30
USULAN PENELITIAN KUALITAS YOGHURT BUBUK SUSU KAMBING METODE FOAM-MAT DRYING DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK Lactobacillus acidophilus Disusun oleh: Tri Aji Pamungkas 09/285202/PT/05704 BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Proposal Seminar

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Proposal Seminar

USULAN PENELITIAN

KUALITAS YOGHURT BUBUK SUSU KAMBING METODE

FOAM-MAT DRYING DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK

Lactobacillus acidophilus

Disusun oleh:

Tri Aji Pamungkas

09/285202/PT/05704

BAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

Page 2: Proposal Seminar

HALAMAN PENGESAHAN

USULAN PENELITIANMAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS GADJAH MADABAGIAN TEKNOLOGI HASIL TERNAK

Diajukan Oleh :

Nama Mahasiswa : Tri Aji PamungkasNomor Mahasiswa : 09/285202/PT/05704Alamat : Jl. Mangga 92 A, Condong Catur,

Depok, Sleman, YogyakartaDi bawah bimbinganPembimbing : Dr. Ir. Nurliyani, MS.Pembimbing Pendamping : Dr. Ir. Indratiningsih, SU.

JUDUL

“KUALITAS YOGHURT BUBUK SUSU KAMBING METODE

FOAM-MAT DRYING DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK Lactobacillus

acidophilus”

Yogyakarta, Februari 2013

Tri Aji Pamungkas

Telah Diperiksa dan Disetujui :Pembimbing

Dr. Ir. Nurliyani, MS.NIP. 196008171986032003

Tanggal :

Pembimbing Pendamping

Dr. Ir. Indratiningsih, SU.NIP. 19480710978032001

Tanggal :

Mengetahui Wakil Dekan Bidang Akademik,

Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.DNIP / 19700829199601001

Page 3: Proposal Seminar

KUALITAS YOGHURT BUBUK SUSU KAMBING METODE

FOAM-MAT DRYING DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK

Lactobacillus acidophilus

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level penambahan albumen dan perbedaan suhu pengeringan terhadap kualitas fisik, kimia, dan mikrobiologis yoghurt susu kambing dengan penambahan probiotik Lactobacillus acidophilus. Pembuatan yoghurt bubuk dilakukan menggunakan metode foam-mat drying dengan penambahan albumen. Albumen ditambahkan dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0, 10, dan 20%. Albumen dibuihkan dengan mixer pada kecepatan tinggi selama 10 menit sampai berbuih kemudian dicampur dengan yoghurt hingga merata lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 50 dan 600C. Sebelum dan sesudah yoghurt dioven dilakukan uji kualitas fisik, kualitas kimia, dan kualitas mikrobiologis. Uji kualitas fisik meliputi uji kelarutan dan pH, sedangkan uji kualitas kimia meliputi kadar air, kadar protein, dan keasaman. Uji mikrobiologis yaitu uji viabilitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dan probiotik. Data hasil uji kualitas yoghurt dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 3 dengan ulangan sebanyak 3 kali.

Kata kunci: Kualitas yoghurt bubuk, Susu kambing, Lactobacillus acidophilus, Foam-mat drying

Page 4: Proposal Seminar

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu kambing adalah susu yang memiliki aroma yang khas dengan

nilai gizi yang tinggi. Karakteristik susu kambing, yaitu warnanya lebih

putih, globula lemak susunya lebih kecil, lemak susu kambing lebih mudah

dicerna serta mengandung mineral, kalsium, vitamin A, E dan B kompleks

yang lebih tinggi sehingga dapat dikonsumsi bagi orang yang alergi akan

susu sapi karena tidak mengandung alpha lactoglobulin yang bersifat

allergen (Susanto dan Budiana, 2005). Namun aroma khas yang ada pada

susu kambing membuat susu ini kurang digemari oleh masyarakat

sehingga sebagian kecil saja masyarakat yang mengkonsumsi susu

kambing dalam keadaan segar. Upaya untuk menjadikan susu kambing

sebagai bahan pangan yang digemari masyarakat salah satunya adalah

dengan mengolah susu kambing segar menjadi yoghurt. Pengolahan susu

kambing menjadi yoghurt akan menyebabkan laktosa dalam susu

kambing akan terurai sehingga mengurangi lactose intolerance.

Salah satu cara untuk membuat yoghurt bubuk yaitu dengan

metode foam-mat drying menggunakan albumen sebagai agen pembuih.

Selain cara pembuatan yang relatif lebih murah dan sederhana dibanding

metode spray-drying, foam-mat drying juga meningkatkan kecepatan

pengeringan karena cairan lebih mudah bergerak melalui struktur buih

daripada melalui lapisan padat pada bahan yang sama.

Penelitian tentang yoghurt bubuk telah banyak dilakukan dengan

menggunakan metode foam-mat drying dan berbahan dasar susu sapi

tanpa penambahan probiotik. Metode foam-mat drying pada peneletian

terdahulu dilakukan menggunakan albumin telur sebagai agen pembuih

yoghurt dengan level penambahan dan suhu pengeringan yang berbeda.

Page 5: Proposal Seminar

Namun, penelitian yoghurt bubuk susu kambing metode foam-mat drying

dengan penambahan probiotik sejauh ini masih perlu dilakukan.

Harapan dari penelitian ini adalah untuk membuat produk yoghurt

susu kambing yang mudah disimpan dan siap saji serta masih memiliki

nilai gizi tinggi dan manfaat kesehatan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh level

penambahan albumen dan perbedaan suhu pengeringan terhadap

kualitas fisik, kimia, dan mikrobiologis yoghurt susu kambing metode

foam-mat drying dengan penambahan probiotik Lactobacillus acidophilus.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menciptakan

produk olahan yoghurt probiotik dari susu kambing sebagai

penganekaragaman produk pangan yang praktis dan mempunyai umur

simpan yang lebih lama. Selain itu, untuk memperkenalkan metode

pengeringan sederhana dan relatif murah bagi industri rumah tangga

(home industry) yaitu dengan metode foam-mat drying.

Page 6: Proposal Seminar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Komposisi dan Kualitas Susu Kambing

Berbeda dengan susu sapi, susu kambing tidak mengandung

aglutinin. Akibatnya globula lemak susu kambing tidak mengalami

klasterisasi sehingga lebih mudah dicerna. Susu kambing mengandung

kadar laktosa yang lebih rendah (4.5%) jika dibandingkan dengan susu

sapi (4.7%). Kondisi ini sangat baik bagi individu yang mengalami

intoleransi laktosa (Setiawan dan Tanius, 2002).

Secara umum distribusi komponen protein susu kambing hampir

sama dengan susu sapi, namun komposisi kaseinnya berbeda. Kasein

yang dikandung susu sapi mengandung 55% alfa kasein, 30% beta kasein

dan 15% kappa kasein,sedangkan susu kambing komposisinya adalah

19% alfa S-1 kasein, 21% alfa S-2 kasein dan 60% beta kasein. (Setiawan

dan Tanius, 2002).

Komposisi nutrisi susu kambing dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai

berikut.

Tabel 1. Komposisi Nutrisi Susu Kambing (untuk setiap 100 gram) Komposisi Kimia Susu Kambing Protein (g) 3.6Lemak (g) 4.2Karbohidrat (g) 4.5Fosfor (g) 111Kalsium (g) 132Magnesium (g) 14Vitamin A (IU) 185Thiamin (mg) 0.04Riboflavin (mg) 0.14Vitamin B6 (mg) 0.05

.(Setiawan dan Tanius, 2002)

Susu kambing memiliki curd tension yang sangat rendah

dibandingkan dengan susu sapi perah Frisian Hollstein dan Jersey. Hal ini

diduga sebagai penyebab mengapa daya cerna susu kambing lebih baik

jika dibandingkan dengan susu sapi (Maheswari dan Ronny, 2008).

Page 7: Proposal Seminar

Komposisi dan Kualitas Yoghurt

Yoghurt menurut SNI 2981 Tahun 2009 adalah produk yang

diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan

menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus

thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan atau

tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang

diizinkan. Susu yang digunakan untuk pembuatan yoghurt dipanaskan

sampai 90ºC selama 15-30 menit, kemudian didinginkan sampai 43ºC,

diinokulasikan dengan 2% kultur campuran (L. bulgaricus, S.

thermophilus, L. acidophilus, dan Bifidobacterium) dan dipertahankan

pada suhu ini selama 4-5 jam sampai mencapai keasaman yang

dikehendaki yaitu 0.85-0.95% dan pada pH 4.0-4.5. Produk tersebut

kemudian didinginkan segera pada suhu 5ºC untuk selanjutnya dikemas

(Oberman, 1985). Streptococcus thermophilus dan L. bulgaricus

mengubah gula susu (laktosa) menjadi asam laktat sehingga

mengakibatkan konsistensi susu cair menjadi yoghurt (Water, 2003).

Nilai rataan kualitas yoghurt susu kambing Peranakan Etawah

disajikan dalam Tabel 2 sebagai berikut,

Tabel 2. Rataan karakteristik kualitas yoghurt susu kambing Peranakan Etawah

Karakteristik HasilFisikRendemen (%) 60,220 pH 3,675 ± 0,04 KimiaLemak (%) 0,150 ± 0,07 Protein (%) 6,380 ± 0,03 Viskositas (dPa,s) 42,500 ± 3,54 BKTL (%) 11,980 ± 0,03Total Asam Tertitrasi (TAT) 2,900 ± 0,28 Kadar air (%) 87,820 ± 0,03

Thai Agricultural Standard (2008)

Starter yoghurt. Kultur starter merupakan bagian yang penting

dalam pembuatan yoghurt. Beberapa aspek penting pada kultur starter

yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat, menghasilkan

Page 8: Proposal Seminar

flavor yang khas, tekstur dan bentuk yang bagus, tahan terhadap

bakteriofage dan juga tahan terhadap antibiotik. Pembuatan yoghurt

menggunakan dua jenis bakteri yaitu Streptococcus thermophilus dan

Lactobacillus bulgaricus (Rahman et al., 1992).

Streptococcus thermophilus. Streptococcus thermophilus subsp.

salivarus merupakan bakteri Gram positif. Bakteri ini memiliki sifat

metabolisme yang serupa dengan bakteri Gram negatif, yaitu memiliki

kemampuan hidup di berbagai habitat dan memiliki perbedaan pada sifat

fisiologinya (Batt dan Patel, 2000). Streptococcus thermophilus bukan

merupakan bakteri pembentuk spora, bersifat katalase negatif dan hidup

secara anaerobik fakultatif. Suhu optimal pertumbuhan bakteri ini adalah

42-45ºC, namun masih dapat tumbuh pada suhu maksimal 50-52ºC

(Helferich dan Westhoff 1980).

Streptococcus thermophilus mampu memfermentasi laktosa,

sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Bakteri ini bersimbiosis mutualisme

dengan L. bulgaricus, beberapa mensintesis dan melepaskan komponen

yang dapat menstimulasi pertumbuhan kedua bakteri. Keberadaan kedua

bakteri ini secara bersama di dalam susu dapat meyebabkan

pertumbuhan keduannya menjadi lebih cepat (Helferich dan Westhoff,

1980).

Lactobacillus bulgaricus. Lactobacillus delbrueckii subsp.

bulgaricus merupakan bakteri Gram positif, anaerob fakultatif,

homofermentatif, berbentuk batang, tidak berspora dan bersifat katalase

negatif (Gilliland, 1986). Bakteri homofermentatif menghasilkan sekitar

90% asam laktat, dengan cara mengubah heksosa menjadi asam laktat

melalui jalur Embden-Meyerhof menjadi glukosa dan 2-Triofosfat. Bakteri

L. bulgaricus termasuk jenis bakteri termofilik karena hidup secara normal

pada suhu 45ºC, sedikit tumbuh pada suhu <10ºC dan sebagian strain

dapat tumbuh pada suhu maksimum 50-55ºC (Tamime dan Robinson,

1999). Selain menghasilkan asam laktat, L. bulgaricus juga menghasilkan

asetaldehid, aseton, asetoin, dan diasetil dalam jumlah yang cukup

Page 9: Proposal Seminar

rendah sekaligus mampu membebaskan asam amino valin, histidin, dan

glisin yang diperlukan oleh Streptococcus thermophilus. Bakteri ini dalam

bentuk koloni mampu bertahan hidup pada kondisi asam dengan pH 5.5

(Batt dan Patel 2000).

Probiotik. Bakteri yang dapat digunakan sebagai probiotik adalah

bakteri yang termasuk ke dalam golongan mikroorganisme Generally

Recognized as Safe (GRAS) yaitu mikroorganisme yang telah

direkomendasikan sebagai mikroorganisme yang aman digunakan dalam

pengolahan pangan, contohnya Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus

bulgaricus, Streptococcus thermophilus, Bifidobacteria sp., Enterococci

(Fuller, 1992). Kelompok bakteri GRAS tidak membusukkan protein dan

dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat secara fermentatif

menjadi asam laktat (Surono, 2004). Probiotik dapat berupa

mikroorganisme tunggal atau dalam bentuk kultur campuran. Spesies

bakteri yang sering digunakan adalah Lactobacillus sp., Leuconostoc,

Pediococcus, Propionibacterium dan Bacillus. Spesies khamir meliputi

Saccharomyces cerevisiae dan Candida pintolopesii, serta dari kapang

meliputi Aspergillus niger dan Aspergillus oryzae (Fuller, 1992).

Lactobacillus acidophilus. Lactobacillus acidophilus merupakan

bakteri berbentuk batang, Gram positif dan tidak membentuk spora serta

termasuk famili Lactobacillaceae, genus Lactobacillus. Lactobacillus

acidophilus bersifat homofermentatif, non motil dan menghasilkan DL-

asam laktat (Buchanan dan Gibbon, 1974). Produksi asam laktat sebesar

0,3-1,9%, mempunyai suhu pertumbuhan optimal 35-45ºC, tetapi pada

suhu kurang lebih 15ºC tidak terjadi pertumbuhan. Nilai pH optimal

pertumbuhannya adalah 5,5-6,0 (Tamime dan Robinson, 1999).

Kerja fisiologis Lactobacillus acidophilus adalah meningkatkan

mikroflora usus karena Lactobacillus acidophilus dapat hidup dalam

saluran pencernaan (Nakazawa dan Hosono, 1992). Kelebihan lain

Lactobacillus acidophilus adalah dapat memfermentasi amigdalin,

selobiosa, laktosa, salisin dan sukrosa tetapi tidak dapat memfermentasi

Page 10: Proposal Seminar

manitol serta amonia tidak dihasilkan dari arginin (Robinson, 1981).

Lactobacillus acidophilus dapat menghambat pertumbuhan bakteri

patogen dalam saluran pencernaan, mengendalikan kadar serum

kolesterol yang diduga mampu menurunkan kolesterol, meningkatkan

kemampuan cerna laktosa serta mengurangi resiko sakit perut dan diare

(Gilliland, 1989). Lactobacillus acidophilus mengontrol pertumbuhan

kanker karena aktifitas enzimnya mampu menurunkan produksi zat

karsinogen dan mencegah pengembangan kanker di dalam pencernaan

(Nakazawa dan Hosono, 1992).

Stabilizer. Penambahan bahan penstabil pada yogurt perlu

dilakukan agar tidak terjadi sineresis. Penggunaan bahan penstabil

menurut Orihara et al (1992), memungkinkan terjadinya koagulasi dengan

sedikit wheying off (sineresis). Menurut Tamime dan Robinson (1980),

tujuan penambahan bahan penstabil adalah untuk meningkatkan dan

mempertahankan karakteristik yogurt seperti tekstur, viskositas,

konsistensi, penampakan, dan mouthfeel. Pada pembuatan stirred yogurt

umumnya ditambahkan bahan pengental sehingga diperoleh konsistensi

yang baik. Bahan penstabil yang dapat digunakan antara lain agar-agar,

maizena, CMC, gum arab, gelatin, karagenan, dan xanthan gum.

Foam-Mat Drying

Yoghurt bubuk merupakan cara penyimpanan produk yang stabil dan

siap untuk digunakan setiap saat. Yoghurt bubuk di produksi dari susu

rendah lemak menggunakan starter bakteri, hingga diperoleh pH yang

diinginkan, dan kemudian dikeringkan. Proses pengeringan pada produk

komersial menggunakan spray dryng, namun dibutuhkan berbagai faktor

yang perlu diperhatikan antara lain bentuk penyemprot, kecepatan lair

produk, dan sifat produk itu sendiri. Metode Foam-mat drying merupakan

proses mengubah bentuk buih yang stabil menggunakan udara panas di

temperatur yang rendah. Proses dehidrasi yang terjadi menyebabkan

terbentuknya powder setelah di haluskan (Chandan dan Shahani, 1993).

Page 11: Proposal Seminar

Menurut Mujumdar (1995), Foam-mat drying merupakan cara

pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan buih

terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembuih yang peka terhadap

panas. Keuntungan foam-mat drying adalah meningkatkan kecepatan

pengeringan karena cairan lebih mudah bergerak melalui struktur buih

daripada melalui lapisan padat pada bahan yang sama. Suhu pengeringan

tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan mempercepat

proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi, suhu yang

digunakan sekitar 50-80ºC dan dapat menghasilkan kadar air hingga 3%,

produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71ºC dapat

menghasilkan kadar air 2% (Kumalaningsih et al., 2005).

Albumen merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan

sebagai agen pembuih. Kemampuan membentuk buih dipengaruhi oleh

protein pada albumen. Persentase albumen pada telur ayam sekitar

55,8% (Stadelman dan Cotteill, 1995). Kandungan protein dalam albumen

sekitar 9,7 sampai 12%. Fraksi-raksi protein albumen yang berperan

dalam pembentukan buih diantaranya ovalbumin, ovomucin, dan globulin

(Standelman dan Cotterill, 1995). Albumen mengandung protein globulin

yang berfungsi sebagai pembuih. Ovalbumin, ovotransferin, lisozym,

ovomucoid dan ovomucin bersama-sama menghasilkan interaksi untuk

membentuk buih atau stabilitas buih (Johson dan Zabik, 1981 Cit. Boskiva

dan Mikova, 2011). Mine (1995), Zabik (1992), Vadhera (1973) yang

menyatakan bahwa kadaralbumin dalam putih telur mencapai 67%.

Page 12: Proposal Seminar

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

LANDASAN TEORI

Pembuatan yoghurt bubuk dengan dengan menggunakan albumin

sebagai agen pembuih (foam-mat drying) telah dilakukan pada penelitian

terdahulu. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan albumen sebagai

agen pembuih dan suhu pengeringan 50 dan 60°C. Yoghurt bubuk

menggunakan bahan dasar susu kambing dan penambahan probiotik

Lactobacillus acidophilus.

Penggunaan albumen di samping sebagai agen pembuih (foam-

mat drying) yang mempercepat proses pengeringan selama pengovenan

juga meningkatakan kualitas fisik yaitu kelarutan dan kualitas kimia

yoghurt bubuk yaitu kandungan protein. Albumen mengandung protein

globulin yang berfungsi sebagai pembuih. Ovalbumin, ovotransferin,

lisozym, ovomucoid dan ovomucin bersama-sama menghasilkan interaksi

untuk membentuk buih atau stabilitas buih. Foam-mat drying

meningkatkan kecepatan pengeringan karena cairan lebih mudah

bergerak melalui struktur buih daripada melalui lapisan padat pada bahan

yang sama.

Yoghurt bubuk susu kambing menggunakan bakteri asam laktat

Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus serta

penambahan probiotik Lactobacillus acidophilus. Streptococcus

thermophilus tumbuh optimal pada suhu 42-45°C dan suhu pertumbuhan

maksimum adalah 50-52°C. Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimal pada

suhu 45°C dan pertumbuhan maksimum pada suhu 50-55°C, sedangkan

probiotik Lactobacillus acidophilus tumbuh optimal pada suhu 35-45°C.

Karakteristik fisik dari ketiga bakteri di atas akan mempengaruhi kualitas

mikrobiologis yoghurt bubuk pada pengeringan suhu 50 dan 60°C.

Page 13: Proposal Seminar

Hipotesis

Penambahan level albumen yang semakin tinggi sampai 20% akan

meningkatkan kualitas fisik dan kimia yoghurt, sedangkan pengeringan

yoghurt dengan suhu yang lebih tinggi sampai 60°C akan menurunkan

viabilatas Bakteri Asam Laktat dan Probiotik.

Page 14: Proposal Seminar

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai pada Bulan Februari sampai akhir April 2013 di

Laboratorium Pangan Hasil Ternak, Bagian Teknologi Hasil Ternak,

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Materi

Bahan penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu

kambing PE segar diperoleh dari Peternak Kambing PE Sleman,

Yogyakarta, bakteri Streptococcus thermophilus FNCC 0041,

Lactobacillus bulgaricus dan Lactobacillus acidophilus FNCC 0051. Bahan

penunjang yang digunakan dalam penelitian ini antara lain telur ayam,

aquadest, buffer pH 7, buffer pH 4, larutan NaOH 0,1 N, indikator phenol

phthalein (PP) 1%, susu skim, ekstrak tomat, deMan Rogosa Sharpe

(MRS) oxoid, bile salt, agar, asam askorbat, alkohol 70%, dan spirtus.

Alat penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu oven, beaker

glass, pengaduk, termometer, gelas ukur, blue tip, yellow tip, mikropipet,

inkubator bermerk Memmert, autoclave, pipet ukur, potensio pH-meter,

timbangan digital, timbangan analitik, spatula, buret, vochdoos, oven

bermerk Memmert dan Sanyo, desikator, cawan petri, heat stirrer,

drigalski, vortex Thermolyne, tabung reaksi, Laminar Air Flow (LAF), dan

jarum ose.

Metode

Penyiapan kultur starter

Kultur murni dikembangkan dalam medium deMan Rogosa Sharpe

(MRS) broth yang telah disterilisasi dengan autoclave pada suhu 110°C,

tekanan 15 Psi selama 10 menit. Medium MRS broth ditambah dengan jus

tomat steril sebagai sumber fruktosa dengan perbandingan 4:1. Kultur

Page 15: Proposal Seminar

murni diambil sebanyak 1 ose dan dimasukkan ke dalam MRS broth, lalu

diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kultur yang telah diperbanyak

kemudian digunakan untuk persiapan starter.

Penyiapan starter menggunakan metode Ouwehand et al., (2001).

Kultur dalam media cair (broth) sebanyak 1% diinokulasikan ke dalam 100

ml susu skim steril (v/v) yang telah disterilisasi pada suhu 121°C dengan

tekanan 13 Psi selama 10 menit dan diinkubasi pada suhu 37oC selama

20 jam sehingga berbentuk curd, dan ini disebut mother starter. Mother

starter diinokulasikan ke dalam susu skim steril dengan volume 100 ml

sebanyak 1% dan diinkubasi 37oC selama 20 jam dan hasilnya disebut

bulk starter. Bulk starter kemudian diinokulasikan ke dalam susu yang

akan difermentasi sebanyak sesuai dengan perlakuan yang dilakukan

dalam penelitian ini.

Pembuatan yoghurt buih

Susu segar dipasteurisasi pada suhu 63-60ºC selama minimum 30

menit atau pemanasan 72ºC selama minimum 5 detik atau selama 15

detik (Miskiyah, 2011). Sebagai stabilizer ditambahkan agar-agar

sebanyak 0,2%, lalu suhu susu diturunkan hingga mencapai 45°C

(Sunarlim et al., 2007). Kultur starter Lactobacillus acidophilus

diinokulasikan terlebih dahulu kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC

selama 2 jam, setelah 2 jam akan diinokulasikan kultur starter

Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Susu yang

telah diinokulasi selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama kurang

lebih 8 jam. Metode foam-mat drying menggunakan albumen dengan level

penambahan sebanyak 0; 10; dan 20% (w/v), lalu dilakukan pencampuran

albumen telur dengan yoghurt yang sudah jadi menggunakan mixer pada

kecepatan tinggi selama 10 menit. Yoghurt yang telah dibuihkan kemudian

dituang ke loyang, dan di oven pada suhu yang berbeda yaitu 50 dan

60ºC selama 6 jam, hingga kering kemudian dihancurkan menggunakan

blender hingga menjadi bubuk yoghurt (yoghurt powder)

Page 16: Proposal Seminar

Uji kualitas fisik yoghurt bubuk

Uji Insolubility index. Uji Insolubility index (angka ketidaklarutan

susu bubuk) menggunakan metode Anonim (1995). Sampel sebanyak 1,3

gram dituangkan ke dalam tabung sentrifugasi 10 ml. Setelah itu,

ditambahkan akuades suhu kurang lebih 24°C. Larutan disentrifugasi

selama 5 menit dengan kecepatan 830 rpm kemudian cairan diatas

endapan dibuang dengan memakai pipet, ditambahkan 5 ml akuades

suhu kurang lebih 24°C dan diaduk selama 5 menit lalu tabung ditutup dan

dibolak-balik sebanyak 10 kali selama 15 detik, ditambahkan akuades

suhu kurang lebih 24°C sampai mencapai 10 ml, ditutup dan dibolak-balik

10 kali lagi selama 15 detik, disentrifugasi 830 rpm selama 5 menit, dibaca

tinggi endapan yang terbentuk yang merupakan tingkat insolubility (angka

ketidaklarutan susu bubuk).

Uji pH. Uji pH dengan metode potensiometer menggunakan pH

meter (Hadiwiyoto, 1994). Sampel yang telah dihasilkan dituang ke dalam

tabung film sebanyak 10 ml. Diukur pH menggunakan pH meter yang

telah dikalibrasi dengan cara memasukkan elektroda yang ada pada alat

hingga tercelup dalam sampel. Nilai pH akan tercantum pada layar pH

meter.

Uji kualitas kimia yoghurt bubuk

Uji kadar air. Pengujian kadar air menggunakan metode menurut

(AOAC, 1970, cit. Sudarmadji et al.,1984). Vochdoos dan tutup ditimbang

kemudian dipanaskan dalam oven 105°C, setelah itu didinginkan dalam

desikator selama 1 jam lalu sampel ditimbang 1 gram dan diletakkan

dalam vochdoos yang telah diketahui beratnya. Vochdoos yang berisi

sampel dan tutup, dioven dalam suhu 105°C selama ± 12 jam (12 sampai

20 jam) kemudian didinginkan dalam desikator ± 1 jam lalu ditimbang

(diulangi sampai tiga kali).

Perhitungan kadar air:

(Berat vochdoos + sampel )- Berat akhir Berat sampel

x100%

Page 17: Proposal Seminar

Uji keasaman. Uji keasaman dengan menggunakan metode

Mann’s acid test (Hadiwiyoto, 1994). Sampel dimasukkan ke dalam

erlenmeyer sebanyak 9 ml, ditambah indikator pp 1% sebanyak 3 tetes.

Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N. Jumlah NaOH yang

diperlukan untuk titrasi dicatat dan persen keasaman dihitung dengan

rumus:

% asam =

ml NaOH x N NaOH x 0,09Gram Sampel

x 100%

Uji kadar protein. Pengujian kadar protein dilakukan melalui

penentuan N total cara makro kjeldahl yang dimodifikasi (AOAC, 1970, cit.

Sudarmadji et al.,1984). Sampel sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam

labu takar 100 ml dan diencerkan dengan akuades sampai tanda.

Sebanyak 10 ml diambil dari larutan tersebut dan masukkan ke dalam

labu Kjeldahl 500 ml dan ditambahkan 10 ml H2SO4 (93 sampai 98%

bebas N). Sebanyak 5 gram campuran Na2SO4-HgO (20 : 1) ditambahkan

untuk katalisator, kemudian dididihkan sampai jernih dan dilanjutkan

pendidihan 30 menit lagi. Setelah dingin, dinding dalam labu Kjedahl

dicuci dengan akuades dan dididihkan lagi selama 30 menit. Setelah

dingin ditambahkan 140 ml akuades, 35 ml larutan NaOH-Na2S4O3 dan

beberapa butir batu zink kemudian dilakukan distilasi dan distilat

ditampung sebanyak 10 ml dalam erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan

jenuh asam borat dan beberapa tetes indikator metil merah (metilen biru).

Destilat yang diperoleh dititrasi dengan 0,02 N HCl. Jumlah total N hitung

dengan rumus:

Jumlah N total =

ml HCl x N HCLml larutan sampel x 14,008 x f mg/ml

Ket :

f = faktor koreksi, faktor koreksi untuk produk susu = 6,38

14,008 = atom relatif N

Uji kualitas mikrobiologi yoghurt bubuk

Page 18: Proposal Seminar

Uji total bakteri asam laktat (BAL). Perhitungan total BAL dilakukan

sebelum dan sesudah pengovenan dengan metode Total Plate Count

(TPC) dengan media MRS agar. Sampel dibuat pengenceran dengan

mencampur 1 ml sampel dengan 9 ml NaOH untuk pengenceran 10-1 dan

seterusnya hingga diperoleh pengenceran 10-10. Pengenceran yang

dikehendaki diambil sebanyak 0,1 ml dan diinokulasikan dalam cawan

petri yang berisi medium agar yang telah padat. Sampel segera diratakan

setelah penamburan menggunakan drigalski yang sebelumnya disterilisasi

dengan lampu pijar, lalu sampel diinkubasi dengan posisi terbalik pada

temperatur 37°C selama 24 jam. Sampel yang telah selesai diinkubasi

kemudian dihitung jumlah bakterinya dengan menghitung jumlah koloni

(Hadiwiyoto, 1994).

Uji viabilitas probiotik. Perhitungan total probiotik dilakukan sebelum

dan sesudah pengovenan dengan metode Total Plate Count (TPC)

dengan media MRS agar yang ditambahkan bilesalt. Sampel dibuat

pengenceran dengan mencampur 1 ml sampel dengan 9 ml NaOH untuk

pengenceran 10-1 dan seterusnya hingga diperoleh pengenceran 10-10.

Pengenceran yang dikehendaki diambil sebanyak 0,1 ml dan

diinokulasikan dalam cawan petri yang berisi medium agar yang telah

padat. Sampel segera diratakan setelah penamburan menggunakan

drigalski yang sebelumnya disterilisasi dengan lampu pijar, lalu sampel

diinkubasi dengan posisi terbalik pada temperatur 37°C selama 24 jam.

Sampel yang telah selesai diinkubasi kemudian dihitung jumlah bakterinya

dengan menghitung jumlah koloni (Hadiwiyoto, 1994).

Page 19: Proposal Seminar

Daftar Pustaka

Anonim. 1995. Analisa Kualitas Produk Akhir Susu Bubuk. PT Food Specialist Indonesia. Kejayan. Pasuruan.

Anonim. 2010. Produk Agar Swallow. PT Agar Swallow.

Blakely, J dan D. Bade. 1985. The Science of Animal Husbandry. 4thed. Prestice hall. Inc. Benville. Illonis.

Boskova, Heelena and K. Mikova. 2011. Factors Influencing egg White Foam Quality. Departement of Food Chemistry, Faculty of Food and Biochemical Technology, nstitute of Chemical Technology Prague. Journal Food Science. Vol 29 : 322-327.

Buchanan, R. E. dan N. E. Gibbon. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 8th Edition. The William and Wilkins Co., Baltimore.

Buckle, K. A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia, Depok.

Chandan, R.C. dan Shahani, K.M. 1993. Yoghurt. Di dalam Hui (ed.). Dairy Science and Technology Handbook-Product Manufacturing. New York.

Devandra. 1980. Milk Production Goat Compared to Buffalo and Cattle in Humids Tropics. J. Dairy. Sci. 63:1755-1767

Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2981-1992. Standar Mutu Yogurt. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Djajanegara, A. 1999. Penelitian Balai Penelitian Peternakan. Ciawi. Into Aktual 37:7

Early, R. 1998. The Technology of Dairy Products. Second edition. Blackie Academic and Professional, an imprint of Thomson Science, 2-6 Boundary Ror, London SE1 8HN, UK.

Fuller, R. 1989. Probiotics in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66: 365-378.

Fuller, R. 1992. Probiotics: The Scientific Basic. Chapman and Hall, London.

Page 20: Proposal Seminar

Gilliland, S. E. 1989. Acidophilus milk products, a review of potential benefits to consumers. J. Dairy Sci. 72:2483 – 2494.

Hadiwiyoto, S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Helferich, W. dan D. Westhoff. 1980. All About Yogurt. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publishers Inc., Maryland.

Krasaekoopt, W and Sumit, B. 2012. Production of yoghurt Powder Using Foam-Mat drying. Faculty of Biotechnology, Assumption University Bangkok, Thailand. AU. Journal 15(3): 166-171.

Kumalaningsih, S., Suprayogi, dan B.Yuda. 2005.Tekno Pangan. Membuat makanan siap saji.Trubus Agrisarana 2005. SurabayaMiskiyah. 2011. Kajian Standar Nasional Indonesia Susu Cair di Indonesia. Jurnal Standardisasi Vol. 13, No. 1, Hal : 1 – 7.

Mine Y. 2008. Egg Bioscience and Biotechnology. Departement of Food Science University of Guelph. Wiley-interscience A John Wiley & Sons. IncPublication.

Mujumdar, A.S. 1995. Handbook of Industrial Drying. Second Edition Revised nad Expanded. Marcel Dekker, Inc. New York

Nakazawa, Y. dan A. Hosono. 1992. Functions of Fermented Milk Challenges for The Health Science. Elsevier Applied Science, London.

Noor, R,R. 2002. Khasiat Susu dan Daging Kambing. Kompas. Kompas Cyber Media.

Nurliyani. 1994. Kualitas Kefir yang Dibuat dari Susu Sapi dan Susu Kambing. Buletin Peternakan. Vol. 18. 55-61.

Orihara O, Sakauchi I, Nakazawa Y. 1992. Methods for Fermented Milks and Lactic Drinks. In: Nakazawa Y, Hasono A(eds). Function Health Science. England: Elsevier Science Publishers.

Ouwehand, A. C., S. Tolkko dan S. Salminen. 2001. The effect of digestive enzymes on the adhesion of probiotics bacteria in vitro. J. of Food Sci 66: 856-859.

Page 21: Proposal Seminar

Rahman, A., S. Fardiaz., W. P. Rahayu, Suliantari dan C. C. Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Robinson, R. K. 1981. Dairy Microbiology. Vol 2: The Microbiology of Milk Product. Applied Science Publishers, New Jersey.

Sodiq, A dan Z. Abidin. 2002. Mengenal Lebih Dekat Kambing Peranakan Ettawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Standelman, W.J. and O.J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Angkasa. Bandung.

Sunarlim, R., Hadi, S., dan Masniari, P. 2007. Pengaruh Kombinasi Starter Bakteri Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus plantarum Terhadap Sifat Mutu Susu Fermentasi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT Tri Cipta Karya, Jakarta.

Suryani, R. 2007. Memperbaiki Tekstur Yoghurt. Food Review. 11 (6):32-35.

Tamime, A.Y. dan R.K. Robinson. 1989. Yoghurt: Science and Technology. New York: Pergamon Press.

Tamime, A.Y. dan R.K. Robinson. 1999. Yoghurt: Science and Technology. 2nd Edition. Woodhead Publishing Ltd., Cambridge.

Tamime, A.Y. dan R.K. Robinson. 2007. Yoghurt Science and Technology. 3th ed. Woodhead Publishing Limited. England.

Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Cetakan Ke-1. Lactacia Press, Yogyakarta.

Wilkinson, J.M dan B.A. Stark. 1987. Comercial Goat Production. BSP Professional Books Oxford London Eidinburgh. Boston Palo. Melbourne