Upload
rinafitriani4236
View
245
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
materi profil banten untuk SD
Citation preview
PROFIL PROVINSI BANTEN
Nama Resmi : Provinsi Banten
Ibukota : Serang
Luas Wilayah : 9.662,92 Km2 *)
Jumlah Penduduk : 9.978.932 jiwa *)
Suku Bangsa : Sunda, Baduy
Agama : Islam, Protestan, Katolik dan Sunda Wiwitan
Wilayah Administrasi : Kab.: 4, Kota : 4, Kec.: 155, Kel.: 313, Desa : 1.238 *)
Website : http://www.bantenprov.go.id
*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015
Sejarah
Dahulu wilayah Banten (Cilegon, Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak)
merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun dengan adanya pemekaran daerah
maka sejak tanggal 4 Oktober 2003 Banten resmi menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota
Serang. Meskipun usianya masih muda Banten mempunyai sejarah panjang dalam
perjuangan bersama dengan daerah-daerah yang lainnya, utamanya perjuangan melawan
kaum kolonialisme / penjajahan.
Arti Logo
Kubah Mesjid, melambangkan kultur masyarakat yang agamais.
Bintang bersudut lima, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menara Mesjid Agung Banten, melambangkan semangat tinggi, yang berpedoman pada
petunjuk Allah SWT.
Gapura Kaibon, melambangkan Daerah Propinsi Banten sebagai pintu gerbang peradaban
dunia, perekonomian dan lalu lintas internasional menuju era globalisasi.
Padi berwarna kuning berjumlah 17 dan kapas berwarna putih berjumlah 8 tangkai, 4
kelopak berwana coklat, 5 kuntum bungamelambangkan Propinsi Banten merupakan daerah
agraris, cukup sandang pangan. 17-8-45 menunjukkan Proklamasi Republik Indonesia.
Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan alam dan menunjukkan dataran rendah
serta pegunungan.
Badak bercula satu, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah dalam menegakkan
kebenaran dan dilindungi oleh hukum.
Laut berwarna biru, dengan gelombang putih berjumlah 17 melambangkan daerah maritim,
kaya dengan potensi lautnya.
Roda gerigi berwarna abu-abu berjumlah 10, menunjukkan orientasi semangat kerja
pembangunan dan sektor industri.
Dua garis marka berwarna putih, menunjukkan landasan pacu Bandara Soekarno Hatta.
Lampu bulatan kuning, melambangkan pemacu semangat mencapai cita-cita.
Pita berwarna kuning, melambangkan ikatan persatuan dan kesatuan masyarakat Banten.
Semboyan "IMAN TAQWA" sebagai landasan pembangunan menuju Banten Mandiri, Maju dan
Sejahtera.
Arti warna yang digunakan dalam simbol daerah:
Merah : melambangkan keberanian
Putih : melambangkan suci, arif dan bijaksana
Kuning : melambangkan kemuliaan, lambang kejayaan dan keluhuran
Hitam : melambangkan keteguhan, kekuatan dan ketabahan hati
Abu-abu : melambangkan ketabahan
Biru : melambangkan kejernihan, kedamaian dan ketenangan
Hijau : melambangkan kesuburan
Coklat : melambangkan kemakmuran
Nilai Budaya
Terdapat 20 seni tradisional yang dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
Seni Tradisional yang sangat kental diwarnai agama Islam yang perkembangannya hidup
bersama agama itu sendiri. Seni-seni dalam katagori ini adalah : ngabedug (seni bedug), seni
rampak bedug, seni qasidah, terebang gede, marhaba rakbi, dzikir saman, debus, patingtung,
rudat, angklung buhun, dog dog lojor, bendrong lesung, ubrug dan beluk.
Seni Tradisional yang datang dari luar Banten tapi telah mengalami proses akulturasi budaya
sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten. Termasuk katagori ini adalah seni-seni kuda
lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek.
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/36/banten
Lambang daerah berbentuk perisai dengan warna dasar hijau, di dalamnya terdapat gambar
unsur-unsur lambang dan tulisan “BANTEN”, serta didesain pita berwarna kuning dengan tulisan
“IMAN TAQWA”.
Lambang daerah terdiri dari 2 (dua) bagian perincian sebagai berikut :
A. Bentuk Gambar
1. Kubah Mesjid, melambangkan kultur masyarakat Banten yang agamis.
2. Bintang Ilahi, Pengejawantahan Pancaran Semangat Keyakinan yang menyinari seluruh
jiwa masyarakat Banten
3. Menara Mesjid Agung Banten bertingkat dua berwarna putih dengan Memolo berwarna
merah, menjulang tinggi ke angkasa, melambangkan masyarakat Banten mempunyai
semangat yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat madani, serta adanya tujuan mulia
yang senantiasa berpedoman pada petunjuk Allah Swt, Menara Mesjid Agung juga
melambangkan budaya dan sejarah Banten yang kokoh pada pendirian zaman
kesultanan.
4. Gapura Kaibon berwarna putih, melambangkan Daerah Propinsi Banten sebagai pintu
gerbang peradaban dunia dan pintu gerbang perekonomian dan lalu lintas internasional
menuju era globalisasi.
5. Padi berwarna kuning berjumlah 17 (tujuh belas) dan kapas berwarna putih berjumlah 8
(delapan) tangkai, 4 (empat) kelopak berwarna. coklat, 5 kuntum bunga melambangkan
Propinsi Banten merupakan daerah agrarisyang cukup sandang, pangan, jumlah padi
dan kapas menunjukkan hasil Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus1945.
6. Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan sumler daya alam dan tekstur tanah
yang agak bergelombang tidak merata terdiri dari dataran rendah dan pegunungan.
7. Badak Bercula Satu berwarna hitam adalah satwa langka satu-satunya yang dilindungi
dunia, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah dalam menegakkan
kebenaran dan dilindungi oleh hukum.
8. Laut berwarna hitam dengan gelombangnya yang berwarna putih berjumlah 17 (tujuh
belas) melam¬bangkan daerah maritim yang kaya dengan potensi lautnya,
mencerminkan historis dan peluang ke depan Banten sebagai Bandar Samudera
Perdagangan Internasional serta mengandung makna kedalaman. jiwa, keluasan
wawasan dan pandangan, muara tempat berlindungnya masyarakat Banten.
9. Roda gerigi berwarna abu-abu. berjumlah 10 (sepuluh), melambangkan orientasi
semangat kerja pembangunan serta menunjukkan sektor industri.
10. Dua garis Marka, Landasan Pacu Bandara Soekarno Hatta berwaarna putih dan 3 (tiga)
Lampu Pemandu (Beacon Light) berbentuk bulatan berwarna kuning melambangkan
pemacu semangat untuk mencapai cita-cita. Makna yang terkandung dalam angka 8
(delapan), 9 (sembilan) dan 10 (sepuluh) mempunyai arti lahirnya Propinsi Banten yang
ditetapkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, tentang
pembentukan Propinsi Banten, pada tanggal 17 Oktober 2000.
11. Pita berwarna kuning sebagai pengikat, melambangkan betapa indah dan kuatnya ikatan
persatuan dan kesatuan dalam integritas dan heteroginitas masyarakat Banten.
12. Semboyan lambang daerah “IMAN TAQWA” sebagai landasan pembangunan menuju
Banten Mandiri, maju dan sejahtera (Darussalam).
B. Makna Warna Lambang
1. Warna merah, melambangkan keberanian yang didasari kebenaran.
2. Warna putih, melambangkan kesucian, kebijaksanaan dan kearifan.
3. Warna Kuning, melambangkan Kemu¬liaan, warna jiwa, lambang cahaya dan
kebahagiaan, lambang kejayaan dan keluhuran budi.
4. Warna hitam, melambangkan keteguhan, kekuatan dan ketabahan hati.
5. Warna abu-abu, melambangkan ketabahan.
6. Warna biru, melambangkan kejernihan, warna laut melambangkan kedamaian,
ketenangan.
7. Warna hijau, melambangkan kesuburan.
8. Warna coklat, melambangkan kemakmuran.
http://www.bantenprov.go.id/read/pemprov/14/makna-lambang.html#.Ve9rP9Kqqko
1. Administratif , Luas Wilayah, dan Letak Geografis.
Banten merupakan provinsi yang berdiri berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2000
secara administratif, terbagi atas 4 Kabupaten dan 2 Kota yaitu : Kabupaten Serang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon,
dengan luas 8.651,20 Km2. Letak geografis Provinsi Banten pada batas Astronomi 105º1'11² -
106º7'12² BT dan 5º7'50² - 7º1'1² LS, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2006 sebesar
9.308.944 Jiwa.
Letak di Ujung Barat Pulau Jawa memposisikan Banten sebagai pintu gerbang Pulau Jawa dan
Sumatera dan berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.
Posisi geostrategis ini tentunya menyebabkan Banten sebagai penghubung utama jalur
perdagangan Sumatera – Jawa bahkan sebagai bagian dari sirkulasi perdagangan Asia dan
Internasional serta sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial.
Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat dengan Selat Sunda,
serta di bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga wilayah ini mempunyai
sumber daya laut yang potensial.
2. Topografi.
Topografi wilayah Provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0 – 1.000 m dpl. Secara umum
kondisi topografi wilayah Provinsi Banten merupakan dataran rendah yang berkisar antara 0 –
200 m dpl yang terletak di daerah Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan
sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun daerah Lebak Tengah dan sebagian kecil
Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian berkisar 201 – 2.000 m dpl dan daerah Lebak Timur
memiliki ketinggian 501 – 2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung Sanggabuana dan
Gunung Halimun.
Kondisi topografi suatu wilayah berkaitan dengan bentuk raut permukaan wilayah atau morfologi.
Morfologi wilayah Banten secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu morfologi dataran,
perbukitan landai-sedang (bergelombang rendah-sedang) dan perbukitan terjal.
Morfologi Dataran Rendah umumnya terdapat di daerah bagian utara dan sebagian selatan.
Wilayah dataran merupakan wilayah yang mempunyai ketinggian kurang dari 50 meter dpl (di
atas permukaan laut) sampai wilayah pantai yang mempunyai ketinggian 0 – 1 m dpl.
Morfologi Perbukitan Bergelombang Rendah - Sedang sebagian besar menempati daerah
bagian tengah wilayah studi. Wilayah perbukitan terletak pada wilayah yang mempunyai
ketinggian minimum 50 m dpl. Di bagian utara Kota Cilegon terdapat wilayah puncak Gunung
Gede yang memiliki ketingian maksimum 553 m dpl, sedangkan perbukitan di Kabupaten Serang
terdapat wilayah selatan Kecamatan Mancak dan Waringin Kurung dan di Kabupaten
Pandeglang wilayah perbukitan berada di selatan. Di Kabupaten Lebak terdapat perbukitan di
timur berbatasan dengan Bogor dan Sukabumi dengan karakteristik litologi ditempati oleh satuan
litologi sedimen tua yang terintrusi oleh batuan beku dalam seperti batuan beku granit,
granodiorit, diorit dan andesit. Biasanya pada daerah sekitar terobosaan batuan beku tersebut
terjadi suatu proses remineralisasi yang mengandung nilai sangat ekonomis seperti cebakan bijih
timah dan tembaga.
3. Hidrologi dan Klimatologi.
Potensi sumber daya air wilayah Provinsi Banten banyak ditemui di Kabupaten Lebak, sebab
sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS), Provinsi Banten dibagi menjadi enam
DAS, yaitu :
1. DAS Ujung Kulon, meliputi wilayah bagian Barat Kabupaten Pandeglang (Taman Naional
Ujung Kulon dan sekitarnya);
2. DAS Cibaliung-Cibareno, meliputi bagian Selatan wilayah Kabupaten Pandeglang dan
bagian selatan wilayah Kabupaten Lebak;
3. DAS Ciujung-Cidurian, meliputi bagian Barat wilayah Kabupaten Pandeglang;
4. DAS Rawadano, meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten
Pandeglang;
5. DAS Teluklada, meliputi bagian Barat wilayah Kabupaten Serang dan Kota Cilegon;
6. DAS Cisadane-Ciliwung, meliputi bagian Timur wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang.
Tata air permukaan untuk wilayah Provinsi Banten sangat tergantung pada sumber daya air
khususnya sumber daya air bawah tanah. Terdapat 5 satuan Cekungan Air Bawah Tanah
(CABT) yang telah di identifikasi, yang bersifat lintas kabupaten maupun kota, antara lain CABT
Labuan, CABT Rawadano dan CABT Malingping dan lintas propinsi, meliputi CABT Serang –
Tangerang dan CABT Jakarta.
Potensi dari masing-masing satuan cekungan air bawah tanah ini, dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Labuan
CABT Labuan ini mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang (± 93 %) dan Kabupaten Lebak (± 7
%) dengan luas lebih kurang 797 km2. Batas cekungan air bawah tanah di bagian barat adalah
selat Sunda, bagian utara dan timur adalah batas pemisah air tanah dan di bagian selatan
adalah batas tanpa aliran karena perbedaan sifat fisik batuan. Jumlah imbuhan air bawah tanah
bebas (air bawah tanah pada lapisan akuifer tak tertekan/akuifer dangkal) yang berasal dari air
hujan terhitung sekitar 515 juta m3/tahun. Sedang pada tipe air bawah tanah pada akuifer
tertekan/akuifer dalam, terbentuk di daerah imbuhannya yang terletak mulai elevasi di atas 75 m
dpl sampai daerah puncak Gunung Condong, Gunung Pulosari dan Gunung Karang;
b. Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawadano
CABT Rawadano mencakup wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang, dengan
total luas cekungan lebih kurang 375 km2. Batas satuan cekungan satuan air bawah tanah ini di
bagian utara, timur dan selatan berupa batas pemisah air bawah tanah yang berimpit dengan
batas air permukaan yang melewati Gunung Pasir Pematang Cibatu (420 m), Gunung Ipis (550
m), Gunung Serengean (700 m), Gunung Pule (259 m), Gunung Kupak (350 m), Gunung Karang
(1.778 m), Gunung Aseupan (1.174 m) dan Gunung Malang (605 m). Sedang batas di bagian
barat adalah Selat Sunda.
Berdasarkan perhitungan imbuhan air bawah tanah, menunjukkan intensitas air hujan yang turun
dan membentuk air bawah tanah di wilayah satuan cekungan ini sejumlah 180 juta m3/tahun,
sebagian diantaranya mengalir dari lereng Gunung Karang menuju Cagar Alam Rawadano
sekitar 79 m3/tahun. Sedang air bawah tanah yang berupa mata air pada unit akuifer volkanik
purna Danau yang dijumpai di sejumlah 115 lokasi menunjukkan total debit mencapai 2.185
m3/tahun. Sementara itu pada unit akuifer volkanik Danau pada 89 lokasi, mencapai debit 367
m3/tahun. Total debit dari mata air keseluruhan sebesar 2.552 m3/tahun;
c. Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Serang – Cilegon
Satuan sub cekungan ini merupakan bagian dari CABT Serang – Tangerang, yang secara
administratif termasuk dalam wilayah Kota Serang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan
Kabupaten Pandeglang, dengan luas wilayah sekitar 1.200 km2. Batas satuan cekungan ini di
bagian utara adalah laut Jawa, bagian timur adalah K.Ciujung, bagian selatan merupakan batas
tanpa aliran dan bagian barat adalah Selat Sunda.
Dari hasil perhitungan neraca air menunjukkan jumlah imbuhan air bawah tanah di wilayah
satuan cekungan ini sebesar 518 juta m3/tahun, sedang jumlah aliran air bawah tanah pada tipe
lapisan akuifer tertekan sekitar 13 m3/ tahun, berasal dari daerah imbuhan yang terletak di
sebelah utara dan barat daya yang mempunyai elevasi mulai sekitar 50 m dpl.
d. Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Tangerang
Satuan sub cekungan ini mencakup wilayah Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten
Serang, Kabupaten Lebak dan sebagian Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat), dengan total
luas sekitar 1.850 km2. Batas sub cekungan ini di sebelah Utara adalah Laut Jawa, bagian timur
adalah Kali Cisadane, bagian Selatan yang merupakan kontak dengan lapisan nir akuifer, serta
bagian barat adalah Kali Ciujung.
Jumlah imbuhan air bawah tanah di seluruh sub CABT Tangerang sekitar 311 juta m3/tahun,
sedangkan jumlah aliran air bawah tanah tertekan terhitung sekitar 0,9 juta m3/tahun.
Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade) dan Gelombang La
Nina atau El Nino. Saat musim penghujan (Nopember - Maret ) cuaca didominasi oleh angin
Barat (dari Sumatera, Samudra Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari
Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Agustus), cuaca didominasi oleh angin Timur yang
menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian
pantai utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan
berkisar antara 22º C dan 32º C, sedangkan suhu di pegunungan dengan ketinggian antara 400
–1.350 m dpl mencapai antara 18º C –29º C.
Curah hujan tertinggi sebesar 2.712 – 3.670 mm pada musim penghujan bulan September – Mei
mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Pandeglang sebelah barat dan curah 335 – 453 mm
pada bulan September – Mei mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah Utara,
seluruh luas wilayah Kota Cilegon, 50% luas wilayah Kabupaten Tangerang sebelah utara dan
seluruh luas wilayah Kota Tangerang. Pada musim kemarau, curah hujan tertinggi sebesar 615 –
833 mm pada bulan April – Desember mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah
utara, seluruh luas wilayah Kota Cilegon, 50% luas wilayah Kabupaten Tangerang sebelah utara
dan seluruh luas wilayah Kota Tangerang, sedangkan curah hujan terendah pada musim
kemarau sebanyak 360 – 486 mm pada bulan Juni – September mencakup 50% luas wilayah
Kabupaten Tangerang sebelah selatan dan 15% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah
Tenggara.
4. Kemiringan
Kondisi kemiringan lahan di Provinsi Banten terbagi menjadi tiga kondisi yang ekstrim yaitu:
1. Dataran yang sebagian besar terdapat di daerah Utara Provinsi Banten yang memiliki
tingkat kemiringan lahan antara 0 – 15%, sehingga menjadi lahan yang sangat potensial
untuk pengembangan seluruh jenis fungsi kegiatan. Dengan nilai kemiringan ini tidak
diperlukan banyak perlakuan khusus terhadap lahan yang akan dibangun untuk proses
prakonstruksi. Lahan dengan kemiringan ini biasanya tersebar di sepanjang pesisir Utara
Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian Kabupaten Tangerang bagian utara serta
wilayah selatan yaitu di sebagaian pesisir Selatan dari Pandeglang hingga Kabupaten
Lebak;
2. Perbukitan landai-sedang (kemiringan < 15% dengan tekstrur bergelombang rendah-
sedang) yang sebagian besar dataran landai terdapat di bagian utara meliputi Kabupaten
Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang, serta bagian utara
Kabupaten Pandeglang;
3. Daerah perbukitan terjal (kemiringan < 25%) terdapat di Kabupaten Lebak, sebagian
kecil Kabupaten Pandeglang bagian selatan dan Kabupaten Serang.
Perbedaan kondisi alamiah ini turut berpengaruh terhadap timbulnya ketimpangan pembangunan
yang semakin tajam, yaitu wilayah sebelah utara memiliki peluang berkembang relatif lebih besar
daripada wilayah sebelah Selatan.
5. Jenis Tanah
Sumber daya tanah wilayah Provinsi Banten secara geografis terbagi dua tipe tanah yaitu: (a)
kelompok tipe tanah sisa atau residu dan (b) kelompok tipe tanah hasil angkutan. Secara umum
distribusi dari masing-masing tipe tanah ini di wilayah Propinsi Banten, terdapat di Kabupaten
Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan
Kota Cilegon. Masing-masing tipe tanah yang terdapat di wilayah tersebut antara lain: 1. aluvial
pantai dan sungai; 2. latosol; 3. podsolik merah kuning; 4. regosol; 5. andosol; 6. brown forest;
7. glei.
6. Geologi
Struktur geologi daerah Banten terdiri dari formasi batuan dengan tingkat ketebalan dari tiap-tiap
formasi berkisar antara 200 – 800 meter dan tebal keseluruhan diperkirakan melebihi 3.500
meter. Formasi Bojongmanik merupakan satuan tertua berusia Miosen akhir, batuannya terdiri
dari perselingan antara batu pasir dan lempung pasiran, batu gamping, batu pasir tufaan,
konglomerat dan breksi andesit, umurnya diduga Pliosen awal. Berikutnya adalah Formasi
Cipacar yang terdiri dari tuf batu apung berselingan dengan lempung tufaan, konglomerat dan
napal glaukonitan, umurnya diiperkirakan Pliosen akhir. Di atas formasi ini adalah Formasi
Bojong yang terdiri dari napal pasiran, lempung pasiran, batu gamping kokina dan tuf.
Banten bagian selatan terdiri atas batuan sedimen, batuan gunung api, batuan terobosan dan
Alluvium yang berumur mulai Miosen awal hingga Resen, satuan tertua daerah ini adalah
Formasi Bayah yang berumur Eosen.
Formasi Bayah terdiri dari tiga anggota yaitu Anggota Konglomerat, Batu Lempung dan Batu
Gamping. Selanjutnya adalah Formasi Cicaruruep, Formasi Cijengkol, Formasi Citarate, Formasi
Cimapang, Formasi Sareweh, Formasi Badui, Formasi Cimancuri dan Formasi Cikotok.
Batuan Gunung Api dapat dikelompokan dalam batuan gunung api tua dan muda yang berumur
Plistosen Tua hingga Holosen. Batuan terobosan yang dijumpai bersusunan andesiot sampai
basal. Tuf Cikasungka berumur Plistosen, Lava Halimun dan batuan gunung api Kuarter. Pada
peta lembar Leuwidamar disajikan pula singkapan batuan metamorf yang diduga berumur Ologo
Miosen terdiri dari Sekis, Genes dan Amfibolit yang tersingkap di bagian utara tubuh Granodiorit
Cihara. Dorit Kuarsa berumur Miosen tengah hingga akhir, Dasit dan Andesit berumur Miosen
akhir serta Basal berumur kuarter.
Batuan endapan termuda adalah aluium dan endapan pantai yang berupa Kerikil, pasir,
lempung, rombakan batu gamping, koral bercampur pecahan moluska atau kerang kerangan,
gosong pantai dan gamping terumbu.
Sumber : Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 - 2012
http://www.bantenprov.go.id/read/program-kerja.html#.Ve9rbNKqqko
A. Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Pemerintahan
Pencapaian pembangunan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan pada periode
2002-2006 bertitik tolak dari penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang
Pembentukan Provinsi Banten (17 Oktober 2001). Pembentukan pondasi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah diawali dengan terbentuknya DPRD Provinsi Banten,
dan selanjutnya melalui proses pemilihan di lingkungan DPRD Provinsi Banten ditetapkan
Gubernur dan Wakil Gubernur Banten untuk memimpin jalannya pemerintahan. Dalam
membantu Gubernur untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, ditetapkan
perangkat daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah (11 Biro), Sekretariat DPRD, 7 Badan, 12
Dinas dan 4 Kantor, dimana legalitas atas kedudukan serta tugas pokok dan fungsinya diatur
dalam peraturan daerah serta surat keputusan Gubernur Banten. Dalam rangka meningkatkan
kapasitas pelayanan publik, pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi Banten membentuk Lembaga
Pemerintah Teknis Daerah (LPTD) Rumah Sakit Malingping.
Dalam implementasinya, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas
dan fungsi seluruh perangkat daerah periode 2002-2006 antara lain seperti belum efektifnya
penetapan struktur kelembagaan perangkat daerah, masih dirasakannya tumpang tindih tugas
pokok dan fungsi antar perangkat daerah, belum optimalnya penetapan dan pemilahan tugas
pokok dan fungsi perangkat daerah berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, serta belum optimalnya hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara
pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non
pemerintah.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang sebelumnya didasarkan atas
kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengalami
penyesuaian seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah kewenangan daerah
masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang
masih belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini mengakibatkan berbagai
kendala antara lain dalam hal pelaksanaan kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu
kawasan atau pelayanan tertentu, serta pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan
pajak, dan lainnya. Selain itu terjadinya tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan
kabupaten/kota daerah mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak
dalam pelaksanaan suatu aturan, seperti pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum,
pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.
B. Prasarana dan Sarana Pemerintah Daerah
Pencapaian pembangunan prasarana dan sarana pemerintahan daerah antara lain ditunjukkan
dengan realisasi perencanaan dan pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten
(KP3B). Selama periode 2002-2006, telah tersusun Amdal KP3B, Masterplan KP3B, RTRK P3B,
serta 8 (delapan) dokumen DED gedung kantor perangkat daerah. Disamping itu, realisasi fisik
KP3B hingga tahun 2006 telah menyelesaikan 100% fisik bangunan gedung DPRD Provinsi
Banten, BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Pendapatan, BAWASDA, Gedung KONI, PIB, Kantor
Biro Pusat Statistik, Kantor Wilayah Departemen Agama
Dengan demikian, pembangunan KP3B sebagai agenda yang direncanakan dalam kurun waktu
2002-2006 sebagaimana tertuang dalam Renstra Provinsi Banten 2002-2006 belum dapat
terpenuhi. Sebagian besar pelaksanaan tugas dan fungsi perangkat daerah juga masih
diselenggarakan pada bangunan-bangunan yang berstatus sewa, dengan kapasitas ruang yang
tidak memadai dengan keberadaan pegawai, sehingga mengurangi efektifitas dan kenyamanan
kerja. Sementara itu, berdasarkan informasi dari berbagai perangkat daerah, dukungan sarana
dalam menunjang pelaksanaan operasional kantor maupun operasional lapangan belum
sepenuhnya terpenuhi.
C. Aparatur Pemerintah Daerah
Per Januari 2006, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten
sebanyak 2.714 orang, dengan komposisi menurut golongan ruang terdiri dari golongan IV
sebesar 9,25%, golongan III (58,84%), golongan II (31,54%) serta golongan I (0,37%)1). Pola
penempatan pegawai teroientasi di lingkungan Dinas-Dinas (51,69%), kemudian di lingkungan
Sekretariat Daerah 22,22%, di lingkungan Badan-Badan 16,65%, dan sisanya di lingkungan
Sekretariat DPRD, Kantor-Kantor dan UPT. Berdasarkan selisih antara jumlah PNS menurut
golongan ruang dengan jumlah jabatan struktural, maka keberadaan PNS yang berfungsi
sebagai pelaksana di lingkungan Dinas-Dinas rata-rata mencapai 86 orang, di lingkungan
Sekretariat DPRD 58 orang, di lingkungan Sekretariat Daerah dan Badan-Badan 39 orang,
sedangkan di lingkungan Kantor-Kantor hanya 19 orang. Jumlah PNS pelaksana tersebut bila
diperbandingkan dengan jumlah jabatan Eselon IV yang tersedia sudah mencapai 4-5
orang/eselon IV di lingkungan Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas dan Kantor-
Kantor, sementara di lingkungan Badan-Badan baru mencapai 2 orang/eselon IV.
Per Januari 2006, dari 754 jabatan struktural yang tersedia, hanya terisi sebesar 705 jabatan
(93,5%), sehingga jabatan yang lowong mencapai 49 jabatan (6,50%). Kekosongan jabatan
terjadi pada tingkatan eselon IV dan III dengan porsi masing-masing 69,39% dan 30,61%.
Berdasarkan pengelompokan perangkat daerah, dari jumlah jabatan yang lowong sebagian
besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas (65,30%), Badan-badan (16,33%) dan Sekretariat
Daerah (14,28%). Bila diperbandingkan jumlah pegawai menurut golongan ruang III B-D (tidak
termasuk golongan II) dengan jumlah jabatan struktural (tingkat eselon III dan IV) yang tersedia
sebenarnya masih memadai, sehingga terjadinya kekosongan jabatan struktural diperkirakan
disebabkan karena faktor pengalaman dan keahlian (tingkat pendidikan) yang masih belum
terpenuhi oleh sebagian besar pegawai.
Komposisi pegawai menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan per Januari 2006 menunjukkan
kondisi 906 PNS (33,38% dari jumlah seluruh PNS) memiliki tingkat pendidikan non kesarjanaan
(tamatan SD hingga D.II). Pada dasarnya tingkat kesiapan individu dengan tingkat pendidikan
non kesarjanaan masih kurang memadai terhadap kebutuhan penyelenggaraan tugas dan fungsi
kedinasan, khususnya di luar urusan administrasi dan ketatausahaan. Permasalahan yang
dihadapi adalah, bahwa sebagian PNS merupakan pegawai-pegawai baru (seiring dengan usia
Provinsi Banten yang baru menginjak 7 tahun) yang diantaranya belum mengenyam pendidikan
dan pelatihan manajemen dan fungsional. Disamping itu, 56,29% dari PNS dengan tingkat
pendidikan non kesarjanaan sebagian besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas yang
merupakan perangkat daerah terdepan dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik.
Oleh karena itu, pengelolaan, cakupan dan sasaran penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
bagi PNS perlu dioptimalkan.
D. Keuangan Daerah
Secara keseluruhan, realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2002-
2005 semakin menunjukkan penguatan kapasitas, dimana realisasi sebesar Rp. 915,65 Milyar
pada tahun 2002 telah berhasil ditingkatkan menjadi Rp. 1.784,94 Milyar hingga tahun 2006.
Penguatan kapasitas tersebut ditandai dengan rata-rata pencapaian target 104,73% per tahun
serta dengan rata-rata laju pertumbuhan 16,23% per tahun. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun
2006, target pendapatan daerah pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 1.784,94 Milyar, dengan
demikian laju pertumbuhan yang diharapkan terhadap realisasi 2005 adalah 11,67%2).
Penguatan kapasitas pendapatan daerah terutama ditopang oleh peningkatan kinerja dan peran
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur pendapatan daerah, dimana dari Rp. 439,38
Milyar atau 47,99% terhadap total pendapatan daerah (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi
Rp. 1.070,23 Milyar atau 66,59% (2005), atau dengan laju pertumbuhan rata-rata 34,63% per
tahun. Di samping itu, Dana Perimbangan juga masih memberikan peran besar terhadap struktur
pendapatan daerah, meskipun dari tahun ke tahun nilainya mengalami peningkatan dengan
kecenderungan stagnan (laju rata-rata 8,80% per tahun)2).
Secara keseluruhan, PAD masih berpeluang untuk ditingkatkan, dengan menindaklanjuti
berbagai peluang atau kendala yang belum dapat diupayakan selama periode 2002-2005, antara
lain: penerapan Pajak Kendaraan di Atas Air (PKAA) dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air
(BBNKAA), belum optimalnya kinerja dan peran pos Retribusi Daerah (rata-rata kontribusi per
tahun baru mencapai 0,29%) terhadap PAD maupun pendapatan daerah, serta masih
lambannya upaya ekstensifikasi pendapatan daerah melalui pembentukan badan usaha milik
daerah. Sementara itu, kinerja Dana Perimbangan dihadapkan pada kecendrungan penurunan
kinerja penerimaan daerah dari pos Bagi Hasil Pajak/BukanPajak.
Pada sisi belanja daerah selama kurun waktu 2002-2006 menunjukkan perkembangan kapasitas
pembiayaan pembangunan yang semakin memadai, dimana jumlah dan proporsi belanja
pembangunan (belanja publik) dalam struktur belanja daerah mengalami peningkatan. Alokasi
belanja daerah yang terealisasi sebesar Rp. 955 Milyar (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi
Rp. 1.091,81 Milyar pada tahun 2004, selanjutnya pada tahun 2005 dan 2006 ditargetkan
masing-masing sebesar Rp. 1.618,99 Milyar dan Rp. 2.043,52 Milyar3). Berdasarkan realisasi
belanja daerah 2002-2004 serta target tahun 2005-2006, rata-rata proporsi alokasi belanja
pembangunan (terdiri dari belanja publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja
tak disangka) adalah sebesar 68,96% per tahun, dimana proporsi alokasi pada tahun 2006
ditargetkan sebesar 79,59% atau Rp. 1.626,43 Milyar3). Sedangkan permasalahan pokok dalam
penerapan belanja daerah selama kurun waktu 2002-2005 adalah belum efisiennya prioritas
alokasi belanja daerah secara proporsional, serta masih terbatasnya kemampuan
pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta
profesionalisme.
E. Perencanaan Daerah
1. Perencanaan Pembangunan
Selama periode 2002-2004, pengimplementasian perencanaan pembangunan daerah diawali
dengan diterbitkannya Perda No. 2 Tahun 2002 Tentang Rencana Strategis Daerah (Renstrada)
Provinsi Banten 2002-2006, sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan lima tahunan, yang ditindaklanjuti oleh tersusunnya seluruh Renstra
Sekretariat/Badan/Dinas/Kantor. Sedangkan dalam upaya meletakkan landasan pembangunan
jangka panjang (20 tahun) diterbitkan pula Perda No. 11 Tahun 2003 tentang Pola Dasar
Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten 2002-2022.
Secara tahunan, upaya untuk mewujudkan perencanaan pembangunan partisipatif ditunjukkan
dengan tersusunnya Repetada selama periode 2002-2004, kemudian menginjak tahun 2005-
2006 diwujudkan melalui RKPD dan Renja SKPD Provinsi Banten. Rapat koordinasi teknis antar
Bapeda Provinsi Banten dengan Bappeda Kabupaten/Kota se Provinsi Banten juga dapat
diselenggarakan secara rutin pada setiap tahunnya. Setiap tahun, selama kurun waktu 2002-
2004 diselenggarakan Jaring Asmara, dan menginjak tahun 2005-2006 diwujudkan melalui
Musrenbang Provinsi Banten.
Perubahan paradigma dan pola perencanaan pembangunan seiring dengan diterbitkannya UU
17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti melalui
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
(SPPD) Provinsi Banten pada tahun 2005, yang disertai tersusunnya Petunjuk Teknis Tata Cara
Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Penyelenggaraan
Musrenbang Provinsi Banten serta Format Daftar Rencana Program dan Kegiatan (DRPK).
Dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur dalam bidang perencanaan pembangunan,
telah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan penyusunan Renstra-SKPD dan Renja-SKPD
Provinsi Banten
2. Rencana Tata Ruang Wilayah
Dalam rangka mengarahkan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah maka diterbitkan
Perda No. 36 Tahun 2002 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2002-2017.
Kemudian dalam Perkembangannya, perubahan rencana pemanfaatan ruang di Provinsi Banten
perlu menyelaraskan antara lain dengan rencana penetapan RTRW Pulau Jawa dan revisi UU
No. 24 Tahun 1992, rencana penataan ruang kawasan Megapolitan Jabodetabekjur,
pembangunan Pelabuhan Bojonegara sebagai Internasional Hub Port, rencana Kawasan
Bojonegara dan lingkar pantai utara yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK), rencana pembangunan 3 (tiga) PLTU batubara (pengembangan PLTU Suralaya, PLTU
Teluk Naga dan PLTU Labuan), rencana pembangunan pabrik semen PT. Boral di Bayah,
pembangunan permukiman skala besar yang tersebar di Kabupaten Tangerang dan Lebak,
perubahan status jalan provinsi menjadi jalan nasional, rencana pembangunan jalan tol Cilegon-
Bojonegara dan Bintaro-Cikupa, rencana pembangunan jalan lingkar di wilayah Kabupaten
Tangerang, yaitu jalan lingkar utara Teluknaga-Mauk-Kronjo- Serang dan jalan lingkar selatan
Ciputat-Cisauk-Cisoka-Tigaraksa-Balaraja-Kresek, rencana perluasan Bandara Soekarno-Hatta
menjadi 2500 Ha, rencana pembangunan Pelabuhan Cituis, rencana pemekaran wilayah
Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang (pembentukan Kota Serang, Kota Ciputat dan
Kota Serpong, dll), pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Baten (KP3B),
rencana pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Margagiri di Kabupaten Serang, perubahan
fungsi pemanfaatan ruang di pantai utara Kabupaten Tangerang, rencana pembangunan
jaringan KA Cilegon Timur-Bojonegara, rencana pengembangan TPA Bojong Menteng,
peningkatan luasan kawasan lindung Taman Nasional Gunung Halimun, pengembangan
kawasan wisata di wilayah Banten Selatan dan pantai utara (Pulau Cangkir, dll), pembangunan
pipa gas Jawa-Sumatera, dan lainnya yang mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota (Kabupaten
Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon) dan Pemerintah Provinsi
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang ada.
Untuk menyelaraskan dan mensinergikan penataan ruang daerah melalui pemanfaatan ruang
secara optimal, serasi, dan berkesinambungan, telah dibentuk wadah koordinasi secara terpadu
dalam melaksanakan penataan ruang di Provinsi Banten sebagaimana mempedomani
Kepmendagri 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, telah
dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Banten yang ditetapkan
melalui Keputusan Gubernur Nomor : 650/Kep.157-Huk/2005, dengan tugas pokok untuk
merumuskan, mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan menyelaraskan, serta melaksanakan
supervisi, merekomendasikan dan kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan
ruang di daerah. Dalam pelaksanaannya, peran BKPRD dirasakan masih belum memberikan
dampak secara siginfikan dalam pengendalian perubahan pemanfaatan ruang yang berkembang
secara pesat sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRWP, yang hal ini disebabkan tidak
diacunya RTRWP sebagai arahan kebijakan spasial bagi rencana sektoral maupun daerah.
Mekanisme dalam penertiban izin terhadap rencana usaha/kegiatan pembangunan yang
berdampak besar dan penting, menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang, bahkan
berpengaruh terhadap kebijakan tata ruang provinsi belum dikoordinasikan dengan BKPRD.
Jakarta sebagai Ibukota Negara merupakan pusat konsentrasi kegiatan perekonomian baik
produksi maupun jasa akan berpengaruh terhadap aliran migrasi yang tinggi, kemacetan dan
kepadatan yang tinggi dalam penggunaan jasa publik. Daya dukung dan daya tampung wilayah
Jakarta sudah tidak mampu lagi untuk menopang pembangunan berkelanjutan dengan adanya
fenomena tingginya tingkat kerusakan, pencemaran, degradasi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup serta sosial. Disamping itu letak geografis Jakarta yang berada di hilir
membawa permasalahan yang cukup kompleks terkait penanganan masalah transportasi,
urbanisasi, banjir dan sampah yang berdampak pada ketertiban kenyamanan dan ketentraman
ibukota negara, sehingga pada akhirnya perlu membentuk suatu hubungan fungsional yang
terpadu dalam satu kesatuan sistem dengan daerah sekitarnya DKI Jakarta yang memberikan
kontribusi secara signifikan perkembangan DKI Jakarta. Keterpaduan dalam penataan ruang
antara kawasan hulu (Botabekjur) dengan kawasan hilir (DKI Jakarta) terutama dalam
pengendalian banjir, pemenuhan air baku dan pengelolaan sampah, penyediaan infrastruktur
transportasi massal yang efisien, penciptaan dan penyediaan lapangan kerja, penyediaan lahan
untuk pembangunan pemukiman dan industri. Proses regionalisasi yang memerlukan keterkaitan
dan kerjasama antar daerah otonom yang bertetangga di wilayah Jabodetabekjur, mendorong
Pemerintah DKI Jakarta melakukan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam draft rancangan revisi UU
No. 34 Tahun 1999 yang telah disampaikan kepada DPR RI telah mencantumkan konsep
pengaturan tata ruang kawasan ‘megapolitan’ yang meliputi wilayah Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten
Cianjur (Jabodetabekjur).
Sejalan dengan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota
Negara Jakarta, Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus dapat
menetapkan secara tegas batas daerah dengan mempedomani UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terutama untuk menyelesaikan terhadap batas wilayah laut Kepulauan
Seribu.
Sebagai tindaklanjut UU No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, dimana
ibukota Provinsi Banten telah ditetapkan di Kabupaten Serang, hal ini memberikan peluang bagi
pembentukan Kota Serang sebagai ibukota Provinsi Banten yang merupakan pemekaran
wilayah dari Kabupaten Serang. Dengan kedudukan Kota Serang yang sangat strategis sebagai
pusat pemerintahan telah mendorong pada peningkatan pemanfaatan fungsi ruang yang ada,
yang menuntut adanya penyusunan dan penetapan tata ruang (RTRW) Kota Serang sebagai
ibukota Provinsi Banten, yang diprediksi akan mengalami perkembangan pada masa yang akan
datang sebagai dampak dari pertambahan penduduk, aktivitas pembangunan dan peningkatan
investasi.
Untuk mengoperasionalkan RTRW Nasional kedalam rencana pemanfaatan ruang Pulau Jawa-
Bali, sebagaimana yang ditetapkan pada pasal 65 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997
perlu ditetapkan pengaturan lebih lanjut mengenai struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional
di Pulau Jawa-Bali. Untuk mewujudkan hal itu, sebagai kebijakan dan strategi pemanfaatan
ruang agar dapat menjamin keterpaduan wilayah dan lintas sektor, Pemerintah saat ini sedang
menyusun RTR Pulau Jawa-Bali sebagai landasan hukum perencanaan pemanfaatan ruang
yang mengikat bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya. RTR Pulau Jawa-Bali diharapkan dapat meningkatkan kesatuan
pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan pengembangan prasarana wilayah dalam
satu ekosistem pulau dan perairannya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah,
sehingga dapat mendorong terlaksannya pembangunan lintas sektor dan lintas provinsi secara
lebih efektif dan efisien serta konsisten dengan kebijakan nasional. RTR Pulau Jawa-Bali
diharapkan dapat berperan sebagai alat untuk mensinergikan aspek-aspek yang menjadi
kepentingan nasional sebagaimana direncakan dalam RTRWN dengan aspek-aspek yang
menjadi kepentingan daerah sebagaimana direncanakan dalam RTRW Provinsi dan RTRW
Kab/Kota.
F. Otonomi Daerah
Selama periode 2002-2004 berbagai tuntutan terhadap pembentukan daerah otonom baru
(pemekaran wilayah) berkembang di lingkungan masyarakat. Pembentukan Kota Serang yang
telah memenuhi kaidah peraturan perundangan maupun teknis hingga tahun 2006 belum dapat
direalisasikan. Disamping itu, tuntutan pembentukan Kabupaten Tangerang Selatan (pemekaran
dari Kabupaten Tangerang) , pembentukan Kabupaten Cilangkahan (pemekaran dari Kabupaten
Lebak) dan pembentukan Kabupaten Caringin (pemekaran dari Kabupaten Pandeglang) serta
wacana untuk merebut kembali Kepulauan Seribu (dari DKI Jakarta) merupakan aspirasi dan
harapan yang perlu direspon untuk dinilai terhadap ketepatan dan kelayakannya secara normatif
maupun teknis. Sehingga proses pembentukan daerah otonom baru tidak sekedar
mempertimbangkan aspek politis dan kemauan sebagian kecil elite daerah.
G. Kerjasama Pembangunan
1. Kerjasama Wilayah Perbatasan
Sesuai dengan amanat dalam Pasal 195 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah
dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik.
Belum terintegrasinya rencana-rencana pembangunan, keterbatasan dan lemahnya kapasitas
pengelolaan sumber daya di kawasan perbatasan, seperti diantaranya dalam penataan ruang
dan pembangunan prasarana wilayah serta perencanaan pembangunan lainnya, telah disadari
sebagai suatu permasalahan yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakserasian dan
ketimpangan pembangunan di wilayah perbatasan.
Oleh karenanya kerjasama pembangunan antar daerah yang didasarkan pada pertimbangan
efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan publik yang saling menguntungkan, merupakan hal
yang perlu mendapatkan perhatian bersama.
Sejalan dengan kepentingan tersebut, Pemerintah Provinsi Banten telah melaksanakan
kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi lain yang berbatasan dalam rangka kerjasama
pembangunan di wilayah perbatasan seperti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat
sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat
dan Gubernur Banten Nomor 69 Tahun 2002 dan Nomor 35 Tahun 2002 tanggal 4 Desember
2002, tentang Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan, serta dengan Pemerintah Provinsi
Lampung sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur
Banten dan Gubernur Lampung Nomor 34 Tahun 2002 dan Nomor 38 Tahun 2002 tanggal 13
Desember 2002, tentang Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan antara
Pemerintah Provinsi Banten dengan Pemerintah Provinsi Lampung.
Sebagai implementasi tindak lanjut kerjasama pembangunan perbatasan yang telah disepakati
bersama, diselenggarakan forum koordinasi kerjasama pembangunan antar kedua daerah yang
dilaksanakan melalui ”Musyawarah Perencanaan Pembangunan Perbatasan
(MUSRENBANGTAS) Banten-Jawa Barat” maupun “Rapat Koordinasi Kerjasama Pembangunan
Wilayah Perbatasan (RAKORTAS) Banten-Lampung” yang diselenggarakan secara periodik
setiap dua tahun sekali.
Keberadaan forum tersebut dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi antar Pemerintah
Daerah dalam mengatasi persoalan ketidakintegrasian dalam berbagai kepentingan
pembangunan dan pemerintahan antara kedua daerah, agar rencana-rencana pembangunan
yang akan dilaksanakan antar daerah khususnya di wilayah perbatasan dapat terselenggara
dengan sinergi dan terintegrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah
perbatasan.
2. Kerjasama Antar Daerah
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang lebih besar
kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan dan mengelolah pembangunan di daerah
berdasarkan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Namun demikian dalam pelaksanaan
dan pengelolaan pembangunan di daerah seringkali dihadapkan kepada permasalahan yang
tidak dapat diatasi sendiri, tetapi memerlukan kerjasama antar daerah yang memiliki kepentingan
bersama.
Sejalan dengan semangat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, perlu disikapi secara komprehensif dan langkah
strategis untuk melakukan kerjasama antar daerah yang sinergis dengan perencanaan
pembangunan guna mewujudkan keselarasan, keserasian dan keterpaduan perencanaan
pembangunan antar wilayah dan antar sektor.
Sementara itu, di lain pihak bahwa tekanan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang
terkonsentrasi di Ibukota negara Jakarta dan wilayah sekitarnya dalam wilayah Jabotabek
maupun secara umum pada wilayah Pulau Jawa dan Bali telah menyebabkan tingginya tuntutan
dalam peningkatan pelayanan dan pembangunan yang dirasakan semakin kompleks. Sehingga
dapat dipahami apabila di wilayah Jabotabek serta wilayah Jawa-Bali perlu mendapatkan
perhatian secara lebih intensif untuk melakukan koordinasi dalam rangka penanganan bersama
terhadap permasalahan pembangunan dan persoalan lainnya yang bersifat lintas wilayah dan
lintas sektor.
Dalam rangka mengkoordinasikan kegiatan pembangunan sesuai Instruksi Presiden Nomor 13
Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek telah dilakukan kerjasama wilayah
Jabotabek yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bersama Pemerintah Provinsi Daerah tingkat
I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/1976 dan Nomor 3 Tahun 1976 tentang
Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jabotabek yang selanjutnya dibentuk Badan
Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek berdasarkan Keputusan Bersama Pemerintah
Provinsi Daerah tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-8201/d/II/1976 dan Nomor
197/Pem.121/sk/1976.
Kerjasama tersebut telah ditindaklanjuti dan ditingkatkan dengan terbentuknya Kota Depok,
Provinsi Banten dan keikutsertaan Kabupaten Cianjur yang diwujudkan dalam Kesepakatan
Bersama Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten Bupati Bogor, Walikota
Bogor, Walikota Depok, Bupati tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi
dan Bupati Cianjur tanggal 16 Juni 2005.
Memperhatikan kompleksitas permasalahan pembangunan regional yang terjadi saat ini di
wilayah Jawa-Bali dan sejalan dengan makna yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005, maka merupakan langkah yang sangat
strategis diselengarakannya forum “Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional
(MUSRENBANGREG) Se Jawa-Bali”, yang hal ini merupakan kesepakatan bersama yang telah
direkomendasikan agar keberadaannya semakin dapat diperkokoh dan dikembangkan
eksistensinya dalam rangka mendukung perencanaan pembangunan nasional.
Dilatarbelakangi berbagi pengalaman memecahkan permasalahan antar daerah secara legal
formal, membangun silaturahmi dan membangun satu persepsi dan pemahaman, pada tahun
1988, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat mempelopori terbentuknya forum kerjasama
antar daerah Dwi Praja sebagai cikal bakal forum Mitra Praja Utama (MPU) yang sekarang
anggotanya terdiri dari 10 Provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa
Tengah, Provinsi DI. Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Lampung, Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Provinsi Banten dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Prinsip kerjasama dalam forum MPU dibangun dalam semangat kebersamaan, kemitraan, saling
menguntungkan, berbagi tanggungjawab dan berkelanjutan dalam upaya berpadu daya
mengatasi permasalahan kesejahteraan antar daerah secara bersama-sama.
Dalam setiap tahunnya diadakan Rapat Kerja Gubernur yang menyepakati usulan
program/kegiatan kerjasama untuk dilaksanakan pada tahun berikutnya, terdiri dari bidang
Pemerintahan, bidang Ekonomi, bidang Kesos dan Tenaga Kerja, serta bidang Lingkungan dan
Pariwisata.
H. Hukum, Politik serta Ketenteraman dan Ketertiban Umum
Dalam rangka memberikan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
selama periode 2002-2005 telah dihasilkan 93 peraturan daerah (perda). Seiring dengan era
pembentukan sistem pemerintahan Provinsi Banten, sekitar 43,48% perda-perda yang
diterbitkan mengatur tentang kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah daerah, dan
42,47% mengatur tentang keuangan daerah. Keberadaan perda-perda yang terkait dengan
bidang-bidang pembangunan masih terbatas, dimana baru sekitar 8,22% mengatur tentang
sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2,74% mengatur tentang perencanaan pembangunan
serta 2,74% sisanya mengatur tentang pengelolaan zakat serta pemberian penghargaan kepada
seseorang dan atau badan yang berjasa dalam pembangunan atau kesejahteraan daerah.
Keterbukaan dalam wadah partisipasi politik rakyat yang ditandai dengan berlakunya sistim multi
partai telah ditunjukkan pada Pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, hasilnya 13
partai politik telah memperoleh kursi di DPRD Provinsi Banten periode 2004-2009 yaitu Partai
Golkar memperoleh 15 kursi, PKS 11 kursi, PDIP 10 kursi, PPP dan Partai Demokrat 8 kursi,
PKB dan PBR 5 kursi, PAN 4 kursi, PBB 3 kursi, PDS 2 kursi, serta PNUI, PSI dan PKPB
masing-masing 1 kursi, dan secara umum berlangsung aman dan tertib. Antusias masyarakat
berpolitik juga cukup baik, dimana Pemilu 2004 diikuti oleh 6.207.919 pemilih4). Keterbukaan
dan keterakomodasian hak-hak rakyat dalam berpolitik yang semakin membaik ini juga
ditunjukkan dengan penyelenggaraan Pilkada di Kota Cilegon (2005), Kabupaten Pandeglang
(2005) dan Kabupaten Serang (2006) yang secara umum juga berlangsung secara aman dan
tertib.
Disamping itu munculnya berbagai bentuk asosiasi masyarakat sipil baik dalam bentuk
organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat maupun forum-forum lainnya,
merupakan bentuk pencapaian dalam mewujudkan proses demokratisasi. Hingga tahun 2005
jumlah organisasi kemasyarakatan telah berkembang menjadi 97 ormas, yang terdiri dari 21
lembaga profesi, 26 lembaga keagamaan dan 50 lembaga swadaya masyarakat.
Munculnya berbagai aspirasi dan respon masyarakat terhadap kebijakan pembangunan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, baik yang bersifat mendukung ataupun memberikan kritik
membangun, disampaikan langsung ataupun melalui lembaga perwakilan (legislatif), merupakan
cerminan terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat akan politik dan nilai-nilai demokrasi.
Penyampaian aspirasi masyarakat selama tahun 2004 sebanyak 20 kali sedangkan pada tahun
2003 jumlahnya sebanyak 49 kali dan seluruhnya dapat ditanggulangi dengan tertib serta
mengedepankan pendekatan persuasif sehingga tidak menimbulkan gangguan keamanan yang
berarti.
Berbagai kerentanan dan kerawanan sosial merupakan sumber-sumber permasalahan
masyarakat yang masih dihadapi yang dapat berdampak pada terjadinya gangguan
ketenteraman dan ketertiban umum. Banyaknya keluarga penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) hingga tahun 2005 sebesar 705.400 keluarga, yang didominasi oleh keluarga fakir
miskin berjumlah 387.292 keluarga (54,90%), keluarga yang menempati tempat tinggal yang
tidak layak huni sebanyak 230.457 keluarga (32,67%), Keluarga yang rentan sosial ekonomi
berjumlah 78.299 keluarga (11,10%), dan keluarga yang bermasalah sosial psikologis berjumlah
9.352 keluarga (1,33%)5). Keberadaan PMKS tersebut merupakan potensi terhadap
bertumbuhkembangnya ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku masyarakat.
Kasus gelandangan dan pengemis serta pekerja seks komersial (PSK) semakin merebak
terutama pada kota-kota, pelabuhan, terminal serta daerah pantai dan wisata merupakan salah
satu potensi permasalahan yang dapat menganggu ketentraman dan ketertiban umum di wilayah
Provinsi Banten. Berbagai upaya pencegahan terhadap berkembangnya PSK seperti yang
dilakukan oleh Kota Tangerang melalui penerbitan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran masih menyisakan permasalahan yang antara lain adanya indikasi exodus PSK ke ke
wilayah Pantura, yang menyebabkan langkah serupa tengah dipersiapkan oleh Pemerintah
Kabupaten Tangerang.
Demikian halnya dengan penyalahgunaan NARKOBA/NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif) yang semakin berkembang dikalangan remaja, bahkan telah memasuki kawasan-
kawasan pendidikan (sekolah). Sebagaimana diketahui pada akhir-akhir ini penggerebekan
produsen-produsen NARKOBA kelas internasional di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa
Banten merupakan sasaran utama pusat-pusat produksi dilakukan oleh sindikat-sindikat jaringan
NARKOBA.
Kejadian luar biasa (KLB) merupakan suatu kondisi tak terduga yang dapat mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum. Frekuensi bencana banjir dan kekeringan sampai dengan
tahun 2003 diketahui sebanyak 9 kali yang melanda 31 kecamatan, sedangkan bencana
kekeringan terjadi di 7 kecamatan. Sedangkan berbagai kasus wabah penyakit yang terjadi di
wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini meliputi: Muntaber, DBD, Polio, Gizi Buruk dan Flu
Burung. Kasus flu burung merupakan wabah penyakit yang melanda wilayah nasional yang
penangannya belum tuntas hingga saat ini.
Sementara itu, berbagai kerusuhan sosial yang terjadi di wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini
antara lain bersifat konflik antar masyarakat dan konflik antar agama. Konflik antar masyarakat
antara lain terjadi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.
Sedangkan konflik antar agama berdasarkan informasi Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten/Kota terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang.
http://www.bantenprov.go.id/read/pemerintahan-umum.html#.Ve9rttKqqko