32
USUL RANCANGAN PENELITIAN UNTUK PENYUSUNAN STUDI KASUS A. Judul : STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-X/2012 MENGENAI KETIDAKPASTIAN USIA PENSIUNAN KEPANITERAAN DALAM PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI. B. Pelaksana Penelitian 1. Nama : Ruli Rizki 2. NIM : 0903101020052 3. Angkatan Tahun : 2009 4. Jumlah SKS yang diperoleh : 145 SKS 5. Sudah/belum lulus Mata kuliah : Belum 6. Alamat : Jln, Soekarno Hatta, 1

Proposal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

proposal hukum

Citation preview

USUL RANCANGAN

PENELITIAN UNTUK PENYUSUNAN STUDI KASUS

A. Judul :STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-X/2012 MENGENAI KETIDAKPASTIAN USIA PENSIUNAN KEPANITERAAN DALAM PERADILAN MAHKAMAH KONSTITUSI.B. Pelaksana Penelitian1. Nama

: Ruli Rizki2. NIM

: 09031010200523. Angkatan Tahun

: 20094. Jumlah SKS yang diperoleh

: 145 SKS5. Sudah/belum lulus Mata kuliah

: Belum6. Alamat

: Jln, Soekarno Hatta, Lamsayeun, Kec, Ingin Jaya,

Aceh Besar.

C. Latar Belakang Pemilihan KasusMahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka serta mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar 1945).Selanjutnya Mahkamah Konstitusi ini juga merupakan lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang merupakan hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai organ konstitusi, lembaga ini didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus menjadi penafsir terhadap Undang-Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Mahkamah konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin agar tidak ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor Undang-Undang Dasar, sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu Undang-Undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa semua kegiatan dalam praktek ketatanegaraan harus didasarkan atas hukum, termasuk pula dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini praktek ketatanegaraan tersebut harus didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang4. Peraturan Pemerintah5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi dan7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota .

Dari pasal tersebut terlihat bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menduduki tempat tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga konsekuensi dari adanya tingkatan hierarki tersebut adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian untuk menjamin penyusunan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan konstitusi, maka harus dilakukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingsrecht).

Adanya hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar suatu Negara. Pengujiannya dapat dilakukan secara materil dan formil, pengujian materil adalah pengujian atas materi Undang-Undang, sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari Undang-Undang yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan dari Undang-Undang Dasar. Yang diuji dapat terdiri hanya satu bab, satu pasal, ataupun satu kata dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan Undang-Undang, apakah telah megikuti prosedur yang berlaku atau tidak. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.Di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa :Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.Oleh karena kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi terutama yang berkaitan mengenai menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Maka dalam hal ini, siapapun yang merasa hak konstitusionalnya di rugikan atau dilanggar oleh berlakunya suatu Undang-Undang, maka dalam hal ini mereka dapat disebut sebagai pemohon untuk mengajukan gugatannya kepada Mahkamah Konstitusi.

Didalam kasus pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 7A ayat (1) yang menyatakan bahwa : Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.Sangatlah jelas, bahwa dalam pasal tersebut tidak ada penjelasan terkait usia pensiunan Kepaniteraan, yang di dalamnya terdiri dari Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Akibat dari ketidakpastian usia pensiunan dalam pasal tersebut, para pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan, karena para pemohon yang tidak tertutup kemungkinan untuk akan bekerja di Mahkamah Konstitusi melalui proses rekruitmen yang terbuka, dengan usia mereka retatif muda dan masih memungkinan untuk membina karir dalam dunia peradilan.

Selanjutnya salah seorang pemohon merupakan mantan Panitera Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 143/M Tahun 2008, kemudian diberhentikan secara hormat dengan Keputusan Presiden Nomor 19/M Tahun 2011 tanggal 18 Januari, karena pada tanggal 3 September 2010 pemohon genap berusia 56 tahun sehingga dengan sendirinya harus pensiun sebagai pegawai negeri dan secara serta merta juga harus berhenti dari jabatan Panitera Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan yang jelas terhadap usia pensiunan panitera yang seharusnya diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi.

Apabila kita merujuk pada jabatan Kepaniteraan (Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti) pada badan peradilan yang berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung yang secara jelas menetapkan batas usia pensiun yaitu 60 tahun bagi jabatan panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada badan peradilan tingkat pertama dan 62 tahun bagi jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada badan peradilan tingkat banding, maka oleh karena demikian pemohon seharusnya belum pensiun dari pegawai negeri dan berhenti dari jabatannya sebagai Panitera Mahkamah Konstitusi, dengan demikian pemohon telah mengalami kerugian hak konstitusionanya.

Dengan adanya ketidakpastian usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti, yang seharusnya diatur dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah melahirkan suatu ketidakpastian hukum bagi Pemohon yang bertentangan dengan jiwa dan muatan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

Berdasarkan alasan-alasan hukum diatas dengan didukung oleh alat-alat bukti yang telah di sampaikan oleh pemohon, para pemohon merasa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 7A ayat (1), selanjutnya para pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan :1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya2. Memutuskan dan menyatakan bahwa sepanjang Pasal 7A ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ditafsir sebagai Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, dengan usia pensiun 62 tahun.

3. Menyatakan bahwa sepanjang Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang ditafsir sebagai "Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, dengan usia pensiun 62 tahun.

4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.Atau apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.Setelah menimbang, memeriksa semua bukti yang ada, dan setelah mendengarkan keterangan saksi ahli, maka Mahkamah Konstitusi dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, memutuskan :1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya

2. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya.3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.D. Kasus Posisi

Permohonan gugatan judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi di ajukan oleh sekelompok Sarjana Hukum yang diantaranya adalah DR. A. Muhammad Asrun, S.H.,M.H, M. Jodi Santoso, S.H, Nurul Anifah, S.H, dan DR. Zainal Arifin Hoesein, S.H.,M.H yang kesemuanya berprofesi di bidang Advokat.

Adapun duduk perkara dari permohonan uji materil ini sebagai berikut :

1. Bahwa para Pemohon adalah warga negara Republik Indonesia yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak perorangan yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh karena ketidakjelasan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 terkait usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti, karena penjelasan Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 hanya mengatakan "Cukup jelas".

2. Bahwa karena adanya ketidakpastian usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti, yang seharusnya diatur dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, melahirkan satu ketidakpastian hukum bagi Pemohon yang bertentangan dengan jiwa dan muatan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 27 ayat (1) ) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.3. Bahwa ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sejalan dengan prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil," sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.4. Menurut Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Kepaniteraan mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan teknis administrasi justisial kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya, Kepaniteraan menyelenggarakan fungsi:Koordinasi pelaksanaan teknis administratif justisial, pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara, pembinaan pelayanan teknis kegiatan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pelaksanaan pelayanan teknis kegiatan pengambilan putusan mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, pembubaran partai politik, perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004.5. Panitera dan Panitera Pengganti Mahkamah adalah jabatan fungsional di lingkungan Kepaniteraan Mahkamah yang merupakan aparatur Pemerintah yang di dalam menjalankan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (Pasal 1, Pasal 6, dan Pasal 10 ayat (5) Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004). Beberapa penjelasan tersebut di atas bila dikaitkan dengan Peraturan Perundang-undangan terkait Kekuasaan Kehakiman memperlihatkan bahwa Panitera dan Panitera Pengganti adalah jabatan fungsional serta ada pengaturan usia pensiunnya. Pemahaman jabatan fungsional dikaitkan dengan kepentingan perlunya pengaturan usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti, maka sudah seharusnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 juga mengatur usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti. Oleh karena tidak disebutkan usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti, maka para Pemohon memandang perlu Mahkamah Konstitusi memberi tafsir terhadap Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, sedangkan usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Pengganti di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara secara eksplisit diatur batasan usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti.

6. Ketidakjelasan pengaturan usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Pengganti Mahkamah akan membawa akibat terhadap masa depan karir mereka di Mahkamah. Ketidakjelasan masa depan jelas tidak akan memacu prestasi kerja, tidak menstimulir perlombaan pencapaian prestasi kerja yang optimal, dan pada akhirnya memacu rasa frustasi. Hal-hal negatif seperti ini pada gilirannya akan membawa ritme tidak memuaskan dalam pelayanan kepada para pencari keadilan yang datang ke Mahkamah. Disitulah letak kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon7. Pasal 38A Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan : Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara diberhentikan dengan hormat dengan alasan :Meninggal dunia, atas permintaan sendiri secara tertulis, sakit jasmani atau rohani secara terus menerus, telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, dan/atau, ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.8. Pasal 38A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa : Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alasan :Meninggal dunia, atas permintaan sendiri secara tertulis, sakit jasmani atau rohani secara terus menerus, telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, dan/atau, ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.9. Pasal 36A Undang-undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat dengan alasan :Meninggal dunia, atas permintaan sendiri secara tertulis, sakit jasmani atau rohani secara terus menerus, telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, dan/atau, ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.10. Apabila Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tidak ditafsirkan batas usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti Mahkamah adalah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, maka akan menimbulkan ketidakpastian dalam hal usia pensiun. Hal ini sangat jelas menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon karena bagaimana mungkin pelayanan peradilan akan diberikan secara maksimal manakala suasana psikologis/kebatinan Panitera dan Panitera Pengganti terganggu akibat ketidakjelasan masa depan Panitera dan Panitera Pengganti dalam meniti karir di Mahkamah Konstitusi.11. Bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional akibat tidak diaturnya usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti dalam Pasal 7A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, di mana batas usia pensiun Panitera dan Panitera Pengganti pada Peradilan Agama, Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang terkait. Problamatik hukum yang merugikan warga negara tersebut, termasuk terhadap diri para Pemohon, akan terus berlanjut merugikan hak konstitusional para Pemohon berupa pelanggaran hak-hak sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :

a. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum.b. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.c. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa:Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.d. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.E. Masalah Hukum

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :1. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 ?2. Bagaimana Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 ?F. Ruang Lingkup dan Tujuan PenulisanRuang lingkup dan tujuan penelitian ini dibatasi pada aspek keabsahan yuridis dari putusan judicial review Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan dan memahami dasar pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/20122. Untuk memahami dan menganalisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012.G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat perskriptif (analisis data) dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian yuridis normatif yakni penelitian perpustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data sekunder yaitu melalui serangkaian kegiatan membaca, mengutip, doktrin-doktrin, referensi serta menelaah perundang undangan yang berkaitan dengan objek penelitian.Jenis data yang digunakan adalah data yang mencakup:1. Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer diperoleh dari bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusic. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umumd. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agamae. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.2. Bahan Hukum Sekunder :Bahan hukum sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari buku-buku, pendapat ahli hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan masalah yang dibahas.3. Bahan Hukum Tersier :Bahan hukum tersier diperoleh dari bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal ilmiah.

H. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan melalui studi kepustakaan (library research). Dengan mempelajari buku literatur, majalah, bulletin, jurnal dan surat kabar, serta mempelajari peraturan perundang undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.I. Cara Menganalisis Data

Setelah data dikumpul, data tersebut di indentifikasi, diolah dan dianalisis, kemudian disusun dalam suatu bentuk karya dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Karena sebagai sumber datanya hanya menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. J. Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut:

a. Persiapan penelitian : 15 hari

b. Pengumpulan data

: 20 hari

c. Pengelolaan data

: 20 hari

d. Analisa Data

: 20 hari

e. Penyusunan skripsi

: 35 hari

Jumlah

: 110 hari

KERANGKA PENULISAN STUDI KASUSABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BABI: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Kasus

B. Kasus Posisi

C. Masalah Hukum

D. Ruang Lingkup dan Tujuan Pembahasan

E. Metode Penelitian

F. Sistematika Pembahasan

BABII: TINJAUAN YURIDIS DAN RINGKASAN PUTUSAN

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-UndangB. Ringkasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012BAB III

:.TINJAUAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ..........................NOMOR 34/PUU-X/2012

A. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012

B. Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012BABIV: PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKAA. Buku-buku Abu Daud Busroh. Bakar Busroh. Azaz-azaz Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta 1985.Fatkhurohman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, P.T. Alumni Bandung, Bandung, 2008.

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan dan Peran Makamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Makamah Konstitusi Republik Indonesia, Surakarta, 2009.Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH UII Press, 2004.

---------, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006.---------,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

Khudzaifah Dimyati. Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Bahan Kuliah MPH), Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004Ojak Nainggolan, Pengantar Ilmu Hukum, Indonesia Media dan Law Policy Center, 2005.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana 2007

Soewoto Mulyosudarmo,Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,In-Trans, Malang, 2004.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2012 Tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.C. PutusanPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor :34/PUU-X/2012.D. Karya Ilmiah, Media Massa, dan Media On-LineJimly Asshiddiqie, Makalah, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, disampaikan dalam kuliah umum di Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2004.www.Mahkamah Konstitusi, diakses sabtu 29 September 2012 pukul 14.35 wib. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hal. 322.

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sisitem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Surakarta, 2009, hal. 12.

Ojak Nainggolan, Pengantar Ilmu Hukum, Indonesia Media dan Law Policy Center, 2005, hal. 43.

Jimly Asshiddiqie, Makalah, Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, disampaikan dalam kuliah umum di Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2 September 2004, hal, 13.

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta, FH UII Press, 2004, hal, 88.

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

1 | Page20