59
PROPOSAL TUGAS AKHIR Analisis Karakterisasi dan Kualitas Reservoar Batupasir Sumur FI 184 , FI 185 Pada Lapangan Fei Cekungan Sumatera Selatan, Berdasarkan Data Batuan Inti Core dan Sayatan Tipis Petrografi Oleh : FERY TRI YULIADI H1F008032 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK i

PROPOSAL Siap Maju Fix

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROPOSAL Siap Maju Fix

PROPOSALTUGAS AKHIR

Analisis Karakterisasi dan Kualitas Reservoar Batupasir Sumur FI 184 , FI

185 Pada Lapangan Fei Cekungan Sumatera Selatan, Berdasarkan Data

Batuan Inti Core dan Sayatan Tipis Petrografi

Oleh :

FERY TRI YULIADI

H1F008032

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

PURWOKERTO

2012

i

Page 2: PROPOSAL Siap Maju Fix

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur Penyusun haturkan kepada Allah SWT yang

telah memberikan segala karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan

proposal Tugas Akhir ( TA) dengan judul proposal Analisis Karakterisasi dan

Kualitas Reservoar Batupasir Sumur FI 184 , FI 185 Pada Lapangan Fei

Cekungan Sumatera Selatan, Berdasarkan Data Batuan Inti Core dan

Sayatan Tipis Petrografi. Proposal Tugas Akhir merupakan tahap akhir dalam

kegiatan Perkuliahan mahasiswa Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknik

Universitas Jenderal Soedirman Tahun 2012.

Tujuan umum dilaksanakannya kegiatan Tugas Akhir (TA) adalah sebagai

salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di Program Studi

Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman.

Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :

Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan segala hal yang

dibutuhkan oleh penyusun dalam segala hal.

Bapak Suprihadi dan Ibu Kustiyah selaku orangtua Penyusun yang selalu

memberikan dukungan penuh baik dalam hal moril dan maupun materil..

Bapak Eko Bayu PS, ST., M.Si selaku pembimbing TA, Bapak Gentur

Waluyo M.Si, Bapak Siswanadi ST., MT., Bapak Muhammad Aziz ST.,

MT, Bapak Asmoro Widagdo ST., MT, Bapak Adi Candra ST., MT yang

telah meluangkan waktu untuk penyusunan proposal Tugas Akhir.

Semoga proposal Tugas Akhir ini dapat berguna bagi yang memerlukan

dan dapat dijadikan referensi bagi kegiatan yang berkaitan dengan ilmu geologi

lainnya.

Purwokerto, Oktober 2012

Fery Tri Yuladi NIM. H1F008032

ii

Page 3: PROPOSAL Siap Maju Fix

DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL...............................................................................................i

PRAKATA..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1. Latar Belakang.............................................................................................1

1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian.....................................................................2

1.3. Pembatasan Masalah....................................................................................2

1.4. Manfaat Penelitian.......................................................................................2

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................................2

BAB II GEOLOGI REGIONAL..........................................................................4

2.1 Kerangka Tektonik.........................................................................................4

2.2. Cekungan Sumatera Selatan..........................................................................6

2.3 Sub- Cekungan Jambi..................................................................................11

2.4 Stratigrafi.....................................................................................................12

2.4.1 Kapur.................................................................................................14

2.4.2 Formasi Lahat....................................................................................14

2.4.3 Formasi Talang Akar.........................................................................15

2.4.4 Klastik Pra-Baturaja..........................................................................16

2.4.5 Formasi Baturaja...............................................................................16

2.4.6 Formasi Gumai..................................................................................17

2.4.7 Formasi Air Benakat.........................................................................17

2.4.8 Formasi Muara Enim.........................................................................18

2.4.9 Formasi Kasai....................................................................................19

2.4.10 Endapan Kuarter..............................................................................20

BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................21

3.1. Batuan Reservoar.......................................................................................21

3.2. Analisis Batuan Inti Core...........................................................................21

3.2.1. Fasies................................................................................................21

3.3. Analisis Petrografi....................................................................................24

3.3.1 Komponen, Tekstur dan Klasifikasi..................................................24

3.3.3. Porositas dan Permeabilitas Batupasir.............................................28

3.3.4. Kualitas Reservoar...........................................................................30

BAB IV METODELOGI PENELITIAN...........................................................32

4.1. Tahap Persiapan..........................................................................................32

iii

Page 4: PROPOSAL Siap Maju Fix

4.2. Tahap Pengumpulan data............................................................................32

4.3. Tahap Pengolahan Data..............................................................................32

4.4. Tahap Interpretasi.......................................................................................33

4.5. Alat dan Bahan yang digunakan.................................................................33

4.6. Diagram Alir Metode Penelitian................................................................34

BAB V RENCANA KERJA................................................................................35

iv

Page 5: PROPOSAL Siap Maju Fix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembentukan cekungan belakang busur di Pulau Sumatra ……….5

Gambar 2.2. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman

Kapur……………………………………………………………8

Gambar 2.3. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Plio-

Pleistosen ………………………………………………………....9

Gambar 2.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi

timurlaut-baratdaya atau utara-selatan menunjukkan umur Oligosen

dan struktur inversi menunjukkan umur Plio-Pleistosen ………..10

Gambar 2.5. Pola struktur umum Cekungan Sumatra Selatan…………………11

Gambar 2.6. Kolom stratigrafi Blok Jabung, Cekungan Sumatra Selatan ……13

Gambar 3.1. Klasifikasi lingkungan pengendapan.........................................22

Gambar 3.2. Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan………………23

Gambar 3.3. Kalsifikasi batupasir ……………………………………………..26

Gambar 4.6 Diagram Alir Penelitian……………………………………………34

v

Page 6: PROPOSAL Siap Maju Fix

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industri minyak bumi dan gas bumi terus mengalami perkembangan

dan kemajuan yang signifikan diantaranya adalah faktor supply and demand

,dimana kebutuhan minyak bumi terus bertambah tetapi supply minyak tetap

tidak sebanding dengan kebutuhan. Dari fenomena tersebut menuntut para

ahli yang berkompeten pada eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi untuk

bisa menemukan lapangan minyak baru untuk dapat memenuhi kebutuhan

minyak bumi.

Lapangan Fei merupakan salah satu lapangan minyak dan gas bumi

yang ada di Blok Palem, Cekungan Sumatera Selatan. Lapangan ini

dioperasikan oleh PT. Pertamina EP. Daerah penelitian merupakan lapangan

yang sudah dikembangkan. Masalah yang harus dipecahkan dalam

pengembangan lapangan ini salah satunya adalah karakteristik dan kualitas

dari reservoir. Dalam pemerian suatu batuan, ada dua cara yang dapat

ditempuh dalam yaitu dengan cara megaskopis dan mikroskopis. Secara

megaskopis kita dapat mengenali sifat – sifat yang terdapat dalm batuan yang

tampak oleh mata, hal ini dilakukan untuk member gambaran awal tentang

batuan yang akan kita analisis kemudian. Untuk emperoleh data yang lebih

akurat, kita memerlukan analisis petrografi.

Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui komposisi mineral

pennyusun batuan. dari hasil analisis tersebut dapat diketahui klasifikasi

batupasir dan karakteristik batuan secara umum.

Dalam prakteknya, analisis tidak terbatas hanya pada penamaan batuan

secara mikroskopis saja, akan tetapi dikembangkan manfaat analisis petrografi

lebih jauh dalam suatu alur sistematika mekanisme pembentukan batuan,

antara lain berkaitan dengan proses- proses diagenesa, penentuan sumber asal

batuan lingkungan tektonik, lingkungan pengendapan, dan lain- lain.

1

Page 7: PROPOSAL Siap Maju Fix

Kontrol utama yang berperan dalam kualitas reservoir suatu batuan

reservoir adalah komposisi batuan, lingkungan pengendapn, diagenesa

( Davies D. K, 1986 ).

1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian ini adalah menganalis dan menginterpretasikan

karakteristik dan kualitas reservoir batupasir pada sumur “ FI “ berdasarkan

data batuan inti ( core ) dan sayatan tipis batuan ( petrografi ).

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan jenis batuan, komposisi dan tekstur pada batuan reservoir.

2. Menentukan fasies dan lingkungan pengendapan reservoir.

3. Menentukan nilai porositas dan permeabilitas reservoir.

4. Mengamati proses – proses diagenesa yang telah berlangsung serta

pengaruhnya terhadap kualitas reservoir.

1.3. Pembatasan Masalah

Agar penelitian berjalan secara terarah, maka penulis memberikan

batasan bahwa penelitian iini mencakup penentuan lingkungan pengendapan,

porositas, permeabilitas dan diagenesa reservoir batupasir pada Sumur “ fei “

berdasarkan data batuan inti ( core ) dan sayatan tipis ( petrografi ).

1.4. Manfaat Penelitian

Penilitian ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam menambah

wawasan pengetahuan tentang studi reservoir serta melatih penulis untuk

dapat berfikir logis dalam intepretasi geologi dengan menggunakan data core

maupun petrografi serta data pendukung lainnya, kemudian dapat

menuangkannya dalm tulisan ilmiah dan sistematis. Selain itu pula hasil

penelitian diharapkan dapt memberikan kontribusi kepada instansi tempat

penulis melakukan penelitian dan juga khalayak umum bagi yang

memerlukannya.

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi daerah penelitian berada di Lapangan X Cekungan Sumatera

Selatan . Waktu pelaksaan penelitian selama 3 bulan dimulai pada bulan

November 2012sampai dengan bulan Januari 2013.

2

Page 8: PROPOSAL Siap Maju Fix

Kegiatan pengolahan data dan penyelesaian penelitian dilaksanakan di

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “

LEMIGAS “, Jakarta.

3

Page 9: PROPOSAL Siap Maju Fix

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1 Kerangka Tektonik

Menurut Darman dan Sidi (2000) Pulau Sumatra memiliki orientasi

baratlaut tenggara yang terbentang pada ekstensi dari Lempeng Benua Eurasia.

Pulau Sumatra memiliki luas area sekitar 435.000 km2, dihitung dari 1650 km

dari Banda Aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan.

Lebarnya mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada

bagian selatan. Terdapat Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat.

Daerah ini membagi pantai barat dan timur. Lereng yang menuju Samudera

Hindia biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian barat biasanya berupa

pegunungan dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatra Utara yang

memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur pada pulau ini ditutupi oleh perbukitan

besar dari Formasi Tersier dan dataran rendah aluvial. Pada diamond point di

daerah Aceh, sabuk rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km, lebarnya

bertambah hingga 150-200 km pada Sumatra Tengah dan Selatan.

Pulau Sumatra terletak di sebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan

merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di

sebelah barat Lempeng Sundaland/Lempeng Eurasia. Konvergensi lempeng

menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan

dari Sistem Sesar Sumatra. Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas

Lempeng Asia pada masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi

Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra

yang sebelumnya berarah E-W menjadi NW-SE dimulai pada Eosen atau

Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan

sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh

sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain

pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra

ditandai dengan pembentukkan cekungan-cekungan belakang busur sepanjang

Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan

Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 2.1).

4

Page 10: PROPOSAL Siap Maju Fix

Gambar 2.1. Pembentukan cekungan belakang busur di Pulau Sumatra (Pertamina

BPPKA, 1997).

Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari

mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; Barber,

1985). Sekarang Lempeng Samudera Hindia mengalami subduksi di bawah

Lempeng Benua Eurasia pada arah N 200 E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7

cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung

dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan

volcano plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan

Sidi,2000):

1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda

dan yang memisahkan dari lereng trench.

5

Page 11: PROPOSAL Siap Maju Fix

2. Cekungan Sunda fore-arc, terbentang antara akresi non-vulkanik

punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik

back-arc Sumatra.

3. Cekungan back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah,

dan Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda

pada bagian bawah dari Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk

terutama pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.

5. Sumatra intra-arc, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah

pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-

arc dan back-arc basin.

2.2. Cekungan Sumatera Selatan

Menurut AMI Study Group (1994) Cekungan Sumatra Selatan dilihat dari

posisi geologinya saat ini merupakan cekungan busur belakang karena berada di

belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan Sumatra

Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk

sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari

lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini

meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh

singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda

(Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah

tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Struktur yang terdapat dalam Cekungan Sumatra Selatan merupakan

akibat dari 3 aktivitas tektonik utama yaitu: Orogenesa Mesozoikum Tengah,

tektonisme Kapur Akhir-Eosen, dan Orogenesa Plio-Pleistosen (de Coster, 1974).

Dua aktivitas pertama menghasilkan konfigurasi dasar termasuk formasi half

graben horst, dan sesar blok (de Coster, 1974; Pulunggono dkk., 1992). Aktivitas

terakhir, orogenesa Plio-Pleistosen menghasilkan adanya struktur baratlaut-

tenggara dan depresi ke arah timurlaut (de Coster,1974).

Menurut Suta & Xiaoguang (2005) perkembangan struktur maupun

evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur

utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi), berarah baratlaut-tenggara

6

Page 12: PROPOSAL Siap Maju Fix

(Pola Sumatra), dan berarah utara-selatan (Pola Sunda). Hal inilah yang membuat

struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks

dibandingkan cekungan lain di Pulau Sumatra.

Struktur Geologi berarah timurlaut-baratdaya (Pola Jambi) sangat jelas

teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-

baratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di

Cekungan Sumatra Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi

diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-sesar normal (graben) tersebut pada

periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan sesar mendatar (wrench

fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu kuat.

Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang

(Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini

berupa perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya

kompresi Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan (Pola Sunda) juga

terlihat di Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya

dimanifestasikan dengan sesar normal (graben), pada periode tektonik Plio-

Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali

memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.

Terdapat tiga peristiwa tektonik (Gambar 2.2, Gambar 2.3, dan Gambar

2.4) yang berperan pada perkembangan Cekungan Sumatra Selatan dan proses

sedimentasinya (de Coster, 1974), yaitu :

1. Tektonik pertama

Tektonik pertama ini berupa gerak tensional pada Kapur Akhir sampai

Tersier Awal yang menghasilkan sesar-sesar bongkah berarah timurlaut-

baratdaya dan utara-selatan. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di

atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api.

7

Page 13: PROPOSAL Siap Maju Fix

Gambar 2.2. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Kapur

(Daly dkk., 1991).

2. Tektonik kedua

Tektonik ini berlangsung pada Miosen Tengah-Akhir (Intra Miosen)

menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan

bahan-bahan klastika.

3. Tektonik ketiga

Tektonik ini berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan

sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian

tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai.

Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan utama di seluruh daerah

cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan.

8

Page 14: PROPOSAL Siap Maju Fix

Gambar 2.3. Ciri-ciri struktur pada Cekungan Sumatra Selatan pada zaman Plio-

Pleistosen (Daly dkk., 1991).

9

Page 15: PROPOSAL Siap Maju Fix

Gambar 2.4. Elemen struktur utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi

timurlaut-baratdaya atau utara-selatan menunjukkan umur Eo-Oligosen dan

struktur inversi menunjukkan umur Plio-Pleistosen (Ginger & Fielding., 2005).

10

Page 16: PROPOSAL Siap Maju Fix

2.3 Sub- Cekungan Jambi

Sub-Cekungan Jambi merupakan bagian dari Cekungan Sumatra Selatan

(Gambar 2.5). Sub-Cekungan ini terletak di bagian utara dari Cekungan Sumatra

Selatan, dibatasi pada bagian utara oleh Pegunungan Dua Belas dan Tinggian

Bangko, di bagian selatan dan timur dibatasi oleh Tinggian Ketaling, dan di

bagian barat dibatasi oleh Bukit Barisan (Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996

dalam Satyana, 2008). Sub-Cekungan Jambi merupakan cekungan dengan tipe

foreland basin yang perubahan batimetrinya tidak selalu dipengaruhi oleh

perubahan muka air laut global. Perkembangan Sub-Cekungan Jambi sangat

dipengaruhi oleh kondisi lokal. Tektonik sangat besar pengaruhnya terhadap

sejarah sedimentasi Sub-Cekungan Jambi.

