35
1 PROPOSAL PENELITIAN KAJIAN KITAB-KITAB DI PESANTREN: Tradisi Kajian dan Kontekstualisasi Kitab di Pesantren LATAR BELAKANG MASALAH Tradisi pesantren dan kitab (kuningnya) terindikasi menghadapi, setidaknya, dua problem. Pertama, melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai core dan kekhasan pendidikan pesantren. Kesimpulan ini berdasarkan pada survei pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (2011) menunjukkan, bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun santri. Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren, yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum, sehingga pengajaran kitab kuning sebagai kekhasan dan core pendidikan pesantren melemah. Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja dapat diterima. Mungkin saja terdapat pesantren-pesantren yang masih memiliki kekuatan tradisi kajian kitabnya, yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memeriksa dan mempelajari secara

Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

1

PROPOSAL PENELITIAN

KAJIAN KITAB-KITAB DI PESANTREN:

Tradisi Kajian dan Kontekstualisasi Kitab di Pesantren

LATAR BELAKANG MASALAH

Tradisi pesantren dan kitab (kuningnya) terindikasi menghadapi, setidaknya, dua

problem. Pertama, melemahnya pengajaran atau kajian kitab sebagai core dan kekhasan

pendidikan pesantren. Kesimpulan ini berdasarkan pada survei pengajaran kitab kuning

yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (2011)

menunjukkan, bahwa frekuensi pengajaran kitab kuning di pesantren dalam beragam

bidang keilmuannya tergolong rendah, baik dilihat dari kitab-kitab pilihan kiai maupun

santri. Hal ini mungkin disebabkan oleh pergeseran orientasi pendidikan pesantren,

yang cenderung mengadopsi kebutuhan-kebutuhan dalam konteks kekinian, misalnya

memodernisasi pelajaran pesantren dengan memasukan pelajaran-pelajaran umum,

sehingga pengajaran kitab kuning sebagai kekhasan dan core pendidikan pesantren

melemah. Tentu saja hal ini bukan sebuah kesimpulan yang begitu saja dapat diterima.

Mungkin saja terdapat pesantren-pesantren yang masih memiliki kekuatan tradisi kajian

kitabnya, yang dapat dijadikan model bagi revitalisasi tradisi kajian kitab di pesantren.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memeriksa dan mempelajari

secara mendalam pesantren-pesantren yang masih memegang teguh tradisi kajian kitab.

Kedua, pesantren sempat dituduh sebagai basis penyemaian ide-ide atau

pemahaman keagamaan yang keras, oleh karena banyak aktor teror adalah lulusan

pesantren (Muin, Faiqoh, dkk., 2007: 8). Tentu saja ini pandangan yang distortif,

meskipun tidak menuntup kemungkinan harus ditanggapi oleh kalangan pesantren.

Untuk waktu yang lama, pesantren sebetulnya dekat dengan citra Islam moderat dengan

nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sebetulnya juga pesantren dapat menjadi

benteng pertahanan bagi gerakan-gerakan Islam garis keras (ekstrim) ini, karena

pesantren masih mempunyai pengaruh yang cukup kuat di masyarakat (A’la, 2006: 1).

Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukkan untuk pengembangan

nilai-nilai moderat di masyarakat perlu melibatkan dunia pesantren dengan ciri khas

tradisi kitabnya. Tentu saja itu secara ideal, namun pada kenyataannya, apakah semua

pesantren melakukan hal yang sama? Jika tidak apa sebabnya dan apa solusinya? Jika

Page 2: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

2

sudah, apa yang harus dilengkapi? Semua jawaban atas pertanyaan itu tentu saja perlu

penelitian yang empiris terhadap interaksi kalangan pesantren dengan kitab.

Pentingnya penelitian terhadap teks pesantren dengan segala seluk-beluknya juga

disinyalir oleh Van Bruinessen (1995: 17) dan Dhofier (2011: 86), yang berpendapat

bahwa kitab (terkadang sering disebut dengan “kitab kuning”) adalah salah satu dari

elemen-elemen pesantren yang penting. Kitab juga merupakan tradisi dan epistemologi

keilmuan Islam pesantren di Indonesia (Azra, 2012: 143). Ia adalah sumber konstruksi

pengetahuan dan peradaban kaum santri (Baso, 2012b: 14). Tradisi pesantren tidak

menjadi lengkap tanpa kitab. Dalam tradisi pesantren, kitab bukan semata sebagai benda

mati, tetapi kitab yang dibaca, dipahami, dihayati dan kemudian diamalkan (Baso,

2012a: 134). Karena itu dapat dikatakan tradisi dan peradaban pesantren adalah tradisi

dan peradaban kitab. Maka, penting artinya untuk melihat dan mengetahui bagaimana

kalangan pesantren (kiai, ustaz dan santri) berinteraksi dengan kitab dan melakukan

pembacaan kontekstual atas kitabnya dalam berbagai hal yang mungkin dilakukan.

Penelitian terhadap tradisi pesantren dan kitab, dengan dua problem di atas

menemukan signifikansinya dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Agama

2010-2014, yakni (1) Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan—dalam

hal ini pesantren dengan berbasiskan kajian kitab; (2) Peningkatnya pemahaman dan

perilaku keagamaan umat beragama yang seimbang, moderat dan inklusif di tengah

pandangan-pandangan keagamaan yang keras, serta meningkatnya peran umat

beragama dalam membangun antar peradaban. Dalam hal ini, tentu saja pesantren sudah

dan akan terus berupaya berperan dalam mengembangkan pemahaman moderat dalam

beragama dan dialog antar peradaban yang harmonis. Namun, bagaimana cara pesantren

mengembangkan pemahaman Islam moderat tersebut penting dipelajari untuk dilihat

kekurangan dan kelebihannya. Salah satu cara meneliti cara pesantren menyikapi hal itu

tentu saja melihat tradsi kajian kitab, yang di dalamnya terdapat interaksi dengannya

serta kontekstualisasi atasnya.

Jadi, dengan meneliti tradisi kajian kitab dan kontekstualisasi atasnya, setidaknya

dapat memberikan pengetahuan dan model bagi kajian kitab di pesantren secara khusus,

dan model bagi pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat yang berbasiskan

pada pesantren yang mempunyai tradisi kajian kitabnya, dengan mewacanakan nilai-

nilai moderat dan toleransi dalam beragama.

Page 3: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

3

RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, fokus penelitian ini adalah

interaksi dan upaya kontekstualisasi kalangan pesantren terhadap kitab-kitab yang

menjadi rujukan di pesantren.

1. Bagaimana tradisi kajian kitab di kalangan pesantren dalam kaitannya dengan

pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat?

2. Bagaimana posisi kitab bagi kalangan pesantren dalam menghadapi isu-isu

aktual dan toleransi keagamaan?

Karena itu, tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan tradisi kajian kitab di kalangan pesantren dalam kaitannya dengan

pengembangan pemikiran keagamaan di masyarakat;

2. Menjelaskan posisi kitab di kalangan pesantren dalam menghadapi isu-isu aktual

dan toleransi keagamaan.

PENELITIAN TERDAHULU

Pesantren sudah banyak menjadi obyek penelitian para sarjana. Jika diringkas, kajian

terhadap dunia pesantren sebagaimana disebut Taufik Abdullah (1987: 112-113)

setidaknya dapat dilakukan melalui tiga aspek: pertama, aspek internal pesantren.

Kedua adalah jalinan mata rantai pesantren antara pesantren induk dengan “pesantren

cabang” yang didirikan oleh bekas murid dari pesantren induk. Hubungan ini selain

tidak bersifat garis lurus, juga memperhatikan ikatan kekeluargaan dan orientasi

teologis. Ketiga, aspek hubungan dunia pesantren dengan lingkungan sekitar. Keempat,

aspek substansi teks-teks keagamaan (kitab) pesantren. Dalam konteks penelitian ini,

tentu saja aspek keempat yang akan lebih diungkapkan, tetapi ketiga aspek lainnya

hanya diberikan contoh hasil penelitiannya.

Untuk aspek pertama dan kedua beberapa contoh hasil penelitiannya adalah

penelitian Dhofier (2011), Steenbrink (1994), Madjid (1997) dan dalam beberapa segi

tradisi surau untuk pesantren di Minangkabau telah dilakukan oleh Azra (2003). Artikel

tentang kebebasan berpikir di pesantren yang ditulis oleh Gazali dan Malik (2009) juga

penting dalam konteks aspek pembaruan internal pesantren. Artikel ini menyajikan hasil

studi mereka terhadap Ma‘had Aly Pesantren Sukorejo Situbundo Jawa Timur terkait

dengan kebebasan berpikir dalam pembalajarannya. Jika Gazali dan Malik (2009)

Page 4: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

4

menemukan kebebasan berpikir dalam pesantren, maka penelitian Fuaduddin dkk

(2007) menemukan nalar radikal di Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Balai Penelitian dan

Pengembangan Agama Jakarta juga pernah meneliti tentang pesantren, khususnya pada

aspek-aspek modernitas di pesantren (Tuanaya dkk., 2007). Penelitian ini sesungguhnya

hendak memotret bagaimana pesantren mengahadapi modernisasi pendidikan, yang

antara lain pesantren mengadopsi sistem pendidikan “modern” yang diajukan

pemerintah. Sayangnya, tidak tampak bagaimana kitab, sebagai bagian elemen

pesantren yang penting, diposisikan dan diperlakukan, sehingga cenderung hanya ingin

menerapkan unsur-unsur modernitas yang “dicomot” oleh pesantren.

Untuk aspek ketiga, layak disebut disini adalah kajian Abdullah (1987: 110-158)

sendiri, penelitian Badrus Sholeh dkk (2007) tentang budaya damai komunitas

pesantren. Tentang peran pesantren dalam mengembangan budaya damai juga telah

diteliti oleh Nuh (ed., 2010). Penelitian ini terfokus pada peran para pengasuh pesantren

untuk mengembangkan budaya damai terhadap santri dan masyarakat secara umum di

daerahnya masih-masing. Selain peran pesantren dalam pengembangan budaya damai,

pesantren juga dilihat potensi radikalismenya (Abd Muin dkk (2007).

Adapun aspek keempat, ialah tentang substansi teks-teks keagamaan (kitab)

pesantren. Beberapa hasil penelitian tentang ini telah disinggung sedikit oleh Abdullah

(1987: 114). Di antaranya adalah penelitian L. W. C. Van den Berg pada tahun 1886,

yang pertama kali mengadakan penelitian tentang kitab-kitab yang digunkan pesantren-

pesantren yang ada di Jawa dan Madura. Hasil penelitiannya menyebut ada sekitar 50-

an kitab yang digunakan di kalangan pesantren dan diduga masih dicetak dan digunakan

hingga saat ini. Snouck Hurgronje juga pada tahun 1924 mendata beberapa kitab

keagamaan yang telah dipakai sejak abad ke-17 (Pigeaud, 1967). Menurut Abdullah

(1987: 114), dengan membandingkan hasil-hasil penelitian tentang buku-buku pelajaran

yang dipakai di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan yang dilakukan Baihaqi

(1978) dan yang termuat dalam Profil Pesantren (1974), beberapa kitab-kitab yang

digunakan masih sama sebagaimana yang ditemukan oleh Berg dan Hurgronje.

Adapun Martin Van Bruinessen (1995: 131-171) mencatat sekitar 900-an kitab

yang digunakan di beberapa pesantren di Nusantara. Ia juga mengunjungi bebarapa

penerbit dan toko kitab negeri-negeri jiran, seperti Malaysia, Singapore dan Pattani

Thailand. Van Bruinessen, dalam hal ini, menyajikan sebuah daftar dengan memberikan

Page 5: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

5

analisis terhadap isi kitabnya secara singkat tentang 100 kitab terpopuler yang

digunakan di pesantren Nusantara. Penelaahanya merentang dari berbagai disiplin ilmu-

ilmu keislaman yang diajarkan di lembaga pesantren. Yang menarik, Van Bruinessen

memberikan, dengan data-data yang ia punya, bahwa kurikulum rata-rata pesantren di

Sumatera, Kalimantan dan Semenajung Malaya masih berbeda dalam kadar tertentu dari

kurikulum pesantren di Jawa. Menurutnya, teks-teks yang ditulis oleh ulama Nusantara,

semacam Al-Banjari, Al-Falimbani, dipelajari hingga kini dan didahulukan daripada

karya-karya klasik berbahasa Arab yang menjadi bagian utama dalam kurikulum

pesantren Jawa.

Van Bruinessen (1995: 146-147) juga menyebutkan beberapa penelitian lainnya

dalam bentuk survei kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, seperti yang dilakukan

Departemen Agama (1977), Prasodjo dkk. (1978), Yunus (1970), Zarkasyi (1985).

Penelitian-penelitian tresebut, adalah penelitian-penelitian yang selanjutnya dielaborasi

olehnya dalam kajiannya tentang kitab-kitab terpopuler di pesantren ini. Secara jelas ada

beberapa yang masih digunakan dan ada juga yang jarang lagi digunakan. Van

Bruinessen (1995: 146, lihat juga Zuhri, 2007: 42-43) juga secara khusus menyebut

buku autobiografi Saifuddin Zuhri (seorang NU yang menjadi menteri agama pada masa

demokrasi terpimpin), yang juga menyebut beberapa kitab yang dipelajari. Pendaftaran

dan deskripsi kitab-kitab keagamaan pada tahun 2010 juga pernah dilakukan di bawah

proyek penelitian Sophia University (Midori dan Kazuhiro dkk., 2010). Penelitian ini

menghasilkan sebuah katalog mengenai koleksi kitab-kitab di Asia Tenggara. Katalog

ini berhasil mengumpulkan 2569 volume kitab.

Sebuah survei tentang pengajaran kitab kuning di pondok pesantren dilakukan

oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan (Basri dkk., 2011). Survei ini

dilakukan pada tahun 2011. Survei ini, sebagaimana yang diakui sendiri oleh para

penelitinya, dalam beberapa hal melanjutkan studi Van Bruinessen. Tujuan survei ini

adalah memetakan nama-nama kitab kuning yang banyak diajarkan di pesantren, dan

menggambarkan tingkatan pengajaran kitab kuning tersebut. Di antara salah satu

temuannya beberapa kitab yang diajarkan memang sudah sejak dahulu telah menjadi

tradisi dalam pesantren, seperti kitab taqri>b untuk bidang fikih, tija>n al-

dura>ri untuk tauhid, ta‘li>m al-muta‘lim untuk akhlak dan hika>m dan

minha>j al-‘a>bidin untuk tasawuf (Basri, 2011: 111. Bdk Van Bruinessen, 1995:

Page 6: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

6

154-167). Sejak dari Berg, Hurgronje, dan Van Bruinessen serta beberapa survei-survei

mengenai kitab-kitab di pesantren, termasuk survei yang terakhir disebut ini semuanya

masih sebatas mendaftar dan mendeskripsikan kitabnya, belum berupaya meneliti

bagaimana kalangan pesantren meposisikan kitab (interaksi) dan melakukan

kontekstualisasi atasnya. Namun, survei-survei tersebut tentu saja membantu dalam

memetakan dan mendeskripsikan kitab-kitab yang digunakan di pesantren yang menjadi

lokasi penelitian nantinya.

Penelitian tentang kitab-kitab juga dilakukan oleh Balai Litbang Agama Semarang

dengan tema “Pelaksanaan pengajaran kitab-kitab fiqih di lingkungan pondok pesantren

di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D. I. Yogyakarta.” Hasil penelitian ini

kemudian dibukukan menjadi Kajian Kitab Fiqih di Pondok Pesantren Salaf di Jawa

tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tersebut mengkaji

beberapa kitab fikih yang digunakan di pesantren salaf diantaranya: Risa>lat al-

Mahīd}, Kitab Fiqh Manhaji>, Safina>t al-Naja>h}, Taysir, Fath} al-

Wahhāb, Sullam al-Tawfi>q, Fath} al-Mu’i>n, dan Fath} al-Qarīb. Di

antara kitab-kitab tersebut, ada dua yang merupakan karya ulama lokal, yakni:

Risa>lat al-Mahi>d} dan Taysir; serta satu kitab yang relatif baru yakni Fiqh

Manhaji>. Hasil penelitian tersebut, selain menguraikan tentang isi kitab-kitab

tersebut juga menjelaskan respon ustaz/ah dan santri (Masfiah dkk., 2010). Tampak

bahwa Penelitian ini sebetulnya sudah berupaya mengkaji respon kalangan pesantren

atas kitab fikih yang dipelajari, tetapi belum berupaya meneliti upaya-upaya

kontekstualisasi yang dilakukan oleh kalangan pesantren serta interaksinya.

Demikian juga Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama tahun 2004-2005 pernah melakukan penelitian tentang

“Pergeseran Literatur Keagamaan di Pesantren di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat,

Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.” Penelitian pada tahun 2004 dilakukan penelitian

pergeseran literatur dengan fokus pada penggunaan literatur baik dari sisi materi, bidang

kajian, penyampaian, dengan berbagai penyebabnya, khusus di Pulau Jawa. Kemudian,

pada tahun 2005 (Syatibi, dkk., 2006), penelitian ini dilanjutkan di luar Jawa, yakni di

Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Penelitian ini dilakukan

sebagai pembanding dari hasil penelitian sebelumnya dengan asumsi bahwa pesantren

masih merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam tradisional yang asli

Page 7: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

7

Indonesia, dan konsisten menggunakan pola-pola lama hingga zaman sekarang, dan

menganggap dirinya senantiasa menghadapi perubahan zaman. Pergeseran terjadi

karena kompleksitas tantangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang

berakibat pada perubahan sistem nilai, dan literatur cara belajar. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa adanya keragaman tentang penggunaan literatur di pesantren.

Pesantren-pesantren salafiyah yang ada di Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah telah

berubah dengan lebih menekankan kepada sistem sekolah, yang mengikuti kurikulum

pemerintah, sedangkan pengajian kitab dilakukan di sela-sela waktu belajar. Adapun

pesantren-pesantren yang ada di Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Selatan,

sekalipun telah merubah dengan sistem madrasah tetapi masih tetap memberlakukan

kitab sebagai acuan. Sebetulnya penelitian ini cukup dapat menggambarkan bagaimana

kitab diajarkan di pesantren, tetapi belum tergambar di dalam penelitian ini tentang

kontekstualisasi kitab terhadap persoalan-persoalan sosial-keagamaan seperti isu-isu

toleransi, inklusif dan kebangsaan. Selain itu, meskipun fokus penelitiannya pada

pergeseran literatur, tetapi belum juga tergambar dengan jelas aspek-aspek yang

bergeser dari sebelum berubah dan setelah berubah. Sebetulnya pada aspek-aspek

interaksi beberapa hal sudah diungkap tetapi belum komprehensif. Dan yang lebih

penting, belum mencoba memotret tradisi-tradisi kajian kitab dalam konteks tradisi

dayah di Aceh, surau di Minangkabau dan pesantren di Jawa secara komparatif.

Penelitian lain tentang pergeseran kitab juga pernah dilakukan oleh Marzani

Anwar pada tahun 1985, tetapi hasilnya terbatas pada beberapa kitab saja, belum juga

mengungkap motif dan latar belakang pergeseran tersebut (Bafadal dan Syatibi, 2006:

x). Penelitian tentang metode pengajaran kitab juga pernah dilakukan oleh Balai Litbang

Agama Jakarta pada tahun 2008, yang mengajukan konsep mastery learning melalui

metode sorogan dan bandongan. Penelitian ini sebetulnya telah mengkaji satu aspek

interaksi kalangan pesantren dengan kitab, yakni bagaimana kalangan pesantren

mengkaji kitab, tetapi belum juga menyentuh soal pandangan kalangan pesantren

terhadap kitab dan kontekstualisasinya.

Satu karya penting yang layak disebut di sini tentang teks-teks pesantren adalah

karya Baso (2012b). Buku ini penting untuk melihat khazanah teks-teks kesastraan

pesantren, meskipun kajiannya tidak hanya teks-teks kesastraan. Dalam buku ini Baso

mengungkap bagaimana, secara teoritik melalui kajian kepustakaan, interaksi kalangan

Page 8: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

8

pesantren dengan teks-teks tersebut hingga menghasilkan sejumlah khazanah sastra

pesantren. Kajian seperti ini cukup bagus untuk dijadikan acuan tentang bagaimana

interaksi kalangan pesantren terhadap kitab secara empiris di beberapa pesantren.

KERANGKA KONSEPTUAL

Kitab (kuning) dan Pesantren sebagai Tradisi Islam Indonesia

Kata “kitab” berasal dari bahasa Arab (kita>b), dalam bahasa Indonesia dapat

diartikan dengan “buku.” Dalam konteks pesantren, kitab biasanya mengacu pada buku-

buku dan bertulisan Arab yang berisi tentang berbagai aspek keilmuan Islam, seperti

ilmu tauhid, fikih, akhlak, tasawuf, sejarah, ilmu-ilmu bahasa (nahwu dan saraf) (Van

Bruinessen, 1995: 131-132). Meskipun bertulisan Arab, tidak semua kitab-kitab yang

digunakan di pesantren berbahasa Arab. Kadang-kadang ada juga kitab yang berbahasa

Melayu (huruf Jawi) dalam tradisi Melayu, ada juga yang berbahasa Jawa atau Sunda

(huruf pegon) dalam tradisi Jawa dan Sunda, tetapi semuanya tetap ditulis dalam tulisan

Arab. Bahasa-bahasa lokal (Melayu, Jawa dan Sunda) ini kadang menjadi teks utama

(matn), kadang menjadi penjelasan (sharh{), atau sekadar menjadi terjemahan dari

teks utamanya yang kemudian sering disebut dengan “makna jenggot” atau terjemahan

antarbaris (Azra, 2009: 440).

Kata “kitab” biasanya juga ditambahkan dengan kata “kuning” di belakangnya.

Disebut kuning, karena biasanya menggunakan kertas berwarna kuning yang dibawa

dari Timur Tengah pada awal abad ke-20. Sesungguhnya, tidak ada ciri khas tertentu

yang membedakan antara “kitab kuning” dengan “kitab putih” selain perbedaan pada

kertasnya saja, sebab semuanya berisi ilmu-ilmu keislaman yang ditulis sejak kira abad

ke-10 hingga ke-15, yang digunakan di pesantren (Baso, 2012a: 134 dan Azra, 2012:

143). Namun, kitab (kuning) sudah terlanjur dikenal di kalangan pesantren, maka

biasanya orang tidak lengkap jika tidak menyebut “kitab kuning” untuk makna yang

sama sebagai buku-buku ilmu pengetahuan keislaman. Selanjutnya, untuk kepentingan

penelitian ini, kata “kitab kuning” atau “kitab” saja secara bergantian dapat digunakan

untuk menunjuk pada makna yang sama.

Sebagaimana yang sudah disinggung sedikit di atas, tradisi pesantren tidak

lengkap tanpa kitab. Inti dari tradisi keulamaan dan kesantrian ada pada kitab (Baso,

2012b: 135). Kitab adalah akar tradisi keilmuan Islam di Nusantara di mana pesantren

Page 9: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

9

adalah lembaganya. Melalui pesantren, akses terhadap kitab-kitab yang

berisi khazanah ilmu-ilmu keislaman dalam bahasa Arab menjadi

terbuka, terlebih dengan banyaknya penerjemahan dan pembuatan

sharh} (penjelasan atau komentar atas sebuah kitab) oleh para kiai

pemimpin pesantren, maka terjadilah adaptasi dalam bentuk berupa

tanggapan pembaca—dalam hal ini masyarakat pesantren—terhadap

kitab-kitab tersebut dalam bentuk penyalinan, penerjemahan,

penjelasan dan penyaduran (vernakularisasi) (Azra, 2009: 436), teks-

teks keagamaan yang bersumber dari bahasa Arab ke dalam bahasa

Jawa. Dari sini kemudian terjadilah transformasi teks melalui

tanggapan pembaca dan reproduksi teks. Karena itu, kitab

mempunyai peran besar tidak hanya dalam transmisi ilmu

pengetahuan keislaman, bukan hanya dikalangan komunitas santri,

tetapi di tengah masyarakat Muslim Indonesia secara keseluruhan.

Selanjutnya, dalam pengertian apakah pesantren yang dimaksud dalam penelitian

ini? Perkataan pesantren berasal dari kata “santri,” yang dengan awalan pe di depan dan

akhiran an, berarti tempat tinggal para santri (Dhofier, 2011: 41). Dalam pesantren

terdapat elemen-elemennya, yakni pondok (asrama), masjid, pengajaran kitab Islam

klasik, santri, dan kiai (Dhofier, 2011: 79-93). Munculnya pesantren di Indonesia

memang lebih baik dilihat dalam konteks persilangan budaya atau kesinambungan dan

perubahan (continuity and change) budaya, daripada melihatnya sebagai sesuatu yang

paradoks. Pesantren dapat dilihat dalam perspektif kelanjutan tradisi mandala/dharma

(Sebuah lembaga pendidikan keagamaan atau semacam pertapaan untuk latihan spiritual

dalam tradisi Hindu) pada masa pra-Islam di Jawa, dan juga dapat dilihat dalam

perspektif kontak dengan jaringan keislaman di “pusat” Islam, Mekah dan Madinah atau

Timur Tengah secara umum.

Lombard (2005: 130-135) mencatat setidaknya terdapat tiga kemiripan antara

struktur dharma Jawa Kuna dengan struktur pesantren; pertama, tempatnya jauh dari

keramaian, atau di daerah yang kosong yang jauh dari ibukota kerajaan atau dari kota

besar modern. Pertapa maupun santri memerlukan ketenangan dan keheningan untuk

menyepi atau bersemedi untuk menyelami batinnya sendiri dan mempelajari ilmu

agama. Kedudukan dharma/mandala juga biasanya terdapat di tanah perdikan, yaitu

Page 10: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

10

tanah yang bebas beban pajak dari kerajaan, sebagaimana juga pesantren yang sekarang

banyak berada di atas tanah wakaf. Kedua, adanya ikatan antara guru dengan murid,

sisya (santri) dengan guru, atau santri dengan kiai di pesantren. Ketiga, terpilaharanya

banyak kontak antar-dharma, sebagiamana juga antar-pesantren, dan kebiasaan

berkelana untuk mencari ilmu dan pencarian spiritual dari satu dharma ke dharma yang

lain, dan dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Hal ini terlihat dalam teks

Negarakertagama misalnya, yang menceritakan perjalanan Hayam Wuruk dan

persinggahan-persinggahannya dari satu pertapaan ke pertapaan lain bersama-sama para

pengikutnya, di mana ia banyak membicarakan pokok-pokok filsafat dengan para

gurunya. Dalam kaitannya dengan pesantren, Serat Centhini yang dikarang pada awal

abad ke-19, juga mengisahkan pengembaraan beberapa santri yang terusir dari Giri oleh

tentara Sultan Agung dan pergi dari kiai yang satu ke kiai lain untuk mencari

pengetahuan mereka di segala bidang, terutama bidang agama Islam. Kata “santri”

dalam lembaga pesantren juga dapat menjadi indikasi adanya kemiripan dengan

dharma/mandala; dalam lembaga ini, terdapat unsur pemeluk agama Hindu yang

disebut sastrin yang bermakna “…orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau

seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu” (Dhofier, 2012: 41). Mungkin inilah yang

menjadi aspek kesinambungan dalam tradisi pesantren. Justru melalui kesinambungan

inilah, Islam dapat berkembang lebih cepat.

Selain kesinambungan, juga terdapat aspek perubahan yang dilakukan oleh

pesantren, yakni dengan adanya kontak dengan pusat Islam di Timur Tengah, yakni

Mekah dan Madinah. Hal ini tampak melalui tradisi “kitab kuning” (Van Bruinessen,

1990: 226-269). Tradisi “kitab kuning” jelas bukan berasal dari Indonesia. Semua kitab

klasik yang dipelajari di Indonesia utamanya bersumber dari berbahasa Arab, dan

sebagian besar dikarang sebelum Islam tersebar di Indonesia, dan juga kitab sharh}

(penjelasan) terhadap teks-teks klasik tersebut juga berasal dari Bahasa Arab, meskipun

banyak juga yang dikarang oleh ulama Indonesia yang tetap saja sumber teks matn-nya

berbahasa Arab. Selain itu, pola khas lembaga pesantren menyerupai lembaga madrasah

(kuttab) di Timur Tengah dan India. Hal ini tampak dari hampir semua kiai besar

menyelesaikan pendidikan agamanya di pusat-pusat pengajaran Islam prestisius di tanah

di Arab, bahkan pada abad ke-17 dan ke-18 sudah terdapat jaringan antara ulama Timur

Page 11: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

11

Tengah dan Kepulauan Nusantara (Azra, 2007). Dengan begitu, kitab dan

pesantren menjadi bagian dari tradisi Islam di Indonesia.

Pesantren dalam tradisi Minangkabau lebih dikenal sebagai

surau, sedangkan dalam tradisi Aceh lebih dikenal dayah, meskipun

ketiganya memiliki kesamaan karakteristik, yakni sama-sama sebagai

lembaga pendidikan Islam tradisional yang khas Indonesia (Azra,

2012: 163). Oleh karena itu, dalam penelitian ini ketiga istilah

tersebut tidak dibedakan secara ketat. Meskipun dalam penelitian ini

ketiga tradisi ini, dayah, surau dan pesantren sebagai lembaga

pendidikan Islam yang khas di Indonesia coba dipotret. Selanjutnya,

sebagaimana diketahui, ada dua jenis pesantren, yakni “pesantren

salafiyah” (tradisional) dan “pesantren khalafiyah” (modern). Pesantren yang bercorak

sala>f ditandai oleh beberapa ciri, yaitu: pertama, menggunakan kitab klasik sebagai

inti pendidikannya; kedua, kurikulumnya terdiri atas materi khusus pengajaran agama;

ketiga, sistem pengajaran terdiri atas sistem pengajaran individual (sorogan) dan

klasikal (bandongan, wetonan dan halaqah) adapun ciri-ciri pesantren yang bercorak

khala>f: pertama, kurikulumnya terdiri atas pelajaran agama dan pelajaran umum;

kedua, di lingkungan pesantren dikembangkan tipe sekolah umum; ketiga, adakalanya

tidak mengajarkan kitab-kitab klasik (“kitab kuning”) (Dhofier, 2011: 76). Tampak,

bahwa kedua tipe pesantren ini tetap sama-sama menggunakan kitab sebagai salah satu

sumber belajar. Oleh karena itu, dalam penelitian tidak terlalu membedakan secara

ketat, yang terpenting elemen-elemen pesantren terpenuhi. Selain pembedaan kedua

tipologi pesantren di atas dalam beberapa pandangan kiai sendiri sudah tidak lagi

relevan, karena yang terpenting adalah ilmu bermanfaat bagi santri (Dhofier, 2011:

269).

Pemikiran Islam Membaca Tradisi Kitab (kuning)

Jika pesantren dan kitabnya dianggap sebagai sebuah kekayaan tradisi Islam di

Indonesia, maka bagaimana pemikiran Islam yang berkembang saat ini menatap tradisi

tersebut? Berikut diuraikan dua trend pemikiran Islam dalam menatap tradisi Islam

(dalam hal ini tradisi “kitab kuning” di pesantren), sebagaimana yang diajukan oleh

Page 12: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

12

Amin Abdullah (2004) dengan beberapa penyesuaian dari perspektif Muhammad Abed

Al-Jabiri (2000) untuk kepentingan kerangka teoritik penelitian ini.

Pertama, trend pemikiran Islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan

tradisi keilmuan Islam, yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad-abad yang

lalu, serta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatif arus pembangunan dan

modernisasi dalam segala bidang. Tradisi keilmuan Islam, termasuk tradisi keilmuan

pesantren, dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan,

tanpa harus dipertanyakan bagaimana asal-usul tradisi tersebut. Mempertanyakan tradisi

berarti meragukannya, dan bahkan mengingkari wujud tradisi yang selama ini dipegangi

dengan kokoh. Generasi yang sekarang tinggal mewarisi begitu saja warisan kekayaan

intelektual-spiritual generasi terdahulu, tanpa disertai sikap kritis. Dengan begitu, tanpa

terasa tradisi diterima secara dogmatis. Tidak ada ruang kreatifitas yang bersifat inovatif

untuk mengembangkan tradisi sesuai dengan wilayah atau konteks pengalaman manusia

yang semakin kompleks. Tradisi keilmuan Islam yang termaktub di dalam kitab pada

umumnya dianggap sebagai produk jadi yang siap pakai, sehingga generasi selanjutnya

hanya mengikuti saja tanpa harus mempertanyakan rumusan-rumusan yang telah ada

(Abdullah, 2004: 31-32).

Kedua, trend pemikiran Islam yang bersifat kritis. Tradisi kritis ini bermula dari

pengaruh pemikiran filosofis-kritis terhadap segala bentuk pemikiran manusia, termasuk

di dalamnya gugusan pemikiran keagamaan. Tradisi kritis ini memandang khazanah

intelektual Islam, termasuk yang terbakukan di dalam kitab-kitab keagamaan, tidak lain

adalah “produk sejarah” biasa, yang sudah barang tentu dapat menerima kritik dan

perubahan. Oleh karena pemikiran keagamaan tersebut adalah sebagai produk sejarah

tertentu yang berkembang pada zaman tertentu, maka sangat dimungkinkan ia hanya

mewakili nuansa pemikiran yang berkembang pada masa tertentu pula. Tradisi yang

sudah ada itu dapat dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan

wilayah pengalaman manusia beragama itu sendiri. Dalam rumusan pemikiran Islam

kritis ini, sebuah produk pemikiran tidak harus merupakan sebuah pemikiran yang taken

for granted. Tradisi pemikiran keislaman dipandang sebagai sebuah hasil akumulasi

pengalaman sejarah kemanusian belaka. Tradisi kritis ini tentu saja kemudian

memandang dan membaca kitab (kuning) sebagai produk pemikiran manusia biasa yang

muncul pada era atau zaman tertentu (Abdullah, 2004: 33-35).

Page 13: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

13

Selanjutnya, pembacaan kritis atas tradisi kitab ini menemukan justifikasinya

dalam pemikiran-pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri, seorang pemikir Islam asal

Maroko. Al-Jabiri, dalam satu artikelnya tentang tradisi dan problem metodologi,

mengajukan setidaknya dua hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca tradisi

(tradisi dapat dipahami sebagai sebagai warisan masa lalu yang sampai hingga kini),

termasuk di dalamnya adalah tradisi kitab (kuning), yakni—ia menyebutnya dengan

—“momen obyektifisime dan kesinambungan” (Al-Jabiri, 2000: 19).

Momen obyektifisme mengandaikan adanya pemisahan yang tegas antara

pembaca dengan yang dibacanya (tradisi atau teks). Dalam momen obyektifisme ini ada

tiga jenis pendekatan atas tradisi: pendekatan pertama, metode strukturalis. Artinya,

dalam mengkaji sebuah kitab (sebagai tradisi), maka tentu harus berangkat dari teks-

teks sebagaimana adanya, yakni sebuah teks dalam posisinya sebagai sebuah korpus,

satu kesatuan, dan sebuah sistem. Salah satu doktrin umum dari pendekatan ini adalah,

menegaskan perlunya mengindari pembacaan (penarikan) makna sebelum membaca

teksnya (ungkapannya). Sebuah teks dibaca sebagai bagian dari jaringan relasinya,

bukan sebagai kata-kata yang berdiri sendiri maknanya. Intinya, pendekatan pertama ini

mengandaikan sebuah pembacaan atas teks secara seksama dan komprehensif untuk

mengeluarkan makna bahasa di dalamnya.

Pendekatan kedua, analisis sejarah. Analisis sejarah ini berupaya untuk

menghubungkan pemikiran sipenulis teks (atau pemilik/pembuat tradisi), yang teksnya

telah dianalisis melalui pendekatan pertama tadi, dengan lingkup sejarahnya, dengan

segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologi. Upaya menghubungkan ini

penting untuk dua hal: (1) memahami historisitas dan geneologi sebuah pemikiran yang

sedang dikaji; (2) menguji seberapa jauh validitas kesimpulan-kesimpulan pendekatan

strukturalis di atas. Artinya dengan mengetahui lingkup sejarah, maka dapat menguji

apa saja yang dikatakan oleh teks, atau apa saja yang tidak dikatakan di bawah terang

historisitas teks tersebut.

Pendekatan ketiga, kritik ideologi. Artinya, mengungkap fungsi ideologis,

termasuk fungsi sosial-politik, yang dikandung sebuah teks atau tradisi pemikiran

tertentu, atau yang sengaja dibebankan kepada teks tersebut dalam satu sistem

pemikiran tertentu yang menjadi rujukan. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks

klasik merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan

Page 14: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

14

dirinya. Hal ini dalam rangka mendekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas atau

sebagai produk sejarah (Al-Jabiri, 2000: 20-21).

Adapun momen kesinambungan, menurut Al-Jabiri (2000:21), mengandaikan

pada sebuah pandangan terhadap tradisi atau teks yang tetap melekat dalam diri

pembacanya. Ia merupakan bagian dari eksistensi pembaca (pengikut tradisi) yang

harus “dikeluarkan,” tetapi bukan untuk diletakkan secara berjarak dan berseberangan,

serta bukan sebagai sebuah “obyek tontonan” layaknya di museum. Penjarakan tradisi

dalam artian momen kesinambungan ini adalah: (1) untuk merekonstruksinya dalam

bentuk yang baru, dengan pola-pola hubungan yang baru pula; (2) untuk menjadikannya

kontekstual dan membumi dengan keberadaan pembaca teks atau pengikut tradisi dalam

era kekiniaan (Al-Jabiri, 21-22).

Dalam pengertian semacam ini, Al-Jabiri tidak memaknai arti “kembali pada

tradisi” sebagai upaya mencomot apa saja yang terlihat cocok dan membuang segala

yang tidak sesuai dengan kepentingan orang kontemporer. Namun, yang dilakukan

sebaliknya, yakni pertama adalah menguasai dan memaknai secara rasional tradisi

tersebut secara keseluruhan, mulai dari aspek teologi, bahasa, fikih, filsafat, hingga

tradisi mistis (tasawuf). Setelah itu, baru kemudian melangkah ke tingkat

“kesinambungan,” yakni menimba relevansi dan kegunaan fungsional tradisi bagi

kehidupan kekinian (Baso, 2000: xxv).

Perspektif teoritik Al-Jabiri ini berguna untuk melihat apakah kalangan pesantren,

saat ini, melakukan kedua momen tersebut dalam menyikapi tradisi (kitab), atau

sebaliknya malah menjadikan “momen obyektifisme” menjadi “momen subyektifisme”

seraya terus melanjutkan “momen kesinambungan.” Sebab, menurut Al-Jabiri (2000:

22) juga, kebangkitan atau kemajuan umat akan dapat terwujud jika dilakukan

pembaruan-pembaruan pandangan atas tradisinya.

Posisi dan Kontekstualisasi Teks

Untuk memahami “posisi” dapat berangkat dari pendapat Sahal Mahfudh (2004: xxxiv)

sebagai berikut: “...persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada

penyikapan kita dalam memposisikannya.” Jadi, yang dimaksud dengan interaksi di sini

dapat bermakna positioning of kitab dalam kehidupan atau di kalangan pesantren.

Interaksi dengan teks dapat dimulai dengan diskusi mengenai penerimaan sebuah teks

Page 15: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

15

oleh pembaca, atau dalam khazanah studi teks sastra dikenal dengan “resepsi sastra”

(Ratna, 2007: 304-308 dan Baso, 2012b: 4), yang kemudian juga menjadi salah satu

pokok kajian dalam cultural studies (Barker, 2009: 11).

Pemosisian kitab ini, dalam praktiknya, dapat dilihat dalam metodologi

pembelajaran kitab, yakni bagaimana kitab ini diajarkan dan dipelajari oleh santri, dan

penggunaannya sebagai referensi dalam masalah-masalah sosial-keagamaan yang

dihadapi, dengan segenap motif, metodologi, dan implikasinya baik oleh kiai, ustaz

maupun santri. Dengan menyimpulkan beberapa uraian teoritis Sahal Mahfudh (2004:

xi), sikap terhadap kitab ini dapat dibagi menjadi dua: (1) sikap menerima tanpa reserve

dan kritik, yang pada akhirnya menimbulkan apa yang oleh Muhammed Arkoun sebagai

taqdi>s al-afka>r al-di>ni> (pensakralan pemikiran keagamaan), dan

(2) sikap menerima secara datar seraya mengembangkan sikap-sikap

kritis terhadap apa yang tertulis di dalam kitab. Yang terkahir inilah

yang lebih disarankan oleh Sahal Mahfudh.

Sikap menerima secara datar dengan mengembangkan sikap

kritis terhadap apa yang tertulis di dalam kitab, dapat memungkinkan

orang untuk “sadar konteks,” baik konteks masa lalu saat kitab itu

ditulis maupun konteks permasalahan sekarang (Mahfudh, 2004: xi).

Dalam khazanah ilmu bahasa dan sastra, konteks dapat mengacu

pada “sesuatu yang mendahului, mengikuti atau erat hubungannya

dengan kata atau kelompok kata tertentu (teks) (Sudjiman, 1990: 45).

Dalam teori tindak tutur dan pragmatisme bahasa, konteks dimaknai

sebagai situasi dan pengetahuan yang menyertai sebuah tuturan

atau wacana (Schffrin, 2007: 555). Maksud “situasi” di sini adalah

situasi lingkungan sosial teks sebagai representasi penulis dan situasi

lingkungan sosial pembaca yang berbeda. Makna tuturan, menurut

teori tindak tutur, akan sampai dengan baik jika si pembaca

mempunyai pengetahuan yang baik tentang situasi lingkungan sosial

teks dan dirinya sendiri.

Penafsiran yang “sadar konteks” itulah yang dapat disebut

dengan kontekstualisasi. Kontekstualisasi mempertimbangkan

“signifikansi” (relevenasi sebuah teks atas persoalan kekinian dan

Page 16: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

16

masa depan) dari sekadar “makna.” Signifikansi (significance

menurut Gadamer) hanya dapat ditemukan dan dipahami setelah

menemukan makna teks. Dalam konteks pesantren, kontekstualisasi

selain bisa dilakukan secara langsung dalam peristiwa pembacaan,

juga dapat berlangsung dalam pembelajaran, yakni bagaimana

kontekstualisasi metode pembelajaran kitab dilakukan sehingga para

santri tumbuh kesadaran akan konteks yang melingkupi kitab.

Persoalan tentang kesadaran akan perlunya kontekstualisasi kitab (kuning) ini

sudah mengemuka sejak tahun 1988, yakni dalam “Munadzarah Pengembangan

Ulumuddin melalui Telaah Kitab Kuning secara Kontekstual” di Pesantren Darussalam

Watucongol, Muntilan, Magelang, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan

Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma’ahid Islamy (RMI) pada 15-17

Desember 1988. Gagasan tersebut, waktu itu, di antaranya dilontarkan oleh

Abdurrahman Wahid. Beberapa kesimpulan tentang kontekstualisasi tersebut adalah

mencakup pengertian, tujuan dan caranya. Pengertian kontekstualisasi atau pemahaman

kontekstual diartikan sebagai suatu proses pemahaman teks kitab yang mengacu pada

kenyataan. Memahami teks tidak terbatas pada makna harfiyah, tapi menyentuh

pemikiran yang menjadi jiwa dalam teks kitab tersebut. Tujuannya adalah agar

pesantren dan kitabnya dapat menumbuhkan pemahaman yang dinamis terhadap teks

kitab (dalam arti tidak terbelenggu oleh kebekuan harfiyah, mengembangkan kepekaan

dan kemampuan santri dalam mengantisipasi dan meresapi persoalan-persoalan

masyarakat. Adapun caranya dilakukan dengan: pertama, memahami secara tepat

kandungan maksud (ma‘na al-mura>d) teks sesuai dengan kaidah bahasa dan syara

(ajaran) dengan menelusuri dalil-dalil yang mendasari pemikiran dalam teks. Kedua,

memahami latar belakang filosofis dan sosio-historis yang diperkirakan turut

mendorong lahirnya pendapat yang terkandung dalam teks, serta memahami kehidupan

sosio-kultural masyarakat kontemporer yang akan menjadi sasaran sosialisasi ajaran

Islam. Ketiga, mempergunakan secara tepat hasil kajian ilmiah dan temuan empiris,

sebagai bahan pertimbangan dalam memahami masalah yang dibahas, agar keputusan

yang diambil sesuai dengan kemaslahatan umat (Kedaulatan Rakyat, 16 Desember

1988; Kompas, 16 Desember 1988).

Page 17: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

17

Jika diperhatikan, gagasan tersebut sama tujuan dan caranya dengan beberapa

pemikiran hermeneutika, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Untuk tradisi Islam,

dapat disamakan dengan pemikiran al-Jabiri yang melakukan pemahaman atas teks yang

beridiri di antara momen subyektif dan momen obyektif, yang sebagaimana telah diurai

di atas. Untuk tradisi Barat, hal ini sama dengan pemikiran-pemikiran hermeneutika

Gadamer, Gracia dan Ricoeur, yang masih memperhatikan keseimbangan antara

obyektifisme dan subyektifisme (yang berbeda dengan pemikiran hermeneutika

Schleiermacher, Dilthey dan Emilio Betti yang lebih kepada aliran hermeneutika

obyektifis) (Abdullah, dkk., 2011: x-xv). Kesamaan ini tampak terlihat dalam

pandangan Gracia tentang interpretasi yang setidaknya memiliki tiga fungsi: fungsi

historis, fungsi pemaknaan/pengembangan makna dan fungsi implikatif. Fungsi historis

bertugas membuat pembaca kontemporer paham terhadap makna teks yang dimiliki

pengarang dan pembaca masanya. Fungsi pengembangan makna bertugas memberikan

kemungkinan makna-makna yang belum diketahui oleh pengarang dan pembaca

historis. Adapun fungsi implikatif adalah memberikan implikasi dari pengembangan

makna yang telah dilakukan (Gracia, 2011: 137-138). Jika fungsi historis lebih kepada

aspek obyektifisme pemahaman, sedangkan fungsi pemaknaan dan implikatif lebih

kepada aspek subyektifisme pemahaman.

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di satu pesantren pada setiap kota/propinsi

yang menjadi wilayah penelitian. Pemilihan pesantren dilakukan

melalui dua cara: pertama, informasi yang diperoleh dari informan

awal (bisa melalui koordinasi dengan pihak Kantor Wilayah

Kementerian Agama setempat), dan kedua melalui penentuan atas

pertimbangan bahwa pesantren tersebut memiliki tradisi kajian kitab

(kuning) yang kuat dan mapan, meskipun sudah dilakukan sistem

pembelajaran klasikal maupun adanya sekolah-sekolah atau

madrasah modern.

Adapun lokasi yang disasar dalam penelitian ini adalah: Aceh,

Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Banten, Cirebon, Bandung,

Page 18: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

18

Tasikmalaya. Alasan pemilihan wilayah ini mempertimbangkan

kekhasan tradisi lembaga pendidikan Islam yang mengacu pada tiga

tradisi (meskipun tidak harus dibedakan secara ketat), yakni tradisi

dayah di Aceh, tradisi surau di Minangkabau Sumatera Barat, dan

tradisi pesantren di Jawa (dalam hal ini di Kota/Kabupaten Cirebon,

Tasikmalaya, Bandung, dan Banten). Adapun Sumatera Selatan

(dengan Kota Palembang) dan Jambi coba dilihat sebagai wilayah

yang dapat dikatakan belum banyak dikaji mengenai tradisi keilmuan

di pesantrennya. Penelitian ini tidak menjangkau wilayah-wilayah di

Jawa Tangah dan Jawa Timur, atau wilayah-wilayah lain di Indonesia

Tengah dan Indonesia Timur, itu semata karena soal teknis wilayah

kerja Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Berikut

rincian peneliti dan lokasi sasarannya:

1. Aceh: Saeful Bahri

2. Sumatera Barat: Agus Iswanto

3. Sumatera Selatan: Zulkarnain Yani

4. Jambi: Mahmudah Nur

5. Banten: M. Rosadi

6. Cirebon: M. Tarobin

7. Bandung: A Kholid Dawam

8. Tasikmalaya: Syarif

Karena penelitian ini hanya memfokuskan pada satu pesantren,

maka penelitian ini tidak dimaksudkan mencari generalisasi. Jika pun

ada generalisasi yang bisa disimpulkan, itu hanya generalisasi in-

context, yang sifatnya cenderung merupakan learning lesson—

hikmah yang bisa diambil untuk memperkuat konsep-konsep

penelitian lanjutan dan pertimbangan kebijakan.

Pengumpulan Data

Karena fokus penelitian ini berputar pada dua aspek, yakni teks dan

pembacanya, yang merupakan bagian dari isu penting dalam cultural

studies, maka penelitian ini menggunakan metode yang

Page 19: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

19

dikembangkan dalam cultural studies (Barker, 2009: 29). Penelitian

ini tidak sekadar berpusat pada teks, sehingga tidak merupakan

melulu penelitian atas teks, tetapi juga bagiamana teks ditanggapi,

dipandang, diperlakukan dan ditafsirkan oleh pembaca (interaksi dan

kontekstualisasi). Karena itu penelitian ini menggabungkan

pengumpulan data yang berupa pembacaan dan penafsiran atas teks

kitab atau dokumen-dokumen tentang sejarah pesantren, serta

wawancara dan observasi terhadap komunitas pembaca teks.

Wawancara penelitian ini menggunakan panduan wawancara

(interview guide). Wawancara dengan panduan ini dimaksudkan agar

wawancara lebih terfokus pada persoalan-persoalan yang menjadi

pokok penelitian. Panduan wawancara ini mengarahkan peneliti

mengenai data mana yang lebih mempermudah langkah-langkah

sistematisasi data. Panduan wawancara ini tidak berisi pertanyaan-

pertanyaan rinci, tetapi sekadar garis besar atau pokok-pokok

tentang data atau informasi apa yang ingin didapatkan dari informan,

yang kemudian dapat dikembangkan dengan memerhatikan

perkembangan, konteks, dan situasi wawancara. Informasi-informasi

yang dikumpulkan melalui wawancara ini adalah mengenai profil

pesantren, pandangan-pandangan kiai, ustaz dan santri tentang

kitab, serta pendapat-pendapat kiai, ustaz atau santri mengenai

problem-problem sosial-keagamaan, terutama yang menyangkut

wawasan toleransi, moderat, dan inklusifisme yang berdasarkan pada

kitab-kitab yang dirujuk atau dijadikan sumber belajar dalam

pesantren. Untuk kepentingan wawancara ini, peneliti menentukan

informan kunci yang dapat mewakili informasi yang ingin didapat.

Observasi atau pengamatan dimaksudkan sebagai peneliti hadir

untuk mengamati kejadian-kejadian di lokasi penelitian dalam waktu

tertentu. Dalam konteks penelitian ini, obervasi dilakukan untuk

melihat mulai dari aktivitas-aktivitas yang berlangsung di pesantren

dalam sehari, perlakuan-perlakuan kalangan pesantren terhadap

Page 20: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

20

kitab, metode pembelajaran kitab, atau semua kejadian-kejadian

yang terkait dengan kitab.

Studi teks dilakukan dengan pembacaan analitis dan pembacaan

telaah isi (Tarigan, 2008: 40). Kegiatan pembacaan analitis adalah kegiatan

membaca menyeluruh, membaca lengkap seluruh teks bacaan. Tujuan utama membaca

analitis adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam terhadap hal-hal yang

tertulis dalam buku atau kitab.

Langkah-Langkah Penelitian

Mula-mula yang dilakukan peneliti adalah mempelajari dokumentasi

kesejarahan pesantren (dayah atau surau). Kemudian mendata,

sebisa mungkin, seluruh kitab-kitab yang digunakan sebagai bahan

pembelajaran maupun hanya dijadikan rujukan (tidak digunakan

sebagai bahan pembalajaran). Setelah itu, jika memungkinkan

memilah/mengidentifikasi kitab yang khas digunakan atau dijadikan

bahan pembelajaran di pesantren tersebut. Jika menurut peneliti,

berdasarkan informasi yang didapat, tidak terdapat kitab-kitab yang

khas dipergunakan, maka dilakukan identifikasi saja.

Tahap selanjutnya adalah mewancarai kiai, perwakilan ustaz dan

perwakilan santri untuk mendapatkan keterangan mengenai interaksi

mereka dengan kitab (meliputi pandangan-pandangan mereka

terhadap kitab) dan penafsiran-penafsiran kontekstual atas kitab

terkait dengan masalah-masalah pandangan keagamaan yang

toleran, inklusif dan moderat (bab jihad). Hasil-hasil wawancara

dicatat/ditranskripsi untuk dijadikan bahan penulisan laporan

penelitian.

Selanjutnya, pengamatan terhadap berbagai kejadian-kejadian

yang berhubungan kitab, seperti situasi dan metode pembelajaran

kitab, sikap-sikap simbolik terhadap kitab yang tampak oleh kiai,

ustaz atau santri. Semua hasil pengamatan ini ditulis dalam sebuah

catatan lapangan, yang kemudian dijadikan bahan penulisan laporan

penelitian.

Page 21: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

21

Tahap terakhir adalah penulisan laporan hasil penelitian, dengan

kisi-kisi pembahasan sebagai berikut: pendahuluan (bab 1), deskripsi

historis dan sosial-budaya pesantren (bab 2), penyajian kitab-kitab

dan isinya (bab 3), interaksi dan kontekstualisasi terhadap kitab (bab

4), penutup yang meliputi kesimpulan dan saran (bab 5).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2004. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdullah, M Amin, Syafa’atun Al-Mirzanah, Sahiron Syamsudin. 2011. “Pengantar,” dalam Pemikiran Hermeneutika dalam Tadisi Barat: Reader, Eds. Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Abdullah, Taufik. 1987. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren.Yogyakarta: LKiS.

Al-Jabiri, Muhamamd Abed. 2000. Post Tradisionalisme Islam, terjemahan dan kompilator oleh Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS.

Azra, Azyumardi. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos.

_______. 2009. “Naskah Terjemahan Antarbaris: Kontribusi Kreatif Dunia Muslim Melayu-Indonesia,” dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, EFEO, Forum Jakarta Paris, Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran.

_______. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik, cet. Keenam, terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Baso, Ahmad. 2000. “Pengantar Penerjemah. Posmodernisme sebagai Kritik Islam: Konstribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammad Abed al-Jabiri,” dalam Post Tradisionalisme Islam, Muhammad Abed al-Jabiri, terjemahan dan kompilasi Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS.

_______. 2012a. Pesantren Studies 2a. Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial. Juz Pertama: Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.

_______. 2012b. Pesantren Studies 2b. Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial. Juz Kedua: Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-Teks

Page 22: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

22

Aswaja-Keindonesiaan dari Wali Songo ke Abad 19. Tangerang Selatan: Pustaka Afid.

Basri, Husen Hasan, dkk. 2011. Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Dhofier, Zamakhsari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, cet. ke-9 edisi revisi. Jakarta: LP3ES.

Fuaduddin. 2007. Melacak Nalar Radikal: Kasus Pesantren Al-Mukmin Ngruki. Jakarta: Gaung Persada Press bekerjasama dengan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Gazali, Hatim, Abd. Malik. 2009. “Pesantren and the Freedom of Thinking: Study of Ma‘had Aly Pesantren Sukorejo Situbondo, Jawa Timur, Indonesia,” Al-Jami’ah 47 (No.2).

Gracia, Jorge J.E. 2011. “Interpretasi,” terj. Sahiron Syamsuddin, dalam Pemikiran Hermeneutika dalam Tadisi Barat: Reader, Eds. Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Kuper, Adam, Jessica Kuper. 2008. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan EFEO.

Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat.

Mahfudh, Sahal. 2004. Nuansa Fiqh Sosial, cet. IV. Yogyakarta: LKiS.

Masfiah, Umi, Samidi, dkk. 2010. Kajian Kitab Fiqih di Pondok Pesantren Salaf di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Midori, Kawasima, Arai Kazuhiro, dkk. (eds). 2010. A Provisional Catalogue of Southeast Asian Kitabs of Sophia University. Tokyo, Japan: NIHU Program Islamic Area Studies, Institute of Asian Cultures – Center for Islamic Studies, Sophia University.

Muin, Faiqoh dkk. 2007. Pendidikan Pesantren dan Potensi Radikalisme. Jakarta: CV. Prasasti.

Nuh, Nuhrison M. 2010. Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Pigeaud, Th. 1967. Literature of Java: Catalogue Rasionne of Javanese Manuscripts in the University of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands,Vol I. Leiden: The Hague, Martinus Nyhoff.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 23: Proposal Penelitian Kajian Kitab_edit

23

Schffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sholeh, Badrus, Abdul Mun’im DZ, dkk. 2007. Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES, LSAF dan The Asia Foundation.

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Syatibi, M, Badri Yunardi, dkk. 2006. Pergeseran Literatur di Pondok Pesantren Salafiyah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tuanaya, Malik A Thaha, dkk. 2007. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta.

Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Wahid, Abdurrahman. 2007. Menggerakan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. Ke-2. Yogyakarta: LKiS.

Zuhri, Saifuddin Zuhri. 2007. Guruku Orang-Orang dari Pesantren, cet. ke-2. Yogyakarta: PustakaPesantren.