Upload
phamdien
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME
FATIMA MERNISSI
Skripsi
Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sofiana Khairunnisa
1110033100061
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1439 H./2017 M.
ii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui landasan pemikiran Fatima Mernissi
dalam membingkai konsep ḥijāb dengan fokus utama pada pendekatan historis
sosiologis dan metodologinya. Penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif-
analitis, yaitu mendeskripsikan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian
dianalisis. Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan
situasi pada waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan
untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer
masa kini. Untuk pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah
pembacaan baru atau rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar
bangunan interpretasi para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi
patriarki. Menurut Mernissi ayat ḥijāb diturunkan untuk memisahkan dunia kaum
perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-
masalah domestik dan melarang akses mereka ke kehidupan publik. Penetapan
ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis kelamin terpisah
dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika saja konteks
historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan pemahaman
masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan perempuan.
Mernissi menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dimanipulasi. Mernissi pun
percaya bahwa penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang
dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam.
Kata kunci: ḥijāb, historis-sosiologis, interpretasi.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah Swt, pencipta semesta alam
ini. Tak ada yang terjadi sedetikpun tanpa izin-Nya. Atas karunia, berkah dan rahmat-
Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada jurusan Aqidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarganya, sahabatnya, dan segenap
pengikut beliau yang memberikan teladan yang sempurna untuk terus diteladani hingga
akhir nanti.
Skripsi dengan judul “ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA
MERNISSI” ini ibarat bagai senyuman cita. Penulis selesaikan dengan begitu banyak
peran mereka dalam membantu menyelesaikan tulisan ini. Kepada mereka lembar
sederhana ini dikhususkan sebagai wujud terima kasih yang tak terhingga.
Bapak Bachrudin dan Ibu Rohilah, orangtua yang menjadi pelita, penyemangat
yang setia dan tentunya tujuan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih
atas semua yang telah diberikan, kesabaran, pengertian, dukungan, dan tentunya do’a
tulus dan ikhlas yang terucap setiap harinya.
Kepada segenap civitas Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang dengan ikhlas mengajarkan
banyak hal, motivasi, saran dan berbagai kritikan positif: Dekan Prof. Dr. Masri
Mansoer, M.A, Ketua Jurusan sekaligus Penasihat Akademik Dra. Tien Rohmatin,
M.A, yang telah memberikan bantuan dan semangat sehingga penulis dapat
v
menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Ibu Rosmaria Sjafariah W, S.S, M.Si, selaku
dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis yang sangat berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Kepada Dosen Ushuluddin dan Filsafat: Dr. Abd Moqsith Ghazali, Surya
Dinata, M.A, Prof. Drs. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Prof. Drs.
Aziz Dahlan, M.A, Drs. Nanang Tahqiq, M.A, Dr. Sri Mulyati, Dr. Edwin Syarif, M.A,
Dr. Din Wahid, Agus Darmaji, M. Fils, Dr. Fariz Pari, dan lainnya yang tak mampu
penulis sebutkan satu per satu. Para pegawai staff Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
serta Staff Akademik Pusat dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Semoga apa yang dilakukan berbuah ibadah dan keridhaan Allah. Semoga
menjadi amal kebaikan yang akan terus mengalir sampai kapanpun. Aamiin…
Kakak-adik tercinta, Asep Alfani, Nurlaely, Moch. Faisal Mabruri, Ainul Huri,
Firdan Maulana Elhaq, Yusril Ihya Husyaeri, Khotami Fadli Nafis, dan si bungsu Laksa
Fadlan Elyasa. Keponakan, Pasya Ihsanul Haq dan Raffa Dilla Alfani. Mereka yang
selalu memotivasi dan menyemangati agar tulisan ini segera diselesaikan. Tak luput
ucapan terima kasih untuk Ryan Adi Prianto, yang selalu setia mengarahkan dan
memberi dukungan tiada henti.
Untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat 2010 yang hingga saat ini
masih intens komunikasi. Sebut saja, Diana, Fatimah, Ruha, Tuti, Indah, Mishbah,
Bindan, Syakur, Kacung, Amir, Diah, Ratu, Nina, Sam, Ayip, Hafiz, Caryono, Kusuma
dan semua teman-teman AF yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima
kasih atas jalinan yang masih begitu hangat, waktu yang dihabiskan bersama untuk
melukis cerita suka dan duka, berdiskusi sampai obrolan unfaedah tiada akhir.
vi
Kepada segenap senior dan sahabat Kominfo DPP PPP, Kak Hairi, Mas Fuad,
Mas Ja’far, Bang Ronald, Rival, Biyah, Vivin, Teh Imas, Reni, Mak Eva, Kafi dan
sahabat yang lainnya. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman baru bersama kalian
yang sangat berkesan. Terima kasih untuk sahabat semua.
Pada akhirnya hanya ucapan terima kasih dan do’a kepada semua pihak yang
bisa penulis sampaikan. Semoga atas segala bantuan dan saran-saran dari semua pihak
atas terselesaikannya skripsi ini menjadi amal baik. Amin.
Ciputat, 1 Oktober 2017
Sofiana Khairunnisa
vii
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 10
E. Metode Penelitian ............................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II BIOGRAFI FATIMA MERNISSI
A. Riwayat Hidup .................................................................................... 15
B. Kondisi Sosial dan Politik Maroko ..................................................... 24
C. Metodologi Pemikiran Fatima Mernissi ............................................. 27
D. Karya-karya ........................................................................................ 32
BAB III ḤIJĀB
A. Pengertian Ḥijāb ................................................................................. 37
B. Ḥijāb dalam Sejarah ........................................................................... 41
C. Konstruksi Pemaknaan Ḥijāb dalam Islam ......................................... 48
BAB IV ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA MERNISSI
A. Konsep Ḥijāb Fatima Mernissi .......................................................... 56
B. Rekonstruksi Metodologi Makna Ḥijāb .............................................. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 69
B. Saran .................................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 72
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ḥijāb yang melekat sebagai sebuah identitas perempuan Muslim masih terjadi
silang pendapat. Ini tentunya terkait dengan formula para fuqaha dalam
menginterpretasikan batas-batas aurat perempuan. Dasar hukum yang biasanya
dijadikan rujukan sebagai batasan aurat perempuan yang harus ditutupi dengan
ḥijāb, yaitu pada Q.S al-Ahzāb [33]:53, 59 dan Q.S an-Nūr [24]:31.
Madzhab Syāfi’i dan Hānafi menafsirkan aurat perempuan merdeka adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Madzhab Māliki ada dua
pendapat yaitu, pendapat yang mengatakan wajah dan telapak tangan perempuan
merdeka bukan aurat dan pendapat yang menambahkan kedua telapak kaki yang
termasuk bukan aurat. Sedangkan dalam madzhab Hanbali aurat perempuan
merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa kecuali, hanya untuk shalat dan
beberapa keperluan tertentu diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangan.1
Perbedaan pendapat para ulama ini muncul karena adanya perbedaan dalam
menginterpretasikan frase illā mā zhahara minhā (kecuali yang biasa tampak)
pada Q.S An-Nūr [24]:31.
Dasar hukum yang berkaitan dengan batasan aurat perempuan terlihat bahwa
teks syara’ yang otoritatif tidak secara jelas dan tegas menyebutkan batas aurat
perempuan, sehingga para ulama madzhab menginterpretasikannya dengan
1 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal 53-54.
2
kecenderungan masing-masing yang sangat mungkin berkaitan langsung dengan
realitas kehidupan yang terjadi dan berkembang. Apalagi dengan melihat
kenyataan bahwa para ulama mengecualikan sekelompok perempuan dari cakupan
seluruh teks terkait dengan menentukan kepada mereka batasan aurat yang jauh
lebih terbuka dengan tanpa didasari oleh pernyataan syara’ satupun, baik dari al-
Qur’ān maupun hadits, sehingga yang dianggap absah untuk menganggap hampir
seluruh tubuh perempuan adalah aurat menjadi terbatas hanya perempuan
merdeka.2 Dikotomi ini menjadikan sikap Islam yang ambiguitas, di satu sisi ayat
itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan, di lain sisi Islam ingin
menciptakan persamaan dengan meniadakan perbudakan.
Ada dua kosa kata yang lazim dipakai banyak orang untuk makna yang sama
yaitu ḥijāb dan lilbab. Keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala
dan tubuhnya. Al-Qur’ān sendiri menyebut kata ḥijāb untuk arti tirai, pembatas,
penghalang, atau penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi,
memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu
dengan yang lain tidak saling melihat atau memandang. Dalam Q.S al-Ahzāb
disebutkan: “Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka
mintalah dari balik ḥijāb. Cara ini lebih mensucikanmu dan hati mereka.” Ḥijāb
dalam ayat ini menunjukkan arti tirai penutup yang ada di dalam rumah Nabi
sebagai sarana untuk menghalangi atau memisahkan tempat kaum laki-laki dari
kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Secara tekstual, seruan
untuk membuat ḥijāb sebagaimana dalam ayat ini ditujukan kepada isteri Nabi,
2 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h,
60-61.
3
akan tetapi dalam interpretasi para ulama kemudian perintah itu diberlakukan juga
kepada perempuan Muslim lainnya.
Asbāb al-nuzul Q.S. al-Aḥzāb 33:59 diturunkan ketika isteri-isteri Nabi
dinasihati agar menjadikan diri mereka dikenali dengan “membiarkan cadar
mereka menutup (tubuh)” (yudnīna ‘alayhinna min jalābībihinna). Ayat ini juga
dikaitkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di Madinah di masa hidup Nabi.
Peristiwa ini disebut ta‘arrud, yaitu laki-laki yang menghalangi jalan para
perempuan dan melecehkan mereka dengan isyarat-isyarat yang tidak layak.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa yang memulai kekacauan seksual adalah
kaum laki-laki.3 Namun sayang sekali kenyataannya justru terbalik, hadirnya ḥijāb
sebagai penutup aurat dikarenakan seksualitas perempuan dianggap sebagai pusat
potensi kekacauan dan kedurhakaan.4
Pada masa sekarang pemaknaan ḥijāb terus berkembang, bukan hanya
sebagai penutup aurat, tetapi sudah berkembang menjadi sebuah life style
perempuan. Persoalan yang sering terjadi di dalam pemaknaan ḥijāb yaitu ketika
ḥijāb dimaknai menjadi sebuah simbol pakaian perempuan Muslim, sehingga di
masyarakat sering sekali terjadi perdebatan model ḥijāb yang dianggap sesuai
dengan ajaran Islam. Perdebatan inilah yang pada akhirnya menimbulkan truth
claim (klaim kebenaran) di kalangan perempuan sendiri.
Kondisi ini bisa dilihat di dalam kehidupan yang menyuguhkan beraneka
macam model ḥijāb yang dikenakan oleh perempuan. Dari satu kelompok dengan
kelompok yang lain pemaknaan ḥijāb selalu berbeda-beda berdasarkan
3 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah
Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 115. 4 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita!, h. 115.
4
pengalaman spiritual, dan ajaran agama yang mampu diterimanya. Terlebih di
Indonesia, yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tentunya jumlah
kelompok semakin banyak yang berbeda cara pandang terhadap makna ḥijāb.
Bahkan ada kelompok yang memandang ḥijāb sebagai simbol dari kesalehan,
kesopanan dan bentuk perlindungan diri.
Ḥijāb dengan begitu bukanlah satu bentuk pakaian yang dikenakan
perempuan. Akan tetapi dalam perkembangan sosialnya khususnya di Indonesia,
terminologi kemudian menjadi sebutan bagi pakaian perempuan sebagaimana
jilbab atau busana muslimah. Dalam banyak buku berbahasa Arab kontemporer,
ḥijāb telah dimaknai sebagai jilbab. Dalam pengertian selanjutnya, ḥijāb
berkembang dalam masyarakat Islam menjadi pakaian yang menutupi kepala dan
tubuh seseorang sehingga bukan saja kulitnya tertutup melainkan juga lekuk dan
bentuk tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks al-Qur’ān ayat ḥijāb
agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis.5
Senada dengan apa yang diungkapkan Ruth Rodded dalam bukunya
Kembang Peradaban, menurutnya sampai saat ini masih terjadi silang pendapat
mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat ḥijāb. Kemudian persoalan
apakah perintah yang ditujukan kepada isteri-isteri Nabi harus menjadi norma
bagi semua perempuan Islam terlebih dengan konteks realitas kehidupan
sekarang.6 Meskipun pada perkembangannya kata ḥijāb ini direduksi menjadi
berbagai macam istilah, seperti ada yang menamakannya jilbab, cadar, burkah,
5 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 207-
208. 6 Nong Darol Mahmada, “Kritik atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal, ed. Abdul
Moqsith Ghazali (Jakarta: Jaringan Liberal Islam, 2005), h. 132.
5
pakaian Muslimah. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis ḥijāb dikenal
dengan istilah charshaf di Turki, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan,
milayat di Libya, abaya di Irak, dan ḥijāb di Mesir, Sudan dan Yaman.7
Dapat diketahui bahwa ḥijāb merupakan salah satu dari kewajiban yang
mempunyai hukum dan falsafatnya sendiri di dalam Islam.8 Dalam beberapa
pandangan, setidaknya perempuan ditempatkan sebagai subyek dari perilaku
moralitas. Perempuan harus menutup tubuh dan kepalanya di dalam pergaulannya
dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan tidak boleh memamerkannya.9
Padahal dalam penciptaan laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan atasnya.
Sehingga eksistensi kaum perempuan dalam relasi dan peran sosial-politik-
ekonomi mengalami pembatasan.10 Dalam arti lain dalam urusan-urusan sosial,
keberadaan perempuan karena eksistensi dan seksualitas mereka harus dibedakan
dengan laki-laki hampir dalam seluruh dimensi kehidupan. Dalam hal ini, agama
dalam masyarakat religius seringkali menjadi kekuatan besar yang membentuk
sejarah manusia atau suatu kebudayaan.
Menurut kalangan feminis, ḥijāb merupakan sisa peninggalan adat atau
kebiasaan perempuan pra-Islam, bukan peninggalan Islam.11 Sehingga ketika
ḥijāb kemudian dimaknai sebagai penutup aurat bagi perempuan, atau aturan
busana bagi perempuan, maka hal itu menjadi batas dari pemisah ruang antara
laki-laki dan perempuan. Dampaknya, banyak perempuan yang merasa terbatas
7 Nong Darol Mahmada, “Kritik atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal, h. 130. 8 Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 1995), h. 75. 9 Murtaḍa Muṭahharī, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, penj.Agus Efendi dan Alwiyah
Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1995), h. 13. 10 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 192. 11 Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah, h. 8
6
seperti dalam budaya harem, merasa asing dengan persoalan sosial, politik, dan
ekonomi sehingga mengakibatkan perempuan tertinggal jauh dibandingkan
dengan laki-laki. Dengan begitu ḥijāb dianggap sebagai penghalang yang
menyembunyikan perempuan dari ruang publik.
Dalam pembacaan Qasim Amin,12 norma-norma agama yang bersifat tekstual
harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban ḥijāb bagi kaum
perempuan yang termaktub dalam teks al-Qur’ān bukanlah semata-mata syari’at
agama Islam, bagi Qasim, ḥijāb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang
diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Dalam Islam teori ḥijāb ini menjadi syari’at
karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi
berubah, maka tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika ḥijāb sudah
tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantinya
dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini. 13
Setiap perempuan dapat memaknai hal ini sesuai dengan kebiasaan atau adat
istiadat. Ḥijāb sifatnya sangat kontekstual, bisa memakai kerudung atau pun
pakaian tertutup yang pantas bagi perempuan. Namun jika tujuan memakai ḥijāb
adalah untuk menjaga kehormatan, maka penutup yang hakiki adalah harga diri
dan rasa malu seorang perempuan, bukan pada selembar kain. Tidak ada
hubungan antara kehormatan perempuan dan ḥijāb. Masalah ini hanyalah tradisi,
tidak lebih. Dari sini penulis ingin membahas pemaknaan ḥijāb yang
12 Feminis Mesir abad 19, pemikirannya tentang kesetaraan perempuan tertuang dalam
magnum opus-nya Qasim Amin yaitukarya Taḥrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadīdah. Dalam
menyusun gagasan-gagasan pemikirannya, ia lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan
menggunakan piranti-piranti sosial dan data empirik dari interaksi dengan masyarakat. Lih. M.
Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 58-78. 13 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 60.
7
diartikulasikan secara kontekstual oleh Fatima Mernissi. Pembahasan ini tentunya
bertujuan memahami lebih dalam persoalan ḥijāb yang menjadi polemik bagi
perempuan Muslimah.
Selama ini pandangan agama tentang relasi laki-laki dan perempuan yang ada
sampai sekarang kurang menguntungkan perempuan. Ḥijāb yang mengatur fungsi
biologis dan hubungan kemitraan laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam
Q.S. al-Aḥzāb [33]: 59, 53 kini dimaknai sebagai perangkat nilai yang kemudian
diartikulasikan sebagai pakaian, tabir, dan etika. Sementara ajaran-ajaran Islam
tidak dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pemikir pembaharu Islam yang memiliki perhatian terhadap permasalahan
ḥijāb adalah Fatima Mernissi, seorang perempuan Muslimah Maroko pakar
sosiologi yang mengamati masalah gender dalam kehidupan umat Islam.14 Dia
terlahir dari latar belakang keluarga dengan tradisi harem, kemudian dewasa
menjadi feminis Islam Arab dan sebagai representasi dari kaumnya yang
mengamati dan merasakan langsung persoalan perempuan khususnya di
negaranya. Mernissi berusaha untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks-
teks agama yang telah mengakar kuat patriarki dengan metode historis–kritis-
kontekstual seperti dalam persoalan ḥijāb.
Dalam Q.S. al-Aḥzāb [33]:59, Muslimah diwajibkan mengulurkan ḥijābnya
ke seluruh tubuh mereka, begitu juga ayat sebelumnya Q.S al-Aḥzāb 33:53.
Menurut Fatima Mernissi, dengan meneliti asbāb al-nuzul-nya bahwa ayat ini
bukanlah untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan, karena ayat
14 Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA,
2000), h. 107-108.
8
ini turun berkaitan dengan peristiwa ketika Nabi menikah dengan Zaynab ibn
Jahsy. Nabi merasa terganggu oleh beberapa sahabat yang tidak segera pulang
setelah menghadiri pernikahannya. Kegelisahan Nabi tersebut akhirnya dijawab
dengan turunnya Q.S. al-Aḥzāb [33]:53.15
Bila ayat ini diteliti secara cermat, menurut Mernissi, sebenarnya penekanan
Allah dalam ayat ini adalah tentang kebijaksanaan. Nabi ingin mengajarkan
kepada para sahabat beberapa aspek sopan santun yang tampaknya belum
membudaya, misalnya bila memasuki rumah, maka harus meminta izin. Para
sahabat terlihat sangat terbiasa mengunjungi rumah Nabi, tanpa formalitas
apapun. Begitu juga dapat dipahami, rumahnya mudah dikunjungi oleh umatnya
tanpa terjadinya pemisahan antara kehidupan pribadi dengan ruang publik. Namun
faktanya, hal itu telah dipalingkan menjadi suatu pemisahan antara laki-laki dan
perempuan dalam memainkan peran domestik dan publik.16 Mernissi berusaha
melakukan pembacaan baru terhadap interpretasi para ulama klasik, yang
menurutnya menunjukkan dominasi patriarki.
Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan
mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya. Penutupan rambut
perempuan dengan ḥijāb dan pengucilan perempuan dari masyarakat bukan
merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat
patriarki, karena tidak satu pun dalam nas yang tegas menyebutkan batas aurat
perempuan.
15 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik, terj. M. Masyhur
Abadi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 108. 16 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 130.
9
Fatimah Mernissi mencoba merekontruksi terhadap makna ḥijāb, sebab
konstruski sosial yang melatarbelakangi pemaknaan sempit terhadap arti ḥijāb
membuat perempuan menjadi terkungkung, setidaknya Fatima Mernissi ingin
membangun sebuah interpretasi baru terkait makna ḥijāb ini. Berdasarkan
pemikiran di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
ḥijāb dalam pandangan Fatima Mernissi. Maka dari itu penulis akan mengambil
judul “Ḥijāb Dalam Konsep Feminisme Fatima Mernissi”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak melebar jauh dari pembahasan, maka
penulis membatasi permasalahan pada dimensi ḥijāb sosial-historis-kontekstual
dan metodologis yang ditawarkan Fatima Mernissi. Sedangkan rumusan masalah
dalam penelitian ini dibentuk dalam pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana
konsep feminisme Fatima Mernissi tentang ḥijāb?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang, batasan dan rumusan masalah yang tertuang di
atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Fatima Mernissi
tentang ḥijāb dengan pendekatan historis-sosiologis dan metodologinya.
Manfaat penelitian ini secara teoritis atau akademis diharapkan dapat
memperluas kajian tentang ḥijāb dalam konsep feminisme Fatima Mernissi.
Sehingga tidak hanya mengetahui ḥijāb dari sisi teologisnya saja, tetapi juga dari
dimensi sosiologis-historis, sehingga penelitian ini melahirkan pembelajaran dan
kritik konstruktif.
10
D. Tinjauan Pustaka
Fatima Mernissi merupakan seorang feminis Arab Muslim terkenal yang
sangat produktif karya tulisnya, baik persoalan gender maupun sosial politik.
Karyanya banyak mendeskripsikan kegelisahan intelektual Fatimah Mernissi
terhadap fenomena disparitas dan bias jender di dunia Islam. Dari beberapa
pemikirannya membuat banyak orang ingin mengetahui dan mengkaji lebih
dalam. Ada beberapa studi penelitian yang membahas pemikirannya, di antaranya:
1. Elistiawaty Ruhiyat, “Konsep Harem dalam Novel Perempuan-Perempuan
Haremku Karya Fatima Mernissi”, (Skripsi: Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta,
2006). Dalam kesimpulannya tertuang, konsep harem yang dibangun Mernissi
dalam novel ini adalah harem domestik dengan citra positif. Harem domestik yang
sebenarnya lebih mirip sebuah keluarga besar tanpa budak maupun kasim dengan
penjaga dan pelayan biasa. Dulu harem dikenal sebagai tempat mewah bagi para
pemimpin istana. Eksistensi harem sengaja diperuntukkan pengekangan
perempuan dari aktifitas dengan dunia luar, maka harem tetaplah sebuah produk
institusi budaya patriarki yang menindas perempuan dengan menggunakan doktrin
Islam sebagai legitimasi atas munculnya sistem kehidupan harem. Menurut
Mernissi, mengubah citra harem dapat dimulai dengan menggunakan kekuatan
mimpi dan kata-kata. Mimpi yang ekpresikan melalui kata-kata memiliki
kekuatan untuk mempermudah jalan menggapai kebebasan, keadilan, dan
kebahagian perempuan harem. Dengan begitu perempuan harem tidak lagi merasa
terbatas karena tembok besar, tetapi justru dapat menciptakan suatu kebebasan
dan kebahagian yang dimaknai sendiri.
11
2. Ni’matul Husna, “Biografi Intelektual Seorang Fatima Mernissi”, (Skripsi:
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). Dalam skripsi ini, penulis
menjelaskan biografi salah satu feminis Arab Muslim generasi pertama, Fatima
Mernissi. Awal kehidupannya dari balik tembok harem, kesadaran feminisnya
yang muncul pada saat kanak-kanak setelah mengikuti sekolah al-Qur’ān. Karena
keingintahuannya, saat dewasa ia mulai mencari sebab kontruksi sosial tentang
perempuan yang dianggapnya misoginis. Ia berusaha untuk hijrah menuju
kebebasan berpikir sehingga mendapati penafsiran perempuan yang tidak bias
gender.
3. Ria Indah Areta, “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Islam, Studi
Pemikiran Fatima Mernissi dan Siti Musda Mulia.” (Skripsi: Fakultas Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). Dalam kesimpulannya tertuang,
perempuan dan laki-laki adalah setara. Perempuan memiliki hak sama dengan
laki-laki, yaitu boleh menduduki jabatan sebagai pemimpin. Memegang jabatan
dan ikut di panggung perpolitikan, perempuan dinilai lebih maju dan berpengaruh.
Dengan hak kesetaraan laki-laki dan perempuan maka terbuka lebar bagi
perempuan untuk berkiprah di kepemimpinan politik.
4. Mohammad Syafi’ie, “Seks dan Seksualitas dalam Islam, Studi atas
Pemikiran Fatima Mernissi.” (Skripsi: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009). Hasil penelitiannya menyatakan, secara kodrati, manusia
adalah makhluk seks. Seks dan seksualitas inhern dalam diri manusia sehingga
dapat dikatakan bahwa manusia adalah representasi dari gejolak seks dan
seksualitas itu sendiri. Wacana seksualitas Fatima Mernissi menjadi barometer
12
sendiri dalam menilai seks dan seksualitas modern dengan berpedoman kepada
Islam sebagai agama dan wacana.
Dari beberapa penelitian di atas, belum ada penelitian yang mengaji
pemikiran Fatima Mernissi tentang ḥijāb, oleh karena itu penelitian ini berbeda
dari penelitian-penelitian sebelumnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library
research), dengan bersumber dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan dalam
bentuk buku atau kitab, majalah, jurnal, dan lain-lain yang dianggap representatif.
Dalam pelaksanaannya sumber data dibagi dalam 2 kategori, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer meliputi buku, jurnal, atau
artikel tentang Mernissi. Sementara data sekunder berupa kamus, ensiklopedi dan
media elektronik, sebagai bahan pengayaan dan mempertajam analisis.
Teknik pengolahan data dilakukan dengan cara deskriptif-analitis, yaitu
mendeskripsikan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis agar
mudah dikomparasikan dengan data-data yang lain untuk menemukan jawaban
yang dapat mendekati persoalan yang dikemukakan.17
Sesuai dengan kategori kepustakaannya, penelitian ini bersifat kualitatif.18
Penelitian ini juga menggunakan content analysis yakni metode untuk
mengungkap isi sebuah buku dan pemikiran Fatima Mernissi dengan
mendasarkan pada prinsip-prinsip konsistensi dan memperhatikan koherensi
internal pernyataan-pernyataan, gagasan-gagasan, dan data-data.
17 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito Press, 1994), h. 139. 18 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 117-20.
13
Teknik penulisan pada penelitian ini juga mengacu pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda.
Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin diterbitkan oleh
HIPIUS tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah mencari laporan penelitian ini perlu adanya sistematika
penulisan. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang tersusun secara sistematis, tiap-
tiap bab memuat pembahasan yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu kesatuan
yang saling berhubungan, secara sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
Bab I, hal ini untuk mengetahui latar belakang masalah munculnya pemikiran
tentang ḥijāb, lebih lanjut rumusan dan batasan masalah yang menjadi minat
penulis, tidak ketinggalan juga tujuan dan manfaat penulisan, serta data-data yang
sejauh penulis ketahui untuk melakukan dimana posisi di antara penelitian-
penelitian tersebut, yang diangkat dalam sub-sub bab.
Bab II, terdiri dari biografi latar belakang keluarga dan pendidikan Fatima
Mernissi, kondisi sosial dan politik Maroko, kemudian metodologi pemikiran
Fatima Mernissi serta karya tulisnya. Hal ini perlu diketahui karena yang nantinya
akan sangat mempengaruhi terhadap hasil penafsiran serta metode yang
ditawarkan Fatima Mernissi.
Bab III, merupakan pengawal dari perjalanan penelitian ini, yakni tinjauan
umum dengan memaparkan pengertian ḥijāb, ḥijāb dalam sejarah, dan konstruksi
pemaknaan ḥijāb dalam Islam.
14
Bab IV, merupakan bagian sentral penelitian ini, yakni dengan menuliskan
hasil analisis penulis tentang ḥijāb dalam konsep Fatima Mernissi dengan
pendekatan historis-sosiologis beserta metode yang ditawarkan Fatima Mernissi.
Kemudian penelitian ini ditutup oleh Bab V yang merupakan kesimpulan dari
penelitian tentang pemikiran Mernissi tentang ḥijāb serta saran yang diharapkan
sekiranya untuk menyempurnakan penulisan penelitian ini.
15
BAB II
BIOGRAFI FATIMA MERNISSI
A. Riwayat Hidup
Fatima Mernissi lahir pada tahun 1940 M di Fez, Maghribi yang sekarang
dikenal dengan nama Maroko.1 Ayahnya merupakan seorang nasionalis yang
berjuang melawan penjajahan Prancis, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga
yang tidak bisa membaca dan menulis. Mernissi sangat dikenal luas oleh kalangan
feminis, karena ia merupakan perempuan Muslim pertama di Timur Tengah yang
sukses dalam membebaskan dirinya dan kaum perempuan dari isu tentang kesetiaan
dan pengkhianatan kultural. Masa kecil Mernissi sangat berpengaruh dan
membekas dalam perjuangan pembelaannya terhadap perempuan. Ia tinggal dan
dibesarkan dalam sebuah harem2 bersama ibu, nenek, bibi dan saudara perempuan
lainnya. Sebuah ruangan tembok yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar
perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan
dilayani oleh pelayan perempuan.
Saat usia 3 tahun, Mernissi mulai mengikuti kegiatan belajar al-Qur’ān bersama
sepuluh sepupunya kepada Lala Tam.3 Lala Tam selalu membawa cemeti panjang
saat mengajar. Dan jika salah membaca cemeti siap menyentuh kulitnya, sehingga
1 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, Penj. Ahmad Baiquni (Bandung:
Mizan, 2008), h. 4. 2 Harem adalah variasi kecil dari kata haram, yang dilarang, lawan dari halal, yang
diperbolehkan. Harem adalah tempat yang di dalamnya seorang laki-laki melindungi keluarganya,
seorang/beberapa istrinya, anak-anaknya, dan saudara perempuannya. Harem bisa berbentuk rumah
atau tenda, dan menunjukkan tempat dan orang yang tinggal di dalamnya. 3 Sekolah al-Qur’ān merupakan satu-satunya jenjang pendidikan prasekolah yang bisa
dimasuki oleh-anak-anak. Mereka sudah mulai belajar di sana sejak usia 3 tahun. Setelah belajar
selama tiga tahun, mereka sudah pandai menulis menggunakan smagh (tinta khusus berwarna
madu), dan yang sangat istimewa adalah mereka sudah mampu mengembangkan daya ingat yang
sangat kuat.
16
Mernissi menuruti semua ucapannya tentang semua hal. Seperti yang kutip dalam
bukunya, sekolah tempat ia mempelajari al-Qur’ān sangat keras dalam menerapkan
disiplin. Semua murid diwajibkan mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan
tepat dan benar, yang diiringi dengan nada (al-Qur’ān al-Nagham). Terkadang
alunan lafal ayat-ayat al-Qur’ān tersebut diikuti dengan gerakan tubuh yang
seimbang. Sementara itu, penjelasan makna dari ayat-ayat yang dipelajari tidak
begitu diperhatikan, hal itu karena gurunya juga belum berani melangkah lebih jauh
untuk menjelaskannya.
Menjadi Muslim berarti menghormati ḥudūd. Dan bagi anak kecil,
menghormati ḥudūd berarti mematuhinya. Pendeknya, ḥudūd adalah batasan apa
saja yang dilarang guru. Dan sejak saat itu, menemukan batas (ḥudūd) menjadi
pencarian dalam perkembangan usia Mernissi. Batas kali pertama yang ia ketahui
adalah pintu depan, yang memisahkan ruang keluarga dan halaman utama.4
Mernissi tidak diperbolehkan keluar halaman pada pagi hari sampai ibunya
terbangun. Ia akan asyik bermain sendiri sejak pukul 6-8 pagi tanpa membuat
keributan. Bermain al-sāriyah bi al-jālas (tamasya sambil duduk) dan memandangi
langit-langit dari halaman adalah pengalaman yang sangat menyenangkan baginya.5
Mernissi lahir sebagai anak pertama, ia lahir pada tahun dan tanggal yang
berdekatan dengan Samir, sepupu laki-lakinya. Ketika akan dilaksanakan acara
syukuran kelahiran Samir, Ibu Mernissi mendesak Bibi dan saudara-saudaranya
untuk mengadakan syukuran seperti yang dilakukan untuk Samir, yakni dengan
perayaan tradisional you-you-you-you.6 Ibunya menolak superioritas laki-laki dan
4 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 15. 5 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 16-17. 6 You-you-you-you adalah nyanyian para perempuan untuk merayakan peristiwa-peristiwa
yang menggembirakan, sejak kelahiran hingga perkawinan.
17
menganggapnya sebagai hal yang kurang baik dan bertentangan dengan Islam.
Menurut ibunya, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sederajat.7 Sistem
patriarki dalam masyarakat Arab sudah sangat mengakar kuat. Padahal ini bertolak
belakang dengan sikap Nabi terhadap perempuan yang begitu arif, terbuka dan
toleran.
Layaknya anak kecil pada umumnya, Samir kecil selalu menjahili Mernissi
sampai berteriak dan menangis meminta tolong ibunya. Sehingga timbul
kekhawatiran ibunya jika suatu saat nanti Mernissi tumbuh menjadi seorang
perempuan yang terlalu penurut dan karena itu ibunya berkonsultasi kepada Nenek
Yasmina,8 yang tak tertandingi dalam menyatakan perlawanan.9
Menurut Nenek Yasmina, ada banyak cara untuk membangun kepribadian yang
kuat. Salah satunya adalah kemampuan untuk merasakan tanggug jawab atas orang
lain. Bersikap agresif dan menyerang tetanggamu ketika dia melakukan kesalahan
hanyalah salah satu cara, dan itu bukan cara yang terbaik. Memberi seorang anak
tanggung jawab terhadap anak-anak yang lebih muda di halaman bermain berarti
memberinya ruang untuk membangun kekuatan. Bergantung kepada Samir dalam
menjaga diri tidak juga salah, tapi jika dia dapat menunjukkan bagaimana
melindungi orang lain, dia tentu dapat melindungi diri sendiri.10 Di kesempatan
lain, Nenek Yasmina berpesan kepada Mernissi agar tidak boleh mau menerima
perlakuan yang tidak sama karena itu tidak logis. Jika kita Muslim, semua orang
7 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 22-23. 8 Nenek Mernissi dari pihak ibu. 9 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 23-24. 10 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 24.
18
adalah sama, Allah dan Nabi pun mengatakan begitu.11 Islam itu egaliter, laki-laki
dan perempuan sama mulianya.
Bersama ibunya, Mernissi kecil kadang mengunjungi harem Nenek Yasmina,12
mereka berbicara banyak tentang batasan, ketakutan dan perbedaan. Yasmina tahu
banyak tentang rasa takut, dan semua bentuk ketakutan. Ia takut Maroko tidak akan
berubah, dan perempuan kehilangan hak-haknya. Kadang Nenek Yasmina
mengatakan, terkungkung di harem berarti seorang perempuan telah kehilangan
kebebasan untuk bergerak.13 Sebenarnya harem tidak butuh tembok. Sekali kita
tahu apa yang dilarang, berarti kita telah memiliki harem di dalam diri, di dalam
benak.14 Dari sini dapat disimpulkan bahwa embrio pemikiran feminis Mernissi
sangat dipengaruhi oleh Nenek Yasmina, ia tumbuh menjadi gadis yang sangat
kritis terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Perjalanan masa kecil
Mernissi sangat mempengaruhi dan membekas dalam perjuangan pembelaannya
terhadap perempuan.
Seperti yang kita ketahui, masalah yang dihadapi perempuan saat ini adalah
bahwa mereka tidak berdaya. Dan ketidakberdayaan ini muncul dari kebodohan dan
kurangnya pendidikan.15 Ketika otoritas religius di Masjid Qaraouiyine, termasuk
Fquih Mohammed al-Fassi dan Fquih Moulay Belarbi Alaoui, dan dengan
dukungan Raja Mohammed V, bahu-membahu mendukung kaum nasionalis untuk
11 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 44. 12 Suami Nenek Yasmina adalah Kakek Tazi, ia memiliki 9 isteri di sebuah harem pedesaan
yang luas dan tanpa batas tembok. Dengan ladang yang terbuka terdapat perkebunan dan
peternakan, semua isterinya bebas melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki seperti,
bercocoktanam, beternak bebek, menunggang kuda, dan berenang. Di rumah neneknya ini, Mernissi
mendapat pengalaman berharga tentang kesetaraan sesama manusia, arti keterkungkungan dalan
harem, serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum Muslim dengan
keterpurukan yang dialami perempuan. 13 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 52. 14 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 85 15 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 219
19
membuka lembaga-lembaga pendidikan bagi anak-anak perempuan. Mereka
mendukung hak perempuan untuk pergi ke sekolah, dan mengakhiri pemingitan
terhadap perempuan. Dengan keputusan keluarga besarnya, Mernissi dan sepupu-
sepupu perempuannya diberi izin untuk memulai sekolah nasional Moulay Brahim
Kettanin yang letaknya beberapa meter dari rumahnya.16
Tamat dari sekolah al-Qur’ān, Mernissi melanjutkan ke sekolah menengah. Di
sana, di samping belajar al-Qur’ān, ia juga ditambah dengan pelajaran agama
lainnya, sejarah, hadits dan yang lainnya. Pada kesempatan inilah, Mernissi mulai
berkenalan dengan hadits-hadits Nabi Saw. Pada umumnya, hadits yang diajarkan
bersumber dari kitab Shahih Bukhari. Dari beberapa hadits yang disampaikan,
ternyata ada satu Hadits yang sangat melukai hatinya. Misalnya hadits tentang
perempuan yang disamakan dengan hewan:
Seperti dikisahkan oleh para guru kepada kami, membuat hati saya terluka.
Katanya Nabi mengatakan: “Anjing, keledai, dan perempuan akan
membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela
di antara orang yang shalat dan arah kiblat.” Perasaan saya amat terguncang
mendengar hadits itu, dan hampir tidak pernah mengulanginya dengan
harapan kebisuan akan membuat hadits ini terhapus dari ingatannya. Saya
bertanya: bagaimana mungkin Nabi mengatakan hadits semacam ini, yang
demikian melukai saya ...? Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa
begitu melukai perasaan gadis cilik, yang di saat pertumbuhannya berusaha
menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya.17
Begitu juga hadits tentang kepemimpinan perempuan, yang membuat Mernissi,
merasa terbungkam, terpojok, dan hancur perasaannya setelah mendengarnya.
Dorongan untuk melacak hadits itu terlontar dari pemilik warung langganan
tetangga sebelah yang ia tanyai. Bisakah seorang perempuan menjadi pemimpin
masyarakat Islam? Pemilik warung begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi dan
16 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 252-253. 17 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 82.
20
hampir menjatuhkan setengah lusin telur yang akan Mernissi beli. Lalu kemudian
pemilik warung berkata: “Saya berlindung kepada Allah”. Seorang pembeli juga
berkata: “Semoga Allah melindungi kita dari fitnah zaman!”. Kemudian pemilik
warung yang ada disebelahnya mengutip hadits: “tidak akan selamat suatu kaum
yang dipimpin oleh perempuan”.18
Menurut Mernissi, peristiwa seperti pedagang yang ditemuinya menunjukkan
hadits “pemimpin perempuan” ini sudah sangat tertanam dalam benak umat Islam.
Oleh karena itu, ketika ada perempuan yang memimpin menjadi ramai
diperdebatkan, seperti kasus Benazir Bhutto yang waktu itu menjadi Perdana
Menteri di Pakistan. Padahal al-Qur’ān sudah mengungkapkan dengan jelas kisah
Ratu Bilqis, perempuan yang menjadi penguasa.19
Kegelisahan yang dialami menuntut Mernissi mencari jawabannya dengan
metode riset pustaka teks-teks keagamaan, seperti al-Qur’ān, hadits, manuskrip, dan
buku-buku kuning lainnya. Hasil risetnya, Mernissi menggambarkan bahwa ajaran
agama bisa dimanipulasi. Mernissi pun percaya bahwa penindasan terhadap
perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama
Islam. Mernissi sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap
sakral oleh masyarakat selama ini.
Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci, baik al-Qur’ān maupun hadits
didasari pada pengalaman individu ketika berhubungan dengan masyarakat. Dalam
beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-
kekurangan yang ada dalam pemerintah Arab, bukanlah karena secara inheren
18 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia
Ilmu, 1997), h. v. 19 Fatima Mernissi, Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam, dalam
Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, h. 157.
21
ajaran-ajaran religius yang notabene menjadi Undang-Undang Dasar pemerintah
tersebut cacat. Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang
berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Hanya saja dalam beberapa hal,
Mernissi membela negara Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan
negatif oleh media Barat. Misalnya ketika Arab atau Islam diidentikkan dengan
terorisme oleh Barat, maka Mernissi memberikan pembelaan bahwa Arab atau
Islam bukanlah teroris.
Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang
pendidikan. Ini juga menjadi bukti dari keberhasilannya melewati batas-batas
harem yang selalu ia tanyakan sejak kecil. Mernissi melanjutkan pendidikan di
Universitas Muhammad V Rabat dan mendapatkan gelar di bidang politik.
Kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Sorbone, Paris. Disana Mernissi
bekerja sebagai jurnalis. Selesai dari Paris, ia melanjutkan studinya untuk meraih
gelar doktor bidang sosiologi di Universitas Brandels, Amerika Serikat pada tahun
1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi rujukan
dalam pustaka Barat.20
Pada tahun 1974-1980, dia kembali ke Maroko untuk mengajar di
almamaternya sebagai profesor dalam bidang sosiologi, dan bekerja di lembaga
penelitian Moroccan Institut Universitaire de Recherche Scientifique di Rabat. Di
samping itu, dia juga sering mengikuti konferensi-konferensi dan seminar-seminar
internasional. Selain menjadi profesor di almamaternya sendiri, dia juga pernah
menjadi profesor tamu pada Universitas California di Berkeley dan Universitas
20 Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 156, dalam “Kiai Husein Membela Perempuan”, M.
Nuruzzaman (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 79.
22
Harvard. Selain itu, ia juga bertindak sebagai konsultan di United Nation Agencies,
dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan, serta sebagai anggota Pan Arab
Woman Solidarity Association.21 Karena kegemilangannya dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan, Mernissi pernah meraih penghargaan dari Prince of Astutias
Award.22
Sekarang ini kehidupan semakin terbuka untuk perempuan, karena kaum
nasionalis menuntut diselenggarakannya pendidikan bagi mereka dan diakhirinya
pemingitan terhadap perempuan. Perjalanan hidup Mernissi di dunia internasional
cukup banyak, Asia, Eropa, dan Amerika telah dia singgahi. Dari perjalanan
tersebut, banyak hal-hal positif yang dialaminya, sesuatu yang belum pernah dilihat
dan dialaminya selama berada di negeri kelahirannya sendiri. Seperti ketika kuliah
di Amerika dia melihat betapa menariknya Islam bagi masyarakat minoritas
Amerika, sesuatu yang tidak pernah dilihatnya di Maroko. Islam yang berkembang
di sana berbeda dengan Islam yang ada di Maroko. Islam di sana sudah lama
menawarkan ide tentang persamaan hak dan solidaritas. Sementara itu di Maroko
hal seperti itu masih jauh dari kenyataan.23
Hal di atas membuktikan bahwa agama tidak menjadi penghalang bagi mereka
untuk menuju masyarakat yang modern. Disana para perempuan Yahudi dan
Kristen, dapat menikmati hak asasi mereka secara penuh. Bahkan, hal itu mendapat
akses kepada tradisi keagamaan. Dari pengalaman di atas, Fatima mencoba melihat
ke dunianya sendiri, dunia Timur yang notabene beragama Islam, khususnya
21 Fatima Mernissi, Setara Di Hadapan Allah (Yogyakarta: LKiS, 2000), pada bagian
biografi. 22 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 4. 23 Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi Antologi Ketakutan, (Yogyakarta: LKiS, 1994)
h. 131.
23
Maroko. Mengapa perempuan-perempuan Maroko hampir sama sekali tidak bisa
menikmati hak asasi mereka secara penuh? Apakah karena mereka beragama Islam
atau merupakan korban dari kepentingan kelompok elite tertentu? Dia sangat yakin
bahwa hal itu terjadi bukanlah karena agama, melainkan oleh kepentingan
kelompok elite tertentu. Dia juga begitu yakin bahwa agama Islam sangat
menghormati hak-hak asasi manusia. Islam datang dengan membawa dan
menawarkan ide tentang persamaan, bukan perbedaan atau diskriminasi.
Dalam perjalanan hidupnya yang penuh pergolakan pemikiran, Mernissi telah
membuktikan bahwa didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di
samping itu, ada juga karena jasa kaum nasionalis yang membolehkan kaum
perempuan mengikuti pendidikan sekolah. Meski begitu, Mernissi mengakui bahwa
banyak impian nasionalisme Arab belum semua terwujud. Poligami belum dilarang,
perempuan belum mencapai status yang setara dengan laki-laki dan demokrasi
belum menjadi sistem dominan di dunia Arab. Sesuatu yang penting bagi orang-
orang tak berdaya adalah mimpi. Ibu-ibu harus mengajarkan anak-anaknya untuk
bermimpi, karena mimpi memberi kesadaran akan arah hidup yang harus dicapai.
Pada 30 November 2015 Mernissi meninggal dunia dalam usia 75 tahun di
sebuah klinik di Rabbat, Maroko.24 Pada perjalanan hidupnya, Mernissi menjadi
sosok yang menginspirasi untuk berani melakukan kritik dan memberikan alternatif
penafsiran terhadap tafsir-tafsir al-Qur’ān dan hadits yang merugikan perempuan.
Gagasan dan pemikiran Mernissi tidak hanya menjadi inspirasi di Maroko, tapi juga
menyebar ke banyak negara lainnya, termasuk Indonesia.
24 http://www.jpnn.com/read/2015/12/01/341982/Fatima-Mernissi-Meninggal-Dunia- ,
diakses pada 5 Januari 2016.
24
B. Kondisi Sosial dan Politik Maroko
Kondisi sosial politik Pasca Perang Teluk terjadi, belahan benua Afrika
khususnya di Tunisia, Maroko dan Aljazair, para perempuan meneriakan
kekhawatirannya lebih keras ketimbang di negara lain. Mereka sering kali berperan
sebagai pengambil inisiatif pertama untuk turun jalan menuntut perdamaian.
Dengan kondisi seperti itu, Mernissi menilai bahwa masih lebar jurang
ketidakadilan gender dalam masyarakat dan pemerintahannya. Kesadarannya pada
ketidakadilan gender dalam dunia Islam diungkapkan dalam bukunya yang berjudul
Beyond The Veil Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society. Mernissi
mengungkapkan:
“Pada prinsipnya, ajaran Islam mengajarkan persamaan kedudukan antara laki-
laki dan perempuan. Ketidaksamaan yang muncul kemudian bukanlah
bersumber dari suatu ideologi yang membenarkan sifat inferioritas perempuan,
melainkan akibat dari lembaga-lembaga sosial tertentu yang dibentuk untuk
membatasi kekuatannya, yang di dalamnya termasuk pemisahan dan
subordinasi legal dalam struktur keluarga.”25
Mernissi pernah menulis bahwa budaya masyarakat Maroko diidentikkan
dengan memandang sebelah mata terhadap perempuan. Misalnya, mencintai
seorang perempuan secara umum digambarkan sebagai suatu penyakit mental,
suatu keadaan jiwa yang cenderung merusak diri sendiri. Bahkan, mereka
menyatakan bahwa tatanan masyarakat muslim sesungguhnya menghadapi dua
ancaman, yaitu orang-orang kafir dari luar dan kaum perempuan dari dalam.
Budaya seperti ini, menurutnya, jelas telah merendahkan dan menghina kodrat dan
25 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat
Muslim Modern (Surabaya: Al-Fikr, 1997).
25
martabat kaum perempuan, yang secara potensial diciptakan sama dengan laki-
laki.26
Mernissi juga mengkritik UU Negara Maroko tentang poligami, yang secara
implisit memberikan peluang sangat besar terhadap laki-laki untuk beristri lebih
dari satu. Padahal, al-Qur’ān secara tegas menjelaskan bahwa untuk berpoligami
ada syarat yang harus dipenuhi yaitu berlaku adil. Tujuan al-Qur’ān mewajibkan
syarat itu adalah untuk membatasi poligami tersebut.27
Kritikan lainnya yaitu terhadap UU yang mengatur hubungan suami istri.
Berdasarkan UU Maroko tahun 1957, telah ditetapkan hak dan kewajiban masing-
masing antara suami dan istri. Namun, dalam implementasinya terlihat bahwa
suami tidak memiliki kewajiban moral terhadap istrinya. Istri tidak bisa
mengharapkan kesetiaan dari suaminya. Apa yang dia harapkan dari suaminya
adalah perintah, dan apa yang dapat dia berikan adalah ketaatan. Hal ini ditekankan
dan dibenarkan oleh tatanan sosial yang mendorong suami untuk memerintah
istrinya dan bukan untuk mencintainya.28 Budaya lain yang juga berkembang di
Maroko adalah larangan terhadap perempuan untuk ikut terlibat dalam ruangan atau
tempat kerja yang hanya disediakan untuk laki-laki. Jika dia memasuki ruangan
atau tempat kerja tersebut, maka dia dianggap telah merusak tatanan kehidupan
laki-laki. Bahkan, secara ekstrim, mereka mengatakan bahwa perempuan itu telah
merusak tatanan Allah dengan mengundang laki-laki untuk melakukan perbuatan
jahat. Dengan kehadirannya, seorang laki-laki bisa kehilangan segalanya,
26 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat
Muslim Modern (Surabaya: Al-Fikr, 1997), h. 43. 27 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 43. 28 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 109-110.
26
ketenangan jiwa, penuntun diri, prestasi sosial, serta kesetiaan kepada Allah.29
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh ketidakadilan gender yang berkembang
di Maroko khususnya, dan dunia Islam umumnya, yang kesemuanya itu, menurut
Mernissi, bersumber dari tradisi keislaman yang sesungguhnya sudah tidak aktual
lagi untuk saat ini.
Dengan kondisi seperti itu, menurutnya diperlukan suatu usaha untuk
melakukan rekonstruksi terhadap lembaga-lembaga sosial tersebut agar persamaan
peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dapat diakui,
sebagaimana ajaran Islam. Hal ini dikarenakan penghormatan demokratis terhadap
pribadi manusia tanpa memandang jenis kelamin, ras, dan status merupakan inti
dari ajaran Islam.30 Dalam usahanya Mernissi sering terlibat banyak pertemuan
dengan para intelektual dari semua aliran bersama-sama mengambil posisi
menentang perang dan misi perdamaian.31 Dengan penuh kejujuran Mernissi
banyak mengkritik budaya patriarki yang sudah berkembang lama di Maroko.
Diakui bahwa pembaharuan-pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan
pada tahun 1992 telah memperbaiki citra itu, namun prinsip-prinsip mendasar yang
dilukiskan oleh Fatima Mernissi terus bercokol. Kemudian Mernissi meratapi
kesengsaraan perempuan Muslim Arab dan merangkum pengaruh Islam dan
patriarkalisme atas kehidupan perempuan.32 Fatima Mernissi mengungkapkan
situasi di Maroko:
Apa yang terjadi dan masih menjadi isu besar di Maroko bukan ideologi
inferioritas perempuan, melainkan seperangkat hukum dan adat yang menjaga
agar status perempuan tetap berada di bawah. Yang pertama adalah hukum
29 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 144. 30 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 19. 31 Fatima Mernissi, Islam dan Ontologi ketakutan Demokrasi, h. 4 32 Ghada Karm, “Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme” dalam Feminisme dan Islam (Ed.
Mai Yamani) (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000), h. 104-105.
27
keluarga yang didasarkan pada otoritas laki-laki. Walaupun banyak pranata
telah dilepaskan dari kontrol hukum-hukum agama (misalnya
perjanjian/kontrak bisnis), tetapi hukum keluarga tidak... Maroko mengklaim
dirinya sebagai negara modern, Arab dan Muslim.... Sebagai modern, Maroko
adalah penanda tangan Deklarasi HAM PBB yang Pasal 16-nya menyatakan
bahwa “laki-laki dan perempuan, tidak pandang ras, bangsa dan agama, yang
telah mencapai usia baligh, mempunyai hak untuk nikah dan membangun
keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama mengenai status yang berkenaan
dengan pernikahan, dalam pernikahan dan pembubarannya.”
Dari yang telah dipaparkan di atas, Mernissi berpendapat bahwa salah satu
faktor yang menghambat kemajuan umat Islam selama ini adalah orientasi yang
berlebihan terhadap masa lalu, yang kemudian diproyeksikan pada persoalan
kekinian, sehingga dapat menghambat munculnya pemikiran-pemikiran baru. Oleh
karena itu, untuk melepaskan diri umat Islam dari kungkungan masa lalu diperlukan
reinterpretasi terhadap tradisi-tradisi keislaman tersebut.33
C. Metodologi Pemikiran Fatima Mernissi
Gerakan feminisme Muslim muncul didasari atas kesadaran perempuan akan
pembatasan pada dirinya karena gender, dan berbagai ketidakadilan terhadap
perempuan yang merupakan kontruksi budaya masyarakat patriarki. Berbeda
dengan feminisme Barat, feminisme Islam dalam mencari formula penyetaraan hak
laki-laki dan perempuan dalam segala bidang, mengacu kepada sumber utama
ajaran Islam.34 Yaitu: pertama dengan merujuk kembali pada ayat-ayat al-Qur’ān
untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam cerita-cerita yang berkembang di
antara kaum muslim. Superioritas kaum laki-laki dalam religi yang sering dikaitkan
dengan cerita Hawa yang mudah digoda oleh iblis, misalnya, ditinjau ulang dan
33 Nurul Agustina, Tradisional Islam dan Feminisme, dalam Ulumul Qur’an, (Edisi Khusus
5 Tahun No. 5 dan 6 Vol. V tahun 1994), hal. 55. 34 Lia Kurniawati, “Feminisme Islam” dalam Membincangkan Feminisme: Diskursus
Gender dalam Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 54.
28
menghasilkan kesimpulan cerita yang sesungguhnya berbeda. Kedua, dengan
merujuk ayat-ayat yang sesungguhnya dengan jelas menekankan pada kesetaraan
laki-laki dan perempuan, dan digunakan untuk menentang interpretasi yang
menekankan sebaliknya. Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang ayat-ayat
yang selama ini kerap dikutip sebagai sumber justifikasi ketidakadilan relasi
gender.
Tujuan utama dari gerakan femenisme Islam adalah untuk menempatkan posisi
perempuan menjadi mitra sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan
tanpa menghilangkan kodrat keperempuanannya. Dengan begitu dapat tercapai
tujuan mengoptimalkan potensi dan kemampuan perempuan sesuai dengan kodrat
yang telah diberikan Allah Swt. kepadanya. Hal ini sesuai dengan kitab suci umat
Islam yang sesungguhnya membebaskan perempuan.
Menurut Mernissi agama harus dipahami secara progresif untuk memahami
realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai
pembenar kekerasan. Sudah berabad-abad kaum Muslim membaca teks al-Qur’ān
secara bias. Mereka juga yakin bahwa teks-teks sekunder seperti kompilasi hadits
dan kitab-kitab fiqh mengandung banyak muatan yang sesungguhnya bertentangan
dengan semangat teks al-Qur’ān yang membebaskan perempuan. Menghindari hal-
hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik
dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduk antara yang profan dan yang
sakral, antara Allah dan kepala negara, antara al-Qur'ān dan fantasi-fantasi imam
harus didekonstruksi.35
35 Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, h. 123.
29
Dalam melakukan kritik terhadap hadits-hadits misoginis36, Mernissi
melakukan metode kritik historis dan metodologis. Pertama, pendekatan historis,
untuk meneliti kapan hadits itu diriwayatkan oleh Nabi, siapa dan kapan hadits itu
diriwayatkan kembali oleh rawi pertama. Pada pendekatan ini, Mernissi menyoroti
perawi pertama dari hadits, baik dalam hal kredibilitas maupun intelektualitasnya.37
Tentu ini merupakan suatu hal yang tidak biasa dalam dunia hadits, karena
kebanyakan ulama hadits selalu melewatkan perawi pertama yang notabene adalah
sahabat dan merasa cukup dengan slogan “setiap sahabat itu adil”. Lebih penting
lagi, pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran
sosiologis di sekitar hadits, sehingga akan dengan mudah untuk melanjutkan
kajiannnya pada pendekatan yang kedua. Kedua, yaitu pendekatan metodologis
lebih melihat kepada bagaimana proses komunikasi terjadi, kapasitas intelektual
dan moral. Hal ini sejalan dengan syarat-syarat perawi yang telah diajukan oleh
Imām Mālik. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa hadits itu tidak
hanya milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang sekarang juga masih terus
meyakini hadits misoginis tersebut.
Seperti pada penafsiran hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan
perempuan, yang menurutnya rangkaian sanadnya, yaitu Abū Bakrah harus diteliti
latarbelakang kehidupannya. Di samping itu, kecurigaannya terhadap tindakan
diskriminatif Abū Hurayrah terhadap perempuan, juga harus diteliti kembali.38
Metode kritik Mernissi pada hadits misoginis tentang kepemimpinan
perempuan nampaknya dipengaruhi oleh al-Ghazāli, yang pemahamannya
36 Pandangan kebencian terhadap perempuan 37 Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, h. 74. 38 Fatima Mernissi, Setara Di Hadapan Allah, h. 204.
30
dikaitkan dengan al-Qur’ān Surat al-Mu’minūn (23): 23, yang bercerita tentang
Ratu Saba. Mernissi menyimpulkan bahwa al-Qur’ān sebagai kitab suci yang
bersumber dari wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadits yang hanya
berupa pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan
perkataan yang bersumber dari Nabi.39
Selain itu, pola pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri juga amat mempengaruhi
pemikirannya, yang menyebutkan karyanya Nahnu wa al-Sarwa dan Taqwīn al-
‘Aql al-‘Arabi. Al-Jabiri mengkritik kaum Muslim dan para politisi Arab tidak bisa
secara adil dalam bersikap terhadap perubahan yang terjadi. Pemikiran masyarakat
Arab harus dirubah dalam menyikapi kemajuan dan modernisme, terutama dengan
berubah metode berfikirnya.40 Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernissi
berusaha membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks
sosialnya. Mernissi berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik berupa
penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān, hadits-hadits misoginis yang dimuat dalam Shahīh
al-Bukhāri dan Shahīh Muslim ataupun karya-karya lain seperti Tārīkh al-Thabāri,
syarah Shahīh al-Bukhāri yaitu Fath al-Bārī, al-Isabah fī Tamyīz al-Shahābah,
Thabaqāt al-Kubrā karya ibn Sa’ad, Sīrah karya ibn Hisyam dan lain-lain.41
Dengan menganalisis terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas
metode yang digunakan adalah historis-sosiologis, dengan menggunakan analisis
hermeneutik, atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan hermeneutik hadits.
Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras untuk
membongkar hadits-hadits yang bernuansa misoginis. Pendekatan hermeneutik,
39 Fatima Mernissi, Setara di hadapan Allah, h. 204. 40 Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, h. 17-25. 41 Fatima Mernissi , Wanita Dalam Islam, h. 269-279.
31
yang digunakan oleh Mernissi adalah untuk mengkritisi ayat-ayat al-Qur’ān dan
hadits-hadits misogini. Dia mengungkapkan latar belakang historis terhadap hadits-
hadits misogini berikut tentang kualitas perawinya untuk menemukan makna
sesungguhnya dari teks tersebut.
Mernissi juga menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’ān seperti dalam
surat al-Ahzāb: 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga ḥijāb.
Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki yang boleh
memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut
Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna
berdasarkan konteks historisnya.42 Pemahaman yang demikian ini, nampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran Qāsim Amīn, yang menurutnya penutupan wajah
dengan cadar dan pengucilan perempuan dari masyarakat bukan merupakan sejarah
Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak
satu pun dalam nash yang tegas menyebutkannya.43
Menurut Mernissi, jika Surat al-Ahzāb: 53 dibaca secara cermat, maka akan
didapatkan pemahaman bahwa penekanan Allah dalam ayat ini adalah soal
kebijaksanaan. Nabi ingin mengajarkan kepada para sahabat beberapa aspek sopan
santun yang tampaknya belum membudaya, misalnya bila memasuki rumah, maka
harus meminta izin.44 Berdasarkan fenomena ḥijāb tersebut, menurut Mernissi
dapat diambil pengertian bahwa para sahabat nampaknya amat terbiasa
mengunjungi rumah Nabi, tanpa formalitas apapun. Begitu juga dapat dipahami,
rumahnya gampang dikunjungi oleh umatnya tanpa terjadinya pemisahan antara
42 Fatima Mernissi, Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik, h. 107 - 130. 43 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66-67. 44 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, h. 117.
32
kehidupan pribadi dengan ruang publik.45 Dengan pemahaman ini, sebenarnya
tidaklah terjadi pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam memainkan peran
domestik dan publik. Dapat disimpulkan dari pemikiran-pemikirannya, Mernissi
menggunakan pendekatan historis-sosiologi. Pemikiran Mernissi tentang ḥijāb akan
dibahas pada bab berikutnya.
D. Karya-karya
Selama ini Mernissi diketahui sebagai penulis dan pemikir produktif. Karya-
karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman
individualnya itulah yang memacunya untuk melakukan riset historis-sosiologis
tentang sesuatu yang dirasa mengganggu paham agamanya. Hampir semua
bukunya bicara tentang isu perempuan dalam Islam dan kritiknya pada dominasi
laki-laki. Karyanya dalam beberapa bahasa seperti, Prancis dan Arab sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Berikut beberapa uraian
dari karya Mernissi:
Karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah Beyond the
Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (Indian University Press/
al Saqi) yang diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia berjudul Seks dan
Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Muslim Modern (Surabaya:
Al-Fikr, 1997). Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap perempuan
Maroko tentang batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan
intelektual dan pengalamannya itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya, bisa
menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya. Beyond The Veil
45 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 129.
33
adalah disertasinya yang menjadi buku teks dan menjadi rujukan dalam pustaka
Barat.
Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik yang diterjemahkan dari
judul The Veil and the Male Elite, buku ini kemudian ia revisi menjadi Women and
Islam: a Historical and Theological Enquiry dan telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia, Wanita dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994).
The Forgotten Queens of Islam (Ratu-ratu Islam Yang Terlupakan), buku ini
ditulis karena kekhawatiran Mernissi terhadap sejarah yang melarang perempuan
menjadi pemimpin, seperti kasus yang cukup hangat dibicarakan kemenangan
Benazir Bhutto pada tahun 1988 yang ditentang oposisinya, Nawaz Syarif. Syarif
merasa tidak senang dengan proses pemilihan tersebut yang dimenangkan oleh
seorang perempuan sehingga dengan lantang dia berteriak, “Sungguh mengerikan!
Belum pernah sebuah Negara Islam diperintah oleh seorang perempuan. Dengan
mengutip Hadits, dia dan para pendukungnya, mengutuk peristiwa tersebut sebagai
pelanggaran terhadap hukum Islam. Kemudian Mernissi menyimpulkan pertanyaan
apakah ada perempuan yang memimpin negara selama kurun waktu 622-1989 M?
Atau di masa itu sudah ada, namun telah dihapuskan dari sejarah resmi? Lalu
Mernissi mencari jawabannya dengan metode riset pustaka. Ratu-ratu itu mulai
muncul sedikit demi sedikit dari halaman yang telah menguning dalam buku-buku
kuno. Penelitiannya mengungkapkan ternyata banyak ratu-ratu perempuan yang
memainkan peran amat menonjol dalam masyarakat Muslim.
Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi, yang diterjemahkan dari judul Islam
and Democracy Fear of the Modern World, buku ini menguraikan tentang semangat
pembebasan dan misi perdamaian pasca Perang Teluk. Upaya untuk pencarian
34
kembali kepribadian bangsa yang tercabik, meskipun itu bukan hal sederhana.
Sistem sosial politik demokrasi yang sudah dijalankan negara Barat memberikan
kehidupan yang merdeka, bebas, dan bertanggung jawab, namun tidak
menghentikan peristiwa runtuhnya Tembok Berlin. Dengan begitu upaya
pencapaian perdamaian di negeri Arab apakah harus berubah menjadi sistem yang
berdemokrasi? Mernissi menyadari, banyak impian pembebasan Arab belum
terwujud. Perempuan belum mencapai status yang sama seperti laki-laki dan
demokrasi belum diterima sebagai sistem sosial politik di dunia Arab. Menurutnya
dibutuhkan semacam sains untuk mendeteksi kepalsuan-kepalsuan itu.
Women’s Rebellion & Islamic Memory / Die Vergessene Macht: Frauen Im
Wandel Der Islamischen Welt, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah
Muslim, menguraikan tentang penolakan kaum perempuan pada masa Pasca Perang
Teluk terhadap aturan-aturan bersifat Islam politis yang dibuat oleh pemimpin
Muslim maupun gerakan konservatif keagamaan, seperti misalnya hukum ḥijāb
ataupun cadar. Atas pemahaman mereka, perempuan harus menyembunyikan
rambut dan wajah, berjalan secara tidak berlebihan dengan pandangan mata tertuju
ke lantai, mulut terkunci, dan kembali ke wilayah domestik serta menahan diri
untuk tidak ikut campur dalam masalah publik. Perempuan dianggap kelompok
yang mudah untuk dimanipulasi sebab mereka tidak terorganisasi sehingga tidak
memiliki kekuatan. Jelas ini sebagai serangan kuat terhadap demokrasi. Padahal
masih banyak masalah sosial yang harus segera ditangani misalnya penentasan buta
huruf, marginalisasi ekonomi perempuan, dan ledakan demografi yang tak
terkontrol. Bukan hanya terfokus pada menganjuran pemakaian ḥijāb dan cadar.
35
Mernissi mengkhayalkan suatu dunia yang lebih baik dengan pendidikan
perempuan yang lebih dan pola pikir yang maju, seperti dalam sub bab buku ini,
“Menulis lebih baik daripada operasi pengencangan kulit wajah”. Dan tentunya,
buku ini bukan membicarakan seorang perempuan yang membuat keputusan untuk
dirinya sendiri, tanpa adanya tekanan dari seorang politisi atau suami, untuk
mengenakan kain di atas kepalanya, dan menutupi rambut serta wajahnya.
Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood / Dreams of Trespass: Tales of
a Harem Gurlhood diterbitkan di Inggris dengan judul The Harem Within
(Perempuan-perempuan Harem), novel autobiografi yang menceritakan kisah masa
kecil Fatima Mernissi, dimana ia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga
dengan tradisi harem bersama saudara perempuan, ibu, bibi dan neneknya. Harem
yang dimaksud Mernissi adalah ruang yang disediakan khusus untuk sebuah
keluarga besar perempuan dengan segala aktifitas domestiknya namun dibatas oleh
tembok. Sangat jelas dalam novel ini siapa yang mempengaruhi jalan pikir Mernissi
kecil menjadi seorang feminis, yaitu ibu dan neneknya. Dihadapkan dengan
pengalaman dan pemahaman ajaran Islam yang dirasa sangat patriarki, membuka
jalan pikirnya untuk mengetahui akar permasalahan perempuan Muslim. Novel ini
begitu menakjubkan bahkan telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa.
Setara Di Hadapan Allah, buku ini merupakan kumpulan artikel pilihan karya
Fatima Mernissi dan Riffat Hasan. Kedua penulis ini berusaha membongkar dasar-
dasar teologis yang kurang berpihak terhadap perempuan bukan hanya masalah
sejarah khayalan, penafsiran al-Qur’ān, pengembangan sistem hukum dan proses
penggambaran surga di dunia Islam yang sejak lama menjadi monopoli kaum laki-
laki. Dengan digerakkan oleh suatu kepercayaan dan cinta mendalam kepada Islam,
36
mereka menggagas suatu konsep teologi yang ramah terhadap perempuan. “Teologi
Feminis”, yaitu teologi dari sudut pandang perempuan, sebagai tandingan teologi
tradisional yang dikuasai laki-laki. Ini merupakan sebuah buku telaah kritis yang
dilakukan keduanya memiliki arti penting dalam upaya pemecahan persoalan
perempuan Muslim.
Karya lainnya antara lain, Doing Daily Battle: Interviews With Moroccan
Women diterbitkan oleh Women’s Press / Rutgers University Press. Tulisan
artikelnya seperti: Virginity and Petriarchy, yang disunting oleh Azizah al-Hibri
dalam bukunya Woman dan Islam; Zhor’s World: A Moroccan domestic Worker
Speaks Out; Woman and the Impact of Capitalist Development in Marocco; dan Le
Marocco Reconte Par Ses F emmes.
37
BAB III
ḤIJĀB
A. Pengertian Ḥijāb
Ḥijāb memiliki banyak pengertian dari sudut pandang yang berbeda. Secara
etimologis, ḥijāb yang dianggap sebagai materi memiliki arti kain panjang yang
dipakai perempuan untuk menutup kepala, bahu, bahkan ada yang sampai wajah.
Dari sudut pandang ḥijāb sebagai ruang (leksikal) ḥijāb adalah “penutup”, dalam
arti “menutupi” atau menyembunyikan atau menyamarkan”. Memisahkan atau
menyembunyikan sesuatu yang ada dibaliknya. Ḥijāb juga diartikan sebagai
“satr”.1 Suatu ruang yang disembunyikan dengan ḥijāb “berarti ruang terlarang”.
Ḥijāb merupakan konsep kompleks yang secara bertahap mengembangkan
sekumpulan makna-makna.2
Sementara dari sudut pandang keagamaan, ḥijāb adalah pemingitan, penutup.
Pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual. Ḥijāb dari sudut
pandang komunikatif adalah menyembunyikan sesuatu, penyamaran, disamarkan,
ketidaktampakkan.
Dalam Q.S al-Ahzāb [33]:55 sendiri menyebut kata ḥijāb untuk tirai, pembatas,
penghalang, dan penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi,
memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu
dengan yang lain tidak melihat atau memandang.3 Dalam konteksnya ḥijāb sering
1 Satr merupakan istilah Arab yang merujuk pada jilbab, gorden, dan kehormatan. Bentuk
kata kerjanya berarti membentengi, menjaga, menutupi, melindungi, mengenakan jilbab. 2 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta), h. 244. 3 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren,
(Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 207.
38
kali dipahami sebagai jilbab yang sebenarnya berbeda. Meski demikian keterangan
tentang ḥijāb maupun jilbab saling berkaitan. Oleh karenanya, sekarang ini kata
ḥijāb dan jilbab dipakai untuk makna yang sama.
Ḥijāb dan jilbab keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala dan
tubuh perempuan.4 Akar kata ḥijāb bermula dari kata “ḥajaba” yang berarti
menyembunyikan ruang, memisahkannya dengan tirai atau perbatasan simbolis.5
Seperti yang dikemukakan Murtadlā Muthahharī, ḥijāb pada masa sekarang
menunjukan kepada arti penutup yang digunakan oleh perempuan. Selain bermakna
pakaian, ḥijāb bisa juga bermakna tirai dan pemisah. Maksudnya adalah pemisah
pergaulan antara laki-laki dan wanita.6
Sedangkan secara terminologis, ḥijāb berarti pakaian perempuan Islam untuk
menutupi aurat.7 Sebagaimana dalam Q.S al-Ahzāb [33]:53, ḥijāb dalam ayat ini
menunjukkan arti penutup yang ada di dalam rumah Nabi Saw sebagai sarana untuk
menghalangi atau memisahkan ruang kaum laki-laki dari kaum perempuan agar
mereka tidak bercampurbaur. Sebelum ayat ini turun, rumah Nabi sangat terbuka
untuk siapa saja laki-laki dan perempuan. Tetapi suatu saat keadaan ini
mengganggu privasi isteri nabi, maka turunlah ayat tersebut. Umar bin Khattab lah
yang meminta Nabi membuat “ḥijāb”.8
Pada intinya Q.S al-Ahzāb [33]:53 membahas privasi rumah dan keluarga Nabi
serta status khusus isteri-isterinya dalam dua sisi, sebagai isteri-isteri Nabi dan
4 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, h. 207. 5 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita!, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999),
h. 106. 6 Murtadlā Muthahharī, Cadar Tuhan: Duduk Perkara Ḥijāb Perempuan (Jakarta: Penerbit
Citra, 2012), hal. 76. 7 Murtaḍā Muṭahharī, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah
Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1990) h. 34. 8 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim, (Jakarta: Gema
Insan Press, 2000), h. 85-86.
39
sebagai pimpinan yang memiliki akses informasi dan kebijakan Islam yang makin
dicari oleh para sahabat. Oleh karenanya, diperlukan untuk melindungi hak-hak
perempuan akan privasi dengan mengatur perilaku para sahabat Nabi yang
memasuki wilayah perempuan. Dan ayat ini tidak berisi tentang pakaian
perempuan.9
Penekanan pada ayat ini adalah pada status khusus yang dimiliki oleh isteri-
isteri Nabi. Akan tetapi interpretasi mayoritas ulama fiqih kemudian perintah itu
diberlakukan juga terhadap umatnya. Perempuan yang berjalan tanpa ḥijāb, tanpa
penutup wajah dianggap keluar dari batas-batas dan norma-norma. Mereka
dianggap tidak terlindungi karena mereka meninggalkan batas-batas harem,
wilayah terlarang, terlindungi dan juga karena mereka pergi ke daerah yang bukan
milik mereka. Daya tarik seseorang yang mengetahui dirinya cantik, mempercantik
diri, bersolek dan berjalan-jalan di jalan raya tanpa ḥijāb sambil menggoyang-
goyangkan pinggulnya merupakan serangan (tabarruj).10 Berjalan-jalan dengan
bebas tanpa penutup wajah dianggap memamerkan diri terhadap yang lain dan
menggoda laki-laki.
Quraish Shihab sebagaimana dalam bukunya Jilbab, bahwa ḥijāb pada awalnya
diartikan sebagai tabir, yakni sesuatu yang menghalangi antara dua hal. Namun
dalam perkembangannya beliau memahami kata ḥijāb sebagai pakaian karena
tujuan dari penghalangan yang dimaksud adalah tertutupnya seluruh badan wanita.
Sehingga beliau mengartikan bahwa ḥijāb yang dimaksud adalah jilbab yang
merupakan pakaian wanita muslimah yang menutup auratnya, tidak ketat dan tidak
9 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 246. 10 Fatima Mernissi, Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 1994), h.
10-11.
40
transparan.11 Syaikh Imad Zaki al-Barudi mengartikan ḥijāb itu sebagai tabir.
Adapun perkara jilbab, beliau mengartikannya sebagai pakaian wanita yang punya
kaitan dengan kewajiban wanita muslimah untuk menjaga dirinya dan tidak
menampakkan perhiasan. Jilbab menurutnya adalah baju besar yang menutupi
seluruh tubuh perempuan kecuali matanya, sebab dengan terlihatnya mata dia bisa
melihat.12
Menurut Qasim Amin, cendekiawan Mesir, mengatakan bahwa tidak ada suatu
ketetapan agama yang mewajibkan pakaian khusus (ḥijāb atau jilbab). Pakaian yang
dikenal dalam masyarakat Islam itu menurutnya adalah adat kebiasaan yang lahir
akibat pergaulan masyarakat Mesir dengan bangsa-bangsa lain yang mereka anggap
baik, karena itu mereka menirunya dan menilainya sebagai tuntutan agama. Ia juga
membolehkan perempuan menampakkan bagian tubuhnya dihadapan orang yang
bukan mahramnya, sebab al-Qur’ān tidak secara jelas menentukan bagian mana
yang tidak boleh ditampakkan.13
Ḥijāb dengan begitu pada mulanya bukanlah satu bentuk pakaian tertentu yang
dikenakan kaum perempuan. Akan tetapi dialektika sosial kemudian telah
melahirkan terminologi ḥijāb sebagai pakaian sebagaimana jilbab atau popular
disebut busana muslimah sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini. Dalam
banyak buku berbahasa Arab kontemporer dan secara sosiologis (dalam percakapan
sosial sehari-hari di dunia Arab), kedua kata ini: ḥijāb dan jilbab lalu dipahami
secara campur aduk.
11 Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 187. 12 Syaikh Ahmad Zaky al-Barudy, Tafsir Wanita (dikutip dari Bukhari: 4793 dan Muslim
1428) (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 632. 13 Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, h. 187.
41
Menurut Mir Hosseini mengutip dari buku Fadwa el-Ghuindi, jilbab merupakan
metafora yang penuh kekuatan, sanggup mengayomi berbagai makna dan
membentuk banyak fungsi.14 Ḥijāb juga bisa menjadi suatu tanda ekslusivitas,
status, keistimewaan, dan privasi.15
Menurut Soekarno dalam Panji Islam tahun 1940, Islam is progress, Islam itu
kemajuan. Ajarannya sesuai dengan kemajuan zaman dan dinamika masyarakat
yang selalu berubah.16 Islam selalu membuka peluang bagi perempuan untuk
menikmati kemajuan dan berkembang. Islam datang dengan membawa dan
menawarkan ide tentang persamaan, bukan perbedaan atau diskriminasi.
B. Ḥijāb dalam Sejarah
Menurut antropolog budaya Arab, Sumanto al-Qurtuby, ḥijāb merupakan
“kebudayaan sekuler”. Manusialah yang membuat pakaian itu beragama. Tradisi
berbusana menutup aurat bagi perempuan atau katakanlah “tradisi berḥijāb” sudah
dipraktekkan jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Bahkan konsep ḥijāb
dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi
(Yahudi dan Nasrani). Sejarah berḥijāb itu misalnya sudah ditemukan pada abad
ke-13 SM di sebuah teks hukum di Suriah. Memakai ḥijāb pada waktu itu terbatas
untuk perempuan elit “bangsawati” sekaligus untuk membedakan dengan
“perempuan biasa”. Kebudayaan Yunani kuno juga mempraktekkan tradisi ḥijāb
ini. Di zaman peradaban Helenisme Yunani, patung juga mengenakan penutup
kepala dan bahkan wajah. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones, begitu pula
Homer, sastrawan kuno kondang dari Yunani, penulis Odyssey, juga
14 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 278. 15 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, h. 47. 16 Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Gramedia, 2011) h. xi.
42
mengonfirmasi tentang penggunaan ḥijāb ini di zaman Yunani kuno. Bedanya
dengan “Suriah kuno” adalah di Yunani kuno, praktek berḥijāb bukan hanya untuk
“kelas elit” tapi juga perempuan biasa.17
Islam tidak menciptaan atau memperkenalkan kebiasaan berḥijāb. Kebiasaan
berḥijāb telah ada pada masa pra-Islam. Perempuan Yunani dan Romawi
mengḥijābi diri mereka ketika berada di ruang publik dengan mengulurkan pakaian
bagian atasnya menutup kepala dan melintasi wajahnya.
Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu
juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai
pada abad pertengahan, khususnya abad ke-12 M, dan sampai pada abad ke-13 M.
Hanya saja, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan
kemodernan maka adat ini pun, di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya
menjadi punah.18
Ḥijāb sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian
berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).
Ketentuan penggunaan ḥijāb sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan
ḥijāb di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh
menggunakannya. Perkembangan selanjutnya ḥijāb menjadi simbol kelas
menengah atas masyarakat kawasan itu.19
Ketika ada debat masalah ḥijāb di Perancis tahun 1989, Maxime Rodinson,
seorang ahli Islamologi terkemuka dari Perancis, mengingatkan bahwa di Assyiria,
17 https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts 18 https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts 19 Nasharuddin Umar, Fiqih Wanita untuk Semua (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.
25.
43
2000 tahun SM, ada larangan untuk berḥijāb bagi pelacur. Dan dua abad setelah
Masehi, Tertullien, seorang penulis Kristen yang apologetik, menyerukan agar
semua perempuan berḥijāb atas nama “kebenaran”.20
Dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijāb berawal dari dosa
asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah
membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta
kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai ḥijāb tetapi juga
mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.21
Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan
antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah
peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai
wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari
daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa
ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh
wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Tradisi ḥijāb (veil)
dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab,
bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel,
seperti Rebekah yang mengenakan ḥijāb berasal dari etnis Mesopotamia di mana
ḥijāb merupakan pakaian adat di sana. Ḥijāb yang semula tradisi Mesopotamia-
Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-
Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara
20 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. xix. 21 Nong Darol Mahmada, Ijtihad Islam Liberal dalam “Kritik Atas Jilbab”, (Jakarta: JIL,
2005), h. 130.
44
dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu
kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.22
Berbeda dengan konsep ḥijāb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam,
ḥijāb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam
konsep Islam, ḥijāb dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya
sendiri-sendiri. Aksentuasi ḥijāb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke
persoalan substansi ajaran. Pelembagaan ḥijāb dalam Islam didasarkan pada dua
ayat dalam al-Qur’ān yaitu Q.S. Al-Ahzāb [33]: 59 dan Q.S. An-Nūr [24]: 31.23
Ḥijāb diletakkan di antara masalah pakaian, tubuh, dan kebudayaan. Dalam
perjalanan sejarah masyarakat Timur, ḥijāb bagi kaum perempuan sangat
memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada.
Pada periode-periode tertentu dalam sejarah, perempuan tersembunyi dari
publik dan terpingit dalam harem. Namun, hal itu hanya terjadi pada perempuan
elit, karena pria dari kalangan jelata tidak dapat hidup tanpa bantuan pasangannya
untuk kesejahteraan bersama. Laki-laki miskin tidak mampu membeli budak untuk
membantu dan menjaga istrinya, atau menjaga di rumah ketika ia pergi ke pasar.
Karena itu, mayoritas perempuan dibiarkan tidak terkurung, atau sesungguhnya,
terḥijāb. Institusi harem baru muncul pada masa Abbasiyyah dan khalifah Harun
al-Rasyid yang meniru kebiasaan Sasaniyyah. Ayat al-Qur’ān yang menyatakan
bahwa laki-laki harus berbicara dengan isteri Nabi dari balik ḥijāb, selubung, layar
atau tirai, meskipun sebenarnya hanya diterapkan pada isteri Nabi, dipakai alasan
ditetapkannya harem sebagai suatu institusi. Argumen yang terasa bagus bahwa apa
22 Fadwa el-Ghuindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 51-56 23 Nong Darol Mahmada, Ijtihad Islam Liberal, h. 130.
45
yang baik bagi para istri Nabi baik juga bagi perempuan Muslim lainnya digunakan
di sini. Para istri Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai role mode (model peran).
Selanjutnya, ayat-ayat al-Qur’ān yang berhubungan dengan cara berbusana
hanya menyatakan bahwa perempuan harus menutupkan ḥijābnya, dan baik laki-
laki maupun perempuan harus menutupkan tutup kepala mereka dan berpakaian
sopan. Hanya dalam wacana tafsir, yaitu interpretasi yang dibuat oleh para ulama
laki-laki, dengan menggunakan kumpulan sabda Nabi oleh Bukhari dan Muslim
sebagai dalil bagi pendapat merekalah kita menemukan satu perkataan Nabi di
mana beliau menyetujui – dengan diamnya – pakaian perempuan yang menutupi
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Meskipun banyak yang telah
dilakukan Bukhari dan Muslim untuk menyelidiki kutipan yang diriwayatkan oleh
serangkaian periwayat sesuatu yang diduga keras pernah disabdakan oleh Nabi,
namun harus diingat bahwa mereka menulis karyanya dua abad setelah Nabi wafat,
dan manusia cenderung melakukan kealfaan. Sesuatu yang mempunyai nilai sangat
penting diulang-ulang dalam al-Qur’ān, sehingga jika busana perempuan itu kurang
penting maka al-Qura’an tidak akan menyatakannya dengan jelas dalam batas-batas
pasti.24
Berḥijāb dalam kebudayaan Arab kontemporer merupakan identitas serta
kerahasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Menurut Fadwa, kesopanan dan
pemingitan bukanlah karakterisasi yang sesuai dengan fenomena yang tampak di
Timur Tengah.25
24 Affaf Lutfi al-Saayid-Marsot, “Feminisme dan Islam,” dalam Dua Perempuan
Wirausaha, hal 53-54. 25 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 17
46
Ḥijāb di Timur Tengah dipandang sebagai unsur dari rangkaian ideologis antara
praktik dan lembaga yang membentuk jalinan kompleks ḥijāb-harem-budak-
pemingitan-poligami. Jalinan kompleks itu dihadirkan sebagai kenyataan yang
telah ada sejak ribuan tahun silam, tersebar dalam peradaban Persia, Mesopotamia,
Helenis, dan Bizantium.26
Dalam penelitian yang dilakukan Laela Ahmed mulai tahun 1982 sampai 1992
tentang benda-benda historis kuno dan modern yang kemudian memiliki
kesimpulan bahwa Islam tidak memperkenalkan ḥijāb. Pemingitan dan jilbab
merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tidak diketahui pada masa
Nabi Muhammad Saw. Tetapi Ahmed kemudian beranjak dari asal-usul menuju
institusionalisasi (pelembagaan) yang menyatakan bahwa, lepas dari kehadirannya
selama beberapa milenium di wilayah Mesopotamia/Mediterania (bukan Arab),
ḥijāb tampaknya tidak dilembagakan sampai Islam mengadopsinya, bahwa ḥijāb
terbukti sangat cocok dengan Islam.27
Di Persia pada zaman dahulu berḥijāb merupakan simbol stratifikasi sosial
kaum perempuan. Hukum ini menyatakan perempuan mana yang harus dan tidak
harus memakai ḥijāb. Perempuan yang berasal dari kelas bangsawan diharuskan
memakai ḥijāb. Para perempuan pelayan harus mengenakan ḥijāb juga ketika
mereka mengiringi perempuan bangsawan. Ḥijāb dianggap sebagai sarana untuk
meningkatkan status perempuan dan menunjukkan ekslusivitas kelas.28
Mirip dengan Yunani pedesaan kontemporer sebagaimana dijelaskan dalam
etnografi, Ahmed menulis, “Laki-laki dan perempuan mempunyai kehidupan yang
26 Laela Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 17-
18. 27 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 38 28 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 44.
47
terpisah, laki-laki dalam wilayah publik, sementara perempuan ‘terhormat’ tinggal
di rumah. Perempuan diharapkan dapat membatasi diri mereka sendiri dalam
lingkungannya dan mengelola rumah tangganya. Pakaian yang dikenakan untuk
menyembunyikan diri mereka dari mata laki-laki asing. Masyarakat Hellenis
dihadirkan di sini sebagai masyarakat yang memiliki hierarki gender dan asimetris
dalam wilayah ideologi dan sosial.29
Muhammad Syahrur30 mengatakan bahwa ḥijāb hanyalah bias budaya, sebab
pada masa turunnya ayat itu perbudakan masih ada. Sehingga untuk membedakan
antara wanita merdeka dan hamba sahaya adalah dengan menggunakan ḥijāb.
Konsekuensi dari pembedaan pakaian itu bukan merupakan beban syari’at bagi
perempuan, tetapi lebih sebagai standar kesopanan yang dituntut oleh pola
kehidupan sosial di mana pola itu berubah, maka standar tersebut turut berubah
pula. Dengan melihat pada konteks masa lalu yang pada awalnya perempuan
merdeka memakai pakaian seperti hamba sahaya, lalu Allah menyuruh isteri-isteri
kaum muslimin untuk mengulurkan ḥijāb mereka sampai benar-benar menutupi
aurat mereka. Hal ini berarti bahwa ḥijāb diterapkan sebagai media preventif dalam
kondisi khusus ketika perempuan merdeka memasuki lingkungan sosial di kota.
Baik Islam maupun Kristen menyediakan sistem moral untuk menanggulangi
tingkah laku yang melanggar dan tidak benar yang mengancam tata tertib sosial
moral: Kristen memilih jalur deseksualisasi kehidupan dunia; sedangkan Islam
memilih menerima lingkungan seksual sembari menciptakan tata tertib sosial untuk
mengaturnya.
29 Laela Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam, h. 28. 30 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Ed. Sahiron Syamsudin
(Yogyakarta: el SAQ, 2008), h. 507-509.
48
C. Konstruksi Pemaknaan Ḥijāb Dalam Islam
Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia
Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting
tersebut. Pada periode ini, ḥijāb yang tadinya merupakan pakaian pilihan
(occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized), pakaian
wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam
modifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarikh, termasuk
pembakuan standar penulisan (rasm) dan bacaan (qira'at) Al Quran. Disadari atau
tidak, unsur Hellinisme-Persia ikut berpengaruh di dalam modifikasi dan
standardisasi tersebut. Sebagai contoh, riwayat Israiliyat ikut mempertebal jilid
kitab Tafsir al-Thabari yang kemudian menjadi rujukan ulama pada kitab-kitab
tafsir sesudahnya.
Menurut Qasim Amin, norma-norma agama yang bersifat tekstual harus dicari
“celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban ḥijāb bagi kaum perempuan
yang termaktub dalam teks al-Qur’ān bukanlah semata-mata syari’at agama Islam,
bagi Qasim, ḥijāb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-
bangsa Arab kuno. Dalam Islam teori ḥijāb ini menjadi syari’at karena sesuai
dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka
tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika ḥijāb sudah tidak lagi
mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantinya dengan
solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini. 31
31 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 60.
49
Qasim Amin membagi 2 makna, yakni pertama, ḥijāb secara hakiki, berfungsi
menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan, dan bagi penutup
wajah disebut niqāb (cadar) bagi masyarakat Mesir saat itu, ḥijāb dalam makna di
atas dianggap sebagai syari’at Islam. Kedua, ḥijāb dalam makna mazaji, yaitu
‘penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri.32
Menurut Qasim Amin, masyarakat Arab mempunyai pandangan yang ‘salah
kaprah’ terhadap ḥijāb ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini.
Ḥijāb hanya dianggap sebagai pesan syari’at agama an sich, sehingga agama
dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai ḥijāb. Padahal menurut Qasim, tidak
ada satupun nash-nash sharīḥ yang mewajibkan pemakaian ḥijāb ini. Dalam Q.S
an-Nūr [24]:31, Allah berfirman secara jelas, bahwa kaum perempuan yang
beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya, dan tidak boleh
memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka).33
Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang
mesti terbuka adalah anggota tubuh yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi
sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika pemakaian ḥijāb bertujuan
menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru ḥijāb, dalam makna masyarakat
Mesir di atas lengkap dengan atribut cadarnya yang berpotensi menimbulkan fitnah.
Sebab seorang yang memakai ḥijāb cenderung lebih bebas untuk bertindak
melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai (ini
dikarenakan perempuan yang memakai ḥijāb lengkap dengan cadar susah untuk
dikenali orang, sehingga dia bisa melakukan apa saja tanpa ada yang tahu siapa dia
karena tertutup ḥijāb). Berbeda dengan seorang yang tidak menutupi wajahnya, ia
32 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 65. 33 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66.
50
akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya karena ia diketahui
atau dikenal wajahnya, sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.34
Kemudian yang menjadi subjek paling kontroversial adalah Q.S al-Nūr
[24]:31. Poin yang kritis pada konteks ini adalah bahwa dengan mencerna ayat ini
secara terpisah, maka makna yang dimaksud akan hilang. Ayat 30 dan 31 mesti
dibaca bersama-sama. Ketika ayat 31 dibaca sendiri, maka terjadi bias dalam
memandang perempuan, karena ada implikasi bahwa hanya mereka dikhususkan
untuk ‘menahan’ atau ‘mengekang’ diri. Faktanya bahwa ayat 30, tertuju pada laki-
laki lebih dahulu. Sebagaimana dalam al-Qur’ān:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya...”35
Ayat 31 melanjutkannya dengan tema yang sama:
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain merudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya)....”
Dengan kata lain, untuk memahami makna komprehensif, kedua ayat tersebut
harus disatukan dan seseorang harus memandang aspek-aspek budaya dan
masyarakat di luar faktor gender. Di samping konsep kultural tubuh dan seksualitas,
ada faktor-faktor privasi, hubungan sosial dan keluarga, tingkat sosial, dan elemen-
elemen yang membangun sebuah komunitas baru.
Ketika kata ini digunakan dalam tempat lain, kata ini lebih mengandung makna
pemisahan daripada kain penutup. Bukti-bukti dalam al-Qur’ān dan dalam wacana
34 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66-67.
35 Al-Qur’ān al-Karīm al-Nūr [24] ayat 30.
51
feminis awal, konsep ḥijāb merujuk pada pembagian sakral atau pemisahan antara
dua dunia atau dua ruang.36
Pemakaian ḥijāb yang simbolik dan praktis dan hasil penyelidikannya adalah
gambaran yang sangat berbeda dari apa yang dipersepsikan Barat. Konsep ḥijāb
menunjukkan bahwa perempuan butuh dilindungi.
Fatima Mernissi mengkritik praktik pemisahan perempuan oleh kaum
konservatif sebagai pelembagaan otoritarianisme laki-laki yang dilakukan dengan
memanipulasi teks suci.37 Masalahnya bukan apakah ḥijāb itu islami atau tidak,
seperti disebutkan dalam al-Qur’ān hal itu untuk membedakan perempuan Mukmin
sejak zaman Nabi. Persoalan yang relevan bagi kaum feminis Muslim sekarang ini
adalah unsur pilihan dalam hubungannya dengan busana, dan apakah memilih
berḥijāb atau tidak itu merupakan hak perempuan.38
Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diperintahkan untuk mengenakan
pakaian sederhana dan sopan. Hanya para isteri Nabi ketika bercakap-cakap dengan
laki-laki harus dilakukan dari balik tabir atau tirai, ḥijāb, karena “mereka berbeda
dengan perempuan kebanyakan”. Perbedaan para isteri Nabi dengan perempuan
lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka tidak diperkenankan menikah
dengan laki-laki lain setelah itu.39
Sementara ada suatu masa dalam sejarah di Arab belakangan ini, di mana
perempuan dari kelas atas tidak menutupi wajahnya, sikap mereka terhadap ḥijāb
36 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 251. 37 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik (Surabaya: Dinua
Ilmu 1997), h. 130. 38 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Persfektif Hukum dan Sastra (diterjemahkan dari
edisi bahasa Inggris: Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives) (Bandung: Nuansa,
2000), h. 32. 39 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h, 50.
52
agak mendua. Bahkan sebagian perempuan yang dididik di luar negeri selama
1960-an dan 1970-an, umumnya memandang ḥijāb bukan sebagai pembatasan
tetapi sebagai pemandangan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ḥijāb, jelas
mereka, ada bagi mereka, ibu serta nenek mereka, tanpa selang yang terjadi di
bawah penjajahan seperti dalam masyarakat-masyarakat Muslim lainnya. Lebih
lanjut mereka berpendapat bahwa ḥijāb adalah busana yang hanya mereka pakai di
luar rumah. Pada suatu tempat dan kesempatan, para perempuan menyimpan
ḥijābnya di pintu rumah yang berkapstok. Jadi ḥijāb dapat disamakan dengan dasi
dan topi di Eropa pada masa yang telah silam.40
Di Jazirah Arab pada masa awal turunnya wahyu, perempuan dari suku-suku
kaya dan berpengaruh berkerudung dan dipingit sebagai tanda perlindungan. Al-
Qur’ān mengakui nilai kesopanan dan menunjukkan pengakuannya lewat
kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan pada masa itu. Prinsip kesopananlah yang
diutamakan, bukan pemakaian ḥijāb atau pemingitan yang merupakan manfestasi
khas dari konteks masyarakat kala itu. Praktik ḥijāb dan pemingitan ketika itu
merupakan unjuk kesopanan yang dipengaruhi oleh aspek-aspek budaya dan
ekonomi. Bagaimanpun, kesopanan bukanlah hak istimewa bagi kalangan yang
secara ekonomi beruntung: semua perempuan mukmin berhak mendapatkan
penghormatan dan perlindungan penuh atas kesopanan mereka. Kesopanan
bermanfaat untuk menjaga esensi moral tertentu di berbagai budaya. Oleh
karenanya, harus dipelihara—tetapi berdasarkan keimanan, bukan berdasarkan
alasan ekonomi, politik, akses tertentu, atau paksaan.41
40 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 41. 41 Amina Wadud, Qur’ān Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka, 2006) hal.
30.
53
Menggunakan ḥijāb bagi sekelompok orang kaya bukan lagi sebagai ungkapan
rasa malu perempuan, tetapi sebagai sarana untuk menjaga jarak sosial, meletakkan
penghalang antara perempuan yang memakainya dengan laki-laki atau perempuan
lain yang berhubungan dengannya. Sebagian perempuan menjelaskan bahwa
mereka berḥijāb di negerinya untuk memelihara kehormatan kelompok
patronimiknya, dan bukan untuk menentang penguasa. Jika seseorang perempuan
tidak berḥijāb di depan umum maka penguasa akan menghubungi wali laki-lakinya
yang kehormatannya dianggap tengah dipertaruhkan. Ketika di luar negeri banyak
di antara mereka yang tidak berḥijāb karena, kata mereka, akan lebih mengundang
perhatian ketimbang kesopanan dan kesederhanaan.
Budaya lain yang juga berkembang di Maroko adalah larangan terhadap
perempuan untuk ikut terlibat dalam ruangan atau tempat kerja yang hanya
disediakan untuk laki-laki. Jika dia memasuki ruangan atau tempat kerja tersebut,
maka dianggap telah merusak tatanan sosial.
Ḥijāb dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa
berinteraksi dengan masyarakat. Misalnya dalam hal kriminalitas dan kesaksian di
pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka
lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua pihak yang
berselisih.42
Dengan begitu, etika dan prilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya
dengan pemakaian ḥijāb, karena yang lebih menentukan baik dan tidaknya moral
seseorang adalah nurani dan hatinya, bukan dari penampilan lahiriyah.
42 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 88.
54
Ḥijāb di Mesir dikenakan oleh para Islamis perempuan karena pilihan. Ḥijāb
memberi mereka keanggotaan klub Islam yang menawarkan secercah harapan di
masa-masa di mana keadaan politik dan ekonomi merosot.43
Wajar dan sopan adalah bukan terminologi agama tetapi terminologi sosial
budaya yang sangat relatif berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Memang
berbeda, dan bukan hanya di dunia Islam.44 Pengungkungan terhadap perempuan
dan konsep ‘kesopanan’ dalam berbusana bagi perempuan Islam dan menyakini hal
itu lebih sebagai persoalan dan masalah kondisi sosial daripada perintah al-
Qur’ān.45
Dalam konteks pakaian, Qāsim Amin menegaskan bahwa tidak ada satu
ketetapan agama (nash dari syariat) yang mewajibkan pakaian khusus (ḥijāb atau
jilbab) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Pakaian yang
dikenal itu—menurutnya—adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan
masyarakat Mesir dengan bangsa-bangsa lain, yang mereka anggap baik dan karena
itu mereka menirunya lalu menilainya sebagai tuntunan agama. Ia juga berpendapat
bahwa al-Qur’ān membolehkan wanita menampakkan sebagian dari tubuhnya di
hadapan orang-orang yang bukan muhrimnya, akan tetapi al-Qur’ān tidak
menentukan bagian-bagian mana dari anggota tubuh yang boleh terbuka.46
Muhammad Syahrūr—merupakan salah seorang cendekiawan yang berusaha
menampilkan pendapat baru mengatakan bahwa, “Pakaian tertutup yang kini
dinamai ḥijāb (jilbab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk
43 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 31. 44 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. xix. 45 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 31 46 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati 2004), h.
166-167.
55
pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat
berubah dengan perubahan masyarakat. Orang-orang Arab sebelum kedatangan
Islam, juga pada masa Nabi dan sesudahnya, membedakan antara pakaian wanita
merdeka dan hamba sahaya.
Sementara dari sudut pandang feminis yang beridiologi Barat (baik di Barat
maupun di Timur) telah mendominasi wacana ḥijāb, memandangnya sebagai aspek
patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi, dan penindasan terhadap
perempuan.47 Karena di Barat, kata-kata harem, ḥijāb, dan poligami mengandung
citra yang menyudutkan Islam serta sinonim dengan kelemahan dan penindasan
wanita.48
Lord Cromer seperti yang dikutip dalam Ahmed, menjelaskan bahwa ada
banyak alasan untuk menyatakan Islam sebagai sebuah sistem sosial telah gagal
sama sekali. Faktor pertama dan yang utamanya karena perlakuannya atas kaum
perempuan. Islam mendegradasaikan kaum perempuan. Dalam degradasi inilah
yang paling tampak jelas adalah dalam praktik-praktik ḥijāb dan pemisahan,
inferioritas kaum laki-laki Muslim bisa ditelusuri.49 Untuk mencapai hal ini,
sangatlah penting mengubah posisi kaum perempuan dalam Islam, sebab degradasi
perempuan oleh Islam, yang diekspresikan di dalam praktik-praktik ḥijāb dana
pemingitan, itulah yag merupakan hambatan fatal bagi keberhasilan peningkatan
pemikiran dan karakter itu yang mesti menyertai pengenalan peradaban Barat. 50
47 Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: Lentera, 2000), h. 17-18. 48 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesopanan, h. 36. 49 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 204. 50 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 204.
56
BAB IV
ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA MERNISSI
A. Konsep Ḥijāb Fatima Mernissi
Feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang artinya perempuan.
Secara umum feminisme adalah kesetaraan kedudukan anatara laki-laki dan
perempuan. Dalam konteks feminisme Islam, feminisme tidak muncul dari suatu
pemikiran teoritis dan gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan di
seluruh negeri Islam. Secara umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun
gerakan yang selalu bersifat historis-kontekstual dalam menjawab masalah-
masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran
dipandang dari perspektif agama. Menurut feminis Islam teks dalam al-Qur’ān
merupakan teks yang sesungguhnya membebaskan kaum perempuan. Artinya
bukan teks yang bermasalah, namun bagaimana teks itu dibaca dan
diinterpretasikan yang sesungguhnya membuat banyak masalah untuk perempuan.
Fatima Mernissi berpandangan bahwa sudah berabad-abad kaum Muslim
membaca teks al-Qur’ān secara bias. Teks-teks sekunder seperti kompilasi hadits
dan kitab-kitab fiqh mengandung banyak muatan yang sesungguhnya bertentangan
dengan semangat teks al-Qur’ān yang membebaskan perempuan.
Ada tiga strategi untuk membongkar pembacaan yang bias tersebut oleh tokoh
feminisme, pertama, dengan merujuk kembali pada ayat-ayat al-Qur’ān untuk
mengoreksi kesalahan-kesalahan cerita-cerita yang berkembang di antara kaum
Muslim. Kedua, dengan merujuk ayat-ayat yang sesungguhnya dengan jelas
menekankan pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan digunakan untuk
menentang interpretasi yang menekankan hal sebaliknya. Ketiga, mendekonstruksi
57
atau membaca ulang ayat-ayat yang selama ini kerap dikutip sebagai sumber
justifikasi ketidakadilan relasi gender.1
Salah satu persoalan yang dibicarakan dalam feminisme adalah soal patriarki.
Misalnya ketika interpretasi ayat-ayat al-Qur’ān yang dilakukan oleh para fuqaha
dengan nuansa patriarkinya yang sangat kental sehingga mendiskreditkan
perempuan. Mernissi mengatakan:
Jika hak-hak perempuan merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki
Muslim modern, hal itu bukanlah karena al-Qur’ān ataupun Nabi, bukan pula
karena tradisi Islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut
bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.2
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa di tengah sikap kritisnya, Mernissi
sebenarnya masih mempunyai prasangka yang positif terhadap al-Qur’ān, Nabi
dengan hadistnya dan tradisi Islam. Ia yakin bahwa al-Qur’ān, hadist Nabi dan
Islam sendiri amat menghargai perempuan, Mernissi tidak percaya jika ada doktrin
yang mengatakan bersumber dari ketiganya mendiskreditkan perempuan, maka hal
itu perlu dikritisi, bisa jadi ada pihak-pihak tertentu yang telah “memanfaatkan”
momen ini.3
Mernissi ini tampak sangat dominan dalam pemikiran hermeneutikanya.
Sensitifitas Mernissi terhadap masalah perempuan memang sangat menonjol.
Sebagai seorang sosiolog sekaligus feminis, ia ingin menunjukkan bahwa Islam itu
ramah terhadap perempuan.
Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi
pada waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk
1 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. x. 2 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia
Ilmu, 1997), h. xxi. 3 Limmatus Sauda’, “Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi” dalam Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2 2014, h. 303.
58
dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa
kini. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa ayat itu tidak hanya
milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang selamanya meyakini al-Qur’ān.
Namun agak aneh ketika umat Islam masa kini masih memahami teks keagamaan
(al-Qur’ān dan hadist) dengan pemahaman orang-orang terdahulu yang sudah jelas
mengalami perbedaan tempat dan waktu.
Pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran
sosiologis di sekitar asbāb an-nuzul, sehingga akan dengan mudah untuk
melanjutkan kajiannya pada pendekatan yang kedua.
Mernissi menggunakan sumber-sumber ilmiah Arab untuk melokalisir fakta-
fakta historis, tapi ia kemudian bersandar pada ideologi Kristen-Eropa untuk
menafsirkan mereka. Ideologi inilah yang memandang ‘harem’ dan ‘ḥijāb’ sebagai
lokasi utama penindasan dan subordinasi perempuan, yang karenanya mereduksi
kompleksitas struktur sosial politik menjadi sekedar persoalan gender dan
seksualitas.4
Ḥijāb yang terdapat dalam Q.S al-Ahzab [33]:53:
“... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir ...”
Para fuqaha mengkaji ayat tersebut yang memiliki makna sebagai pembatas
antara perempuan dan laki-laki. Artinya, jika laki-laki yang bukan mahram
berbicara dengan isteri-isteri Nabi, mereka harus berḥijāb dan melakukan
pembicaraannya tersebut dari balik tabir. Dengan demikian, laki-laki yang bukan
mahram itu tidak dapat melihat sosok isteri-isteri Nabi. Isteri-isteri Nabi hanya
4 Fadwa el-Ghuindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta), h. 58-60.
59
diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak, dan jika keluarpun
mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya. Jadi pengertian ḥijāb
menurut fuqaha adalah mencegah isteri-isteri Nabi bertemu dengan laki-laki non-
mahram tanpa ḥijāb serta menyembunyikan sosok mereka dari penglihatan kaum
laki-laki. Menutup tubuh secara keseluruhan, termasuk wajah jika mereka ke luar
rumah untuk suatu keperluan, dianggap pengganti tabir.5
Pemaknaan ḥijāb berarti bentuk langsung pemasangan tirai antara sahabat Nabi
dengan para isteri-isteri Nabi di dalam rumah. Menutup seluruh tubuh perempuan
berarti menghalangi laki-laki untuk melihat perempuan, namun tidak menghalangi
kaum perempuan melihat kaum laki-laki. Menurut Fadwa, kesopanan (modesty) –
kesopanan-rasa malu-pemingitan— mempresentasikan pemberlakuan etnosentris
dalam budaya Arab Islam.
Menurut Mernissi ayat ḥijāb di atas diturunkan untuk memisahkan dunia kaum
perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-
masalah rumah tangga dan melarang akses mereka ke dalam kawasan publik.
Penetapan ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis
kelamin terpisah dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika
saja konteks historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan
pemahaman masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan
perempuan.6 Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki
yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan
5 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim, (Jakarta: Gema
Insan Press, 2000), h. 85-86. 6 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 227.
60
domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan
mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya.
Al-Qur’ān menurut Asghar Ali Engineer secara normatif menegaskan konsep
kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu
mengisyaratkan dua hal: pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti
penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang
harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara
dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya harus memiliki hak yang
setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya, kedunya harus
memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campurtangan
yang lain, keduanya harus bebas memiliki profesi atau cara hidup, keduanya harus
setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.7
Menurut Asghar Ali Engineer, bahwa dalam al-Qur’ān telah dijelaskan bahwa
antara laki-laki dan perempuan adalah setara, hal tersebut didasarkan pada al-
Qur’ān yang menyatakan bahwa kedua jenis kelamin itu memiliki asal-usul
makhluk hidup yang sama, dan karena jenis itu memiliki hak yang sama pula.
Mengenai hal ini Asghar Ali Engineer memakai landasan Q.S an-Nisa' [4]:1, di
mana kata nafs dalam ayat tersebut diartikan dengan "makhluk hidup". Dengan
memaknai kata nafs dengan arti "makhluk hidup" Asghar Ali Engineer menolak
pendapat yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.8
Dengan memahami asbāb al-nuzul ayat ḥijāb, diketahui bahwa ia memuat dua
peristiwa yang terjadi pada dua ‘alam’ yang sama sekali berbeda pada waktu yang
7 Asghar Ali Angineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 65. 8 Asghar Ali Angineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, h. 73
61
bersamaan: di satu sisi, wahyu Allah kepada Nabi, yang merupakan ‘alam
intelektual’, di sisi lain turunnya sebuah kain ḥijāb (penutup), sebuah obyek
material, sebuah kain tirai yang ditarik oleh Nabi antara diri beliau dengan seorang
laki-laki yang berada pada pintu masuk dari kamar pengantin beliau.9
Ayat ḥijāb ‘diturunkan’ di kamar tidur dari pasangan pengantin baru untuk
melindungi privasi dan ‘mengusir’ orang ketiga, yaitu Anas Ibnu Malik sahabat
Nabi. Anas dilarang masuk dengan (ditariknya) ḥijāb sebagai peringatan dan simbol
bagi suatu masyarakat yang terlalu mengganggu privasi. Anas sendiri sebagai saksi
yang menceritakan peristiwa tersebut. Jika seseorang menyadari akibat yang
ditimbulkan dari peristiwa itu terhadap kehidupan kaum perempuan Muslim
sesudahnya, maka perspektif yang diberikan Anas menjadi sangat penting. Nabi
baru saja menikah dan ingin segera berduaan dengan isterinya, Zainab. Dia tidak
bisa mengusir sekelompok kecil tamu “tidak berperasaan” yang melakukan
obrolan. Kain penutup (ḥijāb) merupakan jawaban Allah bagi suatu masyarakat
yang memiliki adat kasar, yang dengan sikap kekurangpekaannya telah menyakiti
seorang Nabi yang sangat halus perangai dan perasaannya.10 Sebagaimana
penafsiran al-Tabari yang menceritakan ucapan Anas Ibnu Malik:
Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
Nabi tatkala menikah dengan Zainab binti Jahsy beliau mengundang
masyarakat untuk menghadiri pernikahannya. Lalu mereka makan dan duduk
serta berbincang-bincang. Maka Nabi beranjak berdiri tetapi mereka tidak juga
bangkit dari tempat duduknya. Maka beliau berdiri, lalu masuk dan datang
kemudian kembali masuk. Namun mereka masih juga tetap duduk. Lalu Nabi
masuk dan kembali lagi dan saya (Anas) mengabarkan kepada beliau bahwa
mereka telah pulang. Maka beliau masuk dan aku pun ikut masuk, kemudian
beliau memasang ḥijāb antara beliau dan saya, dan Allah menurunkan ayat
ini.11
9 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 108. 10 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 108. 11 Syaikh Ahmad Zaky al-Barudy, Tafsir Wanita (dikutip dari Bukhari: 4793 dan Muslim:
1428) (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 632.
62
Ayat ḥijāb, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama
beberapa isterinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan
dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (ayat ḥijāb
ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadist al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar
mengusulkan agar dibuat sekat (ḥijāb) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi.
Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat ḥijāb.
Pada ayat selanjutnya al-asbāb nuzul Q.S al-Ahzāb [33]: 59, turun setelah
datangnya pengaduan Saudah, isteri Nabi yang berbadan besar sehingga mudah
dikenali bahwa ia baru saja ditegur Umar bin Khattab karena keluar rumah. Nabi
berkata bahwa ia diperbolehkan keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu turunlah
ayat tersebut, di mana isteri-isteri Nabi diwajibkan untuk memakai ḥijāb. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa isteri-isteri Nabi keluar rumah untuk buang hajat,
lalu diganggu kaum munafik, kemudian turunlah ayat tersebut.
Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, ayat ini juga
turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis.12 Bersifat politis karena ayat
ini turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman. Gangguan terhadap
perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka
menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam
dari pelecehan itu. Bersifat elitis dan diskriminatif karena dengan ayat ini, ingin
membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat
ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghilangkan
perbudakan, di sisi lain masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam.
12 Nong Darol Mahmada, “Kritis Atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal (Jakarta:
Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 131.
63
Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qasim
Amin, yang menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan
(ḥijāb) dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan
konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak satu pun dalam nash yang
tegas menyebutkannya.
Mernissi mengkritisi praktik pemisahan perempuan oleh kaum konservatif
sebagai pelembagaan otoritarianisme laki-laki yang dilakukan dengan
memanipulasi teks suci.13 Masalahnya bukan apakah ḥijāb itu Islami atau tidak,
seperti disebutkan dalam al-Qur’ān untuk membedakan perempuan Mukmin sejak
zaman Nabi. Persoalan yang relevan bagi kaum feminis Muslim sekarang ini adalah
unsur pilihan dalam hubungannya dengan busana, dan apakah memilih berḥijāb
atau tidak itu merupakan hak perempuan. Dengan begitu bahwa ayat ini bukanlah
untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan.
Nabi tidak menganggap pertemuan laki-laki dengan perempuan sebagai hal
yang bertentangan dengan kesucian dan kemuliaan seorang perempuan. Artinya,
Nabi melihat kebiasaan yang berlangsung di kalangan masyarakat Madinah waktu
itu sebagai suatu yang baik, tidak perlu ditolak. Di samping itu, Nabi pun tidak
melihat ḥijāb secara umum sebagai suatu keluhuran mutlak bagi kaum perempuan,
karena keluhuran dan kesucian kaum perempuan terletak pada rasa malu.14 Dengan
begitu pembauran antara laki-laki dengan perempuan yang dibatasi oleh rasa malu
tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keluhuran, kemuliaan,
dan harga diri seorang laki-laki.
13 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 122. 14 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, h. 98.
64
Menurut Mernissi, Q.S al-Ahzāb [33]: 53, dipandang oleh kebanyakan fuqaha
sebagai dasar dari lembaga ḥijāb. Kitab-kitab fiqih selalu mencurahkan satu bab
khusus tentang “ayat ḥijāb” ini. Ayat ini bukanlah satu-satunya yang menjelaskan
turunnya ḥijāb, tetapi merupakan ayat pertama dari serangkaian ayat serupa yang
mengakibatnya terpilihnya ruang (space) Muslim. Jika dicermati ayat ini akan
mengungkap bahwa maksud Allah adalah berkaitan dengan cara yang bijaksana
untuk menghadapi suatu situasi tertentu. Allah menghendaki untuk membiasakan
kepada para sahabat Nabi sopan santun tertentu yang tampaknya tidak mereka
miliki, misalnya bila memasuki rumah harus meminta izin.15
Sebagai tambahan bagi pedoman sopan santun (etiket), bagian terakhir dari
ayat tersebut menyentuh kepada masalah lain, yaitu keputusan Allah untuk
melarang orang-orang Muslim menikahi isteri-isteri Nabi setelah
sepeninggalannya. Ayat tentang ḥijāb tersebut diakhiri dengan kata-kata: “Dan
tidak boleh kamu menyakiti (hati) Nabi Saw, dan tidak (pula) menikahi isteri-
isterinya sesudah dia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar
(dosanya) di sisi Allah.”16
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa ḥijāb yang secara lughawi
berarti “kain penutup/tabir”, diturunkan bukan untuk meletakkan satu pembatas
antara laki-laki dan perempuan, tetapi antara dua orang laki-laki.17 Jikapun ḥijāb
diartikan sebagai penutup kepala yang menjadi perlindungan terhadap kehormatan
dan keselamatan seorang perempuan tidak mesti terletak pada selembar kain.
B. Rekonstruksi Metodologi Makna Ḥijāb
15 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 117. 16 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 117. 17 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 107.
65
Pendekatan historis dan metodologis menjadi pijakan hermeneutika Mernissi.
Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya untuk reinterpretasi terhadap teks-
teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan. Untuk
pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah pembacaan baru atau
rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar bangunan interpretasi para
ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarki. Ḥijāb dan
segenap adat-istiadat berkenaan dengan kaum perempuan adalah masalah-masalah
utama yang memerlukan pembaruan.
Memahami teks agama memang tidak bisa mengabaikan aspek konteks, yakni
segala hal yang mengitari teks, dan konteks yang paling dekat dengan teks tidak
lain adalah pengarang dan pembaca (author and reader). Jadi, untuk memahami
teks mau tidak mau harus melibatkan dua komponen tersebut. Ketiganya
memainkan peran yang sama dalam membentuk makna teks, tidak ada yang
mendominasi.18 Realitas sosial yang merupakan reperesentasi dari teks amat sangat
mempengaruhi dalam melakukan pembacaan terhadap teks. Teks-teks agama ketika
dibaca dalam sebuah konteks tertentu, maka amat dipengaruhi oleh pembaca.
Begitu juga teks yang merupakan representasi tersebut sebenarnya hanyalah sebuah
produk pemikiran para penafsir teks, yang didalamnya termasuk para ulama, tokoh
agama, pendeta, ilmuwan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pembacaan
terhadap teks-teks agama yang dijadikan sumber otoritas masyarakat patriarkhi
amat berarti bagi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks
masyarakat kontemporer. 19
18 Limmatus Sauda’, “Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi” dalam Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2, 2014, h. 303. 19 Nur Mukhlish Zakariya, “Kegelisahan Seorang Feminis” dalam Jurnal Karsa Vol. 19
No. 2 Tahun 2011, h. 128.
66
Berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, Mernissi melihatnya
lebih sebagai sebuah konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang
bersifat murni. Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan
sebuah produk pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya bukan sebagai hasil
final dan tidak dapat diganggu gugat. Sebagai seorang sosiolog, dalam melakukan
kajiannya, Mernissi tidak hanya mendekati teks agama dari segi tekstualnya saja.
Akan tetapi, teks-teks agama haruslah dikaji dari pendekatan historis-sosiologis
seperti yang sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Hal ini untuk menemukan
signifikansi makna, jika dihubungkan dengan kondisi zaman dan tempat.
Berdasarkan penjelasan pada bagian kritik historis, dapat dipahami bahwa
usaha Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, bukan
hanya didasarkan atas pengaruh dari feminisme Barat. Akan tetapi, pada dasarnya
konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya telah tersurat dalam
teks agama (al-Qur’ān dan hadits). Hanya karena peranan otoritas ulama
mendominasi penafsiran teks-teks agama, sehingga lebih mengutamakan
kepentingan laki-laki dan menjustifikasi atas dominasinya, serta mampu
menciptakan masyarakat patriarki.20
Konsep ḥijāb mengandung tiga dimensi dan ketiga dimensi ini sering sekali
saling memotong. Yang pertama, adalah dimensi visual: bersembunyi dari
penglihatan. Akar kata ḥajaba berarti “bersembunyi”. Yang kedua berdimensi
tempat/spasial: memisahkan, memberi batas, menentukan ambang batas. Yang
terakhir, dimensi ketiga adalah etika: terkait dengan masalah pelarangan. Pada
tingkat ini, kita tidak sedang berurusan dengan kategori-kategori nyata yang ada
20 Nur Mukhlish Zakariya, “Kegelisahan Seorang Feminis”, h. 127.
67
dalam realitas indra, seperti yang bersifat visual atau spasial, tetapi dengan suatu
realitas abstrak, yaitu gagasan. Suatu ruang yang disembunyikan dengan ḥijāb
“adalah ruang terlarang.”21
Sebagaimana yang dikemukakan Mernissi, kita tidak saja memiliki kategori-
kategori kasat mata yang eksis (maujud) dalam realitas indera, yaitu pandangan
(visual), ruang (spesial), tetapi juga suatu realitas abstrak pada dunia ide. Suatu
ruang yang ‘disembunyikan’ oleh sebuah ḥijāb adalah ruang/tempat terlarang.
Kamus Lisanul Arab mengartikan bahwa satrun dalam bahasa Arab secara lughawi
berarti ‘tirai/tabir’. Maka kita memiliki suatu tindakan yang membagi ruang
menjadi dua bagian dan menyembunyikan satu bagian dari pandangan. Dari yang
telah dipaparkan, ayat ḥijāb telah menetapkan suatu pemisahan ruang yang bisa
dipahami menjadi sebuah pemisahan (ruang) umum dari ruang pribadi. Namun
sayang, hal itu telah dipalingkan menjadi suatu pemisahan (ruang) antara laki-laki
dan perempuan.22
Pemikiran Mernissi dalam menggugat sistem patriarki, nampaknya
dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Mernisi sangat apresiatif
terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang
berkembang di Barat. Menengok sejenak ke masa lalu Muslim, menarik karena ia
menunjukkan pada kita bahwa konsep ḥijāb mengacu kepada kelakuan yang tidak
senonoh dalam seksualitas yang merupakan sumber kekacauan, masih sangat kuat
dalam kehidupan pemikiran bangsa Arab modern dan dalam dinamika politik
Arab.23
21 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, (Bandung: Mizan, 1999), h. 107. 22 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 129-130. 23 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 115.
68
Kenyataan bahwa gerakan-gerakan fundamentalis, yang sering bertentangan
dengan rezim-rezim yang ada, yang menyatakan bahwa pendidikan campuran dan
akses kaum perempuan pada kehidupan publik merupakan sumber kekacauan. Ini
merupakan bukti bahwa kita masih jauh dari melakukan terobosan penting, yaitu
yang akan membawa kita pada suatu masyarakat yang berorientasi pada konsepsi
perempuan sebagai warga negara. Kedudukan perempuan sebagai warga negara
masih merupakan cita-cita yang harus dicapai, dan pencapaiannya membutuhkan
proses pendidikan terhadap masyarakat maupun pemerintah.24
Sebelum sampai pada konsepsi perempuan sebagai warga negara yang setara
dan bertanggungjawab, yang bukan merupakan ancaman bahaya yang harus
diredam atau kekuatan subversif yang harus disembunyikan dan dilenyapkan,
melainkan sebagai sumber daya yang harus dikelola dan bakat yang harus
dikembangkan. Kita tidak akan menempuh transisi dari masyarakat yang lebur
dalam fantasi dan tenggelam dengan mitos-mitos dan gagasan-gagasan usang
menjadi masyarakat berorientasi ilmiah yang memandang umat manusia sebagai
sumber daya dan sumber bakat.25
Pendidikan kaum perempuan tetap merupakan sarana yang paling pasti untuk
menempuh transisi ini. Sebab hanya kaum perempuan sajalah melalui peran serta
mereka sehari-hari dalam seluruh bidang kehidupan sosial – terutama bidang yang
paling dianggap tinggi seperti politik – yang dapat membuat perubahan menjadi
nyata.26
24 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116. 25 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116. 26 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa ḥijāb sampai saat ini masih terjadi
silang pendapat. Dalam persoalan ḥijāb ini, Mernissi berusaha untuk melakukan
pembacaan ulang terhadap teks-teks agama yang telah mengakar kuat dalam
konstruksi patriarki dengan metode historis–kritis-kontekstual.
Pendekatan historis dan metodologis menjadi pijakan hermeneutika Mernissi.
Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi pada
waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk
dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa
kini. Untuk pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah
pembacaan baru atau rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar
bangunan interpretasi para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi
patriarki.
Menurut Mernissi ayat ḥijāb diturunkan untuk memisahkan dunia kaum
perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-
masalah rumah tangga dan melarang akses mereka ke dalam kawasan publik.
Penetapan ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis
kelamin terpisah dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika
saja konteks historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan
pemahaman masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan
70
perempuan.1 Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki
yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan
domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan
mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya.
Dalam penyelidikan yang dilakukan Mernissi, ayat ḥijāb ‘diturunkan’ di kamar
tidur dari pasangan pengantin baru untuk melindungi privasi dan ‘mengusir’ orang
ketiga, yaitu Anas Ibnu Malik sahabat Nabi. Anas dilarang masuk dengan
(ditariknya) ḥijāb sebagai peringatan dan simbol bagi suatu masyarakat yang terlalu
mengganggu privasi. Anas sendiri sebagai saksi yang menceritakan peristiwa
tersebut. Jika seseorang menyadari akibat yang ditimbulkan dari peristiwa itu
terhadap kehidupan kaum perempuan Muslim sesudahnya, maka perspektif yang
diberikan Anas menjadi sangat penting. Nabi baru saja menikah dan ingin segera
berduaan dengan isterinya, Zainab. Dia tidak bisa mengusir sekelompok kecil tamu
“tidak berperasaan” yang melakukan obrolan. Kain penutup (ḥijāb) merupakan
jawaban Allah bagi suatu masyarakat yang memiliki adat kasar, yang dengan sikap
kekurangpekaannya telah menyakiti seorang Nabi yang sangat halus perangai dan
perasaannya.
Padahal dalam penciptaan laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan
atasnya. Sehingga eksistensi kaum perempuan dalam relasi dan peran sosial-politik-
ekonomi mengalami pembatasan.2 Dalam arti lain dalam urusan-urusan sosial,
keberadaan perempuan karena eksistensi dan seksualitas mereka harus dibedakan
dengan laki-laki hampir dalam seluruh dimensi kehidupan.
1 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 227. 2Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 192.
71
Hasil risetnya, Mernissi menggambarkan bahwa ajaran agama bisa
dimanipulasi. Mernissi pun percaya bahwa penindasan terhadap perempuan adalah
semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam.
B. Saran-Saran
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari bahwa hasil akhir ini
masih jauh dari nilai sempurna. Berdasarkan penelitian di atas, menurut pendapat
penulis konsep ḥijāb maupun pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi lainnya sangat
relevan untuk dikaji lebih mendalam lagi. Apalagi di saat ḥijāb di Indonesia dewasa
ini sedang menjadi trend mode dan penting bagi kita untuk mengetahui seluk beluk
ḥijāb agar cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Tentunya masih terdapat
banyak tokoh yang sejalan maupun yang lebih maju dari pemikiran Fatima
Mernissi, seperti Malak Hifni Nasif, Quraish Shihab, dan lainnya.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti yang ingin
menulis tentang pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi.
72
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Leila, Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: Lentera Basritama, 2000.
Agustina, Nurul, Tradisional Islam dan Feminisme, dalam Ulumul Qur’ān, Edisi
Khusus 5 Tahun No. 5 dan 6 Vol. V tahun 1994.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Mendudukkan Polemik Berjilbab, terj. Kamran
As’ad Irsyadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
Al-Barudy, Syaikh, Ahmad, Zaky, Tafsir Wanita dalam Bukhari: 4793 dan Muslim
1428. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.
Ali, Angineer, Asghar, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
El-Feki, Shereen, Seks & Ḥijāb: Gairah dan Intimitas Di Dunia Arab yang Berubah,
diterjemahkan dari Sex and Citadel: Intimate Life In A Changing Arab World,
terj. Adi Toha. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013.
El-Guindi, Fadwa, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. dari
Veil: Modesty, Privacy and Resistance, terj. Mujiburahman. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2003.
Ghazali, Abd. Moqsith (ed.), Ijtihad Islam Liberal, Nong Darol Mahmada “Kritik Atas
Jilbab”. Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005.
Juneman, Psychology of Fashion Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab].
Yogyakarta: LKiS, 2012, cet ke-2.
Karm, Ghada, “Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme” dalam Feminisme dan Islam
(ed. Mai Yamani). Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000.
Kurniawati, Lia, “Feminisme Islam” dalam Membincangkan Feminisme: Diskursus
Gender dalam Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Maududi, Abul A’la, Jilbab: Wanita alam Masyarakat Islam, terj. Mufid Ridho.
Bandung: Marja, 2005.
Mernissi, Fatima, Pemberontakan Wanita!: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam
Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 1999.
-------, Perempuan-Perempuan Harem, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2008.
73
-------, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan. Bandung: Mizan, 1994.
-------, Menengok Kontoversi Peran Wanita dalam Politik, terj. M. Mansyur Abadi.
Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
-------, Islam dan Demokrasi, terj. Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS dan Pustaka
Pelajar, 1994.
-------, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Muslim
Modern. Surabaya: Al-Fikr, 1997.
-------, Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam, dalam Wacana
Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Charles
Kurzman (ed.). Jakarta: Paramadina, 2001.
-------, Riffat Hasan, Setara Di Hadapan Allah. Yogyakarta: Lembaga Studi dan
Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000.
Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2004
-------, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta:
LKiS, 2002.
Mulia, Musdah, Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Gramedia, 2011.
Muthahhari, Murtadha, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan
Alwiyah Abdurrahman dengan judul asli On The Islamic Ḥijāb. Bandung: Mizan,
1995.
-------, Cadar Tuhan: Duduk Perkara Ḥijāb Perempuan. Jakarta: Penerbit Citra, 2012.
Natsir, Lies Marcoes, dkk, Kesaksian Para Pengabdi: Kajian Tentang Perempuan dan
Fundamentalisme di Indonesia. Jakarta: Rumah KitaB, 2014.
Nuruzzaman, M., Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Romli, Muhammad Guntur, Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan
Islam. Jakarta: Freedom Institute, 2010.
Sauda’, Limmatus, Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi. Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2 2014.
Shahab, Husein, Jilbab: Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah. Bandung: Mizan, 1995.
Shihab, M. Quraish, Jilbab: Pakaian Utama Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
-------, Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
74
Subhan, Arief, dkk, Citra Perempuan dalam Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito Press, 1994.
Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (ed.) Sahiron Syamsudin.
Yogyakarta: el SAQ, 2008.
Syuqqah, Abu, Halim, Abu Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim. Jakarta:
Gema Insan Press, 2000.
Taimiyah, Syaikh Ibnu, dkk, Jilbab Cadar: dalam al-Qur’ān dan as-Sunnah, terj. Abu
Said al-Anshori dengan judul asli Majmu’ Risālaḥ fi al-Ḥijāb wa al-Sufūr.
Jakarta: Pedoman Ilmu Raya, 1994.
Umar, Nasaruddin, Fiqih Wanita untuk Semua. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Waddy, Charis, Wanita dalam Sejarah Islam, terjemahan dari Women in Muslim
History, terj. Faruq Zabidi. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
Wadud, Amina, Qur’ān Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka, 2006.
Yamani, Mai (ed.), Feminisme dan Islam: Persfektif Hukum dan Sastra, diterjemahkan
dari edisi bahasa Inggris: Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives.
Bandung: Nuansa, 2000.
Zakariya, Nur, Mukhlish, “Kegelisahan Seorang Feminis” dalam Jurnal Karsa Vol. 19
No. 2 Tahun 2011
https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts, diakses pada 26 Maret 2016.
http://www.jpnn.com/read/2015/12/01/341982/Fatima-Mernissi-Meninggal-Dunia-,
diakses pada 5 Januari 2016.
Biodata Penulis
Nama : Sofiana Khairunnisa
Tempat, Tanggal lahir : Cirebon, 30 Desember 1992
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Email : [email protected]
Alamat : Jl. W.R Supratman RT/RW 001/005, Cempaka Putih
Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Pendidikan Formal
1998-2004 : SDN 1 Waleddesa, Cirebon
2004-2007 : SMPN 1 Waled, Cirebon
2007-2010 : SMA PLUS YAKPI Susukan, Cirebon
2010-2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta