2
“aku suka kamu” ujarnya padaku. Tak seperti orang umumnya, aku terdiam tak dapat membuat gerakan sedikitpun apa lagi untuk mengeluarkan suara. Benarkah? Katakan benar, katakana… Ia tersenyum puas, mungkin ia tersenyum bahkan menahan tawa melihat ekspresiku. Temanku yang sudah dari tadi bersamaku ikut tersenyum. Aku butuh lebih dari lima menit untuk sadar bahwa kalimat yang ia katakan hanyalah lelucon. “Lalu?” ujarku. Hanya kata itu yang keluar, dan rasanya aku menampar bibirku sendiri. Kata-kata bodoh macam apa yang aku keluarkan. Tapi jujur, aku memang menunggu kata ini keluar dari mulutnya. Aku menyukainya, bahkan ketika kuliah awal semester satu. “ya, aku suka kamu, suka dia dan semua satu angkatan kita” ujarnya masih dengan senyuman puas. Ini benar-benar lelucon garing. Jikalau orang lain, mungkin aku bisa membahas dengan lelucon yang lebih parah. Tapi ini darinya. Aku hanya tersenyum datar. Seolah tak terjadi apa-apa, aku kembali pada aktivitasku sebelumnya, memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. “Dion, aku duluan” seketika aku meninggalkan kelas. Pikiranku seolah diaduk, rasanya aku ingin segera ke toilet untuk memuntahkannya. Sulit bagiku menghilangkannya. Seperti kaset rusak, ia terus berulang. Aku harus menghentikannya, ini hanya efek karena aku masih tak bisa mengerti… Tunggu, apa yang tak aku mengerti? Harusnya aku bisa segera mengerti, ia hanya membuat lelucon, hanya lelucon.

PROJECT_aku Suka Kamu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pro

Citation preview

aku suka kamu ujarnya padaku. Tak seperti orang umumnya, aku terdiam tak dapat membuat gerakan sedikitpun apa lagi untuk mengeluarkan suara.

Benarkah? Katakan benar, katakana

Ia tersenyum puas, mungkin ia tersenyum bahkan menahan tawa melihat ekspresiku. Temanku yang sudah dari tadi bersamaku ikut tersenyum. Aku butuh lebih dari lima menit untuk sadar bahwa kalimat yang ia katakan hanyalah lelucon.

Lalu? ujarku. Hanya kata itu yang keluar, dan rasanya aku menampar bibirku sendiri. Kata-kata bodoh macam apa yang aku keluarkan. Tapi jujur, aku memang menunggu kata ini keluar dari mulutnya. Aku menyukainya, bahkan ketika kuliah awal semester satu.

ya, aku suka kamu, suka dia dan semua satu angkatan kita ujarnya masih dengan senyuman puas. Ini benar-benar lelucon garing. Jikalau orang lain, mungkin aku bisa membahas dengan lelucon yang lebih parah. Tapi ini darinya.

Aku hanya tersenyum datar. Seolah tak terjadi apa-apa, aku kembali pada aktivitasku sebelumnya, memasukkan buku-bukuku ke dalam tas.

Dion, aku duluan seketika aku meninggalkan kelas. Pikiranku seolah diaduk, rasanya aku ingin segera ke toilet untuk memuntahkannya. Sulit bagiku menghilangkannya. Seperti kaset rusak, ia terus berulang.

Aku harus menghentikannya, ini hanya efek karena aku masih tak bisa mengerti

Tunggu, apa yang tak aku mengerti? Harusnya aku bisa segera mengerti, ia hanya membuat lelucon, hanya lelucon.

Rasanya bukan aku tak mengerti, ada yang tak bisa aku terima dari kejadian itu

kutarik headset di saku. Seketika lagu country mengalun memenuhi kepalaku