84
ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA MERNISSI Skripsi Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Sofiana Khairunnisa 1110033100061 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H./2017 M.

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME

FATIMA MERNISSI

Skripsi

Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi

Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Sofiana Khairunnisa

1110033100061

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1439 H./2017 M.

Page 2: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan
Page 3: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan
Page 4: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan
Page 5: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

ii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui landasan pemikiran Fatima Mernissi

dalam membingkai konsep ḥijāb dengan fokus utama pada pendekatan historis

sosiologis dan metodologinya. Penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif-

analitis, yaitu mendeskripsikan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian

dianalisis. Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan

situasi pada waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan

untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer

masa kini. Untuk pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah

pembacaan baru atau rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar

bangunan interpretasi para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi

patriarki. Menurut Mernissi ayat ḥijāb diturunkan untuk memisahkan dunia kaum

perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-

masalah domestik dan melarang akses mereka ke kehidupan publik. Penetapan

ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis kelamin terpisah

dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika saja konteks

historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan pemahaman

masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan perempuan.

Mernissi menggambarkan bahwa ajaran agama bisa dimanipulasi. Mernissi pun

percaya bahwa penindasan terhadap perempuan adalah semacam tradisi yang

dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam.

Kata kunci: ḥijāb, historis-sosiologis, interpretasi.

Page 6: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kepada Allah Swt, pencipta semesta alam

ini. Tak ada yang terjadi sedetikpun tanpa izin-Nya. Atas karunia, berkah dan rahmat-

Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini untuk memenuhi persyaratan

mendapatkan gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada jurusan Aqidah Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam semoga senantiasa

tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, para keluarganya, sahabatnya, dan segenap

pengikut beliau yang memberikan teladan yang sempurna untuk terus diteladani hingga

akhir nanti.

Skripsi dengan judul “ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA

MERNISSI” ini ibarat bagai senyuman cita. Penulis selesaikan dengan begitu banyak

peran mereka dalam membantu menyelesaikan tulisan ini. Kepada mereka lembar

sederhana ini dikhususkan sebagai wujud terima kasih yang tak terhingga.

Bapak Bachrudin dan Ibu Rohilah, orangtua yang menjadi pelita, penyemangat

yang setia dan tentunya tujuan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini. Terima kasih

atas semua yang telah diberikan, kesabaran, pengertian, dukungan, dan tentunya do’a

tulus dan ikhlas yang terucap setiap harinya.

Kepada segenap civitas Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang dengan ikhlas mengajarkan

banyak hal, motivasi, saran dan berbagai kritikan positif: Dekan Prof. Dr. Masri

Mansoer, M.A, Ketua Jurusan sekaligus Penasihat Akademik Dra. Tien Rohmatin,

M.A, yang telah memberikan bantuan dan semangat sehingga penulis dapat

Page 7: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

v

menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Ibu Rosmaria Sjafariah W, S.S, M.Si, selaku

dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan arahan kepada

penulis yang sangat berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kepada Dosen Ushuluddin dan Filsafat: Dr. Abd Moqsith Ghazali, Surya

Dinata, M.A, Prof. Drs. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, Prof. Drs.

Aziz Dahlan, M.A, Drs. Nanang Tahqiq, M.A, Dr. Sri Mulyati, Dr. Edwin Syarif, M.A,

Dr. Din Wahid, Agus Darmaji, M. Fils, Dr. Fariz Pari, dan lainnya yang tak mampu

penulis sebutkan satu per satu. Para pegawai staff Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

serta Staff Akademik Pusat dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Semoga apa yang dilakukan berbuah ibadah dan keridhaan Allah. Semoga

menjadi amal kebaikan yang akan terus mengalir sampai kapanpun. Aamiin…

Kakak-adik tercinta, Asep Alfani, Nurlaely, Moch. Faisal Mabruri, Ainul Huri,

Firdan Maulana Elhaq, Yusril Ihya Husyaeri, Khotami Fadli Nafis, dan si bungsu Laksa

Fadlan Elyasa. Keponakan, Pasya Ihsanul Haq dan Raffa Dilla Alfani. Mereka yang

selalu memotivasi dan menyemangati agar tulisan ini segera diselesaikan. Tak luput

ucapan terima kasih untuk Ryan Adi Prianto, yang selalu setia mengarahkan dan

memberi dukungan tiada henti.

Untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat 2010 yang hingga saat ini

masih intens komunikasi. Sebut saja, Diana, Fatimah, Ruha, Tuti, Indah, Mishbah,

Bindan, Syakur, Kacung, Amir, Diah, Ratu, Nina, Sam, Ayip, Hafiz, Caryono, Kusuma

dan semua teman-teman AF yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima

kasih atas jalinan yang masih begitu hangat, waktu yang dihabiskan bersama untuk

melukis cerita suka dan duka, berdiskusi sampai obrolan unfaedah tiada akhir.

Page 8: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

vi

Kepada segenap senior dan sahabat Kominfo DPP PPP, Kak Hairi, Mas Fuad,

Mas Ja’far, Bang Ronald, Rival, Biyah, Vivin, Teh Imas, Reni, Mak Eva, Kafi dan

sahabat yang lainnya. Terima kasih atas ilmu dan pengalaman baru bersama kalian

yang sangat berkesan. Terima kasih untuk sahabat semua.

Pada akhirnya hanya ucapan terima kasih dan do’a kepada semua pihak yang

bisa penulis sampaikan. Semoga atas segala bantuan dan saran-saran dari semua pihak

atas terselesaikannya skripsi ini menjadi amal baik. Amin.

Ciputat, 1 Oktober 2017

Sofiana Khairunnisa

Page 9: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

vii

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. i

ABSTRAK ................................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 9

D. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 10

E. Metode Penelitian ............................................................................... 11

F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

BAB II BIOGRAFI FATIMA MERNISSI

A. Riwayat Hidup .................................................................................... 15

B. Kondisi Sosial dan Politik Maroko ..................................................... 24

C. Metodologi Pemikiran Fatima Mernissi ............................................. 27

D. Karya-karya ........................................................................................ 32

BAB III ḤIJĀB

A. Pengertian Ḥijāb ................................................................................. 37

B. Ḥijāb dalam Sejarah ........................................................................... 41

C. Konstruksi Pemaknaan Ḥijāb dalam Islam ......................................... 48

BAB IV ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA MERNISSI

A. Konsep Ḥijāb Fatima Mernissi .......................................................... 56

B. Rekonstruksi Metodologi Makna Ḥijāb .............................................. 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 69

B. Saran .................................................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 72

Page 10: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ḥijāb yang melekat sebagai sebuah identitas perempuan Muslim masih terjadi

silang pendapat. Ini tentunya terkait dengan formula para fuqaha dalam

menginterpretasikan batas-batas aurat perempuan. Dasar hukum yang biasanya

dijadikan rujukan sebagai batasan aurat perempuan yang harus ditutupi dengan

ḥijāb, yaitu pada Q.S al-Ahzāb [33]:53, 59 dan Q.S an-Nūr [24]:31.

Madzhab Syāfi’i dan Hānafi menafsirkan aurat perempuan merdeka adalah

seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Madzhab Māliki ada dua

pendapat yaitu, pendapat yang mengatakan wajah dan telapak tangan perempuan

merdeka bukan aurat dan pendapat yang menambahkan kedua telapak kaki yang

termasuk bukan aurat. Sedangkan dalam madzhab Hanbali aurat perempuan

merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa kecuali, hanya untuk shalat dan

beberapa keperluan tertentu diperbolehkan membuka wajah dan telapak tangan.1

Perbedaan pendapat para ulama ini muncul karena adanya perbedaan dalam

menginterpretasikan frase illā mā zhahara minhā (kecuali yang biasa tampak)

pada Q.S An-Nūr [24]:31.

Dasar hukum yang berkaitan dengan batasan aurat perempuan terlihat bahwa

teks syara’ yang otoritatif tidak secara jelas dan tegas menyebutkan batas aurat

perempuan, sehingga para ulama madzhab menginterpretasikannya dengan

1 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,

(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal 53-54.

Page 11: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

2

kecenderungan masing-masing yang sangat mungkin berkaitan langsung dengan

realitas kehidupan yang terjadi dan berkembang. Apalagi dengan melihat

kenyataan bahwa para ulama mengecualikan sekelompok perempuan dari cakupan

seluruh teks terkait dengan menentukan kepada mereka batasan aurat yang jauh

lebih terbuka dengan tanpa didasari oleh pernyataan syara’ satupun, baik dari al-

Qur’ān maupun hadits, sehingga yang dianggap absah untuk menganggap hampir

seluruh tubuh perempuan adalah aurat menjadi terbatas hanya perempuan

merdeka.2 Dikotomi ini menjadikan sikap Islam yang ambiguitas, di satu sisi ayat

itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan, di lain sisi Islam ingin

menciptakan persamaan dengan meniadakan perbudakan.

Ada dua kosa kata yang lazim dipakai banyak orang untuk makna yang sama

yaitu ḥijāb dan lilbab. Keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala

dan tubuhnya. Al-Qur’ān sendiri menyebut kata ḥijāb untuk arti tirai, pembatas,

penghalang, atau penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi,

memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu

dengan yang lain tidak saling melihat atau memandang. Dalam Q.S al-Ahzāb

disebutkan: “Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka

mintalah dari balik ḥijāb. Cara ini lebih mensucikanmu dan hati mereka.” Ḥijāb

dalam ayat ini menunjukkan arti tirai penutup yang ada di dalam rumah Nabi

sebagai sarana untuk menghalangi atau memisahkan tempat kaum laki-laki dari

kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Secara tekstual, seruan

untuk membuat ḥijāb sebagaimana dalam ayat ini ditujukan kepada isteri Nabi,

2 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h,

60-61.

Page 12: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

3

akan tetapi dalam interpretasi para ulama kemudian perintah itu diberlakukan juga

kepada perempuan Muslim lainnya.

Asbāb al-nuzul Q.S. al-Aḥzāb 33:59 diturunkan ketika isteri-isteri Nabi

dinasihati agar menjadikan diri mereka dikenali dengan “membiarkan cadar

mereka menutup (tubuh)” (yudnīna ‘alayhinna min jalābībihinna). Ayat ini juga

dikaitkan dengan pelecehan seksual yang terjadi di Madinah di masa hidup Nabi.

Peristiwa ini disebut ta‘arrud, yaitu laki-laki yang menghalangi jalan para

perempuan dan melecehkan mereka dengan isyarat-isyarat yang tidak layak.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa yang memulai kekacauan seksual adalah

kaum laki-laki.3 Namun sayang sekali kenyataannya justru terbalik, hadirnya ḥijāb

sebagai penutup aurat dikarenakan seksualitas perempuan dianggap sebagai pusat

potensi kekacauan dan kedurhakaan.4

Pada masa sekarang pemaknaan ḥijāb terus berkembang, bukan hanya

sebagai penutup aurat, tetapi sudah berkembang menjadi sebuah life style

perempuan. Persoalan yang sering terjadi di dalam pemaknaan ḥijāb yaitu ketika

ḥijāb dimaknai menjadi sebuah simbol pakaian perempuan Muslim, sehingga di

masyarakat sering sekali terjadi perdebatan model ḥijāb yang dianggap sesuai

dengan ajaran Islam. Perdebatan inilah yang pada akhirnya menimbulkan truth

claim (klaim kebenaran) di kalangan perempuan sendiri.

Kondisi ini bisa dilihat di dalam kehidupan yang menyuguhkan beraneka

macam model ḥijāb yang dikenakan oleh perempuan. Dari satu kelompok dengan

kelompok yang lain pemaknaan ḥijāb selalu berbeda-beda berdasarkan

3 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah

Muslim, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999), h. 115. 4 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita!, h. 115.

Page 13: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

4

pengalaman spiritual, dan ajaran agama yang mampu diterimanya. Terlebih di

Indonesia, yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tentunya jumlah

kelompok semakin banyak yang berbeda cara pandang terhadap makna ḥijāb.

Bahkan ada kelompok yang memandang ḥijāb sebagai simbol dari kesalehan,

kesopanan dan bentuk perlindungan diri.

Ḥijāb dengan begitu bukanlah satu bentuk pakaian yang dikenakan

perempuan. Akan tetapi dalam perkembangan sosialnya khususnya di Indonesia,

terminologi kemudian menjadi sebutan bagi pakaian perempuan sebagaimana

jilbab atau busana muslimah. Dalam banyak buku berbahasa Arab kontemporer,

ḥijāb telah dimaknai sebagai jilbab. Dalam pengertian selanjutnya, ḥijāb

berkembang dalam masyarakat Islam menjadi pakaian yang menutupi kepala dan

tubuh seseorang sehingga bukan saja kulitnya tertutup melainkan juga lekuk dan

bentuk tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks al-Qur’ān ayat ḥijāb

agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis.5

Senada dengan apa yang diungkapkan Ruth Rodded dalam bukunya

Kembang Peradaban, menurutnya sampai saat ini masih terjadi silang pendapat

mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat ḥijāb. Kemudian persoalan

apakah perintah yang ditujukan kepada isteri-isteri Nabi harus menjadi norma

bagi semua perempuan Islam terlebih dengan konteks realitas kehidupan

sekarang.6 Meskipun pada perkembangannya kata ḥijāb ini direduksi menjadi

berbagai macam istilah, seperti ada yang menamakannya jilbab, cadar, burkah,

5 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 207-

208. 6 Nong Darol Mahmada, “Kritik atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal, ed. Abdul

Moqsith Ghazali (Jakarta: Jaringan Liberal Islam, 2005), h. 132.

Page 14: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

5

pakaian Muslimah. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis ḥijāb dikenal

dengan istilah charshaf di Turki, chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan,

milayat di Libya, abaya di Irak, dan ḥijāb di Mesir, Sudan dan Yaman.7

Dapat diketahui bahwa ḥijāb merupakan salah satu dari kewajiban yang

mempunyai hukum dan falsafatnya sendiri di dalam Islam.8 Dalam beberapa

pandangan, setidaknya perempuan ditempatkan sebagai subyek dari perilaku

moralitas. Perempuan harus menutup tubuh dan kepalanya di dalam pergaulannya

dengan laki-laki yang bukan mahramnya dan tidak boleh memamerkannya.9

Padahal dalam penciptaan laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan atasnya.

Sehingga eksistensi kaum perempuan dalam relasi dan peran sosial-politik-

ekonomi mengalami pembatasan.10 Dalam arti lain dalam urusan-urusan sosial,

keberadaan perempuan karena eksistensi dan seksualitas mereka harus dibedakan

dengan laki-laki hampir dalam seluruh dimensi kehidupan. Dalam hal ini, agama

dalam masyarakat religius seringkali menjadi kekuatan besar yang membentuk

sejarah manusia atau suatu kebudayaan.

Menurut kalangan feminis, ḥijāb merupakan sisa peninggalan adat atau

kebiasaan perempuan pra-Islam, bukan peninggalan Islam.11 Sehingga ketika

ḥijāb kemudian dimaknai sebagai penutup aurat bagi perempuan, atau aturan

busana bagi perempuan, maka hal itu menjadi batas dari pemisah ruang antara

laki-laki dan perempuan. Dampaknya, banyak perempuan yang merasa terbatas

7 Nong Darol Mahmada, “Kritik atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal, h. 130. 8 Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 1995), h. 75. 9 Murtaḍa Muṭahharī, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, penj.Agus Efendi dan Alwiyah

Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1995), h. 13. 10 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 192. 11 Husein Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah, h. 8

Page 15: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

6

seperti dalam budaya harem, merasa asing dengan persoalan sosial, politik, dan

ekonomi sehingga mengakibatkan perempuan tertinggal jauh dibandingkan

dengan laki-laki. Dengan begitu ḥijāb dianggap sebagai penghalang yang

menyembunyikan perempuan dari ruang publik.

Dalam pembacaan Qasim Amin,12 norma-norma agama yang bersifat tekstual

harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban ḥijāb bagi kaum

perempuan yang termaktub dalam teks al-Qur’ān bukanlah semata-mata syari’at

agama Islam, bagi Qasim, ḥijāb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang

diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Dalam Islam teori ḥijāb ini menjadi syari’at

karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi

berubah, maka tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika ḥijāb sudah

tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantinya

dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini. 13

Setiap perempuan dapat memaknai hal ini sesuai dengan kebiasaan atau adat

istiadat. Ḥijāb sifatnya sangat kontekstual, bisa memakai kerudung atau pun

pakaian tertutup yang pantas bagi perempuan. Namun jika tujuan memakai ḥijāb

adalah untuk menjaga kehormatan, maka penutup yang hakiki adalah harga diri

dan rasa malu seorang perempuan, bukan pada selembar kain. Tidak ada

hubungan antara kehormatan perempuan dan ḥijāb. Masalah ini hanyalah tradisi,

tidak lebih. Dari sini penulis ingin membahas pemaknaan ḥijāb yang

12 Feminis Mesir abad 19, pemikirannya tentang kesetaraan perempuan tertuang dalam

magnum opus-nya Qasim Amin yaitukarya Taḥrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadīdah. Dalam

menyusun gagasan-gagasan pemikirannya, ia lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan

menggunakan piranti-piranti sosial dan data empirik dari interaksi dengan masyarakat. Lih. M.

Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 58-78. 13 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 60.

Page 16: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

7

diartikulasikan secara kontekstual oleh Fatima Mernissi. Pembahasan ini tentunya

bertujuan memahami lebih dalam persoalan ḥijāb yang menjadi polemik bagi

perempuan Muslimah.

Selama ini pandangan agama tentang relasi laki-laki dan perempuan yang ada

sampai sekarang kurang menguntungkan perempuan. Ḥijāb yang mengatur fungsi

biologis dan hubungan kemitraan laki-laki dan perempuan yang terdapat dalam

Q.S. al-Aḥzāb [33]: 59, 53 kini dimaknai sebagai perangkat nilai yang kemudian

diartikulasikan sebagai pakaian, tabir, dan etika. Sementara ajaran-ajaran Islam

tidak dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Pemikir pembaharu Islam yang memiliki perhatian terhadap permasalahan

ḥijāb adalah Fatima Mernissi, seorang perempuan Muslimah Maroko pakar

sosiologi yang mengamati masalah gender dalam kehidupan umat Islam.14 Dia

terlahir dari latar belakang keluarga dengan tradisi harem, kemudian dewasa

menjadi feminis Islam Arab dan sebagai representasi dari kaumnya yang

mengamati dan merasakan langsung persoalan perempuan khususnya di

negaranya. Mernissi berusaha untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks-

teks agama yang telah mengakar kuat patriarki dengan metode historis–kritis-

kontekstual seperti dalam persoalan ḥijāb.

Dalam Q.S. al-Aḥzāb [33]:59, Muslimah diwajibkan mengulurkan ḥijābnya

ke seluruh tubuh mereka, begitu juga ayat sebelumnya Q.S al-Aḥzāb 33:53.

Menurut Fatima Mernissi, dengan meneliti asbāb al-nuzul-nya bahwa ayat ini

bukanlah untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan, karena ayat

14 Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSPPA,

2000), h. 107-108.

Page 17: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

8

ini turun berkaitan dengan peristiwa ketika Nabi menikah dengan Zaynab ibn

Jahsy. Nabi merasa terganggu oleh beberapa sahabat yang tidak segera pulang

setelah menghadiri pernikahannya. Kegelisahan Nabi tersebut akhirnya dijawab

dengan turunnya Q.S. al-Aḥzāb [33]:53.15

Bila ayat ini diteliti secara cermat, menurut Mernissi, sebenarnya penekanan

Allah dalam ayat ini adalah tentang kebijaksanaan. Nabi ingin mengajarkan

kepada para sahabat beberapa aspek sopan santun yang tampaknya belum

membudaya, misalnya bila memasuki rumah, maka harus meminta izin. Para

sahabat terlihat sangat terbiasa mengunjungi rumah Nabi, tanpa formalitas

apapun. Begitu juga dapat dipahami, rumahnya mudah dikunjungi oleh umatnya

tanpa terjadinya pemisahan antara kehidupan pribadi dengan ruang publik. Namun

faktanya, hal itu telah dipalingkan menjadi suatu pemisahan antara laki-laki dan

perempuan dalam memainkan peran domestik dan publik.16 Mernissi berusaha

melakukan pembacaan baru terhadap interpretasi para ulama klasik, yang

menurutnya menunjukkan dominasi patriarki.

Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan

mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya. Penutupan rambut

perempuan dengan ḥijāb dan pengucilan perempuan dari masyarakat bukan

merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat

patriarki, karena tidak satu pun dalam nas yang tegas menyebutkan batas aurat

perempuan.

15 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik, terj. M. Masyhur

Abadi (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 108. 16 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 130.

Page 18: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

9

Fatimah Mernissi mencoba merekontruksi terhadap makna ḥijāb, sebab

konstruski sosial yang melatarbelakangi pemaknaan sempit terhadap arti ḥijāb

membuat perempuan menjadi terkungkung, setidaknya Fatima Mernissi ingin

membangun sebuah interpretasi baru terkait makna ḥijāb ini. Berdasarkan

pemikiran di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang

ḥijāb dalam pandangan Fatima Mernissi. Maka dari itu penulis akan mengambil

judul “Ḥijāb Dalam Konsep Feminisme Fatima Mernissi”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak melebar jauh dari pembahasan, maka

penulis membatasi permasalahan pada dimensi ḥijāb sosial-historis-kontekstual

dan metodologis yang ditawarkan Fatima Mernissi. Sedangkan rumusan masalah

dalam penelitian ini dibentuk dalam pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana

konsep feminisme Fatima Mernissi tentang ḥijāb?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang, batasan dan rumusan masalah yang tertuang di

atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Fatima Mernissi

tentang ḥijāb dengan pendekatan historis-sosiologis dan metodologinya.

Manfaat penelitian ini secara teoritis atau akademis diharapkan dapat

memperluas kajian tentang ḥijāb dalam konsep feminisme Fatima Mernissi.

Sehingga tidak hanya mengetahui ḥijāb dari sisi teologisnya saja, tetapi juga dari

dimensi sosiologis-historis, sehingga penelitian ini melahirkan pembelajaran dan

kritik konstruktif.

Page 19: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

10

D. Tinjauan Pustaka

Fatima Mernissi merupakan seorang feminis Arab Muslim terkenal yang

sangat produktif karya tulisnya, baik persoalan gender maupun sosial politik.

Karyanya banyak mendeskripsikan kegelisahan intelektual Fatimah Mernissi

terhadap fenomena disparitas dan bias jender di dunia Islam. Dari beberapa

pemikirannya membuat banyak orang ingin mengetahui dan mengkaji lebih

dalam. Ada beberapa studi penelitian yang membahas pemikirannya, di antaranya:

1. Elistiawaty Ruhiyat, “Konsep Harem dalam Novel Perempuan-Perempuan

Haremku Karya Fatima Mernissi”, (Skripsi: Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta,

2006). Dalam kesimpulannya tertuang, konsep harem yang dibangun Mernissi

dalam novel ini adalah harem domestik dengan citra positif. Harem domestik yang

sebenarnya lebih mirip sebuah keluarga besar tanpa budak maupun kasim dengan

penjaga dan pelayan biasa. Dulu harem dikenal sebagai tempat mewah bagi para

pemimpin istana. Eksistensi harem sengaja diperuntukkan pengekangan

perempuan dari aktifitas dengan dunia luar, maka harem tetaplah sebuah produk

institusi budaya patriarki yang menindas perempuan dengan menggunakan doktrin

Islam sebagai legitimasi atas munculnya sistem kehidupan harem. Menurut

Mernissi, mengubah citra harem dapat dimulai dengan menggunakan kekuatan

mimpi dan kata-kata. Mimpi yang ekpresikan melalui kata-kata memiliki

kekuatan untuk mempermudah jalan menggapai kebebasan, keadilan, dan

kebahagian perempuan harem. Dengan begitu perempuan harem tidak lagi merasa

terbatas karena tembok besar, tetapi justru dapat menciptakan suatu kebebasan

dan kebahagian yang dimaknai sendiri.

Page 20: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

11

2. Ni’matul Husna, “Biografi Intelektual Seorang Fatima Mernissi”, (Skripsi:

Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). Dalam skripsi ini, penulis

menjelaskan biografi salah satu feminis Arab Muslim generasi pertama, Fatima

Mernissi. Awal kehidupannya dari balik tembok harem, kesadaran feminisnya

yang muncul pada saat kanak-kanak setelah mengikuti sekolah al-Qur’ān. Karena

keingintahuannya, saat dewasa ia mulai mencari sebab kontruksi sosial tentang

perempuan yang dianggapnya misoginis. Ia berusaha untuk hijrah menuju

kebebasan berpikir sehingga mendapati penafsiran perempuan yang tidak bias

gender.

3. Ria Indah Areta, “Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Islam, Studi

Pemikiran Fatima Mernissi dan Siti Musda Mulia.” (Skripsi: Fakultas Ushuluddin

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008). Dalam kesimpulannya tertuang,

perempuan dan laki-laki adalah setara. Perempuan memiliki hak sama dengan

laki-laki, yaitu boleh menduduki jabatan sebagai pemimpin. Memegang jabatan

dan ikut di panggung perpolitikan, perempuan dinilai lebih maju dan berpengaruh.

Dengan hak kesetaraan laki-laki dan perempuan maka terbuka lebar bagi

perempuan untuk berkiprah di kepemimpinan politik.

4. Mohammad Syafi’ie, “Seks dan Seksualitas dalam Islam, Studi atas

Pemikiran Fatima Mernissi.” (Skripsi: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2009). Hasil penelitiannya menyatakan, secara kodrati, manusia

adalah makhluk seks. Seks dan seksualitas inhern dalam diri manusia sehingga

dapat dikatakan bahwa manusia adalah representasi dari gejolak seks dan

seksualitas itu sendiri. Wacana seksualitas Fatima Mernissi menjadi barometer

Page 21: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

12

sendiri dalam menilai seks dan seksualitas modern dengan berpedoman kepada

Islam sebagai agama dan wacana.

Dari beberapa penelitian di atas, belum ada penelitian yang mengaji

pemikiran Fatima Mernissi tentang ḥijāb, oleh karena itu penelitian ini berbeda

dari penelitian-penelitian sebelumnya.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library

research), dengan bersumber dari bahan-bahan tertulis yang dipublikasikan dalam

bentuk buku atau kitab, majalah, jurnal, dan lain-lain yang dianggap representatif.

Dalam pelaksanaannya sumber data dibagi dalam 2 kategori, yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer meliputi buku, jurnal, atau

artikel tentang Mernissi. Sementara data sekunder berupa kamus, ensiklopedi dan

media elektronik, sebagai bahan pengayaan dan mempertajam analisis.

Teknik pengolahan data dilakukan dengan cara deskriptif-analitis, yaitu

mendeskripsikan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian dianalisis agar

mudah dikomparasikan dengan data-data yang lain untuk menemukan jawaban

yang dapat mendekati persoalan yang dikemukakan.17

Sesuai dengan kategori kepustakaannya, penelitian ini bersifat kualitatif.18

Penelitian ini juga menggunakan content analysis yakni metode untuk

mengungkap isi sebuah buku dan pemikiran Fatima Mernissi dengan

mendasarkan pada prinsip-prinsip konsistensi dan memperhatikan koherensi

internal pernyataan-pernyataan, gagasan-gagasan, dan data-data.

17 Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito Press, 1994), h. 139. 18 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 117-20.

Page 22: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

13

Teknik penulisan pada penelitian ini juga mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiyah tahun 2007 yang diterbitkan oleh penerbit CeQda.

Adapun transliterasi menggunakan Jurnal Ilmu Ushuluddin diterbitkan oleh

HIPIUS tahun 2013.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah mencari laporan penelitian ini perlu adanya sistematika

penulisan. Skripsi ini terbagi dalam lima bab yang tersusun secara sistematis, tiap-

tiap bab memuat pembahasan yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu kesatuan

yang saling berhubungan, secara sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

Bab I, hal ini untuk mengetahui latar belakang masalah munculnya pemikiran

tentang ḥijāb, lebih lanjut rumusan dan batasan masalah yang menjadi minat

penulis, tidak ketinggalan juga tujuan dan manfaat penulisan, serta data-data yang

sejauh penulis ketahui untuk melakukan dimana posisi di antara penelitian-

penelitian tersebut, yang diangkat dalam sub-sub bab.

Bab II, terdiri dari biografi latar belakang keluarga dan pendidikan Fatima

Mernissi, kondisi sosial dan politik Maroko, kemudian metodologi pemikiran

Fatima Mernissi serta karya tulisnya. Hal ini perlu diketahui karena yang nantinya

akan sangat mempengaruhi terhadap hasil penafsiran serta metode yang

ditawarkan Fatima Mernissi.

Bab III, merupakan pengawal dari perjalanan penelitian ini, yakni tinjauan

umum dengan memaparkan pengertian ḥijāb, ḥijāb dalam sejarah, dan konstruksi

pemaknaan ḥijāb dalam Islam.

Page 23: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

14

Bab IV, merupakan bagian sentral penelitian ini, yakni dengan menuliskan

hasil analisis penulis tentang ḥijāb dalam konsep Fatima Mernissi dengan

pendekatan historis-sosiologis beserta metode yang ditawarkan Fatima Mernissi.

Kemudian penelitian ini ditutup oleh Bab V yang merupakan kesimpulan dari

penelitian tentang pemikiran Mernissi tentang ḥijāb serta saran yang diharapkan

sekiranya untuk menyempurnakan penulisan penelitian ini.

Page 24: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

15

BAB II

BIOGRAFI FATIMA MERNISSI

A. Riwayat Hidup

Fatima Mernissi lahir pada tahun 1940 M di Fez, Maghribi yang sekarang

dikenal dengan nama Maroko.1 Ayahnya merupakan seorang nasionalis yang

berjuang melawan penjajahan Prancis, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga

yang tidak bisa membaca dan menulis. Mernissi sangat dikenal luas oleh kalangan

feminis, karena ia merupakan perempuan Muslim pertama di Timur Tengah yang

sukses dalam membebaskan dirinya dan kaum perempuan dari isu tentang kesetiaan

dan pengkhianatan kultural. Masa kecil Mernissi sangat berpengaruh dan

membekas dalam perjuangan pembelaannya terhadap perempuan. Ia tinggal dan

dibesarkan dalam sebuah harem2 bersama ibu, nenek, bibi dan saudara perempuan

lainnya. Sebuah ruangan tembok yang dijaga ketat seorang penjaga pintu agar

perempuan-perempuan itu tidak keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan

dilayani oleh pelayan perempuan.

Saat usia 3 tahun, Mernissi mulai mengikuti kegiatan belajar al-Qur’ān bersama

sepuluh sepupunya kepada Lala Tam.3 Lala Tam selalu membawa cemeti panjang

saat mengajar. Dan jika salah membaca cemeti siap menyentuh kulitnya, sehingga

1 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, Penj. Ahmad Baiquni (Bandung:

Mizan, 2008), h. 4. 2 Harem adalah variasi kecil dari kata haram, yang dilarang, lawan dari halal, yang

diperbolehkan. Harem adalah tempat yang di dalamnya seorang laki-laki melindungi keluarganya,

seorang/beberapa istrinya, anak-anaknya, dan saudara perempuannya. Harem bisa berbentuk rumah

atau tenda, dan menunjukkan tempat dan orang yang tinggal di dalamnya. 3 Sekolah al-Qur’ān merupakan satu-satunya jenjang pendidikan prasekolah yang bisa

dimasuki oleh-anak-anak. Mereka sudah mulai belajar di sana sejak usia 3 tahun. Setelah belajar

selama tiga tahun, mereka sudah pandai menulis menggunakan smagh (tinta khusus berwarna

madu), dan yang sangat istimewa adalah mereka sudah mampu mengembangkan daya ingat yang

sangat kuat.

Page 25: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

16

Mernissi menuruti semua ucapannya tentang semua hal. Seperti yang kutip dalam

bukunya, sekolah tempat ia mempelajari al-Qur’ān sangat keras dalam menerapkan

disiplin. Semua murid diwajibkan mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan

tepat dan benar, yang diiringi dengan nada (al-Qur’ān al-Nagham). Terkadang

alunan lafal ayat-ayat al-Qur’ān tersebut diikuti dengan gerakan tubuh yang

seimbang. Sementara itu, penjelasan makna dari ayat-ayat yang dipelajari tidak

begitu diperhatikan, hal itu karena gurunya juga belum berani melangkah lebih jauh

untuk menjelaskannya.

Menjadi Muslim berarti menghormati ḥudūd. Dan bagi anak kecil,

menghormati ḥudūd berarti mematuhinya. Pendeknya, ḥudūd adalah batasan apa

saja yang dilarang guru. Dan sejak saat itu, menemukan batas (ḥudūd) menjadi

pencarian dalam perkembangan usia Mernissi. Batas kali pertama yang ia ketahui

adalah pintu depan, yang memisahkan ruang keluarga dan halaman utama.4

Mernissi tidak diperbolehkan keluar halaman pada pagi hari sampai ibunya

terbangun. Ia akan asyik bermain sendiri sejak pukul 6-8 pagi tanpa membuat

keributan. Bermain al-sāriyah bi al-jālas (tamasya sambil duduk) dan memandangi

langit-langit dari halaman adalah pengalaman yang sangat menyenangkan baginya.5

Mernissi lahir sebagai anak pertama, ia lahir pada tahun dan tanggal yang

berdekatan dengan Samir, sepupu laki-lakinya. Ketika akan dilaksanakan acara

syukuran kelahiran Samir, Ibu Mernissi mendesak Bibi dan saudara-saudaranya

untuk mengadakan syukuran seperti yang dilakukan untuk Samir, yakni dengan

perayaan tradisional you-you-you-you.6 Ibunya menolak superioritas laki-laki dan

4 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 15. 5 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 16-17. 6 You-you-you-you adalah nyanyian para perempuan untuk merayakan peristiwa-peristiwa

yang menggembirakan, sejak kelahiran hingga perkawinan.

Page 26: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

17

menganggapnya sebagai hal yang kurang baik dan bertentangan dengan Islam.

Menurut ibunya, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sederajat.7 Sistem

patriarki dalam masyarakat Arab sudah sangat mengakar kuat. Padahal ini bertolak

belakang dengan sikap Nabi terhadap perempuan yang begitu arif, terbuka dan

toleran.

Layaknya anak kecil pada umumnya, Samir kecil selalu menjahili Mernissi

sampai berteriak dan menangis meminta tolong ibunya. Sehingga timbul

kekhawatiran ibunya jika suatu saat nanti Mernissi tumbuh menjadi seorang

perempuan yang terlalu penurut dan karena itu ibunya berkonsultasi kepada Nenek

Yasmina,8 yang tak tertandingi dalam menyatakan perlawanan.9

Menurut Nenek Yasmina, ada banyak cara untuk membangun kepribadian yang

kuat. Salah satunya adalah kemampuan untuk merasakan tanggug jawab atas orang

lain. Bersikap agresif dan menyerang tetanggamu ketika dia melakukan kesalahan

hanyalah salah satu cara, dan itu bukan cara yang terbaik. Memberi seorang anak

tanggung jawab terhadap anak-anak yang lebih muda di halaman bermain berarti

memberinya ruang untuk membangun kekuatan. Bergantung kepada Samir dalam

menjaga diri tidak juga salah, tapi jika dia dapat menunjukkan bagaimana

melindungi orang lain, dia tentu dapat melindungi diri sendiri.10 Di kesempatan

lain, Nenek Yasmina berpesan kepada Mernissi agar tidak boleh mau menerima

perlakuan yang tidak sama karena itu tidak logis. Jika kita Muslim, semua orang

7 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 22-23. 8 Nenek Mernissi dari pihak ibu. 9 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 23-24. 10 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 24.

Page 27: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

18

adalah sama, Allah dan Nabi pun mengatakan begitu.11 Islam itu egaliter, laki-laki

dan perempuan sama mulianya.

Bersama ibunya, Mernissi kecil kadang mengunjungi harem Nenek Yasmina,12

mereka berbicara banyak tentang batasan, ketakutan dan perbedaan. Yasmina tahu

banyak tentang rasa takut, dan semua bentuk ketakutan. Ia takut Maroko tidak akan

berubah, dan perempuan kehilangan hak-haknya. Kadang Nenek Yasmina

mengatakan, terkungkung di harem berarti seorang perempuan telah kehilangan

kebebasan untuk bergerak.13 Sebenarnya harem tidak butuh tembok. Sekali kita

tahu apa yang dilarang, berarti kita telah memiliki harem di dalam diri, di dalam

benak.14 Dari sini dapat disimpulkan bahwa embrio pemikiran feminis Mernissi

sangat dipengaruhi oleh Nenek Yasmina, ia tumbuh menjadi gadis yang sangat

kritis terhadap persoalan-persoalan di sekelilingnya. Perjalanan masa kecil

Mernissi sangat mempengaruhi dan membekas dalam perjuangan pembelaannya

terhadap perempuan.

Seperti yang kita ketahui, masalah yang dihadapi perempuan saat ini adalah

bahwa mereka tidak berdaya. Dan ketidakberdayaan ini muncul dari kebodohan dan

kurangnya pendidikan.15 Ketika otoritas religius di Masjid Qaraouiyine, termasuk

Fquih Mohammed al-Fassi dan Fquih Moulay Belarbi Alaoui, dan dengan

dukungan Raja Mohammed V, bahu-membahu mendukung kaum nasionalis untuk

11 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 44. 12 Suami Nenek Yasmina adalah Kakek Tazi, ia memiliki 9 isteri di sebuah harem pedesaan

yang luas dan tanpa batas tembok. Dengan ladang yang terbuka terdapat perkebunan dan

peternakan, semua isterinya bebas melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan laki-laki seperti,

bercocoktanam, beternak bebek, menunggang kuda, dan berenang. Di rumah neneknya ini, Mernissi

mendapat pengalaman berharga tentang kesetaraan sesama manusia, arti keterkungkungan dalan

harem, serta hubungan sebab akibat antara kekalahan politik yang dialami kaum Muslim dengan

keterpurukan yang dialami perempuan. 13 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 52. 14 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 85 15 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 219

Page 28: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

19

membuka lembaga-lembaga pendidikan bagi anak-anak perempuan. Mereka

mendukung hak perempuan untuk pergi ke sekolah, dan mengakhiri pemingitan

terhadap perempuan. Dengan keputusan keluarga besarnya, Mernissi dan sepupu-

sepupu perempuannya diberi izin untuk memulai sekolah nasional Moulay Brahim

Kettanin yang letaknya beberapa meter dari rumahnya.16

Tamat dari sekolah al-Qur’ān, Mernissi melanjutkan ke sekolah menengah. Di

sana, di samping belajar al-Qur’ān, ia juga ditambah dengan pelajaran agama

lainnya, sejarah, hadits dan yang lainnya. Pada kesempatan inilah, Mernissi mulai

berkenalan dengan hadits-hadits Nabi Saw. Pada umumnya, hadits yang diajarkan

bersumber dari kitab Shahih Bukhari. Dari beberapa hadits yang disampaikan,

ternyata ada satu Hadits yang sangat melukai hatinya. Misalnya hadits tentang

perempuan yang disamakan dengan hewan:

Seperti dikisahkan oleh para guru kepada kami, membuat hati saya terluka.

Katanya Nabi mengatakan: “Anjing, keledai, dan perempuan akan

membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka, menyela

di antara orang yang shalat dan arah kiblat.” Perasaan saya amat terguncang

mendengar hadits itu, dan hampir tidak pernah mengulanginya dengan

harapan kebisuan akan membuat hadits ini terhapus dari ingatannya. Saya

bertanya: bagaimana mungkin Nabi mengatakan hadits semacam ini, yang

demikian melukai saya ...? Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih, bisa

begitu melukai perasaan gadis cilik, yang di saat pertumbuhannya berusaha

menjadikannya sebagai pilar-pilar impian-impian romantisnya.17

Begitu juga hadits tentang kepemimpinan perempuan, yang membuat Mernissi,

merasa terbungkam, terpojok, dan hancur perasaannya setelah mendengarnya.

Dorongan untuk melacak hadits itu terlontar dari pemilik warung langganan

tetangga sebelah yang ia tanyai. Bisakah seorang perempuan menjadi pemimpin

masyarakat Islam? Pemilik warung begitu kaget dengan pertanyaan Mernissi dan

16 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 252-253. 17 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1994), hal. 82.

Page 29: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

20

hampir menjatuhkan setengah lusin telur yang akan Mernissi beli. Lalu kemudian

pemilik warung berkata: “Saya berlindung kepada Allah”. Seorang pembeli juga

berkata: “Semoga Allah melindungi kita dari fitnah zaman!”. Kemudian pemilik

warung yang ada disebelahnya mengutip hadits: “tidak akan selamat suatu kaum

yang dipimpin oleh perempuan”.18

Menurut Mernissi, peristiwa seperti pedagang yang ditemuinya menunjukkan

hadits “pemimpin perempuan” ini sudah sangat tertanam dalam benak umat Islam.

Oleh karena itu, ketika ada perempuan yang memimpin menjadi ramai

diperdebatkan, seperti kasus Benazir Bhutto yang waktu itu menjadi Perdana

Menteri di Pakistan. Padahal al-Qur’ān sudah mengungkapkan dengan jelas kisah

Ratu Bilqis, perempuan yang menjadi penguasa.19

Kegelisahan yang dialami menuntut Mernissi mencari jawabannya dengan

metode riset pustaka teks-teks keagamaan, seperti al-Qur’ān, hadits, manuskrip, dan

buku-buku kuning lainnya. Hasil risetnya, Mernissi menggambarkan bahwa ajaran

agama bisa dimanipulasi. Mernissi pun percaya bahwa penindasan terhadap

perempuan adalah semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama

Islam. Mernissi sangat berani dan tidak takut membongkar tradisi yang dianggap

sakral oleh masyarakat selama ini.

Pelacakan Mernissi terhadap nash-nash suci, baik al-Qur’ān maupun hadits

didasari pada pengalaman individu ketika berhubungan dengan masyarakat. Dalam

beberapa karyanya, Mernissi juga mencoba menunjukkan bahwa kekurangan-

kekurangan yang ada dalam pemerintah Arab, bukanlah karena secara inheren

18 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia

Ilmu, 1997), h. v. 19 Fatima Mernissi, Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam, dalam

Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, h. 157.

Page 30: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

21

ajaran-ajaran religius yang notabene menjadi Undang-Undang Dasar pemerintah

tersebut cacat. Namun karena ajaran agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang

berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Hanya saja dalam beberapa hal,

Mernissi membela negara Arab, ketika negara-negara ini disorot dan dicitrakan

negatif oleh media Barat. Misalnya ketika Arab atau Islam diidentikkan dengan

terorisme oleh Barat, maka Mernissi memberikan pembelaan bahwa Arab atau

Islam bukanlah teroris.

Mernissi telah melewati harem dengan dilewatinya berbagai jenjang

pendidikan. Ini juga menjadi bukti dari keberhasilannya melewati batas-batas

harem yang selalu ia tanyakan sejak kecil. Mernissi melanjutkan pendidikan di

Universitas Muhammad V Rabat dan mendapatkan gelar di bidang politik.

Kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Sorbone, Paris. Disana Mernissi

bekerja sebagai jurnalis. Selesai dari Paris, ia melanjutkan studinya untuk meraih

gelar doktor bidang sosiologi di Universitas Brandels, Amerika Serikat pada tahun

1973. Disertasinya, Beyond the Veil, menjadi buku teks yang menjadi rujukan

dalam pustaka Barat.20

Pada tahun 1974-1980, dia kembali ke Maroko untuk mengajar di

almamaternya sebagai profesor dalam bidang sosiologi, dan bekerja di lembaga

penelitian Moroccan Institut Universitaire de Recherche Scientifique di Rabat. Di

samping itu, dia juga sering mengikuti konferensi-konferensi dan seminar-seminar

internasional. Selain menjadi profesor di almamaternya sendiri, dia juga pernah

menjadi profesor tamu pada Universitas California di Berkeley dan Universitas

20 Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 156, dalam “Kiai Husein Membela Perempuan”, M.

Nuruzzaman (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 79.

Page 31: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

22

Harvard. Selain itu, ia juga bertindak sebagai konsultan di United Nation Agencies,

dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan, serta sebagai anggota Pan Arab

Woman Solidarity Association.21 Karena kegemilangannya dalam memperjuangkan

hak-hak perempuan, Mernissi pernah meraih penghargaan dari Prince of Astutias

Award.22

Sekarang ini kehidupan semakin terbuka untuk perempuan, karena kaum

nasionalis menuntut diselenggarakannya pendidikan bagi mereka dan diakhirinya

pemingitan terhadap perempuan. Perjalanan hidup Mernissi di dunia internasional

cukup banyak, Asia, Eropa, dan Amerika telah dia singgahi. Dari perjalanan

tersebut, banyak hal-hal positif yang dialaminya, sesuatu yang belum pernah dilihat

dan dialaminya selama berada di negeri kelahirannya sendiri. Seperti ketika kuliah

di Amerika dia melihat betapa menariknya Islam bagi masyarakat minoritas

Amerika, sesuatu yang tidak pernah dilihatnya di Maroko. Islam yang berkembang

di sana berbeda dengan Islam yang ada di Maroko. Islam di sana sudah lama

menawarkan ide tentang persamaan hak dan solidaritas. Sementara itu di Maroko

hal seperti itu masih jauh dari kenyataan.23

Hal di atas membuktikan bahwa agama tidak menjadi penghalang bagi mereka

untuk menuju masyarakat yang modern. Disana para perempuan Yahudi dan

Kristen, dapat menikmati hak asasi mereka secara penuh. Bahkan, hal itu mendapat

akses kepada tradisi keagamaan. Dari pengalaman di atas, Fatima mencoba melihat

ke dunianya sendiri, dunia Timur yang notabene beragama Islam, khususnya

21 Fatima Mernissi, Setara Di Hadapan Allah (Yogyakarta: LKiS, 2000), pada bagian

biografi. 22 Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Haremku, h. 4. 23 Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi Antologi Ketakutan, (Yogyakarta: LKiS, 1994)

h. 131.

Page 32: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

23

Maroko. Mengapa perempuan-perempuan Maroko hampir sama sekali tidak bisa

menikmati hak asasi mereka secara penuh? Apakah karena mereka beragama Islam

atau merupakan korban dari kepentingan kelompok elite tertentu? Dia sangat yakin

bahwa hal itu terjadi bukanlah karena agama, melainkan oleh kepentingan

kelompok elite tertentu. Dia juga begitu yakin bahwa agama Islam sangat

menghormati hak-hak asasi manusia. Islam datang dengan membawa dan

menawarkan ide tentang persamaan, bukan perbedaan atau diskriminasi.

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh pergolakan pemikiran, Mernissi telah

membuktikan bahwa didikan ibu dan neneknya telah membuahkan hasil. Di

samping itu, ada juga karena jasa kaum nasionalis yang membolehkan kaum

perempuan mengikuti pendidikan sekolah. Meski begitu, Mernissi mengakui bahwa

banyak impian nasionalisme Arab belum semua terwujud. Poligami belum dilarang,

perempuan belum mencapai status yang setara dengan laki-laki dan demokrasi

belum menjadi sistem dominan di dunia Arab. Sesuatu yang penting bagi orang-

orang tak berdaya adalah mimpi. Ibu-ibu harus mengajarkan anak-anaknya untuk

bermimpi, karena mimpi memberi kesadaran akan arah hidup yang harus dicapai.

Pada 30 November 2015 Mernissi meninggal dunia dalam usia 75 tahun di

sebuah klinik di Rabbat, Maroko.24 Pada perjalanan hidupnya, Mernissi menjadi

sosok yang menginspirasi untuk berani melakukan kritik dan memberikan alternatif

penafsiran terhadap tafsir-tafsir al-Qur’ān dan hadits yang merugikan perempuan.

Gagasan dan pemikiran Mernissi tidak hanya menjadi inspirasi di Maroko, tapi juga

menyebar ke banyak negara lainnya, termasuk Indonesia.

24 http://www.jpnn.com/read/2015/12/01/341982/Fatima-Mernissi-Meninggal-Dunia- ,

diakses pada 5 Januari 2016.

Page 33: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

24

B. Kondisi Sosial dan Politik Maroko

Kondisi sosial politik Pasca Perang Teluk terjadi, belahan benua Afrika

khususnya di Tunisia, Maroko dan Aljazair, para perempuan meneriakan

kekhawatirannya lebih keras ketimbang di negara lain. Mereka sering kali berperan

sebagai pengambil inisiatif pertama untuk turun jalan menuntut perdamaian.

Dengan kondisi seperti itu, Mernissi menilai bahwa masih lebar jurang

ketidakadilan gender dalam masyarakat dan pemerintahannya. Kesadarannya pada

ketidakadilan gender dalam dunia Islam diungkapkan dalam bukunya yang berjudul

Beyond The Veil Male-Female Dynamic in Modern Muslim Society. Mernissi

mengungkapkan:

“Pada prinsipnya, ajaran Islam mengajarkan persamaan kedudukan antara laki-

laki dan perempuan. Ketidaksamaan yang muncul kemudian bukanlah

bersumber dari suatu ideologi yang membenarkan sifat inferioritas perempuan,

melainkan akibat dari lembaga-lembaga sosial tertentu yang dibentuk untuk

membatasi kekuatannya, yang di dalamnya termasuk pemisahan dan

subordinasi legal dalam struktur keluarga.”25

Mernissi pernah menulis bahwa budaya masyarakat Maroko diidentikkan

dengan memandang sebelah mata terhadap perempuan. Misalnya, mencintai

seorang perempuan secara umum digambarkan sebagai suatu penyakit mental,

suatu keadaan jiwa yang cenderung merusak diri sendiri. Bahkan, mereka

menyatakan bahwa tatanan masyarakat muslim sesungguhnya menghadapi dua

ancaman, yaitu orang-orang kafir dari luar dan kaum perempuan dari dalam.

Budaya seperti ini, menurutnya, jelas telah merendahkan dan menghina kodrat dan

25 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat

Muslim Modern (Surabaya: Al-Fikr, 1997).

Page 34: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

25

martabat kaum perempuan, yang secara potensial diciptakan sama dengan laki-

laki.26

Mernissi juga mengkritik UU Negara Maroko tentang poligami, yang secara

implisit memberikan peluang sangat besar terhadap laki-laki untuk beristri lebih

dari satu. Padahal, al-Qur’ān secara tegas menjelaskan bahwa untuk berpoligami

ada syarat yang harus dipenuhi yaitu berlaku adil. Tujuan al-Qur’ān mewajibkan

syarat itu adalah untuk membatasi poligami tersebut.27

Kritikan lainnya yaitu terhadap UU yang mengatur hubungan suami istri.

Berdasarkan UU Maroko tahun 1957, telah ditetapkan hak dan kewajiban masing-

masing antara suami dan istri. Namun, dalam implementasinya terlihat bahwa

suami tidak memiliki kewajiban moral terhadap istrinya. Istri tidak bisa

mengharapkan kesetiaan dari suaminya. Apa yang dia harapkan dari suaminya

adalah perintah, dan apa yang dapat dia berikan adalah ketaatan. Hal ini ditekankan

dan dibenarkan oleh tatanan sosial yang mendorong suami untuk memerintah

istrinya dan bukan untuk mencintainya.28 Budaya lain yang juga berkembang di

Maroko adalah larangan terhadap perempuan untuk ikut terlibat dalam ruangan atau

tempat kerja yang hanya disediakan untuk laki-laki. Jika dia memasuki ruangan

atau tempat kerja tersebut, maka dia dianggap telah merusak tatanan kehidupan

laki-laki. Bahkan, secara ekstrim, mereka mengatakan bahwa perempuan itu telah

merusak tatanan Allah dengan mengundang laki-laki untuk melakukan perbuatan

jahat. Dengan kehadirannya, seorang laki-laki bisa kehilangan segalanya,

26 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat

Muslim Modern (Surabaya: Al-Fikr, 1997), h. 43. 27 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 43. 28 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 109-110.

Page 35: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

26

ketenangan jiwa, penuntun diri, prestasi sosial, serta kesetiaan kepada Allah.29

Sebenarnya masih banyak contoh-contoh ketidakadilan gender yang berkembang

di Maroko khususnya, dan dunia Islam umumnya, yang kesemuanya itu, menurut

Mernissi, bersumber dari tradisi keislaman yang sesungguhnya sudah tidak aktual

lagi untuk saat ini.

Dengan kondisi seperti itu, menurutnya diperlukan suatu usaha untuk

melakukan rekonstruksi terhadap lembaga-lembaga sosial tersebut agar persamaan

peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dapat diakui,

sebagaimana ajaran Islam. Hal ini dikarenakan penghormatan demokratis terhadap

pribadi manusia tanpa memandang jenis kelamin, ras, dan status merupakan inti

dari ajaran Islam.30 Dalam usahanya Mernissi sering terlibat banyak pertemuan

dengan para intelektual dari semua aliran bersama-sama mengambil posisi

menentang perang dan misi perdamaian.31 Dengan penuh kejujuran Mernissi

banyak mengkritik budaya patriarki yang sudah berkembang lama di Maroko.

Diakui bahwa pembaharuan-pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan

pada tahun 1992 telah memperbaiki citra itu, namun prinsip-prinsip mendasar yang

dilukiskan oleh Fatima Mernissi terus bercokol. Kemudian Mernissi meratapi

kesengsaraan perempuan Muslim Arab dan merangkum pengaruh Islam dan

patriarkalisme atas kehidupan perempuan.32 Fatima Mernissi mengungkapkan

situasi di Maroko:

Apa yang terjadi dan masih menjadi isu besar di Maroko bukan ideologi

inferioritas perempuan, melainkan seperangkat hukum dan adat yang menjaga

agar status perempuan tetap berada di bawah. Yang pertama adalah hukum

29 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 144. 30 Fatima Mernissi, Seks dan Kekuasaan, h. 19. 31 Fatima Mernissi, Islam dan Ontologi ketakutan Demokrasi, h. 4 32 Ghada Karm, “Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme” dalam Feminisme dan Islam (Ed.

Mai Yamani) (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000), h. 104-105.

Page 36: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

27

keluarga yang didasarkan pada otoritas laki-laki. Walaupun banyak pranata

telah dilepaskan dari kontrol hukum-hukum agama (misalnya

perjanjian/kontrak bisnis), tetapi hukum keluarga tidak... Maroko mengklaim

dirinya sebagai negara modern, Arab dan Muslim.... Sebagai modern, Maroko

adalah penanda tangan Deklarasi HAM PBB yang Pasal 16-nya menyatakan

bahwa “laki-laki dan perempuan, tidak pandang ras, bangsa dan agama, yang

telah mencapai usia baligh, mempunyai hak untuk nikah dan membangun

keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama mengenai status yang berkenaan

dengan pernikahan, dalam pernikahan dan pembubarannya.”

Dari yang telah dipaparkan di atas, Mernissi berpendapat bahwa salah satu

faktor yang menghambat kemajuan umat Islam selama ini adalah orientasi yang

berlebihan terhadap masa lalu, yang kemudian diproyeksikan pada persoalan

kekinian, sehingga dapat menghambat munculnya pemikiran-pemikiran baru. Oleh

karena itu, untuk melepaskan diri umat Islam dari kungkungan masa lalu diperlukan

reinterpretasi terhadap tradisi-tradisi keislaman tersebut.33

C. Metodologi Pemikiran Fatima Mernissi

Gerakan feminisme Muslim muncul didasari atas kesadaran perempuan akan

pembatasan pada dirinya karena gender, dan berbagai ketidakadilan terhadap

perempuan yang merupakan kontruksi budaya masyarakat patriarki. Berbeda

dengan feminisme Barat, feminisme Islam dalam mencari formula penyetaraan hak

laki-laki dan perempuan dalam segala bidang, mengacu kepada sumber utama

ajaran Islam.34 Yaitu: pertama dengan merujuk kembali pada ayat-ayat al-Qur’ān

untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam cerita-cerita yang berkembang di

antara kaum muslim. Superioritas kaum laki-laki dalam religi yang sering dikaitkan

dengan cerita Hawa yang mudah digoda oleh iblis, misalnya, ditinjau ulang dan

33 Nurul Agustina, Tradisional Islam dan Feminisme, dalam Ulumul Qur’an, (Edisi Khusus

5 Tahun No. 5 dan 6 Vol. V tahun 1994), hal. 55. 34 Lia Kurniawati, “Feminisme Islam” dalam Membincangkan Feminisme: Diskursus

Gender dalam Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hal. 54.

Page 37: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

28

menghasilkan kesimpulan cerita yang sesungguhnya berbeda. Kedua, dengan

merujuk ayat-ayat yang sesungguhnya dengan jelas menekankan pada kesetaraan

laki-laki dan perempuan, dan digunakan untuk menentang interpretasi yang

menekankan sebaliknya. Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang ayat-ayat

yang selama ini kerap dikutip sebagai sumber justifikasi ketidakadilan relasi

gender.

Tujuan utama dari gerakan femenisme Islam adalah untuk menempatkan posisi

perempuan menjadi mitra sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan

tanpa menghilangkan kodrat keperempuanannya. Dengan begitu dapat tercapai

tujuan mengoptimalkan potensi dan kemampuan perempuan sesuai dengan kodrat

yang telah diberikan Allah Swt. kepadanya. Hal ini sesuai dengan kitab suci umat

Islam yang sesungguhnya membebaskan perempuan.

Menurut Mernissi agama harus dipahami secara progresif untuk memahami

realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai

pembenar kekerasan. Sudah berabad-abad kaum Muslim membaca teks al-Qur’ān

secara bias. Mereka juga yakin bahwa teks-teks sekunder seperti kompilasi hadits

dan kitab-kitab fiqh mengandung banyak muatan yang sesungguhnya bertentangan

dengan semangat teks al-Qur’ān yang membebaskan perempuan. Menghindari hal-

hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik

dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduk antara yang profan dan yang

sakral, antara Allah dan kepala negara, antara al-Qur'ān dan fantasi-fantasi imam

harus didekonstruksi.35

35 Fatima Mernissi, Setara di Hadapan Allah, h. 123.

Page 38: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

29

Dalam melakukan kritik terhadap hadits-hadits misoginis36, Mernissi

melakukan metode kritik historis dan metodologis. Pertama, pendekatan historis,

untuk meneliti kapan hadits itu diriwayatkan oleh Nabi, siapa dan kapan hadits itu

diriwayatkan kembali oleh rawi pertama. Pada pendekatan ini, Mernissi menyoroti

perawi pertama dari hadits, baik dalam hal kredibilitas maupun intelektualitasnya.37

Tentu ini merupakan suatu hal yang tidak biasa dalam dunia hadits, karena

kebanyakan ulama hadits selalu melewatkan perawi pertama yang notabene adalah

sahabat dan merasa cukup dengan slogan “setiap sahabat itu adil”. Lebih penting

lagi, pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran

sosiologis di sekitar hadits, sehingga akan dengan mudah untuk melanjutkan

kajiannnya pada pendekatan yang kedua. Kedua, yaitu pendekatan metodologis

lebih melihat kepada bagaimana proses komunikasi terjadi, kapasitas intelektual

dan moral. Hal ini sejalan dengan syarat-syarat perawi yang telah diajukan oleh

Imām Mālik. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa hadits itu tidak

hanya milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang sekarang juga masih terus

meyakini hadits misoginis tersebut.

Seperti pada penafsiran hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan

perempuan, yang menurutnya rangkaian sanadnya, yaitu Abū Bakrah harus diteliti

latarbelakang kehidupannya. Di samping itu, kecurigaannya terhadap tindakan

diskriminatif Abū Hurayrah terhadap perempuan, juga harus diteliti kembali.38

Metode kritik Mernissi pada hadits misoginis tentang kepemimpinan

perempuan nampaknya dipengaruhi oleh al-Ghazāli, yang pemahamannya

36 Pandangan kebencian terhadap perempuan 37 Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, h. 74. 38 Fatima Mernissi, Setara Di Hadapan Allah, h. 204.

Page 39: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

30

dikaitkan dengan al-Qur’ān Surat al-Mu’minūn (23): 23, yang bercerita tentang

Ratu Saba. Mernissi menyimpulkan bahwa al-Qur’ān sebagai kitab suci yang

bersumber dari wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadits yang hanya

berupa pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan

perkataan yang bersumber dari Nabi.39

Selain itu, pola pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri juga amat mempengaruhi

pemikirannya, yang menyebutkan karyanya Nahnu wa al-Sarwa dan Taqwīn al-

‘Aql al-‘Arabi. Al-Jabiri mengkritik kaum Muslim dan para politisi Arab tidak bisa

secara adil dalam bersikap terhadap perubahan yang terjadi. Pemikiran masyarakat

Arab harus dirubah dalam menyikapi kemajuan dan modernisme, terutama dengan

berubah metode berfikirnya.40 Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernissi

berusaha membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks

sosialnya. Mernissi berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik berupa

penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān, hadits-hadits misoginis yang dimuat dalam Shahīh

al-Bukhāri dan Shahīh Muslim ataupun karya-karya lain seperti Tārīkh al-Thabāri,

syarah Shahīh al-Bukhāri yaitu Fath al-Bārī, al-Isabah fī Tamyīz al-Shahābah,

Thabaqāt al-Kubrā karya ibn Sa’ad, Sīrah karya ibn Hisyam dan lain-lain.41

Dengan menganalisis terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas

metode yang digunakan adalah historis-sosiologis, dengan menggunakan analisis

hermeneutik, atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan hermeneutik hadits.

Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras untuk

membongkar hadits-hadits yang bernuansa misoginis. Pendekatan hermeneutik,

39 Fatima Mernissi, Setara di hadapan Allah, h. 204. 40 Fatima Mernissi, Wanita Dalam Islam, h. 17-25. 41 Fatima Mernissi , Wanita Dalam Islam, h. 269-279.

Page 40: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

31

yang digunakan oleh Mernissi adalah untuk mengkritisi ayat-ayat al-Qur’ān dan

hadits-hadits misogini. Dia mengungkapkan latar belakang historis terhadap hadits-

hadits misogini berikut tentang kualitas perawinya untuk menemukan makna

sesungguhnya dari teks tersebut.

Mernissi juga menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’ān seperti dalam

surat al-Ahzāb: 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga ḥijāb.

Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki yang boleh

memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut

Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna

berdasarkan konteks historisnya.42 Pemahaman yang demikian ini, nampaknya

dipengaruhi oleh pemikiran Qāsim Amīn, yang menurutnya penutupan wajah

dengan cadar dan pengucilan perempuan dari masyarakat bukan merupakan sejarah

Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak

satu pun dalam nash yang tegas menyebutkannya.43

Menurut Mernissi, jika Surat al-Ahzāb: 53 dibaca secara cermat, maka akan

didapatkan pemahaman bahwa penekanan Allah dalam ayat ini adalah soal

kebijaksanaan. Nabi ingin mengajarkan kepada para sahabat beberapa aspek sopan

santun yang tampaknya belum membudaya, misalnya bila memasuki rumah, maka

harus meminta izin.44 Berdasarkan fenomena ḥijāb tersebut, menurut Mernissi

dapat diambil pengertian bahwa para sahabat nampaknya amat terbiasa

mengunjungi rumah Nabi, tanpa formalitas apapun. Begitu juga dapat dipahami,

rumahnya gampang dikunjungi oleh umatnya tanpa terjadinya pemisahan antara

42 Fatima Mernissi, Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik, h. 107 - 130. 43 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66-67. 44 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, h. 117.

Page 41: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

32

kehidupan pribadi dengan ruang publik.45 Dengan pemahaman ini, sebenarnya

tidaklah terjadi pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam memainkan peran

domestik dan publik. Dapat disimpulkan dari pemikiran-pemikirannya, Mernissi

menggunakan pendekatan historis-sosiologi. Pemikiran Mernissi tentang ḥijāb akan

dibahas pada bab berikutnya.

D. Karya-karya

Selama ini Mernissi diketahui sebagai penulis dan pemikir produktif. Karya-

karya Mernissi sarat dengan pengalaman individualnya. Setidaknya pengalaman

individualnya itulah yang memacunya untuk melakukan riset historis-sosiologis

tentang sesuatu yang dirasa mengganggu paham agamanya. Hampir semua

bukunya bicara tentang isu perempuan dalam Islam dan kritiknya pada dominasi

laki-laki. Karyanya dalam beberapa bahasa seperti, Prancis dan Arab sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Berikut beberapa uraian

dari karya Mernissi:

Karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah Beyond the

Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society (Indian University Press/

al Saqi) yang diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia berjudul Seks dan

Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Muslim Modern (Surabaya:

Al-Fikr, 1997). Buku ini merupakan hasil penelitiannya terhadap perempuan

Maroko tentang batas-batas seksual perempuan. Sehingga, seakan-akan pergulatan

intelektual dan pengalamannya itu yang ia tuangkan dalam karya-karyanya, bisa

menjadi representasi persoalan perempuan Islam pada umumnya. Beyond The Veil

45 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 129.

Page 42: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

33

adalah disertasinya yang menjadi buku teks dan menjadi rujukan dalam pustaka

Barat.

Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik yang diterjemahkan dari

judul The Veil and the Male Elite, buku ini kemudian ia revisi menjadi Women and

Islam: a Historical and Theological Enquiry dan telah diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia, Wanita dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994).

The Forgotten Queens of Islam (Ratu-ratu Islam Yang Terlupakan), buku ini

ditulis karena kekhawatiran Mernissi terhadap sejarah yang melarang perempuan

menjadi pemimpin, seperti kasus yang cukup hangat dibicarakan kemenangan

Benazir Bhutto pada tahun 1988 yang ditentang oposisinya, Nawaz Syarif. Syarif

merasa tidak senang dengan proses pemilihan tersebut yang dimenangkan oleh

seorang perempuan sehingga dengan lantang dia berteriak, “Sungguh mengerikan!

Belum pernah sebuah Negara Islam diperintah oleh seorang perempuan. Dengan

mengutip Hadits, dia dan para pendukungnya, mengutuk peristiwa tersebut sebagai

pelanggaran terhadap hukum Islam. Kemudian Mernissi menyimpulkan pertanyaan

apakah ada perempuan yang memimpin negara selama kurun waktu 622-1989 M?

Atau di masa itu sudah ada, namun telah dihapuskan dari sejarah resmi? Lalu

Mernissi mencari jawabannya dengan metode riset pustaka. Ratu-ratu itu mulai

muncul sedikit demi sedikit dari halaman yang telah menguning dalam buku-buku

kuno. Penelitiannya mengungkapkan ternyata banyak ratu-ratu perempuan yang

memainkan peran amat menonjol dalam masyarakat Muslim.

Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi, yang diterjemahkan dari judul Islam

and Democracy Fear of the Modern World, buku ini menguraikan tentang semangat

pembebasan dan misi perdamaian pasca Perang Teluk. Upaya untuk pencarian

Page 43: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

34

kembali kepribadian bangsa yang tercabik, meskipun itu bukan hal sederhana.

Sistem sosial politik demokrasi yang sudah dijalankan negara Barat memberikan

kehidupan yang merdeka, bebas, dan bertanggung jawab, namun tidak

menghentikan peristiwa runtuhnya Tembok Berlin. Dengan begitu upaya

pencapaian perdamaian di negeri Arab apakah harus berubah menjadi sistem yang

berdemokrasi? Mernissi menyadari, banyak impian pembebasan Arab belum

terwujud. Perempuan belum mencapai status yang sama seperti laki-laki dan

demokrasi belum diterima sebagai sistem sosial politik di dunia Arab. Menurutnya

dibutuhkan semacam sains untuk mendeteksi kepalsuan-kepalsuan itu.

Women’s Rebellion & Islamic Memory / Die Vergessene Macht: Frauen Im

Wandel Der Islamischen Welt, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah

Muslim, menguraikan tentang penolakan kaum perempuan pada masa Pasca Perang

Teluk terhadap aturan-aturan bersifat Islam politis yang dibuat oleh pemimpin

Muslim maupun gerakan konservatif keagamaan, seperti misalnya hukum ḥijāb

ataupun cadar. Atas pemahaman mereka, perempuan harus menyembunyikan

rambut dan wajah, berjalan secara tidak berlebihan dengan pandangan mata tertuju

ke lantai, mulut terkunci, dan kembali ke wilayah domestik serta menahan diri

untuk tidak ikut campur dalam masalah publik. Perempuan dianggap kelompok

yang mudah untuk dimanipulasi sebab mereka tidak terorganisasi sehingga tidak

memiliki kekuatan. Jelas ini sebagai serangan kuat terhadap demokrasi. Padahal

masih banyak masalah sosial yang harus segera ditangani misalnya penentasan buta

huruf, marginalisasi ekonomi perempuan, dan ledakan demografi yang tak

terkontrol. Bukan hanya terfokus pada menganjuran pemakaian ḥijāb dan cadar.

Page 44: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

35

Mernissi mengkhayalkan suatu dunia yang lebih baik dengan pendidikan

perempuan yang lebih dan pola pikir yang maju, seperti dalam sub bab buku ini,

“Menulis lebih baik daripada operasi pengencangan kulit wajah”. Dan tentunya,

buku ini bukan membicarakan seorang perempuan yang membuat keputusan untuk

dirinya sendiri, tanpa adanya tekanan dari seorang politisi atau suami, untuk

mengenakan kain di atas kepalanya, dan menutupi rambut serta wajahnya.

Dreams of Trespass: Tales of Harem Girlhood / Dreams of Trespass: Tales of

a Harem Gurlhood diterbitkan di Inggris dengan judul The Harem Within

(Perempuan-perempuan Harem), novel autobiografi yang menceritakan kisah masa

kecil Fatima Mernissi, dimana ia dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga

dengan tradisi harem bersama saudara perempuan, ibu, bibi dan neneknya. Harem

yang dimaksud Mernissi adalah ruang yang disediakan khusus untuk sebuah

keluarga besar perempuan dengan segala aktifitas domestiknya namun dibatas oleh

tembok. Sangat jelas dalam novel ini siapa yang mempengaruhi jalan pikir Mernissi

kecil menjadi seorang feminis, yaitu ibu dan neneknya. Dihadapkan dengan

pengalaman dan pemahaman ajaran Islam yang dirasa sangat patriarki, membuka

jalan pikirnya untuk mengetahui akar permasalahan perempuan Muslim. Novel ini

begitu menakjubkan bahkan telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa.

Setara Di Hadapan Allah, buku ini merupakan kumpulan artikel pilihan karya

Fatima Mernissi dan Riffat Hasan. Kedua penulis ini berusaha membongkar dasar-

dasar teologis yang kurang berpihak terhadap perempuan bukan hanya masalah

sejarah khayalan, penafsiran al-Qur’ān, pengembangan sistem hukum dan proses

penggambaran surga di dunia Islam yang sejak lama menjadi monopoli kaum laki-

laki. Dengan digerakkan oleh suatu kepercayaan dan cinta mendalam kepada Islam,

Page 45: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

36

mereka menggagas suatu konsep teologi yang ramah terhadap perempuan. “Teologi

Feminis”, yaitu teologi dari sudut pandang perempuan, sebagai tandingan teologi

tradisional yang dikuasai laki-laki. Ini merupakan sebuah buku telaah kritis yang

dilakukan keduanya memiliki arti penting dalam upaya pemecahan persoalan

perempuan Muslim.

Karya lainnya antara lain, Doing Daily Battle: Interviews With Moroccan

Women diterbitkan oleh Women’s Press / Rutgers University Press. Tulisan

artikelnya seperti: Virginity and Petriarchy, yang disunting oleh Azizah al-Hibri

dalam bukunya Woman dan Islam; Zhor’s World: A Moroccan domestic Worker

Speaks Out; Woman and the Impact of Capitalist Development in Marocco; dan Le

Marocco Reconte Par Ses F emmes.

Page 46: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

37

BAB III

ḤIJĀB

A. Pengertian Ḥijāb

Ḥijāb memiliki banyak pengertian dari sudut pandang yang berbeda. Secara

etimologis, ḥijāb yang dianggap sebagai materi memiliki arti kain panjang yang

dipakai perempuan untuk menutup kepala, bahu, bahkan ada yang sampai wajah.

Dari sudut pandang ḥijāb sebagai ruang (leksikal) ḥijāb adalah “penutup”, dalam

arti “menutupi” atau menyembunyikan atau menyamarkan”. Memisahkan atau

menyembunyikan sesuatu yang ada dibaliknya. Ḥijāb juga diartikan sebagai

“satr”.1 Suatu ruang yang disembunyikan dengan ḥijāb “berarti ruang terlarang”.

Ḥijāb merupakan konsep kompleks yang secara bertahap mengembangkan

sekumpulan makna-makna.2

Sementara dari sudut pandang keagamaan, ḥijāb adalah pemingitan, penutup.

Pengasingan diri dari kehidupan dunia dan kebutuhan seksual. Ḥijāb dari sudut

pandang komunikatif adalah menyembunyikan sesuatu, penyamaran, disamarkan,

ketidaktampakkan.

Dalam Q.S al-Ahzāb [33]:55 sendiri menyebut kata ḥijāb untuk tirai, pembatas,

penghalang, dan penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi,

memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu

dengan yang lain tidak melihat atau memandang.3 Dalam konteksnya ḥijāb sering

1 Satr merupakan istilah Arab yang merujuk pada jilbab, gorden, dan kehormatan. Bentuk

kata kerjanya berarti membentengi, menjaga, menutupi, melindungi, mengenakan jilbab. 2 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta), h. 244. 3 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren,

(Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 207.

Page 47: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

38

kali dipahami sebagai jilbab yang sebenarnya berbeda. Meski demikian keterangan

tentang ḥijāb maupun jilbab saling berkaitan. Oleh karenanya, sekarang ini kata

ḥijāb dan jilbab dipakai untuk makna yang sama.

Ḥijāb dan jilbab keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala dan

tubuh perempuan.4 Akar kata ḥijāb bermula dari kata “ḥajaba” yang berarti

menyembunyikan ruang, memisahkannya dengan tirai atau perbatasan simbolis.5

Seperti yang dikemukakan Murtadlā Muthahharī, ḥijāb pada masa sekarang

menunjukan kepada arti penutup yang digunakan oleh perempuan. Selain bermakna

pakaian, ḥijāb bisa juga bermakna tirai dan pemisah. Maksudnya adalah pemisah

pergaulan antara laki-laki dan wanita.6

Sedangkan secara terminologis, ḥijāb berarti pakaian perempuan Islam untuk

menutupi aurat.7 Sebagaimana dalam Q.S al-Ahzāb [33]:53, ḥijāb dalam ayat ini

menunjukkan arti penutup yang ada di dalam rumah Nabi Saw sebagai sarana untuk

menghalangi atau memisahkan ruang kaum laki-laki dari kaum perempuan agar

mereka tidak bercampurbaur. Sebelum ayat ini turun, rumah Nabi sangat terbuka

untuk siapa saja laki-laki dan perempuan. Tetapi suatu saat keadaan ini

mengganggu privasi isteri nabi, maka turunlah ayat tersebut. Umar bin Khattab lah

yang meminta Nabi membuat “ḥijāb”.8

Pada intinya Q.S al-Ahzāb [33]:53 membahas privasi rumah dan keluarga Nabi

serta status khusus isteri-isterinya dalam dua sisi, sebagai isteri-isteri Nabi dan

4 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, h. 207. 5 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita!, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1999),

h. 106. 6 Murtadlā Muthahharī, Cadar Tuhan: Duduk Perkara Ḥijāb Perempuan (Jakarta: Penerbit

Citra, 2012), hal. 76. 7 Murtaḍā Muṭahharī, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah

Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1990) h. 34. 8 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim, (Jakarta: Gema

Insan Press, 2000), h. 85-86.

Page 48: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

39

sebagai pimpinan yang memiliki akses informasi dan kebijakan Islam yang makin

dicari oleh para sahabat. Oleh karenanya, diperlukan untuk melindungi hak-hak

perempuan akan privasi dengan mengatur perilaku para sahabat Nabi yang

memasuki wilayah perempuan. Dan ayat ini tidak berisi tentang pakaian

perempuan.9

Penekanan pada ayat ini adalah pada status khusus yang dimiliki oleh isteri-

isteri Nabi. Akan tetapi interpretasi mayoritas ulama fiqih kemudian perintah itu

diberlakukan juga terhadap umatnya. Perempuan yang berjalan tanpa ḥijāb, tanpa

penutup wajah dianggap keluar dari batas-batas dan norma-norma. Mereka

dianggap tidak terlindungi karena mereka meninggalkan batas-batas harem,

wilayah terlarang, terlindungi dan juga karena mereka pergi ke daerah yang bukan

milik mereka. Daya tarik seseorang yang mengetahui dirinya cantik, mempercantik

diri, bersolek dan berjalan-jalan di jalan raya tanpa ḥijāb sambil menggoyang-

goyangkan pinggulnya merupakan serangan (tabarruj).10 Berjalan-jalan dengan

bebas tanpa penutup wajah dianggap memamerkan diri terhadap yang lain dan

menggoda laki-laki.

Quraish Shihab sebagaimana dalam bukunya Jilbab, bahwa ḥijāb pada awalnya

diartikan sebagai tabir, yakni sesuatu yang menghalangi antara dua hal. Namun

dalam perkembangannya beliau memahami kata ḥijāb sebagai pakaian karena

tujuan dari penghalangan yang dimaksud adalah tertutupnya seluruh badan wanita.

Sehingga beliau mengartikan bahwa ḥijāb yang dimaksud adalah jilbab yang

merupakan pakaian wanita muslimah yang menutup auratnya, tidak ketat dan tidak

9 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 246. 10 Fatima Mernissi, Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi (Yogyakarta: LKiS, 1994), h.

10-11.

Page 49: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

40

transparan.11 Syaikh Imad Zaki al-Barudi mengartikan ḥijāb itu sebagai tabir.

Adapun perkara jilbab, beliau mengartikannya sebagai pakaian wanita yang punya

kaitan dengan kewajiban wanita muslimah untuk menjaga dirinya dan tidak

menampakkan perhiasan. Jilbab menurutnya adalah baju besar yang menutupi

seluruh tubuh perempuan kecuali matanya, sebab dengan terlihatnya mata dia bisa

melihat.12

Menurut Qasim Amin, cendekiawan Mesir, mengatakan bahwa tidak ada suatu

ketetapan agama yang mewajibkan pakaian khusus (ḥijāb atau jilbab). Pakaian yang

dikenal dalam masyarakat Islam itu menurutnya adalah adat kebiasaan yang lahir

akibat pergaulan masyarakat Mesir dengan bangsa-bangsa lain yang mereka anggap

baik, karena itu mereka menirunya dan menilainya sebagai tuntutan agama. Ia juga

membolehkan perempuan menampakkan bagian tubuhnya dihadapan orang yang

bukan mahramnya, sebab al-Qur’ān tidak secara jelas menentukan bagian mana

yang tidak boleh ditampakkan.13

Ḥijāb dengan begitu pada mulanya bukanlah satu bentuk pakaian tertentu yang

dikenakan kaum perempuan. Akan tetapi dialektika sosial kemudian telah

melahirkan terminologi ḥijāb sebagai pakaian sebagaimana jilbab atau popular

disebut busana muslimah sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini. Dalam

banyak buku berbahasa Arab kontemporer dan secara sosiologis (dalam percakapan

sosial sehari-hari di dunia Arab), kedua kata ini: ḥijāb dan jilbab lalu dipahami

secara campur aduk.

11 Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 187. 12 Syaikh Ahmad Zaky al-Barudy, Tafsir Wanita (dikutip dari Bukhari: 4793 dan Muslim

1428) (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 632. 13 Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, h. 187.

Page 50: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

41

Menurut Mir Hosseini mengutip dari buku Fadwa el-Ghuindi, jilbab merupakan

metafora yang penuh kekuatan, sanggup mengayomi berbagai makna dan

membentuk banyak fungsi.14 Ḥijāb juga bisa menjadi suatu tanda ekslusivitas,

status, keistimewaan, dan privasi.15

Menurut Soekarno dalam Panji Islam tahun 1940, Islam is progress, Islam itu

kemajuan. Ajarannya sesuai dengan kemajuan zaman dan dinamika masyarakat

yang selalu berubah.16 Islam selalu membuka peluang bagi perempuan untuk

menikmati kemajuan dan berkembang. Islam datang dengan membawa dan

menawarkan ide tentang persamaan, bukan perbedaan atau diskriminasi.

B. Ḥijāb dalam Sejarah

Menurut antropolog budaya Arab, Sumanto al-Qurtuby, ḥijāb merupakan

“kebudayaan sekuler”. Manusialah yang membuat pakaian itu beragama. Tradisi

berbusana menutup aurat bagi perempuan atau katakanlah “tradisi berḥijāb” sudah

dipraktekkan jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 M. Bahkan konsep ḥijāb

dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi

(Yahudi dan Nasrani). Sejarah berḥijāb itu misalnya sudah ditemukan pada abad

ke-13 SM di sebuah teks hukum di Suriah. Memakai ḥijāb pada waktu itu terbatas

untuk perempuan elit “bangsawati” sekaligus untuk membedakan dengan

“perempuan biasa”. Kebudayaan Yunani kuno juga mempraktekkan tradisi ḥijāb

ini. Di zaman peradaban Helenisme Yunani, patung juga mengenakan penutup

kepala dan bahkan wajah. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones, begitu pula

Homer, sastrawan kuno kondang dari Yunani, penulis Odyssey, juga

14 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 278. 15 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, h. 47. 16 Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Gramedia, 2011) h. xi.

Page 51: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

42

mengonfirmasi tentang penggunaan ḥijāb ini di zaman Yunani kuno. Bedanya

dengan “Suriah kuno” adalah di Yunani kuno, praktek berḥijāb bukan hanya untuk

“kelas elit” tapi juga perempuan biasa.17

Islam tidak menciptaan atau memperkenalkan kebiasaan berḥijāb. Kebiasaan

berḥijāb telah ada pada masa pra-Islam. Perempuan Yunani dan Romawi

mengḥijābi diri mereka ketika berada di ruang publik dengan mengulurkan pakaian

bagian atasnya menutup kepala dan melintasi wajahnya.

Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu

juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai

pada abad pertengahan, khususnya abad ke-12 M, dan sampai pada abad ke-13 M.

Hanya saja, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan

kemodernan maka adat ini pun, di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya

menjadi punah.18

Ḥijāb sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian

berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).

Ketentuan penggunaan ḥijāb sudah dikenal di beberapa kota tua seperti

Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan

ḥijāb di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh

menggunakannya. Perkembangan selanjutnya ḥijāb menjadi simbol kelas

menengah atas masyarakat kawasan itu.19

Ketika ada debat masalah ḥijāb di Perancis tahun 1989, Maxime Rodinson,

seorang ahli Islamologi terkemuka dari Perancis, mengingatkan bahwa di Assyiria,

17 https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts 18 https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts 19 Nasharuddin Umar, Fiqih Wanita untuk Semua (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h.

25.

Page 52: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

43

2000 tahun SM, ada larangan untuk berḥijāb bagi pelacur. Dan dua abad setelah

Masehi, Tertullien, seorang penulis Kristen yang apologetik, menyerukan agar

semua perempuan berḥijāb atas nama “kebenaran”.20

Dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijāb berawal dari dosa

asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah

membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta

kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai ḥijāb tetapi juga

mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.21

Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan

antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah

peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai

wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari

daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa

ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh

wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Tradisi ḥijāb (veil)

dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab,

bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel,

seperti Rebekah yang mengenakan ḥijāb berasal dari etnis Mesopotamia di mana

ḥijāb merupakan pakaian adat di sana. Ḥijāb yang semula tradisi Mesopotamia-

Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-

Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara

20 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. xix. 21 Nong Darol Mahmada, Ijtihad Islam Liberal dalam “Kritik Atas Jilbab”, (Jakarta: JIL,

2005), h. 130.

Page 53: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

44

dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu

kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.22

Berbeda dengan konsep ḥijāb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam,

ḥijāb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam

konsep Islam, ḥijāb dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya

sendiri-sendiri. Aksentuasi ḥijāb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke

persoalan substansi ajaran. Pelembagaan ḥijāb dalam Islam didasarkan pada dua

ayat dalam al-Qur’ān yaitu Q.S. Al-Ahzāb [33]: 59 dan Q.S. An-Nūr [24]: 31.23

Ḥijāb diletakkan di antara masalah pakaian, tubuh, dan kebudayaan. Dalam

perjalanan sejarah masyarakat Timur, ḥijāb bagi kaum perempuan sangat

memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada.

Pada periode-periode tertentu dalam sejarah, perempuan tersembunyi dari

publik dan terpingit dalam harem. Namun, hal itu hanya terjadi pada perempuan

elit, karena pria dari kalangan jelata tidak dapat hidup tanpa bantuan pasangannya

untuk kesejahteraan bersama. Laki-laki miskin tidak mampu membeli budak untuk

membantu dan menjaga istrinya, atau menjaga di rumah ketika ia pergi ke pasar.

Karena itu, mayoritas perempuan dibiarkan tidak terkurung, atau sesungguhnya,

terḥijāb. Institusi harem baru muncul pada masa Abbasiyyah dan khalifah Harun

al-Rasyid yang meniru kebiasaan Sasaniyyah. Ayat al-Qur’ān yang menyatakan

bahwa laki-laki harus berbicara dengan isteri Nabi dari balik ḥijāb, selubung, layar

atau tirai, meskipun sebenarnya hanya diterapkan pada isteri Nabi, dipakai alasan

ditetapkannya harem sebagai suatu institusi. Argumen yang terasa bagus bahwa apa

22 Fadwa el-Ghuindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan, h. 51-56 23 Nong Darol Mahmada, Ijtihad Islam Liberal, h. 130.

Page 54: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

45

yang baik bagi para istri Nabi baik juga bagi perempuan Muslim lainnya digunakan

di sini. Para istri Nabi dalam hal ini berfungsi sebagai role mode (model peran).

Selanjutnya, ayat-ayat al-Qur’ān yang berhubungan dengan cara berbusana

hanya menyatakan bahwa perempuan harus menutupkan ḥijābnya, dan baik laki-

laki maupun perempuan harus menutupkan tutup kepala mereka dan berpakaian

sopan. Hanya dalam wacana tafsir, yaitu interpretasi yang dibuat oleh para ulama

laki-laki, dengan menggunakan kumpulan sabda Nabi oleh Bukhari dan Muslim

sebagai dalil bagi pendapat merekalah kita menemukan satu perkataan Nabi di

mana beliau menyetujui – dengan diamnya – pakaian perempuan yang menutupi

seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Meskipun banyak yang telah

dilakukan Bukhari dan Muslim untuk menyelidiki kutipan yang diriwayatkan oleh

serangkaian periwayat sesuatu yang diduga keras pernah disabdakan oleh Nabi,

namun harus diingat bahwa mereka menulis karyanya dua abad setelah Nabi wafat,

dan manusia cenderung melakukan kealfaan. Sesuatu yang mempunyai nilai sangat

penting diulang-ulang dalam al-Qur’ān, sehingga jika busana perempuan itu kurang

penting maka al-Qura’an tidak akan menyatakannya dengan jelas dalam batas-batas

pasti.24

Berḥijāb dalam kebudayaan Arab kontemporer merupakan identitas serta

kerahasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Menurut Fadwa, kesopanan dan

pemingitan bukanlah karakterisasi yang sesuai dengan fenomena yang tampak di

Timur Tengah.25

24 Affaf Lutfi al-Saayid-Marsot, “Feminisme dan Islam,” dalam Dua Perempuan

Wirausaha, hal 53-54. 25 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 17

Page 55: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

46

Ḥijāb di Timur Tengah dipandang sebagai unsur dari rangkaian ideologis antara

praktik dan lembaga yang membentuk jalinan kompleks ḥijāb-harem-budak-

pemingitan-poligami. Jalinan kompleks itu dihadirkan sebagai kenyataan yang

telah ada sejak ribuan tahun silam, tersebar dalam peradaban Persia, Mesopotamia,

Helenis, dan Bizantium.26

Dalam penelitian yang dilakukan Laela Ahmed mulai tahun 1982 sampai 1992

tentang benda-benda historis kuno dan modern yang kemudian memiliki

kesimpulan bahwa Islam tidak memperkenalkan ḥijāb. Pemingitan dan jilbab

merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tidak diketahui pada masa

Nabi Muhammad Saw. Tetapi Ahmed kemudian beranjak dari asal-usul menuju

institusionalisasi (pelembagaan) yang menyatakan bahwa, lepas dari kehadirannya

selama beberapa milenium di wilayah Mesopotamia/Mediterania (bukan Arab),

ḥijāb tampaknya tidak dilembagakan sampai Islam mengadopsinya, bahwa ḥijāb

terbukti sangat cocok dengan Islam.27

Di Persia pada zaman dahulu berḥijāb merupakan simbol stratifikasi sosial

kaum perempuan. Hukum ini menyatakan perempuan mana yang harus dan tidak

harus memakai ḥijāb. Perempuan yang berasal dari kelas bangsawan diharuskan

memakai ḥijāb. Para perempuan pelayan harus mengenakan ḥijāb juga ketika

mereka mengiringi perempuan bangsawan. Ḥijāb dianggap sebagai sarana untuk

meningkatkan status perempuan dan menunjukkan ekslusivitas kelas.28

Mirip dengan Yunani pedesaan kontemporer sebagaimana dijelaskan dalam

etnografi, Ahmed menulis, “Laki-laki dan perempuan mempunyai kehidupan yang

26 Laela Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 17-

18. 27 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 38 28 Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 44.

Page 56: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

47

terpisah, laki-laki dalam wilayah publik, sementara perempuan ‘terhormat’ tinggal

di rumah. Perempuan diharapkan dapat membatasi diri mereka sendiri dalam

lingkungannya dan mengelola rumah tangganya. Pakaian yang dikenakan untuk

menyembunyikan diri mereka dari mata laki-laki asing. Masyarakat Hellenis

dihadirkan di sini sebagai masyarakat yang memiliki hierarki gender dan asimetris

dalam wilayah ideologi dan sosial.29

Muhammad Syahrur30 mengatakan bahwa ḥijāb hanyalah bias budaya, sebab

pada masa turunnya ayat itu perbudakan masih ada. Sehingga untuk membedakan

antara wanita merdeka dan hamba sahaya adalah dengan menggunakan ḥijāb.

Konsekuensi dari pembedaan pakaian itu bukan merupakan beban syari’at bagi

perempuan, tetapi lebih sebagai standar kesopanan yang dituntut oleh pola

kehidupan sosial di mana pola itu berubah, maka standar tersebut turut berubah

pula. Dengan melihat pada konteks masa lalu yang pada awalnya perempuan

merdeka memakai pakaian seperti hamba sahaya, lalu Allah menyuruh isteri-isteri

kaum muslimin untuk mengulurkan ḥijāb mereka sampai benar-benar menutupi

aurat mereka. Hal ini berarti bahwa ḥijāb diterapkan sebagai media preventif dalam

kondisi khusus ketika perempuan merdeka memasuki lingkungan sosial di kota.

Baik Islam maupun Kristen menyediakan sistem moral untuk menanggulangi

tingkah laku yang melanggar dan tidak benar yang mengancam tata tertib sosial

moral: Kristen memilih jalur deseksualisasi kehidupan dunia; sedangkan Islam

memilih menerima lingkungan seksual sembari menciptakan tata tertib sosial untuk

mengaturnya.

29 Laela Ahmed, Wanita & Gender dalam Islam, h. 28. 30 Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Ed. Sahiron Syamsudin

(Yogyakarta: el SAQ, 2008), h. 507-509.

Page 57: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

48

C. Konstruksi Pemaknaan Ḥijāb Dalam Islam

Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia

Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting

tersebut. Pada periode ini, ḥijāb yang tadinya merupakan pakaian pilihan

(occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized), pakaian

wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam

modifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarikh, termasuk

pembakuan standar penulisan (rasm) dan bacaan (qira'at) Al Quran. Disadari atau

tidak, unsur Hellinisme-Persia ikut berpengaruh di dalam modifikasi dan

standardisasi tersebut. Sebagai contoh, riwayat Israiliyat ikut mempertebal jilid

kitab Tafsir al-Thabari yang kemudian menjadi rujukan ulama pada kitab-kitab

tafsir sesudahnya.

Menurut Qasim Amin, norma-norma agama yang bersifat tekstual harus dicari

“celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban ḥijāb bagi kaum perempuan

yang termaktub dalam teks al-Qur’ān bukanlah semata-mata syari’at agama Islam,

bagi Qasim, ḥijāb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-

bangsa Arab kuno. Dalam Islam teori ḥijāb ini menjadi syari’at karena sesuai

dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka

tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika ḥijāb sudah tidak lagi

mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantinya dengan

solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini. 31

31 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 60.

Page 58: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

49

Qasim Amin membagi 2 makna, yakni pertama, ḥijāb secara hakiki, berfungsi

menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan, dan bagi penutup

wajah disebut niqāb (cadar) bagi masyarakat Mesir saat itu, ḥijāb dalam makna di

atas dianggap sebagai syari’at Islam. Kedua, ḥijāb dalam makna mazaji, yaitu

‘penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri.32

Menurut Qasim Amin, masyarakat Arab mempunyai pandangan yang ‘salah

kaprah’ terhadap ḥijāb ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini.

Ḥijāb hanya dianggap sebagai pesan syari’at agama an sich, sehingga agama

dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai ḥijāb. Padahal menurut Qasim, tidak

ada satupun nash-nash sharīḥ yang mewajibkan pemakaian ḥijāb ini. Dalam Q.S

an-Nūr [24]:31, Allah berfirman secara jelas, bahwa kaum perempuan yang

beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya, dan tidak boleh

memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka).33

Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang

mesti terbuka adalah anggota tubuh yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi

sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika pemakaian ḥijāb bertujuan

menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru ḥijāb, dalam makna masyarakat

Mesir di atas lengkap dengan atribut cadarnya yang berpotensi menimbulkan fitnah.

Sebab seorang yang memakai ḥijāb cenderung lebih bebas untuk bertindak

melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai (ini

dikarenakan perempuan yang memakai ḥijāb lengkap dengan cadar susah untuk

dikenali orang, sehingga dia bisa melakukan apa saja tanpa ada yang tahu siapa dia

karena tertutup ḥijāb). Berbeda dengan seorang yang tidak menutupi wajahnya, ia

32 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 65. 33 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66.

Page 59: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

50

akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya karena ia diketahui

atau dikenal wajahnya, sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.34

Kemudian yang menjadi subjek paling kontroversial adalah Q.S al-Nūr

[24]:31. Poin yang kritis pada konteks ini adalah bahwa dengan mencerna ayat ini

secara terpisah, maka makna yang dimaksud akan hilang. Ayat 30 dan 31 mesti

dibaca bersama-sama. Ketika ayat 31 dibaca sendiri, maka terjadi bias dalam

memandang perempuan, karena ada implikasi bahwa hanya mereka dikhususkan

untuk ‘menahan’ atau ‘mengekang’ diri. Faktanya bahwa ayat 30, tertuju pada laki-

laki lebih dahulu. Sebagaimana dalam al-Qur’ān:

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga

pandangannya, dan memelihara kemaluannya...”35

Ayat 31 melanjutkannya dengan tema yang sama:

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga

pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan

perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka

menutupkan kain merudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan

perhiasannya (auratnya)....”

Dengan kata lain, untuk memahami makna komprehensif, kedua ayat tersebut

harus disatukan dan seseorang harus memandang aspek-aspek budaya dan

masyarakat di luar faktor gender. Di samping konsep kultural tubuh dan seksualitas,

ada faktor-faktor privasi, hubungan sosial dan keluarga, tingkat sosial, dan elemen-

elemen yang membangun sebuah komunitas baru.

Ketika kata ini digunakan dalam tempat lain, kata ini lebih mengandung makna

pemisahan daripada kain penutup. Bukti-bukti dalam al-Qur’ān dan dalam wacana

34 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, h. 66-67.

35 Al-Qur’ān al-Karīm al-Nūr [24] ayat 30.

Page 60: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

51

feminis awal, konsep ḥijāb merujuk pada pembagian sakral atau pemisahan antara

dua dunia atau dua ruang.36

Pemakaian ḥijāb yang simbolik dan praktis dan hasil penyelidikannya adalah

gambaran yang sangat berbeda dari apa yang dipersepsikan Barat. Konsep ḥijāb

menunjukkan bahwa perempuan butuh dilindungi.

Fatima Mernissi mengkritik praktik pemisahan perempuan oleh kaum

konservatif sebagai pelembagaan otoritarianisme laki-laki yang dilakukan dengan

memanipulasi teks suci.37 Masalahnya bukan apakah ḥijāb itu islami atau tidak,

seperti disebutkan dalam al-Qur’ān hal itu untuk membedakan perempuan Mukmin

sejak zaman Nabi. Persoalan yang relevan bagi kaum feminis Muslim sekarang ini

adalah unsur pilihan dalam hubungannya dengan busana, dan apakah memilih

berḥijāb atau tidak itu merupakan hak perempuan.38

Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diperintahkan untuk mengenakan

pakaian sederhana dan sopan. Hanya para isteri Nabi ketika bercakap-cakap dengan

laki-laki harus dilakukan dari balik tabir atau tirai, ḥijāb, karena “mereka berbeda

dengan perempuan kebanyakan”. Perbedaan para isteri Nabi dengan perempuan

lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka tidak diperkenankan menikah

dengan laki-laki lain setelah itu.39

Sementara ada suatu masa dalam sejarah di Arab belakangan ini, di mana

perempuan dari kelas atas tidak menutupi wajahnya, sikap mereka terhadap ḥijāb

36 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, h. 251. 37 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik (Surabaya: Dinua

Ilmu 1997), h. 130. 38 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam: Persfektif Hukum dan Sastra (diterjemahkan dari

edisi bahasa Inggris: Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives) (Bandung: Nuansa,

2000), h. 32. 39 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h, 50.

Page 61: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

52

agak mendua. Bahkan sebagian perempuan yang dididik di luar negeri selama

1960-an dan 1970-an, umumnya memandang ḥijāb bukan sebagai pembatasan

tetapi sebagai pemandangan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Ḥijāb, jelas

mereka, ada bagi mereka, ibu serta nenek mereka, tanpa selang yang terjadi di

bawah penjajahan seperti dalam masyarakat-masyarakat Muslim lainnya. Lebih

lanjut mereka berpendapat bahwa ḥijāb adalah busana yang hanya mereka pakai di

luar rumah. Pada suatu tempat dan kesempatan, para perempuan menyimpan

ḥijābnya di pintu rumah yang berkapstok. Jadi ḥijāb dapat disamakan dengan dasi

dan topi di Eropa pada masa yang telah silam.40

Di Jazirah Arab pada masa awal turunnya wahyu, perempuan dari suku-suku

kaya dan berpengaruh berkerudung dan dipingit sebagai tanda perlindungan. Al-

Qur’ān mengakui nilai kesopanan dan menunjukkan pengakuannya lewat

kebiasaan-kebiasaan yang dipraktikkan pada masa itu. Prinsip kesopananlah yang

diutamakan, bukan pemakaian ḥijāb atau pemingitan yang merupakan manfestasi

khas dari konteks masyarakat kala itu. Praktik ḥijāb dan pemingitan ketika itu

merupakan unjuk kesopanan yang dipengaruhi oleh aspek-aspek budaya dan

ekonomi. Bagaimanpun, kesopanan bukanlah hak istimewa bagi kalangan yang

secara ekonomi beruntung: semua perempuan mukmin berhak mendapatkan

penghormatan dan perlindungan penuh atas kesopanan mereka. Kesopanan

bermanfaat untuk menjaga esensi moral tertentu di berbagai budaya. Oleh

karenanya, harus dipelihara—tetapi berdasarkan keimanan, bukan berdasarkan

alasan ekonomi, politik, akses tertentu, atau paksaan.41

40 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 41. 41 Amina Wadud, Qur’ān Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka, 2006) hal.

30.

Page 62: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

53

Menggunakan ḥijāb bagi sekelompok orang kaya bukan lagi sebagai ungkapan

rasa malu perempuan, tetapi sebagai sarana untuk menjaga jarak sosial, meletakkan

penghalang antara perempuan yang memakainya dengan laki-laki atau perempuan

lain yang berhubungan dengannya. Sebagian perempuan menjelaskan bahwa

mereka berḥijāb di negerinya untuk memelihara kehormatan kelompok

patronimiknya, dan bukan untuk menentang penguasa. Jika seseorang perempuan

tidak berḥijāb di depan umum maka penguasa akan menghubungi wali laki-lakinya

yang kehormatannya dianggap tengah dipertaruhkan. Ketika di luar negeri banyak

di antara mereka yang tidak berḥijāb karena, kata mereka, akan lebih mengundang

perhatian ketimbang kesopanan dan kesederhanaan.

Budaya lain yang juga berkembang di Maroko adalah larangan terhadap

perempuan untuk ikut terlibat dalam ruangan atau tempat kerja yang hanya

disediakan untuk laki-laki. Jika dia memasuki ruangan atau tempat kerja tersebut,

maka dianggap telah merusak tatanan sosial.

Ḥijāb dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa

berinteraksi dengan masyarakat. Misalnya dalam hal kriminalitas dan kesaksian di

pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka

lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua pihak yang

berselisih.42

Dengan begitu, etika dan prilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya

dengan pemakaian ḥijāb, karena yang lebih menentukan baik dan tidaknya moral

seseorang adalah nurani dan hatinya, bukan dari penampilan lahiriyah.

42 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 88.

Page 63: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

54

Ḥijāb di Mesir dikenakan oleh para Islamis perempuan karena pilihan. Ḥijāb

memberi mereka keanggotaan klub Islam yang menawarkan secercah harapan di

masa-masa di mana keadaan politik dan ekonomi merosot.43

Wajar dan sopan adalah bukan terminologi agama tetapi terminologi sosial

budaya yang sangat relatif berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Memang

berbeda, dan bukan hanya di dunia Islam.44 Pengungkungan terhadap perempuan

dan konsep ‘kesopanan’ dalam berbusana bagi perempuan Islam dan menyakini hal

itu lebih sebagai persoalan dan masalah kondisi sosial daripada perintah al-

Qur’ān.45

Dalam konteks pakaian, Qāsim Amin menegaskan bahwa tidak ada satu

ketetapan agama (nash dari syariat) yang mewajibkan pakaian khusus (ḥijāb atau

jilbab) sebagaimana yang dikenal selama ini dalam masyarakat Islam. Pakaian yang

dikenal itu—menurutnya—adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan

masyarakat Mesir dengan bangsa-bangsa lain, yang mereka anggap baik dan karena

itu mereka menirunya lalu menilainya sebagai tuntunan agama. Ia juga berpendapat

bahwa al-Qur’ān membolehkan wanita menampakkan sebagian dari tubuhnya di

hadapan orang-orang yang bukan muhrimnya, akan tetapi al-Qur’ān tidak

menentukan bagian-bagian mana dari anggota tubuh yang boleh terbuka.46

Muhammad Syahrūr—merupakan salah seorang cendekiawan yang berusaha

menampilkan pendapat baru mengatakan bahwa, “Pakaian tertutup yang kini

dinamai ḥijāb (jilbab) bukanlah kewajiban agama tetapi ia adalah satu bentuk

43 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 31. 44 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. xix. 45 Ed. Mai Yamani, Feminisme dan Islam, h. 31 46 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati 2004), h.

166-167.

Page 64: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

55

pakaian yang dituntut oleh kehidupan bermasyarakat dan lingkungan serta dapat

berubah dengan perubahan masyarakat. Orang-orang Arab sebelum kedatangan

Islam, juga pada masa Nabi dan sesudahnya, membedakan antara pakaian wanita

merdeka dan hamba sahaya.

Sementara dari sudut pandang feminis yang beridiologi Barat (baik di Barat

maupun di Timur) telah mendominasi wacana ḥijāb, memandangnya sebagai aspek

patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi, dan penindasan terhadap

perempuan.47 Karena di Barat, kata-kata harem, ḥijāb, dan poligami mengandung

citra yang menyudutkan Islam serta sinonim dengan kelemahan dan penindasan

wanita.48

Lord Cromer seperti yang dikutip dalam Ahmed, menjelaskan bahwa ada

banyak alasan untuk menyatakan Islam sebagai sebuah sistem sosial telah gagal

sama sekali. Faktor pertama dan yang utamanya karena perlakuannya atas kaum

perempuan. Islam mendegradasaikan kaum perempuan. Dalam degradasi inilah

yang paling tampak jelas adalah dalam praktik-praktik ḥijāb dan pemisahan,

inferioritas kaum laki-laki Muslim bisa ditelusuri.49 Untuk mencapai hal ini,

sangatlah penting mengubah posisi kaum perempuan dalam Islam, sebab degradasi

perempuan oleh Islam, yang diekspresikan di dalam praktik-praktik ḥijāb dana

pemingitan, itulah yag merupakan hambatan fatal bagi keberhasilan peningkatan

pemikiran dan karakter itu yang mesti menyertai pengenalan peradaban Barat. 50

47 Leila Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam (Jakarta: Lentera, 2000), h. 17-18. 48 Fadwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesopanan, h. 36. 49 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 204. 50 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, h. 204.

Page 65: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

56

BAB IV

ḤIJĀB DALAM KONSEP FEMINISME FATIMA MERNISSI

A. Konsep Ḥijāb Fatima Mernissi

Feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang artinya perempuan.

Secara umum feminisme adalah kesetaraan kedudukan anatara laki-laki dan

perempuan. Dalam konteks feminisme Islam, feminisme tidak muncul dari suatu

pemikiran teoritis dan gerakan tunggal yang berlaku bagi seluruh perempuan di

seluruh negeri Islam. Secara umum, feminisme Islam adalah alat analisis maupun

gerakan yang selalu bersifat historis-kontekstual dalam menjawab masalah-

masalah perempuan yang aktual menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran

dipandang dari perspektif agama. Menurut feminis Islam teks dalam al-Qur’ān

merupakan teks yang sesungguhnya membebaskan kaum perempuan. Artinya

bukan teks yang bermasalah, namun bagaimana teks itu dibaca dan

diinterpretasikan yang sesungguhnya membuat banyak masalah untuk perempuan.

Fatima Mernissi berpandangan bahwa sudah berabad-abad kaum Muslim

membaca teks al-Qur’ān secara bias. Teks-teks sekunder seperti kompilasi hadits

dan kitab-kitab fiqh mengandung banyak muatan yang sesungguhnya bertentangan

dengan semangat teks al-Qur’ān yang membebaskan perempuan.

Ada tiga strategi untuk membongkar pembacaan yang bias tersebut oleh tokoh

feminisme, pertama, dengan merujuk kembali pada ayat-ayat al-Qur’ān untuk

mengoreksi kesalahan-kesalahan cerita-cerita yang berkembang di antara kaum

Muslim. Kedua, dengan merujuk ayat-ayat yang sesungguhnya dengan jelas

menekankan pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan digunakan untuk

menentang interpretasi yang menekankan hal sebaliknya. Ketiga, mendekonstruksi

Page 66: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

57

atau membaca ulang ayat-ayat yang selama ini kerap dikutip sebagai sumber

justifikasi ketidakadilan relasi gender.1

Salah satu persoalan yang dibicarakan dalam feminisme adalah soal patriarki.

Misalnya ketika interpretasi ayat-ayat al-Qur’ān yang dilakukan oleh para fuqaha

dengan nuansa patriarkinya yang sangat kental sehingga mendiskreditkan

perempuan. Mernissi mengatakan:

Jika hak-hak perempuan merupakan masalah bagi sebagian kaum laki-laki

Muslim modern, hal itu bukanlah karena al-Qur’ān ataupun Nabi, bukan pula

karena tradisi Islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut

bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.2

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa di tengah sikap kritisnya, Mernissi

sebenarnya masih mempunyai prasangka yang positif terhadap al-Qur’ān, Nabi

dengan hadistnya dan tradisi Islam. Ia yakin bahwa al-Qur’ān, hadist Nabi dan

Islam sendiri amat menghargai perempuan, Mernissi tidak percaya jika ada doktrin

yang mengatakan bersumber dari ketiganya mendiskreditkan perempuan, maka hal

itu perlu dikritisi, bisa jadi ada pihak-pihak tertentu yang telah “memanfaatkan”

momen ini.3

Mernissi ini tampak sangat dominan dalam pemikiran hermeneutikanya.

Sensitifitas Mernissi terhadap masalah perempuan memang sangat menonjol.

Sebagai seorang sosiolog sekaligus feminis, ia ingin menunjukkan bahwa Islam itu

ramah terhadap perempuan.

Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi

pada waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk

1 M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. x. 2 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik (Surabaya: Dunia

Ilmu, 1997), h. xxi. 3 Limmatus Sauda’, “Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi” dalam Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2 2014, h. 303.

Page 67: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

58

dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa

kini. Pada level ini Mernissi mencoba menunjukkan bahwa ayat itu tidak hanya

milik umat Islam masa lalu, umat Islam yang selamanya meyakini al-Qur’ān.

Namun agak aneh ketika umat Islam masa kini masih memahami teks keagamaan

(al-Qur’ān dan hadist) dengan pemahaman orang-orang terdahulu yang sudah jelas

mengalami perbedaan tempat dan waktu.

Pendekatan historis dilakukan Mernissi untuk mendapatkan gambaran

sosiologis di sekitar asbāb an-nuzul, sehingga akan dengan mudah untuk

melanjutkan kajiannya pada pendekatan yang kedua.

Mernissi menggunakan sumber-sumber ilmiah Arab untuk melokalisir fakta-

fakta historis, tapi ia kemudian bersandar pada ideologi Kristen-Eropa untuk

menafsirkan mereka. Ideologi inilah yang memandang ‘harem’ dan ‘ḥijāb’ sebagai

lokasi utama penindasan dan subordinasi perempuan, yang karenanya mereduksi

kompleksitas struktur sosial politik menjadi sekedar persoalan gender dan

seksualitas.4

Ḥijāb yang terdapat dalam Q.S al-Ahzab [33]:53:

“... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri

Nabi), maka mintalah dari belakang tabir ...”

Para fuqaha mengkaji ayat tersebut yang memiliki makna sebagai pembatas

antara perempuan dan laki-laki. Artinya, jika laki-laki yang bukan mahram

berbicara dengan isteri-isteri Nabi, mereka harus berḥijāb dan melakukan

pembicaraannya tersebut dari balik tabir. Dengan demikian, laki-laki yang bukan

mahram itu tidak dapat melihat sosok isteri-isteri Nabi. Isteri-isteri Nabi hanya

4 Fadwa el-Ghuindi, Jilbab Antara Kesalehan Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta), h. 58-60.

Page 68: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

59

diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan yang mendesak, dan jika keluarpun

mereka harus menutup wajah dan bagian tubuh lainnya. Jadi pengertian ḥijāb

menurut fuqaha adalah mencegah isteri-isteri Nabi bertemu dengan laki-laki non-

mahram tanpa ḥijāb serta menyembunyikan sosok mereka dari penglihatan kaum

laki-laki. Menutup tubuh secara keseluruhan, termasuk wajah jika mereka ke luar

rumah untuk suatu keperluan, dianggap pengganti tabir.5

Pemaknaan ḥijāb berarti bentuk langsung pemasangan tirai antara sahabat Nabi

dengan para isteri-isteri Nabi di dalam rumah. Menutup seluruh tubuh perempuan

berarti menghalangi laki-laki untuk melihat perempuan, namun tidak menghalangi

kaum perempuan melihat kaum laki-laki. Menurut Fadwa, kesopanan (modesty) –

kesopanan-rasa malu-pemingitan— mempresentasikan pemberlakuan etnosentris

dalam budaya Arab Islam.

Menurut Mernissi ayat ḥijāb di atas diturunkan untuk memisahkan dunia kaum

perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-

masalah rumah tangga dan melarang akses mereka ke dalam kawasan publik.

Penetapan ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis

kelamin terpisah dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika

saja konteks historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan

pemahaman masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan

perempuan.6 Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki

yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan

5 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim, (Jakarta: Gema

Insan Press, 2000), h. 85-86. 6 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 227.

Page 69: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

60

domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan

mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya.

Al-Qur’ān menurut Asghar Ali Engineer secara normatif menegaskan konsep

kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu

mengisyaratkan dua hal: pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti

penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang

harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara

dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Keduanya harus memiliki hak yang

setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya, kedunya harus

memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campurtangan

yang lain, keduanya harus bebas memiliki profesi atau cara hidup, keduanya harus

setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.7

Menurut Asghar Ali Engineer, bahwa dalam al-Qur’ān telah dijelaskan bahwa

antara laki-laki dan perempuan adalah setara, hal tersebut didasarkan pada al-

Qur’ān yang menyatakan bahwa kedua jenis kelamin itu memiliki asal-usul

makhluk hidup yang sama, dan karena jenis itu memiliki hak yang sama pula.

Mengenai hal ini Asghar Ali Engineer memakai landasan Q.S an-Nisa' [4]:1, di

mana kata nafs dalam ayat tersebut diartikan dengan "makhluk hidup". Dengan

memaknai kata nafs dengan arti "makhluk hidup" Asghar Ali Engineer menolak

pendapat yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam.8

Dengan memahami asbāb al-nuzul ayat ḥijāb, diketahui bahwa ia memuat dua

peristiwa yang terjadi pada dua ‘alam’ yang sama sekali berbeda pada waktu yang

7 Asghar Ali Angineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assegaf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 65. 8 Asghar Ali Angineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, h. 73

Page 70: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

61

bersamaan: di satu sisi, wahyu Allah kepada Nabi, yang merupakan ‘alam

intelektual’, di sisi lain turunnya sebuah kain ḥijāb (penutup), sebuah obyek

material, sebuah kain tirai yang ditarik oleh Nabi antara diri beliau dengan seorang

laki-laki yang berada pada pintu masuk dari kamar pengantin beliau.9

Ayat ḥijāb ‘diturunkan’ di kamar tidur dari pasangan pengantin baru untuk

melindungi privasi dan ‘mengusir’ orang ketiga, yaitu Anas Ibnu Malik sahabat

Nabi. Anas dilarang masuk dengan (ditariknya) ḥijāb sebagai peringatan dan simbol

bagi suatu masyarakat yang terlalu mengganggu privasi. Anas sendiri sebagai saksi

yang menceritakan peristiwa tersebut. Jika seseorang menyadari akibat yang

ditimbulkan dari peristiwa itu terhadap kehidupan kaum perempuan Muslim

sesudahnya, maka perspektif yang diberikan Anas menjadi sangat penting. Nabi

baru saja menikah dan ingin segera berduaan dengan isterinya, Zainab. Dia tidak

bisa mengusir sekelompok kecil tamu “tidak berperasaan” yang melakukan

obrolan. Kain penutup (ḥijāb) merupakan jawaban Allah bagi suatu masyarakat

yang memiliki adat kasar, yang dengan sikap kekurangpekaannya telah menyakiti

seorang Nabi yang sangat halus perangai dan perasaannya.10 Sebagaimana

penafsiran al-Tabari yang menceritakan ucapan Anas Ibnu Malik:

Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa

Nabi tatkala menikah dengan Zainab binti Jahsy beliau mengundang

masyarakat untuk menghadiri pernikahannya. Lalu mereka makan dan duduk

serta berbincang-bincang. Maka Nabi beranjak berdiri tetapi mereka tidak juga

bangkit dari tempat duduknya. Maka beliau berdiri, lalu masuk dan datang

kemudian kembali masuk. Namun mereka masih juga tetap duduk. Lalu Nabi

masuk dan kembali lagi dan saya (Anas) mengabarkan kepada beliau bahwa

mereka telah pulang. Maka beliau masuk dan aku pun ikut masuk, kemudian

beliau memasang ḥijāb antara beliau dan saya, dan Allah menurunkan ayat

ini.11

9 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 108. 10 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 108. 11 Syaikh Ahmad Zaky al-Barudy, Tafsir Wanita (dikutip dari Bukhari: 4793 dan Muslim:

1428) (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 632.

Page 71: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

62

Ayat ḥijāb, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama

beberapa isterinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan

dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (ayat ḥijāb

ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadist al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar

mengusulkan agar dibuat sekat (ḥijāb) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi.

Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat ḥijāb.

Pada ayat selanjutnya al-asbāb nuzul Q.S al-Ahzāb [33]: 59, turun setelah

datangnya pengaduan Saudah, isteri Nabi yang berbadan besar sehingga mudah

dikenali bahwa ia baru saja ditegur Umar bin Khattab karena keluar rumah. Nabi

berkata bahwa ia diperbolehkan keluar rumah untuk suatu keperluan. Lalu turunlah

ayat tersebut, di mana isteri-isteri Nabi diwajibkan untuk memakai ḥijāb. Dalam

riwayat lain disebutkan bahwa isteri-isteri Nabi keluar rumah untuk buang hajat,

lalu diganggu kaum munafik, kemudian turunlah ayat tersebut.

Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, ayat ini juga

turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis.12 Bersifat politis karena ayat

ini turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman. Gangguan terhadap

perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka

menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam

dari pelecehan itu. Bersifat elitis dan diskriminatif karena dengan ayat ini, ingin

membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat

ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghilangkan

perbudakan, di sisi lain masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam.

12 Nong Darol Mahmada, “Kritis Atas Jilbab” dalam Ijtihad Islam Liberal (Jakarta:

Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 131.

Page 72: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

63

Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qasim

Amin, yang menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan

(ḥijāb) dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan

konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak satu pun dalam nash yang

tegas menyebutkannya.

Mernissi mengkritisi praktik pemisahan perempuan oleh kaum konservatif

sebagai pelembagaan otoritarianisme laki-laki yang dilakukan dengan

memanipulasi teks suci.13 Masalahnya bukan apakah ḥijāb itu Islami atau tidak,

seperti disebutkan dalam al-Qur’ān untuk membedakan perempuan Mukmin sejak

zaman Nabi. Persoalan yang relevan bagi kaum feminis Muslim sekarang ini adalah

unsur pilihan dalam hubungannya dengan busana, dan apakah memilih berḥijāb

atau tidak itu merupakan hak perempuan. Dengan begitu bahwa ayat ini bukanlah

untuk justifikasi pemisahan peran laki-laki dan perempuan.

Nabi tidak menganggap pertemuan laki-laki dengan perempuan sebagai hal

yang bertentangan dengan kesucian dan kemuliaan seorang perempuan. Artinya,

Nabi melihat kebiasaan yang berlangsung di kalangan masyarakat Madinah waktu

itu sebagai suatu yang baik, tidak perlu ditolak. Di samping itu, Nabi pun tidak

melihat ḥijāb secara umum sebagai suatu keluhuran mutlak bagi kaum perempuan,

karena keluhuran dan kesucian kaum perempuan terletak pada rasa malu.14 Dengan

begitu pembauran antara laki-laki dengan perempuan yang dibatasi oleh rasa malu

tidak dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan keluhuran, kemuliaan,

dan harga diri seorang laki-laki.

13 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 122. 14 Abu Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 3, h. 98.

Page 73: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

64

Menurut Mernissi, Q.S al-Ahzāb [33]: 53, dipandang oleh kebanyakan fuqaha

sebagai dasar dari lembaga ḥijāb. Kitab-kitab fiqih selalu mencurahkan satu bab

khusus tentang “ayat ḥijāb” ini. Ayat ini bukanlah satu-satunya yang menjelaskan

turunnya ḥijāb, tetapi merupakan ayat pertama dari serangkaian ayat serupa yang

mengakibatnya terpilihnya ruang (space) Muslim. Jika dicermati ayat ini akan

mengungkap bahwa maksud Allah adalah berkaitan dengan cara yang bijaksana

untuk menghadapi suatu situasi tertentu. Allah menghendaki untuk membiasakan

kepada para sahabat Nabi sopan santun tertentu yang tampaknya tidak mereka

miliki, misalnya bila memasuki rumah harus meminta izin.15

Sebagai tambahan bagi pedoman sopan santun (etiket), bagian terakhir dari

ayat tersebut menyentuh kepada masalah lain, yaitu keputusan Allah untuk

melarang orang-orang Muslim menikahi isteri-isteri Nabi setelah

sepeninggalannya. Ayat tentang ḥijāb tersebut diakhiri dengan kata-kata: “Dan

tidak boleh kamu menyakiti (hati) Nabi Saw, dan tidak (pula) menikahi isteri-

isterinya sesudah dia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar

(dosanya) di sisi Allah.”16

Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa ḥijāb yang secara lughawi

berarti “kain penutup/tabir”, diturunkan bukan untuk meletakkan satu pembatas

antara laki-laki dan perempuan, tetapi antara dua orang laki-laki.17 Jikapun ḥijāb

diartikan sebagai penutup kepala yang menjadi perlindungan terhadap kehormatan

dan keselamatan seorang perempuan tidak mesti terletak pada selembar kain.

B. Rekonstruksi Metodologi Makna Ḥijāb

15 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 117. 16 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 117. 17 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 107.

Page 74: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

65

Pendekatan historis dan metodologis menjadi pijakan hermeneutika Mernissi.

Pendekatan hermeneutik adalah sebuah upaya untuk reinterpretasi terhadap teks-

teks agama dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan. Untuk

pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah pembacaan baru atau

rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar bangunan interpretasi para

ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarki. Ḥijāb dan

segenap adat-istiadat berkenaan dengan kaum perempuan adalah masalah-masalah

utama yang memerlukan pembaruan.

Memahami teks agama memang tidak bisa mengabaikan aspek konteks, yakni

segala hal yang mengitari teks, dan konteks yang paling dekat dengan teks tidak

lain adalah pengarang dan pembaca (author and reader). Jadi, untuk memahami

teks mau tidak mau harus melibatkan dua komponen tersebut. Ketiganya

memainkan peran yang sama dalam membentuk makna teks, tidak ada yang

mendominasi.18 Realitas sosial yang merupakan reperesentasi dari teks amat sangat

mempengaruhi dalam melakukan pembacaan terhadap teks. Teks-teks agama ketika

dibaca dalam sebuah konteks tertentu, maka amat dipengaruhi oleh pembaca.

Begitu juga teks yang merupakan representasi tersebut sebenarnya hanyalah sebuah

produk pemikiran para penafsir teks, yang didalamnya termasuk para ulama, tokoh

agama, pendeta, ilmuwan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pembacaan

terhadap teks-teks agama yang dijadikan sumber otoritas masyarakat patriarkhi

amat berarti bagi pola hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks

masyarakat kontemporer. 19

18 Limmatus Sauda’, “Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi” dalam Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2, 2014, h. 303. 19 Nur Mukhlish Zakariya, “Kegelisahan Seorang Feminis” dalam Jurnal Karsa Vol. 19

No. 2 Tahun 2011, h. 128.

Page 75: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

66

Berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, Mernissi melihatnya

lebih sebagai sebuah konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang

bersifat murni. Dia melihat teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan

sebuah produk pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya bukan sebagai hasil

final dan tidak dapat diganggu gugat. Sebagai seorang sosiolog, dalam melakukan

kajiannya, Mernissi tidak hanya mendekati teks agama dari segi tekstualnya saja.

Akan tetapi, teks-teks agama haruslah dikaji dari pendekatan historis-sosiologis

seperti yang sudah dijabarkan pada bagian sebelumnya. Hal ini untuk menemukan

signifikansi makna, jika dihubungkan dengan kondisi zaman dan tempat.

Berdasarkan penjelasan pada bagian kritik historis, dapat dipahami bahwa

usaha Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, bukan

hanya didasarkan atas pengaruh dari feminisme Barat. Akan tetapi, pada dasarnya

konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut sebenarnya telah tersurat dalam

teks agama (al-Qur’ān dan hadits). Hanya karena peranan otoritas ulama

mendominasi penafsiran teks-teks agama, sehingga lebih mengutamakan

kepentingan laki-laki dan menjustifikasi atas dominasinya, serta mampu

menciptakan masyarakat patriarki.20

Konsep ḥijāb mengandung tiga dimensi dan ketiga dimensi ini sering sekali

saling memotong. Yang pertama, adalah dimensi visual: bersembunyi dari

penglihatan. Akar kata ḥajaba berarti “bersembunyi”. Yang kedua berdimensi

tempat/spasial: memisahkan, memberi batas, menentukan ambang batas. Yang

terakhir, dimensi ketiga adalah etika: terkait dengan masalah pelarangan. Pada

tingkat ini, kita tidak sedang berurusan dengan kategori-kategori nyata yang ada

20 Nur Mukhlish Zakariya, “Kegelisahan Seorang Feminis”, h. 127.

Page 76: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

67

dalam realitas indra, seperti yang bersifat visual atau spasial, tetapi dengan suatu

realitas abstrak, yaitu gagasan. Suatu ruang yang disembunyikan dengan ḥijāb

“adalah ruang terlarang.”21

Sebagaimana yang dikemukakan Mernissi, kita tidak saja memiliki kategori-

kategori kasat mata yang eksis (maujud) dalam realitas indera, yaitu pandangan

(visual), ruang (spesial), tetapi juga suatu realitas abstrak pada dunia ide. Suatu

ruang yang ‘disembunyikan’ oleh sebuah ḥijāb adalah ruang/tempat terlarang.

Kamus Lisanul Arab mengartikan bahwa satrun dalam bahasa Arab secara lughawi

berarti ‘tirai/tabir’. Maka kita memiliki suatu tindakan yang membagi ruang

menjadi dua bagian dan menyembunyikan satu bagian dari pandangan. Dari yang

telah dipaparkan, ayat ḥijāb telah menetapkan suatu pemisahan ruang yang bisa

dipahami menjadi sebuah pemisahan (ruang) umum dari ruang pribadi. Namun

sayang, hal itu telah dipalingkan menjadi suatu pemisahan (ruang) antara laki-laki

dan perempuan.22

Pemikiran Mernissi dalam menggugat sistem patriarki, nampaknya

dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Mernisi sangat apresiatif

terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang

berkembang di Barat. Menengok sejenak ke masa lalu Muslim, menarik karena ia

menunjukkan pada kita bahwa konsep ḥijāb mengacu kepada kelakuan yang tidak

senonoh dalam seksualitas yang merupakan sumber kekacauan, masih sangat kuat

dalam kehidupan pemikiran bangsa Arab modern dan dalam dinamika politik

Arab.23

21 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, (Bandung: Mizan, 1999), h. 107. 22 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 129-130. 23 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 115.

Page 77: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

68

Kenyataan bahwa gerakan-gerakan fundamentalis, yang sering bertentangan

dengan rezim-rezim yang ada, yang menyatakan bahwa pendidikan campuran dan

akses kaum perempuan pada kehidupan publik merupakan sumber kekacauan. Ini

merupakan bukti bahwa kita masih jauh dari melakukan terobosan penting, yaitu

yang akan membawa kita pada suatu masyarakat yang berorientasi pada konsepsi

perempuan sebagai warga negara. Kedudukan perempuan sebagai warga negara

masih merupakan cita-cita yang harus dicapai, dan pencapaiannya membutuhkan

proses pendidikan terhadap masyarakat maupun pemerintah.24

Sebelum sampai pada konsepsi perempuan sebagai warga negara yang setara

dan bertanggungjawab, yang bukan merupakan ancaman bahaya yang harus

diredam atau kekuatan subversif yang harus disembunyikan dan dilenyapkan,

melainkan sebagai sumber daya yang harus dikelola dan bakat yang harus

dikembangkan. Kita tidak akan menempuh transisi dari masyarakat yang lebur

dalam fantasi dan tenggelam dengan mitos-mitos dan gagasan-gagasan usang

menjadi masyarakat berorientasi ilmiah yang memandang umat manusia sebagai

sumber daya dan sumber bakat.25

Pendidikan kaum perempuan tetap merupakan sarana yang paling pasti untuk

menempuh transisi ini. Sebab hanya kaum perempuan sajalah melalui peran serta

mereka sehari-hari dalam seluruh bidang kehidupan sosial – terutama bidang yang

paling dianggap tinggi seperti politik – yang dapat membuat perubahan menjadi

nyata.26

24 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116. 25 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116. 26 Fatima Mernissi, Pemberontakan Wanita, h. 116.

Page 78: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa ḥijāb sampai saat ini masih terjadi

silang pendapat. Dalam persoalan ḥijāb ini, Mernissi berusaha untuk melakukan

pembacaan ulang terhadap teks-teks agama yang telah mengakar kuat dalam

konstruksi patriarki dengan metode historis–kritis-kontekstual.

Pendekatan historis dan metodologis menjadi pijakan hermeneutika Mernissi.

Adapun mengenai kajian historisnya, Mernissi tidak hanya melibatkan situasi pada

waktu ketika ayat itu muncul. Data historis tersebut tetap ia gunakan untuk

dijadikan sebagai pertimbangan dan bahan uji dengan situasi kontemporer masa

kini. Untuk pendekatan metodologisnya, Mernissi menggunakan kaidah

pembacaan baru atau rekonstruksi makna. Mernissi berusaha membongkar

bangunan interpretasi para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi

patriarki.

Menurut Mernissi ayat ḥijāb diturunkan untuk memisahkan dunia kaum

perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan pada masalah-

masalah rumah tangga dan melarang akses mereka ke dalam kawasan publik.

Penetapan ḥijāb pastilah tidak perlu dalam suatu kondisi di mana kedua jenis

kelamin terpisah dan kaum perempuan telah terhalang dari kehidupan publik. Jika

saja konteks historisnya diketahui secara mendalam, pelembagaan ḥijāb merupakan

pemahaman masyarakat patriarki yang telah mengakar kuat dalam kehidupan

Page 79: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

70

perempuan.1 Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki

yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan

domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan

mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya.

Dalam penyelidikan yang dilakukan Mernissi, ayat ḥijāb ‘diturunkan’ di kamar

tidur dari pasangan pengantin baru untuk melindungi privasi dan ‘mengusir’ orang

ketiga, yaitu Anas Ibnu Malik sahabat Nabi. Anas dilarang masuk dengan

(ditariknya) ḥijāb sebagai peringatan dan simbol bagi suatu masyarakat yang terlalu

mengganggu privasi. Anas sendiri sebagai saksi yang menceritakan peristiwa

tersebut. Jika seseorang menyadari akibat yang ditimbulkan dari peristiwa itu

terhadap kehidupan kaum perempuan Muslim sesudahnya, maka perspektif yang

diberikan Anas menjadi sangat penting. Nabi baru saja menikah dan ingin segera

berduaan dengan isterinya, Zainab. Dia tidak bisa mengusir sekelompok kecil tamu

“tidak berperasaan” yang melakukan obrolan. Kain penutup (ḥijāb) merupakan

jawaban Allah bagi suatu masyarakat yang memiliki adat kasar, yang dengan sikap

kekurangpekaannya telah menyakiti seorang Nabi yang sangat halus perangai dan

perasaannya.

Padahal dalam penciptaan laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan

atasnya. Sehingga eksistensi kaum perempuan dalam relasi dan peran sosial-politik-

ekonomi mengalami pembatasan.2 Dalam arti lain dalam urusan-urusan sosial,

keberadaan perempuan karena eksistensi dan seksualitas mereka harus dibedakan

dengan laki-laki hampir dalam seluruh dimensi kehidupan.

1 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, h. 227. 2Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 192.

Page 80: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

71

Hasil risetnya, Mernissi menggambarkan bahwa ajaran agama bisa

dimanipulasi. Mernissi pun percaya bahwa penindasan terhadap perempuan adalah

semacam tradisi yang dibuat-buat dan bukan dari ajaran agama Islam.

B. Saran-Saran

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari bahwa hasil akhir ini

masih jauh dari nilai sempurna. Berdasarkan penelitian di atas, menurut pendapat

penulis konsep ḥijāb maupun pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi lainnya sangat

relevan untuk dikaji lebih mendalam lagi. Apalagi di saat ḥijāb di Indonesia dewasa

ini sedang menjadi trend mode dan penting bagi kita untuk mengetahui seluk beluk

ḥijāb agar cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Tentunya masih terdapat

banyak tokoh yang sejalan maupun yang lebih maju dari pemikiran Fatima

Mernissi, seperti Malak Hifni Nasif, Quraish Shihab, dan lainnya.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peneliti yang ingin

menulis tentang pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi.

Page 81: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

72

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Leila, Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: Lentera Basritama, 2000.

Agustina, Nurul, Tradisional Islam dan Feminisme, dalam Ulumul Qur’ān, Edisi

Khusus 5 Tahun No. 5 dan 6 Vol. V tahun 1994.

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Mendudukkan Polemik Berjilbab, terj. Kamran

As’ad Irsyadi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.

Al-Barudy, Syaikh, Ahmad, Zaky, Tafsir Wanita dalam Bukhari: 4793 dan Muslim

1428. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.

Ali, Angineer, Asghar, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici

Farkha Assegaf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

El-Feki, Shereen, Seks & Ḥijāb: Gairah dan Intimitas Di Dunia Arab yang Berubah,

diterjemahkan dari Sex and Citadel: Intimate Life In A Changing Arab World,

terj. Adi Toha. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013.

El-Guindi, Fadwa, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. dari

Veil: Modesty, Privacy and Resistance, terj. Mujiburahman. Jakarta: Serambi

Ilmu Semesta, 2003.

Ghazali, Abd. Moqsith (ed.), Ijtihad Islam Liberal, Nong Darol Mahmada “Kritik Atas

Jilbab”. Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005.

Juneman, Psychology of Fashion Fenomena Perempuan [Melepas Jilbab].

Yogyakarta: LKiS, 2012, cet ke-2.

Karm, Ghada, “Perempuan, Islam, dan Patriarkalisme” dalam Feminisme dan Islam

(ed. Mai Yamani). Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2000.

Kurniawati, Lia, “Feminisme Islam” dalam Membincangkan Feminisme: Diskursus

Gender dalam Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Maududi, Abul A’la, Jilbab: Wanita alam Masyarakat Islam, terj. Mufid Ridho.

Bandung: Marja, 2005.

Mernissi, Fatima, Pemberontakan Wanita!: Peran Intelektual Kaum Wanita dalam

Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 1999.

-------, Perempuan-Perempuan Harem, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2008.

Page 82: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

73

-------, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan. Bandung: Mizan, 1994.

-------, Menengok Kontoversi Peran Wanita dalam Politik, terj. M. Mansyur Abadi.

Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

-------, Islam dan Demokrasi, terj. Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS dan Pustaka

Pelajar, 1994.

-------, Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita dalam Masyarakat Muslim

Modern. Surabaya: Al-Fikr, 1997.

-------, Penafsiran Feminis tentang Hak-Hak Perempuan dalam Islam, dalam Wacana

Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Charles

Kurzman (ed.). Jakarta: Paramadina, 2001.

-------, Riffat Hasan, Setara Di Hadapan Allah. Yogyakarta: Lembaga Studi dan

Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000.

Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2004

-------, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta:

LKiS, 2002.

Mulia, Musdah, Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Gramedia, 2011.

Muthahhari, Murtadha, Ḥijāb: Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan

Alwiyah Abdurrahman dengan judul asli On The Islamic Ḥijāb. Bandung: Mizan,

1995.

-------, Cadar Tuhan: Duduk Perkara Ḥijāb Perempuan. Jakarta: Penerbit Citra, 2012.

Natsir, Lies Marcoes, dkk, Kesaksian Para Pengabdi: Kajian Tentang Perempuan dan

Fundamentalisme di Indonesia. Jakarta: Rumah KitaB, 2014.

Nuruzzaman, M., Kiai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Romli, Muhammad Guntur, Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan

Islam. Jakarta: Freedom Institute, 2010.

Sauda’, Limmatus, Hadist Misoginis dalam Perspektif Fatima Mernissi. Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadits Vol. 4 No. 2 2014.

Shahab, Husein, Jilbab: Menurut al-Qur’ān dan as-Sunnah. Bandung: Mizan, 1995.

Shihab, M. Quraish, Jilbab: Pakaian Utama Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

-------, Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Page 83: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

74

Subhan, Arief, dkk, Citra Perempuan dalam Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2003.

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Rajawali Press, 2002.

Surahmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito Press, 1994.

Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, (ed.) Sahiron Syamsudin.

Yogyakarta: el SAQ, 2008.

Syuqqah, Abu, Halim, Abu Kebebasan Wanita Jilid 3, terj. Chaitul Halim. Jakarta:

Gema Insan Press, 2000.

Taimiyah, Syaikh Ibnu, dkk, Jilbab Cadar: dalam al-Qur’ān dan as-Sunnah, terj. Abu

Said al-Anshori dengan judul asli Majmu’ Risālaḥ fi al-Ḥijāb wa al-Sufūr.

Jakarta: Pedoman Ilmu Raya, 1994.

Umar, Nasaruddin, Fiqih Wanita untuk Semua. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Waddy, Charis, Wanita dalam Sejarah Islam, terjemahan dari Women in Muslim

History, terj. Faruq Zabidi. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.

Wadud, Amina, Qur’ān Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi Ilmu Pustaka, 2006.

Yamani, Mai (ed.), Feminisme dan Islam: Persfektif Hukum dan Sastra, diterjemahkan

dari edisi bahasa Inggris: Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives.

Bandung: Nuansa, 2000.

Zakariya, Nur, Mukhlish, “Kegelisahan Seorang Feminis” dalam Jurnal Karsa Vol. 19

No. 2 Tahun 2011

https://www.facebook.com/Bungmanto?fref=ts, diakses pada 26 Maret 2016.

http://www.jpnn.com/read/2015/12/01/341982/Fatima-Mernissi-Meninggal-Dunia-,

diakses pada 5 Januari 2016.

Page 84: PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36525/1/SOFIANA... · perempuan dan kaum laki-laki. Untuk mengekang kaum perempuan

Biodata Penulis

Nama : Sofiana Khairunnisa

Tempat, Tanggal lahir : Cirebon, 30 Desember 1992

Jenis Kelamin : Perempuan

Kebangsaan : Indonesia

Email : [email protected]

[email protected]

Alamat : Jl. W.R Supratman RT/RW 001/005, Cempaka Putih

Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan

Pendidikan Formal

1998-2004 : SDN 1 Waleddesa, Cirebon

2004-2007 : SMPN 1 Waled, Cirebon

2007-2010 : SMA PLUS YAKPI Susukan, Cirebon

2010-2017 : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta