Upload
vuongkhanh
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRODUKSI STEVIOSIDA DAN REBAUDIOSIDA DENGAN
PENAMBAHAN GULA, BAP, DAN KITOSAN SECARA IN
VITRO
YEYEN NOVITASARI
A24120127
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produksi Steviosida dan
Rebaudiosida dengan Penambahan Gula, BAP, dan Kitosan secara In Vitro adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Yeyen Novitasari
NIM A24120127
ABSTRAK
YEYEN NOVITASARI. Produksi Steviosida dan Rebaudiosida dengan
Penambahan Gula, BAP, dan Kitosan secara In Vitro. Dibimbing oleh NI MADE
ARMINI WIENDI.
Tingginya konsumsi gula di Indonesia dan produksi gula yang belum dapat
memenuhi permintaan gula menyebabkan diperlukan alternatif substitusi gula di
Indonesia. Salah satu tanaman yang dapat dijadikan pemanis alami selain tebu
adalah tanaman stevia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
kombinasi antara Gula, BAP, dan Kitosan terhadap daya proliferasi tunas Stevia
rebaudiana Bertoni sehingga menghasilkan biomassa tinggi dengan produksi
metabolit sekunder yang tinggi secara in vitro, serta mendapatkan protokol yang
tepat untuk memproduksi metabolit sekunder dari tanaman stevia in vitro.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan II dan Laboratorium
Ekofisiologi, Departemen Agronomi dan Hortultura, IPB, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, dan Laboratorium Kimia Universitas Kristen Satya Wacana.
Penelitian berlangsung pada bulan Januari hingga Oktober 2016. Rancangan yang
digunakan pada penelitian ini adalah rancangan kelompok lengkap teracak tiga
faktor dengan tiga ulangan. Perlakuannya adalah konsentrasi Gula (30, 40, dan 50
g L-1), konsentrasi BAP (1, 2, dan 3 mg L-1), dan konsentrasi Kitosan (0, 1, dan 2
mg L-1) yang ditambahkan media dasar Murashige-Skoog. Dari hasil penelitian ini
diketahui bahwa peubah jumlah tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan tinggi
tanaman nyata dipengaruhi oleh interaksi Gula, BAP, dan Kitosan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi 50 g L-1 Gula, 3 mg L-1 BAP, dan 2 mg L-1 Kitosan
memberikan proliferasi tunas, buku, daun, dan tinggi tanaman tertinggi
dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hasil analisis HPLC dengan buffer A
menunjukkan bahwa kandungan steviosida dan rebaudiosida A tertinggi diperoleh
dari perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 2,232 mg g-1
(0,223%) untuk steviosida dan 0,965 mg g-1 (0,096%) untuk rebaudiosida A
sedangkan rebaudiosida C tertinggi didapatkan pada perlakuan Gula 40 g L-1, BAP
3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 0,453 mg g-1 (0,045%). Analisis menggunakan
buffer B, perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan memberikan
hasil tertinggi yaitu 22,030 mg g-1 (2,203%) untuk steviosida dan 4,000 mg g-1
(0,400%) untuk rebaudiosida A. Tingginya bobot basah dan bobot kering yang
disertai kalus menurunkan kandungan metabolit sekunder stevia. Perlakuan Gula
50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan pada buffer A menghasilkan kandungan
metabolit sekunder total tertinggi yaitu 0,32% sedangkan pada buffer B didapatkan
pada perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 2,60%. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kandungan metabolit yang dianalisis dengan HPLC
menggunakan buffer B memberikan hasil analisis hingga sepuluh kali lebih tinggi
untuk steviosida dan rebaudiosida A dibandingkan dengan buffer A.
Kata kunci: Benzilaminopurin, HPLC, IAA, Pemanis, Steviosida
ABSTRACT
YEYEN NOVITASARI. In Vitro Production of Stevioside and Rebaudioside by
Addition of Sugar, BAP, and Chitosan. Supervised by NI MADE ARMINI
WIENDI.
Sugar demand in Indonesia is higher than the production, cause sugar
subtitutes are needed to fulfill the demand. Stevia is one of the sweetener plant that
can be used as a sugar substitution. This research was aimed to study the effect of
combination between Sugar, BAP, and Chitosan towards the shoots proliferation
of stevia thus yielding high biomass by in vitro production of secondary metabolites,
and obtain the proper protocol to produce secondary metabolites of stevia in vitro.
The research was conducted at Tissue Culture II Laboratory and Ecophysiology
Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture, IPB. Secondary
metabolites analysis using HPLC was conducted at Agency for The Assessment and
Application of Technology and Chemistry Laboratory of Christian Satya Wacana
University from January until October 2016. The experiment was arranged in three
factors randomized complete block design with three replications. The first factor
is concentration of Sugar (30, 40, and 50 g L-1), the second factor is concentration
of BAP (1, 2, and 3 mg L-1), and the third factor is concentration of Chitosan (0, 1,
and 2 mg L-1) with Murashige-Skoog as basic media. From this research was
obtained that variable number of shoot, number of node, number of leaf, and plant
height were affected by interaction between Sugar, BAP, and Chitosan. The
research result shows that concentration of 50 g L-1 Sugar, 3 mg L-1 BAP, and 2 mg
L-1Chitosan give the highest growth of shoots, nodes, leaves, and plant height than
other treatments. The HPLC analysis result shows that the highest content of
stevioside and rebaudioside A obtained from the treatment of Sugar 50 g L-1, BAP
3 mg L-1, and without Chitosan in buffer A is 2,232 mg g-1 (0,223%) stevioside and
0,965 mg g-1 (0,096%) rebaudioside A while the highest rebaudioside C obtained
from the treatment of Sugar 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, and without Chitosan i.e. 0,453
mg g-1 (0,045%). Analysis using buffer B, the treatment of Sugar 40 g L-1, BAP 3
mg L-1, and without Chitosan provides the highest content of stevioside is 22,030
mg g-1(2,203%) and 4,000 mg g-1 (0,400%) rebaudioside A. The high fresh wieght
and dry weight with callus in plant reduce secondary metabolites of stevia.
Treatment of Sugar 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, and without Chitosan in buffer A
produce highest total secondary metabolites content i.e. 0,32% whereas in buffer B
is obtained at the treatment of Sugar 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, and without Chitosan
i.e. 2,60%. Secondary metabolites analyzed with buffer B provides secondary
metabolites ten times higher for stevioside and rebaudioside A than buffer A.
Keywords: Benzilaminopurin, HPLC, IAA, Stevioside, Sweeteners
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
PRODUKSI STEVIOSIDA DAN REBAUDIOSIDA DENGAN
PENAMBAHAN GULA, BAP, DAN KITOSAN SECARA IN
VITRO
NAMA PENULIS
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
YEYEN NOVITASARI
A24120127
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah kultur jaringan tanaman stevia, dengan judul Produksi
Steviosida dan Rebaudiosida dengan Penambahan Gula, BAP, dan Kitosan secara
In Vitro. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Oktober 2016.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S. selaku pembimbing yang telah memberi
bimbingan, saran, dorongan, dan dana selama penelitian berlangsung.
2. Bapak Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menempuh studi di IPB.
3. Bapak Dr. Willy Bayuardi Suwarno, S.P., M.Si. yang telah membantu penulis
dalam memahami pengolahan data.
4. Keluarga tercinta, terutama almarhum Bapak Nasri Koto, Ibu Daimani, dan kakak-
kakak tercinta terutama Lina Afriana, dan Paman Edi Koto yang telah mendukung
baik moril maupun materi hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di
IPB dengan baik.
5. Teman-teman Lotus Ngelab, kakak-kakak Geng lab, Gengs yang dirindukan, dan
Lotus AGH 49 atas bantuan dan dukungan selama melaksanakan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017
Yeyen Novitasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni) 3
Kultur Jaringan 4
Zat Pengatur Tumbuh 4
Kitosan 5
Metabolit Sekunder 6
Kultur Jaringan Stevia 8
Produksi Metabolit Sekunder Stevia In Vitro 8
METODE 10
Tempat dan Waktu Penelitian 10
Bahan dan Alat 10
Rancangan Percobaan 11
Prosedur Percobaan 12
Pengamatan Percobaan 17
Analisis Data 18
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Kondisi Umum 18
Pertumbuhan Eksplan Stevia secara In Vitro 18
Analisis Steviosida, Rebaudiosida A, dan Rebaudiosida C 40
KESIMPULAN 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 59
DAFTAR TABEL
1 Struktur derivatif steviosida dan senyawa lainnya serta tingkat
kemanisannya dibandingkan gula tebu 6
2 Kombinasi perlakuan induksi proliferasi stevia (Stevia rebaudiana
Bertoni) dengan penambahan Gula, BAP, Kitosan dan untuk
meningkatkan produksi metabolit secara in vitro 11 3 Standar mix HPLC pada steviosida, rebaudiosida A, dan rebauidoisda C 16 4 Skoring dan jumlah akar planlet stevia pada 13 MSP 17
5 Rataan persentase eksplan stevia terkontaminasi, persentase eksplan
berkalus, dan persentase eksplan senescence pada 13 MSP 19 6 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah waktu
munculnya tunas stevia in vitro 22
7 Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah tunas stevia in vitro
pada 13 MSP 23 8 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah tunas
stevia in vitro 25 9 Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah buku stevia in vitro
pada 13 MSP 26 10 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah buku
stevia in vitro 28 11 Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah daun stevia in vitro
pada 13 MSP 29 12 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah daun
per eksplan stevia in vitro 31 13 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah akar
per eksplan stevia in vitro pada 13 MSP 33
14 Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap tinggi tanaman stevia in vitro
pada 13 MSP 34
15 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah tinggi
tanaman stevia in vitro pada 13 MSP 35 16 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah bobot basah,
bobot kering, dan kadar air stevia in vitro pada 13 MSP 39
17 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap kandungan
metabolit sekunder pada stevia in vitro 40 18 Produksi metabolit total per eskplan berdasarkan bobot kering pada
stevia umur 13 MSP 42
DAFTAR GAMBAR
1 Perbedaan struktur Kitin dan Kitosan 5 2 Planlet stevia yang ditanam pada media perbanyakan berumur 4 MST
(Minggu Setelah Tanam) 13 3 Inkubasi kultur stevia dilengkapi lampu LED 9 Watt dengan intensitas
cahaya ± 2298 lux 14 4 Kurva kromatografi analisis standar untuk steviosida 100 ppm dengan
HPLC 15
5 Kurva kromatografi analisis standar untuk rebaudiosida A 100 ppm
dengan HPLC 15 6 Kurva kromatografi analisis standar untuk rebaudiosida C 100 ppm
dengan HPLC 15 7 Kurva kromatografi sampel pada perlakuan 40 g L-1 Gula, 3 mg L-1 BAP,
dan tanpa Kitosan 16 8 Eksplan terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri pada stevia umur 1
Minggu Setelah Perlakuan 20 9 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap persentase eksplan berkalus pada 13 MSP 20 10 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap persentase eksplan senescence pada 13 MSP 21 11 Senescence pada pucuk planlet di perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 1 mg L-
1, dan Kitosan 1 mg L-1 pada 6 MSP 21 12 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 6 MSP 23 13 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-
1) terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 13 MSP 24 14 Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg
L-1) terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 13 MSP 24
15 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 13 MSP 27 16 Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg
L-1) terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 13 MSP 27 17 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah daun stevia in vitro pada 9 MSP 29 18 Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg
L-1) terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 9 MSP 30 19 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah akar stevia in vitro pada 13 MSP 32
20 Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg
L-1) terhadap jumlah akar stevia in vitro pada 13 MSP 32
21 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap tinggi tanaman stevia in vitro pada 13 MSP 34 22 Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg
L-1) terhadap tinggi tanaman stevia in vitro pada 13 MSP 35 23 Kultur planlet stevia umur 13 MSP 37 24 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap bobot basah planlet stevia in vitro pada 13 MSP 37
25 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap bobot kering planlet stevia in vitro pada 13 MSP 38 26 Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap kadar air planlet stevia in vitro pada 13 MSP 38
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi media Murashige and Skoog yang telah dimodifikasi (1962) 49 2 Kultur planlet stevia umur 13 MSP setelah dikeringkan dengan oven pada
suhu 50 ºC selama 24 jam 50
3 Kurva kromatografi sampel perlakuan kontrol dengan HPLC (buffer A) 51
4 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 51
5 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 1 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 52
6 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 2 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 52
7 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 2 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 52
8 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 53
9 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 53
10 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 2 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 53
11 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 54
12 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 54
13 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 2 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 54
14 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A) 55
15 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 2 mg L-1 dengan HPLC (buffer B) 55
16 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 2 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B) 55
17 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 2 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B) 56
18 Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B) 56
19 Retention time dan area pada sampel analisis untuk steviosida 56
20 Retention time dan area pada sampel analisis untuk rebaudiosida A 57
21 Retention time dan area pada sampel analisis untuk rebaudiosida C 58
22 Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap kandungan
metabolit sekunder pada stevia in vitro 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi gula sebagai pemanis di Indonesia memiliki kecenderungan
selalu meningkat setiap tahun. Tingginya permintaan gula yang tidak diiringi oleh
kapasitas produksi yang cukup menyebabkan impor gula di Indonesia cukup tinggi.
Produksi gula pada tahun 2014 mencapai 2,58 juta ton sedangkan impornya 3,7 juta
ton, dengan kebutuhan gula domestik termasuk untuk industri adalah 5,7 juta ton.
Produksi gula tebu pada tahun 2015 menurun menjadi 2,49 juta ton. Asosiasi Gula
Indonesia memperkirakan pada tahun 2016 produksi gula menurun menjadi
2,3 juta ton akibat adanya perubahan iklim (AGI, 2014; AGI, 2016). Kebutuhan
gula sebagai pemanis dalam negeri hingga saat ini masih belum dapat terpenuhi.
Selain itu, tingginya konsumsi gula di Indonesia menyebabkan masalah lain yaitu
pemanis yang berasal dari karbohidrat diduga dapat meningkatkan penderita
diabetes. Menurut IDF (2015), sebanyak 415 juta orang di dunia sebagai penderita
diabetes dan diperkirakan pada tahun 2040 penderita diabetes akan meningkat
menjadi 642 juta orang. Potensi bertambahnya penderita diabetes di Indonesia
sangat besar. Kesadaran masyarakat akan kesehatan menyebabkan pentingnya
alternatif pemanis alami yang aman dikonsumsi dan baik bagi kesehatan untuk
mensubstitusi gula tebu.
Stevia rebaudiana Bertoni merupakan tanaman herba tahunan penghasil
pemanis alami berupa steviosida yang memiliki beberapa keunggulan yaitu anti-
diabetic, mempunyai kandungan antioksidan, dan mempunyai sifat pelindung
ginjal (Shivanna et al., 2013). Tingkat kemanisan steviosida dalam tanaman stevia
cukup tinggi dan dapat mencapai 200-300 kali lipat dibandingkan dengan gula tebu
pada konsentrasi yang sama (Shock, 1982). Selain itu, tanaman stevia juga
menghasilkan rebaudiosida A yang memiliki tingkat kemanisan mencapai
250-450 kali dan rebaudiosida C mencapai 50-120 lipat dibandingkan dengan gula
tebu (Crammer dan Ikan, 1986).
Budidaya tanaman stevia secara alami di lapangan mengalami kendala
dalam hal penyediaan bibit, hama penyakit, dan kondisi lingkungan untuk produksi
steviosida. Tanaman stevia berasal dari Paraguay yang umumnya tumbuh secara
alami pada daerah subtropis (Shock, 1982). Hal ini menjadi kendala sehingga
rendemen steviosida dalam tanaman berfluktuasi karena bergantung kesesuaian
lingkungan tumbuh tanaman stevia. Salah satu alternatif penanaman tanaman stevia
adalah dengan kultur jaringan tanaman karena dapat diproduksi tanpa bergantung
musim dalam lingkungan terkontrol sehingga kualitas dan kuantitas metabolit yang
dihasilkan stabil.
