Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
POLA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT LINTAS AGAMA
DALAM MENCIPTAKAN HARMONISASI DI DESA BAGOANG BOGOR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi persyaratan memperolegelar Sarana Ilmu Sosial (SSos)
oleh :
Endah Dewi Cahyani
1113051000181
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 /2018 M
ABSTRAK
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MASYARAKAT LINTAS AGAMA DALAM
MENCIPTAKAN HARMONI DI DESA BAGOANG BOGOR
Oleh
Endah Dewi Cahyani
Jika pada umumnya suatu daerah ditempati oleh adat atau suku yang sama, lain
halnya dengan Desa Bagoang. Masyarakat di Bagoang memiliki beragam budaya dan
agama, diantaranya suku sunda dan tionghoa yang terbagi dalam tiga penganut agama
yaitu islam katholik dan konghucu. Keragaman tersebut tak menyurutkan Desa Bagoang
sebagai desa yang memiliki nilai toleran yang tinggi. Oleh karenanya, penelitian ini
dilakukan untuk lebih menjelaskan bagaimana harmoni antara masyarakat dapat terjalin.
Berdasarkan konteks diatas tujuan penelitian ini ialah untuk menjawab pertanyaan
inti dan turunan. Adapun pertanyaan mayornya ialah, bagaimana masyarakat antarbudaya
dan lintas agama menciptakan harmoni di Desa Bagoang. Adapun pertanyaan turunannya
ialah bagaimana gambaran masyarakat di Desa Bagoang, Bagaimana pola komunikasi
masyarakat di Desa Bagoang, Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam
menciptakan harmoni antarbudaya dalam masyarakat lintas agama di Desa Bagoang.
Dalam penelitin ini, peneliti akan lebih membahas mengenai Face Negotiation
Theory yang dikembangkan oleh Toomey. Teori ini menjelaskan perbedaan-perbedaan
budaya dalam merespon konflik. Lebih jelasnya, Ting Toomey menggambarkan teori ini
mengenai bagaimana peranan wajah dan identitas dalam komunikasi antarbudaya,
terutama dalam situasi memecahkan masalah.
Masyarakat mengelola keharmonisan diantara mereka terlihat dari bagaimana
mereka memecahkan suatu masalah dan faktor-faktor yang akan menjadi penghambat dan
pendukung didalamnya. Karena perilaku yang berbeda diantara masyarakat dalam
menyikapi masalah dapat menimbulkan gaya komunikasi antarbudaya yang berbeda pula.
Pada penelitian ini, penulis merumuskan teori mengenai bagaimana harmoni dapat
terjalin diantara masyarakat melalui menejemen konflik kehidupan antarbudaya dalam
budaya kolektivis yang didalamnya membahas mengenai avoiding atau cara menghindari
konlik, compromising yakni mencari jalan tengah, obliging yakni mengalah pada lawan,
Avoiding yaitu menghindari konflik, sedangkan integrating ialah mengikutsertakan pihak
lain dan Third Party Help yaitu penanganan konflik dengan bantuan pihak ketiga.
Masyarakat Desa Bagoang menjalin keharmonisan dan menjunjung rasa hormat dan
toleran yang tinggi terhadap suku maupun penganut agama lain. Karena rasa
persaudaraan yang tinggi dan menejemen konflik yang baik. Selain itu rasa kekeuargaan
dan sikap yang bersama-sama dan bersatu dalam memecahkan konflik membuat
masyarakat Desa Bagoang menjadi masyarakat yang makmur tanpa konflik yang
berkepanjangan.
Di Desa Bagoang komunikasi yang terjalin antara masyarakat yang berbeda suku
dan agama begitu sering. Tidak ada jarak ataupun pemisah yang membedakan mereka.
Pola komunikasi yang terjalin dalam menciptakan harmoni yaitu dengan cara berunding
atau kompromi, yakni mencari jalan tengah dalam sebuah masalah dan menghindari
konlik diantara salah satu pihak, agar masalah tidak berkepanjangan. Tidak sedikit faktor
yang menentukan terhambat dan tidaknya pemecahan suatu permasalaan yang untuk
menciptakan harmoni. Karena dalam menciptakan harmoni sendiri memiliki
ketergantungan situasi yang berbeda-beda maupun masyarakatnya.
Kata Kunci : desa, bagoang, harmoni, dan masyarakat
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Tiada kata yang pantas diucapkan oleh seorang hamba selain kalimat
alhamdulillahi Rabbi al’alamiin atas nikmat dan karunia Allah SWT yang telah
memberikan hambanya banyak rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir kuliah ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam
tetap tercurah kepada junjungan umat manusia yaitu Nabi Muhammad SAW yang
telah menjadi acuan dan motivasi bagi seluruh alam, sampai kepada saya.
Laporan penelitian dengan judul Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Lintas
Agama di Desa Bagoang merupakan buku ilmiah pertama yang penulis buat dan
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan komunikasi
penyiaran islam di fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi.
Dalam prosesnya, penulisan penelitian ini memerlukan pengorbanan yang
begitu besar. Bukan hanya dari penulis, tetapi banyak pula pihak yang sudah ikut
andil dalam kesuksesan penulisan laporan penelitian ini. Oleh karenanya penulis
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada tara kepada mereka yang telah
berjasa dalam proses pembuatan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tua, ayahanda Sidik dan ibunda Een Saedah yang telah
memberikan dukungan luar biasa kepada penulis untuk tetap bertahan dalam segala
kondisi hidup. Terima kasih banyak atas segala limpahan kasih, tetes keringat, air
mata dan doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis. Penulis juga ingin
iii
menyampaikan terima kasih kepada Arip Hidayat dan kedua adik tecinta Rizka Fitria
dan Icha Aisyah atas semangat, inspirasi dan masukan yang membangun.,
Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang membantu,
mendukung, membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi. Maka dengan
segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Arif Subhan, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga kepada Dr. Suparto, M. Ed, Ph.D
selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil
Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Dr. H. Suhaimi, M.Si selaku Wakil
Dekan III Bidang Kemahasiswaan.
2. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris
jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
3. Prof. Ilyas Ismail, MA, Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan
waktu, tenaga, serta pikiran dengan penuh kesabaran membimbing dan
mengarahkan proses penulisan skripsi ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang
telah mendidik, mengajar, dan melatih dengan memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama perkuliahan.
5. Seluruh staf dan karyawan tata usaha bidang kemahasiswaan, administrasi,
keuangan, kepustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dan
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
penulis, memberikan buku-buku sebagai referensi dan literatur dalam penyusunan
skripsi ini hingga selesai.
iv
6. Kepala Desa Bagoang Bapak Maman Suparman yang telah banyak membantu
penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini beserta seluruh staf Desa
Bagoang
7. Bapak Dawi dan Bapak Gondel selaku sesepuh dan ketua RT kampung Cina
Tarisi yang banyak membantu penulis dalam menggali informasi terkait desa dan
penelitian ini. Beserta keluarga besar Desa Bagoang terkhusus ibu Juhana dan
Suami, Abang Dede, dan adik-adik tersayang di SDN 2 Bagoang yang telah
membantu dalam kesuksesan penulisan skripsi.
8. Rachma Maulidia, Khairunnisa Permata Sari, Anis Nurfitriyani, Nita Silpiani,
Sahri Rahma Fitri, Faid Maya Sofia, Susi Mulyati, Ardian Haffy Kurnia, Dastin
Dimaz Jiwo Narendra dan Mohamad Anshory yang selalu mendukung setiap saat,
membantu dan menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan 2013,
Campcourse Alphabet, KKN 049 BARAKAT 2016, keluarga besar DNKTV UIN
Jakarta dan teman-teman satu tim BPJS Ketenagakerjaan Bintaro.
Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Semoga seluruh kebaikan, jasa, dan doa dibalas berlipat ganda oleh Allah
SWT. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Ciputat, 28 Februari 2018
Endah Dewi Cahyani
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... v
DAFTAR ISI............................................................................................................................... viii
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................................................ 3
1. Pembatasan Masalah ......................................................................................... 3
2. Perumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................................. 4
1. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 4
2. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 5
D. Metodologi Penelitian ................................................................................................ 5
1. Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 5
2. Metode Penelitian ............................................................................................. 6
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 6
4. Subjek dan Objek Penelitian ............................................................................. 6
5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 7
6. Analisis Data ..................................................................................................... 8
7. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 10
BAB II LANDASAN TEORI
ix
A. Komunikasi Antarbudaya ........................................................................................ 12
B. Pola Komunikasi Dan Pola Budaya ......................................................................... 14
1. Pola Komunikasi ............................................................................................. 14
2. Pola Budaya .................................................................................................... 15
C. Teori Negosiasi Wajah ............................................................................................. 16
D. Konsep Harmonisasi ................................................................................................ 22
1. Pengertian Harmoni ........................................................................................ 22
2. Harmonitas Sosial ........................................................................................... 23
E. Lintas Agama ........................................................................................................... 24
F. Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Islam ....................................................... 25
BAB III GAMBARAN UMUM DESA BAGOANG
A. Sejarah Singkat Desa Bagoang ............................................................................. 29
B. Kondisi Geografi ...................................................................................................... 29
1. Letak Geografis ............................................................................................... 29
2. Topografi......................................................................................................... 30
3. Hidrologi dan Klimatologi .............................................................................. 30
4. Luas dan Sebaran Pengunaan Lahan............................................................... 31
5. Luas Wilayah Desa Bagoang .......................................................................... 32
C. Kondisi Demografis ................................................................................................. 33
1. Struktur Penduduk Desa Bagoang .................................................................. 33
2. Tingkat Pendidikan ......................................................................................... 34
3. Mata Pencaharian ............................................................................................ 35
4. Agama dan Kepercayaan ................................................................................ 36
D. Sarana dan Prasarana ............................................................................................... 36
1. Sarana dan Prasarana Pendidikan ................................................................... 36
x
2. Sarana dan Prasarana Keagamaan .................................................................. 36
3. Prasarana dan Sarana Sosial Ekonomi ............................................................ 37
4. Transportasi dan Perhubungan ........................................................................ 38
5. Energi .............................................................................................................. 38
E. Sejarah Singkat Kedatangan Etnis Tionghoa di Desa Bagoang .............................. 38
F. Sosial Budaya Masyarakat Desa Bagoang ............................................................... 39
G. Keadaan Masyarakat antaretnis di Desa Bagoang ................................................... 41
BAB IV POLA KOMUNIKASI DALAM MENCIPTAKAN HARMONI
A. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Lintas Agama di Desa Bagoang ................. 43
1. Bahasa ............................................................................................................. 44
2. Pesan ............................................................................................................... 46
B. Komunikasi Dalam Menciptakan Harmoni Antar Sesama ...................................... 48
C. Pola Komunikasi dalam Acara Ritual dan Keagamaan masyarakat Bagoang ......... 53
D. Faktor Penghambat dan Pendukung Terciptanya Harmoni ..................................... 59
1. Faktor Pendukung ........................................................................................... 59
2. Faktor Penghambat ......................................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................................................. 64
B. Saran ........................................................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 67
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2. 1 Peta budaya dalam delapan manajemen konflik ........................................................ 20
Grafik 3 1 : Presentase Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ..................................... 35
Grafik 3 2 : Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ........................................ 35
Grafik 3 3 : Prasarana Pendidikan ................................................................................................ 36
Grafik 3 4 : Prasarana Keagamaan ................................................................................................ 37
Grafik 4. 1 : Tingkat keberhasilan menejemen konflik ................................................................ 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi sebagai aktifitas manusia tentu sangat penting untuk dipelajari. Sebagai
makhluk sosial, manusia harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup agar
pesan yang terjadi secara timbal balik antara komunikator dan komunikan dapat
tersampaikan seperti yang diharapkan. Pada penerapannya dalam kehhidupan, interaksi
yang dilakukan manusia bukan hanya terbatas pada antarindividu, tapi jjuga antara
individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Manusia sebagai
makhluk sosial jjuga merupakan makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. Seperti
halnya manusia yang memiliki kemampuan berbicara dan menyadari adanya kekuatan
diluar nalar (kekuatan gaib), sehingga memiliki kepercayaan atau beragama (homo
religious).1
Di Indonesia keberagaman budaya dan agama sudah ada sejak dulu. Kelompok
yang memiliki perbedaan budaya dan agama cenderung bersifat etnosentris sehingga
mengundang beragam persepsi yang terkonsep sejak lama dalam budaya mereka.
Di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, mayoritas masyarakat beragama Islam dan
kental dengan Etnik Sunda. Namun, di Desa Bagoang jjuga terdapat etnik Tionghoa yang
menganut agama Konghucu dan Protestan. Diantara Etnik Tionghoa dan masyarakat
pribumi, Etnik Sunda, sering terjadi interaksi satu sama lain dalam kegiatan keseharian.
Kehhidupan dan interaksi masyarakat antarbudaya terjalin dengan baik, masyarakat
di Desa Bagoang hhidup rukun dan menjunjung nilai toleran. Jika di lain tempat di
1 Suprapto, dkk., Ilmu Alamiah Dasar, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), h. 16 – 17.
2
Indonesia, banyak sekali masalah dan kontroversi antara masyarakat yang berbeda
budaya dan agama yang tinggal di satu wilayah. Seperti halnya peristiwa yang belum
luput dari benak masyarakat Indonesia saat krisis ekonomi dipenghujung Orde Baru yang
berujung pada konflik masyarakat pribumi dan Etnik Tionghoa. Perbedaan pandangan,
budaya, bahasa dan agama merupakan hal lazim di Indonesia. Namun, mempertahankan
kerukunan dalam sebuah perbedaan akan menjadi tolak ukur kedamaian suatu bangsa.
Dalam al-Quran Allah berfirman
Artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS.HalHujurat : 13)
Artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada
yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
mengetahui.” (QS. Ar Rum : 22)
3
Di Desa Bagoang kerukunan masyarakat antaretnik yang hhidup berdampingan
menjadi sebuah keunikan tersendiri, yaitu, tentang bagaimana kedua etnik yang saling
berdampingan ini menjaga harmonisasi selama puluhan tahun walaupun banyak sekali
perbedaan pandangan dan nilai dalam kebudayaan mereka masing-masing.
Dari pemaparan di atas, menimbulkan pertanyaan bagaimana masyarakat Pribumi
dengan masyarakat Tionghoa Desa Bagoang menjaga kerukunan dan harmonisasi
diantara keduanya. Untuk itu, penulis ingin mengkaji dan meneliti lebihh dalam
mengenai pola komunikasi antarbudaya masyarakat Pribumi dan etnik Tionghoa di Desa
Bagoang. Maka penulis mengangkat judul “Pola Komunikasi Masyarakat Muslim
Pribumi Dan Etnis Tionghoa Dalam Menciptakan Harmonisasi Di Desa Bagoang Bogor”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasi permasalahan-permasalaan
sebagai berikut :
a. Face Negotiation (Negosiasi Wajah) dalam penelitian ini hanya sebatas :
1) Negosiasi wajah dengan menejemen konflik yang akan diperdalam ialah yang
biasa terjadi pada masyarakat dengan budaya kolektivis, yaitu avoiding
(menghindari), compromising (kompromi), obliging (menuruti aturan),
integrating (mengintegrasi) dan third-party help (bantuan pihak ketiga).
2) Faktor pendukung dan penghambat dalam menerapkan kelima klasifikasi
menejemen konflik.
4
b. Masyarakat yang terlibat dalam penelitian ini ialah masyarakat etnis Tionghoa
dengan masyarakat pribumi yang telah menetap dan menjadi warga Desa
Bagoang.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah diatas, maka penulis mengambil perumusan masalah
utama :
Bagaimana masyarakat muslim pribumi dan Etnis Tionghoa dmenciptakan
harmoni di Desa Bagoang?
Adapun pertanyaan turunannya adalah :
a. Bagaimana gambaran masyarakat muslim pribumi dan etnis Tionghoa di Desa
Bagoang?
b. Bagaimana Pola Komunikasi masyarakat muslim pribumi dan etnis Tionghoa di
Desa Bagoang?
c. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam menciptakan harmoni antara
masyarakat muslim pribumi dan etnis tionghoa di Desa Bagoang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok penelitian diatas, maka tujuan penelitiannya ialah sebagai
berikut :
a. Mengetahui bagaimana masyarakat muslim pribumi dan Etnis Tionghoa
menciptakan harmoni diantara keduanya.
5
b. Mengetahui gambaran masyarakat muslim pribumi dan etnis Tionghoa di Desa
Bagoang.
c. Mengetahui bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat muslim
pribumi dan etnis Tionghoa di Desa Bagoang.
d. Mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam menciptakan
harmoni diantara masyarakat muslim pribumi dan etnis tionghoa.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih positif dan
manfaat dalam segi akademik dan praktik, yaitu :
a. Manfaat akademis
Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu komunikasi
khususnya yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya.
b. Manfaat praktis
Dapat memberikan informasi tambahan mengenai kehhidupan masyarakat
muslim pribumi dalam berinteraksi dengan masyarakat Etnik Tionghoa dan dapat
menjadi acuan dalam komunikasi antarbudaya.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Dimana penulis meneliti secara mendalam tentang aspek
lingkungan sosial termasuk manusia didalamnya. Adapun data dapat diperoleh dari
6
laporan hasil pengamatan, percakapan keseharian, catatan pribadi, analisis pustaka yang
menyangkut permasalahan tersebut.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian analisis
deskriptif, yaitu metode yang melalui pendekatan kualitatif yang dihasilkan suatu data
melalui survey berupa catatan hasil pengamatan, gambar, dan dokumen.
Menurut Nazir dalam bukunya, analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, objek, kondisi, sistem pemikiran ataupun kelas
peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya ialah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antarfenomena yang diselidiki.2
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah di Desa Bagoang Kecamatan
Jasinga Kabupaten Bogor. Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan
preliminary research atau pratinjau penelitian yang dilakukan pada November-Desember
2016, selama itu penulis mencari tahu dan menelaah gejala serta fenomena yang terjadi
dilingkungan masyarakat. Penulis juga akan melakukan penelitian mendalam di lokasi
penelitian.
2 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghalia Indonesia: 1988), h. 12.
7
4. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam riset ilmu sosial, hal yang penting adalah menentukan sesuatu yang
berkaitan dengan apa dan siapa yang diteliti.3 Yang menjadi subjek penelitian ialah warga
masyarakat muslim pribumi dengan masyarakat Etnik Tionghoa yang tinggal di Desa
Bagoang.
Adapun objek penelitiannya ialah bagaimana harmonisasi yang terjalin antara
masyarakat muslim pribumi dengan masyarakat Tionghoa Desa Bagoang dalam
kaitannya dengan komunikasi antarbudaya. Lebihh jelasnya yaitu bagaimana keduanya
menyelesaikan masalah jika terjadi kesalahpahaman atau konflik. Disini peneliti akan
lebihh fokus kepada bagaimana penyelesaian konflik yang digunakan oleh masyarakat
muslim dan Tionghoa. Yang dilihat dari perspektif face negotiation theory yang di
perkenalkan oleh Stella Ting Toomey dalam teori komunikasi antarbudaya.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang
akan atau sedang diteliti. Penghimpunan informasi tersebut dapat diperoleh
dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan
disertasi, peraturan- peraturan, ketetapan-ketetapan, ensiklopedia, dan sumber-
sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain.
3 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistic, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 24-25.
8
Dalam penelitian ini nantinya, penulis akan melakukan studi kepustakaan
guna menggali informasi terkait komunikasi antarbudaya, harmonisasi dalam
komunikasi antarbudaya dan latar belakang masyarakat di Desa Bagoang.
b. Observasi
Observasi atau yang biasa disebut sebagai pengamatan langsung
merupakan metode awal yang digunakan dalam sebuah penelitian, dan
merupakan alat pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan
mencatat secara langsung gejala yang diselidiki.4
Adapun penulis mengobservasi bagaimana cara masyarakat muslim dan
Tionghoa dalam menghindari konflik yang terjadi diantara keduanya sehingga
dapat menimbulkan harmoni dikehhidupan keseharian dalam berinteraksi.
c. Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan yang berbentuk komunikasi antara dua
orang atau lebihh, yang melibatkan seseorang diantaranya memperleh informasi
dari orang lain dengan caramengajukan pertanyaan.5
Adapun penulis memperoleh sumber data dari narasumber dengan cara
wawancara atau tanya jawab langsung bersama Pak Maman Suparman selaku
Kepala Desa Bagoang, Pak Dawi selaku sesepuh warga Tionghoa, Pak Ridwan
selaku ketua BPD Desa Bagoang, Pak Zainuddin selaku sesepuh Desa Bagoang,
dan Pak Gondel selaku ketua RT Kampung Tarisi.
d. Dokumentasi
4 Antonio Birowo, Metode Penelitian Komunikasi (Teori Aplikasi), (Yogyakarta : Gintanyali, 2004), h.70.
5 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001), h. 180.
9
Berkaitan dengan data dokumentasi yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah berupa gambaran demograf dan monograf serta kegiatan
masyarakat Desa Bagoang, Jasinga.
6. Analisis Data
a. Mengklasifikasikan data atau mengelompokkan data dilihat dari teori
komunikasi antarbudaya dalam perspektif face negotiation theory yang
diperkenalkan oleh Stella Ting Toomey.
b. Setelah diklasifikasikan menurut jenisnya, data tersebut dihubungkan antara
pendapat satu dengan pendapat lainnya.
c. Langkah selanjutnya data tersebut ditafsirkan atau diinterpretasikan.
d. Langkah terakhir hasil temuan disimpulkan secara induktif – deduktif
(gabungan).
7. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan beberapa penelitian yang sudah
dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, maupun penelitian-penelitian lain yang pernah
membahas atau berkaitan dengan komunikasi antarbudaya masyarakat muslim
dengan suku adat lain, diantaranya yaitu :
a. Skripsi dengan Judul “Pola Komunikasi Antarumat Beragama : Studi
Komunikasi Antarbudaya Tionghoa Dengan Muslim Pribumi Di Rw 04
Kelurahan Mekarsari Tangerang” Oleh Siti Asiyah (Komunikasi Penyiaran
Islam/ Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta). Penelitian ini membahas tentang pola komunikasi antara masyarakat
Tionghoa dan masyarakat muslim pribumi. Adapun perbedaan penelitian yang
10
dilakukan oleh penulis terletak pada subjek penelitian, subjek yang diamati ialah
warga Tionghoa dan muslim probumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari
Kabupaten Tangerang. Objek penelitiannya mengenai asimilasi, akulturasi dan
enkulturasi dalam konsep budaya.
b. Tesis dengan Judul “Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Pribumi
di Kota Medan” Oleh Lusiana Andriani Lubis (Ilmu Komunikasi/ FISIP/
Universitas Sumatra Utara). Penelitian ini membahas tentang komunikasi
antarbudaya etnis Tionghoa dan warga pribumi di Medan Adapun perbedaan
penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada subjek penelitian, subjek
yang diamati ialah Etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi di Medan.
Sedangkan objek penelitiannya mengenai komunikasi antarbudaya mampu
mengubah pandangan dunia etnis Tionghoa dan pribumi di kota Medan. Secara
spesifik yang hendak dikaji dalam penelitian Lubis adalah ketiga elemen
pandangan dunia yaitu agama atau kepercayaan, nilai-nilai budaya dan prilaku.
c. Skripsi dengan Judul “Komunikasi Intra dan Antarbudaya Masyarakat
muslim pribumi Kei di Kota Tual” Oleh Nurul Ain Kabakoran (Komunikasi
Penyiaran Islam/ Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi/ UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta). Penelitian ini membahas tentang komunikasi intra dan
antarbudaya masyarakat muslim Kei di Kota Tual, komunikasi intrabudaya
masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-muslim Kei, dan komunikasi
antarbudaya masyarakat muslim Kei dan masyarakat non-Kei muslim di Kota
Tual. Adapun perbedaan penelitian yang dilakukan oleh penulis terletak pada
subjek penelitian, subjek yang diamati ialah Etnis Kei di Kota Tual. Sedangkan
11
objek penelitiannya mengenai komunikasi intra dan antarbudaya masyarakat
muslim Kei dan non-Kei muslim di Kota Tual.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi
beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut :
Bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian (Pendekatan Penelitian,
Metode Penelitian, Lokasi dan Waktu Penelitian, Subjek dan Objek Penelitian, Teknik
Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data, Tinjauan Pustaka) dan sistematika penulisan.
Selanjutnya, tinjauan teori yang berisi kerangka konsep. Adapun teori yang akan
dijabarkan oleh penulis ialah tentang komunikasi antarbudaya, pola komunikasi dan pola
budaya, konsep harmonisasi, pengertian pribumi dan etnis Tionghoa, dan kerukunan
antarumat beragama dalam Islam.
Lebihh jauh, gambaran umum mengenai Desa Bagoang, mencakup kependudukan,
agama dan kepercayaan, mata pencaharian, pendidikan dan sosial dan kultur
kemasyarakatan. Dalam bab ini jjuga menjelaskan mengenai sejarah singkat kedatangan
etnis Tionghoa di Desa Bagoang.
Adapun bab ke empat, memaparkan temuan dan analisis data, yaitu bagaimana pola
komunikasi antarbudaya masyarakat muslim pribumi dan etnis tionghoa, bagaimana
masyarakat muslim pribumi dan etnis tionghoa menciptakan harmonisasi dari perspektif
face negotiation theory dalam komunikasi antarbudaya dan apa saja yang menjadi faktor
pendukung dan penghambat dalam komunikasi antarbudaya.
12
Pada bab penutup dalam skripsi ini, penulis akan memberikan kesimpulan yang
berfungsi memberikan jawaban umum atas pertanyaan yang terdapat pada bab satu
yang diikuti saran.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang
diapresiasikan oleh manusia. Jika meniliknya dalam teropong antarbudaya, tentunya
komunikasi menjadi hal dominan dan merupakan tolak ukur dari keberhasilan pesan agar
makna yang dimaksud tersampaikan sebagaimana mestinya.
Dalam kajian ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya dianggap hal yang serius
dan perlu untuk ditelaah secara lebihh mendalam. Ini dilihat dari beragamnya budaya
yang tersebar di setiap negara yang memiliki nilai dan ideologi yang berbeda. Disetiap
perbedaan itulah muncul beberapa versi dalam pendekatan komunikasi antarbudaya,
tergantung situasi dan kondisi budaya tersebut. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, komukasi antarbudaya dapat dilihat dari pola budaya itu sendiri.
Menurut Alo Liliweri, komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi
antarpribadi antara dua orang atau lebihh yang memiliki latar budaya yang berbeda.1
Komunikasi antarbudaya dikaji lebihh mendalam untuk mempermudah pesan yang
terkandung dalam komunikasi dapat tersampaikan dengan baik sebagaimana mestinya.
Menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta :
“Komunikasi antarbudaya adala proses negosiasi atau pertukaran sistem
simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam
menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi
1 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), h. 15.
14
antarbudaya itu dilakukan : 1) dengan negosiasi untuk melibatkan manusia
didalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema
melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya
mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-
makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan; 2) melalui pertukaran sistem
simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam
komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses
pemberian makna yang sama; 3) sebagai pembimbing perilaku budaya yang
tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita; 4) menunjukkan fungsi sebua kelompok sehingga kita dapat
membedakan diri dari kelompok lain yang mengidentiikasinya dengan berbagai
cara.”2
Dalam Komunikasi antarbudaya juga terdapat sistem makna kultural yang
mengandung unsur aturan budaya (cultural rules) dan tema nilai (value theme). Pada
aturan budaya terdapat tiga ciri yaitu, aturan merupakan proposisi-proposisi yang
membimbing tindakan, aturan menyediakan seperangkat harapan, dan aturan memberi
makna. Tanpa mengetahui mengenai aturan maka akan mustahil untuk memahami
makna suatu tindakan dan pembenarannya terkandung dalam nilai umum yang
menggolongkannya sesuai budaya yang dianut ditengah masyarakat.3
Komunikasi antarbudaya tidak dapat dipisahkan dengan aturan dan nilai yang
diterapkan dalam suatu budaya. Hal ini dikarenakan adanya pembonsaian makna yang
berbeda dalam budaya. Lebihh jelasnya dalam proses terjadinya komunikasi
2 Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), h. 11-12.
3 Jennifer Noesjirwan, Pengalaman Lintas budaya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 179-180.
15
antarbudaya, masing-masing individu yang memiliki budaya yang berbeda cenderung
membiarkan budaya asalnya terlibat dalam proses interaksi antarbudaya. Jika dalam
kaitannya dengan komunikasi dapat disebut sebagai logat yang artinya pembawajahn
bahasa bahkan makna akan diinterpretasikan sebagai hal yang rumit dan sulit dicerna
saat berinteraksi dengan individu dari budaya lain. Dalam istilah komunikasi
antarbudaya dikenal pula cultural shock atau gegar budaya, dimana individu datang
pada situasi budaya baru yang membuatnya merasa ada yang „salah‟ pada budaya lain.
B. Pola Komunikasi Dan Pola Budaya
1. Pola Komunikasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pola diartikan sebagai suatu sistem.4
Pada umumnya pola dipandang sebagai suatu rancangan atau model yang terjadi
dalam suatu kejadian maupun situasi. Dalam proses komunikasi, pertukaran pesan
antara komunikator dan komunikan akan membentuk suatu pola. Hal ini dilihat dari
bagaimana proses pesan itu tersampaikan dan diterima. Menurut Nurudin dalam
bukunya, pola komunikasi yang berkembang di Indonesia ada 4 macam pola, yaitu
komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok dan
komunikasi massa.5
Komunikasi antarbudaya dapat digolongkan kedalam pola komunikasi
antarpribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi massa sesuai dengan keterlibatan
jumlah individu didalamnya. Pola dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya
merujuk pada bagaimana pesan tersampaikan dar komunikator kepada komunikan
4 Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 884-
885. 5 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Jakarta : Grafindo, 2007), h. 26.
16
yang memiliki perbedaan budaya sehingga dapat diterima maksud dan tujuan dari
pesan tersebut.
Menurut Thomas M. Steinatt, tujuan utama dari pola komunikasi antarbudaya
ialah menganalisis maksud dari peran seseorang dalam interaksinya dengan orang
lain yang memiliki perbedaan kebiasaan, kepercayaan dan nilai-nilai dalam latar
budaya masing-masing. Lebihh jelasnya pola dipandang sebagai cara individu dalam
berinteraksi dengan orang lain yang memiliki perbedaan budaya.6
2. Pola Budaya
Menurut Larry A. Samovar dalam bukunya,
“Pola budaya merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang
terintegrasi yang bekerja sama untuk menyediakan suatu model yang
terpadu, jika tidak selalu konsisten, dalam melihat dunia. Pola tersebut
berkontribusi tidak hanya pada cara anda melihat dan berfikir mengenai
dunia ini, namun jjuga pada bagaimana anda hhidup didunia ini.”
Pola budaya memiliki klasifikasi yang berbeda-beda yang dianalisis dari
bagaimana perilaku masyarakat dalam suatu budaya. Hal ini banyak dilakukan oleh
antropolog, psikolog sosial, dan ahli ilmu komunikasi dalam memandang manusia
sebagai salah satu komponen budaya. Perilaku setiap individunya memiliki
karakteristik yang unik. Untuk itu, dari banyaknya pola budaya, ada empat hal yang
memiliki inti dalam komunikasi antarbudaya.
6 Thomas M. Steinatt dan Diane M. Millete, An Integrated Approach to Communication Theory and Research
(New York : Routledge, 2009), h. 300.
17
Pertama, dikembangkan oleh Hofstede yang mengidentifikasi lima nilai
dimensi yang dapat dibagi yaitu, individualis dan kolektivis, Uncertainty Avoidance,
Power Distance, masculinity/feminity dan orientasi angka panjang ataupun jangka
pendek yang dipengaruhi oleh budaya.
Kedua, budaya yang diidentifikasi melalui lima cara yaitu dengan melihat dari
orientasi mengenai sifat manusia, hubungan manusia dan alam, orientasi terhadap
waktu, aktivitas dan orientasi relasional yang dikemukakan oleh Kluckhohn dan
Strodtbeck.
Ketiga, Edward T. Hall yang memperkenalkan klasifikasi antarbudaya
mengenai bagaimana memandang suatu budaya dari konteksnya, budaya konteks
tinggi dan budaya konteks rendah yang dilihat dari bagaimana masyarakatnya
menilai suatu informasi yang datang dari orang lain.
Keempat, klasifikasi pola budaya yang diperkenalkan oleh ahli komunikasi
antarbudaya, Stella Ting Toomey, yang memandang peranan „wajah‟ dan „identitas‟
saat berhadapan dengan konflik dan menejemen konflik manakah yang akan
digunakan demi mempertahankan self-image atau other image yang biasa disebut
sebagai Face Negotiation Theory atau Teori Negosiasi Wajah.
C. Teori Negosiasi Wajah
Dalam penelitian ini, penulis akan lebih membahas mengenai Face Negotiation
Theory atau Teori Negosiasi Wajah yang dikembangkan oleh Toomey. Teori ini
menjelaskan perbedaan-perbedaan budaya dalam merespon konflik. Lebihh jelasnya,
Ting Toomey menggambarkan teori ini mengenai bagaimana peranan wajah dan
18
identitas dalam komunikasi antarbudaya, terutama dalam situasi konflik.7 Teori ini
merujuk pada komunikasi verbal dan non verbal dalam mengatasi konflik. Penanganan
konflik jjuga akan dipandang berbeda oleh budaya individualis atau kolektivis.
Dalam teori ini, Toomey menjelaskan mengenai pemecahan masalah akibat
konflik antarbudaya itu berbeda tergantung konteks budaya tersebut. Budaya itu termasuk
ke dalam high context culture (budaya kolektivis) ataukah low context culture (budaya
individualis). Penanganannya pun sangatlah berbeda. Pada awal penelitiannya Tiong
Toomey mengklasifikasikan pemecahan masalah dengan cara integrating, domination,
obliging, avoiding dan compromising.
Integrating atau integrasi yaitu pendekatan dengan mengikutsertakan semua pihak
dalam memecahkan masalah. Pada beberapa bahasan integrating sama dengan kolaborasi
yang biasanya dilakukan saat mengatasi ketidakpuasan pihak lawan yang kemudian dicari
jalan tengah yang akan disepakati bersama.
Domination atau dominasi yaitu pendekatan yang lebihh menekankan kapada win-
lose atau lose-win, dapat juga dikatakan sebagai kompetisi yang biasanya mengharuskan
adanya yang menang diantara para pelaku konflik. Hal ini di aplikasikan oleh budaya-
budaya individualis dalam mendapat pengakuan dari orang lain.
Obliging yaitu kesediaan salah satu pihak untuk mementingkan kepentingan pihak
lawan. Dapat disebut juga sebagai akomodasi, dimana maksud dari pendekatan ini ialah
agar hubungan diantara keduanya tetap terpelihara, maka salah satu pihak harus
berkorban atau mengalah.
7 Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta : Salemba
Humanika, 2010), h. 259.
19
Avoiding atau menghindar ialah pendekatan dengan cara penyangkalan atau
penarikan diri dengan asumsi bahwa konflik akan hilang jika diacuhkan atau dianggap
tidak terlalu penting. Misalnya ketika ada konflik yang terjadi salah satu pihak
mengacuhkan konflik tersebut dengan anggapan akan mereda dengan sendirinya saat
konflik diacuhkan.
Compromissing atau kompromi yaitu pendekatan yang mencari jalan tengah yang
umumnya melibatkan pihak ketiga untuk melakukan intervensi dalam bentuk meminta
bantuan. Pihak ketiga ini biasanya memiliki otoritas lebihh tinggi yang kemudian
menangani konflik dengan mediasi atau abitrasi.
Dalam teori yang sama yang dibuat oleh Toomey, ia merasa bawa klasifikasi
pemecahan masalah akibat konflik yang telah disebutkan diatas belum mencukupi dan
dapat diterapkan pada setiap budaya yang ada di seluruh dunia. Untuk itu, Toomey
menambahkan tiga klasifikasi yaitu emotional expression, passive aggression dan third-
party help.8
Emotional expression yaitu merujuk pada keseluruhan sikap dan penyampaian
pesan melalui segenap perasaan. Misalnya, ekspresi yang diperlihatkan akan lebihh besar.
Hal ini menunjukkan bahwa penanganan konflik dapat terselesaikan dengan adanya
keterlibatan full expression dalam mengadapi konflik.
Passive aggression yaitu tidak ada keinginan untuk menghadapi masalah. Namun
hal ini dilakukan dengan cara menyalahkan orang lain. Dalam passive aggression
pelakunya memiliki sifat pasif dalam merespon konflik, karena itulah ia akan
8 Em Griffin, A First Look At Communication Theory, (New York : McGraw-Hill, 2006), h. 446.
20
menyalahkan orang lain tanpa memperlihatkan bahwa dirinya malas dalam mengadapi
konflik.
Third-party help yaitu keterlibatan pihak ketiga dalam menangani konflik antara
dua belah pihak. Biasanya dengan menunjuk seseorang yang lebih ahli ataupun disegani
untuk menengahi konflik yang terjadi. Misalnya saat terjadi konflik maupun perdebatan
dalam mendalami dan memahami materi sebuah mata kuliah, tentu saja akan sangat
dibutuhkan peran seorang dosen yang dapat menengainya dan tentu saja memiliki
pemahaman mengenai apa yang diperdebatkan.
Dalam teori face negotiation ini, komunikasi dijadikan peran penting dalam
penerapannya. Tanpa komunikasi yang baik menejemen konflik didalamnya tidak akan
berjalan. Para komunikator yang terlibat akan menempatkan diri sebagai pemeran utama
dalam menejemen konflik. Berhasil atau tidaknya menejemen konflik dalam teori ini
bergantung pada pemilihan bahasa komunikasi. Oleh karena itu, bahasa komunikasi juga
diperhitungkan dalam menejemen konflik antar komunikator yang terlibat. Komunikasi
dinilai hal yang krusial pada teori ini.
Stella Ting Toomey dan John Oetzel peneliti face negotiation theory dan
mengklasifikasikan menejemen konflik dalam teori negosiasi wajah pada komunikasi
antarbudaya memiliki perhatian khusus pada bagaimana peranan wajah seorang individu
dalam mengadapi konflik yang melibatkan dirinya. Grafik dibawah ini merupakan gaya
pemecahan konflik yang dibuat oleh Toomey dan Oetzel akan dipaparkan mengenai
menejemen konflik yang diatur sesuai dengan budaya mereka terkait peranan wajah.
21
Grafik 2.1 Peta budaya dalam delapan manajemen konflik9
Keterangan :
Pada tabel diatas menjelaskan bahwa budaya kolektivis dan individualis memiliki
cara pemecahan masalah yang berbeda sesuai tipe budaya yang berkembang ditengah
masyarakatnya, menganut sistem kolektivis ataukah individualis. Lebihh jelasnya,
Toomey membagi delapan klasifikasi menejemen konflik diatas bukan hanya pada
peranan wajah melainkan jjuga berdasarkan tipe budaya yang menjadi perhatian utama
dalam suatu budaya.
Face concern atau peranan wajah untuk diri sendiri dianggap penting oleh
penganut budaya individualis. Tipe budaya ini cenderung lebihh memandang bagaimana
9 Em Griffin, A First Look At Communication Theory, (New York : McGraw-Hill, 2006), h. 447.
Individualis Kolektivis
avoiding
Commpromissing
Third-
party help
Integrating Obliging
Dominating
Emotional
expression
Passive
Aggressio
n
LOW SELF-FACE CONCERN HIGH
LO
W
O
TH
ER
-FA
CE
CO
NC
ER
N H
IGH
22
self-image dapat membuat orang lain menilai baik atau buruk dari bagaimana dirinya
dipandang ditengah masyarakat.
Tabel 2.1 Face Negotiation Model10
BUDAYA PEMBENTUKKAN
DIRI
PERANAN
WAJAH GAYA KONFLIK
Merujuk dari pemaparan diatas mengenai teori Stella Ting Toomey dapat
klasifikasikan sebagai berikut, untuk budaya individualis dalam teori negosiasi wajah
ialah dengan cara dominasi atau kompetisi, emotional expression dan passive aggressive.
Sedangkan untuk budaya kolektivis ialah dengan cara compromissing, integrating, third-
party help, avoiding dan obliging.
10
Em Griffin, A First Look At Communication Theory, (New York : McGraw-Hill, 2006), h. 448.
Individual Independen Menjaga wajah
sendiri
Dominating/
Competition
Emotionally
Expressive
Passive
Agressive
Kolektivis Interdependen
Menjaga wajah
yang lain
Saling menjaga
wajah
Compromissing/
Integrating
Third-Party Help
Avoiding/
Obliging
23
Indonesia merupakan urutan ke-48 negara yang menganut budaya individualis.11
namun bukan berarti Indonesia menganut paham budaya individualis. Daerah pedesaan
yang masih sangat kental akan budaya dan masih menganut sistem kepercayaan nenek
moyang, dianggap sebagai penganut budaya kolektivis. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana ketergantungan masyarakat teradap masyarakat lain. Maka dari itu, penulis
merumuskan teori negosiasi wajah pada budaya kolektivis yang akan dikaji lebihh
mendalam pada penelitian ini.
D. Konsep Harmonisasi
1. Pengertian Harmoni
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harmoni diartikan sebagai bentuk
keselarasan, keterpaduan, kerukunan dan keserasian.12
Harmoni jjuga memiliki arti
tindakan pengupayaan terbentuknya keselarasan atau persamaan persepsi tanpa
mengabaikan perbedaan.
Dalam bahasa Inggris harmonius memiliki arti rukun, seiasekata, harmonize
memiliki arti seimbang atau cocok, dan harmony memiliki arti kesesuaian,
keselarasan, kecocokan, kerukunan.13
Roqib dalam bukunya menegaskan bahwa harmoni dalam konteks hakikat
merujuk pada keserasian, keterpaduan, keselarasan yang melibatkan aspek fisik dan
psikis secara sekaligus. Inti dari harmoni sebenarnya merujuk pada keselarasan lahir
batin yang berasal dari diri individu maupun sosial. Setiap individu tentu
menginginkan keharmonisan dalam hhidupnya. Harmonis yang dimaksud ialah
11
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta : Salemba
Humanika, 2010), h. 238. 12
Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h. 484. 13
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 290.
24
harmonis kreatif yang produktif dan dinamis. Hal tersebut tentunya menjadi
dambaan dan cita-cita setiap individu dan komunitas sosial. Harmonitas sosial
dicapai jika tidak terjadi konflik sosial. Namun, bukan berarti keragaman dan
perbedaan masyarakat dapat disebut konflik. Justru suatu keadaan dapat dikatakan
harmonis karena adanya keragaman dan perbedaan. Hal tersebut merujuk pada
makna dari kata harmoni itu sendiri yaitu selaras, serasi, rukun dan semacamnya
yang hanya dapat terjadi saat adanya keragaman dan perbedaan.14
2. Harmonitas Sosial
Makna harmonitas sosial dapat dipahami dari kata harmoni yang telah
dijelaskan sebelumnya yang memiliki arti rukun, selaras, serasi dan semacamnya.
Hal tersebut menjadi amat penting bagi kehhidupan sosial. Penerapan harmoni dapat
menjadi modal awal kerukunan jika dijaga dengan baik yang terwujud tanpa adanya
konflik dan perpecahan.
Harmonitas sosial sebenarnya dapat dibentuk jika semua interaksi sosial
berjalan secara wajahr tanpa adanya penekanan ataupun paksaan yang kemudian
dapat menyumbat jalan kebebasan. Menurut Muchtar yang dikutip oleh Raqib dalam
bukunya, harmonitas sosial mensyaratkan adanya jaminan yang membebaskan setiap
anggota masyarakat atau anggota sosial menyampaikan aspirasi untuk ikut terlibat
dalam perkembangan sosial tanpa adanya paksaan dan ancaman. Bukan pula dengan
cara menyumbat suara rakyat. Jika hal itu dilakukan maka masyarakat akan sungguh-
14
Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: STAIN Purwokwerto Press, 2007), h. 2.
25
sungguh berkembang dan akan tercipta kearmonisan dalam kehidupan sosial karena
adanya keadilan, pemerataan, dan hak asasi yang dihormati dengan baik.15
E. Lintas Agama
Lintas agama merupakan arti lepas dari berbagai macam agama, atau diantara
agama. Dalam istilah global yang biasa diketaui, pengertian agama didasarkan pada
kepercayaan atau keyakinan utuh yang dinut oleh seseorang. Lintas agama menjadi
perbincangan menarik belakangan ini, karena merupakan hal yang krusial dan sacral
yang menyangkut pada teks pancasila yang disebutkan dalam sila pertama.
Di Indonesia sendiri masalah agama telah banyak dibahas dan di bicarakan dalam
setiap acara, entah itu ekonomi, politik maupun budaya. Kendati demikian, agama
menjadi pengokoh persatuan. Namun berbeda halnya jika kepercayaan yang dianut
berbeda-beda dalam satu Negara kesatuan atau daerah tertentu. Agama acapkali di
anggap sebagai sesuatu yang harus dibesar-besarkan untuk mengidentitaskan seseorang.
Di Indonesia sendiri terdapat enam agama yang diakui sebagai agama inti oleh
masyarakatnya. Yakni Islam, Protestan, Katolik, Konghucu, Hindu dan Budha. Lintas
agama berarti suatu interaksi ataupun sikap yang melibatkan lebih dari satu agama
didalamnya, entah dalam segi dan bahasan apapun. Dalam litas agama juga dikenal
dengan istilah antar-agama, yang berarti terjadi pada beberapa kepercayaan. Beberapa
kepercayaan diindentikkan dengan asal suku atau budaya tergantung tempatnya.
Pada umumnya interaksi yang melibatkan dua atau lebih orang yang berbeda akan
menimbulkan apresiasi prilaku yang berbeda pula. Misalnya saat obrolan yang terjadi
15
Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, h. 21.
26
antara orang Madura dan orang Palembang akan di sebut komunikasi antarbudaya.
Begitupula dengan orang yang berinteraksi dengan yang memiliki kepercayaan yang
berbeda dengannya, maka akan disebut interaksi antaragama atau lintas agama.
F. Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Islam
Islam memandang persatuan sebagai salah satu upaya kuat untuk menghindari
permusuhan karena adanya perbedaan. Islam jjuga mengajarkan pentingnya hhidup
bertoleransi, yang berarti menerima kekurangan dan kelebihan orang lain tanpa adanya
perdebatan mengenai hal itu. Begitupun dengan perbedaan dalam menganut agama dan
kepercayaan, Islam sebagai agama yang damai memberikan pelajaran bahwa perbedaan
agama bukanlah sesuatu yang semata-mata harus disalahkan dan diperdebatkan karena
perbedaan keyakinan.
Dalam al-Quran Allah berfirman :
Artinya :
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”
Dalam tafsir al-misbah menjelaskan bahwa penegasan pada ayat terakir dalam
sural al-Kafirun diatas, merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik.16
Yang
berarti bahwa setiap agama dipandang sama dalam konsep kerukunan antarumat
beragama. Tidak dapat menyalakan kepercayaan maupun agama lain secara konkrit
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah vol 15, (Jakarta : Lentera Hati, 2007), h. 581.
27
maupun tidak. Sehingga dengan demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan
peribadatan tanpa merendahkan agama lain.
…
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama…”
Pada kedua ayat diatas menjelaskan bahwa dalam Islam tak ada paksaan untuk
memeluk agama walaupun Islam merupakan agama dakwah. Hal ini ditegaskan pada
surah al-Kafirun pada pemaparan sebelumnya. Dalam al-Quran pernyataan mengenai
sikap toleransi tidak dijelaskan secara eksplisit namun secara implisit jelas sekali
terdapat bagaimana harus bersikap dan mengetahui batasan-batasan dalam sikap
toleransi teradap agama selain Islam jjuga anjuran untuk saling mengenal satu sama lain.
Sebagaimana dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 :
Artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. al-Hujurat : 13)
28
Islam lebihh mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada
kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat
dan mendiskreditkan agama atau kelompok lain. Sebagaimana firman-Nya dalam
Q.S. Al-Hujarat ayat 11:
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebihh baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang
direndahkan itu lebihh baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka
Itulah orang-orang yang zalim.”
Dalam Islam sikap toleransi agar terciptanya kerukunan antarumat beragama
sangat dianjurkan. Karena selain untuk mencegah terjadinya perpecahan, jjuga
29
untuk menciptakan harmoni dalam kehhidupan berbangsa dan bernegara agar tetap
terjalin dengan baik sebagaimana mestinya.
30
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA BAGOANG
A. Sejarah Singkat Desa Bagoang1
Desa Bagoang Kecamatan Jasinga telah berdiri pada tahun 1953 yang pada saat itu
Pemerintah Desa di Kepalai oleh seorang Kepala Desa. Tokoh masyarakat yang terdiri
dari perwakilan masyarakat Kampung Tarisi, Kampung Bagoang dan Kampung Parung
Kembang, Kampung Jolpot dan Kampung Pasir Kandang pada 1973, mengadakan
musyawarah yang memiliki tujuan agar Desa Bagoang bisa menjadi desa induk. Dari
musyarawah tersebut menghasilkan mufakat untuk segera dilakukan pemekaran desa
sebagai dasar wilayah karena terlalu jauh dan luas. Sehingga tidak terjangkau untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat saat itu.
Nama Desa Bagoang sendiri, berasal dari kesepakatan bersama dalam forum
musyawarah yang tela disepakati oleh para tokoh masyarakat. Di mana nama Bagoang di
ambil dari salah satu bewan yang sering berkeliaran di wilayah tersebut antara Kampung
Tarisi dan Kampung Bagoang, yaitu babi atau dalam istilah masyarakat tersebut dikenal
dengan sebutan bagong, sehingga desa tersebut dinamakan Desa Bagoang yang berarti
banyak babi.
B. Kondisi Geografi2
1. Letak Geografis
Desa Bagoang Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor terletak di perbatasan
antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten yang ada di sebelah Barat Wilayah
1 Wawancara dengan Maman Suparman, tanggal 12 Desember 2016 di Kantor Kelurahan Desa Bagoang.
2 Profil Desa Bagoang tahun 2015. Dokumen dalam bentuk soft file Microsoft Word yang diberikan oleh Sekretaris
Desa Bagoang pada tanggal 13 Mei 2016. (Dokumen tidak dipublikasikan).
31
Desa, dengan Luas Wilayah mencapai 450 Ha, yang terdiri dari 3 dusun dengan 6
Rukun Warga (RW) dan 27 Rukun Tetangga (RT). Desa Bagoang memiliki batas
wilayah administratif sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Pangaur
Sebelah Timur : Desa Barengkok
Sebelah Selatan : Desa Selatan
Sebelah Barat : Desa di Provinsi Banten
2. Topografi
Desa Bagoang merupakan desa yang berada di daerah dataran rendah dengan
suhu rata-rata mencapai 26°C-35°C. Sebagian besar wilayah Desa Bagoang adalah
dataran dan sebelah barat dibatasi oleh sungai Cidurian yang masuk kedalam wilayah
Povinsi Banten sekaligus menjadi batas antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi
Banten.
3. Hidrologi dan Klimatologi
Aspek Hidrologi suatu wilayah desa sangat diperlukan dalam pengendalian dan
pengaturan tata air wilayah desa. Berdasarkan hidrologinya, aliran-aliran sungai di
wilayah Desa Bagoang membentuk pola daerah aliran sungai atau DAS tercatat ada
beberapa sungai maupun selokan baik skala kecil, sedang, dan besar. Disamping itu
ada pula beberapa mata air yang bisa digunakan sebagai sumber mata air bersih,
maupun sumber air untuk pertanian. Mata air utama yang menghidupi masyarakat
Desa Bagoang adalah di antaranya mata air Cidurian dan mata air Cipangaur.
Penanganan keirigasian/pengairan di arahkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan para petani sawah dan kolam air tawar, maupun perkebunan. Dibentuk
32
pula sistem drainase yang merupakan sistem pengaliran air hujan yang terdiri dari 2
(dua) macam sistem yaitu sistem drainase melalui sungai, solokan, atau saluran
sekunder atau di sebut drainase makro, serta sistem yang melalui saluran-sluran
lingkungan atau di sebut drainase mikro.
Selain itu, air bersih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih,
saat ini penduduk Desa Bagoang sebagian besar masih menggunakan mata air
konvensional (Non PAM), tidak ada yang menggunakan jasa PAM sedangkan yang
mengunakan sumur pompa sebanyak 11 rumah atau 1%, sumur gali sebanyak 170
rumah atau 39%, fasilitas air umum (bersama-sama) sebanyak 453 rumah, atau
sebesar 60%. Untuk lebih jelasnya mengenai masalah sumber air yang di gunakan
masyarakat dapat di lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3 1 : Jenis Sumber Air yang Digunakan
No Tahun Jumlah
1 PAM -
2 Sumur Pompa 11
3 Artiesis -
4 Sumur Gali 170
5 Fasilitas Air Bersama 453
6 Kali/Sungai 190
4. Luas dan Sebaran Pengunaan Lahan
Pada umumnya lahan yang terdapat di Desa Bagoang digunakan secara
produktif, dan hanya sedikit saja yang tidak digunakan. Hal ini menunjukan bahwa
kawasan Desa Bagoang memiliki sumber daya alam yang memadai dan siap untuk
diolah. Luas lahan berupa sawah teknis seluas 62,455 Ha, Tadah hujan 9,235 Ha dan
yang lainnya berupa lahan untuk makanan ternak/pengangonan leuwung kolot/ Hutan
33
Rakyat. Untuk lebih jelasnya mengenai luas tanah dan penggunaannya dapat dilihat
pada table berikut ini:
Tabel 3 2 : Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaan tahun 2015
Sawah (Ha) Darat (Ha)
Teknis ½
Teknis
Tadah
Hujan
Pekarangan
Pemukiman
Hutan
Rakyat Pengangongan Lain-lain
62,455 - 9,235 40 10 8 48
5. Luas Wilayah Desa Bagoang
Di wilayah Desa Bagoang masih terdapat banyak area persawahan dan tanah
yang digunakan warga untuk berkebun. Pemukiman warga juga tidak terlalu banyak
dan belum terlalu padat penduduk.
Tabel 3 3 : Luas Lahan Secara Umum
No Jenis Lahan Luas
1 Tanah Darat 330 ha
2 Sawah 120 ha
Jumlah 450 ha
Desa Bagoang terdiri dari 3 Dusun, 6 RW dan 27. RT, yaitu :
a. Dusun I : RW 01 s.d RW 02 terletak disebelah Selatan
b. Dusun II : RW 03 s.d RW 04 terletak disebelah Utara
c. Dusun III : RW 05 s.d RW 06 terletak disebelah Barat
C. Kondisi Demografis3
1. Struktur Penduduk Desa Bagoang
Penduduk Desa Bagoang berdasarkan data terakhir hasil Sensus Penduduk
Tahun 2010 tercatat sebanyak 5.157 jiwa, Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel dan grafik di bawah ini.
3 Profil Desa Bagoang tahun 2015. Dokumen dalam bentuk soft file Microsoft Word yang diberikan oleh Sekretaris Desa
Bagoang pada tanggal 13 Mei 2016. (Dokumen tidak dipublikasikan).
34
Tabel 3 4 : Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-Laki 2.473
2 Perempuan 2.684
Jumlah 5.157
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan penduduk laki-laki dengan presentase penduduk perempuan
52% dan penduduk laki-laki 47%.
Tabel 3 5 : Jumlah Penduduk Menurut Usia Penduduk
No Jenis Jumlah
1 0-2 Tahun 672
2 3-4 Tahun 344
3 4-6 Tahun 1.273
4 7-12 Tahun 490
5 13-15 Tahun 372
6 16-19 Tahun 481
7 20-30 Tahun 410
8 31-45 Tahun 415
9 46-60 Tahun 256
10 61-70 Tahun 268
11 71 tahun ke atas 174
Jumlah 5.157
Menurut data di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk dengan usia 4 sampai
6 tahun lebih banyak dibandingkan dengan penduduk dengan rentang usia yang lain.
Dapat dilihat pula dari tabel diatas bahwa usia balita dari 0-5 tahun lebi banyak
dibandingkan usia remaja dan dewasa.
Tabel 3 6 : Jumlah Pertambahan Penduduk Pertahun
No Tahun Jumlah
1 2001 3.650
2 2002 3.669
35
Penduduk Desa Bagoang berdasarkan data terakhir hasil Sensus Penduduk
Tahun 2010 tercatat sebanyak 5.157 Jiwa, Tahun 2009 sebanyak 4.105 Jiwa, Tahun
2008 4.035 Jiwa, Tahun 2007 sebanyak 3.998 Jiwa, mengalami kenaikan setiap
tahunnya rata-rata sebesar 40 %.
Jumlah rumah tangga di Desa Bagoang Tahun 2007, sebanyak 959 Rumah
Tangga/KK, Tahun 2008, sebanyak 823 Rumah Tangga/KK, Tahun 2009 sebanyak
983 Rumah Tangga/KK. Proyeksi jumlah penduduk di Desa Bagoang pada Tahun
2015 berjumlah 6.531 Jiwa, Tahun 2014 berjumlah 5.258 Jiwa.
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang merupakan modal dasar pembangunan peradapan disuatu
daerah menadi hal yang penting dalam meningkatkan sumberdaya manusia.
Grafik 3 1 : Presentase Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
25%
39% 18%
17%
1% Tingkat Pendidikan
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SLTP
Tamat SLTA
S1/D3/D2/D1
3 2003 3.798
4 2004 3.887
5 2005 3.980
6 2006 3.952
7 2007 3.998
8 2008 4.035
9 2009 4.105
10 2010 5.157
36
Grafik di atas memberikan informasi bahwa tingkat pendidikan di Desa
Bagoang mayoritas tamat SD (Sekolah Dasar) dikarenakan minimnya minat belajar
dari warga Desa Bagoang secara keseluruhan dan anak-anak Desa Bagoang secara
khusus.
3. Mata Pencaharian
Grafik 3 2 : Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Jika dilihat dari grafik di atas maka dapat disimpulkan bahwa buruh dan petani
merupakan mata pencaharian terbanyak penduduk Desa Bagoang, Disusul dengan
karyawan swasta, tukang, dan kuli. Data di atas menjelaskan bahwa penduduk Desa
Bagoang rata-rata merupakan penduduk menengah ke bawah.
4. Agama dan Kepercayaan
Agama dan kepercayaan yang terdaftar sebagai warga Desa Bagoang ialah
Islam, Katolik dan Konghucu. Hal ini didasarkan pada pengamatan tahun 2010
2% 13%
18%
12%
4% 2%
24%
7%
1% 5%
12%
Mata Pencaharian
PNS / Pensiunan PNS
Karyawan Swasta
Buruh
Tukang
Wiraswasta/Pengrajin
Pedagang
Petani / Buru tani
Pengemudi Ojeg
Guru / Ustad
Kuli
Pengangguran
37
tentang kependudukan Desa Bagoang. Namun sampai saat ini belum ada sensus pasti
mengenai berapa banyak jumlah penganut kepercayaan pada setiap agama.
D. Sarana dan Prasarana4
1. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Grafik 3 3 : Prasarana Pendidikan
Berdasarkan grafik diatas, Desa Bagoang memiliki sarana dan prasarana
pendidikan yang cukup yaitu ada 4 lembaga PAUD, 4 Sekolah Dasar Negeri, 1
Madrasah Tsanawiyah dan 2 yayasan pondok pesantren yang masih berbasis salaf.
2. Sarana dan Prasarana Keagamaan
4Profil Desa Bagoang tahun 2015. Dokumen dalam bentuk soft file Microsoft Word yang diberikan oleh
Sekretaris Desa Bagoang pada tanggal 13 Mei 2016. (Dokumen tidak dipublikasikan).
PAUD SD Negeri MTS Swasta PondokPesantren
0
1
2
3
4
5
Prasarana Pendidikan
Masjid Mushola Pesantren Vihara Gereja
0
5
10Prasarana Keagamaan
Grafik 3 4 : Prasarana Keagamaan
38
Pada grafik diatas menunjukkan Desa Bagoang memiliki beberapa fasilitas atau
sarana dan prasarana keagamaan diantanya lima buah masjid, enam buah musala,
delapan pesantren, satu vihara dan satu gereja.
3. Prasarana dan Sarana Sosial Ekonomi
Pada umumnya jenis sarana sosial ekonomi masyarakat Desa Bagoang berupa
usaha perdagangan, terutama warung kebutuhan rumah tangga sehari-hari yang
berskala kecil.
Di samping itu pula saran ekonomi yang menjadi tulang ekonomi masyarakat
Desa Bagoang adalah perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Kecamatan Jasinga
(Pabrik), transportasi ojeg, dan sarana lahan pertanian dan perkebunan dengan skala
kecil pula.
Hal yang menjadikan Desa Bagoang maupun Desa-desa yang ada di Kecamatan
Jasinga berbeda dengan Desa dan Kecamatan lain di Kabupaten Bogor. Ada pula
pasar modern desa bagoang yang baru dibangun di samping kantor kelurahan.
Bangunannya telah dididirikan sejak tahun 2015, namun belum terealisasi karena
belum ada warga yang mau mengisinya untuk berjualan.
4. Transportasi dan Perhubungan
Panjang jalan di Desa Bagoang Pada tahun 2014 sepanjang 13 Km (13.000
meter), yang terdiri atas jalan Desa 3 Km, serta jalan Desa sepanjang 10 Km. Mulai
Tahun 2000, di Desa Bagoang mulai di lintasi oleh trayek angkutan yaitu Trayek
Jasinga-Tenjo sehingga amat membantu bagi transportasi masal penduduk. Namun
demikian angkutan ojeg masih mendomisili alat transportasi penduduk. Hal ini bisa
39
terlihat banyaknya jumlah pemgemudi ojeg di Desa Bagoang. Yaitu sebanyak 120
Orang.
5. Energi
Pada umumnya masyarakat desa Bagoang Sudah hampir 90% tersambung
jaringan listrik. Mengingat jaringan listrik sudah sampai ke setiap RW se-Desa
Bagoang, hanya masih ada beberapa rumah yang belum tersambung, karena satu
kendala yakni faktor ekonomi. Mereka umumnya mengambil aliran listrik kepada
tetangga terdekatnya. Jumlah rumah yang memasang sambungan listrik di Desa
Bagoang Pada tahun 2013 sebanyak 211 Rumah.
E. Sejarah Singkat Kedatangan Etnis Tionghoa di Desa Bagoang5
Kedatangan Etnis Tionghoa tak luput dari peristiwa kemerdekaan Indonesia saat
dijajah oleh jepang yang kemudian etnis Tionhgoa mengakar bahkan menyebar keberbagai
daerah di Indonesia. Salah satunya dipinggiran ibu kota Jakarta yaitu di Tangerang.
Pada masa pendudukan Jepang di Jasinga sekitar tahun 1942 seluruh pabrik karet
kolonial belanda di Jasinga dan Cimaraca dirusak dan dikuasai, dampak lainnya juga tidak
beroperasinya pabrik-pabrik milik swasta. seperti pabrik minyak sereh yang berada di
janglapa disebelah utara wilayah jasinga yang bangkrut ditinggalkan pemilikinya dan
meninggalkan buruh-buruh pabrik yang mayoritas adalah warga etnis tionghoa yang
didatangkan dari Tangerang. mereka terdiri dari beberapa kepala keluarga tinggal ditempat
seadanya di pinggiran desa.
Pak Sanusi yang saat itu menjabat kepala desa bagoang tergugah untuk
memindahkan mereka ke suatu tempat diwilayahnya. meeka lalu mendapatkan tempat di
5 Wawancara dengan Maman Suparman, tanggal 12 Desember 2016 di Kantor Kelurahan Desa Bagoang.
40
Kampung Tarisi Desa Bagoang yang berada di pinggir jalan antara Jasinga dan Tenjo.
Masyarakat Tionghoa ini bermarga Tan yang menganut agama leluhurnya, dan beberapa
dari mereka mempunyai keahlian sebagai pandai besi tempa.
Pemerintah Jepang saat itu meminta kepada Pak Sanusi selaku kepala Desa Bagoang
agar dapat memenuhi kebutuhan tentara Jepang berupa pisau bayonet (pisau pada ujung
senapan). Pak Sanusi menunjuk Tan Cheng Liem dan kawan-kawannya untuk membuatkan
beberapa pisau bayonet. beberapa pisau bayonet yang memenuhi standar tentara Jepang
lalu dibawanya untuk kebutuhan perang.
F. Sosial Budaya Masyarakat Desa Bagoang6
Kebudayaan yang ada di desa Bagoang Merupakan modal dasar pembangunan yang
melandasi pembangunan yang akan di laksanakan, warisan budaya yang bernilai luhur
merupakan dasar dalam rangka pengembangan pariwisata ang di jiwai oleh mayoritas
Keluhuran Nilai Agama Islam. Salah satu aspek yang di tangani dan terus di lestarikan
secara berelanjutan adalah pembinaan berbagai aspek kelompok kesenian.
Pemerintahan terus membina kelompok dan organisasi kesenian ang ada, walaupun
dengan keterbatasan dana yang di alokasikan, namun semangat para pewaris kebudayaan
di Desa Bagoang terus menjaga berusaha menjaga, merawat serta memeliharanya agar
budaya dan kelompok kesenian tersebut terus terpelihara.
Beberapa kelompok kesenian yang ada di Desa Bagoang yang masih eksis dan
terawatt walaupun kondisinya sangat memprihatinkan di antaranya dapat di lihat pada tabel
berikut.
6 Profil Desa Bagoang tahun 2015. Dokumen dalam bentuk soft file Microsoft Word yang diberikan oleh Sekretaris Desa
Bagoang pada tanggal 13 Mei 2016. (Dokumen tidak dipublikasikan).
41
Tabel 3 7 : Data Kelompok Budaya dan Kesenian
No Jenis kelompok Budaya dan Kesenian Jumlah Keterangan
1 Seni Calung -
2 Wayang Golek -
3 Singa Depa 1 Aktif
4 Reog -
5 Pencak silat 1 Aktif
6 Kliningan -
7 Beluk -
8 Upacara Adat -
9 Qasidah 8 Aktif
Jumlah 10
Di bidang pariwisata, Desa Bagoang Terus berupaya memelihara satu-satunya lokasi
Wisata budaya yaitu singa depok, lokasi ini dari zaman sebelum kemerdekaan sampai
dengan sekarang masih sering di kunjungi terutama oleh wisatawan domestic, terutama
sering di pergunakan menjadi kawasan Wisata bagi sekolah maupun organisasi
kepemudaan lainnya.
Namun dengan demikian lokasi Wisata alam ini belum tergali dan terpelihara secara
optimal, mengingat dana yang amat terbatas, sehingga hanya memanfaatkan lokasi yang
seadanya. Padahal jika saja lokasi ini di kelola dengan baik, niscaya akan menjadi lokasi
wisata yang menjanjikan dan yang paling cocok lokasi ini di peruntukan misalnya bagi
wisata camping ground, wisata air, wisata olahraga, wisata kuliner, maupun yang lainnya.
Hampir setiap pekan lokasi ini selalu di kunjungi oleh wisatawan. Sehingga dalam
kepemimpinan Kepala Desa terpilih pada periode ini (periode 2013-2019), kesenian
Singa Depa besar skala prioritas program kegiatan Kesenian yang harus dilestarikan.
Di samping itu pula masih banyak budaya-budaya yang ada di Desa Bagoang yang
dulu sempat ada dan sekarang menjadi tenggelam, hal ini perlu di kembalikan pada
42
beberapa tahun mendatang, sehingga anak cucu di Desa Bagoang akan teringat kembali
akan semua peninggalan budaya nenek moyangnya, yang mana kondisi akhir-akhir ini
sudah banyak kehilangan dan sudah tidak mengenal lagi budaya karuhun.
G. Keadaan Masyarakat antaretnis di Desa Bagoang
Dalam kehidupan masyarakat desa bagoang, ragam budaya dan kepercayaan dinilai
sebagai hal yang tidak memengaruhi pergaulan antarmasyarakat. Masyarakat di desa
bagoang senantiasa menjalin hubungan diantara mereka dengan tanpa membeda-bedakan
golongan maupun kepercayaan. Dilihat dari data jumlah penduduk menurut kepercayaan,
agama mayoritas yang dianut adalah Islam. Oleh karena itu, sudah dapat dipahami bahwa
kebudayaan yang akan menjadi tradisi di desa bagoang ialah tradisi Islam yang kemudian
diaplikasikan pula oleh masyarakat Tionghoa beragama Konghucu dan Katolik. Mereka
akan bersama-sama memeriahkan hari besar agama tetangganya dengan berpartisipasi
sampai membantu mempersiapkan segala kebutuhan pada hari rayanya. Misalnya pada
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, jika kebanyak dari kita akan berpikir bahwa
perayaan ini hanya akan di gelar dan dilakukan oleh umat Islam, tidak begitu halnya
dengan masyarakat Desa Bagoang. Para pemeluk agama Konghucu dan Protestan juga
terkadang ikut memeriahkan dengan melakukan ritual selametan.
Selain hal diatas, pada perayaan natal dan tahun baru imlek, masyarakat muslim
lainnya bahu-membahu membantu menyiapkan acara keagamaannya. Selain hubungan
masyarakat yang harmonis dan kompak, Desa Bagoang juga terlihat memiliki cerminan
untuk bisa dijadikan contoh sebagai desa tentram yang memiliki beragam perbedaan
didalamnya.
43
Penganut agama lain merupakan pendatang hampir seabad yang lalu, namun tidak
menutup tradisi adat lama di desa bagoang. Sekilas tidak akan terlihat perbedaan diantara
masyarakat yang berbeda suku dan kepercayaan. Namun, kebiasaan unik di desa bagoang
seperti turut memeriahkan hari besar agama lain dapat menjadi hal yang menarik untuk
penulis kaji.
44
BAB IV
POLA KOMUNIKASI DALAM MENCIPTAKAN HARMONI
A. Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Lintas Agama di Desa Bagoang
Komunikasi di Desa Bagoang yang terjalin antara dua etnik, yakni etnik sunda
dan Tionghoa, tiga pemeluk agama, yaitu Islam Konghucu dan Katolik terjalin
dengan baik dan menjunjung tinggi rasa saling menghormati. Komunikasi yang
terjalin juga melalui berbagai mediator dengan cara verbal maupun nonverbal diantara
masyarakat dan saling bertukar informasi melalui komunikasi, masyarakat melakukan
hal tersebut dalam kegiatan keseharian.
Masyarakat Tionghoa yang tinggal di Kampung Tarisi Desa Bagoang memiliki
jumlah sekitar ratusan orang dan terdiri dari puluhan kepala keluarga. Kebanyakan
bekerja sebagai pengrajin golok atau petani, sedangkan sebagian lain ada yang
berdagang dan bekerja diluar daerah.
Kampung Tarisi atau biasa disebut juga kampung cina oleh masyarakat Desa
Bagoang, terletak agak jauh dari jalan raya dan diisi oleh 90% etnis Tionghoa yang
menganut agama Islam, Katolik dan Konghucu. Kampung cina terletak lumayan jauh
dari jalan maupun pemukiman diluar kampung lain di Desa Bagoang, namun tak
sedikit orang yang sering berlalu-lalang keluar masuk kampung menggunakan sepeda
motor.
Komunikasi yang dilakukan masyarakat dalam kegiatan keseharian, kebanyakan
melalui face to face atau tatap muka secara langsung. Namun ada juga yang
berkomunikasi dengan telepon genggam mereka melakukan pertukaran informasi
bukan hanya dengan warga satu kampung saja, melainkan juga dengan orang diluar
desa bahkan daerahnya.
45
Desa Bagoang dapat dikatakan sebagai desa yang sudah cukup maju
dibandingkan desa lain disekitarnya. Masyarakatnya sudah banyak yang mengenal
adat istiadat maupun budaya luar karena penggunaan media informasi lain, seperti
televisi, radio, bahkan banyak pula yang sudah memiliki smartphone. Seiring dengan
banyaknya pendatang dari daerah lain yang kemudian menetap di Desa Bagoang,
maka sedikit demi sedikit pula, gaya hidup masyarakat berubah menjadi lebih
modern.
Dalam hasil observasi penulis, komunikasi yang dilakukan antara dua etnis dan
tiga penganut agama ini, memiliki varian konten pesan yang sangat menarik yang
membuat masyarakat tidak terlepas dari rasa saling menghormati sampai terjalinnya
keharmonisan diantara mereka. Diantaranya yaitu dari pilihan segi bahasa atau dialek
dan juga isi dari pesan itu sendiri.
1. Bahasa
Masyarakat Bagoang dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya
menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa utama sekaligus keseharian. Bahasa
sunda juga tidak hanya digunakan oleh etnis sunda saja melainkan juga oleh
masyarakat etnis Tionghoa yang sudah sangat fasih berbahasa sunda, dari intonasi
hingga pelafalannya. Hal tersebut dianggap sangat wajar dilihat dari kedatangan
etnis tiongoa di Desa Bagoang yang sudah lumayan lama, yakni kurang lebih
sudah satu abad lamanya tinggal di kampung cina Tarisi Desa Bagoang ini.
Terdapat beberapa perbedaan dalam bahasa sunda yang disebut juga
tingkatan bahasa sunda, yakni bahasa sunda halus, bahasa sunda loma dan bahasa
sunda kasar. Perbedaan penggunaan bahasa juga bergantung kepada lawan bicara.
Pada umumnya, masyarakat Desa Bagoang jika berbicara kepada pendatang akan
46
menggunakan bahasa Indonesia atau sunda halus. Namun pada kehidupan sehari-
hari masyarakat di Bagoang menggunakan bahasa sunda kasar. Perbedaan bahasa
sunda halus, bahasa sunda loma dan bahasa sunda kasar ialah dari pilihan kata
saja, tetapi saat ini diindikasikan pula dari intonasi kata yang diucapkan.
Bahasa sunda kini dibedakan pula dari tempat asalnya. Desa Bagoang yang
berbatasan dengan kabupaten lebak akan lebih sering menggunakan bahasa sunda
loma dan sunda kasar, pilihan kata dan bahasa ini juga melihat pada usia lawan
bicara dan kondisi mental pembicara, misalkan antara anak dan orang dewasa
akan menggunakan bahasa sunda loma atau jika sedang marah maka akan
menggunakan bahasa sunda kasar.
Seiring dengan banyaknya pendatang maupun interaksi dengan orang luar,
perlahan di Desa Bagoang bahasa Indonesia juga digunakan sebagai bahasa
keseharian bahkan saat ini banyak masyarkat yang juga mengajarkan pelafalan
bahasa Indonesia kepada anak-anaknya dalam kehidupan sehari-harinya, yakni
dengan cara berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia maupun dengan cara
mengajak anak menonton acara-acara televisi. Dari sisi inilah komunikasi lintas
budaya dan agama yang terjalin dapat terlihat dan aktivitas yang biasa dilakukan
secara lisan oleh masyarakat.
Menurut engkong Dawi, masyarakat etnis Tionghoa di Bagoang tidak dapat
disamakan dengan etnis Tionghoa di Tangerang. Walaupun keduanya sama-sama
satu etnis, namun kehidupan kesehariannya sangatlah berbeda, dari gaya hidup
maupun bahasa. Karena adat dan kebiasaannya yang sudah sejak lama berubah.
47
Perbedaan itu pula yang membuat etnik Tionghoa di Desa Bagoang ini merasa
bukan masyarakat pendatang, melainkan warga asli Bagoang.1
2. Pesan
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Bagoang yang bertukar
informasi melalui komunikasi ini, sering mengimplementasikan pesan yang
biasanya berkutat seputar kegiatan maupun masalah keluarga dan bisnis. Hal
tersebut dilakukan oleh masayarakat lintas etnis dan agama.
Sekilas tidak akan terlihat perbedaan mengenai isi pesan maupun pertukaran
informasi diantara mereka, namun antar penganut agama Konghucu dan Katolik
lebih sering berinteraksi, karena kesamaan tempat atau daerah yang mereka
tinggali, maupun karena kesamaan etnis mereka. Walaupun tidak sedikit pula etnis
Tionghoa yang sudah memeluk agama Islam disana.
Sedangkan untuk berkomunikasi antar masyarakat Desa Bagoang dan orang
luar desa, mayoritas ialah mengenai bisnis, biasanya obrolan seputar penjualan
golok Tarisi yang sudah banyak dikenal orang, ataupun seputar obrolan penjualan
tanah di desa. Dalam pergaulan sehari-hari masyarakat saling bertukar informasi.
Interaksi diantara masyarakat terjalin dengan baik, jarang ada kesalahpahaman
dalam pertukaran informasi diantara mereka Karena masyarakat desa lebih sering
bertukar informasi melalui obrolan langsung dibandingkan melalui media seperti
telepon genggam.
1 Wawancara dengan Tan Ceng Liem, sesepuh desa, tanggal 1 Desember 2017 di Kediaman Tan Ceng Liem.
48
Pembuatan golok khas Tarisi oleh pengrajin golok Tan Ceng Liem
Masyarakat Desa Bagoang sedang bercengkrama disalah satu rumah warga
Foto pertama diatas diambil saat pengrajin golok Tan Ceng Liem sedang
membuat ukiran golok sebagaimana permintaan pembeli yang dapat dihargai
sesuai kesulitan pembuatan desain ukirannya. Sedangkan foto yang kedua diambil
saat warga kampung cina Tarisi sedang bercengkrama seputar bisnis dan
penjualan golok khas Tarisi yang biasa di sebut golok Tan Ceng Liem. Kegiatan
ini hampir setiap hari terjadi di Desa Bagoang, apalagi ketika permintaan
konsumen besar dan harga golok bagus dipasaran. Biasanya yang dating ialah para
49
tengkulak dari berbagai pasar yang tersebar didaerah Bogor dan Tangerang yang
memesan puluhan golok untuk dijualnya kembali. Nego harga dan kecocokan
desain golok yang diminta yang biasanya menjadi bahasan obrolan mereka.
B. Komunikasi Dalam Menciptakan Harmoni Antar Sesama
Dalam hal ini masyarakat Desa Bagoang yang terdiri dari dua etnik dan tiga
penganut agama berkomunikasi dengan berbagai cara dan media yang mereka
pergunakan. Namun dalam kaitannya untuk menciptakan harmoni dan tidak adanya
kesimpangsiuran hambatan dalam menyampaikan pesan, masyarakat Desa Bagoang
lebih banyak berbicara langsung tanpa menggunakan media. Hal ini dilakukan untuk
mencegah timbulnya kesalahpahaman. Walaupun sudah sangat banyak bahkan hampir
keseluruhan masyarakat Desa Bagoang sudah memiliki handphone, tetapi untuk hal
yang lebih penting dan dianggap serius, masyarakat lebih memilih untuk
membahasnya dengan cara bertemu secara langsung.
Dalam teori negosiasi wajah yang diperkenalkan oleh Stella Ting Toomey yang
telah dibahas pada bab sebelumnya, membahas mengenai bagaimana masyarakat
mencari jalan untuk memecahkan masalah dan menjaga terjalinnya harmoni dari hal
tersebut.
Dalam penerapannya, masyarakat Indonesia khususnya Desa Bagoang
merupakan penganut budaya kolektivis karena hampir keseluruhan dari aktivitasnya
masih mengacu pada budaya nenek moyang yang kental akan adat istiadat dan masih
sering terjadi interaksi antara masyarakatanya.
Dalam budaya kolektivis terdapat lima macam cara penanganan konflik yaitu
Compromissing atau kompromi, integrating atau pendekatan dengan
mengikutsertakan semua pihak dalam memecahkan masalah, third-party help atau
50
keterlibatan pihak ketiga, avoiding atau penghindaran konflik dan obliging atau
kesediaan salah satu pihak untuk mementingkan kepentingan pihak lawan.
Dari kelima macam cara diatas, penulis menemukan berbagai penanganan
konflik yang dihadapi oleh masyarakat Desa Bagoang. Cara diatas diaplikasikan
sebagaimana situasi dan siapa yang terlibat didalamnya.
Pada kasus yang diceritakan oleh engkong Dawi “pernah ada 18 preman yang
nyamperin engkong ngegedor pintu bawa golok, engkong bilang „ini negara
pancasila bukan negara ribut‟ sambil ngangkat golok dia jawab „itu bukan aturan
saya‟. Pas ditelisik ternyata ada dalangnya. Nah disitu engkong ngomong ama dia”.2
Dalam pemaparan yang telah dijelaskan oleh engkong Dawi, konflik yang terjadi
disini juga mengatasnamakan kedudukan suku yang ternyata setelah dikonfirmasi
dan dilakukan perundingan, preman dan dalangnya tersebut sudah tidak lagi datang
ke kediaman engkong Dawi.
Pemaparan diatas mengenai implementasi dari kompromi, sedangkan dalam
integrating atau mengikutsertakan semua pihak dalam memecahkan masalah jarang
terjadi di Desa Bagoang, biasanya karena perasaan tidak enak untuk melibatkan
orang lain dalam masalahnya sendiri atau masalah pribadi, sedangkan jika untuk
skala yang cukup rumit dan besar, menejemen konflik dengan cara integrating inilah
yang akan digunakan. Biasanya melibatkan para petinggi atau sesepuh sebagai
penengah persoalan.
Cara berikutnya yaitu Third Party Help yang melibatkan pihak ketiga, tidak
jauh beda dengan integrating yang melibatkan pihak lain, begitu pula dengan
penanganan konflik yang akan dilakukan oleh masyarakat Desa Bagoang. Menurut
2 Wawancara dengan Tan Ceng Liem, sesepuh desa, tanggal 1 Desember 2017 di Kediaman Tan Ceng Liem.
51
pak RT Gondel “keterlibatan orang lain dalam menangani konflik tergantung dari
siapa yang terlibat didalamnya, jika masih anak remaja, pasti akan dibantu oleh
saudara atau keluarganya. Sedangkan jika ia sudah dewasa dan cukup untuk
memecahkan masalah sendiri, biasanya tidak melibatkan orang luar”.3
Untuk avoiding atau salah satu pihak maupun keduanya menghindari konflik
jarang juga terjadi karena dianggap masalah tidak akan terselesaikan dengan cara
dihindari. Justru masyarakat yang terlibat akan lebih mengutamakan jalan
perundingan atau kompromi yang telah disebutkan sebelumnya.
Obliging atau mementingkan kepentingan pihak lain dapat dikatakan pula
sebagai mengalah. Dalam hal ini salah satu pihak akan mengalah pada pihak lain.
Bukan karena ia mau mengalah begitu saja melainkan karena tidak ingin
memperpanjang masalah yang dinilai akan lebih rumit jika dibahas berkepanjangan.
Mengalah dalam obliging ini dikenal dengan dua sikap, yakni mengalah karena
merasa pihak lawan lebih pantas memenangkan persoalan dan mengalah karena acuh
akan masalah yang dihadapi. Di Desa Bagoang lebih mengenal mengenai mengalah
karena pihak lawan pantas untuk menang yang berarti mengalah karena tidak ingin
masalah ini dibesar-besarkan, biasanya hanya dimintai klarifikasi antara orang yang
bersangkutan, seteleh itu berdamai, tanpa adanya keributan maupun percekcokkan
diantara mereka. Menurut engkong Dawi masalah yang terjadi diantara masyakat
antar suku dan agama disini lebih banyak yang mengalah karena merasa disini adalah
saudara semua. “Kalau sedikit-sedikit ribut, mau makan apa kita disini?” Tanya
engkong dawi pada dirinya sendiri mengisyaratkan bahwa keributan menimbulkan
ketidaktentraman diantara masyarakatnya. Bahkan jika ada sesuatu terkadang tidak
3 Wawancara dengan Pak Gondel, Ketua RT Tarisi, tanggal 5 Mei 2016 di salah satu rumah warga.
52
akan diperpanjang, bukan berarti dihindari, namun kebanyakan akan mengalah
karena rasa persaudaraan.4
Grafik 4.1 Tingkat keberhasilan menejemen konflik
Dari tabel diatas menjelaskan mengenai bagaimana menejemen konflik yang
baik untuk dilakukan. Dalam wawancara dengan engkong dawi yang dibahas
sebelumnya. Menejemen konflik dengan cara kompromi lebih mudah dilakukan dan
mengahadapkan orang-orang yang terlibat kepada jalan tengah yang tidak akan
menitikberatkan salah satu pihak manapun.
Dilihat dari pemaparan cara penanganan konflik diatas, Desa Bagoang
memiliki nilai tinggi terhadap toleransi antar umat beragama dan antarbudaya karena
rasa persaudaraan yang mengakar dalam hati masyarakat yakni seringnya bertemu
untuk memecahkan suatu masalah bersama-sama. Dari sinilah akan timbul rasa
persaudaraan yang erat. Saat penulis datang ke Desa pun, komunikasi yang terjalin
diantara mereka sangat akrab dan harmonis.
Masyarakat Desa Bagoang pada umumnya tidak mengenyam pendidikan secara
formal disekolah. Adapun yang bersekolah hanya menikmati masa sekolah dasar saja
karena minimnya pengetahuan mengenai pentingnya belajar. Namun kerukunan yang
4 Wawancara dengan Tan Ceng Liem, sesepuh desa, tanggal 1 Desember 2017 di Kediaman Tan Ceng Liem.
COMPROMISSING INTEGRATING OBLIGING THIRD PARTY HELP AVOIDING
Tin
gkat
Ke
be
rhas
ilan
menejemen konflik dalam face negotiation theory
53
terjalin karena pemikiran yang terukir sejak mereka kecil. Yakni hampir seluruh
warga Desa Bagoang adalah saudara, satu nenek moyang.
Walaupun keragaman kepercayaan dan budaya sudah lama mengakar,
kebersamaan dan rasa persaudaraanlah yang membuat warga desa hidup rukun dan
saling berdampingan tanpa melibatkan konflik besar.
C. Pola Komunikasi dalam Acara Ritual dan Keagamaan masyarakat Bagoang
Desa Bagoang yang memiliki keragaman agama yang masing-masingnya
memiliki tradisi dari panutan agama dan perayaan kepercayaan masing-masing. Pada
umumnya hari raya yang biasa dilewatkan oleh pemeluk sebuah agama berjalan biasa
tanpa campur tangan penganut agama lain, saling mentolerir, tapi acuh dan
memusatkan perhatian hanya pada kepercayaannya saja. Namun, lain halnya dengan
masyarakat Desa Bagoang. Pada setiap hari raya sebuah agama di Desa Bagoang
masyarakat diluar agama tersebut ikut andil dan berpastisipasi seperti halnya pada
perayaan natal yang dihadiri oleh umat Konghucu dan Islam yang berpartisipasi
dalam acara tersebut walau hanya sekedar datang dengan tujuan silaturrahmi atau
semacamnya.
Pasalnya ada beberpa keluarga yang menganut sampai ketiga agama sekaligus
kebanyakan alasannya ialah mengikuti agama pasangannya, yakni suami ikut agama
istri atau istri yang ikut agama suami. Pak Gondel menjelaskan bahwa pernikaan beda
agama banyak terjadi di Desa Bagoang dan tidak sedikit yang menjalin hubungan
sampai pernikaan.5
Keragaman pemeluk agama di Desa Bagoang dalam kesehariannya terlihat
rukun. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan atau partisipasi masyarakat antar
5 Wawancara dengan Pak Gondel, Ketua RT Tarisi, tanggal 5 Mei 2016 di salah satu rumah warga.
54
penganut agama dalam perayaan suatu kepercayaan. Masyarakat Desa Bagoang
khususnya Kampung Tarisi setiap perayaan hari besar agama, beberapa penganut dari
agama lain juga ikut memeriahkan atau untuk sekedar mengormati.
Engkong Dawi menjelaskan, “pada perayaan maulid nabi keluarga saya juga
bikin kue buat syukuran mauled”. Ujar engkong dawi seorang sesepu di kampung
cina Tarisi yang menganut agama Konghucu.6
Pak RT Tarisi bapak Gondel juga menyebutkan bahwa setiap natal, imlek,
maupun lebaran banyak masyarakat yang berbeda agama yang ikut memeriahkan
kegiatan keagamaan lain dan masyarakat desa sudah melakukan rutinitas tersebut
sejak lama karena sudah menjadi kebiasaan orang tua mereka terdahulu dalam
memeriahkan atau menyambut hari raya agama lain.7
Menurut pak maman masyarakat Desa Bagoang tak pernah terdengar berselisih
paham apalagi berselisih dengan menyangkutpautkan agama maupun suku.8 “kalo
dibilang suku, orang Tionghoa disini sudah seperti orang sunda asli, sulit
membedakannya, baik dari segi fisik, yang biasanya orang Tionghoa diidentikkan
dengan mata sipit, kalo disini mah tidak begitu. Ataupun perbedaan aksen saat
berbicara juga tidak terlalu kentara karena mereka sudah fasih berbahasa daerah sini”9
jelas pak RT Gondel.
Masyarakat Desa Bagoang juga tak pernah terbawa isu-isu panas yang sering
terdengar di media. seperti kisruhnya Jakarta saat membaas pemimpin mereka yang
membawa-bawa agama dalam dunia politik. “Alhamdulillah masyarakat sini ga
6 Wawancara dengan Tan Ceng Liem, sesepuh desa, tanggal 1 Desember 2017 di Kediaman Tan Ceng Liem.
7 Wawancara dengan Pak Gondel, Ketua RT Tarisi, tanggal 5 Mei 2016 di salah satu rumah warga.
8 Wawancara dengan Pak Maman Suparman, Kepala Desa Bagoang, tanggal 12 Desember 2016 di Kantor
Kelurahan Desa Bagoang. 9 Wawancara dengan Pak Gondel, Ketua RT Tarisi, tanggal 5 Mei 2016 di salah satu rumah warga.
55
pernah mempermasalahkan perihal perbedaan agama. Masyarakat disini ga ada yang
sampai terbawa emosi apalagi ribut-ribut soal agama mereka lebih berfikir bahwa
orang sini semuanya saudara mau agamanya beda sekalipun dengannya jelas pak
Maman”.10
Dalam setiap perayaan keagaamaan, staf desa beserta aparat kepolisian menjaga
ketat acara kagamaan yang berlangsung. Pak Gondel menjelaskan, “hal ini hanya
untuk antisipasi saja, setiap tahunnya memang selalu dijaga oleh kepolisian, walaupun
hampir tidak pernah terjadi kisruh apalagi bentrok warga. ini juga hanya untuk
keamanan, karena yang datang bukan hanya pemeluk agama di Desa Bagoang, tapi
hampir sekecamatan Jasinga. Kalau natal, orang yang beragama Katolik di kecamatan
Jasinga akan datang kesini, ke gereja di Tarisi. Begitu pula dengan yang beragama
lain. Karena mereka minoritas disini, jadi kalo ada acara lebarannya datangnya kesini.
Berbeda dengan agama Islam yang mayoritas”.11
Warga beserta aparat kepolisian dan staf desa berfoto bersama seusai acara
10
Wawancara dengan Pak Maman Suparman, Kepala Desa Bagoang, tanggal 12 Desember 2016 di Kantor
Kelurahan Desa Bagoang. 11
Wawancara dengan Pak Gondel, Ketua RT Tarisi, tanggal 5 Mei 2016 di salah satu rumah warga.
57
adanya kisruh di Jakarta, masyarakat berdoa bersama-sama agar Desa Bagoang yang
memiliki adat, budaya dan kepercayaan yang berbeda-beda ini di jauhkan dari
perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Doa dipanjatkan sekaligus warga desa
diberikan wejangan untuk menjaga rasa persaudaraan dan kekompakkan masyarakat.
Foto bersama sesaat sebelum perayaan tahun baru imlek
Salah satu ritual keagaaman masyarakat Desa Bagoang
58
Ritual keagamaan di Desa Bagoang seperti halnya ritual kegamaan kebanyakan
orang, bedanya warga Desa Bagoang terbiasa mempersiapkan acara hari raya maupun
hari-hari besar salah satu agama didesanya dengan cara bergotong royong tanpa
melihat perbedaan. Rasa persaudaraan Desa Bagoang lebih kental dibandingkan
dengan hal lain. Oleh karenanya, perbedaan yang ada tidak begitu dipedulikan dan
digubris secara serius.
Ini menjadi ciri khas Desa Bagoang, menjalin rasa persaudaraan yang kuat agar
tak akan datang konflik yang tidak diinginkan. Saat acara keagamaan seperti maulid,
isra mi‟raj, idul fitri, idul adha, tahun baru imlek, maupun natal, warga bersama-sama
membangun acara tersebut agar berjalan tertib dan lancar.
D. Faktor Penghambat dan Pendukung Terciptanya Harmoni
1. Faktor Pendukung
a. Menjujung Sikap Sopan Santun
Sikap sopan santun terlihat diantara masyarakat desa, saat saya datang untuk
mengobservasi, masyarakat terlihat dapat menempatkan diri. Seperti saling
menghormati diantara pemeluk agama saat acara keagamaan. Contoh lain yaitu
saat mereka berbicara kepada orang yang lebih tua, mereka akan memilih kata dan
bahasa yang lebih enak dan dinilai lebih sopan. Selain itu juga saat bertemu, maka
yang lebih mudalah yang akan menyapa terlebih dahulu tanpa peduli orang
tersebut berasal dari suku maupun agama yang berbeda darinya.
b. Religius
Masyarakat Desa Bagoang, penganut agama manapun, percaya bahwa setiap
agama tidak pernah mengajarkan perselihan. Begitupun masyarakat Desa
59
Bagoang percaya bahwa perselihan buat jalan yang baik untuk dilakukan. Hal
inilah yang membuat masyarakat Desa Bagoang tidak memedulikan perbedaan
budaya apalagi kepercayaan dalam kehidupan sehari-harinya.
c. Saling Menghargai
Sikap ini tentu saja jelas sekali terlihat pada pembahasan sebelumnya yakni
dilihat dari adanya rasa toleran antar sesama warga desa. Mereka sangat
memperhitungkan kebaikan orang lain terhadapnya. Jika seseorang baik, maka
akan diberikan sikap timbal balik yang baik pula oleh orang lain.
d. Rasa Persaudaraan
Sudah menjadi ciri khas Masyarakat Desa Bagoang yang memiliki rasa
kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi dalam kehidupan mereka. Hal ini
terlihat jelas dari pengamatan penulis selama observasi di Desa Bagoang.
Masyarakat tidak membeda-bedakan kepercayaan maupun agama dalam
pergaulan sehari-hari. Walaupun tidak sedikit juga masyarakat yang aslinya
memang keluarga. Seperti antara anak dan orang tua yang berbeda keyakinan
merupakan hal yang lumrah dilihat di desa ini. Selain itu rasa toleran dan saling
tolong menolong dalam setiap acara keagamaan juga dinilai sebagai sikap
kekeluargaan yang kental.
e. Kompak
Masyarakat dilihat kompak dan saling bahu-membahu membantu
sesamanya. Mereka juga bergotong royong untuk bersama-sama menyiapkan
acara jika salah satu agama atau kepercayaan merayakan hari besar agama. Selain
60
itu jika ada warga yang sakit atau tertimpa musibah, yang lain akan datang untuk
sekedar meringankan beban sesama.
f. Demokratis
Seiring dengan adat istiadat desa, pengambilan suara untuk memutuskan suatu
perkara lebih sering dengan cara kompromi atau musyawarah. Seperti yang telah
penulis jelaskan, hampir setiap pemecahan masalah yang terjadi diDesa Bagoang
dilalui dengan cara kompromi atau bermusyawarah.
2. Faktor penghambat
a. Merasa berbeda pandangan
Masyarakat Tionghoa di Desa Bagoang merupakan minoritas yang sangat jauh
dilihat dari jumlah penduduknya, namun hal itu tidak sedikitpun menyurutkan
mereka untuk melakukan kegiatan adat istiadat yang ada dalam budaya mereka.
Begitu pula dengan masyarakat etnis sunda, mereka mendukung adanya kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh adat Tionghoa.
Pada umumnya masyarakat desa sangat sensitif dan mudah curiga pada
sesuatu yang baru. Namun karena masyarakat Tionghoa datang sudah sejak lama,
hal itu tidak lagi terasa asing bagi warga di Desa Bagoang. Perasaan berbeda
dengan budaya maupun agama lain terkadang masih sedikit terasa. Biasanya
masyarakat mengganggap orang diluar budayanya akan memiliki kebiasaan yang
berbeda jauh. Dalam hal demikian akan muncul perasaan berbeda, entah dari segi
kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari maupun tradisi-tradisi lain.
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, tentunya setiap agama punya caranya
masing-masing dalam bersikap. Tapi kembali lagi kepada masing-masing
61
individu, ia akan mempermasalahkan perbedaan yang tidak seharusnya terjadi
atau menerima dan akan mendapat ketentraman diantara mereka.
Perbedaan pandangan dalam kehidupan sosial memang menuai persoalan
yang beragam, namun dewasa ini banyak hal yang lebih disangkutpautkan
dengan kepercayaan dan keyakinan karena sensitifitas beberapa orang dalam
menyikapi hal tersebut. Kendati demikian banyak pula metode-metode yang
dapat digunakan untuk memecahkan persoalan beda pandangan ini tergantung
konteks masalah dan siapa yang terlibat didalamnya.
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat
Komunikasi yang terjalin antara masyarakat dengan dua budaya dan tiga
agama di Desa Bagoang tidak membuat kesulitan yang rumit. Pasalnya, mereka
sama-sama sudah mengerti watak dan adat istiadat orang lain yang berbeda
pandangan dengannya. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan
adanya pemikiran-pemikiran curiga karena pengaruh dunia luar. Biasanya yang
lebih memegang peranan penting dalam hubungan diantara masyarakat ialah
orang-orang yang sudah mengerti dan paham betul warga desanya.
Yang tidak tahu biasanya akan timbul dalam pikirannya tentang betapa
banyaknya peredaan diantara mereka. Padahal, budaya Tionghoa di Desa Bagoang
sudah kenal bahkan bercampur dengan budaya sunda. Pemikiran semacam inilah
yang akan membuat percikan konflik, walaupun tidak besar, tetap saja akan
menjadi masalah saat hal itu menyebar kepada orang-orang yang sama-sama
belum memahaminya.
62
Pengetahuan masyarakat yang minim akan sikap orang lain yang sering
dijadikan alas an dasar mengapa konflik dapat terjadi. Hal ini tergambar jelas saat
seseoarang mengetahui watak dan tingkah laku yang biasa dilihat. Jika terbiasa,
maka akan semakin mudah permasalahan yang terjadi diantara keduanya dapat
terselesaikan. Sebaliknya pula, jika yang terlibat merasa belum paham tentang diri
orang lain, maka apapun yang dilakukan orang tersebut akan bernilai salah dan
menimbulkan prasangka-prasangka baru.
c. Stereotip
Stereotip atau prasangka terhadap pihak lawan merupakan hal yang dijumpai
dibanyak tempat yang memiliki kecenderungan nilai sosial yang berbeda diantara
masyarakatnya. Di Desa Bagoang sendiri, stereotip yang muncul diantara
masyarakat biasanya dipengaruhi orang dunia luar. Seperti pandangan orang luar
dari televise, Koran maupun dari obrolan-obrolan dalam keseharian. Beberapa
diantaranya dapat terhasut yang kemudian akan mencari celah untuk
memecahbelah lawan.
Dalam hal ini perlu adanya penguatan dari tokoh masyarakat ataupun orang
yang dituakan oleh warga desa, agar senantiasa menjaga rasa kekeluargaan dan
persaudaraan diantara mereka.
63
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pola komunikasi yang dikaji ialah pola komunikasi antarbudaya dengan teori face
negotiation. Dalam komunikasi antarbudaya tidak terlalu banyak hambatan yang terjadi.
Karena masyarakat tionghoa sudah tinggal di desa bagoang cukup lama dan mengerti
budaya sunda yang menjadi adat istiadat dalam kehidupan keseharian. Bahkan
masyarakat tionghoa sudah fasih dengan bahasa sunda dengan berbaai macam tingkatan
bahasa. Dalam kehidupan masyarakat desa bagoang mengedepankan rasa persaudaraan
yang tinggi sehingga masalah maupun kesalahpahaman dapat diminimalisir dengan sikap
persaudaraan.
Bahasa yang digunakan di desa bagoang ialah bahasa sunda dengan tingkatan halus
loma dan kasar tergantung dengan lawan bicaranya. Dalam komunikasi yang terjalin
diantara dua etnis dan tiga penganut agama itu biasanya membahas mengenai bisnis
golok Tan Ceng Liem dan perdagangan hasil panen. Selain itu juga ada beberapa warga
yang membuka kios atau warung kecil-kecilan yang kemudian akan dijadikan tempat
transaksi sekaligus tempat mengobrol diantara warga.
Dalam menejemen konflik yang terdapat dalam teori face negotiation, masyarakat
desa bagoang lebih sering menggunakan musyawarah atau kompromi dalam pemecahan
masalah, karena dianggap akan lebih baik jika dicari jalan tengah oleh kedua belah pihak.
Begitupun dengan cara third party help yang melibatkan orang ketiga yang dianggap
lebih mumpuni dan menegrti pemecahan masalah. Kedua cara ini merupakan cara yang
paling sering digunakan oleh masyarakat desa bagoang.
64
Pada ritual keagamaan desa bagoang memiliki kebiasaan unik, yakni
bergotongroyong dan bekerjasama dalam kesuksesan acara agama lain. Hal ini telah
dilakukan cukup lama. Karena rasa kekeluargaan yang tinggi dan rasa memiliki diantara
mereka tidak menjadika warga desa bagoang membeda-bedakan masalah suku, budaya,
maupun kepercayaan.
