Upload
deco-luph-myabi
View
598
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROPOSAL PENELITIAN
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN HEURISTIK VEE
TERHADAP HASIL BELAJAR SAINS SISWA KELAS III SD
SE-GUGUS 3 KECAMATAN MENDOYO, KABUPATEN
JEMBRANA TAHUN PELAJARAN 2012/2013
OLEH :
I GEDE EKA RAI BAWA (0911021053)
Dosen Pengampu Mata Kuliah:
Prof. Dr. Anak Agung Gede Agung, M.Pd.
Dr. I Made Tegeh, S.Pd, M.Pd.
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2012
A. Judul : Pengaruh Model Pembelajaran Heuristik Vee terhadap Hasil Belajar
Sains Siswa Kelas III SD Se-Gugus 3 Kecamatan Mendoyo, Kabupaten
Jembrana Tahun Pelajaran 2012/2013
B. Latar belakang
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta dalam rangka
meningkatkan pembangunan bangsa, diperlukan sumber daya manusia yang
berkualitas. Salah satu faktor yang dapat ditingkatkan untuk mencapai tujuan
bangsa tersebut adalah faktor di bidang pendidikan. Pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan pelatihan bagi peranannya di masa depan. Dalam hal ini pendidikan sangat
menentukan tercapainya sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan dapat
membangun bangsa ke depan.
Salah satu kebijakan pendidikan yang dituangkan dalam Propenas 1999-
2004 adalah peningkatan mutu pendidikan nasional. Pemerintah dan berbagai
instansi pemerintah, telah melakukan renovasi dan reformasi sistem pendidikan
untuk meningkatkan mutu kelulusan. Pembaharuan dalam bidang pendidikan,
seperti: (1) perubahan dan penyempurnaan kurikulum secara berkesinambungan,
(2) program pelatihan dan penataran guru-guru (SD, SLTP, dan SMU), (3)
kerjasama LPTK dengan lembaga pendidikan formal melalui program ASD, (4)
program musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), (5) proyek peningkatan
kualitas guru melalui program penyetaraan, (6) Bantuan pemerintah berupa Dana
BOS untuk memenuhi fasilitas sekolah.
Selain itu program yang sudah dikembangkan oleh pemerintah sebagai
upaya untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia adalah mengadakan program
sertifikasi guru. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik
kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk
(1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik
profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan
kesejahteraan guru, dan (4) meningkatkan martabat guru dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu (Dikti, 2009).
Sertifikasi guru diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk
peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru
yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru
yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan
pegawai negeri sipil (Dikti, 2009).
Dasar hukum pelaksanaan sertifikasi guru berdasarkan Dikti (2009)
adalah: a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; c)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan; d) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2005
tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik; e) Peraturan Pemerintah
No. 74 Tahun 2008 tentang Guru; f) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang sedang
dalam proses perubahan Kepmendiknas yang baru; g) Peraturan Mendiknas
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan melalui Jalur
Pendidikan; h) Keputusan Mendiknas Nomor 056/O/2007 tentang Pembentukan
Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG); i) Keputusan Mendiknas Nomor 057/O/2007
tentang Penetapan Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Guru dalam
Jabatan yang sedang dalam proses perubahan Kepmendiknas yang baru.
Sertifikasi guru bertujuan untuk membentuk guru yang profesional, dengan guru
yang profesional pemerintah mengharapkan mutu pendidikan di Indonesia dapat
meningkat.
Dilihat dari segi perencanaan, pemerintah berupaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan dengan cara melakukan pembaharuan kurikulum. Sampai saat
ini terdapat beberapa perubahan kuriukulum dari kurikulum 1994 menjadi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004 yang kembali
mengalami revisi menjadi kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Kuriukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan paradigma
baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pemberlakuan KTSP diharapkan
mampu membawa perbaikan di dunia pendidikan dimana salah satu cerminan
kualitas pendidikan di sekolah adalah hasil belajar peseta didik. KTSP
mengharapkan agar peserta didik belajar secara aktif dan mewajibkan guru dalam
melaksanakan pembelajaran menyesuaikan dengan kondisi sekolah yang ada.
Namun sampai sekarang masih saja terdapat beberapa permasalahan
formal yang menyebabkan pendidikan di Indonesia menduduki peringkat 65 pada
tahun 2010 dan peringkat 69 pada tahun 2011 dari 127 negara di dunia. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat penurunan pada kualitas pendidikan Indonesia dari
tahun 2010 sampai 2011 bahkan yang lebih menyedihkan lagi peringkat Indonesia
berada di bawah Malaysia yang menduduki peringkat 65 pada tahun 2011
(Napitupulu, 2011).
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia erat kaitannya dengan masalah
proses pembelajaran yang pada hakekatnya adalah proses komunikasi yaitu proses
penyampaian pesan atau pikiran dari seseorang kepada orang lain yang di
dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Salah satu kegiatan tersebut di
antaranya adalah penyampaian materi pelajaran. Penyampaian materi pelajaran
adalah kegiatan yang penting dalam proses pembelajaran, karena proses belajar
mengajar menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran yang
berlangsung.
Proses penyampaian materi pelajaran merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, faktor terpenting yang
harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang baik adalah
pendidik itu sendiri. Guru merupakan salah satu profesi yang berlandaskan
intelektual. Dalam melakukan profesi tersebut dituntut adanya kemampuan yang
mantap dan digunakannya pertimbangan yang rasional. Agar dapat melakukan
profesi tersebut, guru harus mendapatkan pendidikan terstruktur yang
mempelajari teknik dan prosedur ilmiah sebagai spesialisasi dari jabatan
intelektual tersebut sehingga dapat memberikan pelayanan yang meyakinkan dan
memperoleh kepercayaan dari pihak yang memerlukannya. Sebagai sebuah
profesi, guru dibebani beberapa tugas yang harus dilaksanakan dengan melandasi
atas panggilan hati nurani, ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang
bertumpu pada pengabdian dan sikap kepribadian yang mulia.
Seorang guru memiliki fungsi utama untuk membelajarkan, mendidik,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Dalam menjalankan tugasnya, guru secara langsung berhubungan dengan
kepentingan dan kebutuhan peserta didik untuk tumbuh dan berkembang ke arah
kedewasaan dan kemandirian melalui proses pembelajaran. Melalui interaksi
edukatif antara guru dengan peserta didik akan dapat mengembangkan proses
kognitif, afektif, dan psikomotorik sehingga dihasilkan suatu hasil belajar yang
berguna untuk masa depan anak didik, masyarakat, dan bangsa. Selain itu, guru
juga dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) dengan dukungan fasilitas yang ada.
Cara pembelajaran guru juga sangat menentukan kualitas dari output yang
dihasilkan. Kebiasaan umum pendidik dalam cara mengajar hanyalah ceramah.
Pada cara pembelajaran ceramah, guru hanya mengaktifkan ingatan jangka
pendek “short term memory” peserta didik dan tidak memotivasi peserta didik
untuk aktif dalam pembelajaran, sehingga peserta didik tidak memahami lebih
mendalam apa yang telah diajarkan. Sedangkan pada cara mengajar dengan
diskusi, hanya menekankan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran. Cara ini
terkadang mampu merespon memori peserta didik dalam jangka waktu panjang
tetapi kebanyakan cara mengajar diskusi hanya sebagai variasi mengajar agar
kelas menjadi lebih hidup. Kedua cara tersebut belum efektif dalam meningkatkan
kualitas peserta didik untuk memahami materi yang telah diajarkan oleh guru.
Cara mengajar guru tersebut digunakan pada SD di Gugus 3 Kecamatan
Mendoyo, Kabupaten Jembrana berdasarkan obsevasi dan wawancara yang telah
peneliti lakukan dengan guru mata pelajaran yang memegang mata pelajaran
Sains. Hal ini menyebabkan dampak negatif pada hasil belajar mereka.
Rendahnya hasil belajar Sains, dapat dilihat dari banyaknya peserta didik yang
harus mengikuti remidi setelah diberikanya tes oleh guru.
Rendahnya nilai rata-rata ulangan harian yang diperoleh peserta didik yang
berada di SD Se-gugus 3 disebabkan oleh cara mengajar guru yang cenderung
menggunakan metode konvensional mengakibatkan peserta didik tidak bisa
bereksplorasi dalam artian tidak bisa menggali pengetahuan sendiri berdasarkan
petunjuk-petunjuk dari guru. Hal tersebut berdampak pada pengetahuan yang
dimiliki peserta didik tidak bersifat “long term memory” sehingga tidak jarang
ada peserta didik yang sudah melupakan pembelajaran dengan begitu cepat karena
konsep yang dimiliki hanya bersifat hafalan, bukan pemahaman.
Para ahli pendidikan telah banyak mengemukakan dan mengenalkan
model-model pembelajaran yang inovatif yang bertujuan untuk
mengefektifitaskan proses belajar mengajar. Sarya (dalam Wibawa, 2010:1481)
berpendapat setiap proses belajar mengajar menuntut upaya penyampaian suatu
tujuan tertentu. Arends (dalam Wibawa, 2010:1481) juga berpendapat setiap
tujuan menuntut pula suatu model bimbingan untuk terciptanya suatu model
bimbingan untuk terciptanya situasi belajar tertentu. Pada proses belajar mengajar,
tidak ada suatu model yang paling baik. Dari hal tersebut, guru perlu menguasai
dan dapat menerapkapkan berbagai model pembelajaran agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang beranekaragam. Bermodalkan kemampuan
melaksanakan berbagai model pembelajaran, guru dapat memilih model yang
sesuai dengan lingkungan belajar serta kelompok peserta didik tertentu. Memilih
suatu model pembelajaran, guru harus berorientasi pada tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai, dan tidak sesuai materi harus diajarkan dengan model yang sama.
Berdasarkan pandangan dan indentifikasi masalah yang telah diuraikan di
atas, maka perlu dilakukan upaya perancangan pembelajaran dengan
menggunakan berbagai model pembelajaran untuk dapat meningkatkan hasil
belajar Sains. Untuk maksud tersebut akan dirancang model pembelajaran
Heuristik Vee terhadap hasil belajar Sains.
Model Heuristik Vee merupakan salah satu model yang dikembangkan
oleh Gowin sejak tahun 1977 sebagai suatu pendekatan untuk membantu peserta
didik dalam memahami struktur pengetahuan dan proses berbagai pengetahuan
dikonstruksikan (Suastra, 2009).
Beberapa kelebihan model Heuristik Vee yaitu (1) Konstruksi Heuristik
Vee dapat membantu peserta didik dalam menangkap makna pada praktek-praktek
laboratorium yang sebelumnya telah diterapkan fokus-fokus pertanyaan yang
menuntut peserta didik berpikir reflektif. (2) Model Heuristik Vee membantu
peserta didik menemukan konsep antara apa yang mereka miliki atau ketahui
dengan pengetahuan baru yang berusaha dikonstruksi atau dipahami. (3) Model
Heuristik Vee juga memiliki nilai psikologis sebab pendekatan Heuristik Vee
tidak hanya mendorong belajar secara bermakna, tetapi juga membantu peseta
didik memahami proses penemuan pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk meningkatkan hasil belajar
peserta didik kelas III, maka dikembangkan pembelajaran dengan Model
Heuristik Vee. Peneliti menuangkan ide ini ke dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Heuristik Vee terhadap Hasil Belajar IPA Siswa
Kelas III Se-Gugus 3, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana Tahun
Pelajaran 2012/2013”. Dengan adanya penelitian tersebut, diharapkan hasil
belajar peserta didik meningkat sehingga pada nantinya peserta didik memiliki
pengetahuan lebih dan sikap ilmiah untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi sehingga mutu pendidikan bisa menjadi lebih baik.
C. Identifikasi masalah
Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan yang dapat
diidentifikasi, antara lain Rendahnya hasil belajar peserta didik kelas III pada
pelajaran Sains, rendahnya aktivitas ilmiah peserta didik pada pelajaran Sains,
kurang bervariasinya model pembelajaran yang digunakan oleh guru pada saat
proses belajar mengajar sehingga rendahnya hasil belajar mata pelajaran Sains,
sistem pembelajaran berpola satu arah (teacher centered), rendahnya motivasi
yang dimiliki oleh peserta didik untuk belajar, kurang aktifnya peserta didik
dalam proses belajar mengajar baik dalam menjawab pertanyaan maupun
mengajukan pertanyaan.
D. Pembatasan Masalah
Sebagaimana yang telah diuraikan pada identifikasi masalah diatas maka
tampak jelas permasalahan perilaku belajar peserta didik sangatlah kompleks
sehingga perlu dilakukkan penelitian yang komperhensif serta mendalam. Akan
tetapi menyadari keterbatasan peneliti, baik keterbatasan waktu, tenaga, maupun
biaya maka subjek penelitian ini hanya dibatasi pada hasil belajar peserta didik
dalam mata pelajaran Sains
E. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan
masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “Apakah ada
perbedaan hasil belajar sains yang signifikan atara kelompok siswa yang
dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Heuristik Vee dengan
kelompok yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional pada siswa kelas III di SD Se-gugus 3 Kecamatan Mendoyo,
Kabupaten Jembrana Tahun Pelajaran 2012/2013?”
F. Tujuan Penelitian
Secara operasional tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaaan hasil belajar sains yang signifikan atara kelompok siswa
yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Heuristik Vee
dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran
konvensional pada siswa kelas III di SD Se-gugus 3 Kecamatan Mendoyo,
Kabupaten Jembrana Tahun Pelajaran 2012/2013.
G. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik dari segi teoritik
maupun dari segi praktis. Dari segi teoritik, hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan dalam bidang pendidikan terutama dalam memperbaiki kualitas
pembelajaran sains di SD dan dapat melatih kemampuan keterampilan kerja
ilmiah peserta didik. Dari segi praktis, manfaat yang diperoleh adalah sebagai
berikut.
1. Bagi guru, penerapan model heuristik Vee diharapkan dapat menjadi alternatif
model pembelajaran untuk menciptakan situasi kondusif dalam proses
pembeajaran sehingga mutu pendidikan sains meningkat.
2. Bagi peserta didik, penelitian ini bermanfaat untuk melatih peserta didik agar
lebih aktif dalam proses bejar mengajar.
3. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh pengalaman
langsung tentang melakukan penelitian eksperimen dan dapat digunakan
sebagai acuan untuk mengajar ketika telah lulus dari perguruan tinggi.
H. Kajian Pustaka
1.1 Pembelajaran Sains
Sains merupakan bagian kehidupan manusia dari sejak manusia itu
mengenal diri dan alam sekitarnya (Suastra, 2009:1). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa sains merupakan pengalaman individu manusia yang oleh
masing-masing individu itu dirasakan atau dimaknai berbeda atau sama. Sains
berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,
sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa
fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan
suatu proses penemuan. Pendidikan sains diharapkan dapat menjadi wahana
bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi
dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan sains diarahkan untuk
inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Permendiknas No.22
Tahun 2006).
