Upload
arifa-zuchrotunnisa
View
295
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
Produksi Vanillin oleh Bakteri dari Limbah Pertanian
A. Pendahuluan
Senyawa flavor (aroma dan cita rasa) turut menentukan perkembangan dan
kesuksesan industri makanan dan minuman. Senyawa tersebut menentukan sifat
organoleptik yang merupakan salah satu atribut kualitas makanan/minuman dan pada
akhirnya menentukan minat beli konsumen. Oleh karena itu, penggunaan senyawa flavor
pada produk makanan dan minuman merupakan hal yang penting. Sampai sekarang
dilaporkan sedikitnya 7.000 senyawa flavor ditemukan di dalam 400 jenis bahan pangan
(Jenks dan Bebeli, 2011).
Vanillin merupakan salah satu senyawa flavor paling mahal yang telah digunakan
secara luas pada industri-industri makanan dan minuman didunia. Menurut survey
perkembangan produk baru (New Products Development Survey) yang dipublikasikan oleh
Zegler (2012), penggunaan flavor vanillin menduduki 10 besar dan selalu terjadi
peningkatan permintaan setiap tahunnya. Secara umum terdapat dua jenis vanillin yang
diperdagangkan yaitu vanillin sintetik dan vanillin alami (biovanillin).
Vanillin sintetik merupakan vanillin yang terbuat dari senyawa-senyawa seperti
safrole, eugenol, isoeugenol, guaiakol dan lignin yang direaksikan secara kimia (Budoo,
2003; Brazinha dkk, 2011). Proses produksinya sangat murah dan mudah. Sekitar 85 % dari
total produk vanillin di pasaran merupakan vanillin sintetik. Akan tetapi dalam dekade
belakangan ini, berapa penelitian mengungkapkan efek negatif senyawa sintetis terhadap
tubuh seperti mutagenitas dan karsinogenitas serta hadirnya limbah dari proses kimia yang
berbahaya bagi lingkungan menyebabkan makin meningkatnya minat konsumen terhadap
produk biovanillin (Teixeira dkk, 2004)
Produksi biovanillin dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mengekstraknya
dari tanaman panili dan sintesis senyawa yang didasarkan pada biosintesis atau biokonversi
oleh mikroorganisme (Vandamme dan Sutaert, 2002; Aguedo dkk, 2004). Jalur alternatif
yang kedua akhir-akhir ini terutama lebih marak diteliti dan dilakukan optimalisasi
produksi. Actinomycetes, jamur, dan bakteri merupakan mikroorganisme yang mampu
1
memproduksi vanillin. Penggunaan jamur dan Actinomycetes pada proses fermentasi
kurang disukai karena pertumbuhan filamennya menyebabkan kultur menjadi sangat kental,
fragmentasi yang tidak terkontrol, lisisnya miselium akan menyulitkan dalam proses
produksi, tidak menguntungkan dalam pembentukan pelet, mengurangi produktivitas dan
meningkatkan biaya pengolahan pada tahap terakhir (Bushell, 1988). Bakteri dipilih
sebagai mikroorganisme yang digunakan dalam produksi biovanillin karena
pertumbuhannya yang relatif lebih cepat dibandingkan jamur serta fleksibilitas yang tinggi
pada saat proses produksi.
Untuk mengoptimalkan produksi biovanillin hal yang harus dilakukan yaitu
melakukan pemilihan substrat yang tepat dan murah. Dalam biosintesis vanillin dibutuhkan
prekusor utama diantaranya seperti asam ferulat, eugenol dan isoeugenol (Brazinha dkk,
2011). Asam ferulat merupakan prekusor yang paling banyak dipilih dan digunakan pada
pembuatan biovanillin sebab ditemukan banyak di alam sebagai salah satu senyawa
penyusun dinding sel tanaman. Kemelimpahan asam ferulat yang cukup tinggi pada
limbah-limbah pertanian menjadi alasan utama pemanfaatan limbah pertanian untuk
produksi biovanillin. Selain itu, limbah pertanian secara ekonomis murah dan tersedia
melimpah. Berdasarkan data dari Zhang, dkk (2008) total biomassa limbah pertanian tiap
tahun didunia diperkirakan sekitar 4 x 109 ton. Limbah tersebut terdiri atas limbah padat
seperti kulit sekam, batang tanaman, ampas serta residu air.
B. Vanillin
1. Sifat dan penggunaan vanillin
Vanillin (4-hydroxy-3-methoxybenzaldehyde) adalah aldehida fenolik,
sebuah senyawa organik dengan rumus molekul C8H8O3. Gugus fungsionalnya meliputi
aldehida , eter , dan fenol (Longo dan Sanroman, 2006). Senyawa ini merupakan komponen
utama yang terkandung dalam tanaman panili (Vanilla planifolia), namun ditemukan juga
dengan persentase yang sangat kecil pada tanaman kopi, tembakau, pinus dan buah jeruk
(Mayer dkk, 2000; Rose dkk, 2010). Bentuknya berupa padatan kristal berwarna putih atau
sedikit berwarna kuning, biasanya berbentuk jarum dan mempunyai bau (aroma) yang khas.