Faktor pendukung dalam keberhasilan terbentuknya harmoni diantara mereka ialah
karena rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi, menjunjung sikap sopan dan
santun antar sesama, saling menghargai dengan mentoleransi budaya maupun
kepercayaan lain, sikap gotong royong yang menimbulkan kepedulian untuk saling
menolong, sikap demokratis untuk tetap menghormati pendapat orang lain dan sikap
religious yang tertanam dalam hati masyarakat desa bagoang.
Faktor yang dapat menghambat terjalinnya harmoni ialah prasangka sosial yang
biasanya meliputi rasa perbedaan pandangan dan nilai-nilai yang dianut diantara mereka,
dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya sikap toleran.
B. Saran
Pada penelitian yang penulis lakukan dilihat dari faktor penghambat dan pendukung
untuk mewujudkan harmoni, maka penulis bermaksud memberikan saran sebagai berikut
1. Dalam kehidupan bermasyarakat, perbedaan-perbedaan kecil tentu saja lumrah
dijumpai, mengingat kita hidup di Negara Indonesia yang memiliki
keberagaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat dan kepercayaan. Sebaiknya
perbedaan tidak dijadikan masalah yang membesar, karena selain dapat
merugikan salah satu pihak maupun keduanya, konflik yang akan timbul akan
65
memengarungi pemikiran-pemikiran orang-orang awam yang kurang
memahami makna kebhinekaan.
2. Sebagai masyarakat yang tinggal di satu daerah seharusnya memperkokoh tali
persaudaraan diantara mereka, bukan dengan mencari kekurangan dan
kesalahan pihak lain. Dengan begitu, sekalipun ada yang menghasut dan
memercikkan api konflik, maka masyarakat akan siap meredamnya.
3. Pemahaman diantara masyarakat harus lebih ditingkatkan, apalagi mengenai
toleransi antarumat beragama. Bahwa kita sebagai warga Indonesia tidak
memihak dan melihat dari sudut pandang subjektif saja melainkan harus
melihat secara luas dan keseluruhan.
66
DAFTAR PUSTAKA
Birowo, Antonio. Metode Penelitian Komunikasi (Teori Aplikasi). Yogyakarta :
Gintanyali. 2004.
Departement Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka. 2005.
Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia,
1996), h. 290.
Griffin, Em. A First Look At Communication Theory. New York : McGraw-Hill. 2006.
Larry A. Samovar, Richard E. Porter, dan Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas
Budaya, Jakarta : Salemba Humanika. 2010.
Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
2003.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2001.
Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1988.
Noesjirwan, Jennifer. Pengalaman Lintas budaya. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2006.
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : Grafindo. 2007.
Profil Desa Bagoang tahun 2015. Dokumen dalam bentuk soft file Microsoft Word yang
diberikan oleh Sekretaris Desa Bagoang pada tanggal 13 Mei 2016. (Dokumen
tidak dipublikasikan).
Rakhmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi Dilengkapi Contoh Analisis Statistic.
Bandung : Remaja Rosdakarya. 2001.
67
Roqib, Moh. Harmoni Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: STAIN Purwokwerto Press.
2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah vol 15. Jakarta : Lentera Hati. 2007.
Steinatt Thomas M dan Diane M. Millete, An Integrated Approach to Communication
Theory and Research. New York : Routledge. 2009.
Suprapto. Ilmu Alamiah Dasar. Bogor : Ghalia Indonesia. 2004.
Kecamatanjasinga.bogorkab.go.id/index.php/multisite/page/1175#.WrvDEb0xfxM
Transkrip Wawancara
Nama : Tan Ceng Liem atau Engkong Dawi
Umur : 77 tahun
jabatan : sesepuh kampung cina Tarisi
Tempat wawancara : Kediaman Tan Ceng Liem
1. Bagaimana sejarah kedatagan masyarakat Tionghoa di Desa Bagoang?
Karena lagi zaman revolusi sebelum banyak penduduk jadi saya punya bapak dari utusan
Cigudeg dia beli tempat disini, dari engkong, dari mak kolot, dari bapak kolot juga sama
kan engkong juga mamah mah sama bapak kolot dari mak keturunan dari muslim. Cuma
engkong punya sifat dari bapak engkong sendiri yang memeluk agama Budha, jadi
engkong ngikutin Budha. Sekarang disingkat, karena anak sekarang gimana ya, pengen
nyentrik aja namanya ini dibilang konghucu. Padahal itu sama, terasi sama delan juga
ajarannya itu-itu juga kan, cuma engkong ngikutin. Jadi engkong tumpah darah disini
udah 77 tahun sebelum merdeka, malahan engkong punya bapak di zaman kita lagi ada
penjajah ngikut berjuang engkong juga ngebantu sama orang tua karena di kita senjata
kurang lengkap hanya ada bambu runcing. Udah begitu itu ceritanya itu karena ada
kepicikan di pimpinan, kita dapat senjata yang rusak dari Jepang dari Belanda rusak kan,
dibuang amit-amit ya karna engkong juga orang sini, ya jadi ada kerajinan dicari orang
yang bisa merenovasi senjata tersebut. Nah jadi engkong punya bapak suka tekniknya, ya
iseng-isengan kecil menolong yang kebutuhan tapi jalannya yang bener ga salah enggak,
dibantu yang rusak begitu aja akhirnya baik lagi, bisa dipake tempuran dan akhirnya
senjata dikita lengkap juga. Jadi waktu itu karena ini Belanda mengusut ingin yang
membahas kedudukan disini yang dibilang TKR itu tentara kan prajurit kita, itu yang
dicari. Maka disini senjata ada 36 pucuk yang rusak lagi diperbaiki sama engkong punya
bapak. Karena yang di Jasinga udah muncul kesini yang ngasih tau bahkan disini ada
yang patroli. Nah jadi bapak sendiri, bapak engkong, minta bantuan ke engkong
ngamankan senjata tersebut dibantu sama engkong. Kalo ga salah 3 biji tau 5 biji, lupa
lagi, satu juga ga kebawa diseret akhirnya ditaro di tempat yang rapih, udah rapih yang
36 senjata ya, muncul Belanda kamu lagi ngerjain apa, maka 3 mobil, 2 mobil truk bukan
kaya sekarang kan sekarang mah udah canggih truk gede angkut. Lagi ngerjain apa?
Golok tuan, ini bahan apa? bahan golok, mana senjata TKR mana? Katanya, ga ada tau
juga kagak katanya, kita kan lindungin negara kita kan coba kalo ketemu engkong punya
bapak tinggal nama. Mungkin disini itu bom yang 3 biji di jembatan Cidurian bunyi
meledak angus disini semua mau di bom, maksudnya kalo ini senjata ketemu diumpetin
didaerah sini juga di bereng dapet 6 biji juga waduh lemesnya bukan main, karena
engkong ngebantu orang tua, inget negara kita belasungkawa. Cuma semampunya
engkong, begitu faktanya, akhirnya lamat. Disitu letaknya makanya engkong bisa duduk
disini dan engkong juga orang sini ada keturuan dari nenek moyang orang sini asli orang
sini tumpah darah disini, enggak kemana-mana lagi.
2. Ada simpang siur dan artikel juga yang membahas kalau warga sini berasal dari Cina
benteng?
Ga ada itu cina benteng, semuanya itu asli orang sini. Ya bapak juga barang kali ga
bagus, jelek juga ini bapak punya sendiri muslim disini ga ada orang lain, masih ada
keluaga dari ujung kulon juga masih ada keluarga. Apa sebab engkong ada keluarga di
Ujung Kulon? Engkong potong leter dulu, karena dia ada di Jasinga waktu penjajah
Jepang kejam dia ngungsi, kemana, ke bagian sudah di Ujung Kulon ceritanya, engkong
kesono sebelah sini engkong lagi ngopi diwarung, lagi makan pisang goreng, ngopi 3
orang engkong juga dari sini kesono, mau nengokin orang tua yang disono. Dia muncul
pas nyangkul dia berhenti di warung tersebut yang engkong ada duduk disini, ngobrol dia
engkong dari mana? dari Jasinga trus dia kan agak terkejut ngedenger engkong dari
Jasinga. Kenapa pak agak murung pikiran bapak? ah engga, wah ini cucu bapak ya,
sekarang jangan disini ayo makan dirumah, bapak dimana kedudukanya? Di Ranca
Kelapa, duh pak karena ini udah jam 6 saya akan pulang bapak saya sakit saya cari obat
kesini dari orang tua saya kesini harus pulang, kapan-kapan saya kesonolah. Bapak bisa
ada disini bagaimana pak? Bapak dari Jasinga asalnya karena di gerebeg sama Belanda
ama Jepang bapak kesini kabur katanya. Jadi sekarang ini bapak ini kira-kira sudah
berkembang biak katanya bisa satu desa katanya disini keturunan bapak mah itu ya waktu
kita zaman penjajah. Makanya kalo si ade nanya engkong mah atuh orang sini bukan
orang mana-mana, bukan orang negeri hanya meluk agama, Namanya agama kan kagak
ada yang jelek, yang manapun juga engkong kan bersatu sama muslim, kan itu ade
engkong, engkong kan kaka dia, kagak nyinggung ni engkong nggak ya kerena engkong
kalo ga bersatu kita makan dari mana? Sama-sama kan. Kita bersama juga negara kita
bagaimana ya, panas kedengerannya, kapan amannya, banyak penotokkan banyak
kekerasan masuk. Orang nyolong mah dapet juga digesek yang berani atuh lapang dada
dia kadang-kadang berantem. Disitu engkong enggak mau berantem. Tetep kalo yang
butuh pandangan ya dikasih sama engkong, kamu jangan berantem bukan orang lain mau
muslim mau Kristen mau budha mau konghucu mau muhamaddiyah, itu bukan orang
lain, kamu singkirkanlah gejala yang tidak diinginkan ramai-ramai kamu amankanlah
negara kita, engkong cukup engkong cukup ngasih pandangan. Malahan engkong juga
dipinta bantuan doa sama aparat di Jasinga, sampai kenal sekarang sampai Ujung Kulon
nyariin engkong semua. Mana engkong Dawi ya memang engkong udah tua apa adanya,
nerima aja gitu dipanggil engkong atau bapak tua ya disitu letaknya. Jadi engkong ga
mau picik, begini juga engkong begini hidup dipinggiran susah cari duit, umur udah tua,
tenaga juga ngurangin, cuma semangat masih ada, ingin kerja gak mau ngelepasin kerja
ingin cukup tapi belom nyampe tapi ga bosen engkong nunggu kapanpun engkong
tunggu, sebelum engkong meninggalkan alam rama1.
3. Apakah masih ada oknum atau masyarakat yang masih membeda-bedakan perbedaan
antaretnik atau agama?
Jangan bikin engkong tidak ngerti, soalnya kalo dulu mah kalo bikin Jakarta itu Jakarta.
Sekarang mah buset direkayasa. Kan jadi kalo yang sekolah dulu apa ini merk nya? ini
salah ini karena engkong punya guru SD dulu ini salah, enggak boleh ini, salah, begini
harus Jakarta Jet yang bener katanya kamu bikinnya enggak kayak sekarang yang banyak
direkayasa sekarang banyak orang yang udah lebih pengalamannya kepintarannya udah
lebih dulu mah kira kira masih kurang cuman biarpun dulu kurang, ada semangatnya ada
manfaatnya karena dulu mah telor ilang satu juga dihukum tiga bulan. Sekarang kebo2
1 Alam dunia
2 kerbau
sapi enggak bisa dapet, yang ilang udah motor, mobil, ya ngebobol bank, mana dapet lagi
yang ngebobol? Kaga dapet kan. Uangnya mah abis. Mau bagaimana kita amannya? nah
ini, disini jadi engkong ini ga ada perubahan, berangkat kesemangatan pantang mundur
berani karena benar takut karena salah. Nah ini disini tetep engkong mah banyak yang
nanya ke engkong, biarpun engkong ada dirumah tau lagi dilokasi, lagi nyangkul,
kadang-kadang disamperin kan ini disini engkong juga suka bingung suka aneh, kenapa
nanya ama gua ya, gua orang bodoh, hidup dikampung, orang kuli, terus nanya sama
yang mampu, yang bias, yang pinter, kalo engkong orang bodoh kan enggak bias,
dibohongin gampang mau ngebohong ini disini apa lagi.
4. Apa tradisi membuat golok awalnya karena memperbaiki senjata?
Nah sekarang gini, senjata ada 2 macem, senjata untuk masyarakat yang dipakai untuk
mengamankan pertanian, yang dibilang cuplis. Terus senjata yang untuk membunuh
orang. Bapak sering ceplok batok nih sama ABRI atau polisi, pak bapak punya senjata
yang baru, canggih, jarang gagal pakai nembak, ledakan bagus untuk ngebunuh orang.
Dosa pak, orang sebenernya bukan untuk dibunuh tapi dikasih nasehat karena merusak
Negara. Jadi bapak juga masuk iblis akhirnya, itu yang nembak orang itu iblis, bukan
bapak, bapak itu manusiawi. Engkong suruh begitu sekarang, engkong dulu karena babi
ini merusak tanaman kan panik kita juga dating, abis datang abis yang tadi. Emang sih
engkongnya. Pak bapak ini katanya mengamankan pertanian, mana ini katanya hasilnya
itu kan abis dimakan babi, baru juga kita satu minggu kerja disitu. Kan kita panas kuping
lama-lama panas, dua tiga kali ngomong dia panas-panasnya, bukan sama dia keterangan
dia itu kapan aku mengamankan pertanian itu sampai aman. Ya disitu engkong tekun
berburu sampai babi yang rusak kadang ditembak, kagak aman, akhirnya udah aman
diem kan dia. Cuma kadang-kadang mau ngasih pengasilan mah sama si pemburu sayang
katanya, artinya enggak buru-buru ngasih dia dapet juga nggak. Bilangnya dia pemburu
untuk mengamankan pertanian itu udah disediain, ya engkong ingetnya sama yang jujur
itu, yang ga jujur bukan orangnya, kagak jujur artinya belom nyampe kebenaran dia. Nah
itu disitu engkong punya senjata cuplis juga, yang dibilang cocok, dor sekali kosong
untuk mengamankan pertanian dari babi, kera lutung yang ngerusak. Kalo yang enggak
ngerusak mah enggak mau nembak engkong juga, di parencein3 dulu. Kamu kalo enggak
punya salah kaburlah, akhirnya kabur. Banyak yang enggak ditembak dari pada yang
ditembak. Tapi kalo yang badung kan dia akhirnya ya itu, ditembak. Bukan untuk
nembak orang, bukan. Sekarang juga masih ada suka disurvei sama polisi sama ABRI.
Ada pak nih silakan, cuma kalo senjata saya diambil bapak harus tanggung jawab, yang
saya amankan berapa desa, apa yang tanggung jawabnya, babi, kera, bajing, lutung kan
bapak mah enggak makan. Jangankan ngamankan yang dihutan katanya, yang di darat aja
kagak aman, yaudah lah simpen kalo rusak baikin katanya, ada engkong juga.
5. Apa engkong paling lama membuat kerajinan golok?
Engkong umur 14 tahun. Masih kelas satu juga udah mulai kerja karena sekolah ini
engkong ga minta resiko dari orang tua mau dipintain dari mana, makan sore, nggak pagi,
makan pagi, nggak sore. Nah engkong sedikit demi sedikit berpikir bikin pisau dari pake,
dijual ama temen-temen, lakunya cuma dapet pisang goreng satu, kadang-kadang goreng
tape4 satu kadang-kadang kita mah kita kumpulin, untuk bayar yayasan, bayar sekolah
dibayarin lama lama lama bertingkat, ada kenaikan barang tersebut, karena ada makin
lama makin tajem bukan makin lama makin mintul5 kagak kan tajemnya itu pake baja.
Kalo dulu mah pake paku ini, bekas paku dudur6 yang gede, paku rumah kan dulu mah
enggak ada bahanya, itu mah besi jadi kurang tajam kan untuk najemin7 pensil. Disitu ada
peningkatan, akhirnya engkong enggak minta resiko dari orang tua karena orang tua juga
susah payah cari ekonomi untuk beli beras, disitu letaknya tekniknya engkong sampai
sekarang 77 tahun dari umur 14 tahun. Berapa puluh tahun enggak berhenti, sekarang
juga ga ngandelin anak. Memang ada anak cucu 3 orang, dia juga kerja, dia dia kita kita.
Dia juga ada kemauan, jangankan untuk orang tua, untuk dia juga banyak kekurangan.
Cuma terima kasihnya dia mau kerja. Cuma dia bikin barang untuk yang pesan aja.
6. Kalau yang pesen dari mana aja biasanya?
3 Semacam kalimat perintah untuk mengusir sesuatu
4 Kata tidak baku dari “tapai”
5 tumpul
6 Salah satu jenis paku yang dibedakan menurut jenis, ukuran, dan kegunaannya
7 Kata tidak baku dari ‘menajamkan’
Dari empat penjuru kalo yang udah kenal mah, masing-masing langganan. Kalo sekarang
rada sepi, karena lokasi Pongkor ditutup. Kalo itu masih gelar kira-kira Cicondong,
Cisoka, rame yang pesen dating, sekarang bangkrut semuanya, sepi kan bengkel golok
nggak ada, paling keliling ke yang biasa kerja petani satu dua biji.
7. Tapi apakah orang orang sekitar atau tetangga engkong belaar membuat kerainan dari
engkong?
Engkong bisanya dari orang tua turun ke engkong, ke anak cucu, itu yang deket-deket
suka ngebantu ngampelasin, ngebantu ngegosok, bantu puter gelebeg8, nah karena
otaknya nyaring ini dia mampu udah tahu teknik, dia keluar, dia bikin sendiri. Bukan
sengaja dididik karena dia ada kemauan. Dia dididik juga kalo enggak ada kemauan mah
ga bisa, jadi ini yang ada 19 bengkel, ke-20 engkong, satu diurusin sama 19 bengkel.
Malahan tahun ini engkong udah ada yang bilang 3 orang, engkong Dawi katanya sudah
meninggal, alamdulillah itu datang itu orang nanyain, karena kenal sama engkong, itu
engkong katanya udah meninggal, kapan meninggalnya? wailah pak, siapa yang bilang
kagak ada yang bilang katanya, jadi saya nyusul enggak percaya penuh katanya kalau
enggak sampai kesini. Bapak saya lagi nyangkul katanya di kebon kalo enggak percaya
ayo, katanya, kita samperin kesono. Nah disini udah 3 kali, tahun ini satu dua ada yang
bilang gini. Sekarang bengkel tarisi Tan Ceng Liem udah bangkrut semua, engkong
ketawa kan, bukan emosi, alamdulillahi rabbilalamiin nuhun9 gusti saya dibilang
bangkrut, saya ada anaknya si Dawi untuk penerus orang tua dan saya ingin makan harus
kerja terimakasih jadi enggak ada yang ngeganggu jadi hak engkong, engkong kagak
maen kerumitan sama orang lain, apa engkong salah? Engkong cerita kalo ada yang salah
disebelum dan sesudahnya engkong minta maaf, karena engkong juga kalo ada usia mah
ya kadang-kadang yang udah hapal juga suka lupa, kadang-kadang yang lupa ketemu
lagi. Nah ini disini, cuma kalau kita sadar tertatar semua, cuma kalo enggak sadar
digedebeg10
semua jadi engkong hilang. Lagi kemaren engkong, engkong bikin makanan,
belom sedekah sekarang mau sedekah besok hari sabtu mauludan, cuma engkong mah
hari ini kan yang rame tanggal 12, jadi anak-anak minta engkong mauludan, doa salamat
8 Alat untuk membuat
9 Terima kasih
10 Dikagetkan secara tak sengaja
kata engkong oke, engkong bantu kamu apa kalo kita enggak syukuran sama yang punya
hak banyak nggak keambil hasilnya, jadi engkong menjalankan cerita orang tua dulu
yang sudah almarhum, kamu pake harus sedekah biar ada manfaatnya, biarpun uang 10
ribu harus yakin enak dimakannya. Kalo seratus juta kalo kagak halal jangan mau, begitu
bukan. Engkong sok-sokan bikin kue karena kebetulan lagi ada engkong juga, makanya
disuguhin.
8. Bagaimana cara menciptakan harmoni antarumat beragama disini kong?
Kalo kita jalan sauyunan11
kalo kita mandi satu tempat satu alur satu aluan berarti ga ada
untuk simpang siur apa sebab engkong nanya, ke arah ini karena sebab engkong suka
ditanya, tamu itu yang datang apa maksudnya, kemana tujuannya, engkong tanya agama
memeluk masing-masing enggak ada untuk rebut disini, saudara disini, bukan orang lain,
masih saudara semua sampai ujung kulon. Dawi ini kalo pergi ke ujung kulon
memikirkan untuk makanan juga enggak perlu, karena penghargaan ini muncul dari kita
juga, untuk kita juga, padahal engkong juga baru muncul enggak tau dari awalnya,
kenapa dia katanya uur dari Jasinga dari Serang dari Jakarta ada yang ngungsi kesono
akhirnya saudara kan sampai mana pak jangan sampe kagak nemu, makan ayu kerumah
saya dari situ kan, jangankan sama yang deket paling kalo enggak ngerti kita nanya sama
bapak desa. Bagaimana pak ini letaknya, bagaimana ini kalo urusan bisa tempo enggak
cuma disitu doang, itu kan bukan bertengkar, minta kebijakan kan, kagak ada untuk rebut
enggak cuma kadang-kadang kasih tau jangan nih. Cuma kadang-kadang di jual beli,
umpamanya lokasi ya pasti tau si ade, tanah kan padahal itu tanah kata orang dulu kagak
boleh dijualbelikan, punya siapa? bukan punya kita kan malahan kita tinggal enak ngisiin,
ga tau asal usulnya siapa yang membuktikan tanah tersebut dan lain-lainnya, kita kan
banyak kesalahan. Kita hidup di dunia suka dijualbelikan, sudah dijualbelikan ada akte
segel, kadang-kadang mau diambil lagi sama yang ngejual suka ada juga. Cuma disitu
engkong suka lapang dada saya beli tanah sudah acc dari segel dari SPPT dari kirik juga
udah kelar surat tanah, sekarang mau diambil lagi, dimana letak yang benar, suka ada
juga tapi engkong minta dari hari ini, sekarang sampai masa depan jangan ketemu lagi
hal semacam itu. Perna ribut engkong dulu, engkong bikin gubuk ini belom kelar lagi
11
Berjalan beriringan
matri12
ini seng diatas. Buset penuh lokasi ini engkong sendiri sudah yang dekat jauh
semua, kalo pengen tau cuma engkong. Itu kejadian waktu itu masih karto aya
maksudnya tanah engkong diributin, tanah engkong yang ini yang udah di acc surat-
suratnya, jual belinya mau diambil lagi, dia sampai mau bawa preman juga dari Jakarta
uang ada terus dari Jasinga juga, terus pimpinan ikut serta karena enggak tau alur, ya
lurah juga belaga kagak tau padahal lurah tau bikin surat segelnya dia. Nah jadi belaga
enggak tau, jadi engkong mau dijerumusin, cuma engkong tegak sampai dimana letaknya,
biarpun mati dimedan perang karena bener. Nah engkong pernah sendiri sampai jam 4
kagak putus-putus, diputus sama engkong sendiri, pak sekarang jangan diributin lah tanah
bukan punya kita, saya juga kagak ngaku, bener saya udah bayar pindah nama bukan
punya saya, tanahnya punya yang kuasa kan emang dari zaman. Ngamuknya bapak-
bapak juga enggak punya, saya juga rakyat enggak punya, semua juga kagak gableg13
ini
mau diributin, sama dengan kita ngeributin yang kuasa, bukan ngeributin saya sekarang
kalo mau silakan ambil, cuma saya mundut mat rumahnya saya silakan ambil. Hari ini
juga saya mundur, ada kalanya ini sama bapak bukan sama yang ngerebut, bapak punya
tanah berapa puluh hektar saya ambil, bebas hukum oke. akhirnya angkat tangan, ini kan
segel bukan dapet saya yang bikin tapi dapet pemerintah kenapa ini gak disahkan, kenapa
ini ngeributin tanah saya yang akan disegel, akan dikuasai, dipercaya penuh. Berapa duit
bapak makan suap? kalo udah berapa banyak bapak makan suap, saya tidak makan suap,
sok bagaimana letaknya. Lima tahun bapak enggak dikasih KTP, lima tahun sama lurah
enggak disuruh rapat, kagak disuruh gotong royong. Sekarang mah aman kagak disuruh
gotong royong, enggak disuruh yang lain, disuruh surat jalan enggak dikasih, karena
bapak ini, unek unek yang 5 tahun diasingkan disini, bapak sampai nyamperin, sudah
almarhum dia lagi nyangkul disusulin, ada apa cang wadu pak saya mau minta surat jalan
nih lalu lintas, mau kemana, mau kebogor emang ga punya KTP, kagak dikasih sama
lurah, dibikinin akhirnya surat jalan. Pernah ada 18 preman yang nyamperin engkong,
ngegedor pintu bawa golok, engkong bilang ini negara pancasila bukan negara ribut
kenapa ngajak ribut disini, kalo mau ribut jangan disini, kata engkong. Terus dia jawab,
itu mah bukan aturan aku, itu mah aturan orang lain. Kamu akmu orang cina kamu HAM
12
Kata tidak baku dari mematri 13
Memiliki atau kepunyaan
enggak ada aku disini, coba enak ga dibilang begitu. Eh enggak tau mah itu preman cari
duit, ada dalangnya, pas dicari dalangnya itu yang ngamuk mau nusuk orang, kenapa
kamu minta bantuan ke gua kalo kamu ga bisa tanggung jawab, katanya namanya badot.
Eh badot apa dasarnya kamu nyari duit disini, jangan nyari ribut si Dawi masih tanggung
jawab, diem akhirnya dia pergi. Engkong karena 3 kali diserang, yang pertama mah
engkong kalah, 1750 ilang, jadi barang tersebut enggak dibayar, persoalan kayu ada juga
yang 3 juga anak engkong digulung sama preman, dia kalah jadinya iya iya aja, gara-
garanya anak engkong diem aja dikamar. Kerja kagak mau, apa sebab, ada bos kayu yang
ngutang sama dia tapi enggak mau bayar, tiga juta, akhirnya engkong samperin itu bos
dibilang, yang punya utang kan bapak, bapak enggak halal nyari uangnya. Kalo kaya gitu
kadang suka bertanya, ya Tuhan apa sebab saya ketemu sama cobaan semacam ini. Tapi
saya mengutamakan lapang dada, kalo enggak kaya gini saya enggak akan banyak
belajar.
Transkrip Wawancara
Nama : Maman Suparman
Umur : 50 tahun
jabatan : Kepala Desa Bagoang
Tempat wawancara : Kantor Desa Bagoang
1. Bagaimana pandangan bapak mengenai kehidupan masyarakat yang memiliki perbedaan
budaya dan agama?
Diawali dengan bapak mengamati secara keseluruhan, harus hati-hati jangan sampai jadi
korban kita jangan hanya melihat etnis akibat ulah satu orang. Seperti bicaranya
Gubernur DKI waktu itu dijadikan modal sama orang-orang yang punya kepentingan
politik, nah ini yang dikawatirkan. Alhamdulillah di Desa Bagoang tidak ada, beda sifat.
Yang merasa kental dengan agama, merasa terhina agamanya, sedang bahasa-bahasa
gubernur Jakarta itu dengan ajakan-ajakan tokoh-tokoh agama, pada berangkat ke
Jakarta. Tapi alhamdulillah untuk Desa Bagoang sampai kemarin enggak ada.
Maksudnya mungkin mulai paham dengan keadaan atau situasi sekarang atau mungkin
karena ketidakpedulian. Ada dua alternatif kan gini kadang-kadang ngapain sih ngurusin,
ada pola pikir udah paham makanya kemaren udah tiga kali maulidan ini bapak-bapak.
Yang bapak khawatirkan dari para tokoh agama, dari penceramah-penceramah yang
tujuannya memproklamatori atau memecah belah dengan istilah menginterferensi
minoritas atau agama-agama. Sedangkan kita secara keseluruhan bakan Nabi Muhammad
aja enggak pernah memerintahkan. Jangankan hanya bersifat itu, Nabi Muhammad
diledek, namun dia membalas dengan mendoakan. Mudah-mudahan orang yang
melakukan dan mendzalimi itu akan dibukakan pintu hatinya. Kenapa sih umat Islam
harus melakukan anarkisme atau semacam yang lain nya, untuk bahasan awal mungkin
lebih mendetailnya harapan bapak masalah perbedaan ini jangan terlalu dibesar-besarkan
karena negara kita itu kan bukan negara muslim, karena mayoritas aja penduduknya
muslim, azasnya demokrasi dan pancasila kan gitu. Negara kita lebih paham kalo
misalkan masalah pendidikan. Apalagi UIN lebih ke agama, tapi secara nasionalismenya
harus punya rasa nasionalisme, harus netral. Silakan perdalam agama, kita harus bela
agama, tapi banyak hal lain yang sifatnya membela agama dengan tidak melakukan hal-
hal yang negatif. Apalagi adek mahasiswa, mungkin sudah pernah terlibat banyak dengan
hal-hal yang berbau perbedaan agama. Tapi pesan bapak ya hati-hati kepada adek adek
mahasiswa jangan terpengaruh karena banyak oknum yang memanfaatkan mahasiswa.
Oleh petinggi-petinggi, maaf, dalam tanda kutip, yang punya kepentingan politik. Nah ini
yang dianggap sebagai pelurunya, padahal dibelakangnya itu ada kepentingan mereka
sanggup mendanai membiayai. Yang diamati sama bapak itu malah kemaren karena ada
beberapa oknum yang terbukti memprovokatori, apa itu bukan kepentingan. Nah itu kita
dengan tidak sadar kita dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu, kenapa? Karena
disitu terutama mahasiswa sedang menggebu-gebu memperjuangkan rasa kepedulian,
rasa simpatik, sebagai putera bangsa atau sebagai pendidik atau sebagai generasi penerus,
merasa bertanggung jawab. Tapi tidak sadar kita itu diimbangi oleh oknum hati-hati
makanya dek paling tidak, jangan mudah terhasut. Sampaikan ke rekan-rekan juga kalo
bapak kan istilahnya sudah tua lah udah tau kearah mana mau lari, kemana awalnya, dari
mana, tujuannya apa, kalo bapak harus membaca itu semua. Jadi udah paham politik itu
kejam hati-hati jangan sampai kita diperdaya oleh politik jangan sampai kita
dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab akan membahayakan kita.
Setelah jadi korban siapa yang akan bertanggung jawab. Mereka melempar batu
sembunyi tangan akibat apa, akibat tujuan mereka.
2. Bagaimana dengan keadaan didesa sendiri pak? Apaka ada hal-hal yang seperti
demikian?
Alamdulillah tidak ada, makanya pengawasan ketat berkoordinasi dengan pihak aparat
desa. Jadi walaupun bapak sengaja tidak pernah membuat perbedaan itu semakin
menonjol, karena akan mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. Yang tadinya biasa
saja pun pada akhirnya akan terpancing kalau secara bergerilya, secara intelejen kami
hanya memantau dan meminta tolong itu. Warga masyarakat di Desa Bagoang ini karena
sekecamatan Jasinga hanya di Desa Bagoang yang ada etnis Tionghoa jangan sampai ada
imbas dari ulah seseorang. Disini dulu ada begitu, zaman reformasi, mereka kan tau
artinya reformasi seperti apa dan ini hampir kena imbas. Justru bapak sebelum jadi kepala
desa, jadi mungkin dulu ketika jadi tokoh pemuda bela teradap masyarakat minoritas
karena negara kita demokrasi, tujuan kita mempersatukan. Percuma kita memiliki negara
demokrasi, mereka berhak hidup di Indonesia, karena warga negara Indonesia mereka
punya agama dan dilindungi oleh Negara, diundang undangkan, maka jangan bertindak
semena-mena walaupun misalkan mayoritas kita muslim tidak harus seperti itu.
Pembahasan dari bapak, titip hal semacam itu, jangan terlalu di expose yang negatifnya
dari segi apapun hanya karena masalah perbedaan, karena mereka juga punya hak dan
kewajiban sebagai warga Negara. Beda agama beda etnis ataupun beda pandangan tidak
harus jadi musuh. Kira-kira begitulah pandangan bapak seperti itu. Hal ini pun
diharapkan dapat menjadi contoh bahwa perbedaan tidak harus dengan interferensi, tidak
dengan kekerasan, kita memerangi bela negara bela agama tapi bapak salut waktu aksi
212 kemarin umat mengadakan doa bersama, bukan bertujuan untuk kekerasan bahkan
disini pun ketika aksi 212 di Jakarta, warga masyarakat Bagoang mengadakan doa
bersama di gereja dilintang bahkan masjid-masjid. Pihak desa pun meminta pendeta
untuk memimpin doa bersama di tempat-tempat ibadah, semoga negara ini aman,
Dibukakan pintu hati mereka-mereka yang dzalim sama seperti umat islam di DKi
kemarin kan damai dengan mengadakan doa bersama hal-hal semacam itu lah yang harus
diangkat jempol.
3. Kapan warga Tionghoa datang ke Desa Bagoang?
Konon katanya kedatangan etnis tionghoa sendiri bekas karyawan tebu gula yang ada di
jagabaya parung panjang tangerang jadi dulu zaman penjajahan dulu ada pabrik tebu
yang boleh dikatakan bangkrut yang akhirnya karyawannya ini terombangambing ada
satu secamam sekarang kepala desa kalo dulu disebutnya pacalang yang merasa peduli
teradap rasa kemanusiaan tadi akhirnya dibawalah diposisikan disini hanya beberapa
orang dulu enggak banyak ini kan sekarang banyaknya itu satu RT itu punya keturunan
keturunan dulunya hanya beberapa orang termasuk toko tan ceng liem
Dulu ketika alm bapak saya masih hidup bapak tanya kalo cina ditarisi ini kapan ada
bapak aja sebelum lahir udah ada ya ternyata sudah ratusan tahun disini jadi kalo ngeliat
dari usia almarhum bapak saya itu hampir sepadan dengan kedatangan orang cinta disini
bisa dibayangkan bapak saya aja enggak tau adanya datangnya apalagi saya.