Sains diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan sains perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan
pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat)
yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu
karya melalui penerapan konsep sains dan kompetensi bekerja ilmiah secara
bijaksana. Suastra (2009) juga berpendapat tujuan dari pembelajaran sains di
SD yaitu: (1) memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan keberadaan keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (2)
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3)
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya
hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan, teknologi, dan
masyarakat, (4) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (5) meningkatkan
kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan
lingkungan alam, (6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan
segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaa Tuhan, (7) memperoleh bekal
pengetahuan, konsep dan keterampilan sains sebagai dasar untuk melanjutkan
pendidikan ke SMP/MTs.
Pembelajaran sains sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah
(scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan
bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting
kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran sains di SD/MI menekankan
pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan
pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan sains mencakup dua
dimensi yaitu dimensi sains sebagai produk dan sains sebagai proses. Sains
sebagai produk merupakan kumpulan pengetahuan yang berupa konsep-
konsep, prinsip-prinsip (generalisasi), fakta, teori, dan hukum-hukum. Artinya
substansi sains perlu dikuasai oleh peserta didik melalui pendidikan.
Penguasaan peserta didik terhadap sains mempermudah peserta didik dalam
pemecahan masalah dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Sedangkan Sains sebagai proses berisi sekumpulan keterampilan-
keterampilan sains meliputi: mengamati, mengklarifikasi, mengukur/
melakukan pengukuran, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis,
merencanakan percobaan, menginterpretasikan hasil pengamatan dan
berkomunikasi.
1.2 Tujuan Pembelajaran Sains
Mata Pelajaran Sains di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara sains, lingkungan,
teknologi dan masyarakat
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan alam
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan sains sebagai
dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs (Permendiknas No.22
Tahun 2006).
1.3 Ruang Lingkup Pembelajaran Sains di SD
Ruang Lingkup bahan kajian sains untuk SD/MI meliputi aspek-aspek
berikut.
1. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan
2. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
3. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik,
cahaya dan pesawat sederhana
4. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya (Permendiknas No.22 Tahun 2006).
2. Model Pembelajaran Heuristik Vee
2.1 Pengertian Heuristik Vee
Kata Heuristik Vee Berasal dari bahasa Yunani yaitu heuriskein yang
berarti “saya menemukan”. Pengertian ini menurut Rusman (dalam suryatini,
2010) adalah fakta psikologis yang muncul sebagai kodrat manusia yang
memiliki nafsu menyelidiki dari sejak bayi. Keinginan memperoleh
pengetahuan dan informasi dari orang lain adalah dorongan yang terdapat pada
setiap manusia. Candiasa (dalam Ariana, 2011) mendefinisikan proses heuristik
sebagai aturan dengan tujuan utama mengurangi proses pencarian
penyelesaian. Sejalan dengan pendapat diatas Salim (dalam Suastra, 2009:127)
menyatakan bahwa Heuristik merupakan suatu cara yang dipakai untuk
memecahkan masalah dengan menggunakan prosedur-prosedur penemuan
dalam ilmu pengetahuan. Sedangkan Vee dalam Heuristik Vee merupakan
diagram yang berbentu “V”. Jadi Heuristik Vee dapat diartikan sebagai cara
memecahakan masalahdengan menggunakan prosedur-prosedur penemuan
dalam ilmu sains yang dituangkan dalam diagram “V” .
Model pembelajaran Heuristik Vee dikembangkan oleh Gowin sejak tahun
1977 sebagai suatu model untuk membantu peserta didik dalam memahami
struktur pengetahuan dan proses bagaimana pengetahuan dikonstruksi (Suastra,
2009). Model pembelajaran Heuristik Vee merupakaan suatu cara yang dipakai
untuk memecahakan masalah dengan prosedur-prosedur penemuan dalam ilmu
pengetahuan alam (Suastra, 2009). Model pembelajaran Heuristik Vee
dikembangkan untuk melihat secara jelas sifat dan maksud dari praktek-
praktek laboratorium. Menurut Novak & Gowin (dalam Wibawa, 2009:18)
pengkonstruksian pengetahuan pada model pembelajaran Heuristik Vee
dikembangkan melalui lima buah pertanyaan yaitu: (1) apakah fokus
pertanyaan? (2) apakah konsep-konsep pokoknya? (3) metode inkuiri apakah
yang dikembangkan? (4) pertanyaan pokok apakah yang diklaim? (5) nilai
apakah yang diklaim?
Sisi Konseptual Pertanyaan Kunci Sisi Metodelogi
Teori yang sesuai Pengetahuan/Nilai
Prinsip-prinsip Transpormasi Data
Konsep-konsep Catatan (Record)
Kejadian/Objek
Gambar 1.1 Diagram Vee (Novak & Gowin, 1985)
(dalam Wibawa, 2009:18)
Gambar Diagram Vee diatas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian
kiri Diagram Vee adalah sisi konseptual dan bagian kanan adalah sisi
metodologi. Pada sisi konseptual (sebelah kiri “V”) berisi teori-teori, prinsip-
prinsip, dan konsep-konsep. Teori dibangun dari prinsip-prinsip dan prinsip
dibangun oleh konsep-konsep. Gagasan atau sejenis “teori anak” mengenai
pristiwa-pristiwa alam perlu dibuktikan kebenarannya dengan mengamati suatu
objek atau pristiwa-pristiwa (bagian bawah “V”) melalui suatu percobaan. Pada
sisi metodelogi (sisi kanan “V”) berisi catatan-catatan yang harus dibuat,
trasformasi, serta klaim pengetahuan (generalisasi dan nilai). Pembuatan
catatan perlu mempertimbangkan konsep dan catatan yang dibuat sesuai. Pada
bagian atas “V” diletakan pertanyaan kunci yang berfungsi untuk menuntun
siswa dalam melakukan penyelidikan (Suastra, 2009).
Novak & Gowin (dalam Wibawa, 2009:19) menyatakan bahwa manusia
memiliki suatu kebutuhan untuk mempelajari pengetahuan mengenai
bagaimana pengetahuan diproduksi atau dihasilkan. Model pembelajaran
Heuristik Vee adalah alat untuk memperoleh pemahaman bagaimana
pengetahuan dikonstruksi serta digunakan. Di laboratorium IPA, peserta didik
mungkin terbuai ketika mencatat kejadian atau objek dan
mentransformasikannya dalam grafik, tabel, dan mengemukakan pengetahuan
atau generalisasi. Peserta didik jarang secara sadar menetahui mengapa suatu
peristiwa terjadi karena peserta didik jarang mengunakan konsep, prinsip, teori
yang relevan dalam memahami suatu kejadian atau objek. Hal ini juga disebab
oleh tidak adanya saling keterkaitan antara pemikiran peserta didik (bagian kiri
Heuristik Vee) dengan kegiatan peserta didik (bagian kanan Heuristik Vee).
Akibatnya, praktek dilaboratrium sering menjadi hal yang tidak bermakna.
Balajar sains bukanlah pembelajaran yang bersifat hafalan saja tapi perlu
pemahan darimana suatu konsep itu didapat dan pembelajaran sains juga tidak
bisa dimana guru bisa mentrasfer ilmu yang dimiliki secara utuh kepada
peserta didik oleh karena itu model konstruktivis mengkehendaki pergeseran
pandangan guru yang dulunya guru sebagai sumber informasi sekaran hanya
menjadi seorang fasilitator sehingga dalam proses pembelajaran siswa lebih
aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2.2 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Heuristik Vee
Kelebihan model pembelajaran Heuristik Vee menurut Suastra (dalam
Sudarma, 2011) adalah sebagai berikut
1. Konstruksi Heuristik Vee dapat membantu peserta didik dalam menangkap
makna pada praktek-praktek laboratorium yang sebelumnya telah
diterapkan fokus-fokus pertanyaan yang menuntut peserta didik berpikir
reflektif.
2. Model Heuristik Vee membantu peserta didik menemukan konsep antara
apa yang mereka miliki atau ketahui dengan pengetahuan baru yang
berusaha dikonstruksi atau dipahami.
3. Model Heuristik Vee juga memiliki nilai psikologis sebab model Heuristik
Vee tidak hanya mendorong belajar secara bermakna, tetapi juga
membantu peseta didik memahami proses penemuan pengetahuan (dalam
Suastra, 2009: 21).
Selain terdapat kelebihan dari model ini, Heuristik Vee tentu memiliki
kelemahan yaitu.
1. Terkadang pembelajaran di laboraturium bisa berbahaya, jika siswa teledor
dan tidak mengikuti tata tertib maka kemugkinan akan tejadi kecelakaan
baik disengaja maupun tidak disengaja.
2. Memerlukan biaya yang cukup untuk penerapan model ini, karena tidak
semua sekolah memiliki ruang laboratorium sehingga memerlukan dana
untuk melengkapi sesuai dengan kegiatan penelitian yang akan dilakukan.
3. Bagi siswa yang kurang mampu mengikuti pembelajaran di sekolah akan
sulit mengikuti kegiatan laboratorium, sehingga kemungkinan besar tidak
semua berpartisipasi dalam kegiatan itu dan pembelajaran tersebut tidak
berjalan secara maksimal.
2.3 Tahap-Tahap Penerapan Model Heurisik Vee
Lima tahap model pembelajaran Heuristik Vee dalam pembelajaran sains
terangkum dalam Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Heuristik Vee
TAHAPAN PERILAKU GURU
Tahap 1
Orientasi
Guru memusatkan perhatian peserta didik
dengan menyebutkan beberapa fenomena
dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan
dengan topik yang akan dipelajari
Tahap 2
Pengungkapan Gagasan Peserta
didik
Guru meminta peserta didik untuk
mengungkapkan gagasan konseptual yang
dimilkinya dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang ada kaitanya dengan
kehidupan sehari-hari
Tahap 3
Pengungkapan permasalahan/fokus
pertanyaan
Guru mengajukan permasalahan yang
berkaitan dengan penyelidikan yang
dilakukan dalam bentuk pertanyaan kunci
Tahap 4
Pengkonstruksian pengetahuan
baru
Untuk mengkonstruksi pengetahuan baru
peserta didik diminta melakukan
eksperimen. Guru mengawasi siwa dan
memberikan bimbingan seperlunya. Guru
meminta peserta didik untuk memberikan
komentar terhadap hasil pengamatan serta
menuangkanya dalam diagram Vee
Tahap 5
Evaluasi
Untuk mengevaluasi gagasan mana yang
paling benar untuk menjelaskan fenomena
yang dipelajari dan pengkonstruksian
pengetahuan yang baru, peserta didik
diminta melakukan tanya jawab (diskusi)
yang dipandu oleh guru. Guru mencatat ide-
ide pokok yang sesuai dengan konsep
ilmiah dan mendiskusikan jawaban peserta
didik yang salah. Dengan demikian peserta
didik dapat melihat ketidak sesuaian
gagasan yang dimiliki sebelumnya dan
kemudian mengubahnya (merekonstruksi).
Suastra (dalam Wibawa, 2009:21)
Belajar menggunakan model pembelajaran Heuristik Vee adalah belajar
memecahkan masalah dengan menggunakan ide-ide atau konsep-konsep yang
telah dimiki oleh peserta didik sebelumnya yang dituangakan dalam diagram
Vee dan menggunakan prosedur-prosedur penemuan dalam ilmu sains.
3. Model Pembelajaran Konvensional
3.1 Pengertian Model Pembelajaran Konvensional
Model pembelajaran konvensional adalah suatu model pembelajaran yang
cenderung menekankan guru sebagai pusat informasi (teacher centered).
Model pembelajaran tersebut masih didasarkan atas asumsi bahwa
pengetahuan dapat dipindah secara untuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Burowes (dalam Purnamiyati, 2011) menyatakan bahwa model konvensional
menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup
kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan,
menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya atau menerapkan pada
kehidupan nyata. Sejalan dengan pendapat diatas Sudjana (dalam Suryanti,
2010) menyatakan bahwa model pembelajaran konvensional merupakan
model pembelajaran yang menekankan penyampaian materi dari guru kepada
siswa. Pembelajaran ini lebih didominasi oleh guru dan siswa bersifat pasif
selama pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran konvensional dalam penerapannya guru mentrasfer
pengetahuan yang dimilikinya kepada peserta didik dengan teknik ceramah.
Menurut Winatapura dan Suherman (dalam Muhfida, 2008) metode ceramah
adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan Menurut St. Vembriarto (dalam
Muhfida, 2008) pengajaran tradisional adalah pengajaran yang diberikan pada
siswa secara bersama-sama. Sedangkan menurut Ruseffendi pengajaran
tradisional adalah pengajaran yang pada umumnya biasa kita lakukan sehari-
hari (dalam Muhfida, 2008).
Berdasarkan uraian diatas maka model pembelajaran konvensional adalah
upaya penyampaian pengetahuan dari guru kepada peserta didik secara lisan.
Dalam hal ini guru sebagai sumber informasi berperan aktif dalam proses
pembelajaran sedangakan peserta didik sebagai objek yang bersifat pasif
hanya mendengarkan dan menghafal pengetahuan yang ditrasfer oleh guru.
Model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah model pembelajaran yang digunakan oleh guru sehari-hari di kelas.
Secara umum, tahapan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar di
kelas konvensional adalah apersepsi, kegiatan Inti, dan penutup. Jadi,
pembelajaran konvensional kurang menekankan pada pemberian
keterampilan proses.
3.2 Tahap-Tahap Penerapan Model Konvensional
Tiga fase model pembelajaran konvensional terangkum dalam tabel 3.1
berikut.
Tabel 2.2 Sintaks Model Pembelajaran Konvensional
Fase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa
Apersepsi Menyampaikan pokok
bahasan atau materi yang
akan diberikan
Mendengarkan informasi yang
disampaikan dan menerima
materi baru
Kegiatan
Inti
Mendemonstrasikan
keterampilan atau
menyajikan materi tahp
demi tahap
Memperhatikan penjelasan
guru
Memberikan contoh soal
yang relevan dengan materi
yang diberikan
Mencatat soal
Menyuruh siswa
menyelesaikan soal-soal
yang ada dalam LKS
Menyelesaikan soal-soal yang
ada dalam LKS
Penutup Memberikan pekerjaan
rumah (PR)
Mencatat pekerjaan rumah
(PR)
Sumber: Wibawa (2009)
3.3 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Konvensional
Suatu model pembelajaran pastilah memiliki keunggulan dan kelemahan
dalam penerapannya, berikut adalah keunggulan model kovensional menurut
Mulyani Sumantri dan Johar Permana (dalam Agung, 2005) yaitu.
1. Murah dalam arti efisien dalam pemanfaatan waktu dan biaya dengan
seorang guru menhadapi peserta didik.
2. Mudah dalam arti materi dapat disesuaikan dengan keterbatasan waktu,
karakter peserta didik tertentu, pokok permasalahan dan keterbatasan
peralatan serta dapat disesuaikan dengan jadwal guru terhadap
ketersediaan bahan-bahan tulis.
3. meningkatkan daya dengar pesrta didik dan menumbuhkan minat belajar
dari sumber lain.
4. Memperoleh penguatan bagi guru dan peserta didik yaitu guru
memperoleh penghargaan kepuasan dan sikap percaya diri dari peserta
didik.
5. Memberikan wawasan yang luas daripada sumber lain karena guru dapat
menjelaskan topik dengan mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh model pembelajaran
konvensional yaitu
1. Dapat menimbulkan kejenuhan kepada siswa apalagi guru kurang dapat
mengorganisasikannya.
