Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
748
GENESA BATUGAMPING MERAH DI DAERAH SIUNG DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN TEPUS DAN GIRISUBO, KABUPATEN GUNUNGKIDUL
Anastasia Dewi Titisari1*
Adnan Hendrawan1
Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu formasi batuan yang memiliki potensi batugamping dalam jumlah besar adalah
Formasi Wonosari-Punung yang tersingkap di daerah Gunungkidul dan sekitarnya.
Batugamping Formasi Wonosari-Punung umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan
tetapi, di daerah Siung dan sekitarnya, dijumpai batugamping berwarna merah yang memiliki
persebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena
berada di sekitar tubuh gunung api purba sehingga mendorong penulis untuk melakukan
penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut. Karakteristik petrografi
dan geokimia oksida utama sangat membantu dalam menjelaskan genesa batugamping merah
di daerah penelitian. Pengamatan petrografi pada batugamping merah menunjukkan kehadiran
kalsit, kuarsa, hematit, dan titanit. Analisis geokimia oksida mayor menunjukkan adanya
pengayaan senyawa SiO2, Al2O3, Fe2O3, MnO, TiO2, dan SrO,, sedangkan kandungan CaO
pada batugamping merah lebih rendah daripada batugamping putih. Pengayaan SiO2, Fe2O3,
dan TiO2 berkaitan dengan kehadiran mineral hematit dan titanit yang diduga sebagai mineral
pengontrol warna merah pada batugamping, sementara pengayaan MnO dan SrO memberikan
kontrol warna merah pada batugamping dalam bentuk unsur bukan dalam bentuk mineral.
Pengayaan SiO2, Al2O3, dan TiO2 diinterpretasikan berasal dari material terigenus yang
masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping serta turut berperan dalam
pembentukan batugamping merah. Hal ini juga didukung dengan kehadiran kuarsa sebagai
penciri mineral terigen. Pengayaan Fe2O3 dan MnO, serta korelasi positif antara Mn dan Sr
mengindikasikan bahwa terjadi proses diagenesis yang turut berperan dalam pembentukan
warna merah pada batugamping. Hal ini juga didukung dengan kehadiran stylolite pada
batugamping merah yang terbentuk dari kompaksi kimia selama proses diagenesis. Kompaksi
kimia biasanya disertai dengan pembebasan unsur Fe yang akan membentuk mineral hematit
di sekitar stylolite.
Kata Kunci : batugamping merah, formasi Wonosari-Punung, mineralogi, geokimia
1. Pendahuuan
Formasi Wonosari-Punung merupakan formasi penyusun Pegunungan Selatan Jawa
Timur yang memiliki potensi sumberdaya batugamping dalam jumlah banyak. Menurut
Surono dkk (1992), Formasi Wonosari-Punung tersusun oleh batugamping, batugamping
napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau. Siregar dkk (2004)
menyebutkan bahwa batugamping Formasi Wonosari-Punung pada umumnya berwarna putih
hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul
dijumpai batugamping Formasi Wonosari-Punung yang berwarna merah dengan penyebaran
secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di
sekitar batuan beku Formasi Wuni sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian
mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
749
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran batugamping merah di
daerah Siung dan sekitarnya, mengetahui mineral dan unsur pengontrol warna merah pada
batugamping, serta mengetahui proses pembentukan batugamping merah. Proses
pembentukan batugamping merah dalam penelitian ini difokuskan pada peran proses-proses
geologi dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah tersedianya data mineralogi serta data geokimia yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pemanfaatan batugamping merah di daerah tersebut.
Kondisi geologi daerah Siung dan sekitarnya telah menjadi objek beberapa penelitian,
diantaranya penelitian mengenai asal-usul pembentukan Gunung Batur (Hartono dan Bronto,
2009) dan penelitian mengenai kondisi geologi dan penyebaran zona alterasi hidrotermal
(Mustakim dkk, 2014), tetapi penelitian-penelitian tersebut belum pernah membahas
mengenai batugamping merah. Penelitian mengenai batugamping merah pada Formasi
Wonosari-Punung sebelumnya pernah dilakukan, tetapi berlokasi di daerah Ponjong (Atmoko
dkk, 2016). Oleh sebab itu, penelitian mengenai batugamping merah di daerah Siung dan
sekitarnya merupakan penelitian baru yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
2. Metode Penelitian
Lokasi penelitian berada di daerah Siung dan sekitarnya, Kecamatan Tepus dan Girisubo,
Kabupaten Gunungkidul dengan luas daerah penelitian 20 km2 (Gambar 1). Penelitian ini
disusun berdasarkan data primer yang dihasilkan dari pekerjaan lapangan dan analisis
laboratorium. Pekerjaan lapangan dilakukan untuk memetakan kondisi geologi, memetakan
persebaran batugamping merah, serta pengambilan sampel batuan yang digunakan untuk
analisis laboratorium. Sampel batuan yang digunakan untuk analisis laboratorium berjumlah
15, yang terdiri dari 8 sampel batugamping merah, 3 sampel batugamping putih, dan 4 sampel
batuan beku.
Analisis laboratorium yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis petrografi dan
analisis geokimia Inductively Coupled Plasma - Atomic Emission Spectrometry (ICP-AES).
Analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui tekstur dan jenis mineral penyusun batuan.
Analisis petrografi dilakukan di Laboratorium Geologi Optik, Departemen Teknik Geologi,
Universitas Gadjah Mada. Analisis geokimia ICP-AES bertujuan untuk mengetahui
kandungan oksida utama pada batuan. Analisis ICP-AES dilakukan di Laboratorium ALS-
Geochemistry, Ontario, Canada. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa citra
digital elevation model (DEM) yang digunakan untuk analisis struktur geologi.
3. Data
3.1. Data lapangan
Berdasarkan modifikasi klasifikasi van Zuidam (1985) dan Brahmantyo (2006), daerah
penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan punggungan aliran lava, satuan
bukit intrusi dan satuan perbukitan kerucut kars. Secara litostratigrafi daerah penelitian
tersusun oleh 3 satuan batuan yang terdiri dari satuan lava andesit, satuan intrusi andesit
hornblende, dan satuan batugamping floatstone (Gambar 2). Satuan batugamping floatstone
secara tidak selaras menumpang di atas satuan lava andesit dan satuan intrusi andesit
hornblende.
Batugamping merah yang menjadi objek penelitian berada pada satuan batugamping
floatstone dengan persebaran secara setempat-setempat. Secara megaskopis, batugamping
merah menunjukkan karakteristik sebagai batugamping floatstone (Gambar 3a) dan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
750
batugamping kristalin (Gambar 3b). Batugamping merah floatstone berwarna merah muda –
merah, ukuran butir <1 – 25 mm, bentuk butir material penyusun membundar dan melensa,
mud supported, struktur berlapis dan masif, serta tersusun oleh alga merah, cangkang
foraminifera, hematit, pirolusit, dan lumpur karbonat. Batugamping merah kristalin berwarna
merah – merah kecoklatan, ukuran butir <1 mm, sebagian besar material penyusun telah
mengalami rekristalisasi, struktur masif, serta tersusun oleh kalsit, hematit, pirolusit, dan
sedikit lumpur karbonat. Baik pada batugamping merah floatstone maupun batugamping
merah kristalin dijumpai adanya stylolite (Gambar 4).
Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian, antara lain sesar geser sinistral
nampu, sesar turun banyutibo, kekar gerus, dan kekar ekstensi. Penentuan sesar didasarkan
pada analisis peta topografi dan citra DEM, sedangkan penentuan kekar didasarkan pada data
lapangan. Hasil analisis citra DEM juga menunjukkan bahwa pada daerah penelitian
berkembang 3 arah pola kelurusan struktur geologi, yaitu arah barat barat laut - timur
menenggara, arah utara barat laut – selatan menenggara, dan arah timur timur laut - barat
baratdaya (Gambar 5).
3.2. Data petrografi
Analisis petrografi pada batugamping digunakan untuk mengetahui tekstur batuan, jenis,
dan kelimpahan komponen penyusun batuan, serta jenis dan kelimpahan mineral penyusun
batuan. Hasil analisis petrografi menunjukkan bahwa batugamping merah dapat
dikelompokkan dalam 2 jenis menurut Embry & Klovan (1971), yaitu batugamping floatstone
(Gambar 6a-6b) dan batugamping kristalin (Gambar 6c-6d). Sementara itu, seluruh sampel
batugamping putih termasuk dalam batugamping floatstone (Gambar 7). Rangkuman hasil
analisis petrografi batugamping dapat dilihat pada Tabel 1.
Terdapat beberapa perbedaan antara batugamping merah floatstone dengan batugamping
merah kristalin dari pengamatan petrografi. Pada pengamatan PPL batugamping merah
kristalin nampak lebih merah daripada batugamping floatstone. Pada batugamping floatstone
dijumpai skeletal grain berupa alga merah, foraminifera, dan litik, sedangkan pada
batugamping merah kristalin tidak dijumpai skeletal grain, Batugamping kristalin memiliki
kandungan sparit yang lebih melimpah daripada batugamping floatstone, sebalikanya
kandungan mikrit pada batugamping kristalin sangat sedikit.
Pengamatan petrografi juga menunjukkan perbedaan mineralogi penyusun batugamping
merah dan batugamping putih. Terdapat beberapa mineral yang dijumpai pada batugamping
merah tetapi tidak dijumpai pada batugamping putih, diantaranya kuarsa, titanit, dan hematit.
Hematit cukup melimpah pada batugamping merah dan tersebar secara acak diantara sparit, di
sekitar retakan dan stylolite. Sementara itu, titanit memiliki kelimpahan yang cukup rendah
dan hanya dijumpai pada beberapa sampel batugamping merah.
Analisis petrografi pada batuan beku digunakan untuk mengetahui tekstur batuan, jenis
mineral penyusun batuan. Rangkuman analisis petrografi batuan beku dapat dilihat pada
Tabel 2. Hasil analisis petrografi menunjukkan beberapa perbedaan antara sampel lava andesit
(Gambar 8a-8b) dan sampel intrusi andesit hornblende (Gambar 8c-8d). Lava andesit
memperlihatkan tekstur trakhitik, ukuran fenokris lebih halus, kelimpahan hornblende lebih
rendah, serta dijumpai urat kalsedon. Intrusi andesit hornblende memiliki ukuran fenokris
lebih kasar, hornblende lebih melimpah, serta dijumpai kuarsa. Analisis ini dipakai untuk
mendukung dalam menginterpretasi asal material terigenus.
3.3. Data geokimia
Hasil analisis kandungan oksida utama menggunakan metode ICP-AES disajikan dalam
Tabel 3. Kandungan oksida utama batugamping dapat digunakan untuk mengelompokkan
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
751
jenis batugamping secara geokimia. Todd (1996) mengelompokkan batugamping kedalam 3
kelompok berdasarkan rasio Ca/Mg, yaitu batugamping murni (Ca/Mg > 39,00), batugamping
magnesium (Ca/Mg antara 12,30 – 39,00), dan batugamping dolomitik (Ca/Mg antara 1,41 –
12,30). Hasil pengelompokkan batugamping secara geokimia dapat dilihat pada Tabel 4. Dari
8 sampel batugamping merah yang dianalisis, 7 sampel termasuk dalam batugamping murni
dan 1 sampel termasuk dalam batugamping magnesium. Sementara itu, semua batugamping
putih yang dianalisis termasuk dalam batugamping murni.
Untuk mengetahui pola oksida utama pada batugamping merah dan batugamping putih,
hasil analisis kandungan oksida utama disajikan dalam bentuk kurva kelimpahan (Gambar 9).
Dari kurva tersebut, dapat diidentifikasi perbedaan kandungan oksida utama pada
batugamping merah dan batugamping putih. Batugamping merah memiliki kandungan SiO2,
Al2O3, Fe2O3, Na2O, K2O, TiO2, MnO, dan SrO lebih tinggi daripada batugamping putih.
Batugamping putih memiliki kandungan CaO lebih tinggi daripada batugamping merah.
Sementara itu, kandungan MgO dan P2O5 menunjukkan pola yang acak pada batugamping
merah dan batugamping putih.
Dari hasil analisis geokimia juga dibuat diagram bivariat untuk mengetahui hubungan
antara CaO dengan beberapa oksida utama (Gambar 10). Diagram bivariat menunjukkan
bahwa CaO sebagai senyawa utama penyusun batugamping memiliki hubungan korelasi
negatif terhadap beberapa oksida utama, diantaranya SiO2, Al2O3, Fe2O3, MgO, P2O5, TiO2,
MnO, dan SrO.
Analisis geokimia juga dilakukan terhadap sampel batuan beku. Hasil analisis ini
bertujuan untuk melakukan penamaan batuan beku secara geokimia menurut klasifikasi Le
Bas dkk (1986) (Gambar 11). Berdasarkan klasifikasi tersebut, baik sampel lava andesit
maupun sampel intrusi andesit hornblende termasuk dalam kelompok andesit, tetapi intrusi
andesit hornblende memiliki kandungan SiO2 yang lebih tinggi daripada lava andesit.
4. Pembahasan
4.1. Persebaran batugamping merah
Persebaran batugamping merah terhadap kondisi geologi di daerah penelitian ditentukan
dengan menampalkan hasil interpolasi persebaran batugamping merah yang dijumpai di
lapangan, persebaran satuan litologi, serta pola kelurusan dan struktur geologi hasil analisis
DEM (Gambar 12). Hasilnya menunjukkan bahwa batugamping merah secara umum dijumpai
pada 2 lokasi, yaitu di daerah Pantai Siung (bagian barat daerah penelitian) dan daerah
Nampu (bagian tenggara daerah penelitian). Batugamping merah yang dijumpai di kedua
lokasi tersebut menunjukkan karakteristik yang sama.
Dengan melihat persebaran batugamping merah pada Gambar 12, dapat diinterpretasikan
bahwa persebaran batugamping merah dikontrol oleh 2 aspek, yaitu litologi dan struktur
geologi. Batugamping merah memiliki persebaran pada satuan batugamping floatstone yang
berada di sekitar kontak litologi dengan satuan lava andesit. Jenis kontak litologi antara kedua
satuan batuan tersebut berupa kontak ketidakselarasan. Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan
bahwa satuan lava andesit berkontribusi sebagai sumber material terigenus dalam cekungan
dan pembentukan batugamping merah. Kehadiran batugamping merah juga dikontrol oleh
struktur geologi. Batugamping merah hadir pada daerah dengan pola kelurusan struktur yang
cukup intensif sehingga dapat diinterpretasikan bahwa struktur geologi juga berperan dalam
pembentukan batugamping merah.
4.2. Mineral dan unsur pengontrol warna merah pada batugamping
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
752
Mineral pengotrol warna merah pada batugamping ditentukan dengan membandingkan
jenis mineral penyusun batugamping merah dan batugamping putih berdasarkan deskripsi
secara megaskopis dan analisis petrografi. Mineral pengontrol warna merah akan hadir
dan/atau memiliki kelimpahan yang lebih tinggi pada batugamping merah daripada
batugamping putih. Mineral yang hadir pada batugamping merah tetapi tidak dijumpai pada
batugamping putih adalah kuarsa, hematit, titanit, dan pirolusit. Dari keempat mineral
tersebut, mineral yang dapat menyebabkan warna merah pada batugamping adalah hematit
dan titanit (Flugel, 2010; Atmoko dkk, 2016).
Baik secara megaskopis maupun mikroskopis, hematit dijumpai pada semua sampel
batugamping merah dengan kelimpahan berkisar antara 4,7% - 8,4%. Kehadiran hematit
sebagai mineral pengontrol warna merah juga didukung dengan hasil analisis geokimia ynag
menunjukkan adanya pengayaan Fe2O3 (Gambar 9). Hematit umumnya berasal dari batuan
beku, terutama lava, urat hidrothermal, dan batuan metamorf derajat rendah (Hurlbut, 1941;
Mottana dkk, 1978) sehingga diinterpretasikan bahwa satuan lava andesit dan satuan intrusi
andesit hornblende bertanggungjawab sebagai sumber material yang menyebabkan terjadinya
pengayaan Fe2O3. Sementara itu, hematit sebagai mineral autigenik terbentuk sebagai hasil
dari proses diagenesis (Flugel, 2010; Mottana dkk, 1978). Kehadiran hematit yang tersebar
secara acak di antara sparit, di sekitar retakan dan stylolite diinterpretasikan bahwa hematit
tersebut terbentuk akibat proses diagenesis.
Kehadiran titanit pada batugamping merah hanya dapat diidentifikasi dari hasil analisis
petrografi. Titanit hadir pada beberapa sampel batugamping merah, diantaranya sampel AH-3,
AH-6, AH-7, AH-22, dan AH-51 dengan kelimpahan berkisar antara 0,5% - 1,2%. Kehadiran
titanit sebagai mineral pengontrol warna merah juga didukung dengan hasil analisis geokimia
yang menunjukkan adanya pengayaan TiO2 dan SiO2 (Gambar 9). Kehadiran titanit pada
batugamping merah dapat berupa detritus hasil rombakan dari batuan beku asam – intermediet
yang masuk dalam cekungan pengendapan batugamping (Mottana, 1978). Titanit juga dapat
terbentuk dalam batugamping kristalin (Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995).
Unsur pengontrol warna merah pada batugamping ditentukan dengan membandingkan
kandungan oksida utama pada batugamping merah dan batugamping putih dari hasil analisis
geokimia. Unsur pengontrol warna merah akan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada
batugamping merah dibandingkan pada batugamping putih. Unsur yang memiliki konsentrasi
yang lebih tinggi pada batugamping merah, antara lain Si, Al, Fe, Na, K, Ti, Mn, dan Sr. Dari
unsur-unsur tersebut, unsur yang dapat menyebabkan warna merah pada batugamping adalah
Fe, Mn, dan Sr (Nassau, 1978).
Fe dan Mn merupakan unsur minor pada batugamping. Fe dan Mn dapat menyusun
batugamping dalam bentuk senyawa maupun dalam bentuk kation (Boggs, 2009). Nilai rata-
rata konsentrasi Fe dan Mn pada batugamping merah berturut-turut adalah 0,74 wt% dan 0,03
wt%, sedangkan nilai rata-rata Fe dan Mn pada batugamping putih berturut-turut adalah 0,12
wt% dan <0,01 wt%. Fe dan Mn umumnya dibawa oleh material non-karbonat yang dapat
berasal dari material terigenus (Boggs, 2009). Fe juga dapat ditambahkan ke dalam
batugamping melalui proses diagenesis (Flugel, 2010).
Unsur Sr merupakan unsur jejak yang umumnya menyusun batugamping dalam bentuk
kation (Boggs, 2009). Unsur Sr merupakan unsur yang mudah terlarut dalam air laut sehingga
dapat dengan mudah terikat di dalam struktur kristal mineral karbonat pada saat pembentukan
batugamping. Unsur Sr dapat juga tersimpan di dalam material skeletal (Chester, 2000 dalam
Boggs, 2009). Rata-rata konsentrasi Sr pada batugamping merah adalah 76,5 ppm, sedangkan
pada batugamping putih adalah 8,6 ppm. Korelasi negatif antara Sr dengan CaO menunjukkan
bahwa sumber Sr dalam batugamping bukan berasal dari proses yang sama dengan proses
pembentukan CaO pada batugamping. Senyawa CaO sebagai senyawa utama penyusun
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
753
batugamping berasal dari air laut dan terkandung dalam batugamping saat presipitasi
berlangsung, sedangkan kehadiran unsur Sr diinterpretasikan berasal dari input material
terigenus ataupun proses diagenesis.
4.3. Proses pembentukan warna merah pada batugamping
Proses pembentukan warna merah pada batugamping merah ditentukan berdasarkan
persebaran batugamping merah, asosiasi mineral dan unsur pengontrol warna merah pada
batugamping, dan didukung dengan hasil uji geokimia. Setidaknya terdapat 2 proses geologi
yang berperan dalam pembentukan batugamping merah, yaitu penambahan material terigenus
dan diagenesis.
Persebaran batugamping merah yang berada di sekitar kontak litologi dengan satuan lava
andesit mengindikasikan bahwa satuan lava andesit dan/atau satuan intrusi andesit hornblende
berpengaruh terhadap pembentukan warna merah pada batugamping. Satuan lava andesit dan
intrusi hornblende merupakan bagian dari tubuh gunung api purba Batur yang merupakan
suatu gunung api darat (Hartono dan Bronto, 2007). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan
bahwa kedua satuan batuan tersebut dapat memberikan suplai material terigenus yang dapat
meyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping.
Proses pelapukan dan erosi menyebabkan beberapa material terlepas dari batuan induk.
Material-material terigen tersebut membawa beberapa unsur kimia, seperti Si, Ti, Al, Fe, Mn,
dan Sr. Kemudian, ketiga unsur tersebut mengalami transportasi oleh sungai dan akhirnya
masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping. Saat presipitasi berlangsung, Fe, Mn,
dan V terikat di dalam struktur kristal mineral karbonat sehingga menyebabkan terbentuknya
warna merah pada batugamping.
Adanya penambahan material terigenus pada batugamping merah juga diperkuat dengan
beberapa bukti hasil analisis geokimia. Penambahan material terigenus dicirikan dengan
pengayaan beberapa senyawa penciri material terigen pada batugamping merah, seperti SiO2,
Al2O3, dan TiO2 (Nagarajan dkk, 2011; Song dkk, 2014). Ketiga senyawa tersebut juga
menunjukkan korelasi negatif yang signifikan terhadap CaO sehingga dapat diinterpretasikan
bahwa senyawa-senyawa tersebut bukan berasal dari air laut. Hasil analisis petrografi
menunjukkan bahwa pada batugamping merah juga dijumpai mineral kuarsa. Meskipun
kuarsa bukan mineral pengontrol warna merah pada batugamping, tetapi kuarsa merupakan
salah satu penciri material terigen (Nagarajan dkk, 2011).
Batugamping merah yang memiliki persebaran di sekitar struktur geologi
mengindikasikan bahwa terdapat proses paska pengendapan (post-sedimentary) yang berperan
dalan pembentukan warna merah pada batugamping. Pengamatan di lapangan dan hasil
analisis petrografi menunjukkan bahwa terdapat stylolite pada batugamping merah dan
beberapa mineral berwarna merah terkonsentrasi di sekitar stylolite. Stylolite mencirikan
terjadinya proses kompaksi kimia pada saat diagenesis batugamping (Azizi dkk, 2014). Hasil
analisis laboratorium juga menunjukkan adanya kehadiran mineral hematit dan titanit dimana
mineral-mineral tersebut dapat dipakai sebagai indikasi pengontrol warna merah pada
batugamping karena proses diagenesis (Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995;
Flugel, 2010). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan bahwa proses diagenesis juga berperan
dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Selain memberikan pengaruh warna
merah dengan membentuk mineral, larutan yang berperan sebagai agen diagenesis juga
membawa unsur kimia yang juga mengontrol pembentukan warna merah pada batugamping,
yaitu Fe, Mn, dan Sr.
Proses diagenesis yang terjadi pada batugamping merah juga diperkuat dengan beberapa
bukti hasil dari analisis geokimia. Batugamping merah memiliki kandungan Fe2O3 dan MnO
yang lebih tinggi daripada batugamping putih. Menurut Nagarajan dkk (2011) dan Song
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
754
(2014), pengayaan Fe2O3 dan MnO salah satu penciri proses diagenesis karena kedua senyawa
tersebut banyak terkandung oleh fluida diagenesis yang bersifat oksidatif. Selain itu, proses
diagenesis juga dicirikan dengan korelasi positif antara Mn dengan Sr (Madhavaraju dan Lee,
2009) (Gambar 13).
Selama diagenesis berlangsung, proses yang menyebabkan terbentuknya warna merah
pada batugamping adalah kompaksi mekanik dan kompaksi kimia (Flugel, 2010). Kompaksi
mekanik terjadi akibat pembebanan sedimen (burial). Efek yang ditimbulkan dari proses
kompaksi mekanik, antara lain terbentuknya retakan pada batugamping, butiran penyusun
batugamping saling berdekatan, dan berkurangnya porositas (Azizi dkk, 2014). Karena
batugamping di daerah penelitian berupa memiliki kemas terbuka (mud supported) dan
dominan tersusun oleh matriks berukuran halus maka butiran penyusun yang saling
berdekatan sulit diamati. Akan tetapi, terbentuknya retakan akibat kompaksi mekanik pada
batugamping dapat dengan mudah diamati dilapangan maupun pada pengamatan petrografi.
Proses kompaksi mekanik juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan tekanan
sedimen yang menginisiasi terjadinya interaksi antara ion Ca2+
, Ti4+
, dan Si4+
untuk
membentuk mineral titanit yang menyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping
(Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995).
Kompaksi mekanik yang terjadi secara terus - menerus, menyebabkan terjadinya tekanan
larutan pada kontak antar butiran penyusun batugamping. Tekanan larutan akan melarutkan
permukaan butiran sehingga menghasilkan stylolite. Peristiwa ini dinamakan sebagai
kompaksi kimiawi (Ben-Itzhak dkk, 2014). Retakan yang dihasilkan dari kompaksi mekanik
dan stylolite yang terbentuk akibat kompaksi kimiawi dapat menjadi jalan bagi larutan yang
menjadi agen proses diagenesis. Larutan yang bersifat oksidatif akan membawa koloid
lempung yang mengandung beberapa unsur kimia, seperti Fe, Mn, dann Sr. Unsur-unsur
tersebut akan dilepaskan dan masuk ke dalam batugamping. Unsur Fe akan terpresipitasi
sebagai mineral hematit apabila lingkungan diagenesis bersifat oksidatif (Flugel, 2010).
Sementara itu, unsur Mn dan Sr memberikan pengaruh warna merah pada batugamping merah
dalam bentuk unsur pengotor dalam struktur kristal mineral karbonat, bukan dalam bentuk
mineral.
5. Kesimpulan
Persebaran batugamping merah di daerah Siung dan sekitarnya dikontrol oleh aspek
litologi dan struktur geologi, yaitu pada batugamping floatstone yang berada di sekitar kontak
litologi dengan satuan lava andesit, serta di daerah dengan pola kelurusan struktur yang
intensif. Mineral pengontrol warna merah pada batugamping adalah hematit dan titanit,
sedangkan unsur kimia pengontrol warna merah pada batugamping adalah Fe, Mn, dan Sr.
Proses geologi yang berperan dalam pembentukan warna merah pada batugamping adalah
penambahan material terigenus yang diindikasikan berasal dari satuan lava andesit dan satuan
intrusi andesit hornblende; dan proses diagenesis, berupa kompaksi mekanik dan kompaksi
kimiawi yang dicirikan dengan kehadiran stylolite.
Acknowledgements
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk membiayai pelaksanaan
penelitian ini.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
755
Daftar Pustaka
Atmoko, D.D., Titisari, A.D., dan Idrus, A. (2016). Mineralogi dan Geokimia Batugamping Merah
Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta – Indonesia, in: Riset Geologi dan
Pertambangan, Vol. 26 (1), p. 55 – 69.
Azizi, S.H.H., Shabestari, G.M., dan Khazaei, A. (2014). Petrography and Geochemistry of
Paleocene-Eocene Limestone in the Ching-dar Syncline, Eastern Iran, in: Geoscience
Frontiers, Vol. 5, p. 429 – 438.
Babu, K., Prabhakaran, R., Subramanian, P., dan Selvaraj, B. (2014). Geochemical Characterization
of Garudamangalam Limestone Cretaceous of Ariyalur Tamilnadu, India, in: International
Journal of Geology, Agriculture and Environmental Science, Vol. 2, p. 17 – 22.
Ben-Itzhak, L.L., Aharonov, E., Karcz, Z., Kaduri, M., dan Toussaint, R. (2014). Sedimentary Stylolite
Networks and Connectivity in Limestone: Large-scale Field Observations and Implications for
Structure Evolution, [pdf], (https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-00961075v2, diakses tanggal
18 Februari 2017).
Boggs, S. (2009). Petrology of Sedimentary Rocks, Cambridge University Press, Cambridge, 600 p.
Brahmantyo, B. (2006). Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan Geomorfologi
pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan Ruang, in: Jurnal Geoaplika, Vol. 1 (2),
p. 71 – 78.
Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer, Berlin, 984 p.
Hartono, G., dan Bronto, S. (2007). Asal-usul Pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,
Gunungkidul, Yogyakarta, in: Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 (3), p. 143 – 158.
Hurbut, C.S. (1952). Dana’s Manual of Mineralogy. John Wiley and Sons, Inc., New York, 530 p.
Klein, C dan Hurlbut Jr, C.S. (1995). Manual of Mineralogy. Wiley, New York, 681p.
Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B. (1986). A Chemical Classification of
Volcanic Rocks Based on Total Alkali-Silica Diagram, in: Journal of Petrology, Vol. 27 (3), p.
745 – 750.
Madhavaraju, J., dan Lee, Y.I. (2009). Geochemistry of the Dalmiapuram Formation of the Uttatur
Group (Early Cretaceous), Cauvery Basin, Southeastern India: Implications on Provenance
and Paleo-redox Conditions, in: Revista Mexicana de Ciencias Geologicos, Vol. 26 (2), p. 380
– 394.
Mottana, A., Crespi, R., dan Liborio, G. (1978). Guide to Rocks and Minerals. Simon and Schuster
Inc, New York, 607 p.
Mustakim, W.Y., Idrus, A., Setiadji, L.D., dan Warmada, I.W. (2014). Geologi dan Alterasi
Hidrotermal di Gunung Batur, Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta,
in: Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada, p. 657 – 664.
Nagarajan, R., Madhavaraju, J., Armstrong-Altrin, J.S., dan Nagendra, R. (2011). Geochemistry of
Neoproterozoic Limestone of the Shahabad Formation, Bhima Basin, Karnataka, southern
India, in: Geoscience Journal, Vol. 15 (1), p. 9 – 25.
Nassau, K. (1978). The Origins of Color in Minerals, in: American Mineralogist, Vol. 63, p. 219 –
229.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
756
Siregar, M.S., Kamtono, Praptisih, dan Mukti, M.M. (2004). Reef Facies of the Wonosari Formation,
South of Central Java, in: Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 14 (1), p. 1 – 17.
Song, C., Herong, G., dan Linhua, S. (2014). Geochemical Characteristics of REE in the Late Neo-
proterozoic Limestone from Nothern Anhui Province, China, in: China Journal of
Geochemistry, Vol. 33, p. 187 – 193.
Speer, J.A., dan Gibbs, G.V. (1976). The Crystal Structure of Synthetic Titanite, CaTiOSiO4, and the
Domain Textures of Natural Titanites, in: American Mineralogist, Vol. 61, p. 238 – 247.
Surono, Toha, B., dan Sudarno, I. (1992). Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala 1:100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Todd, T.W. (1966). Petrographic Classification of Carbonate Rocks, in: Journal of Sedimentary
Petrology, Vol. 36 (2), p. 317 – 340.
Van Zuidam, R.A. (1985). Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic
Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hagu, 442 p.
Gambar 1. Peta indeks lokasi penelitian.
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
757
Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian
Gambar 3. (a) Contoh setangan batugamping merah floatstone dari sampel AH-3. (b) Contoh
setangan batugamping merah kristalin dari sampel AH-52
Gambar 4. Kenampakan stylolite pada contoh setangan batugamping merah dari sampel AH-6
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
758
Gambar 5. Interpretasi pola kelurusan struktur geologi dari digital elevation model
Gambar 6. Kenampakan mikroskopis batugamping merah. Batugamping merah floatstone (AH-54)
pada kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping merah kristalin (AH-51) pada
kenampakan PPL (c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, B = foraminifera kecil bentonik, P = foraminifera kecil plangtonik, Lbm = litik batugamping mudstone,
Hem = hematit, Ttn = titanit, Op = mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
759
Gambar 7. Kenampakan mikroskopis batugamping putih. Batugamping putih (AH-9) pada
kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping putih (AH-21) pada kenampakan PPL
(c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, A = alga merah, Hem = hematit, Op
= mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit
Gambar 8. Kenampakan mikroskopis batuan beku. Lava andesit (AH-8) pada kenampakan PPL (a)
dan XPL (b). Intrusi andesit hornblende (AH-15) pada kenampakan PPL (c) dan XPL (d)
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
760
Gambar 9. Kurva kelimpahan oksida utama batugamping dan batuan beku
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
761
Gambar 10. Diagram bivariat antara CaO terhadap beberapa oksida utama pada batugamping
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
762
Gambar 11. Hasil pengeplotan sampel batuan beku pada diagram TAS (Le Bas dkk, 1986).
Gambar 12. Persebaran batugamping merah terhadap litologi dan struktur geologi di daerah
penelitian
Gambar 13. Diagram bivariat antara Mn dengan Sr
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
763
Tabel 1. Rangkuman hasil analisis petrografi batugamping merah dan batugamping putih Kode
Sampel Nama Petrografi
Kelimpahan (%)
F A Lbm Qtz Ttn Op Hem mi sp
Batugamping merah
AH-3 Foraminiferal lime-floatstone 21,0 8,0 6,3 2,0 0,8 1,6 20,8 4,8 34,7
AH-6 Crystalline limestone - - - 2,3 0,7 2,3 12,1 7,4 75,2
AH-7 Crystalline limestone - - - 5,6 0,7 2,7 12,3 7,3 71,4
AH-22 Foraminiferal lime-floatstone 13,1 6,1 - 0,9 0,5 0,6 56,0 4,7 18,1
AH-26 Foraminiferal lime-floatstone 27,1 5,8 - 1,6 - 1,2 42,9 5,0 21,4
AH-51 Crystalline limestone - - 5,2 1,4 1,2 1,8 15,4 8,4 66,6
AH-52 Crystalline limestone - - - 6,1 - 1,2 18,5 6,7 67,2
AH-54 Foraminiferal lime-floatstone 25,7 - 4,5 - - 3,4 37,1 6,6 22,7
Batugamping putih
AH-9 Foraminiferal lime-floatstone 18,8 6,5 - - - 1,2 58,0 - 22,5
AH-12 Foraminiferal lime-floatstone 22,2 4,7 - - - - 56,2 - 21,6
AH-21 Algal lime-floatstone 3,4 25,2 - - - - 54,3 - 17,1
Keterangan:
F : Foraminifera Qtz : Kuarsa Hem : Hematit
A : Alga merah Ttn : Titanit mi : mikrit
Lbm : Litik batugamping mudstone Op : Mineral opak sp : sparit
Tabel 2. Rangkuman hasil analisis petrografi batuan beku
Kode
Sampel
Nama
Petrografi
Kelimpahan (%)
Tekstur khusus Fenokris Massa dasar Mineral sekunder
Pl Hbl Qtz Op Pl Gls Chl Cal Ccd
Satuan lava andesit
AH-8 Andesit 27,9 6,7 - 5,4 40,0 13,0 5,2 - 1,8 Porfiroafanitik,
trakhitik, zoning,
reaction rims
AH-43 Andesit 26,0 8,4 - 4,0 47,6 11,4 2,6 - - Porfiroafanitik,
trakhitik, zoning,
reaction rims
Satuan intrusi andesit hornblende
AH-15 Andesit
hornblende
32,0 14,4 5,8 3,6 40,3 - 1,6 2,3 - Porfiroafanitik,
zoning, reaction rims
AH-16 Andesit
hornblende
28,6 16,0 3,2 6,2 42,3 - - 3,7 - Porfiroafanitik,
zoning, reaction rims
Keterangan:
Pl : Plagioklas Qtz : Kuarsa Gls : Gelas volkanik Cal : Kalsit
Hbl : Hornblende Op : Mineral opak Chl : Klorit Ccd : Kalsedon
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
764
Tabel 3. Kandungan oksida utama batuan
Kode
Sampel
Konsentrasi (wt%)
SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2O TiO2 MnO P2O5 SrO LOI
Batugamping merah
AH 3 1,89 0,59 0,38 54,22 0,54 <0,01 <0,01 0,03 0,01 0,02 0,001 42,31
AH 6 1,32 0,62 0,60 52,20 2,47 0,02 0,04 0,05 0,03 0,06 0,004 42,59
AH 7 1,40 0,87 0,63 53,98 0,53 0,03 <0,01 0,03 0,03 0,06 0,002 42,43
AH 22 1,85 1,22 0,62 54,26 0,20 <0,01 <0,01 0,05 0,01 0,01 0,011 41,78
AH 26 1,25 0,62 0,48 54,47 0,26 0,01 0,02 0,03 0,11 0,02 0,024 42,71
AH 51 1,49 0,96 0,73 53,56 0,85 <0,01 0,02 0,12 0,02 0,06 0,002 42,17
AH 52 2,61 1,34 0,40 52,61 1,04 0,07 0,06 0,05 0,03 0,11 0,003 41,67
AH 54 2,88 1,83 2,03 51,45 0,40 0,01 0,07 0,09 0,02 0,09 0,025 41,12
Batugamping putih
AH 9 0,47 0,13 0,21 55,43 0,40 <0,01 <0,01 0,05 0,01 0,07 0,001 43,23
AH 12 0,44 0,07 0,08 55,99 0,63 <0,01 <0,01 0,01 <0,01 0,02 0,001 42,76
AH 21 0,42 0,03 0,07 56,36 0,18 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,03 0,001 42,92
Lava andesit
AH 8 60,01 17,14 5,37 5,30 2,87 3,80 1,06 0,49 0,11 0,13 0,040 3,67
AH 43 58,82 17,35 5,26 7,57 1,91 3,39 0,61 0,55 0,10 0,15 0,040 4,25
Intrusi andesit hornblende
AH 15 61,49 16,93 5,28 6,43 2,28 3,53 0,83 0,49 0,13 0,13 0,070 2,39
AH 16 61,20 16,84 4,97 6,24 2,27 3,42 0,73 0,47 0,11 0,13 0,060 3,56
Keterangan: <0,01 = di bawah limit deteksi
Tabel 4. Penamaan batugamping di daerah penelitian secara geokimia menurut Todd (1996)
Kode Sampel CaO (wt%) MgO (wt%) Ca (wt%) Mg (wt%) Ca/Mg Nama
Batugamping merah
AH-3 54,22 0,54 38,75 0,33 118,72 Batugamping murni
AH-6 52,20 2,47 37,31 1,49 25,08 Batugamping magnesium
AH-7 53,98 0,53 38,58 0,32 121,19 Batugamping murni
AH-22 54,26 0,20 38,78 0,12 327,08 Batugamping murni
AH-26 54,47 0,26 38,93 0,16 251,15 Batugamping murni
AH-51 53,56 0,85 38,28 0,51 74,55 Batugamping murni
AH-52 52,61 1,04 37,60 0,63 59,70 Batugamping murni
AH-54 51,45 0,40 36,77 0,24 153,47 Batugamping murni
Batugamping putih
AH-9 55,43 0,40 39,62 0,24 164,13 Batugamping murni
AH-12 55,99 0,63 40,01 0,38 104,99 Batugamping murni
AH-21 56,36 0,18 40,28 0,11 375,28 Batugamping murni