Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Berjilbab (Studi Analisis Terhadap Kitab Tafsir
Al-Qurthubi, QS. Al-Ahzab: 59)
LAPORAN HASIL PENELITIAN
Ditulis Oleh:
DR. Abidin Wakano, M.Ag. Rahma Yani Samal
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN AMBON
2018
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam
berjilbab pada QS. Al-Ahzab: 59 menurut tafsir Al-Qurthubi.
Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Pustaka (Library Reseach),
dengan menggunakan metode analisis yaitu peneliti berupaya untuk meneliti nilai-
nilai pendidikan Islam dalam berjilbab terhadap kitab tafsir Al-Qurthubi. Kemudian
pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan pendidikan Islam yakni untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab.
Hasil penelitian ini menunjukkan: pertama: Bentuk nilai-nilai pendidikan
Islam ada tiga, yaitu: nilai pendidikan I’tiqodiyah, nilali pendidikan Amalliyah dan
nilai pendidikan Khuluqiyah. Kedua: Bahwa dalam tafsir Al-Qurthubi, pembahasan
tentang QS. Al-Ahzab ayat 59 dibagi menjadi enam pokok masalah, yakni
keteladanan, perintah berjilbab untuk perempuan-perempuan muknin, bentuk jilbab,
penguluran jilbab, pakaian yang diperintahkan kepada muslimah dan jilbab sebagai
identitas dan pelindung. Dan terkait dengan bentuk nilai pendidikan Islam ada tiga
macam dan ketiga nilai pendidikan Islam tersebut terdapat dalam tafsir Al-Qurthubi
tentang QS. Al-Ahzab ayat 59 dan khususnya tentang jilbab.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
keenam masalah pokok diatas berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh Abu Achmadi, yakni nilai pendidikan i’tiqodiyah
(keimanan/ketaatan), nilai pendidikan amaliyah (pengaplikasian), nilai pendidikan
khuluqiyah (akhlak yang terpuji). Adapun saran dari penelitian ini adalah Imam Al-
Qurthubi adalah seorang mufassir yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam yang
memang layak untuk terus dikaji pemikirannya, karena banyak menghasilkan karya
yang menyisakkan ruang untuk dikaji generasi selanjutnya.
Kata Kunci: Nilai-Nilai Pendidikan Islam, Jilbab
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ……………………………………………. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………........... v
ABSTRAK ……………………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………... vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………............ 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….............. 8
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………............... 8
D. Kegunaan Penelitian ……………………………………………………….......... 9
E. Defenisi Judul ……………………………………………………………............ 9
F. Kajian Riset Terddahulu ……………………………………………………….. 11
G. Metodologi Penelitian ………………………………………………………...... 13
H. Sistematika Pembahasan ……………………………………………………….. 16
BAB II : JILBAB DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Jilbab ………………………………………...................................... 12
B. Nilai-nilai Pendidikan Islam ………………………………………………….. 22
BAB III : BIOGRAFI IMAM AL-QURTHUBI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Qurthubi……………………………………............. 26
B. Gerakan Ilmiah pada Masa Imam Al-Qurthubi…………………………..........27
C. Guru-Guru Imam Al-Qurthubi ……………………………………………….. 28
D. Karya-Karya Imam Al-Qurthubi ……………………………………………... 29
E. Terpengaruhnya Imam Al-Qurthubi oleh Orang-orang Sebelumnya dan
Pengaruh Imam Al-Qurthubi Terhadap Orang-orang Setelahnya ……………. 30
F. Keistimewaan Kitab Tafsir Al-Qurthubi ……………………………………...32
G. Celah kekurangan Tafsir Al-Qurthubi ……………………………………. …. 33
BAB IV : PEMBAHASAN
A. Tafsir Imam Al-Qurthubi tentang QS. Al-Ahzab: 59 ………..............………. 36
B. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Berjilbab analisis Tafsir Al-Qurthubi ……. 46
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………………….... 58
B. Saran …………………………………………………………………………..58
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN : Kitab Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an (Pembahasan QS.Al-Ahzab: 59)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang sempurna juga sangat memuliakan penganutnya.
Terkhusus untuk perempuan. Islam sangat memuliakan perempuan. Salah satu bukti
bahwa Islam memuliakan perempuan yaitu bahwa dalam Islam pakaian untuk seorang
perempuan telah diatur. Dan pakaian tersebut salah satunya yaitu jilbab.
Sebagaimana firman Allah swt:
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Terkait dengan jilbab. Jilbab saat ini sudah menjadi tren global, termasuk di
Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar ini. Jika dulu jilbab identik dengan
pakaian santriwati di pesantren-pesantren yang mungkin terkesan „kampungan‟ dan
„ketinggalan zaman‟. Maka saat ini jilbab sudah begitu populer dan memasyarakat. Di
ruang-ruang publik, di mana saja, kita dapat melihat dan bertemu dengan perempuan-
perempuan muslimah yang menggunakan jilbab. Jilbab begitu dikenal dari mulai anak
2
kecil hingga nenek-nenek, dari mulai kampung-kampung kecil hingga kota-kota besar.
Bahkan jilbab kini sudah „naik kelas‟. Jilbab mulai dikenakan oleh istri para pejabat,
termasuk para selebritis, meski sering terbatas di bulan Ramadhan saja.
Tentu saja, jilbab yang mereka kenakan bukan jilbab sembarangan baik dari sisi
kualitas, model, maupun harganya. Pasalnya, jilbab kini telah menjadi bagian dari
industri fesyen yang ditandai antaranya dengan kemunculan sejumlah butik muslim,
industri garmen pakaian muslim, aksesoris muslim, perancang busana muslim, peragaan
busana muslim, dan lain sebagainya.
Singkatnya, jilbab kini telah menjadi salah satu ikon mode. Ikon mode pakaian
muslimah ini bahkan memiliki keunikan tren dan model yang bermacam-macam. Orang
mungkin masih ingat dengan istilah yang merujuk pada nama sejumlah artis seperti
„Jilbab Neno‟ (Neno Warisman), „Jilbab Inneke‟ (Inneke Koesherawati), dan lain
sebagainya. Di kalangan muslimah penggemar jilbab juga dikenal dengan merek-merek
tertentu seperti Shafira, Rabbani, Salimah dan sejumlah merek terkenal lainnya. Tidak
jarang, harga selembar jilbab itu – dengan berbagai modelnya yang trendi – bisa berharga
puluhan bahkan ratusan ribu rupiah.
Walhasil, jilbab saat ini tidak bisa lagi dianggap sebagai pakaian murahan,
kampungan dan ketinggalan zaman. Tentu, fenomena jilbab yang makin mengglobal ini
3
patut kita syukuri. Ini berbeda dengan puluhan tahun silam saat jilbab masih dianggap
sebagai pakaian „asing‟ bagi sebagian orang.1
Kemudian terlepas dari itu, jilbab juga dapat melindungi seseorang yang
menggunakannya. Dalam berjilbab juga terdapat nilai-nilai bagi pemakainya. Salah
satunya yaitu nilai-nilai pendidikan Islam.
Defenisi nilai-nilai pendidikan Islam adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hidup
yang saling terkait yang berisi ajaran-ajaran guna memelihara dan mengembangkan fitrah
manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia
seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma atau ajaran Islam.2
Namun terkait dengan nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab, banyak
muslimah yang belum memahaminya. Sehingga kadang muslimah tidak terlalu
mementingkan masalah penggunaan jilbab, yang tentu saja apabila digunakan sangat
bermanfaat bagi dirinya.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik
pokok permasalahan yang perlu dibahas dan dikaji dalam penelitian ini, pokok masalah
tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut, yaitu:
1Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet. II; Khilafah Press, 2013), hal. 9.
2http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html(Diakses
pada hari Selasa, 23 Mei 2017)
4
1. Apa saja nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab pada QS. Al-Ahzab: 59
terhadap tafsir Al-Qurthubi ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab pada QS. Al-
Ahzab: 59 terhadap tafsir Al-Qurthubi
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaannya adalah:
1. Untuk memberikan kontribusi terhadap khasanah intekektual hukum Islam
terutama dalam konsep jilbab
2. Menambah dan memperluas orientasi pemikiran dalam wacana jilbab itu sendiri
E. Defenisi Istilah
1. Nilai : Sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu
yang dapat menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.3 Nilai adalah
sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi, pada
hakikatnya, nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan
objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan mengandung nilai jika memiliki sifat atau
3Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Cet. III; PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), hal. 963.
5
kualitas yang melekat padanya.4 Nilai ditinjau dari segi keistimewaan adalah apa
yang dihargai, dinilai tinggi, atau dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan dari
suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negative”. Baik akan menjadi
suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negative” atau
“tidak bernilai”.5
2. Pendidikan Islam : Muhammad Natsir dalam tulisan Ideologi Pendidikan Islam
menyatakan: “Yang dinamakan pendidikan ialah suatu pimpinan jasmani dan
rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti
sesungguhnya”. Pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian
dihubungkan dengan Islam menimbulkan pengertian-pengertian baru yang secara
implisit menjelaskan karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dalam
konteks Islam inheren dalam istilah “tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.”
Secara lebih rinci, Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian
“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani
dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam
menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan
menyiapkan untuk mengahadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannya, manis dan pahitnya.”
4Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Cet. II; Pustaka
Setia, 2012), hal. 33. 5Makalah oleh Dudung Rahmat Hidayat Mulyadi, dengan judul “Hakikat dan Makna Nilai”,
halaman web:
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/Jur._Pend._Bahasa_Arab/195204141980021Dudung_Rahmat_Hidayat/H
akikat_dan_Makna_Nilai.pdf (Diakses pada Minggu, 14 Mei 2017)
6
Ahmad D. Marimba mengemukakan “Pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut
ukuran-ukuran Islam”.6
Dari kedua pengertian di atas yaitu pengertian nilai dan pendidikan Islam
dapat diambil defenisi bahwa nilai-nilai pendidikan Islam adalah kumpulan dari
prinsip-prinsip hidup yang saling terkait yang berisi ajaran-ajaran guna
memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang
ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan
norma atau ajaran Islam.7
3. Jilbab : Ada beberapa pengertian terkait jilbab yakni, Khimar (kerudung),
Miqna’ah (kain yang menutup kepala dan muka), Milhafah (mantel), Izar (baju
layaknya selimut yang menyelubungi badan), atau Mula’ah (baju kurung yang
memiliki lengan).8
F. Kajian Riset Terdahulu
Upaya pembahasan tentang jilbab telah banyak diungkap peneliti muslim,
seperti dilakukan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya Kebebasan Wanita
Jilid 4. Dalam bukunya beliau membahas diantaranya terkait dengan ciri-ciri penutup
6Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III
Edisi Pertama, (Jakarta: Cet. II; Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 5 – 6. 7http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html(Diakses
pada hari Selasa, 23 Mei 2017) 8Felix Y. Siauw, Yuk Berhijab, (Jakarta: Cet. III; Alfatih Press, 2015), hal. 81
7
tubuh wanita menurut Al-Qur‟an serta penafsiran dari beberapa mufassir terkait
dengan ciri-ciri penutup tubuh wanita.9
Husein Shahab dalam bukunya Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
membahas terkait dengan persyaratan pakaian wanita menurut ajaran Islam dan
menyimpulkan persyaratan pakaian wanita yang sesuai dengan ajaran Islam adalah
pertama, menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan; kedua, longgar
sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh; ketiga, terbuat dari bahan yang cukup
tebal, sehingga menyembunyikan warna kulit yang ditutupinya dan sekaligus juga
bentuk tubuh; keempat, tidak mencolok diri, sehingga menarik perhatian orang;
kelima, tidak menyerupai pakaian laki-laki; keenam, tidak menyerupai pakaian
wanita-wanita non muslim atau kafir.10
Zaitunah Subhan, dalam bukunya Al-Qur’an dan Perempuan Menuju
Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, telah menjelaskan tentang jilbab maupun
hijab.11
Arief B. Iskandar, dalam bukunya Jilbab Syar’i juga telah menjelaskan terkait
dengan jilbab syar‟i bagi seorang perempuan, dan telah dijelaskan juga berbagai
pendapat terkait dengan jilbab. Baik dalil, bentuk dan lainnya.12
9Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 4, (Jakarta: Cet. I; Gema Insani Press,
1997), hal. 43 10
Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dengan As-Sunnah, (Bandung: Cet. VI; Mizan,
1993), hal. 84 – 85 11
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an dan Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran,
(Jakarta: Cet. I; Prenadamedia Group, 2015), hal. 343. 12
Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet. II; Khilafah Press, 2013), hal. 1
8
Dari penulusuran di atas memang sudah banyak penelitian atau pembahasan
terkait dengan jilbab dalam QS. Al-Ahzab: 59, namun dari penulusuran penelitian di
atas, belum terdapat penelitian khusus terkait dengan nilai-nilai pendidikan Islam
yakni nilai pendidikan I’tiqodiyah, Amaliyah dan Khuluqiyah dalam berjilbab
terhadap tafsir Al-Qurthubi.. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam
tersebut dalam berjilbab yang dimana disini peneliti mencocokkan nilai-nilai
pendidikan Islam terhadap tafsir Al-Qurthubi.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini peneliti menggunakan metode penelitian:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (Library Reseach)
yaitu penelitian yang sumber datanya diperoleh melalui penelitian dan menelaah
buku-buku, jurnal, majalah dan media online yang berkaitan dengan masalah yang
akan dibahas dalam penelitian ini yaitu nilai-nilai pendidikan dalam berjilbab.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analitis. Analitis adalah Penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya)13
.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, (Jakarta: Cet. I; PT Gramedia, 2008), hal. 58
9
Analitis digunakan untuk menganalisa dengan cermat, dan menyimpulkannya.
Dimana peneliti berupaya untuk meneliti nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab
terhadap kitab tafsir Al-Qurthubi QS. Al-Ahzab: 59. Teknik analisis data yang
dilakukan oleh peneliti yaitu peneliti mencocokkan nilai-nilai pendidikan Islam
dalam berjilbab yang dikemukakan oleh Abu Achmadi yakni nilai-nilai pendidikan
I’tiqodiyah, Amaliyah dan Khuluqiyah terhadap kitab tafsir Al-Qurthubi terkait
dengan QS. Al-Ahzab: 59, khususnya tentang jilbab.
3. Teknik Pengumpulan Data
Kajian ini merupakan kajian kepustakaan, untuk itu peneliti mencoba
mempormulasikannya menggunakan dua sumber data, yaitu:
a. Data primer, yaitu sumber pokok kajian yang digunakan peneliti untuk membahas
skripsi. Dalam hal ini berupa kitab tafsir Al-Qurthubi
b. Data sekunder : yaitu data yang diambil dari buku, jurnal, majalah, media online
dan lainnya yang berkaitan atau membahas tentang masalah nilai-nilai pendidikan
Islam dalam berjilbab.
4. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Pendekatan
Pendidikan Islam, yaitu membahas terkait nilai-nilai pendidikan Islam yang
terkandung dalam perintah berjilbab terhadap pendapat Imam Al-Qurthubi dalam
tafsirnya yakni tafsir Al-Qurthubi. Dan akan dipertimbangkan pula kajian para
pemikir lainnya tentang ayat jilbab.
10
5. Analisis Data
Dalam mencari dan mengumpulkan data-data yang telah dihimpun, maka
peneliti perlu dan berusaha menganalisa dengan teliti, maka selanjutnya diadakan
analisis yang berpola pada:
a. Metode Induktif
Metode induktif yaitu metode pembahasan yang berangkat dari fakta-fakta atau
peristiwa-peristiwa konkret yang khusus untuk ditarik dalam generalisasi yang
bersifat umum.
b. Metode Deduktif
Metode Deduktif yaitu suatu pembahasan yang berangkat dari pengetahuan yang
bersifat umum dan bertitik tolak pada sesuatu kajian dan ditarik pada pengetahuan
yang khusus. Menganalisa data-data berupa pendapat Mufassir dan tokoh yang
bersifat khusus kemudian ditarik menjadi kesimpulan umum.14
H. Sistematika Pembahasan
Secara umum rancangan penelitian tersusun atas beberapa bab, yang terbagi
dalam tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Peneliti menyusun menjadi
beberapa yang masing-masing memuat sub-sub bab.
14
Qoidud Duwal, “Konsep Jilbab Dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran K.H. Husein
Muhammad)”, Skripsi Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009. Web: http://digilib.uin-suka.ac.id/3573/1/Bab%20I%2CV%2C%20Daftar%20Pustaka.pdf (Diakses pada hari Minggu, 21 Mei 2017)
11
Bab pertama, menjelaskan signifikan penelitian dalam latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, defenisi istilah. tinjauan
pustaka, akan menelusuri hasil penelitian sejenis sebelumnya. metodologi penelitian dan
sistematika pembahasan, akan mengerahkan pembahasan yang akan dikaji agar tidak
keluar dari metodologi penelitian.
Bab kedua, menjelaskan secara umum tentang jilbab dan nilai-nilai pendidikan
Islam. Membahas tentang jilbab menurut bahasa, hadits-hadits tentang jilbab, bentuk
jilbab dan kewajiban berjilbab.
Bab ketiga, secara khusus membahas biografi Imam Al-Qurthubi, yang meliputi
riwayat hidup Imam Al-Qurthubi, gerakan ilmiah pada masa Imam Al-Qurthubi, guru-
guru Imam Al-Qurthubi, karya-karya Imam Al-Qurthubi, terpengaruhnya Imam Al-
Qurthubi oleh orang-orang sebelumnya dan pengaruh Imam Al-Qurthubi terhadap orang-
orang setelahnya, keistimewaan kitab tafsir Al-Qurthubi, serta celah kekurangan tafsir
Al-Qurthubi.
Bab keempat, membahas tentang tafsir Imam Al-Qurthubi tentang QS. Al-Ahzab
ayat 59 dan membahas terkait. nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab studi analisis
terhadap tafsir Al-Qurthubi
Bab kelima, merupakan penutup, yaitu kesimpulan tentang penelitian ini dan
saran.
12
BAB II
JILBAB DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Jilbab
1) Ayat tentang jilbab
Jilbab terdapat dalam QS. Al-Ahzab .(Jalaabiib) جالبيب Jamaknya (Jilbaab) جلباب
ayat 59.
Terjemahan: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
2) Asbabun Nuzul
امرأة وكانت جتهاالح الحجاب ضرب ما بعد سودة خرجت قالت عنها هللا رضي عائشة عن
عمر ابن الخطاب فقال: يا سودة اما و هللا ما تخفين اهفرا يعرفها من على تخفى ال جسيمة
كيف تخرجين قالت فانكمأت راجعة ورسولهللا صلى هللا عليه وسلم في بيتي علينا فانظري
لي و انه ليتعشى وفي يده عرق فدخلت فقالت يا رسول هللا اني خرجت لبعض حاجتي فقال
وقالت فاوحى هللا اليه ثم رفع عنه وانالعرقفي يده ما وضعه فقال انه قد ٬عمر كذا و كذا
13
اذن لكن ان تخرجن لحاجتكن1
Dari Aisyah ra. katanya: Sudah keluar setelah dibuatkan hijab untuk
keperluannya, dimana ia merupakan seorang wanita yang besar (gemuk) tidak
samar lagi atas orang yang mengenalnya, Umar bin Khathab melihatnya, lalu ia
berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidak samar atas kami maka lihatlah
bagaimana engkau keluar?”. Aisyah berkata: “Lalu ia kembali sedang Rasulullah
saw., itu di rumahku, dan beliau sedang makan malam dan di tangan beliau
terdapat tulang yang berdaging. Lalu ia masuk dan berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya keluar untuk sebagian keperluanku, lalu Umar berkata
kepadaku demikian dan demikian”. Aisyah berkata: “Maka Allah menurunkan
wahyu kepada beliau kemudian wahyu itu selesai, dan tulang berada di tangan
beliau tidak diletakkannya, lalu beliau bersabda: “Telah diizinkan bagi kalian
untuk keluar karena keperluanmu.” 2
3) Jilbab menurut bahasa
Adapun pengertian jilbab menurut bahasa yaitu:
Di dalam Kamus Al-Muhith, Fairuzabadi mengatakan:
وه وأ ةفحلمالك قوف نا مهما يغطى به ثياب وأ ةفحملال نود ةأرملاسع لب وثو: ميصقلا
ارمخال3
“(Jilbab adalah) gamis (qamish) pakaian yang luas, tapi selain selubung/selimut
(milhafah), atau sesuatu yang dipakai olehnya untuk menyelimuti pakaiannya
mulai dari atas seperti selubung/selimut (milhafah). Atau, dia adalah khimar
(penutup kepala).”
1Ahmad Sunarto, dkk (penerjemah), Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VI, (Semarang: Cet. I; Asy-
Syifa‟, 1993), No. Hadits 4553, Kitab Tafsir, No. 42, Surah Al-Ahzab. hal. 398 – 399. Judul asli: Shahih
Bukhari Juz VI, Penyusun: Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. 2Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, (Jakarta:
Cet. IV; Maghfirah Pustaka, 2009), hal. 426. 3Majduddin Muhammad Bin Ya‟kub Al-Fairuzabadi, Al-Qoumus Al-Muhith, (Beirut: Daarul Fikri,
2010), hal. 65
14
Di dalam kamus Ash-Shihah, secara ringkas Al-Jauhari mengatakan:
الجلباب : الملحفة4
“Al-jilbab adalah al-milhafah.”
اإلزار ٬الجلباب : الملحفة والقميص5
Al-jilbab adalah al-milhafah (mantel), al-qamish (gamis) dan al-izar (baju
layaknya selimut yang menyelimuti badan)
4) Redaksi hadits – hadits tentang jilbab
1. Hadits Dari Ummu Salamah r.a.
ن ام سلمةحدثنا محمد بن عبيد أخبرنا ابن ثور عن معمر عن ابن خثيم عن صفية بنت شيبة ع
[ خرج نساء۹۵]األحزاب : ﴾ يدنين عليهن من جالبيبهن﴿قالت : لما نزلت ٬رضى الله عنها
6ة من االكسي االنصار كأن على رءوسهن العربان
“Dari Ummi Salamah R.A. dia berkata: sewaktu turun ayat: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya”, maka kaum wanita Anshar berpakaian, berkerudung
hitam, seolah kepala mereka burung-burung gagak”. (HR. Abu Daud)
Hadits ini sebagai identitas kepada seorang muslimah ketika mereka
sedang berada di luar rumah7
2. Hadits dari Imam Malik
4Abu Nashr Isma‟il bin Hammad Al-Jauhari, Kamus Ash-Shihah, (Beirut: Cet. I; Daarul Fikru,
1984), hal. 132 5Karim Sayid Muhammad Mahmud, Mu’jam Al-Tullab Al-Wasit, (Lebanon: Cet. II; Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 2009), hal. 125 6Muhammad Samsul-Haqq al-„azim Abadi, Sarh Sunan Abi Daud, (Lebanon: Cet. II; Dar Al-
Kotob Al-Ilmiyah, 2009), Kitab: Pakaian Wanita, Bab: Firman Allah “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya [Al-Ahzab: 59]” No. Hadits. 4097, hal. 283. 7Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 4, (Jakarta: Cet. III; Gema Insani Press,
2000), hal. 58.
15
فىانت تصلىحد ثنى يحيى عن مالك : انه بلغه ان عائشة زوج النبى صلى الله عليه وسلم ك
الدرع والخمار8
"Bersumber dari malik, sesungguhnya telah sampai kepada beliau, bahwa Aisyah
isteri Nabi saw. pernah mengerjakan sholat dengan mengenakan baju kurung
panjang dan kerudung.” (HR. Imam Malik)
3. Hadits dari Abdullah bin Al Aswad Al Khaulani
عن ٬عن بسر ابن سعيد ٬عن بكيربن عبد هللا بن األشج ٬عن الثقة عنده ٬وحد ثنى عن مالك
و كان فى حجر ميمونة زوج النبى صلى الله عليه وسلم : ان ٬بن االسود الخوالنى الله عبد
خمار ليس عليها ازاريمونة كانت تصلى فى الدرع والم9
“Bersumber dari Abdullah bin Al Aswad Al Khaulani – beliau ini berada di bilik
Maimunah isteri Nabi saw.--: bahwa Maimunah mengerjakan shalat dengan
mengenakan gaun panjang dan kerudung, tanpa memakai kain” (HR. Imam
Malik)
4. Hadits dari Muhammad bin Zaid bin Qunfudz
ليه وحد ثنىعن محمد بن زيد بن قنفذ عن امه انها سألت ام سلمة زوج النبى صلى الله ع
لت : تصلى فى الخمار والدرع السابغ اذا غيب افق؟ فيه المرأة من الثياب تصلى وسلم: ماذا
ظهور قد ميها10
Bersumber dari Muhammad bin Zaid bin Qunfudz, dari ibunya, bahwa Ibu
Muhammad ini pernah bertanya kepada Ummi Salamah isteri Nabi saw.:
“Pakaian apakah yang dikenakan oleh wanita untuk mengerjakan shalat.”
Ummi Salamah menjawab: Dia boleh mengerjakan shalat dengan memakai
kerudung dan baju yang panjang, asal permukaan telapak kakinya tidak kelihatan.
(HR. Imam Malik)
8Imam Malik bin Anas, Kitab Al-Muwatha’ Jilid I, Penulis Muhammad Fuad Abdul Baqi (Kairo:
Cet. II; Daarul Hadits, 1993), No. Hadits 35, Kitab: Shalat, Bab: Ar-Rukhshah fii Shalatil Mar‟ah fid-Dir‟I
wal-Khimar, hal. 134 9Ibid, No. Hadits 37, hal. 135.
10Ibid, No. Hadits, 36, hal. 134
16
5. Hadits dari Hisyam bin Urwah
فقالت :ان المنطق يشق ٬عن هشام بن عروة عن ابيه : ان امرأة استفتته ٬وحدثنى عن مالك
11اا كان الدرع سابغاذ ٬فقال : نعم ؟ مار افاصلى فى درع وخ ٬على
Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa seorang wanita meminta fatwa kepadanya
dengan berkata, “Ikat pinggangku itu merepotkanku, maka bolehkah saya shalat
dengan menegenakan baju panjang dan kerudung?” Urwah menjawab,“Boleh,
apabila baju itu besar (longgar)”. (HR. Imam Malik)
Ketetapan bahwa baju panjang dan kerudung mencukupi untuk menunaikan shalat
itu menunjukkan bahwa kedua pakaian ini sudah menutupi aurat, sebab dengan keduanya
itu telah terpenuhi penutupan aurat yang wajib sebagaimana yang dituntut syara‟ dalam
ayat, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya. “Atas dasar itu, maka jilbab ini dimaksudkan sebagai perintah
tambahan dari sekedar penutupan yang wajib. Itulah keadaan yang sempurna dan ciri
yang bagus yang membedakan wanita merdeka dan wanita budak.”12
6. Hadits dari Abu Hurairah ra.
ل النار قال : قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم : "صنفان من أه ٬عن أبي هريرة رضي هللا عنه
٬مميالت ٬سيات عارياتيضربون بها الناس. ونساء كا ٬كأنناب البقرأرهما: قوم معهم سياط لم
و إن ريحها لتوجد من مسيرة ٬ال يدخلن الجنة و ال يجدن ريحها٬كأسنمة البخت المائلةرٴۇوسهن
11
Adib Bisri Musthofa, dkk., Tarjamah Muwaththa’ Al-Imam Malik r.a. (Semarang: CV. Asy
Syifa‟, 1992), No. Hadits 323, Kitab: Shalat, Bab: Dispensasi bagi Wanita Mengerjakan Shalat
dalam Gaun Sehari-hari dan Kerudung, hal. 198 12
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 4, (Jakarta: Cet. I; Gema Insani Press,
1997), hal. 62
17
كذا و كذا"13
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda,
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang
membawa cemeti bagai ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang lain,
2) Para wanita yang berpakaian tetapi auratnya terlihat (karena berpakaian ketat,
mini, tembus pandang, atau menampakkan bentuk tubuh), yang memikat hati pria dan
berjalan lenggak-lenggok (suka merayu). Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak
dapat mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat tercium dari jarak yang sangat
jauh.” (HR. Muslim)
Secara tekstual yang dimaksud dengan اسياتعارياتك adalah:
a. Seorang perempuan secara lahir memakai pakaian yang tipis yang masih dapat
menggambarkan lekuk tubuhnya
b. Perempuan yamg mengenakan pakaian akan tetapi masih membiarkan bagian lain
dari tubuhnya terbuka semisal dengan memakai kerudung yang dililitkan ke leher
sehingga bagian dadanya terbuka.
c. Perempuan yang sudah mengenakan pakaiannya dengan sopan akan tetapi
jalannya sengaja dibuat berlenggok-lenggok dengan tujuan memamerkan
kecantikan dirinya supaya mendapatkan penghargaan dan pujian dari orang lain
(tabarruj)
d. Perempuan yamg mendandani kepalanya sedemikian rupa baik dengan kerudung,
ikat kepala atau lainnya yang menarik sehingga orang tertawan melihatnya
(tabarruj)14
7. Hadits dari Ummu „Athiyah r.a.
13
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Surabaya: Pustaka Amani, 2000), Kitab:
Tentang Pakaian dan Perhiasan, Bab 47: Perempuan yang berpakaian tapi auratnya tampak, Hadits No.
1388, hal. 802. 14
Muhammad Walid & Fitratul Uyun, Etika Berpakaian bagi Perempuan, (Malang: Cet. II; UIN-
Maliki press, 2012), hal. 58 – 59.
18
قالت: أمرنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن نخرجهن فيالفطر ٬عن أم عطية رضي هللا عنها
ويشهدن الخير ٬الصالةفأما الحيض: فيعتزلن ٬دورواألضحى: العوائق والحيضى وذوات الخ
قال: )لتلبسها أختها من جلبابها(؟ رسول هللا إحدانا ال يكون لها جلباب قلت: يا ودعوة المسلمين15
Diriwayatkan dari Ummu „Athiyyah r.a., ia berkata: Rasulullah saw, memerintahkan
kami agar mengajak kaum wanita keluar (ke lapangan) pada sholat Idul Fitri dan
Idul Adha: Para wanita muda, para wanita yang haidh tidak ikut sholat, namun
mereka ikut berbuat kebajikan (turut merayakan) dan berdoa bersama kaum
muslimin. Aku tanyakan, “Ya Rasulullah! Di antara kami ada yang tidak memiliki
baju?” Jawab beliau, “Hendaklah dia meminjam baju saudaranya!” (HR. Muslim)
Menurut Ibnu Hajar, hadits ini ada dalil yang dilarangnya perempuan keluar (dari
rumahnya) tanpa memakai jilbab.16
Hadits ini selain menunjukkan kewajiban wanita
untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian
jilbab, bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari, yang biasa
dikenakan di dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak
memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan
dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori
sebagai jilbab.17
5) Bentuk jilbab
Terkait dengan bentuk jilbab, para ulama maupun mufassir berbeda pendapat,
diantaranya:
1. Husein Shahab dalam bukunya “Jilbab Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah”
15
Ibid, Kitab: Tentang Sholat Dua Hari Raya, Bab 5: Keluarnya Kaum Wanita ke Sholat dan
Sholat Dua Hari Raya, Hadits No. 431, hal. 245 – 246. 16
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran,
(Jakarta: Cet. I; Prenadamedia Group, 2015), hal. 355. 17
Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet.II; Khilafah Press, 2013), hal. 98.
19
Jilbab adalah pakaian yang longgar, luas, dan menutupi kepala dan dada.18
2. Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya “Tafsir Al-Maraghi”
Al-Jalaabib : Jamak dari Jilbaab, baju kuurng yang meliputi seluruh – الجالبيب
tubuh wanita, lebih dari sekedar baju biasa dan kerudung.19
3. Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya “Tafsir Ath-Thabari”
Ahli takwil berbeda pendapat mengenai batasan mengulurkan jilbab yang
diperintahkan Allah. Sebagian berpendapat bahw amaksudnya adalah, menutup wajah
dan kepala mereka, sehingga tidak ada yang tampak melainkan satu mata. Dan yang
lain lagi mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk mengikatkan jilbab mereka
pada dahi.
Ath-Thabari mengemukakan tiga riwayat untuk pendapat yang pertama, satu
riwayat dari Ibnu Abbas dan dua riwayat dari Ubaidah. Untuk pendapat yang kedua
dia mengemukakan empat riwayat, satu riwayat dari Ibnu Abbas, riwayat kedua dari
Qatadah, riwayat ketiga dari Mujahid, dan riwayat keempat dari Abi Shalih. Hanya
saja riwayat Mujahid dan Abi Shalih tidak menashkan mengikatkan jilbab pada dahi.
Tetapi kedua riwayat itu menyebutkan bahwa mereka harus berjilbab dan menutup
wajah mereka dengan jilbab. 20
4. Tafsir Jalalain oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
18
Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’dan As-Sunnah, (Bandung: Cet. VI; Mizan, 1993), hal.
60.
19
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi Juz 22, 23, dan 24, (Semarang: Cet. II;
Toha Putra, 1992), hal. 61. 20
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari Jilid 21, (Jakarta: Cet. I;
Pustaka Azzam, 2009), hal. 247 – 252.
20
Lafadz jalaabib adalah bentuk jamak dari lafadz jilbaab, yaitu kain yang dipakai
oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Maksudnya hendaklah
mengulurkan sebagian daripada kain jilbabnya itu untuk menutupi muka mereka, jika
mereka hendak keluar karena suatu keperluan, kecuali hanya bagian yang cukup
untuk satu mata.21
5. Tafsir Ibnu Katsir oleh Isma‟il bin Katsir
Di dalam tafsirnya beliau mengutip pendapat dari beberapa ahli takhwil tentang
jilbab, diantaranya:
Ibnu Mas‟ud, Ubaidah, Qatadah, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha‟I, dan Ata
Al-Khurrasani serta lain-lainnya yang buka hanya seorang yang mengatakan jilbab adalah
kain yang dipakai di atas kerudung. Al-Jauhari mengatakan bhawa jilbab adalah kain
penutup.
Kemudian Ali Ibnu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah
memerintahkan kepada kaum wanita yang beriman apabila mereka keluar rumah untuk
suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dimulai dari kepala mereka
dengan kain jilbab dan hanya diperbolehkan menampakkan sebelah matanya saja.22
6) Kewajiban berjilbab
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan bentuk dan penguluran jilbab.
Namun untuk kewajiban berjilbab jumhur ulama mengatakan memakai jilbab hukumnya
21
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain berikut Asbabun
Nuzul Jilid 3, (Bandung: Cet. VIII; Sinar Baru Algensindo, 2005), hal. 1803 22
Al-Imam Abul Fida Isma‟il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 22 Al-Ahzab 31 s.d.
yasin 21, (bandung: Cet. II; Sinar Baru Algensindo, 2007), hal. 191 – 192..
21
wajib. Adapun dalil yang mewajibkan pemakaian jilbab yaitu hadits dari Ummu
„Athiyah, yakni:
قالت: أمرنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أن نخرجهن فيالفطر ٬عن أم عطية رضي هللا عنها
ويشهدن الخير ٬الصالةزلنفأما الحيض: فيعت ٬واألضحى: العوائق والحيضى وذوات الخدور
قال: )لتلبسها أختها من جلبابها(؟ رسول هللا إحدانا ال يكون لها جلباب قلت: يا ودعوة المسلمين23
Diriwayatkan dari Ummu „Athiyyah r.a., ia berkata: Rasulullah saw, memerintahkan
kami agar mengajak kaum wanita keluar (ke lapangan) pada sholat Idul Fitri dan
Idul Adha: Para wanita muda, para wanita yang haidh tidak ikut sholat, namun
mereka ikut berbuat kebajikan (turut merayakan) dan berdoa bersama kaum
muslimin. Aku tanyakan, “Ya Rasulullah! Di antara kami ada yang tidak memiliki
baju?” Jawab beliau, “Hendaklah dia meminjam baju saudaranya!” (HR. Muslim)
Menurut Ibnu Hajar, hadits ini ada dalil yang dilarangnya perempuan keluar (dari
rumahnya) tanpa memakai jilbab.24
Hadits ini selain menunjukkan kewajiban wanita
untuk mengenakan jilbab ketika hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian
jilbab, bahwa yang dimaksud dengan jilbab bukanlah pakaian sehari-hari, yang biasa
dikenakan di dalam rumah. Sebab, jika disebutkan ada seorang wanita yang tidak
memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak memiliki pakaian yang biasa dikenakan
dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian, tetapi pakaiannya itu tidak terkategori
sebagai jilbab.25
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa memakai jilbab itu wajib
digunakan ketika keluar rumah.
23
Ibid, Kitab: Tentang Sholat Dua Hari Raya, Bab 5: Keluarnya Kaum Wanita ke Sholat dan
Sholat Dua Hari Raya, Hadits No. 431, hal. 245 – 246. 24
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran,
(Jakarta: Cet. I; Prenadamedia Group, 2015), hal. 355. 25
Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet.II; Khilafah Press, 2013), hal. 98.
22
B. Nilai-nilai pendidikan Islam
1. Nilai
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Sifat-sifat (hal-hal) yang
penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang dapat menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya.26
Nilai adalah sifat dari suatu benda yang menarik minat seseorang atau kelompok.
Jadi, pada hakikatnya, nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek,
bukan objek itu sendiri. Sesuatu dikatakan mengandung nilai jika memiliki sifat atau
kualitas yang melekat padanya.27
Nilai ditinjau dari segi keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi, atau
dihargai sebagai suatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai”
atau “nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan
menjadi suatu “nilai negative” atau “tidak bernilai”.28
2. Pendidikan Islam
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Cet. III; PT Gramedia
Pustaka Utama, 2012), hal. 963. 27
Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung: Cet. II; Pustaka
Setia, 2012), hal. 33. 28
Makalah oleh Dudung Rahmat Hidayat Mulyadi, dengan judul “Hakikat dan Makna Nilai”,
halaman web:
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/Jur._Pend._Bahasa_Arab/195204141980021Dudung_Rahmat_Hidayat/H
akikat_dan_Makna_Nilai.pdf (Diakses pada Minggu, 14 Mei 2017)
23
Muhammad Natsir dalam tulisan Ideologi Pendidikan Islam menyatakan: “Yang
dinamakan pendidikan ialah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan
dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”. Pengertian pendidikan
secara umum, yang kemuadian dihubungkan dengan Islam menimbulkan pengertian-
pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik yang dimilikinya.
Pengertian pendidikan dalam konteks Islam inheren dalam konotasi istilah “tarbiyah,
ta’lim dan ta’dib.”
Secara lebih rinci, Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian “Pendidikan Islam
adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak
dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup
baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk mengahadapi
masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.”
Ahmad D. Marimba mengemukakan “Pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-
ukuran Islam”.29
3. Sumber nilai-nilai pendidikan Islam
Sumber nilai yang menjadi acuan hidup manusia amat banyak macamnya, semua
jenis nilai memiliki sumber yang menjadi pengikat semua nilai. Sumber nilai-nilai
pendidikan Islam yang menjadi acuan bagi hidup manusia adalah sumber nilai Islam.
29
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III
Edisi Pertama, (Jakarta: Cet. II; Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 5 – 6.
24
Sumber nilai Islam yang dimaksud berasal dari nilai yang menjadi falsafah hidup yang
dianut oleh pelaku pendidikan Islam, sumber nilai agama yang pokok adalah Al- Qur‟an
dan As- Sunnah.
a. Al-Qur‟an
Menurut Zakiah Daradjat, Al- Qur‟an adalah firman Allah berupa wahyu yang
disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Pengertian tentang Al-
Qur‟an di atas diperkuat dengan pendapat dari Allamah Syayyid bahwa Al-Qur‟an terdiri
dari serangkaian topik teoritis dan praktis sebagai pedoman hidup untuk umat manusia.
Apabila semua ajaran tersebut dilaksanakan, kita akan memperoleh kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Al- Qur‟an merupakan sumber nilai yang pertama dan utama, yang
eksistensinya tidak mengalami perubahan, walaupun interpretasinya mengalami
perubahan, sesuai dengan konteks zaman, keadaan dan tempat.
Kedudukan Al- Qur‟an dalam nilai-nilai pendidikan Islam adalah sebagai sumber
etika dan nilai-nilai yang paling shahih dan kuat, karena ajaran Al- Qur‟an adalah bersifat
mutlak dan universal. Baik yang isinya menganjurkan atau perintah dan juga berisi nilai-
nilai yang mengandung larangan. Nilai-nilai Qur‟ani secara garis besar terdiri dari dua
nilai yaitu nilai kebenaran (metafafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua nilai ini akan
memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya.
b. As-Sunnah
As-Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur‟an. As-Sunnah ialah
perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasulullah saw.
25
4. Bentuk nilai-nilai pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai yang mendukung dalam
pelaksanaan pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan Abu Achmadi dalam bukunya
Psikologi Umum, bahwa ada tiga bentuk nilai-nilai pendidikan Islam, diantaranya:
a. Nilai Pendidikan I’tiqodiyah
Nilai pendidikan I’tiqodiyah ini merupakan nilai yang terkait dengan keimanan
seperti iman kepada Allah SWT, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Takdir yang
bertujuan menata kepercayaan individu
b. Nilai Pendidikan Amaliyah
Nilai pendidikan amaliyah merupakan nilai yang berkaitan dengan tingkah laku.
Nilai pendidikan amaliyah diantaranya:
1. Pendidikan ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islam yang perlu
diperhatikan semua ibadah dalam Islam yang bertujuan membawa manusia agar
selalu ingat kepada Allah swt
2. Pendidikan Muamalah
Pendidikan muamalah merupakan pendidikan yang memuat hubungan antara
manusia baik secara individu maupun kelompok
c. Nilai pendidikan Khuluqiyah
Pendidikan ini merupakan pendidikan yang berkaitan dengan etika (akhlak) yang
bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku
terpuji.
26
Pendidikan akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari,
karena seseorang yang tidak memiliki akhlak akan menjadikan dirinya berbuat
merugikan orang lain.30
30
http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html
(Diakses pada hari Selasa, 23 Mei 2017), penulis: Mustangin Buchory.
26
BAB III
BIOGRAFI IMAM Al-QURTHUBI
A. Riwayat Hidup Imam Al-Qurthubi
Dia adalah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh
Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi. Dia adalah seorang Mufassir. Dia
dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang Spanyol). Disanalah dia mempelajari bahasa
Arab dan syair, disamping juga mempelajari Al-Qur‟an Al-Karim. Di sana pula dia
memperoleh penegetahuan yang luas dalam bidang Fikih, Nahwu, dan Qira’at.
Sebagaimana dia juga mempelajari ilmu Balaghah, Ulumul Qur‟an, dan juga ilmu-ilmu
lainnya. Setelah itu, dia datang ke Mesir dan menetap disana. Dia meninggal di Mesir
pada malam Senin, tepatnya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di
Elmeniya, di Timur sungai Nil, dan sering diziarahi oleh banyak orang.
Dia merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih dan ulama yang sudah
mencapai tingkatan ma’rifatullah. Dia sangat zuhud terhadap kehidupan dunia (tidak
menyenanginya), bahkan dirinya selalu disibukkan oleh urusan-urusan akhirat. Usianya
dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab.
Mengenai sosok Imam Al-Qurthubi ini, Syaikh Adz-Dzahabi menjelaskan, “Dia adalah
seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Dia memilki sejumlah karya
27
yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna
kepandaiannya”.1
B. Gerakan Ilmiah pada Masa Imam Al-Qurthubi
Kehidupan ilmiah di Maghrib (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) pada masa Al-
Muwahhidin (514 – 668 H) berkembang sangat pesat. Masa tersebut merupakan masa
yang di dalamnya Al-Qurthubi menjalani beberapa fase dari kehidupannya, tepatnya
ketika dia masih tinggal di Andalusia dan sebelum berpindah ke Mesir. Di antara faktor
yang menanmbah cepat laju gerakan ilmiah pada masa ini adalah:
1. Muhammad bin Tumart, pendiri daulah Al-Muwahhidin (United State), merupakan
salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia telah menyebar luaskan seruan
untuk mencari ilmu pengetahuan dan telah memberikan dorongan kepada rakyatnya
untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
2. Banyaknya buku-buku dan karya-karya tulis yang ada di Andalusia. Cordova
merupakan sebuah negeri di Andalusia (Spanyol) yang memilki buku paling banyak
serta memilki penduduk yang paling besar perhatiannya terhadap perbendaharaan
buku. Suasana ilmiah yang terlah menjadi ciri khas pemerintahan khalifah-khalifah
dari dinasti Al-Muwahhidin ini, serta banyaknya buku-buku dan karya-karya yang
telah memenuhi negeri Andalusia pada saaat itu, telah memberikan dorongan kepada
para ulama untuk terus berkarya dan telah meramaikan bursa ilmu pengetahuan.
1Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib, Nashirul
Haq: editor, Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2007), hal. xv – xvi.
28
Dari sini, maka jumlah lembaga-lenbaga keilmuan yang muncul di Andalusia,
baik di pusat kota maupun di daerah-daerah sekitarnya pun semakin banyak. Sementara
ilmu-ilmu agama seperti fikih, hadits, tafsir dan ilmu qira’at pun berkembang pesat,
sebagaimana ilmu bahasa Arab, nahwu, sejarah, sastra dan syair juga berkembang pesat.
Sungguh semua itu memeliki pengaruh yang sangat besar terhadap proses pembentukan
jiwa keilmuan diri Imam Al-Qurthubi.
Kehidupan ilmiah di Mesir pada saat itu, tepatnya setelah Imam Al-Qurthubi
berpindah ke sana pada masa pemerintahan dinasti Al-Ayyubiyyin, juga tidak kalah
majunya dengan kehidupan ilmiah di Andalusia pada masa pemerintahan dinasti Al-
Muwahhidin. Barangkali faktor-faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan
ilmiah di Mesir hampir sama, atau bahkan sama, dengan faktor-faktor yang menyebabkan
semakin majunya gerakan ilmiah di Andalusia.2
C. Guru-Guru Imam Al-Qurthubi
Diantara guru-guru Al-Qurthubi adalah:
1. Ibnu Rawwaj, yaitu Al-Imam Al-Muhaddits (ahli hadits) Abu Muhammad Abdul
Wahhab bin Rawwaj. Nama aslinya adalah Zhafir bin Ali bin Futuh Al-Azdi Al-
Iskandarani Al-Maliki. Dia wafat pada tahun 648 H
2. Ibnu Al-Jumaizi, yaitu Al-Allamah Baha‟uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah
bin Salamah Al-Mashri Asy-Syafi‟i. dia wafat pada tahun 649 H. dia merupakan
salah seorang ahli dalam bidang hadits, fikih dan ilmu qira’at
2Ibid, hal xvii
29
3. Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibarahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada
tahun 656 H. dia adalah penulis kitab Al-Mufhim fi Syarh Shahih Muslim.
Al-Hasan Al-Bakari, yaitu Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Maruk At-
Taimi An-Naisaburi Ad-Dimsyaqi, atau biasa dipanggil dengan nama Abu Ali
Shadruddin Al-Bakari. Dia wafat pada tahun 656 H.3
D. Karya-Karya Imam Al-Qurthubi
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil karya Al-Qurthubi selain kitabnya
yang berjudul Al-Jami’ Li Ahkaam Al-Qur’an, diantaranya adalah:
1. At-Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al-Khirah, merupakan sebuah kitab
yang terus dicetak hingga sekarang
2. At-Tidzkar fi Afdhal Al-Adzkar, merupakan sebuah kitab yang masih terus dicetak
hingga sekarang
3. Al-Asna fi Syarh Asma ‘illah Al-Husna
4. Syarh At-Taqashshi
5. Al-I’lam bi Maa fi Din An-Nashara Min Al-Mafashid wa Al-Auham wa Izhhar
Mahasin Din Al-Islam
6. Qam’u Al-Harsh bi Az-Zuhd wa Al-Qana’ah
7. Risalah fi Alqam Al-Hadits
8. Kitab Al-Aqdhiyyah
3Ibid, hal xvii
30
9. Al-Mishbah fi Al-Jam’I Baina Al-Af’aal wa Ash-Shahhah. Sebuah kitab tantang
bahasa Arab yang merupakan hasil ringkasan Qurthubi terhadap kitab Al-Af’al
karya Abu Al-Qasim Ali bin Ja‟far Al-Qaththa‟ dan kitab Ash-Shahhah karya Al-
Jauhari. Dalam kitab tafsirnya, Al-Qurthubi juga telah menyebutkan beberapa
nama hasil karyanya, di antaranya.
10. Al-Muqtabas fi Syarh Muwaththa’ Malik bin Anas
11. Al-Luma’ fi Syarh Al-‘Isyrinat An- Nabawiyyah4
E. Terpengaruhnya Imam Al-Qurthubi oleh Orang-orang Sebelumnya dan
Pengaruh Imam Al-Qurthubi Terhadap Orang-orang Setelahnya
Pertama: Terpengaruhnya Al-Qurthubi oleh orang-orang sebelumnya
Seseorang yang memperhatikan dengan seksama kitab tafsir Al-Qurthubi, pasti
akan mengetahui bahwa pemikiran Al-Qurthubi telah terpengaruh oleh beberapa ulama
yang hidup sebelumnya, di antaranya adalah:
1. Ibnu Athiyyah. Dia adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Abdill Haqq bin Athiyyah,
penulis kitab Al-Muharrar Al-Wajiz fi At-Tafsir. Imam Al-Qurthubi telah mengambil
banyak hal darinya, telah terpengaruh olehnya, dan telah meriwayatkan darinya dalam
banyak hal bidang seperti tafsir bi Al-Ma’tsur, qira‟at lughah (bahasa Arab), nahwu,
balaghah, fikih, hukum-hukum Islam dan lain sebagainya.
4Ibid, hal xviii
31
2. Abu Ja‟far An-Nuhas. Al-Qurthubi telah terpengaruh oleh Abu Ja‟far An-Nuhas,
penulis kitab I’rab Al-Qur’an dan kitab Ma’ani Al-Qur’an. Al-Qurthubi juga telah
meriwayatkan banyak hal darinya.
3. Al-Mawardi. Dia adalah Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi, wafat pada
tahun 450 H. Al-Qurthubi telah mengambil banyak hal darinya, dan telah terpengaruh
olehnya serta telah meriwayatkan darinya.
4. Ath-Thabari. Dia adalah Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, penulis kitab
Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, wafat pada tahun 310 H. Al-Qurthubi telah
mengambil banyak hal darinya dan telah terpengaruh olehnya, terutama dalam bidang
tafsir bi Al-Ma’tsur.
5. Abu Bakar bin Al-Arabi. Dia adalah penulis kitab Ahkam Al-Qur’an, wafat pada
tahun 543 H. Al-Qurthubi telah belajar darinya, berdebat dengannya dan telah
membantah serangan-serangan (kritikan-kritikan)nya terhadap para ahli fikih dan
ulama.
Kedua: Pengaruh Al-Qurthubi terhadap orang-orang setelahnya.
Para Mufassir yang hidup setelah Al-Qurthubi telah terpengaruh oleh kitab
tafsirnya. Mereka telah mengambil manfaat serta belajar banyak hal darinya. Di antara
mereka adalah:
1. Al-Hafizh Ibnu Katsir. Dia adalah Imaduddin Abu Al-Fida‟ Isma‟il bin Amru bin
Katsir, wafat pada tahun 774 H. dalam menulis kitab tafsirnya, Ibnu Katsir telah
terpengaruh oleh Al-Qurthubi. Dia juga telah meriwayatkan banyak perkataan dari
Al-Qurthubi tetapi secara maknawi, yaitu hanya pengertiannya saja dan tidak persis
32
dalam teks aslinya. Akan tetapi dalam sebagian masalah, Ibnu Katsir mendekat dan
mengomentari pendapat-pendapat Al-Qurthubi.
2. Abu Hayyan Al-Andalusi Al-Gharmathi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Al-Bahr
Al-Muhith, wafat pada tahun 754 H.
3. Asy-Syaukani. Dia adalah Al-Qadhi Al-Allamah Muhammad bin Ali bin Muhammad
Asy-Syaukani, wafat pada tahun 1255 H. dia telah belajar dari Al-Qurthubi serta telah
meriwayatkan darinya.5
F. Keistimewaan Kitab Tafsir Al-Qurthubi
Tafsir Al-Qurthubi dianggap sebagai ensiklopedia besar yang memuat banyak
ilmu. Di antara keistimewaan yang dimilikinya adalah:
1. Memuat hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an Al-Karim, dengan
pembahasan yang luas
2. Hadits-hadits yang ada di dalamnya di-takhrij dan pada umumnya disandarkan
langsung kepada orang yang meriwayatkannya
3. Al-Qurthubi telah berusaha agar tidak menyebutkan banyak cerita Isra‟iliyyat dan
hadits maudhu’ (palsu), tetapi sayangnya ada sejumlah kesalahan kecil (dalam
katanya dengan penyebutan cerita Isra‟iliyyat dan hadits palsu ini) yang telah
dilewatinya tanpa memberikan satu komentar pun
4. Selain itu, ketika menyebutkan sebagaian cerita Isra‟iliyyat dan hadits maudhu’
(palsu) yang menodai kesucian para malaikat dan para nabi atau dapat
membahayakan akidah seorang, maka Al-Qurthubi akan menyatakan bahwa cerita
5Ibid, hal xix – xx
33
atau hadits tersebut batil, atau akan menjelaskan bahwa statusnya dha’if (lemah). Hal
itu seperti yang telah dilakukannya ketika menyebutkan kisah Harut dan Marut, kisah
Nabi Daud dan Sulaiman, kisah Al-Gharaniq, serta kisah pernikahan Nabi saw
dengan Sayyidah Zainab bin Jahsy. Bahkan, Al-Qurthubi terkadang menyebutkan
sejumlah hadits palsu yang berkaitan dengan sebab turunnya sejumlah ayat, seperti
yang diriwayatkan oleh seorang pendongeng atau yang sejenisnya tentang sebab
turunnya firman Allah swt.,
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan
orang yang ditawan. (QS. Al-Insaan [76]: 8)6
G. Celah Kekurangan Tafsir Al-Qurthubi
Meskipun kitab tafsir Al-Qurthubi termasuk salah satu kitab tafsir yang memiliki
manfaat paling besar, akan tetapi ia tidak luput dari sejumlah kekurangan – dan
sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah swt – yang telah dilewatinya tanpa
ada satu komentar pun. Di antaranya adalah:
Adanya sejumlah cerita isra‟iliyyat yang dipaparkan Al-Qurthubi ketika
menjelaskan sebagian ayat, seperti ketikan menafsirkan firman Allah swt.,
6Ibid, hal xx - xxi
34
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya
bertasbih memuji Tuhannya. (QS. Al-Mu‟minun [40]: 7)
Al-Qurthubi menyebutkan bahwa laki-laki para malaikat pemikul „Arsy berada di
bagian bumi paling bawah sementara kepala-kepala mereka menembus „Arsy. Dan masih
banyak lagi berita-berita bohong (khurafat) lainnya. Selain itu, tafsir Al-Qurthubi juga
tidak luput dari hadits-hadits dha’if dan hadit-hadits maudhu’ (palsu). Dalam hal ini,
kami berusaha semaksimal mungkin untuk mengingatkan akan hal itu ketika sedang
melakukan takhrij terhadap hadits-hadits yang ada dalam tafsir Al-Qurthubi. Kesalahan
yang juga telah dilakukan oleh Al-Qurthubi adalah bahwa dia telah melakukan
pengutipan dari sebagian kitab tanpa memberikan isyarat ataupun menegaskan hal itu.7
H. Penafsiran Kitab Al-Qurthubi
1. Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang dilakukan yaitu metode tahlili dengan bentuk al-ma’tsur
(riwayat)
2. Corak
Adapun corak dari kitab tafsir Al-Qurthubi yaitu Fiqih8
7Ibid, hal xxi
8http://www.academia.edu/8401383/bab_II_al-quthubi_dan_tafsir_aljami_li_ahkam_al
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Tafsir Imam Al-Qurthubi tentang QS. Al-Ahzab: 59
Terjemahan: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Dalam ayat ini dibahas enam masalah, yaitu:
Pertama: Firman Allah swt.,
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu.”
Mengenai pembahasan terkait istri Nabi saw., kami telah menjelaskannya secara
rinci satu persatu. Sekedar menambahkan, kami menyebutkan sebuah riwayat dari
Qatadah yang mengatakan bahwa ketika Nabi saw diangkat ke sisi Allah beliau
meninggalkan Sembilan orang istri, lima diantaranya adalah wanita-wanita Qurasy, yaitu:
Aisyah, Hafshah, Ummu habibah, Saudah, dan Ummu Salamah. Sedangkan tiga lainnya
36
adalah dari kaum Arab yang lain, yaitu: Maimunah, Zainab binti Jahsy, dan Juwairiyah.
Dan satu istri terakhir adalah dari bani Harun, ia adalah Shafiyyah.
Mengenai anak-anak Nabi saw, beliau pernah dikaruniai beberapa orang putra dan
beberapa orang putri. Diantaranya putranya adalah:
Al-Qasim. Ia adalah putra pertama Nabi saw yang dilahirkan oleh siti Khadijah.
Namun ia juga yang menjadi anak pertama Nabi saw yang wafat, karena ia hanya hidup
dua tahun saja. Akan tetapi namanyalah yang diabadikan dan dijadikan julukan bagi Nabi
saw. (yakni Abu Al-Qasim).
Urwah meriwayatkan bahwa siti Khadijah melahirkan empat anak dari Nabi
SAW, yaitu Al-Qasim, Ath-Thahir, Ath-Thayyib, dan Abdullah. Namun pendapat ini
dibantah oleh Abu Bakar Al-Baraqi, ia mengatakan bahwa Ath-Thahir, Ath-Thayyib, dan
Abdullah, adalah satu orang, yakni Ath-Thahir adalah Ath-Thayyib, dan Ath-Thayyib
adalah Abdullah.
Putra lain Nabi saw adalah Ibrahim, yang dilahirkan oleh Maria Al-Qibthiyyah. Ia
lahir pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan Hijriyah. Namun ia hanya hidup 16 bulan
saja. (adapun yang diriwayatkan dari Ad-Daruquthni adalah 18 bulan). Lalu Ibrahim
dimakamkan di Baqi.
Ada sebuah hadits Nabi saw berkenaan dengan Ibrahim, yaitu, “Sesungguhnya
(anakku ini meninggal) pada saat masih menyusui, dan ia akan menyempurnakan masa
susunya di surga”
37
Semua anak-anak Nabi saw dilahirkan oleh Khadijah, kecuali Ibrahim. Dan
semua anak-anak Nabi saw wafat ketika beliau masih hidup, kecuali Fathimah.
Sedangkan yang termasuk putri beliau adalah Fathimah binti Khadijah. Ia
dilahirkan oleh siti Khadijah pada tahun kelima sebelum kenabian. Ia adalah putri Nabi
saw yang paling bungsu, yang dinikahi dengan Ali pada bulan Ramadhan pada tahun
kedua Hijriyah. Ali baru mencampurinya pada bulan Dzulhijjah (riwayat lain
menyebutkan bahwa Ali menikah dengan Fathimah pada bulan Rajab). Fathimah wafat
tidak lama setelah ditinggalkan wafat oleh Nabi saw dari ahlul bait.1
Putri beliau lainnya adalah Zainab, yang juga dilahirkan oleh Khadijah. Ia
dinikahi oleh sepupunya Abu Al-Ashi Ar-Rabi‟, dimana ibu dari Al-Ashi adalah Halah
binti Khuwailid, adik perempuan Khadijah. Nama asli Abu Al-Ashi adalah Laqith
(riwayat lain menyebutkan bahwa namanya adalah Hasyim, dan riwayat lainnya lagi
meneyebutkan bahwa namanya adalah Muqsim). Zainab adalah putri tertua Nabi saw, ia
meninggal pada tahun kedelapn Hijriyah. Nabi saw sendirilah yang turun ke dalam
makamnya untuk menguburkannya.
Putri beliau yang lain adalah Ruqayyah, yang juga dilahirkan oleh Khadijah. Ia
dinikahi oleh Atabah bin Abu Lahab sebelum kenabian. Lalu setelah Nabi saw diangkat
seagai Rasul Allah, dan diturunkannya firman Allah swt,
1Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an,
Juz 14, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1993) hal. 241.
38
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa” (QS.Al-
Lahab [111]: 1)
Lalu Abu Lahab berkata kepada anaknaya, “Kamu tidak aku anggap sebagai
anakku lagi apabila kamu tidak menceraikan istrimu.” Lalu Ruqayyah pun diceraikan
olehnya walaupun pada saat itu Ruqayyah belum pernah dicampurinya.
Kemudian Ruqayyah masuk Islam seiring dengan masuk Islamnya ibunya
Khadijah. Ia juga membai‟at kerasulan Nabi saw bersama saudari-saudarinya yang lain
bersama para wanita Quraisy lainnya. Setelah itu ia dinikahi oleh Utsman bin Affan. Dan
mereka berdua berhijrah ke negeri Habasyah (Negara Ethiopia sekarang) sebanyak dua
kali.
Sebenarnya Ruqayyah beberpa kali hamil dari Utsman, namun kehamilannya
tidak sempurna dan semuanya keguguran. Kecuali Abdullah, ia adalah anak satu-satunya
Ruqayyah bersama Utsman setelah beberapa kali gagal. Nama Abdullah ini diabadikan
oleh Utsman dan dijadikan julukan baginya (yakni Abu Abdullah). Namun, setelah
Abdullah berusia 6 tahun wajahnya dipatuk oleh seekor ayam dan langsung meniggal
pada saat itu juga. Mereka berdua (Ruqayyah dan Utsman) tidak memiliki anak lagi
setelah itu.
Ruqayyah kemudian ikut bersama suaminya berhijrah ke Madinah. Namun apada
saat Nabi saw dan kaum muslimin lainnya sedang bersiap untuk menghadapi perang
Badar, Ruqayyah jatuh sakit. Utsman lalu meminta izin untuk tidak ikut serta dalam
perang yang agung itu karena harus merawat Ruqayyah. Akan tetapi, ajal tidak dapat
dihalangi, Ruqayyah wafat pada saat Nabi saw masih berperang di Badar, yaitu di
39
pertengahan tahun kedua Hijriyah. Tidak beberapa lama setelah Ruqayyah dimakamkan
Zaid bin Haritsah membawa kabar gembira dari Badar, yaitu kabar kemenangan kaum
muslimin terhadap orang-orang kafir Quraisy. Setelah Nabi saw dan kaum muslimin
lainnya tiba di Madinah, mereka hanya meliaht makam Ruqayyah saja, dan Nabi saw
tidak menyaksikan langsung ketika putrinya itu dimakamkan.
Putri Nabi saw yang lain adalah Ummu Kultsum, yang juga dilahirkan oleh
Khadijah. Ia dinikahi oleh Atabah bin Abu Lahab. (saudara kandung Atabah) sebelum
kenabian. Setelah Nabi saw. diangkat menjadi Rasul, Abu Lahab juga memerintahkan
Utaibah untuk menceraikan istrinya dengan alasan yang sama yang telah disebutkan
mengenai Ruqayyah tadi. Utaibah juga tidak pernah mencampuri Ummu Kultsum.
Berbeda dengan Ruqayyah yang hijrah bersama suaminya ke Habbasyah
sebanyak dua kali, Ummu Kultsum selalu menemani Nabi saw di Makkah. Namun ia dan
Ruqayyah tidak berbeda dalam hal keIslaman dan bai‟at. Ia masuk Islam bersama Ibu
Khadijah, dan membai‟at Nabi saw bersama saudari-saudari dan kaum wanita lainnya.
Setelah itu ia juga ikut hijrah bersama kaum muslimin lainnnya ke Madinah. Setelah
Ruqayyah wafat, ia dinikahi oleh Utsman. Oleh karena itu, Utsman mendapat julukan
Dzunnurain (yang memiliki dua cahaya atau yang menikahi dua putri Nabi saw).2
Namun Ummu Kultsum juga meninggal pada saat Nabi saw masih hidup, yaitu
pada bulan Sya‟ban tahun kesembilan Hijriyah. Ketika Ummu Kultsum dimakamkan,
2Ibid, hal. 242
40
Nabi saw hanya menyaksikan dari atas kuburnya saja, sedang yang masuk ke dalam
kuburnya adalah Ali, Al-Fadhl dan Usamah.
Zubair bin Bakar menyebutkan, bahwa anak Nabi saw yang paling besar adalah
Al-Qasim, lalu Zainab, lantas Abdullah (yang juga dipanggil dengan sebutan Ath-
Thayyibah dan Ath-Thahir, yang dilahirkan setelah Nabi saw menjadi Rasul, namun ia
merasakan hidup hanya sebentar saja), kemudian Ummu Kultsum, lalu Fathimah, lantas
Ruqayyah. Yang pertama meninggal diantara adalah Al-Qasim dan yang kedua adalah
Abdullah.
Kedua: setelah memperhatikan bagaimana kebiasaan wanita arab jahiliyah adalah
tidak memiliki rasa malu dan mengenakan pakaian yang terbuka, seperti yang dilakukan
oleh para hamba sahaya wanita mereka, hingga membuat para pria bebas mengeksplorasi
pandangan dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor dan tidak senonoh, maka Allah swt
menyuruh Rasul-Nya untuk memerintahkan para wanita itu untuk memanjangkan
penutup kepala mereka jika mereka hendak keluar dari rumah mereka karena suatu
keperluan.
Kebiasaan pada waktu itu pula para wanita itu buang air besar di padang sahara,
yaitu sebelum mereka mempergunakan wc untuk buang air besar. Setelah ayat ini
diturunkan, para wanita merdeka dapat dibedakan dari para wanita hamba sahaya. Karena
mereka pasti mempergunakan tutup di kepala mereka. Sedangkan para pemuda yang
sedang mencari pendamping pun tidak mengganggu mereka lagi, karena sebelum ayat ini
diturunkan, para wanita mukmin seringkali “digoda” pada saat pergi membuang kotoran
41
mereka, lantaran pemuda-pemuda itu menyangka para wanita ini adalah budak belian.
Para pemuda itu hanya akan pergi ketika diteriaki dan menyadari bahwa yang “digoda”
itu bukanlah para hamba sahaya. Keluhan inilah yang menyebabkan diturunkan ayat ini.
Makna ini disampaikan oleh Al-Hasan dan ulama lainnya.
Ketiga: Firman Allah swt, من جلبيبهن “Mengulurkan jilbabnya” kata الجالبيب
جلبيبهن) ) adalah bentuk jamak dari kata الجلباب, yang maknanya adalah pakaian yang
lebih besar dari sekedar tudung kepala. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas‟ud,
bahwa makna dari kata الجلباب adalah pakaian panjang (pakaian kurung atau semacam
jubah). Ada juga yang meriwayatkan bahwa makna kata tersebut adalah penutup kepala
yang juga menutupi wajah. Namun yang paling benar makna dari kata الجلباب adalah
pakaian yang dapat menutupi seluruh tubuh.
Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata: Aku pernah
bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana apabila salah seorang dari
kami tidak memilki jilbab?” Lalu Nabi saw menjawab, “Hendaknya saudari dari wanita
tersebut yang memilikinya memberikan jilbab lebihnya kepada wanita itu.”
Keempat: para ulama berbeda pendapat mengenai cakupan lapang yang harus
ditutupi oleh jilbab tersebut. Ibnu Abbas dan Ubaidah As-Salmani berpendapat bahwa
wanita harus mengulurkannya hingga tidak tampak dari tubuhnya kecuali satu mata yang
dapat dipergunakan untuk melihat.
42
Ibnu Abbas juga mengemukakan pendapat lain yang juga dikatakan oleh Qatadah,
yaitu wanita itu harus membelit dan mengikat jilbabnya diatas kepalanya lalu
dihubungkan lagi di hidungnya hingga matanya dapat terbuka, namun tetap menutupi
sebagian besar wajahnya dan lehernya hingga ke bawah.
Sedangkan Al-Hasan berpendapat bahwa jilbab itu harus dikenakan di kepala dan
menutupi separuh dari wajahnya.
Kelima: Allah swt memerintahkan seluruh wanita untuk menutupi tubuhnya
dengan pakaian yang panjang, dan pakaian yang dikenakannya juga harus longgar hingga
tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Kecuali, jika wanita itu sedang di rumahnya saja
bersama suaminya, maka mereka boleh mengenakan pakaian apa saja yang mereka sukai.
Sebab suaminya itu berhak untuk menikmati apa saja yang dimiliki oleh istrinya
sebagaimana pun ia mau.3
Sebuah hadits shahih menyebutkan bahwa ketika pada suatu malam tiba-tiba Nabi
saw terjaga dari tidurnya, lalu beliau berkata, “Subhanallah, fitnah apakah yang
diturunkan pada malam ini, dan rahmat apakah yang telah dikeluarkan dari
perbendaharaan (Allah). Wahai istri-istriku bangkitlah kalian dari tidur kalian. Semoga
kalian tidak termasuk para wanita yang tidak berbusana di dunia dan tidak berpakaian di
akhirat.”
Diriwayatkan bahwa ketika Dihyah Al-Kalbi kembali dari negeri kediaman Hirqal
ia membawa seorang wanita yang berasal dari negeri Mesir, dan wanita itu langsung
3Ibid, hal. 243
43
diserahkan kepada Nabi saw berkata, “Potonglah sebuah kain untuk kamu jadikan baju
(dan kenakanlah) lalu berikanlah sisa kain itu kepada wanita yang kamu bawa agar ia
dapat menutupi tubuhnya dengan kain itu.”
Kemudian Nabi saw juga menambahkan, “Perintahkanlah wanita yang kamu
bawa itu untuk melonggarkan pakaian bawahnya, agar lekukakn bagian bawah tubuhnya
itu tidak terlihat.”
Abu Hurairah juga menyebutkan sifat dari wanita yang berbaju tipis, yaitu,
“Mereka adalah para wanita yang berpakaian mewah tapi terlihat telanjang, mereka
adalah para wanita yang berkehidupan mewah tapi terlihat sengsara.”
Diriwayatkan bahwa beberapa wanita dari bani Tamim mengunjungi Aisyah. Para
wanita ini mengenakan pakaiaan yang sangat tipis hingga Aisyah pun berkata kepada
mereka, “Apabila kalian adalah wanita-wanita mukmin, maka ketahuilah ini bukan
pakaian mukminah. Namun apabila kalian adalah wanita-wanita yang bukan mukmin,
maka nikmatilah pakaian kalian itu.” Lalu ada seorang wanita pengantin baru datang
kepada Aisyah, dengan mengenakan penutup muka dari Mesir yang bentuknya seperti
ranting-ranting yang terurai. Ketika Aisyah melihat wanita itu ia berkata, “Wanita yang
berpakaian seperti ini tidak beriman (tidak mempraktekan) isi surah An-Nuur.”
Dalam sebuah hadits shahih juga disebutkan,
سهن مثل أسنمة البخت ال يدخلن الجنة و ال يججدن ٶ نساء كاسيات عا ريا ت مائال ت مميالت رء
ريحها
44
“(salah satu penduduk neraka adalah) para wanita yang berpakaian namun terlihat
telanjang, jalannya melenggak-lenggok, dan kepalanya miring seperti punuk unta.
Mereka tidak akan masuk ke dalam surga, dan tidak mencium harumnya surga.”
Umar bin Khattab pernah berkata, “Apa yang mampu membuat seorang muslimah
mengenakan pakaian tertutup, walaupun pakaian yang digunakan itu sudah lusuh atau
meminjam dari tetangganya (itu lebih baik baginya daripada mnegenakan pakaian
terbuka), agar mereka dapat tertutupi apabila mereka keluar dari rumah karena suatu
keperluan, hingga tidak seorangpun mengetahui identitasnya hingga ia sampai ke
rumahnya kembali.”
Keenam: Firman Allah swt,
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu.”
Yang dimaksud “mereka” pada firman ini adalah para wanita yang merdeka,
yakni agar mereka dapat dibedakan dengan wanita yang hamba sahaya.
Apabila para wanita itu telah dikenali, maka mereka tidak akan menerima
perlakuan yang tidak baik. Karena melihat derajat kemerdekaan mereka. Dengan begitu
akan terhenti untuk memilki mereka. Bahkan Umar ketika melihat hamba sahaya
mengenakan penutup kepala, maka ia akan memukulnya dengan sebuah tongkat, sebagai
penghormatan untuk pakaian yag dikhususkan untuk orang-orang yang merdeka.
45
Namun bukan berarti ini bertujuan untuk mengenali identitas wanita itu sendiri,
atau boleh melepasnya jika sudah dapat dibedakan antara para wanita yang merdeka
dengan para wanita hamba sahaya.
Ada juga yang berpendapat bahwa kewajiban menutup tubuh atau mengenakan
jilbab sekarang ini sudah mencakup seluruh kalangan wanita, baik itu yang merdeka atau
pun yang hamba sahaya.
Hal ini sama dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw yang
melarang para wanita untuk pergi ke masjid setelah Nabi saw wafat, padahal Nabi saw
jelas sekali berkata, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah wanita untuk datang
ke masjid Allah.” Bahkan Aisyah berkata, “Kalau saja Nabi saw masih hidup hingga
sekarang maka beliau juga akan melarang wanita untuk pergi ke masjid seperti halnya
wanita bani Israel dilarang keluar dari rumahnya.”
“Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Adalah penghibur hati bagi para wanita yang tidak mengenakan jilbab sebelum
diturunkannya ayat ini, dimana Allah swt akan mengampuni ketidaktahuan mereka dan
akan tetap menyayangi mereka4.5
B. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam berjilbab analisis tafsir Al-Qurthubi
4Ibid, hal. 244
5Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 14, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq: editor, Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2009), hal. 578 – 588.
46
1. Defenisi nilai-nilai pendidikan Islam
Defenisi nilai-nilai pendidikan Islam telah dijelaskan secara detail sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas. Jadi, kesimpulannya terkait dengan defenisi nilai-nilai
pendidikan Islam adalah kumpulan dari prinsip-prinsip hidup yang saling terkait yang
berisi ajaran-ajaran guna memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber
daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma atau ajaran Islam.6
2. Bentuk nilai-nilai pendidikan Islam
Adapun bentuk nilai-nilai pendidikan Islam yang dimana menurut Abu Achmadi,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas yaitu:
1) Nilai Pendidikan I’tiqodiyah
Nilai pendidikan I’tiqodiyah ini merupakan nilai yang terkait dengan keimanan
seperti iman kepada Allah swt, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir dan Takdir yang
bertujuan menata kepercayaan individu
2) Nilai Pendidikan Amaliyah.
Nilai pendidikan amaliyah merupakan nilai yang berkaitan dengan tingkah laku.
Nilai pendidikan amaliyah diantaranya:
6http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html(Diakses
pada hari Selasa, 23 Mei 2017)
47
a. Pendidikan ibadah merupakan salah satu aspek pendidikan Islam yang perlu
diperhatikan semua ibadah dalam Islam yang bertujuan membawa manusia
agar selalu ingat kepada Allah swt
b. Pendidikan Muamalah
Pendidikan muamalah merupakan pendidikan yang memuat hubungan antara
manusia baik secara individu maupun kelompok
3. Nilai pendidikan Khuluqiyah
Pendidikan ini merupakan pendidikan yang berkaitan dengan etika
(akhlak) yang bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi
diri dengan perilaku terpuji.
Pendidikan akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-
hari, karena seseorang yang tidak memiliki akhlak akan menjadikan dirinya
berbuat merugikan orang lain.7
Jadi ada tiga bentuk nilai-nilai pendidikan Islam menurut Abu Achmadi, yaitu:
1. Nilai pendidikan I’tiqodiyah (keimanan/ketakwaan)
2. Nilai pendidikan Amaliyah (pengamalan)
3. Nilai pendidikan Khuluqiyah (akhlak yang baik/menjaga kehormatan)
Dan ketika nilai-nilai pendidikan Islam tersebut dihubungkan dengan
perintah berjilbab sebagaimana yang terdapat dalam tafsir Al-Qurthubi, maka
penjelasannya singkatnya adalah bahwa berjilbab dapat melahirkan nilai-nilai
7http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html
(Diakses pada hari Selasa, 23 Mei 2017), penulis: Mustangin Buchory.
48
pendidikan I’tiqodiyah (keimanan/ketakwaan), kemudian berjilbab dapat
melahirkan nilai-nilai pendidikan Amaliyah (pengamalan), dan berjilbab juga
dapat melahirkan nilai-nilai pendidikan Khuluqiyah (akhlak yang baik).
Dan pembahasan terkait dengan nilai-nilai pendidikan Islam dalam
berjilbab akan dibahas seputar tiga nilai pendidikan tersebut, yang tentu saja
pembahasannya akan dicocokkan dengan penafsiran Imam Al-Qurthubi dalam
tafsirnya yakni QS. Al-Ahzab ayat 59.
Demikian pembahasan detail tentang nilai-nilai pendidikan Islam dalam
berjilbab, analisis tafsir Al-Qurthubi:
1. Berjilbab melahirkan nilai I’tiqodiyah (keimanan/ketakwaan)
Jilbab sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi ialah baju yang
menutupi seluruh tubuh adalah salah satu simbol ketaatan bagi seorang muslimah
terhadap syari‟at Islam. Adapun perintah terhadap muslimah memakai jilbab
diperlihatkan dalam Al-Qur‟an yang berbunyi:
Firman Allah swt.:
Terjemahan: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih
49
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Dalam agama Islam, jilbab merupakan kewajiban bagi seorang muslim
perempuan untuk menutup aurat.8 Ayat di atas menggambarkan secara jelas, agar
wanita muslimah memakai pakaian (sebagai identitas) yang dapat membedakan
mereka dengan wanita yang bukan muslimah yang memakai pakaian tidak sopan
yang menimbulkan atau mengundang gangguan tangan atau lidah yang usil. Dan
pakaian itu adalah pakaian jilbab yang dapat mewujudkan upaya penutupan aurat
sesempurna mungkin.9
Adapun hadits Rasulullah saw.:
نفان من أهل قال : قال رسول هللا صلى هللا عليھ وسلم : "ص ٬عن أبي هريرة رضي هللا عنھ
٬يضربون بها الناس. ونساء كاسيات عاريات ٬النار لم أرهما : قوم معهم سياط كأنناب البقر
و إن ريحها ٬ريحهاال يدخلن الجنة و ال يجدن ٬رٴۇوسهن كأسنمة البخت المائلة ٬مميالت
لتوجد من مسيرة كذا و كذا"10
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda,
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang
membawa cemeti bagai ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang
lain, 2) Para wanita yang berpakaian tetapi auratnya terlihat (karena berpakaian
ketat, mini, tembus pandang, atau menampakkan bentuk tubuh), yang memikat
hati pria dan berjalan lenggak-lenggok (suka merayu). Mereka tidak dapat masuk
surga dan tidak dapat mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat tercium
dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)
8 Atik Catur Budiati, Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa, Jurnal Sosiologi Islam, Vol.1, No. 1,
2011. 9Muhammad Walid & Fitratul Uyun, Etika Berpakain bagi Wanita, (Malang: Cet. II; UIN-Maliki
Press, 2012), hal. 26. 10
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Surabaya: Pustaka Amani, 2000), Kitab:
Tentang Pakaian dan Perhiasan, Bab 47: Perempuan yang berpakaian tapi auratnya tampak, hadits No.
1388, hal. 802.
50
Menurut Ibnu Hajar, hadits ini ada dalil yang dilarangnya perempuan keluar (dari
rumahnya) tanpa memakai jilbab.11
Hadits ini selain menunjukkan kewajiban wanita untuk mengenakan jilbab ketika
hendak keluar rumah, juga memberikan pengertian jilbab, bahwa yang dimaksud dengan
jilbab bukanlah pakaian sehari-hari, yang biasa dikenakan di dalam rumah. Sebab, jika
disebutkan ada seorang wanita yang tidak memiliki jilbab, tidak mungkin wanita itu tidak
memiliki pakaian yang biasa dikenakan dalam rumah. Tentu ia sudah memiliki pakaian,
tetapi pakaiannya itu tidak terkategori sebagai jilbab.12
Kemudian pembahasan terkait dengan QS. Al-Ahzab ayat 59 dalam kitab tafsir
Al-Qurthubi dijelaskan 6 pokok masalah, yang dimana disingkat oleh penulis sebagai
berikut:
a. Keteladanan, yakni perintah terhadap istri-istri Rasulullah dan anak-anak
perempuannya untuk lebih dulu mengenakan jilbab, supaya bisa menjadi teladan
untuk muslimah yang lain
b. Perintah untuk memakai jilbab bagi muslimah (perempuan-perempuan muslim)
c. Bentuk jilbab yaitu baju yang menutupi seluruh tubuh wanita, kecuali yang boleh
diperlihatkan.
d. Penguluran jilbab yaitu sesuai dengan pendapat beliau tentang bentuk jilbab,
yakni menutupi seluruh tubuh kecuali yang boleh untuk dilihat.
11
Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran,
(Jakarta: Cet. I; Prenadamedia Group, 2015), hal. 355. 12
Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet.II; Khilafah Press, 2013), hal. 98.
51
e. Pakaian yang diperintahkan kepada para wanita. Allah swt memerintahkan
seluruh wanita untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian yang panjang, dan
pakaian yang dikenakannya juga harus longgar hingga tidak memperlihatkan
lekuk tubuhnya.
f. Jilbab sebagai identitas wanita muslimah
Dari keenam poin di atas, jika dihubungkan dengan nilai pendidikan Islam
I’tiqodiyah (keimanan), maka sangat sesuai. Seperti diketahui bahwa keenam poin
masalah diatas adalah penafsiran Imam Al-Qurthubi terkait dengan QS. Al-Ahzab ayat 59
yang merupakan dalil yang membahas tentang jilbab. Namun pada dasarnya ayat tersebut
adalah perintah Allah swt. maka harus dilaksanakan oleh seorang muslimah. Dan ketika
seorang muslimah mengaplikasikan ayat tersebut maka dia telah menjalankan perintah
Allah swt. dan itu adalah bentuk kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa memakai jilbab
adalah perintah Allah swt dan Rasul-Nya Muhammad saw. maka ketika mengerjakan
perintah Allah, maka itu adalah bentuk keimanan serta ketaatan kepada Allah swt serta
Rasul-Nya Muhammad saw.
2. Berjilbab melahirkan nilai amaliyyah (pengamalan)
Menggunakan jilbab merupakan salah satu perintah Allah swt. dan hukumnya
wajib. Dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Dan ketika seorang
muslimah menggunakan jilbab atau melaksanakan perintah memakai jilbab. Berarti dia
52
telah melaksanakan ibadah kepada Allah swt. dia telah mengaplikasikan nilai-nilai
amaliyah, yang tentu saja disamping itu juga dia mendapat pahala dari Allah swt.
Dan taat kepada Allah tidak perlu harus memakai pakaian yang mewah ataupun
mahal, dalam hal ini adalah jilbab yang mahal atau mewah. Sederhana saja, itu sudah
cukup.
Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab telah disebutkan sebelumnya, yakni:
“Apa yang mampu membuat seorang muslimah mengenakan pakaian tertutup, walaupun
pakaian yang digunakan itu sudah lusuh atau meminjam dari tetangganya (itu lebih baik
baginya daripada mnegenakan pakaian terbuka), agar mereka dapat tertutupi apabila
mereka keluar dari rumah karena suatu keperluan, hingga tidak seorangpun mengetahui
identitasnya hingga ia sampai ke rumahnya kembali.”13
Dengan berjilbab, dapat membuat seorang wanita untuk mengingat Allah swt.
kemudian disamping itu juga, dengan berjilbab seorang wanita itu telah melindungi
dirinya sendiri, baik dari gangguan di dunia maupun siksa di akhirat. Sebagaimana firman
Allah swt.
13
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 14, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq: editor, Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2009), hal. 587
53
14
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Dan juga hadits Rasulullah saw.
قال : قال رسول هللا صلى هللا عليھ وسلم : "صنفان من أهل ٬عن أبي هريرة رضي هللا عنھ
٬اسيات عارياتيضربون بها الناس. ونساء ك ٬النار لم أرهما : قوم معهم سياط كأنناب البقر
و إن ريحها ٬ال يدخلن الجنة و ال يجدن ريحها٬رٴۇوسهن كأسنمة البخت المائلة ٬مميالت
لتوجد من مسيرة كذا و كذا"15
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda,
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang
membawa cemeti bagai ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang
lain, 2) Para wanita yang berpakaian tetapi auratnya terlihat (karena berpakaian
ketat, mini, tembus pandang, atau menampakkan bentuk tubuh), yang memikat
hati pria dan berjalan lenggak-lenggok (suka merayu). Mereka tidak dapat masuk
surga dan tidak dapat mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat tercium
dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim).
3. Nilai pendidikan Khuluqiyah (akhlak yang baik/menjaga kehormatan)
Nilai pendidikan khuluqiyah ini merupakan pendidikan yang berkaitan dengan
etika (akhlak) yang bertujuan membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri
dengan perilaku terpuji.
Islam sangat memperhatikan kesucian dan kehormatan kaum wanita, salah
satunya melalui perintah menutup aurat dan menggunakan busana muslimah. Perintah
14
Departemen RI., Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006. 15
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Surabaya: Pustaka Amani, 2000), Kitab:
Tentang Pakaian dan Perhiasan, Bab 47: Perempuan yang berpakaian tapi auratnya tampak, hadits No.
1388, hal. 802.
54
untuk berbusana muslimah yang sesuai syar’i dikhusususkan kepada kaum wanita dengan
pertimbangan karena yang menjadi pusat perhatian adalah wanita. Oleh karena itu, di saat
wanita yang sudah baligh berpergian keluar rumah maka wajib baginya untuk
mengenakan busana yang sesuai dengan syar’i, yakni busana yang menutup aurat.16
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ayat yang mewajibkan
wanita memakai jilbab, yaitu QS. Al-Ahzab:59. Dalam ayat ini menuntut kaum wanita
untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya pada waktu keluar rumah untuk memenuhi
keperluan mereka. Yang demikian itu supaya mereka berbeda dari wanita budak sehingga
tidak ada seorang pun akan mengganggu mereka, karena ragu. Apabila para wanita itu
telah dikenali, maka mereka tidak akan menerima perlakuan yang tidak baik. Karena
melihat derajat kemerdekaan mereka. Dengan begitu akan terhenti untuk memiliki
mereka.17 Ini berarti bahwa jilbab disyariatkan untuk menyempurnakan keadaan ketika
mereka keluar rumah, dan dalam kesempurnaan ini terdapat kesempurnaan pembedaan,
penjagaan diri, dan penghormatan.18
Kemudian harus sesuai dengan syarat pakaian yang sudah dijelaskan dalam nash.
Sebagaimana hadits Rasulullah saw. salah satunya, yakni:
1. Hadits dari Abu Hurairah ra.
ل النار قال : قال رسول هللا صلى هللا عليھ وسلم : "صنفان من أه ٬عن أبي هريرة رضي هللا عنھ
16
Anik Choirotunnadzifah, “Jilbab dan Ketaatan Beragama bagi Mahasiswi Muslim Fakultas Seni
Pertunjukan Isi Yogyakarta”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013. 17
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 14, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq: editor, Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2009), hal. 586.. 18
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita Jilid 4, (Jakarta: Cet. I; Gema Insani Press,
1997), hal. 57
55
٬مميالت ٬سيات عارياتيضربون بها الناس. ونساء كا ٬أرهما: قوم معهم سياط كأنناب البقرلم
و إن ريحها لتوجد من مسيرة ٬ال يدخلن الجنة و ال يجدن ريحها٬كأسنمة البخت المائلةرٴۇوسهن
كذا و كذا"19
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda,
“Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat: Orang-orang yang
membawa cemeti bagai ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang
lain, 2) Para wanita yang berpakaian tetapi auratnya terlihat (karena berpakaian
ketat, mini, tembus pandang, atau menampakkan bentuk tubuh), yang memikat
hati pria dan berjalan lenggak-lenggok (suka merayu). Mereka tidak dapat masuk
surga dan tidak dapat mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat tercium
dari jarak yang sangat jauh.” (HR. Muslim)
Hadits ini juga memperingatkan kepada muslimah untuk memakai pakaian yang
sesuai dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Adapun syarat-syaratnya
sebagaimana dikemukakan oleh Nashiruddin Al-Albani, yaitu:
1. Menutup seluruh tubuh kecuali bagian yang dikecualikan
2. Bukan untuk berhias
3. Tebal, tidak tipis
4. Longgar, tidak ketat
5. Tidak diberi wangi-wangian
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
8. Bukan pakaian untuk kemasyhuran20
19
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, (Surabaya: Pustaka Amani, 2000), Kitab:
Tentang Pakaian dan Perhiasan, Bab 47: Perempuan yang berpakaian tapi auratnya tampak, Hadits No.
1388, hal. 802. 20
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Jilbab Wanita Muslimah, (Jogjakarta: Cet. III; Media
Hidayah, 2002), hal. 45
56
Lebih dari itu, sejatinya setiap muslimah berjilbab juga harus terus menerus
memperbaiki diri sekaligus menyempurnakan perilaku dan akhlaknya. Jilbab sudah
seharusnya menjadi „benteng diri‟ yang bisa mencegah seorang muslimah dari berbagai
perilaku tak terpuji. Sebaliknya, jilbab sudah selayaknya menjadi salah satu pendorong
seorang muslimah untuk terus meningkatkan kualitasnya sebagai seorang muslimah sejati
yang senantiasa terikat dengan segala ketentuan syar’i, perilaku dan akhlaknya yang
islami pun senantiasa memancar dari dalam diri.21
Kemudian bisa mencontohkan dan berbagi kepada muslimah yang lain.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw., dimana beliau memerintahkan kepada
istri-istri dan anak-anak perempuan beliau terlebih dulu untuk mereka memakai jilbab,
kemudian setelah itu perempua-perempuan mukmin yang lain. Karena memang mereka
adalah teladan-teladan yang paling banyak dicontohi dan diikuti.
Kemudian karena sangat besar ancaman Allah kepada orang-orang yang
mengatakan sesuatu, namun dia sendiri tidak mengaplikasikannya. Sebagaimana firman
Allah.
22
Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan
sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaff [61]: 2-3)
21
Arief B. Iskandar, Jilbab Syar’i, (Jakarta: Cet.II; Khilafah Press, 2013), hal. 18 22
Departemen RI., Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
57
Demikian pula sebagaimana dalam penggalan ayat yang terakhir dari QS. Al-
Ahzab: 59, Allah swt., berfirman:
“Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Adalah penghibur hati bagi para wanita yang tidak mengenakan jilbab sebelum
diturunkannya ayat ini, dimana Allah swt akan mengampuni ketidaktahuan mereka dan
akan tetap menyayangi mereka.23
Itulah beberapa nilai-nilai pendidikan Islam dalam perintah berjilbab. Yang
dimana kalau melihat nilai-nilai pendidikan Islam yang dibahas, sesuai dengan enam
masalah pokok yang dikemukakan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, dalam
pembahasan tentang QS. Al-Ahzab ayat 59.
23
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 14, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq: editor, Mukhlis B. Mukti (Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2009), hal. 588.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
Pembahasan ayat tentang jilbab yakni QS. Al-Ahzab: 59 dalam kitab tafsir Imam
Al-Qurthubi, terdapat enam pokok masalah yang dibahas, yaitu: Keteladanan, Perintah
untuk memakai jilbab bagi muslimah (perempuan-perempuan muslim), Bentuk jilbab,
Penguluran jilbab, Pakaian yang diperintahkan kepada para wanita, Jilbab sebagai
identitas wanita muslimah dan pelindung
Yang dimana keenam masalah pokok diatas berkaitan dengan nilai-nilai
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Abu Achmadi, yakni nilai pendidikan
i’tiqodiyah (keimanan/ketaatan), nilai pendidikan amaliyah (pengaplikasian), nilai
pendidikan khuluqiyah (akhlak yang terpuji)
B. Saran
Dalam pembahasan yang peneliti lakukan tentunya banyak mengandung
kekurangan, karena peneliti menyadari bahwa manusia sebagai seorang individu tidak
ada yang ma’sum dan terlepas dari kekurangan maupun kesalahan. Oleh karenanya
peneliti akan mengemukakan beberapa saran bagi pembaca.
1. Dalam membahas tafsir Imam Al-Qurthubi, diperlukan waktu dan kemampuan yang
tidak sedikit di bidang ushul fiqh sebagai keahlian Imam Al-Qurthubi yang berlatar
59
belakang sebagai seorang mufassir. Dalam hal ini peneliti menyadari akan segala
keterbatasan yang peneliti miliki.
2. Imam Al-Qurthubi adalah seorang mufassir yang memiliki ilmu yang luas dan
mendalam yang memang layak untuk terus dikaji pemikirannya, karena banyak
menghasilkan karya yang menyisakkan ruang untuk dikaji generasi selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi Muhammad Samsul-Haqq al-„azim, Sarh Sunan Abi Daud, Lebanon: Cet. II; Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III Edisi Pertama, Jakarta: Cet. II; Kencana Prenadamedia Group, 2014.
Al-Qurthubi, Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-
Qur’an, Juz 14, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1993
Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi Jilid 14, Penerjemah Faturrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq: editor, Mukhlis B. Mukti, Jakarta: Cet. I; Pustaka Azzam, 2009.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi Juz 22, 23, dan 24, Semarang:
Cet. II; Toha Putra, 1992
Ath-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari Jilid 21, Jakarta: Cet.
I; Pustaka Azzam, 2009
As-Suyuthi, Jalaluddin dan Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain berikut Asbabun
Nuzul Jilid 3, Bandung: Cet. VIII; Sinar Baru Algensindo, 2005
Ad-Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Isma‟il Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 22 Al-
Ahzab 31 s.d. yasin 21, bandung: Cet. II; Sinar Baru Algensindo, 2007.
Al-Fairuzabadi, Majduddin Muhammad Bin Ya‟kub, Al-Qoumus Al-Muhith, Beirut:
Daarul Fikri, 2010
Al-Jauhari, Abu Nashr Isma‟il bin Hammad, Kamus Ash-Shihah, Beirut: Cet. I; Daarul
Fikru, 1984
Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Surabaya: Pustaka Amani, 2000.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Jilbab Wanita Muslimah, Jogjakarta: Cet. III; Media
Hidayah, 2002
Arifin, Bey, dkk., Tarjamah Sunan Abi Daud Jilid IV, Semarang: Cet. I; Asy-Syifa‟,
1993.
Akhdiyat, Hendra & Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam 1, Bandung: Cet. II;
Pustaka Setia, 2012
Budiati, Atik Catur, Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa, Jurnal Sosiologi Islam,
Vol.1, No. 1, 2011.
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Cet. II; Pustaka
Pelajar, 2000
Choirotunnadzifah, Anik, “Jilbab dan Ketaatan Beragama bagi Mahasiswi Muslim
Fakultas Seni Pertunjukan Isi Yogyakarta”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Duwal, Qoidud, “Konsep Jilbab Dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran K.H. Husein
Muhammad)”, Skripsi Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
Web:http://digilib.uin-suka.ac.id/3573/1/Bab%20I%2CV%2C%20Daftar%20Pustaka.pdf
(Diakses pada hari Minggu, 21 Mei 2017)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat, Jakarta: Cet. I; PT Gramedia, 2008.
Departemen RI., Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Hamka, Tafsir Al-Azhar: Jilid 7, Jakarta: Cet. I; Gema Insani, 2015.
Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
Jakarta: Cet. IV; Maghfirah Pustaka, 2009
Imam Malik bin Anas, Kitab Al-Muwatha’ Jilid I, Penulis Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Kairo: Cet. II; Daarul Hadits, 1993, No. Hadits 35, Kitab: Shalat, Bab: Ar-
Rukhshah fii Shalatil Mar‟ah fid-Dir‟I wal-Khimar.
Iskandar, Arief B., Jilbab Syar’i, Jakarta: Cet.II; Khilafah Press, 2013.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Cet. III; PT
Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Mahmud, Karim Sayid Muhammad, Mu’jam Al-Tullab Al-Wasit, Lebanon: Cet. II; Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2009
Musthofa, Adib Bisri, dkk., Tarjamah Muwaththa’ Al-Imam Malik r.a. Semarang: CV.
Asy Syifa‟, 1992, No. Hadits 323, Kitab: Shalat, Bab: Dispensasi bagi Wanita
Mengerjakan Shalat dalam Gaun Sehari-hari dan Kerudung.
Makalah oleh Dudung Rahmat Hidayat Mulyadi, dengan judul “Hakikat dan Makna Nilai”,
web:http://file.upi.edu/Direktori/fpbs/jur._pend._bahasa_arab/195204141980021dudung_
rahmat_hidayat/hakikat_dan_makna_nilai.pdf (Diakses pada Minggu, 14 Mei 2017)
Sunarto, Ahmad, dkk (penerjemah), Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VI, Semarang: Cet. I;
Asy-Syifa‟, 1993, No. Hadits 4553, Kitab Tafsir, No. 42, Surah Al-Ahzab. hal.
398 – 399. Judul asli: Shahih Bukhari Juz VI, Penyusun: Imam Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari.
Subhan, Zaitunah, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesetaraan Gender dalam
Penafsiran, Jakarta: Cet. I; Prenadamedia Group, 2015
Shahab, Husein, Jilbab Menurut Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Bandung: Cet. VI;
Mizan, 1993.
Syuqqah, Abdul Halim Abu, Kebebasan Wanita Jilid 4, Jakarta: Cet. I; Gema Insani
Press, 1997.
Siauw, Felix Y., Yuk Berhijab, Jakarta: Cet. III; Alfatih Press, 2015
Uyun, Fitratul & Muhammad Walid, Etika Berpakaian bagi Perempuan, Malang: Cet. II;
UIN-Maliki press, 2012
https://rindufidati.wordpress.com/2015/04/17/metodologi-tafsir-tahliliijmalimaudhuimuqorrin/
(Diakses pada: Jumat, 21 April 2017)
http://ejournal.kopertais4.or.id/jurnal_versi_248_utk_copy_data/index.php/pwahana/article/view
/1177/0 (Diakses pada: Jumat, 21 April 2017)
http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/4651/Bab%202
.pdf?sequence=10 (Diakses tanggal 5 Maret 2017)
http://www.indojilbab.com/content/42-definisi-jilbab-dalam-al-quran-dan-jilbab-zaman-sekarang,
oleh Nur Faizin Muhith (Diakses tanggal 2 Maret 2017)
https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis (Diakses Kamis, 16 Maret 2017)
http://pendidikan-hukum.blogspot.co.id/2010/10/jilbab-dalam-lintasan-sejarah-islam_26.html
oleh Muh Rofiq Nasihudin (Diakses tanggal 2 Maret 2017)
ejournal.kopertais4.or.id/pantura/index.php/alhikmah/article/view/363/212 (Diakses tanggal 18
Mei 2017)
https://rumahshintazahaf.wordpress.com/2012/05/24/kewajiban-berjilbab-tafsir-qs-al-ahzab-33-
59/ Oleh Rokhmat S. Labib. (Diakses pada hari Selasa, 22 Mei 2017)
http://mustanginbuchory89.blogspot.co.id/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html(Diakses
pada hari Selasa, 23 Mei 2017)