Profil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Embed Size (px)

Citation preview

1. Profil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

Gambar 1 Peta Aceh http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php

Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah sebuah provinsi di Indonesia dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Letak Geografis dan Astronomi Provinsi Aceh berada di bagian barat Indonesia antara 2 LU - 6 LU dan 95 BT -98 BT atau ujung utara Pulau Sumatera. Wilayah ini terletak antara Telauk Benggal di bagian utara, selat malaka bagian timur, Laut Hindia di sebelah barat dan Provinsi Sumater Utara di bagian selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir

pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue. Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, sampai Seulawah, Aceh Besar. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara. Mayoritas penduduk Aceh menganut agama Islam, disana juga terdapat berbagai macam suku diantaranya Suku bangsa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias. Sehingga memiliki banyak bahasa yaitu : Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.

2. Karakteristik Wilayah Aceh Aceh memilki luas 57.365,57 km meter persegi. Daratannya terdiri dari hutan lebat (lebat, semak belukar) 3.962.431,20 ha (69,07 %). Danau dan sungai (kolam air tawar, kolam ikan, waduk, danau dan rawa) 141.383,23 ha. Lebar areal pertanian tanah kering satu musim adalah 116.526,24 ha (2,03 %) dan perkebunan seluas 225.624,35 ha (3,93 %), perkebunan kecil 297.760,85 ha (5,17 %), ladang rumput, semak 207.201,00 ha (3,65 %). Berdasarkan Peta Topografi skala 1 : 500.000, Aceh mempunyai topografi: datar, bergelombang, berbukit, sampai dengan bergunung, persentase kelas lereng antara kelas datar (0% 8 %) s/d sangat curam (> 45 %) dengan ketinggian tempat antara 0 3500 m dari permukaan laut. Pada bagian tengah dari wilayah ini agak kebarat, terdapat hamparan pegunungan Bukit Barisan dan beberapa dataran tinggi seperti Tangse, Gayo dan Alas. Sedangakan di tempat lain, terdapat hamparan pegunungan Pase, Geureudong (2.295 m), Peut Sagoe (2.780 m), burni Telong (2.566 m) dan Ucop Mulo (3.187 m). Dihamparan pegunungan Alas terdapat Abong-Abong (3.015 m) dan Leuser (3.466 m). Didaerah pegunungan Aceh Besar, terdapat dua puncak utama yaitu gunun g Seulawah Agam (1.762 m) dan Seulawah Inong (868 m). Di Provinsi Aceh, terdapat danau yaitu Laut Tawar yang memiliki luas 660 km2 yang terletak di Kabupaten Aceh Tengah dengan ketinggian 1.225 m

di atas permukaan laut. Danau lain yaitu termasuk Aneuk Laot yang terletak di Sabang, Pulau weh. Selain gunung dan danau, terdapat juga sungai-sungai besar dan kecil diantara pegunungan yang mengalir ke Selat Malaka dan Luat Hindia. Sungai Krueng Jambo Aye (Aceh Utara), Krueng Tamiang (Aceh Timur) dan Krueng Baro (Pidie) yang mengalir ke Selat Malaka. Sungai Krueng Woyla, Krueng Teunom, Krueng Meureubo (Aceh Barat), Krueng Singkil/Alas (Aceh Selatan) yang mengalir ke Laut Hindia. Sejumlah pulau-pulau besar dan kecil yang terletak dipantai selatan dan utara. Sebagian besar dari pulau-pulau ini berpenghuni dan hanya sedikit saja yang masih kosong. Pulau-pulau berpenghuni termasuk Pulau Weh, Pulau Breuh, Pulau Simeulue dan Pulau Banyak. Berdasarkan Peta geologi, Jenis-jenis batuan yang terdapat di Aceh diantaranya : Batuan sedimen alluvium, Batuan vulkanik, Batuan Pluton sehingga kondisi Tanah disana dapat diuraikan sebagai berikut; Dari ujung Tamiang di pantai timur Aceh dan diujung Pidie pada bagian utara, tanah terdiri dari organozol dan alluvial. Kondisi yang sama juga ditemukan di daerah dari Batee ke Ulhee Lheue (daerah yang dibut lembah Krueng Raya) dari (calang) ke Ujong Raja (batas Aceh Barat dan Aceh Selatan) dan Dari Tapaktuan Ke Uong Singkil. Jenis tanah berwarna merah kekuningan, lithosol dan regosol dapat ditemukan melalui ujung Pidie dan Batee melalui Aceh Besar, mulai dari gunung Geurutee ke Kuala Teunom (Aceh Barat) dan dari lereng gunung Tripa ke Tapak Tuan. Hanya kondisi tanah yang mengandung tanah berwarna merah kekuningan yang dapat ditemukan dari Ulee Lheue melalui Gunung Geureutee. Di pulau-pulau ke dataran tinggi di Aceh, tanah mengandung tanah berwaran kuning, lithosol, regosol dan tanah berwarana coklat. Khususnya pozdzolit, podzolic renzinz, lithosol dan andosol berwarna abuabu dapat ditemukan di Pidie, di bagian Tenggara Aceh Timur terdapat organosol dan alluvial. Karena letaknya dilalui garis kathulistiwa, iklim di Aceh adalah tropis, yang dalam setahun terdiri dari musim kemarau dan hujan. Secara umum, musim kemarau (dry season) berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus dan musim hujan dari bulan September sampai Februari. Curah hujan sekitar 1000-2000 millimeter di daerah pantai, 1500-2000 millimeter di daerah tinggi dan di pantai

