Upload
vokhuong
View
231
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
(Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam Realitas Sosial)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh
Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh :
Andriansyah 1040 3400 1158
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2010 M
KONSEP TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam
Realitas Sosial
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar
SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh :
Andriansyah
NIM: 1040 3400 1158
Dibawah Bimbingan:
Dr. Ahsin Sakho, MA. NIP. 1956 0221 199603 1001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2010 M
i
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحیم
Segala puji dan syukur kepada Allah swt. yang senantiasa melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun sehingga hanya karena limpahan
nikmat-nikmat itu penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dengan
tertatih-tatih dan sangat sederhana. Salawat dan salam kami persembahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad saw yang membawa umatnya dari alam kegelapan
karena kebodohan kepada alam yang terang benderang karena bertaburan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu,
penulis banyak berhutang jasa kepada berbagai pihak yang begitu tulus membantu,
baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis
pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis mengucapkan
rasa terima kasih yang mendalam.
Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan teruntuk:
1. Kepada Prof. Dr.Zainul Kamaluddin. F., MA Dekan Fakultas Ushuluddin.
ii
2. Dr.Bustamin, M.Si. Ketua Jurusan dan Muslim, S.Th.I Sekertaris Jurusan
Tafsir Hadis, yang telah memberi saran dan informasi akademik serta yang
telah memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Dr. Ahsin Sakho, MA Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
saran dan kritik. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan
saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda
kegiatan, beliau masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ushuludddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin.
Terima kasih atas segala bantuannya yang memfasilitasi penulis dalam
mencari data-data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat
penyelesaian skripsi ini.
6. Rasa Ta’zim dan terima kasih yang mendalam Kepada kedua orang tua
Ayahanda Dirham Syah dan Ibunda Kusti’ah atas dukungan moril dan
materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta cinta dan kasih sayang yang tak
pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah
swt, senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam belajar, juga atas
dan pengorbanan yang luar biasa mendidik dan mengajarkan arti kehidupan.
Penulis persembahkan skripsi ini
iii
7. Demikian pula kakak-adik tercinta a adi, iwan, dzulkarnain, yang selalu
memberikan semangat, terutama khusus buat teteh ku (teh cindy) yang paling
baik, perhatian dikeluarga, supaya adik-adiknya sukses, dan selalu
memberikan motivasi, dorongan, semangat, Karena merekalah penulis
memutuskan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan akhir studi ke kampus
tercinta, yang lambat-laun semakin asing, karena perubahan yang begitu
drastis dalam waktu hanya setahun saya tinggalkan.
8. Tidak lupa juga buat teman-teman kosan seperjuangan dalam mencari ilmu. ijonk,
(yang lagi mencari cinta sejati nya), onta, iwan susanto, mukhlas,dan anca, penulis
ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan do’a, mudah-mudahan amal
kebaikan kalian semua di terima Allah swt.
9. Terakhir, untuk teman-teman angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin: abdul mohay, anas, ardie,otoy, baehaqi, Aang Setiawan, abang agung,
terutama buat bang ubay yang selalu memberikan wejangan agar penulis lebih serius
dalam menyusun skripsi. Dan tak lupa pula kepada: “TH-B” yang ghoib dan tidak
dapat penulis sebut namanya satu per satu dan semoga hubungan persahabatan (tali
silaturrahmi) tidak akan terputus sampai kapanpun.
Mengakhiri kata pengantar ini, semoga amal dan jasa baik yang telah
diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah swt dengan pahala yang
berlimpah ganda.dan menjadikan amal saleh mereka.
Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada semoga Allah
swt senantiasa meridhoi setiap langkah kita amin.skripsi ini dapat bermanfaat bagi
iv
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. penulis berharap semoga
keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada
umumnya.
Jakarta, 25 Nopember 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…... i
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………….....v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………….……………………………..1
B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................4
C. Tujuan Penelitian…………………………..…………………………....4
D. Tinjauan Pustaka…………………………….………………………….5
E. Metodologi Penelitian……………………….……………………….....6
F. Sistematika Penulisan……………………….………………………......7
BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
A. Definisi Tâghût
1.1 Menurut Bahasa................................................................................9
1.2 Menurut Istilah................................................................................11
B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir
1.3 Sayyid Quthb..................................................................................12
1.4 M.Quraish Shihab...........................................................................12
1.5 Hamka.............................................................................................15
BAB III KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR
A. Ibn Katsir dan Sayyid Quthb………………………………………....18
B. M. Quraish Shihab dan Hamka…………………………………… ...24
ix
C. Macam-Macam Tâghût
a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran...............................29
b. Para Pendeta dan Pastur...........................................................37
c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam…………………………43
d. Dukun dan Tukang Sihir……………………………………..47
D. Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas
Sosial....................................................................................................56
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..67
B. Saran-saran…………………………………………………………………..68
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………....69
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada buku pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006.
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de da zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
vi
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ھ
apostrop ' ء
Y ye ي
Vokal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
— a fathah
— i kasrah
— u dammah
vii
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ______ي
au a dan u ______و
Vokal Panjang Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ـي
û u dengan topi di atas ــو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
.dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah , ال
Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika
huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-
darûrah, demikian seterusnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Konsep-
konsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi
manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran
sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka
berada.
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia bahwa dia tidak saja
memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk
kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus
seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan
menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,(tidak menyekutukanya)
menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.1
Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat
pragmatis. Agama dipandang sebagai pemicu pemberontakan, sumber
ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin
dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme
sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia
1 Manna khalil al-Qattan ’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’(Jakarta, Lentera AntarNusa),Thn 2006, cet.9, h.10
2
modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama.
Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi
sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan
terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang
baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan.2
Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid
selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu
secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak
dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila
menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar
keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda keyakinan-
Tauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka
belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam
definisi kemusyrikan.
Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu
pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan
tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa
modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam
bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di
televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau
kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang
mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka
2. Gilles Kepel, Pembalasan Tuhan, (Pustaka Hidayah, Jakarta,1997), h. 9
3
hanyalah manusia biasa.
Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia
kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri
ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau
paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan.
Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini
sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût. 3 Tâghût diyakini sebagai
sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas
yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada
Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang
tidak berpijak kepada peraturan Allah.4
Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi
penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu
yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan
kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka
memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh
keuntungan.
Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam
keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar
keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman
tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk
3 Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz al-Quran, Jilid 1, (Beirût: Dâr al-
Fikr, tt), h. 115-116 4 Muhammad Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr,
1992), h. 617
4
mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra
hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai
tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia
tidak ternodai oleh unsur tâghût.
Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain
terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu
dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid.
B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan di atas, maka
penulis akan membatasi permasalahan skripsi ini pada dua Konsep taghût masa
klasik dan modern dalam perspektif al-Quran, serta budaya penyimpangan yang
telah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebagai berikut:
-Bagaimana Konsep Taghût dalam Al-Quran dengan Penyimpangan
Akidah di Realitas Sosial?
Sedangkan batasan masalah hanya pada pemaknaan taghût dengan ayat al-
Quran yang disertai tafsir, adapun ayat lainnya bisa digunakan sebagai data
pelengkap pembahasan. Taghût dalam al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang dan masuk ke dalam prilaku syirik akan dibahas secara proporsional
sehingga batasan penyimpangan itu dapat diketahui..
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat
keilmuan. Penelitian dalam dunia keilmuan bertujuan memperkaya tubuh
pengetahuan teoritis keilmuan dilegkapi dengan metode pemecahan masalah yang
5
dihadapi manusia. Adapun tujuan penelitian yang hedak dicapai dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berkut:
a. Untuk menemukan dan menjelaskan makna taghût dalam al-Quran dalam
konteks terkini beserta konsekuensinya.
b. Sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka menggali dan memperluas
definisi taghût beserta implikasinya yang berupa penyimpangan-
penyimpangan yang masih samar-samar.
c. Untuk mengingatkan opini masyarakat bahwa taghût tidak hanya berhenti
pada aspek keluar dari garis yang ditetapkan Allah atau menyembah
berhala saja . Akan tetapi lebih dari itu, taghût juga memiliki pengertian
yang lebih luas dan mendasar yaitu mempercayai prediksi dan ramalan
paranormal ketimbang kepercayaan dan keyakinan yang teguh kepada
Allah.
d. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam
menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S 1 ) UIN
SYARIF HIDAYATULLAH.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun kajian tentang konsep taghût secara umum, penulis menemukan
pada sebuah skripsi yang berjudul “Kriteria Thaghut dan Bughat dalam al-Quran”
(Tafsir Tematik atas upaya penyelesaian penyimpangan kekuasaan di Indonesia)
yang ditulis oleh Rafikul Ihsan. Dalam skripsi yang disebutkan di atas, analisis
makna thaghut difokuskan terhadap penyimpangan kekuasaan politik di
Indonesia.
6
Sedangkan dalam skripsi yang akan dibahas oleh penulis adalah analisis
makna taghût dalam al-Quran menurut kacamata akidah. Jika diteliti lebih jauh,
penyimpangan akidah atau masalah iman mempunyai dampak serius kepada
beragam bentuk penyimpangan di tubuh realita sosial. Karena masalah Iman dan
Akidah mempunyai hubungan erat dengan realitas sosial. Maka dari itu, skripsi ini
membahas bagaimana makna atau konsep thaghut dalam al-Quran serta kaitannya
dengan berbagai penyimpangan dalam realita sosial.
Dengan demikian, dapat dikatakan, penelitian pada dasarnya merupakan
penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan
dengan konsep taghût secara utuh dan terperinci. Kemudian secara khusus
memfokuskan kajian secara mendalam pada berbagai macam penyimpangan
akidah dalam kehidupan sehari-hari.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Prosedur penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tehnik
pengumpulan data, baik primer maupun sekunder yang dilengkapi dengan
analisis data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan
penelitian pustaka (Library research). Data primer yang dimaksud di sini adalah
al-Qur’an, dan data-data diambil dari tulisan tokoh yang diangkat baik yang
terdokumentasikan dalam bentuk buku, makalah-makalah seminar, dan artikel-
artikel jurnal dan majalah. Data ini, merupakan sumber primer yang dijadikan
rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.
Adapun data-data skunder adalah data yang berupa buku-buku lain, jurnal,
7
ensiklopedi dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian
skripsi ini merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer
yang bertujuan untuk memperkaya perolehan data guna memperkuat analisa
dalam penelitian ini. Sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai
mengenai taghût dalam al-Quran.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif-
analisis-kritis sebagai eksplorasi untuk mencermati pemikiran Hamka dan Quraish
Shihab yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer
maupun sekunder) kemudian menganalisisnya secara proporsional dan
komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan
yang valid.
3. Metode Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004/2005.
F. Sistematika Penulisan
Mengacu pada penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini dapat
disistematikan sebagai berikut:
8
BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, indentifikasi
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan
metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini.
BAB II : Berisi tentang tâghût dalam al-Quran yang menjelaskan tentang
pengertian tâghût menurut bahasa, Istilah, serta ragam bentuk kata tâghût dalam
al-Quran menurut para mufassir.
BAB III : Menjelaskan tentang konsep tâghût dalam pandangan beberapa
mufassir, di antaranya menurut Ibn Katsir,Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab.
Macam-macam tâghût,Penyimpangan akidah serta analisanya.
BAB IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
9
BAB II
TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
A. Definisi Tâghût
1. 1 Asal-usul kata Tâghût Menurut Ahli Bahasa
Menurut madzhab Sibaweh bahwa tâghût (طاغوت) adalah isim
Mudzakar Mufrad (Kata benda yang menunjukan nama yang berjenis laki-laki
dan berbentuk tunggal) seakan-akan nama untuk semua jenis, baik sedikit maupun
banyak.1
Imam Thabary berpendapat, bahwa tâghût (طاغوت) itu bentuk muannats
dari kata-kata “taghâ-yatghû” (یطغى -طغى) atau ‘taghâ-yatghû (طغى-
yang artinya melampaui batas, wazannya adalah fa’alût.2 (یطغو
Sedangkan madzhab Abu ‘Aly mengatakan, tâghût ( غوتاط ) itu isim
masdar yang asalnya taghwût (طغووت) seperti kata ‘rahabût’ (رھبوت) dan
“jabarût’ (جبروت), yaitu yang menjadi sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak.
Lam fi’il lapadz taghâ yang asalnya berbentuk “thawagha” (طوغ) berubah
kepada ain fi’il diganti dan ditukar menduduki lam Fi’il yaitu “tawagha” (طوغ)
1 Syaikh Ahmad Al-Qathan, Muhammad Zein, Thaghut, (Jakarta : Pustaka Kautsar, 1993), Cet ke III, h, 19
2 Kamus Arab-Indonesia, al-Munawwir, (Jakarta: al-Kautsar Press,2003), Cet.IV, h.467.
10
menjadi ‘taghawa” (طوغ) dan akhirnya menjadi “taghâ” (طغى) karena ia
berharakat dan huruf sebelumnya pun berharakat, sehingga menjadi “taghût”
( غوتطا ) 3
Menurut pendapat Imam Bahr, tâghût (طاغوت) dalam bahasa diambil
dari kata “tughyân” (طغیان), pendapat ini senada dengan pendapat Sayyid
Quthb, yang pengertiannya menyampaikan, tanpa isytiqââq (Tanpa menggunakan
kata pecahan dari suatu kata dasar) seperti dikatakan untuk kata-kata : ‘aalu’ (ال)
dan kata “Lu`lu`” (لؤلؤ )
Imam Mubarrid bertutur, kata-kata “tâghût ” (طاغوت) itu adalah bentuk
jamak, tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Athiyyah.
Ada pula yang mengatakan bahwa “ tâghût” (طاغوت) adalah isim
‘ajami seperti kata-kata “hârût” (ھاروت ) dan “Mârût” ( ماروت ) kata
“taghût” tersebut dijadikan bahasa arab yang berlaku untuk tunggal ataupun
jamak.4
Dari penjelasan yang di atas penulis telah paparkan setelah mencari
sejumlah ayat yang berkaitan dengan kalimat tagha (طاغى ), taghût (طاغوت)
3 Imam Abu hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Beirut: Dar al-Hail, 1995), h. 373 4 Muhammad Zein, Thaghut, h. 19-20
11
dan tughyân (طغیان) penulis lebih sependapat dengan uraian yang disebutkan
oleh Imam Abu Ali dan nantinya penulis mencoba saling mengaitkan ayat-ayat
tersebut satu sama lain.
I.2. Kata tâghût Menurut Istilah
Bahwasanya definisi tâghût (طاغوت) ialah sebuah sifat yang
menggambarkan penyembahan kepada selain kepada Allah dalam berbagai bentuk
karena katanya berbentuk sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak sebagaimana
diterangkan Abu Ali di atas yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan
bahwa bentuk tâghût itu sendiri menjadi beragam seperti lebih percaya
(mendewakan), manusia kepada manusia (dukun atau paranormal), benda dalam
hal ini uang, hawa nafsu (kekuasaan, jabatan).5
B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir
Dalam beberapa literatur, penulis banyak menjumpai pengertian tâghût,
yang secara umum kata tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain
Allah.6 Sedangkan Dlohhak, Qotadah, Mujahid, Syi’biy mengartikan tâghût
dengan syaithan dan Imam Ibn Sirin mengartikan dengan tukang sihir, dan Imam
Jabir, Ibn Jabir, Rofi, serta Ibn Jarih mengartikan dengan dukun.7
5 Imam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Dar al-Hail, Th. 1995), h.373.
6 Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 115-116
7 Ibnu Hayyan, al-Bahru al- Muhith, juz : 2, h. 617
12
1.3 Sayyid Quthb
Dalam pandangan Sayyid Quthb, Kata tâghût (طاغوت) adalah variasi
bentuk kata dari “thughyân”(طغیان) yang berarti segala sesuatu yang melampaui
kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan
Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak
berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah. Lebih jauh menurut beliau
termasuk dalam kategori tâghût (طاغوت) adalah juga setiap manhaj
tatanan,system yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap
pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak
berpijak pada peraturan dan syariat Allah.8
1.4 M. Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab tâghût (طاغوت) terambil dari akar kata yang
berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam
keburukan. Setan, Dajjal,Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan
ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari dengan tâghût (طاغوت). Kata thagha
dalamberbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.9 Kata ini
pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat
kritis atau membahayakan. Pengertian ini digunakan pula oleh al-Qur’an, antara
lain pada surat al-Haqqah (69) ayat 11 : 8 Sayyid Quthb,tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj),Gema Insani Press,Jakarta.2000,cet 1, h. 220-221
9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an AlKarim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, Bandung,1997, h.104
13
”sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami
mengangkut nenek moyang kamu keatas bahtera”.
Kata thagha ( طغى ) dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam
arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti
kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia
dan tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni
melimpahnya air, menurut bint As-Syathi, kata thagha dalam al-Qur’an selain
digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas,
seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat al-
Baqarah ayat 15, al- Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang
kata thagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang
Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan danperlakuan kejam
terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannnya kepada Tuhan,
yang dapat dipahami dari ayat lain10
Dengan demikian kata thagha ( طغى ) menerangkan sikap kesewenang-
wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh
sekian banyak ulama tafsir.
10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, h. 105.
14
Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan
bahwa yang dimaksud tâghût (طاغوت) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang
disembah, oleh kaum musyrikin Mekkah dan juga setan serta segala macam
berhala. Demikian al-Biqai menafsirkannya.Sedangkan menurut al-Maraghi,
bahwa tâghût yaitu melanggar hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan
kebatilan, kezaliman dan kejahatan.11
Sedangkan dalam surat an-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût
-adalah dua tokoh yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn al (طاغوت)
Asyaraf, yang memimpin rombongan orang yahudi menuju ke Mekkah untuk
menjalin kerja sama dengan penduduk Mekkah memerangi Nabi Muhammad saw,
Mereka disambut baik oleh tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah ketika itu, yakni
Abu Sufyan. Tokoh-tokoh Mekkah meragukan keikhlasan orang yahudi sambil
berkata, ”kalian,wahai orang Yahudi,adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga
demikian juga demikian,maka kami meragukan kalian, bila ingin kami melawan
Muhammad bersama kalian, aku sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala
kami dan percayalah kepadanya”.
Orang-orang yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Mekkah
kemudian mereka memilih masing-masing tiga-puluh orang dari kelompok
Yahudi dan Musyrik Mekkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti
janji setia memerangi Nabi Muhammad saw, Setelah Abu Sufyan bertanya kepada
Ka’ab, ”engkau mmembaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian.
11 M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol 2. Lentera Hati, Jakarta, 2000.h. 450.
15
Siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya daripada
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”.12
Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyaraf,
dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan
merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Untuk menyelesaikan perselisihannya,
walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru
mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyarf.Ada lagi yang
memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa
jahiliyyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran islam.13
1.5 Hamka
Sedangkan menurut Prof Dr.Hamka, secara ringkas beliau menyimpulkan
tentang tâghût adalah pelanggar, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah
256 yaitu ”akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka
adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar
atas iman kepada Tuhan, baik raja, atau pemimpin, dukun, syaithan, berhala,
atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk
dalam kalimat tâghût.14.Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada
tâghût yakni setengah menyembah kubur. Setengahnya menyembah orang-orang
menggantungkan nasib kepadanya.15
Kata tâghût (طاغوت) dalam al-Quran seringkali di sebutkan dalam
bentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi,
12 M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 451. 13 M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 465 14 Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta :Pustaka Panjimas, 1982), h.26. 15 Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.29.
16
baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab
Mu’jam al-Mufahrâs, kata tâghût yang penulis jumpai dalam al-Quran terdapat 12
kali disebutkan.
Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali
dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara umum kata tersebut terdistribusikan
sebagai berikut:
a. Bentuk tâghût (طاغوت ) surat al-Baqarah (2) ayat 256 dan 257, surat al-
Nisa (4) ayat 51,60, 76,surat al-Maidah (5) ayat 60, surat al-Nahl (16) ayat
36, surat al-Zumar (39)ayat 17.16
b. Sedangkan dalam bentuk “tughyân” (طغیان) ada dalam surat al-Baqarah
(2) ayat 15, al-Maidah (5) 64,68,72, Surat al-An’am (6) ayat 110, surat al-
A’raf (7) ayat 186,surat Yunus (10) ayat 11,surat al-Isra, (17) ayat 60. al-
Kahfi (18) ayat 80, surat al-Mu’minun (23) ayat 75.
c. Dalam bentuk ‘taghwu” (طغو) isim masdar, tertera dalam surat al-Syams
(91) ayat 11 (طغى) fiil madhi, surat al-Haqqah 969) ayat 11, surat Thaaha
(20) ayat 24, 43, surat al-Najm (53) ayat 17 dan surat al-Naziat (79) ayat
17 dan 37,surat al-Fazr ayat 11.
d. Dalam bentuk “Tathgâw-yatgha-athgha’ (طغىا -یطغو- تطغو ) fi’il
mudhari,surat Thaha (20) ayat 24,45 dan 81, surat al-Rahman (55) ayat 8,,
16 Al-Haj Khan Bahdur Altaf Ahmad Kheirie, R.A.S Index Cum Concordance For The
Holy Qur;an (New Delhi : Kitab Bavhan, th. 1993). h. 953
17
surat Hud (11) ayat 112, surat Qaaf (50) ayat 27, surat al-Nazm (53) ayat
52, surat al-‘Alaq ayat 6.
e. Dalam bentuk Taghin (طاغ), isi Fail yaitu : surat Shaffat (24) ayat 30,
surat Shad (38) ayat 56, surat 56,surat al-Dzariyat (51) ayat 53, surat al-
Thur (52) ayat 32, surat al-Qalam (68) ayat 31,al-Haqqah (69) ayat 5, surat
al-Naba (78) ayat 22.17
17 Al- raghib Asfhanniy, Al-Mu’zam Mufradat Alfâz Al-Qur’an, Jilid 2, (Beirut : Dar al- Fikr, tt.), h. 136-138
18
BAB III
KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR
A. Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb
Pandangan beberapa para mufassir dalam menafsirkan konsep tâghût secara
global mempunyai kemiripan pandangan akan tetapi dalam ciri khasnya
mempunyai perbedaan yang mendasar dari mulai menafsirkan gaya bahasa,
struktural profesi, dengan mufradatnya, sampai kebudayaan sosial waktu itu.
Sebagaimana dalam pandangan Ibnu Katsir menyikapi surat al-Qur’an dibawah
ini:
ĈǼLjȪLjȥ ĈȼƋȲȱǠĈǣ ŃȸĈȵŃǘłɅŁȿ ĈǧɀNJȡǠƋȖȱǠĈǣ ŃȀNJȦǐȮŁɅ ŃȸŁȶLjȥ ōɄŁȢǐȱǟ ŁȸĈȵ łǼŃȉŊȀȱǟ ŁȸʼnɆŁǤŁǩ ŃǼLjȩ ĈȸɅōǼȱǟ ɄĈȥ ŁȻǟŁȀǐȭĈǙ ǠLjȱǠŁȾLjȱ ŁȳǠŁȎĈȦŃȹǟ ǠLjȱ ɂLjȪǐǭłɀǐȱǟ ĈǥŁȿŃȀłȞǐȱǠĈǣ ŁȬŁȆŃȶŁǪŃȅǟŅȴɆĈȲŁȝ ŅȜɆĈȶŁȅ łȼƋȲȱǟŁȿ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Tâghût dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (al-Baqarah : 256)
Allah Ta'ala berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Maksudnya,
kamu memaksa seorang pun untuk memasuki agama Islam, karena Islam itu
sudah jelas dan terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata hingga
seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk agama Islam. Namun, orang yang
ditunjukkan kepada Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata hatinya oleh
Allah, maka ia akan masuk ke dalamnya secara terang benderang. Adapun orang
19
yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya.1 dikunci mati
oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.
Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar
berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan
menjadikannya yahudi tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada anak-
anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan
anak kami jadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam
agama. “Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.
Cerita senada diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Bandar,
diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari hadis Syu'bah. demikian pula
Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan karena
kejadian tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat
itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang
bernama al-Husaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk
agama Islam. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Apakah saya
dianggap memaksa keduanya” padahal keduanya telah menolak agama kecuali
agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat di atas berkaitan dengan itu.
Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak
untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan
memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al-Fath: 16) Allah
berfirman,
1 Al-Qur’an al-Karim Surat “(al-Lail :5-10)"
20
ƋȷLjǕ ǟɀłȶLjȲŃȝǟŁȿ DŽǦLjȚǐȲĈȡ ŃȴNJȮɆĈȥ ǟȿłǼĈDzŁɆǐȱŁȿ ĈǿǠƋȦNJȮǐȱǟ ŁȸĈȵ ŃȴNJȮŁȹɀNJȲŁɅ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ǟɀNJȲĈǩǠLjȩ ǟɀłȺŁȵǟĆǒ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ǠŁȾŊɅLjǕǠŁɅŁȜŁȵ ŁȼƋȲȱǟŁƙĈȪʼnǪłȶǐȱǟ
"Wahai Nabi, berjihadlah melawan kaum kafir dan munafik serta bersikap
keraslah terhadap mereka." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka mendapat kekerasan dari kamu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa." (al-Taubah: 123)
Berdasarkan hal itu, maka seluruh umat wajib diseru untuk memasuki
agama Islam. Apabila ada yang menolak masuk Islam atau tidak membayar
jizyah, maka dibunuh hingga mati. Inilah makna memaksa. Dalam kitab sahih
dikatakan (409), “Tuhanmu heran kepada kaum yang digiring ke dalam surga
dengan dibelenggu.” Maksudnya, para tawanan yang dibawa ke negara Islam
dalam keadaan diikat dan dibelenggu, kemudian mereka masuk Islam,
memperbaiki amal-amalnya dan sikap hatinya sehingga mereka menjadi penghuni
surga.
Firman Allah, "Barang siapa yang ingkar kepada tâghût,2 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Artinya, barang siapa yang menjauhkan diri dari sekutu, berhala-berhala,
dan apa-apa yang diserukan setan supaya perkara selain Allah yang disembah,
serta mentauhidkan Allah, menyembah-Nya, mengesakan-Nya, dan
2 Di sini, kekafiran kepada tâghût didahulukan daripada keimanan kepada Allah. Perbuatan demikian mengandung isyarat yang halus bahwa yang pertama kali harus dilakukan ialah membersihkan kalbu dan membuang kepercayaan kepada tâghût yang ada dalam kalbu. Jika kalbu telah kosong dan bersih, maka dapat diisi dengan keimanan kepada Allah. Dengan demikian, keimanan dalam dapat meresap di dalam kalbu. Keimanan tidak akan melekat kecuali jika Allah sebagai pemeliharanya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu mencabut keimanan yang mengakar ke kalbu dan yang memegang teguh tali yang kokoh.
21
mempersaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, maka sesungguhnya dia
telah berpegang pada tali yang amat kokoh. Tâghût ialah 'setan'. Istilah tâghût
mencakup segala kejahatan yang dilakukan kaum jahiliah, seperti menyembah,
berhakim, dan meminta tolong kepada berhala.
Firman Allah, “Maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus.”Yakni, sesungguhnya dia telah memegang
teguh agama dengan sarana yang paling kuat. Kondisi itu diserupakan dengan tali
yang teguh yang tidak akan putus sebab jati diri tali itu stabil, kokoh, dan kuat,
serta ikatannya sangat keras. Tali yang kuat itu ialah iman dan Islam. Tidak ada
kontradiksi antara orang yang berpendapat bahwa tali itu ialah “tidak ada tuhan
melainkan Allah”, ia adalah al-Qur'an, ia adalah cinta karena Allah dan benda
karena Allah pula. Semuanya benar. Berkaitan dengan firman Allah “tidak rapuh”,
Mu'adz bin Jabal berkata, “Ayat itu berarti 'tidak masuk surga'.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia
berkata (410) “Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seseorang yang
di wajahnya ada tanda kekhusyuan. Dia shalat dua rakaat secara singkat. Orang-
orang berkata, “Orang ini ahli surga.” Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya
sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk ke rumahnya. Kami mengobrol, dan
setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid, orang-orang
mengatakan bahwa engkau adalah ahli surga.' Dia menanggapi, 'Maha suci Allah.
Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Saya
akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian.
22
Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan
hijau.”Ibnu Aun berkata: “Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman.
Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan
bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba
dikatakan kepadaku, 'Naiklah!' Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.' Kemudian
datanglah pelayan.” Ibnu Aun berkata, “Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan
menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, “Naiklah”! Maka aku pun
naik hingga berhasil memegang tali. Dia berkata, 'peganglah tali itu.' Maka aku
terbangun dan tali itu benar-benar ada di tanganku. Kemudian aku menemui
Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau.
Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu
melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan
senantiasa memeluk Islam hingga mati.” Hadis ini dikemukakan dalam sahîhain.
Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.
łȴłȽłǗǠŁɆĈȱŃȿLjǕ ǟȿłȀLjȦLjȭ ŁȸɅĈǾƋȱǟŁȿ ĈǿɀŊȺȱǟ ɂLjȱĈǙ ĈǧǠŁȶNJȲƌȚȱǟ ŁȸĈȵ ŃȴłȾłDZĈȀŃǺłɅ ǟɀłȺŁȵǟĆǒ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ŊɄĈȱŁȿ łȼƋȲȱǟ ǠŁȾɆĈȥ ŃȴłȽ ĈǿǠʼnȺȱǟ łǡǠŁǶŃȍLjǕ ŁȬĈǞLjȱȿNJǕ ĈǧǠŁȶNJȲƌȚȱǟ ɂLjȱĈǙ ĈǿɀŊȺȱǟ ŁȸĈȵ ŃȴłȾŁȹɀłDZĈȀŃǺłɅ łǧɀNJȡǠƋȖȱǟ
LjȷȿłǼĈȱǠŁǹ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah : 257)
23
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menunjukkan orang yang
mengikuti keridhaan-Nya sebagai jalan keselamatan. Kemudian Dia
mengeluarkan hamba-hamba yang beriman dari kegelapan, kekafiran,
kegamangan., dan keraguan, kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, dan
mudah, dan bahwa orang-orang kafir memiliki para pelindung, yakni setan yang
menjadikan kebodohan dan kesesatan itu indah dalam pandangan mereka serta
mengeluarkan dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran kepada kekafiran
dan keingkaran. "Mereka itulah para penghuni neraka, sedang mereka kekal di
dalam-nya.” Oleh karena itu, Allah menjadikan kata al-Nûr tunggal dan kata al-
Zulumât jamak, karena kebenaran itu satu dan kekafiran itu memiliki banyak
jenisnya dan semuanya batil. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bahwa (yang
kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu mencerai-
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu
agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).3
Sedangkan menurut Sayyid Quthb konsep Tâghût (طاغوت) adalah variasi
bentuk kata dari “tughyân” (طغیان ), yang berarti segala sesuatu yang melampaui
batas yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas
yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada akidah
Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah, lebih jauh menurut
beliau yang termasuk dalam kategori tâghût (طاغوت) adalah juga setiap manhaj
3 Tafsir Ibnu Katsir “Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” (Jakarta, Penerbit: Gema Insani Press) 1999 M, Cet, Pertama,H.426-420
24
tatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap
pandangan, perundangan-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak
berpijak pada peraturan dan syariat Allah.4
B. M. Quraish Shihab dan Hamka
ĈǼLjȪLjȥ ĈȼƋȲȱǠĈǣ ŃȸĈȵŃǘłɅŁȿ ĈǧɀNJȡǠƋȖȱǠĈǣ ŃȀNJȦǐȮŁɅ ŃȸŁȶLjȥ ōɄŁȢǐȱǟ ŁȸĈȵ łǼŃȉŊȀȱǟ ŁȸʼnɆŁǤŁǩ ŃǼLjȩ ĈȸɅōǼȱǟ ɄĈȥ ŁȻǟŁȀǐȭĈǙ ǠLjȱŅȴɆĈȲŁȝ ŅȜɆĈȶŁȅ łȼƋȲȱǟŁȿ ǠŁȾLjȱ ŁȳǠŁȎĈȦŃȹǟ ǠLjȱ ɂLjȪǐǭłɀǐȱǟ ĈǥŁȿŃȀłȞǐȱǠĈǣ ŁȬŁȆŃȶŁǪŃȅǟ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (Al-Baqarah : 256)
łȴłȽłǗǠŁɆĈȱŃȿLjǕ ǟȿłȀLjȦLjȭ ŁȸɅĈǾƋȱǟŁȿ ĈǿɀŊȺȱǟ ɂLjȱĈǙ ĈǧǠŁȶNJȲƌȚȱǟ ŁȸĈȵ ŃȴłȾłDZĈȀŃǺłɅ ǟɀłȺŁȵǟĆǒ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ŊɄĈȱŁȿ łȼƋȲȱǟȱǟ ŁȸĈȵ ŃȴłȾŁȹɀłDZĈȀŃǺłɅ łǧɀNJȡǠƋȖȱǟLjȷȿłǼĈȱǠŁǹ ǠŁȾɆĈȥ ŃȴłȽ ĈǿǠʼnȺȱǟ łǡǠŁǶŃȍLjǕ ŁȬĈǞLjȱȿNJǕ ĈǧǠŁȶNJȲƌȚȱǟ ɂLjȱĈǙ ĈǿɀŊȺ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Al-aqarah : 257)
Sedang orang-orang musyrik penyembah berhala dan mereka yang tidak
punya agama selain kemusyrikan dan kekafiran, mereka itu diperangi sampai
mereka masuk Islam demi menyelamatkan mereka dan kebodohan, kekafiran dan
kesesatan serta kecelakaan yang ada pada mereka.
4 Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, terj, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 220-221
25
Kemudian Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan diturunkan al-
Quran, dan diutusnya Rasulullah serta ditolongnya orang-orang yang dekat
dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk dengan kesesatan, dan
antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, orang yang tidak percaya
kepada tâghût yaitu setan yang membujuk orang untuk menyembah berhala, lalu
dia beriman kepada Allah Ta'ala lalu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad itu utusan Allah, maka berarti dia telah berpegang pada agama
Islam dengan tali yang terkuat. Dan orang yang bersikeras dengan kekafirannya
kepada Allah dan percaya kepada tâghût, maka ia berpegang pada tali yang lebih
rapuh dari pada sarang laba-laba.
Allah mendengar kata-kata hamba-Nya, mengetahui mata mereka dan
perbuatan-perbuatan rahasia mereka, dan akan membalas masing-masing sesuai
dengan perbuatannya. Kemudian Allah membeitahukan bahwa Dia adalah
penolong hamba-hamba yang beriman, Dialah yang telah mengeluarkan mereka
dari gelapnya.5 kekafiran dan kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu dan iman,
sehingga mereka menjadi sempurna, dan bahagia. Sedangkan orang-orang kafir,
penolong mereka adalah tâghût yang terdiri dari jin setan dan manusia yang
membujuk mereka berbuat kebatilan dan keburukan, dan merangsang mereka
berbuat kufur, fasik, dan maksiat. Dengan demikian, tâghût telah mengeluarkan
mereka dan cahaya kepada kegelapan dan menyiapkan mereka masuk neraka
untuk selama-lamanya.
5 Allah Ta’ala Menggunakan Kata Nûr Dalam Bentuk Mufrad (Singulair) Dan Kata-Kata Zulumât Dalam Bentuk Jama’ (Plural) Karena Kebenaran Itu hanya Satu, Sedang Kekafiran Itu bermacam-macam dan semuanya bathil Atau salah.
26
Konsep Tâghût (طاغوت ) Menurut Quraish Shihab terambil dari akar kata
yang berarti melampaui batas, biasanya digunakan untuk yang melampaui batas
dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir (pesulap, termasuk didalamnya Dukun
atau paranormal, yang menetapkan hukum (pemerintah atau para hakim, jaksa dan
pengacara) bertentangan dengan ketentuan ilahi,tirani, semuanya digelari dengan
tâghût (طاغوت ) Kata taghâ dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam al-
Qur’an sebanyak 39 kali.6 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya
air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini di
gunakan pula oleh al-Qur’an antara lain pada surat al-Haqqah (69)ayat 11:
ĈǦŁɅĈǿǠŁDzǐȱǟ ɄĈȥ ŃȴNJȭǠŁȺǐȲŁȶŁǵ ćǒǠŁȶǐȱǟ ɂŁȢLjȕ ǠʼnȶLjȱ ǠʼnȹĈǙ
“Sesungguhnya kami, tatkala air Telah naik (sampai ke gunung) kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera”.