Zat pengatur tumbuh diperlukan dalam proliferasi tunas in vitro khususnya
auksin dan sitokinin. Sitokinin, salah satunya 6-Benzylaminopurin (BAP) adalah
zat pengatur tumbuh yang berperan dalam memicu pertumbuhan tunas dan
mendorong pembelahan sel tetapi menghambat pembentukan akar
(Nisak et al., 2012). Hasil penelitian Azizi et al. (2012) melaporkan bahwa BAP
berpengaruh nyata terhadap waktu muncul tunas. Perlakuan terbaik untuk waktu
muncul tunas, jumlah buku, dan pertumbuhan akar planlet Mentha piperita adalah
media dasar MS dengan penambahan 1,5 mg L-1 BAP dan tanpa Kitosan. Selain
2
BAP, bahan yang ditambahkan adalah Kitosan. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Azizi et al. (2012), Kitosan mampu meningkatkan persentase
bobot kering Mentha piperita pada konsentrasi 20 mg L-1. Peningkatan persentase
bobot kering tersebut diduga berkorelasi positif dengan kandungan menthol pada
Mentha piperita. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi proliferasi tunas adalah
konsentrasi gula. Gula berfungsi sebagai sumber utama energi karbon untuk kultur
in vitro. Sumber karbon ini pada media kultur in vitro berfungsi untuk
meningkatkan proliferasi sel dan regenarasi tunas (Nowak et al., 2004).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rathore et al. (2013) pada dua
genotipe stevia (CIM Madhu dan CIM mithi), konsentrasi gula yang paling baik
untuk regenerasi dan inisiasi tunas adalah konsentrasi 4%. Adanya berbagai
kombinasi konsentrasi Gula, BAP, dan Kitosan diharapkan dapat meningkatkan
proliferasi tunas serta meningkatkan biomassa tanaman dan kandungan metabolit
steviosida dan rebaudiosida dapat meningkat secara signifikan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh kombinasi antara Gula, BAP,
dan Kitosan terhadap daya proliferasi tunas Stevia rebaudiana Bertoni untuk
meningkatkan produksi biomassa dan produksi metabolit steviosida, rebaudiosida
A, dan rebaudiosida C secara in vitro. Dari penelitian ini diharapkan mendapatkan
protokol yang tepat untuk memproduksi metabolit sekunder dari stevia in vitro.
Dari penelitian ini juga diharapkan diperoleh metode untuk analisis kandungan
steviosida dan rebaudiosida dengan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC).
Hipotesis
1. Terdapat interaksi yang nyata antara Gula, BAP, dan Kitosan terhadap daya
proliferasi tunas dan produksi metabolit sekunder dari Stevia rebaudiana Bertoni
secara in vitro.
2. Terdapat pengaruh yang nyata dari masing-masing perlakuan yaitu Gula, BAP,
dan Kitosan terhadap daya proliferasi tunas dan produksi metabolit sekunder dari
Stevia rebaudiana Bertoni secara in vitro.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni)
Menurut klasifikasi dari Cronquist (1981), taksonomi tanaman stevia
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Asteridae
Order : Asterales
Family : Asteraceae
Genus : Stevia Cavanilles
Species : Stevia rebaudiana (Bertoni) Bertoni
Stevia rebaudiana Bertoni adalah tanaman terna dari famili Asteraceae
(Compositae) yang berasal dari Amerika Selatan (Paraguay dan Brasil) sehingga
sering disebut ramuan manis Paraguay (Geuns, 2003). Namun saat ini tanaman
stevia sudah tersebar di beberapa negara diantaranya Brazil, Korea, Meksiko,
Amerika Serikat, Indonesia, dan Tanzania, bahkan di Kanada sejak tahun 1990.
Kini pusat produksi stevia terdapat di negara China dan memiliki pasar terbesar di
Jepang (Kinghorn dan Soejarto, 1985).
Tanaman stevia secara botani merupakan tanaman yang ramping, tegak, dan
dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 50-120 cm. Stevia mempunyai rimpang yang
kuat, sistem akar dangkal dengan kerucut, akar tidak bercabang, batangnya semi
kayu. Letak daun berlawanan, subsessile, glabrescent, berbentuk spatulate-lanset,
berukuran 3-6,5 cm x 0,8-1,9 cm (Mohede dan Son, 1999). Stevia dapat
diperbanyak dengan benih atau stek. Namun perbanyakan tanaman stevia dengan
menggunakan benih sangat tidak efektif karena daya berkecambah rendah dan rata-
rata kurang dari 50%, sehingga perbanyakan secara vegetatif lebih efektif.
Propagasi klonal biasa dilakukan dalam produksi skala kecil, tetapi tidak ekonomis
untuk skala besar (Brandle et al., 1998).
Tanaman stevia tumbuh pada iklim subtropis dengan suhu rata-rata 24 °C
dan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.400-1.600 mm. Stevia tidak menyukai
daerah tergenang air dan hujan berat yang berkepanjangan. Umumnya, tanaman
stevia secara alami tumbuh di tepi rawa atau di komunitas padang rumput hingga
700 m dpl, yang secara permanen lembab tetapi tidak mengalami genangan
berkepanjangan. Tanah yang cocok ditumbuhi tanaman ini adalah muka air dangkal,
terutama pada pasir asam yang subur dengan pH 4-5. Tanaman stevia juga tumbuh
dengan baik pada tanah netral dengan pH 6,5-7,5 (Mohede dan Son, 1999).
Tanaman stevia di Indonesia dapat tumbuh di dataran rendah dengan
ketinggian 250 m dpl, namun pertumbuhan optimum diperoleh pada daerah dengan
ketinggian tempat 800-2.000 m dpl dengan suhu optimum berkisar 20-30 °C. Di
dataran rendah, stevia berbunga lebih cepat sehingga produksi biomassa daunnya
rendah dan cepat mati apabila terlalu sering dipangkas (Sumaryono dan Sinta,
2016). Data produktivitas per tahun daun stevia kering di Indonesia berkisar
4
2-2,2 ton ha-1 tahun-1 dengan panen sebanyak 6-7 kali dalam setahun (PPBBI, 2009).
Rendemen yang didapatkan dari daun basah stevia seberat 1 kg adalah 20-25%
menjadi daun kering atau berkisar 0,2 – 0,25 kg daun kering stevia. Daun kering ini
akan menjadi kristal steviosida dengan rendemen 1% (Rukmana, 2003).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu proses perbanyakan sel, jaringan, organ
atau protoplas dengan teknik steril (Nasir, 2002). Kultur jaringan atau
mikropropagasi juga merupakan suatu teknik memperbanyak tanaman dalam
lingkungan aseptik dan terkontrol untuk memproduksi klon suatu tanaman
(Akin-Idowu et al., 2009). Kultur jaringan tanaman berkembang dari teori
totipotensi sel oleh Morgan (1901) bahwa setiap sel mempunyai kemampuan untuk
berkembang menjadi suatu jasad hidup yang lengkap melalui proses regenerasi.
Kemampuan ini disebut totipotensi. Kultur in vitro tanaman memerlukan beberapa
komponen utama yaitu : bahan awal atau eksplan, media yang sesuai, dan tempat
kultivasi (Yuwono, 2006).
Eksplan yang baik untuk digunakan adalah eksplan dari jaringan muda
karena sifat jaringan muda meristematik dan masih aktif membelah, sehingga pada
lingkungan tumbuh yang cocok akan terjadi proliferasi maupun organogenesis.
Tanaman herba biasanya lebih mudah diregenerasikan dibanding tanaman berkayu
atau tanaman tahunan seperti cengkeh, pala, dan melinjo. Namun beberapa tanaman
tahunan tidak sulit diperbanyak secara in vitro, hal ini disebabkan faktor genetik
juga menentukan kemampuan regenerasi tunas (BB BIOGEN, 2012).
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan zat atau bahan organik yang secara
alami terdapat didalam tanaman dan mempengaruhi proses fisiologi pada
konsentrasi yang rendah. ZPT mempengaruhi proses secara utama pada
pertumbuhan, diferensiasi, dan perkembangan tanaman, juga pada proses lainnya
seperti pergerakan stomata (Davies, 2004). ZPT berfungsi untuk mengontrol dan
memodulasi inisiasi dan perkembangan tunas dan akar pada eksplan dan embrio
pada media kultur semipadat atau media kultur cair. ZPT juga dapat merangsang
pembelahan dan pengembangan sel. Biasanya, tanaman autotrofik menghasilkan
ZPT untuk memenuhi kebutuhan tanaman, tetapi pada tanaman yang ditanam
secara in vitro ZPT harus ditambahkan pada media untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel atau jaringan pada kultur in vitro. Zat Pengatur tumbuh penting
yang sering digunakan dalam kultur in vitro adalah auksin dan sitokinin
(Trigiano dan Gray, 2010).
Auksin yang banyak ditemukan di dalam tanaman adalah
Indol-3-acetic acid (IAA). Auksin disintesis dari triptofan atau indole terutama pada
daun primordia dan daun-daun muda serta pada benih yang sedang berkembang.
Fungsi auksin adalah merangsang pembesaran sel dan pertumbuhan batang,
merangsang pembelahan sel apabila dikombinasikan dengan sitokinin pada kultur
jaringan, merangsang diferensiasi pada xilem dan floem, dan merangsang
pembentukan akar. Sitokinin merupakan turunan adenin yang berfungsi untuk
menginduksi pembelahan sel dalam kultur jaringan yang dikombinasikan dengan
5
auksin. Sitokinin yang umum di dalam tanaman berupa zeatin. Sitokinin disintesis
melalui proses modifikasi biokimia adenin yang terjadi di ujung akar dan pada
benih yang sedang berkembang. Selain berfungsi untuk pembelahan sel bersamaan
dengan auksin, sitokinin juga memiliki fungsi morfogenesis pada kultur jaringan,
dan meningkatkan pertumbuhan tunas lateral (Davies, 2004). Konsentrasi zat
pengatur tumbuh dapat bervariasi untuk setiap spesies tanaman dan bahkan dapat
bergantung pada sumber eksplan atau genotipe individu tanaman, umur, dan status
gizi. Kondisi kultur (suhu, media padat vs agar dipadatkan, dan cahaya) juga
penting dalam pembentukan dan pengembangan tanaman (Smith, 2013).
Keberhasilan produksi bibit secara vegetatif yang cepat dan banyak
ditentukan oleh pembentukan tunas in vitro. Semakin banyak tunas maka semakin
banyak bibit yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Faktor multiplikasi tunas yang
tinggi dipicu oleh penambahan zat pengatur tumbuh berupa sitokinin. Penggunaan
sitokinin dapat memicu proliferasi tunas (Lestari, 2011).
Kitosan
Kitosan biasanya terdapat di alam dalam bentuk kitin. Kitosan diperoleh
dari proses deasetilasi kitin dalam kondisi basa, dan merupakan salah satu bahan
organik paling banyak. Kitosan merupakan produk kedua terbanyak yang
dihasilkan setiap tahun oleh biosintesis (Alves dan Mano, 2008). Kitin ditemukan
pada eksoskeleton antropoda, serangga, dan beberapa cendawan. Sumber komersial
kitin berasal dari cangkang limbah kepiting, udang, dan lobster (Sonia dan Sharma,
2011). Kitosan mengandung gugus amino primer di rantai utama. Kitosan adalah
polimer dari 2-amino-2 Deoksi-D-glukosa. Untuk membedakan polimer kitin dan
kitosan berdasarkan kandungan nitrogennya. Polimer kitin mempunyai kandungan
nitrogen kurang dari 7% dan kitosan mempunyai kandungan nitrogen lebih dari 7%.
Di alam kelompok kitin dan kitosan merupakan senyawa yang tidak dibatasi dengan
stoikiometri secara pasti.
Gambar 1. Perbedaan struktur Kitin dan Kitosan (Mahatmanti et al., 2010)
Penelitian pada kultur jaringan sudah menggunakan kitosan untuk tambahan
pada media tanam. Salah satu penelitian menggunakan kitosan pada tanaman
Mentha piperita. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Azizi et al.
6
(2012) selama 2 bulan pada tanaman Mentha piperita, kitosan mampu
meningkatkan persentase bobot kering Mentha piperita pada konsentrasi
20 mg L-1. Peningkatan persentase bobot kering tersebut diduga berkorelasi positif
dengan kandungan menthol pada Mentha piperita.
Metabolit Sekunder
Tanaman stevia adalah tanaman penghasil senyawa steviol. Stevia memiliki
berbagai macam jenis kandungan pemanis glikosida diterpen. Steviosida
merupakan glikosida diterpen utama pada daun stevia. Selain steviosida, tanaman
stevia juga memiliki kandungan pemanis lainnya yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Perbedaan diantara senyawa tersebut terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Struktur derivatif steviosida dan senyawa lainnya serta tingat
kemanisannya dibandingkan dengan gula tebu (Crammer dan Ikan,
1986; Geuns, 2003; Ahmed et al., 2011; Rodenburg, et al., 2016)
Senyawa Rantai R1 Rantai R2 Tingkat
kemanisan
Steviosida Glcβ1− Glcβ(1-2)-Glcβ1− 300
Rubusosida Glcβ1− Glcβ− -
Steviol H H -
Steviolbiosida H Glcβ(1-2)−Glcβ1− 100-125
Rebaudiosida A Glcβ1− Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− 250-450
Rebaudiosida B H Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− 300-350
Rebaudiosida C Glcβ1− Rhaα(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− 50-120
Rebaudiosida D Glcβ(1-2)−Glcβ1− Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− 250-450
Rebaudiosida E Glcβ(1-2)−Glcβ1− Glcβ(1-2)−Glcβ1 150-300
Rebaudiosida F Glcβ1− Xylβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− -
Rebaudiosida M Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1−
Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− -
Rebaudiosida N Rhaα(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1−
Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− -
Rebaudiosida O
Glcβ(1-3)Rhaα(1-
2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ−
Glcβ(1-2)[Glcβ(1-
3)]−Glcβ1− -
Dulkosida A Glcβ1− Rhaα(1-2)−Glcβ1− 50-120
Keterangan: - : belum diketahui
Senyawa metabolit sekunder utama yang dihasilkan pada stevia adalah
steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C. Saat ini permintaan pemanis dari
senyawa rebaudiosida A lebih tinggi. Hal ini disebabkan tingkat kemanisan yang
dihasilkan pada rebaudiosida A tertinggi hingga 450 kali terhadap gula
7
dibandingkan glikosida diterpen lainnya (Tabel 1). Rebaudiosida A juga lebih
disukai karena memiliki sedikit rasa pahit dan memiliki rasa manis yang dapat
diterima oleh konsumen (Crammer dan Ikan, 1986; Geuns, 2003; Adari et al.,
2016). Senyawa-senyawa tersebut adalah pemanis alami yang diekstrak dari daun
Stevia rebaudiana Bertoni. Metabolisme steviosida telah diteliti dalam kaitannya
dengan kemungkinan pembentukan steviol. Disimpulkan bahwa steviosida dan
rebaudiosida aman bila digunakan sebagai pemanis (Geuns, 2003). Tingkat
kemanisan pada larutan 0,4 % steviosida sekitar 300 kali lebih manis dari sukrosa
(Kennelly, 2002).
Daun yang lebih tua memiliki kandungan steviosida yang lebih tinggi.
Sintesis steviol dimulai di jalur asam mevalonat dan berkaitan erat dengan
biosintesis giberelin. Hal ini terjadi dalam kloroplas. Glycolysation dari steviol
dikontrol oleh enzim dan terjadi pada kloroplas luar. Glikosida disimpan dalam
vakuola (Mohede dan Son, 1999). Lintasan biosintesis steviol glikosida memiliki
16 tahap yang dikatalisasi oleh enzim-enzim yang berbeda. Tujuh tahap pertama
adalah sintesis isopentenyl difosfat (IPP) dan difosfat dimethylallyl (DMAPP)
bersama lintasan MEP yang disebut biosintesis isoprenoid. Kemudian 4 tahap
biosintesis selanjutnya melibatkan sintesis asam kaurenoic dari geranylgeranyl
difosfat (GGDP) yang memiliki kemiripan dengan lintasan biosintesis giberelin.
Lima tahap terakhir merupakan lintasan biosintesis spesifik steviol glikosida.
Kelima tahap dikatalisasi oleh KAH (kaurenoic acid-13-hydroxylase) dan 4 UGT
(UDP-glycosyltransferases) yang diketahui sebagai UGT85C2, UGT74G1,
UGT76G1, dan satu UGT belum diketahui. Gen-gen pada tanaman menyandikan
enzim-enzim penting dalam lintasan biosintesis steviol glikosida (Brandle dan
Telmer, 2007; Yadav dan Guleria, 2012; Guleria et al., 2011).
Metode analisis untuk mendapatkan kandungan metabolit sekunder
steviosida terdiri atas beberapa metode yaitu HPTLC (High Performance Thin
Layer Chromatography), Elektroforesis Kapiler, HPLC (High Performance Liquid
Chromatography), LC-MS/MS (Liquid Chromatography-Mass Spectrometry), dan
GCMS (Gass Liquid Chromatography–Mass Spectrometry). Metode analisis yang
lebih banyak digunakan adalah dengan HPLC. HPLC lebih banyak digunakan
karena sensitivitas, selektivitas, dan spesifisitas dalam pemisahan dan penentuan
steviol glikosida pada Stevia rebaudiana (Supriyadi et al., 2016; Siddique et al.,
2012).
Metode analisis yang digunakan oleh Ahmed et al. (1980) adalah HPLC.
Penelitian dilakukan pada daun utuh (ex vitro), daun in vitro, kalus, dan kultur
suspensi secara terpisah dikeringkan dalam oven dengan suhu 60° C selama 2 jam
untuk menghilangkan uap air. Sampel yang benar-benar kering dan menjadi bubuk
diambil untuk ekstraksi steviosida. Sampel ini dihilangkan lemaknya dengan
maserasi tiga kali dengan petroleum eter (30 ml). Setelah menjadi bubuk, sampel
direbus dengan aquadestilata (2 ml) lalu disaring dan diekstraksi lagi dengan
aquadestilata (25 ml) tiga kali. Filtrat dikumpulkan dan diberikan perlakuan dengan
menambahkan kalium hidroksida (5 ml). Campuran direfluks pada steam bath
selama 90 menit. Setelah itu diberikan asam (pH 5,0) dengan penambahan asam
asetat glasial dan diekstraksi tiga kali dengan kloroform: metanol (2:1 v/v) (6 ml
masing-masing). Ekstrak organik gabungan dikeringkan natrium sulfat anhidrat
untuk menghilangkan kelembaban dan kemudian filtrat diuapkan sampai kering.
Residu dilarutkan dalam metanol (10 ml) dan 0,01% metanol kalium hidroksida
8
(pH 8,5). Campuran reaksi direfluks pada water bath pada 65° C selama 1 jam dan
diuapkan sampai kering. Residu dilarutkan dalam metanol untuk analisis HPLC.
Hasil penelitian ini dapat mengetahui bahwa daun stevia mengandung steviosida,
rebaudiosida C, A, E, dan D tetapi sedikit dulcosida-A dan rebaudiosida-B.
Kultur Jaringan Stevia
Penelitian mengenai tanaman stevia sudah cukup banyak dilakukan di
berbagai negara. Penelitian pada kultur in vitro stevia lebih banyak menggunakan
kultur kalus dan kultur suspensi sel. Mathur dan Shekhawat (2013), melakukan
penelitian stevia dengan induksi kalus dan pembentukan kultur suspensi sel.
Eksplan yang digunakan adalah daun stevia yang ditumbuhkan pada media MS
dengan penambahan BAP saja dan juga kombinasi dengan 2,2–22,2 μM NAA yang
digunakan pada induksi kalus serta ditambahkan 3% gula dan 8 g L-1 agar-agar.
Kultur suspensi sel stevia diinisiasi menggunakan kalus yang berumur 15 hari dan
kalusnya segar-remah dengan mentransfer 5-20 g L-1 kalus sebagai inokulum awal
untuk 150 ml labu Erlenmeyer yang berisi 50 ml medium cair MS yang
dimodifikasi, dilengkapi dengan BA (0,09-0,89 μM) saja atau dikombinasikan
dengan 2,4-D (0,07-0,45 μM); NAA (0,32-0,80 μM) dan asam askorbat
(0,03-0,06 μM). PH media telah disesuaikan untuk 5,8 sebelum autoklaf. Kultur
diinkubasi dalam gelap dengan agitasi secara kontinyu pada 110 rpm dalam orbital
shaker dan diinkubasi pada 24 ± 2 °C dan kelembaban relatif 60-65%. Setelah itu
proses dilanjutkan dengan analisis dengan HPLC (High Performance Liquid
Chromatography). Penelitian ini telah berhasil menjawab bahwa kultur suspensi sel
sebagai kultur efisien dalam produksi bioteknologi steviosida. Pertumbuhan kultur
sel bergantung pada jenis dan konsentrasi hara media kultur, zat pengatur tumbuh,
dan kepadatan inokulum. kultur suspensi sel stevia menghasilkan steviosida pada
konsentrasi yang berbeda selama siklus pertumbuhannya. Penelitian ini
menunjukkan kemungkinan produksi steviosida di bioreaktor skala besar
menggunakan kultur suspensi sel, tetapi dibutuhkan waktu yang cukup lama dan
melalui berbagai tahap kultur.
Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Laribi et al. (2012) menyebutkan
bahwa kombinasi BAP dan IAA adalah kombinasi terbaik untuk multiplikasi pucuk
tunas dari ekplan buku tanpa produksi kalus dibandingkan dengan kombinasi IBA
dan IAA. Konsentrasi kombinasi terbaik untuk jumlah tunas per eksplan adalah
1,0 mg L-1 BAP dan 0,25 mg L-1 IAA. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan
Rathore et al. (2013) pada dua genotipe stevia (CIM Madhu dan CIM mithi) dengan
perlakuan konsentrasi gula 3%-6% terhadap regenerasi stevia. Penelitian tersebut
menghasilkan bahwa konsentrasi gula yang paling baik untuk regenerasi dan
inisiasi tunas adalah konsentrasi gula 4%.
Produksi Metabolit Sekunder Stevia In Vitro
Produksi metabolit sekunder stevia telah cukup banyak dilakukan dengan
berbagai metode baik secara in vitro maupun ex vitro. Penelitian mengenai
perbandingan produksi metabolit sekunder yang ditanam secara in vitro dengan
teknik berbeda yaitu organogenesis, kultur suspensi sel, dan kultur kalus telah
dilakukan oleh Bondarev et al. (2001). Klon yang digunakan pada penelitian
9
tersebut ada tiga yaitu klon 1, klon 2, dan klon 3. Media yang digunakan dalam
perbanyakan in vitro adalah media Murashige-Skoog (MS) dengan intensitas
cahaya ± 2000 lux selama 16 jam per hari. Kultur kalus ditanam dengan
menggunakan eksplan daun dan batang. Kultur kalus dan kultur suspensi yang
diinkubasi didalam ruang gelap dengan suhu 25 ± 1º C dan kelembaban udara 70%
pada media padat dan media cair dengan komposisi media MS ditambahkan dengan
1 mg L-1 NAA dan 0,5 mg L-1 BAP. Ekstraksi sampel dimulai dengan
menghaluskan sampel 100-500 mg dari planlet dan dilarutkan dengan
menggunakan metanol 100% selama 1 jam. Sampel disentrifugasi selama 5 menit
dan supernatan sebanyak 10 μl diambil untuk dianalisis dengan menggunakan High
Performance Liquid Chromatography. Sampel dianalisis dengan menggunakan
column Ultra Pak (TSK-OH-120, 4.6×250 mm2 dengan ukuran partikel 5μm dan
menggunakan acetonitrile–air (85:15 (v/v)) dengan laju alir 0,5 ml min-1. Senyawa
metabolit sekunder yang dianalisis adalah steviosida, rebaudiosida A, dan
rebaudiosida C. Hasil penelitian pada kultur yang berumur 5 minggu adalah
kandungan metabolit tertinggi terdapat pada organ daun yaitu 3300 μg g-1
(0,0000033%) steviosida, 1900 μg g-1 (0,0000019%) rebaudiosida A, dan
700 μg g-1 (0,0000007%) rebaudiosida C. Kandungan metabolit pada organ batang
lebih rendah apabila dibandingkan dengan organ daun yaitu 800 μg g-1
(0,0000008%) steviosida, 600 μg g-1 (0,0000006%) rebaudiosida A, dan
100 μg g-1 (0,0000001%) rebaudiosida C. Sedangkan kandungan metabolit pada
kalus stevia tidak diketahui yaitu 0 μg g-1 (0%) dan kandungan metabolit pada
suspensi sel sangat kecil yaitu 15 μg g-1 bobot kering steviosida (0,000000015%),
sangat sedikit rebaudiosida A, dan 0 μg g-1 (0%) rebaudiosida C. Dari penelitian ini
diketahui bahwa pembentukan senyawa metabolit sekunder pada stevia terjadi pada
sel yang telah terdiferensiasi lanjut dan memiliki kloroplas yang sudah berkembang
baik dengan grana dan tilakoid. Sedangkan pada kalus stevia yang berasal dari
eksplan daun mengalami dediferensiasi sehingga semua kloroplas bereorganisasi
menjadi proplastid. Sel somatik yang terdediferensiasi biasanya hanya dapat
mensintesis steviol glikosida dalam jumlah sedikit karena kloroplas yang belum
berkembang dengan baik.
10
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan II, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Pengeringan planlet stevia
menjadi simplisia dilaksanakan di Laboratorium Ekofisiologi, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB dan Pengujian kandungan
steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C dilaksanakan di Laboratorium
Kimia Analitik dan Proses Hilir, Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) dan Laboratorium Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Penelitian
dilaksanakan mulai dari Januari hingga Oktober 2016.
Bahan dan Alat
Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah stek buku tunggal yang
berasal dari planlet steril yang berumur 4 MST (Minggu Setelah Tanam). Media
yang digunakan dalam perbanyakan tanaman stevia yaitu media MS2 yaitu media
Murashige-Skoog dengan konsentrasi hara makro dua kali, konsentrasi hara mikro
satu kali, vitamin dan myo inositol serta 2 mg L-1 kalsium pantotenat (CaP) dan
media perlakuan yaitu media Murashige-Skoog (MS) dengan berbagai konsentrasi
Gula, Benzylaminopurin (BAP), Kitosan, dan 0,25 mg L-1 Indole Acetic Acid (IAA).
Pengaturan pH media menggunakan HCl 1N dan KOH 1N hingga media memiliki
pH 6. Bahan lainnya yang digunakan adalah gula pasir dan agar sebagai pemadat.
Bahan yang digunakan untuk analisis kandungan steviosida, rebaudiosida A, dan
rebaudiosida C adalah metanol, kertas saring, buffer A yaitu buffer fosfat 1,4 mM
pH 3 : Acetonitrile (70 : 30) dan menggunakan column Zorbax SB-C18 1,8 μm,
sedangkan buffer B yaitu H2O/MetOH (90:10 pH =3) : acetonitrile (65:35) : TFA
0,01% dan menggunakan column vertex, Eurospher 100-5 C18 (250 x 4,6 mm),
standar HPLC untuk steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C.
Alat yang digunakan untuk sterilisasi alat dan media adalah autoklaf. Alat-
alat yang digunakan dalam pembuatan media perbanyakan dan perlakuan adalah
labu takar 500 ml, pipet volumetrik, magnetic stirrer, pengaduk kaca, botol kultur,
corong, timbangan analitik, pH meter, dan peralatan laboratorium pada umumnya.
Alat yang digunakan untuk menanam adalah Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)
dan alat-alat diseksi. Alat-alat yang digunakan untuk penyimpanan adalah botol
kultur 300 ml dan rak kultur yang dilengkapi dengan lampu LED 9 Watt dengan
intensitas cahaya ± 2298 lux dan intensitas cahaya 24 jam/hari. Alat yang digunakan
untuk pengeringan planlet menjadi simplisia adalah oven dengan suhu 50 °C selama
24 jam. Alat yang digunakan untuk analisis kandungan steviosida, rebaudiosida A,
dan rebaudiosida C adalah timbangan analitik, erlenmeyer 100 ml, incubator shaker,
corong, labu evaporasi, sentrifugasi, dan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC).
11
Rancangan Percobaan
Percobaan dalam penelitian ini disusun menggunakan rancangan perlakuan
tiga faktor yang disusun dalam Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
tiga faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi Gula (G) dengan tiga taraf yaitu
30 g L-1 (G3), 40 g L-1 (G4), dan 50 g L-1 (G5). Faktor kedua adalah konsentrasi
BAP (B) dengan tiga taraf yaitu 1 mg L-1 (B1), 2 mg L-1 (B2), dan 3 mg L-1 (B3).
Faktor ketiga adalah konsentrasi Kitosan (K) dengan tiga taraf 0 mg L-1 (K0),
1 mg L-1 (K1), dan 2 mg L-1 (K2), dan digunakan media MS2 + 2 mg L-1 CaP yaitu
media perbanyakan sebagai media kontrol.
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 81 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 6 eksplan sebagai satuan amatan,
sehingga total satuan amatan adalah 486 eksplan. Setiap perlakuan dibandingkan
terhadap kontrol yaitu media MS + 2 mg L-1 CaP dengan konsentrasi Gula
30 g L-1. Kombinasi perlakuan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kombinasi perlakuan induksi proliferasi stevia (Stevia rebaudiana
Bertoni) dengan penambahan Gula, BAP, Kitosan dan untuk
meningkatkan produksi metabolit secara in vitro
Konsentrasi
Gula
(g L-1)
Konsentrasi
BAP
(mg L-1)
Konsentrasi Kitosan (mg L-1)
0
1
2
30 1 G3B1K0 G3B1K1 G3B1K2
2 G3B2K0 G3B2K1 G3B2K2
3 G3B3K0 G3B3K1 G3B3K2
40 1 G4B1K0 G4B1K1 G4B1K2
2 G4B2K0 G4B2K1 G4B2K2
3 G4B3K0 G4B3K1 G4B3K2
50 1 G5B1K0 G5B1K1 G5B1K2
2 G5B2K0 G5B2K1 G5B2K2
3 G5B3K0 G5B3K1 G5B3K2
Keterangan: G = Gula (Konsentrasi Gula), B = BAP (Konsentrasi BAP), K =
Kitosan (Konsentrasi Kitosan)
Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap
Teracak (RKLT) tiga faktor. Model Statistika untuk RKLT tiga faktor adalah
sebagai berikut (Gomez dan gomez, 1995) :
Yijk = µ + αi + βj + ɣk + (αβ)ij + (αɣ)ik + (βɣ)jk + (αβɣ)ijk + ρk + εijkl
Dimana : i (i = 1,2,3), j (j= 1,2,3), k (k= 1,2,3), dan l (l= 1,2,3),
Keterangan :
Yijk : Nilai pengamatan pada sampel yang dikulturkan pada media dengan
konsentrasi Gula ke-i, konsentrasi BAP ke-j, konsentrasi Kitosan ke-k,
dan ulangan ke-l
µ : Rataan umum
12
αi : Pengaruh konsentrasi Gula ke-i
βj : Pengaruh konsentrasi BAP ke-j
ɣk : Pengaruh konsentrasi Kitosan ke-k
(αβ)ij : Pengaruh interaksi Gula ke-i dengan BAP ke-j
(αɣ)ik : Pengaruh interaksi Gula ke-i dengan Kitosan ke-k
(βɣ)jk : Pengaruh interaksi BAP ke-j dengan Kitosan ke-k
(αβɣ)ijk : Pengaruh interaksi Gula ke-i, BAP ke-j dengan Kitosan ke-k
ρk : Pengaruh aditif kelompok yang diasumsikan tidak ada interaksi dengan
pengaruh perlakuan
εijk : Pengaruh acak pada konsentrasi Gula ke-i, konsentrasi BAP ke-j, dan
Kitosan ke-k serta ulangan ke-l
Prosedur Percobaan
Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama
60 menit dengan suhu 121° C dan tekanan 0,1 bar. Sterilisasi juga dilakukan pada
saat subkultur dengan cara memanaskan alat tanam pada api bunsen sampai alat
tanam berwarna kemerahan. Media yang akan digunakan disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf selama 20 menit dengan tekanan 0,1 bar dan suhu 121° C.
Pembuatan larutan Stok dan Media
Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi media MS yang telah
dimodifikasi (Lampiran 1). Pembuatan media stok bertujuan untuk memudahkan
dalam pembuatan media. Stok A, B, C, D, E, F, Myo-inositol, dan vitamin yang
telah dibuat disesuaikan dengan komposisi media MS dipipet masing-masing secara
berurutan adalah 20 ml L-1, 20 ml L-1, 5 ml L-1, 5 ml L-1, 5 ml L-1, 10 ml L-1, 10 ml
L-1, dan 10 ml L-1. Pembuatan media untuk perbanyakan, media MS2 dengan
konsentrasi hara makro (stok A, B, dan D) dua kali dan ditambahkan 2 mg L-1 CaP.
Media perlakuan dibuat dari media MS ditambah dengan konsentrasi Gula, BAP,
dan Kitosan sesuai perlakuan. Gula ditimbang sebanyak 30 g L-1 pada media
perbanyakan sedangkan pada media perlakuan gula ditimbang sesuai konsentrasi
yaitu 30 g L-1, 40 g L-1, dan 50 g L-1. Gula yang sudah ditimbang kemudian
dilarutkan dengan aquades dan dimasukkan ke dalam botol kultur, kemudian
larutan gula disaring dengan menggunakan kertas saring dan corong. Larutan MS
dan gula kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml dan larutan
ditambahkan aquades hingga 1000 ml. Larutan dituang ke dalam gelas ukur dan
diaduk dengan menggunakan pengaduk atau magnetic stirrer kemudian larutan
diukur pH dengan menggunakan pH meter. Apabila pH larutan < 6 maka larutan
ditambahkan KOH 1N, sedangkan apabila pH larutan > 6, larutan ditambahkan HCl
1N hingga pH larutan 6. Larutan selanjutnya ditambahkan agar sebanyak 7 g L-1
kemudian dipanaskan sambil diaduk hingga mendidih. Media yang sudah mendidih
dimasukkan ke dalam gelas ukur dan dituang ke botol kultur 300 ml sebanyak
± 33 ml per botol kemudian ditutup menggunakan plastik dan karet. Media yang
13
sudah ditutup tersebut kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama
20 menit dengan suhu 121 °C dan tekanan 0,1 bar.