barat daya. Tingkat keseringan turunnya hujan di semua wilayah tidak sama. Di dataran tinggi, panatai barat dan selatan relatif lebih sering turun hujan. Daerah pantai di Aceh secara umum bersuhu tinggi dan dipulau-pulau biasanya suhunya lebih rendah. Suhu di dataran yang lebih rendah adalah 25Celsius dan dataran tinggi 27 Celsius, dengan kelembaban udara antara 60-90 persen.

3. Identifikasi Penggunaan Lahan

95BT 06LU

98BT 06LU

02LU 95BT 98BT

02LU

Sumber: Aceh dalam Angka - BPS Provinsi NAD (2009

a. Hutan Lahan Kering Primer Aceh memiliki iklim tropis karena Aceh dilalui garis khatulistiwa, iklim tropis ini menyebabkan di daerah Aceh memiliki hutan lahan kering, hutan lahan kering di Aceh ada 2 yaitu : hutan lahan kering primer dan hutan lahan kering sekunder. Hutan Lahan kering primer di aceh termasuk hutan lahan kering primer pegunungan tinggi karena Seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500-3000 meter ) yang belum menampakan penebangan, termasuk vegetasi rendah alami yang tumbuh di atas batuan massif. Hutan lahan kering primer di Aceh yang datanya bersumber dari peta penutupan lahan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tahun 2005 memiliki luas 480 ribu Ha. Menurut peta penutupan lahan tahun 2005 persebaran hutan lahan kering primer terdapat di beberapa daerah di Aceh khususnya Aceh tengah dan Aceh tenggara. b. Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan lahan kering sekunder di aceh termasuk hutan lahan kering sekunder pegunungan tinggi karena seluruh kenampakan hutan di pegunungan tinggi (1500 3000 meter), yang telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas penebangan). Bekas penebangan yang parah tapi tidak termasuk dalam areal HTI, perkebunan atau pertanian dimasukan dalam lahan terbuka. Hutan lahan kering sekunder di Aceh yang datanya bersumber dari peta

penutupan lahan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2005 memiliki luas 2.413 ribu Ha. Menurut peta ini juga persebaran hutan lahan kering sekunder tersebar merata di setiap kabupaten. c. Hutan Rawa Hutan rawa terdapat di daerah dekat pantai yaitu sekitar Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Timur. Hutan rawa dibagi menjadi 2 yaitu hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Hutan rawa primer adalah Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa-rawa,termasuk rawa gambut yang belum menampakan tanda penebangan. Hutan rawa sekunder adalah Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa yang telah menampakkan bekas penebangan. Bekas penebangan yang parah jika tidak memperlihatkan liputan air digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan liputan air digolongkan menjadi tubuh air (rawa). Karakteristik lahan di Provinsi Aceh sebagian besar didominasi oleh hutan dengan luas 3.523.925 Ha (60,37%). Penggunaan lahan terluas kedua adalah perkebunan besar dan kecil mencapai 742.511 Ha (12,72%) dari luas total wilayah Aceh. Luas lahan pertanian sawah dan pertanian lahan kering semusim mencapai 449,514 Ha (7,7%), dan selebihnya kebun, perkampungan dan lahan pertambangan. 1. Potensi Aceh Pada Bidang Pertanian Daerah Aceh memiliki potensi besar di bidang pertanian dan perkebunan. Pertanian di daerah Aceh meng-hasilkan beras, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacang kedelai, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Contoh potensi pertanian di aceh yang paling besar adalah kedelai yang di tanam pada lahan kering ataupun sawah. Musim tanam kedelai pada lahan kering selama ini tiga kali dalam setahun dengan pola; kedelaikedelaikedelai/ palawija lainnya. Kebanyakan lahan kering yang dimanfaatkan oleh petani memiliki topografi berombak sampai keperbukitan atau lahan yang memiliki kemiringan dari 9 40% lebih tanpa adanya upaya konservasi, terutama pada kemiringan yang lebih besar dari 14%. Teknik budidaya masih seadanya seperti babat hutan lalu ditanami kedelai.

Lahan yang sudah ditanami beberapa kali musim akan mengalami pengikisan lapisan humus karena tidak ada usaha konservasi lahan tersebut. Akibatnya produktivitas lahan dari tahun ketahun semakin menjadi rendah dan beragam, serta kualitas biji (benih) juga rendah. Rata-rata kehilangan hasil akibat biji tidak sempurna pada periode pasca panen bisa mencapai 18% (Basri. I.H, dkk, 1993). Akhirnya pendapatan pertahun petani pada lahan kering tersebut semakin rendah. Keadaan ini disebabkan belum adanya atau belum sampainya informasi paket teknologi sistem usaha tani kedelai pada lahan kering yang spesifik lokasi kepada petani atau daya serap petani akan teknologi sangat rendah dan beragam sehingga implementasi paket teknologi di lapangan juga beragam a. Komponen Teknologi Budidaya Kedelai pada Lahan Kering Persiapan Lahan Persiapan lahan untuk berusaha tani kedelai pada lahan kering dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut: o Pengolahan tanah sempurna Dilakukan pada lahan yang topografinya datar sampai berombak atau kemiringan 0 8% atau 9 15%. Kemudian pada tanah berat dan padat akibat fraksi liatnya lebih besar. Pengolahan tanah dengan menggunakan traktor sampai gembur. Dibuat bedengan selebar 4 6 m dengan arah vertikal dengan arah kemiringan. Lebar parit antar bedengan + 40 cm dan kedalamannya + 40 cm. Tanah penggalian parit diletakan dipermukaan bedengan. Permukaan bedengan digemburkan dan diratakan, sehingga siap untuk ditanami. o Tanpa Olah Tanah (TOT) Dapat dilakukan pada lahan datar sampai berombak dan diutamakan pada lahan yang topografinya bergelombang dalam rangka konservasi tanah. Permukaan lahan dibersihkan dari semak belukar dan rumput disemprot dengan herbisida Round up atau Polaris. Volume herbisida dan kosentrasi larutan disesuaikan dengan petunjuk masing-masing jenis herbisida menurut jenis gulma sasaran. Kira-kira 15 hari setelah penyemprotan, rumput sudah matidan

kering. Pada lahan yang kebetulan banyak keong, sebaiknyarumput yang sudah mati ini dipotong dan dikumpulkan pada suatu tempat, kemudian dibakar agar tidak menjadi tempat persembunyian keong tersebut. Sedangkan pada lahan yang tidak ada keong, maka rumput yang telah mati tersebut dapat dijadikan mulsa. Kalau sekiranya kelembaban tanah pada saat ini cukup baik, maka lahan sudah dapat ditanami. Seandainya belum cukup lembab, maka harus menunggu turun hujan terlebih dahulu. Benih Benih yang digunakan adalah dari varietas unggul yang adaptasi dengan kondisi lahan kering pada lokasi pengembangan usahatani kedelai. dalam hal ini varietas Kipas Putih atau Kipas Merah dengan kebutuhan 40 50 kg/ha yang memiliki daya tumbuh >90%. Tanam Sebelum tanam, benih terlebih dahulu diperlakukan dengan insektisida Marshal 25 ST untuk menghindari benih dari serangan serangga. Caranya adalah dengan membasahkan permukaan benih dengan sedikit air, kemudian masukan kira-kira 2,5 gram insektisida untuk setiap 1 kg benih. Selanjutnya diaduk agar insektisida melekat rata pada permukaan benih. Untuk lahan yang baru pertama kali ditanami kedelai benih diinokulasi dengan inokulum seperti; Legin, Nitragin atau Rhizoplus dengan takaran 150 g/50 kg benih. Kalau tidak ada material tersebut dapat digunakan tanah bekas ditanami kedelai. Cara