2
Vanillin mempunyai titik leleh 81-830C, titik didih 2850C, berat molekul 152,15 g/mol,
kelarutan dalam air sebesar 1 g/100ml, densitas 1,056 g/cm3, serta dapat larut dalam pelarut
organik seperti eter, kloroform, dan asam asetat (Kumar dkk, 2012). Struktur vanillin
ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur Vanilin (Converti dkk, 2010)
Vanillin telah digunakan secara luas sebagai senyawa pemberi aroma dan rasa pada
minuman dan makanan (es krim, cokelat, gula-gula,permen, puding, kue dan soft drink).
Karena kemampuannya sebagai antimikrobial dan antioksidan, vanillin mampu membuat
makanan menjadi lebih tahan lama (Davidson dan Naidu, 2000). Selain pada makanan,
vanillin dapat dijadikan bahan baku pada industri obat-obatan, antara lain L-Dopa (obat
penyakit Parkinson), Aldomet (obat anti hipertensi) dan Trimetroprim (obat infeksi saluran
pernafasan) (Walton, 2003). Pada industri obat, biasanya vanillin hanya digunakan sebagai
senyawa tambahan untuk menutupi bau dan rasa tidak enak dari obat (Bogdan dkk, 2000).
Vanillin sintetik digunakan pula sebagai bahan campuran pada produksi herbisida, agen
antifoaming, produk rumahan seperti deodorant, penyegar udara dan produk pembersih
lantai (Converti dkk, 2010).
2. Produksi Vanillin Alami (Biovanillin)
Bila dibandingkan dengan produksi vanillin secara kimia, produksi vanillin alami
tergolong cukup sulit. Berdasar penelitian Vaithanomsat dan Apiwatanapiwat (2009)
disebutkan bahwa harga vanillin alami dapat mencapai 250 kali lebih mahal dibandingkan
3
vanillin yang diproduksi secara sintetik. Pada tahun 2008 vanillin sintetik dihargai US$
15/kg, sedangkan harga vanillin alami mencapai US$ 4000/kg (Barbosa dkk, 2008).
Dengan perbandingan harga yang cukup signifikan mendorong penelitian untuk
memproduksi biovanillin dengan biaya produksi ekonomis, produksi tinggi, dan mudah
dilakukan.
Produksi biovanillin dapat dihasilkan dari fermentasi senyawa vanillin dari buah
polong tanaman panili atau dapat pula menggunakan proses biokonversi substrat tertentu
menjadi vanillin oleh mikroorganisme.
2.1. Produksi Biovanillin secara Fermentasi dari polong panili
Produksi biovanillin dari buah polong panili memerlukan waktu yang sangat lama.
Dibutuhkan sekitar 12 sampai 16 bulan untuk memproduksi vanillin dari awal sampai
senyawa vanillin dapat dipasarkan. Mekanisme ekstraksi vanillin dari buah panili diawali
dari panen buah panili. Buah panili dapat dipanen 8-9 bulan setelah dilakukan penyerbukan
secara manual. Buah panili segar belum mengandung senyawa aroma dan perasa khususnya
vanillin (Anandaraj dkk, 2005). Oleh karena itu segera setelah panen dilakukan proses
kuring dengan tujuan menginduksi kontak antara prekursor dengan enzim sehingga
terbentuk vanilin sebagai komponen flavor utama. Tahapan proses kuring meliputi
pelayuan, fermentasi, pengeringan dan pemantapan (Gambar 2).
± 2 menit, 650C-700C
± 8 jam, 300C-650C
Gambar 2. Bagan proses kuring pada produksi vanillin dari buah panili
4
Pelayuan
± 16 jam, 350C-550CFermentasi
5-10x
Pengeringan
3-6 bulanPemantapan
Pelayuan dilakukan untuk mematikan sel sehingga mencegah pertumbuhan vegetatif
biji panili dan meningkatkan reaksi enzimatis untuk produksi aroma (Converti dkk, 2010).
Cara pelayuan yang biasa dilakukan di Indonesia yaitu dengan mencelupkan polong panili
dalam air panas. Fermentasi bertujuan untuk menyediakan kondisi dengan kelembaban
tinggi, mengkatalisis berbagai proses hidrolisis dan oksidasi hingga diproduksi komponen
flavor secara optimal (Frenkel dkk, 2004). Peningkatan suhu pada tahap ini menyebabkan
meningkatnya kerja enzim dan dapat mencegah kebusukan buah (Anandaraj dkk, 2005).
Sebelum proses fermentasi, senyawa vanillin masih terikat dengan molekul glukosa
membentuk senyawa vanillin β-d-glukosida yang terakumulasi dan disimpan pada buah
panili segar. Proses fermentasi berlangsung dengan mekanisme pemotongan ikatan antara
gugus glukosida dan vanillin oleh enzim β-glukosidase menghasilkan vanillin (gambar 3).
Gambar 3. Reaksi hidrolisis pada proses fermentasi
Pengeringan bertujuan mencegah kerusakan oleh mikroba dan menghentikan
aktivitas enzim. Fermentasi dan pengeringan dilakukan secara berulang hingga kadar air
buah mencapai 25-30%. Tahap terakhir yaitu pemantapan yang bertujuan untuk
mendapatkan vanili kering dengan flavor optimum (Frenkel dkk, 2004).
Setelah tahapan kuring selesai maka buah panili siap untuk diambil senyawa
aromanya. Vanillin diperdagangkan dalam bentuk cair (ekstak vanillin) dan dalam bentuk
serbuk. Pada umumnya senyawa vanillin diekstrak menggunakan pelarut organik seperti
etil alkohol untuk mengikat senyawa folatilnya (Gambar 4).
5
Gambar 4. Proses Ekstraksi Vanillin dari Buah Panili
Food and Drug Administration (FDA) menentukan ekstrak vanillin cair harus
mengandung paling sedikit 35% alkohol, dengan komposisi dalam 1 liter ekstrak vanillin
harus terdiri dr 100 gr biji vanili, 35% etil alkohol dan 65% air. Sedangkan vanillin
serbuk/bubuk didapatkan dengan cara mikroenkapsulasi menggunakan bahan tepung,
maltodextrin, β-cylodextrin dan bahan-bahan lain sebagai pelindung (Bogdan dkk, 2002).
Mikroenkapsulasi flavor merupakan suatu teknologi yang mengubah bahan flavor likuid
menjadi bahan padat, sehingga dapat mengurangi degradasi atau penurunan aroma selama
proses dan penyimpanan, serta terhindar dari kontaminasi karena terlindungi oleh dinding
kapsul (Soottitantawat dkk, 2004).
2.2. Produksi Biovanillin secara Fermentasi dari limbah pertanian oleh bakteri
Potensi penggunaan limbah pertanian untuk memproduksi biovanillin sangat besar.
Hal ini karena salah satu prekusor pembuatan biovanillin yaitu asam ferulat dapat
ditemukan dalam limbah-limbah pertanian seperti dalam tongkol jagung, bekatul, dedak
gandum, jerami padi, jerami gandum, ampas tebu, kulit nanas, kulit jeruk, dsb. Asam
ferulat termasuk dalam kelompok asam sinamik yang ditemukan dalam dinding sel
tanaman, rumput, biji-bijian, dsb. Dalam sel tanaman asam ferulat berikatan dengan
senyawa polisakarida. Asam ferulat mempunyai peranan penting pada dinding tanaman
6
meliputi perlindungan dari serangan patogen, pengaturan ekstensibilitas (daya regang)
dinding sel dan pertumbuhan, serta berperan membentuk struktur kekokohan dari dinding
sel (Frenkel, 2012).
Beberapa mikrobia telah diidentifikasi secara efisien mampu melepaskan asam
ferulat. Enzim seperti feruloyl esterase dan xylanase, telah diteliti kemampuannya
menghidrolisis prekusor phenol dari bermacam-macam matriks utamanya (Sancho et al.,
2001). Berikut merupakan data proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri pada
beberapa limbah pertanian dan jumlah asam ferulat yang didapatkan :
Tabel 1. Produksi asam ferulat pada beberapa jenis limbah pertanian
Jenis limbah Bakteri asam ferulat sumber
sekam gandum
Staphylococcus aureus 275mg/l Sarangi dkk, 2010
Pseudomonas flourescens BF13-1P
970 mg/l Bello, 2012
Lactobacllus acidophilus 240, 8 mg/l Wang dkk, 2005
Tongkol jagung E.coli JM109/pBB1 1171 mg/l Torres dkk, 2009
Thermobifida fusca NTU22
7700 mg/l Huang dkk, 2011
Kulit biji Triticale Thermoanaerobacter tengcongensis
64 mg/l Abokitse dkk, 2010
Batang ubi jalar Bacillus licheniformis 3,41 mg/l Min dkk, 2006
Pada tabel 1 diatas, produksi asam ferulat yang dihasilkan sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan karena perbedaan substrat dan jenis bakteri yang digunakan. Kandungan asam
ferulat pada tanaman jenis padi-padian umumnya lebih tinggi dibandingkan pada tanaman
jenis lainnya. Dari total senyawa fenolik yang ada dalam tanaman, kandungan tertinggi
asam ferulik terutama terletak pada kulit bijinya yaitu sekitar 78-87 %, dalam tepung hanya
berkisar 1,2-1,9 % (Hermanz dkk, 2001), sedangkan kandungan dalam batang tanaman
yaitu sekitar 29-49% (Gorshkova dkk, 2000).
7
Enoyl-CoA hidratase/aldolaseFeruloyl-CoA sintetase
H2O
Vanillin dehidrogenase
Gambar 5. Struktur asam ferulat
Asam ferulat yang didapat tersebut kemudian akan diubah menjadi vanillin dengan
mekanisme seperti pada gambar 6.
Asam ferulat Feruloyl-CoA
Gambar 6. Biokonversi asam ferulat menjadi vanillin
Dalam reaksi pengubahan asam ferulat menjadi vanillin dibutuhkan 2 enzim utama.
Pertama yaitu enzim feruloyl-CoA sintetase atau 4-hydroxycinnamate CoA ligase yang
disandi oleh gen fcs yang akan mengubah asam ferulat menjadi feruloyl CoA. Kedua yaitu
8
4-hydroxy-3-methoxyphenyl-β-hydroxypropionyl-CoA
2¿
Vanillin
ATPCoA
AMP
H2O
Asetil CoA
Asam Vanilat Vanillin-CoA
enzim Enoyl-CoA hidratase/aldolase atau 4-hydroxycinnamoyl-CoA hydratase yang
disandi oleh gen ech yang akan mengubah Feruloyl CoA menjadi Vanillin dengan
menghasilkan senyawa antara berupa 4-hydroxy-3-methoxyphenyl-β-hydroxypropionyl-
CoA dan vanillin-CoA.
Asam ferulat mempunyai sifat antibakterial yang toksik untuk mikroorganisme.
Oleh karena itu setiap peneliti melakukan optimalisasi jumlah asam ferulat dalam medium
agar menghasilkan vanillin dalam jumlah maksimal.
Vanillin yang dihasilkan dari biokonversi asam ferulat oleh bakteri dapat dillihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Produksi vanillin
Bakteri Asam
ferulat
Jumlah vanillin
yang terbentuk
Efisiensi
konversi
sumber
Brevibacillus agri 13 6,1 g/l 1,7 g/l 27,8 % Wangrangsimagul
dkk, 2011
Pseudomonas fluorescens
BF13-1P
2,33 g/l 1,28 g/l 54,9 % Gioia dkk, 2010
Pseudomonas putida IE27 2,27 g/l 1,6 g/l 71 % Yamada dkk, 2007
Pseudomonas aeruginosa
ISPC2
9,4 g/l 1,62 g/l 17,3 % Ashengroph dkk,
2011
E.coli JM109/pBB1 0,5 g/l 0,24 g/l 47,8 % Torres dkk, 2009
Serratia sp 18,5 g/l 3,8 g/l 20,5 % Rabenhorst and Hopp,
1991
Bacillus pumilus 9,26 g/l 3,75 g/l 40,5% Hua dkk, 2007
Bacillus subtilis strain B2 4,92 g/l 0,61 g/l 12,4 %
Shimoni et. al., 2000Bacillus subtilis strain B2
(ekstrak sel)
6,43 g/l 0,9 g/l 14 %
Efisiensi Konversi=Vanillin yang terbentukjumlah substrat
x 100%
9
Produksi vanillin menggunakan mikroorganisme uniseluler seperti Pseudomonas
tidak menunjukkan masalah budidaya dan scalling up seperti Actinomycetes atau jamur.
Akan tetapi secara umum produktivitasnya lebih rendah karena kecenderungan mengubah
vanillin ke asam vanilat. Labuda dkk (1992) melakukan upaya pencegahan oksidasi vanilin
dengan menghambat vanillin dehidrogenase menggunakan dithiothreitol namun tingkat
keberhasilannya masih sangat rendah.
2.3. Proses Produksi BioVanillin
Dalam industri pembuatan biovanillin terdapat dua macam proses yaitu proses satu
tahap (one step process) dan proses dua tahap (two step process). Proses satu tahap yaitu
proses fermentasi hanya dilakukan dalam satu fermentor kemudian dilakukan pemurnian
vanillin. Namun seringkali vanillin yang dihasilkan melalui metode ini masih rendah,
sehingga diperkenalkan metode two step process menggunakan dua tahapan fermentasi
terpisah yang mampu mempertinggi jumlah vanillin yang dihasilkan. Skema two step
process disajikan pada gambar 6 (Sun dkk, 2008) :
Substrat (limbah pertanian) Fermentasi 2
Fermentasi1 Fitrasi
Filtrasi Purifikasi
Asam ferulat Dehidrasi
Kristalisasi
Rekristalisasi
Vanillin
Gambar 7. Diagram alur produksi biovanillin dengan proses dua tahap
Tahap fermentasi pertama merupakan tahapan produksi asam ferulat. Substrat
utama yang digunakan adalah limbah-limbah pertanian. Limbah-limbah ini terlebih dahulu
dihancurkan kemudian dilakukan perebusan. Proses ini diketahui dapat meningkatkan
10
Resin
jumlah asam ferulat yang diperoleh (Min et al., 2006). Setelah substrat direbus kemudian
didinginkan dan ditambahkan medium serta inokulum bakteri. inkubasi dilakukan selama
12- 24 jam dalam fermentor, dilakukan filtrasi, pengasaman pada pH 1-2 dan diekstrak
dengan etil asetat. Dilakukan destilasi untuk memisahkan asam ferulat dengan pelarut.
Kemudian didinginkan. Proses purifikasi ini dapat menghasilkan asam ferulat sampai
99,9% (Taniguichi dkk, 1994).
Tahap fermentasi kedua dimulai dengan menyiapkan medium dalam fermentor
kemudian menambahkan inokulum bakteri yang mampu mengubah asam ferulat menjadi
vanillin. Diinkubasi selama ± 24 jam pada lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan
bakteri meliputi suhu, pH, dan aerasi. Setelah 24 jam dapat diperkirakan sumber nutrisi
telah dalam batas minimal. Setelah itu ditambahkan asam ferulat sesuai dengan kadar
optimum masing-masing bakteri. Proses biotransformasi akan dimulai 3-4 jam setelah
penambahan asam ferulat. Kadar vanillin optimal akan diperoleh setelah selang waktu 17 –
50 jam inkubasi. Bioproses ini dihentikan dengan proses pasteurisasi pada suhu 800C
selama 15 menit. Untuk mendapatkan larutan fermentasi yang bebas sel bakteri, maka
biomassa bakteri dipisahkan menggunakan mikrofilter dengan ukuran 0,2 µm atau dapat
juga menggunakan metode sentrifugasi (Muheim, 2012)
Untuk proses pemurnian vanillin pada tahapan terakhir dilakukan dengan teknik
kristalisasi berulang. Yaitu dengan mengelusikan dengan pelarut organik seperti etanol
kemudian dilakukan dehidrasi dengan NaCl. Kemurnian dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemanasan dengan suhu 60-850C, didinginkan pada suhu 0-100C kemudian
diulang kembali sehingga kemurnian vanillin mencapai 99%.
Cara lain untuk mendapatkan senyawa vanillin adalah dengan menambahkan resin
dalam proses fermentasi tahap kedua. Resin mampu mengabsorpsi molekul hidrofobik dan
senyawa volatil seperti vanillin. Sehingga vanillin tidak akan menjadi racun bagi bakteri.
Setelah dalam kondisi jenuh, vanillin akan diekstrak dari resin dengan pelarut organik dan
dilakukan kristalisasi berulang seperti yang telah dijelaskan (Lee dkk., 2008).
11
3. Optimalisasi Produksi BioVanillin
Vanilin, seperti beberapa aldehida aromatik lainnya, umumnya dianggap beracun
bagi mikroorganisme (Sarangi dkk, 2009), sehingga sulit untuk mendapatkan hasil
volumetrik tinggi senyawa ini. Jika terdapat vanillin dalam medium maka mikroorganisme
akan cenderung mengubahnya menjadi asam vanilat menggunakan enzim yang dikode oleh
gen vanillin dehydrogenase (vdh) (gambar 5). Rabenhorst dkk. (2000) menyebutkan bahwa
efek toksisitas vanillin terhadap sel mulai terjadi pada saat jumlah vanillin dalam media
sudah mencapai 1 gr/l. Efek toksisitas vanillin antara lain menghambat sintesis DNA, RNA,
dan protein; menghambat penyerapan glukosa dan reaksi enzim; terganggunya
keseimbangan pH; menyebabkan kebocoran ion K, kebocoran ATP dan menyebabkan
kerusakan membran (Fitzgerald dkk, 2004).
Oleh karena itu harus dilakukan pemilihan strain yang mampu mentolerir
konsentrasi vanilin tinggi dan melakukan optimalisasi kondisi pertumbuhannya. Pada
penelitian Sarangi dkk (2009) dilakukan optimasi kondisi kultur sehingga didapatkan
jumlah vanillin maksimal. Akumulasi vanillin terbesar didapatkan pada kultur yang
mengandung 1,89 mg/l asam ferulat setelah inkubasi selama 24 jam, pada suhu 280C.
Penambahan sumber karbon lain seperti glukosa sebanyak 0,1% meningkatkan 5 kali lipat
produksi vanillin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bonnin dkk. (2000) memperlihatkan
bahwa hasil vanillin akan sangat meningkat secara signifikan dengan penambahan
selubiosa pada medium kultur mikrobia.
Optimalisasi produksi vanillin dapat juga dilakukan dengan melakukan rekayasa
genetika. Yoon dkk (2005) mengembangkan rekombinan E.coli dengan memasukkan gen
fcs (Ferloyl-CoA sintetase) dan ech (enoyl-CoA hidratase/ Aldolase) dari Amycolatopsis sp.
HR104 menggunakan vektor ekspresi pBAD24. Hasil rekombinan tersebut, dalam kondisi
optimum diperoleh vanillin sebanyak 580 mg/l dari 1 g/l asam ferulat. Penelitian lebih
lanjut dikembangkan oleh Converti dkk (2010) dengan menghilangkan gen vanillin
dehidrogenase (vdh) yang menyandi terbentuknya asam vanilat pada DNA bakteri hasil
rekombinan. Rekayasa genetika dilakukan dengan konstruksi plasmid yang mengandung
kombinasi gen antara Feruloyl-CoA sintase dan Enoyl-CoA hidratase dari Pseudomonas
12
Fluorescens BF13 untuk memproduksi vanillin dari asam ferulat. Plasmid rekombinan ini
kemudian di sebut sebagai plasmid pBB1.
Gambar 8. Konstruksi plasmid pBB1yang mengandung gen ech dan fcs dari Pseudomonas flourescens BF13 untuk disisipkan dalam E.coli
Plasmid ini kemudian ditransfer ke dalam gen E.coli yang tidak mempunyai
kemampuan menghasilkan vanillin namun mempunyai ketahanan dan perkembangbiakan
yang tinggi dibanding Pseudomonas fluorescens BF13. Plasmid donor ini dibuat sebesar
5000 bp. Fragmen donor ini juga mengandung mutasi dari vanillin dehydrogenase (vdh)
yang mencegah vanillin dioksidasi menjadi asam vanilat, sehingga mendorong akumulasi
vanillin selama proses biokonversi asan ferulat. Setelah diaplikasikan diketahui terdapat
peningkatan produksi vanillin dua kali lipat dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal yang
sama dilakukan oleh Ruzzi dkk (2008) dengan penambahan gen ketahanan terhadap
kanamisin sebagai penanda. Didapatkan 30% kenaikan hasil vanillin yang diperoleh
dibandingkan dengan kontrol.
Penelitian berbeda dilakukan oleh Lee dkk (2008) untuk optimalisasi produksi
vanillin dengan melakukan rekayasa genetika pada E.coli DH5α yang telah disisipi gen fcs
dan ech. Gen gltA pada E.coli DH5α dioptimalkan dengan menghilangkan gen iclR dan
icdA. Sebagaimana yang disajikan dalam gambar 6, biokonversi asam ferulat menjadi
vanillin membutuhkan CoA dalam prosesnya. Adanya gen gltA dan ditiadakannya represor
iclR dan gen icdA menyebabkan acetyl-CoA dapat diubah menjadi CoA tanpa melewati
13
tahap-tahap siklus krebs yang panjang. Kecepatan konsumsi CoA meningkat sehingga
produksi vanillin juga meningkat. Pada penelitian ini didapatkan konsentrasi akhir vanillin
sebesar 5,14 g/l dengan efisiensi konversi 86,6% dalam waktu 24 jam dengan penambahan
resin pada medium.
Gambar 9. Glioksilat bypass pada proses produksi vanillin dalam sistem metabolisme
E.coli
Diagram pada gambar 7 menunjukkan siklus pembentukan coenzim A (CoA) dari
asetil CoA selama produksi vanillin dari asam ferulat berkaitan erat dengan siklus krebs
dan glioksilat bypass pada E.coli. Reaksi pertama pada siklus krebs terjadi ketika gen gltA
mengkode enzim sitrat sintase yang menghasilkan CoA. Enzim yag diperlukan pada
glioksilat bypass yaitu isositrat liase dan malate sintetase dikode oleh gen aceA dan aceB
yang mengkatalis sintesis malat dari isositrat melalui glioksilat. CoA dihasilkan dari asetil
CoA pada proses ini. Transkripsi aceAB ini ditekan oleh regulator iclR. Glioksilat bypass
dapat diinduksi dengan menghilangkan icdA dan iclR. Sehingga pada rekayasa genetika ini
dapat menghasilkan dua CoA selama satu siklus berlangsung yang menyebabkan kecepatan
produksi vanillin bertambah menjadi 2 kali lipat dari sebelumnya.
14
C. Kesimpulan
1. Vanillin dapat diproduksi dari limbah pertanian oleh bakteri
2. Proses fermentasi oleh bakteri dimulai dari pelepasan asam ferulat kemudian
dikonversi menjadi vanillin.
3. Tanpa melalui rekayasa genetika, Pseudomonas putida IE27 mampu menghasilkan
vanillin sebanyak 1,6 g/l dengan efisiensi konversi tertinggi sebesar 71%.
4. Melalui rekayasa genetika pada bakteri E.coli DH5α, jumlah vanillin yang
dihasilkan meningkat 200% yaitu sebanyak 5,14 g/l dengan efisiensi konversi
86,6%.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abokitse, K., M. Wu, H. Bergeon, S. Grosse, P.C. Lau. 2010. Thermostable feruloyl esterase (Thermoanaerobacter tengcongensis ) for the bioproduction of ferulic Acid from triticale bran. Applied Microbiology Biotechnology 87 (1): 195-203.
Aguedo, M., M.H. Ly, I. Belo, J.A. Teixeira, J.M. Belin, Y. Waché, 2004. The use of enzymes and microorganisms for the production of aroma compounds from lipids, Food Technol. Biotechnol 42: 327–336.
Anandaraj, M., J. Rema, B. Sasikumar, dan R.S. Bhai. 2005. Vanilla. Institute of Spices Research, India.
Ashengroph, M., I. Nahvi, H.Z. Esfahani, and . Momenbeik. 2011. Use in growing cell of Pseudomonas aeruginosa for synthesis of the natural vanillin. Journal of Pharmaceutical Research 10 (4): 749-757
Barbosa, D.S., D. Perrone, A.L.A. Vendramini, S.G.V. Leite. 2008. Vanillin production by Phanerochaete chrysosporium grow on green coconut agroindustrial huks in solid state fermentation. Bioresource 3 (4) : 1042-1050.
Bello, E.D., S Rebecchi, A. Negroni, G. zanaroli, D.D. Gioia, M. Ruzzi, F. Fava. 2012. Vanillin Production from wheat bran with Pseudomonas fluorescens BF13-1P. Environment Engineering and Management Journal 11 (3) : 68-74
Bogdan, M., C.G. Floare, dan A. Pirnau. 2002. H NMR investigation of self association of vanillin in aqueous solution. Journal of Physics. 182: 1-5
Bonnin, E., H. Grange, L. Lesage-Meessen, M. Asther and J.F. Thibault. 2000. Enzymic release of cellobiose from sugar beet pulp, and its use to favour vanillin production in Pycnoporus cinnabarinus from vanillic acid. Carbohydrate Polymers. 41: 143-151.
Brazinha, C., D.S. Barbosa, J.G. Crespo. 2011. Sustainable recovery of pure natural vanillin from fermentation media in a single pervaporation step. Green Chemistry. 13: 2197-2203.
Buddo, S. 2003. Process for the Preparation of Vanillin from a Mixes m-cresol/ p-cresol Stream. Port Elizabeth University.
Bushell, M.E. 1988. Growth, product formation and fermentation technology in Actinomycetes in biotechnology. Academic Press 88: 185-217.
Converti, A., B. Aliakbarian, J.M. Dominguez, G.B. Vazquez, P. Parego. 2010. Microbial production of biovanillin. Brazilian Journal of Microbiology. 41 (3): 108-110.
16
Davidson, P.M., and A.S. Naidu. 2000. Phyto-phenols, natural food antimicrobial systems. CRC Press LLC, Boca Raton, London. 265-294.
FAO-STAT. 2010. FAO Statistical Database, http://www.fao.org. Diakses pada tanggal 27 Mei 2012.
Fitzgerald, D.J., M. Stratford, M.J. Gasson, J. Uekert, A. Bos, and A. Narbad. 2004. Mode of antimicrobial action of vanillin against Escherichia coli, Lactobacillus plantarum, and Listeria innocua. Journal of Applied Microbiology 97: 104-113.
Frenkel, D.H, J.C. French, N.M. Graft. 2004. Interrelation of curing and botany in vanilla (Vanilla planifolia) bean. Acta Horticulturae. 629: 93–102.
Frenkel, D.H and F. Belanger. 2011. Handbook of Vanilla Science and Technology. Wiley Blackwell, USA
Gioia, D.D., F. Luziatelli, A. Negroni, A.G. Ficca, F. Fava, M. Ruzzi. 2010. Metabolic engineering of Pseudomonas fluorescens for the production of vanillin from ferulic acid. Journal Biotechnology. 156 (4): 309-316.
Gioia, D.D., L. Sciubbai, M. Ruzzi, F, Fava. 2009. Production of Vanillin Wheat Bran Hidrolyzates Via Microbial Bioconversion. Bioremediation Conferences, European.
Gorshkova, T.A., V.V. Salnikov, N.M. Pogodina, S.B. Chemikosova, E.V.Yablokova, A.V.Ulanov, M.V. Ageeva, J.E.G.Van Dam. 2000. Composition of cell wall phenolic compounds in flax (Linum usitatissimum L.) stem tissues. Annals of Botany. 85: 477-486.
Hermanz, D., V. Nunez, A. Sancho, C.B. Faulds, G. Williamson, B. Bartolome, C.G. Cordoves. 2001. Ferulic acid in barley and processed barley. Journal Agricultural Food Chemistry. 49 (10): 4884-4888.
Hua, D., C. Ma, S. Lin, L. Song, Z. Deng, Z. Maomy. Z. Zhang, B. Yu, P. Xu. 2007. Biotransformation of ferulic acid to isoeugenol to vanillin by a newly isolated Bacillus pumulus strain: identification of major metabolites. Journal of Biotechnology. 130 (4): 463-470.
Huang, Y.C., F.C. Cheng, W.L. Chen, Y.P. Ciou, W.H. Liu, C.H. Yang. 2011. Production ferulic acid from lignocellulolytic agricultural biomass by Thermobilida fusca thermostable esterase produced in Yarrowia lipolytica transformant. Bioresour Technol 102 (17): 8117-8122.
Jenks, M.A and P.J. Bebeli. 2011. Breeding for Fruit Quality. John Willey and Sons, USA.
Kumar, R., P.K. Sharma, P.S. Mishra. 2012. A review on the vanillin derivatives showing various biological activities. International Journal of PharmTech Research 4(1):266-279.
17
Labuda, J.M., S.K. Goers, K.A. Keon. 1992. Bioconversion Process for the Production of Vanillin. U. S. Patent 5128253.
Longo, M.A., M.A. Sanroman. 2006. Production of food aroma compounds : microbial and enzymatic methodologies. Food Technol. Biotechnol 44 (3): 335-353.
Mayer, F., M. Czerny, W. Grosch. 2000. Sensory study of the character impact aroma compound of a coffee beverage. European Food and Research and Technology. 211(4): 272-276.
Meessen, L.L., C. Stentelaire, A. Lomascolo, D. Couteau, M. Asther, A. Moukha, E. Record, J.C. Sigoillot, M. Asther. 1999. Fungal transformation of ferulic acid from sugar beet pulp to natural vanillin. Journal of the Science of Food and Agricultural 79 (3): 487-490.
Meessen, L.L., A. Lomascolo, E. Bonnin. 2002. A biotechnological process involving filamentous fungi to produce natural crystallin vanillin from maize bran. Appl Biochem Biotechnol. 102 (1): 141-153.
Min, J.Y., S.M. Kang, D.J. Park, Y.D. Kim, H.N. Jung, J.K. Yang, W.T. Seo, S.W. Kim, C.S. Karigar, M.S. Choi. 2006. Enzymatic release of ferulic acid from Ipomoea batatas L. (sweet potato) stem. Biotechnology and Bioprocess Engineering. 11: 372-376.
Muheim, A., B. Muller, T. Munch, M. Wetli. 2012. Process for the producing of vanillin. United States Patent. 9: 1-6
Salgado, J.M., B. Max, R.R. Solana, J.M. Domininguez. 2012. Purification of ferulic acid solubilized from agroindustrial wastes and futher convertion into 4-vinyl guaicol by Streptomyces setonii using solid state fermentation. Industrial Crops and Product. 39: 52-61
Sancho, A.I., B. Bartolome, C.G. Cordoves, G. Williamson, C.B. Faulds. 2001. Release of ferulic acid from cereal residues by barley enzymatic extracts. Journal of Cereal Science. 34(2): 173-179.
Sarangi, P. K., dan H. P, Sahoo. 2009. Standardization of cultural condition for maximum vanillin production through ferulic acid degradation. Science Journal. 1(5): 49-51.
Sarangi, P.K and H.P. Sahoo. 2010. Ferulic acid production from wheat bran using Staphylococcus aureus. New York Science Journal. 3(4): 70-81.
Shimoni, E., U. Ravid, Y. Shoham. 2000. Isolation of a Bacillus sp capable of transforming ferulic acid to vanillin. Journal Biotechnol. 78: 1–9.
Shin, H.D., S. Mcclendon, T. Le, F. Taylor, R.R. Chen. 2006. A complete enzymatic recovery of ferulic acid from corn residues with extracellular enzymes from Neosantorya spinosa NRRL185. Wiley Interscience. 1108-1115.
18
Soottitantawat, A., H. Yoshii, T. Furuta, M. Ohkawara, P. Linko. 2004. Microencapsulation by spray drying: influence of emulsion size on the retention of volatile compounds. Journal of Food Science. 68 (7): 1385-1395.
Sun, Z., P. Zheng, X. Guo, G. Lin, H. Yin, J. Wang. 2008. Method for the producing vanillic acid and vanillin from waste residue of rice bran oil by fermentation and biotransformation. Patent Genius Journal. 68: 32-41.
Rabenhorst, J. dan R. Hopp. 2000. Process for the preparation of vanillin and microorganisms suitable therefor. Canadian Journal of Microbiology. 29 (10): 1253-1257.
Rose, D.J., G.E. Inglett, dan S.X. Liu. 2010. Utilisation of corn bran and corn fiber in the production of food component. Journal Science Food Agricultural. 90 (9): 915-924.
Ruzzi, M., F. Luziatelli, P.D. Matteo. 2008. Genetic engineering of Escherichia coli to enhance biological production of vanillin from ferulic acid. Animal Science and Biotechnology. 65(2): 4-8.
Taniguchi, H., E. Nomura, T. Tsuno, S. Minami. 1994. Method of manfacturing ferulic acid. United States Patent. 1-6.
Teixeira, M.I., L.R. Andrade, M. Farina, O. Rocha. 2004. Characterization of short chain fatty acid microcapsules produced by spray drying. Materials Sci and Engineering 24: 653-658.
Torres, B.R., B. Aliakbarian, P. Torres, P. Perego, J.M. Dominguez, M. Zilli, A. Converti. 2009. Vanillin bioproduction from corn cobs by Escherichia coli JM109/pBB1. Enzyme and Microbial Technology 44 (3): 154-158.
Vaithanomsat,P., dan W. Apiwatanapiwat. 2009. Feasibility study on vanillin production from Jatropha curcas stem using steam explosion as a pretreatment. Academy of Science, Engineering and Technology 53 : 956-959.
Vandamme, E.J., W. Soetaert. 2002. Bioflavours and fragrances via fermentation and biocatalysis, J. Chem. Technol. Biotechnol. 77 : 1323–1332.
Walton, N.J., M. J. Mayer, A. Narbad. 2003. Vanillin. Phytochemistry. 63 : 505-515.
Wang, X., X, Geng, Y. Egashira, H. Sanada. 2005. Release of ferulic acid from wheat bran by an inducible feruloyl esterase from an intestinal bacterium Lactobacillus acidophilus for vanillin production. Food Science Technology. 11 (3) : 241-247
Wangrangsimagul, N., K. Klinsakul, A. S. Vangnai, J. Wongkongkatep, P. Inprakhon, K. Honda, H. Ohtake, J. Kato, T. Pongtharangkul. 2011. Bioproduction of vanillin using an organik solvent-tolerant Brevibacillus agri 13. Applied Microbiology Biotechnology. 93 (2) : 555-563
19
Yamada, M., Y. Okada, T. Yoshida, T. Nagasawa. Biotransformation of ferulic acid to vanillin by Pseudomonas putida IE27 cells. 2007. Applied Microbiology and Biotechnology. 73 (5) : 1025-1030.
Yoon, S. H., C. Li, Y.M. Lee, S.H. Lee, J.E. Kim, M.S. Choi, W.T. Seo, J.K. Yang, J.Y. Kim, S.W. Kim. 2005. Production of vanillin from ferulic acid using recombinant strains of Escherichia coli. Biotechnol Bioprocess Eng. 10 : 378-384.
Zegler, J. 2012. New product development survey. Beverage Industry. 20 (12) : 56-66
Zhang, H., X. Ye, T. Cheng, J. Chen, X. Yang, L. Wang, R. Zhang. 2008. A laboratory study of agricultural crop residue combustion in china : emission factors and emission inventory. Atmospheric Environment 42 : 8432-8441
Zheng, L., P. Zheng, Z. Sun, Y. Bai, J. Wang, X. Guo. 2006. Production of vanillin from waste residues of rice bran oil by Aspergillus niger and Pycnoporus cinnabarinus. Appl. Environ. Microbiol. 66 : 684-687
20
MAKALAH SEMINAR
Produksi Vanillin oleh Bakteri dari Limbah Pertanian
DISUSUN OLEH:
ARIFA ZUCHROTUNNISA
06/ 198667/ PN/ 10954
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
21
22