Kata taghâ (طغى) dalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam
arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran
kepada tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia dan
tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni
melimpahnya air, menurut binti al-Syathi, kata taghâ dalam al-Quran selain
digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas,
seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat al-
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 104
27
Baqarah ayat 15, al-Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata
taghâ dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang fir’aun
kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan dan perlakuan kejam terhadap
manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat
diambil dari ayat lain.7
Dengan demikian kata taghâ (طغى) menerangkan sikap kesewenang-
wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh
sekian banyak ulama tafsir.
Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan
bahwa yang dimaksud tâghût (طاغوت) adalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang
disembah, oleh kaum musyrikin Makkah dan juga syaitan serta segala macam
berhala. Demikian al-Biqai menafsirkanya. Sedangkan menurut al-Maraghi,
bahwa tâghût yaitu melanggar yang hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan
kebatilan, kezaliman dan kejahatan.8
Sedangkan dalam surat al-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût
-adalah dua tokoh Yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn al (طاغوت)
Asyaraf, yang memimpin rombongan orang Yahudi menuju Mekah untuk
menjalin kerja sama dengan penduduk Makkah memerangi Nabi Muhammad
saw., mereka disambut baik oleh tokoh kaum musyrik Makkah ketika itu, yakni
Abu Sufyan, tokoh-tokoh Makkah meragukan keikhlasan orang Yahudi sambil
berkata, “kalian, wahai orang Yahudi, adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga
7 Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an, h. 105 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol 2, h. 450
28
demikian maka kami meragukan kalian, Bila ingin kami melawan Muhammad
bersama kalian, akan sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan
percayalah kepadanya”.
Orang-orang Yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Makkah
kemudian mereka memilih masing-masing tiga puluh orang dari kelompok
Yahudi dan Musyrik Makkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti
janji setia memerangi nabi Muhammad saw, setelah Abu Sufyan bertanya kepada
Ka’ab, ‘Engkau membaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian,
siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya dari pada Muhammad
dan sahabat-sahabatnya’.9
Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyraf,
dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan
merujuk kepada nabi Muhammad saw, untuk menyelesaikan perselisihanya,
walau lawannya orang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik, Ada lagi yang
memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa
jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.10
sedangkan Hamka menyimpulkan secara ringkas tentang konsep tâghût
adalah pelanggar batas norma kebenaran hakiki, sesuai dengan tafsirannya pada
surat al-Baqarah 256 yaitu “akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya,
pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang
bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin (presiden, DPR dll),
dukun atau paranormal, syaitan, juga berhala, dengan makna lain orang-orang
9 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 451 10 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 465
29
yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat
tâghût.11 Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni
setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya
menyembah orang-orang hidup, yang dipandang sebagai pahlawan, lalu orang
menggantungkan nasib kepadanya.12
Pelajaran Yang dapat diambil dari Ayat 256-257
1. Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam
kategori mereka, seperti orang-orang Majusi dan Shabi'ah tidak boleh dipaksa
masuk Islam kecuali atas pilihan dan kemauan mereka sendiri dan harus
membayar jizyah (pajak) dan mereka tetap dalam agamanya.
2. Islam itu seluruhnya adalah petunjuk (hudan) sedang lainnya adalah sesat dan
salah.
3. Meninggalkan keburukan itu diprioritaskan dan didahulukan daripada berbuat
keutamaan.
4. Makna Lâ ilâha illallâh adalah beriman kepada Allah dan kafir pada tâghût.
5. Kedekatan dengan Allah dapat dicapai dengan iman dan takwa.
6. Pertolongan dan perhatian Allah diberikan kepada orang-orang yang dekat
kepada-Nya.13
C. Macam-Macam Taghût
a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran
11 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 26 12 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 29 13 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir al-Kautsar” (Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996), Cet, Pertama, h. 430-433
30
Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia
turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih
baik sebagaimana Firman-Nya :
Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:14
…LjȷȿłȀĈȥǠLjȮǐȱǟ łȴłȽ ŁȬĈǞLjȱȿNJǖLjȥ łȼƋȲȱǟ LjȯŁȂŃȹLjǕ ǠŁȶĈǣ ŃȴNJȮŃǶŁɅ ŃȴLjȱ ŃȸŁȵŁȿ.
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
… ŁȬĈǞLjȱȿNJǖLjȥ łȼƋȲȱǟ LjȯŁȂŃȹLjǕ ǠŁȶĈǣ ŃȴNJȮŃǶŁɅ ŃȴLjȱ ŃȸŁȵŁȿLjȷɀłȶĈȱǠƋȚȱǟ łȴłȽ .
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
…LjȷɀNJȪĈȅǠLjȦǐȱǟ łȴłȽ ŁȬĈǞLjȱȿNJǖLjȥ łȼƋȲȱǟ LjȯŁȂŃȹLjǕ ǠŁȶĈǣ ŃȴNJȮŃǶŁɅ ŃȴLjȱ ŃȸŁȵŁȿ .
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
ǐȷLjǕ LjȷȿłǼɅĈȀłɅ ŁȬĈȲŃǤLjȩ ŃȸĈȵ LjȯĈȂŃȹNJǕ ǠŁȵŁȿ ŁȬŃɆLjȱĈǙ LjȯĈȂŃȹNJǕ ǠŁȶĈǣ ǟɀłȺŁȵǟĆǒ ŃȴłȾʼnȹLjǕ LjȷɀłȶłȝŃȂŁɅ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ɂLjȱĈǙ ŁȀŁǩ ŃȴLjȱLjǕŃǼLjȩŁȿ ĈǧɀNJȡǠƋȖȱǟ ɂLjȱĈǙ ǟɀłȶLjȭǠŁǶŁǪŁɅ ǠDŽȱǠLjȲŁȑ ŃȴłȾƋȲĈȒłɅ ǐȷLjǕ NJȷǠLjȖŃɆʼnȊȱǟ łǼɅĈȀłɅŁȿ ĈȼĈǣ ǟȿłȀNJȦǐȮŁɅ ǐȷLjǕ ǟȿłȀĈȵNJǕ
ǟńǼɆĈȞŁǣ .
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”.(an-Nisa :4/60)
14 Muhammad Zain, Thâghût h. 102.
31
ȿNJǕ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ɂLjȱĈǙ ŁȀŁǩ ŃȴLjȱLjǕ ŁȸɅĈǾƋȲĈȱ LjȷɀNJȱɀNJȪŁɅŁȿ ĈǧɀNJȡǠƋȖȱǟŁȿ ĈǨŃǤĈDzǐȱǠĈǣ LjȷɀłȺĈȵŃǘłɅ ĈǡǠŁǪĈȮǐȱǟ ŁȸĈȵ ǠńǤɆĈȎŁȹ ǟɀłǩǠDŽȲɆĈǤŁȅ ǟɀłȺŁȵǟĆǒ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ŁȸĈȵ ɁŁǼŃȽLjǕ ĈǒǠLjȱłǘŁȽ ǟȿłȀLjȦLjȭ .
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman(an-Nisa:4/51).
Imam Qurthubi, menukil dari Ibnu Abbas dan Mujahid, ia berkata
mengomentari arti ayat di atas, “ Yaitu barang siapa yang berhukum kepada selain
apa-apa yang diturunkan Allah, dengan cara menolak al-Quran dan membangkang
terhadap sunnah Rasul saw. Berarti ia kafir. Ayat tersebut bersifat umum
mencakup ayat di atas.15
Ibnu Mas’ud dan Hasan Bashri mengatakan, “ayat di atas mencakup setiap
orang yang berhukum kepada apa-apa yang di turunkan Allah, baik ia muslim,
Yahudi, dan Kafir, yaitu dengan beri’tikad dan menganggap bolehnya bersikap
seperti itu tetapi ia sadar dan merasa bahwa perbuatannya tersebut haram, ia
termasuk fasik. Urusannya di tangan Allah, apakah Dia mau menyiksa atau
mengampuni.
Dalam suatu riwayat, Ibnu Abbas berkata, “ Barang siapa yang tidak
berhukum kepada apa-apa yang di turunkan Allah, berarti ia betul-betul
melakukan suatu perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir.”
Imam Zamahsyari berkata :” Barang siapa yang tidak berhukum kepada
apa-apa yang di turunkan Allah dalam artian ia meremehkannya, berarti ia
15 Al-Qurthubi, (Al-Jami’ Li Ahkami Quran) juz :6 , h. 330
32
termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk
disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka
ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan
dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.16
Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah
ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan
yang lainnya.17
Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah
hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung
masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di
dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan :
Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian
dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang
dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan
yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi
kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul
tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan
hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok
pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di
pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan.
Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta
prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini.
16 Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496 17 Ibnu Hayyan al-Bahru al- Muhith, h. 492
33
Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik
manusia (seseorang), sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan
untuk manusia tanpa seizin Allah.
Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia,
syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan
ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian
dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib
ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia
dan dijadikan hakim (pemutus) oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi
kekuasaan.
Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini,
tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun
itu dianggap masalah kecil oleh manusia.
Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur,
Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi
dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang
berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau
menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan
fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua
golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara
sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang
menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir,
fasik, dan zhalim.
34
Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan
Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti
mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin.
Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak
ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang
mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk
kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada
okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak
ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia
mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada
Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui
lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam (kafir).
Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah
ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah-an-
Nya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau
tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman,
Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan
hakekat masalah ini.
Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia
menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di
bumi untuk manusia, Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan-Nya yang paling kecil, sedikit
35
maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta
segala-galanya.
Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik
tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân (Kuasa dan Kuat). Tidak ada
suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap
tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah,
Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan
kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam syariat-
Nya. Maka arti istislâm (pasrah) kepada syariat Allah sebelum yang lainnya
adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya
serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang (tidak pasrah) terhadap
syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek
kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah (Zat yang hak
disembah) dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya (Zat pemelihara dan Pencipta
segala). Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja,
baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul
permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam.
Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan
(anggapan) tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat
(undang-undang) buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam
pembahasan ini;
…LjȷɀłȺĈȩɀłɅ ąȳŃɀLjȪĈȱ ǠńȶǐȮłǵ ĈȼƋȲȱǟ ŁȸĈȵ łȸŁȆŃǵLjǕ ŃȸŁȵŁȿ .
36
“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. ( al-Maidah : 50)
Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari
syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan
kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan
iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat
buatan manusia itu melebihi (menandingi) syariat Allah dalam setiap keadaan dan
dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman.
Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini (yaitu antara hukum
Allah dan hukum buatan Manusia) dan dengan memakai kata-kata “man” ( من )
yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah (dalam ilmu nahwu) yang
menunjukan kepada pen-ta’miman (mencakup siapa saja) ditambah dengan
kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali,
tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di
turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak
berhukum kepada al-Quran berarti (kafir). Seperti yang telah kami sebutkan
karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran (apa-apa yang telah di
turunkan Allah), tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat ke-
ulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang
menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum (undang-undang).masa dan
bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi
sesembahan, kendatipun pada mulanya tak ada kepercayaan seperti itu yang
37
menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala
keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan.18
b. Para Pendeta dan Pastur
Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah.
Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal
sehingga kaumnya mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman
Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A 'masy dan Sufyan Tsauri
ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat
Hudzaifah ra. pernah di tanya tentang ayat Taubah ayat 31:
ŁȹǠŁǤŃȽłǿŁȿ ŃȴłȽŁǿǠŁǤŃǵLjǕ ǟȿNJǾŁǺʼnǩǟ ǟȿłǼłǤŃȞŁɆĈȱ ǠƋȱĈǙ ǟȿłȀĈȵNJǕ ǠŁȵŁȿ ŁȴŁɅŃȀŁȵ ŁȸŃǣǟ ŁǴɆĈȆŁȶǐȱǟŁȿ ĈȼƋȲȱǟ Ĉȷȿłǻ ŃȸĈȵ ǠńǣǠŁǣŃǿLjǕ ŃȴłȾLjȷɀNJȭĈȀŃȊłɅ ǠʼnȶŁȝ łȼŁȹǠŁǶŃǤłȅ ŁɀłȽ ǠƋȱĈǙ ŁȼLjȱĈǙ ǠLjȱ ǟńǼĈǵǟŁȿ ǠńȾLjȱĈǙ .
