103
PROPOSAL PENELITIAN HUBUNGAN POLIFARMASI, FAKTOR MEDIS DAN FAKTOR KOGNITIF DENGAN ADVERSE DRUG REACTION PADA LANSIA Pembimbing : Dr. dr. Rina K Kusumaratna, M.Kes dr. Vera Marietha Disusun oleh : Diana Yulianti 030.06.070 Kiki Haera Rizky 030.09.131 Lina Pratiwi 030.09.136 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS KECAMATAN TEBET PERIODE 05 JANUARI 2015 – 14 MARET 2015 1

Proposal Penelitian Ikm Pkm

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PROPOSAL

Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN POLIFARMASI, FAKTOR MEDIS DAN FAKTOR KOGNITIF DENGAN ADVERSE DRUG REACTION PADA LANSIA

Pembimbing :

Dr. dr. Rina K Kusumaratna, M.Kes

dr. Vera MariethaDisusun oleh :

Diana Yulianti 030.06.070

Kiki Haera Rizky 030.09.131

Lina Pratiwi 030.09.136

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMAS KECAMATAN TEBET

PERIODE 05 JANUARI 2015 14 MARET 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTALEMBAR PENGESAHAN

Proposal Penelitian dengan judul

HUBUNGAN POLIFARMASI, FAKTOR MEDIS DAN FAKTOR KOGNITIF DENGAN ADVERSE DRUG REACTION PADA LANSIA

DI PUSKESMAS KECAMATAN TEBET

Proposal penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk dapat memenuhi tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Periode 05 Januari 2015 14 Maret 2015

Jakarta, Februari 2015

Pembimbing Penelitian

Pembimbing Penelitian Fakultas Kedokteran Trisakti

Puskesmas Kecamanatan Tebet

Dr. dr. Rina K Kusumaratna, M.Kes dr. Vera MariethaMengetahui,

Kepala Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan

(drg. Yeni Restuti)KATA PENGANTARSegala puji kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan judul HUBUNGAN POLIFARMASI, FAKTOR MEDIS DAN FAKTOR KOGNITIF DENGAN ADVERSE DRUG REACTION PADA LANSIA. Proposal penelitian ini adalah salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti periode 05 Januari 2015 14 Maret 2015 yang dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Tebet.

Pada kesempatan kali ini, kami ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Rina K Kusumaratna, M.Kes selaku dosen pembimbing dari Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

2. Para dosen bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.3. dr. Vera Marietha, selaku pembimbing dari Puskesmas Kecamatan Tebet4. drg. Yeni Restuti selaku Kepala Puskesmas Kecamatan Tebet5. Para dokter, paramedik dan seluruh Staf Puskesmas Kecamatan Tebet6. Serta semua pihak yang telah banyak membantu kami selama penyusunan penelitian ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Penyusun menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna. Atas semua keterbatasan yang penyusun miliki, maka semua saran dan kritik yang membangun akan penyusun terima dengan lapang hati. Besar harapan penyusun semoga penelitian ini dapat memberi manfaat yang besar pula bagi teman-teman klinik, pembaca dan kami sendiri.Jakarta, Februari 2015

Penyusun

DAFTAR ISI

SAMPUL

iLEMBAR PENGESAHAN

iiKATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

iv

BAB I PENDAHULUAN

11.1 Latar Belakang

1

1.2 Rumusan Masalah

3

1.3 Tujuan Penelitian

3

1.3.1 Tujuan Umum

3

1.3.2 Tujuan Khusus

3

1.4 Hipotesis

4

1.5 Manfaat Penelitian

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia (Lanjut Usia)

5

2.1.1 Definisi Lansia

5

2.1.2 Masalah Medis dan Penyakit Lansia

5

2.1.3 Fungsi Kognitif Lansia

6

2.1.4 Masalah Pemberian Obat pada Lansia

7

2.1.5 Contoh Obat yang Harus Diperhatikan pada Lansia

82.2 Polifarmasi pada Lansia

9

2.2.1 Definisi Polifarmasi

9

2.2.2 Alasan Lansia Meminum Banyak Obat

10

2.2.3 Penuaan dan Sensitivitas Obat

11

2.2.4 Jenis Polifarmasi

13

2.2.5 Penyebab Polifarmasi

152.2.6 Dampak Polifarmasi

162.2.7 Peranan Dokter dalam Polifarmasi

17

2.3 Adverse Drug Reaction

18

2.3.1 Definisi Adverse Drug Reaction

18

2.3.2 Indiden Adverse Drug Reaction

18

2.3.3 Klasifikasi Adverse Drug Reaction

19

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adverse Drug Reaction

20

2.3.4.1 Faktor yang Berkaitan dengan Pasien

21

2.3.4.2 Faktor Sosial

24

2.3.4.3 Faktor yang Berkaitan dengan Obat (Medikasi)

25

2.3.4.4 Faktor Medis

26

2.3.5 Diagnosis Adverse Drug Reaction

27

2.3.6 Penatalaksanaan Adverse Drug Reaction

292.4 Kerangka Teori

30

2.5 Daftar Penelitian yang Serupa

31

BAB III KERANGKA KONSEP, VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

333.2 Variabel Penelitian

33

3.2.1 Variabel Tergantung

33

3.2.2 Variabel Bebas

333.3 Definisi Operasional

34 BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian 38

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 38

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 384.3.1 Populasi Terjangkau384.3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 39

4.3.3 Sampel Penelitian 39

4.4 Alur Pengambilan Sampel 41

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 42

4.5.1 Pengumpulan Data

42

4.5.2 Instrumen Penelitian 43

4.6 Alur Kerja Penelitian 44 4.7 Rencana Pengolahan Data454.8 Analisis Data45

4.8.1 Analisis Univariat45

4.8.2 Analisis Bivariat45

4.9 Penyajian Data46DAFTAR PUSTAKA 47

LAMPIRAN 1 JADWAL KEGIATAN PENELITIAN 53

LAMPIRAN 2 PERKIRAAN BIAYA & ORGANISASI PENELITIAN 54

LAMPIRAN 3 KUESIONER 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangBerdasarkan definisi WHO, usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (Middle age) antara 45 - 59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60 - 74 tahun, dan usia lanjut tua (Old) antara 75 90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.1

Jumlah warga usia lanjut Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup. Diperkirakan populasi orang lanjut usia di Indonesia antara tahun 1990-2025 akan naik 414%, suatu angka yang tinggi di dunia. Berbagai masalah fisik biologik, psikologik dan sosial akan muncul pada usia lanjut sebagai akibat dari proses menua dan juga timbul penyakit degeneratif yang muncul seiring dengan menuanya seseorang. 2Di Indonesia, menurut data sensus terakhir tahun 2010, terdapat 18.037.009 lansia atau sekitar 7,59% dari populasi keseluruhan penduduk Indonesia.3 Di DKI Jakarta terdapat 495.024 orang yang berumur di atas 60 tahun, atau sekitar 5,15% dari populasi keseluruhan.3 Semakin bertambahnya usia, masalah kesehatan tidak dapat terhindarkan. Orang usia lanjut umumnya mengalami beberapa penyakit secara bersamaan, dan ada kemungkinan dokter (beberapa dokter) berusaha memberikan obat untuk setiap penyakit. Jumlah obat-obat yang banyak ini, yang diberi istilah polifarmasi, dapat menimbulkan masalah baru, salah satunya Adverse Drug Reaction (ADR).4 Menurut WHO tahun 1972, Adverse Drug Reaction (dalam Bahasa Indonesia Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan), merupakan setiap efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi. Adverse drug reaction menjadi penting bagi lansia karena berperan dalam peningkatan angka mortalitas dan morbiditas. Selain itu, orang lansia juga suseptibel mengalami adverse drug reaction karena mereka mengalami perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik terkait usia, memiliki penyakit penyerta, disabilitas yang kebanyakan disebabkan gangguan fungsi kognitif dan penggunaan obat yang multipel.5 Belum ditemukan data epidemiologi kejadian adverse drug reaction pada lansia di Indonesia, namun berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, diperkirakan adverse drug reaction terjadi hampir 15% dari pemberian obat. Adanya peningkatan usia berhubungan pula dengan terjadinya peningkatan efek samping obat. Suatu penelitian menunjukkan adanya peningkatan terjadinya efek samping hingga 7 kali yaitu 3% dan 21% pada pasien yang berusia 20-30 tahun dan 60-70 tahun.6

Karena adverse drug reaction banyak terjadi pada usia lanjut, angka mortalitas dan morbiditas usia lanjut juga turut meningkat. Adverse drug reaction juga bersifat multifaktorial. Banyak faktor yang mempengaruhi terutama faktor medis dan faktor medikasi, yang salah satunya polifarmasi. Tentunya hal ini menjadi penting terutama pada lansia, karena telah diketahui lansia mengingat lansia termasuk kalangan yang kerap meminum banyak obat. Pencegahan polifarmasi dan adverse drug reaction dalam hal ini menjadi hal yang krusial, dimana kunci pencegahan ada pada dokter yang secara harafiah meresepkan obat bagi para lansia. Dalam rangka pencegahan dan deteksi dini, perlu bagi seorang dokter untuk mengetahui faktor yang berhubungan dan mempengaruhi baik secara langsung dan tidak langsung terhadap adverse drug reaction khususnya faktor-faktor yang terkait dengan lansia seperti faktor medis (gangguan medis multipel), faktor medikasi (polifarmasi) dan faktor kognitif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :

1.2.1 Apakah terdapat hubungan polifarmasi dengan adverse drug reaction pada lansia ? 1.2.2 Apakah terdapat hubungan faktor medis dengan adverse drug reaction pada lansia ?

