43
E. PROFIL INVESTASI BIOFUEL DARI SAGU 1. Teknik Budidaya Tanaman Sagu A. Nama Lain dari Tanaman Sagu Sagu (Metroxylon sp.) di duga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia. Gambar 51. Tanaman Sagu

Profil Sagu Final

Embed Size (px)

Citation preview

E. PROFIL INVESTASI BIOFUEL DARI SAGU

1. Teknik Budidaya Tanaman Sagu

A. Nama Lain dari Tanaman Sagu

Sagu (Metroxylon sp.) di duga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat

ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal.

Di wilayah Indonesia bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai

makanan pokok oleh sebagian penduduknya terutama di Maluku dan Irian Jaya.

Teknologi eksploitasi, budidaya dan pengolahan tanaman sagu yang paling maju

saat ini adalah di Malaysia.

Gambar 51. Tanaman Sagu

Gambar 52. Areal Sagu di Dunia

194

Tanaman Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula,

bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba

di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru.

Tanaman sagu masuk dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasan Indo

Pasifik terdapat 5 marga (genus) Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan,

yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang

banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup

tinggi.

Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua,

yaitu : yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga atau

berbuah sekali (Hapaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena

kandungan karbohidratnya lebih banyak. Golongan ini terdiri dari 5 varietas

penting yaitu :

a. Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu molat

b. Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.

c. Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu ihur

d. Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu

Makanaru

e. Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan

Dari kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur,

Tuni, dan Molat.

Sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi dan budaya yang cukup penting

di Propinsi Papua karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat

terutama yang bermukim di daerah pesisir. Pertanaman sagu di Papua cukup luas,

namun luas areal yang pasti belum diketahui. Berdasarkan data penelitian dan

pengambangan pertanian dapat diperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai

980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu

Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen,

Membramo, Sarmi dan Sentani.

Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, yang

diperkirakan luasan budi daya penanamannya mencapai luas 114.000 ha dan

195

20.000 ha. Sedangkan luas penanaman sagu sebagai tanaman liar di Indonesia

adalah Irian Jaya, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

B. Syarat Tumbuh

Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara 2.000 –

4.000 mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun. Sagu dapat tumbuh

sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu

terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Suhu optimal untuk pertumbuhan

sagu berkisar antara 24,50 – 29oC dan suhu minimal 15oC, dengan kelembaban

nisbi 90%. Sagu dapat tumbuh baik di daerah 100 LS - 150 LU dan 90 – 180

darajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun. Sagu dapat

ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40%. Kelembaban yang

optimal untuk pertumbuhannya adalah 60%.

Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan

permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa

yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang

aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak

terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah

liat > 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah

pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi. Sagu

dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning,

alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya. Sagu mampu tumbuh

pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang paling baik terjadi

pada tanah yang kadar bahan organiknya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH 5,5

– 6,5.

Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh

pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan

yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur, dimana

akar nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur

hara yang disuplai dari air tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan

magnesium.

196

Pengertian mengenai hutan sagu adalah hutan yang didominasi oleh

tanaman sagu. Selain sagu, masih bnyak tanaman lain yang ditemukan dalam

kawasan tersebut. Selain itu, dalam satu hamparan hutan sagu tidak hanya tumbuh

satu jenis sagu, tetapi terdapat beragam jenis sagu dan struktur tanaman.

C. Teknologi Perbanyakan tanaman sagu

Teknologi perbanyakan tanaman sagu dapat dilakuan dengan metode

generatif dan vegetatif. Secara generatif yaitu dengan menggunakan biji yang

berasal dari buah yang sudah tua dan rontok dari pohonnya. Biji yang digunakan

adalah biji yang berasal dari pohon induk yang baik, yang subur dan produksinya

tinggi.

Perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif dapat dilakukan dengan

menggunakan bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya

yang disebut dangkel atau abut (jangan yang berasal dari stolon).

D. Persemaian dan Pembibitan

D.1. Persyaratan Benih atau Bibit

Syarat bibit untuk pembibitan cara generatif adalah biji yang digunakan

sudah tua, tidak cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas. Syarat bibit untuk

pembibitan cara vegetatif adalah berasal dari tunas atau anakan yang umurnya

kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat 2-3 kg. Tinggi

anakan +1 meter dan punya pucuk daun 3-4 lembar.

D.2. Penyiapan Benih atau Bibit

a). Cara generatif

Biji yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan

jatuh/rontok dari pohon induk yang baik, yaitu subur dan produksinya

tinggi, tumbuh pada lahan yang wajar serta produksi klon rata-rata tinggi.

Biji/buah yang diambil tersebut adalah buah yang tidak cacat fisik,

besarnya rata-rata, dan bernas.

197

b). Cara Vegetatif

Pembiakan secara vegatatif dapat dilakukan dengan menggunakan

bibit berupa anakan yang melekat pada pangkal batang induknya. Adapun

cara pengadaan adalah sebagai berikut :

1. Pengambilan dengkel dipilih yang terletak di permukaan atas.

2. Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm, tanpa

membuang akar serabutnya.

3. Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan

ditempatkan pada tempat yang mendapat cahaya matahari langsung

dengan bagian permukaan belahan tepat pada tempat di mana cahaya

matahari jatuh, selama 1 jam.

4. Luka bekas irisan dangkel yang msih tertanam segera dilumuri dengan

zat penutup luka (seperti : TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk

mencegah hama dan penyakit.

5. Bibit sagu direndam dalam air aerobic selama 3-4 minggu. Setelah itu

bibit ditanam.

6. Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore

hari, kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu

malam hari diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel

oleh cahaya matahari.

D.3. Teknik Penyemaian Benih

a) Cara generatif :

Secara generatif penyemaian benih tanaman sagu dapat dilakukan

dengan cara perkecambahan tidak langsung, penyiapan media, penataan

bibit dan pembibitan, sebagai berikut.

1. Perkecambahan tak langsung

Penyiapan media : Wadah atau bak dari bata atau bambu berukuran

tinggi 30-40 cm, panjang tidak lebih dari 2 meter dan lebar 1,2 – 1,5

cm. Selanjutnya sepertiga bagian bawah diisi pasir dan atasnya

serbuk gergaji basah.

198

Penataan Bibit : bibit ditata dengan jarak 10 x 10 cm; 10 x 15 cm;

atau 15 x 15 cm dengan posisi miring atau tegak, bagian lembaga

diletakkan di bawah, ¾ bagian bibit ditekan dalam serbuk gergaji.

Kelembaban media dijaga antara 80-90%. Setelah umur 1-2 bulan

dan sudah berdaun 2-3 lembar, bibit dipindah ke bedeng pembibitan.

2. Pembibitan (Perkecambahan tak langsung di media pembibitan)

Penyiapan media : Tanah diolah sedalam 45-60 cm, digemburkan

dan ditambah pupuk dasar. Ukuran bedeng tinggi 30 cm; lebar 1,25

m; dan panjang + 8-10 dengan jarak antar bedengan 30-50 cm.

Pengaturan pembibitan tanpa penjarangan : Bibit ditanam dengan

jarak 25 x 25cm sampai dengan 40 x 40 cm. Pengaturan pembibitan

dengan penjarangan : Pada mulanya bibit ditanam dengan jarak

rapat, yaitu 12,5 x 12,5 cm; 15 x 15 cm; atau 20 x 20 cm.

D.4. Pemeliharaan Penyemaian

Cara generatif dengan penjarangan :

a. Dilakukan setelah satu bulan, yaitu menjadi 25 x 25 cm; atau 40 x 40 cm.

b.Selama masa penyemaian kelembaban dipertahankan 80 – 90 %

c. Diberi naungan agar tidak kena cahaya matahari langsung.

d.Peyiraman dilakukan setiap saat.

D.5. Pemindahan Bibit

a). Cara generatif :

Bibit yang berumur 6 -12 bulan dapat dipindahkan atau ditanam. Cara

pengangkatannya ke kebun atau tempat penanaman mudah dan murah.

b). Cara Vegetatif

Setelah diambil dapat langsung ditanam.

E. Pengolahan Media Tanam

199

1. Persiapan

Lahan dipilih yang sesuai dengan ketentuan. Menurut kebiasaan petani

sagu Riau dan Maluku, penanaman sagu dilakukan pada awal musim

hujan.

2. Pembukaan Lahan

Lahan dibersihkan dari semua vegetasi di bawah diameter 30 cm dekat

permukaan tanah dan semua pohon yang tinggal. Vegetasi bawah dan

ranting – ranting kecil tersebut dibakar dan abunya untuk pupuk. Pokok –

pokok batang yang besar, yang sulit penggaliannya dapat ditinggalkan

begitu saja di lahan, kecuali pokok – pokok yang berada pada calon baris

tanaman harus dibersihkan.

3. Pembentukan bedengan

Dilakukan untuk penanaman dengan cara blok (biasanya dilakukan

perusahaan perkebunan sagu). Adapun tata cara pembangunan blok

adalah:

a) Ukuran blok 400 x 400 m, jadi satu blok luasnya 16 ha. Biasanya di

tengah – tengah blok dibangun kanal tersier.

b) Kanal yang harus dibangun ada 3 macam, yaitu : kanal utama, kanal

sekunder, dan kanal tersier.

c) Kanal utama adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap sungai,

dibangun di setiap dua blok kebun sagu, jaraknya dari kanal utama satu

dengan yang lain adalah 800 m. Fungsinya sebagai pengaliran air dari

sungai ke dalam blok – blok sagu, dan sebagai jalur transportasi utama

dari kebun ke sungai dan sebaliknya, serta untuk penyanggah pengaruh

air pasang. Kanal utama ini lebarnya 2,5 m.

d) Kanal sekunder adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap kanal

utama (melintang pada blok dan kanal utama). Kanal ini berfungsi

sebagai pembatas antara empat blok sagu disebelahnya; sebagai jalur

transportasi sagu dari kebun dan atau kanal tersier ke kanal utama.

Lebar kanal sekunder adalah 2 m.

e) Kanal tersier adalah kanal yang digali pada pertengahan blok atau di

antara dua blok atau melintangi di antara blok – blok yang saling

200

berseberangan dan sebagai jalur transportasi dari kebun sagu bagian

dalam, ke sungai atau kanal utama, atau ke kanal sekunder atau juga ke

kanal tersier melintang dan sebaliknya. Lebar kanal tersier adalah 1,5

m.

f) Saluran drainase lebarnya 0,75 – 1,00 m.

4. Lain - lain

Menentukan sistem dan alat transportasi, karena lahan penanaman sagu

didominasi oleh lahan yang berupa rawa dan lahan pantai yang sering

dipengaruhi pasang surut. Lahan sebagian merupakan daerah berair, maka

infrastruktur harus terdiri atas sistem kanal sebagai pengganti jalan darat.

F. Penanaman dan Penyulaman

1. Penentuan Pola tanam

Penanaman dengan sistem blok adalah jarak tanam atau jarak lubang

antar bervariasi antara 8-10 meter, sehingga satu hektar hanya menampung +

150 buah. Jarak tanam yang dianggap ideal adalah :

a. Sagu Tuni 8 x 8 atau 9 x 9 m, hubungan segitiga sama sisi, sehingga 1

hektar akan memuat 143 tanaman.

b. Sagu Ihur 9 x 9 m, hubungan segitiga sama sisi, sehingga 1 hektar akan

memuat 143 tanaman.

c. Sagu Molat 7 x 7, hubungan segi empat, sehingga 1 hektar akan memuat

2043 tanaman

d. Jika ketiga varietas ditanam secara bersama – sama, maka ditanam secara

terpisah menurut blok.

