Profesionalisme Pustakawan Pelat-Merah: Analisa Kritis Hubungan antara IPI dan PNRI

Embed Size (px)

Citation preview

Profesionalisme Pustakawan Pelat-MerahAnalisa kritis tentang hubungan antara Ikatan Pustakawan Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Dr. Putu Laxman Pendit Pengantar

I

katan Pustakawan Indonesia (selanjutnya IPI) sampai saat tulisan ini dibuat adalah wadah tunggal profesi pustakawan di Indonesia. Sebagai organisasi, IPI lahir pada masa awal Orde Baru, meleburkan Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI), Perkumpulan Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta (PPDIY) dan Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI). Organisasi yang disebut belakangan ini sebenarnya berpotensi menjadi asosiasi tersendiri. Namun desakan agar pustakawan khusus, information officer, dan dokumentalis melebur menjadi "pustakawan" secara umum rupanya lebih kuat daripada minat mengembangkan asosiasi profesi khusus. Akhirnya, yang tinggal sampai sekarang adalah IPI. Pada masa awal kemunculannya, IPI menyatakan secara spesifik akan menyumbangkan pikiran dan tenaga kepada pemerintah". Beberapa tahun kemudian, IPI bahkan lebih spesifik lagi menyatakan bahwa organisasi ini bertujuan "mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara". Salah satu kegiatan untuk ini adalah mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam "program pemerintah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi". (lihat Harahap dan Tairas, 1998). Sebagai sebuah organisasi profesi, IPI di masa Orde Baru (1966 1999) memperlihatkan salah satu ciri dari organisasi massa pada umumnya, yaitu pengaruh pemerintah pusat yang kuat dalam kepengurusan dan program-program kegiatannya. Sepanjang hidupnya, Pengurus Besar IPI didominasi tokoh-tokoh pemerintah pusat, terutama dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Sejak kongres pertamanya di tahun 1977, organisasi ini selalu diketuai oleh pegawai tinggi PNRI, dan hanya satu kali oleh pegawai di luar PNRI. Setiap kongres, organisasi ini mengangkat tema pokok sesuai ideologi pemerintah Orde Baru, yaitu pembangunan, sebagaimana bisa disimak di tabel berikut:

Contoh tema Kongres IPI di era Orde Baru Kongres I Kongres II Kongres III Kongres IV Kongres V Kongres VI Kongres VII Peningkatan peranan IPI dalam mencerdaskan bangsa dan mensukseskan pembangunan Indonesia. Memasyarakatkan jasa perpustakaan dan meningkatkan partisipasi pustakawan dalam pembangunan. Dengan perpustakaan kita tingkatkan kecerdasan bangsa dan pembangunan. Kita tingkatkan peranan perpustakaan dalam menunjang pembangunan masyarakat desa. Meningkatkan peranan perpustakaan dalam menyongsong era tinggal landas pembangunan. Peranan perpustakaan dalam era globalisasi informasi. Peran strategis pustakawan dalam pembangunan nasional.

Boleh dikatakan bahwa IPI sangat bergantung kepada PNRI mengingat hampir semua kegiatan pokok IPI digerakkan oleh para pegawai PNRI atau memakai fasilitas PNRI. Kalaupun PNRI tidak langsung terlibat dalam pengambilan keputusan, sebagian besar langkah IPI memerlukan semacam restu baik secara formal maupun non-formal dari petinggi PNRI. Kenyataan ini merupakan cermin dari beberapa hal, yaitu: o Pertama, secara pragmatis dapat dikatakan bahwa IPI membutuhkan keterlibatan pegawai PNRI karena IPI memerlukan pengurus yang bersedia bekerja dan sebagian dari pengurus ini ada di PNRI. Selain itu, IPI juga memerlukan sumberdaya yang tidak mereka miliki, sementara PNRI (sebagai sebuah institusi pemerintah-pusat) jauh lebih leluasa dalam hal anggaran. Selain itu, IPI dapat meminjam sumberdaya PNRI berupa kantor, rapat, akomodasi, dan biaya-biaya lainnya. o Kedua, secara politis pemerintah Orde Baru memang membentuk sistem politik yang tidak menginginkan organisasi massa terlalu jauh dari jangkauan pengawasan penguasa pusat, sehingga adalah lumrah jika IPI menjadi semacam onderbouw PNRI. Sementara itu IPI dapat pula memanfaatkan kewenangan pemerintah pusat di masa Orde Baru yang amat besar, sehingga IPI dapat memperluas jaringannya ke daerah-daerah, memakai fasilitas hubungan yang kuat antara PNRI dan perpustakaan-perpustakaan milik negara di daerah (perpustakaan wilayah, perpustakaan umum, perpustakaan perguruan tinggi negeri) o Ketiga, PNRI memiliki akses langsung ke lembaga-lembaga yang dapat mengambil keputusan penting menyangkut harkat pustakawan di Indonesia, seperti status kepegawaian, gaji, dan kedudukan mereka dalam struktur organisasi perpustakaan. Sebagai institusi pemerintah pusat, PNRI sangat menentukan nasib anggota IPI dalam hal akreditasi, kenaikan pangkat, dan

penggajian. Sebagai sebuah organisasi yang lebih banyak dihuni oleh pegawai negeri, maka adalah masuk akal kalau IPI bergantung kepada PNRI dalam halhal seperti ini. o Keempat, secara historis perkembangan kepustakawanan Indonesia ikut membentuk jati diri IPI. Kita harus ingat bahwa kepustakawanan Indonesia lahir oleh sebuah gerakan pemerintahan yang dimotori birokrat-birokrat pemerintah pusat. Sejak awal, para pustakawan Indonesia adalah pegawai-pegawai negara yang bekerja untuk program-program pemerintah, baik yang langsung berada di bawah pengawasan departemen di pusat, maupun yang ada di dalam struktur organisasi-organisasi pemerintahan lainnya (seperti perpustakaan perguruan tinggi negeri, perpustakaan lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah, dan sebagainya). Dari uraian singkat di atas, dapatlah dikatakan bahwa saat ini PNRI adalah organisasi yang paling berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan IPI. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa IPI sebaliknya juga memberikan sumbangan besar kepada perkembangan PNRI. Biar bagaimana pun, IPI lahir lebih dahulu dari PNRI sehingga dapat dikatakan bahwa organisasi profesi ini ikut membantu kelahiran PNRI melalui upaya para aktivisnya. Setelah PNRI dikukuhkan menjadi institusi nasional dengan kewenangan dan fasilitas yang besar, maka lumrah jika IPI pun menjadi sekutu terdekat untuk kegiatan-kegiatan pengembangan kepustakawanan di Indonesia. Dengan demikian, PNRI dan IPI menjadi dua institusi pusat yang saling membutuhkan dan tumbuh bersama-sama. Selain tumbuh bersama, hubungan erat antara PNRI dan IPI ini juga sangat mempengaruhi profesionalisme pustakawan Indonesia pada umumnya, dan pustakawan yang bekerja sebagai pegawai pemerintah pada khususnya. Kebijakan dan kegiatan kedua institusi ini dalam upaya mengembangkan profesi telah ikut membentuk ciri-ciri profesionalisme pustakawan Indonesia. Kebijakan mengenai akreditasi, misalnya, merupakan salah satu contoh kerjasama yang erat antara PNRI dan IPI. Terlepas dari berhasil-tidaknya kebijakan ini dalam mengembangkan profesionalisme pustakawan, akreditasi merupakan ciri khas dari kepustakawanan Indonesia yang berkembang pada masa Orde Baru. Meninggalkan Pendekatan Taksonomis Analisis Kritis terhadap IPI dan PNRI Profesionalisme seperti apakah yang lahir dari hubungan dan kondisi politik Orde Baru seperti diuraikan di atas itu? Inilah pertanyaan pokok yang ingin diajukan dan dibicarakan dalam makalah pendek ini. Sebagai sebuah upaya singkat, sudah barang tentu makalah ini tidak dapat mengulas keseluruhan kompleksitas profesionalisme pustakawan di Indonesia. Untuk memfokuskan pembicaraan, penulis akan berkonsentrasi pada analisa terhadap sejarah kelahiran dan perkembangan selanjutnya

dalam hubungan antara IPI dan PNRI. Analisa seperti ini agak berbeda dari analisa yang pada umumnya pernah digunakan dalam mempelajari IPI sebagai organisasi profesi (seperti yang misalnya dilakukan oleh Hernandono, 1997; Setiarso, 1997; Sudarsono, 1997). Pada berbagai analisa terhadap IPI sebelumnya, profesionalisme selalu dilihat sebagai sebuah aktivitas yang memiliki ciri-ciri khusus. Penekanan analisa di dalam tulisantulisan mereka adalah pada syarat-syarat agar sebuah pekerjaan dapat dianggap profesional. Dengan cara ini, maka profesionalisme pertama-tama selalu didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan pendidikan dan dasar ilmu tertentu. Seorang pustakawan dianggap melakukan kegiatan profesional jika memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi atau pendidikan formal setingkat itu. Selain membahas landasan keahlian, para penulis yang selama ini membahas IPI juga selalu melihat profesionalisme dengan beberapa ciri khusus lainnya. Misalnya, IPI selalu diperiksa sebagai organisasi kolektif yang memiliki pengurus dan kegiatan. Profesionalisme pustakawan Indonesia kemudian diukur dari kondisi organisasi profesi ini. Termasuk dalam pembahasan tentang organisasi ini adalah pembahasan tentang kode etik profesi (lihat misalnya Sulistyo-Basuki, 2001). Landasan pemikiran yang dipakai oleh Hernandono, Setiarso, Sudarsono, dan SulistyoBasuki (untuk menyebut beberapa nama saja) dikenal sebagai pendekatan taksonomis atau pendekatan kecirian (trait approach). Pendekatan ini muncul sebelum tahun 1960an, dan terutama dipengaruhi oleh tulisan Albert Flexner (1915). Konsentrasinya adalah pada penemuan ciri-ciri profesionalisme. Di dalam perkembangannya, pendekatan taksonomis ini kemudian juga menekankan pada aspek fungsi, tugas dan kewajiban sebuah profesi di dalam masyarakatnya, sehingga dikenal sebagai pendekatan fungsional (Parsons, 1968). Kelemahan dari pendekatan taksonomis-fungsional ini adalah karena menganggap bahwa sebuah profesi bersifat dari sananya alias terberi (given). Pendekatan ini kemudian dikoreksi oleh Wilensky (1964) yang tidak hanya berkonsentrasi pada ciriciri profesionalisme, tetapi juga pada bagaimana proses terbentuknya profesionalisme itu. Pendekatan oleh Wilensky ini dikenal juga dengan nama pendekatan proses. Berdasarkan pendapat Wilensky, para analis profesionalisme percaya bahwa pertumbuhan profesionalisme dimulai dengan upaya memastikan batasan tentang suatu pekerjaan tertentu yang memerlukan orang-orang dengan keahlian khusus. Orang-orang ini akan diterima sebagai kelompok eksklusif yang dipercaya melakukan pekerjaan bermanfaat bagi masyarakatnya. Dalam tahap awal ini, mungkin saja penerimaan masyarakat itu masih bersifat informal. Proses selanjutnya adalah upaya memperkuat pondasi kekhususan keahlian dengan ilmu pengetahuan. Dari sini lahirlah hubungan antara kelompok profesi dengan perguruan tinggi. Selanjutnya, ketika anggota kelompok profesional ini semakin besar, mulailah upaya membentuk organisasi yang semakin mengokohkan eksklusivisme dan membentuk landasan legal