1.2.3 Apakah terdapat hubungan faktor kognitif dengan adverse drug reaction pada lansia ? 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan UmumMenganalisis hubungan polifarmasi, faktor medis dan faktor kognitif dengan adverse drug reaction pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menilai prevalensi polifarmasi pada lansia yang berobat di wilayah Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.2. Diketahuinya jumlah pasien lansia dengan polifarmasi, terutama yang mendapatkan inapproproate prescribing dengan menggunakan kriteria START dan STOPP di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

3. Diketahuinya jumlah pasien lansia dengan adverse drug reaction (ADR) dengan menggunakan kriteria Naranjo di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

4. Menilai hubungan polifarmasi dengan adverse drug reaction pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.5. Menilai hubungan faktor medis dengan adverse drug reaction pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

6. Menilai hubungan faktor kognitif dengan adverse drug reaction pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.

1.4 Hipotesis

Terdapat hubungan polifarmasi, faktor medis dan faktor kognitif dengan adverse drug reaction pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Instalasi/ Profesi Kesehatan1. Sebagai informasi baru bagi petugas kesehatan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya adverse drug reactions pada lansia, khususnya faktor medis, medikasi (polifarmasi) dan faktor kognitif. 2. Institusi yang terkait dapat melakukan upaya promotif dan preventif yang berkenaan dengan masalah adverse drug reaction pada lansia. 1.5.2 Bagi Pengembangan PenelitianUntuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai hubungan antara faktor medis, medikasi (polifarmasi) dan faktor kognitif dengan adverse drug reactions (ADRs) pada lansia Puskesmas Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan.1.5.3 Bagi Pelayanan Masyarakat1. Sebagai sumber informasi bagi anggota keluarga lansia khususnya care giver lansia tersebut agar dapat mengetahui dan memberikan perhatian serta dukungan untuk mencegah terjadinya adverse drug reaction. 2. Dapat mencegah pengobatan yang tidak perlu sehingga dapat berkontribusi dalam menekan biaya pengobatan pada pasien lansia. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Lansia (Lanjut Usia)2.1.1 Definisi Lansia (Lanjut Usia)Pengertian usia lanjut adalah mereka yang telah berusia 60 tahun atau lebih. Belum ada kesepakatan tentang batasan umur lanjut usia disebabkan terlalu banyak pendapat tentang batasan umur lanjut usia.1 Batasan lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (Middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut tua (Old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (Very old) diatas 90 tahun.1Menurut Depkes RI batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut atau virilitas yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampak keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini atau prasenium yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut atau senium usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan risiko tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, tinggal dipanti, menderita penyakit berat atau cacat. Saat ini berlaku UU No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia yang menyebutkan lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.7

2.1.2 Masalah Medis dan Penyakit Lansia

Adapun beberapa masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane & Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu Immobility (kurang bergerak), Instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), Incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), Intellectual impairment (gangguan intelektual/ dementia), Infection (infeksi), Impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), Impaction (sulit buang air besar), Isolation (depresi), Inanition (kurang gizi), Impecunity (tidak punya uang), Iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), Insomnia (gangguan tidur), Immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), dan Impotence (impotensi).8 Membicarakan mengenai status kesehatan para lansia, penyakit atau keluhan yang umum diderita adalah penyakit rematik, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru-paru (bronkitis atau dispnea), diabetes mellitus, jatuh, paralisis, lumpuh separuh badan, TBC paru, patah tulang dan kanker. Lebih banyak wanita yang menderita/ mengeluhkan penyakit-penyakit tersebut daripada kaum pria, kecuali untuk bronkitis (pengaruh rokok pada pria).82.1.3 Fungsi Kognitif Lansia

Fungsi kognitif adalah cara seseorang berfikir dan bagaimana fungsi intrapsikik seseorang menyiapkan seseorang untuk bereaksi dengan realitas eksternalnya. Fungsi kognitif terdiri dari unsur-unsur: Atensi, Konsentrasi, Bahasa, Orientasi, Memori, Kemampuan konstruksional, Kalkulasi, Fungsi eksekutif.9,10 Pada orang lansia (lanjut usia yaitu di atas 60 tahun) terjadi proses menua yang luas ditandai dengan perubahan fungsi tubuh. Perubahan ini terjadi pada semua organ termasuk otak. Penurunan fungsi otak terutama terjadi dalam fungsi kehidupan sehari-hari, yang dikenal sebagai fungsi kognitif (daya pikir) atau fungsi luhur otak. Salah satu pemeiriksaan untuk evaluasi fungsi kognitif pada lansia adalah Mini Mental State Examination (MMSE).11 Mini Mental State Examination (MMSE) atau tes Folstein ialah kuesioner yang memiliki 30 poin singkat yang digunakan untuk uji penyaring pada gangguan fungsi kognitif. Tes ini sering digunakan sebagai uji saring dementia. Tes ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan dari gangguan fungsi kognitif dan untuk mengikuti perubahan fungsi kognitif pada seorang individu dari waktu ke waktu, sehingga menjadikannnya suatu cara yang efektif untuk mendokumentasikan perkembangan suatu individu dalam respon terhadap terapi. Dalam waktu sekitar 10 menit, tes ini dapat menilai berbagai macam fungsi kognitif termasuk aritmatika, memori dan orientasi. Tes ini diperkenalkan oleh Folstein et al pada tahun 1975.12Skor 25 poin dari poin keseluruhan 30, menunjukkan bahwa individu terebut normal. Dibawah batasan ini, skor dapat mengindikasikan gangguan berat (9 poin), sedang (10-20 poin) atau ringan (21-24 poin).13 Skor baku juga mungkin peru dikoreksi terhadap pencapaian pendidikan dan usia. Skor yang rendah dan sangat rendah sangat berhubungan dengan dementia, walaupun kondisi gangguan mental lainnya dapat menunjukkan hasi yang abnormal pada MMSE. Adanya gangguan fisik murni juga dapat mengintervensi hasil dari tes ini jika tidak diperhatikan secara seksama, sebagai contoh, seorang pasien yang tidak dapat mendengar atau membaca instruksi secara baik, atau memiliki gangguan motorik sehingga mempengaruhi kemampuan dalam menulis dan menggambar.14 2.1.4. Masalah Pemberian Obat pada Lansia

Berikut ini beberapa masalah pemberian obat pada lansia: 1. Polifarmasi. Lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi).42. Dosis obat. Akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka dosis obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan

3. Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik.

4. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per hari. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan penuruna fungsi kognitif pada lansia.

2.1.5 Beberapa Contoh Obat yang Harus Diperhatikan pada Lansia

1. Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi glomerulus yang berkurang, penurunan berat badan (dinilai dengan indeks massa tubuh) terhadap distribusi obat, adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit kardiovaskular yang lanjut.

2. Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini dapat mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner karena penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia. 3. Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat mengakibatkan hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan hiperurikemia. Efek tersebut berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia yang sudah sangat berkurang, penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular. 4. Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung. Sementara anti emetik seperti metoklopramid dan proklorperazin dapat mengakibatkan drug-induced parkinsonism.

5. Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan akibat penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia.

6. Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai psikosis). Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi postural, hipotermia dan reaksi koreiform. 157. Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi, konstipasi dan retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat peningkatan sensitivitas otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme obat-obat tersebut di hepar serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga termasuk obat yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula sebab dapat mengakibatkan hepatotoksisitas. 8. Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti penisilin dalam dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin, klorpropamid serta simetidin. Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan memberikan respon berupa ototoksisitas, sementara klorpropamid akan mengakibatkan hipoglikemia. Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada lansia sehingga sulit diekskresi melalui ginjal. 2.2 Polifarmasi pada Lansia 2.2.1Definisi Polifarmasi

Telah diketahui bahwa banyak definisi dari polifarmasi. Masing-masing negara memiliki prediktor untuk polifarmasinya, seperti penggunaan dua atau lebih obat selama 240 hari atau lebih, penggunaan dua atau lebih obat secara berbarengan, penggunaan empat atau lebih obat, atau penggunaan lima atau lebih obat dengan peresepan obat yang berbeda. Studi di Eropa menyatakan polifarmasi berdasarkan jumlah obat yang diberikan, namun studi di Amerika Serikat dikatakan polifarmasi tergantung indikasi masing-masing obat. WHO mendefinisikan polifarmasi sebagai penggunaan obat berlebihan, yang tidak sesuai dengan indikasi klinis.16Di Indonesia, berdasarkan POM, polifarmasi yaitu penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat obatan oleh pasien yang sama dalam satu resep, terutama tidak sesuai dengan kriteria klinis. Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat atau obat dengan penyakit. Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan pasien anak-anak.17Peresepan Obat Yang Rasional Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.182.2.2 Alasan Lansia Meminum Banyak Obat

Ada banyak faktor yang berkontribusi dalam polifarmasi pada pasien pasien yang berusia diatas 65 tahun. Makin banyak klinisi yang meresepkan banyak obat pada pasien lansia, karena dalam perkembangan penemuan obat, makin banyak berbagai kondisi klinis yang dapat diobati. Selain itu, banyak obat-obatan yang kini dijual bebas tanpa harus dengan resep. Sejalan dengan berkembangnya pengobatan alternatif, terapi herbal menjadi populer di kalangan pasien, terutama pasien lansia. 18,19,20Dibandingkan dengan populasi umum, pasien berusia lebih dari 65 tahun cenderung memiliki lebih banyak gangguan (penyakit) kronis, yang masing-masing penyakit paling tidak memerlukan satu obat. Pasien-pasien lansia dengan lebih dari satu penyakit yang dideritanya juga cenderung mendapatkan pengobatan dari berbagai penyedia layanan kesehatan, dan masing-masing memberikan resep obat yang berbeda bahkan untuk menyembuhkan satu macam gejala. 18,19,20Faktor lain yang tidak jarang terjadi adalah prescribing cascade (kaskade peresepan), yaitu suatu gejala pasien lansia akibat efek samping, salah diinterpretasikan sebagai gejala baru atau gejala lain, kemudian dokter meresepkan obat yang berbeda untuk menyembuhkan gejalanya tersebut. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan poifarmasi dan efek samping lainnya. 18,19,202.2.3. Penuaan dan Sensitivitas Obat

Pasien lansia memiliki risiko mengalami Adverse Drug Reaction (ADR), karena perubahan fisiologis yang terjadi terkait penuaan yang membuat tubuh menajdi lebih sensitif terhadap efek pengobatan. Perubahan ini memperngaruhi baik farmakokinetik (respon tubuh atau apa yang tubuh lakukan terhadap obat) dan farmakodinamik (efek yang obat berikan pada tubuh). 19,20Tiga komponen farmakokinetik, yaitu absorbsi, distribusi dan klirens, masing-masing dipengaruhi oleh proses penuaan. Absosrbsi, merupakan mekanisme yang paling sedikit terpengaruh. Pada pasien lansia, absorbsi secara umum lambat namun sempurna. Absorbsi melalui kulit pada pasien lansia terutama setelah penggunaan topikal mungkin meningkat pada lansia, dikarenakan pada proses penuaan kulit menjadi lebih tipis. Semakin banyak pengobatan, obat-obatan semakin bersaing untuk diabsorbsi. 19,20Distribusi obat pada tubuh juga dipengaruhi oleh penuaan. Obat didistribusi dalam tubuh apakah obat tersebut larut dalam air atau lemak, tergantung dari karakteristik kimia obat. Sejalan dengan penuaan, lemak dalam tubuh meningkat, sehingga obat-obatan yang larut dalam lemak, seperti diazepam, mungkin berada dalam tubuh lebih lama karena lebih banyak cadangan lemak. Karena tubuh pasien lansia memiliki lebih sedikit kandungan air, maka kandungan obat dalam darah (blood levels) yang larut air mungkin lebih tinggi dari yang diperkirakan. 19,20Penuaan secara signifikan mempengaruhi klirens karena proses penuaan mengakibatkan perubahan pada liver, saat obat dimetabolisme, dan di ginjal, saat obat diekskresi. Pada proses penuaan, aliran darah ke hepar berkurang, yang akan menyebabkan klirens obat berkurang 30 % - 40 %. Selain itu, enzim sitokrom P450, enzim utama pada hepar yang memetabolisme obat, menjadi lebih mudah dihancurkan pada pasien lansia, jadi obat yang diberikan lansia dimetabolisme lebih lambat pada lansia. 19,21Ukuran ginjal dan aliran darah ke ginjal, keduanya berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Obat yang mengalami klirens pada ginjal berkurang sampai lebih dari 50 % pada pasien yang berusia lebih dari 75 tahun.

Penuaan juga berpengaruh pada farmakodinamik. Perubahan pada reseptor obat dapat membuat pasien menjadi kurang atau lebih sensitif pada pengobatan. Obat yang bekerja pada Sistem Saraf Pusat mungkin akan memberikan efek yang mungkin lebih besar dibandingkan pada usia muda, karena adanya perubahan pada Sawar Darah Otak. 19,21Perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik yang meningkat pada pasien lansia, menimbulkan risiko untuk terjadinya interaksi obat-obat dan interaksi obat-penyakit. Interaksi obat-obat secara khas terjadi saat pasien lansia meminum dua obat yang memiliki indikasi yang berbeda. Sebagai contoh, pasien yang mendapatkan resep analgesik narkotik dan agen antidiare, yang masing masing memiliki indikasi yang berbeda, tapi masing-masing obat tersebut menyebabkan konstipasi.19Interaksi obat-penyakit, yaitu suatu keadaan dimana obat yang diberikan memberikan eksaserbasi penyakit, yang biasanya terjadi pada pasien lansia. Obat antikolinergik, sebagai contoh, bisa mengeksaserbasi glaukoma, penyakit Alzehimer dan hiperplasia prostat benigna.192.2.4 Jenis Polifarmasi

Polifarmasi dapat dibagi menjadi beberapa jenis, beberapa diantaranya yang sering dijumpai adalah:222.2.4.1 Appropriate polypharmacy, yaitu kedaan dimana pasien meminum beberapa obat, dimana semua obat tersebut diberikan sesuai indikasinya. 2.2.4.2 Inappropriate polypharmacy, yaitu keadaan dimana pasien meminum beberapa obat, yang melebihi kebutuhannya. 2.2.4.3 Redundant pseudo-polypharmacy, yaitu keadaan saat pasien telah diresepkan obat berlebih namun obat yang diminum sesungguhnya kurang dari yang diresepkan. Selain itu, di dalam polifarmasi juga dikenal beberapa istilah, yaitu : a. Appropriate Prescribing (peresepan yang pantas), adalah : 1. Peresepan obat sesuai apa yang pasien inginkan.2. Peresepan obat sesuai apa yang pasien butuhkan.3. Rasional sesuai farmakologi klinis. b. Inappropriate Prescribing (IP)

Polifarmasi telah diidentifikasi sebagai prediktor yang signifikan adanya peresepan yang tidak pantas atau rasional (Inappropriate Prescribing/ IP). Beberapa studi menyatakan bahwa kejadian Inappropriate Prescribing pada lansia (terutama yang lebih dari 65 tahun) merupakan pemberi kontribusi yang besar pada kejadian adverse drug reaction pada lansia. Peningkatan adverse drug reaction dilaporkan memiliki korelasi dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.23,24Inappropriate Prescribing merupakan suatu bentuk praktek peresepan klinis, yaitu obat yang diresepkan lebih banyak mengandung resiko dibanding keuntungannya, dimana terdapat obat lain yang lebih aman. Sehubungan dengan kejadian polifarmasi di atas, maka perlu diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, meningat pasien lansia rentan terhadap interaksi obat dikarenakan perubahan perubahan terkait usia fisiologis, peningkatan risiko untuk penyakit terkait dengan penuaan dan kerentanan dalam penggunaan obat. Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu:13,25,26,27,281. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing). Hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting.

2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing). Hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah atau jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga di sini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.

3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing). Hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.

4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing /polypharmacy). Hal ini dapat terjadi pada pemberian jumlah obat berlebihan dari yang seharusnya (lima atau lebih obat) 5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing). Hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.

Deteksi Inappropriate Prescribing dapat dengan menggunakan kriteria START / STOPP1. STOPP (Screening Tool of Older Persons potentially inappropiate Prescription), merupakan alat skrining yang dikembangkan dan dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan resep obat untuk pasien usia lanjut. Dengan instrumen ini, adanya polifarmasi irasional dan adverse drug reaction dapat dideteksi.

2. START (Screening Tool to Alert to Right Treatment), merupakan alat skrining untuk mendeteksi adanya kemungkinan obat yang perlu diberikan tetapi tidak diberikan sehingga dapat pula mencegah polifarmasi irasional.2.2.5 Penyebab Polifarmasi Berikut ini beberapa penyebab polifarmasi, terutama pada lansia :

2.2.5.1 Pada lansia dengan banyak penyakit yang dialaminya (multipatologi)/ komorbiditas, menyebabkan mereka mengkonsumsi banyak obat dan saat ini banyak tersedia obat-obatan baru. 2.2.5.2 Banyak pasien yang mengobati penyakitnya sendiri dengan membeli sendiri obat yang dijual bebas atau Over The Counter (OTC) ataupun dengan preparat herbal, tanpa mengetahui adverse drug reaction dan efek yang saling terkait. 2.2.5.3 Adanya prescribing cascade dimana pasien yang datang ke dokter dengan gejala akibat pemakaian obat, disalahartikan gejalanya sebagai gejala baru yang membutuhkan obat baru. 2.2.5.4 Polifarmasi juga dapat disebabkan karena pasien datang ke beberapa dokter dan diresepkan obat-obatan yang berbeda-beda. 2.2.5.5 Komunikasi yang tidak efektif dan koordinasi antar pemberi pelayanan kesehatan menyebabkan tidak terintegrasinya program pemberian obat pada pasien, sehingga menyebabkan polifarmasi. 2.2.6 Dampak Polifarmasi

Terdapat enam dampak polifarmasi, lima dampak diantaranya ketidakpatuhan, adverse drug reaction (Reaksi Obat tidak Dikehendaki), interaksi obat-obat, peningkatan resiko hospitalisasi dan kesalahan pengobatan, kelimanya saling berkaitan erat. Dampak keenam yaitu peningkatan pengeluaran biaya baik secara langsung karena obat yang banyak dan tidak langsung yaitu pengeluaran biaya untuk mengobati adverse drug reaction.19,22,292.2.6.1 Ketidakpatuhan

Beberapa studi menyatakan ketidakpatuhan meningkat sesuai dengan makin kompleksnya regimen obat yang diberikan.2.2.6.2 Adverse drug reaction

Polifarmasi berkaitan erat dengan adverse drug reaction. Insiden Adverse adverse drug reaction meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah obat yang diminum dan studi menyatakan meminum obat sebanyak empat macam obat atau lebih meningkatkan risiko terjadinya adverse drug reaction.2.2.6.3 Interaksi obat-obat (antarobat)

Interaksi obat-obat meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah obat yang diminum. Studi menyatakan apabila jumlah obat yang diminum mencapai delapan jenis, maka resiko interaksi antarobat mencapai hampir 100%. Interaksi antarobat yang dihasilkan biasanya menurunkan efikasi obat, bukan memberikan efek sinergis. Hal ini mengakibatkan dinaikkannya dosis obat untuk meningkatkan efikasi atau malah diberikan obat baru sebagai pengganti yang dianggap memiliki efektivitas lebih. Tentu hal ini akan meningkatkan risiko polifarmasi ataupun interaksi antarobat. 2.2.6.4 Peningkatan risiko hospitalisasi (rawat inap)

Studi menyatakan bahwa kasus rawat inap pada pasien lansia, 11,4%nya adalah karena ketidakpatuhan minum obat dan adverse drug reaction. 2.2.6.5 Kesalahan Pengobatan 2.2.6.6 Peningkatan biaya2.2.7 Peranan Dokter dalam Menurunkan Kejadian Polifarmasi

Untuk mencegah polifarmasi yang dapat menimbulkan adverse drug reaction, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang dokter diantaranya:192.2.7.1 Memperhatikan riwayat obat-obatan yang pasien minum dan resep yang pernah diberikan, termasuk melihat rekam medis. 2.2.7.2 Memastikan obat yang diresepkan memiliki indikasi klinis. 2.2.7.3 Mengetahui efek samping obat yang diresepkan.

2.2.7.4 Mengetahui efek farmakokinetik dan farmakodinamik obat dan keterkaitannya dengan proses penuaan pada lansia yang cenerung menimbulkan adverse drug reaction. 2.2.7.5 Menghentikan obat yang tidak ada keuntungannya.

2.2.7.6 Menghentikan obat yang diketahui diberikan tanpa indikasi klinis. 2.2.7.7 Mengganti obat yang memiliki efek toksik lebih ringan.

2.2.7.8 Menggunakan motto "one disease, one drug, once-aday. 2.3 Adverse Drug Reaction 2.3.1 Definisi Adverse Drug ReactionBanyak definisi yang dikemukakan untuk adverse drug reaction. Menurut WHO 1972, adverse drug reaction adalah setiap efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis dan terapi. Menurut FDA, 1995, adverse drug reaction didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai bagian dari aksi farmakologis dari obat yang kejadiannya mungkin tidak dapat diperkirakan. Alergi obat merupakan reaksi imunologis yang spesifik (timbul pada orang yang suseptibel) dan berulang bila terpapar kembali oleh obat yang mencetuskannya.6,222.3.2 Insiden Adverse Drug ReactionEfek samping obat, yang merupakan bagian dari adverse drug reaction sering kita jumpai di praktek sehari-hari. Pada sebuah penelitian di Perancis, dari 2067 dewasa berusia 2067 tahun yang datang ke pusat kesehatan untuk pemeriksaan kesehatan dilaporkan bahwa 14,7% memiliki riwayat efek samping sistemik terhadap satu atau lebih obat. Penelitian di Swiss dari 5568 pasien rawat inap, 17% diantaranya mendapatkan efek samping obat. Obat yang tersering adalah antibiotik dan obat anti inflamasi non steroid. Banyak mekanisme adverse drug reaction yang diperkirakan, tetapi mekanisme pasti reaksi obat yang menimbulkan adverse drug reaction belum jelas diketahui..22,29Adverse drug reaction diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian obat. Risiko terjadinya dapat meningkat hingga dua kali lipat di rumah sakit. Adanya peningkatan usia berhubungan pula dengan terjadinya peningkatan efek samping obat. Suatu penelitian menunjukkan adanya peningkatan terjadinya efek samping hingga 7 kali yaitu 3% dan 21% pada pasien yang berusia 20-30 tahun dan 60-70 tahun.6,16,302.3.3 Klasifikasi Adverse drug reactionAdverse drug reaction dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang dapat diperkirakan (berhubungan dengan aksi farmakologis obat) disebut reaksi tipe A dan yang tidak dapat diperkirakan dan biasanya tidak berhubungan dengan aksi farmakologis obat yang disebut reaksi tipe B. Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah toksisitas obat, efek samping, efek sekunder, dan interaksi obat. Reaksi termediasi sistem imun atau alergi termasuk tipe B, timbulnya jarang, hanya 6 10% dari keseluruhan adverse drug reaction. Yang termasuk reaksi tipe B adalah intoleransi obat (efek tidak diinginkan yang timbul pada dosis terapi atau subterapi), reaksi idiosinkrasi (reaksi tidak spesifik yang tidak dapat dijelaskan oleh reaksi farmakologis obat) dan alergi atau reaksi hipersensitifitas (reaksi yang sesuai dengan mekanisme imunologi). Alergi dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem klasifikasi Gell dan Coombs, menjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (diperantarai IgE), reaksi sitotoksik dan imun kompleks (diperantarai IgG dan IgM) dan reaksi tipe lambat (diperantarai limfosit T). Meskipun kategorinya jelas, tetapi mengklasifikasikannya amat sulit karena mekanisme yang belum jelas.6,16,31Adverse drug reaction dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 2.3.3.1 Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang: a. Overdosis obat, yaitu efek farmakologis toksik yang timbul pada pemberian akibat kelebihan dosis ataupun karena gangguan ekskresi obat b. Efek samping obat yaitu efek farmakologis yang tidak diinginkan yang timbul pada dosis terrekomendasi.c. Interaksi obat yaitu aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun toksisitas obat yang lain.

2.3.3.2 Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel: a. Intoleransi obat yaitu ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis normal dari obat.b. Idiosinkrasi obat yaitu respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek farmakologisnya. Hal ini timbul pada pasien yang suseptibel dan kejadian bisa ataupun tidak bisa diperkirakan. Terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi enzim. c. Alergi obat d. Reaksi pseudoalergik/ anafilaktoid yaitu reaksi yang secara klinis mirip dengan reaksi alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE).

2.3.4 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Adverse Drug ReactionKebanyakan adverse drug reaction, terutama yang tipe A, faktor predisposisisnya bersifat multifaktorial, tidak hanya melibatkan faktor karakteristik individu namun juga dipengaruhi adanya faktor lingkungan seperti penggunaan obat lain ataupun adanya penyakit infeksi konkomitan. Evans (2005) dalam studinya menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mungkin berkaitan dengan kejadian adverse drug reaction, diantaranya usia yang ekstrem (bayi dan lansia), jenis kelamin, penggunaan obat multipel, status kesehatan, riwayat pernah menderita adverse drug reaction atau alergi, faktor genetik, penggunaan obat dengan dosis yang besar dan berbagai faktor lainnya. Pemberhentian obat sebelum waktu yang telah ditentukan atau penggantian obat secara tiba-tiba juga menyumbang faktor penting terjadinya adverse drug reaction, terutama pada lansia. Bates et al menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi adverse drug reaction, dapat dibangi menjadi empat kelompok diantaranya: Faktor yang berhubungan dengan pasien, faktor sosial, faktor yang berkaitan dengan obat dan faktor yang berkaitan dengan penyakit.32 2.3.4.1 Faktor yang Berkaitan dengan Pasien 1. Usia

Pasien lansia yang memiliki masalah kesehatan atau penyakit multipel yang meminum banyak obat cenderung mengalami adverse drug reaction, apalagi yang memiliki riwayat adverse drug reaction dan sudah mengalami gangguan dalam eliminasi obat. Selain pasien lansia, anak-anak terutama bayi dan neonatus juga rentan menderita adverse drug reaction karena absorbsi dan eliminasi obat suit diprediksi pada usia ekstrem tersebut serta kapasitas metabolisme obat masih belum banyak diketahui pada usia tersebut.33 Hubungan antara usia lansia dengan adverse drug reaction

Pasien lansia memiliki resiko tinggi menderita adverse drug reaction karena beberapa alasan. Pasien lansia cenderung menderita banyak masalah kesehatan, sehingga mereka meminum banyak obat baik obat yang diresepkan maupun obat yang dijual bebas (over the counter drugs). Seiring dengan bertambannya usia, hepar semakin kehilangan kemampuan untuk memetabolisme obat, menurut Budnitz et al.34 Pada usia lansia, terjadi penurunan jumlah cairan tubuh, dan secara relatif lemak tubuh meningkat dibanding cairan tubuh, sehingga konsentrasi obat yang larut air menjadi lebih tinggi karena air yang dapat melarutkan lebih sedikit. Selain itu, pada lansia juga terjadi penurunan fungsi ginjal dalam mengekskresikan obat dalam urin dan hepar sendiri juga mengalami penurunan dalam memetabolisme obat. Menurut Jimmy dan Padma (2006), dalam studi mereka, insiden adverse drug reaction pada lansia secara signifikan jauh lebih tinggi dibandingkan pada usia muda. Mereka juga menyimpulkan, bahwa reaksi tipe A lebih banyak terjadi pada lansia (85,9%).35 Menurut Klotz et al (2009), karena adanya perubahan-perubahan terkait penuaan, banyak obat yang cenderung berada di dalam tubuh para lansia lebih lama dibandingkan pada usia muda, perpanjangan durasi obat di dalam tubuh memperlama efek obat tersebut dan menimbulkan banyak efek samping.36

2. Jenis KelaminPerbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi aktivitas beberapa obat. Perbedaan anatomi dan fisiologi diantaranya berat badan, komposisi tubuh, faktor gastrointestinal, metabolisme hepar dan fungsi ginjal. Perempuan, dibandingkan dengan laki-laki, memiliki berat badan yang lebih rendah, ukuran organ tubuh yang kebih kecil, lebih banyak lemah tubuh, motilitas gaster yang berbeda dan laju filtrasi ginjal yang lebih rendah. Perbedaan ini menyebabkan perubahan pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat yang meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliiminasi. Dalam studi yang dilakukan Ofotokun dan Pomeroy (2005), menyatakan perempuan lebih banyak mengalami adverse drug reaction dibandingkan laki-laki dalam uji cobanya dengan beberapa obat.37 3. Creatinine ClearanceMenurut Sun et al (2006), creatinine clearance menggambarkan fungsi ginjal yang bertanggung jawab dalam ekskresi banyak macam obat. Beberapa perubahan pada ginjal dapat meningkatkan toksisitas obat ataupun malah menurunkan efek terapeutik obat. Gagal ginjal kronik memberikan dampak baik pada ekskresi obat dan juga metabolisme di hepar karena efek uremia yang dihasilkan oleh gagal ginjal. Naud et al menyimpulkan bahwa adanya perubahan pada creatinine clerance meningkatkan resiko adverse drug reaction.384. Alergi Beberapa macam obat dapat menimbulkan alergi baik reaksi tipe I, II, III dan IV. Hal ini merupakan adverse drug reaction tipe B. 5. Faktor KognitifPenggunaan obat pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif meningkatkan resiko terjadinya adverse drug reaction. Pasien dengan gangguan fungsi kognitif memiliki masalah pada komunikasi, sehingga timbul masalah dalam minum obat terkait dengan gangguan memori dan ketidakmampuan minum obat sendiri karena disabilitas. Secara tidak langsung, fungsi kognitif mempengaruhi kejadian adverse drug reaction melalui mekanisme ketidakpatuhan dan meminum banyak obat (polifarmasi) sehingga menimbulkan adverse drug reaction. Dalam studinya, Colloca et al menyimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat disabilitas yang dievaluasi dengan Activities of Daily Living Hierarchy Scale, dengan polifarmasi yang dialami pasien-pasien gangguan fungsi kognitif.39 Selain adanya gangguan komunikasi, faktor kognitif lain adalah adanya gangguan memori dan kemandirian pasien dalam meminum obat. Daya ingat (memori), merupakan bagian dari demensia berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory). Demensia itu sendiri merupakan kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan. 40 Sedangkan ketidakmandirian merupakan suatu kondisi hilangnya otonomi dan adanya kebutuhan untuk dukungan/bantuan dari orang lain yang terkait dengan gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL) terutama kemampuan merawat diri.412.3.4.2 Faktor Sosial. 1. Meminum alkohol. Alkohol mempengaruhi metabolisme berbagai obat yang akan meningkatkan risiko adverse drug reaction. Menurut Bruce et al (2008), meminum alkohol bersamaan dengan beberapa obat dapat meningkatkan toksisitas serta mengakibatkan adverse drug reaction dengan gejala yang paling sering ditemukan yaitu mual, muntah, nyeri kepala, mengantuk, penurunan kesadaran, kehilangan koordinasi dan hipotensi.42 2. Merokok. Merokok menjadi faktor risiko terjadinya adverse drug reaction karena zat-zat yang terkandung dalam rokok mempengaruhi enzim hepar seperti sitokrom P-450.432.3.4.3 Faktor yang Berkaitan dengan Obat (Medikasi)1. Polifarmasi. Menurut Bushard et al, meminum beberapa obat, walaupun obat yang dijual bebas dapat meningkatkan risiko adverse drug reaction.44 Hubungan antara faktor polifarmasi dengan adverse drug reaction.

Tingkat keparahan adverse drug reaction meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obat yang diminum. Menurut Rambhade et al (2012), polifarmasi merupakan suatu keadaan yang dihasilkan dari berbagai macam kondisi, diantaranya pasien lansia yang menderita lebih dari satu macam penyakit. Pasien lansia tersebut cenderung datang ke dokter pada saat yang sama untuk mengobati penyakitnya yang berbeda-beda, baik akut maupun kronis. Dalam hal ini, adverse drug reaction mungkin terjadi akibat interaksi antarobat, sinergisme, duplikasi, additive, pemberhentian terapi tiba-tiba sebelum waktu yang ditentukan, mengubah dosis untuk menghemat biaya, dan sebagainya.45Salah satu alasan penting mengapa polifarmasi meningkatkan risiko adverse drug reaction adalah ketidakmampuan pasien khususnya pasien lansia untuk patuh pada pengobatan. Bentuk ketidakpatuhan dapat berupa menghentikan pengobatan sendiri tanpa instruksi dokter ataupun hanya sekedar mengurangi dosis karena banyaknya obat yang diminum. Hal ini akan menimbulkan adverse drug reaction pada lansia yang menimbulkan berbagai macam gejala. Gejala baru yang timbul akibat efek obat tersebut dianggap sebagai gejala baru yang mengakibatkan pasien lansia meminum obat baru, dan hal ini disebut prescribing cascade. Maka gejala dan tanda yang timbul akibat polifarmasi pada lansia ini membuat rancu dengan gejala dan tanda yang timbul akibat penyakit lain atau akibat proses penuaan itu sendiri. Konstipasi, diare, kelelahan, ruam kulit, jatuh, ansietas dan berbagai gejala yang lainnya dapat timbul pada lansia baik karena adverse drug reaction akibat polifarmasi atau karena penyakit lain.462. Dosis obat dan frekuensi

Dosis obat dapat berhubungan dengan terjadinya adverse drug reaction dalam berbagai cara, sebagai contoh ada beberapa obat yang sebaiknya diminum pada saat pagi, siang ataupun malam. Meminum bifosfonat saat malam hari meningkatkan risiko esofagitis. 462.3.4.4 Faktor Medis Penyakit yang menyertai berpengaruh terhadap susesptibilitas seseorang untuk menderita adverse drug reaction.Hubungan antara faktor medis dengan adverse drug reaction

Gangguan medis multipel meningkatkan resiko terjadinya adverse drug reaction, karena semakin banyak penyakit, semakin banyak obat yang diminum. Gangguan medis multiple ini artinya diagnosis yang lebih dari 1 macam penyakit karena merupakan gabungan antara penurunan fungsi fisiologik/ alamiah dan berbagai proses patologik/ penyakit.47 Hal ini terkait dengan obat yang diminum mungkin dapat mengobati suatu penyakit namun dapat juga berbahaya bagi penyakit yang lain dalam tubuh pada saat yang bersamaan. Sebagai contoh pemberian beta blocker yang digunakan untuk pasien gagal jantung kongestif dan hipertensi akan memperburuk keadaan asma yang dimilikinya juga. Gangguan medis multipel ini dapat menyebabkan pengobatan menjadi lebih lama, sebab biasanya lansia menderita beberapa penyakit kronis sekaligus. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkepanjangan dan jarang sembuh sempurna.48 Durasi penyakit yang lama dari penyakit kronis tersebut dapat menjadi faktor risiko terjadinya adverse drug reaction pada lansia.2.3.5 Diagnosis adverse drug reactionDiagnosis adverse drug reaction termasuk anamnesis yang detail dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mengklasifikasikan reaksi, menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang menimbulkan reaksi tersebut dan untuk mengetahui insiden alergi terhadap obat tersebut. Diagnosis kecurigaan terhadap adverse drug reaction diantaranya: 2.3.5.1 Gejala diantaranya dapat berupa mual, muntah, dire, konstipasi, nyeri kepala, mengantuk, ruam pada kulit sampai pada gejala yang berapt berupa intoksikasi dan penurunan kesadaran. Gejala adverse drug reaction dapat dibagi menjadi empat derajat, yaitu derajat ringan, sedang, berat dan letal. Gejala dapat timbul baik segera setelah paparan pertama dengan obat ataupun setelah penggunaan kronik obat tersebut. Pada lansia, gejala tidak spesifik, yaitu dapat timbul deteriorasi, perubahan status mental, penurunan nafsu makan, konfusi dan depresi.62.3.5.2 Derajat adverse drug reaction : 61. Ringan (mild), yaitu apabila adverse drug reaction tidak memerlukan tatalaksana dan tidak menyebabkan perawatan di rumah sakit. Sebagai contoh efek mengantuk pada antihistamin dan efek konstipasi pada penggunaan opioid. 2. Sedang (moderate), yaitu membutuhkan tatalaksana seperti mengubah dosis, atau membutuhkan obat lain untuk mengatasi gejala adverse drug reaction, namun tidak sampai perlu untuk menghentikan obat tersebut. Sebagai contoh, kontrasepsi hormonal yang mengakibatkan trombosis vena dan NSAID yang mengakibatkan hipertensi dan edema. 3. Berat (severe), yaitu adverse drug reaction yang terjadi berpotensi mengancam nyawa, obat harus dihentikan dan memerlukan tatalaksana spesifik untuk gejala adverse drug reaction-nya. Sebagai contoh, angioedema pada penggunaan ACE-inhibitors dan irama jantung yang abnormal pada fenotiazin. 4. Letal, yaitu adverse drug reaction secara langsung dan tidak langsung berkontribusi pada kematian pasien. Contohnya gagal hati pada penggunaan asetaminofem dan perdarahan pada penggunaan antikoagulan. 2.3.5.3 Pada adverse drug reaction tipe alergi, biasanya terjadi setelah paparan pertama obat terkait. Tanda dan gejala biasanya berupa gatal-gatal, ruam, fixed-drug eruption, edema traktus respiratorius yang ditandai dengan sesak napas serta hipotensi. 62.3.5.4 Dapat pula terjadi reaksi idiosinkrasi, yaitu gejala dan tanda tidak dapat diprediksi. 6 2.3.5.5 Untuk membuktikan adanya keterkaitan obat dengan adverse drugreaction, dapat dilakukan rechallenge, kecuali jika terdapat reaksi alergi yang hebat. 2.3.5.6 Perlu dikteahui waktu timbulnya gejala serta jarak timbul gejala dari paparan obat yang dicurigai. Berikut ini, klasifikasi onset gejala adverse drug reaction:6a. Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari paparan

b. Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan. c. Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. 2.3.6 Penatalaksanaan adverse drug reactionBeberapa tatalaksana yang dapat dilakukan untuk adverse drug reaction diantaranya :8,112.2.6.1 Modifikasi dosis, dilakukan pada reaksi tipe A yang kejadian adverse drug reaction terkait dengan dosis.

2.2.6.2 Menghentikan obat, untuk reaksi alergi ataupun reaksi idiosinkrasi.

2.2.6.3 Mengganti obat, terutama untuk reaksi idiosinkrasi atau dapat dilakukan pada reaksi adverse drug reaction yang terkait dosis. 2.4 KERANGKA TEORI (Adverse Drug Reaction pada Lansia) Gambar 1. Kerangka Teori2.5. Tabel 1. Daftar Penelitian yang Serupa

No.JudulPenelitiJenis PenelitianTahunHasil

1. Permasalahan Pemberian Obat pada Pasien Geriatri di Ruang Perawatan RSUD Saiful Anwar

MalangYuni Rahma-wati, Sri SunartiKohort retro-spektif2014Terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan jumlah obat yang diberikan dengan prevalensi terjadinya DRP/Drug Related Problem (p=0,000). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan usia subjek

dengan prevalensi DRP (p=0,366). Risiko relatif pasien geriatri dengan polifarmasi mengalami DRP sebesar 1,822 (CI 95%: 1,291-2,569).16

2.Prevalence and Risk Factors Affecting Polypharmacy Among Elderly Patients in The North of West BankFateen Tahseen AkkawiStudi Cross-sectional2008Peresepan obat harus diperhatikan agar tidak terjadi polifarmasi. Penilaian indikasi secara berkala diperlukan untuk menghindari adanya penggunaan obat-obatan secara berlebihan.19

No.JudulPenelitiJenis PenelitianTahunHasil

3.Adverse Drug Reactions in Older People

Detection and PreventionMirko Petrovic,

Tischa van der Cammen,

dan Graziano OnderReview Article2012Terjadinya ADRs pada lansia lebih mudah karena adanya pemberian multiple drug regimens dan usia yang berhubungan dengan perubahan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik.49

BAB III

KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN

DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP

3.2 VARIABEL PENELITIAN

3.2.1 Variabel bebas / Independent

1. Polifarmasi

2. Faktor medis

3. Faktor kognitif

3.2.2 Variabel tergantung / Dependent Adverse Drug Reaction (ADR)3.3. DEFINISI OPERASIONAL

NoVariabelDefinisiAlat UkurCara UkurHasil UkurSkala UkurReferensi

Variabel Tergantung

1. Adverse Drug Reaction (ADR)

ADR adalah setiap

efek yang tidak diinginkan dari obat yang timbul pada

pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk

profilaksis, diagnosis dan terapiKuesioner Naranjo

Berisi 10 pertamyaan untuk menentukan apakah keluhan efek obat yang tidak diinginkan merupakan adverse drug reaction (ADR) dari obat yang diberikan pada pasienWawancara dan pemeriksaan fisikHasil Skor ADR berdasarkan kuesioner Naranjo:

1 - 3 Possible (Kemungkinan ADR)

4 - 8 Probable (Kemungkinan Besar ADR)

9 - 13 Definite (Pasti ADR)OrdinalWHO

Variabel Bebas

2.

Polifarmasi

Polifarmasi adalah penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat - obatan oleh pasien yang sama dalam satu resep, terutama tidak sesuai dengan kriteria klinis.Data pasien

(dari catatan anamnesis, pemeriksaan, diagnosis dan terapi pada medical record)Wawancara dan pemeriksaan fisik1. Polifarmasi : obat >5/hari (tidak termasuk vitamin dan suplemen)

2. Bukan polifarmasi: obat 5/hariNominal POM

NoVariabelDefinisiAlat UkurCara UkurHasil UkurSkala UkurReferensi

Variabel Bebas

3.Pengobatan irasionalPenggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat.Kuesioner START dan STOPP

START( mendeteksi adanya pengobatan yang mungkin sebenarnya perlu ditambahkan dalam terapi pasien

STOPP( mendeteksi adanya pengobatan yang sebenarnya tidak perlu diberikanWawancara

1. Irasional : bila jawaban kuesioner (+)

2. Rasional : bila sesuai kebutuhan dan jawaban kuesioner (-) NominalWHO

4. Gangguan medis multiple (multiple diagnosis)

Diagnosis yang lebih dari 1 macam penyakit karena merupakan gabungan antara penurunan fungsi fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakitKuesionerWawancara dan pemeriksaan fisik1. Resiko kurang : menderita

>1- 3 penyakit

2. Resiko menengah :

menderita

>3 5 penyakit

3. Resiko lebih :

menderita > 5 penyakitOrdinal Pranarka K, 2006

(Jurnal Universa Medicina)

NoVariabelDefinisiAlat UkurCara UkurHasil UkurSkala UkurReferensi

5.

Durasi penyakit yang lama

Penyakit kronis merupakan penyakit yang

berkepanjangan dan jarang sembuh sempurna.KuesionerWawancara dan pemeriksaan fisik1. Resiko tinggi bila > 3 bulan sampai 1 tahun

2. Resiko rendah > 1 tahunOrdinal Yeni dan Herwana E, 2006

(Jurnal Universa Medicina)

6.

Gangguan memori

Daya ingat (memori), merupakan bagian dari demensia berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan

kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from

memory).

Demensia itu sendiri merupakan kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaanKuesioner MMSE

Menskrining adanya gangguan kognitif pada pasien yang terdiri dari atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat konsep dan intelegensiWawancara dan observasiHasil Skor gangguan kognitif berdasarkan kuesioner MMSE:

24 -30: Normal

17-23 : Probable gangguan kognitif

0-16: Definite gangguan kognitif

OrdinalHartati S, 2010

NoVariabelDefinisiAlat UkurCara UkurHasil UkurSkala UkurReferensi

7.

Kemandirian dalam ADL (activity daily living) terutama dalam hal meminum obat sendiri

Merupakan suatu kondisi hilangnya otonomi dan adanya kebutuhan untuk dukungan/bantuan dari orang lain yang terkait dengan gangguan aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL) terutama kemampuan merawat diri.

Kuesioner Indeks Barthel

Mengevaluasi kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (ADL) meliputi makan, aktivitas toilet, transferring, kebersihan diri, mandi, berpakaian, mengontrol defekasi dan berkemih untuk mengetahui tingkat kemandirian lansiaWawancara dan observasiHasil Skor tingkat kemandirian berdasarkan kuesioner indeks Barthel:

0 - 4 : Ketergantungan total

5 - 8: Ketergantungan berat

9 - 11 : Ketergantungan sedang

12 - 19 : Ketergantungan ringan

20 : Mandiri

Ordinal Carulla LS, 2010

(jurnal NCBI)

BAB IV

METODE PENELITIAN4.1.Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik, dimana peneliti mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Berdasarkan klasifikasi waktu, pendekatan dilakukan dengan mengunakan studi potong lintang (cross sectional), dimana subjek diamati pada satu waktu, dimana pengukuran variabel subjek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut, namun tidak dapat menentukan pengelompokan antara sebab dan akibat dari variabel-variabel yang diteliti.4.2.Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di Kelurahan Kebon Baru dan Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Tebet pada periode Januari Februari 2015.4.3 Populasi dan Sampel Penelitian4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini terdiri dari populasi target dan populasi terjangkau. Populasi target (target population) adalah populasi yang menjadi sasaran akhir penerapan hasil penelitian yaitu seluruh lansia di wilayah Puskesmas Kecamatan Tebet. Populasi terjangkau (accessible population) adalah bagian dari populasi target yang dapat dijangkau oleh peneliti yaitu bagian dari populasi target yang dibatasi dengan tempat dan waktu. Dalam penelitian ini populasi terjangkau adalah lansia berusia 65 tahun yang tinggal di Kelurahan Kebon Baru dan yang datang berobat ke Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Tebet periode 9 Februari 2015 - 29 Februari 2015 sebanyak 2966 orang dengan subjek penelitian adalah semua lansia yang termasuk ke dalam populasi terjangkau dan memenuhi kriteria penelitian.4.3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi

2. Lansia usia 65 tahun

3. Lansia yang kooperatif

4. Lansia yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian

4.3.2.1 Kriteria Eksklusi

1. Sedang mengkonsumsi obat tradisional atau jamu-jamuan 2. Pasien yang memiliki gangguan kesadaran dan kesulitan untuk berkomunikasi4.3.3 Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel adalah dengan consecutive non probability sampling, yaitu diambil berdasarkan subyek yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah subyek terpenuhi. Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini:Besar sampel

Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus:Rumus populasi infinit:

No =Z2 x P x Q

d2Z= Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96

P= Prevalensi kelompok yang mengalami Adverse drug reaction (ADR) ( 14% = 0.14

Q= Prevalensi/proporsi yang tidak mengalami Adverse drug reaction (ADR) ( 1 0.14 = 0.86

d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0.05

No = (1.96)2 x 0.14x 0.86= ( 184.8 , Pembulatan 185

(0.05)2

Rumus populasi finit:

n= n0 (1 + n0/N)

n = Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit.

n0 = Besar sampel dari populasi yang infinit

N= Besar sampel populasi finit (Jumlah lansia usia 65 tahun yang tinggal di Kelurahan Kebon Baru periode 2014 - 2015 = 2966 pasien)

n= 185

(1 + 185/2.966)

= 174.1 pembulatan 174antisipasi drop out = 10% x n

antisipasi drop out = 10% x 174 = 17.4 pembulatan 17Total sampel = n + antisipasi drop out

Total sampel = 174 + 17 = 191 orang

4.4 Alur Pengambilan Sampel

4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian

4.5.1 Pengumpulan Data

1. Data primer

Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu menggunakan alat bantu berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan diagnosis pasien dan keluhan yang mengarah ke adverse drug reaction (ADR) pada pasien. Dilakukan juga observasi dan anamnesis untuk mencari adanya faktor medis pada pasien (berupa gangguan medis multipel dan durasi penyakit yang lama), disertai faktor kognitif (berupa gangguan memori dan ketidakmampuan meminum obat secara mandiri) melalui observasi serta penilaian indeks Barthel dan MMSE.2. Data sekunder

Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip resmi, serta literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian. Berupa hasil pemeriksaan penunjang pasien (bila diperlukan dalam mendiagnosis), data diagnosis dan obat yang diresepkan untuk dicocokkan dengan kriteria START dan STOPP yang berisi daftar obat dan indikasinya yang dapat mengarahkan kepada adanya pengobatan irasionaldan polifarmasi pada pasien.

4.5.2 Instrumen Penelitian

Tabel 3. Instrumen PenelitianNoInstrumenFungsi

1.Kuesioner kriteria START dan STOPPSTART, mendeteksi adanya pengobatan yang mungkin sebenarnya perlu ditambahkan dalam terapi pasien

STOPP, mendeteksi adanya pengobatan yang sebenarnya tidak perlu diberikan

2.Kuesioner NaranjoBerisi 10 pertamyaan untuk menentukan apakah keluhan efek obat yang tidak diinginkan merupakan adverse drug reaction (ADR) dari obat yang diberikan pada pasien

3.Kuesioner Indeks Barthel Mengukur kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengetahui tingkat kemandirian lansia

4. Kuesioner MMSEMenskrining adanya gangguan kognitif pada pasien yang terdiri dari atensi, kemampuan berbahasa, daya ingat, kemampuan visuospasial, kemampuan membuat konsep dan intelegensi

4.6 Alur Kerja Penelitian

Keterangan:

1. Termasuk kelompok polifarmasi bila mendapat terapi 5 obat dalam sehari. Vitamin dan suplemen tidak termasuk dalam perhitungan obat.2. Termasuk kelompok bukan polifarmasi bila mendapat terapi < 5 obat dalam sehari4.7 Rencana Pengolahan Data

1. Editing

Memeriksa kelengkapan data yang diperoleh dari hasil kriteria START dan STOPP, kriteria Naranjo, indeks Barthel dan MMSE serta wawancara, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya.2. KodingMemberi kode pada masing-masing jawaban untuk dilakukan pengolahan data.3. Data entryPemindahan data ke dalam komputer agar diperoleh data masukan yang siap diolah.4.8 Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan persentase pada variabel-variabel yang diteliti.2. Analisis BivariatAnalisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.4.9 Penyajian Data

Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :

1. TekstularPenyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat.

2. TabularPenyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Active Ageing A Policy Framework. Madrid, Spain;April 2002. Available at: http://www.who.int/ageing/publications/active/en.html. Accesed on: 27 January 20152. Soejono CH, Setiati S, Nasrun MWS, Silaswati S. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri Untuk Dokter dan Perawat. Edisi Pertama. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.

3. Badan Pusat Statistik. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin 2010. Available at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?sp=1. Accesed on: 27 January 2015.

4. Hamilton HJ. Gallagher PF. Mahony DO. Inappropriate prescribing and adverse drug events in older people. In: BMC Geriatrics. 2009; 9: 5. Available at: www.bmcgeriatrics.com Accessed on: 27 January 2015.

5. Page R, Linnebur S, Bryant L, et al. Inappropriate prescribing in the hospitalized elderly patient: defining the problem, evaluation tools, and possible solutions. Clin Interv Aging 2010; 5: 75-87.6. Mariyono HH, Suryana K. Adverse Drug Reactions. In: J Peny Dalam. 2008; vol 9(2) Available at http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3862/2857Accesed January 22, 2015.

7. Departemen Sosial RI. Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah kesejahteraannya. Diposkan tanggal 23 Oktober 2007. Available at: http://www.depsos.go.id. Accesed on: 27 January 2015

8. Kane RL, Ouslander JG, Abrass I. Essentials of Clinical Geriatrics. 6th ed. New York : McGraw Hill; 2008. P.1 548.

9. Waney AT. Latihan stimulasi kognitif pada kelompok usia lanjut. Jurnal Ilmiah LEMDIMAS 2005; 4 (suppl 2): 77-8210. Sadock BJ, Sadock VA. Delirium, dementia, amnestic and cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 8th Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2005. P. 150-18011. Waney AT. Latihan stimulasi kognitif : senam otak pada kelompok lansia di Kamal-Kalideres, Jakarta Barat. Jurnal Ilmiah LEMDIMAS 2007; 7 (suppl 1): 6-1312. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. ""Mini-mental state". A practical method for grading the cognitive state of patients for the clinician". Journal of psychiatric research .1975. 12 (3): 18998.13. Hamilton H, Gallagher P, Ryan C, Byrne S, OMahony D. Potentially Inappropriate Medications Definedby STOPP Criteria and the Risk of Adverse DrugEvents in Older Hospitalized Patients. In: Arch Intern Med.2011; vol. 171(11): p. 1013-1019. Available at http://archinte.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=227481Accesed January 22, 2015

14. Crum RM, Anthony JC, Bassett SS, Folstein MF. "Population-based norms for the Mini-Mental State Examination by age and educational level". JAMA. 1993. 269 (18): 238691 15. Darmojo R. Boedhi H. Martono H. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Ed. 3. Jakarta : FKUI; 2004.p. 145-816. Rahmawati F, Pramantara ID, Rohmah W, Sulaiman SA. Polypharmacy and Unnecessary Drug Therapy on Geriatric Hospitalized Patients in Yogyakarta Hospitals, Indonesia. In: International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 2009; vol.1(1): p.1-11 Available at http://www.ijppsjournal.com/Vol1Suppl1/195.pdf. Accesed on: January 26, 2015

17. Kebijakan Obat Rasional. Dalam: Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR189/MENKES/SK/III/2006. Available at: binfar.kemkes.go.id/?wpdmact=process&did. Accessed on: 27 January 2015. 18. WHO. Rational Use of Medicines. 2012.Available at : http://www.who.int/medicines/areas/rational_use/en/Accessed January 23, 2015

19. Akkawi FT. Prevalence and Risk Factors affecting polypharmacy among elderly patients in teh North of West Bank. In:Thesis on An-Najah National University Faculty of Draduate Studies. 2008. Available at: www.researchgate.net/.../237109653. Accessed on: 28 January 2015.20. Kirsten K. Hege S. Tron A. Polypharmacy as commonly defined is an indicator of limited value in the assessment of drug-related problems. In: British Journal of Clinical Pharmacology. 2006; Vol 63(187). Availabe at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2125.2006.02744.x/full. Accessed on: 28 January 2015.

21. Maryann M. Fulton RN. Polypharmacy in the elderly: A literature review. In: Journal of the American Academy of Nurse Practitioners. 2005; vol 17(123). Available at: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1041-2972.2005.0020.x/abstract?deniedAccessCustomisedMessage=&userIsAuthenticated=false. Accessed on: 28 January 2015.

22. Green JL. Is the number of prescribing physicians an independent risk factor for adverse drug events in an elderly outpatient population?. In: The American Journal of Geriatric Pharmacotherapy. 2007; Vol 5(31). Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1543594607000050. Accessed on: 28 January 2015.

23. Gallagher P. Ryan C. Byrne S. Kennedy J. O'Mahony D. STOPP (Screening Tool of Older Person's Prescriptions) and START (Screening Tool to Alert doctors to Right Treatment). Consensus validation. International Journal of Clinical Pharmacology and Therapeutics. 2008; 46(2):72-83]. Available at: http://europepmc.org/abstract/med/18218287. Accessed on: 27 January 2015.

24. STARTing and STOPPing Medications in the Elderly. In: PHARMACISTS LETTER / PRESCRIBERS Letter. Available at: file:///C:/Users/hi/Downloads/STARTandSTOPP%20in%20elderly.pdf. Updated: September 2011. Accessed on: 27 January 2015.

25. GillespieU, Alassaad A, Udenaes MA, Mrlin C, Henrohn D, Bertilsson M, Melhus H. Effects of Pharmacists' Interventions on Appropriateness of Prescribing and Evaluation of the Instruments' (MAI, STOPP and STARTs') Ability to Predict HospitalizationAnalyses from a Randomized Controlled Trial. In: PLOS. 2013. Available at: http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0062401#pone-0062401 - g001. Accessed on: 27 January 2015.

26. Franceschi M, Scarcelli C, Niro V, Seripa D, Pazienza AM, Pepe G, et al. Prevalence, clinical features and avoidability of adverse drug reactions as cause of admission to a geriatric unit: a prospective study of 1756 patients. In: Pub Med. 2008;vol.31(6): p.545-56Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18484788AccesedJanuary 26, 2015

27. OMahony D, OSullivan D, Byrne S, OConnor MN, Ryan C. STOPP/START Criteria for Potentially Inappropriate Prescribing in Older People : Version 2. In: Age and Ageing. 2014; 0: p. 16. Available at : http://ageing.oxfordjournals.org/content/early/2014/11/18/ageing.afu145.long Accesed January 22, 2015

28. Hines LE, Murphy JE. Potentially harmful drug-drug interactions in the elderly: a review. In: American Journal of Geriatric Pharmacotherapy. 2011; 9(6): 1.Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22078863Accesed January 24, 2015)29. Patrcia M. Leopoldo L. Diagnosis and control of polypharmacy in the elderly. Available at: http://www.scielo.br/scielo.php. Accessed on: 28 January 2015.30. Wiffen P. Edwards J. Moore A. Adverse drug reactions in hospital patients (A systematic review of the prospective and retrospective studies). In: Bandolier. 2005. Available at: www.ebandilier.com. Accessed on: 27 January 2015.

31. David R Paula R. Emma C. Christopher F. Adverse Drug Reactions in Hospital In-Patients: A Prospective Analysis of 3695 Patient-Episodes. In: PLOS. 2009. Available at: http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0004439#pone-0004439-t007. Accessed on: 28 January 2015

32. Evans SR. Risk Factors for Adverse Drug Events: a 10-year analysis. Ann. Pharmacother., 42 (1) (2005), pp. 536133. Clavenna, Bonati M. Adverse Drug Reactions in Childhood: a Review of Prospective Studies and Safety Alerts. Arch. Dis. Child., 94 (2008), pp. 724728.

34. Budnitz DS, Shehab N, Kegler SR, Richards CL. Medication Use Leading to Emergency Department Visits for Adverse Drug Events in Older Adults. Ann. Intern. Med., 147 (2007), pp. 755765.35. Jimmy J, Padma GM. Pattern of Adverse Drug Reactions Notified by Spontaneous Reporting in an Indian Tertiary Care Teaching Hospital. Pharmacol. Res., 54 (2006), pp. 226233.36. Klotz U. Pharmacokinetics and Drug Metabolism in The Elderly. Drug Metab. Rev., 41 (2) (2009), pp. 677637. Ofotokun I, Pomeroy C. Sex Differences in Adverse Reactions to Antiretroviral Drugs. Top. HIV Med., 11 (2) (2003), pp. 555938. Sun H, Frassetto L, Benet LZ. Effects of Renal Failure on Drug Transport and Metabolism. Pharmacol. Ther., 109 (12) (2006), pp. 11139. Colloca G, Tosato M, Vetrano DL, Topinkova E, Fialova D, et al. (2012) Inappropriate Drugs in Elderly Patients with Severe Cognitive Impairment: Results from the Shelter Study. PLoS ONE 7(10): e46669. doi:10.1371/journal.pone.004666940. Hartati S, Widayanti CG. Clock Drawing: Asesmen untuk Geriatri (Studi Deskriptif pada Orang Lanjut Usia Di Kota Semarang). In: Jurnal Psikologi Undip. 2010; vol. 7 (1) : p. 1-9. Available at http://ejournal.undip.ac.id/index.php/psikologi/article/download/2940/2627 Accesed February 2, 2015

41. Carulla LS, Gasca VI. Defining Disability, Functioning, Autonomy and Dependency in Person-Centered Medicine and Integrated Care. In: International Journal of Integrated Care. 2010; vol 10 p. 69-72 Available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2834916/pdf/ijic2010-2010025.pdf Accesed February 4, 2015

42. Bruce, Altice FL, Fried GH. Pharmacokinetic Drug Interactions Between Drugs of Abuse and Antiretroviral Medications: Implications and Management for Clinical Practice. Exp. Rev. Clin. Pharmacol., 1 (1) (2008), pp. 115127

43. Kroon LA. Drug Interactions with Smoking. Am. J. Health Syst. Pharm., 64 (18) (2007), pp. 1917192144. Bushardt RL, Massey EB, Simpson TW, Ariail JC, Simpson KN. Polypharmacy: Misleading but Manageable. Clin. Interv. Aging, 3 (2) (2008), pp. 38338945. Rambhade S, Chakarborty A, Shrivastava A, Patil UK, Rambhade A. A Survey on Polypharmacy and Use of Inappropriate Medications. Toxicol. Int., 19 (1) (2012), pp. 687346. Steinman MA, Landefeld CS, Rosenthal GE, Berthenthal D, Sen J, Kaboli J. Polypharmacy and Precsribing Quality in Older People. J. Am. Geriatr. Soc., 54 (10) (2006), pp. 1516152347. Pranarka K. Penerapan Geriatrik Kedokteran Menuju Usia Lanjut yang Sehat. In: Jurnal Universa Medicina. 2006; vol. 25 (4) : p. 187-197. Available at http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/kRISPRANAKA.pdf Accesed February 2, 201548. Yenni, Herwana E. Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Jakarta Selatan. In: Jurnal Universa Medicina. 2006; vol 25 (4) p. 164-171 Available at http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2012/04/Yenny.pdf Accesed February 4, 2015

49. Petrovic M, Cammen T, Onder G. Adverse Drug Reactions in Older People Detection and Prevention. In: Drugs Aging. 2012; vol. 29 (6): p. 453-460 Available at http://gero.usc.edu/AgeWorks/fall_session2013/tdl/gero589/readings/Week12AdverseDrugResponses.pdf Accesed on: January 26, 2015

LAMPIRAN 1

JADWAL KEGIATAN PENELITIANTahapan KegiatanWaktu Dalam Minggu

123456789

APerencanaan

1 Orientasi dan Identifikasi Masalah

2Pemilihan Topik

3Penelurusan kepustakaan

4Pembuatan Proposal

5Konsultasi dengan pembimbing

6Pengumpulan questionnaire

7Presentasi Proposal

BPelaksanaan

1Menyiapkan questionnaire

2Pengumpulan data dan Survey

3Pengolahan data

4Analisis data

5Konsultasi dengan Pembimbing

CPelaporan Hasil

1Penulisan laporan sementara

2Diskusi

3Presentasi hasil laporan sementara

4Revisi

5Presentasi Hasil akhir

(puskesmas dan trisakti)

6Penulisan laporan akhir

Tabel 4. Jadwal kegiatan

LAMPIRAN 2

PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

Penggandaan Kuesioner

Rp. 200.000,-

Transportasi

Rp. 100.000,-

CD

Rp. 15.000,-

Kertas A4

Rp 35,000,-

Tinta printer

Rp 150,000,-

Biaya tak terduga:

Rp. 150.000,-

Rp. 650.000,-ORGANISASI PENELITIAN

1. Pembimbing dari Kedokteran Universitas Trisakti

DR. dr. Rina K. Kusumaratna, M.Kes

2.Pembimbing Puskesmas Kecamatan Tebetdr. Vera Marietha

3. Penyusun dan Pelaksana PenelitianDiana Yulianti 030.06.070

Kiki Haera Rizky 030.09.131

Lina Pratiwi 030.09.136

LAMPIRAN 3Kuisioner dan skor dari jawaban Algoritme NaranjoNo. Adverse Drug Reaction (ADR) / Reaksi Obat yang Merugikan (ROM)Ya Tidak Tidak tahu

1. Apakah terdapat laporan yang jelas tentang ADR tersebut pada waktu lampau?+100

2.ADR terjadi setelah diberi obat yang dicurigai?+200

3.ADR berkurang ketika obat yang dicurigai dihentikan atau diberi antagonisnya?+100

4.ADR muncul kembali ketika obat tersebut diberikan lagi?+200

5.Adakah alternatif lain penyebab ADR pada pasien tersebut?0+20

6.Apakah ADR tersebut juga timbul ketika diberikan plasebo?0+10

7.Apakah obat berada pada konsentrasi toksis dalam darah?+100

8.Apakah ADR meningkat ketika dosis ditingkatkan atau berkurang ketika dosis diturunkan ?+100

9.Apakah pasien pernah mengalami ADR yang sama di waktu lampau ketika obat yang sama atau turunannya diberikan ?+100

10.Apakah diagnosis ADR tersebut didukung oleh bukti yang obyektif ?+100

Hasil Penilaian Skor Tingkat Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR)

1 - 3 Possible (Kemungkinan terjadi ADR) 9 - 13 Definite (Pasti terjadi ADR)4 - 8 Probable (Kemungkinan Besar ADR)

Kriteria START dan STOPP yang meliputi berbagai sistem organSTOPP :Screening Tool of Older Peoples Potentially Inappropriate Prescriptions

The following drug prescriptions are pottentially inappropriate in person age 65 years age

Central nervous System and Psychotropic Drugs

1. Tricyclic antidepressan ( TCAs ) with dementia

2. TCAs with galucoma

3. TCAs with cardiac conductive abnormalities

4. TCAs with contispation

5. TCAs with an opiate or calcium channel blocker6. TCAs with protastism or pror history of urinary retention

7. Long- term (i.e > 1 month ), long- acting benzodiazepines and benzodiazepines long-acting metabolite

8. Long- term (i.e > 1 month ) neuroleptics as long-term hypnotics

9. Long- term (i.e > 1 month ) in those with parkinsonism

10. Phenothiazines in patients with Epilepsi

11. Anticholinergics to treat extra-pyramidal side-effect of neuroleptic medication

12. Selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) with a history of clinnical significant hyponatraemia

13. Prolonged use (>1week) of frist generation antihistamines i.e diphenydramin, cholopheniramine, cyclizine, promethazine

STOPP :Screening Tool of Older Peoples Potentially Inappropriate Prescriptions

The following drug prescriptions are pottentially inappropriate in person age 65 years age

Drugs that adversely affect fallers

1. Benzodiazepines

2. Neuroleptic drugs

3. First generation antihistamines

4. Vasodilator drugs with persistent postural hypotension i.e reccurent > 20 mmhg drugs in systolic pressure

5. Long term opiates in those with reccurent fallsAnalgetic drugs

1. Use of long-term powerfull opiates e.g morphine or fentanyl as first line therapy form mild-moderate pain

2. Regular opiates for more than 2 weeks in those with chronic constipation without concurrent use of laxative

3. Long term opiates in those with dementia unless indicated for palliative care or management of moderate/severe chronic pain syndrome

Duplicated Drugs Classes

Any duplicated drugs prescriptions e.g two current opiates, NSAIDs, SSRIs, loop diuretics, ACE inhibitors

STOPP :Screening Tool of Older Peoples Potentially Inappropriate Prescriptions

The following drug prescriptions are pottentially inappropriate in person age 65 years age

Cariovascular system

1. Digoxine at long-term dose 125g/day with impaired renal function

2. Loop diuretic for dependent ankle oedema only i.e no clinnical sign of heart failure

3. Loop diuretic as first-line monotherapy for hypertension

4. Thiazide diuretic with a history of gout

5. Non cardoiselective Beta-Blocker with chronic obstructive Pulmonary Disease

6. Beta- Blocker in combinnation with verapil

7. Use of dilitiazem or veramil with NYHA class III or IV heart failure

8. Calcium cahnnel blockers with chronic constipation

9. Use of aspirin and warfarin in combination withouut histaine H2 reseptor antagonis

10. Diprydamole as monotherapy for cardiovaskulaar secondary prevention

11. Aspirin with a past history of peptic ulcer disease without histamnie H2 reseptor antagonist or Proton Pump Inhibitor

12. Aspirin to treat dizziness not clearly attributable to cerebrovascular disease

13. Warfarin with no history of coronary, cerebral or peripheral vascular symptom or occulsive event

14. Aspirin at dose .150mg day

15. Warfarin for first, uncomplicated deep venous therombosis for longer than 6 month duration

16. Warfarin for first, uncomplicated pulmonarry embolus for longer than 12 months duration

17. Aspirin, clopidogrel, dipyridamoe or warfarin with concurrent bledding disorderSTOPP :Screening Tool of Older Peoples Potentially Inappropriate Prescriptions

The following drug prescriptions are pottentially inappropriate in person age 65 years age

Urogenital System

1. Bladder antimuscarinic drugs with dementia

2. Antimuscarinic drugs with chronic glaukoma3. Antimuscarinic drugs with chronic constipation

4. Antimuscarinic drugs with chronic prostatism

5. Alpha blockers in males with frequent incontinence i.e one ormore episodes of incontinence daily

6. Alpha blocker with long term urinary catheter in situ i.e more than 2 months

Endocrine System

1. Glibenclamide or clhorporamide with type 2 diabetes melitus

2. Oesterogen with a history of breast cancer or venous thromboembolism

3. Beta- blockers in those with diabetes melitus an frequent hypoglicaemic episode i.e 1 epiosode per month

4. Oesterogen without progesteron in patient with intact uterus

START :Screening Tool to Alert doctors to Right treaThese medication should be consideed for people 65 years of age with the following condition , where are contraindication to prescription exist

1. Warfarin in the presence of chronic atrial fibrilation

2. Aspiirin in the presence of chronic atrial fibrillation, where warfarinn is contraindicated, but not aspirin

3. Asiprin or clopidogrel with a documented history of atherosclerotic coronary, cerebral or periphera vascular disease in patient with sinus rhythm

4. Antihipertensi therapy whre systolic blood pressure consistently >160 mmhg

5. Statin therapybwith a documented history of coronary, cerebral or peripheral vascular when the patient s functional status remain indepeendent for activities of daily living and life expectancy greater than 5 years

6. Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor with chronic heart failure

7. Ace inhibiotor following acute myocardical infarction

8. Beta- blocker with chronic stable anginaRespiratory System

1. Regular inhaled 2 agonist or anticholinergic agent for mild modertae asthma

2. Regular inhaled corticosteroid for moderate-severe asthma or COPD, where predicated FEV < 50 %

3. Home continous oxygen with documanted chronic type 2 respiratory failure or type 2 respiratory failure

Central Nervous System

1. L- DOPA in idiopatic Parkinsons disease with definate functional impaiment and resultant diasability

2. Antidepressant drug in the presece of moderate-severe depressive symtopms lasting at least three

START :Screening Tool to Alert doctors to Right TreatmentThese medication should be consideed for people 65 years of age with the following condition , where are contraindication to prescription exist

Gastrointestinal system

1. Problem pump inhibitor with severe gastro-oesophageal acid refluks disease or peptic stricture requiri dilatation

2. Fibre supplemenetvfor chronic diverticular with constipation

Muskuloskeletal system

1. Diseases modifynng anti- rheumatic drug ( DMARD) with active moderate- severe rheumatoid disease lasting >12 weeks

2. Bisphosphonates in patient taking manitanennace corticosteroid theraapy

3. Calcium and vitamin D supplement in patient with known osteoporosis

Endocrine system

1. Metformin type 2 diabetes +/- metebolic syndrome

2. ACE inhibitor or angiotensij receptor blocker in diabetes with nephropaty

3. Antiplatelet therapy in diabetes melitus with co-existing major cardiovascular risk factor

4. Statin therapy in diabetes melitus if co-existing major cardiovascular risk factor

5. ACE inhibitor or angiotensin receptor blocker in diabetes with nephropaty

6. Antiplatelet therapy in diabetes melitus with co-existing major cardiovascular risk factor

7. Statin therapy in diabetes melitus if co-existing major cardiovascular risk factor

MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)

Nama Pasien:..(Lk / Pr) Umur: th Pendidikan:..... Pekerjaan:.........

Riwayat Penyakit: Stroke ( ) DM ( ) Hipertensi ( ) Peny.Jantung ( ) Peny. Lain....

TesMaksNilai

ORIENTASI

Sekarang (tahun), (bulan), (tanggal), hari apa?

Kita berada dimana? (negara),(provinsi),(kota),(rumah sakit),(lantai/kamar)?

REGISTRASI

Sebutkan 3 buah nama benda (jeruk, uang, mawar), tiap benda 1 detik. pasien disuruh mengulangi ketiga benda tadi. Nilai 1 untuk tiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan.

ATENSI DAN KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Hentikan setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan, misal uyahw = 2)

MENGINGAT KEMBALI (RECALL)

Pasien disuruh menyebut kembali 3 benda diatas

BAHASA

Pasien diminta menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil, arloji)

Pasien diminta mengulang rangkaian kata tanpa, kalau, dan, atau, tetapi

Pasien diminta melakukan perintah: Ambil kertas ini dengan tangan kanan, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai

Pasien diminta membaca & melakukan perintah angkat tangan kiri anda

Pasien diminta menulis sebuah kalimat (spontan)

Pasien diminta meniru gambar di bawah ini

5

5

3

5

3

2

1

3

1

1

1-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Skor Total30-

Indeks Barthel

NoItem yang dinilaiSkorNilai

1.Makan0 =Tidak mampu 1 =Butuh bantuan 2 =Mandiri

2.Mandi0 =Tergantung orang lain 1 =Mandiri

3.Perawatan diri 0 =Membutuhkan bantuanorang lain

1 =Mandiridalam perawatan muka, rambut, gigi, bercukur

4.Berpakaian0 =Tergantung 1 =Sebagian dibantu(Ex: mengancing baju)

2 =Mandiri

5.Buang air kecil

0 =Inkontinensiaatau pakai kateter dan tidak terkontrol

1 =Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)

2 =Kontinensia(teratur untuk lebih dari 7 hari)

6.Buang airbesar0 =Inkontinensia(tidak teratur atau perlu enema)

1 =Kadang Inkontensia (sekali seminggu) 2 =Kontinensia(teratur)

7.Penggunaan toilet

0 =Tergantung bantuan orang lain

1 =Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal sendiri

2 =Mandiri

8.Transfer

0 =Tidak mampu 1 =Butuh bantuanuntuk duduk (2 orang)

2 =Bantuan kecil (1 orang) 3 =Mandiri

9.Mobilitas0 =Immobile(tidak mampu)

1 =Menggunakankursi roda

2 =Berjalan dengan bantuan satu orang

3 =Mandiri(meskipunmenggunakan alat bantuseperti,tongkat)

10.Naik turuntangga0 =Tidak mampu 1 =Membutuhkan bantuan (alat bantu)

2 =Mandiri

Interpretasi hasil :

20 :Mandiri

12-19 :Ketergantungan Ringan

9-11 :Ketergantungan Sedang

5-8 :Ketergantungan Berat

0-4 :Ketergantungan TotalPenilaian ada atau tidaknya faktor kognitif berupa gangguan memori dan kemandirian meminum obat melalui observasi, kuesioner MMSE dan indeks Barthel

Observasi dan anamnesis adanya faktor medis berupa gangguan medis multipel dan adanya penyakit dalam durasi yang lama

Pengelompokan polifarmasi dan bukan polifarmasi

Pengisian kuesioner START dan STOPP

Pengisian kuesioner Naranjo

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Keluhan tentang reaksi obat yang tidak diinginkan (+)

Keluhan tentang reaksi obat yang tidak diinginkan (-)

Lansia usia 65 tahun , kooperatif dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian

Skrining lansia yang datang untuk berobat