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
“Apakah mereka menyembahnya..?” la menjawab, “Tidak, mereka tidak
menyembahnya tetapi mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, lalu diikuti oleh kaumnya”.19
Pada ayat di atas ada lanjutannya tentang penjelasan yang dapat
menghilangkan kesalah fahaman dan kesamaran bahwa mereka adalah ahl al-
Kitab, Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak murtad, dari agama Allah
18 Muhammad Zein, Thaghut, h.107
19 Muhammad Zein “Thaghut”, h. 150
38
dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu
persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk
mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para
pendeta dan Pastur (alim ulama) sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka
menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha
Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka
bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan
maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan
realita.20
Sesungguhnya nash al-Qur'an menyamakan sifat syirik dan menjadikan
tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima syariat
(hukum) dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyah-
an nabi Isa dalam keyakinan dan dalam praktek. Keduanya ini sama dianggap
musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik (menyekutukan
Allah) itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum
dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman
akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus
ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang
pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan
dan kesangsian kaum muslimin (dalam masalah ini) ketika itu dimana mereka
menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka
20 Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
39
menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka
ahl al-Kitâb.
Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga
menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa
agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak
berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada
Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu
kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia
yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar "musyrik" dan
"kafir" sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia
beriman. Karena hanya dengan sekedar dia "ikut" kepada hukum buatan manusia
dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka (manusia tersebut)
untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti karena mereka memaksanya
sehingga tak mampu mengelak.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân,"
Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan
yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
ada beberapa golongan.
Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi
mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan
menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang
dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran
para Rasul, sementara Allah dan Rasul-Nya pun menganggap bahwa perbuatan
40
tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka,
dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang
dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga
bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama
seperti Bani Israil.
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu
Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra,
bahwa ketika da'wah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu
pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta
beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw.
Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh
datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke
Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang
cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut
menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib
dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:(Taubah 3l)
Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata kepada beliau: Mereka tidak
menyembah para pendeta dan pastur itu”.
Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.21
Mentaati para pendeta dan pastur (alim ulama) dalam bermaksiat kepada
Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang
21 Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
41
tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat al-
Taubah ayat 31: 22
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib(pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Yang senada dengan ayat diatas adalah:
ŃȴĈȾĈǝǠŁɆĈȱŃȿLjǕ ɂLjȱĈǙ LjȷɀłǵɀłɆLjȱ ŁƙĈȕǠŁɆʼnȊȱǟ ƋȷĈǙŁȿ ŅȨŃȆĈȦLjȱ łȼʼnȹĈǙŁȿ ĈȼŃɆLjȲŁȝ ĈȼƋȲȱǟ łȴŃȅǟ ĈȀLjȭǐǾłɅ ŃȴLjȱ ǠʼnȶĈȵ ǟɀNJȲNJȭǐǖŁǩ ǠLjȱŁȿLjȷɀNJȭĈȀŃȊłȶLjȱ ŃȴNJȮʼnȹĈǙ ŃȴłȽɀłȶłǪŃȞLjȕLjǕ ǐȷĈǙŁȿ ŃȴNJȭɀNJȱĈǻǠŁDzłɆĈȱ.
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (al-An’am 121)
Hal seperi ini telah terjadi pada banyak orang beserta mereka yang ikut-
ikutan kepadanya. Karena mereka tidak mempunyai anggapan terhadap suatu dalil
bila bertentangan dengan yang mengikuti itu adalah termasuk syirik seperti yang
tersebut. Diantara mereka ada yang berlebihan dalam masalah ini dan punya
keyakinan bahwa mengambil dalil dan kondisi seperti itu adalah makruh atau
haram. sehingga fitrah yang menimpa agama lebih besar. Dia berkata: “Mereka itu
lebih tahu dari pada kita tentang dalil-dalil dimana tidak akan diambil kecuali
hanya oleh seorang Mujtahid. Malah barangkali mereka mencela orang yang
22 Muhammad Zein “Thaghut”, h. 1149
42
mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu
menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan
oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala
keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan
penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut
mereka, yang mereka namakan "wilayah".23 Sedang ibadah dan penyembahan
kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan
kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu
dan jahil.24
Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan
keledai yang memanggul kitab (buku-buku), tak mengerti apa isinya. Maka
mulailah mereka membuat hukum (undang-undang) untuk ummat manusia
berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada
dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang
yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa
adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal
mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah bangsa-
bangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang
undang (Hukum) yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang
bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan
“Tåghût”.
23 Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya. 24 Kitab Fathul-Majid Syarah Kitab at-Tauhid, h. 400
43
c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam
Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-A’râf:7/175-176 dan al-
Isrâ:17/36 :
LjȮLjȥ NJȷǠLjȖŃɆʼnȊȱǟ łȼŁȞŁǤŃǩLjǖLjȥ ǠŁȾŃȺĈȵ ŁǸLjȲŁȆŃȹǠLjȥ ǠŁȺĈǩǠŁɅǟĆǒ łȻǠŁȺŃɆŁǩǟĆǒ ɃĈǾƋȱǟ LjǖŁǤŁȹ ŃȴĈȾŃɆLjȲŁȝ NJȰŃǩǟŁȿŁȸɅĈȿǠŁȢǐȱǟ ŁȸĈȵ LjȷǠ .
“Dan bacakanlah kepada mereka berita yang mengagumkan tepatnya berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia berpantang mempercayainya, lalu dia dihubungi rapat oleh setan untuk menggodanya. Sehingga ia menjadi sesat.” (Q.S. Al-A’râf:175).
ǐȰĈȶŃǶŁǩ ǐȷĈǙ ĈǢǐȲLjȮǐȱǟ ĈȰLjǮŁȶLjȭ łȼNJȲLjǮŁȶLjȥ łȻǟŁɀŁȽ ŁȜŁǤʼnǩǟŁȿ ĈȏŃǿLjǖǐȱǟ ɂLjȱĈǙ ŁǼLjȲŃǹLjǕ łȼʼnȺĈȮLjȱŁȿ ǠŁȾĈǣ łȻǠŁȺŃȞLjȥŁȀLjȱ ǠŁȺǐǞĈȉ ŃɀLjȱŁȿƋǾLjȭ ŁȸɅĈǾƋȱǟ ĈȳŃɀLjȪǐȱǟ NJȰLjǮŁȵ ŁȬĈȱLjǽ ǐǬŁȾǐȲŁɅ łȼǐȭłȀŃǪŁǩ ŃȿLjǕ ǐǬŁȾǐȲŁɅ ĈȼŃɆLjȲŁȝ ŁȌŁȎLjȪǐȱǟ ĈȌłȎǐȩǠLjȥ ǠŁȺĈǩǠŁɅǔĈǣ ǟɀłǣ
LjȷȿłȀƋȮLjȦŁǪŁɅ ŃȴłȾƋȲŁȞLjȱ .
“Jika Kami kehendaki, tentu Kami dapat mengangkat derajatnya. Namun dia ketagihan kesenangan dunia, dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing. Bila kamu halau, dia menjulurkan lidahnya, atau jika kamu biarkan iapun mengeluarkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Ceritakanlah cerita ini, semoga mereka berpikir.” (Q.S. al- A’râf:176)
ŃɆLjȱ ǠŁȵ łȤǐȪŁǩ ǠĆLjȱȿǠDŽȱɀNJǞŃȆŁȵ łȼŃȺŁȝ LjȷǠLjȭ ŁȬĈǞLjȱȿNJǕ ƌȰNJȭ ŁǻǟŁǘNJȦǐȱǟŁȿ ŁȀŁȎŁǤǐȱǟŁȿ ŁȜŃȶʼnȆȱǟ ƋȷĈǙ ŅȴǐȲĈȝ ĈȼĈǣ ŁȬLjȱ ŁȄ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( al-Isrâ:17/36)
Bahwa Ulama-ulama Islam itu adalah pewaris para nabi Allah swt. telah
mengadakan perjanjian dengan mereka supaya mereka menyampaikan kebenaran
kepada ummat manusia, dan Dia jadikan mereka para pemimpin yang mendapat
hidayah dan teladan yang patut dicontoh, Allah menjadikan mereka ada pada
urutan ketiga dalam syahadat tentang keesaan-Nya, akan tetapi jangan sampai
44
manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid
buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw.
Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk
meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan
hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka
pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan
untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak
mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat
besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah
dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar.
Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di
Akhirat.
Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat (hukum) islam itu tidak berlaku pada
hal-hal (perkara) besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua
orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum
pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan
dengan ilmu tauhid.
Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara
Muhkâmât (ayat yang jelas tidak perlu ta’wil) yang tidak mungkin mengundang
perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut
tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman.
Adapun masalah-masalah yang membutuhkan Ijtihad mengikuti
perkembangan zaman, al-Qur’an pun telah menjelaskannya secara global. Inilah
45
masalah-masalah yang menjadi ajang pertentangan pendapat antara para mujtahid,
tetapi bukan penyebab berpecah belah.
Ijtihad itu harus bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah bahkan pendapat-
pendapat yang disandarkan kepada ijma atau Qiyas serta sumber-sumber hukum
islam lainya harus dikembalikan kepada kedua dasar hukum tersebut.
Atas dasar ini maka tak ada pendapat pada ulama Islam, karena pendapat
dan kefanatikan serta pengagungan hanya kepada kedua sumber ijtihad tadi (al-
Qur'an dan Sunnah) bukan kepada si Mujtahid. Oleh karena itu, kaum muslimin
menolak setiap pendapat yang tidak berdasar kepada keduanya dari siapapun
datangnya. Kami tidak pernah menemukan seorang ulama pun yang
berkecimpung dalam dunia fiqih Islam dan dia terkenal sebagai seorang Mujtahid,
ia tidak berpegang kepada dalil-dalil syara dalam mengistinbath (menentukan
suatu hukum). Sungguh para ulama Islam adalah orang-orang pilihan dari ummat
ini yang jauh berbeda dengan ummat-ummat terdahulu yang ulamanya terdiri dari
orang orang jahat. (Karena Ulama kita pengganti para Rasul). Mereka
menghidupkan kembali sunnah nya yang nyaris padam. Dengan sebab mereka
tegaklah kembali Kitabullah dan dengan Kitabullah mereka pun menjadi tegak
dan bangkit.
Dengan sebab mereka al-Qur'an bisa bicara, dan dengan al-Qur'an mereka
juga bisa bicara. Tak ada seorang ulama atau Imam pun dari para Imam yang
berkaliber dunia yang hasil pikirannya menjangkau seluruh ummat muslimin yang
tidak berpegang teguh dan bersandar kepada al-Qur'an dan Sunnah, baik sedikit
maupun banyak, baik masalah yang kecil maupun yang besar. Mereka sepakat
46
bulat dengan yakin, bahwa mengikuti teladan sunnah itu wajib, dan setiap
pendapat manusia boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali ucapan Rasulullah
saw. Dan apabila ada seorang Ulama yang ternyata pendapatnya (hasil
Ijitihadnya) bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi saw, maka ia wajib
menarik pendapatnya atau meninggalkannya dan mengambil hadis tersebut.
Di sana juga ada kesepakatan pandangan bagi ummat ini, bahwa para
Ulama dalam ijtihad dan fatwanya tidak bersandar kepada apa-apa yang
bertentangan dengan teladan Rasulullah saw. Tak ada seorang pun dari mereka
yang keluar dari nash. Bila salah dalam Ijtihadnya, ia tetap seorang Mujtahid,
mendapat pahala satu. Bila benar, ia mendapat pahala dua. Orang-orang yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, jika ia seorang
mujtahid yang tujuanya meneladani Rasulullah, tetapi tersembunyi baginya
kebenaran dalam masalah tersebut, sementara dia juga betul-betul bertakwa
kepada Allah sesuai dengan kemampuanya, ia tidak akan disiksa oleh Allah
karena kesalahanya tersebut, ia tidak berdosa bahkan mendapat pahala atas hasil
ijtihadnya.
Karena keputusannya yang berpijak di atas hasil ijtihadnya dengan
motivasi baik, bahwa apa-apa yang ia perbuat tersebut semata-mata untuk
menghidmat kepada agama dan bukan karena pengaruh hawanafsunya, melainkan
semata-mata mencari ridha Allah.
Adapun yang termasuk dosa atau maksiat dalam masalah ini adalah
apabila seorang Ulama tingkatan mujtahid ia berijtihad dan ia tahu bahwa hasil
47
ijtihadnya itu salah dan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tetapi dia
tetap mempertahankan pendapatnya, tidak mau rujuk kepada keduanya.
Imam ibnu taymiyyah, berkata; dan ia tahu bahwa hal ini salah, tetapi ia
tetap mempertahankannya, tidak mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,
maka dia mendapat celaan dari Allah berupa Syirik, lebih-lebih jika hal itu
didorong oleh hawa nafsunya dan ia pertahankan dengan argumentasi-
argumentasi palsu dari mulutnya atau dengan tangannya sama lainya ia disebut
thâghût.25
Oleh karena itu para ulama berkonsensus bahwa jika seorang ulama
mengetahui yang hak,ia tidak boleh taqlid kepada orang lain yang bertentangan
denganya. Para ulama ini hanya mengambil dalil, walaupun dia tidak mampu
untuk berijtihad mengeluarkan hukum dari dalil yang diketahuinya. Ini adalah
seperti seorang yang ada ditengah ummat Nasrani, tetapi ia tahu bahwa agama
islam adalah hak.
d. Dukun dan Tukang Sihir
Disebut “sihir”, karena pekerjaan tersebut tersembunyi, halus, licik dan
semata mata bersandar kepada makar dan tipu daya setan.
Sihir terbagi 2 :
Pertama: yang berupa khayalan dan bukan sebenarnya sihir jenis ini bersandar
kepada ilmu dan kepandaian serta ringannya gerakan. Yaitu si tukang sihir
menyulap sesuatu menjadi sesuatu yang lain dimana orang banyak
25Muhammad Zein, “Thâghût, h. 161
48
menyaksikannya. Sebagaimana orang melihat fatamorgana dari kejauhan lalu ia
sangka ia air.
Allah berfirman:
Berkata Musa: "Silakan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (Thaha :66)
Kedua: Sihir yang hakiki dengan sihir ini si tukang sihir berhasil menimpakan
bahaya dan bencana kepada seseorang dengan istrinya. Sihir jenis ini terkadang
mengandalkan ajimat-ajimat, mantera dan buhul-buhul yang dapat mempengaruhi
harta, dan badan seseorang sampai jatuh sakit bahkan mati disamping juga dapat
meruntuhkan rumah tangga orang.
Allah Ta'ala berfirman:
…
“…Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya”. (al-baqarah: 102).
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”(al-Falaq:4)
Sihir ini sihir yang sebenarnya (hakiki) yang memang ada, yang kita harus
berlindung kepada Allah darinya. Kejahatan sihir ini tidak hanya terbatas
49
menimpa orang-orang awam (kebanyakan) tetapi juga adakalanya menimpa para
ulama (Wali Allah) dan orang-orang shaleh, bahkan juga para Nabi. Hanya kalau
Nabi tidak sampai terpengaruh akal dan hatinya. Ia hanya menjadi satu penyakit
seperti biasa lainnya.26
Allah Swt , menyatakan bahwa tukang sihir dan orang yang mempelajari
sihir itu kafir.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada
26 Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Yang Benar, (Jakarta,Penerbit: Rineka Cipta, 1988) Cet, pertama, h.16
50
seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”.(al-baqarah 102).
Dari ayat ini dapat kita ambil beberapa hukum, bahwa :
1. Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang yang mempelajari sihir itu
berarti membuang Kitabullah dan mendustakan Rasulullah saw. Allah swt
berfirman:
…
“…dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah)” (Al-baqarah: 102)
Imam Suddy berkomentar, “Mereka itu membuang Kitab Taurat dan
mengambil kitabnya Asif dan sihirnya Harut dan Marut” 27
Cukuplah bagi kita gambaran diatas bahwa, orang yang belajar sihir adalah
orang yang membuang Kitabullah dan menjauhinya serta mendustakan nabi yang
membawa kitab tersebut.
27 Tafsir Qurthuby, juz,1, h. 41
51
2. Orang yang mempelajari sihir itu tidak lain mempelajari apa apa yang
memberi bencana bualnya yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Firman
Allah:
… "…dan mereka mempelajari apa-apa yang memudaratkan mereka dan
tidak memberi manfaat !" (Al-Baqarah: 102)
Bahaya Sihir ini terbukti nampak di dunia dan akan ada pula di akhirat
nanti.
Allah swt berfirman:
"Sesungguhnya mereka itu telah tahu, siapa yang membeli sihir (mengerjakannya) tidak adanya baginya bagian di akherat !”
“Sesungguhnya orang-orang yang menjual dirinya dengan sihir jika mereka mengetahui" (Al-Baqarah: 102).
3. Orang-orang yang mengerjakan sihir dan menyakiti orang lain menyakiti
suami dengan istrinya adalah perbuatan syetan.
4. "Maka mereka mempelajari dari keduanya apa-apa yang akan
menceraikan suami dengan istrinya." (Al-Baqarah: 102).
Karena syetan itu berbahagia dan senang jika suatu ummat mengikuti atau
bertahkim kepada tâghût.
Di jalan inilah Tukang Sihir dan syetan bekerjasama sampai mereka betul-
betul-betul menyesatkan manusia ke jalan yang sesat. Namun demikian, Tukang
sihir dan syetan tersebut tidak punya daya dan kemampuan kecuali dengan izin
Allah. Bila Dia menghendaki, hal itu akan terjadi. Bila tidak, maka tidak akan
terjadi. Lanjutan Ayat diatas ialah :
52
"Mereka itu tiada memberi ma'dharat dan bencana kepada seorang jua pun kecuali dengan izin Allah." (Al-Baqarah : 102).
Diantara sunnatullah di alam ini, yaitu membakar itu harus dengan api.
Memotong harus dengan pisau. Dan bencana itu bisa terjadi dengan sihir.
Begitulah sunnatullah berlaku. Tetapi Allah swt. Maha Kuasa untuk tidak
memperlakukan Sunnah-Nya tersebut, bila Dia menghendaki sebagai bukti, Dia
telah mencegah api membakar Nabi-Nya, Ibrahim sebagaimana pula Dia telah
menumpulkan pisau sehingga tidak mempan menyembelih putranya, Ismail as.
Demikianlah bila Allah menghendakinya.
Dukun tidak berbeda dengan Tukang Sihir. Hanya dia mengaku-ngaku
dengan kedustaanya bahwa dia mengetahui yang ghaib dan keadaan yang akan
datang. Itulah makanya, orang-orang bodoh dan lemah imannya datang kepadanya
untuk menanyakan nasib,jodoh,kematian dan perkara perkara yang ghaib yang
akan terjadi di masa yang akan datang atau yang sejenisnya.
Imam Ibnu al-Qayyim bertutur, Para dukun itu adalah utusan-utusan
syetan dimana orang-orang musyrik berdatangan kepadanya untuk menanyakan
perkara-perkara besar dan penting. Dan mereka mempercayai kata-katanya.
Menjadikannya hakim pemutus suatu perkara. Kepercayaannya ini penuh dan
teguh sebagaimana kepercayaan para pengikut Rasul kepada Rasul-Nya. Orang-
orang musyrik itu berkeyakinan bahwa para dukun itu mengetahui perkara ghaib.
Para dukun tersebut dalam pandangan mereka tidak ubahnya seperti Rasul.
Jadi seperti kami sebutkan diatas, bahwa para dukun itu adalah utusan
Syetan yang diutus kepada golongannya yang terdiri dari orang-orang Musyrik,
53
dan ia serupakan mereka seperti Rasul-rasul Allah yang jujur dan benar agar
orang-orang Musyrik tersebut mempercayainya. Juga ia jadikan para dukun
tersebut seakan-akan orang-orang yang jujur yang mengetahui yang ghaib.
Sehubungan dengan perbedaan amat kontras kedua kelompok ini (Tukang
Nujum/dukun dan para Rasul Allah).
Rasulullah saw. bersabda:
ŃȸŁȵ ɂŁǩLjǟ ǠLjȭ ǠńȺĈȽ ʼnǼŁȎLjȥ łȼLjȩ ǠŁȶĈǣ NJȯŃɀNJȪŁɅ ŃǼLjȪLjȥ ŁȀLjȦLjȭ ǠŁȶĈǣ LjȯĈȂŃȹNJǟ ɂLjȲŁȝ ąǼʼnȶŁǶłȵ
Barang siapa yang datang ke Dukun, lalu dia percaya kepadanya, berarti ia Kafir terhadap Al-Qur’an”.
Manusia itu terbagi dua kelompok:
(1) pengikut para dukun, dan
(2) pengikut para Rasul
Tidak mungkin seseorang berada pada kedua-duanya. Sebatas jarak jauh
dekatnya kepada dukun sebatas itulah jarak jauh dekatnya kepada Allah. Dan ia
akan mendustakan Allah sesuai dengan kadar kepercayaannya kepada dukun.28
Jelaslah, para dukun itu adalah Tâghût yang didatangi syetan-syetan untuk
memberikan berita dan kabar. Atau kalau tidak, maka para dukun itu bersandar
kepada firasat dan pengalaman. Sehingga para dukun itu berkata dengan kata-kata
yang bersifat umum, yang disangka oleh si empunya hajat, karena ia amat butuh
kepadanya dan penasaran ingin tahu ditambah oleh kelemahan imannya bahwa si
28 Ibnu al-Qayyim, Dalam Kitab: “ Ighatsatu Allahfaan Min Makaid Assyaithan” hal 266
54
dukun tersebut benar ucapannya dan tepat sehingga ia mempercayainya dan kafir
kepada al-Qur'an.
Sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshary berkata, “Taghût-taghût itu adalah
para dukun yang kepadanya syetan turun, yaitu pada setiap orang satu syetan”.
Para dukun itu telah menjadi tempat mengadu orang-orang ketika
berselisih pendapat bahkan bagi semua persoalan. Mereka punya pengaruh besar
terhadap ummat manusia, dan Islam sesungguhnya telah menghancurkan
kedudukan mereka dan menyingkirkannya dari alam kehidupan ini. Tetapi bintang
mereka kembali naik tatkala Iman yang berada pada pribadi-pribadi manusia
menjadi layu dan lemah. Ketika agama dikalahkan oleh gelimang kehidupan
materialis. Pada saat manusia jauh tersesat dari Allah. Mereka para dukun itu
bermunculan di berbagai negeri dan di banyak pelosok. Maka manusia itu
berbondong-bondong datang kepada mereka mengajukan berbagai perkara.
Akibatnya timbullah perselisihan dan permusuhan sesama manusia. itu tidak lain
buah dari kepercayaan mereka terhadap kedustaan para dukun itu dengan
mengatakan, yang mencuri golongan ini adalah golongan itu, atau ia menuduh
dengan mengatakan misalnya: "Kau dibenci oleh si pulan dan sebagainya”.
Para dukun itu pada zaman kita sekarang mempunyai organisasi dan
yayasan-yayasan yang dilindungi oleh negara dan dijamin keamananya. Mereka
punya kepala yang bisa diangkat dan diberhentikan. Di beberapa surat kabar, saya
pernah membaca iklan besar yang dipasang oleh salah seorang dari mereka bahwa
dia akan membuat sebuah markas besar di Paris. Ia menyebutkan, bahwa para
wakilnya tersebar hanya bertugas menyebarkan gambar-gambar mereka, alamat
55
dan umur mereka. Selain mereka tidak ada hubungan dengan yayasan-yayasan
atau perkumpulannya. Dan diantara keberanian nya, ia berkata, “Kami tidak akan
menuntut apa-apa dari pelanggan kami sebelum berita dan apa-apa yang
diucapkannya terbukti (ter realisir) dengan benar”.
Yang lebih hebat lagi dari itu, bahwa surat kabar dunia setiap tahun
menyebarkan berita-berita mereka dan memuat ramalan-ramalan mereka tentang
akan berakhirnya kehidupan dunia ini. Sebagian dari mereka ada yang khusus
menyebutkan para tokoh, pembesar, orang-orang top baik bintang-bintang film
maupun para penulis atau pengarang. Sehingga jadilah mereka idola yang top
dimana orang-orang dari Eropa maupun Amerika datang kepadanya. Sebab yang
pokok adalah karena mereka (orang-orang Barat) itu kehilangan agama. kosong
rohaninya sedang kaum muslimin sendiri lemah akidahnya.
Bahwa agama Islam menolak keras praduga dan anggapan serta sangkaan
dusta Islam memerangi pada Dajjal yang mengaku-ngaku mengetahui yang ghaib
seperti para dukun-dukun dan tukang ramal itu. Karena yang mengetahui yang
ghaib itu hanyalah Allah semata. Tak seorang pun yang mengetahuinya baik para
wali ataupun para Nabi, termasuk juga Rasul al-Musthafa.
Allah swt berfirman:
“Katakanlah hai Muhammad: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah"(al-Naml: 65).
56
D. Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas
Sosial.
Akidah atau tauhid merupakan benteng pertahanan dasar yang harus
dipegang oleh seorang Muslim, bahkan beberapa Ulama mengatakan, ilmu yang
paling mulia adalah ushuluddin. Diutusnya para Rasul ke muka bumi ini dengan
satu tujuan yaitu memperkuat, dan meluruskan akidah dan tauhid umat ketika
penyembahan terhadap berhala dan praktik kemusyrikan sudah merajalela.
Keberhalaan secara langsung masih ada bahkan makin marak semenjak
nabi Ibrahim menancapkan pondasi akidah dan tauhid yang kuat, namun secara
tidak langsung keberhalaan masih saja terjadi di era modern ini, apalagi era
postmodernisme benar-benar menjadi pertanda hancurnya akidah tauhid.
Tidak begitu mudah memberikan uraian tentang akar-akar keberhalaan
asal mula penyimpangan akidah ini, serta pertumbuhannya di tengah-tengah
manusia. Apalagi, mengingat bahwa persoalan keberhalaan ini bukan hanya
terbatas pada satu atau dua bangsa, tidak pula dalam satu atau dua bentuk, ataupun
satu atau dua daerah.Hal ini tentunya membuat sulitnya mengajukan pendapat
yang pasti tentanganya atau terang pertumbuhannya.
Keberhalaan (watsaniyah) di kalangan bangsa arab Jahiliyyah,
misalnya,berbeda dengan keberhalaan di kalangan bangsa India. Keberhalaan di
kalangan penganut agama Budha berbeda dengan yang di anut oleh pengikut
Hindu. Kepercayaan-kepercayaan dalam agama-agama dan bangsa-bangsa ini,
57
yang berkaitan dengan kemusyrikan, sangat berbeda sedemikian, sehingga sulit
menggambarkan kadar yang dimiliki bersama oleh masing-masing dari mereka.29
Suku-suku Arab yang telah punah, seperti jaman jahiliyah waktu dulu
ketika jaman Sulaiman sampai nabi Muhammad, mereka itu hidup diantara para
penyembah berhala atau matahari.30,Kepercayaan-kepercayaan dan cara-cara
berpikir mereka banyak disebut dalam al-Quran al-Karim. Bangsa Arab dari
keturunan nabi Ismail, untuk masa-masa tertentu, adalah kaum yang bertauhid dan
mengikuti ajaran-ajaran nabi Ibrahim dan nabi Ismail, akan tetapi lama kelamaan,
akibat pergaulan dengan suku-suku penyembah berhala dalam masyarakat Arab
jahiliyyah, secara berangsur-angsur timbul pula kepercayaan keberhalaan sebagai
ganti akidah tauhid.31
Demikian itulah keadaan bangsa Arab yang hidup di daerah-daerah
tersebut. Sedangkan mereka yang hidup di Makkah dan sekitarnya, pada masa
menjelang kedatangan Rasulullah saw, mulai berkenalan dengan keberhalaan
melalui seorang yang bernama ‘Amr bin Luhai, sebagaimana dinyatakan oleh para
ahli sejarah. Pada perjalanannya ke daerah-daerah Syam, ‘Amr bertemu dengan
orang-orang yang menyembah berhala, lalu ia bertanya kepada mereka tentang
perbuatan tersebut.
“Patung-patung apakah ini yang kalian sembah?”
29 Al-Busthani, Ensiklopedia, Kepercayaan-Kepercayaan Tentang Yang Di Anut Oleh Bangsa-Bangsa Di Asia (Jakarta: Pustaka Akbar, 1996), Cet ke III, h. 225 30 Firman Allah :
“Telah Kudapati ia (Yakni Ratu Saba ) dan Kaumnya Menyembah Matahari Di Samping Menyembah Allah.” (QS 24:27) (lih asy-Syaikh Ja’far ubhan, Al-Tauhid wa Syrik fil Qur’an al-Karim, h. 32.)
31 Ibn Hisyam, as-Sirah, Watsaniyahn Atau Paganisme Telah Berakar Di Tengah-tengah Musyrikin Arab Jahiliyah, (Jakarta : Pustaka Media Etika Sarana) Jilid 1, h. 82
58
“Ini adalah patung-patung yang kami sembah, agar bila kami memohon
hujan, patung-patung ini memberikan hujan, dan bila kami mengharapkan
pertolongan, patung-patung ini memberikan nya kepada kami.”
“Maukah kalian menghadiahkan untukku beberapa darinya? Saya akan
membawanya ke negeri Arab, agar mereka menyembahnya.”
Demikianlah,’Amr bin Luhai tertarik kepada perbuatan mereka. Ia pulang
ke Mekkah dengan membawa sebuah patung besar bernama Hubal. Patung ini
diletakkan di atas bangunan ka’bah kemudian ia mengajak orang-orang lain agar
menyembahnya.” 32
Ada riwayat yang menyatakan bahwa pada malam peristiwa Hudaibiyah,
turun hujan lebat di atas perkemahan kaum muslimin, sehingga Rasulullah saw.
memerintahkan seseorang berseru. “Laksanakanlah shalatmu di kemah-kemah
kamu masing-masing!” Pada pagi harinya, ketika mengimami salat Subuh
bersama mereka, beliau bersabda: “Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh
Tuhan-mu?” Mereka menjawab Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Dan
beliaupun berkata, “ Di antara hamba-hambaku di pagi hari ini, ada yang mukmin
dan ada pula yang kafir. Siapa di antara mereka berkata, ‘Kami peroleh hujan
dengan rahmat dan karunia Allah,’ maka dia itulah yang beriman kepada Allah
dan kufur kepada bintang-bintang. Dan siapa di antara mereka berkata, “ Kami
peroleh hujan dengan ramalan bintang. Maka dia itulah yang beriman kepada
bintang-bintang dan kufur kepada-Ku”.33
32 Al-Allamah al-Syaikh Ja’far Subhani, al-Tauhid wa Syirk fi al-Qur’an al-Karim, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Penerbit Mizan) Cet, Pertama,1987,H. 79 33 Ja’far Subhani, al-Tauhid wa Syirk. h. 79
59
Kedua nash historis ini sekaligus menunjukkan bahwa sebagian orang
Arab jahiliyyah, atau semuanya, adalah musyrikin dalam hal rubûbiyyah, yakni
dalam sifat-sifat Allah sebagai Sang pemelihara dan Pengatur alam semesta.
Mereka percaya bahwa turunnya hujan adalah wewenang berhala-berhala itu
benar-benar memberi mereka hujan.
Keterangan di atas amat penting dalam kaitannya dengan uraian-uraian
selanjutnya. Di samping itu beberapa peneliti berpendapat bahwa keberhalaan
tumbuh akibat penghormatan dan ta’zim berlebih-lebihan serta keinginan untuk
mengabadikan kenangan terhadap tokoh-tokoh besar. Setiap kali seorang tokoh
besar meninggal dunia, mereka memahat patung untuk menghidupkan kenangan
kepadanya dalam diri mereka. Namun dengan berlalunya cukup besar, sehingga
ketika ia mati, keluarganya membuat patung yang menyerupainya, lalu mulai
menyembahnya. Pada masyarakat Yunani dan Romawi kuno, kepala keluarga di
puja oleh keluarganya, dan bila ia mati, mereka pun menyembah patungnya.
Faktor-faktor penyebab penyimpangannya adalah:34
Minimnya pengetahuan seseorang tentang akidah dan syari’at yang benar.
Hal ini disebabkan karena keengganan mereka untuk mempelajarinya.
Begitu juga kurangnya perhatian mereka terhadap akidah, akibatnya
tumbuhlah generasi yang tidak mengerti akidah yang benar dan mana
aqidah yang sesat. Sehingga mereka pun meyakini yang hak (benar) itu
sebagai sesuatu yang batil dan yang batil itu dianggap sebagai yang hak.
Sebagaimana Umar bin khattab ra. Berkata:
34Nabhani Idris Hidayatullah Nawawi”THAGUT” , (Jakarta:Pustaka al-Kaustar,1999),
cet. I, h. 94-98.
60
“Sesungguhnya ikatan Islam akan terlepas/ hancur satu demi satu, apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengenal kejahiliyahan.”
Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari orang tua dan
nenek moyangnya, meskipun hal itu batil dan mencampakkan apa yang
menyalahinya, sekalipun hal itu adalah benar.
Sebagaimana yang difirmankan Allah subhanahu wata’ala, Artinya:
”Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa telah kami dapati dari (perbuatan) nenek-moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. al-Baqarah: 170).
Taqlid35 buta (ikut-ikutan secara buta) tanpa ada keilmuan yang
melandasinya. Yaitu dengan mengambil pendapat manusia sebagai hujjah
dan sumber dalam masalah akidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa
meneliti seberapa jauh kebenarannya.
Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kaum muslimin yang
bertaqlid kepada para ulama sesat, sehingga mereka pun menjadi sesat dan
menyimpang dari aqidah yang shahih (benar).
Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih,
dan mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya dengan meyakini
pada diri mereka terdapat sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali
oleh Allah swt, seperti mampu mendatangkan kemanfaatan dan menolak
kemudharatan (malapetaka).
35Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa Tentang Akidah, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, cet. I, h. 73.
61
Serta menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah subhanahu
wata’ala dan makhluk-Nya, sehingga mereka pun akhirnya menyembah
para wali/ orang-orang shalih tersebut selain Allah subhanahu wata’ala.
Dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada kuburan mereka dengan
menyembelih hewan qurban, nadzar, do’a, dan meminta pertolongan atau
petunjuk kepada dukun atau peramal di sana. Sebagaimana yang terjadi
pada para penyembah kuburan di berbagai negeri sekarang ini. (Lihat: Az-
Zumar: 3)
Ghaflah36 (lalai) dalam merenungi ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala
yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah
subhanahu wata’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an (ayat-ayat
Qur’aniyah).
Dan terbuai dalam pengagungan terhadap teknologi dan kebudayaan,
sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi dan jerih
payah manusia semata. Mereka lupa dan tidak berpikir siapa yang telah
menciptakan mereka dan yang telah memberikan mereka keahlian dan
kecerdasan sehingga mampu berkreasi ini dan sebagainya. Sebagaimana
kesombongan Qarun yang dikisahkan Allah subhanahu wata’ala di dalam
firman-Nya, artinya, “Sesungguhnya aku hanya dikaruniai harta itu,
karena ilmu (kecerdasan) yang ada padaku.” (QS. al-Qashash: 78). Dan
sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala yang lainnya, artinya,
36 Abdul Aziz bin Shaleh al-Ubaid, Syetan VS Manusia, (Jakarta: Pustaka Azzam,2002),
Cet. I h. 35.
62
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu.” (QS. ash-Shaffat: 96). Dan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala yang diciptakan Allah.” (QS. al-A’raf: 185).
Orang tua yang menyimpang dari Akidah yang benar.37
Sehingga anak-anak mereka pun terdidik dan terbimbing dalam
pendidikan dan bimbingan yang menyimpang pula. Dan akhirnya mereka
tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mengerti aqidah yang benar. Ini
menunjukkan betapa besarnya peranan orang tua dalam meluruskan jalan
hidup anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari).
Kurangnya perhatian Media/ sarana informasi dan pendidikan terhadap
pendidikan agama Islam khususnya dalam masalah penanaman akidah
yang benar dan pelurusan moral manusia serta memerangi pemikiran-
pemikiran/ aliran-aliran yang menyimpang.
Bahkan sebagian besar tidak peduli sama sekali. Yang tampak saat ini
kontribusi yang diberikan adalah sebagai sarana perusak dan penghancur
moral dan akidah umat Islam.
Penyimpangan dari akidah yg benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena
akidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa
37Ikhwanul Wa’ie, Luruskah Akidah Anda,(Bogor: Pustaka Thariqul Izah, 2003), cet. III,
h. 14.
63
akidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keragu-
raguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari
pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan.
Keberhalaan yang terjadi pada masyarakat modern tumbuh akibat ekspresi
berlebihan terhadap diri sendiri, tekhnologi, struktur sosial, akibatnya kepercayaan
kepada Allah memudar, sebagai gantinya, lahirlah kepercayaan terhadap orang-
orang yang dianggap suci, memiliki kemampuan indrawi yang lebih atau sesuatu
yang dikeramatkan, sehingga keyakinan terhadap Allah semakin hilang. Di sinilah
asal mulanya keberhalaan dan kemusyrikan dalam makna baru mengambil
relevansinya dalam makna tâghût.
Mengapa Allah menegaskan dalam Fiman-Nya ini bahwa nabi yang membawa
wahyu Allah bukanlah seorang tenung atau peramal, karena tukang tenung atau
peramal berbeda dengan utusan Allah.seorang utusan Allah selalu dibekali Allah
dengan mukjizat-mukjizat yang dapat membuktikan kerasulannya sesuai dengan
situasi kondisi pada masa itu.
Adapun pandangan ulama terhadap tâghût yang berupa peramal dan
sejenisnya seperti dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 165 yang berbunyi:
والذین ءامنوا ومن الناس من یتخذ من دون اللھ أندادا یحبونھم كحب اللھ حبا للھ ولو یرى الذین ظلموا إذ یرون العذاب أن القوة للھ جمیعا أشد
وأن اللھ شدید العذاب
64
''Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintai sebagaimana mereka dicintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...'''38
Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud mensederajatkan
makhluk dengan Allah yaitu meminta sesuatu pada selain Allah yang sebenarnya
tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah semata. Artinya, permintaan manusia
tersebut hanya menjadi kekuasaan Allah untuk mengabulkanya atau hanya
kekuasaan Allah semata-mata yang dapat melakukannya.Namun si manusia
tersebut malah memohon bantuan kepada makhluk lain yang sama-sama
diciptakan oleh Allah, sampai makhluk tersebut amat dipuja dan dijadikan tempat
bersandar untuk bertanya mengenai segala sesuatu sampai pada masalah ghaib
yang sebenarnya tidak diketahui pula oleh makhluk itu.dukun ataupun peramal
yang melakukan ini juga menjadi musyrik.39
Ibn al-Qayyim dalam bukunya al-Igasah: 1/271, mengatakan:
''Dukun adalah utusan-utusan setan, karena orang-orang musyrik bergegas
kepada mereka, minta tolong kepada mereka dalam urusan-urusan besar, percaya
kepada mereka, berperkara kepada mereka, dan menyukai keputusan mereka,
sebagaimana yang dikerjakan pengikut-pengikut rasul terhadap rasul-rasul.
Mereka menurut orang-orang musyrik laksana rasul-rasul.40
Pendapat Ibn al-Qayyim yang mengatakan orang-orang musyrik menganggap
para dukun atau peramal adalah rasul-rasul bagi mereka disini adalah kurang
tepat, karena bukan hanya orang-orang musyrik saja yang menganggap demikian,
38 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an.Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra Semarang.1989) h.41. 39 M.Thalib,100 Karakter Musyrik dan Jahiliyah. (Solo:Ramadhan. 1994). H. 263 40 Seperti dikutip Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya Alam Makhluk Supernatyral. (Jakarta: Firdaus. 1999). H. 131
65
tetapi selain mereka pun banyak yang menganggap demikian, seperti orang-orang
muslim yang selalu menanyakan perkara-perkara kepada para dukun, juga banyak.
Sedangkan menurut para ulama orang-orang yang mendatangi dukun atau
peramal itu sendiri ada tiga golongan.
Pertama, mereka yang datang dan memanfaatkan jasa dukun atau peramal dan
percaya dengan apa yang dikatakannya.
Kedua, mereka yang datang kepada dukun atau peramal tapi tidak
mempercayainya.
Ketiga, mereka yang tidak mempercayai apa yang dikatakan dukun dan datang
kepada dukun atau peramal dengan maksud dengan menyuruh kepada yang
makruf, mencegah dari yang mungkar, dan meminta untuk meninggalkan
perbuatannya.
Menurut penulis, hal ini dapat dilakukan bagi orang yang ingin
memberitahukan orang lain yang belum mengetahui perihal dukun atau peramal
dan masih menganggapnya mengetahui akan yang ghaib, bahwa perkataan dukun
atau peramal itu tidak dapat dijadikan pegangan. Akan tetapi hal ini tidak perlu
dilakukan bagi seorang yang datang seorang diri, sebab kalau ia telah tahu bahwa
seseorang itu adalah seorang dukun atau para normal, tak perlu didatangi untuk
menguji atau mengetesnya, kecuali dilakukan bersama orang lain yang belum
mengetahuinya.
Mengenai orang yang mendatangi dukun ataupun peramal, ada dua pendapat
yang diriwayatkan dari Imam Ahmad. Pertama, pelakunya dinyatakan kafir
dengan tingkat kafir kecil. Agaknya inilah pendapat yang kuat. Kedua, tâwâqqûp,
66
maksudnya menamai pelakunya dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah
Saw. Jadi tawaqqup disini adalah hukum bukan nama. Maka tidak boleh
mengatakan dia telah keluar dari islam.41
41 Al-Buraikan.Pengantar Studi Aqidah Islam. (Jakarta: Robbani Press. 1998). H. 260
67
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penafsiran tentang tâghût yang mencakup tentang korelasinya terhadap
berbagai penyimpangan akidah dalam realita sosial atau lebih dikenal dengan
percaya kepada peramal, perdukunan (ahli nujum), sihir, pastur, atau para normal
yang suka meramal-ramal perkara ghaib sepeti di jaman modern ini, pekejaan
dukun atau peramal ini tidak diperkenankan dalam islam, sebab perkara ghaib
adalah hak Allah yang hanya diketahui oleh-Nya.dari penafsiran-penafsiran dan
firman Allah yang telah dibahas ada beberapa hal penting yang dapat penulis
simpulkan yaitu:
1. Konsep thâghût dalam al-Qur’an adalah salah satu penyimpangan dalam
realita sosial sering kali Allah singgung dalam al-Qur’an, tercatat ada 8
kali kata thâghût, yang secara umum di artikan sebagai sesuatu yang
disembah selain Allah baik berupa syaithan, berhala, tukang sihir,
paranormal, dukun, pastur, ataupun segala manhaj yang mengajak kepada
kekufuran.
2. Konsep thâghût itu umumnya diartikan berhala saja, padahal dalam
perkembangan di zaman modern ini banyak macamnya, maka kaum yang
beriman di beri peringatan agar menjauh dari thâghût itu sendiri, apalagi
sampai disembah-sembah. Untuk itu kembalilah kejalan yang diridoi Allah
68
swt, kita tidak akan kuat menjauhi thâghût, kalau kita tidak bertekad
kembali kepada Allah.
B. Saran-saran
Sejalan dengan beberapa hal yang penulis bahas dalam skripsi ini, maka
penulis menyimpulkan saran-saran sebagai berikut:
1. .Masalah-masalah thâghût, termasuk perdukunan ataupun
percaya dengan paranormal yang menyimpang dalam realita
sosial,dijaman modern sangat marak dinegeri ini, bahkan di
dunia hendaknya institusi respon dengan hal-hal yang sedang
aktual untuk kemudian dapat mengangkatnya kedalam
kurikulum perkuliahan, khususnya bagi mata kuliah tafsir
hadits, karena hal ini akan sangat bermanfaat,agar keimanan
kita bisa bertambah.
2. Para mahasiswa islam hendaknya lebih bisa memahami
secara mendalam agama dan sumber ajaranya, yaitu al-
Qur’an dan hadits, agar terhindar dari hal-hal yang dapat
menjerumuskan kedalam perbuatan yang tidak diper
bolehkan, dan dapat lebih memahami secara mendalam
aspek-aspek keilmuan yang berhubungan kedua aspek-aspek
tersebut.
69
DAFTAR PUSTAKA
Asfahaniy, Al-Raghib, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz al-Quran, Beirût: Dâr al-Fikr, Tt, Jilid 1.
Ahmad Kheirie, R.A.S, Al-Haj Khan Bahdur Altaf Index Cum Concordance For The Holy Qur;an, New Delhi : Kitab Bavhan, th. 1993, Cet. I
Abu Hayyan, Muhammad Yusuf, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr, 1992).
al-Andalusi, Imam Abu hayyan, Tafsir an-Nahru al-Madd, Beirut: Dar al-Hail, 1995,
cet. I.
al-Busthani, Ensiklopedia, Kepercayaan-Kepercayaan Tentang Yang Di Anut Oleh Bangsa-Bangsa Di Asia, Jakarta: Pustaka Akbar, 1996, Cet ke III.
al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press. 1998, Cet IV. Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur'ani Pustaka Filsafat Yogyakarta 2001, Cet I. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Cet III. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kematian, Jakarta , Mizan Hikmah, 2005, cet.I. Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Yang Benar, Jakarta: Rineka Cipta, 1988
Cet. I.
Ibn 'Alawi Al-Maliki, Muhammad, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Mizan 1 Oktober 2003. cet. II.
Ibn Katsir, Tafsir Quran al al-Azim, - Beirut: Dar al-Fikr, tth., cet I ................,“Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” Jakarta, Penerbit: Gema Insani
Press, 1999 M, Cet, I.
Idris Hidayatullah Namawi, Nabhani ''THAGUT''Jakarta : Pustaka Al-Kautsar 1989. Cet I.
Ibn Hisyam, as-Sirah, Watsaniyahn Atau Paganisme Telah Berakar Di Tengah-tengah Musyrikin Arab Jahiliyah, Jakarta : Pustaka Media Etika Sarana, Jilid 1.
Iskandar, Perspektif Aksiologi Qur'ani, Jakarta: Rabbani Press, Februari 2007, cet I. Ja’far Subhani, Al-Allamah al-Syaikh, al-Tauhid wa Syirk fi al-Qur’an al-Karim, terj.
Muhammad al-Baqir, Bandung: Penerbit Mizan, 1987 Cet. I.
70
Jabir Al-Jazairi, Abu Bakar “Tafsir al-Kautsar” , Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996, Cet. I.
Kepel, Gilles, Pembalasan Tuhan, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1997, cet I. M.Thalib,100 Karakter Musyrik dan Jahiliyah, Solo: Ramadhan. 1994, Cet. IV. Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ’Abduh Kajian Masalah Akidah
dan Ibadah Jakarta: Paramadina, 2002, cet I.
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, terj, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet III. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet.
IV. ………………….., Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Vol 2. Putro, Suadi, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina, Jakarta,
1998, cet II.
Wa’ie, Ikhwanul, Luruskah Akidah Anda, Bogor: Pustaka Thariqul Izah, 2003, Cet. III. al-Qathan, Syaikh Ahmad, Muhammad Zein, Thaghut, Jakarta : Pustaka Kautsar,1993,
Cet ke III.
al-Qaradlawi, Yusuf.''Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan''. Surabaya: Pustaka Progressif. 2002, Cet IV.
al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, Depag RI 2005. al-Qusyairî al-Naisaburî, Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Semarang: Toha
Putra, t.t, Juz IV.
al-Qattan, Manna khalil’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’, Jakarta : Lentera AntarNusa,Thn 2006, cet.IX.
yusuf Abu hayyan, Muhammad, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, Beirût:Dâr al-Fikr,
1992, cet.III.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an.Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang.1989, cet III.
Umar Sulaiman al-Asyqar Alam Makhluk Supernatyral, Jakarta: Firdaus. 1999, Cet. V.
al-Ubaid, Abdul Aziz bin Shaleh, Syetan VS Manusia, (Jakarta: Pustaka Azzam,2002), Cet. I.