibu Siti Hasanah (Neng) selaku orang tua kami di
Jakarta, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas semua
nasehat bimbingannya dengan penuh keikhlasan telah memberikan
perhatian maupun kasih sayang kepada kami. Semoga Bapak dan Ibu selalu
dikaruniai nikmat kesehatan, keluasan rezeki dan umur panjang.
vi
14. Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (PP-TIM) Jakarta, Pengurus Pusat
Taman Iskandar Muda Cabang Ciputat, dan Yayasan Cinta Ibu Serambi
Mekkah yang telah memberikan bantuan dana pendidikan (baik zakat
fitsabilillah maupun uang bulanan) kepada penulis. Bantuan Bapak/Ibu
sangat bermanfaat bagi penulis dalam menempuh studi dan biaya hidup
selama di Jakarta. Saya ucapkan terimakasih, hanya Allah yang dapat
membalas jasa-jasa Bapak/Ibu sekalian.
15. Guru-guru tercinta, SDN 1 Kuala Baru, SMPN 3 Kuala Baru dan juga
SMAS Sekolah Sukma Bangsa (Pidie) yang telah memberikan ilmu-
ilmunya kepada penulis hingga menjadi sekarang ini. Terimakasih Guruku!
Kalian adalah pahlawan tanpa jasa.
16. Teman-teman KKN BBM (Belajar, Bekarya dan Mengabdi) 2012 UIN
Jakarta; Amizar Isma, Mulyadi, Masrukhin, Fasjud Syukroni, M. Reza
Istaqim, M. Bagus Salim, Rizki Ramadhani, Dwi Pranata, Arif Rahman,
Rizky Noor Alam, Eni Noor Aini, Aam Mariyamah, Putri Syahri Dzulhijah,
Muzie, Amira, Khairunnisa Lubis dan Meutia Rachmawati.
17. Teman-teman HMI Komfuf, HMI Cabang Ciputat, dan BEM-J
Perbandingan Agama serta BEM-F Ushuluddin. Yakusa!
18. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (IMAPA) Jakarta; baik
Pengurus Pusat maupun Pengurus Cabang, teruslah berjuang dalam
menuntut ilmu di perantauan. Jaga terus silaturrahmi dan tetap solid!
vii
19. Para Senior, Alumni serta sahabat IMAPA Jakarta; bang Nazirullah, bang
Rahmatul Fadhil, bang Nazri Adlani, bang Rizki Mauliadi, bang M. Yasir
Arafad, bang Fajar Rizki, dan bang Wahyu “Teudayah” yang selalu
menyempatkan waktu untuk ngopi bareng, sharing pengalaman dan
mendiskusikan banyak hal. Kak Alfi Syahriati, Kak Nurur Rahmah, dan
para senior dan alumni lainnya. Terimakasih atas nasehat-nasehatnya.
Sahabat-sahabat IMAPA; bro Amizar Isma, Desiana, July Ahsani, Dwi
Abdullah, Nasruddin, Mulyadi, Mahdi, Arsyad, Rabuman, Salina, Farida,
Saiful Rahmat, Inas Ghina, Mawaddah, Hilma Azmi, Istiqomah, Rima,
Ainul, Tika, Mayra, Dian, Subhan, Abi Surya, Ali Ridha, Anjar dan teman-
teman semua yang tidak disebutkan. Terimakasih atas kebersamaannya.
20. Sahabat seperjuangan (Sukma Bangsa 2009); July Ahsani, Mahdi, Mulyadi,
Dwi Abdullah, Nasruddin, Arsyad, Samsul Bahri, Rabuman, Desiana,
Salina, Farida, Rahmad Syalevi dan Yusrizal. Dimanapun kalian berada,
semoga tetap dalam lindungan Allah Swt. dan semoga ilmu yang telah
diraih dapat bermanfaat dan berkah.
21. Teman-teman Perbandingan Agama 2009; July Ahsani, Ahcmad Rizal,
Almam Faluki, Nirmatullah Efendi, Helmi, Habiburrahman, Abdurrohman,
M. Thamrin Sau, Samsul Bahri, Ipan Fahmi Fauzillah, Dimas Sigit,
Shalihing, Anton Nuryantono, Wahidin Mulyadi, Rifky Firdaus, Reni
Rosita, Suartinih, Elina Alfiani, Siti Rahmah, Rodiah Adawiah, Asiyah dan
Septian Darwis.
viii
22. Senior-senior Perbandingan Agama; bang Wasil, bang Buluk, bang Uzli,
bang Samsul dan kak Ay Shumyati. Terimakasih semuanya atas segala
nasehat dan pengalamannya baik dalam „dunia‟ akademisi maupun dalam
berorganisasi, kegiatan aksi, seminar dan lainnya.
23. Teman-teman yang sering penulis repotkan baik itu kesediaan jasa maupun
kendaraannya (motor); Yofie, Subki, Nanda, Ozoel, Irvan, Faisi, Sofyan,
Iyus, dan Bustamam. Terimakasih kawan!
24. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya, hanya kepada Allah Swt. kita memohon, semoga skripsi ini dapat
memberi makna bagi peningkatan kehidupan keagamaan yang lebih humanis dan
dinamis serta berkeadaban. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat
memberikan manfaat dan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya bagi umat beragama di Aceh dan di Indonesia umumnya dalam
menyikapi persoalan pendirian rumah ibadah. Dan semoga Allah Swt. membalas
jasa-jasa yang telah diberikan kepada penulis dari semua pihak dalam
penyelesaian skripsi ini, juga mendapatkan balasan yang setimpal baik di dunia
maupun di akhirat. Amin
Jakarta, 14 Februari 2017
Penulis,
Bisril Hadi
ix
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK …....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………. 7
D. Metodologi Penelitian ………………………………………... 7
E. Sistematika Penulisan ………………………………………... 12
BAB II GAMBARAN UMUM ACEH
A. Sejarah Singkat ………………………………………………. 14
B. Letak Geografis …………………………………………….... 19
C. Demografi ……………………………………………………. 21
1. Suku Bangsa …………………………………………........ 21
2. Bahasa …………………………………………………...... 23
3. Agama …………………………………………………….. 28
4. Budaya ……………………………………………………. 34
5. Urbanisasi ……………………………………………........ 37
D. Sistem Pemerintahan ………………………………………… 39
1. Pemerintahan Indonesia ………………………………...... 39
2. Pemerintahan Aceh ………………………………………. 43
BAB III PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDIRIAN
RUMAH IBADAH
A. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007……………. 52
1. Landasan Filosofis ………………………………………... 52
2. Landasan Sejarah ………………………………………..... 54
3. Landasan Hukum ………………………………………..... 56
4. Landasan Sosial …………………………………………... 58
x
B. Perbandingan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dengan
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 …………....
59
1. Kelebihan …………………………………………………. 59
2. Kekurangan ……………………………………………...... 63
C. Respon Masyarakat terhadap Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 25 Tahun 2007 ……………………………………......
67
1. Kelompok Pendukung …………………………………….. 68
2. Kelompok Penentang ……………………………………... 71
BAB IV ANALISIS PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 25
TAHUN 2007
A. Realisasi Pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007..... 74
B. Akibat Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007... 83
C. Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama di
Aceh……………………………………………………...........
86
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………... 89
B. Saran-Saran …………………………………………………... 91
DAFTAR PUSTAKA 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN 96
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai penduduk
yang bercorak plural. Pluralitas itu ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan
sosial yang beraneka ragam baik dari segi suku, budaya, ras, maupun agama. Dari
segi agama khususnya, Indonesia ditempati oleh penduduk dengan latar belakang
agama yang berbeda-beda baik agama Mondial (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu),1 maupun agama Lokal (Sunda Wiwitan, Kaharingan,
Marapu, Parmalim, Pemena, dan lain sebagainya). Semua agama tersebut hidup
dan tumbuh subur di Indonesia dengan jumlah pemeluk yang bervariasi. Dengan
adanya pluralitas dalam segi agama, maka semua kelompok agama berupaya
mengekspresikan keberagamaan yang menjadi keyakinan agama masing-masing,
Ekspresi keberagamaan itu menjadi sebuah indikasi atau penanda adanya
penganut suatu agama di daerah tertentu. Tempat yang dimaksud tersebut ialah
rumah ibadah. Rumah ibadah menjadi kebutuhan mendasar bagi semua umat
beragama yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan masing-
masing agama.
1 Keenam agama Mondial ini masuk sebagai agama yang dilayani oleh pemerintah,
sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor
1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama. Pasal 1:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khong Hu Cu”.
2
Dalam konteks budaya, rumah ibadah bagi masyarakat Indonesia bukan
hanya dimaknai sekedar simbol keagamaan saja, tetapi juga sebagai aktualisasi
keyakinan bagi tiap-tiap pemeluk umat beragama sehingga keberadaan rumah
agama sering juga menimbulkan persepsi yang berkaitan dengan aspek kehidupan
sosial-politis. Adanya rumah ibadah juga sebagai sarana sosialisasi dan
internalisasi ajaran agama maka melalui pelestarian sistem keyakinan keagamaan
yang dianut kelompok agama yang kemudian menghasilkan regenerasi bagi
kelangsungan kehidupan kelompok keagamaan sekaligus dengan adanya.2 Dalam
proses regenerasi itu, segala kegiatan yang meyangkut pendidikan keagamaan
juga menjadi aktifitas bagi rumah ibadat. Selain itu, rumah ibadat juga kerap
dijadikan sebagai pusat kegiatan sosial bagi umat beragama yang semua
kegiatannya tak terlepas dari penyiaran keagamaan. Namun di sisi lain,
sebagaimana yang juga disepakati oleh para ahli berpendapat bahwa rumah ibadah
selain sebagai salah satu tempat bagi umat beragama dalam rangka
mengekspresikan kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar
1945.3 Akan tetapi pada waktu dan konteks tertentu juga dapat menimbulkan
2 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia (Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, Januari-Maret 2010), h. 5.
3 Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat sesuai dengan
agama yang diyakininya. Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pasal 28 e Ayat (1) dan (2) juga menyebutkan: (1) Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya.
3
keresahan dalam masyarakat.4 Bahkan keresahan yang muncul tersebut jika terus
dibiarkan dan tidak ada penanganannya maka akan menimbulkan masalah dan
konflik. Masalah yang sering muncul dan hampir selalu dialami oleh setiap
pemeluk umat beragama ialah tentang perizinan mendirikan rumah ibadah selalu
menjadi persoalan di berbagai daerah di Indonesia.
Asumsi sederhana dari penulis bahwa dari berbagai macam persoalan yang
muncul salah satunya diakibatkan karena adanya dominasi peranan Pemerintah
Daerah sebagai upaya memenuhi dorongan aspirasi masyarakat mengeluarkan
regulasi sendiri tentang izin mendirikan rumah ibadah tersebut. Meski secara
jelas, izin mendirikan rumah ibadah di Indonesia telah diatur dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,
namun ada beberapa daerah yang membuat aturan sendiri dalam bentuk peraturan
gubernur (Pergub) seperti halnya Aceh yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Aceh sebagai sebuah provinsi yang mempunyai keistimewaan sebagai
daerah otonomi khusus memang mempunyai hak dan kewenangan tersendiri
untuk membuat atau mengeluarkan kebijakan apapun baik dalam bentuk Qanun
maupun peraturan khusus lainnya. Selain Aceh, Bali yang mayoritas beragama
Hindu juga mempuyai regulasi sendiri dalam membangun tempat-tempat ibadah
di Provinsi Bali sebagaimana yang tertuang dalam Pergub Bali Nomor 10 Tahun
2006. Demikian juga Papua yang mayoritas penduduknya beragama Kristen,
dimana adanya peraturan daerah (Perda) tentang larangan membangun rumah
4 Ubaidillah Marsan (Penyusun), Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat Beragama:
Prosedur Pendirian Rumah Ibadah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Pusdiklat Tenaga Teknis
dan Keagamaan, Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 2.
4
ibadah baru (selain Gereja Injil di Indonesia) di Tolikara dengan alasan Papua
memiliki keistimewaan otonomi khusus. Padahal Perda ini belum diajukan ke
tingkat Provinsi (Papua) meskipun sudah disetujui oleh Bupati dan DPRD
setempat.
Selanjutnya, terkait izin mendirikan rumah ibadah di Aceh telah diatur
melalui Pergub Nomor 25 Tahun 2007 dimana Pergub ini dianggap telah
melampaui PBM Dua Menteri No. 8/2006 dan No. 9/2006 sesuai dengan bunyi
pasal 3 ayat 2 poin a, dimana mengharuskan 150 KTP yang disahkan oleh pejabat
setempat dan sesuai dengan batas wilayahnya serta dukungan sedikitnya 120
orang masyarakat setempat. Sedangkan pada PBM Dua Menteri No. 8/2006 dan
No. 9/2006 syarat yang diajukan untuk membangun rumah ibadah adalah 90 KTP
serta 60 dukungan dari warga. Sebagian golongan menganggap dikeluarkannya
Pergub kontroversial tersebut sangatlah latah. Sementara itu, Gubernur yang
memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan keputusan ini menganggap hal tersebut
adalah langkah konkrit sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Lebih lanjut, peraturan gubernur tersebut lebih
ketat daripada surat keputusan bersama dua menteri dan peraturan menteri
(Permen) sebelumnya.
Namun, sejauh pengamatan dan pengetahuan penulis bahwa Pergub yang
mengatur tentang izin mendirikan rumah ibadah tersebut sampai saat ini masih
menjadi masalah yang tak kunjung menemukan solusinya. Kalangan ulama di
Provinsi Aceh meminta Pergub tentang Pendirian Rumah Ibadah segera dicabut.
“Pergub itu telah meresahkan masyarakat. Karena itu, saya menyerukan Gubernur
5
Irwandi Yusuf5 untuk mencabutnya,” tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk Faisal Ali, di Banda Aceh, Jumat
(23/1/2009).6
Meskipun ketentuan pendirian rumah ibadah sudah diatur dalam Pergub
Aceh Nomor 25 Tahun 2007, tapi pada kenyataannya konflik sekitar masalah
rumah ibadah di lapangan masih saja terjadi. Hal ini bisa dilihat dari kasus
pembakaran geraja di Aceh Singkil yang baru-baru ini terjadi (13/10/2015)
kembali mencederai kerukunan umat beragama di Aceh.
Maka bertitik tolak pada pola pikir di atas, penulis merasa tertarik untuk
menggali lebih dalam lagi mengenai konflik agama yang dalam hal ini adalah
konflik pendirian rumah ibadah di Aceh. Untuk itu penulis merasa perlu untuk
menuangkan serta menuliskan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Problematika
Pendirian Rumah Ibadah di Aceh (Analisis Terhadap Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah)”.
Penelitian ini berusaha memahami keberadaan Pergub Aceh No. 25 Tahun
2007 tersebut dalam mengatur pendirian rumah ibadah agar kerukunan antar umat
beragama terpelihara. Karena sebenarnya agama Islam adalah ajaran agama yang
berisikan nilai-nilai yang mengatur kehidupan masyarakat secara keseluruhan baik
di bidang sosial, ekomoni, budaya bahkan politik. Setiap agama, bukan lembaga,
bukan tokoh, bukan pula sekedar doktrin/tradisi, tetapi merupakan pesan-pesan
5 Gubernur Aceh ke-15, Masa Jabatan 2007-2012.
6 Lihat: http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=DAIHBApWBVpS. Diakses pada 12
Juli 2016.
6
profetis yang sesungguhnya dari agama-agama yang berisikan nilai-nilai yang
diaplikasikan pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.7
Topik ini menarik untuk dikaji karena nantinya dapat memberikan
sumbangsih berupa pemikiran yang signifikan terhadap pemerintah, pemerhati
dan para tokoh agama dalam meciptakan kerukunan antarumat beragama dan
membuat regulasi yang adil, demokratis dan menghargai kemajemukan terkait
pendirian rumah ibadah.
B. Rumusan Masalah
Secara lebih rinci, permasalahan yang akan dikaji dalam studi ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa muatan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
2. Bagaimana realisasi pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25
Tahun 2007?
3. Bagaimana respon umat beragama dan Pemerintahan Daerah tentang
muatan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
4. Bagaimana kerukunan di Aceh setelah dikeluarkannya Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
7 Th. Sumartana dkk, Agama dan Negara, Perspektif: Islam, Buddha, Hindu, Konghucu,
Protestan, h. ix.
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian dan penulisan skripsi ini
adalah untuk mengetahui muatan-muatan yang terkandung dalam Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah,
bagaimana realisasi pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun
2007, bagaimana respon umat beragama dan Pemerintah Daerah tentang muatan
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007, serta untuk mengetahui
bagaimana tingkat kerukunan di Aceh setelah dikeluarkannya Peraturan Gubernur
Aceh Nomor 25 Tahun 2007.
Selain itu, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas akhir
proses pembelajaran di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin, yaitu berupa
penulisan karya ilmiah/skripsi yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai
dokumentasi almamater dan bahan referensi kepada semua pihak, khususnya para
peneliti dan pemerhati yang sesuai dengan topik penelitian ini serta untuk
memperoleh kepuasan intelektual.
D. Metodologi Penelitian
Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan.8 Arti luas metode adalah cara bertindak menurut sistem atau aturan
8 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press, 1998), h. 61.
8
tertentu. Sedangkan arti khususnya adalah cara berfikir menurut aturan atau
sistem tertentu.
Metodologi adalah ilmu metode atau cara-cara dan langkah-langkah yang
tepat untuk menganalisa sesuatu penjelasan serta menerapkan cara. Adapun dalam
metodologi penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field Research)
yang bersifat kualitatif, seperti yang dikemukakan Bagdan dan Taylor bahwa
metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mengahasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku seseorang yang dapat
diamati.
Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang
mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu
individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam
suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh,
komprehensif, dan holistik.9 Jenis penelitian ini bertujuan untuk melukiskan
keadaan obyek dan peristiwa. Data yang terdapat dilapangan dicari kecocokannya
dengan teori yang terdapat dalam literatur. Dalam penelitian ini, penulis akan
mengadakan penelitian terkait Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh.
9 Nuryanti Reni dan Peno Suryanto, Penelitian: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: UKM
Penelitian UNY, 2006), h. 6.
9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Sosiologis. Pendekatan Sosiologis menurut Joachim Wach adalah pendekatan
tentang interaksi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang
terjadi antara mereka.10
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial
yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-perorang, antar kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang-perorang dengan kelompok manusia.
Interaksi sosial tersebut merupakan syarat utama terjadinya aktifitas-aktifitas
sosial.11
Dalam pendekatan sosiologis, agama sendiri dipandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu.12
Perilaku
keagamaan tersebut berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu
maupun kelompok, sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait
dengan sistem keyakinan ajaran agama yang dianutnya. Kaitan dengan penelitian
ini, pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui realita interaksi sosial
yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam hal ini terkait dengan pendirian
rumah ibadah.
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik yaitu metode yang digunakan
terhadap sesuatu data yang terkumpul, kemudian diklasifikasikan, dirangkai,
10
Dadang Kahmad, Metodelogi Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan Agama
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 90.
11 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 61.
12 Ibid., h. 121-122.
10
dijelaskan dan digambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan
menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha memperoleh data, maka penulis menggunakan pengumpulan
data sabagai berikut:
a. Wawancara (interview), adalah pengumpulan data dengan jalan
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpul
data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau
direkam dengan alat perekam (Tape recorder).13
Hal ini dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi yang diperlukan khususnya yang
berkaitan dengan penelitian. Dengan kata lain, metode ini merupakan alat
pengumpulan informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan,
untuk dijawab secara lisan pula antara pencari informasi dan sumber
informasi. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang bisa
memberikan informasi berkaitan dengan obyek penelitian.
b. Pengamatan (Observasi), adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau
gejala-gejala pada obyek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut
data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan
lengkap.14
Penelitian ini menekankan pada penelitian kualitatif, yaitu
13
Syafuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91.
14 Hadari Nawawi, Intrument Penelitian Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University,
1995), h. 74.
11
dengan menggunakan teknik observasi. Adakalanya observasi dilakukan
participant observation yaitu peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh subyek yang diteliti, seolah-oleh merupakan bagian
dari mereka. Juga non pasticipant observation yaitu peneliti berada diluar
subyek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan.
c. Dokumentasi, ialah teknik pengumpulan data dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan berupa peninggalan-peninggalan yang
sesuai denga tema penelitian. Metode ini dimaksudkan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih luas serta wawasan yang obyektif
dan ilmiah tentang tema penelitian.
5. Metode Analisa Data
Analisis data menurut patton (1980: 268), adalah proses mengatur urutan
data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang
signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan
antara dimensi-dimensi uraian.15
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode analisis deskriptif.
Deskriptif yang dimaksud adalah metode penulisan yang berusaha
menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul skripsi ini
menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi ataupun
15
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1989), h. 103.
12
menambahkan. Kemudian dilanjutkan dengan metode analitis kritis yang artinya
memberikan uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok
pembahasan dan permasalahan tanpa adanya upaya memberikan penilaian tertentu
terhadap pembahasan skripsi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan alur yang
jelas dan sistematis.
Sedangkan tekhnik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Isam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014 - 2015 terkait Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis
dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Biro Akademik, Kemahasiswaan dan
Kerjasama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
E. Sistematika Penulisan
Agar skripsi ini dapat terarah pada tujuan yang telah ditetapkan, maka
disusun sistematika sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab
yang masing-masing menampakkan karakteristik yang berbeda namun dalam satu
kesatuan yang saling melengkapi dan berhubungan. Adapun sistematika
penulisannya sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini tercakup di dalamnya
lima pasal pembahasan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah;
Perumusan Masalah; Tujuan dan Manfaat Penelitian; Metode
Penelitian; dan Sistematika Penulisan.
BAB II Berisi ulasan mengenai Gambaran Umum tentang Aceh: Sejarah
Singkat Aceh; Letak Geografis; Demografi; Suku Bangsa, Bahasa,
13
Agama, Budaya dan Urbanisasi Masyarakat. Sistem Pemerintahan
meliputi; Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan
Lokal Aceh.
BAB III Bab ini mendeskripsikan bagaimana Aturan Pemerintah tentang
Pendirian Rumah Ibadah di Aceh yaitu; Pergub Aceh Nomor 25
Tahun 2007 meliputi Landasan Filosofis, Landasan Sejarah,
Landasan Hukum, dan Landasan Sosial. Perbandingan Kelebihan dan
Kekuranga Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 dengan PBM Dua
Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006; serta Respon Masyarakat terhadap
Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007 yang meliputi Kelompok
Pendukung dan Kelompok Penentang.
BAB IV Dalam bab ini penulis mencoba untuk menganalisis dan menjawab
persoalan-persoalan mengenai Analisis Pergub Aceh No. 25 Tahun
2007 terhadap Problematika Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, yaitu
bagaimana Realisasi Pelaksanaan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007
dan Apa Akibat dari Dikeluarkan Pergub Aceh tersebut serta
Bagaimana Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama
di Aceh.
BAB V Bab ini merupakan bab terakhir/penutup yang berisikan Kesimpulan
dari pokok permasalahan dalam kajian skripsi ini, dan dalam bab ini
pula dapat diajukan Saran-Saran yang dianggap penting dan relevan
dengan pokok permasalahan.
14
14
BAB II
GAMBARAN UMUM ACEH
A. Sejarah Singkat
Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan
Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan
dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad
lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang
Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga menjadikan daerah Aceh pertama
masuknya budaya dan agama di Nusantara.
Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan
Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk dan berkembangnya
agama Islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh pedagang Gujarat dari jajaran
Arab menjelang abad ke-9.1
Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya agama
Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di
Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali
Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh
sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagaian besar
pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka.2
1 Naskah oleh Bidang Statistik Sosial, Bidang Statistik Produksi, Bidang Statistik
Distribusi, Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik dan Bidang Integrasi, Pengolahan dan
Diseminasi Statistik, Aceh Dalam Angka 2015, (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh,
2015), h. x1iii. Katalog BPS 1102001.11. Lihat http://aceh.bps.go.id
2 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1iii.
15
Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya
Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang
terdapat di daerah itu. Dengan demikian kesultanan Aceh mencapai puncak
kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda.3
Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan
“Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama,
karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu
mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan daerah ini
sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini
menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh
dari luar. Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan
penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan
Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. Sikap bangsa
Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret
1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh.4
Dalam zaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat
Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik
3 Sultan Iskandar Muda merupakan simbol kejayaan dan kegemilangan kesultanan Aceh
yang dikenal sangat dekat dengan Ulama dan masyarakat. Beliau dinobatkan menjadi Sultan/ Raja
pada tahun 1607-1636.
4 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1iv.
16
Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah
Aceh.
Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh
merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia sebagai
sebuah keresidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan
keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor
1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen.5
Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik
Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi
kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah
administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda
terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo
ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh
sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih
tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Propinsi
Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi
Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli
Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin.6
5 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1v.
6 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1vi.
17
Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi
Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh.
Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh.
beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1950 propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan
sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan
gejolak politik yang menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban
dan ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi
oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956
tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas
keresidenan Aceh.7
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi
Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A.
Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh
belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan
kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama
Missi Hardi tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak
politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak
lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau
Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi
7 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1vii.
18
Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak
otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan.8 Status ini
dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang
menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi
munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang
demikian ini memunculkan pergolakan.
Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi
Khusus dengan disahkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2002 dan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.9
Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009
tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam
Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009,
ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur
dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur
Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas
di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari
sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi
sebutan/nomenklatur "Aceh". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam
8 Humas Pemda Aceh, Aceh 40 Tahun: Derap Langkah Pembangunan 1959-1998/1999
(Banda Aceh: Humas Banda Aceh), h. 290.
9 Aceh Dalam Angka 2015, h. x1viii.
19
Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai
provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.10
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959),
kemudia Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-
2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang).11
Sebelumnya, nama Aceh biasa
ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
B. Geografis
Aceh terletak paling Barat dari kepulauan indonesia, tepatnya di ujung Barat
laut pulau Sumatera. Provinsi Aceh terletak antara 01º 58‟ 37,2” – 06º 04‟ 33,6”
Lintang Utara dan 94º 57‟ 57,6” – 98º 17‟ 13,2” Bujur Timur dengan ketinggian
rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terdiri
atas 18 Kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6.474 gampong
atau desa.12
Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan
dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan
sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat hanyalah
dengan Provinsi Sumatera Utara, sehingga memiliki ketergantungan yang cukup
tinggi dengan Provinsi Sumatera Utara.13
10
Aceh Dalam Angka 2015, h. x1ix.
11 Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009. Lihat http://www.acehprov.go.id/
12 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.
13 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.
20
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 Ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang
mencapai 2.270.080 Ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700.350 Ha.
Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2.096 Ha.14
Gambar 1.1
Peta Provinsi Aceh
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010,15
jumlah penduduk
Aceh sementara adalah 4.494.410 yang terdiri dari 2.249,0 ribu jiwa laki-laki dan
2.245,5 ribu jiwa perempuan, dengan laju pertumbuhan sebesar 2,32 persen per
tahun. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, jumlah penduduk di provinsi
14
Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.
15 Sensus Penduduk Aceh 2010.
21
Aceh berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2011 sebanyak 4.619.033 jiwa, tahun
2012 sebanyak 4.715.108 jiwa, tahun 2013 sebanyak 4.811.133 jiwa dan pada
tahun 2014 sebanyak 4.906.835 jiwa, terdiri atas 2.449,4 ribu jiwa laki-laki dan
2.457,4 ribu jiwa perempuan. Dan kepadatan penduduk di Provinsi Aceh tahun
2014 mencapai 86 orang/km².16
Lokasi suaka alam/objek wisata alam di Provinsi Aceh ada di dua belas
lokasi, yaitu Taman Buru Lingga Isaq, Cagar Alam Serbajadi, Taman Wisata dan
Taman Laut Pulau Weh Sabang, Cagar Alam Jantho, Taman Nasional Gunung
Leuser, Taman Wisata Alam Kepulauan Banyak, Suaka Margasatwa Rawa
Singkil, Taman Wisata Alam Jantho, Taman Wisata Alam Aceh Besar, Taman
Hutan Raya Pocut Meurah Intan, Taman Hutan Raya Subulussalam dan Taman
Hutan Raya Simeulue.17
C. Demografi
1. Suku Bangsa
Aceh memiliki 13 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah Suku Aceh yang
mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan
Trumon di pesisir barat selatan. Suku lainnya adalah Suku Gayo, seperti: Suku
Gayo Lut, Suku Gayo Luwes, Suku Gayo Serbe Jadi yang mendiami wilayah
pegunungan di Aceh Tengah. Selain itu juga dijumpai suku-suku lainnya seperti,
Aneuk Jamee di Aceh Selatan, Singkil dan Pakpak di Subulussalam, Singkil dan
16
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. Lihat: http://aceh.bps.go.id/
17 Aceh Dalam Angka 2015, h. 3.
22
Alas di Aceh Tenggara, Kluet di Aceh Selatan dan Tamiang di Aceh Tamiang,
dan di Pulau Simeulue terdapat Suku Sigulai.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh
(50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%),
Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), lain-lain (10,09%).18
Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik
sehingga cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat
itu. Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur
dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten
Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas suku Aceh.19
Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 suku bangsa terbesar di Aceh,
yaitu:20
No Suku Bangsa Jumlah Persentase
1 Suku Aceh 3.160.728 70,65
2 Suku Jawa 399.976 8,94
3 Suku Gayo 322.996 7,22
4 Suku Batak 147.295 3,29
5 Suku Alas 95.152 2,13
6 Suku Simeulue 66.495 1,49
7 Suku Aneuk Jamee 62.838 1,40
8 Suku Tamiang 49.580 1,11
9 Suku Singkil 46.600 1,04
10 Suku Minangkabau 33.112 0,74
11 Lain-Lain 89.172 1,99
18
Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape.
Institute of Southeast Asian Studies. 2003. ISBN 9812302123.
19 Changing Ethnic Composition: Indonesia 2000-2010.
20 Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M. Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, dan Agus
Pramono (2015). Demography of Indonesia’s Ethnicity. Institute of Southeast Asian Studies dan
BPS – Statistics Indonesia, h. 98.
23
2. Bahasa
Bahasa merupakan bagian yang terpenting dan tak terpisahkan dari
kebudayaan suatu bangsa. Tanpa bahasa, sukar dibayangkan bagaimana
perkembangan kebudayaan suatu bangsa.21
Bahasa Aceh terdiri dari berbagai macam bahasa dari berbagai suku yang
mendiami daerah ini, di antaranya;
1) Bahasa Aceh
Bahasa merupakan cermin dari budaya suatu masyarakat, dan ketika
kita hendak mengenal karakter suatu masyarakat salah satunya kita harus
memahami bahasanya. Bahasa Aceh merupakan bahasa pada umumnya
paling banyak dipakai masyarakat Aceh, yakni sekitar 70% dari total
penduduk Aceh (Daud, 1997:10, Daud and Durie, 1999:1)22
. Menurut
pengamatannya penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan
Barat Aceh. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami
Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten
Aceh Jeumpa, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Timur, Kabupaten Aceh
Jaya, Kabupaten Aceh Barat dan Kota Sabang.
Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam
Kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie,
21
Abdul Gani Syik, Sinar Darussalam: Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan, No.
174/175.
22 Bukhari Daud, Bahasa dan Sastra Aceh: Milik Siapa?, “Makalah” (2004) dalam Muliadi
Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda Aceh: Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009), Cet. 1, h. 63.
24
Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.
Bahkan di Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita
dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain
itu, diluar provinsi Aceh, yaitu daerah-daerah perantauan masih ada juga
kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa
Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas
masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia
serta Sydney di Australia (Daud, 1997:30).23
2) Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan
bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo
yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa
ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah,
sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten
Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini
mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian
didong.24
3) Bahas Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan
oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami
23
Bukhari Daud, Bahasa dan Sastra Aceh: Milik Siapa? h. 64.
24 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya (Banda
Aceh: LKAS, 2009), Cet. 1, h. 64.
25
Kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan
penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di Kabupaten Aceh Singkil,
merupakan penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk Kabupaten Aceh
Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di
lima kecamatan, yaitu Kecamatan Lewe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,
Babussalam, dan Bandar (Abdullah, dkk,1987:2).25
4) Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng)
merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh
masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh
Timur), kecuali di Kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah
bahasa Aceh) dan Kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni
bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa
Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.26
5) Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama penutur bahasa Aceh) dengan
bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan bahasa ini
merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah
Susoh, Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar
wilayah Aceh Selatan, menurut Wildan (2002:2), bahasa ini juga digunakan
25
Wildan, Tata Bahasa Aceh: Untuk Madrasah Dasar dan Madrasah Lanjutan (Banda
Aceh: Global Education Consultant Institute [Geuci], 2002) dalam Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata
Sejarawan…, h. 65.
26 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 65.
26
oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil dan
Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Kaway XVI (Desa Peunaga Rayek,
Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan ranto Kleng), serta di
Kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa
Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok
masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat Aceh dengan
bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Nama Aneuk
Jamee (yang secara harfiah bermakna „anak tamu‟, thus „bangsa pendatang‟)
yang dinisbahkan pada bahasa ini adalah refleksi yang tersirat dari makna
masyarakat pendatang itu sendiri. Bahasa ini dapat disebut juga sebagai
variant dari bahasa Minang.27
6) Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami
daerah Kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh
Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang
bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas,
terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri tidak banyak mengetahui tentang
seluk-beluk bahasa ini.28
7) Bahasa Singkil
Bahasa Singkil masih sangat terbatas dan sangat sedikit dapat dipahami
oleh masyarakat Aceh secara umum, ini sama halnya dengan bahasa Kluet.
27
Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 65-66.
28 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66.
27
Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten
Aceh Singkil. Sebagian masyarakat di Aceh Singkil menggunakan bahasa
Aceh, bahasa Aneuk Jamee, sebagian lainnya menggunakan bahasa Minang,
dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa
Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah
Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan
Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi dari sudut pandang
linguistik bahasa yang dipakai masyarakat Singkil adalah bahasa
pluralistik.29
8) Bahasa Haloban
Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan
oleh masyarakat di kabupaten Aceh Singkil, khususnya mereka yang
mendiami “Puloe Banyak”, terutama sekali di Pulau Tuanku (Wildan,
2002:2). Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan
yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa
Haloban sangat sedikit dan perlu dilestarikan agar tidak hilang.30
9) Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah
penuturnya 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa
Simeulue, seperti diamati Asyik dan Daud, dkk (2000:1), menemukan
29
Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66.
30 Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 66-67.
28
bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah
pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue;
mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa
daerah, yakni bahasa Simeulue.
Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah yaitu
bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan
bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa
tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. Wildan (2002:2) misalnya,
mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa
Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan
yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah
dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh
masyarakat di wilayah kecamatan Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
Dari beberapa anggota masyarakat pulau Simeulue yang kami hubungi,
kami peroleh informasi bahwa ketiga bahasa yang ada di pulau tersebut
merupakan bahasa yang berbeda dan terpisah.31
3. Agama
Berdasaran data sensus tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Aceh sebesar
4.494.410 jiwa, dan penduduk terbesar di Provinsi ini berada di Kabupaten Aceh
Utara. Adapun Provinsi ini terdiri dari 18 Kabupaten dan 5 kota.
31
Muliadi Kurdi, Aceh Di Mata Sejarawan, h. 67.
29
Bila di lihat dari besaran agama yang paling banyak di anut, sebagain besar
penduduk Aceh memeluk agama Islam, yang berikutnya adalah agama Kristen,
Budha dan Katolik. Agama Islam menjadi mayoritas di semua kabupaten dan
kota, sedangkan Agama Kristen dengan jumlah besar di Provinsi ini ada di
Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, Agama Katolik dengan populasi
besar ada di Aceh tenggara, dan Agama Budha berada di Kota Banda Aceh dan
Aceh Tamiang. Berikut data di sajikan dalam bentuk tabel untuk setiap kota dan
kabuaten di provinsi Aceh.
Tabel 1.1
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut
Provinsi Aceh
Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik Republik Indonesia
Dalam pengambilan data dimaksud, dari total jumlah penduduk yang didata,
di temukan data yang tidak terjawab sebesar 1 jiwa dan tidak ditanyakan sebesar
20.030 jiwa, dan lainnya sebesar 277 jiwa. Maka ketiga jumlah itu jika
30
ditambahkan dengan jumlah penduduk yang terdata pada tabel, yang ditemukan
adalah jumlah total penduduk dalam provinsi di maksud. Adapun pada kolom
jumlah dalam tabel, untuk sub jumlah pada tiap kabupaten dan kota, adalah
penjumlahan dari besaran yang ada pada kolom-kolom Agama di sampingnya,
sedangkan selisih kurang dari jumlah tersebut adalah mereka yang masuk pada
kategori data tidak terjawab dan tidak terdata seta lain-lain.32
Adapun persentase penduduk menurut pemeluk agama dalam
kabupaten/kota menurut Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
tahun 2014 menunjukkan agama Islam dengan persentase tertinggi dengan jumlah
98,923 %, disusul agama Protestan dengan presentase 0,795 %, Katolik 0,162 %,
Hindu 0,014 %, Buddha 0,103 %, Konghuchu 0,005 %. Berikut data persentase
penduduk menurut pemeluk agama dalam bentuk tabel untuk setiap
kabupaten/kota di provinsi Aceh. 33
32
Data Sensus Penduduk 2010.
33 Aceh Dalam Angka 2015, h. 112.
31
Tabel 1.2
Presentase Penduduk Menurut Pemeluk Agama dalam Kabupaten/Kota, 2014
Provinsi Aceh
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
Adapun jumlah rumah ibadah menurut jenis agama di masing-masing
kabupaten/kota di Aceh tahun 2014 sebagaimana yang telah diterbitkan oleh
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2015, adalah dimana
jumlah rumah ibadah umat Islam (Masjid) dari tiap-tiap kabupaten/kota di Aceh
32
berjumlah 3.939 Masjid dan Meunasah34
dengan jumlah 6.363 unit. Selain itu,
jumah rumah ibadah umat Katolik berjumlah 6 Gereja dan Protestan dengan
jumlah 36 Gereja, rumah ibadah umat Buddha berjumlah 17 Vihara, dan umat
Hindu tidak memiliki bangunan rumah ibadah.35
Untuk lebih jelas, silahkan lihat
tabel dibawah ini:
Tabel 1.3
Jumlah Tempat Ibadah Menurut Jenis Agama dalam Kabupaten/Kota, 2014
Provinsi Aceh
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh
34
Secara etimologi, Meunasah berasal dari perkataan Madrasah, yaitu tempat belajar, atau
sekolah. Bagi masyarakat Aceh, meunasah tidak semata-mata sebagai tempat belajar akan tetapi
memiliki multi fungsi, disamping sebagai tempat belajar juga digunakan sebagai sebagai tempat
ibadah (shalat), tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur bagi pemuda,
tempat menginap bagi musafir dan sebagai tempat kegiatan administrasi pemerintahan
gampong/kampung. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam
di Indonesia (Jakarta: Perdana Media Graup, 2007), h. 23. Jika ditinjau dari segi pendidikan,
meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat disamakan dengan
tingkatan sekolah dasar. Hasyimi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beuna, 1983), h.192.
Setiap kampung mesti ada meunasah yang dijadikan sebagai tempat berbagai aktifitas yang
berhubungan dengan kepentingan kampung.
35 Aceh Dalam Angka 2015, h. 111.
33
Sedangkan menurut Kemenag Aceh Dalam Angka Tahun 2014 terkait data
keagamaan yang dalam hal ini adalah jumlah rumah ibadah, terdapat perbedaan
signifikan menyangkut jumlah rumah ibadah, seperti rumah ibadah umat Islam
dengan jumlah 3.930 Masjid (95,16%), Gereja Kristen berjumlah 165 Gereja
(4,00%) dan Gereja Katolik dengan jumlah 20 Gereja (0,48%). Selain itu, jumlah
rumah ibadah umat Buddha berjumlah 14 Vihara (0,34%), dan rumah ibadah umat
Hindu hanya 1 Pura (0,02%).36
Silahkan lihat tabel dibawah ini!
Tabel 1.4
Jumlah Rumah Ibadah
Tahun 2014
36
Tim Penyusun, Kemenag Aceh dalam Angka Tahun 2014 (Banda Aceh: Subbagian
Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, 2014), h. 7.
*) Belum termasuk Meunasah dan Mushalla
**) Belum termasuk Sanggah
34
4. Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.37
Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istidat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.
Budaya Aceh merupakan kumpulan budaya dari berbagai suku di Aceh,
dimana masing-masing 11 suku yang terdapat di Aceh mempunyai budaya, bahasa
dan pola pikir masing-masing.38
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan
tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan
syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum Republik
Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam sudah meresap ke
dalam diri masyarakat Aceh.
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur
kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk
37
Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi dalam Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#cite_note-Human-1 . Diakses pada 26 Juni 2016.
38 Budaya Aceh, Wikipedia. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Aceh. Diakses
pada 26 Juni 2016.
35
agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing.
Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di
sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya
tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang
terdapat dalam Bahasa Aceh, Aneuk Jame, Tamiang, Gayo, Alas, Haloban, kluet.
Bentuk sastra lainnya adalah puisi yang dikenal dengan hikayat, dengan salah satu
hikayat yang terkenal adalah Hikayat Prang Sabi (Perang Sabil).
Adapun budaya yang terdapat dalam masyarakat Aceh adalah sebagai
berikut:
1) Budaya membuka lahan, Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan
yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan
masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius
sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-
kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan
sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
2) Budaya bercocok tanam; Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan
lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni
Panglima Uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti
Petua Seuneubôk, Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.
Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua
Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu
36
wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan
tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan
seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan
hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam
menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blang.
3) Peusijuek; Peusijuek adalah sebuah prosesi adat dalam budaya
masyarakat Aceh yang masih dipraktikan hingga saat ini. Tradisi peusijuek
ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam kehidupan
masyarakat di Aceh. Misalnya ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan
persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru,
merayakan kelulusan, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji,
kembalinya keluarga dari perantauan dan masih banyak lagi.
Pada kalangan masyarakat pedesaan di Aceh peusijuek merupakan prosesi
adat yang cukup biasa dilakukan bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun
misalnya ketika membeli kendaraan baru atau ketika hendak menabur benih
padi di sawah. Sementara bagi masyarakat perkotaan yang lebih modern
tradisi peusijuek ini hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan adat saja
misalnya dalam prosesi adat perkawinan.
Ritual peusijuek ini mirip dengan tradisi tepung tawar dalam
budaya Melayu. Di Aceh yang melakukan acara peusijuek adalah tokoh
agama maupun adat yang dituakan ditengah masyarakat. Bagi kaum lelaki
yang melakukan peusijuek adalah tokoh pemimpin agama Teungku (Ustadz)
37
sedangkan bagi wanitanya adalah Ummi atau seorang wanita yang dituakan
ditengah masyarakat. Diutamakan yang melakukan peusijuek ini adalah
mereka yang memahami dan menguasai hukum agama sebab prosesi
peusijuek ini diisi dengan acara mendoakan keselamatan dan kesejahteraan
bersama sesuai dengan agama Islam yang dianut secara umum oleh
masyarakat Aceh.
4) Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
5) Dan lain-lain.
5. Urbanisasi
Urbanisasi adalah suatu proses perpindahan penduduk dari desa ke kota atau
dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat
perkotaan.39
Seorang sarjana lain mengartikan urbanisasi sebagai suatu proses,
membawa bagian yang semakin besar dari penduduk suatu negara untuk berdiam
di pusat-pusat perkotaan. Yang bermakna bahwa gejala pertumbuhan kota tidak
perlu (selalu) berarti terjadinya urbanisasi. Kalau pertambahan di desa-desa
menurut perbandingan sejalan dengan pertumbuhan penduduk di kota, maka tidak
dapat dikatakan telah terjadi urbanisasi.40
Urbanisasi adalah masalah yang cukup
serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa
dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial
kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa
39
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV: Rajawali Press, 1982),
Edisi 1, h. 150.
40 J.W. Schoort, Modernisasi (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), Cet-2, h. 263.
38
didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum,
aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu
adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.41
Begitu juga halnya dengan Provinsi Aceh. Berikut disajikan tabel tingkat
kepadatan penduduk menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/Km²) dari tahun 2010-2014.
Tabel 1.5
Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/Km²), 2010-2014
Provinsi Aceh
Kepadatan penduduk di Provinsi Aceh tahun 2014 mencapai 86 orang/km².
Namun, penduduk yang menyebar di dua puluh tiga kabupaten/kota berbeda
41
Wikipedia, lihat http://wikipedia.org/wiki/urbanisasi. Diakses pada 01 Juni 2016.
39
kepadatannya antar daerah. Daerah terpadat adalah Kota Banda Aceh yang rata-
rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh sekitar 4.455 jiwa. Lalu Kota
Lhokseumawe dan Kota Langsa masing-masing 1.225 jiwa/km² dan 802 jiwa/km².
Sebaliknya, daerah yang paling jarang penduduknya yaitu hanya 16 jiwa/km²
adalah Kabupaten Gayo Lues.
Persebaran Penduduk merupakan masalah kependudukan yang rumit, karena
persebaran penduduk akan berimbas kepada permasalahan ekonomi dan sosial.
Persebaran penduduk yang merata memberi dampak positif kepada
pertumbuhan ekonomi, sedangkan persebaran penduduk yang timpang dapat
memberikan masalah baik sosial maupun ekonomi pada daerah tersebut. Untuk itu
persebaran penduduk yang tidak merata hendaknya dipecahkan secara berhati-
hati. Sebab bukannya tidak mungkin program pemerataan penduduk yang
sedianya ditujukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,
menjadi berbalik menyengsarakan rakyat dan menimbulkan kerawanan sosial.
D. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu sistem
Pemerintahan Indonesia dan Pemerintahan Aceh. Berdasarkan perjenjangan,
perbedaan yang tampak adalah adanya pemerintahan Mukim diantara Kecamatan
dan Gampong.
1. Sistem Pemerintahan Indoesia
Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah
hingga sekarang mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:
40
No. Kabupaten/Kota Pusat Pemerintahan
Luas (Km²)42
Jumlah Penduduk43
Kecamatan Kelurahan/ Desa
1 Kabupaten Aceh Barat
Meulaboh 2.927,95 172.896 12 321
2 Kabupaten Aceh Barat Daya
Blangpidie 1.490,60 125.991 9 132
3 Kabupaten Aceh Besar
Kota Jantho 2.969,00 350.225 23 609
4 Kabupaten Aceh Jaya
Calang 3.812,99 76.892 9 173
5 Kabupaten Aceh Selatan
Tapak Tuan 3.841,60 202.003 16 369
6 Kabupaten Aceh Singkil
Singkil 2.185,00 102.213 10 127
7 Kabupaten Aceh Tamiang
Karang Baru 1.956,72 250.992 12 128
8 Kabupaten Aceh Tengah
Takengon 4.318,39 175.329 14 268
9 Kabupaten Aceh Tenggara
Kutacane 4.231,43 178.852 11 164
10 Kabupaten Aceh Timur
Idi Rayeuk 6.286,01 359.280 21 580
11 Kabupaten Aceh Utara
Lhoksukon 3.236,86 529.746 27 1.160
12 Kabupaten Bener Meriah
Simpang Tiga Redelong
1.454,09 121.870 7 232
13 Kabupaten Bireuen Bireuen 1.901,20 389.024 17 514
14 Kabupaten Gayo Lues
Blang Kejeren 5.719,58 79.592 11 97
15 Kabupaten Nagan Raya
Suka Makmue 3.363,72 138.670 5 213
16 Kabupaten Pidie Sigli 3.086,95 378.278 22 946
17 Kabupaten Pidie Jaya
Meureudu 1.073,60 132.858 8 215
18 Kabupaten Simeulue
Sinabang 2.051,48 80.279 8 135
19 Kota Banda Aceh - 61,36 224.209 9 80
20 Kota Langsa - 262,41 148.904 5 52
21 Kota Lhokseumawe - 181,06 170.504 4 67
22 Kota Sabang - 153,00 30.647 2 18
23 Kota Subulussalam - 1.391,00 67.316 5 74
Berdasarkan Pemilihan umum legislatif 2014, Provinsi Aceh mengirim 13
wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD. Pada
tingkat provinsi, DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 tersusun dari
42
Luas Kabupaten dan Kota di Aceh
43 Sensus Penduduk Aceh 2010
41
sepuluh partai, dengan perincian sebagai berikut: Partai Aceh (29 kursi), Partai
Golkar (9 kursi), Partai Demokrat (8 kursi), Partai NasDem (8 kursi), PAN (7
kursi), PPP (6 kursi), PKS (4 kursi), Partai Gerindra (3 kursi), PNA (3 kursi),
PDA (1 kursi), PKB (1 kursi), PBB (1 kursi), dan PKPI (1 kursi). Dengan jumlah
total 81 kursi.
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA) sesuai dengan fungsi dan kewenangan
masing-masing.44
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang
setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia dan merupakan
kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan
Provinsi Aceh. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal
ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) sebagai lembaga legislatif.
Sementara itu, Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya disebut
pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah
kabupaten/kota. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang
selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) adalah
unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang anggotanya
44
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
42
dipilih melalui pemilihan umum. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat
sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan
kecamatan.
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan
pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya
juang tinggi.
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup
yang berlandaskan syari‟at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat,
sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir
diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini tidak
terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15
Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat
menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
43
2. Sistem Pemerintahan Aceh
Secara struktural terdapat perbedaan antara bentuk pemerintahan Indonesia
dan pemerintahan Aceh. Yaitu adanya Lembaga Wali Nanggroe, Mukim dan
Gampong di pemerintahan Aceh.
a. Penyelenggaraan Pemerintahan
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan
pemerintahan yang memiliki khususan yaitu dimasukkannya asas ke-
Islaman. Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh
dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Penyelenggara Pemerintahan
Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK.
Susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota
diatur lebih lanjut dalam Qanun.
1) DPRA dan DPRK
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh disebut Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Jumlah
anggota DPRA adalah 1¼ kali lebih banyak dari jumlah anggota DPRD
Provinsi lainnya dari yang ditetapkan undang-undang.
Tugas dan wewenang DPRA antara lain:
1. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk
mendapat persetujuan bersama;
44
2. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh;
Tugas dan wewenang DPRK antara lain adalah membentuk Qanun
Kabupaten/Kota yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat
persetujuan bersama.
2) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala
Pemerintah Aceh dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. Gubernur
bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Aceh pada
semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan
ketenteraman serta ketertiban masyarakat yang diatur dalam Qanun Aceh.
Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai Wakil Pemerintah
Pusat dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota
sebagai kepala pemerintah Kabupaten/Kota dan dibantu oleh seorang Wakil
Bupati/Wakil Walikota. Bupati/Wali kota bertanggung jawab dalam
penetapan kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota di semua sektor pelayanan
publik termasuk ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang diatur
dalam Qanun Kabupaten/Kota.
Gubernur atau Bupati/Wali kota mempunyai tugas dan wewenang
antara lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari‟at Islam
45
secara menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur
antara lain dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam
pelaksanaan syari‟at Islam.
3) Pemerintahan Mukim dan Gampoeng
Dalam buku The Sultanate Of Aceh karya Lie Kam Hing pada tahun
1994, serta buku karangan Tgk. Ibrahim Alfian “Wajah Aceh dalam
Lintasan Sejarah” disebutkan bahwa Struktur Pemerintahan Aceh terdiri
dari enam unsur, yaitu : (1) Sultan, (2) Sagoe dipimpin oleh seorang
Panglima Sagoe, (3) Ulei Balang dipimpin oleh seorang Ulei Balang, (4)
Mukim dipimpin oleh Imum Mukim, (5) Gampong dipimpin oleh Keuchik
dan (6) Kawom/ Duson dipimpin oleh Ulei Kawom atau kepala Dusun.
Untuk saat ini posisi seorang Sultan setara dengan Presiden atau
Pemerintahan Pusat, Panglima Sagoe setara dengan Pemerintah Provinsi
atau Gubernur, Ulei Balang setara dengan Pemerintahan Kabupaten
(Bupati) atau Kota (Wali Kota), Imum Mukim setara dengan Kecamatan
(Camat), Gampong setara dengan Desa dan Kawom/Duson setara Rukun
Tetangga/RT.
Kalau kita lihat dari sejarahnya kenapa di Aceh terdapat pemerintahan
Mukim? Ternyata tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Aceh yang
beragama Islam, dimana dalam sebuah Mukim membawahi beberapa
Gampong dan terdapat satu Masjid yang dipergunakan untuk mendirikan
Shalat Jum‟at secara bersama. Selain itu syarat-syarat seseorang untuk
46
menjadi Imum Mukim adalah harus ahli dalam agama dan adat. Pada zaman
Kesultanan Aceh seorang yang diangkat menjadi Imum Mukim adalah
seorang Tengku atau Seorang Ulama. Untuk menentukan siapa yang lanyak
dipilih menjadi Imum Mukim dipilih secara musyawarah oleh perwakilan
tokoh-tokoh masyarakat yang ada dalam beberapa Gampong tersebut.
Untuk pemerintahan di bawah kabupaten/kota, selain memiliki
kecamatan dan gampong (wilayah setingkat desa) berdasarkan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk Mukim
yang berkedudukan langsung dibawah camat dan wilayahnya terdiri atas
beberapa Gampong.45
Dalam wilayah Kabupaten/Kota dibentuk Mukim46
yang terdiri atas
beberapa Gampong. Mukim dipimpin oleh Imeum Mukim sebagai
penyelenggara tugas dan fungsi Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet
Mukim atau nama lain. Imeum Mukim dipilih melalui Musyawarah Mukim
yang tata cara pemelihannya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan
organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan Mukim diatur dengan Qanun
Kabupaten/Kota.
Dalam wilayah Kabupaten/Kota dibentuk Gampong47
atau nama lain.
Pemerintahan Gampong terdiri atas Keuchik dan Badan Permusyawaratan
Gampong yang disebut Tuha Peuet atau nama lain. Gampong dipimpin
45
Aceh Dalam Angka 2015, h. 15.
46 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003.
47 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003.
47
oleh Keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat
yang tata cara pemilihannya diatur dengan Qanun Aceh.
Pembentukan, penggabungan, dan/atau penghapusan Gampong
dilakukan dengan memperhatikan asal usul dan prakarsa masyarakat.
Kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat
Pemerintahan Gampong atau nama lain diatur dengan Qanun
Kabupaten/Kota.48
4) Komisi Independen Pemilihan
Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah KIP Aceh dan KIP
Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota
Dewan Perwakilan Rayat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota
DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
dan Wali kota/Wakil Wali kota.
5) Partai Politik Lokal
Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. Kepengurusan
partai politik lokal berkedudukan di ibukota Aceh. Asas partai politik lokal
tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Partai politik
lokal dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama,
adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh. Partai politik lokal
48
Dikutip dari Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Aceh. Diakses pada
10 Juli 2016).
48
yang melakukan pelanggaran dapat dibubarkan berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi. Kepengurusan partai politik lokal memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).
Ketentuan partai politik lokal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Syariat Islam dan Pelaksanaannya
Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi
bidang aqidah, syar’iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi
ibdah, ahwal al syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata),
jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah,
syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at Islam diatur
dengan Qanun Aceh.
Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan
syari‟at Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh
wajib menghormati pelaksanaan syari‟at Islam. Pemerintahan Aceh dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan,
menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan
melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat
izin dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
1) Mahkamah Syar’iyah
Peradilan Syariat Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan
nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah
49
Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah
Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan
berada di Aceh.
Mahkamah Syar‟iyah terdiri atas Mahkamah Syar‟iyah Kabupaten/Kota
sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar‟iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar‟iyah diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Mahkamah Syar'iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah (hukum
keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari‟at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-
Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah
(hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.
2) Majelis Permusyawaratan Ulama
Majelis Permusyawarata Ulama atau disingkat MPU dibentuk di
Aceh/Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas Ulama dan
Cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan, yang bersifat independen dan
kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama. MPU berkedudukan
sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kota, serta DPRA
dan DPRK. Ketentuan struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler,
dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan Qanun Aceh.
50
MPU berfungsi menetapkan Fatwa yang dapat menjadi salah satu
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintahan Daerah dalam bidang
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi. MPU
mempunyai tugas dan wewenang:
1. Memberi Fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan
2. Memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam
masalah keagamaan.
c. Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat
1) Lembaga Wali Nanggroe
Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang
membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga
adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat
lainnya.
Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan
lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh
seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali
Nanggroe berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada
perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria
dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga
Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
51
2) Lembaga Adat
Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat,
pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan qānūn Aceh.
Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui
Lembaga Adat. Lembaga adat Aceh meliputi:
1. Majelis Adat Aceh;
2. Imeum Mukim atau nama lain;
3. Imeum Chik atau nama lain;
4. Keuchik atau nama lain;
5. Tuha Peut atau nama lain;
6. Tuha Lapan atau nama lain;
7. Imeum Meunasah atau nama lain;
8. Keujreun Blang atau nama lain;
9. Panglima Laot atau nama lain;
10. Pawang Glee atau nama lain;
11. Peutua Peuneubok atau nama lain;
12. Haria Peukan atau nama lain; dan
13. Syahbanda atau nama lain.
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan
perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada
nilai-nilai syari‟at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan
ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh
Lembaga Adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
52
BAB III
PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PENDIRIAN RUMAH IBADAH DI ACEH
A. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pendirian Rumah Ibadah di Aceh
1. Landasan Filosofis
Dasar filosofis merupakan landasan filsafat atau pandangan yang menjadi
dasar cita-cita sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-
undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan
peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan
luhur ditengah-tengah masyarakat, misalnya nilai etika, adat, agama dan lainnya.
Landasan filosofis merupakan filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa
yang berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Adapun nilai yang baik
adalah pandangan dan cita-cita yang dijujung tinggi serta menyangkut nilai
kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik.
Sedangkan suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan
sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini bertujuan agar perundang-undangan yang
dibuat ditaati oleh masyarakat, dengan pengertian tidak menjadi kalimat-kalimat
mati belaka.1
Saat ini, Aceh sebagai daerah yang memiliki kewenangan dalam
menjalankan Syariat Islam secara formal mendapat landasan kuat dalam sejumlah
Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
1 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia (Jakarta: Indhill, 1992), h.
20.
53
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Syariat Islam selalu berinteraksi dengan kepentingan lokal dan para pemeluknya.
Tidak heran hasil interaksi tersebut menggambarkan pola dan tingkah laku intern
umat beragama maupun antar umat beragama. Sikap seperti ini turut mewarnai
pelaksanaan syariat Islam sebagai agama mayoritas di Aceh. Walaupun demikian,
dinamika sikap keberagamaan umat beragama berjalan dengan baik tanpa
merusak hubungan antar pemeluk umat beragama.
Sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam, sikap toleransi, dan saling
menghargai yang terdapat dalam al-Qur’an dipraktikkan Nabi Muhammad Saw.
menjadi warisan sejarah yang masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Secara
filosofis, ajaran yang terkandung dalam sikap toleransi adalah setuju dalam
perbedaan, agree in disagreement. Karena itu, ajaran toleransi agama mencakup
dua bidang kajian. Toleransi dalam hubungan intern suatu agama, seperti sekte,
mazhab, aliran atau golongan dalam suatu agama disebut dengan kerukunan intern
agama. Selanjutnya, toleransi antar umat beragama. Dalam kesehariannya
digunakan istilah kerukunan antar umat beragama. Disini bukan berarti ajaran
toleransi mengakui semua agama adalah benar, tetapi lebih kepada pengakuan
sikap menghargai dan menghormati cara pandang agama lain menurut keyakinan
pengikutnya.
54
2. Landasan Sejarah
Dalam catatan sejarah, Aceh dikenal sebagai sebuah kesatuan masyarakat
yang sangat menjunjung tolerasi dan keberagaman. Salah satu indikatornya, di
Aceh tidak pernah terjadi konflik kekerasan atas nama agama baik itu antar agama
maupun antar aliran agama. Masyarakat Aceh meyakini bahwa Islam sangat anti
tindak kekerasan dan bertujuan menciptakan harmonisasi dalam kehidupan umat
manusia. Kondisi seperti ini berubah sejak adanya formalisasi nilai-nilai syariat
Islam pasca penerapan syariat Islam di Aceh melalui Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh serta disahkanya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Implementasi dari kedua produk itu
tidak disokong oleh niat baik dan komitmen Pemerintah Aceh serta kurangnya
sensitifitas pemangku kebijakan terhadap dampak yang berpotensi muncul ke
permukaan sebagai efek dari formalisasi penerapan syariat Islam tersebut dalam
kehidupan sosial masyarakat.
Minimnya peran dan upaya pemerintah baik itu oleh Dinas Syariat Islam
Aceh maupun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan juga Majelis
Adat Aceh (MAA) dalam mensosialisasikan upaya pencegahan kekerasan dalam
pelaksanan syariat Islam akhirnya menjadi bumerang dan melahirkan kesan yang
begitu kuat bahwa penerapan syariat Islam di Aceh yang dimotori oleh pemerintah
masih bersifat parsial semata. Tak jarang, “peradilan jalanan” terhadap orang-
orang yang diduga melanggar syariat Islam di aceh menjadi hal yang sering
terjadi, mulai dari memandikan si pelanggar syariat dengan air kotoran, dipukuli,
55
diarak di hadapan umum, dipermalukan, diusir dari daerah tempat tinggalnya,
dinikahkan secara paksa hingga diberi label sesat dan menyesatkan.
Disatu sisi, sebahagian orang menganggap bentuk penghukuman yang
sedemikian merupakan bentuk sanksi yang sesuai dengan kebiasaan, adat-istiadat
dan budaya Aceh. Adat istiadat dan kebudayaan Aceh sangat kental dipengaruhi
oleh nilai-nilai keislaman yang sudah diwariskan dari generasi ke genarasi.
Pelangaran terhadap syariat juga bermakna pelanggaran terhadap adat, nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat; maka muncullah alasan pembenar bagi
sekelompok orang untuk menghakimi pelanggar syariat dengan “sanksi adat”
yang mereka tentukan secara serta merta. Padahal, di sisi lain, budaya Aceh yang
diadopsi dari nilai dan norma syariat harusnya tetap terus diimplementasikan oleh
berbagai pihak dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, mengedepankan cara dan
mekanisme yang terhormat serta mencegah tindakan kekerasan massa sebagai
wujud sanksi yang hanya bertujuan untuk penghukuman semata bagi si
pelanggar.2
Sebagian besar problem di seputar rumah ibadah adalah konflik pendirian
rumah ibadah, dimana perizinan menjadi penyebab utamanya. Terjadinya konflik
pendirian rumah ibadah hampir semuanya dilatarbelakangi oleh penolakan
kelompok agama tertentu atas keberadaan suatu rumah ibadah yang dianggap
meresahkan masyarakat. Di samping itu, konflik pendirian rumah ibadah juga
2 Hasil diskusi tinjauan yuridis terhadap kedudukan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama
Aceh (suatu kajian normatif terhadap fatwa MPU Aceh terkait dengan aliran sesat di Aceh), Banda
Aceh, 2013.
56
dilatarbelakangi oleh argumen bahwa bangunan atau rencana pembangunan tidak
sesuai dengan peruntukkan atau menyalahi konsep tata ruang.3
3. Landasan Hukum
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang-undangan. Landasan yuridis ini memuat aspek
yang berkenaan dengan kehendak hukum, artinya suatu peraturan perundang-
undangan harus mempunyai landasan hukum atau legalitas yang terdapat dalam
ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua
hal berikut: Pertama, landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan
yang memberikan wewenang kepada semua lembaga untuk membentuknya.
Kedua, landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah
atau persoalan yang harus diatur.4
Landasan hukum dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007
adalah mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Baragama dan Pendirian
Rumah Ibadah. Disamping itu, Perub ini juga memiliki sandaran hukum pada
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan dalam
3 Akhol Firdaus, dkk., Negara Menyangkal: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
di Indonesia 2010, Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed.), (Jakarta: Pustaka Masyarakat
Setara, 2011), h. 61.
4 Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan (Yogyakarta: UII Press,
2004), h. 33.
57
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.5 Dua
undang-undang ini menjadi lex specialis dalam rangka pemberlakuan hukum
Islam/Agama di Aceh.
Selain itu, Pergub ini juga memiliki sandaran hukum pada Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Aceh dan
Perubahan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Keputusan Bersama Menteri
Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota.
Sekalipun Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sebetulnya sudah sangat detail dalam mengatur
pendirian rumah ibadah, tapi di tingkat daerah khususnya Aceh merasa penting
untuk menindaklanjutinya dengan aturan yang lebih detail lagi karena Aceh
mempunyai keistimewaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor
44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
5 Pasal 127 Ayat (4) yang berisi pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari
Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
58
Pergub ini salah satu ekspresi dan manifestasi dari penyeragaman. Dan ini
pararel dengan perda-perda atau qanun syariah di Aceh. Namun bukan berarti
mengabaikan satu kesatuan hukum nasional, tetapi juga dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan (ius contituendum),
sebab hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak terlepas dari norma nilai-nilai
yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu
merupakan pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu saat
berlaku dalam masyarakat.
4. Landasan Sosial
Aceh sebagai wilayah yang mempunyai keistimewaan, memiliki
kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan dalam melindungi setiap usaha
penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan
itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Meskipun regulasi terkait pendirian rumah
ibadah sudah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 Tahun
2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006. Akan tetapi, Pemerintah
Aceh merasa perlu untuk membuat regulasi sendiri terkait persoalan pendirian
rumah ibadah yang disesuaikan dengan kearifan lokal (local wisdom) Aceh.
Selain itu, Pemerintah Aceh juga mempunyai tanggungjawab atas
penyelenggaraan palaksanaan syariat Islam serta menjamin kebebasan, membina
kerukunan, menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan
59
melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
agama yang dianutnya.6 Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat dikatakan unik
jika dibandingkan dengan daerah lain. Salah satu keunikan yang membedakan
dengan daerah lain adalah kesadaran adanya keanekaragaman agama yang
dirasakan masyarakat Aceh yang selalu hidup berdampingan dengan syariat Islam
sebagai agama mayoritas.
Selanjutnya, sebagai upaya dalam menjaga ketentraman dan ketertiban
umum serta menjaga kerukunan umat beragama dan antar umat beragama,
Pemerintah Aceh merasa perlu adanya sebuah regulasi untuk mengatur pendirian
rumah ibadah di Aceh dalam hal ini berbentuk Pergub. Oleh karenanya, dengan
adanya peraturan tersebut, diharapkan masyarakat Aceh mampu menjaga
kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan beragama.
B. Perbandingan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 dengan Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 25 Tahun 2007
1. Kelebihan
Salah satu kebijakan penting dalam bidang politik keagamaan di Indonesia
adalah keberhasilan pemerintah bersama para wakil-wakil majelis agama
menapaki jalan terjal di tengah badai “kecurigaan” antara sesama umat beragama
di Indonesia pasca kegagalan pertemuan wakil-wakil majelis agama pada tahun
1967 di awal era orde baru. Keberhasilan itu adalah melahirkan sebuah produk
aturan yang menjadi pedoman dalam penataan kehidupan umat beragama di
6 Berdasarkan ketentuan dalam pasal 127 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
60
Indonesia yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 disingkat PBM. Peraturan tersebut diputuskan secara
final setelah melalui perdebatan panjang sejak tanggal 28 Oktober 2005 sampai
akhirnya ditandatangani secara bersama pada tanggal 21 Maret 2006.7 Adapun
ketetapan yang termuat di dalamnya adalah seperti pengertian kerukunan,
peranana Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pengertian rumah ibadat, prinsip
pendirian rumah ibadat, kedudukan pemuka agama, penggunaan bangunan bukan
rumah ibadat sebagai tempat ibadat sementara, tata cara penyelesaian perselisihan
adalah bagian-bagian penting yang berhasil diselesaikan oleh para wakil majelis
agama yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan PHDI.
PBM ini dimaksudkan sebagai wadah yang mempertemukan semua umat
beragama dalam kedudukan yang setara di dalam rumah besar yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, PBM juga menjadi peluang sebagai
tempat umat beragama melakukan proses dialog dengan meminta kesediaan
masing-masing untuk memberikan sesuatu demi kepentingan bersama guna
menuju kepada kemenangan bersama (win-win solution).8
Kekuatan/kelebihan PBM ini adalah telah mengisi kekosongan pengaturan
pemeliharaan kerukunan beragama di Indonesia. Dimana PBM menjadi dasar bagi
setiap daerah untuk menyusun kesepakatan sehingga sejak dini dapat diantisipasi
7 Sebuah Prolog oleh Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia:
Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2011), Cet. 1, h. xxi.
8 Sebuah Prolog oleh Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia,
h. xvi.
61
adanya kemungkinan gangguan terhadap kerukunan beragama. Selanjutnya,
dengan adanya PBM ini maka akan menjadi anak tangga untuk merancang
formalisasi kehidupan umat beragama yang rukun di kemudian hari baik dalam
bentuk Undang-Undang, Peraturan Presiden dan sebagainya. Semua provinsi di
Indonesia telah membentuk FKUB demikian pula hampir semua Kabupaten/Kota
telah membentuk FKB sekalipun dengan pola kinerja yang berbeda-beda sesuai
dengan kondisi daerah yang bersangkutan serta tingkat perhatian dari kepala
daerah.
Menurut mantan Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyumi, kehadiran
PBM telah melahirkan perubahan sosial dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir
dengan ditandai berdirinya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Jumlahnya mencapai 435 FKUB di provinsi kota/kebupaten. PBM merupakan
salah satu bentuk instrumen hukum yang mengacu kepada UU No.32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, yang di antara pasal-pasalnya menuntut adanya
penjabaran yang menjembatani antara kewajiban pemerinah pusat, daerah dalam
era otonomi. PBM bukanlah aspek doktrin agama yang merupakan kewenangan
masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para
warganegara Indonesia yang memeluk suatu agama ketika bertemu dengan warga
negara Indonesia lainnya, yang kebetulan memeluk agama yang sama atau
berbeda dan ketika masing-masing mengamalkan ajaran yang dianutnya. Dengan
62
begitu, pengaturan ini sama sekali tidak mengurangi kebebasan beragama yang
dijamin oleh Pasal 29 UUD1945.9
Adapun di Aceh, terbitnya regulasi yang mengatur tentang pendirian rumah
ibadah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25
tahun 2007 disingkat Pergub. Sebelumnya, ada kekhawatiran persyaratan
pendirian rumah ibadah dalam Pergub ini lebih memberi peluang bagi warga non-
muslim untuk memperbanyak rumah ibadahnya. Syarat yang dipermasalahkan
yaitu mengenai jumlah pengguna rumah ibadah dan dukungan dalam
pembangunannya yang dinilai memberi peluang memudahkan pembangunan
rumah ibadah. Padahal, pergub ini makin mempersempit peluang, bukan
mempermudah, karena dalam pergub mensyaratkan dua kali lipat jumlah
pengguna rumah ibadah dan dukungan warga setempat.
Dalam Pasal 3 disebutkan, pendirian rumah ibadah harus memenuhi
persyaratan yang meliputi daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling
sedikit 150 orang, serta dukungan sedikitnya 120 warga masyarakat setempat.
Sedangkan dalam PBM hanya mensyaratkan daftar nama dan KTP pengguna
rumah ibadah sebanyak 90 orang, serta dukungan sedikitnya 60 warga setempat.
Selain itu, untuk membangun rumah ibadah tidak bisa sembarangan, harus ada
rekomendasi dari camat, tokoh masyarakat, ulama, dan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) kabupaten/kota dan provinsi.
9 Disampaikan pada seminar PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006, Implementasi dan
Problematikanya, yang diadakan di Hotel Merlynn Part Jakarta, Kamis, 21 Maret 2013. Lihat:
http://balitbangdiklat.kemenag.go.id.
63
Menurut Wakil Gubernur Muhammad Nazar, dikeluarkannya Pergub
tersebut adalah untuk mengisi kekosongan hukum sebelum adanya qanun. Saat ini
Pemerintah Aceh sedang menyelesaikan qanun terkait pedoman pemeliharaan
kerukunan umat beragma dan pendirian rumah ibadah, dan untuk sementara
menggunakan Pergub dengan tujuan agar umat Muslim di Aceh menerapkan
syariat Islam, begitu pula seluruh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, MPU juga
menyerukan kepada seluruh masyarakat Aceh agar tidak cepat terpancing isu dan
diharapkan membaca secara teliti muatan-muatan yang terkandung dalam Pergub
dan PBM. Selain itu, ulama di Aceh juga diharapkan memberi pemahaman yang
benar kepada masyarakat.10
2. Kekurangan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan
8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat merupakan penegasan
dari Surat Keputusan Bersama (SKB) No.01/BER/MDN-MAG/1969 tentang
Pelaksanaan Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran
Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. SKB
tersebut ditetapkan pada tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh
Menteri Agama KH. Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.
10
http://regional.kompas.com/read/2009/01/23/22082951/peraturan.baru.pembangunan.rum
ah.ibadah.di.aceh. Diakses pada 23 Agustus 2016.
64
PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006 memuat 10 Bab dan 31 Pasal yang
menjelaskan secara terperinci ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tiga hal,
pertama, Kerukunan umat beragama, kedua, Pemberdayaan FKUB dan, ketiga,
tentang Pendirian rumah ibadat.
Namun beberapa pasal didalamnya masih menjadi perdebatan dan akar
konflik di masyarakat, seperti syarat untuk mendirikan rumah ibadat adalah daftar
nama dan KTP pengguna rumah ibadat, paling sedikit 90 orang yang disahkan
oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah dan dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah/Kepala
Desa. Syarat tersebut harus diperkuat oleh rekomendasi resmi Kepala Kemenag
dan FKUB Kabupaten/Kota.
Kekisruhan dan kontroversi pendirian rumah ibadat sebenarnya merupakan
kelemahan-kelemahan regulasi pemerintah baik SKB 1969 maupun PBM 2006.
Menurut Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang didalamnya
mengatur tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, maka SKB 1969
maupun PBM 2006 tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat publik karena
tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Dalam perkembanganya, beberapa kalangan menilai terbitnya PBM menjadi
salah satu kebijakan diskiriminatif yang justru mempersulit umat beragama untuk
mendirikan rumah ibadah. Menurut pengamatan Komisioner Komnas HAM, DR.
Maneger Nasution, MA, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kelemahan
65
utama PBM bukan pada substansinya melainkan pada pelaksanaannya. Selain itu,
tidak terlaksana PBM dengan baik dikarenakan tidak adanya sanksi hukum bagi
yang melanggar.11
Hal senada juga disampaikan Eka Martiana Wulansari,
Perancang Undang-Undang Bidang Politik Hukum dan HAM, kelemahan dari
PBM ini adalah posisi landasan hukumnya belum kuat untuk mengatur kehidupan
beragama dan keagamaan di Indonesia. Seharusnya untuk mengatur kehidupan
beragama dan keagamaan diperlukan landasan hukum setingkat Undang-Undang
(UU).12
Kelemahan lainnya adalah sulitnya meregenerasi maupun kaderisasi
terhadap keanggotaan FKUB karena hampir belum ada sistem rekrutmen yang
menggambarkan lahirnya tokoh-tokoh muda yang memiliki pengalaman dan
wawasan dalam hubungan antar agama yang bisa tampil dalam keanggotaan
FKUB. Selain itu, kelemahan berikutnya adalah pola hubungan antara FKUB
Provinsi dengan FKUB Kabupaten/Kota hanya sebatas hubungan konsultatif
sehingga hampir tidak ada wewenang FKUB Provinsi untuk melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan kehidupan beragama di
daerahnya masing-masing. Demikian juga, oleh karena tidak adanya badan yang
bersifat nasional untuk melakukan koordinasi termasuk evaluasi terhadap kinerja
FKUB maka kegiatan FKUB di beberapa daerah lebih banyak bersifat rutin
karena tidak adanya institusi di pusat yang melakukan pembinaan forum tersebut.
11
Dikutip dari: https://www.arrahmah.com/news/2015/06/28/komnas-ham-dorong-pbm-
jadi-uu.html. Diakses pada 28 Juli 2016.
12Dikutip dari: http://www.gresnews.com/berita/opini/1459911-dilema-ham-hukum-positif-
dan-agama-dalam-membangun-tempat-ibadah/0/. Diakses pada 24 Agustus 2016.
66
Pengaturan kerukunan umat beragama dalam bentuk aturan legal-formal
memang cukup pelik dan krusial. Apalagi yang diatur hanyalah teknis
peribadatan, sarana peribadatan, dan hal-hal yang sifatnya menyangkut aspek
ritual dan hal-hal yang dianggap pribadi. Akibatnya, meskipun telah diatur, yang
ada adalah konflik horizontal dan pertentangan kelompok, karena merasa privasi
keagamaannya terancam atau terganggu.
Setiap peraturan yang dibuat pasti ada kekurangannya, sehingga berpotensi
menimbulkan masalah dan konflik sosial di dalam masyarakat. Hal ini juga
terdapat pada Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 tentang izin mendirikan rumah
ibadah. Kekurangan yang terdapat pada Pergub ini sebagaimana dijelaskan
Juniazi, Kasubbag Hukum dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kemenag
Aceh adalah belum adanya regulasi yang kuat untuk menjerat pelaku ke ranah
hukum. Menurut beliau, salah satu cara untuk memberikan efek jera kepada
pelaku yakni adanya regulasi yang kuat.13
Oleh karena itu, beliau meminta agar
Pemerintah Aceh dapat segera mengesahkan qanun/ peraturan daerah Aceh
tentang Kerukunan Umat Beragama.14
Selain itu, kekurangan lainnya adalah masih belum optimalnya kinerja dan
kiprah FKUB salah satunya disebabkan oleh faktor intern seperti pendanaan,
program kerja dan kinerja FKUB, maupun persoalan ekstern seperti dinamika
umat beragama yang tengah berkembang. Oleh karena itu, FKUB sebagai
lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah,
13
Disampaikan pada Rapat Kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Aceh di
Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh, 16-18 November 2015.
14 Salah satu rekomendasi dari hasil Raker FKUB se-Aceh.
67
masih memerlukan peningkatan dan optimalisasi program disertai langkah-
langkah nyata dan dukungan pemerintah daerah sebagai tindak lanjut perintah dari
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006 dan juga Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011.15
C. Respon Masyarakat terhadap Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25
Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh
Dikeluarkannya Pergub Aceh yang mengatur tentang pedoman mendirikan
rumah ibadah tak ayal telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa
golongan yang pro beranggapan bahwa dengan adanya Pergub ini merupakan
sebuah langkah konkrit sebagai jawaban dari keistimewaan Aceh dalam bidang
pelaksanaan syariat Islam. Selain itu, adanya aturan ini juga dianggap bukan
sebagai upaya untuk mengurangi kebebasan beragama masyarakat, namun
dimaksudkan agar terjadinya ketertiban dalam interaksi para pemeluk agama yang
satu dengan lainnya, baik menyangkut kepemilikan, kedekatan lokasi, dan ikatan-
ikatan kemasyarakatan lainnya. Karena itu dalam Pergub ini termuat pula di
dalamnya keharusan mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada,
keharusan menjaga kerukunan dan ketentraman serta ketertiban masyarakat.
Sementara sebagian golongan yang kontra menganggap dikeluarkannya
Pergub tersebut sangatlah latah. Mereka menilai bahwa Pergub ini sangatlah
bertentangan dengan Undang-Undang keistimewaan Aceh, dan Pergub ini akan
menjadi bom waktu yang siap meluluh lantakkan Aceh dalam cengkraman SARA.
15
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan tugas
Forum Kerukunan Umat Beragama.
68
Berikut beberapa kelompok baik yang mendukung maupun yang menentang
Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007.
1. Kelompok Pendukung
a) Kesbangpol dan Linmas Aceh
Menurut M. Djakfar Djuned, Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas
Provinsi Aceh, bahwa Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 justru lebih
mempersempit dibandingkan dengan PBM yang menetapkan hanya 60 tanda
tangan penduduk untuk pembangunan rumah ibadat. Sedangkan Pergub
mensyaratkan pembangunan rumah ibadah harus mendapatkan dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan oleh lurah/geuchik,
rekomendai tertulis camat, KUA kecamatan setempat, rekomendasi tertulis
Kepaka Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan rekomendasi tertulis
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/Kota. Djakfar juga
menyatakan bahwa Pergub bukan untuk membuat peluang mendirikan rumah iba-
dah non-muslim di Aceh menjadi lebih besar melainkan untuk merespon pasal 5
PBM tentang tugas dan kewajiban gubernur dalam menciptakan kerukunan
beragama di wilayahnya masing-masing.16
Oleh karena itu, Djakfar menghimbau
semua pihak untuk tidak salah memahami soal Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
16
The Wahid Institute, Monthly Report on Religious Issues, Edisi XVII, Januari 2009, h. 6-
7.
69
b) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Prof. Dr. Tgk.
Muslim Ibrahim, MA., menuding lembaga swadaya masyarakat dari luar Aceh
ikut memengaruhi kenyamanan dan kerukunan antarumat agama di Aceh. Dalam
kasus rumah ibadah, ia mencontohknan kasus di Lamteumen dan Punie, Aceh.
“Surat izin pembangunannya (IMB) tertulis rumah toko (ruko) tapi setiap minggu
digunakan untuk acara peribadatan,” katanya. Meski tidak sampai terjadi konflik,
masalah-masalah seperti itu bisa berpotensi menjadi pemicu konflik.
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI
Menurut Ghazali Abbas Adan, salah satu anggota Dewan Perwakilan
Daerah RI asal Aceh, apapun peraturan yang dikeluarkan baik oleh Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah, semua elemen masyarakat harus tunduk dan
konsekuen terhadap peraturan tersebut.
Dalam konteks Aceh, perihal aturan pendirian rumah ibadah sudah tertuang
dalam Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007. Pergub ini merupakan turunan dari PBM.
Meskipun pada tingkat pusat sudah ada aturan terkait pendirian rumah ibadah,
akan tetapi Pemerintah Aceh merasa perlu untuk meninaklanjuti sesuai dengan
kearifal lokal Aceh. Oleh karenanya, Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub
tentang pendirian rumah ibadah. Aturan ini menjadi landasan bagi setiap umat
beragama dalam mendirikan rumah ibadah di Aceh, selain PBM.
Selain itu, terkait konflik pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil, peristiwa
pembakaran gereja itu merupakan kasuistis, menurut Ghazali, peristiwa itu terjadi
70
karena umat Kristiani dianggap melanggar aturan izin bangunan. Oleh karenanya,
umat beragama diharap tunduk dan patuh terhadap aturan yang sudah ada
(Pergub) untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama di Aceh.17
d) Rektor UIN Ar-Ranirry Banda Aceh
Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA selaku Rektor UIN Ar-Ranirry Banda
Aceh mengatakan, Pemerintah Aceh merasa perlu untuk membuat standar terkait
pendirian rumah ibadah di Aceh, dalam hal ini berbentuk Pergub. Meskipun pada
tingkat nasional, Pemerintah Pusat sudah mengeluarkan aturan pendirian rumah
ibadah dalam PBM. Akan tetapi, mungkin Aceh mempunyai hak keistimewaan
sehingga Pemerintah Aceh merasa perlu untuk membuat aturan (Pergub)
berdasarkan kondisi lokal karena Aceh mayoritas beragama Islam. Selain itu,
mungkin Pemerintah Aceh juga mengatur penertiban terkait rumah ibadah karena
banyak orang-orang yang datang ke Aceh dengan latarbelakang agama yang
berbeda dan ingin mendirikan rumah ibadah.
Terkait Pergub, saat ini menjadi pegangan dan legitimasi dalam hal
pendirian rumah ibadah di Aceh. Akan tetapi, ada beberapa wilayah tertentu yang
melampaui (melanggar) aturan ini, sehingga timbullah konflik.18
e) Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh
Menurut Pandhita Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh yang juga salah
satu pengurus di FKUB Kota Banda Aceh mengatakan apapun peraturan yang
17
Wawancara pribadi dengan Drs. H. Ghazali Abbas Adan (DPD RI asal Aceh), Jakarta, 28
September 2016.
18 Wawancara pribadi dengan Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA (Rektor UIN Ar-Ranirry
Banda Aceh), Banda Aceh, 2 Oktober 2016.
71
dibuat oleh Pemerintah Aceh (Pergub), sebagai umat beragama yang
berkedudukan di Aceh secara tidak langsung mentaati apapun aturan yang dibuat
oleh Pemerintah Aceh, termasuk Pergub. Menurut mereka, ajaran Buddha itu
adalah ajaran alam yang merupakan ajaran cinta damai.
Selain itu, menurut umat Buddha terkait persyaratan administratif pendirian
rumah ibadah (Pergub), yaitu disetujui oleh 150 KTP dan mendapat dukungan 120
masyarakat setempat sangatlah memberatkan. Jangankan Pergub, persyaratan
administratif dalam PBM saja sudah sangat memberatkan. Walaupun demikian,
kami tetap mentaati aturan yang sudah ada.19
2. Kelompok Penentang
a) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)
Kalangan ulama di Provinsi Aceh meminta Pergub tentang pendirian rumah
ibadah segera dicabut, dalam hal ini adalah Himpunan Ulama Dayah Aceh
(HUDA). Menurut Tgk.Faisal Ali, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Himpunan Ulama
Dayah Aceh, Pergub ini telah meresahkan masyarakat karena dianggap telah
memberikan peluang untuk non-Muslim dalam mendirikan rumah ibadah di
Aceh.20
19
Wawancara pribadi dengan Willy Putranada (Pandhita Vihara Buddha Shakyamuni
Banda Aceh), Banda Aceh, 29 September 2016.
20 http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=DAIHBApWBVpS. Diakses pada 12 Juli
2016.
72
b) Fron Pembela Islam (FPI)
Menurut Yusuf Qardawi, Ketua FPI Aceh mengatakan pihaknya meminta
DPRA mendesak Pemerintah Aceh untuk mencabut Pergub tentang pendirian
rumah ibadah. Menurutnya, jika Pergub itu diterapkan, dikhawatirkan banyak
gereja berdiri di Aceh, karena banyak investor asing berencana masuk Aceh, dan
nilai-nilai islami yang dianut masyarakatnya akan hilang. Hal ini dikarenakan
provinsi Aceh merupakan negeri Serambi Mekkah yang kental dengan syariat
Islam-nya, berbeda dengan provinsi lain di Indonesia. Selain itu, FPI juga
meminta agar PBM tidak diberlakukan di Aceh. Pemerintah juga diminta tidak
menyamakan Aceh dengan daerah lain yang membebaskan pendirian gereja.21
c) Kalangan Umat Kristen
Dikalangan Kristen, seorang Pendeta Haryono Gultom, juga
mengungkapkan kekecewaannya terhadap Pergub tersebut. Menurutnya, Pergub
ini sangat ketat. Jumlah pengguna harus memenuhi persyaratan khusus berupa
daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 150
orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
dan dukungngan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan
oleh lurah atau geuchik setempat. Persyaratan khusus lainnya sama dengan
persyaratan PBM. Mengapa aturan di Aceh berbeda dengan aturan di daerah lain?.
21
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=63278&Itemi
d=26. Waspada Online, 23 Januari 2009. Diakses pada 10 September 2016.
73
d) Kalangan Pemerhati Kerukunan Umat Beragama dan HAM
Sementara, para pemerhati kerukunan umat beragama dan HAM
menganggap pergub ini mempersempit peluang minoritas dalam mendirikan
rumah ibadat, sehingga pemerintah secara tidak langsung telah merampas
kebebasan seseorang untuk menjalankan ibadatnya. Maka secara kasat mata tentu
jelas hak-hak minoritas di Aceh bertabrakan dengan regulasi yang bernuansa
syariat tersebut, karena hak-hak minoritas itu berada di luar jangkauan hukum dan
hal itu merupakan sebuah diskriminasi. Namun sebenarnya bukan hanya regulasi
yang hegemonik seperti itu saja yang mengancam hak-hak kaum minoritas, tetapi
secara prinsipal memang setiap regulasi yang berkaitan dengan agama memiliki
potensi mengancam kebebasan dan toleransi beragama.22
Dalam membuat perizinan rumah ibadat di Aceh memang tidaklah mudah.
Karena dalam praktiknya, aturan ini terkait dengan banyak pihak, kerukunan
hidup bersama, dan sejumlah nilai lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat.
Apalagi di Aceh yang mayoritas muslim, perizinan pendirian gereja khususnya
menjadi perkara yang sensitif. Selain itu, sejak banyak lembaga swadaya
masyarakat (LSM) masuk ke Aceh setelah tsunami, isu-isu konversi agama dan
penyebaran agama menjadi salah satu isu penting dalam perbincangan dialog
antarumat beragama. Karena bagi masyarakat Aceh, konversi agama menjadi
masalah serius.
22
Ismatu Ropi, Hak-Hak Minoritas, Negara dan Regulasi Agama (Jakarta: Makalah pada
Seminar Pertemuan Nasional Jaringan Antar-Kampus untuk Islam dan Demokrasi, 2007), h. 126.
74
BAB IV
ANALISIS PERATURAN GUBERNUR ACEH
NOMOR 25 TAHUN 2007
A. Realisasi Pelaksanaan Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007
Mendirikan rumah ibadah di Aceh tidak semudah mendirikan rumah ibadah
di daerah-daerah lain di Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah Aceh
mempunyai aturan tersendiri dalam urusan tersebut. Pembicaraan terkait dengan
pengaturan pendirian rumah ibadah di Aceh tidak dapat dilepaskan dari regulasi
pemerintah yang dikenal dengan Pergub Aceh No. 25 Tahun 2007. Setidaknya
untuk mendirikan rumah ibadah di Aceh harus memenuhi beberapa syarat, yaitu
berupa syarat administratif, persyaratan teknis bangunan gedung serta syarat
khusus lainnya.
1. Syarat Mendirikan Rumah Ibadah Di Aceh
Secara garis besar pendirian rumah ibadah di provinsi Aceh harus
didasarkan pada keperluan umat dengan memperhatikan jumlah penduduk di
wilayah tempat berdirinya rumah ibadah dengan tetap menjaga kerukunan
antarumat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum serta
mematuhi peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam Pergub No. 25 Tahun 2007, pada BAB II Pasal 2, ayat (1) dan (2) yang
berbunyi:
a. Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-
sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/ gampoeng.
75
b. Pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan
umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum
serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 ayat (1) juga menyebutkan:
“Pendirian rumah ibadah juga harus mematuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung”.
Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada BAB II Pasal 3
ayat (1), pendirian rumah ibadah juga harus memenuhi persyaratan khusus yang
meliputi:1
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon pengguna rumah
ibadah paling sedikit 150 orang yang disahkan oleh pejabat setempat
sesuai dengan tingkat batas wilayah.
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang disahkan
oleh Lurah/Geuchik setempat.
c. Rekomendasi tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota.
d. Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kabupaten/Kota.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada BAB II Pasal 3 ayat (2)
huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, Pemerintah
Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah
1 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 3 Ayat (2).
76
ibadah.2 Hal ini harus mendapatkan rekomendasi FKUB yang dituangkan dalam
bentuk tertulis yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat
FKUB.3
Setelah semua persyaratan di atas terpenuhi, baru kemudian panitia
pembangunan mengajukan permohonan pendirian rumah ibadah kepada
Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB. Selain itu, untuk memastikan agar
proses perizinan mendirikan rumah ibadah tidak berlarut-larut, Bupati/Walikota
wajib memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian
rumah ibadah diajukan.4 Jika terjadi perubahan tata kota, sehingga mengharuskan
rumah ibadat dibongkar untuk kepentingan umum, maka Pemerintah
Kabupaten/Kota harus memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena
perubahan rencana tata ruang wilayah tersebut sehingga tidak ada rumah ibadah
yang hilang atau berkurang karena pembangunan.5
2. Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung
Salah satu hal krusial yang sering menjadi penyebab konflik dalam
masyarakat adalah pemakaian gedung sementara untuk rumah ibadah sebelum
dikeluarkannya izin mendirikan rumah ibadah secara resmi dan permanen. Maka
untuk mengantisipasi hal itu, Pergub juga menetapkan beberapa ketentuan terkait
2 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 3 ayat (3).
3 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 4.
4 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 5 ayat (2).
5 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 6.
77
izin sementara pemanfaatan gedung untuk tempat ibadah, dengan ketentuan
sebagai berikut:6
1) Pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadat harus
mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari
Bupati/Walikota dengan persetujuan Camat setempat secara tertulis
dengan memenuhi persyaratan;
a. Layak Fungsi
b. Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan
ketertiban masyarakat.
2) Persyaratan layak fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama, ketentraman dan
ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. Izin tertulis pemilik bangunan
b. Rekomendasi tertulis Lurah/Geuchik
c. Pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota
d. Pelaporan tertulis Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota.
6 Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007, Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3).
78
3. Penyelesaian Perselisihan
Tak dipungkiri bahwa Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah ini berpotensi menimbulkan masalah dan
konflik sosial di masyarakat. Maka jika masalah itu timbul, langkah yang harus
ditempuh adalah dengan jalan musyawarah antar masyarakat pemeluk agama
dengan melibatkan pemerintah setempat. Jalan musyawarah harus diutamakan
sebelum ditempuh melalui proses hukum di pengadilan, sehingga masalah yang
terjadi dapat diselesaikan secara damai tanpa adanya dendam dan konflik yang
berlarut-larut. Untuk itu, dalam Pergub ini juga diatur mengenai penyelesaian
berbagai masalah yang nantinya akan timbul terkait pendirian rumah ibadah
tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam BAB IV, Pasal 10 Ayat (1),
(2) dan (3):
1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadah diselesaikan secara
musyawarah oleh masyarakat setempat.
2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak
tercapai, penyelesaian dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah yang
dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan
saran FKUB Kabupaten/Kota.
3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2) tidak dicapai, penyelesaian dilakukan melalui pengadilan setempat.
79
Selain itu, pada pasal 11 Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap
Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10.
Konflik akibat pendirian rumah ibadah masih kerap terjadi di Indonesia, tak
terkecuali di Aceh. Kesulitan mendirikan rumah ibadah tak hanya dialami satu
agama saja. Hampir seluruh agama di Indonesia pernah mengalami sulitnya
mendirikan rumah ibadah.7 Biasanya, persoalan yang muncul dalam sulitnya
pendirian rumah ibadah adalah masalah penerimaan masyarakat di sekitar rumah
ibadah. Bila mayoritas warga di sekitar rumah ibadah beragama yang sama
dengan jamaah rumah ibadah itu, pendiriannya tak akan terlalu sulit. Namun bila
jamaah rumah ibadah itu beragama minoritas dengan masyarakat sekitar,
pendirian rumah ibadah bisa menjadi lebih sulit.
Dalam perspektif konflik yang berasal dari pemikiran Karl Marx. Gagasan-
gagasan yang mengenai dominasi kaum borjuis dan eksploitasi terhadap kaum
proletar adalah contoh-contoh yang jelas bagaimana kekuasaan digunakan untuk
kepentingan suatu kelompok diatas penderitaan kelompok lain. Bagi para ahli
teori konflik, kekuatan adalah alat yang membuat sesuatu kelompok mampu
mendominasi kelompok lain. Dominasi pada gilirannya menggerakkan potensi
terjadinya konflik antara pihak-pihak yang menerima keuntungan memegang
kekuasaan dan mereka yang menderita akibat tekanan kuasa.8
7 Lihat: http://sp.beritasatu.com/home/banyak-faktor-terkait-konflik-soal-rumah-
ibadah/57036. Diakses pada 29 Oktober 2016.
8 Yusron Rajak (Editor), Sosiologi Sebuah Penganta (Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama, 2008), h. 25-26.
80
Konflik akibat pendirian rumah ibadah kerap kali berujung pada kekerasan,
penyerangan dan penyegelan rumah ibadah oleh masyarakat sekitar atau aparat
setempat. Peristiwa yang masih hangat terjadi di Kabupaten Aceh Singkil,
Provinsi Aceh. Timbulnya kasus destruktif dan kekerasan yang terjadi di Aceh
Singkil pada 13 Oktober 2015 lalu yang menyebabkan sebuah Gereja dibakar dan
menimbulkan korban jiwa sebenarnya telah mencoreng wajah toleransi dan
kerukunan umat beragama yang telah berlangsung dengan baik selama ini di
Tanah Rencong.9
Pada dasarnya kehidupan antarumat beragama di Aceh Singkil dari dulu
dikenal sangat harmonis. Umat non-Muslim yang minoritas tidak pernah diganggu
saat mereka beraktifitas dan melakukan ibadah ditempat ibadah yang resmi dan
berizin. Mengutip pernyataan Salihin Mizal selaku Kepala Kantor Kemenag Aceh
Singkil, mengatakan bahwa kasus bentrokan antar kelompok massa di Aceh
Singkil berawal dari adanya protes umat Muslim atas pendirian Gereja yang tanpa
izin dan dianggap telah melanggar kesepakatan bersama. Kesepakatan antara umat
Islam dan Kristen terjadi pada tahun 1979, dan bahkan pada tahun 2001 juga
kembali dibuat kesepakatan tentang pendirian rumah ibadah. Dalam isi
kesepakatannya umat Kristen hanya boleh mendirikan satu Gereja dan 4 undung-
undung.10
Ini merupakan bentuk toleransi umat Islam di Aceh Singkil kepada
9 Tanah Rencong merupakan nama lain dari Aceh. Kata ini merujuk pada senjata khas
tradisional Aceh yakni rencong.
10 Istilah undung-undung hanya ada di Aceh Singkil dan tidak dikenal di luar Aceh.
Undung-undung bisa diartikan sebagai Gereja kecil. Bukan tidak mungkin, istilah undung-undung
digunakan sebagai cara untuk mengakali agar rumah ibadah non-muslim itu terus berkembang
hingga menjadi bangunan permanen seperti Gereja. Dalam peraturan yang ada, selama ini yang
dikenal adalah Gereja, bukan undung-undung.
81
umat Kristen, karena dalam pendirian Gereja dan undung-undung tersebut tidak
harus melalui izin pemerintah, tapi atas dasar kerelaan masyarakat untuk
menerima keberadaan mereka. Masyarakat Muslim tidak mempermasalahkan
adanya Gereja dan 4 undung-undung di wilayah mereka.
Faktanya, dalam rentang waktu 14 tahun sejak kesepakatan bersama itu
dibuat, jumlah gereja dan undung-undung di kabupaten Aceh Singkil bertambah
banyak. Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh Singkil mencatat, terdapat 27
unit bangunan rumah ibadah tanpa izin dan melanggar PBM No 8/9 tahun 2006
dan Pergub Aceh No. 25 tahun 2007. Hal inilah yang menjadi faktor pemicu
terjadinya konflik antara Islam dan Kristen di Aceh Singkil.
Perbedaan fundamental dalam PBM tahun 2006 dan Pergub Aceh tahun
2007 tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah ialah mengenai syarat utama
pengajuan pembangunan. Dalam PBM pasal 14 peraturan itu disebutkan bahwa
syarat utama yang diajukan untuk membangun rumah ibadah harus menyertakan
daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling
sedikit 90 orang, adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 60
orang yang disahkan lurah/kepala desa, serta mendapatkan rekomendasi tertulis
dari kantor departemen agama kabupaten/kota dan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) kabupaten/kota. Selain rumah ibadah, regulasi itu juga
mengatur tentang pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadah sebagai rumah
ibadah sementara. Pasal 18 peraturan itu menyebutkan pemanfaatan sementara
bangunan sebagai rumah ibadah harus mendapatkan izin dari bupati/wali kota.
Izin dari bupati/wali kota dapat dikeluarkan bila memenuhi persyaratan laik fungsi
82
dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
masyarakat. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta
ketenteraman dan ketertiban masyarakat meliputi izin tertulis pemilik bangunan,
rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB
kabupaten/kota dan kantor departemen agama kabupaten/kota.
Sedangkan dalam Pergub Aceh pasal 3 disebutkan bahwa syarat utama yang
diajukan untuk membangun rumah ibadah harus menyertakan daftar nama dan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 150 orang,
adanya dukungan dari masyarakat setempat paling sedikit 120 orang yang
disahkan lurah/geuchik setempat, serta mendapatkan rekomendasi tertulis dari
kantor departemen agama kabupaten/kota dan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) kabupaten/kota. Selain rumah ibadah, regulasi ini juga mengatur tentang
pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah sementara.
Pendirian rumah ibadah di Aceh khususnya agama minoritas (selain agama
Islam) kerap berpotensi menimbulkan konflik akibat komunikasi yang tidak lancar
selain kurang optimalnya peran FKUB Aceh yang menjadi jembatan komunikasi
di internal agama masing-masing hingga antar umat beragama. Karena itu peran
FKUB dalam pendirian rumah ibadah layak diakomodasi kepala daerah.
Dalam perspektif fungsionalis, suatu masyarakat dilihat sebagai suatu
jejaring kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi, yang bekerja dalam
suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut
oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu
83
sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan suatu
sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dalam persfektif fungsionalis, dengan Talcott Parsons (1937), Kingsley
Davis (1937), dan Robert Merton (1957) sebagai para juru bicara yang terkemuka,
setiap kelompok atau lembaga meaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus,
karena hal itu fungsionalis.11
Pada kenyataannya, secara struktualis fungsionalis peran Pemerintah Daerah
dalam hal pendirian rumah ibadah tidak berjalan dengan baik. Hal ini terbukti
dengan munculnya konflik di Aceh Singkil. Memang pada tataran atas terlihat
berjalan dengan baik, akan tetapi pada tataran bawah muncul beberapa kendala
seperti kurang optimalnya peran kepala daerah dan juga peran FKUB yang
menjadi ujung tombak dalam mensosialisasikan dan memberikan pemahaman
terhadap sebuah regulasi atau aturan kepada masyarakat sehingga menyebabkan
munculnya konflik.
B. Akibat Dikeluarkannya Peraturan Gubernur Aceh No. 25 Tahun 2007
Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 memiliki dasar dalam
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 127 ayat (4) yang berisi
pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Aceh
dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, semenjak dikeluarkannya
11
Ishomuddin, Sosiologi Perspektif Islam (Malang: UMM Press, 1997), h. 106 dalam Prof.
Dr. H. M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi
Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 32 dan Agama Dalam Perbincangan Sosiologi
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010), h. 40.
84
Pergub ini banyak rumah-rumah ibadah yang ditertibkan karena tidak sesuai
dengan aturan dan peruntukannya.
Setelah dilantik Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi atas nama Presiden
RI dalam sidang paripurna istimewa DPR Aceh pada 25 Juni 2012, Gubernur
Aceh Zaini Abdullah yang juga petinggi besar GAM langsung melakukan
tindakan yang fenomenal dengan menutup 17 gereja secara paksa karena dinilai
melanggar izin peruntukan. Hal ini mengakibatkan PGI melaporkan tindakan
semena-mena Gubernur Aceh ini ke lembaga Hak Asasi Manusia PBB. Menurut
Pemerintah Aceh, penutupan rumah ibadah di Aceh dilakukan karena menyalahi
ketentuan yang berlaku.
Sebelumnya, sebanyak 17 gereja di Kabupaten Aceh Singkil disegel oleh
pemerintah setempat. Hal ini diungkapkan Kepala Pembimbing Masyarakat
(Pembimas) Katolik, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh, Baron
Ferryson Pandiangan. Penyegelan gereja tersebut menggunakan dalih Surat
Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah; Peraturan Gubernur No
25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil No
2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara
komunitas Islam dan Kristen dari tiga kecamatan di Aceh Singkil pada 11 Oktober
2001.12
Selain Singkil, Pemkot Banda Aceh (21/10/12) juga melakukan penutupan 9
Gereja dan 5 Vihara di Banda Aceh sebagai tindak lanjut Peraturan Gubernur
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Pemkot banda
12
Sumber: waspada-globe journey
85
Aceh menganggap bangunan yang selama ini dijadikan Vihara dan Gereja oleh
pemeluk agama minoritas di Banda Aceh tidak sesuai dengan aturan dan
ketentuan yang ada dalam hal pendirian rumah ibadah. Bangunan yang mereka
dirikan tidak sesuai dengan PBM dan juga Pergub Aceh tentang pendirian rumah
ibadah
Hal ini ternyata mendapat tanggapan dari politisi Partai Kebangkitan Bangsa
Lily Wahid di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (24/10) yang
menganggap Pemerintah Pusat tidak boleh membiarkan permasalahan
penutupan gereja dan vihara di Banda Aceh, Provinsi Aceh. Lily meganggap
kasus ini sebagai pintu masuk disintegrasi bangsa. Ini upaya sistematis untuk
terjadinya disintegrasi bangsa. Kalau itu terjadi, pemerintah pusat sangat
bertanggung jawab. Pernyataan Lily Wahid mengundang reaksi banyak pihak di
Aceh karena dianggap tidak memahami persoalan Aceh.
Terkait perizinan mendirikan Gereja dan Vihara yang ditutup di Aceh,
banyak kalangan memandang persyaratan yang dituangkan di dalam Peraturan
Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah
teramat berat untuk dipenuhi. Sebuah rumah ibadah dapat memperoleh izin jika,
mendapat persetujuan dari 120 orang warga sekitar, dengan jumlah jemaat lebih
dari 150 orang, mendapat pengesahan dari lurah/kecik, dan ada surat rekomendasi
dari Departemen Agama setempat.13
13
Kompas, 22 Oktober 2012 , 9 Gereja di Banda Aceh Kesulitan Beribadah. Lihat:
http://regional.kompas.com/read/2012/10/22/14504434/9.Gereja.di.Banda.Aceh.Kesulitan.Beribad
ah.
86
Persyaratan itu jauh lebih berat dari ketentuan yang tertuang dalam
Peraturan Bersama Dua Menteri yang mewajibkan ada izin dari 90 jemaat, dengan
dukungan 60 orang warga sekitar.
C. Rencana Perumusan Qanun Kerukunan Umat Beragama di Aceh
Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
membuat qanun atau peraturan daerah tentang pendirian rumah ibadah dan
pedoman kerukunan umat beragama. Gubernur Aceh Zaini Abdullah
menyampaikan bahwa qanun ini dibuat untuk melindungi umat beragama yang
ada di Aceh. Qanun ini juga diharapkan menjadi pedoman bagi antarumat
beragama dalam menjalankan aktivitasnya masing-masing.14
Senada dengan itu, Staf Ahli Gubernur Aceh M. Jafar yang juga mantan
Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mengatakan qanun tersebut
sedang dalam proses finalisasi di DPR Aceh dan berharap qanun ini bisa disahkan
pada tahun 2016.
M. Jafar mengatakan qanun ini agat terlambat dibuat karena banyak qanun
turunan UU Nomor 11 Tahun 2006 yang harus diselesaikan Pemerintah Aceh.
Dan selama ini, aturan pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Gubernur
(Pergub). Perlu diketahui, qanun pendirian rumah ibadah dibuat atas perintah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Menurut M Jafar, qanun tersebut juga mengatur pedoman kerukunan umat
beragama. Dengan hadirnya qanun tersebut, diharapkan menjawab permasalahan-
permasalahan menyangkut penodaan agama dan penyiaran agama. Di dalam
14
Lihat: http://aceh.antaranews.com/berita/30971/gubernur-sampaikan-empat-rancangan-
qanun. Diakses pada 19 September 2016.
87
qanun tersebut juga dijabarkan tentang langkah-langkah pemberdayaan dan
penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB di semua tingkatan.
Selain itu, dengan hadirnya qanun tersebut, maka regulasi bagi kehidupan
umat beragama di Aceh semakin jelas dan berbagai potensi yang bisa
menghadirkan disharmonisasi antarumat beragama bisa diatasi. Selain
memperkuat kerukunan umat beragama, kehadiran qanun ini diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahan pendirian rumah ibadah di Aceh.15
Hal demikian juga disampaikan Ketua Komisi VII DPR Aceh Ghufran
Zainal Abidin mengatakan, qanun ini diharapkan menjadi regulasi kerukunan
umat beragama di Aceh sehingga kasus-kasus seperti di Aceh Singkil beberapa
waktu lalu tidak terulang lagi. Ghufran mengatakan banyak hal yang diatur dalam
qanun itu demi menjaga hubungan antar umat beragama di provinsi Aceh yang
selama ini terjalin cukup baik. Ia menegaskan semua agama yang diakui di
Indonesia akan mendapatkan hak-haknya di Aceh. Dalam qanun ini juga diatur
menyangkut izin pendirian rumah ibadah, mengingat kasus yang terkahir terjadi di
Singkil salah satunya disebabkan oleh pendirian rumah ibadah illegal di daerah
itu. 16
Sebelum di sahkan, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
akan mengundang para kepala daerah di Aceh, tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh
agama dalam rangka Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Rancangan
15
Lihat: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/06/18/o8yj6w-aceh-buat-
qanun-pendirian-rumah-ibadah. Diakses pada 22 Oktober 2016.
16http://portal.radioantero.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5271:qan
un-kerukunan-umat-beragama-dan-pendirian-rmah-ibadah-selesai-akhir-
tahun&catid=46:ap.Diakses pada 22 Oktober 2016.
88
Qanun (Raqan) tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadah untuk mencari masukan-masukan dalam rangka
penyempurnaan dari isi qanun tersebut. Sehingga dengan lahirnya qanun ini
nantinya tidak menimbulkan kontradiksi dengan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.
Semua hasil RDPU itu akan dibahas lagi oleh Komisi VII DPRA dengan
tim Pemerintah Aceh untuk menyesuaikan dengan peraturan yang ada. Sehingga,
qanun itu bisa menjadi payung hukum bagi kerukunan umat beragama di Aceh.17
17
Lihat: http://aceh.tribunnews.com/2015/12/17/dpra-gelar-rdpu-tentang-raqan-pendirian-
rumah-ibadah. Diakses pada 22 Oktober 2016.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya beribadah dan membangun rumah ibadah adalah dua hal
yang berbeda. Beribadah merupakan ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan
Yang Maha Esa, sedangkan membangun rumah ibadah adalah tindakan yang
berhubungan dengan warga negara lainnya karena berhubungan dengan hal-hal
yang fundamental, seperti: kepemilikan tanah, kedekatan lokasi, dan lain
sebagainya. Untuk itu sudah sepatutnya Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah ketika membuat sebuah kebijakan yang menyangkut tentang urusan umat
seperti pembangunan rumah ibadah jangan sampai merugikan satu pihak dan
malah menguntungkan pihak lain. Prinsip dasar yang harus kita junjung dalam hal
pendirian rumah ibadah selain harus memenuhi peraturan perundang-undangan
yang ada, tetapi pada saat yang sama juga harus tetap menjaga kerukunan
antarumat beragama dan menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Setelah melalui tahapan kajian terhadap rumusan masalah yang
dimunculkan dalam kajian ini, secara keseluruhan respon umat beragama di Aceh
ternyata masih menimbulkan polemik dalam masyarakat. Hal ini disebabkan
karena Pergub Aceh Nomor 25 tahun 2007 dianggap hanya menguntungkan bagi
kaum mayoritas (Islam) dan mempersempit gerak bagi umat agama lain dalam
upayanya untuk mendirikan rumah ibadah di Aceh. Disamping itu, Pemerintah
Daerah menganggap regulasi tentang pendirian rumah ibadah tersebut telah sesuai
dengan prinsip-prinsip kerukunan umat beragama. Namun, dalam prakteknya di
90
lapangan memang masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pada
dasarnya Pergub ini dikeluarkan guna untuk memberi payung hukum yang pasti
terhadap umat beragama dalam mendirikan rumah ibadah di Aceh karena Pemda
Aceh sendiri menemukan banyak kasus penyalahgunaan bangunan gedung yang
disalahfungsikan sebagai tempat ibadah yang tidak sesuai dengan aturan atau
perizinan.
Dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 memiliki dasar dalam
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pasal 127 ayat (4) yang berisi
pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari pemerintah Aceh
dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu, semenjak dikeluarkannya
Pergub ini banyak rumah-rumah ibadah yang ditertibkan karena tidak sesuai
dengan aturan dan peruntukannya. Tercatat, sekitar 17 gereja di Aceh Singkil
ditutup secara paksa oleh Pemerintah Aceh karena dinilai melanggar izin
peruntukan (illegal). Selain itu, Pemkot Banda Aceh juga melakukan penutupan 9
Gereja dan 5 Vihara di Banda Aceh sebagai tindak lanjut Peraturan Gubernur
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Pada kesimpulannya, meskipun lahirnya Pergub ini menimbulkan polemik
di masyarakat namun secara keseluruhan tidak mengganggu stabilitas situasi
kerukunan umat beragama di Aceh.
91
B. Saran – Saran
Setelah melalui kajian dan analisis terhadap penelitian ini, berikut penulis
memberikan beberapa saran-saran yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut:
1. Pemerintah Aceh harus lebih intens dalam mensosialisasikan setiap aturan
atau kebijakan baik itu Qanun/Perda, Pergub dan aturan lainnya sehingga
masyarakat mengetahui dan memahami terhadap maksud dan tujuan
dikeluarkannya aturan tersebut.
2. Dalam setiap mengeluarkan Qanun maupun Pergub, Pemerintah Aceh
diharapkan agar memberikan jaminan kebebasan kepada non-Muslim untuk
beribadah sesuai ajaran agamanya tanpa merasa takut atau terancam, dalam
hal ini menyangkut dengan pendirian rumah ibadah di Aceh. Untuk itu,
diharapkan kepada pemerintah agar segera membuat aturan tentang
pendirian rumah ibadah menjadi qanun, agar status hukumnya lebih kuat.
3. Sebelum di sahkan menjadi qanun, diharapkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh (DPRA) mengundang para kepala daerah di Aceh, tokoh
masyarakat dan tokoh-tokoh agama dalam rangka Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU) terkait Rancangan Qanun (Raqan) tentang Pedoman
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah
untuk mencari masukan-masukan dalam rangka penyempurnaan dari isi
qanun tersebut. Sehingga dengan lahirnya qanun ini nantinya tidak
menimbulkan kontradiksi dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
92
4. Selain itu, dengan hadirnya qanun tersebut, maka regulasi bagi kehidupan
umat beragama di Aceh semakin jelas dan berbagai potensi yang bisa
menghadirkan disharmonisasi antarumat beragama bisa diatasi. Selain
memperkuat kerukunan umat beragama, kehadiran qanun ini nantinya
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pendirian rumah ibadah di
Aceh.
93
DAFTAR PUSTAKA
Asry, M. Yusuf (Editor). Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia: Pelaksanaan
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9
dan 8 Tahun 2006. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia. Cet.1, 2011.
Azwar, Syafuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh (Aceh dalam Angka 2015) dengan website:
http://aceh.bps.go.id
Humas Pemda Aceh. Aceh 40 Tahun: Derap Langkah Pembangunan 1959-
1998/1999. Banda Aceh: Humas Banda Aceh, tt.
Kahmad, Dadang. Metodologi Penelitian Agama: Perspektif Ilmu Perbandingan
Agama. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh (Kemenag Aceh dalam Angka Tahun
2014) dengan website: http://aceh.kemenag.go.id
Kurdi, Muliadi. Aceh di Mata Sejarawan: Rekonstruksi Sejarah Sosial Budaya.
Banda Aceh: Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009.
Lubis, M. Ridwan. Agama dalam Perbincangan Sosiolog. Bandung: Citapustaka
Media Perintis. Cet.1, 2010.
_______________. Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam
Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group. Cet.1, 2015.
Manan, Bagir. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Indhill,
1992.
Marsan, Ubaidillah (Penyusun). Modul Diklat Teknis Kerukunan Umat
Beragama: Prosedur Pendirian Rumah Ibadah. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat, Pusdiklat Tenaga Teknis dan Keagamaan, Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2012.
94
Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1989.
Nawawi, Hadari. Instrument Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University, 1995.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8
Tahun 2006.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan
Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan Dalam Tata Naskah Dinas di
Lingkungan Pemerintahan Aceh.
Peraturan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Republik Indonesia. Jurnal Harmoni, Vol. IX, Nomor 33, Januari-Maret
2010.
Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah.
Razak, Yusron (Editor). Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran
Sosiologi Perspektif Islam. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2010.
Reni, Nuryanti dan Suryanto, Peno. Penelitian: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
UKM Penelitian UNY, 2006.
Sinaga, Budiman N.P.D. Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan. Yogyakarta:
UII Press, 2004.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
95
Syik, Abdul Gani. Sinar Darussalam: Majalah Pengetahuan dan Kebudayaan.
No. 174/175.
The Wahid Institute. Monthly Report on Religious Issues. Edisi XVII, Januari
2009.
Tim Penyusun. Kemenag Aceh dalam Angka Tahun 2014. Banda Aceh:
Subbagian Informasi dan Humas Kanwil Kementerian Agama Provinsi
Aceh, 2014.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-Undang Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama.
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM
PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 25 TAHUN 2007
TENTANG
PEDOMAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Mimbang : a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya;
b. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya;
c. bahwa pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalah gunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum;
d. bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapatberlangsung dengan rukun, lancar dan tertib;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d perlu disusun Pedoman Pendirian Rumah Ibadah dengan menetapkan dalam suatu Peraturan Gubernur;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
2. Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);
6. Undang-……………./2
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
- 2 -
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4468);
9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
10. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah;
11. Keputusan Bersama Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM TEN-TANG PEDOMAN PENDIRIAN RUMAH IBADAH;
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
1. Gubernur/Wakil Gubernur adalah Kepala/Wakil Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
2. Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah Kepala/Wakil Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
3. Camat Kepala Pemerintah Daerah Kecamatan dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
4. Lurah Kepala Pemerintah Kelurahan yang diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan;
5. Keuchik…………./3
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
- 3 -
5. Keuchik Kepala Pemerintah Gampong yang dipilih melalui proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil;
6. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
7. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah dibidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan umat beragama;
8. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus digunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga;
9. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan atau Ormas Keagamaan adalah Organisasi non Pemerintah bervisi Kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga Negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum dan telah terdaftar di Pemerintah Daerah setempat serta bukan Organisasi Sayap Politik;
10. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan;
11. Forum Kerukunan Umat Beragama yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan;
12. Panitia pembangunan rumah ibadah adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadah;
BAB IISYARAT PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Pasal 2
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/gampong;
(2) Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak menganggu ketentraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-undangan;
(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/gampong sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau Kabupaten/Kota atau Provinsi;
Pasal 3
(1) Pendirian rumah ibadat harus mematuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung;
(2). Selaian…………/4
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
- 4 -
(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :
a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 150 (Seratus lima puluh) orang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3);
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 120 (seratus dua puluh) orang yang disahkan oleh Lurah/Geuchik setempat;
c. Rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan
d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota;
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi bangunan rumah ibadat;
Pasal 4
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis;
Pasal 5
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat;
(2) Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pasal 6
Pemerintah Kabupaten/Kota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan kerena perubahan rencana tata ruang wilayah;
BAB IIIIZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG
Pasal 7
(1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari Bupati/Walikota dengan persetujuan Camat setempat secara tertulis dengan memenuhi persyaratan :
a. Laik Fungsi; dan
b. Pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat;
(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung;
(3) Persyaratan. …………../5
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
- 5 -
(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi :
a. Izin tertulis pemilik bangunan;
b. Rekomendasi tertulis Lurah/Geuchik;
c. Pelaporan tertulis kepada FKUB Kabupaten/Kota; dan
d. Pelaporan tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;
Pasal 8
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota;
(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun;
Pasal 9
(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Camat;
(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota;
BAB IVPENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 10
(1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat;
(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Walikota melalui musyawarah yang dilakukansecara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan saran FKUB Kabupaten/Kota;
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian dilakukan melalui pengadilan setempat;
Pasal 11
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10;
BAB VPENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 12
(1) Gubernur dibantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsimelakukan pengawasan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadat;
(2) Bupati/ . …………../6
MW\DATATU\F\doc.Wahed\PER\JUNI,07
- 6 -
(2) Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan Pengawasan terhadap Camat dan Lurah/Geuchik serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pendirian rumah ibadat;
Pasal 13
(1) Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat;
(2) Bupati/Walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan pengaturan pendirian rumah ibadat di Kabupaten/Kota kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama;
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu;
BAB VIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Gubernur ini berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
Ditetapkan di Banda AcehPada tanggal 19 Juni 2007
4 Jumadil Akhir 1428
Diundangkan di Banda AcehPada tanggal, 19 Juni 2007
4 Jumadil Akhir 1428
SEKRETARIS DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
HUSNI BAHRI TOB
BERITA DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2007 NOMOR ……...................
GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM
IRWANDI YUSUF
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama : Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA
Tempat, Tanggal Lahir : Rukoh, Aceh Besar / 5 Maret 1961
Lembaga / Instansi : UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Posisi / Jabatan : Rektor
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Dibentuknya Pergub maupun Perda/Qanun mempunyai latarbelakang yang panjang,
selain pada 2006 ada PBM di tingkat nasional. Sekalipun PBM itu sebetulnya sudah
sangat detail, tapi biasanya di tingkat daerah merasa penting untuk menindaklanjutinya
dengan aturan yang lebih detail lagi di daerah masing-masing. Mungkin, Pemerintah Aceh
merasa perlu untuk membuat standar terkait pendirian rumah ibadah, dalam hal ini
berbentuk Pergub. Meskipun pada tingkat nasional, pemerintah sudah mengeluarkan
aturan, yaitu PBM. Tapi, mungkin karena Aceh mempunyai hak istimewa dengan Undang-
Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pemerintah Aceh bisa saja mengatur ataupun
membuat regulasi sendiri berdasarkan kondisi lokal karena Aceh mayoritas bergama
Islam. Selain itu, mungkin juga Pemerintah Aceh perlu mengatur penertiban terkait
pendirian rumah ibadah karena banyak orang-orang yang datang ke Aceh dengan
latarbelakang agama yang bermacam-macam (selain Islam) dan ingin mendirikan rumah
ibadah di Aceh.
Pada prinsipnya, Pergub Aceh No.25 Tahun 2007 sudah diatur sedemikian rupa sehingga
tidak bertentangan dengan PBM. Di Aceh, banyak kita jumpai umat Kristen khususnya,
meskipun jamaatnya sedikit tetapi tetap ingin mendirikan rumah ibadah yang baru. Untuk
membatasi keleluasan itu, makanya Pemerintah Aceh merasa perlu membuat suatu aturan
dalam hal ini berbentuk Pegub. Selain itu, mungkin juga ada pihak-pihak tertentu yang
mempolitisasi agar berdirinya sebuah rumah ibadah yang baru meskipun tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
Adapun dasar hukum dibentuknya Pergub itu adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh
(UUPA), selain itu juga mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?
Tidak sama, karena Pergub dibentuk berdasarkan kewenangan Gubernur tanpa perlu
disetujui oleh DPRD/DPRA. Sedangkan Perda/Qanun dibentuk oleh DPRD/DPRA dengan
persetujuan bersama Gubernur.
4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Terkait realisasi Pergub, saat ini menjadi pegangan dan legitimasi dalam mendirikan
rumah ibadah di Aceh. Akan tetapi, ada beberapa wilayah tertentu melampaui
(melanggar) aturan tersebut sehingga terjadilah konflik.
Contoh kasus di Aceh Singkil, di sana umat Kristen (minoritas) jelas sudah melanggar
aturan pendirian rumah ibadah, baik itu PBM maupun Pergub Aceh. Mereka (Kristen)
sudah mendirikan tempat ibadah tidak sesuai dengan aturan yang ada, misalnya terkait
perizinan. Selain itu, Pemeritah Daerah juga tidak bergerak cepat dalam menangani kasus
tersebut sehingga terjadilah konflik.
Mungkin, Pemerintah Pusat memihak kaum minoritas (Kristen). Bagaimana tidak,
pelanggar pengrusakan rumah ibadah di Tolikara saja tidak di usut dan di proses hukum,
sementara di Aceh malah sebaliknya, di tangkap dan proses sesuai dengan ketentuan
hukum. Intinya, ada keberpihakan Pemerintah dalam hal ini.
5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama
di Aceh ?
Mungkin saja karena di Aceh mayoritas beragama Islam (Muslim) yang dikenal dengan
syariat Islam-nya, Pemerintah Aceh tidak mengatur hal tersebut. Sebenarnya di Aceh,
masalah tata cara penyiaran agama sudah menjadi tradisi dan budaya dalam masyarakat
Aceh, sehingga tidak perlu diatur lagi. Katakanlah seperti peringatan Maulid Nabi Saw.,
peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, dll, sudah termasuk kedalam
penyiaran agama dalam Islam.
Kalau selain Islam (non-Muslim), memang harus ada tata caranya, tetapi tidak boleh
mempengaruhi orang lain untuk pindah agama. Tapi sekarang mereka (Kristen)
melakukan itu. Dalam hal ini bisa saja dengan cara-cara memberikan bantuan dan lain –
lain yang ujung-ujungnya mempengaruhi orang lain (umat Islam) untuk pindah agama.
kasus ini sangat sering terjadi di Aceh. Sedangkan peringatan Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi
Saw., dan Nuzulul Qur’an tidak mempengaruhi siapa-siapa, kecuali mereka (non-Muslim)
yang terpengaruh tanpa adanya paksaan dari siapapun.
6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Sebenarnya Pergub itu muncul sebagai upaya dalam menertibkan pendirian rumah
ibadah, karena banyak tempat-tempat ibadah yang berdiri tidak sesuai dengan aturan.
Dimana banyak gereja-geraja yang berdiri tidak sesuai dengan peruntukannya, seperti
izin bangunan dan lain-lain. Selain itu, banyak juga gereja-gereja yang berdiri yang tidak
sesuai dengan jumlah jamaatnya. Dengan kata lain, jamaatnya sedikit tetapi tetap ingin
mendirikan rumah ibadah yang baru. Padahal salah satu syarat dalam mendirikan rumah
ibadah itu harus sesuai dengan komposisi jumlah penduduk bagi umat beragama yang
bersangkutan dalam suatu wilayah.
7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007
tentang Pendirian Rumah Ibadah?
Baik Pergub maupun PBM, perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat,
bukan pada masyarakat dan daerah tertentu saja . Selain itu, tokoh dari masing-masing
agama juga harus berperan dalam membimbing ummatnya dalam mensosialisasikan
Pergub ini.
8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Bagi Pemda, apapun aturan yang dibuat oleh pemerintah Aceh merupakan hasil dari
kesepakatan tokoh-tokoh yang kompeten. Sehingga apapun aturan yang dibuat dan sudah
final, mereka akan menjalankannya.
9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah
Ibadah?
FKUB Aceh hanya berperan pada tatanan atas sehingga jarang terjadi konflik. Sedangkan
pada tataran bawah peran FKUB sangat kurang maksimal sehingga sering muncul konflik
di masyarakat.
Banda Aceh, 02 Oktober 2016
Ttd,
(Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA)
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama : Drs. H. Ghazali Abbas Adan
Tempat, Tanggal Lahir : Pidie, Aceh / 15 Oktober 1951
Lembaga / Instansi : Anggota DPD RI
Posisi / Jabatan : Wakil Ketua Komite IV DPD RI
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Pertama ada SKB Dua Menteri, jadi ada syarat-syarat dalam membangun rumah ibadah
dalam konteks kerukunan umat beragama. Diantaranya adalah tidak boleh menyebar
agama terhadap orang yang sudah beragama dengan dalih apapun. Termasuk mendirikan
rumah ibadah itu harus disetujui oleh masyarakat sekitar (sekian orang), itu baru boleh
mendirikan rumah ibadah, Saya kira itu wajar.
Dalam konteks Aceh, dengan adanya kearifan lokal dengan syariat Islam-nya, mungkin
karena itu Gubernur membuat Pergub dalam rangka turunan implementasi dari SKB Dua
Menteri. Dan setiap masyarakat di Aceh harus tunduk pada aturan tersebut, karena aturan
itu merupakan asas legalitas dan tidak boleh dilanggar. Maka sejatinyalah setiap
masyarakat yang tinggal di Aceh harus ikut pada aturan tersebut karena peraturan itu
masih berlaku sampai dengan sekarang. Selain itu, Pergub juga suda diuji oleh
Pemerintah Pusat karena setiap Pergub atau Perda harus ada persetujuan dari
Pemerintah Pusat karena aturan dibawahnya tidak boleh melanggar aturan lebih tinggi.
Itulah strata, aturan perundang-undangan di Indonesia. Karena tidak melanggar aturan
yang lebih tinggi, makanya Pemerintah Pusat tidak membatalkan Pergub tersebut
sehingga masih tetap berlaku sampai sekarang. Bukan berarti orang Aceh itu melanggar
HAM, dan juga bukan berarti orang Aceh itu diskrimitatif, bukan.
Untuk kasus Singkil, sebab terjadinya konflik itu memang adanya pelanggaran izin
bangunan. Pada awal-awalnya Saya kecewa dengan Pemda Singkil yang tidak tegas,
terakhir baru Pemda tegas setelah mendapat sorotan dari Pemerintah Pusat.
Jika aturan sudah ada (Pergub) semestinya tidak boleh ada siapapun yang melanggarnya.
Kalaupun ada yang melanggar berarti ini sesuatu yang tidak normal, maka terjadilah hal
yang tidak normal. Kita sebenarnya tidak sepakat dengan cara-cara seperti itu (kekerasan
yang berujung anarkis), mungkin saja masa pada saat itu sedang emosional dan tidak bisa
dikendalikan. Jadikanlah peristiwa ini sebagai pelajaran, pertama dan terkahir, jangan
sampai terulang lagi.
Jadi, untuk melaksanakan kearifan lokal yang ada di Aceh, maka dibentuklah Pergub yang
merupakan turunan dari SKB Dua Menteri dan Pergub ini tidak diskriminatif karena
sesuai dengan kondisi lokal Aceh.
2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
Dasar hukum nya adalah SKB Dua Menteri, karena dibentuknya Pergub itu merupakan
turunan dari SKB Dua menteri tersebut, dan tidak melanggar aturan yang lebih tinggi.
3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?
Memang, Perda lebih tinggi daripada Pergub, tapi juga turunan. Perda/Qanun harus
disusun bersama-sama oleh DPRA dan Gubernur dengan catatan tidak boleh melanggar
aturan yang lebih tinggi.
4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Semua harus konsekuen dalam melaksanakan Pergub, selama Pergub itu masih belum
dicabut harus konsekuen melaksanakannya dan mentaatinya, itu prinsipnya. Indonesia
adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan, segalanya ada aturannya. Aturan yang
sudah ada laksanakanlah secara serius dan sungguh-sungguh oleh semua pihak.
5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama
di Aceh ?
Saya kira tidak ada masalah, yang penting aturan SKB Dua Menteri juga berlaku di Aceh.
Aceh-kan NKRI ya harus ikut yang itu juga, tetap saja berlaku SKB Dua Menteri meskipun
di dalam Pergub Aceh tidak ada. Maka, Saya pikir kedepan Pergub itu harus
disempurnakan jangan cuma sebatas mengatur pendirian rumah ibadah, tapi juga tata
cara penyiaran agama di Aceh. Akan tetapi, sebelum aturan itu ada, berpegang jugalah
pada SKB Dua Menteri. Sejatinya, agar aturan itu lebih kuat harus dijadikan Qanun/
Perda.
6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Khusus untuk Aceh, peristiwa di Singkil itu hanya insidental karena selama ini tidak
pernah terjadi di Aceh. Secara umum rukun-rukun saja, apa yang terjadi di Singkil hanya
kasuistis. Kendati demikian, jadikanlah sebagai pelajaran untuk kita semua, jangan
adalagi konflik. Kita harus konsekuen melaksanakan peraturan negara, juga kensekuen
mengikuti dan tunduk pada aturan itu. Dan aparat negarapun harus menjaga wibawa
aturan. Kalau ada yang melanggar harus diberi peringatan (ada prosedurnya) yaitu
peringatan pertama dengan cara persuasif, jangan dibiarkan sampai terjadi akumulasi
dimana sudah menggumpal baru ditindak. Berilah kesadaran persuasif dengan cara
sosialisasi dan sebagainya. Setelah diberi penyadaran pemasyarakatan, dan masih ada
yang melanggar, baru ditindak dan di beri sanksi sesuai dengan aturan hukum.
7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007
tentang Pendirian Rumah Ibadah?
Perlu disosialisasikan terlebih dahulu bahwa di Aceh ada Pergub yang mengatur tentang
pendirian rumah ibadah. Selain itu, juga perlu pemasyarakatan oleh tokoh-tokoh dari
masing-masing agama.
Di Indonesia, FKUB yang diwakili oleh masing-masih tokoh agama agar mengajarkan
ummatnya. FKUB harus diefektifkan, apalagi di Aceh Singkil khususnya, sangatlah plural
masyarakatnya. Jadi, perlu difungsikan dengan baik peran FKUB-nya.
8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Saya tidak pernah dengar komplen terkait Pergub tersebut. Di sini (DPD RI) Saya punya
teman yang non-Muslim dan kami sangat akrab. Dengan kata lain, di DPD RI ada
beberapa orang Pendeta tapi mereka adalah teman-teman Saya yang baik. Ada pendeta
dari Papua misalnya, kami akrab bergaul dan kami saling menghargai. Mereka tidak
pernah “nyeletuk” kepada Saya kenapa kampung anda seperti itu, enggak. Saya pikir
mereka juga bisa memahaminya, Saya tidak tahu bagaimana hati kecilnya. Tapi, faktanya
lahiriahnya tidak ada komplen dengan Saya terkait kejadian di Aceh Singkil. Masalah
menyesali itu adalah hal manusiawi, karena adanya kerusakan, kerugian dan juga korban.
Yang pasti mereka tidak tidak pernah komplen dengan Pergub itu, karena mereka juga
sadar dengan adanya SKB Dua Menteri.
9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah
Ibadah?
Melihat kasus di Aceh Singkil, peran FKUB kurang maksimal. Maka kedepannya peran
FKUB harus dimaksimalkan lagi dalam rangka mengayomi umat masing-masing sehingga
ikut pada aturan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Termasuk di Aceh,
karena ada kearifan lokal dan juga ada kekhususan tersendiri.
Jakarta, 28 September 2016
Ttd,
(Drs. H. Ghazali Abbas Adan)
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama : Munardi, SH, MH.
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 4 Desember 1970
Lembaga / Instansi : Sekretariat MPU Aceh
Posisi / Jabatan : Kabag. Hukum dan Humas
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Adanya permasalahan terkait pendirian rumah ibadah di Kota Madya Banda Aceh/ Aceh
Besar pada waktu itu.
2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?
Pergub dibuat oleh Gubernur tanpa perlu disetujui oleh DPRA dan tidak bertentangan
dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Sedangkan Perda dibuat oleh DPRA dan disetujui
oleh Gubernur.
4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
Terlaksana tapi terbatas, masih menyisakan permasalahan yang umumnya karena kurang
patuh kepada aturan hukum. Misalnya di Aceh Singkil ada pihak-pihak yang melanggar
peraturan-peraturan yang telah disepakati dan juga Pergub sehingga terjadilah konflik.
5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama
di Aceh ?
Itu hanya khusus untuk pendirian rumah ibadah.
6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Sesuai dengan jawaban nomor 4.
7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007
tentang Pendirian Rumah Ibadah?
Ada pihak-pihak yang tidak patuh terhadap Pergub tersebut.
8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Cukup baik, meskipun ada beberapa kalangan yang menolak keberadaan Pergub ini
karena dianggap diskriminatif.
9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah
Ibadah?
Sangat kurang maksimal, seharusnya FKUB Aceh lebih gencar dalam mensosialisasikan
Pergub tersebut dengan cara turun ke lapangan, terutama di tempat-tempat yang rawan
terjadi konflik.
Banda Aceh, 30 September 2016
Ttd,
(Munardi, SH, MH)
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama : Willy Putrananda
Tempat, Tanggal Lahir : Meulaboh, 23 Juli 1960
Lembaga / Instansi : Vihara Buddha Shakyamuni Banda Aceh
Posisi / Jabatan : Pandhita Vihara
1. Apa yang melatarbelakangi dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
………………………………….………………………………………………………..…..
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
2. Apa dasar hukum dibentuknya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007?
………………………………….………………………………………………………..…..
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
3. Bagaimana kedudukan Pergub? Apakah sama dengan Perda/Qanun?
………………………………….………………………………………………………..…..
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
4. Bagaimana realisasi pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pendirian Rumah Ibadah?
………………………………….………………………………………………………..…..
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
5. Kenapa Pergub Nomor 25 Tahun 2007 tidak mengatur Tata Cara Penyiaran Agama
di Aceh ?
………………………………….………………………………………………………..…..
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………….
6. Bagaimana hasil setelah dikeluarkannya Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Secara eksekutif (di pemerintahan) kami sangat harmonis, juga di lingkungan Vihara.
Agama Buddha itu tidak bisa melihat orang lain menderita. Oleh karena itu, jika ada
musibah yang menimpa saudara-saudara kita, dimanapun dan beragama apapun, kami
ikut andil untuk membantunya.
7. Apa tantangan dan kendala dalam pelaksanaan Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007
tentang Pendirian Rumah Ibadah?
Menurut kami, tantangan dan kendalanya mungkin karena perangkat-perangkat daerah
kurang maksimal dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya dalam
mensosialisasikan aturan/regulasi yang di buat oleh Pemerintah Aceh sehingga
masyarakat tidak mengetahuinya.
8. Bagaimana respon masyarakat terhadap Pergub Aceh Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Pendirian Rumah Ibadah?
Karena ajaran Buddha itu adalah ajaran alam, kami sebagai umat beragama, umat yang
berkedudukan di Indonesia secara tidak langsung kami mentaati apapun peraturan-
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Aceh. Sebagai warga negara yang baik, kita harus
mematuhinya. Mengapa demikian? Karena kami harus bisa menyesuaikan sesuai dengan
dimana kami berada. Meskipun kami dikatakan minoritas di Aceh, tetapi kami tidak mau
dikatakan demikian karena kami sebenarnya berjumlah sekitar 17%, tetapi pemerintah
mengatakan hanya 1,7% , kami nggak ngerti kemana arah yang sebenarnya terkait data
tersebut. Kami sebagai umat Buddha tidak mau dikatakan minoritas karena kami adalah
bagian dari warga Indonesia. Saya sangat mengagumi ajaran Islam karena menurut Saya
jika umat Islam menjalankan Syariat Islam secara khaffah maka dunia ini akan aman dan
damai.
Terkakit muatan dalam ada dalam Pergub tersebut, bagi kami yang berada di Aceh, PBM
saja sudah sangat memberatkan meskipun persyaratan dalam mendirikan rumah ibadah
lebih sedikit jika dibandingkan dengan Pergub (komposisi jumlah penduduk). Meskipun
demikian, kami sebagai umat Buddha harus menerima, mentaati dan mematuhi aturan
yang ada.
9. Bagaimana peran Forum Kerukunan Umat Beragama Aceh dalam Pendirian Rumah
Ibadah?
Menurut kami peran Pemerintah Daerah dan FKUB Aceh sangat baik. Akan tetapi masih
ada kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki ke depannya. Karena bagi kaum
minoritas seperti kami (non-Islam) masih mendapat intimidasi jika mendirikan rumah
ibadah baru, meskipun sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Banda Aceh, 29 September 2016
Ttd,
(Willy Putrananda)