2. Pembuatan Lubang tanam

Lubang tanam digali sebulan/selambat-lambatnya 1 minggu sebelum

penanaman dengan ukuran lubang 30x30x30 cm. Hasil galian tanah bagian

atas dipisahkan dari tanah lapisan bawah dan dibiarkan beberapa hari. Pada

lubang tanaman itu ditempatkan pancang – pancang bambu, tiap lubang 2

pacang.

3. Cara Penanaman

201

Cara penanaman dilakukan dengan membenamkan dangkel ke dalam

lubang tanaman. Bagian pangkal dangkel ditutup dengan tanah remah

bercampur gambut. Tanah penutup jangan ditekan tapi dangkel jangan sampai

bergerak. Tanah lapisan atas dimasukkan sampai separuh lubang apabila

mungkin di campur puing – puing. Akar – akar dibenamkan pada tanah

penutup lubang dan pangkalnya agak ditekan sedikit ke dalam tanah.

G. Penyiangan (pengendalian gulma)

Penyiangan dilakukan terhadap gulma dan dilakukan pada sagu muda

(3 – 4 tahun), sebab rawan terhadap serangan hama. Gulma juga akan

memperbesar peluang kebun dilanda kebakaran. Proses penyiangan dapat

dilakukan dengan menggunakan tangan, sabit, parang, cangkul dan

sebagainya. Hasil dari penyiangan dipendam/dikomposkan. Bila gulma

mengandung hama/vektor dan kayu, dibakar dan abunya dijadikan pupuk.

H. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pada tanaman sagu terdapat hama dan penyakit yang dapat mengurangi hasil

panen. Beberapa jenis hama dan penyakit adalah sebagai berikut.

Hama

a. Kumbang (Oryctes rhinoceros sp.)

Gejala dari serangan hama ini adalah terdapat lubang pada pucuk daun bekas

gerekan kumbang, setelah berkembang tampak terpotong seperti di gunting

dalam bentuk segitiga. Pengendalian dapat dilakukan secara mekanis dan

bilogis. Pengendalian secara mekanis adalah dengan cara pohon – pohon sagu

yang mendapat serangan ditebang dan dibakar. Pengendalian secara biologis

dapat dengan menggunakan musuh alami.

b. Kumbang sagu (Rhynchophorus sp)

Ciri dari serangan hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang

oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas oryctes. Bila serangan terjadi

pada titik tumbuh dapat menyebabkan kematian pohon. Pengendalian dapat

dilakukan dengan cara mekanik dan biologis.

202

c. Ulat daun Artona (Artona catoxantha, Hamps. Atau Brachartona

catoxantha)

Ulat daun selain merusak daun pada sagu, juga menyerang pada daging buah,

ulat daun ini menyerang jaringan dalam daun. Pengendalian pada ulat daun

dapat dilakukan secara mekanik dan biologis.

d. Babi hutan

Binatang ini merusak sagu tingkat semai dan sapihan (umur 1-3 tahun),

memakan umbut (pucuk batang yang masih muda). Pengendalian hama

binatang ini adalah dengan cara memburu dan membunuhnya agar populasi

terkendali.

e. Kera (Macaca irus)

Binatang ini mempunyai potensi untuk merusak bagian sagu muda dan selalu

merusak lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Pengendalian untuk binatang

ini sama dengan pengendalian binatang babi hutan.

Penyakit

Penyakit yang biasanya terdapat pada tanaman sagu adalah bercak kuning

yang disebabkan oleh cendawan Cercospora. Gejala dari penyakit ini adalah

daun berbercak – bercak coklat.

I. Pemupukan

Unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sagu, antara

lain kalsium, kalium dan magnesium. Pada hutan sagu liar, pemeliharaan

tanaman berupa pemupukan jarang dilakukan. Berbeda dengan hutan

budidaya sagu yang mengejar produktivitas yang optimal, maka akan

dilakukan pemupukan. Beberapa jenis pupuk dan dosis pemupukan disajikan

pada Tabel 65.

Pemupukan dilakukan dengan membenamkan pupuk dalam tanah, agar

tidak terbawa air sebelum terabsorbsi oleh akar tanaman lahan yang berada di

daerah rawa/dataran rendah dan pasang surut yang sering yang terjadi luapan

air. Pemupukan dilaksanakan secara melingkar di sekeliling rumpun atau

secara lokal di daun sisi rumpun pada jarak sejauh pertengahan antara ujung

203

tajuk dengan pohon/rumpun sagu. Waktu pemupukan untuk tanaman sagu

muda adalah sampai 1 tahun menjelang panen, pemupukan dilakukan 1-2 kali

setahun. Pemupukan sekali setahun, dilakukan pada awal musim hujan.

Sedangkan untuk pemupukan dua kali setahun dilakukan pada awal dan akhir

musim hujan, masing – masing dengan ½ dosis.

Tabel 65. Dosis pupuk pada budidaya sagu (per pohon)

Umur Tanaman (tahun)

Urea (g) Phosphat Alam (g)

TSP (g) KCL (g) Kieserite (mg)

0 0 300 0 0 01 100 0 100 50 02 150 0 150 100 03 200 0 200 150 304 250 250 0 250 405 300 0 300 250 506 400 400 0 400 807 500 0 500 500 1008 500 500 0 600 120

> 9 500 0 . 500 700 140

J. Panen

Ciri dan umur panen

Panen dapat dilakukan umur 6 -7 tahun, atau bila ujung batang mulai

membengkak disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna

putih terutama pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10 – 15 m, diameter 60 – 70

cm, tebal kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50 – 60

cm. Ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dapat dilihat dari perubahan

yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang. Cara penentuan pohon sagu

yang siap panen di Maluku adalah sebagai berikut :

a. Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase dimana sebagian duri pada

pelepah daun telah lenyap. Kematangannya belum sempurna dan

kandungan acinya masih rendah, tetapi dalam keadaan terpaksa pohon ini

dapat di panen.

b. Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya pelepah daun, duri yang

terdapat pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada

bagian pangkal pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang

terbentuk ukurannya semakin pandek dan kecil. Pada tingkat ini sagu jenis

204

Metroxylon rumphii Martius sudah siap dipanen, karena kandungan acinya

sangat tinggi.

c. Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase dimana semua pelepah

daun telah menguning dan kuncup bunga mulai muncul. Kandungan

acinya telah padat mulai dari pangkal batang sampai ujung batang

merupakan fase yang tepat untuk panen sagu ihur (Metroxylon sylvester

Martius)

d. Tingkat siri buah, merupakan tingkat kematangan terakhir, di mana kuncup

bunga sagu telah mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan

buahnya mulai terbentuk. Fase ini merupakan saat yang paling tepat untuk

memanen sagu jenis Metroxylon longisipium Martius

Cara Panen

Langkah-langkah pemanenan sagu adalah sebagai berikut :

a. Pembersihan untuk membuat jalan masuk ke rumpun dan pembersihan

batang yang akan di potong untuk memudahkan penebangan dan

pengangkutan hasil tebangan.

b. Sagu dipotong sedekat mungkin dengan akarnya. Pemotongan

menggunakan kampak/mesin pemotong (gergaji mesin).

c. Batang dibersihkan dari pelepah dan sebagian ujung batangnya karena

acinya rendah, sehingga tinggal gelondongan batang sagu sepanjang 6 –

15 meter. Gelondongan dipotong – potong menjadi 1-2 meter untuk

memudahkan pengangkutan. Berat 1 gelondongan adalah + 120 kg dengan

diameter 45 cm dan tebal kulit 3,1 cm.

Periode Panen dan Perkiraan Produksi

Pemanenan kedua dilakukan dengan jangka waktu + 2 tahun. Perkiraan

produksi hasil yang paling mendekati kenyataan pada kondisi liar dengan

produksi 40 – 60 batang/ha/tahun, jumlah empulur 1 ton/batang, kandungan

aci sagu 18,5 %, dapat diperkirakan hasil per hektar per tahun adalah 7 – 11

ton aci sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat

dihasilkan 100 -600 Kg aci sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan

yang ideal adalah 15%.

205

2. Teknik Produksi Bioethanol Sagu

Bagian terpenting dalam tanaman sagu adalah batang sagu karena

merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat

menghasilkan pati sagu. Tinggi batang sagu dewasa mencapai 10 m . Ukuran dari

batang sagu dan kandungan patinya tergantung pada jenis sagu, umur dan

habitatnya. Pada umur panen sekitar 11 tahun ke atas empulur sagu mengandung

pati sekitar 15-20 persen. Setiap pohon sagu dapat menghasilkan tepung sagu

berkisar antara 50-450 kg tepung sagu basah.

Kandungan pati maksimal terjadi pada waktu sagu sebelum berbunga.

Munculnya primordia bunga biasanya menunjukkan kandungan pati menurun.

Kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan

bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan

menjadi kosong dan tanaman sagu mati. Keadaan tersebut mempermudah petani

dalam mengetahui kandungan pati sagu secara maksimal.

Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial disamping beras,

khususnya bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Timur Indonesia seperti

Irian Jaya dan Maluku. Beberapa produk olahan dari pati sagu antara lain papeda,

soun, dan ongol-ongol. Diperkirakan hampir 90% areal sagu Indonesia berada di

Irian Jaya dan saat ini arealnya menyusut akibat esksploitasi yang berlebihan.

Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat rendah yang ditandai dengan

kapasitas dan produktivitas pengolahan yang masih rendah.

Di pasaran internasional tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi

tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi,

industri perekat, dan industri farmasi. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu pada

tingkat petani masih sangat sederhana. Hal ini karena sebagian besar tujuan

pengolahan sagu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Cara sederhana

tersebut menghasilkan rendemen yang rendah dan kurang efisien.

Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat

besi yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi dijadikan sebagai

bahan baku sirup glukosa yang dapat meningkatkan nilai tambah sagu. Pati sagu

mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan komposisi kadar

amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar

206

amilosa maka pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air

(higroskopis).

Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan

ukuran granula sebesar 20-60 m dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC.

Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al., (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar

72-90oC.

A. Hidrolisis Pati

Sebagai bahan baku bioetanol, pati sagu akan dihidrolisis untuk

mendapatkan glukosa, kemudian dilakukan fermentasi untuk mendapatkan

bioetanol. Hidrolisis pati sagu akan menghasilkan hidrolisat pati yang merupakan

cairan kental dengan komponen utamanya glukosa. Hidrolisis pati menjadi

glukosa dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu dan

pH tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan diantaranya

yaitu hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi asam dan enzim.

Hidrolisis pati menggunakan asam memiliki diagram proses yang sederhana,

namun memerlukan persyaratan peralatan yang rumit (tahan panas, tekanan

tinggi). Berbeda dengan hidrolisis enzimatis, selain kondisi proses yang tidak

ekstrim, pemakaian enzim dapat menghasilkan rendemen dan mutu larutan

glukosa yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisis secara asam. Pada hidrolisis

secara enzimatis ikatan pati dipotong sesuai dengan jenis enzim yang digunakan,

sedangkan apabila menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak.

Pada proses hidrolisis pati sagu terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi

pati yaitu tahap gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi

merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap likuifikasi yaitu

proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan

sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa.

Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan -1,4 glikosidik oleh enzim

-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan

glukosa, maltosa, maltodekstrin dan -limit dekstrin. Enzim. -amilase

merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan

memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan -(1,4)

207

glikosidik pada amilosa, amilopektin, dan glikogen. Ikatan -(1,6) glikosidik

tidak dapat diputus oleh -amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang

yang lebih pendek (Nikolov dan Reilly, 1991). Enzim -amilase umumnya

diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B. licheniformis, Aspergillus oryzae, dan

A. niger. pH optimum untuk enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC. Jika

suhu semakin ditingkatkan maka pH optimum pun semakin meningkat sampai

sekitar tujuh.

Pada likuifikasi pati biasanya -amilase yang digunakan adalah yang

memiliki aktivitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0,5-0,6

kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering. Enzim -amilase komersial dibuat

oleh Novo Industri A/S antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki

ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada

suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa. Dosis -amilase

yang biasa digunakan antara 0.5 sampai 0.6 kg Termamyl 102 L per ton pati

kering. Satu kNU (kilo Novo -amilase Unit) adalah jumlah enzim yang dapat

menghidrolisis 5,26 pati (gram standar) per jam suhu 37oC, pH 5,6 pada kondisi

standar.

Setelah terjadi likuifikasi, selanjutnya bahan akan mengalami proses

sakarafikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan

eksoenzim yang terutama memecah ikatan -(1,4) dengan melepaskan unit-unit

glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan amilopektin untuk

memproduksi -D-Glukosa. Nama trivial yang sering digunakan pada enzim ini

adalah amiloglukosidase (AMG), glukoamilase, dan gamma-amilase (Kulp,

1975). Amiloglukosidase ditemukan pada tahun 1950-an dan digunakan secara

luas pada teknologi bioproses pati dan industri makanan. Kegunaan yang luas dan

spesifik menyebabkan amiloglukosidase digunakan pada produksi gula cair.

Amiloglukosidase diproduksi dalam jumlah besar dari kapang dan khamir,

tetapi hanya Aspergillus dan Rhizopus yang digunakan secara komersial. Suhu

optimum untuk enzim amiloglukosidase berkisar 40-60oC dengan pH optimum 3-

8.

Amiloglukosidase yang umumnya digunakan pada tahap likuifikasi berasal

dari Aspergillus niger. Pada kondisi yang sesuai, enzim amiloglukosidase

208

ditambahkan dengan dosis berkisar 1,65-0,80 liter enzim per ton pati dengan dosis

sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle, 1990). Amiloglukosidae yang berasal

dari Novo yaitu AMG tersedia dalam bentuk cair dengan aktivitas 200, 300 atau

4000 AGU g-1. Satu AGU (Amiloglukosidase Unit) adalah jumlah enzim yang

menghidrolisis 1 mol maltosa per menit pada suhu 25oC dan kondisi standar.

B. Fermentasi Etanol

Hasil hidrolisis pati selanjutnya difermentasi dengan bantuan

mikroorganisme. Mikroorganisme yang dipakai dalam fermentasi etanol adalah

khamir. Khamir yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah

Saccharomyces cerviseae. Saccharomyces cerviseae sering dipakai pada

fermentasi etanol karena menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar

etanol yang tinggi, mampu hidup pada temperatur tinggi, tetap stabil selama

kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah.

Saccharomyces cerviseae bisa didapatkan dalam bentuk kultur murni maupun

terkandung dalam ragi. Saccharomyces cerviseae bisa diproduksi menjadi ragi,

baik untuk pembuatan roti (roti (baker’s yeast) ataupun pada pembuatan minuman

beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Dalam pembuatan ragi digunakan

strain Saccharomyces cerviseae yang berbeda. Strain Saccharomyces cerviseae

yang berbeda memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. Pada pembuatan ragi

roti digunakan Saccharomyces cerviseae yang memiliki sifat antara lain

menghasilkan karbondioksida yang tinggi serta mampu memberikan tekstur dan

rasa yang baik. Sementara Saccharomyces cerviseae yang digunakan untuk

produksi alkohol memiliki sifat antara lain mampu menghasilkan etanol yang

tinggi.

Ragi roti mengandung sel hidup (viable cell) Saccharomyces cerviseae yang

mengalami asimilasi sel karena terdapat dalam kondisi aerobik (Retledge, 2001).

Ragi roti biasanya berbentuk kering dengan berat kering 95% atau bentuk basah

dengan berat kering 25-29%. Ragi roti biasanya digunakan sebagai zat pegembang

adonan dan untuk memberikan tekstur serta rasa yang khas pada roti. Sementara

itu ragi pada minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast) digunakan

sebagai inokulum pada pembuatan minuman beralkohol. Ragi yang paling banyak

209

digunakan dan tersedia banyak di pasaran adalah ragi roti. Strain Saccharomyces

cerviseae yang digunakan berbeda antara ragi roti dan ragi untuk industri alkohol.

Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan

dan perkembang biakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon,

hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak

diperoleh dari dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino,

peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan

unsur penting dalam kehidupan khamir terutama dari pembentukan alkohol dari

gula.

Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk

pertumbuhannya sehingga fermentasi terjadi secara aerob. Setelah terbentuk CO2,

reaksi akan berubah menjadi anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi

fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15% volume.

Konsentrasi alkohol akan menghalangi fermentasi tergantung pada temperatur dan

jenis khamir yang digunakan.

Khamir tumbuh terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa

khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi

aerobik digantikan proses fermentasi pada proses anaerobik. Khamir akan selalu

berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang

dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan

pada fermentasi (Barnett et al., 2000). Bila terdapat udara pada proses fermentasi

maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terdapat proses respirasi

sehingga terjadi konversi gula menjadi karbondioksida dan air.

Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25o-30oC dan

maksimum pada 35oC-47oC. Sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal

aw untuk khamir biasa adalah 0,88-0,94 sedangkan untuk khamir osmofilik dapat

tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0,32-0,65. Namun demikian

banyak juga khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada aw 0,78 seperti

pada larutan garam ataupun sirup (Frazier dan Westhoff, 1978).

Menurut Casida (1968) pH pertumbuhan khamir yang baik adalah rentang

antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping

fermentasi. pH pertumbuhan berhubungan positif dengan pembentukan asam

210

piruvat. Pada pH tinggi maka lag fase akan berkurang dan aktifitas fermentasi

akan naik. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga tergantung pada

konsentrasi gula dan etanol. Untuk menurunkan pH dapat digunakan asam sitrat

sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat.

Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses pemecahan gula

menjadi etanol dan CO2 dihasilkan oleh sel khamir. Enzim yang berperan dalam

pembuatan etanol dari glukosa adalah heksosinase, fospoheksoisomerase,

fosfofruktokinase, aldose, triosefospate isomerase, gliseraldehid 3 fosfat

dehydrogenase, phosphoglycerokinase, piruvat karboksilase dan alkohol

dehidrogenase.

Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2

molekul CO2 menururt persamaan Gay Lussac:

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2

(gula) (etanol) (karbondioksida)

Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa 51,1% gula diubah menjadi

etanol dan 49,9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini

kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil sampingan. Pada

kenyataannya hanya 90-95% dari nilai ini yang dapat dicapai. Konsentrasi alkohol

yang dihasilkan dalam fermentasi tergantung pada jenis khamir yang dipakai dan

kadar gula. Sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh temperatur,

aerasi, kadar gula dan keasaman (Underkofler dan Hickey, 1954).

Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dengan berbagai bentuk

diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya khamir

yang ditambahkan dalam fermentasi skala besar sekitar 1-3 % (Prescott dan Dunn,

1959). Menurut Undekofler dan Hickey (1954) paling sedikit penambahan starter

aktif pada pembuatan anggur adalah sekitar 1% kalau substrat yang digunakan

bersih dan bebas dari khamir yang tidak diinginkan.

211

Produksi Bioetanol Sagu

Berikut adalah diagram alir untuk produksi bioetanol dari pati sagu

Gambar 53. Diagram Alir Proses Produksi Etanol

212

Sagu

Hidrolisis

Fermentasi

Distilasi

Dehidrasi

Etanol (+/- 10 % v/v)

Etanol (+/- 99.5 % v/v)

Etanol (+/- 80 % v/v)

Gambar 54. Diagram Alir Proses hidrolisis pati sagu

213

Suspensi pati sagu 30%

Pencampuran

Pati sagu

CaCO3

200 ppm

Pati sagu

Pengaturan pH 6.2

NaOH

Gelatinisasi (105oC, 5 menit)

Amiloglukosidase

-amilaseLikuifikasi (90oC, pH 6,2 210 menit)

Sakarifikasi (60oC, pH 4,5, 48 jam)

Hidrolisat pati sagu

Gambar 55. Diagram Alir Fermentasi hidrolisat pati sagu

214

100 ml Glukosa 14 % b/v

NPK 0.04 gr

ZA 0.15 gr Pencampuran

Pengaturan pH

Pasteurisasi 85oC 5 menit

Pendinginan 30oC

Penambahan 10% substrat

Fermentasi 48 jam

Etanol 4.9 % v/v

3. Analisis Ekonomi Investasi Bioenergi dari Sagu

A. Analisis finansial budidaya sagu

Budidaya sagu yang dilengkapi dengan unit pengolahan pati sagu menggunakan

beberapa asumsi sebagai berikut.

Luas lahan budidaya adalah 96 ha, yang terbagi dalam 6 blok tanam,

masing-masing 16 ha.

Populasi kebun 143 pohon/ha

Jumlah bibit cadangan 30% dari total kebutuhan bibit

Sagu mulai dipanen pada tahun ke 6, rotasi pemanenan 2 tahun dan

berproduksi hingga tahun ke 25.

Biaya tenaga kerja per hari Rp.20.000,-, atau Rp.600.000,- perbulan.

Kebutuhan bibit siap tanam 13.728 bibit

Produktivitas lahan adalah 50 batang sagu/ha/tahun setara dengan 10 ton

sagu/ha/tahun.

Harga jual pati sagu Rp.2.200,-/kg.

BIAYA

Pendirian kebun budidaya sagu seluas 96 ha memerlukan biaya investasi

dan biaya operasional yang dikeluarkan selama umur proyek (25 tahun). Biaya

investasi terdiri dari biaya pembelian peralatan, dan biaya pengadaan sarana

penunjang antara lain lahan, bangunan, unit pengolahan sagu, peralatan kantor

serta sarana transportasi. Biaya sarana penunjang yang dikeluarkan adalah Rp.

5,729,350,000,- sedangkan biaya pembelian peralatan adalah Rp. 76,470,000,-.

Investasi untuk peralatan dilakukan setiap tahun dengan nilai investasi yang

berbeda-beda. Komponen biaya investasi pendirian kebun budidaya kelapa sawit

6.000 ha untuk tahun pertama disajikan pada Tabel 66. Secara rinci, biaya

investasi pendirian kebun dan unit pengolahan sagu disajikan pada Lampiran 20.

215

Tabel 66. Kebutuhan investasi kebun budidaya 96 ha

Uraian Investasi Total Biaya (Rp)A Fasilitas penunjang

1. Kantor dan unit pengolahan 5,300,000,0002. Kendaraan, infrastruktur kebun 412,500,0003. Fasilitas penunjang kantor 16,850,000

B Peralatan budidaya 76,470,000Total Investasi 5,805,820,000

Biaya operasional untuk penanaman dan persiapan lahan adalah sebesar Rp.

