Upload
muhammadguntur-basyarah-st
View
118
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Proposal penelitian evaluasi kinerja struktur dengan metode pushover analisis
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia terletak di pertemuan antara plat tektonik Australia, Eurasia,
Philippines dan Pasific yang bertemu di kepulauan Maluku. Hal tersebut
berpengaruh terhadap kondisi sismotektonik di Indonesia. Dengan kondisi tersebut,
maka sebagian besar wilayah Indonesia terutama yang padat penghuni adalah
rawan gempa. Yogyakarta merupakan salah satu daerah istimewa di Indonesia yang
terletak pada lintasan patahan yang memang rawan gempa. Menurut Kepala Badan
Geologi Bambang Dwiyanto, wilayah Yogyakarta terletak di atas patahan (sesar)
yang masih aktif. Pergeseran sesar inilah yang berpotensi menimbulkan gempa
bumi. Selain pulau Jawa merupakan zona subduksi. Kondisi tanah di wilayah
Yogyakarta terdiri dari endapan kuarter berupa endapan alluvial, endapan alluvial
pantai, endapan batu gamping, serta endapan gunung api yang bersifat urai lepas.
Endapan itu belum terkonsolidasi serta memperkuat efek goncangan dan getaran
gempa bumi (sinar Harapan, 2006) Akibatnya, ketika terjadi gempa bumi potensi
terjadinya kerusakan bangunan cukup tinggi dan mengakibatkan presentasi jumlah
korban besar.
Peristiwa gempa di Yogyakarta dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006
yang lalu merupakan peristiwa yang bersejarah bagi masyarakat Indonesia,
terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Menurut data dari Dinas Kimpraswil tercatat
per tanggal 14 Desember 2007, gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta menyebabkan
banyaknya korban jiwa dan harta benda. Lebih dari 5.048 orang tewas, luka berat
lebih dari 19.000 orang, cacat tetap lebih dari 1.500 orang, 296 orang diantaranya
lumpuh. Lebih dari 400.000 rumah rusak, 176.000 rumah roboh total/rusak berat.
Bangunan dan fasilitas pendidikan tercatat 2.375 unit bangunan rusak, 45 unit
kantor pemerintah rusak berat/roboh dan beberapa fasilitas umum, tempat wisata
serta tempat usaha masyarakat mengalami kerusakan (Dinas Kimpraswil, 2007
2
dalam Bawono, 2009). Begitu juga yang terjadi pada gempa Padang tanggal 30
September 2009, bahwa bangunan yang rusak akibat gempa bukan hanya bangunan
nonengineered saja melainkan bangunan bangunan engineered seperti gedung
perkantoran, gedung pendidikan, bahkan gedung rumah sakit atau gedung fasilitas
kesehatan lainnya. Berikut adalah contoh bangunan bangunan runtuh dibeberapa
kota akibat gempa :
Gambar 1.1 Bangunan fasilitas pendidikan yang runtuh akibat gempa
Yogyakarta 2006.
Gambar 1.2 Bangunan fasilitas umum yang runtuh akibat gempa
Padang 2009.
3
Gambar 1.3 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa
Aceh 2013.
Gambar 1.4 Bangunan Masjid yang runtuh akibat gempa
Banyumas 2014.
Bangunan - bangunan gedung mempunyai factor keutamaan yang
bergantung pada tingkatan penting atau tidaknya suatu bangunan. Pada saat itu telah
berkembang suatu konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based
design) yang merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Ditinjau
dari fungsinya, suatu bangunan akan mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda
untuk fungsi yang berbeda dengan parameter tingkat kinerja atau level of
4
performance bangunan setelah terkena terkena gempa. Dengan berpedoman pada
performance based design, maka bangunan dievaluasi sesuai dengan tingkatan
kinerja pada bangunan tersebut.
Menurut FEMA 302 (1997) berdasarkan fungsi bangunan dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok kegunaan atau seismic use group, yaitu
kelompok III, II, dan I. Kelompok kegunaan III, yaitu bangunan bangunan dengan
fasilistas penting (lifeline facilities) yang sangat dibutuhkan pada masa tanggap
darurat sesaat setelah terjadi gempa, atau bangunan - bangunan yang berisi bahan
bahan berbahaya dengan jumlah yang besar. Bangunan bangunan yang termasuk
dalam daftar lifeline facilities untuk prioritas dilakukan evaluasi terhadap bahaya
gempa adalah bangunan yang digunakan untuk rumah sakit, pemadam kebakaran,
gedung markas besar polisi, pusat siaga tanggap darurat, pusat pembangkit listrik,
hangar pesawat, pusat komunikasi, dan fasilitas pengolahan air minum. Kelompok
kegunaan III ini harus memiliki tingkat kinerja fully operational yaitu harus dapat
beroperasi secara penuh setelah terjadi gempa. Kelompok kegunaan II memiliki
tingkat kinerja immediate occupancy , yaitu harus dapat tetap beroperasi walaupun
tidak secara penuh, kerusakan struktur bangunan ringan, sehingga aman untuk
langsung di huni kembali, antara lain adalah gedung pendidikan, penjara,
perkantoran, pusat perawatan dll. Kelompok kegunaan I, yaitu bangunan yang tidak
termasuk pada kelompok kegunaan III dan II. Kelompok kegunaan I memiliki
tingkat kinerja life safety dan collapse prevention setelah terjadi gempa.
Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar
bangunan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh karena
bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi (Satyarno,
2007). Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan,
redaman, dan daktilitas yang dimiliki (FEMA 172, 1992), yang secara dominan
ditentukan oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan
struktur, dan konfigurasi bangunannya (Satyarno, 2010).
Kerentanan bangunan juga dipengaruhi karena desain spektra bangunan
tersebut tidak memenuhi peraturan yang terbaru, biasanya ini terjadi pada bangunan
bangunan lama karena pada saat melakukan desain menggunakan peraturan lama
atau pada saat itu. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kinerja struktur
5
khususnya pada bangunan-bangunan lama sebelum tahun terbitnya peraturan
terbaru 2012, banyak terdapat perbedaan antara peraturan 2002 dengan peraturan
2012. Sehingga bangunan lama yang tidak memenuhi peraturan terbaru 2012 dan
dari evaluasi kegempaan secara rinci diketahui bahwa bangunan tersebut
mempunyai kerentanan karena tidak dapat memenuhi kinerja yang disyaratkan
sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya, maka perlu dilakukan suatu
tindakan dalam rangka mitigasi (Satyarno, 2010). Beberapa macam pilihan
tindakan yang dapat dilakukan pada bangunan yang rentan karena tidak bisa
memenuhi kinerja yang diharapkan apabila dilanda gempa. Tindakan yang pertama
adalah melakukan perbaikan atau retrofitting, yang kedua merubah fungsi
bangunan dari kelompok bangunan III menjadi II atau I. Jika bangunan tidak
memenuhi bahkan kelompok kegunaan I dan tidak dilakukan perbaikan karena
dirasa tidak ekonomis maka gedun tersebut sebaiknya diruntuhkan atau demolished
untuk digani dengan yang baru (Satyarno, 2010). Jika hal ini dilakukan pada setiap
bangunan yang ada di Yogyakarta khususnya maka seluruh bangunan akan menjadi
jelas status kerentanannya khususnya bangunan-bangunan yang penting yang
termasuk dalam kelompok kegunaan III.
Perbandingan spektra desain SNI Gempa 2012 dan SNI Gempa 2002 mana
spektra desain SNI 2012 diambil berdasarkan perangkat lunak desain spektra
Indonesia, yang dapat dilihat pada situs http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain
_spektra_indonesia_2011/. Dalam SNI Gempa 2002, walaupun notasi Sds dan Sd1
tidak dikenal, diambil padanan: a) bagian datar nilai C pada SNI Gempa 2002
sebagai Sds, dan b) angka pada bagian lengkung di T = 1 detik pada SNI Gempa
2002 sebagai nilai Sd1. Dengan pendekatan padanan ini maka khusus untuk tanah
lunak dalam SNI 2002 nilai SDS akan sama dengan SD1. Perbandingan spektra
desain dilakukan untuk 15 kota besar di Indonesia untuk kondisi klas situs SC
(tanah keras), SD (tanah sedang), SE (tanah lunak) dibandingkan dalam suatu grafik
untuk melihat peubahannya (Arfiadi dan Satyarno, 2013).
6
Gambar 1.5 Perbandingan spektral percepatan desain pada periode
pendek untuk tanah keras (Arfiadi dan Satyarno, 2010).
Untuk klas situs SC (tanah keras) nilai-nilai SDS untuk 15 kota besar
ditunjukkan pada Gambar 1.1. Tampak bahwa ada kota-kota yang, dengan
berlakunya SNI Gempa 2012, nilai spectra respons percepatan pada perioda
pendek SDS bertambah besar ada pula yang menjadi kecil. Nilai SDS SNI Gempa
2012 untuk 10 kota yang lain lebih besar dari nilai SDS SNI Gempa 2002.
Pertambahan nilai yang terbesar terjadi untuk kota Semarang dan Palu yang
bertambah menjadi 2,18 kali nilai pada SNI Gempa 2002. Setelah itu kota
Yogyakarta, Surabaya dan Bandung naik berturut-turut menjadi 1,79; 1,68 dan 1,64
kali. Kota lainnya yaitu Banda Aceh, Jayapura, Padang, Surakarta dan Jakarta naik
berturut-turut menjadi 1,5; 1,43; 1,28; 1,22 dan 1,14 kali SDS SNI Gempa 2002
(Arfiadi dan Satyarno, 2013).
Berikut adalah peta gempa maksimum menurut SNI 2012 yang
dipertimbangkan risiko tertarget (MCER) parameter-parameter gerak tanah Ss, dan
S1, kelas situs SB. Peta Gempa SNI 2012 ini lebih rinci dan detail untuk setiap
lokasi.
7
Gambar 1.2 Parameter nilai percepatan respon spektral gempa MCER risiko-
tertarget pada periode pendek teredam 5 persen.
Dalam penelitian ini kami menggunakan sample gedung perkuliahan di
salah satu Universitas Swasta Yogyakarta. Spektrum respons yang dimiliki pada
lokasi objek ini setelah kita memasukkan koordinat lokasi objek penelitian pada
http://puskim.pu.go.id/Aplikasi/desain_spektra_indonesia_2011/ adalah sebagai
berikut :
Gambar 1.3 Respons spektrum lokasi objek penelitian (sampel gedung
perkuliahan disalah satu Universitas Swasta Yogyakarta)
8
Gedung ini didesain menggunakan peraturan SNI 2002 yang menetapkan bahwa
gedung pendidikan masuk dalam kelompok kegunaan II atau kategori resiko
immediate occupancy, yaitu tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok
kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa tetap beroperasi walaupun tidak
secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada kerusakan sebagian yang terjadi pada
bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta arsitektural dengan kerusakan struktur
bangunan ringan sehingga aman untuk langsung dihuni kembali Tingkat kinerja
bangunan-bangunan kelompok kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa
tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada
kerusakan sebagian yang terjadi pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta
arsitektural dengan kerusakan struktur bangunan ringan sehingga aman untuk
langsung dihuni kembali. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok
kegunaan II seharusnya mempunyai respon plastis yang kecil.
Kerusakankerusakan yang terjadi dapat segera diperbaiki agar bangunan dapat
kembali beroperasi secara penuh (FEMA 302, 1997). Pada permasalahan ini
gedung akan dievaluasi kembali secara struktural menggunakan peraturan SNI
2012 kemudian membandingkan antara keduanya apakah desain level kinerja pada
gedung tersebut masih memenuhi desain level kinerja bangunan dengan
menggunakan peraturan SNI 2012, yaitu kelompok kegunaan IV atau kategori
resiko fully operational yang mengandung pengertian harus bisa tetap beroperasi
secara penuh setelah terjadi gempa, yaitu tidak ada kerusakan yang terjadi pada
bagian struktur, mekanikal, elektrikal, serta arsitektural bangunan. Secara struktural
bangunan-bangunan kelompok kegunaan IV seharusnya mempunyai respon elastik
pada saat terjadi gempa dan bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitekturalnya
dirancang sesuai dengan persyaratan agar tetap operasional. Level kinerja
berdasarkan kelompok kegunaannya atau seismic use group menurut SNI 2012
dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini.
9
Tabel 1.1 Kategori risiko bangunan gedung dan non gedung untuk beban gempa
10
1.2 RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan fungsi bangunan yang termasuk kategori fully operational
atau kelompok kegunaan IV, akan dilakukan evaluasi terhadap struktur bangunan
sampel gedung perkuliahan di salah satu Universitas Swasta Yogyakarta :
1. Bagaimana hasil evaluasi secara rapid visual screening pada bangunan sesuai
dengan FEMA 154 dan FEMA 310?
2. Apakah gedung ini mampu memenuhi level kinerja fully operational sesuai
dengan kategori resiko pada peraturan SNI 1726 2012?
3. Dimana prediksi letak kerusakan yang dapat terjadi pada struktur serta
alternatif tindakan manakah yang paling tepat yang akan dipilih untuk kondisi
kerusakan struktur pada gedung ini?
4. Apakah penelitian ini bisa dijadikan langkah mitigasi bencana yang
diterapkan pada setiap bangunan tua di Yogyakarta?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian diuraikan sebagai berikut ini :
1. Evaluasi struktur bangunan dengan menggunakan (RVS) Rapid Visual
Screening sesuai FEMA 154 dan FEMA 310 pada kondisi existing terhadap
bahaya gempa.
2. Mengetahui apakah setelah terkena gempa bumi gedung perkuliahan ini
memenuhi level kinerja bangunan menurut kategori resiko pada peraturan
SNI 1726 2012.
3. Mengetahui daerah yang mengalami sendi plastis, serta alternatif tindakan
yang paling tepat agar bangunan tetap memenuhi level kinerja yang
disyaratkan sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya.
4. Menetapkan konsep langkah mitigasi bencana yang diterapkan pada setiap
bangunan tua di Yogyakarta dengan menggunakan acuan penelitian ini.
11
1.4 BATASAN PENELITIAN
Untuk memberikan arah dalam melaksanakan penelitian dan agar tidak
terjadi pengembangan masalah menjadi lebih komplek, maka dilakukan
pembatasan pembatasan sebagai berikut ini :
1. Bangunan yang diteliti adalah sampel gedung perkuliahan disalah satu
Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok,
Sleman, Yogyakarta.
2. Komponen yang akan dievaluasi pada RVS adalah komponen struktur dan
sebagian komponen non-struktur. Kemudian pada analisis linier dan non-
linier hanya akan dievaluasi pada bagian komponen struktur saja.
3. Penelitian difokuskan untuk evaluasi kinerja pada kondsisi existing
terhadap gempa bumi. Yaitu demand capacity ratio (DCR), drift ratio dan
level performance bangunan.
4. Pondasi dan kondisi tanah tidak dievaluasi.
5. Denah bangunan disesuaikan denah structural drawing pada gedung sampel
perkuliahan yang menjadi objek penelitian.
6. Elemen struktur mutu bangunan meliputi :
a. mutu Beton pada kolom dan balok (fc) = 20 Mpa,
b. mutu Beton pada pelat (fc) = 25 Mpa, dan
c. mutu baja tulangan (fy) = 400 MPa.
7. Analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Gedung dianalisis secara 3 dimensi.
b. Tumpuan yang digunakan dalam pemodelan numerik adalah sendi.
c. Pemodelan numerik dibuat sebagai open frame.
d. Balok dan kolom diasumsikan sebagai frame
e. Plat lantai dimodelkan shell.
f. Pembebanan yang digunakan dalam analisis sesuai pada PPPURG 1987
g. Tidak dilakukan peninjauan redistribusi momen.
h. Daktilitas bangunan dianggap elastik, dengan faktor reduksi gempa (R)
= 8.
i. Jumlah tingkat yang dianalisis adalah 5 tingkat.
j. Gaya lateral yang ditinjau adalah beban gempa horizontal.
12
k. Pengaruh beban angin hanya diperhitungkan pada atap.
l. Analisis linier (Tier 2) dan non linier (Tier 3) struktur menggunakan
program SAP2000 versi 14.
m. Analisis yang digunakan pada Tier 2 adalah analisis linier dengan level
pembebanan yang digunakan dalam analisis adalah elastik dan jenis
perilaku material bersifat linier.
n. Analisis linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis linier
statik dan jenis perilaku material bersifat linier.
o. Analisis yang digunakan pada Tier 3 adalah analisis non linier.
p. Analisis non linier yang dilakukan dalam evaluasi adalah analisis non
linier statik (pushover analysis).
q. Lokasi gedung di wilayah gempa 4 jenis tanah sedang (sesuai SNI 03-
1726-2012).
r. Analisis statik pushover yang digunakan sesuai prosedur pada ATC-40
dan FEMA 356 yang telah built-in dalam program SAP2000.
s. Analisis momen- curvature balok dan kolom sebagai input dalam
properti sendi untuk mendefinisikan perilaku non linier dilakukan
secara auto pada program SAP2000.
t. Analisis kapasitas momen penampang balok dan kolom menggunakan
program Aplikasi rekayasa konstruksi dengan visual basic 6.0
Analisis dan Desain Penampang Beton Bertulang sesuai SNI 03-2847-
2013.
8. Peraturan yang digunakan adalah sebagai berikut.
a. Evaluasi menggunakan pedoman FEMA 310 Handbook for the Seismic
Evaluation of Building- A prestandard.
b. Evaluasi secara rapid visual screening juga mengacu pada FEMA 154-
Rapid Visual Screening of Buildings for Potential Seismic Hazard : A
Handbook.
c. Evaluasi kinerja struktur mengacu pada ATC-40 dan FEMA 345-
Prestandard and Commentary for The Seismic Rehabilitation of
Buildings.
13
d. Evaluasi komponen non-struktur mengacu pada FEMA 302- NEHRP
Recommended Provisions for Seismic Regulation for New Buildings
and Other Structures dan FEMA 356- Prestandard adn Commentary
for The Seismic Rehabilitation of Buildings.
e. Perhitungan dan analisis beban gempa mengacu pada Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-
1726-2012).
f. Kombinasi pembebanan mengacu pada Tata Cara Perhitungan Struktur
Beton Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012).
g. Analisis penampang balok dan kolom mengacu pada Tata Cara
Perhitungan Struktur Beton Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2013).
h. Pembebanan pada analisis menagcu pada Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2012).
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Dengan adanya penelitian ini diharapkan:
1. Hasilnya dapat dijadikan masukan dalam evaluasi bangunan dalam mitigasi
bencana gempa bumi secara cepat (visual) dengan menggunakan metode
RVS.
2. Untuk mengetahui apakah bangunan ini memenuhi desain level kinerja
(performance based design) sesuai dengan peraturan SNI 2012.
3. Hasil evaluasi dapat menjadikan acuan dalam perencanaan perbaikan,
perkuatan, dan rehabilitasi struktur agar mampu bertahan pada saat terjadi
gempa.
4. Mendapatkan langkah mitigasi bencana gempa yang diterapkan pada
bangunan bangunan tua di Yogyakarta.
14
1.6 DEFINISI OPERASIONAL
Definisi umum dari operasional yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Kinerja Struktur,
Kinerja Struktur didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan
nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana
(hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance
level) dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273
(1997) kategori level kinerja struktur antara lain adalah sebagai berikut :
a) Operasional Level
b) Immediate Occupancy Level
c) Life Safety Performance Level
d) Collapse Prevention Level
Pada peneleitian ini, jenis bangunan yang digunakan dalam evaluasi
dikategorikan sebagai Operational Level (OL).
2. Kekuatan Struktur,
Kekuatan Struktur adalah kemampuan atau kapasitas struktur bangunan
dalam menerima beban, baik beban struktur itu sendiri maupun beban
gempa. Pada penelitian ini, dilakukan cek kekuatan struktur antara lain kuat
lentur balok dan kolom (momen nominal dan momen kapasitas), gaya geser
kolom dan balok, dan memperhitungkan Demand Capacity Ratio (DCR)
dari kekuatan struktur yang tersedia bangunan tersebut.
3. Immediate Occupancy,
Immediate Occupancy adalah kondisi level bangunan dimana pada saat
terjadi gempa terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut
tidak terlalu berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama
dengan kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih
berfungsi dan berada atau tersedia ditempatnya. Paad level ini, bangunan
masih bisa digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan
15
bangunan tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini
sangat kecil.
4. Kerusakan struktur,
Kerusakan Struktur dapat dideteksi sedini mungkin karena suatu kerusakan
dapat merembet, memicu, dan memperparah kerusakan lainnya. Pada
umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama masa
layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap
kerusakan akibat berbagai hal. Beberapa penyebab kerusakan antara lain
adalah karena :
a) masalah durability akibat material yang kurang baik,
b) kesalahan perencanaan dan pelaksanaan,
c) lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan,
d) overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian
bangunan,
e) kenaikan life-span,
f) penyebab khusus dan beban berlebih seperti gempa, banjir, kebakaran,
dan
g) Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non
struktur.
Pada penelitian Tesis ini akan dievaluasi kemungkinan kerusakan yang
dapat terjadi pada suatu struktur akibat beban gempa.
5. Faktor Daktilitas
Daktilitas adalah kemampuan bangunan untuk merubah kekakuannya dan
menyerap energi gempa untuk tetap menjaga integrasi struktur. Fungsi
daktilitas untuk menjaga integrasi bangunan agar penghuni dapat
menyelamatkan diri.
Nilai faktor daktilitas suatu bangunan gedung () di dalam perencanaan
struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak
boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas maksimum m yang
16
dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur
bangunan gedung.
6. Faktor Reduksi Beban Gempa
Faktor reduksi beban gempa yaitu rasio antara beban gempa maksimum
akibat pengaruh gaya gempa rencana pada struktur gedung elastik penuh
dan beban gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana pada struktur
gedung daktail, bergantung pada faktor daktilitas struktur gedung tersebut
(). Faktor reduksi (R) digunakan untuk mempresentasikan pengaruh
adanya daktilitas ketika terjadi gempa. Jika R semakin besar nilainya maka
gaya gempa dasar rencana menjadi lebih kecil karena dianggap strukturnya
lebih daktail. Oleh karena itu di dalam penelitian ini bangunan dianggap
dalam kondisi elastis agar gempa dasar rencana yang dihasilkan menjadi
lebih besar sehingga bangunan dapat di desain lebih aman terhadap gempa.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kinerja struktur
bangunan terhadap gaya gempa. Beberapa penelitian menggunakan analisis
pushover untuk memprediksi kinerja struktur terhadap gempa.
2.1 PENELITIAN TERDAHULU
Satyarno (2000), dalam penelitiannya menggunakan analisis pushover
untuk memperkirakan resiko yang terjadi pada bangunan-bangunan tua pada suatu
wilayah dengan karakteristik wilayah kegempaan tinggi. Bangunan yang dievaluasi
diasumsikan terletak pada tiga kota di New Zealand dengan kondisi tanah yang
berbeda yaitu tanah keras, sedang, dan lunak. Pada bangunan-bangunan lama (older
building) memiliki resiko kerusakan yang lebih besar akibat gempa jika
dibandingkan dengan bangunan-bangunan baru. Evaluasi dilakukan dengan
menggunakan metode berbasis kekuatan (force-based method) atau metode
berbasis perpindahan (displacement-based method) yang disarankan oleh NZNSEE
(1996), dimana beban gempa ditentukan dari respon spectrum. Pada metode
berbasis kekuatan, bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan
selama gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika daktilitas yang ada lebih
besar daripada daktilitas yang dibutuhkan. Dalam metode berbasis perpindahan
(displacement), bangunan diharapkan mempunyai kinerja yang memuaskan selama
gempa terjadi sama dengan spectrum respon jika kapasitas perpindahan lebih besar
daripada perpindahan yang dibutuhkan. Jika kapasitas terhadap beban gempa lebih
kecil dibanding kebutuhannya, maka tahapan lebih lanjut yaitu dengan
mengestimasi kala ulang gempa (return period) dimana struktur akan berkinerja
secara memuaskan, sehingga penentuan aksi yang tepat bias dibuat. Parameter yang
digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi bangunan antara lain:
18
1. Periode getar alami, Ti (Fundamental period)
2. Kapasitas geser dasar, Vbase (Base shear capacity)
3. Periode efektif struktur, Teff (Effective period)
4. Kapasitas daktilitas struktur, (Structures ductility capacity)
5. Kapasitas displacement lateral struktur, u (Structures lateral
displacement capacity)
Hasil evaluasi menggunakan analisis pushover menunjukan bahwa bangunan
memiliki daktilitas yang sangat terbatas karena terjadi mekanisme respon yang
tidak diinginkan yaitu kegagalan geser pada balok dan terjadi sendi plasitis pada
kolom. Bangunan yang berada pada tanah keras dan sedang memberikan hasil yang
lebih baik daripada bangunan yang berada di tanah lunak. Kemudian penelitian
dilanjutkan dengan melakukan retrofitting pada daerah kritis dengan menambahkan
tulangan geser dengan diameter 8 mm dengan jarak 100 mm dan dibandingkan
dengan penambahan tulangan diameter 10 mm dengan jarak 100 mm, detail
tulangan longitudinal/pokok tetap seperti semula. Hasil analisis menunjukan bahwa
penambahan tulangan geser diameter 8 mm dengan jarak 100 mm pada beberapa
tempat tidak memadai untuk gempa dengan periode 450 tahun. Sebaliknya dengan
tulangan geser diameter 10 mm dan jarak 100 mm cukup efektif dalam
meningkatkan kapasitas seismic bangunan untuk gempa dengan periode 450 tahun.
Ginsar dan Lumantarna (2004), mengatakan arah metode perencanaan
tahan gempa beralih dari pendekatan kekuatan (force based) menuju pendekatan
kinerja (performance based) dimana struktur direncanakan terhadap beberapa
tingkat kinerja. Untuk mengetahui kinerja struktur, karena saat menerima beban
gempa besar struktur akan mengalami pelelehan, maka dibutuhkan analisis
nonlinier yang sederhana tetapi cukup akurat.
Jamal (2011) Dalam Penelitian Evaluasi Kinerja Struktur Gedung Kuliah
Umum Prof. Dr. Sardjito Universitas Islam Indonesia. Dalam penelitian ini
dilakukan evaluasi bangunan berdasarkan FEMA 154, FEMA 356, ATC-40, dan
SNI 03-1726-2002 sebagai pedoman penelitian. Untuk permodelan struktur dan
19
analisis beban dorok statik nonlinier (Pushover) dilakukan menggunakan program
SAP2000. Pada penelitian ini, analisis pushover dilakukan permodelan dengan
tumpuan Sendi di fondasi, tumpuan jepit di pondasi dan penambahan jepit yang
terletak di sloof.
Dari hasil analisis nonlinier yang menggunakan analisis pushover dan
Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40, 1996), diperoleh bahwa rasio simpangan
struktur (structural-drift ratio) yang terjadi masih lebih kecil dari batas simpangan
yang disyaratkan oleh FEMA 356 dan ATC-40 untuk level Immediate Occupancy,
yaitu 1%. Oleh karena itu, level kinerja struktur untuk periode ulang gempa 500
tahun adalah Immediate Occupancy. Pada saat kinerja struktur tercapai, terjadi
plastifikasi dan kegagalan geser pada sebagian elemen struktur. Pada daerah
tumpuan balok, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 22,6%, antara 1-1,5
sebesar 22,1%, antara 1,52 sebesar 19,5% dan nilai DCR > 2 sebesar 35,9%. Pada
daerah dalam sendi plastis kolom, persentase nilai DCR antara 0-1 sebesar 37,4%,
1-1,5 sebesar 13,7%, antara 1,52 sebesar 17,3% dan nilai DCR > 2 sebesar 31,7%.
Plastifikasi banyak terjadi di elemen kolom pada tingkat 1. Sehingga dapat di
prediksi bahwa kerusakan akan terjadi di beberapa elemen kolom di tingkat 1.
Selain itu, juga terjadi kerusakan pada dinding pasangan bata (masonry) di seluruh
tingkat bangunan.
Zahrudin (2010) dalam penelitian Evaluasi Kinerja Bangunan Jogja
Internasional Hospital Terhadap Risiko Gempa. Penelitian ini dilakukan di daerah
Yogyakarta teraptanya di rumah sakit JIH bertujuan untuk melakukan evaluasi
dengan standari FEMA 154 (2002), FEMA 310 (1998), memprediksi level kinerja
(performance level) sesuai ATC-40 (1996) dan FEMA 356 (2000), serta
memberikan rekomendasi dan saran-saran perbaikan dalam rangka mitigasi
terhadap risiko bencana. Permodelan bangunan menggunakan SAP2000 dengan
pendekatan pembebanan sesuai PPPURG 1987 dan beban horisontal (beban gempa)
sesuai SNI 03-1729-2002.
Dari hasil analisis linier pada struktur bangunan JIH baik statik maupun
dinamik menghasilkan nilai Deman Capacity Ratio (DCR) lebih besar dari 2,
sehingga perlu dilakukan analisis non linier untuk mengetahui level kinerja struktur.
20
Permodelan struktur infill walls pada analisis dinamik linier memberikan kontribusi
kekuatan cukup besar dibandingkan dengan permodelan struktur open frame.
Analisis statik nonlinier (pushover) berdasarkan metode spektrum kapasitas ATC
40 (1996) menghasilkan target simpangan sebesar 0.279 m dan 0.263 m akibat
beban lateral arah X dan Y. Berdasarkan metode koefisien perpindahan FEMA 356
(2000) menghasilkan target simpangan sebesar 0.064 dan 0.080 m akibat beban
lateral arah X dan Y. Level kinerja bangunan yang dihasilkan dari analisis statik
nonlinier (pushover) untuk struktur immediate occupancy level yang berarti struktur
masih dapat digunakan setelah gempa terjadi, sedangkan komponen nonstruktur
yang berupa dinding pasangan bata mengalami kerusakan.
Pranata (2006) Dalam penelitian Evaluasi Kinerja Gedung Beton
Bertulang Tahan Gempa dengan Pushover Analysis, dilakukan evaluasi kinerja
terhadap tiga gedung beton bertulang menggunakan pushover analysis dan analisis
inelastik dinamik riwayat waktu (inelastic dynamic time history analysis). Evaluasi
kinerja dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan target peralihan. Parameter
ini yang akan digunakan dalam menentukan kriteria kinerja struktur. Beberapa
metode yang digunakan adalah : SNI 03-1726-2002 sebagai syarat peralihan, ATC-
40 sebagai metoda capacity spectrum, kemudian FEMA 356 dan FEAM 440
sebagai metode displacement coefficient. Dalam penelitian ini analisis beban
dorong menggunakan program ETABS dan analisis riwayat waktu menggunakan
DRAIN-2D. Pada analisis riwayat waktu, beban gempa yang digunakan adalah El
Centro 1940, Bucharest 1977, Florest 1992, dan Pacoima Dam 1971.
Dari hasil analisis, dibandingkan hasil target peralihan dari empat metoda
yang digunakan yaitu ATC-40, FEMA 356, FEMA 440, dan SNI 1726-2002 yang
menunjukan bahwa kinerja batas yltimit menurut SNI 1726-2002 lebih besar
daripada target peralihan yang dihitung menurut ATC-40, FEMA 356, dan FEMA
440. Kemudian dari hasil pushover analysis menurut riwayat waktu, peralihan yang
diakibatkan oleh gempa EL Centro, Pacoima dan Flores belum melampaui target
peralihan (pushover analysis). Sedangkan gempa bucharest telah melampaui target
peralihan. Dari hasil analisis Gaya Geser Dasar vs Peralihan yang dinyatakan dalam
kurva, menunjukkan bahwa gempa El Centro, Flores, dan Pacoima nilai
maksmimum envelope peralihan belum melampaui target peralihan sesuatu hasil
21
dari analisis beban dorong, sedangkan untuk gempa Bucharest sudah melampaui.
Kesimpulan dari hasil analisis didapatkan bahwa Gempa El Centro, Pacoima dan
Flores apabila dibandingkan dengan analisis beban dorong, hasil peralihan, drift
dan rotasi sendi plastis yang terjadi jauh lebih kecil, maka analisis beban dorong
cukup rasional dan dapat diandalkan untuk evalusi perliku seismik.
Afandi (2010) dalam skripsi berjudul Evaluasi Kinerja Seismik Struktur
Beton Dengan Analisis Pushover Menggunakan SAP2000 (Studi Kasus : Gedung
Rumah Sakit di Surakarta), dalam penelitian ini dilakukan evaluasi bangunan pada
bangunan rumah sakit yang terdiri dari 5 lantai dan 2 lantai basement dengan
dinding geser untuk mengetahui pola keruntuhan gedung setelah dianalisis dengan
pushover dan perilaku gedung apakah linier atau menjadi nonlinier. Kriteria kinerja
seismik struktur bangunan ditentukan menggunakan code ATC-40 dan kemudian
untuk mengetahui pola keruntuhan bangunan sehingga diketahui joint-joint yang
mengalami kerusakan dan mengalami kehancuran. Setelah dilakukan analisis
mengunakan program SAP2000, gedung yang termasuk dalam level kinerja
immediate Occupancy terdapat kerusakan pada struktur dimana kekuatan dan
kekakuannya hampir sama dengan kondisi sebelum gempa dan gedung dapat
digunakan kembali. Dari kurva arah Y memberikan gambaran perilaku struktur dari
tahap kondisi elastis, in-elastis kemudian mengalami keruntuhan yang ditunjukkan
kurva dengan penurunan tajam, kemudia konsep desai\n strong column weak beam
telah dipenuhi yang ditunjukkan terbentuknya sendi plastis diawali dari elemen
balok yang kemudian pada saat mencapai performance point mayoritas elemen
balok terbentuk sendi plastis kemudian pada bagian elemen balok mencapai kondisi
batas in-elastis.
22
2.2 KEASLIAN PENELITIAN
Penelitian mengenai evaluasi kinerja gedung terhadap gempa saat ini sudah
cukup banyak mengingat intensitas gempa yang terjadi di wilayah Indonesia
semakin mengingkat dan berkembang. Penelitian tersebut dikukan dengan
menggunakan program SAP2000 dan ETABS dengan berbagai jenis permodelan
pada kinerja struktur bangunan.
Keaslian penelitian diperlukan sebagai bukti agar tidak adanya plagiarisme
antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan. Sepengetahuan
penulis, penelitian evaluasi kinerja bangunan sampel gedung perkuliahan disalah
satu Universitas Swasta Yogyakarta yang beralamat di Condongcatur, Depok,
Sleman, Yogyakarta. belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
Keaslian pada penelitian ini yaitu pada :
1. fungsi dan model bangunan,
2. pemakaian code/pedoman yang menggunakan SNI terbaru, yaitu SNI 2012.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan SNI 1991 dan SNI
2002. Perbedaan antara SNI 2012 dengan SNI sebelumnya terlihat jelas
pada kategori bangunan dan nilai faktor keutamaan bangunan, dan
3. metode evaluasi lebih bervariasi seperti metode RVS dengan FEMA 154
dan FEMA 310, metode deman vs capacity, dan membandinkan hasil
analisis nonlinier pada SAP terhadap perhitungan manual berdasarkan
FEMA 356.
Peneltian ini diharapkan dapat digunakan untuk perbaikan dan melengkapi dari
penelitian sebelumnya sehingga keaslian penelitian ini dapat dijaga.
23
BAB III
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang digunakan sebagai
pedoman dasar pada penulisan tesis ini. Landasan teori pada penelitian ini antara
lain adalah Teori Evaluasi dan Mitigasi Bangunan Gedung Terhadap Bencana
Gempa, Filosofi Bangunan Tahan Gempa, Theory Capacity Design, Desain Kinerja
Struktur Tahan Gempa (Performance Based Design), Jenis Respon Struktur,
Prosedur Evaluasi Kekuatan Struktur Bangunan Existing Mengacu pada FEMA
310, Rapid Visual Screening (RVS), Evaluasi Tahap 2, Evaluasi Analisis Statik
Non Linier, dan Sendi Plastis.
3.1 TEORI EVALUASI DAN MITIGASI BENCANA GEMPA PADA
BANGUNAN GEDUNG
3.1.1 Teori Evaluasi
Menurut Wirawan (2010), Secara umum evaluasi dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu obyek dengan
menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan suatu tolak ukur untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Untuk memperoleh informasi yang tepat dalam
kegiatan evaluasi dilakukan melalui kegiatan pengukuran. Pengukuran merupakan
suatu proses pemberian skor atau angka-angka terhadap suatu keadaan atau gejala
berdasarkan aturan-aturan tertentu. Dengan demikian terdapat kaitan erat antara
pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation) kegiatan pengukuran
merupakan dasar dalam kegiatan evaluasi.
Menurut Yunalia Muntafi (2012), Perancangan bangunan terhadap beban
gempa setelah tahun 2000-an mulai menggunakan perancangan bangunan berbasis
kinerja. Dalam hal ini, perancangan tidak hanya berdasarkan gaya-gaya yang
bekerja tetapi juga memperhatikan besarnya deformasi yang terjadi untuk
mengurangi kerusakan pada komponen non struktur. Di sisi lain, bangunan-
bangunan lama yang telah dirancang dengan peraturan perencanaan sebelum tahun
24
2000-an, belum menggunakan sistem perencanaan berbasis kinerja. Pada
umumnya, gaya gempa yang digunakan dalam desain bangunan relatif kecil dengan
nilai reduksi beban gempa R yang relatif besar (maksimum 8,5). Seiring waktu,
intensitas gempa dapat dikatakan semakin besar, bahkan hasil dari rencana peta
hazard gempa Indonesia 2010 menunjukkan sebagian besar wilayah di Indonesia
mengalami kenaikan nilai PGA (g). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
terhadap bangunan-bangunan yang didesain sebelum tahun 2000-an.
Seiring berjalannya operasional suatu bangunan gedung, maka diperlukan
evaluasi terhadap existing building tersebut yang menyangkut kelayakan keamanan
serta kenyamanan dari segi teknis. Terjadinya alih fungsi bangunan, faktor umur
bangunan, perubahan lingkungan bahaya kebakaran, dan perubahan beban beban
luar seperti gempa atau penambahan alat atau mesin, akan berakibat berubahnya
kinerja bangunan secara langsung (Santosa B, 2012).
Menurut Wiryanto Dewobroto (2006), keamanan dan keselamatan
bangunan tidak hanya bergantung pada tingkat kekuatan, tetapi juga pada tingkat
deformasi dan energi terukur pada kinerja struktur. Trend terbaru perencanaan
maupun evaluasi bangunan terhadap gempa saat ini adalah perencanaan berbasis
kinerja yang dikenal dengan Performance Based Earthquake Engineering (PBEE).
Konsep perencanaan berbasis kinerja merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan
aspek layan. Konsep PBEE dapat digunakan untuk mendesain bangunan baru
(Performance Based Seismic Design) maupun mengevaluasi bangunan yang sudah
ada (Performance Based Seismic Evaluation). Dalam perkembangannya, analisis
statik nonlinier yang lebih dikenal dengan istilah pushover analysis merupakan
pilihan yang menarik dalam mengevaluasi bangunan karena menggunakan konsep
PBEE sehingga dapat diketahui kinerja seismik strukturnya. Prosedur pushover
analysis sesuai konsep PBEE telah ada pada dokumen ATC-40 (capacity spectrum
method) serta FEMA 356 dan FEMA 440 (displacement coefficient method).
Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama
masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap
kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini
mungkin, sebab suatu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah
kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005).
25
1. Masalah durability akibat material yang kurang baik
2. Kesalahan perencanaan dan pelaksanaan
3. Lingkungan agresif yang belum diantisipasi saat perencanaan
4. Overloading akibat kenaikan beban karena perubahan fungsi/pemakaian
bangunan
5. Kenaikan life-span
6. Penyebab khusus dan beban berlebih: gempa, banjir, kebakaran
7. Life-span yang berbeda-beda antara bahan-bahan struktur dan non struktur.
Evaluasi kinerja bangunan dapat dijadikan sebagai landasan perlu
dilakukannya perbaikan kinerja bangunan atau justru diperlukan bangunan baru,
karena kinerja bangunan lama yang tidak memungkinkan lagi secara teknis
digunakan untuk mengantisipasi kinerja akibat fungsi baru atau perubahan beban.
Hal ini bisa muncul akibat terjadinya perubahan standar tata cara desain bangunan,
seperti bangunan pada saat desain menggunakan Pedoman Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Rumah dan Gedung SKBI 1987, maka perlu dievalusi ketahanan
gempanya berdasarkan SNI 03-1726-2012 tentang Standar Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Gedung.
Evaluasi bangunan dapat dilakukan dengan dua metode yakni penyelidikan
secara visual, configuration check, strength check, dan performance based design.
1. Penyelidikan secara visual
Evaluasi bangunan existing secara visual merupakan tahapan awal yang
harus dilakukan apakah bangunan tersebut layak untuk dilakukan penyelidikan
lebih lanjut atau tidak. Penyelidikan secara visual atau bisa disebut dengan Rapid
Visual Screening (RVS) ini dapat mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh
FEMA 154 dan FEMA 310, penyelidikan dilakukan dengan melakukan cek struktur
dan non struktur.
2. Configuration check
Configuration check adalah tahapan lanjutan dari penyelidikan secara visual
pada bangunan. Cek konfigurasi bangunan dilakukan pengamatan pada bentuk
bangunan apakah bangunan tersebut berbentuk reguler atau irreguler, terdapatnya
26
kolom pendek, soft story, bangunan bersebelahan, dan set back pada bentuk
bangunan tersebut. Misalnya, bangunan perlu di evaluasi apabila memiliki denah
yang irreguler (tidak beraturan) karena diduga akan terdapatnya momen puntir.
Gambar 3.1 Plan Irregularity bangunan
(Sumber : FEMA 154)
Cek konfigurasi dilakukan dengan pengecekan secara cepat (quick check),
dilakukan untuk mengetahui potensi kelemahan pada bangunan. Hasil dari quick
check kemudian dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam FEMA 310
(1998). Beberapa parameter yang dicek antara lain kekakuan tingkat, tegangan
geser balok dan kolom pada struktur beton, dan gaya aksial kolom akibat gaya
guling.
3. Strength check
Cek kekuatan bangunan dilakukan dengan melakukan analisis struktur
bangunan baik dengan analisis linier statik elastik maupun analisis linier statik
dinamik elastik. Dari hasil analisis tersebut, maka akan dilakukan cek demand
capacity ratio dari hasil kapasitas momen, gaya geser, serta gaya aksial dari elemen-
elemen pada bangunan tersebut.
4. Performance based design
Saat ini perencanaan struktur untuk bangunan tahan gempa sudah mulai
populer digunakan perencanaan yang berbasis kinerja (Performance Based Seismic
Design) dimana kinerja struktur dijadikan sebagai sasaran perencanaan. Pada
27
perencanaan ini disyratkan suatu level kinerja yang diinginkan. Lever kinerja
tersebut menurut FEMA 356 (2000), adalah sebagai berikut:
a) Operational Performance Level
b) Immediate Occupancy Level
c) Life Savety Level
d) Collpse Prevention Level
Dengan membandingkan antara kapasitas struktur dan tuntutan kinerja,
analisis kinerja dapat dilakukan. Demand atau tuntutan kinerja merupakan
representasi dari pergerakan tanah akibat gempa sehingga parameter yang
digunakan adalah perpindahan struktur, sedangkan kapasitas struktur merupakan
representasi dari kemampuan struktur untuk memikul seismic demand. Kinerja
struktur akan diperoleh jika kapasistas struktur lebih besar dari pada seismic
demand.
Matrik Desain Tujuan Batas Kinerja seperti yang ditunjukan pada Gambar
3.2 dibawah, yang telah diusulkan untuk bangunan oleh Vision 2000 Committee
dan sekarang ini telah digunakan secara luas oleh para komunitas pakar kegempaan
(Bertero dan Bertero, 2002).
Gambar 3.2. Matrix hubungan Level desain gempa dengan Level Kinerja
Bangunan.
(sumber : Bertero, R.D dan Bertero, V.V, 2002)
28
Evaluasi kinerja struktur bangunan dapat dilakukan dengan perhitungan
analisis struktur dengan bantuan program analisis struktur seperti SAP2000 dan
ETABS. Tahapan evaluasi ini berpedoman pada SNI 03-1726-2012, FEMA 356,
dan ATC-40. Evaluasi bangunan atau pemeriksaan bangunan pasca bencana
dilakukan dengan beberapa tahapan yang nanti diperlukan untuk kebutuhan data
dan akan mengemukakan permasalahan yang ada pada bangunan tersebut, berikut
adalah tahapan-tahapan pemeriksaan bangunan:
1) Pemeriksaan dengan melakukan pengamatan visual terhadap bagian-bagian
bangunan yang mengalami gejala kerusakan, kemudian akan dicatat jenis
kerusakan, tingkat kerusakan, dan pola kerusakannya.
2) Setelah pengamatan visual, maka dilakukan pengelompokkan jenis
kerusakan berdasarkan bagian apa saja yang rusak dan bagian apa saja yang
tidak rusak, bagian yang mengalami kerusakan akan ditandai agar
memudahkan utnuk pemeriksaan selanjutnya.
3) Dari berbagai pengamatan kerusakan sebelumnya, akan ditetapkan metode
pemeriksaan yang nantinya akan dilakukan dengan melihat kondisi dan
situasi daerah yang mengalami kerusakan. Sangat memungkinkan
dilakukannya re-design bangunan jika diperlukan.
Setiap pemeriksaan bangunan gedung diperlukan untuk menentukan tingkat
keandalan struktur bangunan eksisting. Pada pemeriksaan sampai pada tahap
pemeriksaan detil, tingkat keandalan ditentukan berdasarkan hasil evaluasi struktur.
Penentuan tingkat keandalan diperoleh melalui tahap evaluasi struktur setelah
mengetahui kualitas bahan bangunan eksisting. Kualitas bahan bangunan eksisting
dilakukan melalui serangkaian pengujian baik destruktif maupun non destruktif.
Dari hasil pengujian dapat diketahui kualitas bahan beton baik mengenai kuat tekan
beton, kualitas homogenitas beton, dan kualitas baja tulangan. Data kualitas bahan
beton bertulang eksisting kemudian diguanakan sebagai input dalam analisis
struktur bangunan. Hasil akhir dari analisis struktur diperlukan untuk mengetahui
apakah setiap komponen struktural eksisting masih mampu memikul beban
rencana.
29
3.1.2 Mitigasi Bencana Gempa Pada Bangunan Gedung
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, banjir,
longsor, badai tropis, dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
Salah satu dari kegiatan mitigasi bencana adalah perencanaan dan
identifikasi. Perencanaan dalam mitigasi bencana gempa pada bangunan gedung
dimaksudkan bahwa gedung yang direncanakan harus memenuhi kriteria desain
sesuai dengan peraturan yang berlaku baik itu dari segi Force Based Design
maupun Performance Based Seismic Design sehingga bangunan tersebut sesuai
dengan fungsi kegunaannya. Setelah bangunan tersebut teridentifikasi level
kinerjanya maka pemantauan resiko bencana dapat dilakukan.
Pada umumnya bangunan gedung direncanakan dapat berfungsi selama
masa layan tertentu. Namun selama masa layannya, bangunan rentan terhadap
kerusakan akibat berbagai hal. Setiap kerusakan diusahakan dapat dideteksi sedini
mungkin, sebab satu kerusakan dapat merembet, memicu, dan memperparah
kerusakan lainnya. Beberapa penyebab kerusakan antara lain (Triwiyono, 2005).
Identifikasi untuk level kinerja bangunan dimaksudkan agar bangunan tersebut
dapat disesuaikan dengan kegunaannya. Sehingga apabila terjadi bencana gempa
bumi dapat diinformasikan apakah bangunan tersebut dapat langsung dipakai tanpa
30
mengalami kerusakan struktur dan non struktur (level fully operational),
mengalami kerusakan struktur dan non struktur ringan namun masih bisa langsung
dihuni kembali (level immediate occupancy), atau mengalami kerusakan parah
sehingga bangunan tidak layak untuk dihuni kembali pasca gempa bumi (level Near
Collapse atau Collapse Prevention).
3.2 FILOSOFI BANGUNAN TAHAN GEMPA
Struktur / bangunan tahan gempa adalah struktur yang tahan (tidak rusak
dan tidak runtuh) apabila terlanda gempa. Bukan struktur yang semata-mata sudah
diperhitungkan (dalam perencanaan) dengan beban gempa (beban horizontal)
(Kardiyono, 2008). Adapun prinsip-prinsip disain filosogi bangunan tahan gempa
adalah (ATC 1978, Key, Murty 2002, Widodo 2007):
1. Pada gempa kecil (light, atau minor earthquake) yang sering terjadi, maka
struktur utama bangunan harus tidak rusak dan berfungsi dengan baik.
Kerusakan kecil yang masih dapat ditoleransi pada elemen non struktur
masih diperbolehkan
2. Pada gempa menengah (moderate earthquake) yang relative jarang terjadi,
maka struktur utama bangunan boleh rusak/retak ringan tetapi masih dapat
diperbaiki. Elemen non struktur dapat saja rusak tetapi masih dapat diganti
dengan yang baru
3. Pada gempa kuat (strong earthquake) yang jarang terjadi, maka bangunan
boleh rusak tetapi tidak boleh runtuh total (totally collapse). Kondisi seperti
ini juga diharapkan pada gempa besar (great earthquake), yang tujuannya
adalah melindungi manusia/penghuni bangunan secara maksimum.
31
3.3 THEORY CAPACITY DESIGN
Pada saat terjadi gempa, suatu struktur mengalami getaran gempa dari
lapisan tanah di bawah dasar bangunannya secara acak dalam berbagai arah.
Apabila struktur tersebut sangat kaku atau dengan kata lain mempunyai waktu getar
alami T, yang mendekati nol detik, maka besarnya gaya inersia F yang timbul akibat
gempa dan yang bekerja pada titik massa adalah
F = m x ag . (3.1)
dimana :
- m : massa bangunan
- ag : percepatan getaran gempa
Dalam hal ini struktur memberikan respon percepatan yang sama besar
dengan percepatan getaran gempa pada tanah di dasar bangunan. Namun umumnya
struktur-struktur bangunan mempunyai nilai kekakuan lateral yang beraneka ragam
dan dengan demikian memiliki waktu getar alami, T yang berbeda-beda pula. Oleh
karenanya respon percepatan maksimum struktur tidak selalu sama besar dengan
percepatan getaran gempa. Gambar 3.3 memperlihatkan respon percepatan
maksimum berbagai struktur berderajat kebebasan tunggal yang terletak di atas
suatu lapisan tanah dan mengalami getaran gempa tertentu. Kurva- kurva diatas
lazim disebut sebagai spektrum respon percepatan yang merupakan hasil idealisasi
atau smothing dari respon sesungguhnya yang biasa berbentuk tidak teratur.
Tampak dalam Gambar 3.3 suatu struktur dapat mengalami gaya inersia gempa
yang beberapa kali lebih besar dari berat bangunannya (sebesar
1.0 mg dengan m : massa bangunan dan g : percepatan gravitasi). Mengingat
kemungkinan besarnya gaya inersia gempa yang bekerja pada titik pusat massa
bangunan, maka telah diterima sebagai suatu kenyataan, bahwa tidaklah ekonomis
untuk merencanakan struktur-struktur umum sedemikian kuatnya, sehingga tetap
berperilaku elastis saat dilanda gempa kuat.
32
Gambar 3.3. Spektrum Respon Percepatan Elastis Struktur dengan Berbagai
Waktu Getar Alami dan Tingkat Damping
Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk
pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban
gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa
kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur
tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan
sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti
diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan
berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur
ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf
pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil
dari OA. Berbagai peraturan perencanaan bangunan terhadap gempa, termasuk
pedoman perencanaan yang berlaku di Indonesia menetapkan suatu taraf beban
gempa rencana yang menjamin suatu struktur agar tidak rusak oleh gempa-gempa
kecil atau sedang, tetapi saat dilanda gempa kuat yang jarang terjadi, struktur
33
(a).Respon dengan Defleksi
Maksimum Sama
(b).Respon dengan Energi
Potensial Sama
tersebut mampu berperilaku daktail dengan memencarkan energi gempa dan
sekaligus membatasai beban gempa yang masuk ke dalam struktur. Seperti
diilustrasikan pada Gambar 3.4 saat terjadi gempa kuat struktur yang direncanakan
berperilaku elastis harus dapat memikul beban gempa sebesar OA. Bila struktur
ternyata mampu berperilaku daktail dengan membentuk sendi plastis, maka taraf
pembebanan gempa cukup ditentukan sebesar OB yang beberapa kali lebih kecil
dari OA.
Gambar 3.4. Respon Struktur Berperilaku Elastis dan Elastoplastis saat Terjadi
Gempa Kuat (a).
Serangkaian hasil analisis dinamis menunjukkan bahwa struktur daktail dengan
waktu getar alami T yang relatif panjang cenderung untuk memiliki respon
elastoplastis dengan defleksi maksimum yang sama besar dengan defleksi
maksimum respon elastisnya. Besarnya faktor pembatasan beban gempa R sama
dengan besarnya daktilitas struktur , yang merupakan rasio antara defleksi
maksimum maks dan defleksi saat leleh pertama y, sedangkan struktur dengan
waktu getar alami, T yang relatif pendek cenderung berperilaku elastoplastis
dengan energi potensial yang sama besar dengan energi potensial respon
34
elastisnya. Besarnya faktor beban R, dalam hal ini sama dengan (2 1).
Dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa, terbentuknya sendi-sendi
plastis, yag mampu memencarkan energi gempa dan membatasi besarnya beban
gempa yang masuk ke dalam struktur harus dikendalikan sedemikian rupa agar
struktur berperilaku memuaskan dan tidak sampai runtuh saat terjadi gempa kuat.
Pengendalian terbentuknya sendi-sendi plastis pada lokasi-lokasi yang telah
ditentukan lebih dahulu dapat dilakukan secara pasti terlepas dari kekuatan dan
karakteristik gempa. Filosofi perencanaan seperti ini disebut dengan Konsep
Desain Kapasitas. Untuk menghadapi gempa kuat yang mungkin terjadi dalam
periode tertentu, misalnya 500 tahun, maka mekanisme keruntuhan suatu portal
rangka terbuka beton bertulang dipilih sedemikian rupa sehingga memencarkan
energi gempa terjadi secara memuaskan dan keruntuhan yang bersifat katastropik
dapat dihindarkan. Gambar 3.5 memperlihatkan dua mekanisme yang khas dapat
terjadi pada portal-portal rangka terbuka.
(a). Sendi Plastis pada Balok Tidak Menyebabkan Keruntuhan (Mekanisme
Keruntuhan yang Diinginkan)
35
(b). Sendi Plastis pada Kolom Tidak Menyebabkan Keruntuhan Lokal pada Satu
Tingkat (Mekanisme Keruntuhan yang Tidak Diinginkan)
Gambar 3.5. Mekanisme Khas yang Dapat Terjadi pada Portal Rangka Terbuka
Mekanisme goyang dengan pembentukan sebagian besar sendi plastis pada
balok-balok lebih dikehendaki daripada mekanisme dengan pembentukan sendi
plastis yang terpusat hanya pada ujung-ujung kolom suatu lantai (soft story
mechanism), karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Pada mekanisme pertama (Gambar 3.5.a) pemencaran energi gempa
terjadi di dalam banyak unsur, sedangkan pada mekanisme kedua
(Gambar 3.5.b) pemencaran energi terpusat pada sejumlah kecil kolom-
kolom struktur
2. Pada mekanisme pertama, bahaya ketidakstabilan akibat efek P- jauh
lebih kecil dibandingkan dengan yang mungkin terjadi pada mekanisme
kedua (soft story mechanism)
3. Daktilitas kurvatur dituntut pada balok untuk menghasilkan daktilitas
struktur terentu, misalnya = 5.2 untuk struktur dengan daktilitas penuh,
dimana terjadi redistribusi gaya-gaya secara luas.
Guna menjamin terjadinya mekanisme goyang dengan pembentukan
sebagaian besar sendi plastis pada balok, Konsep Desain Kapasitas diterapkan
untuk merencanakan agar kolom-kolom lebih kuat dari balok-balok portal (strong
36
column-weak beam). Keruntuhan geser pada balok yang bersifat getas juga
diusahakan agar tidak terjadi lebih dahulu dari kegagalan akibat beban lentur pada
sendi-sendi plastis balok setelah mengalami rotasi-rotasi plastis yang cukup besar.
Pada prinsipnya, dengan konsep desain kapasitas, elemen-elemen utama
penahan beban gempa dapat dipilih, direncanakan dan didetail sedemikian rupa,
sehingga mampu memencarkan energi gempa dengan deformasi inelastis yang
cukup besar tanpa runtuh, sedangkan elemen-elemen lainnya diberi kekuatan yang
cukup, sehingga mekanisme yang telah dipilih dapat dipertahankan pada saat terjadi
gempa kuat. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar mekanisme ni dapat
dijamin tercapai adalah :
1. Faktor peningkatan kuat lentur balok sebagai elemen utama pemencar energi
gempa. Mengetahui secara tepat kuat lentur daerah sendi plastis balok, yang
sengaja direncanakan sebagai bagian yang lemah, merupakan hal yang sangat
penting untuk memastikan kolom-kolom lebih kuat dan kegagalan getas akibat
beban geser tidak terjadi lebih awal dari terbentuknya sendi-sendi plastis
dengan deformasi lentur yang cukup besar.
Namun kenyataannya sangatlah sulit untuk memperkirakan secara cukup akurat,
kuat lentur balok saat mengalami deformasi inelastis akibat gempa kuat. Umumnya
kuat lentur akibat balok dapat dipastikan lebih besar dari kuat nominalnya. Faktor-
faktor penyebab meningkatnya kuat lentur balok secara garis besar dapat
ditunjukkan sebagai berikut :
a. Kuat leleh aktual tulangan baja (fy) umumnya lebih besar dari nilai nominalnya
yang ditentukan dalam standar tata cara perencanaan.
b. Pengaruh strain hardening pada tulangan baja tidak diperhiungkan dalam
perencanaan seperti diilustrasikan pada Gambar 3.6.
c. Kemungkinan bertambah besarnya tegangan tekan dan regangan tekan
maksimum beton akibat adanya pengekangan yang baik seperti terlihat pada
gambar 3.7.
37
Gambar 3.6. Hubungan Tegangan Regangan Tulangan Baja
Gambar 3.7. Hubungan Tegangan Regangan Tekan Beton Dengan dan Tanpa
Pengaruh Pengekangan.
Guna memperhitungkan adanya kemungkinan peningkatan kuat lentur penampang
balok di daerah sendi plastis, SNI 03-2847-2002 menentukan faktor penambahan
kekuatan (over strength factor) o sebesar 1.25 untuk fy < 400 Mpa dan o sebesar
1.4 untuk fy > 400 Mpa. Selanjutnya kapasitas lentur penampang balok dapat
diperkirakan sebesar
M kap, b = o Mnak, b
Dimana :
Mnak,b : kuat lentur nominal balok yang dihitung berdasarkan luas tulangan
yang sebenarnya ada pada penampang yang ditinjau.
38
2. Faktor pengaruh beban dinamis pada kolom
Pada mekanisme daktail yang dikehendaki untuk portal rangka terbuka,
sebagian besar sendi plastis terjadi pada ujung-ujung akhir bentang balok. Bila
daerah sendi plastis ini sudah direncanakan penulangannya, maka momen kapasitas
balok dapat diperhitungkan sebagai momen rencana yang bekerja pada kolom.
Masalahnya, penentuan besarnya bagian momen rencana yang harus diterima oleh
kolom sebelah atas dan kolom sebelah bawah balok tidak mudah dilakukan. Pola
pembagian momen dari hasil analisis elastis akibat beban statik ekuivalen hanya
benar bila yang dominan ialah ragam pertama vibrasi struktur. Namun, akibat
terjadinya plastifikasi pada sebagian besar pada sebagian besar elemen-elemen
struktur, maka ragam-ragam vibrasi yang lebih tinggi menjadi cukup dominan,
sehingga pola distribusi momen yang diperoleh dari hasil analisis elastis akan
mengalami perubahan yang cukup besar. Adapun nilai kuat lentur kolom harus
memenuhi persamaan sebagai berikut :
M e 6
5 M g
Dimana :
M e : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan
kuat lentur nominal kolom yang merangka pada hubungan balok kolom
tersebut.
M g : Jumlah momen pada pusat hubungan balok kolom, sehubungan dengan
kuat lentur nominal balok-balok yang merangka pada hubungan balok
kolom tersebut.
Perlu pula diketahui, bahwa meskipun penampang kolom mungkin menjadi lebih
besar kebutuhan tulangan memanjang bertambah sebagai konsekuensi penerapan
persamaan diatas., namun dengan adanya jaminan tidak akan terbentuknya sendi
plastis pada ujung0ujung kolom di atas lantai dasar, beberapa keuntungan dapat
diperoleh antara lain :
a. Kolom yang lebih sulit diperbaiki daripada balok, kini dilindungi dengan
tingkat keamanan yang lebih tinggi terhadap bahaya kerusakan.
39
b. Penyambungan tulangan longitudinal kolom sebenarnya dapat dilakukan segera
di atas lantai berikutnya, tidak perlu lagi di rencanakan di tengah- tengah kolom.
c. Karena respon inelastik bolak-balik tidak terjadi pada daerah ujung kolom,
maka kontribusi beton terhadap kuat geser penampang dapat diperhitungkan,
sehingga kebutuhan tulangan geser (sengkang atau spiral) menjadi lebih sedikit
d. Tuntutan daktilitas pada daerah ujung kolom di atas lantai dasar menjadi sangat
kecil, bahkan dapat diabaikan, sehingga tidak lagi diperlukan sengkang atau
spiral untuk pengekangan daerah sendi plastis kolom dan ini berarti tingkat
kerapatan tulangan di daerah pertemuan balok kolom dapat berkurang secara
drastis.
e. Pencegahan terhadap lelehnya tulangan longitudinal kolom menyebabkan
pertemuan balok kolom berperilaku lebih baik.
f. Sedikit lebih besarnya penampang kolom justru memperbaiki
pengangkuran tulangan lentur balok yang seringkali sulit terpenuhi di daerah
pertemuan balok kolom.
3. Redistribusi Momen
Dari hasil superposisi momen akibat beban gravitasi dan momen akibat
beban lateral akan diperoleh momen tumpuan (negatif) yang bertambah besar dan
momen lapangan (positif) yang relatif jauh lebih kecil. Di samping itu, dapat pula
terjadi perbedaan momen pada muka tumpuan balok di samping kanan dan kiri
kolom interior. Tidak berimbangnya momen lentur di daerah tumpuan dan lapangan
seringkali dapat menyebabkan tinggi balok tidak dimanfaatkan secara optimal
untuk memperoleh kuat lentur yang diperlukan. Momen tumpuan yang terlalu besar
dan adanya perbedaan momen tumpuan balok di samping kiri dan kanan kolom
interior dapat mengakibatkan diperlukannya tulangan lentur pada balok secara
berlebihan dari yang benar-benar dibutuhkan. Hal ini mengingat bahwa balok
sebenarnya mampu meredistribusi momen melalui aksi inelastis. Tulangan lentur
balok yang berlebihan membawa konsekuensi pada pembesaran momen rencana
kolom dan pondasi. Guna mengatasi masalah-masalah tersebut dapat digunakan
teknik redistribusi momen dalam proses perencnaan dengan tujuan :
40
a. Mengurangi besarnya momen maksimum tumpuan dan mengalihkan ke
lapangan, sehingga didapatkan distribusi kekuatan lentur yang lebih rata.
b. Menyamakan momen akibat beban gempa bolak-balik yang bekerja pada balok
menerus di kiri dan kolom interior.
c. Memanfaatkan secara penuh tulangan lentur positif di daerah tumpuan yang
jumlahnya disyaratkan minimum 50% dari jumlah tulangan lentur negatif,
sehingga perencanaan menjadi lebih ekonomis.
d. Mengurangi besarnya momen yang masuk dalam kolom
Tujuan melakukan redistribusi momen adalah :
1. Prinsip keseimbangan statis terpenuhi.
2. Kemampuan portal dalam menahan beban lateral tidak berubah.
3. Tidak terjadi sendi plastis pada ujung-ujung kolom di atas lantai dasar.
Di samping itu perlu pula diperhatikan pembatasan besar momen yang boleh
diredistribusi sebab redistribusi momen yang terlalu jauh berbeda dari hasil analisis
elastik struktur dapat mengakibatkan retak yang berlebihan pada struktur saat
struktur dilanda gempa kecil dan SNI 03-2847-2002 menyatakan nilai maksimum
redistribusi momen adalah :
(1
) 20% . (3.2)
dimana : - < 0.5 b
: rasio tulangan tarik
: rasio tulangan tekan
b : rasio tulangan tarik dalam kondisi seimbang (balance)
b = 0.85 1
(
600
600+)
4. Kualitas Pendetailan
Konsep desain Kapasitas hanya akan berhasil menjamin struktur untuk
berperilaku memaskan saat terjadi gempa kuat apabila disertai dengan pendetailan
41
yang baik pada elemen-elemen struktur dan join-joinnya. Daerah- daerah sendi
plastis perlu didetail secara khusus agar mampu derdeformasi secara inelastis cukup
besar sesuai dengan daktilitas yang dituntut. Namun daerah-daerah di luar sendi
plastis harus diusahakan agar sedapat-dapatnya tetap elastis, tergantung dari
intensitas gempa yang terjadi. Pada daerah- daerah di luar sendi plastis ini tidak
perlu dilakukan pendetailan khusus.
Sumber utama pemencaran energi suatu portal beton bertulang rangka
terbuka adalah sendi-sendi plastis pada balok-balok di seluruh lantai dan pada
penampang kolom terbawah yang berhubungan dengan pondasi. Ragam
keruntuhan portal dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Mekanisme Plastis yang Diharapkan Terjadi Dari Suatu Portal
Rangka Terbuka Bertingkat Tinggi dan Daerah-daerah Elastis yang Memerlukan
Perhatian Khusus
Sedangkan respon dari penampang-penampang lainnya seperti penampang
tengah bentang, kolom-kolom di atas kolom-kolom dasar dan join balok kolom
harus masih dalam keadaan elastis. Perencanaan dengan ragam keruntuhan yang
telah ditentukan dan tempat-tempat sumber pemencaran energi yang telah dipilih,
sedangkan penampang-penampang lainnya direncanakan lebih kuat dari sendi-
sendi plastis yang dapat terjadi, disebut Perencanaan Kapasitas atau Capacity
Design.
42
3.4 DESAIN KINERJA STRUKTUR TAHAN GEMPA (PERFORMANCE
BASED DESIGN)
Setelah struktur beton bertulang tahan gempa didesain sesuai dengan SNI
03-2847-2002 dengan tingkat daktilitas tertentu, maka perlu diperiksa dengan
analisis pushover untuk verifikasi desain. Analisis pushover adalah analisis lateral
statik non linier dimana struktur dibebani oleh gaya lateral (untuk
mempresentasikan gaya gempa) dengan distribusi sesuai dengan asumsi design,
sampai struktur runtuh akibat gaya lateral tersebut. Beban lateral diberikan secara
bertahap (incremental) sehingga proses urutan sendi plastis pada struktur dapat
terbentuk secara bertahap pula. Urutan terjadinya sendi plastis merupakan verifikasi
dalam desain. Pada umumnya sendi plastis pada balok terbentuk terlebih dahulu
dan urutan terakhir adalah sendi plastis pada kolom dasar, sehingga daktilitas
maksimum struktur tercapai. Bila ternyata perilaku struktur tidak seperti yang
diharapkan pada desain maka desain struktur harus diulang sedemikian rupa
sehingga terjadi proses iterasi pada desain sampai iterasi konvergen. Hasil akhir
dari analisis pushover adalah berupa plot anatara Gaya Geser Dasar (Base Shear)
dan deformasi atap struktur (Xroof).
Pada peraturan SNI 03-1726-2003 besaran yang harus diverifikasi antara lain :
1. Daktilitas Struktur ()
2. Faktor Reduksi Gempa (R)
3. Faktor kuat lebih f1, f2, . Faktor f1, f2, diperlukan untuk mendesain pondasi
agar pondasi harus tetap berperilaku elastis selama sendi plastis terbentuk pada
kolom dasar.
Parameter yang diperiksa sesuai dengan ketentuan SNI 03-1726-2002 adalah
parameter pada saat struktur pada kondisi tepat sebelum runtuh. Kondisi ini tidak
selalu berhubungan dengan gempa kuat rencana. Pada saat gempa kuat rencana
terjadi, struktur dapat mengalami baik kondisi under predict atau over predict.
Under predict berarti struktur sudah runtuh pada saat gempa kuat rencana terjadi
karena masalah under design, sedangkan over predict terjadi sebaliknya yaitu
struktur over design. Untuk mengetahui parameter struktur dengan mekanisme
pembentukan sendi plastis pada saat terjadinya gempa kuat rencana, perlu
dikembangkan Metoda Kinerja Struktur yang merupakan state-of-the art.
43
Desain Kinerja Struktur adalah proses kontrol desain untuk mengetahui
kinerja struktur pada saat gempa kuat rencana terjadi dimana struktur tidak
boleh, mengalami under design. ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur
dalam beberapa kategori sesuai dengan parameter rasio antara deformasi atap
struktur terhadap tinggi total struktur pada titik performance point. Performance
point adalah titik potong antara Demand Spectrum sebagai representasi dari
spektrum gempa kuat dan Capacity Spectrum sebagai representasi dari perilaku
kekakuan dan kekuatn struktur atau disebut dengan istilah kurva kapsitas (Capacity
curve), seperti yang terlihat pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9. Performance Point
Capacity curve dihitung berdasarkan hasil dari analisis pushover yang
dimodifikasi dari sistem Multi Dgree of Freedom System menjadi Single Degree
of Freedom System. Baik ATC-40 dan NEHRP membagi kinerja struktur seperti
Tabel 3.1 dan Gambar 3.10. Dengan mengetahui kinerja struktur maka proses
iterasi menuju desain yang ekonomis dapat dilakukan sampai konvergen
44
Tabel 3.1. Deformation Limit ATC 40
Interstory Drift
Limit
Performance Level Immediate Occupancy
(elastis)
Damage Control
Life
Safety
Structural Stability (Collapse Prevention Stage)
Max. Total Drift
0.01
0.01-0.02
0.02 0.33
Vi
Pi
Max. Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 No limit No limit
* Vi : Lateral Load (Story Shear) ; Pi : Ultimate Axial Load
Gambar 3.10. Klasifikasi Kinerja Struktur Daktail
Kinerja bangunan didapat dari kombinasi antara level kinerja struktur dan
nonstruktur. Sasaran kinerja bangunan terdiri dari kejadian gempa rencana
(hazard), dan taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level)
dari banfunan terhadap kejadian gempa tersebut. Menurut FEMA 273 (1997)
kategori level kinerja struktur dijelaskan dalam Tabel 3.2 sebagai berikut.
45
Tabel 3.2 Kategori Level Kinerja Struktur FEMA 273 (1997)
Kategori Keterangan
S-1 Immadiate Occupancy level
S-2 Damage Cantrol Performance Range (extends between Life
Safety and Immadiate Occupancy performance Level
S-3 Life Safety Performance Level
S-4 Limited Safety Performance Range (extends between Life Safety
and Collapse Prevention Level)
S-5 Collapse Prevention Level
Sedangkan untuk kategori level kinerja nonstruktur, dibedakan menjadi 4
kondisi dalam Tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.3 Kategori Level Kinerja Nonstruktur FEMA 273 (1997)
Kategori Keterangan
N-A Operational Performance Level
N-B Immadiate Occupancy Performance Level
N-C Life Safety Performance Level
N-D Hazard Rduced Performance Level
Dari kategori level kinerja struktur dan nonstruktur, didapatkan hubungan
antara level kinerja struktur yang dinotasikan angka dengan level kinerja
nonstruktur yang dinotasikan dengan huruf. Level kinerja tersebut diuraikan
sebagai berikut ini (FEMA 273, 1997).
1. Operasional Level (1-A)
Pada level ini bangunan tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan
nonstruktur. Bangunan masih berfungsi meskipun terdapat beberapa
kerusakan kecil seperti kerusakan pada instalasi listrik, jaringan air, dan
beberapa utilitas lainnya. Kondisi level kinerja bangunan seperti ini
ditunjukan pada Gambar 3.11 (a),
46
2. Immediate Occupancy Level (1-B)
Terdapat kerusakan pada struktur tetapi kerusakan tersebut tidak terlalu
berarti, maksudnya kekuatan dan kekakuan masih hampir sama dengan
kondisi sebelum gempa. Kondisi komponen nonstruktur masih berfungsi
dan berada atau tersedia ditempatnya. Pada level ini, bangunan masih bisa
digunakan tanpa terganggu pada masalah perbaikan kerusakan bangunan
tersebut. Risiko dari korban yang terjadi pada level kinerja ini sangat kecil.
Kondisi level kinerja bangunin seperti ini ditunjakan pada Gambar 3.11 (b),
3. Life safety Level (3-C)
Pada level ini bangunan mengalami kerusakan pada struktur dan kekakuan
berkurang dari kondisi struktur sebelum mengalami kerusakan, tetapi masih
memiliki kemampuan yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen
nonstruktur mengalami kerusakan dan tidak berfungsi lagi. Bangunan dapat
digunakan kembali apabila sudah dilakukan perbaikan pada bagian struktur
yang mengalami kerusakan, tetapi perbaikan yang dilakukan dapat
dianggap tidak praktis secara ekonomi. Kondisi bangunan pada level ini
seperti ditunjukan pada Gambar 3.11 (c).
4. Structural Stability/Collapse Preventian (5-E)
Kondisi bangunan mengalami kerusakan yang cukup parah baik komponen
struktur maupun nonstruktur. Bangunan secara keseluruhan hampir
mengalami keruntuhan akibat kekuatan struktur dan kekakuannya
berkurang banyak. akibat rusak atau runtuhnya material sangat
memungkinkan terjadinya korban jiwa, dan bangunan mengalami kerugian
yang cukup besar secara ekonomi. Kondisi level kinerja bangunan ini
ditunjukan seperti Gambar 3.11 (d).
Apabila struktur menghalami gempa dengan beban gempa yang lebih kecil
dari gempa rencana, maka elemen struktur masih dalam kondisi elastik. Setelah titik
leleh pertama beban gempa terus ditingkatkan hingga elemen struktur dalam
kondisi plastis. Setelah batas maksimum kekuatan struktur terlewati, jika beban
gempa terus bertambah, maka struktur mengalami degradasi hingga tidak mampu
lagi menahan beban gempa, tetapi masih mampu menahan beban gravitasi. Apabila
beban ditingkatkan maka struktur akan runtuh. Dari penjelasan masing-masing
47
level kinerja bangunan akibat beban gempa dan simpangan struktur dapat
diilustrasikan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Performance Level (FEMA 451, 1997 dalam PBE Design)
Hubungan antara level kinerja struktur dengan simpangan (drift) pada
elemen vertikal dari sistem pemikul beban lateral berupa struktur rangka beton
bertulang (concrete frames) dapat dilihat pada Tabel 3.4. Nilai simpangan pada
tabel tersebut merupakan nilai-nilai tipikal yang diberikan untuk menjelaskan
respon struktur keseluruhan yang sesuai dengan berbagai level kinerja struktur.
Tabel 3.4 Batasan simpangan untuk level kinerja struktur (FEMA 356,2000)
Level Kinerja Struktur Drift (%) Keterangan
Immidiate Occupancy 1,0 Transient
Live Safety 2,0
1,0
Transient
Permanent
Collapse Prevention 4,0 Transient atau permanent
(a) Operasional
(b) Immediate Occupancy
(d) Collapse
Prevention
(c) Life Safety
48
Gambar 3.12 Simpangan pada atap dan rasio simpangan pada atap (ATC-
40,1996)
Sementara itu, ATC-40 (1996) memberikan batasan deformasi untuk
berbagai level kinerja struktur gedung seperti ditunjukkan pada Tabel 3.5.
Simpangan total maksimum didefenisikan sebagai simpangan antar tingkat pada
perpindahan titik kinerja. Simpangan inelastis maksimum didefenisikan sebagai
bagian dari simpangan total maksimum dibawah titik leleh.
Tabel 3.5 Batasan drift untuk berbagai level kinerja struktur (ATC-40, 1996)
Batasan simpangan
antar tingkat
Level kinerja struktur
Immediate
Occupancy
Damage
Control Live Savety
Structural
stability
Simpangan total
Maksimum 0,01 0,01-0,02 0,02 0,33Vi/Pi
Simpangan inelastis
maksimum 0,005 0,005-0,015
Tidak
dibatasi
Tidak
dibatasi
Level kinerja struktur secara kualitatif dapat dijelaskan pada Gambar 3.11.
Dalam gambar terlihat bahwa level kinerja struktur diwakili oleh suatu kurva
hubungan antara gaya geser dasar dengan perpindahan pada titik kontrol (titik berat
distribusi gaya lateral). Selain itu, ditunjukkan juga bagaimana prilaku keruntuhan
struktur secara menyeluruh terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut diperoleh
dari hasil analisa statik non linier atau analisis pushover.
Konsep perencanaan berbasis kinerja (performance based design)
merupakan kombinasi dari aspek tahanan dan aspek layan. Konsep tersebut dapat
49
digunakan untuk perencanaan bangunan baru maupun rehabilitasi bangunan yang
sudah berdiri dengan mempertimbangkan resiko keselamatan (life), kesiapan pakai
(occupancy) dan kerugian harta benda (economic loss) yang mungkin terjadi akibat
gempa yang akan terjadi.
Aspek tahanan berkaitan dengan tingkatan ancaman bencana (hazard level)
pada suatu bangunan, yakni earthquake design level. Sedangkan aspek layan
berkaitan dengan performance level dalam perencanaan berbasis kinerja dapat
diilustrasikan pada gambar matriks desain tujuan batas kinerja, yang telah diusulkan
untuk bangunan menurut FEMA 356 (2000) pada Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Matriks rehabilitation objectives, hubungan tingkat resiko gempa
dengan level kinerja bangunan (FEMA 356, 2000)
Penjelasan sasaran rehabilitasi pada Gambar 3.13 adalah sebagai berikut :
k + p = basic safety objective
k + p + a, c, l, b, f, j atau n = enhanced objective
o atau m atau n = enhanced objective
k atau p = limited objective
c, g, d, h, l = limited objective
50
Setiap kolom pada matrik pada Gambar 3.13 menggambarkan sasaran
rehabilitasi. Dari matrik pada Gambar 3.13, dapat dilihat bahwa arti pentingnya dari
target kinerja suatu bangunan sesuai dengan filosofi bangunan tahan gempa yakni
menjaga struktur maupun non struktur tetap utuh pada gempa yang sering terjadi
(gempa kecil), bagian struktur dan nin struktur boleh rusak ringan tetapi bias
diperbaiki pada gempa yang relative kadang terjadi (gempa sedang), dalam tingkat
kinerja life safety dapat dijamin keamanannya tetapi biaya untuk perbaikan
mungkin lebih besar pada gempa sedang dan bangunan tidak boleh runtuh total
(totally collapse) pada gempa yang jarang terjadi ( gempa kuat).
3.4.1 Hazard Level
Tingkat resiko berbahaya (hazard level) merupakan ancaman dari luar yang
dapat memberikan dampak terhadap struktur bangunan.Secara umum, bahaya
digambarkan sebagai parameter ukuran kemungkinan terhadap sesuatu hal yang
melampaui ambang batas pada suatu periode waktu tertentu. (Widodo,2008).
Ancaman yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah getaran gempa
bumi. Jadi seismic risk/hazarad level didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya
gempa dengan intensitas dan periode ulang tetentu selama suatu masa layan
bangunan (N tahun), hubungan antara resiko gempa, masa layan bangunan dan
periode ulang kejadian gempa dapat dirumuskan pada persamaan 3.3 sebagai
berikut :
Po = 1 {1 1
TR}
N ...................................................................(3.3)
Keterangan ;
Po = resiko gempa
TR = periode ulang gempa
N = masa layan bangunan
Contoh perhitungan resiko gempa untuk periode ulang gempa dan masa
layan bangunan tertentu menurut Persamaan 3.3, dapat dilihat pada Tabel 3.6.
51
Tabel 3.6 Probability of exceedence
N
Life time
(Year)
TR (Retrun periode of earthquake)
(Year)
5 10 20 50 100 200 500 1000 2500
10 89 65 40 18 10 5 2 1 0.4
30 100 96 79 45 26 14 6 3 1
50 100 99 92 64 39 22 10 5 2
100 100 100 99 87 63 39 18 10 4
Dari Tabel 3.6 terlihat bahwa dengan peridode ulang gempa yang sama dan
penggunaan masa layan bangunan semakin lama maka probabilitas resiko
kerusakan yang terjadi semakin besar dan begitu juga sebaliknya.
Pebedaan fungsi bangunan berpengaruh pada penentuan sasaran rehabilitasi
suatu bangunan sehingga akan berpengaruh terhadap periode ulang gempa rencana
yang digunakan. Pada saat ini peraturan internasional untunk bangunan tahan
gempa menggunakan peta hazard kegempaan dengan resiko terlampaui
(Probability of exceedence) sebesar 10% dan 2% selama masa layan bangunan 50
tahun atau periode ulang gempa 475 tahun dan 2475 tahun. Peta hazard kegempaan
merupakan peta kontur/zonasi percepatan tanah maksimum pada suatu wilayah.
Peta hazard kegempaan pada SNI 1726-03-2002 menggunakan periode ulang
gempa 500 tahun.
3.5. JENIS RESPON STRUKTUR
Pada analisis struktur terdapat beberapa jenis respon struktur yang harus
pahami. Pada pembebanan dinamik, jenis respon struktur tergantung dari banyak
aspek, yaitu (1) level pembebanan dan (2) jenis material. Level pembebanan terdiri
dari elastic dan in elastic (plastis).Sedangkan jenis material yaitu linier dan non
linier. (Widodo, 2007).
52
Beberapa jenis respon struktur antara lain seperti terlihat pada Gambar 3.14
sebagai berikut.
Gambar 3.14 Jenis respon struktur (Widodo, 2007)
3.6. PROSEDUR EVALUASI KEKUATAN STRUKTUR BANGUNAN
EXISTING MENGACU PADA FEMA 310
Menurut FEMA 310 (1998), prosedur evaluasi kekuatan strutur bangunan
existing meliputi 3 tahapan yaitu screening phase (Tier 1), evaluation phase (Tier
2), dan detailed phase (Tier 3). Berikut adalah penjelasan dari tahapan evaluasi
kekuatan struktur bangunan menurut FEMA 310 (1998).
3.6.1 Tier (Tahap) 1: Screening Phase
Pada tahap screening dilakukan secara cepat (Rapid visual screening-RVS)
untuk mendapatkan potensi kelemahan bangunan. Prosedur RVS ini telah
diformulasikan untuk menidentifikasi, menginventaris, dan merangking gedung-
gedung yang berpotensi terhadap resiko gempa. Prosedur RVS dapat dijalankan
relatif cepat dan tidak mahal untuk membuat daftar gendung-gedung yang
berpotensial beresiko tanpa biaya yang mahal dari detail analisis kegempaan
masing-masing gedung.
Prosedur RVS ini didisain untuk digunakan tanpa perhitungan analisis
kinerja struktur. Prosedur RVS tersebut menggunakan sebuah system penilaian
yang dibutuhkan pengguna untuk (1) mengidentifikasi system tahanan beban lateral
pada struktur primer dan (2) mengidentifikasi komponen sekunder pada gedung
yang dapat merubah perkiraan kinerja akibat gempa pada sistem tahanan beban
lateral.
53
Screening phase ini dapat mengacu pada pedoman FEMA 154 (2002) yakni
evaluasi struktur dengan rapid visual screening (RVS) serta dapat dilakukan
screening lebih detail dengan melakukan eheklis evaluasi tier 1 sesuai FEMA 310
(1998). Formulir harus diisi dengan lengkap untuk mengetahui kelemahan
(deficiencies) dan untuk melakukan evaluasi lanjutan yang perlu dilakukan. Proses
pada tahap satu dapat dilihat pada Gambar 3.15 dan Gambar 3.16.
3.6.2 Tier (Tahap) 2: Evaluation Phase
Pada tahapan dua, terdiri dari dua analisis yakni (1) analisis secara lengkap
pada bangunan terhadap deficiencies yang diidentifikasi pada tahap (tier) 1 atau 2
analisis pada deficiencies saja. Pada tahap 2 juga dilakukan analisis dan evaluasi
kemampuan sistem gaya lateral yang terjadi pada bangunan. Analisis struktur pada
tahapan ini adalah analisis linear elastik baik statik maupun dinamik. Pada tahapan
ini struktur dianggap masih pada kondisi elastik. Analisis kinerja komponen
dilakukan sesuai prosedur FEMA 356 (2000).
3.6.3 Tier (Tahap) 3: Detailed Evaluation Phase
Jika diidentifikasi terdapat deficiencies (kelemahan) pada tahap 2, maka
dilakukan evaluasi pada tahapan 3. Evaluasi detail terdiri dari analisis dengan
metode non linier untuk analisis statik dan dinamik pada struktur bangunan
tersebut. Kinerja dapat dievaluasi dengan membangingkan gaya yang akan terjadi
dengan kapasitas yang dimiliki oleh struktur tersebut. Pada analisis non linear ini
menempatkan struktur pada kondisi pasca elastik (inelastic). Analisis yang akan
digunakan adalah analisis nonlinear inelastic.
54
Gambar 3.15 Tahapan proses evaluasi (FEMA 310, 1998)
55
Gambar 3.16 Tahap proses evaluation (FEMA 310, 1998)
56
3.7. RAPID VISUAL SCREENING (RVS)
3.7.1 RVS dengan pada FEMA 154 (2002)
Rapid Visual Screening (RVS) menurut FEMA 154 (2002) dapat diterapkan
relatif cepa