Upload
timothy-reed
View
81
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
PROPOSAL PENELITIAN
KAJIAN KITAB-KITAB DI PESANTREN:
Tradisi Kajian dan Kontekstualisasi Kitab di Pesantren
LATAR BELAKANG MASALAH
Tradisi pesantren dan kitab (kuningnya) terindikasi menghadapi, setidaknya, dua
problem. Pertama, melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai core dan kekhasan
pendidikan pesantren. Kesimpulan ini berdasarkan pada survei pengajaran kitab kuning
yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (2011)
menunjukkan, bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam
bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun
santri. Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren,
yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya
memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum,
sehingga pengajaran kitab kuning sebagai kekhasan dan core pendidikan pesantren
melemah. Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja dapat diterima.
Mungkin saja terdapat pesantren-pesantren yang masih memiliki kekuatan tradisi kajian
kitabnya, yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memeriksa dan mempelajari
secara mendalam pesantren-pesantren yang masih memegang teguh tradisi kajian kitab.
Kedua, pesantren sempat dituduh sebagai basis penyemaian ide-ide atau
pemahaman keagamaan yang keras, oleh karena banyak aktor teror adalah lulusan
pesantren (Muin, Faiqoh, dkk., 2007: 8). Tentu saja ini pandangan yang distortif,
meskipun tidak menuntup kemungkinan harus ditanggapi oleh kalangan pesantren.
Untuk waktu yang lama, pesantren sebetulnya dekat dengan citra Islam moderat dengan
nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sebetulnya juga pesantren dapat menjadi
benteng pertahanan bagi gerakan-gerakan Islam garis keras (ekstrim) ini, karena
pesantren masih mempunyai pengaruh yang cukup kuat di masyarakat (A’la, 2006: 1).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukkan untuk pengembangan
nilai-nilai moderat di masyarakat perlu melibatkan dunia pesantren dengan ciri khas
tradisi kitabnya. Tentu saja itu secara ideal, namun pada kenyataannya, apakah semua
pesantren melakukan hal yang sama? Jika tidak apa sebabnya dan apa solusinya? Jika
2
sudah, apa yang harus dilengkapi? Semua jawaban atas pertanyaan itu tentu saja perlu
penelitian yang empiris terhadap interaksi kalangan pesantren dengan kitab.
Pentingnya penelitian terhadap teks pesantren dengan segala seluk-beluknya juga
disinyalir oleh Van Bruinessen (1995: 17) dan Dhofier (2011: 86), yang berpendapat
bahwa kitab (terkadang sering disebut dengan “kitab kuning”) adalah salah satu dari
elemen-elemen pesantren yang penting. Kitab juga merupakan tradisi dan epistemologi
keilmuan Islam pesantren di Indonesia (Azra, 2012: 143). Ia adalah sumber konstruksi
pengetahuan dan peradaban kaum santri (Baso, 2012b: 14). Tradisi pesantren tidak
menjadi lengkap tanpa kitab. Dalam tradisi pesantren, kitab bukan semata sebagai benda
mati, tetapi kitab yang dibaca, dipahami, dihayati dan kemudian diamalkan (Baso,
2012a: 134). Karena itu dapat dikatakan tradisi dan peradaban pesantren adalah tradisi
dan peradaban kitab. Maka, penting artinya untuk melihat dan mengetahui bagaimana
kalangan pesantren (kiai, ustaz dan santri) berinteraksi dengan kitab dan melakukan
pembacaan kontekstual atas kitabnya dalam berbagai hal yang mungkin dilakukan.
Penelitian terhadap tradisi pesantren dan kitab, dengan dua problem di atas
menemukan signifikansinya dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Agama
2010-2014, yakni (1) Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan—dalam
hal ini pesantren dengan berbasiskan kajian kitab; (2) Peningkatnya pemahaman dan
perilaku keagamaan umat beragama yang seimbang, moderat dan inklusif di tengah
pandangan-pandangan keagamaan yang keras, serta meningkatnya peran umat
beragama dalam membangun antar peradaban. Dalam hal ini, tentu saja pesantren sudah
dan akan terus berupaya berperan dalam mengembangkan pemahaman moderat dalam
beragama dan dialog antar peradaban yang harmonis. Namun, bagaimana cara pesantren
mengembangkan pemahaman Islam moderat tersebut penting dipelajari untuk dilihat
kekurangan dan kelebihannya. Salah satu cara meneliti cara pesantren menyikapi hal itu
tentu saja melihat tradsi kajian kitab, yang di dalamnya terdapat interaksi dengannya
serta kontekstualisasi atasnya.
Jadi, dengan meneliti tradisi kajian kitab dan kontekstualisasi atasnya, setidaknya
dapat memberikan pengetahuan dan model bagi kajian kitab di pesantren secara khusus,
dan model bagi pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat yang berbasiskan
pada pesantren yang mempunyai tradisi kajian kitabnya, dengan mewacanakan nilai-
nilai moderat dan toleransi dalam beragama.
3
RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, fokus penelitian ini adalah
interaksi dan upaya kontekstualisasi kalangan pesantren terhadap kitab-kitab yang
menjadi rujukan di pesantren.
1. Bagaimana tradisi kajian kitab di kalangan pesantren dalam kaitannya dengan
pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat?
2. Bagaimana posisi kitab bagi kalangan pesantren dalam menghadapi isu-isu
aktual dan toleransi keagamaan?
Karena itu, tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan tradisi kajian kitab di kalangan pesantren dalam kaitannya dengan
pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat;
2. Menjelaskan posisi kitab di kalangan pesantren dalam menghadapi isu-isu aktual
dan toleransi keagamaan.
PENELITIAN TERDAHULU
Pesantren sudah banyak menjadi obyek penelitian para sarjana. Jika diringkas, kajian
terhadap dunia pesantren sebagaimana disebut Taufik Abdullah (1987: 112-113)
setidaknya dapat dilakukan melalui tiga aspek: pertama, aspek internal pesantren.
Kedua adalah jalinan mata rantai pesantren antara pesantren induk dengan “pesantren
cabang” yang didirikan oleh bekas murid dari pesantren induk. Hubungan ini selain
tidak bersifat garis lurus, juga memperhatikan ikatan kekeluargaan dan orientasi
teologis. Ketiga, aspek hubungan dunia pesantren dengan lingkungan sekitar. Keempat,
aspek substansi teks-teks keagamaan (kitab) pesantren. Dalam konteks penelitian ini,
tentu saja aspek keempat yang akan lebih diungkapkan, tetapi ketiga aspek lainnya
hanya diberikan contoh hasil penelitiannya.
Untuk aspek pertama dan kedua beberapa contoh hasil penelitiannya adalah
penelitian Dhofier (2011), Steenbrink (1994), Madjid (1997) dan dalam beberapa segi
tradisi surau untuk pesantren di Minangkabau telah dilakukan oleh Azra (2003). Artikel
tentang kebebasan berpikir di pesantren yang ditulis oleh Gazali dan Malik (2009) juga
penting dalam konteks aspek pembaruan internal pesantren. Artikel ini menyajikan hasil
studi mereka terhadap Ma‘had Aly Pesantren Sukorejo Situbundo Jawa Timur terkait
dengan kebebasan berpikir dalam pembalajarannya. Jika Gazali dan Malik (2009)
4
menemukan kebebasan berpikir dalam pesantren, maka penelitian Fuaduddin dkk
(2007) menemukan nalar radikal di Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Jakarta juga pernah meneliti tentang pesantren, khususnya pada
aspek-aspek modernitas di pesantren (Tuanaya dkk., 2007). Penelitian ini sesungguhnya
hendak memotret bagaimana pesantren mengahadapi modernisasi pendidikan, yang
antara lain pesantren mengadopsi sistem pendidikan “modern” yang diajukan
pemerintah. Sayangnya, tidak tampak bagaimana kitab, sebagai bagian elemen
pesantren yang penting, diposisikan dan diperlakukan, sehingga cenderung hanya ingin
menerapkan unsur-unsur modernitas yang “dicomot” oleh pesantren.
Untuk aspek ketiga, layak disebut disini adalah kajian Abdullah (1987: 110-158)
sendiri, penelitian Badrus Sholeh dkk (2007) tentang budaya damai komunitas
pesantren. Tentang peran pesantren dalam mengembangan budaya damai juga telah
diteliti oleh Nuh (ed., 2010). Penelitian ini terfokus pada peran para pengasuh pesantren
untuk mengembangkan budaya damai terhadap santri dan masyarakat secara umum di
daerahnya masih-masing. Selain peran pesantren dalam pengembangan budaya damai,
pesantren juga dilihat potensi radikalismenya (Abd Muin dkk (2007).
Adapun aspek keempat, ialah tentang substansi teks-teks keagamaan (kitab)
pesantren. Beberapa hasil penelitian tentang ini telah disinggung sedikit oleh Abdullah
(1987: 114). Di antaranya adalah penelitian L. W. C. Van den Berg pada tahun 1886,
yang pertama kali mengadakan penelitian tentang kitab-kitab yang digunkan pesantren-
pesantren yang ada di Jawa dan Madura. Hasil penelitiannya menyebut ada sekitar 50-
an kitab yang digunakan di kalangan pesantren dan diduga masih dicetak dan digunakan
hingga saat ini. Snouck Hurgronje juga pada tahun 1924 mendata beberapa kitab
keagamaan yang telah dipakai sejak abad ke-17 (Pigeaud, 1967). Menurut Abdullah
(1987: 114), dengan membandingkan hasil-hasil penelitian tentang buku-buku pelajaran
yang dipakai di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yang dilakukan Baihaqi
(1978) dan yang termuat dalam Profil Pesantren (1974), beberapa kitab-kitab yang
digunakan masih sama sebagaimana yang ditemukan oleh Berg dan Hurgronje.
Adapun Martin Van Bruinessen (1995: 131-171) mencatat sekitar 900-an kitab
yang digunakan di beberapa pesantren di Nusantara. Ia juga mengunjungi bebarapa
penerbit dan toko kitab negeri-negeri jiran, seperti Malaysia, Singapore dan Pattani
Thailand. Van Bruinessen, dalam hal ini, menyajikan sebuah daftar dengan memberikan
5
analisis terhadap isi kitabnya secara singkat tentang 100 kitab terpopuler yang
digunakan di pesantren Nusantara. Penelaahanya merentang dari berbagai disiplin ilmu-
ilmu keislaman yang diajarkan di lembaga pesantren. Yang menarik, Van Bruinessen
memberikan, dengan data-data yang ia punya, bahwa kurikulum rata-rata pesantren di
Sumatera, Kalimantan dan Semenajung Malaya masih berbeda dalam kadar tertentu dari
kurikulum pesantren di Jawa. Menurutnya, teks-teks yang ditulis oleh ulama Nusantara,
semacam Al-Banjari, Al-Falimbani, dipelajari hingga kini dan didahulukan daripada
karya-karya klasik berbahasa Arab yang menjadi bagian utama dalam kurikulum
pesantren Jawa.
Van Bruinessen (1995: 146-147) juga menyebutkan beberapa penelitian lainnya
dalam bentuk survei kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, seperti yang dilakukan
Departemen Agama (1977), Prasodjo dkk. (1978), Yunus (1970), Zarkasyi (1985).
Penelitian-penelitian tresebut, adalah penelitian-penelitian yang selanjutnya dielaborasi
olehnya dalam kajiannya tentang kitab-kitab terpopuler di pesantren ini. Secara jelas ada
beberapa yang masih digunakan dan ada juga yang jarang lagi digunakan. Van
Bruinessen (1995: 146, lihat juga Zuhri, 2007: 42-43) juga secara khusus menyebut
buku autobiografi Saifuddin Zuhri (seorang NU yang menjadi menteri agama pada masa
demokrasi terpimpin), yang juga menyebut beberapa kitab yang dipelajari. Pendaftaran
dan deskripsi kitab-kitab keagamaan pada tahun 2010 juga pernah dilakukan di bawah
proyek penelitian Sophia University (Midori dan Kazuhiro dkk., 2010). Penelitian ini
menghasilkan sebuah katalog mengenai koleksi kitab-kitab di Asia Tenggara. Katalog
ini berhasil mengumpulkan 2569 volume kitab.
Sebuah survei tentang pengajaran kitab kuning di pondok pesantren dilakukan
oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Basri dkk., 2011). Survei ini
dilakukan pada tahun 2011. Survei ini, sebagaimana yang diakui sendiri oleh para
penelitinya, dalam beberapa hal melanjutkan studi Van Bruinessen. Tujuan survei ini
adalah memetakan nama-nama kitab kuning yang banyak diajarkan di pesantren, dan
menggambarkan tingkatan pengajaran kitab kuning tersebut. Di antara salah satu
temuannya beberapa kitab yang diajarkan memang sudah sejak dahulu telah menjadi
tradisi dalam pesantren, seperti kitab taqri>b untuk bidang fikih, tija>n al-
dura>ri untuk tauhid, ta‘li>m al-muta‘lim untuk akhlak dan hika>m dan
minha>j al-‘a>bidin untuk tasawuf (Basri, 2011: 111. Bdk Van Bruinessen, 1995:
6
154-167). Sejak dari Berg, Hurgronje, dan Van Bruinessen serta beberapa survei-survei
mengenai kitab-kitab di pesantren, termasuk survei yang terakhir disebut ini semuanya
masih sebatas mendaftar dan mendeskripsikan kitabnya, belum berupaya meneliti
bagaimana kalangan pesantren meposisikan kitab (interaksi) dan melakukan
kontekstualisasi atasnya. Namun, survei-survei tersebut tentu saja membantu dalam
memetakan dan mendeskripsikan kitab-kitab yang digunakan di pesantren yang menjadi
lokasi penelitian nantinya.
Penelitian tentang kitab-kitab juga dilakukan oleh Balai Litbang Agama Semarang
dengan tema “Pelaksanaan pengajaran kitab-kitab fiqih di lingkungan pondok pesantren
di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D. I. Yogyakarta.” Hasil penelitian ini
kemudian dibukukan menjadi Kajian Kitab Fiqih di Pondok Pesantren Salaf di Jawa
tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tersebut mengkaji
beberapa kitab fikih yang digunakan di pesantren salaf diantaranya: Risa>lat al-
Mahīd}, Kitab Fiqh Manhaji>, Safina>t al-Naja>h}, Taysir, Fath} al-
Wahhāb, Sullam al-Tawfi>q, Fath} al-Mu’i>n, dan Fath} al-Qarīb. Di
antara kitab-kitab tersebut, ada dua yang merupakan karya ulama lokal, yakni:
Risa>lat al-Mahi>d} dan Taysir; serta satu kitab yang relatif baru yakni Fiqh
Manhaji>. Hasil penelitian tersebut, selain menguraikan tentang isi kitab-kitab
tersebut juga menjelaskan respon ustaz/ah dan santri (Masfiah dkk., 2010). Tampak
bahwa Penelitian ini sebetulnya sudah berupaya mengkaji respon kalangan pesantren
atas kitab fikih yang dipelajari, tetapi belum berupaya meneliti upaya-upaya
kontekstualisasi yang dilakukan oleh kalangan pesantren serta interaksinya.
Demikian juga Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama tahun 2004-2005 pernah melakukan penelitian tentang
“Pergeseran Literatur Keagamaan di Pesantren di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.” Penelitian pada tahun 2004 dilakukan penelitian
pergeseran literatur dengan fokus pada penggunaan literatur baik dari sisi materi, bidang
kajian, penyampaian, dengan berbagai penyebabnya, khusus di Pulau Jawa. Kemudian,
pada tahun 2005 (Syatibi, dkk., 2006), penelitian ini dilanjutkan di luar Jawa, yakni di
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Penelitian ini dilakukan
sebagai pembanding dari hasil penelitian sebelumnya dengan asumsi bahwa pesantren
masih merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam tradisional yang asli
7
Indonesia, dan konsisten menggunakan pola-pola lama hingga zaman sekarang, dan
menganggap dirinya senantiasa menghadapi perubahan zaman. Pergeseran terjadi
karena kompleksitas tantangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
berakibat pada perubahan sistem nilai, dan literatur cara belajar. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa adanya keragaman tentang penggunaan literatur di pesantren.
Pesantren-pesantren salafiyah yang ada di Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah telah
berubah dengan lebih menekankan kepada sistem sekolah, yang mengikuti kurikulum
pemerintah, sedangkan pengajian kitab dilakukan di sela-sela waktu belajar. Adapun
pesantren-pesantren yang ada di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan,
sekalipun telah merubah dengan sistem madrasah tetapi masih tetap memberlakukan
kitab sebagai acuan. Sebetulnya penelitian ini cukup dapat menggambarkan bagaimana
kitab diajarkan di pesantren, tetapi belum tergambar di dalam penelitian ini tentang
kontekstualisasi kitab terhadap persoalan-persoalan sosial-keagamaan seperti isu-isu
toleransi, inklusif dan kebangsaan. Selain itu, meskipun fokus penelitiannya pada
pergeseran literatur, tetapi belum juga tergambar dengan jelas aspek-aspek yang
bergeser dari sebelum berubah dan setelah berubah. Sebetulnya pada aspek-aspek
interaksi beberapa hal sudah diungkap tetapi belum komprehensif. Dan yang lebih
penting, belum mencoba memotret tradisi-tradisi kajian kitab dalam konteks tradisi
dayah di Aceh, surau di Minangkabau dan pesantren di Jawa secara komparatif.
Penelitian lain tentang pergeseran kitab juga pernah dilakukan oleh Marzani
Anwar pada tahun 1985, tetapi hasilnya terbatas pada beberapa kitab saja, belum juga
mengungkap motif dan latar belakang pergeseran tersebut (Bafadal dan Syatibi, 2006:
x). Penelitian tentang metode pengajaran kitab juga pernah dilakukan oleh Balai Litbang
Agama Jakarta pada tahun 2008, yang mengajukan konsep mastery learning melalui
metode sorogan dan bandongan. Penelitian ini sebetulnya telah mengkaji satu aspek
interaksi kalangan pesantren dengan kitab, yakni bagaimana kalangan pesantren
mengkaji kitab, tetapi belum juga menyentuh soal pandangan kalangan pesantren
terhadap kitab dan kontekstualisasinya.
Satu karya penting yang layak disebut di sini tentang teks-teks pesantren adalah
karya Baso (2012b). Buku ini penting untuk melihat khazanah teks-teks kesastraan
pesantren, meskipun kajiannya tidak hanya teks-teks kesastraan. Dalam buku ini Baso
mengungkap bagaimana, secara teoritik melalui kajian kepustakaan, interaksi kalangan
8
pesantren dengan teks-teks tersebut hingga menghasilkan sejumlah khazanah sastra
pesantren. Kajian seperti ini cukup bagus untuk dijadikan acuan tentang bagaimana
interaksi kalangan pesantren terhadap kitab secara empiris di beberapa pesantren.
KERANGKA KONSEPTUAL
Kitab (kuning) dan Pesantren sebagai Tradisi Islam Indonesia
Kata “kitab” berasal dari bahasa Arab (kita>b), dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan dengan “buku.” Dalam konteks pesantren, kitab biasanya mengacu pada buku-
buku dan bertulisan Arab yang berisi tentang berbagai aspek keilmuan Islam, seperti
ilmu tauhid, fikih, akhlak, tasawuf, sejarah, ilmu-ilmu bahasa (nahwu dan saraf) (Van
Bruinessen, 1995: 131-132). Meskipun bertulisan Arab, tidak semua kitab-kitab yang
digunakan di pesantren berbahasa Arab. Kadang-kadang ada juga kitab yang berbahasa
Melayu (huruf Jawi) dalam tradisi Melayu, ada juga yang berbahasa Jawa atau Sunda
(huruf pegon) dalam tradisi Jawa dan Sunda, tetapi semuanya tetap ditulis dalam tulisan
Arab. Bahasa-bahasa lokal (Melayu, Jawa dan Sunda) ini kadang menjadi teks utama
(matn), kadang menjadi penjelasan (sharh{), atau sekadar menjadi terjemahan dari
teks utamanya yang kemudian sering disebut dengan “makna jenggot” atau terjemahan
antarbaris (Azra, 2009: 440).
Kata “kitab” biasanya juga ditambahkan dengan kata “kuning” di belakangnya.
Disebut kuning, karena biasanya menggunakan kertas berwarna kuning yang dibawa
dari Timur Tengah pada awal abad ke-20. Sesungguhnya, tidak ada ciri khas tertentu
yang membedakan antara “kitab kuning” dengan “kitab putih” selain perbedaan pada
kertasnya saja, sebab semuanya berisi ilmu-ilmu keislaman yang ditulis sejak kira abad
ke-10 hingga ke-15, yang digunakan di pesantren (Baso, 2012a: 134 dan Azra, 2012:
143). Namun, kitab (kuning) sudah terlanjur dikenal di kalangan pesantren, maka
biasanya orang tidak lengkap jika tidak menyebut “kitab kuning” untuk makna yang
sama sebagai buku-buku ilmu pengetahuan keislaman. Selanjutnya, untuk kepentingan
penelitian ini, kata “kitab kuning” atau “kitab” saja secara bergantian dapat digunakan
untuk menunjuk pada makna yang sama.
Sebagaimana yang sudah disinggung sedikit di atas, tradisi pesantren tidak
lengkap tanpa kitab. Inti dari tradisi keulamaan dan kesantrian ada pada kitab (Baso,
2012b: 135). Kitab adalah akar tradisi keilmuan Islam di Nusantara di mana pesantren
9
adalah lembaganya. Melalui pesantren, akses terhadap kitab-kitab yang
berisi khazanah ilmu-ilmu keislaman dalam bahasa Arab menjadi
terbuka, terlebih dengan banyaknya penerjemahan dan pembuatan
sharh} (penjelasan atau komentar atas sebuah kitab) oleh para kiai
pemimpin pesantren, maka terjadilah adaptasi dalam bentuk berupa
tanggapan pembaca—dalam hal ini masyarakat pesantren—terhadap
kitab-kitab tersebut dalam bentuk penyalinan, penerjemahan,
penjelasan dan penyaduran (vernakularisasi) (Azra, 2009: 436), teks-
teks keagamaan yang bersumber dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Jawa. Dari sini kemudian terjadilah transformasi teks melalui
tanggapan pembaca dan reproduksi teks. Karena itu, kitab
mempunyai peran besar tidak hanya dalam transmisi ilmu
pengetahuan keislaman, bukan hanya dikalangan komunitas santri,
tetapi di tengah masyarakat Muslim Indonesia secara keseluruhan.
Selanjutnya, dalam pengertian apakah pesantren yang dimaksud dalam penelitian
ini? Perkataan pesantren berasal dari kata “santri,” yang dengan awalan pe di depan dan
akhiran an, berarti tempat tinggal para santri (Dhofier, 2011: 41). Dalam pesantren
terdapat elemen-elemennya, yakni pondok (asrama), masjid, pengajaran kitab Islam
klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 2011: 79-93). Munculnya pesantren di Indonesia
memang lebih baik dilihat dalam konteks persilangan budaya atau kesinambungan dan
perubahan (continuity and change) budaya, daripada melihatnya sebagai sesuatu yang
paradoks. Pesantren dapat dilihat dalam perspektif kelanjutan tradisi mandala/dharma
(Sebuah lembaga pendidikan keagamaan atau semacam pertapaan untuk latihan spiritual
dalam tradisi Hindu) pada masa pra-Islam di Jawa, dan juga dapat dilihat dalam
perspektif kontak dengan jaringan keislaman di “pusat” Islam, Mekah dan Madinah atau
Timur Tengah secara umum.
Lombard (2005: 130-135) mencatat setidaknya terdapat tiga kemiripan antara
struktur dharma Jawa Kuna dengan struktur pesantren; pertama, tempatnya jauh dari
keramaian, atau di daerah yang kosong yang jauh dari ibukota kerajaan atau dari kota
besar modern. Pertapa maupun santri memerlukan ketenangan dan keheningan untuk
menyepi atau bersemedi untuk menyelami batinnya sendiri dan mempelajari ilmu
agama. Kedudukan dharma/mandala juga biasanya terdapat di tanah perdikan, yaitu
10
tanah yang bebas beban pajak dari kerajaan, sebagaimana juga pesantren yang sekarang
banyak berada di atas tanah wakaf. Kedua, adanya ikatan antara guru dengan murid,
sisya (santri) dengan guru, atau santri dengan kiai di pesantren. Ketiga, terpilaharanya
banyak kontak antar-dharma, sebagiamana juga antar-pesantren, dan kebiasaan
berkelana untuk mencari ilmu dan pencarian spiritual dari satu dharma ke dharma yang
lain, dan dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Hal ini terlihat dalam teks
Negarakertagama misalnya, yang menceritakan perjalanan Hayam Wuruk dan
persinggahan-persinggahannya dari satu pertapaan ke pertapaan lain bersama-sama para
pengikutnya, di mana ia banyak membicarakan pokok-pokok filsafat dengan para
gurunya. Dalam kaitannya dengan pesantren, Serat Centhini yang dikarang pada awal
abad ke-19, juga mengisahkan pengembaraan beberapa santri yang terusir dari Giri oleh
tentara Sultan Agung dan pergi dari kiai yang satu ke kiai lain untuk mencari
pengetahuan mereka di segala bidang, terutama bidang agama Islam. Kata “santri”
dalam lembaga pesantren juga dapat menjadi indikasi adanya kemiripan dengan
dharma/mandala; dalam lembaga ini, terdapat unsur pemeluk agama Hindu yang
disebut sastrin yang bermakna “…orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu” (Dhofier, 2012: 41). Mungkin inilah yang
menjadi aspek kesinambungan dalam tradisi pesantren. Justru melalui kesinambungan
inilah, Islam dapat berkembang lebih cepat.
Selain kesinambungan, juga terdapat aspek perubahan yang dilakukan oleh
pesantren, yakni dengan adanya kontak dengan pusat Islam di Timur Tengah, yakni
Mekah dan Madinah. Hal ini tampak melalui tradisi “kitab kuning” (Van Bruinessen,
1990: 226-269). Tradisi “kitab kuning” jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab
klasik yang dipelajari di Indonesia utamanya bersumber dari berbahasa Arab, dan
sebagian besar dikarang sebelum Islam tersebar di Indonesia, dan juga kitab sharh}
(penjelasan) terhadap teks-teks klasik tersebut juga berasal dari Bahasa Arab, meskipun
banyak juga yang dikarang oleh ulama Indonesia yang tetap saja sumber teks matn-nya
berbahasa Arab. Selain itu, pola khas lembaga pesantren menyerupai lembaga madrasah
(kuttab) di Timur Tengah dan India. Hal ini tampak dari hampir semua kiai besar
menyelesaikan pendidikan agamanya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di tanah
di Arab, bahkan pada abad ke-17 dan ke-18 sudah terdapat jaringan antara ulama Timur
11
Tengah dan Kepulauan Nusantara (Azra, 2007). Dengan begitu, kitab dan
pesantren menjadi bagian dari tradisi Islam di Indonesia.
Pesantren dalam tradisi Minangkabau lebih dikenal sebagai
surau, sedangkan dalam tradisi Aceh lebih dikenal dayah, meskipun
ketiganya memiliki kesamaan karakteristik, yakni sama-sama sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional yang khas Indonesia (Azra,
2012: 163). Oleh karena itu, dalam penelitian ini ketiga istilah
tersebut tidak dibedakan secara ketat. Meskipun dalam penelitian ini
ketiga tradisi ini, dayah, surau dan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam yang khas di Indonesia coba dipotret. Selanjutnya,
sebagaimana diketahui, ada dua jenis pesantren, yakni “pesantren
salafiyah” (tradisional) dan “pesantren khalafiyah” (modern). Pesantren yang bercorak
sala>f ditandai oleh beberapa ciri, yaitu: pertama, menggunakan kitab klasik sebagai
inti pendidikannya; kedua, kurikulumnya terdiri atas materi khusus pengajaran agama;
ketiga, sistem pengajaran terdiri atas sistem pengajaran individual (sorogan) dan
klasikal (bandongan, wetonan dan halaqah) adapun ciri-ciri pesantren yang bercorak
khala>f: pertama, kurikulumnya terdiri atas pelajaran agama dan pelajaran umum;
kedua, di lingkungan pesantren dikembangkan tipe sekolah umum; ketiga, adakalanya
tidak mengajarkan kitab-kitab klasik (“kitab kuning”) (Dhofier, 2011: 76). Tampak,
bahwa kedua tipe pesantren ini tetap sama-sama menggunakan kitab sebagai salah satu
sumber belajar. Oleh karena itu, dalam penelitian tidak terlalu membedakan secara
ketat, yang terpenting elemen-elemen pesantren terpenuhi. Selain pembedaan kedua
tipologi pesantren di atas dalam beberapa pandangan kiai sendiri sudah tidak lagi
relevan, karena yang terpenting adalah ilmu bermanfaat bagi santri (Dhofier, 2011:
269).
Pemikiran Islam Membaca Tradisi Kitab (kuning)
Jika pesantren dan kitabnya dianggap sebagai sebuah kekayaan tradisi Islam di
Indonesia, maka bagaimana pemikiran Islam yang berkembang saat ini menatap tradisi
tersebut? Berikut diuraikan dua trend pemikiran Islam dalam menatap tradisi Islam
(dalam hal ini tradisi “kitab kuning” di pesantren), sebagaimana yang diajukan oleh
12
Amin Abdullah (2004) dengan beberapa penyesuaian dari perspektif Muhammad Abed
Al-Jabiri (2000) untuk kepentingan kerangka teoritik penelitian ini.
Pertama, trend pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan
tradisi keilmuan Islam, yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad-abad yang
lalu, serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif arus pembangunan dan
modernisasi dalam segala bidang. Tradisi keilmuan Islam, termasuk tradisi keilmuan
pesantren, dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan,
tanpa harus dipertanyakan bagaimana asal-usul tradisi tersebut. Mempertanyakan tradisi
berarti meragukannya, dan bahkan mengingkari wujud tradisi yang selama ini dipegangi
dengan kokoh. Generasi yang sekarang tinggal mewarisi begitu saja warisan kekayaan
intelektual-spiritual generasi terdahulu, tanpa disertai sikap kritis. Dengan begitu, tanpa
terasa tradisi diterima secara dogmatis. Tidak ada ruang kreatifitas yang bersifat inovatif
untuk mengembangkan tradisi sesuai dengan wilayah atau konteks pengalaman manusia
yang semakin kompleks. Tradisi keilmuan Islam yang termaktub di dalam kitab pada
umumnya dianggap sebagai produk jadi yang siap pakai, sehingga generasi selanjutnya
hanya mengikuti saja tanpa harus mempertanyakan rumusan-rumusan yang telah ada
(Abdullah, 2004: 31-32).
Kedua, trend pemikiran Islam yang bersifat kritis. Tradisi kritis ini bermula dari
pengaruh pemikiran filosofis-kritis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk
di dalamnya gugusan pemikiran keagamaan. Tradisi kritis ini memandang khazanah
intelektual Islam, termasuk yang terbakukan di dalam kitab-kitab keagamaan, tidak lain
adalah “produk sejarah” biasa, yang sudah barang tentu dapat menerima kritik dan
perubahan. Oleh karena pemikiran keagamaan tersebut adalah sebagai produk sejarah
tertentu yang berkembang pada zaman tertentu, maka sangat dimungkinkan ia hanya
mewakili nuansa pemikiran yang berkembang pada masa tertentu pula. Tradisi yang
sudah ada itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan
wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Dalam rumusan pemikiran Islam
kritis ini, sebuah produk pemikiran tidak harus merupakan sebuah pemikiran yang taken
for granted. Tradisi pemikiran keislaman dipandang sebagai sebuah hasil akumulasi
pengalaman sejarah kemanusian belaka. Tradisi kritis ini tentu saja kemudian
memandang dan membaca kitab (kuning) sebagai produk pemikiran manusia biasa yang
muncul pada era atau zaman tertentu (Abdullah, 2004: 33-35).
13
Selanjutnya, pembacaan kritis atas tradisi kitab ini menemukan justifikasinya
dalam pemikiran-pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri, seorang pemikir Islam asal
Maroko. Al-Jabiri, dalam satu artikelnya tentang tradisi dan problem metodologi,
mengajukan setidaknya dua hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca tradisi
(tradisi dapat dipahami sebagai sebagai warisan masa lalu yang sampai hingga kini),
termasuk di dalamnya adalah tradisi kitab (kuning), yakni—ia menyebutnya dengan
—“momen obyektifisime dan kesinambungan” (Al-Jabiri, 2000: 19).
Momen obyektifisme mengandaikan adanya pemisahan yang tegas antara
pembaca dengan yang dibacanya (tradisi atau teks). Dalam momen obyektifisme ini ada
tiga jenis pendekatan atas tradisi: pendekatan pertama, metode strukturalis. Artinya,
dalam mengkaji sebuah kitab (sebagai tradisi), maka tentu harus berangkat dari teks-
teks sebagaimana adanya, yakni sebuah teks dalam posisinya sebagai sebuah korpus,
satu kesatuan, dan sebuah sistem. Salah satu doktrin umum dari pendekatan ini adalah,
menegaskan perlunya mengindari pembacaan (penarikan) makna sebelum membaca
teksnya (ungkapannya). Sebuah teks dibaca sebagai bagian dari jaringan relasinya,
bukan sebagai kata-kata yang berdiri sendiri maknanya. Intinya, pendekatan pertama ini
mengandaikan sebuah pembacaan atas teks secara seksama dan komprehensif untuk
mengeluarkan makna bahasa di dalamnya.
Pendekatan kedua, analisis sejarah. Analisis sejarah ini berupaya untuk
menghubungkan pemikiran sipenulis teks (atau pemilik/pembuat tradisi), yang teksnya
telah dianalisis melalui pendekatan pertama tadi, dengan lingkup sejarahnya, dengan
segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologi. Upaya menghubungkan ini
penting untuk dua hal: (1) memahami historisitas dan geneologi sebuah pemikiran yang
sedang dikaji; (2) menguji seberapa jauh validitas kesimpulan-kesimpulan pendekatan
strukturalis di atas. Artinya dengan mengetahui lingkup sejarah, maka dapat menguji
apa saja yang dikatakan oleh teks, atau apa saja yang tidak dikatakan di bawah terang
historisitas teks tersebut.
Pendekatan ketiga, kritik ideologi. Artinya, mengungkap fungsi ideologis,
termasuk fungsi sosial-politik, yang dikandung sebuah teks atau tradisi pemikiran
tertentu, atau yang sengaja dibebankan kepada teks tersebut dalam satu sistem
pemikiran tertentu yang menjadi rujukan. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks
klasik merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan
14
dirinya. Hal ini dalam rangka mendekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas atau
sebagai produk sejarah (Al-Jabiri, 2000: 20-21).
Adapun momen kesinambungan, menurut Al-Jabiri (2000:21), mengandaikan
pada sebuah pandangan terhadap tradisi atau teks yang tetap melekat dalam diri
pembacanya. Ia merupakan bagian dari eksistensi pembaca (pengikut tradisi) yang
harus “dikeluarkan,” tetapi bukan untuk diletakkan secara berjarak dan berseberangan,
serta bukan sebagai sebuah “obyek tontonan” layaknya di museum. Penjarakan tradisi
dalam artian momen kesinambungan ini adalah: (1) untuk merekonstruksinya dalam
bentuk yang baru, dengan pola-pola hubungan yang baru pula; (2) untuk menjadikannya
kontekstual dan membumi dengan keberadaan pembaca teks atau pengikut tradisi dalam
era kekiniaan (Al-Jabiri, 21-22).
Dalam pengertian semacam ini, Al-Jabiri tidak memaknai arti “kembali pada
tradisi” sebagai upaya mencomot apa saja yang terlihat cocok dan membuang segala
yang tidak sesuai dengan kepentingan orang kontemporer. Namun, yang dilakukan
sebaliknya, yakni pertama adalah menguasai dan memaknai secara rasional tradisi
tersebut secara keseluruhan, mulai dari aspek teologi, bahasa, fikih, filsafat, hingga
tradisi mistis (tasawuf). Setelah itu, baru kemudian melangkah ke tingkat
“kesinambungan,” yakni menimba relevansi dan kegunaan fungsional tradisi bagi
kehidupan kekinian (Baso, 2000: xxv).
Perspektif teoritik Al-Jabiri ini berguna untuk melihat apakah kalangan pesantren,
saat ini, melakukan kedua momen tersebut dalam menyikapi tradisi (kitab), atau
sebaliknya malah menjadikan “momen obyektifisme” menjadi “momen subyektifisme”
seraya terus melanjutkan “momen kesinambungan.” Sebab, menurut Al-Jabiri (2000:
22) juga, kebangkitan atau kemajuan umat akan dapat terwujud jika dilakukan
pembaruan-pembaruan pandangan atas tradisinya.
Posisi dan Kontekstualisasi Teks
Untuk memahami “posisi” dapat berangkat dari pendapat Sahal Mahfudh (2004: xxxiv)
sebagai berikut: “...persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada
penyikapan kita dalam memposisikannya.” Jadi, yang dimaksud dengan interaksi di sini
dapat bermakna positioning of kitab dalam kehidupan atau di kalangan pesantren.
Interaksi dengan teks dapat dimulai dengan diskusi mengenai penerimaan sebuah teks
15
oleh pembaca, atau dalam khazanah studi teks sastra dikenal dengan “resepsi sastra”
(Ratna, 2007: 304-308 dan Baso, 2012b: 4), yang kemudian juga menjadi salah satu
pokok kajian dalam cultural studies (Barker, 2009: 11).
Pemosisian kitab ini, dalam praktiknya, dapat dilihat dalam metodologi
pembelajaran kitab, yakni bagaimana kitab ini diajarkan dan dipelajari oleh santri, dan
penggunaannya sebagai referensi dalam masalah-masalah sosial-keagamaan yang
dihadapi, dengan segenap motif, metodologi, dan implikasinya baik oleh kiai, ustaz
maupun santri. Dengan menyimpulkan beberapa uraian teoritis Sahal Mahfudh (2004:
xi), sikap terhadap kitab ini dapat dibagi menjadi dua: (1) sikap menerima tanpa reserve
dan kritik, yang pada akhirnya menimbulkan apa yang oleh Muhammed Arkoun sebagai
taqdi>s al-afka>r al-di>ni> (pensakralan pemikiran keagamaan), dan
(2) sikap menerima secara datar seraya mengembangkan sikap-sikap
kritis terhadap apa yang tertulis di dalam kitab. Yang terkahir inilah
yang lebih disarankan oleh Sahal Mahfudh.
Sikap menerima secara datar dengan mengembangkan sikap
kritis terhadap apa yang tertulis di dalam kitab, dapat memungkinkan
orang untuk “sadar konteks,” baik konteks masa lalu saat kitab itu
ditulis maupun konteks permasalahan sekarang (Mahfudh, 2004: xi).
Dalam khazanah ilmu bahasa dan sastra, konteks dapat mengacu
pada “sesuatu yang mendahului, mengikuti atau erat hubungannya
dengan kata atau kelompok kata tertentu (teks) (Sudjiman, 1990: 45).
Dalam teori tindak tutur dan pragmatisme bahasa, konteks dimaknai
sebagai situasi dan pengetahuan yang menyertai sebuah tuturan
atau wacana (Schffrin, 2007: 555). Maksud “situasi” di sini adalah
situasi lingkungan sosial teks sebagai representasi penulis dan situasi
lingkungan sosial pembaca yang berbeda. Makna tuturan, menurut
teori tindak tutur, akan sampai dengan baik jika si pembaca
mempunyai pengetahuan yang baik tentang situasi lingkungan sosial
teks dan dirinya sendiri.
Penafsiran yang “sadar konteks” itulah yang dapat disebut
dengan kontekstualisasi. Kontekstualisasi mempertimbangkan
“signifikansi” (relevenasi sebuah teks atas persoalan kekinian dan
16
masa depan) dari sekadar “makna.” Signifikansi (significance
menurut Gadamer) hanya dapat ditemukan dan dipahami setelah
menemukan makna teks. Dalam konteks pesantren, kontekstualisasi
selain bisa dilakukan secara langsung dalam peristiwa pembacaan,
juga dapat berlangsung dalam pembelajaran, yakni bagaimana
kontekstualisasi metode pembelajaran kitab dilakukan sehingga para
santri tumbuh kesadaran akan konteks yang melingkupi kitab.
Persoalan tentang kesadaran akan perlunya kontekstualisasi kitab (kuning) ini
sudah mengemuka sejak tahun 1988, yakni dalam “Munadzarah Pengembangan
Ulumuddin melalui Telaah Kitab Kuning secara Kontekstual” di Pesantren Darussalam
Watucongol, Muntilan, Magelang, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma’ahid Islamy (RMI) pada 15-17
Desember 1988. Gagasan tersebut, waktu itu, di antaranya dilontarkan oleh
Abdurrahman Wahid. Beberapa kesimpulan tentang kontekstualisasi tersebut adalah
mencakup pengertian, tujuan dan caranya. Pengertian kontekstualisasi atau pemahaman
kontekstual diartikan sebagai suatu proses pemahaman teks kitab yang mengacu pada
kenyataan. Memahami teks tidak terbatas pada makna harfiyah, tapi menyentuh
pemikiran yang menjadi jiwa dalam teks kitab tersebut. Tujuannya adalah agar
pesantren dan kitabnya dapat menumbuhkan pemahaman yang dinamis terhadap teks
kitab (dalam arti tidak terbelenggu oleh kebekuan harfiyah, mengembangkan kepekaan
dan kemampuan santri dalam mengantisipasi dan meresapi persoalan-persoalan
masyarakat. Adapun caranya dilakukan dengan: pertama, memahami secara tepat
kandungan maksud (ma‘na al-mura>d) teks sesuai dengan kaidah bahasa dan syara
(ajaran) dengan menelusuri dalil-dalil yang mendasari pemikiran dalam teks. Kedua,
memahami latar belakang filosofis dan sosio-historis yang diperkirakan turut
mendorong lahirnya pendapat yang terkandung dalam teks, serta memahami kehidupan
sosio-kultural masyarakat kontemporer yang akan menjadi sasaran sosialisasi ajaran
Islam. Ketiga, mempergunakan secara tepat hasil kajian ilmiah dan temuan empiris,
sebagai bahan pertimbangan dalam memahami masalah yang dibahas, agar keputusan
yang diambil sesuai dengan kemaslahatan umat (Kedaulatan Rakyat, 16 Desember
1988; Kompas, 16 Desember 1988).
17
Jika diperhatikan, gagasan tersebut sama tujuan dan caranya dengan beberapa
pemikiran hermeneutika, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Untuk tradisi Islam,
dapat disamakan dengan pemikiran al-Jabiri yang melakukan pemahaman atas teks yang
beridiri di antara momen subyektif dan momen obyektif, yang sebagaimana telah diurai
di atas. Untuk tradisi Barat, hal ini sama dengan pemikiran-pemikiran hermeneutika
Gadamer, Gracia dan Ricoeur, yang masih memperhatikan keseimbangan antara
obyektifisme dan subyektifisme (yang berbeda dengan pemikiran hermeneutika
Schleiermacher, Dilthey dan Emilio Betti yang lebih kepada aliran hermeneutika
obyektifis) (Abdullah, dkk., 2011: x-xv). Kesamaan ini tampak terlihat dalam
pandangan Gracia tentang interpretasi yang setidaknya memiliki tiga fungsi: fungsi
historis, fungsi pemaknaan/pengembangan makna dan fungsi implikatif. Fungsi historis
bertugas membuat pembaca kontemporer paham terhadap makna teks yang dimiliki
pengarang dan pembaca masanya. Fungsi pengembangan makna bertugas memberikan
kemungkinan makna-makna yang belum diketahui oleh pengarang dan pembaca
historis. Adapun fungsi implikatif adalah memberikan implikasi dari pengembangan
makna yang telah dilakukan (Gracia, 2011: 137-138). Jika fungsi historis lebih kepada
aspek obyektifisme pemahaman, sedangkan fungsi pemaknaan dan implikatif lebih
kepada aspek subyektifisme pemahaman.
METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di satu pesantren pada setiap kota/propinsi
yang menjadi wilayah penelitian. Pemilihan pesantren dilakukan
melalui dua cara: pertama, informasi yang diperoleh dari informan
awal (bisa melalui koordinasi dengan pihak Kantor Wilayah
Kementerian Agama setempat), dan kedua melalui penentuan atas
pertimbangan bahwa pesantren tersebut memiliki tradisi kajian kitab
(kuning) yang kuat dan mapan, meskipun sudah dilakukan sistem
pembelajaran klasikal maupun adanya sekolah-sekolah atau
madrasah modern.
Adapun lokasi yang disasar dalam penelitian ini adalah: Aceh,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Banten, Cirebon, Bandung,
18
Tasikmalaya. Alasan pemilihan wilayah ini mempertimbangkan
kekhasan tradisi lembaga pendidikan Islam yang mengacu pada tiga
tradisi (meskipun tidak harus dibedakan secara ketat), yakni tradisi
dayah di Aceh, tradisi surau di Minangkabau Sumatera Barat, dan
tradisi pesantren di Jawa (dalam hal ini di Kota/Kabupaten Cirebon,
Tasikmalaya, Bandung, dan Banten). Adapun Sumatera Selatan
(dengan Kota Palembang) dan Jambi coba dilihat sebagai wilayah
yang dapat dikatakan belum banyak dikaji mengenai tradisi keilmuan
di pesantrennya. Penelitian ini tidak menjangkau wilayah-wilayah di
Jawa Tangah dan Jawa Timur, atau wilayah-wilayah lain di Indonesia
Tengah dan Indonesia Timur, itu semata karena soal teknis wilayah
kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Berikut
rincian peneliti dan lokasi sasarannya:
1. Aceh: Saeful Bahri
2. Sumatera Barat: Agus Iswanto
3. Sumatera Selatan: Zulkarnain Yani
4. Jambi: Mahmudah Nur
5. Banten: M. Rosadi
6. Cirebon: M. Tarobin
7. Bandung: A Kholid Dawam
8. Tasikmalaya: Syarif
Karena penelitian ini hanya memfokuskan pada satu pesantren,
maka penelitian ini tidak dimaksudkan mencari generalisasi. Jika pun
ada generalisasi yang bisa disimpulkan, itu hanya generalisasi in-
context, yang sifatnya cenderung merupakan learning lesson—
hikmah yang bisa diambil untuk memperkuat konsep-konsep
penelitian lanjutan dan pertimbangan kebijakan.
Pengumpulan Data
Karena fokus penelitian ini berputar pada dua aspek, yakni teks dan
pembacanya, yang merupakan bagian dari isu penting dalam cultural
studies, maka penelitian ini menggunakan metode yang
19
dikembangkan dalam cultural studies (Barker, 2009: 29). Penelitian
ini tidak sekadar berpusat pada teks, sehingga tidak merupakan
melulu penelitian atas teks, tetapi juga bagiamana teks ditanggapi,
dipandang, diperlakukan dan ditafsirkan oleh pembaca (interaksi dan
kontekstualisasi). Karena itu penelitian ini menggabungkan
pengumpulan data yang berupa pembacaan dan penafsiran atas teks
kitab atau dokumen-dokumen tentang sejarah pesantren, serta
wawancara dan observasi terhadap komunitas pembaca teks.
Wawancara penelitian ini menggunakan panduan wawancara
(interview guide). Wawancara dengan panduan ini dimaksudkan agar
wawancara lebih terfokus pada persoalan-persoalan yang menjadi
pokok penelitian. Panduan wawancara ini mengarahkan peneliti
mengenai data mana yang lebih mempermudah langkah-langkah
sistematisasi data. Panduan wawancara ini tidak berisi pertanyaan-
pertanyaan rinci, tetapi sekadar garis besar atau pokok-pokok
tentang data atau informasi apa yang ingin didapatkan dari informan,
yang kemudian dapat dikembangkan dengan memerhatikan
perkembangan, konteks, dan situasi wawancara. Informasi-informasi
yang dikumpulkan melalui wawancara ini adalah mengenai profil
pesantren, pandangan-pandangan kiai, ustaz dan santri tentang
kitab, serta pendapat-pendapat kiai, ustaz atau santri mengenai
problem-problem sosial-keagamaan, terutama yang menyangkut
wawasan toleransi, moderat, dan inklusifisme yang berdasarkan pada
kitab-kitab yang dirujuk atau dijadikan sumber belajar dalam
pesantren. Untuk kepentingan wawancara ini, peneliti menentukan
informan kunci yang dapat mewakili informasi yang ingin didapat.
Observasi atau pengamatan dimaksudkan sebagai peneliti hadir
untuk mengamati kejadian-kejadian di lokasi penelitian dalam waktu
tertentu. Dalam konteks penelitian ini, obervasi dilakukan untuk
melihat mulai dari aktivitas-aktivitas yang berlangsung di pesantren
dalam sehari, perlakuan-perlakuan kalangan pesantren terhadap
20
kitab, metode pembelajaran kitab, atau semua kejadian-kejadian
yang terkait dengan kitab.
Studi teks dilakukan dengan pembacaan analitis dan pembacaan
telaah isi (Tarigan, 2008: 40). Kegiatan pembacaan analitis adalah kegiatan
membaca menyeluruh, membaca lengkap seluruh teks bacaan. Tujuan utama membaca
analitis adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam terhadap hal-hal yang
tertulis dalam buku atau kitab.
Langkah-Langkah Penelitian
Mula-mula yang dilakukan peneliti adalah mempelajari dokumentasi
kesejarahan pesantren (dayah atau surau). Kemudian mendata,
sebisa mungkin, seluruh kitab-kitab yang digunakan sebagai bahan
pembelajaran maupun hanya dijadikan rujukan (tidak digunakan
sebagai bahan pembalajaran). Setelah itu, jika memungkinkan
memilah/mengidentifikasi kitab yang khas digunakan atau dijadikan
bahan pembelajaran di pesantren tersebut. Jika menurut peneliti,
berdasarkan informasi yang didapat, tidak terdapat kitab-kitab yang
khas dipergunakan, maka dilakukan identifikasi saja.
Tahap selanjutnya adalah mewancarai kiai, perwakilan ustaz dan
perwakilan santri untuk mendapatkan keterangan mengenai interaksi
mereka dengan kitab (meliputi pandangan-pandangan mereka
terhadap kitab) dan penafsiran-penafsiran kontekstual atas kitab
terkait dengan masalah-masalah pandangan keagamaan yang
toleran, inklusif dan moderat (bab jihad). Hasil-hasil wawancara
dicatat/ditranskripsi untuk dijadikan bahan penulisan laporan
penelitian.
Selanjutnya, pengamatan terhadap berbagai kejadian-kejadian
yang berhubungan kitab, seperti situasi dan metode pembelajaran
kitab, sikap-sikap simbolik terhadap kitab yang tampak oleh kiai,
ustaz atau santri. Semua hasil pengamatan ini ditulis dalam sebuah
catatan lapangan, yang kemudian dijadikan bahan penulisan laporan
penelitian.
21
Tahap terakhir adalah penulisan laporan hasil penelitian, dengan
kisi-kisi pembahasan sebagai berikut: pendahuluan (bab 1), deskripsi
historis dan sosial-budaya pesantren (bab 2), penyajian kitab-kitab
dan isinya (bab 3), interaksi dan kontekstualisasi terhadap kitab (bab
4), penutup yang meliputi kesimpulan dan saran (bab 5).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 2004. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdullah, M Amin, Syafa’atun Al-Mirzanah, Sahiron Syamsudin. 2011. “Pengantar,” dalam Pemikiran Hermeneutika dalam Tadisi Barat: Reader, Eds. Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren.Yogyakarta: LKiS.
Al-Jabiri, Muhamamd Abed. 2000. Post Tradisionalisme Islam, terjemahan dan kompilator oleh Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS.
Azra, Azyumardi. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos.
_______. 2009. “Naskah Terjemahan Antarbaris: Kontribusi Kreatif Dunia Muslim Melayu-Indonesia,” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, Forum Jakarta Paris, Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran.
_______. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik, cet. Keenam, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Baso, Ahmad. 2000. “Pengantar Penerjemah. Posmodernisme sebagai Kritik Islam: Konstribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed al-Jabiri,” dalam Post Tradisionalisme Islam, Muhammad Abed al-Jabiri, terjemahan dan kompilasi Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS.
_______. 2012a. Pesantren Studies 2a. Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial. Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.
_______. 2012b. Pesantren Studies 2b. Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial. Juz Kedua: Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-Teks
22
Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.
Basri, Husen Hasan, dkk. 2011. Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Dhofier, Zamakhsari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. ke-9 edisi revisi. Jakarta: LP3ES.
Fuaduddin. 2007. Melacak Nalar Radikal: Kasus Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Jakarta: Gaung Persada Press bekerjasama dengan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Gazali, Hatim, Abd. Malik. 2009. “Pesantren and the Freedom of Thinking: Study of Ma‘had Aly Pesantren Sukorejo Situbondo, Jawa Timur, Indonesia,” Al-Jami’ah 47 (No.2).
Gracia, Jorge J.E. 2011. “Interpretasi,” terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Pemikiran Hermeneutika dalam Tadisi Barat: Reader, Eds. Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kuper, Adam, Jessica Kuper. 2008. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan EFEO.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat.
Mahfudh, Sahal. 2004. Nuansa Fiqh Sosial, cet. IV. Yogyakarta: LKiS.
Masfiah, Umi, Samidi, dkk. 2010. Kajian Kitab Fiqih di Pondok Pesantren Salaf di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.
Midori, Kawasima, Arai Kazuhiro, dkk. (eds). 2010. A Provisional Catalogue of Southeast Asian Kitabs of Sophia University. Tokyo, Japan: NIHU Program Islamic Area Studies, Institute of Asian Cultures – Center for Islamic Studies, Sophia University.
Muin, Faiqoh dkk. 2007. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme. Jakarta: CV. Prasasti.
Nuh, Nuhrison M. 2010. Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java: Catalogue Rasionne of Javanese Manuscripts in the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands,Vol I. Leiden: The Hague, Martinus Nyhoff.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
23
Schffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholeh, Badrus, Abdul Mun’im DZ, dkk. 2007. Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES, LSAF dan The Asia Foundation.
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Syatibi, M, Badri Yunardi, dkk. 2006. Pergeseran Literatur di Pondok Pesantren Salafiyah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
Tuanaya, Malik A Thaha, dkk. 2007. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta.
Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. Ke-2. Yogyakarta: LKiS.
Zuhri, Saifuddin Zuhri. 2007. Guruku Orang-Orang dari Pesantren, cet. ke-2. Yogyakarta: PustakaPesantren.