Persiapan Eskplan
Eksplan yang digunakan berasal dari planlet stevia aseptik yang ditanam
pada media MS2 + 2 mg L-1 CaP. Perbanyakan dilakukan selama 1 bulan sebelum
disubkultur ke media perlakuan. Eksplan yang digunakan pada perbanyakan dan
subkultur perlakuan yaitu stek buku tunggal dengan satu mata tunas aksilar.
Gambar 2. Planlet stevia yang ditanam pada media perbanyakan berumur 4 MST
(Minggu Setelah Tanam)
Persiapan Ruang Tanam
Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) dinyalakan sehari sebelum menanam
dan ruangan disemprot alkohol 70% agar ruangan steril. LAFC yang akan
digunakan disemprot terlebih dahulu di bagian dalamnya menggunakan alkohol
70% kemudian dikeringkan dengan menggunakan tisu kemudian lampu neon dan
blower dinyalakan.
Penanaman Eksplan
Penanaman dilakukan dengan menanam lima eksplan per botol pada media
perbanyakan sedangkan pada perlakuan, eksplan yang ditanam sebanyak 2 eksplan
per botol.
Inkubasi Kultur
Eksplan yang sudah ditanam di dalam media perlakuan kemudian
diinkubasi didalam ruang kultur. Suhu ruang kultur yaitu 22 ± 2 °C dengan RH
42 ± 1%. Botol-botol kultur diletakkan pada rak tertutup menggunakan plastik
untuk meminimalisasi terjadinya kontaminasi. Rak kultur dilengkapi lampu LED
9 W dengan intensitas cahaya ± 2298 lux, lama penyinaran yang digunakan yaitu
24 jam/hari (Gambar 3).
14
Gambar 3. Inkubasi kultur stevia dilengkapi lampu LED 9 Watt dengan intensitas
cahaya ± 2298 lux
Panen Planlet Stevia
Planlet yang sudah berumur 13 Minggu Setelah Perlakuan (MSP) dipanen,
diukur, dan dihitung tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah buku, jumlah daun,
jumlah akar, bobot basah, dan bobot kering. Planlet yang akan dipanen dikeluarkan
dari botol dan dicuci dari agar yang menempel pada akar planlet kemudian
dikeringkan dengan menggunakan tisu. Planlet yang sudah kering kemudian
diamati tinggi tanaman, jumlah akar, jumlah tunas, jumlah buku, dan jumlah daun.
Lalu ditimbang bobot basahnya dan dimasukkan ke dalam amplop yang
sebelumnya sudah ditimbang bobotnya. Planlet kemudian di oven selama 24 jam
dengan suhu 50° C (Aman et al., 2013). Setelah dikeringkan kemudian planlet
ditimbang bobot keringnya. Simplisia planlet stevia kemudian disimpan didalam
box dengan silica gel didalamnya agar kadar air simplisia tidak berubah.
Analisis Kandungan Steviosida, Rebaudiosida A, dan Rebaudiosida C
Planlet yang sudah kering dihaluskan menjadi serbuk kemudian ditimbang
dengan menggunakan timbangan analitik sebesar ± 1 gram masing-masing sampel.
Sampel halus yang sudah ditimbang kemudian diekstrak dengan menggunakan
buffer A yaitu buffer fosfat 1,4 mM pH 3 : Acetonitrile (70 : 30) pada fase gerak
dengan menggunakan column Zorbax SB-C18 1,8 μm dengan laju alir
0,5 ml min-1 dan detector UV @ 202 nm. Setelah itu larutan metanol ditampung,
residu diekstrak dua kali dengan 40 ml metanol. Kemudian hasil ekstrak disaring
dengan kertas saring whatman no 1 dan ditampung dalam labu evaporasi 100 ml.
Kertas saring dicuci tiga kali dengan metanol 10 ml. Larutan hasil ekstrak
dipekatkan hingga 4ml lalu di sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
15000 rpm. Kemudian supernatannya diambil sebanyak 10 μl dan dianalisis dengan
menggunakan HPLC. Sedangkan pada buffer B, analisis dilakukan dengan
menggunakan HPLC Knauer dengan Smarline Manajer Pump dan Smartline UV
Detector sistem 2500. HPLC dikendalikan oleh Chromgate (versi 3.11) perangkat
lunak dari Knauer, Jerman. Analisis dilakukan dengan menggunakan Eurosphere
C-18 column (250 × 4,6 mm i.d, 5 m, 100 ȧ) dengan pre-column.
KrisbowUlstrasonic DSA50-GI2 digunakan untuk menghomogenkan campuran
fase gerak dan ekstraksi sampel. Daun kering tanaman Stevia dihaluskan. Sampel
yang sudah halus sebanyak 0,50 g diekstrak dengan 25 ml etanol 60%. Ekstraksi
dilakukan dalam ultrasonik dengan suhu 40 οC selama 15 menit. Ekstraksi diulang
tiga kali dan volume akhir filtrat disesuaikan untuk 100 mL etanol menggunakan
15
60% dalam labu volumetrik. Ekstrak diencerkan dan disaring oleh filter mikro
0,45 µm sebelum diinjeksikan pada HPLC sistem. Analisis pada buffer B
menggunakan H2O/MetOH (90:10 pH =3) : acetonitrile (65:35) : TFA 0,01% untuk
fase gerak dengan laju alir 0,6 ml min-1 (Martono et al., 2016).
Gambar berikut merupakan kromatogram standar yang digunakan pada
analisis dengan menggunakan buffer A. Standar HPLC untuk steviosida memiliki
retention time yaitu 6,562 menit dengan area 1027263, sedangkan standar HPLC
untuk rebaudiosida A memiliki retention time 6,261 menit dengan area 849781, dan
standar HPLC untuk rebaudiosida C memiliki retention time 8,499 menit dengan
area 779846.
Gambar 4. Kurva kromatografi analisis standar untuk steviosida 100 ppm dengan
HPLC
Gambar 5. Kurva kromatografi analisis standar untuk rebaudiosida A 100 ppm
dengan HPLC
Gambar 6. Kurva kromatografi analisis standar untuk rebaudiosida C 100 ppm
dengan HPLC
16
Gambar 7 merupakan kromatogram sampel dengan menggunakan buffer B.
Gambar 7. Kurva kromatografi sampel pada perlakuan 40 g L-1 Gula, 3 mg L-1 BAP,
dan tanpa Kitosan
Dari hasil kromatogram pada Gambar 7 didapatkan retention time untuk
rebaudiosida A 11,20 menit dengan area 24267 dan retention time untuk steviosida
12,217 menit dengan area 78286. Identifikasi dan kuantifikasi kandungan
steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C dalam sampel tanaman dilakukan
dengan membandingkan retention time dan daerah puncak sampel dengan standar.
Tabel 3. Standar mix HPLC pada steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C
pada buffer A
Metabolit ppm Retention
time (min) Area
Persamaan
kurva kalibrasi
R2
Steviosida 0 - 0 y = 10315x –
28809
0,9993
50 6,565 424655
100 6,568 975137
200 6,598 2066158
300 6,605 3126813
400 6,612 4124762
500 6,745 5068543
Rebaudiosida
A 0 - 0
y = 8778,2x –
12217
0,9992
50 6,232 377642
100 6,234 841978
200 6,261 1776753
300 6,264 2683878
400 6,268 3528054
500 6,391 4312460
Rebaudiosida
C 0 - 0
y = 9433,6x –
16280
0,9988
20 8,516 134819
40 8,518 355536
80 8,536 755543
120 8,524 1136644
160 8,516 1509656
200 8,700 1842647
17
Pengamatan Percobaan
Pengamatan dalam penelitian dilakukan selama 13 MSP. Pengamatan
meliputi :
1. Persentase eksplan terkontaminasi
Pengamatan persentase eksplan terkontaminasi dilakukan mulai dari 1
HSP (Hari Setelah Perlakuan) hingga 13 MSP (Minggu Setelah
Perlakuan). Perhitungan eksplan terkontaminasi dihitung dengan rumus :
% kontaminasi pada eksplan = jumlah eksplan terkontaminasi
jumlah total eskplan yang ditanam × 100%
2. Waktu munculnya tunas
Pengamatan munculnya tunas dilakukan pada setiap eksplan pada
1-2 minggu setelah perlakuan.
3. Jumlah tunas per eksplan
Jumlah tunas diamati dengan menghitung jumlah tunas pada setiap
eksplan. Pengamatan dilakukan setiap minggu mulai dari 1 MSP hingga
13 MSP.
4. Jumlah buku
Peubah ini diamati dengan menghitung jumlah buku (tidak termasuk
pucuk). Pengamatan dilakukan setiap minggu pada setiap eksplan
mulai dari 1 MSP hingga 13 MSP.
5. Jumlah daun
Daun yang dihitung dan diamati adalah daun yang telah membuka
sempurna. Pengamatan dilakukan setiap minggu pada setiap eksplan
mulai dari 1 MSP hingga 13 MSP.
6. Skoring jumlah akar
Jumlah akar diamati dan dihitung berdasarkan skoring yang telah dibuat.
Skoring bertujuan untuk memudahkan perhitungan akar tanaman stevia
yang sulit untuk dihitung dengan mengacu pada penelitian Azizi et al.
(2012) dengan modifikasi.
Tabel 4. Skoring untuk jumlah akar planlet stevia pada 13 MSP
Skoring Akar Jumlah Akar
1 1-5
2 6-10
3 11-15
4 16-20
5 21-25
7. Tinggi planlet
Peubah ini diukur menggunakan penggaris dari pangkal batang
hingga titik tumbuh. Pengamatan tinggi planlet dilakukan pada setiap
18
eksplan dan planlet yang diukur tingginya dikeluarkan dari botol ketika
panen.
8. Bobot basah, bobot kering, dan kadar air
Bobot basah dan kering diukur dengan menggunakan timbangan digital
yang sebelumnya telah di tera terlebih dahulu. Kadar air dihitung dengan
menggunakan rumus :
Kadar air = bobot basah−bobot kering
bobot basah × 100%
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan microsoft excel dan
program SAS (Statistical Analysis System) versi 9.1.3 dengan melakukan uji F pada
taraf 5% untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan. Apabila terdapat perlakuan
yang berpengaruh nyata terhadap perlakuan lainnya diuji lanjut dengan Duncan’s
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% dan uji lanjut t-dunnet untuk
membandingkan nilai tengah semua perlakuan terhadap nilai kontrol. Pemilihan
sampel untuk analisis kandungan metabolit didasarkan pada data hasil analisis
dengan menggunakan uji F dan uji lanjut DMRT dengan mempertimbangkan bobot
kering sampel yang mencukupi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Secara umum kondisi planlet stevia in vitro yang dikulturkan tumbuh
dengan baik, dengan persentase eksplan terkontaminasi secara keseluruhan adalah
13,77%. Suhu ruang inkubasi yaitu 22 ± 2º C dengan RH 42 ±1 % serta intensitas
cahaya dari lampu fluoresence ± 2298 lux dan lama penyinaran 24 jam/hari.
Pertumbuhan Eksplan Stevia secara In Vitro
Eksplan yang ditumbuhkan pada media perlakuan masih ada yang
terkontaminasi. Kontaminan terdeteksi mulai pada minggu pertama setelah tanam.
Kontaminasi yang terjadi pada penelitian ada yang terjadi pada media dan juga pada
eksplan. Eksplan yang ditanam pada media 2 mg L-1 BAP menunjukkan persentase
eksplan terkontaminasi terendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar
4,17% sedangkan eksplan yang ditanam pada media 3 mg L-1 BAP memberikan
hasil eksplan terkontaminasi tertinggi yaitu 19,91% (Tabel 5). Kontaminasi pada
eksplan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu sumber eksplan yang
digunakan, kebersihan individu yang menanam dan teknik menanam, laminar air
flow cabinet, media yang digunakan, ada atau tidaknya serangga atau organisme
lain di dalam ruangan, alat-alat yang kurang steril ketika menanam, dan kondisi
19
udara di dalam ruang tanam. Eksplan yang akan digunakan harus dipastikan steril
dari kontaminan. Planlet sebagai sumber eksplan dapat menjadi sumber kontaminan
utama apabila eksplan yang digunakan memiliki kontaminasi mikroba internal yang
sulit untuk disterilisasi. Media yang digunakan juga harus bebas dari kontaminan.
Media yang akan digunakan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama 15
menit pada suhu 121º C dan tekanan 21 Psi (Smith, 2013). Semua faktor tersebut
harus terpenuhi untuk meminimalkan kontaminasi pada kultur tanaman.
Kontaminasi pada penelitian stevia disebabkan oleh cendawan dan bakteri.
Tabel 5. Rataan persentase eksplan stevia terkontaminasi, persentase eksplan
berkalus, dan persentase eksplan senescence pada 13 MSP
Perlakuan
Persentase
eksplan
terkontaminasi
(%)
Persentase
eksplan
berkalus
(%)
Persentase
eksplan
senescence
(%)t
Kontrol 12,50 0 100
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 13,89 98,76a+ 16,22b-
40 16,67 75,06b+ 36,57a-
50 12,04 67,62b+ 38,82a-
BAP (mg L-1) (B)
1 18,52 98,77a+ 31,17-
2 4,17 91,81a+ 28,33-
3 19,91 50,86b+ 32,11-
Kitosan (mg L-1) (K)
0 13,89 78,87+ 30,55-
1 14,81 79,15+ 28,31-
2 14,35 83,42+ 32,75-
Interaksi
GXB ** *
GXK tn tn
BXK tn tn
GXBXK tn tn
KK DMRT (%) 18,96 32,55
KK t-Dunnet (%) 19,30 33,82 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5%, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, MSP: Minggu Setelah
Perlakuan, t :data diolah ditransformasi ke (x + 1,0)1/2, angka - angka
yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan peubah yang sama tidak
berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Angka yang diikuti tanda (+) atau
(-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau lebih kecil dibanding dengan
kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf 5%.
Berdasarkan data pada Tabel 5, interaksi tiga faktor antara Gula, BAP, dan
Kitosan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase eksplan berkalus dan
presentase eksplan senescence. Interaksi dua faktor antara Gula dan Kitosan serta
BAP dan Kitosan juga tidak mempengaruhi persentase eksplan berkalus dan
presentase eksplan senescence. Peningkatan konsentrasi gula pada media ternyata
menghambat pembentukan kalus pada eksplan menjadi 67,62% dan peningkatan
20
konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1 dapat menurunkan persentase eksplan
membentuk kalus menjadi 50,86%. Adanya penambahan Kitosan pada media
hingga konsentrasi 2 mg L-1 tidak memberikan hasil yang berbeda pada persentase
eksplan membentuk kalus. Apabila dibandingkan dengan kontrol, adanya perlakuan
Gula, BAP, dan Kitosan meningkatkan persentase eksplan membentuk kalus dan
menurunkan persentase eksplan senescence.
(a) (b) (c)
a. Kultur terkontaminasi oleh cendawan
b. Kultur terkontaminasi oleh bakteri
c. Kultur terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri
Gambar 8. Eksplan terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri pada kultur stevia umur 1
Minggu Setelah Perlakuan (MSP)
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, KK = 19,58 %.
Gambar 9. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1) terhadap
persentase eksplan berkalus pada 13 MSP.
Interaksi antara Gula dan BAP berpengaruh terhadap persentase eksplan
membentuk kalus. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada konsentrasi Gula 30 g L-1,
peningkatan konsentrasi BAP tidak mempengaruhi persentase eksplan membentuk
kalus, sedangkan pada perlakuaan kosentrasi Gula 40 g L-1 dan 50 g L-1, adanya
penambahan konsentrasi BAP sampai 3 mg L-1 menurunkan persentase eksplan
membentuk kalus hingga 15,56%. Kombinasi konsentrasi BAP dan penambahan
0,25 mg L-1 IAA memberikan respon pertumbuhan eksplan yang berbeda.
6-benzylaminopurin (BAP) adalah sitokinin sintetik yang memiliki fungsi dalam
pembelahan sel (sitokinesis) sehingga apabila ditambahkan IAA maka eksplan akan
membentuk kalus dalam waktu singkat (Wattimena, 1988). Selain berfungsi untuk
pembelahan sel bersamaan dengan auksin, sitokinin juga memiliki fungsi
96,29a
100a 100a100a
88,13a 87,30a
100a
37,04b
15,56c
0
20
40
60
80
100
120
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Per
sen
tase
ek
spla
n
ber
kalu
s (%
)
21
morfogenesis pada kultur jaringan, dan meningkatkan pertumbuhan tunas lateral
(Davies, 2004).
Senescence merupakan proses yang sangat diatur secara kompleks yang
membutuhkan ekspresi gen baru dan melibatkan interaksi dari banyak lintasan
biosintesis. Ciri utama tanaman mengalami senescence adalah warna daun
menguning akibat degradasi klorofil dan lama-kelamaan bagian tanaman yang
mengalami senescence atau penuaan akan mati. Tanaman tidak mengalami penuaan
secara langsung, namun biasanya diawali pada bagian pucuk dan tepi daun
(Wollaston, 2007). Eksplan stevia mulai mengalami senescence pada 6 Minggu
Setelah Perlakuan (MSP) dan bagian eksplan yang mulai mengalami senescence
adalah bagian pucuk. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi gula dapat meningkatkan persentase ekplan senescence hingga 38,82%
pada konsentrasi Gula 50 g L-1. Peningkatan konsentrasi BAP dan penambahan
Kitosan pada media tidak mempengaruhi persentase eksplan senescence. Interaksi
antara Gula dan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase
eksplan senescence (Gambar 10).
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 1,0)1/2, KK =
31,65%.
Gambar 10. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap persentase eksplan senescence pada 13 MSP.
Interaksi antara pemberian Gula dengan BAP berpengaruh nyata terhadap
tunas yang mengalami senescence. Perlakuan BAP dengan konsentrasi 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 40 g L-1 meningkatkan tunas senescense, dan
turun pada konsentrasi Gula 50 g L-1. Namun, pada konsentrasi BAP 1 mg L-1 dan
2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 meningkatkan tunas
senescense.
Gambar 11. Senescence pada pucuk planlet di perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 1 mg L-1, dan
Kitosan 1 mg L-1 pada 6 MSP
25,93bc 30,56abc
37,04ab
5,66d
32,50abc
46,83a
17,06cd
46,67a
32,59abc
0
20
40
60
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP2 mg L-1 BAP3 mg L-1 BAP
Per
sen
tase
ek
spla
n
sen
esce
nce
(%)
22
Tingginya intensitas cahaya yang digunakan dan lamanya penyinaran
selama 24 jam/hari diduga menjadi salah satu penyebab tanaman cepat mengalami
senescence. Menurut Wollaston (2007), senescence dapat disebabkan oleh
perubahan lingkungan seperti cahaya dan suhu. Gambar 11 menunjukkan salah satu
planlet mengalami senescence pada 6 MSP.
Waktu Munculnya Tunas
Pemberian Gula, BAP, dan Kitosan tidak berpengaruh nyata terhadap
kecepatan pembentukan tunas aksilar. Interaksi antara 2 perlakuan (Gula dengan
BAP, Gula dengan Kitosan, dan BAP dengan Kitosan) dan interaksi faktor
ketiganya tidak mempengaruhi secara nyata terhadap waktu muncul tunas (Tabel
6).
Tabel 6. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah waktu
munculnya tunas stevia in vitro
Perlakuan Waktu muncul tunas (MSP)
Kontrol 2,08
Konsentrasi Gula (g L-1) (G) 30 1,76
40 1,91
50 1,84
BAP (mg L-1) (B) 1 1,70
2 1,82
3 1,99
Kitosan (mg L-1) (K) 0 1,82
1 1,85
2 1,84
Interaksi GXB tn
GXK tn
BXK tn
GXBXK tn
KK (%) 25,16 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%, MSP: Minggu Setelah Perlakuan,
angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan dan peubah yang
sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Eksplan yang ditanam pada media perlakuan tidak berbeda nyata dengan
eksplan yang ditanam pada media kontrol jika dilihat dari peubah waktu munculnya
tunas. Hasil pada Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak
23
mempengaruhi waktu munculnya tunas. Tunas mulai muncul pada 1,70-1,99 MSP
sedangkan pada kontrol tunas muncul pada 2,08 MSP.
Jumlah Tunas
Jumlah tunas yang terbentuk dari proses proliferasi tunas aksilar sangat
nyata dipengaruhi oleh interaksi antara Gula, BAP dengan Kitosan dalam media
perlakuan (Tabel 7). Perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan Kitosan 2 mg L-1
memberikan hasil terbaik pada pertumbuhan jumlah tunas yaitu 27,67 tunas
dibandingkan kombinasi perlakuan yang lainnya pada 13 MSP (Minggu Setelah
Perlakuan).
Tabel 7. Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah tunas stevia in vitro
pada 13 MSP
Konsentrasi
Gula
(g L-1)
Konsentrasi
BAP
(mg L-1)
Konsentrasi Kitosan (mg L-1)
0
1
2
30 1 12,67cdefghi 14,67bcdefg 17,67bc
2 10,00fghi 15,33bcdef 11,67defghi
3 13,00bcdefghi 14,00bcdefghi 12,67cdefghi
40 1 8,67hi 15,67bcdef 16,00bcde
2 11,00efghi 18,67b 9,33ghi
3 14,67bcdefghi 14,00bcdefghi 15,33bcdef
50 1 8,33i 14,00bcdefghi 17,00bcd
2 18,00bc 11,33defghi 10,33efghi
3 14,33bcdefgh 12,33cdefghi 27,67a Keterangan: KK = 21,40%, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.
Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah jumlah tunas
disajikan pada Gambar 12.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 16,58
%.
Gambar 12. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 6 MSP.
4,56b
4,56b
5,22ab4,22b 4,67b
3,89b4,22b
5,56ab
6,78a
0
2
4
6
8
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Ju
mla
h t
un
as
24
Grafik pada Gambar 12 menunjukkan bahwa pada konsentrasi Gula
30 g L-1, adanya penambahan BAP tidak mempengaruhi secara nyata peubah
jumlah tunas, akan tetapi semakin bertambahnya konsentrasi Gula semakin
mempengaruhi jumlah tunas pada 6 MSP. Konsentrasi Gula 50 g L-1 dengan
penambahan BAP 3 mg L-1 memiliki nilai jumlah tunas tertinggi dibandingkan
interaksi Gula dan BAP lainnya. Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan
Kitosan terhadap peubah jumlah tunas disajikan pada Gambar 13.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 14,99
%.
Gambar 13. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 13 MSP.
Gambar 13 menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi Gula 30 g L-1,
adanya penambahan Kitosan tidak memberikan jumlah tunas yang berbeda.
Semakin meningkatnya konsentrasi Gula semakin mempengaruhi pengaruh
konsentrasi Kitosan yang ditambahkan. Adanya penambahan Kitosan cenderung
meningkatkan jumlah tunas. Perlakuan konsentrasi Gula 50 g L-1 dengan
penambahan 2 mg L-1 Kitosan memberikan hasil terbaik pada peubah jumlah tunas
yaitu sebesar 18,33. Grafik interaksi antara konsentrasi BAP dan Kitosan terhadap
peubah jumlah tunas disajikan pada Gambar 14.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, KK = 28,23 %.
Gambar 14. Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap jumlah tunas stevia in vitro pada 13 MSP.
11,89b 11,44b
13,56b14,67ab 16,11ab
12,56b14,00ab
13,56b
18,33a
0
5
10
15
20
30 40 50 Gula (g L-1)
0 mg L-1
Kitosan1 mg L-1
Kitosan2 mg L-1
Kitosan
9,89c
13,00bc14,00bc
14,78ab
15,11ab
13,44bc
16,89ab
10,44c
18,56a
0
5
10
15
20
1 2 3 BAP (mg L-1)
0 mg L-1
Kitosan
1 mg L-1
Kitosan
2 mg L-1
Kitosan
Ju
mla
h t
un
as
Ju
mla
h t
un
as
25
Gambar 14 menunjukkan bahwa pemberian Kitosan dan meningkatnya
konsentrasi BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas. Perlakuan tanpa
Kitosan menghasilkan jumlah tunas terendah pada konsentrasi 1 mg L-1 BAP.
Sedangkan pada konsentrasi 2 mg L-1 BAP, pemberian Kitosan 2 mg L-1
memberikan jumlah tunas terendah. Konsentrasi 3 mg L-1 BAP dan penambahan
2 mg L-1 Kitosan memberikan jumlah tunas tertinggi diantara semua perlakuan yaitu
sebesar 18,56 tunas.
Tabel 8. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah tunas
stevia in vitro
Perlakuan 4 MSPt 8 MSP 13 MSP
Kontrol 1,67 3,00 3,00
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 2,07b 6,19b+ 13,52+
40 2,52a 6,89a+ 13,70+
50 2,81a+ 7,22a+ 14,81+
BAP (mg L-1) (B)
1 2,48 6,70b+ 13,85ab+
2 2,37 6,11b+ 12,85b+
3 2,56 7,48a+ 15,33a+
Kitosan (mg L-1) (K)
0 2,22b 5,63b+ 12,30b+
1 2,85a+ 7,52a+ 14,44a+
2 2,33b 7,15a+ 15,29a+
Interaksi
GXB tn ** *
GXK tn ** **
BXK * ** **
GXBXK * ** **
KK DMRT (%) 14,34 17,05 21,40
KK t-Dunnet (%) 14,23 17,81 21,67 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, t :data diolah ditransformasi
ke (x + 0,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
Jumlah tunas yang terbentuk nyata dipengaruhi oleh pemberian Gula sampai
minggu ke-8, namun tidak nyata pada minggu ke-13. Peningkatan konsentrasi Gula
hingga 50 g L-1 dapat meningkatkan jumlah tunas. Adanya penambahan BAP
berpengaruh nyata pada peubah jumlah tunas dari minggu ke-8 hingga minggu ke
13. Peningkatan konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1 nyata meningkatkan jumlah
tunas. Penambahan Kitosan pada media perlakuan nyata mempengaruhi peubah
jumlah tunas. Peningkatan konsentrasi Kitosan hingga 2 mg L-1 cenderung
menurunkan jumlah tunas (Tabel 8). Penambahan Kitosan pada konsentrasi tinggi
26
dapat menghambat pertumbuhan planlet Mentha piperita. Penelitian menunjukkan
bahwa pemberian Kitosan pada konsentrasi 10 dan 20 mg L-1 pada Mentha piperita
menurunkan jumlah tunas per eksplan hingga 20% pada planlet berumur 8 minggu
setelah tanam (MST) (Azizi et al., 2012).
Apabila melihat pertumbuhan jumlah tunas pada media perlakuan
dibandingkan dengan kontrol, Tabel 8 menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi Gula meningkatkan jumlah tunas dibandingkan dengan kontrol pada
minggu ke-4 hingga minggu ke-13. Pemberian BAP tidak memberikan hasil yang
berbeda dengan kontrol pada 4 minggu setelah perlakuan (MSP), sedangkan pada
minggu ke-8 hingga minggu ke-13, pemberian BAP pada media perlakuan
meningkatkan jumlah tunas dibandingkan dengan kontrol. Penambahan Kitosan
meningkatkan jumlah tunas pada konsentrasi 1 mg L-1 dan tidak berbeda pada
penambahan konsentrasi Kitosan 2 mg L-1 dibandingkan dengan kontrol pada
minggu ke-4. Sedangkan pada minggu ke-8 hingga minggu ke-13, penambahan
Kitosan meningkatkan jumlah tunas dibandingkan dengan kontrol
Jumlah Buku
Jumlah buku menjadi peubah penting dalam proliferasi tanaman. Jumlah
buku yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan jumlah daun. Hal ini berkaitan
dengan kandungan steviosida pada tanaman stevia tertinggi pada bagian daun. Hasil
penelitian menunjukkan secara kuantitif kandungan steviosida dari ekstrak daun 1,2
lebih tinggi dibandingkan steviosida dari ekstrak batang (Kumari dan Chandra,
2015).
Tabel 9. Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah buku stevia in vitro pada
13 MSP
Konsentrasi
Gula
(g L-1)
Konsentrasi
BAP
(mg L-1)
Konsentrasi Kitosan (mg L-1)
0
1
2
30 1 17,00defghij 26,33abcd 30,00ab
2 21,00bcdefgh 23,33bcdef 13,00fghij
3 17,00defghij 10,67ij 15,00efghij
40 1 8,00ij 12,67ghij 8,33ij
2 9,67ij 23,33bcdef 13,00fghij
3 22,00bcdefg 21,33bcdefgh 23,67bcde
50 1 7,33j 16,00defghij 17,00defghij
2 18,00cdefghi 8,67ij 11,33hij
3 34,67a 24,67bcde 27,67abc
Keterangan: KK = 29,62%, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.
27
Jumlah buku nyata dipengaruhi oleh Gula, BAP, dan Kitosan (Tabel 9).
Interaksi antara Gula, BAP, dan Kitosan menunjukkan bahwa perlakuan Gula
50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan memberikan hasil terbaik pada peubah
jumlah buku yaitu sebesar 34,67 dibandingkan kombinasi perlakuan yang lainnya
pada 13 MSP. Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah
jumlah buku disajikan pada Gambar 15.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 17,55
%.
Gambar 15. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik pada Gambar 15 menunjukkan interaksi antara Gula dan BAP
memberikan hasil yang berbeda antar perlakuan. Peningkatan konsentrasi BAP
pada perlakuan Gula 30 g L-1 menurunkan jumlah buku, Sedangkan pada
konsentrasi Gula pada 40 g L-1 dan 50 g L-1, penambahan konsentrasi BAP
3 mg L-1 pada media meningkatkan jumlah buku dan menghasilkan jumlah buku
tertinggi. Interaksi antara konsentrasi BAP dan Kitosan terhadap peubah jumlah
buku disajikan pada Gambar 16.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, KK = 21,78 %.
Gambar 16. Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 13 MSP.
24,44ab
9,67d
13,44cd
19,11bc
15,33cd
12,67cd14,22cd
22,33b
29,00a
0
10
20
30
40
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
10,78b
16,22ab
24,56a
18,33ab
18,44ab
18,89ab
18,44ab
12,44b
22,11a
0
10
20
30
1 2 3 BAP (mg L-1)
0 mg L-1
Kitosan
1 mg L-1
Kitosan
2 mg L-1
Kitosan
Ju
mla
h b
uk
u
Ju
mla
h b
uk
u
28
Gambar 16 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa Kitosan, peningkatan
konsentrasi BAP meningkatkan jumlah buku. Sedangkan pada pemberian Kitosan
1 mg L-1, peningkatan konsentrasi BAP tidak memberikan jumlah buku berbeda
dan pada penambahan Kitosan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi BAP menurun
pada perlakuan BAP 2 mg L-1 serta meningkat pada konsentrasi BAP 3 mg L-1.
Jumlah buku nyata dipengaruhi oleh pemberian Gula pada minggu ke-8
sampai minggu ke-13 sedangkan peningkatan konsentrasi Gula tidak berbeda nyata
pada minggu ke-4. Peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 cenderung
meningkatkan jumah buku. Adanya penambahan BAP pada media nyata
mempengaruhi jumlah buku. Peningkatan konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1
meningkatkan jumlah buku. Pemberian Kitosan pada media tidak mempengaruhi
jumlah tunas (Tabel 10).
Tabel 10. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah buku
stevia in vitro
Perlakuan 4 MSPt 8 MSP 13 MSP
Kontrol 3,33 5,00 5,33
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 0,52- 5,81b 19,26a+
40 0,81- 6,13b 15,78b+
50 1,00- 7,52a+ 18,37ab+
BAP (mg L-1) (B)
1 0,74b- 4,74c 15,85b+
2 0,22c- 5,33b 15,70b+
3 1,37a- 9,41a+ 21,85a+
Kitosan (mg L-1) (K)
0 0,70- 6,52+ 17,19+
1 0,85- 6,22 18,56+
2 0,79- 6,74+ 17,67+
Interaksi
GXB ** ** **
GXK tn ** tn
BXK tn ** **
GXBXK tn ** tn
KK DMRT (%) 27,89 15,05 29,62
KK t-Dunnet (%) 26,64 15,26 29,84 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, t :data diolah ditransformasi
ke (x + 0,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Gula hingga
50 g L-1 nyata meningkatkan jumlah buku dibandingkan kontrol pada minggu ke-8
dan minggu ke-13. Penambahan BAP pada media perlakuan memberikan hasil yang
29
berbeda dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke-4 hingga minggu ke-13.
BAP nyata meningkatkan jumlah buku pada minggu ke-8 dan minggu ke-13.
Penambahan Kitosan pada media perlakuan nyata meningkatkan jumlah buku
dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke-8 dan minggu ke-13.
Jumlah Daun
Jumlah daun merupakan salah satu peubah penting dalam proliferasi
tanaman stevia karena kandungan metabolit steviosida tertinggi terdapat pada daun.
Jumlah daun nyata dipengaruhi oleh interaksi antara Gula, BAP, dengan Kitosan.
Tabel 11 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
Kitosan 2 mg L-1 memberikan hasil jumlah daun tertinggi.
Tabel 11. Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap jumlah daun stevia in vitro
pada 13 MSP
Konsentrasi
Gula
(g L-1)
Konsentrasi
BAP
(mg L-1)
Konsentrasi Kitosan (mg L-1)
0
1
2
30 1 28,00cdef 51,33ab 55,67a
2 45,33abcde 40,67abcdef 26,67def
3 23,67f 22,33f 25,00ef
40 1 24,00f 33,00bcdef 21,33f
2 21,33f 45,33abcde 26,00ef
3 38,00abcdef 39,33abcdef 47,67abc
50 1 20,00f 27,67cdef 34,00bcdef
2 35,33bcdef 23,00f 30,67cdef
3 52,00ab 47,00abcd 57,00a Keterangan: KK = 29,88 %, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %, MSP :
Minggu Setelah Perlakuan.
Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah jumlah
daun disajikan pada Gambar 17.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 15,44
%.
Gambar 17. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah daun stevia in vitro pada 9 MSP.
12,44b
7,89c
10,44bc11,78bc10,67bc
8,00bc8,22bc
24,67a 25,56a
0
10
20
30
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Ju
mla
h d
au
n
30
Grafik pada Gambar 17 menunjukkan bahwa interaksi antara Gula dan BAP
memberikan pengaruh berbeda pada jumlah daun, pada penambahan BAP
1 mg L-1 dan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 memberikan
jumlah daun yang tidak berbeda. Sedangkan pada pemberian BAP 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 meningkatkan jumlah daun dan
tertinggi pada perlakuan Gula 50 g L-1 dan BAP 3 mg L-1. Grafik interaksi antara
konsentrasi BAP dan Kitosan terhadap peubah jumlah daun disajikan pada Gambar
18.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 22,84
%.
Gambar 18. Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap jumlah buku stevia in vitro pada 9 MSP.
Grafik interaksi BAP dan Kitosan pada Gambar 18 menunjukkan bahwa
pada perlakuan tanpa Kitosan dan pemberian Kitosan 1 mg L-1, peningkatan
konsentrasi BAP meningkatkan jumlah daun. Sedangkan pada penambahan
2 mg L-1 Kitosan, pemberian 2 mg L-1 BAP menurunkan jumlah daun dan
meningkat pada pemberian 3 mg L-1 BAP.
Jumlah daun nyata dipengaruhi oleh konsentrasi Gula pada minggu ke-5
hingga minggu ke-9 dan tidak berbeda pada minggu ke-4 dan minggu ke-13.
Peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 meningkatkan jumlah daun pada
minggu ke-8. Adanya pemberian BAP pada media berpengaruh nyata terhadap
jumlah daun. Peningkatan konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1 meningkatkan jumlah
daun dan menghasilkan jumlah daun tertinggi pada minggu ke-4 hingga minggu ke-
13. Adanya pemberian Kitosan meningkatkan jumlah daun pada minggu ke-8.
Pemberian Kitosan hingga 2 mg L-1 nyata menigkatkan jumlah daun pada minggu
ke-8 (Tabel 12).
Peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 nyata meningkatkan jumlah
daun dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke-8 dan minggu ke-13. Pemberian
BAP memberikan hasil yang berbeda dengan kontrol pada minggu ke-4 hingga
minggu ke-13. Pemberian Kitosan pada media perlakuan nyata meningkatkan
jumlah daun dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke-13, sedangkan jumlah
daun tidak berbeda dengan kontrol pada minggu ke-8 (Tabel 12).
7,89c9,33c
19,67a
9,78c
12,11bc 17,44ab13,11bc
9,00c
21,33a
0
5
10
15
20
25
1 2 3 BAP (mg L-1)
0 mg L-1 Kitosan
1 mg L-1 Kitosan
2 mg L-1 Kitosan
Ju
mla
h d
au
n
31
Tabel 12. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah daun
per eksplan stevia in vitro
Perlakuan 4 MSPttt 8 MSP 13 MSP
Kontrol 5,00 10,00 10,00
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 0,63- 7,81c- 35,41+
40 1,74- 11,00b 32,89+
50 1,19- 12,29a+ 36,30+
BAP (mg L-1) (B)
1 1,00b- 7,33b- 32,78b+
2 0,41b- 7,74b- 32,70b+
3 2,15a- 16,04a+ 39,11a+
Kitosan (mg L-1) (K)
0 1,11- 9,44c 31,96+
1 1,15- 10,37b 36,63+
2 1,30- 11,15a 36,00+
Interaksi
GXB ** ** **
GXK tn ** tn
BXK tn ** *
GXBXK tn ** tn
KK DMRT (%) 27,48 12,61 29,88
KK t-Dunnet (%) 26,81 12,56 13,52
Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, ttt: data diolah ditransformasi
ke (x + 1,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
Jumlah Akar
Jumlah akar merupakan salah satu peubah penting pada planlet stevia.
Adanya akar pada tanaman in vitro menyebabkan unsur hara yang terdapat didalam
media lebih cepat diserap. Interaksi Gula, BAP, dengan Kitosan tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah akar. Interaksi antara Gula dengan Kitosan tidak
mempengaruhi secara nyata terhadap jumlah akar (Tabel 13).
Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah jumlah
akar disajikan pada Gambar 19.
32
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 19,43
%.
Gambar 19. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap jumlah akar stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik pada Gambar 19 menunjukkan bahwa pada konsentrasi BAP
1 mg L-1 dan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 tidak
memberikan hasil berbeda pada jumlah akar, sedangkan pada konsentrasi BAP
3 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 meningkatkan jumlah akar.
Grafik interaksi antara konsentrasi BAP dan Kitosan terhadap peubah jumlah akar
disajikan pada Gambar 20.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK =
26,99%.
Gambar 20. Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap jumlah akar stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik interaksi pada Gambar 20 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa
Kitosan, peningkatan konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1 meningkatkan jumlah akar.
Sedangkan pada pemberian Kitosan 1 mg L-1 dan 2 mg L-1, pemberian konsentrasi
BAP 2 mg L-1 menurunkan jumlah akar, dan peningkatan konsentrasi BAP hingga
3 mg L-1 meningkatkan jumlah akar.
Jumlah akar yang terbentuk nyata dipengaruhi oleh pemberian gula.
Peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1, meningkatkan jumlah akar.
Pemberian BAP pada media mempengaruhi secara nyata jumlah akar. Peningkatan
konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1 meningkatkan jumlah akar. Adanya penambahan
Kitosan pada media tidak mempengaruhi jumlah akar (Tabel 13). Tabel 13
menunjukkan bahwa eksplan yang ditanam pada media kontrol tidak memiliki akar,
sedangkan eksplan yang ditanam pada media perlakuan memiliki rata-rata skor 1-2
(Tabel 4). Tidak adanya akar pada eksplan yang ditanam pada media kontrol dapat
1,22c0,89cd
1,33c
0,22d
0,78cd 0,78cd0,22d
2,22b2,89a
0
2
4
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP2 mg L-1 BAP3 mg L-1 BAP
0,78bc 0,78bc
1,67ab1,44ab
0,78bc1,56ab
1,22ab
0,22c
2,11a
0
1
2
3
1 2 3 BAP (mg L-1)
0 mg L-1
Kitosan1 mg L-1
Kitosan2 mg L-1
Kitosan
Ju
mla
h a
kar
Ju
mla
h a
kar
33
disebabkan oleh tidak adanya auksin (IAA) pada media sehingga eksplan tidak
menginisiasi pembentukan akar. Pembentukan akar pada tanaman in vitro
dipengaruhi oleh fitohormon dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan seperti
auksin (IAA). Auksin pada tanaman disintesis dari indole atau triptofan yang
umumnya terdapat pada daun primordia, daun muda, dan benih yang sedang
berkembang. Auksin secara umum berfungsi dalam pembesaran sel, pembelahan
sel, inisiasi akar, dan menghambat pertumbuhan tunas samping. Auksin
merangsang pembentukan akar pada stek buku dan juga perkembangan cabang akar
serta diferensiasi akar pada tanaman in vitro (Davies, 2004).
Tabel 13. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah jumlah akar
per eksplan stevia in vitro pada 13 MSP
Perlakuan Akar (Skoring)t
Kontrol 0,00
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 0,56c
40 1,30b+
50 1,67a+
BAP (mg L-1) (B)
1 1,15b+
2 0,59c
3 1,78a+
Kitosan (mg L-1) (K)
0 1,07+
1 1,26+
2 1,19+
Interaksi
GXB **
GXK tn
BXK *
GXBXK tn
KK DMRT (%) 15,81
KK t-Dunnet (%) 15,73 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, t :data diolah ditransformasi
ke (x + 0,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman nyata dipengaruhi oleh interaksi antara Gula, BAP, dengan
Kitosan. Tabel 14 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan Gula 50 g L-1, BAP
3 mg L-1, dan Kitosan 2 mg L-1 memberikan tinggi tanaman tertinggi.
34
Tabel 14. Interaksi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap tinggi tanaman stevia in vitro
pada 13 MSP
Konsentrasi
Gula
(g L-1)
Konsentrasi
BAP
(mg L-1)
Konsentrasi Kitosan (mg L-1)
0
1
2
30 1 6,30defgh 6,40defgh 8,40bcde
2 4,08fghi 8,15bcdefg 4,41efghi
3 6,60cdefgh 3,01hi 4,43efghi
40 1 3,70hi 7,15cdefgh 3,09hi
2 6,12defghi 10,23abcd 3,31hi
3 7,10cdefgh 8,32bcdef 11,27ab
50 1 1,95i 5,12efghi 6,14defghi
2 5,37efghi 3,91ghi 5,17efghi
3 10,55abc 11,58ab 13,76a Keterangan: KK = 13,79 %, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %, data
diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2.
Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah tinggi tanaman
disajikan pada Gambar 21.
Keterangan : Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 19,20
%.
Gambar 21. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap tinggi tanaman stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik interaksi pada Gambar 21 menunjukkan bahwa pada konsentrasi
BAP 1 mg L-1 dan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula tidak memberikan hasil
berbeda pada peubah tinggi tanaman. Sedangkan pada konsentrasi BAP 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 meningkatkan tinggi tanaman. Grafik
interaksi antara konsentrasi BAP dan Kitosan terhadap peubah tinggi tanaman
stevia disajikan pada Gambar 22.
7,04bc
4,65c 4,41c
5,55c 6,55bc
4,82c4,68c
8,89b
11,96a
0
5
10
15
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Tin
ggi
(cm
)
35
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK =
22,21%.
Gambar 22. Interaksi antara konsentrasi BAP (mg L-1) dan konsentrasi Kitosan (mg L-1)
terhadap tinggi tanaman stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik interaksi pada Gambar 22 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa
Kitosan dan Kitosan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi BAP hingga 3 mg L-1
meningkatkan tinggi tanaman. Sedangkan pada konsentrasi Kitosan 1 mg L-1,
peningkatan konsentrasi BAP tidak memberikan hasil berbeda pada tinggi tanaman.
Tabel 15. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah tinggi
tanaman stevia in vitro pada 13 MSP
Perlakuan Tinggi+ (cm)
Kontrol 2,47
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 5,76+
40 6,70+
50 7,06+
BAP (mg L-1) (B)
1 5,36b
2 5,64b+
3 8,51a+
Kitosan (mg L-1) (K)
0 5,75+
1 7,10+
2 6,66+
Interaksi
GXB **
GXK *
BXK **
GXBXK *
KK DMRT (%) 14,92
KK t-Dunnet (%) 15,97 Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, + :data diolah ditransformasi
ke (x + 0,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
3,99d
5,19bcd8,08ab6,23bcd 7,43abc
7,64ab5,88bcd
4,30c
9,82a
0
10
20
1 2 3 BAP (mg L-1)
0 mg L-1
Kitosan1 mg L-1
Kitosan2 mg L-1
KitosanTin
ggi
(cm
)
36
Tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh pemberian Gula dan Kitosan. Adanya
BAP pada media mempengaruhi tinggi tanaman. Peningkatan konsentrasi BAP
hingga 3 mg L-1 meningkatkan tinggi tanaman (Tabel 15). BAP atau
6-Benzilaminopurin merupakan sitokinin sintetik yang secara umum memiliki
fungsi dalam pembelahan sel dan pembesaran sel dan organ. Semakin tinggi
penambahan sitokinin pada eksplan semakin menginisiasi pembelahan dan
pembesaran sel sehingga eksplan yang diberikan sitokinin 3 mg L-1 memiliki tinggi
tanaman tertinggi diantara perlakuan lainnya (Davies, 2004).
Apabila dibandingkan dengan kontrol pada Tabel 15, adanya peningkatan
konsentrasi Gula hingga 50 g L-1, meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan
dengan kontrol. Penambahan konsentrasi BAP 2 mg L-1 dan 3 mg L-1 meningkatkan
tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol. Pemberian Kitosan juga
meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol.
37
Gambar 23. Kultur planlet stevia umur 13 MSP. (Konsentrasi Gula G3 = 30 g L-1, G4 =
40 g L-1, G5 = 50 g L-1; konsentrasi BAP B1 = 1 mg L-1, B2 = 2 mg L-1, B3 =
3 mg L-1, dan konsentrasi Kitosan K0 = 0 mg L-1, K1 = 1 mg L-1, K2 =
2 mg L-1).
.Bobot Basah dan Bobot Kering
Peubah bobot basah dan bobot kering merupakan salah satu peubah penting
yang dapat menentukan tinggi atau rendahnya kandungan metabolit sekunder pada
stevia. Penelitian Azizi et al. (2012) menunjukkan bahwa penambahan Kitosan
20 mg L-1 pada media perlakuan dapat meningkatkan persentase bobot kering
Mentha piperita hingga 10,87%. Hasil yang berbeda ditunjukkan pada tanaman
stevia pada (Tabel 16). Bobot basah, bobot kering, dan kadar air tidak nyata
dipengaruhi oleh interaksi antara Gula, BAP, dengan Kitosan. Interaksi antara Gula
dengan Kitosan dan BAP dengan Kitosan tidak mempengaruhi secara nyata bobot
basah, bobot kering, dan kadar air. Grafik interaksi antara konsentrasi Gula dan
BAP terhadap peubah bobot basah planlet disajikan pada Gambar 24.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, KK = 26,67 %.
Gambar 24. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap bobot basah planlet stevia in vitro pada 13 MSP.
3,23a
2,27b
3,01a3,23a3,25a
2,83ab3,08a
1,05c 1,09c
0
1
2
3
4
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Bob
ot
Basa
h (
g)
38
Grafik pada Gambar 24 menunjukkan bahwa pada konsentrasi BAP
1 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 40 g L-1 menurunkan bobot basah,
tetapi pemberian Gula 50 g L-1 tidak berbeda dengan Gula 30 g L-1. Pada
konsentrasi BAP 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 tidak
memberikan bobot basah berbeda. Sedangkan pada konsentrasi BAP 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 40 g L-1 menurunkan bobot basah, namun
tidak berbeda dengan konsentrasi Gula 50 g L-1. Grafik interaksi antara konsentrasi
Gula dan BAP terhadap peubah bobot kering planlet disajikan pada Gambar 25.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK =
12,76 %.
Gambar 25. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap bobot kering planlet stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik pada Gambar 25 menunjukkan bahwa pada konsentrasi BAP
1 mg L-1 dan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 menghasilkan
bobot kering yang tidak berbeda. Sedangkan pada konsentrasi BAP 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 menurunkan bobot kering. Grafik
interaksi antara konsentrasi Gula dan BAP terhadap peubah kadar air planlet stevia
disajikan pada Gambar 26.
Keterangan: Angka - angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji DMRT taraf 5 %, data diolah ditransformasi ke (x + 0,5)1/2, KK = 6,30
%.
Gambar 26. Interaksi antara konsentrasi Gula (g L-1) dan konsentrasi BAP (mg L-1)
terhadap kadar air planlet stevia in vitro pada 13 MSP.
Grafik pada Gambar 26 menunjukkan bahwa pada konsentrasi BAP
1 mg L-1 dan 2 mg L-1, peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 menghasilkan
kadar air yang tidak berbeda. Sedangkan pada konsentrasi BAP 3 mg L-1,
peningkatan konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 menurunkan kadar air. Bobot basah,
bobot kering, dan kadar air nyata dipengaruhi oleh pemberian Gula. Peningkatan
1,40a
1,19a 1,29a1,39a
1,25a 1,38a
1,38a
0,20b 0,16b0
1
2
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP2 mg L-1 BAP3 mg L-1 BAP
0,430ab
0,53a
0,42ab0,44ab
0,39b
0,50ab0,45ab
0,18c 0,14c
0
0,5
1
30 40 50 Gula (g L-1)
1 mg L-1 BAP
2 mg L-1 BAP
3 mg L-1 BAP
Bob
ot
ker
ing (
g)
K
ad
ar
air
(x
100%
)
39
konsentrasi Gula hingga 50 g L-1 menurunkan bobot basah, bobot kering, dan kadar
air. Adanya pemberian BAP pada media berpengaruh sangat nyata terhadap bobot
basah, bobot kering, dan kadar air. Peningkatan pemberian BAP pada media hingga
3 mg L-1 menurunkan bobot basah, bobot kering, dan kadar air. Adanya pemberian
Kitosan pada media tidak mempengaruhi bobot basah dan bobot kering, namun
berpengaruh sangat nyata pada kadar air (Tabel 16).
Tabel 16 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi Gula hingga
50 g L-1 meningkatkan bobot basah, bobot kering, dan kadar air bila dibandingkan
dengan kontrol. Penambahan BAP hingga konsentrasi 2 mg L-1 pada media
perlakuan meningkatkan bobot basah, bobot kering, dan kadar air dibandingkan
dengan kontrol dan pada pemberian BAP 3 mg L-1 bobot kering dan kadar air tidak
berbeda dibandingkan kontrol. Adanya penambahan Kitosan meningkatkan bobot
basah, bobot kering, dan kadar air dibandingkan dengan kontrol. Kultur planlet
stevia umur 13 MSP yang sudah dikeringkan disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 16. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, Kitosan terhadap peubah bobot basah,
bobot kering, dan kadar air per eksplan stevia in vitro pada 13 MSP
Perlakuan Bobot
Basah (g)
Bobot
Keringt (g) Kadar Air
Kontrol 0,15 0,03 0,16
Konsentrasi Gula (g L-1) (G)
30 3,18a+ 1,39a+ 0,44a+
40 2,19b+ 0,88b+ 0,37b+
50 2,31b+ 0,94b+ 0,35b+
BAP (mg L-1) (B)
1 2,83a+ 1,29a+ 0,46a+
2 3,11a+ 1,34a+ 0,44a+
3 1,74b+ 0,58b 0,25b
Kitosan (mg L-1) (K)
0 2,42+ 1,04+ 0,40a+
1 2,79+ 1,00+ 0,33b+
2 2,48+ 1,18+ 0,43a+
Interaksi
GXB ** ** **
GXK tn tn tn
BXK tn tn tn
GXBXK tn tn tn
KK DMRT (%) 25,75 12,96 28,73
KK t-Dunnet 26,16 12,95 6,33
Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata, *: berpengaruh nyata pada taraf 5 %, **:
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %, t :data diolah ditransformasi
ke (x + 0,5)1/2, angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada perlakuan
dan peubah yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Angka
yang diikuti tanda (+) atau (-) menunjukkan berbeda nyata lebih besar atau
lebih kecil dibanding dengan kontrol berdasarkan uji t-Dunnet dengan taraf
5%.
40
Analisis Steviosida, Rebaudiosida A, dan Rebaudiosida C
Hasil analisis kandungan metabolit sekunder pada stevia menjadi indikator
terpenting dari semua peubah. Hasil analisis stevia yang ditanam pada media
kontrol menghasilkan kandungan metabolit sekunder yang cukup tinggi, tetapi
tidak lebih tinggi dibandingkan perlakuan 50 g L-1 Gula, 3 mg L-1 BAP, dan tanpa
Kitosan. Perlakuan tersebut menghasilkan kandungan steviosida dan rebaudiosida
A tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan 40 g L-1 Gula, 3
mg L-1 BAP, dan tanpa Kitosan menghasilkan kandungan rebaudiosida C tertinggi.
Tabel 17 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi Gula pada media perlakuan
juga meningkatkan kandungan steviosida dan rebaudiosida A, akan tetapi
cenderung menurun pada kandungan rebaudiosida C. Peningkatan konsentrasi Gula
pada media hingga 40 g L-1 meningkatkan kandungan rebaudiosida C dan menurun
apabila konsentrasi ditingkatkan hingga 50 g L-1. Hal ini didukung oleh penelitian
mengenai pengaruh sukrosa terhadap biosintesis steviol glikosida pada stevia yang
telah dilakukan pada tahun 2011 di India. Percobaan pada penelitian tersebut adalah
perlakuan konsentrasi sukrosa 10, 30, dan 50 g L-1. Hasil penelitian pada percobaan
tersebut menunjukkan bahwa tanaman yang ditanam pada media 10 dan 30 g L-1
sukrosa menghasilkan steviol glikosida yang hampir sama yaitu 165 ng mL-1
sedangkan pada tanaman yang diberikan perlakuan 50 g L-1 sukrosa menunjukkan
kandungan steviol glikosida tertinggi yaitu 750 ng mL-1. Peningkatan konsentrasi
sukrosa hingga 50 g L-1 juga meningkatkan pemicu transkripsi yang juga akan
meningkatkan kandungan steviol glikosida. Peningkatan penambahan konsentrasi
sukrosa pada media secara signifikan meningkatkan gen khusus dalam biosintesis
steviol glikosida (Guleria et al., 2011).
Tabel 17. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap kandungan
metabolit sekunder pada stevia in vitro
Perlakuan Steviosida
(%)
Rebaudiosida
A
(%)
Rebaudiosida
C
(%)
Gula
(g L-1)
BAP
(mg L-1)
Kitosan
(mg L-1)
Buffer
A
Buffer
B
Buffer
A
Buffer
B
Buffer
A
30 1 0 0,034 - 0,038 - 0,033
1 1 0,039 - 0,046 - 0,019
1 2 0,047 1,012 0,036 0,177 0,014
2 0 0,038 0,090 0,039 0 0,015
3 0 0,045 - 0,068 - 0,008
40 1 0 0,024 - 0,062 - 0,018
2 0 0,043 0,652 0,039 0,236 0,016
3 0 0,176 2,203 0,093 0,400 0,045
50 1 0 0,047 - 0,037 - 0,011
2 0 0,147 - 0,073 - 0,026
3 0 0,223 - 0,097 - 0,034
Kontrol 0,088 - 0,050 - 0,020 Keterangan: - : sampel tidak dianalisis
41
Peningkatan konsentrasi BAP meningkatkan kandungan steviosida,
rebaudiosida A, dan rebaudiosida C. Penambahan konsentrasi BAP cenderung
meningkatkan kandungan rebaudiosida A tetapi pada konsentrasi 2 mg L-1 BAP
kandungan rebaudiosida A dan C menurun. Peningkatan konsentrasi BAP
menyebabkan meningkatnya jumlah tunas, jumlah buku, dan jumlah daun.
Tingginya peubah-peubah tersebut berbanding lurus dengan kandungan metabolit
steviosida, rebaudiosida A, dan rebaudiosida C. Semakin tinggi jumlah tunas, buku,
dan daun pada stevia maka kandungan metabolit sekunder pun semakin tinggi.
Adanya penambahan Kitosan meningkatkan kandungan steviosida dan
rebaudiosida A. Penambahan Kitosan 1 mg L-1 dapat meningkatkan kandungan
rebaudiosida A sedangkan penambahan Kitosan 2 mg L-1 dapat menurunkan
kandungan rebaudiosida A. Adanya penambahan Kitosan menurunkan kandungan
rebaudiosida C. Kitosan mampu meningkatkan kandungan steviosida dan
rebaudiosida A. Kitosan merupakan bahan organik kedua terbanyak yang
dihasilkan setiap tahun oleh biosintesis (Alves dan Mano, 2008). Kitosan
mengandung gugus amino primer pada rantai utama. Kitosan adalah polimer dari
2-amino-2 Deoksi-D-glukosa. Kitosan mempunyai kandungan nitrogen lebih dari
7% (Mahatmanti et al., 2010). Adanya gugus amino dan glukosa dapat berguna bagi
enzim-enzim pada biosintesis steviol glikosida. Steviol glikosida pada stevia
disintesis dari kaurene melalui lintasan mevalonate. Lintasan biosintesis steviol
glikosida memiliki 16 tahap yang dikatalisasi oleh enzim-enzim yang berbeda.
Tujuh tahap pertama adalah sintesis isopentenyl difosfat (IPP) dan difosfat
dimethylallyl (DMAPP) bersama lintasan MEP yang disebut biosintesis isoprenoid.
Kemudian 4 tahap biosintesis selanjutnya melibatkan sintesis asam kaurenoic dari
geranylgeranyl difosfat (GGDP) yang memiliki kemiripan dengan lintasan
biosintesis giberelin. Lima tahap terakhir merupakan lintasan biosintesis spesifik
steviol glikosida. Kelima tahap dikatalisasi oleh KAH (kaurenoic acid-13-
hydroxylase) dan 4 UGT (UDP-glycosyltransferases) yang diketahui sebagai
UGT85C2, UGT74G1, UGT76G1, dan satu UGT belum diketahui. Gen-gen pada
tanaman menyandikan enzim-enzim penting dalam lintasan biosintesis steviol
glikosida (Brandle dan Telmer, 2007; Yadav dan Guleria, 2012; Guleria et al.,
2011).
Perbedaan penggunaan column dan pelarut untuk analisis steviosida dan
rebaudiosida memberikan hasil analisis yang berbeda (Tabel 17). Hasil pada Tabel
17 menunjukkan bahwa sampel yang dianalisis dengan menggunakan buffer B
memberikan hasil lebih tinggi hingga sepuluh kali lipat dibandingkan dengan
menggunakan buffer A. Perbedaan penggunaan column juga menyebabkan
perbedaan pada retention time. Retention time adalah waktu yang diperlukan oleh
sebuah molekul senyawa yang dianalisis untuk melintasi column sepanjang x.
Retention time untuk steviosida pada column vertex berkisar pada menit ke 12,067-
12,217 dan retention time rebaudiosida A berkisar pada menit 10,883-11,200.
Sedangkan retention time untuk steviosida pada column zorbax berkisar pada menit
ke 6,460-6,584 dan retention time rebaudiosida A berkisar pada menit ke 6,075-
6,226 (Lampiran 19-21). Adanya Trifluoroacetic acid (TFA) pada buffer B pada
tingkat 0,01% dapat meningkatkan resolusi accesulfame, sakarin, kafein, aspartam,
neotame, asam benzoat, asam sorbic, asam dehydroacetic dan steviosida secara
bersamaan. TFA pada tingkat yang sesuai dapat meningkatkan bentuk puncak
42
menjadi lebih tajam sehingga adanya TFA dapat meningkatkan efisiensi analisis
(Martono et al., 2016).
Tabel 18. Produksi metabolit total per eskplan berdasarkan bobot kering pada stevia
umur 13 MSP
Perlakuan
Bobot
Basah
(g)
Bobot
Kering
(g)
Metabolit
Sekunder Total
(%)
Produksi
Metabolit Total
(%) Gula BAP Kitosan
(g L-1) (mg
L-1)
(mg
L-1)
Buffer
A
Buffer
B
Buffer
A
Buffer
B
30 1 0 3,18 1,58 0,07 - 0,11 -
1 1 3,69 1,25 0,09 - 0,11 -
1 2 2,82 1,37 0,08 1,19 0,07 1,63
2 0 2,95 1,40 0,08 0,09 0,11 0,13
3 0 3,28 1,32 0,11 - 0,15 -
40 1 0 1,61 0,95 0,09 - 0,09 -
2 0 3,01 1,07 0,08 0,89 0,09 0,95
3 0 0,73 0,13 0,27 2,60 0,04 0,34
50 1 0 2,82 1,20 0,08 - 0,10 -
2 0 3,15 1,49 0,22 - 0,33 -
3 0 1,00 0,17 0,32 - 0,05 -
Kontrol 0,15 0,05 0,14 - 0,01 - Keterangan: Metabolit sekunder total: (Steviosida + Rebaudiosida A) dan produksi
metabolit total : (Bobot kering per eksplan x metabolit sekunder total), - :
sampel tidak dianalisis
Tabel 18 memperlihatkan pengaruh bobot basah dan bobot kering terhadap
kandungan metabolit stevia. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan
metabolit total tertinggi didapatkan pada perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1,
dan tanpa Kitosan yaitu 0,32% pada buffer A sedangkan pada buffer B didapatkan
pada perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 2,60% dengan
biomassa terendah tetapi menghasilkan metabolit total tertinggi. Tingginya bobot
basah dan bobot kering menurunkan kandungan metabolit sekunder stevia. Bobot
basah dan bobot kering yang tinggi disebabkan adanya kalus pada bagian bawah
planlet. Kalus merupakan sel yang mengalami dediferensiasi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bondarev et al. (2001) pada kultur stevia yang berumur 5 minggu
adalah kandungan metabolit tertinggi terdapat pada organ daun yaitu 3300 μg g-1
(0,0000033%) steviosida, 1900 μg g-1 (0,0000019%) rebaudiosida A, dan 700 μg g-
1 (0,0000007%) rebaudiosida C. Kandungan metabolit pada organ batang lebih
rendah apabila dibandingkan dengan organ daun yaitu 800 μg g-1 (0,0000008%)
steviosida, 600 μg g-1 (0,0000006%) rebaudiosida A, dan 100 μg g-1 (0,0000001%)
rebaudiosida C. Sedangkan kandungan metabolit pada kalus stevia tidak diketahui
yaitu 0 μg g-1 (0%) dan kandungan metabolit pada suspensi sel sangat kecil yaitu
15 μg g-1 bobot kering steviosida (0,000000015%), sangat sedikit rebaudiosida A,
dan 0 μg g-1 (0%) rebaudiosida C. Dari penelitian ini diketahui bahwa pembentukan
senyawa metabolit sekunder pada stevia terjadi pada sel yang telah terdiferensiasi
lanjut dan memiliki kloroplas yang sudah berkembang baik dengan grana dan
tilakoid. Sedangkan pada kalus stevia yang berasal dari eksplan daun mengalami
43
dediferensiasi sehingga semua kloroplas bereorganisasi menjadi proplastid. Sel
somatik yang terdediferensiasi biasanya hanya dapat mensintesis steviol glikosida
dalam jumlah sedikit karena kloroplas yang belum berkembang dengan baik.
KESIMPULAN
Peubah jumlah tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan tinggi tanaman nyata
dipengaruhi oleh interaksi Gula, BAP, dan Kitosan. Perlakuan konsentrasi Gula
50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan Kitosan 2 mg L-1 menghasilkan pertumbuhan eksplan
terbaik berdasarkan pada peubah jumlah tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan
tinggi tanaman. Hasil analisis kandungan metabolit pada stevia berbanding lurus
dengan daya proliferasi tunas. Semakin tinggi daya proliferasi stevia maka
kandungan metabolitnya juga akan tinggi.
Adanya penambahan Gula, BAP, dan Kitosan nyata mempengaruhi daya
proliferasi berdasarkan peubah jumlah tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan tinggi
tanaman dan juga meningkatkan kandungan steviosida dan rebaudiosida.
Kandungan steviosida dan rebaudiosida A tertinggi diperoleh dari perlakuan
Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan dengan HPLC buffer A yaitu
2,232 mg g-1 (0,223%) untuk steviosida dan 0,965 mg g-1 (0,097%) untuk
rebaudiosida A, dan rebaudiosida C tertinggi didapatkan pada perlakuan Gula 40 g
L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 0,453 mg g-1 (0,045%) sedangkan pada
buffer B, perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan memberikan
hasil tertinggi yaitu 22,030 mg g-1 (2,203 %) untuk steviosida dan 4,000 mg g-1
(0,4 %) untuk rebaudiosida A.
Tingginya bobot basah dan bobot kering disertai kalus akan menurunkan
kandungan metabolit sekunder stevia. Perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1, dan
tanpa Kitosan pada buffer A menghasilkan kandungan metabolit sekunder total
tertinggi yaitu 0,32% sedangkan pada buffer B didapatkan pada perlakuan Gula 40
g L-1, BAP 3 mg L-1, dan tanpa Kitosan yaitu 2,60% dengan biomassa terendah
tetapi menghasilkan metabolit total tertinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kandungan metabolit yang dianalisis dengan HPLC menggunakan column vertex,
Eurospher 100-5 C18 (250 x 4,6 mm) dan pelarut H2O/MetOH (90:10 pH =3) :
acetonitrile (65:35) : TFA 0,01% (buffer B) memberikan hasil analisis hingga
sepuluh kali lebih tinggi untuk steviosida dan rebaudiosida A dibandingkan dengan
hasil analisis dengan menggunakan column zorbax SB-C18 1,8 μm (100 x 4,6 mm)
dan pelarut buffer phosphat 1,4 mM pH 3 : acetonitrile (70:30) (buffer A).
44
DAFTAR PUSTAKA
Adari B.R., Alavala S., George S.A., Meshram H.M., Tiwari A.K. and Sarma
A.V.S. 2016. Synthesis of rebaudioside-A by enzymatic transglycosylation
of stevioside present in the leaves of Stevia rebaudiana Bertoni. Food
Chemistry Journal. 200: 154–158.
[AGI] Asosiasi Gula Indonesia. 2014. Kebutuhan Konsumsi Gula 2,9 Juta Ton Per
Tahun. http://asosiasigulaindonesia.org/. [08 Maret 2015].
[AGI] Asosiasi Gula Indonesia. 2016. Produksi Gula Tahun 2016 Sebanyak 2,3 Juta
Ton http://asosiasigulaindonesia.org/ [2 November 2016].
Ahmed B., Hossain M., Islam R., Saha A.K. and Mandal A. 2011. A review on
natural sweetener plant – stevia having medicinal and commercial
importance. Agronomski glasnik 1-2 : 75-92.
Ahmed M.S., Dobberstein R.H. and Farnsworth N.R. 1980. Use of p-
bromophenacyl bromide to enhance ultraviolet detection ofwater-soluble
organic acids (Stevioside and Rebaudioside-B) High performance liquid
chromatography analysis. J. Chromatogra.192: 387–393.
Akin-Idowu, P.E., Ibitoye D.O. and Ademoyegun O.E. 2009. Tissue culture as a
plant production technique for horticulture crops. Afr. J. Biotechnol. 8(16) :
3782-3788.
Alves N.M. and Mano J.F. 2008. Chitosan derivatives obtained by chemical
modifications for biomedical and environmental applications. International
Journal of Biological Macromolecules. 43: 401–414.
Aman N., Hadi F., Fazal S. A., Khalil R., Zamir and Ahmad N. 2013. Efficient
regeneration for enhanced steviol glycosides production in Stevia
rebaudiana (Bertoni). C. R. Biologies. 336 : 486–492.
Azizi A.A.A., Purwito A. dan Wiendi N.M.A. 2012. Induksi proliferasi tunas in
vitro Mentha piperita melalui penambahan BAP dan chitosan hal. 317-322.
Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-
PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang
Berkelanjutan; Bogor, 1-2 Mei 2012.
[BB BIOGEN] Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian. 2012. Regenerasi tanaman secara in vitro dan faktor-faktor yang
mempengaruhi. http://biogen.litbang.pertanian.go.id/. [26 Juni 2015].
Bondarev N., Reshetnyak O. and Nosov A. 2001. Peculiarities of diterpenoid
steviol glycoside production in in vitro cultures of Stevia rebaudiana
Bertoni. J. Plant Sci. 161 :155– 163.
Brandle J.E., Starratt A.N. and Gijzen M. 1998. Stevia rebaudiana: its agricultural,
biological, and chemical properties. Can. J. Plant Sci. 79:527-536.
Brandle J.E. and Telmer P.G. 2007. Steviol glycoside biosynthesis. Phytochemistry.
68: 1855-1863.
Crammer B. and Ikan R. 1986. Sweet glycosides from the stevia plant. Chem Br.
22(10): 915-917
Cronquist A. 1981. Integrated System of Classification of Flowering Plants.
Columbia Univ. Press, USA.
Davies P.J. 2004. Plant Hormones Biosynthesis, Signal Transduction, Action. Publ.
Kluwe Academic Publishers, USA.
45
Geuns J.M.C. 2003. Molecules of interest: stevioside. J. Phytochem. 64:913-921.
Gomez K.A. dan Gomez, A.A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian.
UI press, Jakarta.
Guleria P., Kumar V. and Yadav S.K. 2011. Effect of sucrose on steviol glycoside
biosynthesis pathway in Stevia rebaudiana. Asian Journal of Plant Sciences.
10: 401-407.
[IDF] International Diabetes Federation. 2015. Diabetes Facts and Figures.
http://www.idf.org/about-diabetes/facts-figures [2 November 2016].
Kennelly E.J. 2002. Sweet and nonsweet contents of Stevia rebaudiana Bertoni. In.
Kinghorn, AD (Ed.), Stevia, The genus Stevia. Med. Aromat. Plants
Ind. Profiles. 19: 68-85.
Kinghorn A.D. and Soejarto, D. D. 1985. Current status of stevioside as a
sweetening agent for human use. Pages 1–52 in H.Wagner, H. Hikino, and
N. R. Farnsworth, eds. Economic and medicinal plant research. Academic
Press Inc., London, UK.
Kumari M. and Chandra S. 2015. Phytochemical studies and estimation of major
steviol glycocides in varied parts of Stevia rebaudiana. In J. Pharm Pharm
Sci. 7(7) : 62-65.
Laribi B., Rouatbi N., Kouki K. and Bettaieb T. 2012. In vitro propagation of Stevia
rebaudiana (Bert.) – A non caloric antidiabetic medicinal plant.
International Journal of Medicinal and Aromatic Plants. 2(2) : 333-339.
Lestari E.G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan. J. Agrobiogen. 7(1):63-68.
Mahatmanti F.W., Sugiyo W. dan Sunarno W. 2010. Sintesis kitosan dan
pemanfaatannya sebagai anti mikrobia ikan segar. J. Sainteknol. 8(2) : 101-
111.
Martono Y., Riyanto S., Rohman A. and Martono S. 2016. Effect of mobile phase
composition, organic modifier and flow rate on selectivity and retention of
stevioside and rebaudioside A on isocratic RP-HPLC analysis. International
J. of Pharm and Clinical Research. 8(5) : 397-402.
Mathur S. and Shekhawat G.S. 2013. Establishment and characterization of Stevia
rebaudiana (Bertoni) cell suspension culture: an in vitro approach for
production of stevioside. Acta Physiol Plant. 35:931–939.
Mohede J. and Son R.T.M.V. 1999. Stevia rebaudiana (Bertoni) Bertoni [Internet]
Record from Proseabase. de Guzman, C.C. and Siemonsma, J.S. (Editors).
PROSEA (Plant Resources of South-East Asia)
Foundation. http://www.proseanet.org. [15 Maret 2015].
Nasir M. 2002. Bioteknologi Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nisak K., Nurhidayati T. dan Purwani K.I. 2012. Pengaruh kombinasi ZPT NAA
dan BAP pada kultur jaringan tembakau Nicotiana tabacum var. Prancak 95.
J. Sains dan Seni Pomits. 1(1) : 1-6.
Nowak B.K., Miczynski K. and Hudy L. 2004. Sugar uptake and utilization
during adventitious bud differentiation on in vitro leaf explant of
wegierka zwykla plum (Prunus domestica). Plant cell Tissue Org.Cult.
76: 255-260.
46
[PPBBI] Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia. 2009. Stevia.
https://www.iribb.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1
31&Itemid=51[26 Desember 2016].
Rathore S., Singh N. and Singh S.K. 2013. Role of sucrose and season on rapid in
vitro regeneration for two stevia genotipes. G.J.B.B. 2 (2): 150-153.
Rodenburg D.L., Alves K., Perera W.H., Ramsaroop T., Carvalho R. and
McChesney J.D. 2016. Development of HPLC analytical techniques for
diterpene glycosides from Stevia rebaudiana(Bertoni) Bertoni: strategies to
scale-up. J. Braz. Chem. Soc. 27(8): 1406-1412.
Rukmana R. 2003. Budi Daya Stevia. Kanisius, Yogyakarta.
Shivanna N., Naika M., Khanum F. and Kaul V. K. 2013. Antioxidant, anti-diabetic,
and renal protective properties of Stevia rebaudiana. Journal of Diabetes
and Its Complications. 27 : 103-113.
Shock C.C. 1982. Experimental cultivation of rebaudi’s stevia in California. Agron.
Prog. Rep. 122 :1-9.
Smith R. H. 2013. Plant Tissue Culture: Techniques and Experiments Third Edition.
Elvesier Inc., Publ. elvesierdirect.com, USA.
Sonia T.A. and Sharma C.P. 2011. Chitosan and its derivatives for drug delivery
perspective. Adv. Polym Sci. 243:23-54.
Sumaryono dan Sinta M.M. 2016. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Stevia.
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia.
Supriyadi, Siswandono and Yuwono M. 2016. Method development and validation
for the simultaneous determination of stevioside, rebaudioside-A,
rebaudioside C and dulcoside A contained in Stevia rebaudiana bertoni
using HPLC-ELSD. Int J Pharm Pharm Sci. 8(9): 1-5.
Siddique A.B., Rahman S.M.M. and Hossain M.A. 2012. Chemical composition
of essential oil by different extraction methods and fatty acid analysis of
the leaves of Stevia rebaudiana Bertoni. Arabian J of Chem. 9: 1185–
1189.
Trigiano R.N. and Gray D.J. 2010. Plant Tissue Culture, Development, and
Biotechnology. Taylor & Francis Inc. Publ. CRC Press, USA.
Wattimena G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wollaston V.B. 2007. Senescence in plants. Encyclopedia of life science. John
Wiley & Sons, Ltd. www.els.net, UK.
Yadav S.K. and Guleria P. 2012. Steviol glycosides from Stevia: biosynthesis
pathway review and their application in foods and medicine. Critical
Reviews in Food Science and Nutrition. 52:988–998.
Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
47
LAMPIRAN
48
49
Lampiran 1. Komposisi media Murashige and Skoog yang telah dimodifikasi
(1962)
Stok Bahan
Konsentrasi
larutan
(g L-1)
Volume larutan
stok/liter
media (ml)
Konsentrasi
dalam media
(mg L-1)
A NH4NO3 82,500 20 1,650
B KNO3 95,000 20 1.900,000
C H3BO3 1,240
5
6,200
KH2PO4 34,000 170,000
Na2MoO42H2O 0,050 0,250
KI 0,166 0,830
CoCl26H2O 0,005 0,025
D CaCl24H2O4 88,000 5 440,000
E MgSO47H2O 74,000
5
370,000
ZnSO47H2O 1,720 8,600
CuSO45H2O 0,005 0,025
MnSO44H2O 4,460 22,300
F
Na2EDTA
2H2O 3,730 10 37,300
FeSO47H2O 2,780 27,800
Vitamin Thiamin 0,010
10
0,100
Niacin 0,050 0,500
Pyridoxin 0,050 0,500
Glycine 0,200 2,000
Myo Myo Inositol 10,000 10 100,000
50
Lampiran 2. Kultur planlet stevia umur 13 MSP setelah dikeringkan dengan oven
pada suhu 50 ºC selama 24 jam (konsentrasi Gula G3 = 30 g L-1, G4
= 40 g L-1, G5 = 50 g L-1; konsentrasi BAP B1 = 1 mg L-1, B2 =
2 mg L-1, B3 = 3 mg L-1, dan konsentrasi Kitosan K0 = 0 mg L-1, K1
= 1 mg L-1, K2 = 2 mg L-1).
51
Lampiran 3. Kurva kromatografi sampel perlakuan kontrol dengan HPLC (buffer
A)
Lampiran 4. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
52
Lampiran 5. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 1 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 6. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 2 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 7. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 2 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
53
Lampiran 8. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 3 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 9. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 10. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 2 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
54
Lampiran 11. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 12. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 13. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 2 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
55
Lampiran 14. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 50 g L-1, BAP 3 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer A)
Lampiran 15. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 1 mg L-1,
dan Kitosan 2 mg L-1 dengan HPLC (buffer B)
Lampiran 16. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 30 g L-1, BAP 2 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B)
56
Lampiran 17. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 2 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B)
Lampiran 18. Kurva kromatografi sampel perlakuan Gula 40 g L-1, BAP 3 mg L-1,
dan Kitosan 0 mg L-1 dengan HPLC (buffer B)
Lampiran 19. Retention time dan area pada sampel analisis untuk steviosida
Steviosida Buffer A
Perlakuan Retention time
(menit) Area
Gula (g L-1) BAP (mg L-1) Kitosan (mg L-1)
30 1 0 6,52 861077
1 1 6,518 973185
1 2 6,509 1179440
2 0 6,483 965834
3 0 6,46 1173256
40 1 0 6,496 602149
2 0 6,48 1095183
3 0 6,578 2261806
50 1 0 6,584 1185431
2 0 6,517 3810598
3 0 6,54 5775467
Kontrol 6,557 2269952
57
Steviosida Buffer B
Perlakuan Retention time
(menit) Area
Gula (g L-1) BAP (mg L-1) Kitosan (mg L-1)
30 1 0 12,067 32846 2 0 12,167 6554
40 2 0 12,2 25338 3 0 12,217 78286
Lampiran 20. Retention time dan area pada sampel analisis untuk rebaudiosida A
Rebaudiosida A Buffer A
Perlakuan Retention time
(menit) Area
Gula (g L-1) BAP (mg L-1) Kitosan (mg L-1)
30 1 0 6,075 822717
1 1 6,121 997523
1 2 6,128 784055
2 0 6,109 849288
3 0 6,144 1536310
40 1 0 6,076 1359538
2 0 6,138 862624
3 0 6,226 1016324
50 1 0 6,081 806773
2 0 6,152 1619082
3 0 6,154 2122940
Kontrol 6,21 1100381
Rebaudiosida A Buffer B
Perlakuan Retention time
(menit) Area
Gula (g L-1) BAP (mg L-1) Kitosan (mg L-1)
30 1 0 11,05 4107 2 0 10,883 8862
40 2 0 11,183 5824 3 0 11,2 24267
58
Lampiran 21. Retention time dan area pada sampel analisis untuk rebaudiosida C
Rebaudiosida C Buffer A
Perlakuan Retention time
(menit) Area Gula
(g L-1)
BAP
(mg L-1)
Kitosan
(mg L-1)
30 1 0 7,727 771457
1 1 7,681 439542
1 2 8,361 317809
2 0 8,428 328752
3 0 8,48 178326
40 1 0 8,425 397362
2 0 8,432 377854
3 0 8,491 523895
50 1 0 8,473 245473
2 0 8,367 606567
3 0 8,367 780438
Kontrol 8,468 460326
Lampiran 22. Pengaruh konsentrasi Gula, BAP, dan Kitosan terhadap kandungan
metabolit sekunder pada stevia in vitro
Perlakuan Steviosida
(mg g-1)
Rebaudiosida
A
(mg g-1)
Rebaudiosida
C
(mg g-1)
Gula
(g L-1)
BAP
(mg L-1)
Kitosan
(mg L-1)
Buffer
A
Buffer
B
Buffer
A
Buffer
B
Buffer
A
30 1 0 0,344 - 0,379 - 0,332
1 1 0,385 - 0,456 - 0,191
1 2 0,468 10,12 0,363 1,77 0,142
2 0 0,381 0,90 0,388 0 0,145
3 0 0,449 - 0,679 - 0,079
40 1 0 0,244 - 0,624 - 0,175
2 0 0,429 6,52 0,393 2,36 0,164
3 0 1,756 22,03 0,926 4,00 0,453
50 1 0 0,469 - 0,372 - 0,111
2 0 1,466 - 0,732 - 0,260
3 0 2,232 - 0,965 - 0,335
Kontrol 0,884 - 0,503 - 0,200
59
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu pada tanggal 20 November 1993 dari
almarhum Bapak Nasri Koto dan Ibu Daimani. Penulis anak ke lima dari lima
bersaudara. Penulis adalah lulusan dari SMA Negeri 1 Sindang Indramayu tahun
2011 dan lulus di Program Studi Agronomi dan Hortikultura Institut Petanian Bogor
melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri tertulis tahun 2012.
Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis aktif mengikuti organisasi
sebagai Sekretaris Himpunan Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura (Himagron)
IPB periode 2013/2014 dan sebagai staf divisi komunikasi dan informasi Rohis
Kurma AGH pada tahun 2013. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan acara
kampus baik di tingkat Departemen AGH, nasional, maupun internasional seperti
Agrosportment V sebagai staf divisi acara, Masa Perkenalan Departemen 50
sebagai staf divisi humas, Musyawarah Nasional Ikatan Mahasiswa Muslim
Pertanian Indonesia 2014 sebagai staf divisi konsumsi, Festival Bunga dan Buah
Nusantara 2014 dan 2015 sebagai staf divisi ekspo dan bursa, dan Agria Youth
Program 2015 sebagai sekretaris. Adapun prestasi akademik yang pernah diraih
yaitu menjadi delegasi IPB pada 2015 Asia Pacific Undergraduate Student Project
Competition di National Pingtung University of Science and Technology, Pingtung,
Taiwan dan meraih Best Oral Presentation Award serta juara ketiga pada event
tersebut yang diikuti oleh peserta dari Indonesia, Taiwan, Thailand, dan Vietnam.
Penulis mengikuti seleksi menjadi volunteer dan mendapatkan Best of Solution for
Nation Essay Pemuda Mendunia pada event Pemuda Mendunia Chapter Malaysia
pada tahun 2017. Penulis juga menjadi asisten praktikum Dasar Bioteknologi
Tanaman strata sarjana pada tahun ajaran 2015/2016 dan tahun ajaran 2016/2017,
asisten praktikum Bioteknologi Tanaman strata pascasarjana pada tahun ajaran
2015/2016, dan asisten praktikum Pembiakan Tanaman strata sarjana pada tahun
ajaran 2015/2016.