pemakaiannya sama dengan perlakuan insektisida yaitu dengan melumuri rata permukaan benih dengan material yang dipakai. Tanam dilakukan dengan cara tugal sedalam 2 3 cm, setiap lubang tanam diisi 2 3 biji. Jarak tanam yang digunakan bervariasi tergantung tingkat kesuburan tanah, yaitu pada tanah subur 40 x 30 cm (kebiasaan petani 40 s/d 50 cm x 30 cm), 30 x 15 cm. Pemupukan Pupuk diberikan pada lobang tugal kira-kira 5 cm disamping lobang benih. Dosis pupuk yang diberikan adalah 50 kg Urea, 150 kg SP36 dan

75 kg KCl per hektar bersamaan waktunya tanam. Kebutuhan untuk satu rumpun tanaman diperoleh dengan cara membagi kebutuhan total ketiga jenis pupuk dengan perkiraan jumlah rumpun tanaman dalam 1 ha. Setelah itu dibuatkan takaran sesuai dengan kebutuhan satu rumpun untuk memudahkan pemberian di lapangan. Penyiangan Penyiangan pertama dilakukan pada umur tiga minggu dan penyiangan kedua pada umur enam minggu. Penyiangan dapat dilakukan dengan cangkul dan dapat juga dengan penyemprotan herbisida Round up, Polaris dan sebagainya. Untuk penyemprotan herbisida harus memakai Cup (mangkuk) pada nozel sprayer. Pada saat penyemprotan diusahakan Cup tersebut bergeser dengan permukaan tanah guna menghindari terjadinya pengabutan herbisida pada tanaman kedelai. Pengendalian hama Penggunaan insektisida secara bijaksana, artinya penyemprotan insektisida dapat dilakukan apabila populasi hama sudah mencapai ambang kendali. Volume insektisida dan konsentrasi larutan semprot disesuaikan menurut petunjuk masing-masing jenis insektisida yang akan digunakan 2. Potensi Aceh Di Bidang Perikanan Hasil perikanan di Aceh terdiri dari perikanan darat dan laut. Potensi perikanan laut di daerah Aceh cukup potensial, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Perikanan di Aceh akan lebih banyak lagi jika perikanan tersebut dikembangkan dengan menggunakan peralatan yang modern dan canggih. Potensi perikanan, termasuk perikanan laut di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); belum dimanfaatkan secara optimal. Contoh hasil perikanan di Aceh adalah nilam. Nilam diusahakan oleh petani sebagai pekerjaan sampingan, oleh karena itu perkembangan luas areal penanaman bervariasi dari tahun ke tahun, dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak nilam dipasaran. Pada tahun 1998/1999 harga minyak nilam naik drastis mencapai Rp. 1.000.000,- per kg. Pada saat harga membaik, banyak petani nilam bahkan masyarakat non petani

berbondongbondong menanam nilam, sehingga ketersediaan bibit menipis yang pada akhirnya memicu kenaikan harga bibit nilam. Perkembangan areal dan produksi tanaman nilam selama 12 tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun 1990 harga nilam cukup baik dipasaran, dengan demikian banyak petani yang mengusahakan nilam. Luas penanaman nilam saat itu mencapai 5.073,50 ha, namun sejak tahun 1993 -1996 disebabkan harga nilam dipasaran dunia melemah, sehingga petani tidak bergairah menanam nilam. Akibatnya pada tahun 1993 terjadi penurunan luas areal penanaman nilam sebesar 59,28% dan penurunan produksi sebesar 63,52%. Sejak terjadinya krisis ekonomi di belahan dunia, terutama di Asia termasuk di Indonesia, maka harga nilam sedikit demi sedikit membaik. Antara tahun 1997 dan 1998 terjadi kenaikan luas areal penanaman nilam sebesar 130% dan 118%, akibat kenaikan harga nilam di pasaran dunia, sampai pada puncaknya pada tahun 1998/1999 harga nilam naik meroket hingga Rp. 1 juta per kg, sehingga banyak petani yang bergairah menanam nilam. Menurunnya luas areal dan produksi nilam bisa akibat melemahnya harga komoditi nilam itu sendiri dipasaran dunia. Namun selain factor harga, menurunnya luas areal dan produksi nilam boleh dipicu oleh dampak naiknya harga komoditi lainnya yang diusahakan petani, seperti komoditi kopi dan kakao. Bencana banjir yang melanda sebahagian besar Provinsi NAD pada tahun 1986 dan tahun 1995 telah memusnahkan sebahagian besar sentra produksi nilam. Pospek aribisnis nilam Minyak atsiri merupakan salah satu komoditi ekspor Indonesia yang bahan bakunya berasal dari berbagai jenis tanaman perkebunan. Minyak atsiri dari kelompok tanaman tahunan perkebunan antara lain berasal dari cengkeh, pala, lada, kayu manis, sementara yang berasal dari kelompok tanaman semusim perkebunan berasal dari tanaman nilam, sereh wangi, akar wangi dan jahe. Hingga kini minyak atsiri yang berasal dari tanaman nilam memiliki pangsa pasar ekspor paling besar andilnya dalam perdagangan negara Indonesia yaitu mencapai 60%. Minyak nilam merupakan produk yang terbesar untuk minyak atsiri Indonesia dan pemakaiannya di dunia menunjukkan kecenderungan yang

semakin meningkat. Dapat dikatakan bahwa hingga saat ini belum ada produk apapun baik alami maupun sintetis yang dapat menggantikan minyak nilam dalam posisinya sebagai fixative. Data ekspor BPS menunjukkan bahwa kontribusi minyak nilam (Patchouli oil) terhadap pendapatan ekspor minyak atsiri sekitar 60%, minyak akar wangi (vetiner oil) sekitar 12,47%, minyak serai wangi (Citronella oil) sekitar 6,89%, dan minyak jahe (Ginger oil) sekitar 2,74%. Rata-rata nilai devisa negara yang diperoleh dari ekspor minyak atsiri selama sepuluh tahun terakhir cenderung meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1991 menjadi sekitar US$ 50 - 70 dalam tahun 2001, 2002 dan 2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar US$ 13,13. Walaupun secara makro nilai ekspor ini kelihatannya kecil namun secara mikro mampu meningkatkan kesejahteraan petani di perdesaan yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi gejolak sosial. Kendala dan permasalahan pengembangan nilam Dalam menekuni agribisnis nilam banyak kendala dan masalah yang dihadapi, baik kendala administratif, teknis operasional, maupun kendala pemasaran. Diakui bahwa selama terjadinya konflik di Aceh terjadi penurunan luas penanaman nilam yang sangat signifikan di Provinsi NAD. Permasalahan dan akar permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis nilam dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa permasalahan yang dianggap penting dalam agribisnis nilam antara lain : Kawasan pengembangan nilam Sampai saat ini Pemerintah Daerah belum mempunyai kebijakan tentang kawasan agribisnis nilam. Suatu kawasan yang sesuai dengan agroklimat dan animo masyarakat setempat yang memiliki naluri dalam budidaya nilam akan penting artinya bagi keberlanjutan usaha agribisnis nilam. Adanya suatu kawasan yang jelas, memudahkan bagi instansi teknis dalam hal ini Dinas Perkebunan untuk Perkembangan Teknologi TRO VOL. XVI, No. 2, 2004 membina para kelompok tani. Lebih jauh lagi penanganan permasalahan teknis yang ada sejak dari pemilihan bibit/setek, cara pemupukan, perawatan dan pengendalian hama dan penyakit serta perlakuan pasca panen akan lebih mudah diatasi. Selanjutnya jika pada kawasan pengembangan tersebut dinilai sudah

layak untuk dibangun industri pengolahan maka Pemerintah Daerah akan lebih mudah menilai kelayakan pembangunan industry pengolahan beserta

pemasarannya. Pengembangan agribisnis nilam mempunyai peluang yang sangat besar dan sangat menguntungkan mengingat kebutuhan akan minyak nilam di pasaran dunia meningkat. Lahan pengembangan nilam masih tersedia, baik di daerah pesisir barat selatan maupun pesisir utara timur serta bahagian tengah. Untuk meningkatkan produksi dan kuntinuitas produksi maka sistem budidaya nilam tradisional harus dirubah menjadi sistem budidaya intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke penangan pasca panen, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. 3. Potensi Aceh Di Bidang Perkebunan Perkebunan di daerah Aceh meng-hasilkan coklat, kemiri, karet, kelapa sawit, kelapa, ko-pi, cengkeh, pala, nilam, lada, pinang, tebu, temba-kau, dan randu. Daerah Aceh juga banyak menghasilkan sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti bawang merah, cabe, kubis, kentang, kacang panjang, tomat, ketimun, pisang, mangga, rambutan, nangka, durian, jambu biji, pepaya, dan melinjo. 4. Potensi Aceh Di Bidang Peternakan Peternakan daerah ini menghasilkan ternak sapi potong, kerbau, kuda, kambing, domba, ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur, dan itik. 5. Potensi Aceh Pada Bidang Tambang Meliputi gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, dan tembaga. Gas alam dan minyak bumi yang ada di Arun dan daerah lainnya di Aceh telah memberikan sum-bangan yang cukup besar terhadap devisa negara. Daerah Aceh memiliki bahan tambang, seperti tem-baga, timah hitam, minyak bumi, batubara, dan gas alam. Selain itu, terdapat tambang emas di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Barat. Tambang biji besi terdapat di Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Tambang mangan terdapat di Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Barat. Sementara tambang biji timah, batu bara, dan minyak bumi terdapat di Aceh Barat dan Aceh Timur, yakni di Rantau Kuala dan Simpang Peureulak, serta gas alam di daerah Lhok Sukon dan Kabupaten Aceh Utara.

Ket: Potensi bahan galian unggulan tertera pada lempiran 6. Potensi Aceh Pada Bidang Tambang Di bidang industri, daerah Aceh memiliki potensi cukup besar terutama industri hasil hutan, perkebunan, dan pertanian, seperti minyak kelapa sawit, atsiri, karet, kertas, serta industri hasil pengolahan tambang yang belum berkembang secara optimal. Jenis industri yang ada meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kayu, bambu, rotan, dan sejenisnya; industri kertas dan barang-barang dari kertas; industri kimia dan barang-barang dari kimia; industri logam dan barang-barang dari logam. Hasil produksi komoditas industri utama berupa semen, pupuk, kayu gergajian, moulding chips, plywood, dan kertas. 7. Potensi Aceh Pada Bidang Pariwisata Dalam sektor pariwisata, Daerah Istimewa Aceh memiliki potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan lebih baik, terutama wisata alam, wisata bahari, dan wisata sejarah. Aceh dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam pertama di Indonesia, di mana pada abad 15-16 SM berdiri kerajaan Pasai dan Periak. Daya tarik obyek wisata lainnya adalah Taman Wisata Gunung Leuser yang memiliki banyak sungai arus deras, yang menarik bagi wisatawan asing dan domestik. Begitu pula kekayaan budaya berupa adat istiadat dan kesenian tradisonal, tari-tarian dan sebagainya akan menambah minat para wisatawan mancanegara dan domestik untuk berkunjung ke sana. Sebagai tujuan investasi, provinsi ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang diantaranya Bandara Sultan Iskandarmuda di Aceh, Bandara Cut Nyak Dien di Meulaboh, Bandara Lasikin di Sinabang dan Bandara Malikul Saleh di Lhokseumawe serta memiliki Pelabuhan Meulaboh, Pelabuhan Susoh, Pelabuhan Lhokseumawe, Pelabuhan Kuala Langsa, Pelabuhan Malahayati dan Pelabuhan Sabang serta didukung sarana listrik dan telekomunikasi.

Daftar Pustaka

http://lingkunganaceh.blogspot.com/2009/08/kondisi-fisik-wilayah-aceh.html http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php http://bappedaprovsi.net/index.php?option=com_content&view=article&id=50:propaceh&catid=37:provinsi&Itemid=46 http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh http://aceh-87.blogspot.com/2010/11/profil-provinsi-aceh.html http://gayoaceh.wordpress.com/2011/02/05/kondisi-das-di-aceh/ Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1992. Konsep dan Kegunaan Evaluasi dan Inventarisasi Harkat Sumberdya lahan dengan uraian khusus mengenai gatra tanah. Diktat Kuliah. Yogyakararta: Fakultas Pertanian UGM. Soemarno. 2007. Konsepsi Ekonomi Sumberdaya Lahan. Makalah