2. Menimbulkan verbalisme pada peserta didik.
3. Materi terbatas pada apa yang diingat oleh guru.
4. Merugikan peserta didik yang lemah dalam keterampilan mendengarkan.
5. Menjejali peserta didik dengan konsep yang belum tentu diingat terus.
6. Informasi yang disampaikan mudah usang dan ketinggalan jaman.
7. Tidak merangsang perkembangan kreativitas peserta didik.
8. Terjadi proses satu arah yaitu dari guru kepada siswa.
4. Hasil belajar
4.1 Pengertian Hasil Belajar
Oemar Hamalik (2011) mengatakan bahwa hasil belajar adalah bila
seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang
tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti
menjadi mengerti. Sedangkan Dimyati dan Moedjiono (dalam Agung,
2005:74) menyatakan bahwa “hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak mengajar atau tindak belajar”. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan
penting dalam proses pembelajaran. Hasil pengukuran belajar inilah akhirnya
akan sangat berguna bagi guru untuk mengetahui seberapa jauh tujuan
pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai.
Bloom merumuskan hasil belajar sebagai perubahan tingkah laku yang
meliputi domain (ranah) kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik.
Dalam ranah kognitif, hasil belajar tersusun dalam enam tingkatan. Enam
tingkatan tersebut ialah, (1) Pengetahuan atau ingatan, (2) Pemahaman,(3)
Penerapan, (4) Sintesis, (5) analisis dan (6) evaluasi. .
. Ranah psikomotorik terdiri dari lima tingkatan yaitu, 1) Peniruan
(menirukan gerak), 2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan
gerak), 3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar), 4) Perangkaian
(melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar), 5) Melakukan gerak
secara wajar (naturalisasi).
Terakhir ranah afektif terdiri dari lima tingkatan yaitu, 1) Pengenalan
(ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), 2) Merespon (aktif
berpartisipasi), 3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai
tertentu), 4) Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang
dipercaya) dan 5) Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari
pola hidup).
Oemar Hamalik (2001) menyatakan bahwa hasil belajar dalam kelas
harus dapat dilaksanakan kedalam situasi-situasi di luar sekolah. Dengan kata
lain, murid dapat mentrasfer hasil belajar itu kedalam situasi-situasi yang
sesungguhnya di dalam masyarakat. Tentang transfer hasil belajar, Oemar
Hamalik (2001) mengemukakan tiga teori, yaitu sebagai berikut.
1. Teori disiplin formal (The Formal Discripline theory)
Teori ini menyatakan, bahwa ingatan, sikap, pertimbangan , imajinasi,
dan sebagainya dapat diperkuat melalui latihan-latihan akademis. Mata
pelajaran- mata pelajaran seperti geometri bahasa latin sangat penting dalam
melatih daya pikir. Demikian pula halnya dengan daya pikir kritis, ingatan
pengamatan dan sebagainya dapat dikembangkan melalui latihan-latihan
akademis tadi.
2. Teori Unsur-Unsur yang Identik ( The Identical Elements Theory)
Trasfer tejadi apabila diantara dua situasi atau dua kegiatan terdapat
unsur-unsur yang bersamaan (identik). Latihan di dalam satu situasi
mempengaruhi perbuatan tingkah laku dalam situasi yang lainnya. Teori ini
banyak digunakan kursus latihan jabatan, dimana kepada peserta didik
diberikan respons-respons yang diharapkan diterapkan dalam situasi
kehidupan yang sebenarnya. Para ahli psikologi, banyak menekankan kepada
persepsi para peserta didik terhadap unsu-unsur yang identik ini.
3. Teori Generalisasi ( The Generalization Theory)
Teori ini merupakan revisi terhadap teori unsur-unsur yang identik.
Tetapi generalisasi menekankan kepada kompleksitas dari apa yang
dipelajari. Internalisasi daripada pengertian-pengertian, keterampilan, sikap-
sikap, dan apresiasi dapat mempengaruhi kelakuan seseorang. Teori ini
menekankan kepada pembentukan pengertian (Concept formation) yang
dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman lain. Transfer terjadi apabila
peserta didik menguasai pengertian-pengertian umum atau kesimplan-
kesimpulan umum, lebih daripada unsur-unsur yang identik.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat artikan bahwa hasil belajar
adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan
berulang-ulang serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan
tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam
membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik
lagi sehingga akan merubah cara berpikir.
4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Ngalin Purwato (dalam Agung, 2005: 76) menyatakan bahwa:
mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menjadi
dua kelompok yaitu: (1) faktor dalam diri siswa yang terdiri atas faktor
fisiologis (kondisi fisik, panca indra) dan faktor psikologis (minat, bakat,
kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif; (2) faktor dari luar diri
yang terdiri dari faktor lingkungan (alam dan sosial) serta faktor
instrumental (kurikulum, sarana, fasilitas, guru).
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Sumadi Suryabrata (dalam
Agung, 2005:76) yang menyatakan bahwa “faktor-faktor yang mempe-
ngaruhi hasil belajar dapat digolongkan menjadi dua yakni; faktor luar dan
faktor dalam diri siswa”.
Menurut Tabrani Rusyan (dalam Agung, 2005:76) “mengatakan bahwa
ada tiga faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu: (1) faktor kesiapan,
yaitu kapasitas baik fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu, (2)
motivasi, yaitu dorongan dari diri sendiri untuk melakukan sesuatu, (3) tujuan
yang ingin dicapai”.
Muhammad Ali (dalam Agung, 2005:76) menyatakan bahwa “faktor-
faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor guru, siswa, kurikulum
dan lingkungan. Keempat faktor tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut.
1). Faktor Guru
Setiap guru memiliki pola mengajar sendiri-sendiri.” Pola mengajar
ini tercermin dalam tingkah laku pada waktu mengajar atau
melaksanakan pengajaran. Gaya mengajar yang dilakukan guru
mencerminkan bagaimana pelaksanaan pengajaran guru
bersangkutan, yang dipengaruhi oleh pandangannya sendiri tentang
mengajar, konsep, psikologi dan kurikulum.
2). Faktor Siswa
Setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun
kepribadian, kecakapan yang dimiliki masing-masing itu meliputi
kecakapan potensial maupun kecakapan yang diperoleh dari hasil
belajar.
3) Faktor Kurikulum
Bahan-bahan pengajaran sebagai isi kurikulum mengacu kepada
tujuan yang hendak dicapai.
4) Faktor Lingkungan
Lingkungan meliputi kadaan ruangan, tata ruang dan berbagai situasi
fisik yang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya
proses belajar mengajar”.
Menurut Gagne (dalam Agung, 2005:76) “hasil belajar dipengaruhi
faktor internal (yang berasal dari dalam diri orang yang belajar) dan faktor
eksternal (dari luar diri si pebelajar)”.
Berdasarkan berbagai pernyataan sebelumnya, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar sains adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal tersebut terdiri atas: faktor fisiologi psikologis. Sedangkan
faktor eksternal terdiri atas faktor lingkungan (fisik dan sosial) dan faktor
instrumental (kurikulum, sarana- prasarana, guru, metode dan media serta
manajemen).
5. Penelitian yang Relevan
Penelitian pertama tentang model pembelajaran Heuristik Vee telah
dilakukan oleh Suastra (1996) yang berjudul penerapan model pembelajaran
Heuristik Vee dengan peta konsep dalam pembelajaran fisika. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran
Heuristik Vee denga peta konsep dapat medapat meningkatkan prestasi
belajar fisika siswa.
Penelitian kedua tentang model pembelajaran Heuristik Vee dilakukan
oleh Sarya (2004) melakukan penelitian yang berjudul penerapan model
pembelajaran Heuristik Vee dan model pembelajaran langsung pada
pembelajaran fisika.
Penelitian ketiga tentang model pembelajaran Heuristik Vee dilakukan
oleh Wibawa (2009) dengan penelitian yang berjudul pengaruh model
pembelajaran Heuristik Vee terhadap prestasi bejar IPA ditinjau dari
kemampuan berpikir divergen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaruh model pembelajaran Heuristik Vee ditinjau dari kemampuan
berpikir divergen dapat meningkatkan prestasi belajar IPA siswa.
6. Kerangka berpikir
Sains diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan sains perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan
pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat)
yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat
suatu karya melalui penerapan konsep sains dan kompetensi bekerja ilmiah
secara bijaksana (Permendiknas No.22 Tahun 2006). Oleh karena itu, sebagai
seorang guru harus mampu menerapkan model pembelajaran yang tepat bagi
peserta didik yang menguasai kompetensi yang diinginkan. Salah satu model
pembelajaran yang dicoba adalah model pembelajaran Heuristik Vee dan
model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran Heuristik Vee
pertama kali dikenalkan oleh Novak & Gowin. Pada model pembelajaran
Heurstik Vee, guru lebih menekankan gagasan-gagasan peserta didik yang
dimiliki sebelumnya, kemudian dikaitkan dengan pengalaman yang didapat
dilaboratorium dan peserta didik diharapkan dapat mengkonstruksi
pengetahuan sendiri. Pengkonstruksian ini dilakukan dengan menggunakan
diagram Vee. Di dalam diagram Vee peserta didik dibantu dalam menangkap
makna dalam praktek-praktek laboratorium yang sebelumnya telah ditetapkan
fokus pertanyaan yang menuntut peserta didik berfikir secara reflektif.
Model Heuritik Vee membantu peserta didik menemukan konsep antara
apa yang mereka miliki atau ketahui dengan pengetahuan baru yang berusaha
dikonstruksikan. Disamping itu, model Heuristik Vee juga memiliki nilai
psikologis, sebab model pembelajaran Heuristik Vee tidak hanya mendorong
belajar secara bermakna tetapi juga membantu peserta didik memahami
bagaimana proses menemukan pengetahuan
Pada model pembelajaran konvensional, penyelenggaraan pembelajaran
hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus
“ditelan” oleh peserta didik, yang wajib diingat dan dihafal. Guru dalam
mengajar kurang memperhatikan gagasan-gagasan yang dimiliki oleh peserta
didik sebelumnya. Guru hanya menyajikan atau mendemonstrasikan
pengetahuan atau keterampilan dimiliki langkah demi langkah agar siswa
dapat memahami materi yang diajarkan Guru sebagai subjek yang aktif dan
siswa sebagai objek yang pasif sehingga gagasan yang dimiliki siswa menjadi
tidak berkembang dan ide-ide cemerlang yang dimiliki siswa tidak
tersalurkan.
Dari dua model yang berbeda tersebut, tentunya akan membuahkan hasil
yang berbeda dalam hal hasil belajar karena hasil perubahan tingkah laku
dari apa yang kita ajarkan. Berdasarkan uraian di atas, digunakan hasil belajar
sains kelompok siswa yang mengkuti model pembelajaran Heuristik Vee
lebih baik daripada hasil belajar sains kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran konvensional.
I. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan dan kajian
pustaka yang dikemukakan, dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu “Ada
perbedaan hasil belajara sains yang signifikan atara kelompok siswa yang
dibelajarkan menggunakan model pembelajaran Heuristik Vee dan kelompok
siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran konvensional
pada siswa kelas III di SD se-gugus 3 Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan
Tahun Pelajaran 2011/2012”.
J. METODE PENELITIAN
1. Populasi Dan Sampel Penelitian
a. Populasi Penelitian
Menurut Fraenkel and Wallen (dalam Wibawa, 2009:43) populasi adalah
kelompok yang menarik perhatian peneliti, kelompok di mana peneliti menyukai
E X O1
K O2
untuk menggeneralisasikan hasil-hasil penelitiannya. Arikunto (dalam Wibawa,
2009:43) populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah 9 sekolah yang ada di SD Gugus 3 di
Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana.
b. Sampel Penelitian
Menurut Hadi (dalam Wibawa, 2009:45) sampel adalah sejumlah
penduduk yang diambil dari populasi. Sampel penelitian diambil secara random
sampling (teknik pengambilan sampel secara acak), dalam pengambilan sample
teknik sampling yang digunakan adalah multi objek sampling.
Sampling tahap pertama dilakukan secara random dengan populasi
sembilan sekolah yang ada di Gugus 3. Dari hasil sampling tahap pertama diambil
dua sekolah yaitu SD No. 5 Penyaringan dan SD No. 8 Penyaringa sebagai sampel
penelitian. Kemudian dari dua sekolah yang terpilih, dipilah lagi secara random
kelas III yang nantinya akan dikelompokkan menjadi kelas eksperimen dan kelas
kontrol. Dari hasil random didapatkan kelas III SD No. 8 Penyaringa sebagai
kelas eksperimen dan kelas III SD No. 5 Penyaringa sebagai kelas kontrol.
2. Rancangan Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksperimen semu (Quasi
Experiment), dimana tidak semua variabel yang muncul dan kondisi eksperimen
dapat diatur dan dikontrol secara ketat (full randomize) (Sukardi, 2003).
Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui Pengaruh Model Pembelajaran
Heuristik Vee terhadap Hasil Belajar Sains Siswa Kelas III SD Se-Gugus 3
Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana Tahun Pelajaran 2012/2013.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Posstest-only control group desigen
karena dalam penelitian ini hanya ingin mengetahui perbedaan hasil belajar sains
antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Masing-masing kelompok
dipilih secara random (acak). Secara sistematis desain penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut.
(Sugiyono, 2009:112)
Gambar 3.1 Posttest Only Control Group Design
Keterangan :
E = Kelompok Eksperimen
K = Kelompok Kontrol
X = Perlakuan berupa pembelajaran sains menggunakan model
Heuristik Vee
O1 , O2 = Post-test
Dalam Posttest Only Control Design ini, subjek penelitian merupakan
kelompok-kelompok yang memiliki kemapuan yang sama. Kelompok pertama
diberi perlakuan atau treatmen (X) berupa pembelajaran sains dengan
menggunakan model Heuristik Vee yang disebut dengan kelompok eksperimen.
Sedangkan kelompok kedua tidak diberi perlakuan atau treatmen (dengan
menerapkan pembelajran konvensional) dan disebut dengan kelompok kontrol.
3. Variabel Penelitian Dan Definisi Variabel
a. Variabel Penelitian
Variabel ialah objek penelitian atau segala sesuatu yang menjadi titik
fokus perhatian dalam suatu penelitian (Agung. 2010:44). Berikut merupakan
pengertian variabel menurut beberapa ahli.
1) Menurut F.N. Kerlinger ( dalam Agung, 2010:41) variabel sebagai
“sebuah konsep” seperti halnya laki-laki dalam konsep jenis kelamin, insaf
dalam konsep kesadaran.
2) Menurut Sutrisno Hadi ( dalam Agung, 2010:41) variabel merupakan
“gejala yang bervariasi” misalnya kelamin, karena jenis kelamin
mempunyai variasi: laki-laki, perempuan.