bagi profesi yang bersangkutan. Biasanya, bersamaan dengan pembentukan organisasi ini, terbentuk pula kode etik dan kode perilaku (code of conduct). Pendekatan proses lebih memperjelas profesionalisme sebagai sesuatu yang berkembang, bukan sudah dari sananya. Namun analisa terhadap proses kelahiran sebuah profesi sebagaimana dilakukan Wilensky sebenarnya masih memiliki kekurangan. Pendekatan ini seringkali mengabaikan konteks lingkungan sosial, politik, dan budaya di tempat sebuah profesi berkembang. Kekurangan pendekatan proses inilah yang kemudian dilengkapi dengan analisa tentang sejarah kelembagaan (institusionalisasi) dan hubungan sosial-politik antara organisasi profesi dengan organisasi-organisasi lainnya, terutama dengan pemerintah dan negara-bangsa. Dalam mempelajari konteks sosial-politik sebuah profesi, maka pusat perhatiannya tidak lagi hanya pada ciri profesionalisme atau proses pembentukan organisasi profesi, melainkan juga pada hubungan kekuasaan dan pembentukan legitimasi sebuah profesi di dalam masyarakatnya. Pendekatan baru ini seringkali disebut sebaga pendekatan kritis, atau pendekatan hubungan-kekuasaan (power relationships)1. Di dalam makalah pendek ini, penulis akan mencoba menggunakan pendekatan kritis terhadap hubungan antara IPI dan PNRI. Sebagaimana diuraikan pada bagian pengantar di atas, proses kelahiran dan perkembangan IPI sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Itu sebabnya, makalah ini akan berkonsentrasi pada masa kelahiran IPI dan perkembangannya di jaman Orde Baru. Kedekatan IPI dan PNRI juga akan ditinjau secara kritis sebagai hubungan kekuasaan di dalam tatanan sosial-politik Indonesia pada masa itu. Profesionalisme pustakawan Indonesia analisis kritis terhadap kelahiran IPI Salah satu aspek penting dalam profesionalisme yang seringkali luput dari perhatian adalah kaitan antara profesionalisme dan kerja (occupation). Dalam negara industrial dan moderen, baik yang sedang berkembang seperti Indonesia, maupun yang sudah maju seperti Amerika Serikat, pengertian profesional sesungguhnya sangat berkaitan dengan lahan kerja. Sebuah profesi menjadi formal ketika profesi itu memberikan kesempatan kerja dan penghasilan. Pekerjaan ini merupakan semacam mandat yang diberikan oleh sebuah masyarakat kepada anggota-anggota tertentu untuk melakukan kegiatan yang bersifat khusus dan tidak dapat dilakukan sembarang orang. Kegiatan tersebut kemudian diberi imbalan. Dokter, misalnya, adalah profesi yang mendapat mandat dari masyarakat untuk melakukan aktivitas menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat. Insinyur bangunan adalah profesi yang mendapat1

Untuk yang ingin mengetahui uraian tentang perkembangan pendekatan hubungan kekuasaan dalam pertumbuhan profesionalisme, lihat misalnya MacDonnald, 1995; Krause, 1996. Salah satu tokoh pendekatan hubungan-kekuasaan misalnya adalah Eliot Freidson yang teori-teorinya akan dipakai dalam artikel ini.

mandat untuk memimpin proyek pembangunan infrastruktur fisik. Kedua profesi ini memberikan kesempatan kerja dan imbalan tertentu. Riwayat perkembangan sebuah profesi selalu menunjukkan bahwa pada akhirnya salah satu tujuan utama dari semua profesi adalah memberi nafkah dan kepastian hidup bagi para anggotanya secara formal. Proses membentuk sebuah profesi formal pada dasarnya adalah proses untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa kegiatan anggota profesi tersebut memberikan manfaat yang jelas dan perlu diberi imbalan yang memadai. Seringkali aspek imbalan ini menjadi salah satu inti aktivitas organisasi profesi yang tidak dapat disentuh oleh dunia perguruan tinggi2. Jika kita perhatikan, demikian pula proses yang dilalui IPI. Pada awalnya para pegawai perpustakaan merupakan sekelompok kecil pekerja di lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang bergerak di bidang sosial, keagamaan dan pendidikan. Dalam sejarah kepustakawanan Indonesia, jika kita memakai pengertian perpustakaan secara amat luas, maka sebenarnya sejak jaman-jaman kerajaan sebelum kedatangan orang Eropa, bangsa kita sudah mengenal perpustakaan dan pastilah perpustakaan itu memiliki beberapa pengelola (lihat misalnya Sulistyo-Basuki, 1992, 1998). Namun, untuk artikel ini, pengertian pustakawan yang profesional mungkin harus dibatasi pada para pekerja di lembaga-lembaga yang secara spesifik menamakan dirinya perpustakaan dan bekerja dengan prinsip-prinsip perpustakaan modern3. Sebagai lembaga modern, perpustakaan sebenarnya diimpor oleh para pendatang dan kemudian secara serius dikembangkan oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dari politik kolonisasi mereka. Sifat dari pekerjaan dan karakteristik para pekerjanya, dengan demikian, tentu dipengaruhi pula oleh kebudayaan asalnya di Eropa. Landasan kepustakawanan modern di Eropa merupakan semacam inspirasi bagi para pustakawan pada masa awal kemunculan mereka di Indonesia. Kita dapat menyebut dua institusi ciptaan Belanda yang amat berpengaruh, yaitu Bibliotheca Bogoriensis /Centrale Naturrwetenschappelijke Bibliotheek yang menjadi cikal-bakal Pustaka Bogor dan Bataviasch Genootshap van Kunsten en Wetenschap sebagai cikal bakal perpustakaan2

Oganisasi profesi biasanya dianggap berbeda dari organisasi buruh. Ada banyak perdebatan tentang perbedaan ini. Penulis tidak bermaksud memperluas topik makalah ini dengan pembahasan tentang perbedaan buruh dan profesional, karena dalam konteks sosial-politik/ideologi, perbedaan keduanya seringkali lebih rumit daripada sekadar perbedaan latarbelakang pendidikan. Juga bukan sekadar perbedaan pekerjaan kasar dan pekerjaan kantoran. Cukup dikatakan di sini bahwa organisasi profesi lebih berorientasi kepada keahlian berbasis pendidikan tinggi dan spesifikasi pekerjaan, sementara organisasi buruh lebih tertarik pada hubungan industrial antara pemilik modal, manajer dan pekerja.3

Dalam hal kepustakawanan Indonesia, Sulistyo-Basuki menyebut tahun 1778 sebagai titik awal penulisan sejarah perpustakaan modern di Indonesia (lihat Sulistyo-Basuki, 2004). Makalah ini tidak hendak berdebat tentang tahun yang persis kapan dimulainya kepustakawanan modern Indonesia, namun penulis sepakat bahwa kepustakawanan modern menyebar keseluruh dunia pada abad 18. Penulis juga berpendapat bahwa kepustakawanan modern seperti yang kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Indonesia, melainkan dibawa pendatang.

Musium Pusat di Jakarta. Para pegawai kolonial di masa-masa awal modernisasi kepustakawanan Indonesia pulalah yang pertama kali mengupayakan perhimpunan. Dalam catatan Sulistyo-Basuki (1979) dan Sayangbati-Dengah (2004), sejak 1916 sudah ada upaya berhimpun dalam bentuk Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen. Sesaat setelah merdeka, upaya berhimpun ini dilanjutkan oleh Perkumpulan Pegawai Perpustakaan sebagai bagian dari upaya profesionalisasi atas anjuran konsultan UNESCO, A.G.W Dunningham. Jika kita melihat lebih seksama kilasan sejarah seperti di atas, jelaslah bahwa proses pembentukan IPI memperlihatkan proses normal dari organisasi profesi pada umumnya, yakni dimulai dengan pembentukan legitimasi dan batas-batas pekerjaan. Pembentukan legitimasi ini merupakan upaya para pustakawan untuk membentuk status sosialnya di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Status sosial ini bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja oleh masyarakat, melainkan diperjuangkan. Selain itu, di antara para pegawai perpustakaan dan anggota masyarakat lainnya telah terjadi semacam tawar-menawar tentang posisi pustakawan. Kedua belah pihak saling ikut menentukan siapa sesungguhnya seorang pustakawan, dan apa sesungguhnya pekerjaan pustakawan yang bermanfaat bagi masyarakat. Itulah sebabnya, kita memerlukan analisa sosial tentang sebuah profesi untuk memahami bagaimana sesungguhnya posisi profesi tersebut di masyarakatnya. Selain itu, kita memerlukan pemahaman sosiologis tentang dinamika profesi, sebab sebuah profesi sebenarnya tidak pernah statis. Setiap profesi selalu sedang dalam proses tawarmenawar dengan masyarakat sekitarnya. Pembahasan historis sebagaimana yang dilakukan Tjoen dan Pardede, Harahap dan Tairas, Sulistyo-Basuki, maupun Sayangbati-Dengah memperlihatkan kronologi, namun tidak secara khusus menganalisa aspek sosial ini. Kita harus menggunakan analisa lain untuk lebih seksama membaca sejarah itu, untuk melihat bagaimana asosiasi profesi pustakawan Indonesia terlibat dalam penentuan posisi sosial. Kondisi masyarakat dan situasi negara pada setiap masa dalam sejarah pembentukan posisi itu selalu memperlihatkan dinamika. Upaya pertama para ahli perpustakaan di masa kolonial memperlihatkan niat untuk menjadikan pekerjaan-pekerjaan mereka sebagai pekerjaan khusus. Di masa kolonial pula, terlihat bahwa posisi pustakawan berkaitan erat dengan upaya-upaya modernisasi budaya lewat bacaan, tetapi bukan untuk sepenuhnya kepentingan rakyat jajahan, melainkan sebagai bagian dari politik etis yang menguntungkan pemerintah Hindia-Belanda. Di kesempatan lain, penulis telah membahas secara lebih rinci pengaruh politik etis terhadap perkembangan kepustakawanan Indonesia (lihat Pendit, 1993). Untuk memahami perkembangan profesi pustakawan di awal modernisasi perpustakaan, sebaiknya kita menengok sedikit ke belakang. Kita harus ingat bahwa Belanda membangun 680 perpustakaan umum di bawah koordinasi Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur)

yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Sampai tahun 1930, pemerintah kolonial telah membangun 2.686 perpustakaan untuk umum (Hardjo-Prakoso, 1975, h. 29). Pada saat bersamaan Belanda juga membangun sistem pendidikan modern yang antara lain memungkinkan kaum ningrat belajar budaya Barat. Semua ini, menurut Setiadi (1991), adalah strategi pemerintah kolonial untuk membentuk budaya dan perkembangan intelektual Indonesia lewat kendali dan monopoli informasi. Balai Pustaka menjadi mesin utama Belanda untuk menulis naskah, mencetak, menerbitkan sampai menyebarkannya lewat perpustakaan, termasuk lewat Taman Poestaka dan perpustakaan keliling4. Ditambah lagi, minat orang-orang Belanda pada budaya, bahasa, dan tanaman Indonesia untuk kepentingan kolonialisme ikut menyumbang pada perkembangan perpustakaan (Sulistyo-Basuki, 1998). Setelah Belanda pergi, Pemerintah Indonesia memang menerima warisan infrastruktur, namun orientasi kepustakawanan kolonial jelas tidak memadai lagi. Itulah sebabnya, pada masa awal kemerdekaan, posisi pustakawan tampak sekali diarahkan ke persoalan utama rakyat Indonesia, yakni pendidikan massal bagi penduduk Indonesia yang dalam keadaan sangat tertinggal dengan tingkat buta-huruf amat tinggi. Institusi negara yang segera menggerakkan kepustakawanan Indonesia waktu itu adalah institusi di bawah departemen yang mengurusi pendidikan (lihat Kartosedono, 2004; Tjoen dan Pardede, 1966). Situasi pada masa itu menunjukkan konsentrasi pemerintah membangun kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Pemerintah mendirikan Bagian Pendidikan Masyarakat di bawah tanggungjawab Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Pada 1946, jawatan ini memrioritaskan pemberantasan buta huruf melalui kegiatan yang diberi nama Kursus ABC. Tiga tahun kemudian, Bagian Pendidikan Masyarakat berubah menjadi Jawatan Pendidikan Masyarakat. Tugas utamanya sama, yaitu memberantas buta huruf. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan awal di atas masih bersifat coba-coba dan lebih didorong oleh semangat kemerdekaan yang bergelora. Baru pada tahun 1951, pemerintah mampu menyusun program jangka panjang yang diberi nama Rencana Sepuluh Tahun Pemberantasan Buta Huruf. Usaha pemerintah ini membuahkan hasil yang lumayan. Pada tahun 1960, jumlah penduduk Indonesia yang dapat membaca dan menulis telah mencapai angka 50 persen, atau lima kali lipat dari jumlah saat merdeka. Setelah itu, sesuai dengan gaya politik Sukarno, pemerintah juga mengadakan apa yang disebut Komando Presiden untuk Memberantas Buta Huruf. Dengan bersemangat, akhirnya Indonesia menyatakan diri bebas buta huruf pada tahun 1964, karena semua penduduk berusia 13 sampai 45 tahun dianggap sudah dapat membaca serta menulis kalimat pendek atau nama dan alamat mereka sendiri.

4

Tentu saja tidak semua orang memandang Balai Pustaka secara negatif. Ada yang justru memuji upaya Belanda. Sadli (2004), misalnya, mengaitkan perbukuan di jaman pemerintah kolonial Belanda dengan kemerdekaan berpikir orang Indonesia. Dia menganggap buku Belanda ikut memerdekakan Indonesia.

Dinamika perubahan dari orientasi kolonial ke orientasi Indonesia merdeka ini tentu saja mempengaruhi profesi pustakawan, karena praktis pustakawan yang ada waktu itu langsung atau tidak langsung dilibatkan dalam satu-satunya gerakan yang relevan dengan membaca, yaitu pemberantasan buta-huruf. Pada 1951, hanya dua tahun setelah akhir perang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memutuskan untuk mengoordinasi perpustakaan umum dengan fokus utama pada pemberantasan buta huruf. Menurut Hadi (1956) pemerintah merencanakan 189 perpustakaan wilayah dengan 2.657 cabang, ditambah 14.377 perpustakaan desa. Pada tahun sama didirikan Biro Perpustakaan yang mulai bekerja tiga tahun kemudian (Tjoen dan Pardede, 1966) dengan tugas menyelenggarakan perpustakaan "demi kepentingan pemerintah". Pemerintah pula lah yang memobilisasi peminat kepustakawanan untuk mengisi lowongan pekerjaan di perpustakaan. Catatan konsultan UNESCO, AGW Dunningham, memperlihatkan bagaimana upaya pengembangan kepustakawanan Indonesia di tahun-tahun tersebut tidak terlepas dari perkembangan terakhir pemerintahan kolonial (lihat Williamson, 1999). Pendamping pertama konsultan ini seorang Belanda, S. Koperberg, yang adalah pustakawan teman dekat Bung Hatta, tokoh kita yang sangat memperhatikan perpustakaan itu. Seorang Belanda lainnya, Cora Vreede-de Stuers, menjadi salah satu penanggungjawab pendirian balai pendidikan untuk pustakawan Indonesia, sementara kurikulumnya ditulis oleh AH. Habraken (lihat Harahap dan Tairas, 1998). Pada waktu itu peninggalan kepustakawanan Belanda cukup utuh, termasuk dalam bentuk sistem perpustakaan yang berdasarkan tradisi kepustakawanan kolonial dengan sistem tertutupnya dan ketertiban katalogisasinya. Pendidikan para pustakawan yang menangani kelanjutan kepustakawanan peninggalan Belanda itu pun diarahkan untuk meneruskan tradisi ini. Dari pemandangan sekilas di atas dapatlah kita lihat bahwa proses pembentukan posisi sosial pustakawan Indonesia ini terlihat sangat dipengaruhi oleh peran negara. Sebelum kemerdekaan, pemerintah Belanda lah yang paling berpengaruh. Setelah merdeka, tentu saja pemerintah kita yang paling berpengaruh. Di kedua masa itu, para pustakawan yang aktif memperjuangkan terbentuknya asosiasi profesi pustakawan pada umumnya bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan. Secara langsung maupun tidak langsung, pemerintah mendorong pembentukan asosiasi pustakawan Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan, karena sebagaimana yang dikatakan Freidson (2001), negara adalah institusi yang sangat menentukan profesi apa pun di dunia ini. Ketika sebuah profesi ingin mengklaim kegiatannya sebagai praktik resmi yang memiliki kekuatan hukum, maka negara dan pemerintahlah yang memberikan legalisasi ini. Semua jenis pekerjaan di dalam ekonomi resmi di sebuah negara memerlukan legalisasi

pemerintah5. Selain itu, pemerintah juga adalah satu-satunya institusi yang dapat memutuskan pembagian kerja (division of labor) yang formal dan resmi di sebuah negara. Pembagian ini lalu akan menjadi dasar kegiatan ekonomi yang memerlukan tenaga-tenaga profesional. Negara dan pemerintah pula yang menjadi tumpuan bagi setiap profesi untuk mempertahankan kekhususan sebuah profesi. Jika ada pertengkaran tentang batas-batas profesi (misalnya, siapa yang dapat disebut pengacara pernah diperdebatkan di Indonesia, demikian pula soal dokter-dukun), pemerintahlah yang menengahi dan mengambil keputusan akhir. Dalam konteks ini, maka organisasi profesi apa pun sebenarnya harus memainkan peran-peran politik dalam rangka menjaga legitimasi anggota-anggotanya. Demikian pula yang terjadi dengan IPI; para pengurusnya sejak awal menyetir organisasi ini dalam lika-liku politik pemerintahan dan negara Indonesia. Bukanlah suatu kebetulan bahwa IPI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah pusat. Para pengurusnya mungkin tidak pernah secara resmi mengakui posisi ini, dan mungkin pula tidak pernah secara sepenuhnya sadar menempel ke pemerintah pusat. Proses alamiah pembentukan asosiasi profesi memang mengharuskan IPI memperhitungkan politik negara (sebagaimana semua asosiasi profesi lainnya di negara ini). Namun, dalam perkembangannya setiap asosiasi memang memilili bentuk hubungan berbeda dengan negara. Setiap asosiasi, cepat atau lambat, memisahkan diri menjadi asosiasi independen dan mengelola hubungan mereka dengan negara secara mandiri. Persoalannya sekarang adalah bagaimanakah perkembangan bentuk hubungan antara IPI dengan negara di jaman Orde Baru. Untuk itu, kita akan memakai lagi teori Freidson tentang profesionalisme, khususnya yang berkaitan dengan peran negara dalam pengembangan profesi di bagian berikut. Profesionalisme dan Negara kepustakawanan pelat merah Sejarah kepustakawanan Indonesia pada masa kolonial maupun sesaat setelah kita merdeka sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, memperlihatkan bahwa para pustakawan yang menjadi motor terbentuknya asosiasi profesi adalah terutama para pustakawan pegawai badan pemerintah atau pustakawan yang berhubungan dengan institusi pemerintahan. Dalam konteks ini, maka dapat dikatakan bahwa kepustakawanan Indonesia sebenarnya dimulai sebagai sebuah kepustakawanan pelat merah -kepustakawanan pegawai negeri. Sebagai pegawai negeri, maka

5

Pengertian asosiasi resmi di sini memang terlalu dikaitkan dengan ekonomi dan ketenagakerjaan resmi. Seringkali, ada profesi yang melawan negara dan justru dibentuk tanpa restu negara, misalnya ketika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) terbentuk 7 Agustus 1994 untuk menandingi asosiasi resmi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam kerangka pikir masyarakat sipil, negara seringkali juga dianggap penghalang.

sesungguhnya profesionalisme pustakawan Indonesia pada masa-masa awal sangatlah dipengaruhi prinsip-prinsip profesionalisme birokrasi kepegawaian dan pemerintahan. Isu profesionalisme pelat merah ini tentu saja bukan ciri kepustakawanan Indonesia saja. Semua jenis profesi sedikit-banyaknya bermula dari keinginan sebuah masyarakat mengatur kegiatan dan pekerjaan mereka secara baik dan bermanfaat. Dalam sejarah perkembangan profesionalisme, boleh dikatakan institusi negara lah yang pertamatama berpikir tentang pegawai yang profesional, sebelum industri swasta berkembang pesat seperti sekarang. Bangsa Mesir dan Cina sudah sejak lama mengembangkan profesionalisme untuk membangun kerajaan dan dinasti mereka. Kerajaan-kerajaan Arya, terutama yang dibangun oleh suku bangsa Medes, sejak abad 600 SM sudah punya semacam sistem pelatihan dan hirarki untuk profesionalisasi para pegawai kekaisaran. Dalam sejarah dunia, suku bangsa inilah yang disebut-sebut sebagai masyarakat yang pertama kali menciptakan konsep negara dengan pegawai-pegawai profesional. Efisiensi kerja mereka merupakan faktor penentu kebangkitan bangsa Persia menandingi bangsa-bangsa lain di saat itu. Tentara dan pemerintah Persia menjadi contoh bagi bangsa-bangsa lain dalam mengembangkan masyarakat yang teratur (lihat Farazmand, 1997). Filsuf Plato dalam bukunya The Statesman yang ditulis berabad-abad silam sudah mengusulkan ide tentang "profesional di bidang pemerintahan" (lihat pembahasannya oleh Ciger, 1990) untuk menjamin komitmen pegawai negeri terhadap masyarakat. Sudah tentu, pada jaman Plato barangkali negara dan kerajaan adalah satu-satunya lembaga yang punya pegawai profesional. Di jaman modern, ide awal Plato ini terus berkembang dengan berbagai variasinya, termasuk di dalam apa yang kini populer disebut sebagai good government dan clean government. Di dalam berbagai konsep negara modern, profesionalisme pegawai negeri dianggap dapat menjamin beberapa hal, yaitu: o adanya kompetensi minimum setiap pegawai, sehingga kinerja mereka dapat dipertanggungjawabkan, o aparat bisa mengatur dirinya sendiri demi efisiensi dan efektifitas layanan publik, dan o aparat bersifat netral dalam pelayanan (tidak diskriminatif). Profesionalisasi pegawai pemerintah juga dipercaya dapat menjamin dipertahankannya nilai-nilai layanan publik dari gerusan komersialisasi yang dikembangkan oleh pihak pasar (Montgomery, 1998). Dalam perkembangan negara industri moderen, pemerintah seringkali didesak untuk melakukan privatisasi terhadap beberapa layanan utamanya demi alasan efisiensi maupun bisnis. Beberapa layanan utama yang selama ini dikuasai negara, misalnya air minum dan listrik, kini menjadi milik swasta. Untuk menjawab tuntutan efisiensi pelayanan, negara seringkali akhirnya harus berupaya meningkatkan profesionalisme pegawai negeri. Dalam konteks ini, maka profesionalisasi pegawai negeri adalah bagian dari modernisasi negara secara keseluruhan.

Selain tradisi Yunani dan Eropa, tradisi negara-negara Asia Timur, terutama yang berkembang dari Cina dan paham Kong Hu Cu atau Konfusianisme, juga mengenal profesionalisme pegawai negeri sejak dahulu kala. Tentang hal ini, Fred Lerner (1998) bercerita bagaimana bangsa Cina, terutama pada masa kekuasaan Dinasti Chou, mengembangkan profesionalisme pegawai kerajaan dengan mendirikan sekolah khusus yang dilengkapi buku wajib bagi semua calon pegawai kerajaan. Bangsa Cina waktu itu sudah mengenal sekelompok buku wajib yang terdiri dari 5 buku berisi ajaran-ajaran Kong Hu Chu (551 479 SM)6. Berdasarkan kelima buku itulah, pemerintahan Dinasti Chou mengembangkan tata kehidupan di Cina. Para penguasa juga membentuk sekelompok cendekia yang bertugas menyalin isi buku (tentu saja, waktu itu belum ada percetakan) untuk memperbanyak koleksi, sehingga semakin banyak orang yang dapat mempelajarinya. Naskah dan buku-buku ini kemudian merupakan bacaan wajib bagi siapa pun yang ingin menjadi pegawai kerajaan. Dengan cara seperti ini, kerajaan-kerajaan di Cina membangun profesionalisme pegawai pemerintahan. Sampai sekarang, pemerintah Republik Rakyat Cina dikenal sebagai pemerintahan yang sangat ketat menyaring pegawai negerinya7. Tentu saja, dalam perkembangan selanjutnya, penyaringan ini dikaitkan dengan totalitarianisme dan komunisme. Tradisi Cina mengharuskan seorang profesional merasa wajib terlibat dalam kehidupan sosial-politik dan tidak jarang menggabungkan nasionalisme dengan profesionalisme8. Pada gilirannya, profesionalisme ini juga diterjemahkan sebagai kewajiban negara (dan pegawai negeri) untuk mengurus masyarakat lewat pendekatan top-down dan berdisiplin. Tradisi "negara profesional" ala Konghucu ini bertahan sampai sekarang di negeri-negeri Asia Tenggara, terutama Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan (lihat Huque, Lam dan Lee, 1996). Dalam perkembangan pemikiran tentang negara moderen, muncul pandangan bahwa selain mengurusi profesionalisme pegawai-pegawainya sendiri, sebuah negara juga harus mengurus profesi-profesi lainnya. Menurut Siegrist (1990), perkembangan profesionalisme yang dikendalikan negara mulai muncul pada abad 18 di Eropa, yaitu ketika konsep negara-sentralistik mulai berkembang. Dalam konsep ini, maka semua sektor kehidupan yang membutuhkan tenaga profesional harus ditetapkan dan dikendalikan oleh pemerintah, baik lewat perijinan maupun dengan mengontrol6

Buku pertama dinamakan I Ching, berisi tentang proses perubahan dalam kehidupan, termasuk cara meramalkan masa depan. Buku kedua, Shu Ching, berisi kumpulan petuah dan ucapan-ucapan bijak para penguasa terdahulu. Buku ketiga, Shih Ching, berisi karya-karya sastra berupa puisi. Buku keempat, Li Chi, berisi penjelasan pelaksanaan upacara dan tata kehidupan umum lainnya. Buku kelima adalah semacam laporan tahunan (annals), Chun Chiu, berisi cerita tentang kejadian-kejadian di suatu masa.7

Sistem seleksi pegawai pemerintah yang dikenal dengan nama Keju diciptakan pada masa kekuasaan Dinasti Sui (581 618) dan terus berkembang sampai sekarang.8

Pembahasan yang menarik tentang ini dapat dilihat di www.aasianst.org/abss /1997abst/china/c73.htm

pendidikan profesional. Dari segi pengaturan kekuasaan dan wewenang, perkembangan di abad 18 itu menunjukkan bahwa negara memiliki kepentingan untuk memantau kelompok profesi di luar negara. Kelompok-kelompok profesi ini akan memiliki kekuasaan berdasarkan pengetahuan dan keahlian serta mandat yang diberikan masyarakat kepada mereka. Mandat dan keahlian yang berada di luar jangkauan negara dapat diartikan sebagai saingan terhadap kekuasaan negara, terutama jika negara tersebut beraliran totalitarian. Di bekas negara komunis Uni Soviet, misalnya, semua sumber kekuasaan harus ada di tangan negara. Layanan profesional direduksi menjadi satu unit administrasi yang terpusat dan dikendalikan oleh aturan-aturan birokrasi sebagai perwujudan dari nomenklatur Partai Komunis. Akibatnya, tidak ada professional meritocracy, kebebasan profesi, organisasi profesional yang independen, maupun transparansi. Karir profesional bukan ditetapkan oleh keahlian, tetapi oleh ketaatan kepada partai dan loyalitas kepada pemimpin partai. Semua institusi profesi diberangus (lihat Hudson, 1994 dan Jones, 1991). Pola Asia Timur, Eropa abad 18 dan Uni Soviet tidak sepenuhnya diikuti oleh para pemikir negara modern yang kemudian berkembang dan yang mengandalkan kapitalisme serta demokratisasi ekonomi. Apalagi kemudian muncul pemikiran tentang otonomi profesi dalam kerangka pemikiran masyarakat sipil (civil soiciety); profesionalisme pun mulai dikaitkan dengan kebebasan berkumpul dan kemandirian. Bahkan ketika perusahaan-perusahaan raksasa mulai muncul menyaingi kekuasaan negara di bidang ekonomi, muncul profesionalisme korporat. Akibatnya, berbagai penyesuaian dilakukan, sehingga negara-negara moderen yang beraliran kapitalisme atau demokrasi ekonomi akhirnya memiliki berbagai macam orientasi kebijakan yang beragam terhadap pengembangan profesi. Menurut Freidson (2001), ada dua kategori umum tentang negara moderen dalam konteks pembinaan profesionalisme: o Pertama, negara yang bersifat menunggu dan tidak secara aktif ikut campur dalam urusan pengembangan profesionalisme. Kelompok negara ini memiliki orientasi kebijakan yang reaktif (reactive). o Kedua, negara yang bersifat aktif dan langsung ikut campur dalam mengembangkan semua profesi di dalam wilayah kekuasaannya. Negara yang demikian memiliki kebijakan yang aktivis (activist). Kedua jenis negara ini juga dapat dikategorikan lagi menurut cara mereka melaksanakan peraturan dan perundangan pembinaan profesi. Secara garis besar, Fred menggambarkan variasi pola keterlibatan negara ini dalam bentuk matrik berikut: Pola Keterlibatan Negara dalam Pengembangan Profesionalisme Orientasi Kebijakan Pola Penerapan Kebijakan

Reaktif

Hirarkis Negara membentuk dan mengembangkan profesionalisme sebagai upaya mengembangkan berbagai asosiasi profesi

Aktivis

Koordinatif Badan-badan pemerintah bekerja bersama asosiasi profesi dalam mengembangkan profesionalisme. Negara membuat dan Negara memberikan ijin mengembangkan kepada asosiasi profesi kebijakan pembinaan untuk membuat dan berbagai asosiasi mengembangkan profesi. kebijakan profesi. Diambil dari Freidson (2001), halaman 138

Jika kita memakai kerangka pikir Freidson di atas, maka perkembangan asosiasi profesi pustakawan Indonesia pada masa awal pembentukannya memperlihatkan dinamika yang menarik. Ketika para pengasuh perpustakaan mendirikan Vereeniging tot Bevordering van het Bibliothekwezen (VBB) tampaknya pemerintah Kolonial Belanda bersikap reaktif-koordinatif. Dalam situasi seperti itu, dapat diduga bahwa negara jajahan tidak secara langsung ikut membina, namun memberikan fasilitas yang memadai kepada asosiasi pustakawan. Penulis tidak memiliki data kongkrit untuk mendukung dugaan ini, namun kita dapat berasumsi bahwa pada masa itu pemerintah kolonial sangat berhati-hati terhadap segala yang berbau perhimpunan. Tanpa restu pemerintahan kolonial, sebuah asoasiasi tidak akan bisa lahir. Asosiasi pustakawan mungkin saja dianggap tidak terlalu mengancam kekuasaan kolonial, dan sangat mungkin dikaitkan dengan Balai Pustaka dan upaya sensor terhadap perbukuan di Indonesia9. Belum ada kajian sejarah yang memadai tentang hubungan antara profesi pustakawan dan pemerintah kolonial, namun kita dapat menjadikan asumsi di atas sebagai hipotesa awal. Pada masa kelahiran VBB, pemerintahan kolonial sedang mengendalikan arus informasi. Asosiasi profesi yang berurusan dengan buku seperti VBB itu, tentu saja mendapat semacam pembinaan. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan bukti bahwa VBB dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda. Jadi, sangatlah mungkin bahwa VBB dapat lahir dan berkembang karena pemerintah kolonial merestuinya, namun tidak terlalu merasa harus ikut campur.

9

Balai Poestaka didirikan pada masa yang sama dengan berdirinya VBB. Dalam buku Swantoro (2002), dikemukakan bahwa Direktur Balai Poestaka yang pertama, yaitu D.A. Rinkes (sering juga dijuluki Bapak Balai Poestaka) mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya bertujuan mengendalikan buku-buku yang beredar di Indonesia agar tidak menjadi sumber bagi pemikiran-pemikiran revolusioner yang merepotkan pemerintahan jajahan.

Asosiasi profesi pustakawan setelah kemerdekaan memperlihatkan ciri yang berbeda. Jika kita lihat bahwa Perkumpulan Pegawai Perpustakaan (PPP) sebagai cikal bakal asosiasi pasca kolonial, maka jelas peran pemerintah terlihat lebih langsung dan aktif. Kalau memakai kerangka Freidson di atas, maka asosiasi ini jelas merupakan kebijakan aktif pemerintah Indonesia atas saran A.G.W. Dunningham yang bekerja sebagai konsultan UNESCO. Patut diingat, UNESCO menjadikan program perpustakaan ini sebagai bagian dari bantuan kepada pemerintah Indonesia. Dari PPP ini lahir Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API) yang sejak awal merupakan bagian dari program Departemen Pengajaran dan Kebudayaan. Sepengetahuan penulis, analisa historis tentang PPP dan API juga belum ada, namun kita dapat melihat kelahiran kedua asosiasi itu dalam konteks peran UNESCO di masa awal kemerdekaan Indonesia sebagai upaya modernisasi yang dilakukan terhadap bekas negara-negara jajahan. Ini merupakan program global, sebagai bagian dari upaya perdamaian dan pemulihan ekonomi setelah dunia luluh-lantak dihantam Perang Dunia II. Program UNESCO terhadap kepustakawanan Indonesia berkaitan pula dengan program pemberantasan buta huruf dan modernisasi birokrasi (khususnya birokrasi departemen yang mengurusi pendidikan). Dalam kerangka ini, maka sebenarnya kepustakawanan Indonesia di awal kemerdekaan adalah bagian dari apa yang disebut sebagai gerakan administrasi pembangunan (development administration movement), sebuah gerakan pada tahun 1950an yang didominasi Amerika Serikat dan terutama difokuskan ke Asia sebagai penerapan konsep birokrasi moderen (untuk pembahasan tentang aneka reformasi birokrasi ini, lihat misalnya Hirschmann, 1999). Kelahiran API dan kegiatan-kegiatan awalnya memperjelas kedudukan pustakawan pelat merah di Indonesia sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan moderen. Dari latarbelakang dan konteks administrasi pembangunan inilah, menurut asumsi penulis, muncul karakter administratif-birokratis di kalangan pustakawan Indonesia. Di masa awal kelahiran ini pulalah pustakawan Indonesia diperkenalkan kepada basis profesi moderen, yakni pendidikan teknis penyelenggaraan perpustakaan. Gabungan antara modernisasi birokrasi dan pendidikan teknis perpustakaan merupakan pondasi penting bagi profesionalisme pustakawan Indonesia. Dari sisi pandang birokrasi pemerintahan secara umum, maka sebenarnya pustakawan Indonesia di awal masa kemerdekaan berkonsentrasi pada upaya secepat mungkin mengganti para pegawai asing eks kolonial. Bagi negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia, kepentingan ini sebenarnya jauh lebih menarik daripada kepentingan tentang kualitas profesi. Kebutuhan pegawai perpustakaan dalam jumlah besar merupakan motivasi penting dalam perkembangan kepustakawanan Indonesia. Inilah yang mendorong kebutuhan untuk pendidikan dan pelatihan yang tidak harus selalu memperhatikan mutu lulusan, melainkan memperhatikan jumlah lulusan.

Profesionalisme dan Pendidikan upaya menjadi ahli Orientasi profesionalisme yang mengarah ke ketrampilan teknis semakin kentara ketika pemerintah mengubah Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan menjadi Kursus Pendidikan Ahli Perpustakaan (perhatikan perubahan dari "pegawai" menjadi "ahli"). Sekali lagi, sistem pendidikan awal pustakawan ini sepenuhnya bergantung pada inisiatif pemerintah dan tokoh-tokoh pemerintahan. Setelah orang-orang Indonesia mendapat pendidikan di Belanda, nama pendidikan pun berubah menjadi Sekolah Perpustakaan (Jelaslah bahwa sekolah dianggap lebih tinggi dibandingkan "kursus" semata). Kemudian, dengan "keberanian" yang cukup besar para pustakawan Indonesia mengubah Sekolah Perpustakaan menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan (JIP) di tahun 1961 (perhatikan penggunaan istilah "ilmu")10. Pendirian jurusan ini melahirkan era baru dalam profesionalisme pustakawan Indonesia karena inilah pertamakalinya sistem pendidikan pustakawan masuk ke kampus (menjadi bagian dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, lalu ke Fakultas Sastra yang sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya). Ini pulalah yang melahirkan dikotomi baru dalam pendidikan pustakawan profesional, karena selain JIP, pemerintah tetap melanjutkan upaya mendidik tenaga pustakawan lewat Pusat Pengembangan Perpustakaan. Perkembangan pemikiran tentang landasan pendidikan keahlian ini sangat mempengaruhi awal kemunculan organisasi profesi pustakawan di Indonesia. Hanya setahun setelah API berdiri, para pustakawan mendirikan Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (1954), dan kemudian Perhimpunan Ahli Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia (1956), yang akhirnya menjadi Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi (APADI) pada tahun 1962. Perhatikanlah pencantuman kata ahli yang kemudian dihapus lagi dalam rentang waktu yang lumayan pendek itu. Tampak jelas bahwa pada masa awal ini aspirasi untuk membentuk basis pengetahuan bagi profesi pustakawan benar-benar merasuki para pustakawan Indonesia. Selain itu, penggunaan istilah arsip dan dokumentasi menunjukkan upaya perluasan lingkup profesi11. Masa-masa sepuluh tahun pertama asosiasi profesi pustakawan Indonesia menunjukkan dinamika normal sebuah organisasi profesi. Seperti yang sudah disebutkan sekilas di bagian awal makalah ini, teori Wilensky menyatakan bahwa10

Penggunaan kata ilmu sejak 1961 tidak mengurangi kecurigaan orang tentang ilmiah-tidaknya pekerjaan di bidang perpustakaan. Baru pada tahun 1991, Jurusan Ilmu Perpustakaan mencoba menegaskan "objek ilmu" ini lewat beberapa proses diskusi, sehingga tercapai kesepakatan awal tentang definisi "ilmu perpustakaan". Tapi hingga kini tidak ada upaya lain untuk lebih menegaskan disiplin ilmu dalam konteks Indonesia.11

Memang agak aneh juga, bahwa pada tahun 1969 malah didirikan Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia yang bersifat khusus dan seperti mementahkan upaya memperluas lingkup asosiasi. Tapi organisasi ini akhirnya toh melebur lagi dengan APADI dan menjadi IPI.

tahap pencarian landasan keilmuan (atau landasan keahlian) memang merupakan tahap kedua setelah sekelompok profesional bersepakat untuk berhimpun. Untuk merebut kepercayaan masyarakat, sebuah profesi seringkali merujuk ke sebentuk pengetahuan formal. Dari sinilah biasanya muncul hubungan antara profesi dan institusi pendidikan (universitas). Universitas dianggap institusi yang berlandaskan ke-"murni"-an ilmu, sehingga universitas menjadi the chief authority (pihak yang paling berwenang) dalam berbagai pengetahuan. Sebab itulah, banyak bidang profesi berupaya mengembangkan diri mereka lewat universitas agar bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakatnya. Selain itu, universitas dianggap sebagai institusi yang mendahulukan pikiran, terutama pikiran ilmiah yang adalah pemikiran rasional. Dengan mengaitkan diri ke universitas, maka sebuah profesi meraih status rasional otonom untuk kepentingan para anggotanya. Namun hubungan antara organisasi profesi dengan universitas sebenarnya tidak selalu mulus. Seringkali ada perbedaan pendapat tentang kegunaan pengetahuan yang diperoleh lewat univeristas dalam praktik sehari-hari. Kita musti ingat, dalam menjaga rasionalistas dan otonominya, sebuah universitas biasanya menegaskan pentingnya penelitian. Bagi sebuah universitas, penelitian bukan saja merupakan cara untuk menemukan kebenaran universal, tetapi juga sarana mengarahkan proses pengajaran. Hasil penelitian dosen dipakai untuk mengajar, dan lulusan universitas diharapkan bersikap ilmiah dalam menemukan kebenaran. Selain itu, seringkali universitas beranggapan bahwa pengetahuan murni hanya dapat dihasilkan jika penelitian dan penelitinya berada dalam "isolation and freedom". Bahkan isolasi ini seringkali diartikan sebagai jarak yang memisahkan universitas dari masyarakat, dan akhirnya menimbulkan kesan "menara gading". Salah satu risiko profesi yang mencari landasan otonominya di universitas, dengan demikian, adalah keterpisahan profesi itu dari masyarakat umum. Itulah sebabnya, seringkali muncul kesan bahwa pengetahuan "murni" dari universitas mendapat tantangan dari pengetahuan "praktis" ketika orang mempersoalkan kegunaan aplikatif dari ilmu yang dipelajari para calon profesional di universitas. Di dalam perkembangan sebuah profesi, seringkali muncul keraguan tentang kegunaan ilmu. Seringkali kaum profesional merasa perlu menegaskan bahwa seorang profesional tidak hanya mengutamakan kemurnian pengetahuan, melainkan juga pengalaman menerapkan ilmu-ilmu formal yang dipelajarinya di universitas di lapangan. Untuk menjawab tantangan kaum profesional ini, seringkali universitas lalu menyediakan "sistem" atau "paket" yang bisa membantu sebuah profesi menetapkan kompetensi khusus anggota-anggotanya, sekaligus melatih mereka menggunakan kompetensi tersebut.

Ketika profesionalisme pustakawan Indonesia dikembangkan, sumber keahlian tidak hanya sekolah perpustakaan. Seperti yang dikatakan di atas, jurusan ilmu perpustakan dan biro pemerintah bersama-sama menyediakan pendidikan dan pelatihan. Kedua institusi ini digerakkan oleh pustakawan-pustakawan berpendidikan perguruan tinggi. Tetapi tampaknya terjadi perbedaan orientasi yang menyebabkan keduanya tidak selalu terlihat bahu-membahu dalam mengembangkan kepustakawanan. Pendidikan di universitas semakin mengarah ke konsep profesionalisme yang berkembang di Anglo-Saxon, terutama dengan menekankan pentingnya universitas sebagai produsen ketrampilan tingkat manajerial. Strategi universitas ini tampaknya juga mulai memperlihatkan perbedaan pendapat tentang prioritas pendidikan pustakawan di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Rungkat, terjadi perbedaan di kalangan pemikir kepustakawanan Indonesia tentang prioritas pendidikan, apakah berorientasi sarjana atau non-sarjana/diploma (lihat misalnya Rungkat, 1997). Persoalan ini sempat menimbulkan perbedaan pendapat yang berlangsung cukup seru di tahun-tahun 1980an dan sampai sekarang belum sepenuhnya usai. Contoh pertengkaran ini dapat dilihat dalam tulisan Hariadi (1983), Sulistyo-Basuki (1986) dan tanggapannya oleh Zultanawar (1986). Perdebatan tentang "sarjana" dan "non-sarjana" sebenarnya menyembunyikan perdebatan yang lebih mendasar tentang pendidikan "praktisi" versus "teorisi" yang juga terjadi di seluruh dunia kepustakawanan. Morehead (1980) sudah mengingatkan bahwa pendidikan pustakawan tidak pernah bisa sepenuhnya mengabaikan komponen praktik, juga tidak bisa hidup tanpa eksperimen teoritis. O'Connor dan Mulvaney (1996) menyatakan bahwa pengajar bidang perpustakaan melayani dua masters sekaligus, yaitu pihak akademisi dan pihak praktisi. Di Indonesia, persoalan ini menjadi semakin kompleks karena untuk sebagian besar keperluan lokal, kepustakawanan yang dikembangkan lewat lembaga-lembaga pendidikan terlalu "barat".12 Selain itu, muncul berbagai keberatan tentang perlunya seorang pustakawan menulis skripsi yang membutuhkan penelitian -sebuah syarat yang merupakan keputusan nasional untuk semua pendidikan sarjana. Di lain pihak, penelitian bukanlah sesuatu yang ditekankan di dalam pendidikan pustakawan di Indonesia, sehingga otoritas teoritis dari universitas sering dipertanyakan oleh pihak praktisi. Halhal seperti ini menambah "ketegangan" (walaupun terselubung) antara dunia praktisi dan dunia akademisi yang mempengaruhi perkembangan profesionalisme pustakawan di Indonesia. Selain persoalan landasan pengetahuan, kepustakawanan Indonesia sebenarnya juga dipengaruhi oleh sifat pelat-merah sebagaimana yang diuraikan di bagian sebelumnya. Dalam konteks pengembangan pegawai, setiap negara memerlukan institusi pendidikan dan pelatihan (diklat). Demikian pula dalam konteks12

Seorang konsultan Australia, D.H. Bochart yang bertugas ke Ujung Pandang, Malang dan Denpasar mencatat keluhan tentang hal ini pertama kali di tahun 1973. Lihat Rungkat, 1997 h. 55.

pengembangan pustakawan pegawai-negeri, pemerintah memberi fasilitas berupa Pusat Pengembangan Perpustakaan yang dalam praktiknya seringkali juga melibatkan pengurus IPI. Melalui pusat pengembangan inilah, organisasi profesi pustakawan memperjelas orientasi pelat-merah mereka dan keperluan landasan keahlian. Dengan kata lain, lembaga-lembaga diklat dan pusat pengembangan di bawah pemerintah merupakan semacam tandingan bagi lembaga-lembaga akademis yang bersifat lebih ilmiah atau netral. Biro Perpustakaan di masa awal kemerdekaan dan Pusat Pengembangan Perpustakaan di jaman sekarang merupakan bukti bahwa negara tidak sepenuhnya ingin melepaskan tugas pendidikan dan masa depan kepustakawanan Indonesia ke tangan universitas. Lewat penyelenggaraan berbagai diklat pulalah PNRI dan IPI memperkuat pengaruh mereka terhadap pendidikan pustakawan. Secara historis, kedua institusi ini merasa mendapat mandat untuk membina para pustakawan Indonesia, bukan saja pustakawan yang berada di lembaga pemerintah, tetapi juga pustakawan yang berada di luar pemerintahan (di lembaga swasta atau di lembaga non-pemerintah)13. Selain untuk mengembangkan keahlian, penyelenggaraan diklat dan kursus-kursus oleh PNRI dan IPI juga dipakai untuk memperkuat birokrasi penyelenggaraan pemerintahan, terutama setelah pustakawan pemerintah memiliki acuan legal tentang akreditasi dan jabatan pustakawan (struktural maupun fungsional). Sebagaimana kita ketahui, di dalam birokrasi pemerintahan Indonesia jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang pegawai negeri dalam rangka memimpin suatu organisasi negara. Sedangkan pengertian jabatan fungsional menurut Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1994 adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak pegawai berdasarkan keahlian dan/atau ketrampilan tertentu yang bersifat mandiri. Pengembangan jabatan fungsional inilah yang sebenarnya berkaitan erat dengan profesionalisme. Dalam kepustakawanan Indonesia, PNRI dan IPI merupakan institusi yang mengklaim fungsi pembinaan ini karena perkembangan historisnya. Namun sesungguhnya, pembinaan oleh kedua institusi ini tidak selalu menentukan arah perkembangan kepustakawanan Indonesia secara umum. Menurut penulis, setidaknya ada tiga penyebab dari kurang maksimumnya hasil pembinaan negara terhadap profesi pustakawan. Pertama, dilihat dari perkembangan karakter birokrasi pemerintahan Indonesia, maka ciri yang selalu menghambat perkembangan profesionalisme adalah perbedaan antara orientasi penyelenggara diklat/kursus dan orientasi pesertanya. Penyelenggara diklat di lembaga pemerintah mungkin bermaksud melakukan modernisasi yang ideal,13

Patut kiranya dipahami, fungsi PNRI sebagai pembina bukanlah ciri khas kepustakawanan Indonesia, tetapi juga di sebagian besar negara berkembang karena para pustakawan belum sepenuhnya percaya kepada institusi pendidikan dan perpustakaan nasional dianggap memang punya otoritas pendidikan (lihat Amarasinghe, 1982; Kanakmani, 1995)

namun para peserta lebih tertarik pada sertifikat kelulusan untuk kepentingan posisi dan mobilitas (kenaikan pangkat) mereka di tempat kerja. Seringkali posisi dan mobilitas ini bersifat politis, apalagi dalam situasi pemerintahan Orde Baru yang paternalistik. Selain itu, diklat/kursus seringkali tidak dapat mempengaruhi situasi kantor peserta diklat. Artinya, setelah lulus dari diklat, para pegawai pulang ke situasi kerja yang tidak kondusif, sehingga kelulusannya menjadi percuma saja. Kedua, diklat dan kursus yang diselenggarakan negara sebenarnya juga lebih berorientasi kepada peningkatan kekuasaan administrator publik dan birokrat sebagai penguasa politik pemerintahan. Para ahli pemerintahan sudah mengingatkan bahwa profesionalisasi birokrat seringkali melupakan bahwa seorang administrator seharusnya memiliki tiga ciri, yaitu akuntabilitas, tanggap, dan bertanggungjawab (lihat misalnya Rockman, 1997; Riggs, 1997). Diklat dan kursus seringkali hanya memperketat birokrasi dan jalinan kerja di sebuah kantor pemerintah, tetapi tidak memperhatikan akuntabilitas kepada publik, atau janji dan kontrak politik yang mereka tandatangani ketika menjadi pegawai negeri. Seperti yang dikatakan Mosher (1968), profesionalisme pegawai negeri seringkali akhirnya berorientasi birokrasi yang kaku dan super-tertib ala Max Weber. Dalam kepustakawanan Indonesia, muncul kesan bahwa diklat/kursus hanyalah untuk kepentingan akreditasi pegawai negeri14. Birokrasi pustakawan bisa menjadi terlampau sempit sehingga menimbulkan parochialism; tidak mampu keluar dari rasionalitas teknis, sehingga pendekatannya cenderung tidak kontekstual. Lalu akan muncul kompartementalisasi, spesialisasi dan akhirnya egoisme sektoral yang menghambat komunikasi, kerjasama, dan organisasi antar administrasi publik. Ketiga, diklat dan kursus yang diselenggarakan PNRI atau IPI sebagai pembinaan terhadap birokrasi kepustakawanan Indonesia seringkali terlepas dari dinamika perkembangan modernisasi kepustakawanan secara keseluruhan. Sebenarnya ini bukan hanya persoalan yang dihadapi pemerintahan Indonesia. Di semua negara, perkembangan masyarakat akibat teknologi seringkali amat dinamis sehingga tidak selalu dapat diikuti oleh sistem pendidikan dan latihan yang memadai. Dinamika ini mempengaruhi kebutuhan akan pengetahuan yang tepat dan memadai bagi kaum profesional. Sebagaimana yang disinyalir Handy (1989) dan Habermas (1977), kegiatan profesional di jaman moderen merupakan aktifitas rumit yang memerlukan kemampuan interpretasi dan kreativitas, selain kemampuan teoritis dan teknis. Pekerjaan-pekerjaan di jaman kini melibatkan dilema nilai, konteks sosial-ekonomi14

Dalam akreditasi dan standardisasi, ketrampilan pustakawan pegawai negeri diawasi oleh kelompokkelompok pembina yang diisi oleh pustakawan-pustakawan senior yang juga biasanya adalah birokrat senior. Cara seperti ini tentu saja kurang diminati oleh para pustakawan yang bekerja di luar sektor pemerintahan, sehingga timbul perbedaan tentang cara-cara mengukur kompetensi profesional pustakawan di Indonesia. Imbauan agar pustakawan di swasta menerapkan jenjang seperti di pemerintah mengingat "perlunya keseragaman" (Rompas, 1996) kurang mendapat sambutan.

yang rumit, dan situasi yang hakikat teritorinya terus berubah, selain juga batasbatasnya selalu kabur. Menurut Lester (1995) seorang praktisi bekerja di sebuah sistem yang rumit dan dinamis. Ia memang menggunakan pengetahuannya, tetapi ia juga memerlukan kemampuan sintesis, pemahaman situasi, etika, dan kemampuan menginterpretasi makna dari sebuah situasi dari berbagai perspektif dan sisi pandang. Diklat pustakawan yang diselenggarakan institusi pemerintah seringkali tidak sempat memperhatikan hal ini karena dua alasan sebelumnya. Akibatnya, diklat itu kurang populer, terutama di kalangan pustakawan non-pemerintah yang lebih mandiri dan beroirentasi swasta. Dari ketiga sebab yang diuraikan di atas inilah maka kita dapat menyimpulkan bahwa landasan keahlian kepustakawanan Indonesia yang selama ini dibangun oleh PNRI maupun IPI lebih menegaskan karakter kepustakawanan pelat-merah. Profesionalisme pustakawan Indonesia yang coba dikembangkan oleh kedua institusi ini adalah profesionalisme yang berorientasi kepegawai-negerian. Sekali lagi, ini tidak dapat dilepaskan dari akar sejarah kelahiran profesi pustakawan di Indonesia. Memang, belakangan ini telah terjadi berbagai perubahan. Salah satu isu baru yang kini mejadi perhatian para pustakawan Indonesia, terutama mereka yang bekerja di perguruan tinggi dan perpustakaan khusus, adalah ketrampilan dan kompetensi dasar (skills or competencies). Persoalan kompetensi pustakawan tentulah bukan hanya persoalan Indonesia. Menurut Diamond dan Dragich (2001) seorang pustakawan di mana pun di jaman serba komputer ini menghadapi persoalan jauh lebih pelik. Basis profesionalisme pustakawan saat ini sedang diperiksa secara kritis. Apakah pengetahuan teoritisakademis sebagai landasan profesionalisme pustakawan sudah memadai untuk kondisi masyarakat yang sudah gandrung internet? Untuk menjawab tantangan jaman, pustakawan dituntut mengembangkan kompetensi inti (core competency). Ketrampilan atau kompetensi merupakan penerapan pengetahuan dalam kegiatan praktis. Pada dasarnya, ukuran tentang ketrampilan ini penting untuk memenuhi permintaan penyewa tenaga pustakawan maupun klien. Asosiasi profesi biasanya merupakan institusi yang paling aktif membentuk kompetensi inti, namun yang mereka bentuk biasanya lebih bersifat umum dan tidak memenuhi kebutuhan spesifik dari perpustakaan-perpustakaan sesungguhnya. Bahkan dalam asosiasi yang spesifik, seperti Special Libraries Association (SLA), di dalam dokumen mereka, "Competencies for Special Librarians of the 21st Century", kompetensi didefinisikan secara umum sebagai "interplay of knowledge, understanding, skills, and attitudes required to do a job effectively. Definisi yang terlalu umum ini kemudian masih harus diterjemahkan menjadi lebih spesifik di berbagai kegiatan spesifik dalam lingkungan kepustakawanan khusus.

Sepengetahuan penulis, IPI maupun PNRI sampai saat tulisan ini dibuat belum sepenuhnya memiliki strategi pengembangan kompetensi dasar pustakawan. Namun IPI secara tidak langsung memberikan peluang bagi organisasi-organisasi yang lebih khusus untuk muncul dalam bentuk berbagai forum (misalnya, yang paling aktif adalah Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia). Organisasi-organisasi yang lebih spesifik ini punya peluang lebih besar untuk mengembangkan kompetensi dasar profesi pustakawan dalam konteks pekerjaan yang tidak hanya terbatas pada birokrasi pemerintahan. Pengembangan standar kompetensi oleh kelompok-kelompok khusus di kalangan pustakawan Indonesia ini memungkinkan munculnya organisasi-organisasi yang lebih spesifik. Hubungan organisasi-organisasi ini dengan pemerintah mungkin akan lebih longgar sehingga kesan pelat-merah mungkin akan pupus sedikit demi sedikit. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, pandangan dan keinginan melakukan reformasi serta ide tentang civil society diperkirakan akan mempengaruhi perkembangan asosiasi profesi, termasuk asosiasi profesi pustakawan. Namun, bagaimana nantinya perkembangan IPI di masa pasca Orde Baru, masih harus kita tunggu. Panggilan Jiwa Pustakawan Profesional atau Tidak? Jika profesionalisme dikaitkan dengan pendidikan dan latar belakang keahlian seperti diuraikan pada bagian sebelumnya, maka sosok pustakawan di mata masyarakat sebenarnya merupakan sosok yang menimbulkan problematika tersendiri dalam kepustakawanan di Indonesia. Di dalam sejarah kepustakawanan Indonesia, sebenarnya banyak tokoh yang memegang peranan mengembangkan perpustakaan, namun tidak sepenuhnya menjadi profesional. Di Indonesia, seperti halnya juga di negara-negara lain, ada banyak perpustakaan pribadi dan tokoh-tokoh pendidikan serta tokoh-tokoh masyarakat yang mengembangkan perpustakaan di kediaman mereka. Bung Hatta dan Bung Karno adalah tokoh-tokoh yang terkenal sangat gemar membaca dan menghimpun begitu banyak buku di perpustakaan-perpustakaan mereka. Tokoh pejuang-pendidik seperti Ki Hajar Dewantoro dan tokoh Belanda yang anti-kolonial seperti Ernest Douwes Dekker (yang kemudian menjadi Danudirja Setiabudhi) juga adalah tokoh-tokoh yang aktif menyediakan koleksi pribadi mereka untuk umum. Sayang sekali belum ada kajian khusus sejarah perpustakaan pribadi ini dalam kepustakawanan Indonesia. Di jaman setelah kemerdekaan, perpustakaan pribadi milik pengarang NH Dini atau ilmuwan Doddy Tisna Amijaya, pemikir Daud Jusuf, pengusaha Masagung, bintang film Yessy Gusman (untuk menyebut beberapa nama saja) berkembang menjadi perpustakaan-perpustakaan untuk umum. Kegiatan pengelolaan perpustakaanperpustakaan pribadi dan semangat para pendirinya seringkali luput dari pengamatan tentang perkembangan profesionalisme pustakawan. Sangatlah jelas bahwa citra profesional yang dikembangkan kepustakawanan Indonesia tidak pas untuk

kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat hobi atau pengabdian belaka. Padahal, salah satu ciri yang dikembangkan dalam analisa taksonomi profesionalisme adalah ketertarikan seseorang kepada sebuah pekerjaan sebagai panggilan jiwa (calling) untuk mengabdikan diri kepada orang banyak. Tampaknya ciri inilah yang paling sering diabaikan dan dikalahkan oleh ciri latar-belakang pendidikan. Pendekatan taksonomi-fungsional tidak dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa profesionalisme pustakawan Indonesia mengabaiikan ciri panggilan jiwa ini. Untuk mencoba mencari penjelasan, kita sekali lagi memerlukan analisa konteks historis dan sosial-budaya perkembangan kepustakawanan Indonesia. Di dalam sejarah kemerdekaan, sebagaimana telah diulas di atas, kepustakawanan Indonesia sangat berkaitan erat dengan program-program pemerintah untuk memberantas buta-huruf. Sebenarnya, kalau dilihat lebih seksama, pemerintah Indonesia belum punya rencana yang jelas dan padu sampai 10 tahun awal kemerdekaan. Upaya mendirikan bangsa Indonesia yang membaca dan menulis sebenarnya justru sudah dilakukan oleh orang perorangan. Sebelum Indonesia merdeka, salah satu tokoh pendidikan, yaitu Ki Hadjar Dewantara, sudah mulai menyebarkan ketrampilan baca-tulis ini dengan cara ketoktular. Dia menghimbau setiap orang Indonesia yang sudah bisa membaca dan menulis untuk mengajarkannya kepada sanak saudara atau teman-teman dekat. Rumah Ki Hadjar dijadikan pusat aktivitas belajar membaca dan dia juga menghimbau agar rumah-rumah lain bersedia membuka sekolah-sekolah non-formal. Upaya individual ini tentu saja tidak terlalu efisien. Ketika Indonesia akhirnya merdeka, statistik resmi menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen penduduk yang dapat membaca dan menulis. Tetapi upaya tersebut menunjukkan semangat besar untuk mengabdi kepada orang lain dan membangun masyarakat membaca. Di dalam kepustakawanan moderen, aktivitas individu dan kelompok-kelompok nonpemerintah ini sebenarnya dapat menjadi pondasi bagi perkembangan perpustakaan umum. Kalau kita melihat sejarah perpustakaan di negara-negara moderen, maka ternyata peran orang-orang tertentu (misalnya Carnegie di Inggris, Melvil Dewey di Amerika Serikat) sangat menentukan pertumbuhan perpustakaan untuk masyarakat umum. Semangat kedermawanan (filantrofi) menjadi salah satu motor, selain juga altruisme (berbuat baik atau mendahulukan kepentingan untuk orang lain). Di Indonesia, rupanya semangat dan kegiatan beberapa orang yang peduli ini terlalu sedikit untuk sebuah negara besar yang baru merdeka dan miskin. Satu-satunya institusi yang mampu menyelenggarakan perpustakaan untuk umum secara meluas adalah negara. Itu sebabnya, pemerintahlah yang membentuk jaringan perpustakaan rakyat pada tahun 1957. Pengelolaannya diserahkan kepada Djawatan Pendidikan Masjarakat, dengan bantuan masyarakat setempat yang tentunya diasumsikan cukup punya semangat dan tenaga untuk mengembangkan perpustakaan. Jenis perpustakaan dibagi dua menurut lokasinya, yaitu Taman Pustaka Masyarakat tingkat C di ibu kota propinsi dan Taman Pustaka tingkat B di ibu kota kabupaten.

Perpustakaan yang di kabupaten ini juga mengelola perpustakaan-perpustakaan tingkat A di desa-desa di bawahnya. Semua biaya penyelenggaraan datang dari pemerintah pusat, yatu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah buku yang disebarkan dari pusat itu berkisar antara 200 sampai 1000 buku per tahun. Tidak berapa lama, terlihatlah betapa sistem terpusat ini sangat sulit berkembang, dan pengiriman buku pun mulai tersendat. Jumlah perpustakaan yang sangat besar dan ongkos kirim yang tidak murah telah membuat pemerintah kewalahan. Perlahan tapi pasti, orang mulai lupa kepada nilai penting perpustakaan umum sebagaimana dicanangkan pada masa perdananya. Menarik untuk dicatat di sini, walaupun sudah memasuki masa kemerdekaan, pola penyelenggaraan perpustakaan umum sebenarnya melanjutkan pola kolonial. Seperti yang diuraikan Soeprapto (1988, h. 37 - 52), pemerintah pusat bertindak sebagai penyedia buku, dan bahkan penyusun dan penerbitnya sekalian. Berbagai departemen menjadi produsen utama buku-buku bacaan ini, mulai dari paket-paket untuk belajar membaca (paket A1 sampai A100) , paket program Kejar Usaha, paket bantuan UNESCO yang dikelola Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan olahraga, majalah Desaku dan harian Karya Dharma dari Direktorat Pembangunan Desa, dan berbagai buku dari Dinas P dan K (Pemerintah Daerah). Terlepas dari kenyataan bahwa tujuan pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia adalah berbeda, namun pola yang sama ini menunjukkan cara berpikir sama: bahwa perpustakaan umum bukanlah lembaga independen yang ditumbuhkan oleh masyarakat. Jumlahnya yang besar, pola pengembangan yang tersentralisasi, kondisi keuangan pemerintah pusat yang tidak memadai, dan inefisiensi karena tidak adanya koordinasi antar departemen akhirnya menyeret perpustakaan umum ke titik terendah dalam unjuk kerjanya. Sepanjang 1960-an, praktis tidak terjadi perkembangan yang berarti, walaupun sudah ada lagi surat keputusan Mendikbud yang memerintahkan pendirian Perpustakaan Rakyat dan Perpustakaan Negara. Kemudian, pada 1964 keluar surat keputusan untuk mendirikan Perpustakaan Nasional. Namun diperlukan sekian puluh tahun lagi untuk akhirnya Indonesia memiliki perpustakaan nasional. Pada masa awal Orde Baru, Biro Perpustakaan dihapus dan digantikan oleh Lembaga Perpustakaan. Departemen Pendidikan Massa juga diganti dengan Direktorat Pembangunan Masyarakat, dan semua perpustakaan yang ada di bawahnya berganti nama dari Perpustakaan Rakyat menjadi Perpustakaan Masyarakat. Pemerintah pusat mulai mengalihkan penanganan perpustakaan umum ini ke pemerintah daerah. Patut pula dicatat bahwa, di luar perpustakaan umum yang dikendalikan oleh Depdikbud, ada lagi upaya pendirian ruang baca yang dikoordinasikan oleh Menteri Penerangan di kantor-kantor wilayahnya. Bahkan beberapa departemen lain juga berupaya memiliki perpustakaan-perpustakaan sendiri untuk kepentingan masing-masing. Terlepas dari kenyataan bahwa setiap departemen memang punya hak untuk itu,

upaya-upaya yang tidak terkoordinasikan ini seringkali malah menyebabkan inefisiensi. Pada masa Orde Baru, yang segera terlihat nyata adalah pembangunan fisik gedung-gedung perpustakaan umum. Namun dari segi mutu layanan, tampaknya tidak ada banyak perubahan berarti. Menurut Pringgoadisuryo dan Moejono (1992), perpustakaan umum sulit sekali berkembang karena pengurusnya dianggap eselon V sehingga sulit menarik personil yang dinamis. Selain itu, walaupun pemerintah menetapkan dalam berbagai surat keputusan bahwa perpustakaan adalah lembaga yang penting, namun pada kenyataannya perhatian dalam bentuk dana yang mencukupi tidak pernah diberikan. Pola rekrutmen pun tidak memperlihatkan bahwa pemerintah serius menangani pengembangan perpustakaan umum. Banyak timbul kesan bahwa perpustakaan umum hanyalah tempat pembuangan bagi pegawai yang tidak dipakai ditempat lain. Secara keseluruhan, perpustakaan umum memperlihatkan ciri-ciri lembaga pemerintah yang lamban, birokratis, dan terbengkalai. Asosiasi profesi pustakawan Indonesia tidak dapat berbuat terlalu banyak untuk memperbaiki situasi ini. Dominasi dan ketergantungan kepada fasilitas pemerintah telah membuat perpustakaan umum dan para pegawainya sebagai bagian tak terpisahkan dari birokrasi pemerintahan. Semua persoalan birokrasi pemerintahan menjadi persoalan penyelenggaraan perpustakaan umum pula. Peran IPI maupun PNRI dalam hal ini menjadi terkonsentrasi kepada pengembangan administrasi pemerintahan dan semakin menegaskan ke-pelat merah-an kepustakawanan Indonesia. Pada saat yang sama, kesibukan IPI dan PNRI mengurusi perpustakaan pemerintah mengurangi pula perhatian kepada perpustakaan-perpustakaan yang didirikan oleh lembaga non-pemerintah, yayasan, sanggar, dan perseorangan. Perpustakaan-perpustakaan jenis ini berkembang sendiri, tanpa rujukan ke main stream kepustakawanan Indonesia, walaupun sebenarnya mereka merupakan alternatif terbaik bagi banyak lapisan masyarakat di Indonesia, terutama masyarakat yang kurang mampu. Keterpisahan antara perpustakaan resmi dan perpustakaan tidak resmi inilah yang, menurut penulis, merupakan salah satu sebab utama mengapa prinsip tentang profesi sebagai panggilan jiwa kurang dikembangkan oleh IPI maupun PNRI. Di lain pihak, masyarakat pun akhirnya melihat sosok pustakawan dengan cara berbeda. Di satu sisi mereka memandang pustakawan di perpustakaan-perpustakaan umum sebagai birokrat dan pegawai pemerintahan yang bercirikan pegawai negeri pada umumnya, di sisi lain mereka melihat pustakawan berbagai organisasi non-pemerintah sebagai pekerja sosial yang tidak mementingkan latar belakang pendidikan keahlian. Ukuran yang dikenakan kepada pustakawan sebagai pekerja sosial ini sangat berbeda dengan ukuran yang dikenakan kepada pegawai pemerintah sebagai abdi-negara. Profesionalisme berbau birokrasi yang dikembangkan IPI dan PNRI tidak digunakan untuk mengembangkan perpustakaan tidak resmi, sebab para pustakawan yang

bekerja sukarela di lembaga-lembaga non-pemerintahan itu mendapatkan mandat masyarakat berdasarkan ketulusan mereka, bukan berdasarkan keahlian berbasis latihan atau pendidikan. Kita kini dapat melihat problematika lain kepustakawanan Indonesia, khususnya dalam hal panggilan jiwa seorang profesional. Baik IPI maupun PNRI tidak mengembangkan citra pustakawan yang tulus terpanggil membantu masyarakatnya, melainkan seorang administrator yang tertib dan mengikuti aturan-aturan birokrasi. Jika profesionalisme pustakawan Indonesia terus diarahkan ke situ, maka tidaklah heran kalau ciri-ciri panggilan jiwa di kalangan pustakawan semakin menipis, terutama di kalangan pustakawan yang berpendidikan perguruan tinggi atau lulusan kursus-kursus yang diselenggarakan lembaga pemerintah. Sementara itu, di kalangan masyarakat terus saja ada orang-orang yang dengan berbagai kemauan dan kemampuan mereka menyelenggarakan layanan perpustakaan kepada umum. Sebagaimana dikatakan Reksodiputro (2002), perpustakaan yang diselenggarakan oleh perorangan atau yayasan di luar institusi resmi pada umumnya membutuhkan relawan-relawan. Mereka tidak harus profesional, melainkan memiliki apa yang disebutnya sebagai minat pada dunia perpustakaan dan punya sikap dasar ingin membantu. Minat dan sikap seperti ini justru lebih diperlukan di lapangan, terutama untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat sasaran jasa perpustakaan. Kondisi masyarakat marginal yang sering jadi sasaran jasa perpustakaan keliling membutuhkan keahlian merebut kepercayaan masyarakat, agar tidak ada kesan memaksa dan mengambil keuntungan dari keadaan miskin mereka. Dari segi ini, maka sesungguhnya pustakawan yang bekerja di perpustakaan untuk umum memilki karakteristik pekerja sosial (social worker). Sebagai pekerja sosial, seringkali pustakawan akhirnya memerlukan pendidikan khusus, terutama yang berbasis pengetahuan sosialbudaya masyarakat15. Namun, sebagaimana diuraikan di atas, IPI dan PNRI kurang menekankan aspek ini, sehingga akhirnya semangat bekerja di masyarakat umum yang seharusnya menjadi ciri profesionalisme pustakawan Indonesia pun tidak berkembang. Rangkuman dan Kesimpulan Di dalam artikel ini penulis berargumen bahwa perkembangan profesionalisme pustakawan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Untuk dapat memahami profesionalisme pustakawan Indonesia, kita tidak lagi dapat menggunakan teori taksonomi-fungsional seperti yang dikembangkan15

Flexner, tokoh teori profesionalisme taksonomis yang sering dijadikan rujukan untuk membahas profesionalisme sebenarnya memulai analisanya berdasarkan penelitian tentang pekerja sosial. Sejak Flexner menulis Is Social Work a Profession, pekerja sosial mendapatkan perhatian akademik dan akhirnya kini berkembang di negara-negara kesejahteraan (welfare states) menjadi profesi khusus yang dilengkapi pengetahuan dan ketrampilan khusus.

Flexner dan banyak dipakai para analis kepustakawanan Indonesia, karena teori ini hanya membahas ciri-ciri sebuah profesi. Demikian pula, kita tidak bisa membahas IPI sebagai asosiasi profesi hanya dengan memeriksa ciri-cirinya (memiliki AD/ART, memiliki anggota, anggotanya mendapat pendidikan, dsb.). Pemeriksaan seperti ini tidak akan dapat menjelaskan, mengapa IPI jadinya seperti sekarang. Hubungan antara IPI dan PNRI juga tidak dapat dijelaskan kalau kita hanya berkonsentrasi kepada pemenuhan prasyarat organisasi profesi yang cenderung sudah terstruktur dan terberi (given). Sebagai sebuah organisasi profesi, IPI telah melalui proses cukup panjang. Pemeriksaan terhadap sejarah kelahiran IPI akan lebih membantu pemahaman kita tentang kondisi profesionalisme pustakawan Indonesia saat ini. Di dalam proses sejarah itulah, kita melihat betapa IPI dan PNRI telah tumbuh menjadi dua institusi yang sangat berperan dalam mengembangkan profesionalisme pustakawan khas Indonesia, yang pasti tidak ada duanya di dunia karena keunikan-keunikan budaya maupun latarbelakang sejarahnya. Analisa historis sebagaimana dilakukan di artikel ini telah membantu memetakan hubungan antara IPI dan PNRI sebagai dua institusi yang mendominasi perkembangan kepustakawanan Indonesia. Namun, semata-mata membuka lembaran sejarah juga tidak ada gunanya, jika tidak diikuti dengan pemeriksaan yang lebih seksama tentang pola hubungan kekuasaan (power relationships) antara IPI dan PNRI di dalam kerangka negara-bangsa Indonesia yang dibangun oleh Rejim Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai wadah tunggal, IPI lahir dan dibesarkan oleh Orde Baru, sehingga ciri-cirinya tidak dapat dilepaskan dari politik pemerintahan yang sentralistik dan paternalistik. Terlebih-lebih lagi, sejarah perkembangan perpustakaan Indonesia menunjukkan bahwa institusi pemerintah merupakan institusi yang paling dominan. Sejak awal, perpustakaan di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari program-program pemerintahan, terutama yang berhubungan dengan pemberantasan buta-huruf dan pendidikan massal. Sejarah dan karakteristik awal pekerja-pekerja di perpustakaan pemerintah kolonial maupun pemerintah Indonesia inilah yang menjadi pondasi bagi pustakawan pelat merah yang dengan sendirinya memiliki karakteristik sebagai birokrat-administrator. Pondasi ini pulalah yang menyebabkan hubungan IPI dan PNRI tampak begitu erat sebagai dua institusi yang melakukan modernisasi terhadap birokrasi pemerintahan, tetapi akhirnya terjebak pada birokratisasi itu sendiri. Dengan kata lain, profesionalisme pustakawan Indonesia sebagaimana yang dikembangkan oleh IPI dan PNRI adalah profesionalisme pegawai negeri. Semua kondisi dan perkembagan kepegawaian negeri akan terus mempengaruhi pembentukan profesionalisme pustakawan di Indonesia. Perubahan akan terjadi ketika situasi sosial politik pemerintahan Indonesia berubah. Selain itu, dua tekanan yang menurut penulis akan mengubah orientasi profesionalisme pustakawan Indonesia adalah:

o kemajuan teknologi informasi dan penerapannya di dunia kepustakawanan Indonesia yang menuntut para pustakawan mencari sandaran di luar kekuasaan dan fasilitas negara. Dukungan legalitas insitusi pemerintah akan kurang diperhatikan manakala para pustakawan lebih merasa perlu menguasai ketrampilan teknologi yang didapat dari sumber-sumber lain (misalnya universitas dan industri komputer), o liberalisasi akses informasi yang melahirkan tuntutan kepada sumberdaya informasi yang terbuka, independen, dan bebas. Pemerintah akan dituntut untuk memberikan layanan informasi yang lebih mudah didapat oleh segala lapisan masyarakat. Tekanan ini akan berjalan seiring dengan dorongan demokratisasi, liberalisasi ekonomi, dan kemerdekaan berserikat. Pada akhirnya, profesionalisme yang berkembang bukan lagi profesionalisme atas restu negara, tetapi lebih mendekati profesionalisme neo-korporasi dan profesionalisme yang menekankan pada otonomi pribadi-pribadi profesional. Dua gejala di atas sudah mulai terlihat, terutama di kalangan para pustakawan yang bekerja di lembaga-lembaga swasta. Bersamaan dengan itu pula, profesionalisme pustakawan mengalami perluasan sekaligus kompartementalisasi dan spesifikasi. Jenisjenis pekerjaan yang menggunakan berbagai teknologi baru (misalnya, manajer-rekod, manajer rekam-medis, atau information architect) akan melahirkan tuntutan baru yang tidak lagi dapat dipenuhi oleh asosiasi profesi kalau asosiasi itu hanya mengandalkan legalitas negara atau perlindungan politik dari pemerintah. Pada saat seperti inilah asoasiasi profesi seperti IPI akan memerlukan transformasi menyeluruh. Daftar Bacaan Amarasinghe N. (1982), Library education and the practitioner : national libraries, dalam Library Education Programmes in Developing Countries with Special Reference to Asia, R. Bowden (ed.), London : Library Association, h. 31 35. Diamond, R. dan Martha Dragich (2001), Professionalism in Librarianship: Shifting the Focus from Malpractice to Good Practice dalam Library Trends, edisi Winter 2001. Berkas elektronik di www.findarticles.com/p/articles/ mi_m1387/is_3_49/ai_75278303.] Cigler, B. (1990). Public Administration and Paradox of Professionalism. Public Administration Review, Vol. 50, November/December, pp. 637-653. Farazmand, A. (1997), Professionalism, bureaucracy, and modern governance: a comparative analysis dalam Modern Systems of Government, Ali Farazmand (ed.), Thousand Oaks : Sage Publication. Flexner, A. (1915), Is social work a profession? dalam School and Society, vol 1, h. 901 911.

Freidson, E. (2001), Professionalism : The Third Logic, Chicago : The Universty of Chicago Press. Habermas, J (1977) Knowledge and Human Interests, Boston Ma. : Beacon Press. Handy, C (1989) The Age of Unreason, London : Century Business Harahap, B.H., JNB Tairas dan Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia (1998), Kiprah Pustakawan : Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia, Jakarta : Ikatan Pustawakan Indonesia. Hardjo-Prakoso, M. (1975) "Government policies affecting development and growth of libraries in Indonesia" dalam Proceeding of the Third Conference of South East Asian Libraries, Jakarta : Ikatan Pustakawan Indonesia. Hariadi, S. S. (1983), "Pendidikan program diploma perpustakaan di Indonesia", Majalah Ilmu Perpustakaan dan Informatika, Januari-Agustus, h. 4 - 11. Hernandono (1997), Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) dari masa ke masa dalam Prosiding Rakerpus IPI Ke-9 dan Seminar Ilmiah Th. 1997, Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, h. 57 66. Hirschmann, D. (1999), Development management versus third world bureaucracies: a brief history of conflicting interests dalam Development and Change vol. 30, h. 287-305. Huque, A.S., Jermain TM Lam, Jane CY Lee (1996) Public Administration in the NICs, London : McMillan Press. Kanakmani, T. (1995), The national library of Thailand and its role in library cooperation, dalam National Libraries 3, Maurice B. Line dan Joyce Line (ed.), London : Aslib., h. 181 186 Kartosedono, S. (2004), Gambaran selintas proses pembentukan dan pendirian Perpustakaan Nasional Indonesia, makalah Temu Ilmiah Berdirinya Perpustakaan Nasional RI dan Peran Organisasi Profesi, Jakarta Juni 2004. Berkas elektronik. Diturunkan dari http://202.155.38.12/download/pdf/e-papers. Krause, E.A. (1996), Death of the Guilds : Professions, States, and The Advance of Capitalism, 1930 to the Present, New Haven : Yale University Press. Lerner, F. (1998) The History of Libraries : from the invention of writng to the computer age. New York : Continuum. MacDonald, K., (1995) The Sociology of the Professions, London: Sage Publications. Montgomery, V.W. (1998). Changing Public Sector Values. New York : Galland Publishing, Inc.

Morehead, J. (1980), Theory and Practice in Library Education, Chicago : Libraries Unlimited. Mosher, F.C. (1968). Democracy and Public Service. New York: Oxford University Press. O'Connor, D. dan J.P. Mulvaney (1996), "LIS facultie research and expectations of the accademic culture versus the needs of the practitioners" dalam Journal of Education for Library and Information Science, v 37 no 4, h. 306 - 316. Pendit, P.L. (1993), Perpustakaan umum, golongan menengah, dan demokratisasi : sebuah tinjauan awal tentang sejarah peran perpustakaan umum dalam masyarakat Indonesia. Laporan Penelitian OPF Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1993-1994 (tidak diterbitkan). Pringgoadisurjo, L. dan P. Moedjono (1992), School and public libraries and information access: a survey requested by the World Bank, June 24 - November 24, 1992 (tidak dipublikasikan). Reksodiputro, N. (2002), Bersama mengajak anak membaca, makalah untuk Seminar Ilmu Perpustakaan Informasi dan Perpustakaan dalam rangka 50 Tahun Jurusan Ilmu Perpustakaan, FIB-UI, Jakarta, 5 Agustus 2002 (tidak diterbitkan). Riggs, F. C. (1997). Coups and Crashes: Lessons for Public Administration. Dalam Modern Systems of Government: Exploring the Role of Bureaucrats and Politicians Farazmand, Ali. (ed.), Thousand Oaks, London: Sage Publications, p. 25. Rungkat, T. (1997), Education and Training for Librarianship in Indonesia 1945 - 1984, Melbourne : Ancora Press. Rockman, B.A. (1997). Honey, I Shrank the State. On the Brave New World of Public Administration. Dalam Modern Systems of Government: Exploring the Role of Bureaucrats and Politicians Farazmand, Ali. (ed.), Thousand Oaks, London: Sage Publications, p. 281. Rompas, J.P. (1996), "Standar jabatan dan kepangkatan di kalangan pustakawan" dalam Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia v 18 no 1-2, h. 16 - 22. Sadli (2004), Buku Belanda ikut memerdekakan Indonesia dalam Bukuku Kakiku, Sulatro, St., Wandi S. Brata, Pax Benedanto (ed.), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, h. 323 - 336. Sayangbati-Dengah, W.W. (2004), Dunia perpustakaan dan kepustakawanan sebelum dan sesudah berdirinya Ikatan Pustakawan Indonesia: dalam rangka mendukung berdirinya Perpustakaan Nasional, makalah untuk Temu Ilmiah Berdirinya Perpustakaan Nasional RI dan Peran Organisasi Profesi, Jakarta Juni 2004. Berkas elektronik. Diturunkan dari http://202.155.38.12/download/pdf/epapers. Setiadi, H. F. (1991), "Kolonialisme dan budaya : Balai Poestaka di Hindia Belanda" dalam Prisma no. 10 th. XX, Oktober, h. 23 - 46.

Setiarso, B. (1997), Pemberdayaan organisasi IPI dalam menyongsong era informasi pada abad 21 dalam Prosiding Rakerpus IPI Ke-9 dan Seminar Ilmiah Th. 1997, Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, h. 67 - 76. Siegrist, H. (1990), Professionalization as a process: patterns, progression and discontinuity dalam Professions in Theory and History : Rethinking the Study of Professions, Burrage, M. dan Rolf Torstendahl (ed.), London : Sage Publication, h. 177 202. Sudarsono, B. (1997), Pemberdayaan organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), dalam Prosiding Rakerpus IPI Ke-9 dan Seminar Ilmiah Th. 1997, Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, h. 76-89. Sulistyo-Basuki (1979), Sejarah organisasi pustakawan di Indonesia dalam Berita Perpustakaan Sekolah 2, h. 52 56. Sulistyo-Basuki, L. (1986), "Pendidikan pustakawan Indonesia serta luarannya", dalam Prosiding Seminar dan Rapat Kerja IPI Oktober 24 - 26 1985 di Bandung, Jakarta : PB IPI, h. 17 - 24. Sulistyo-Basuki (1992), Perpustakaan Indonesia pada zaman kerajaan lokal dan Hindia Belanda dalam Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, vol. 14 no. 4, hal. 41-57. Sulistyo-Basuki (1998), "The rise and growth of libraries in pre-war Indonesia" dalam Library History, v. 14, h. 55 - 64. Sulistyo-Basuki (2004), Perpustakaan Nasioal dan asosiasi pustakawan di Indonesia dilihat dari segi sejarah, makalah untuk Temu Ilmiah Berdirinya Perpustakaan Nasional RI dan Peran Organisasi Profesi, Jakarta Juni 2004. Berkas elektronik. Diturunkan dari http://202.155.38.12/download/pdf/e-papers. Soeprapto (1989), Pembinaan perpustakaan umum secara terpadu, dalam Laporan seminar dan rapat kerja Ikatan Pustakawan Indonesia (September 27 - 29 1988) , Jakarta : Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia. Tjoen, M. J. dan S. Pardede (1966), Perpustakaan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta : Kantor Bibliografi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wilensky, H.L. (1964), The Professionalization of everyone dalam American Journal of Sociology, vol 70 no 2, hal. 137 158. Williamson, W.L (1999), "Library consultant in Indonesia : the work of AGW Dunningham" dalam Library Quarterly, v. 69. h. 57 - 67. Zultanawar (1986), "Tanggapan atas makalah Dr. Sulistyo-Basuki" dalam Prosiding Seminar dan Rapat Kerja IPI Oktober 24 - 26 1985 di Bandung, Jakarta : PB IPI, h. 32 34