134,182,320,- untuk biaya tenaga kerja dan Rp. 33,600,653,- untuk pembelian

bahan. Rincian biaya operasional tersebut disajikan pada Tabel 67.

Tabel 67 . Rincian biaya operasional pendirian hutan budidaya sagu

Tenaga Kerja Jumlah Satuan Harga/satuan TotalI Persiapan Lahan

1 Pembersihan lahan 1440 HOK 20,000 28,800,0002 Pengolahan tanah 1440 HOK 20,000 28,800,0003 Pemancangan bambu 576 HOK 20,000 11,520,0004 Pembuatan lubang tanam 1440 HOK 20,000 28,800,000

II Persemaian dan Pembibitan

1Pengolahan tanah dan pembuatan bedengan 23 HOK 20,000 450,000

2 Penanaman bibit 45 HOK 20,000 892,3203 Pemeliharaan 18 HOK 20,000 360,000

III Penanaman2 Pemberian pupuk 768 HOK 20,000 15,360,0003 Penanaman 960 HOK 20,000 19,200,000

Total Biaya TK 134,182,320

BAHAN1 Bambu 27,456 buah 300 8,236,8002 Pupuk pd pembibitan

Urea 178.464 kg 1,400 249,850 SP-36 178.464 kg 1,600 285,542 KCL 178.464 kg 2,200 392,621

3 Pemupukan pd penanaman Urea 0 kg 2,600 0 PA/SP-36 4118.4 kg 1,600 6,589,440 TSP 0 kg 1,800 0 KCl 0 kg 3,500 0 Kieserite 0 1,200 0

4 Pestisida 384 l 50,000 19,200,0005 Bibit sagu 17,846 buah 1,000 17,846,400

Total Biaya Bahan 52,800,653

216

Pada tahun ke-6 , biaya tenaga kerja bertambah dengan adanya biaya untuk panen

dan pengolahan pati sagu begitu juga adanya penambahan biaya operasional untuk

pengolahan berupa listrik air dan bahan bakar. Biaya operasional untuk tahun

pertama dan seterusnya secara lengkap disajikan pada Lampiran 21.

PENDAPATAN

Pendapatan kebun dan unit pengolahan sagu dihasilkan dari penjualan pati

sagu. Dengan asumsi harga pati Rp. 2.200.000,- per ton dan produktivitas lahan

10 ton pati sagu/ha/tahun maka perusahaan akan mendapatkan pemasukan sebesar

Rp. 2,112,000,000,- yang diperoleh setiap dua tahun sekali.

PROYEKSI ARUS KAS DAN KRITERIA KELAYAKAN USAHA

Kelayakan usaha budidaya sagu dianalisis menggunakan proyeksi arus kas

dan perhitungan kriteria kelayakan yang terdiri dari NPV, IRR, Net B/C serta

PBP. Usaha dikatakan layak jika dapat memenuhi kewajiban finansial serta dapat

mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Proyeksi arus kas secara lengkap

disajikan pada Lampiran 22, adapun hasil perhitungan kriteria kelayakan disajikan

pada Tabel 68.

Tabel 68. Kriteria kelayakan usaha budidaya dan pengolahan sagu

Kriteria investasi NilaiNPV 143,201,144.82 IRR 20%B/C Ratio 1.421587641

Dari perhitungan kriteria tersebut, terlihat bahwa usaha pendirian kebun

budidaya kelapa sawit layak dilakukan dan menguntungkan secara finansial.

Dengan umur proyek 25 tahun, nilai NPV adalah positif, nilai IRR lebih besar dari

tingkat suku bunga bank (20% > 15%) dan B/C ratio lebih besar dari 1.

217

B. Analisis Finansial Bioetanol Sagu

1. Asumsi perhitungan

Dalam perhitungan analisis finansial bioetanol sagu digunakan beberapa

asumsi yaitu umur ekonomi proyek 20 tahun, kapasitas produksi 33 ribu KL/tahun

serta beberapa parameter lainnya yang disajikan pada Tabel 69.

Tabel 69. Asumsi perhitungan finansial industri bioetanol sagu

  Asumsi Satuan Nilai

1 Kapasitas produksibioetanol kilo liters/tahun 33,000

2 PembiayaanDebt Equity Ratio 65% 35%

Bunga - Investasi p.a. 10%

- Modal kerja p.a. 10%

Pengembalian - investasi tahun 5

- Modal kerja tahun 2

Depresiasi tahun(straight line) 12

3 UTILITIESUap panas Rp/Ton 80,000.00

Air Rp/M3 285.00

Listrik Rp/KWh 570.00

4 Bahan baku Sagu Rp/Ton 2,000,000

Total kebutuhan Ton/ hari 183.33

Faktor konversi % 60%

5 Bahan kimia dan bahan tambahanAsam sulfat Rp/Kg 2,450.00

Asam phospat Rp/Kg 5,250.00

NaOH Rp/Kg 1,750.00

Amonia cair Rp/Kg 4,375.00

Anti busa Rp/Kg 21,000.00

Alfa Amylase Rp/Kg 70,000.00

Gluco Amylase Rp/Kg 87,500.00

Urea Rp/Kg 2,600.00

6 Lain-lainTenaga kerja Rp/TOK 54,000,000 88

Pemeliharaan equip. cost/year 2%

Administrasi perusahaan dr biaya TK 60%

Asuransi equip. cost/year 0.7%

Pemasaran dr penjualan 0.5%

Laboratorium dan R&D dr penjualan 0.5%

7 Harga JualBioetanol Rp/KL 5,500,000

8 Hari kerja/tahun hari 300

       

218

2. Investasi

Biaya investasi untuk pendirian pabrik bioetanol sagu terdiri dari biaya

proyek, dan modal kerja. Biaya proyek merupakan seluruh modal awal yang

diperlukan untuk pengadaan tanah, bangunan dan peralatan juga biaya IDC

(Interest during construction). IDC adalah biaya bunga yang dihasilkan selama

pendirian pabrik (perhitungan disajikan pada Lampiran 23). Sedangkan modal

kerja adalah modal yang dikeluarkan untuk keperluan pengadaan bahan baku,

bahan pembantu, tenaga kerja dan biaya operasional untuk menjalankan usaha.

Total investasi yang diperlukan sebesar Rp. 188,793,307,153,- dimana

modal tersebut diperoleh dari pinjaman dan modal sendiri dengan Debt Equity

Ratio (65:35). Rincian biaya investasi disajikan pada Tabel 70.

Tabel 70. Investasi pendirian pabrik bioetanol sagu

1 Investasi tetap OSBL ISBL TOTALPengeluaran pra proyek 950,000,000 950,000,000Boiler 9,120,000,000 9,120,000,000Pengolahan air limbah, Cooling System & WTP 33,250,000,000 33,250,000,000Utilitas 9,927,500,000 9,927,500,000Tangki 14,250,000,000 14,250,000,000Biaya tambahan, Infrastruktur 9,053,500,000 9,053,500,000Pengeluaran team proyek 4,750,000,000 4,750,000,000Pabrik 71,250,000,000 71,250,000,000Pajak     0Biaya proyek 81,301,000,000 71,250,000,000 152,551,000,000       

2 IDC 10,788,406,720Total biaya proyek 163,339,406,720       

3 Modal kerja 14,665,493,713       Total Investasi 188,793,307,153

Modal kerja terdiri dari biaya variabel yang jumlahnya tergantung pada

jumlah bioetanol yang dihasilkan dan biaya tetap yang nilainya tidak dipengaruhi

oleh kapasitas produksi. Modal kerja yang digunakan adalah modal kerja tertinggi

yaitu pada saat pabrik telah beroperasi maksimal (100%) yaitu sebesar Rp.

14,665,493,713,-, yang merupakan biaya operasional bahan baku selama 30 hari

dan inventory 15 hari. Rincian perhitungan modal kerja disajikan pada Lampiran

24.

219

Biaya variabel terdiri dari biaya bahan baku dan bahan tambahan, utilitas

dan konsumsi serta transportasi produk. Rincian biaya operasional dengan

kapasitas pabrik maksimal (100%) disajikan pada Tabel 71.

Tabel 71. Biaya operasional pabrik bioetanol sagu kapasitas 110 KL/hari

DESKRIPSI Konsumsi Satuan Harga Total

BIAYA VARIABEL

Biaya Bahan Baku

Singkong 1.67 mt/kl product 2,000,000 110,000,000,000

SUB TOTAL 110,000,000,000

Bahan Kimia Dan Tambahan

Asam sulfat 3.12 kg/kl product 2,450.00 252,252,000

NaOH 50% 1.08 kg/kl product 1,750.00 62,370,000

Ammonia cair 30% 12.25 kg/kl product 4,375.00 1,768,593,750

Urea 5.18 kg/kl product 2,600.00 444,444,000

Alpha Ammylase 0.91 kg/kl product 70,000.00 2,102,100,000

Gluco Ammylase 1.1 kg/kl product 87,500.00 3,176,250,000

SUB TOTAL 7,806,009,750

Biaya Utilitas

Steam 2.1 Ton/kl product 80,000.00 5,544,000,000

Air 2.5 m3/kl product 285.00 23,512,500

Listrik 165 KWh/kl product 570.00 3,103,650,000

SUB TOTAL 8,671,162,500

         

TOTAL VARIABLE COST 126,477,172,250

BIAYA TETAP

Tenaga kerja 88 person 54,000,000 4,752,000,000

Pemeliharaan 2% equip. cost/year 3,051,020,000

Asuransi 0.7% equip. cost/year 1,067,857,000

Pemasaran 0.5% Sales 907,500,000

Biaya penunjang dan administrasi 60%of Manpower

cost 2,851,200,000

Laboratorium dan R&D 0.5% of sales 907,500,000

Depresiasi 12year (straight

line) 10,295,625,000

Bunga Rp/Year 6,596,793,403

         

TOTAL BIAYA TETAP 30,429,495,403

TOTAL BIAYA PRODUKSI       156,906,667,653

Produksi dan Pendapatan Usaha

Dengan kapasitas produksi 110 KL bioetanol per hari, dan harga jual

Rp.5.500,- per liter maka akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp

605.000.000,- per hari atau Rp. 15,125,000,000,-. Secara lengkap produksi dan

pendapatan usaha bioetanol sagu disajikan pada Lampiran 25.

Arus kas dan kriteria kelayakan usaha

220

Kelayakan industri bioetanol berbahan baku sagu dianalisis menggunakan

proyeksi arus kas dan perhitungan kriteria kelayakan yang terdiri dari NPV dan

IRR. Usaha dikatakan layak jika dapat memenuhi kewajiban finansial serta dapat

mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Proyeksi arus kas secara lengkap

disajikan pada Lampiran 26. Adapun hasil perhitungan kriteria kelayakan

disajikan pada Tabel 72.

Tabel 72. Kriteria Investasi industri bioetanol sagu

Kriteria Investasi NilaiIRR 15.38%NPV 71,242,631,102

Dari perhitungan kriteria tersebut, terlihat bahwa usaha pendirian industri

bioetanol sagu layak dilakukan dan menguntungkan secara finansial. Dengan

umur proyek 20 tahun, nilai NPV positif dan IRR lebih besar dari tingkat suku

bunga bank (15.38% > 10%).

221