3) Menurut Sumadi Suryabrata ( dalam Agung, 2010:41) variabel adalah
segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Sering
pula dikatakan variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang akan melibatkan dua
variabel yaitu variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat
(dependent variabel).
a) Variabel Bebas (independent variabel)
Variabel bebas yang disimbolkan dengan X adalah satu atau lebih dari
variabel-variabel yang sengaja dipelajari pengaruhnya terhadap variabel
tergantung (Agung, 2010:43). Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah
pendidikan sains dengan menggunakan model pembelajaran Heuristik Vee
dan model pembelajaran konvensional.
b) Variabel Terikat (dependent variabel)
Variabel terikat yang biasa disimbolkan dengan Y adalah variabel yang
keberadaanyya atau munculnya bergantung pada variabel bebas (Agung,
2010:44) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar sains
siswa kelas III.
b. Definisi Variabel
1) Definisi Konsep
a) Model Pembelajaran Heuristik Vee
Model pembelajaran Heuristik Vee adalah suatu model pembelaaran yang
dipakai untuk memecahakan masalah dengan menggunakan prosedur-prosedur
penemuan dalam pembelajaran sains, serta mengaitkan antara konsep-konsep
dengan kajian-kajian alam dengan menggunakan Diagram Vee. Dalam model
pembelajaran Heuristik Vee tedapat lima langkah yang utama yang dilakaukan
oleh guru yaitu: (1) orintasi, (2) pengungapan gagasan siswa, (3) pengungkapan
permasalahan/fokus pertanyaan, (4) pengkonstruksian pengetahuan baru, dan (5)
evaluasi.
b) Model Pembelajaran Konvensional
Metode konvensional adalah penuturan bahan pelajaran secara lisan,
pengajaran konvensional juga bisa diartikan sebagai pengajaran yang diberikan
pada siswa secara bersama-sama yang biasa digunakan sehari-hari. Dalam
pembelajaran konvensional guru lebih aktif dari pada peserta didik, peserta didik
hanya menerima dan menghafal konsep-konsep yang disampaikan oleh guru.
c) Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang
telah dilakukan berulang-ulang serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama
atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta
dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih
baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir
2) Definisi Operasional
Secara operasional data hasil belajar diperoleh dengan menggunakan tes
objektif pilihan ganda mengenai indikator yang diambil, yaitu: (1) mendaftar alat
dan bahan untuk membuat kincir angin, (2) menyebutkan kegunaan dari alat
tersebut, (3) memberi alasan atas pemilihan alat dan bahan, (4) membuat
rancangan kerja, (5) melaporkan cara kerja dari alat tersebut, (6) membuat
rancangan yang akan dibuat modelnya, (7) mendemonstrasikan hasil percobaan
bahwa energi angin dapat dirubah menjadi energi gerak, (8) menyebutkan cara
menghemat energi, (9) menjelaskan manfaat menghemat energi, (10) menerapkan
cara penghematan energi dalam kehidupan sehari-hari. Skor yang akan didapatkan
berupa skala interval.
4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumentasi
a. Metode Pengumpulan Data
Data hasil belajar siswa yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan
dengan tes objektif pilihan ganda. Tes diberikan di akhir pertemuan (post test)
atau setelah diberikan perlakuan terhadap kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Tes yang sama diberikan pada kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol.
b. Instrumen Tes
Tes objektif pilihan ganda disusun berdasarkan SK, KD, dan indikator dalam
silabus mata pelajaran sains. Instrumen yang digunakan mengumpulkan data
tentang hasil belajar sains adalah tes objektif pilihan ganda yang berjumlah 20
soal. Setiap soal disertai tiga alternatif jawaban yang dipilih siswa ( alternatif a, b,
dan c).
1) Cara Pemberian Skor
Setiap butir soal akan diberikan skor 1 bila siswa menjawab dengan
benar dan skor 0 untuk siswa yang menjawab salah. Skor yang diperoleh setiap
siswa kemudian dijumlahkan, jumlah skor-skor tersebut merupakan skor hasil
belajar sains siswa. Skor hasil belajar sains akan bergerak dari 0-20. Skor 0
merupakan skor minimal ideal dan skor 20 merupakan skor maksimal ideal.
c. Prosedur Eksperimen
1) Validasi Tes Hasil Belajar Sains
Teknik yang digunakan untuk mengetahui validitas emperis (validitas butir
tes) dalam penelitian ini adalah dengan teknik korelasi korelasi point biserial
dengan rumus lengkapnya sebagai berikut.
rpbi=¿
M p−M t
St
¿ √ pq
(Koyan, 2007:87)
Keterangan:
r pbi = koefesien korelasi point biserial
Mp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item yang dicari
validitasnya
Mt = rerata skor total
St = standar deviasi dari skor total
p = proporsi siswa yang menjawab benar
q = proprsi siwa yang menjawab salah
(q= 1-p)
2) Reliabilitas Tes dengan rumus KR-20
Dalam penelitian ini untuk menguji realibilitas instrument hasil belajar
sains siswa digunakan rumus Kuder-Richardson (KR- 20). Rumus ini secara
khusus untuk menghitung reliabilitas tes yang datanya dikotomi.
r1.1 = ( kk−1 )( SDt−∑ ( pq)
2
SDt2 )
(Koyan 2007: 90)
Keterangan:
r1.1 = koefesien reliabilitas tes
p = proporsi testee yang menjawab benar
q = proporsi testee yang menjawab benar
SDt2 = varian total tes
k=¿ jumlah responden
Untuk menentukan derajat reliabilitas tes, dapat digunakan kriteria yang
dikemukakan oleh Guilford 1951 (dalam Koyan, 2007:93) sebagai beikut.
≤ 0,20 : sangat rendah
0,20 ≤ 0,40 : rendah
0,40 ≤ 0,60 : sedang
0,60 ≤ 0,80 : tinggi
0,80 ≤ 1,00 : sangat tinggi
3) Taraf Kesukaran Tes
Taraf kesukaran tes adalah kesulitan tes dipandang dari kemampuan
peserta didik untuk menjawab soal tersebut; artinya, tes tersebut akan lebih
banyak dapat dijawab benar oleh peserta didik yang pandai dan lebih banyak
dijawab salah oleh peserta didik yang bodoh, taraf kesukaran yang baik adalah
antara 20%-80% atau antara 30%-70% (Koyan, 2007:94-95).
Tingkat kesukaran perangkat tes adalah bilangan yang menunjukkan rata-
rata proporsi testee yang dapat menjawab seluruh tes tersebut, dengan rumus:
(Koyan, 2007:95)
Keterangan:
Pp = tingkat kesukaran perangkat tes
P = tingkat kesukaran tiap butir
n = banyaknya butir tes
Pp = ΣPn
Tingkat kesukaran tiap butir tes merupakan bilangan yang menunjukkan
proporsi peserta ujian yang dapat menjawab betul butir soal tersebut, dihitung
dengan rumus:
(Koyan, 2007:95)
Keterangan:
P = tingkat kesukaran tiap butir
nB = banyak subyek yang menjawab soal dengan betul
n = jumlah subyek seluruhnya
Kriteria tingkat kesukaran (P):
0,00 – 0,29 = sukar
0,30 – 0,70 = sedang
0,71 – 1,00 = mudah
Tes yang baik adalah tes yang memiliki taraf kesukaran antara 0,25 – 0,75
(Fernandes dalam Koyan, 2007:95).
4) Daya Pembeda Tes
Daya beda tes adalah kemampuan tes untuk membedakan antara peserta
didik yang pandai dan bodoh; artinya, jika tes tersebut diberikan kepada anak
yang tergolong pandai akan lebih banyak dapat dijawab dengan benar, sedangkan
bila diberikan pada peserta didik yang tergolong bodoh akan lebih banyak dijawab
salah. Daya pembeda yang baik adalah antara 20%-80% atau antara 30%-70%
(Koyan, 2007:95-96).
Rumus untuk menghitung tingkat daya beda tes adalah sebagai berikut
(Koyan, 2007:96)
P = nBn
Dp=∑( PA−PB )
n
Keterangan:
Dp = daya beda tes
n = jumlah butir tes
rumus untuk menghitung daya beda butir tes adalah sebagai berikut:
atau
(Koyan, 2007:96)
Keterangan:
nBA = jumlah subyek yang menjawab betul pada kelompok atas
nBB = jumlah subyek yang menjawab betul pada kelompok bawah
nA = jumlah subyek atas
nB = jumlah subyek bawah
Kriteria daya beda (D):
0,00 – 0,19 = kurang baik
0,20 – 0,39 = cukup baik
0,40 – 0,70 = baik
0,71 – 1,00 = sangat baik
Jika “D” negatif, soal tersebut sangat buruk dan harus dibuang. Tes yang
baik adalah tes yang memiliki D antara 0,15 – 0,20 (Fernandes dalam Koyan,
2007:96).
5) Analisis Pengecoh
Pengecoh atau distractor yang baik adalah pengecoh yang dapat mengecoh
peserta didik; artinya, pengecoh tersebut dapat mengecoh peserta didik atau
paling sedikit pengecoh tersebut dipilih oleh 2% atau 3% dari peserta tes.
DB=nBA
nA
−nBB
nB
D=P A−PB
Pengecoh yang baik (efektif) ialah pengecoh yang dipilih minimal oleh 2-3%
dari pengikut tes (Koyan, 2007:96)
6. Metode Analisi Data
a. Deskriptif Data
1) Modus (Mode)
Modus adalah skor yang paling sering muncul (frekuensi terbanyak/tertinggi)
(Koyan, 2007:72)
(Koyan 2007: 72-73)
Keterangan:
Mo = modus
b = batas kelas interval dengan frekuensi terbanyak (batas bawah)
p = panjang kelas (i = interval) dengan frekuensi terbanyak
b1 = Frekuensi pada kelas modus (frekuensi pada kelas interval yang terbanyak)
dikurangi frekuensi kelas interval terdekat sebelumnya
b2 = frekuensi kelas modus dikurangi frekuensi kelas interval berikutnya
2) Median (Md)
Median atau nilai tengah adalah nilai yang menunjukkan bahwa di bawah dan
di atas nilai tersebut, masing-masing terdapat 50% nilai (data) (Koyan 2007: 73)
(Koyan 2007: 74)
Keterangan:
Md = median
Mo=b+ p (b1
b1+b2
)
Md=b+ p( 1/2n−Ff
)
b = Batas bawah, dari daerah median
P = panjang kelas (interval)
n = banyak data/jumlah sampel
F = f kumulatif sebelum kelas median (jumlah semua frekuensi sebelum kelas
median)
f = frekuensi kelas/daerah median
3) Mean (M = nilai rerata hitung)
Untuk menghitung mean atau nilai rata-rata hitung digunakan rumus berikut:
(Koyan 2007: 74)
4) Standar Deviasi
Standar deviasi atau simpangan baku adalah akar varians, yang dinyatakan
dengan rumus berikut.
s=√ ∑ x2
(n−1)=√∑ ( X−X )2
(n−1 )=√ n∑ X2−(∑ X )2
n( n−1 )
(Koyan 2007: 75)
b. Uji Prasyarat Analisis
Sebelum uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat analisis yaitu (1)
Uji Normalitas sebaran data dan (2) Homogenitas Varians
1) Uji Normalitas sebaran data
Uji normalitas sebaran dilakukan untuk menyajikan bahwa sampel benar-benar
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data dilakukan
dengan uji Liliefors dengan rumus sebagai berikut.
M=∑ X
n=X
M=∑ fX
∑ f
Z =
X−XSD
Koyan (2007:84)
Keterangan:
Z = skor baku
X = mean
X = skor tes
SD = standar deviasi
2) Homogenitas Varians
H0 = σ12 = σ2
2 = σ32 = σ4
2
H1 = salah satu tanda ≠ tidak berlaku
s2 gab .=∑( dk . s2 )
∑ dk
B = (∑dk) log.s2gab
Harga χ2 = (Ln 10) {B – (∑dk) log s2 }
Koyan (2007: 87-88)
Keterangan:
s2 = varian tiap kelompok
s2 gab = varian gabungan
B = nilai barlett
dk = derajat kebebasan
Ktriteria pengujian sampel jika χ2 hitung > χ2tab maka sampel tidak homogen dan
jika χ2 hitung < χ2tab maka sampel homogen. Pengujian dilakukan pada taraf
signifikansi 5% dengan derajat kebebasan untuk dk = k-1.
b. Uji-t Untuk Sampel Independent
Dalam penelitian ini untuk menganalisis data digunakan t-tes kelompok
independen dengan rumus
t=X1−X2
√ s12
n1
+s
22
n2
Keterangan :
X1 = Rata-rata sampel 1
X 2 = Rata-rata sampel 2
n1 = jumlah responden sampel 1
n2 = jumlah responden sampel 2
S12 = varians sampel 1
s12
= ∑ X1
n1
S22 = varians sampel 2
s22=¿
∑ X2
n2
c. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis-hipotesis tersebut dijabarkan menjadi hipotesis nol
(H0) melawan hipotesis alternatif (H1).
Jika thitung > ttabel maka H0 ditolak atau H1 diterima, ini berarti terdapat perbedaan
yang signifikan.
Jika thitung < ttabel maka H0 diterima atau H1 ditolak, ini berarti tidak terdapat
perbedaan yang signifikan
Pengujian dilakukan pada taraf signifikansi 5% dengan db = n1 + n2 – 2.
K. Daftar Pustaka
Agung, A.A.Gede. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Ardiana, I Wayan. 2011. Implementasi Model Pembelajaran Heuristik-V dengan Peta Konsep untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas VII A6 SMP Negeri 1 Singaraja. Skripsi (tidak diterbitkan): Universitas Pendidikan Ganesha
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. “Sertifikasi Guru”. Tersedia pada http://www.dikti.go.id (Diakses tanggal 28 November 2011)
Hamalik, Oemar. 2011. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Bumi Aksara
Kasim, Meilani. 2009. Masalah Pendidikan di Indonesia. Tersedia pada http://meilanikasim.wordpress.com (diakses tanggal 25 November 2011)
Koyan, Wayan. 2007. Statistik Terapan (Teknik Analisis Data Kuantitatif). Singaraja: Unit Penerbit Universitas Pendidikan Ganesha.
Muhfida.2008. Pembelajaran Konvensional. Tersedia pada http://muhfida.com/pembelajaran-konvensional/ (diakses pada tanggal 14 Pebruari 2012)
Nurkancana, Wayan. 2007. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Nugroho, Fitroh Sapto, dkk. 2006. Keterpurukan Dunia Pendidikan Berdampak pada Penurunan Kualitas Sumberdaya Manusia Indonesia. Tersedia pada http://Repository.ipb.ac.id/handle/123456789/32495/KETERPURUKANDUNIAPENDIDIKAN.pdf (diakses tanggal 28 November 2011)
Permendiknas. No. 22. 2006. Standar Isi. Jakarta: Depdiknas RI
Suastra, I Wayan. 1996. Penerapan Model Pembelajaran Heuristik Vee dengan Peta Konsep dalam Pembelajaran Fisika. Thesis (tidak diterbitkan). IKIP Bandung.
Suryantini, Ni Luh Gede. 2010. Pengeruh Model Pembelajaran Heuristik Vee dengan Peta Konsep Terhadap pemahaman konsep Fisiska Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Kediri. Skripsi (tidak diterbitkan): Universitas Pendidikan Ganesha
Wibawa, I Made Citra. 2009. Pengaruh Pembelajaran Heuristik Vee terhadap Prestasi Belajar IPA Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Divergen. Thesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja