Click here to load reader
Upload
dede-safitri
View
387
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MIKROBIOLOGI INDUSTRI
PRODUKSI ENZIM LIGNOSELLULOSA
MENGGUNAKAN BIOFILM ASPERGILLUS NIGER DI
BERBAGAI REAKSI DENGAN AIR
Disusun Oleh :
Ahmad Juni (1211100 )
Dionesia Ganeshtuti (1211100 )
Fauzin Nafisah (121110092)
Geoshinta Kusumawardhani (1211100 )
Gina Paradita (121110 )
Laila Nur Qudsia (1211100 )
Natasha Anggraini Wijaya (121110 )
Peggy Bunga Safitri (121110093)
Rahmad Wahyudi (121110 )
Widiya Pangestika Oktafiana (121110 )
KELAS :
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2012
Production of lignocellulolytic enzymes by Aspergillus niger biofilms at variable water activities
Gretty K. Villena & Marcel Gutiérrez-Correa
PRODUKSI ENZIM LIGNOSELLULOSA MENGGUNAKAN BIOFILM
ASPERGILLUS NIGER DI BERBAGAI REAKSI DENGAN AIR
ABSTRAK
Enzim Lignosellulosa yang diproduksi dengan Aspergillus Niger dibandingkan baik dengan fermentasi rendam (SF) dan fermentasi Biofilm (BF) dalam berbagai reaksi dengan air. Di penyaringan kertas secara maksimal, reaksi Endoglukanase dan Xylanase lebih tinggi dibanding BF (masing-masing 2.96, 4.7 dan 4.61 IU ml-1) daripada SF (masing-masing 1.71, 1.31 dan 2.3 IU ml-1), namun hasil biomassa lebih rendah di BF daripada di SF (masing-masing 0.338 g.g-1 dan 0.431 g.g-1). Dengan adanya 20% Etilen Glikol (aw = 0.942), aktivitas enzim berkurang di kedua sistem, tetapi BF masih memiliki level yang lebih tinggi (masing-masing 1.0, 1.0 dan 2.6 IU ml-1) daripada kultur SF (masing-masing 0.6, 0.7 dan 1.5 IU ml-1). Kenaikan pada aktivitas spesifik Xylanase lebih dari dua kali lipat (biomassa 4.2-10.2 IU mg-1) diteliti dengan 20% etilena glikol, menunjukkan mekanisme regulasi diferensial dalam fermentasi biofilm yang berhubungan dengan sel adhesi.
A. PENDAHULUAN
Selulosa terus digunakan oleh beberapa industri, termasuk industri pengolahan buah,
produksi makanan, tekstil, dll. Selulosa dan kebanyakan industri dengan enzim diproduksi
dengan fermentasi rendam (SF) sedangkan fermentasi titik solid (SSF) lebih sedikit
digunakan. Keuntungan utama SSF adalah teknologi yang rendah dan produksi volumetrik
yang tinggi, sehingga pengeluaran modal berkurang. Telah lama diteliti bahwa keuntungan
utama SSF adalah untuk membatasi penggunaan air pada sistem sehingga mencapai
konsentrasi produk yg lebih tinggi. Penelitian tambahan tentang keuntungan SSF mengatakan
bahwa mungkin bisa mempertinggi proses fisik dalam pelekatan sel atau formasi Biofilm yg
merupakan karateristik dari SSF. Proses Biofilm biasanya digunakan untuk megolah limbah
air tetapi juga dapat digunakan untuk metabolisme dan produksi enzim (Freeman and Lilly,
1998; Fiedurek 2001; Iqbal and Saeed, 2005; Wu et al. 2005; Yang et al. 2005; Skowronek
and Fiedurek, 2006). Walaupun Biofilm jamur jarang diketahui di banding Biofilm bakteri,
1
keduanya bisa digunakan untuk produksi selulase dimana telah sering ditunjukkan baru-baru
ini (Villena et al. 2001).
Figure 1. Cryo-scanning electron micrographs of Aspergillus niger spore adhesion and biofilm development on polyester cloth at 0%,
aw = 0.976 (a, c) and 20% ethylene glycol, aw = 0.942 (b, d).
Baik SSF dan fermentasi biofilm (BF) tergantung pada permukaan adhesi. Sebuah
kategori baru bernama fermentasi permukaan adhesi (SAF) pertama kali diusulkan oleh
Gutiérrez-Correa dan Villena (2003). Konsep biofilm mengasumsikan suatu populasi atau
komunitas dari mikroorganisme yang hidup menempel di permukaan. Biofilm dapat
dikembangkan pada permukaan baik biotik maupun abiotik dari spesies-spesies tunggal atau
sebagai komunitas yang berasal dari beberapa spesies (O'Toole et al, 2000;. Fenchel, 2002).
Harus diperhatikan bahwa adhesi dan gen berbeda selanjutnya menghasilkan fenotipe yang
berbeda dari organisme yang hidup tersebut merupakan dua proses penyatu dari konsep
biofilm (O'Toole et al, 2000;. Ghigo, 2003).
Jamur berfilamen secara alami teradaptasi untuk tumbuh dipermukaan, dan pada
kondisi ini mereka menunjukkan sifat fisis yang berbeda dari kultur rendaman. Maka dari
itulah mereka dapat dikategorikan sebagai organisme terbentuk menurut konsep awal.
Keuntungan dari bentuk pertumbuhan ini telah dieksploitasi oleh dua sistem kultur : SSF dan
imobilisasi sel pada permukaan bagian dalam.
Teknologi dari imobilisasi sel, dikembangkan secara pesat selama 2 dekade terahkir
ini berdasarkan keuntungan proses operasi daripada masalah fisisnya. Penyerapan alami
dengan landasan padat adalah teknik imobilisasi yang telah digunakan dengan jamur
2
berfilamen dimana ia mengabaikan teorinya sendiri sebagai sebuah cara formasi Biofilm.
Sebenarnya, ketika spora terserap untuk menjadi penyokong, mereka berkembang menempel
pada permukaan sehingga membentuk sebuah film. Kami lebih menyukai cara kerja
fermentasi Biofil dibanding imobilisasi sel karena mikrobanya aktif dan sangat berbeda
secara keseluruhan.
Pentingnya reaksi dengan air (aw) di dalam proses fisis mikroba sangat mudah
dikenali. Ia dikenal bahwa aw adalah faktor kritis yang mempengaruhi pertumbuhan dan
metabolisme dari jamur (Kredics et al. 2000; Parra et al. 2004) dan, khususnya di SSF, ia
juga digunakan sebagai parameter dasar untuk proses transfer massa (Gervais and Molin,
2003). Demikian pula produksi dan sekresi enzim dapat dipengaruhi oleh reaksi air dan
kealamian aw depressor (Acuña-Argüelles et al. 1994; Kredics et al. 2000; Gervais and Molin,
2003). Terlepas dari pentingnya reaksi air di berbagai sistem produksi enzim, perannya dalam
fermentasi Biofilm belum terolah. Jurnal ini membahas tentang efek Etilena Glikol sebagai
depressor reaksi air pada produksi Enzim lignosellulosa menggunakan biofilm Aspergillus
niger.
B. BAHAN DAN CARA KERJA
Jamur regangan dan pembentukann inokulasi
Aspergillus Niger ATCC 10864 digunakan dalam penelitian dan dicoba pada kentang
agar mengalami dekstrosa. Spora-nya dicuci 5 hari sebelum kultur agar dibuat dengan
10 ml 0,1% Tween 80 solution, dilakukan dalam Neubauer chamber dan diencerkan
untuk memberikan 1x106 ml-1 spora. Suspensi ini digunakan saat inokulasi.
Medium Kultur
Medium Duff (1988) digunakan di semua eksperimen. Medium kultur tersebut
mengandung per liter-nya : 2 g KH2PO4; 1.4 g (NH4)2SO4; 0.3 g urea; 0.3 g
CaCl2.2H20; 0.3 g MgSO4.7H20; 1g pepton; 2 ml Tween 80; 5 mg FeSO4.7H2O; 1.6
mg MnSO4.2H2O; 1.4 mg ZnSO4.7H2O; 2mg CoCl2.6H2O; and 10 g lactosa. pH
inisialnya adalah 5,5. Untuk mengetes efek dari aw, medium yang sama digunakan
dengan Etilena Glikol pada konsentrasi akhir : 5%, 10%, 15%, 20%
Fermentasi Rendam
30 ml medium kultur di dalam tabung reaksi 125 ml diinokulasi dengan 0.9 ml
suspensi spora pada tiap tabungnya. Setelah inokulasi, tabung tersebut diinkubasi
pada 28 ºC di dalam pengaduk 175 rpm.
3
Fermentasi Biofilm
Kain poliester 100/1 (65% bahan biasa dan 35% poliester bertekstur dengan jahitan
melingkar) digunakan untuk menyokong formasi Biofilm. 2x2 cm persegi dicuci
menyeluruh dengan air distilasi dan dikeringkan di oven 105ºC. Setiap tabung yg
diberikan kain persegi tsb dengan 30 ml air distilasi didalamnya diinokulasi dengan
0.9 suspensi spora, diinkubasi selama 15 menit pada 28ºC didalam pengaduk 175rpm
agar spora melekat. Setelah langkah ini dilakukan, kain persegi dicuci dua kali dengan
air distilasi di bawah adukan 175 rpm selama 15 menit lagi. Lalu dipindahkan
kedalam tabung reaksi yg berisi 30 ml medium kultur dan diinkubasi pada suhu 28ºC
di dalam pengaduk 175 rpm (Villena et al. 2001). Dua tabung reaksi disiapkan untuk
setiap percobaan pembuatan sampel.
Determinasi reaksi dengan air
Potensial air untuk setiap konsentrasi Etilena Glikol di dalam medium kultur diukur
dengan menggunakan WESCOR 33T Dew Point Microvoltimeter model 5103 dengan
ruang sampel C-52. Potensial air dan reaksi dengan air berhubungan dengan ΨVm =
RTln(aw), dimana Ψ adalah potensial air (Pa), Vm adalah volume molar air (mol m-3),
R = 8.314 adalah ketetapan gas (J mol-1 K-1), T adalah suhu (K) dan aw adalah reaksi
air. Dalam kondisi yang digunakan air dalam kultur medium adalah sekitar 0%,
5%,10%, 15% dan 20% dari Etlen Glikol 0.976 (Ψ =-3.35 MPa), 0.971 (Ψ = -4.05
MPa), 0.964 (Ψ = -5.03MPa), 0.954 (Ψ = -6.5 MPa) dan 0.942 (Ψ= -8.25 MPa),
secara teliti.
Cryo-SEM
Sampel Biofilm dibenamkan dalam 10% Gliserol dalam waktu 2 jam pada suhu 4ºC.
Lalu dicuci sepenuhnya dengan 0.05 M fosfat penyangga (pH 7.4) dan dibekukan
dengan nitrogen cair. Air di permukaan diangkat dengan sublimasi -65ºC dalam
waktu 10 menit dan spesimennya dilapisi dengan emas. Sampel kemudian diperiksa di
bawah suhu -80ºC dengan sebuah LEO 1420 PV mikroskop elektron yang mengamati
berbagai variabel tekanan.
Pengujian kadar dan tekanan
Biomassa dari BF bisa diketahui dengan mengambil poliester persegi dari kaldu
fermentasi dengan interval waktu yang berbeda-beda, mencuci mereka 3 kali dengan
mengaduknya di dalam 30 ml 50 mM sitrat penyangga, pH 4.8, selama 10 menit
4
setiap pencucian, suhu 28ºC dan kekuatan 175 rpm, dikeringkan semalaman dan
ditimbang.
Biomassa dari SF bisa diketahui dengan menyaring kaldu fermentasi melalui kertas
penyaring yg telah ditimbang terlebih dahulu, dikeringkan semalaman dibawah suhu
105ºC lalu kemudian ditimbang. Untuk pengukuran rekasi intraselluar, Biofilm atau
Myselium Jamur dicuci 3 kali dengan sitrat penyangga 50 mM, pH 4.5 dan terus
dibekukan sebelum digiling di gelas arloji dengan nitrogen cair. Biomassa bubuk
disuspensi ulang di dalam asetat penyangga 50 mM, pH 4.8, dan disentrifugasin
10000 rpm selama 5menit. Supernatannya dikumpulkan dan dibekukan untuk analisa.
Selulosa sebagai reaksi di kertas penyaring (FPA), Endoglukanase (ENG) dan
Xylanase (XYL) diukur dari kaldu fermentasinya seperti yang telah ditulis tadi. Satu
unit internasional (IU) reaksi enzim dikatakan sebagai jumlah enzim yg melepas 1
μmol produk per menit. Protein solute dan laktosa di dalam kaldu fermentasi
diketahui dengan larutan standar Lowry dan metode asam 3,5-Dinitrosalisilat, secara
teliti.
5
Figure 2. Time course profiles of fermentation variables of Aspergillus niger biofilm (●,●) and freely suspended mycelial (■,■) cultures at 0% (red symbols) and 20% ethylene glycol (blue symbols).
The error bars on the graphs represent two replicate samples.
C. HASIL DAN DISKUSI
Efek dari reaksi air dengan fermentasi Biofilm Aspergillus niger dan produksi enzim
diteliti menggunakan Etilena Glikol sebagai depressor reaksi air. Proses adhesi spora tidak
diubah oleh 20% Etilen Glikol (aw = 0.942) seperti yg bisa dilihat pada Figure 1. Walaupun
demikian, Biofilm dan pertumbuhan rendaman bebas ditekan pada konsentrasi Etilen Glikol
6
yang tinggi. Gervais (1988) menemukan bahwa pertunasan spora sangat dipengaruhi oleh
kealamian dari depressor air. Juga pada konsentrasi Etilen Glikol yang tinggi, hifa jamur
terpengaruh dan bahan lunak tersimpan (Figure 1). Pertunasan spora yg rendah bisa
menjelaskan bahwa biomassa yang rendah disebabkan oleh aw yang rendah pula (lihat
dibawah).
Perbandingan profil waktu fermentasi di bawah normal dan kondisi air digambarkan
pada Figure 2. Untuk melakukan proses inokulasi yang digunakan dalam kultur Biofilm, baik
Myselium yang bebas mengambang atau yang meluruh yang diteliti (Papagianni et al. 2002;
Papagianni and Mattey, 2004)
Figure 3. Comparison of fermentation variables of Aspergillus niger biofilm culture (red bars) and submerged culture (blue bars) at different water activity levels. The error bars on the graphs represent
two replicate samples.
7
Di bawah kondisi reaksi air yang normal, SF menghasilkan lebih banyak biomassa
(3.05 g l-1) daripada BF (1.6 g l-1), seperti yang sebelumnya ditemukan (Gutiérrez-Correa and
Villena, 2003) (Figure 2a,b). Di sisi lain, penekanan reaksi air oleh Etilena Glikol tidak
dipengaruhi oleh pertumbuhan kedua sistem kultur, melakukan lebih banyak BF (masing-
masing, 1.1 g l-1 and 0.18 g l-1 for SF and BF). Level reaksi air yang rendah mengurangi
pertumbuhan karena beberapa mekanisme, di antaranya perpindahan massa air, dan solute
melalui membran sel merupakan kepentingan utama semenjak mampu menaikkan
pengolahan energi oleh jamur (Francis, 2002) sebaik penurunan tekanan Hypae yang dimana
memiliki peranan besar dalam pertumbuhan jamur (Gervais and Molin, 2003).
Aktivitas produksi maksimal FPA, ENG dan XYL lebih tinggi di BF (masing-masing
2.96, 4.7 and 4.61 IU ml-1) daripada di SF (masing-masing, 1.71, 1.34 and 2.45 IU ml-1),
(Figure 2 c, d, e), yang sesuai dengan produksi hasil untuk kebanyakan proses fermentasi
adhesi permukaan (Gutiérrez-Correa and Villena, 2003; Viniegra-González, 2003; Hölker,
2004). Perbedaannya tidak dapat dilihat untuk biomassa yang dibuat di kedua sistem seperti
telah disimpulkan oleh Diaz-Godinez (2001) yang menyarankan bahwa kenaikan produksi
eksopatinase oleh sistem SSF berhubungan dengan pertumbuhna jamur yang lebih baik. Juga,
tidak ada perbedaan yang signifikan antara produksi protein solute di kedua sistem kultur
(Figure 2f).
Penambahan Etilena Glikol mengurangi FPA, ENG, dan XYL maksimal di SF
(masing-masing, 0.6, 0.7 and 1.5 IU ml-1) dan BF (masing-masing, 1.2, 1.1 and 2.4 IU ml-1),
namun menaikkan produksi protein solute, dan kultur Biofilm yang lebih tinggi. Alasan
kenaikan tersebut ditemukan dalam penekanan Etilen Glikol di kultur SSF Aspergillus Niger
untuk produksi eksopectinase (Acuña-Argüelles,1994).
Perbandingan variabel fermentasi 72 jam antara SF dan kultur Biofil di level Etilena Glikol
yg berbeda-beda digambarkan di Figure 3. Konsumsi Biomassa dan Laktosa terus menurun
ketika konsentrasi Etilen Glikol naik. Seperti yang tertera di atas, dampaknya konsumsi
Laktosa terhambat oleh batas transfer massa agar mengurangi difusi solute (Gervais and
Molin, 2003). Maka dari itu pertumbuhannnya bisa berdampak negatif yaitu rendahnya
keberadaan energi-karbon semenjak jamur harus menghabiskan energi lebih untuk melewati
membran dan sintesis solute yang sesuai (Ruijter, 2004).
Sebagai senyawa lemah chaotropic, etilena glikol dapat melewati membran sel dan
tidak mempengaruhi hifa turgor pada konsentrasi rendah (5% sampai 10%), tetapi pada
konsentrasi yang lebih tinggi (diatas 10%) akan menyebabkan tegangan air dengan efek
buruk pada makromolekul seluler (Hallsworth, 2003). Juga, biomassa hasil (YX / S) pada
8
system SF dan BF menurun secara linear pada tingkat yang hampir sama seperti konsentrasi
etilena glikol yang meningkat (masing-masing, y =-0.0408x + 0,4675, R2 = 0.923, dan y = -
0.039x + 0,3839, R2 = 0,554). Rendahnya koefisien korelasi antara biofilm YX / S dan
konsentrasi etilena glikol mungkin menunjukkan bahwa tegangan air dalam kultur jenis ini
lebih kuat daripada dalam kultur rendam, mungkin karena adanya potensial matriks, selain
potensial osmotik dalam kultur awal karena adanya kain dan struktur biofilm itu sendiri
(Gervais dan Molin, 2003).
Figure 4. Comparison of extracellular (a, b) and intracellular (c, d) cellulolytic enzyme specific activities attained by Aspergillus niger biofilm (BF) and submerged (SF) cultures at 0%
(aw = 0.976) and 20% (aw = 0.942) ethylene glycol. The error bars on the graphs represent two replicate samples.
Produksi enzim yang berhubungan dengan konsentrasi etilena glikol oleh SF dan BF
dapat dilihat pada Figure 3. Seperti dapat dilihat, semua aktivitas enzim yang diuji sangat
menurun di kedua system kultur meskipun kultur biofilm pada umumnya menghasilkan lebih
banyak enzim. Dalam kultur rendam penurunan FPA, ENG, dan XYL berdasarkan korelasi
dengan peningkatan konsentrasi depressor air (masing-masing, R2 = 0,978, 0,831 dan 0.841,),
menunjukkan efek negatif langsung tegangan air pada fisiologi jamur (Acuña-Arguelles et al
9
1994;. Díaz-Godinez et al 2001). Namun, dalam kultur biofilm fenomena yang lebih
kompleks dapat terjadi dari penurunan FPA, dan ENG, XYL, karena meningkatnya jumlah
etilena glikol mengikuti pola yang berbeda. Di sisi lain, produksi protein ekstraseluler
meningkat pada konsentrasi tinggi depressor air di kedua sistem kultur yang bertentangan
dengan hasil yang diperoleh untuk produksi exopectinase di kultur SSF dan SF (Acuña-
Arguelles et al 1994;. Díaz-Godinez et al. 2001). Alasan untuk temuan ini tidak jelas tetapi
mungkin akan terkait dengan beberapa jenis mekanisme. Hallsworth (2003) telah
menemukan bahwa tegangan yang disebabkan air menghasilkan, terutama pada up regulation
protein yang terlibat dalam stabilisasi makromolekul dan struktur membrane. Spesifikasi
aktivitas enzim ekstraseluler dan intraseluler dinyatakan sebagai baik IU per mg ekstraseluler
atau protein intraseluler dan IU per mg biomassa yang digambarkan dalam Figure 4.
Meskipun semua aktivitas khusus dilakukan pada konsentrasi tinggi etilena glikol, yang
berkaitan dengan biomassa yang memiliki penurunan terendah. Perlu disebutkan bahwa
Aktivitas spesifik biofilm XYL ekstraseluler per biomassa meningkat lebih dari dua kali lipat
(4,2-10,2 IU biomassa mg-1). Hal itu dianggap bahwa pada A. niger baik selulase dan
xylanases adalah komponen yang sama pada aktivator transkripsi XlnR (van Peij, 1998).
Namun, hal ini tidak menjadi masalah dalam kultur biofilm di bawah tegangan berat air dan
mekanisme molekuler lainnya yang mungkin terlibat. Di sisi lain, aktivitas intraseluler dari
semua enzim yang dievaluasi tidak memberi kontribusi yang signifikan terhadap aktivitas
enzim keseluruhan (Gambar 4 c, d) di semua tingkatan aw diuji. Meskipun Kredics, (2000)
menemukan bahwa aktivitas enzimatik Trichoderma harzianum dan jumlah enzim
(digambarkan sebagai aktivitas relatif) tergantung pada potensial air (atau aktivitas air), tidak
jelas apakah penurunan relative aktivitas enzimatik secara langsung berhubungan dengan
sekresi yang terbatas. Menurut hasil penelitian, tampaknya mungkin bahwa aktivitas rendah
air mempengaruhi biosintesis enzim.
Singkatnya, telah ditemukan bahwa fermentasi biofilm menghasilkan hasil enzim selulolitik
yang lebih tinggi daripada fermentasi terendam pada hasil biomassa yang lebih rendah
menunjukkan mekanisme diferensial gen yang berhubungan dengan sel adhesi (Gutiérrez-
Correa dan Villena, 2003). Bertentangan dengan temuan pada SSF, fermentasi biofilm yang
lebih baik dapat mencegah tegangan air dan diferensial xilanase adalah jelas di bawah kondisi
ini.
10