Gambar 2.5. Pola struktur umum Cekungan Sumatra Selatan

(Yulihanto dan Sosrowidjoyo, 1996 dalam Satyana, 2008).

11

Page 17: PROPOSAL Siap Maju Fix

Berdasarkan Pertamina BPPKA (1997) terdapat dua pola sesar yang

mencirikan Sub-Cekungan Jambi yaitu pola sesar berarah timurlaut-baratdaya

yang diperkirakan terbentuk pada periode Kapur Akhir – Tersier Awal dan pola

sesar yang terbentuk pada periode tektonik terakhir (Plio-Pleistosen). Kedua pola

sesar tersebut berperan sebagai control konfigurasi batuan dasar sekarang ini.

Pola sesar pertama diperkirakan berumur Kapur Akhir – Tersier Awal,

berupa sesar normal tumbuh (growth fault) yang aktif dan mengontrol hingga

pengendapan Formasi Gumai. Pada periode tektonik Plio-Pleistosen, sesar-sesar

ini mengalami peremajaan menjadi sesar geser (strike slip fault) yang sinistral.

Pola sesar geser sinistral di Pulau Sumatra merupakan antitetik dari pergerakan

sesar geser dextral dari Sesar Semangko.

Pola sesar yang kedua, berarah baratlaut-tenggara, diperkirakan terbentuk

pada periode tektonik Plio-Pleistosen. Pola sesar ini membentuk jalur-jalur

antiklin berarah baratlaut – tenggara, yang mengontrol lapangan-lapangan minyak

di Sub-Cekungan Jambi sekarang. Selanjutnya periode tektonik Plio-Pleistosen,

ditandai dengan pembentukan perangkap-perangkap struktur, telah terperangkap

pada Formasi Air Benakat, ke dalam perangkap-perangkap struktur baru tersebut.

2.4 StratigrafiTatanan stratigrafi yang terdapat di Sub-Cekungan Jambi terdiri dari

beberapa formasi yang diendapkan (Gambar 2.6). Secara berurutan dari tua ke

muda adalah Formasi Lahat, Formasi Talang Akar Bawah, Formasi Talang Akar

Atas, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara

Enim, dan Formasi Kasai.

12

Page 18: PROPOSAL Siap Maju Fix

Gambar 2.6. Kolom stratigrafi Blok Jabung, Cekungan Sumatra Selatan

(Saifuddin dkk., 2001).

13

Page 19: PROPOSAL Siap Maju Fix

2.4.1 KapurLipatan Pra-Tersier yang kompleks pada Pegunungan Gumai terdiri dari 2

unit yang berbeda dengan hubungan yang tidak terlalu jelas (Darman dan Sidi,

2000):

Formasi Saling

Terdiri dari poorly-bedded breksi vulkanik, tuf, dan aliran lava basaltic

andesitik, hidrotermal alterasi hingga greenstone. Tiga interkalasi dari

batugamping berwarna abu-abu tua dengan fosil Mesozoik seperti

koral Lovcenipora dan Gastropoda Nerinea. Batuan formasi ini

kemungkinan adalah Jura Akhir-Kapur Awal volcanic island-arc yang

berasosisasi dengan fringing reefs.

Formasi Lingsing

Terdiri dari serpih atau lanau dengan warna coklat hingga hitam

dengan perlapisan tipis dengan pelapisan minor batuan hijau andesitik-

basaltik. Formasi ini kemungkinan berupa fasies laut dalam berumur

Kapur Awal.

2.4.2 Formasi Lahat

Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian

dasar dari sedimen Tersier ini diendapkan dalam lingkungan darat, dan terletak

tidak selaras diatas batuan Pra-Tersier (Gambar 2.6). Pada Cekungan Sumatra

Selatan, diendapkan endapan siklus transgresif dan termasuk endapan darat

(alluvial plain, piedmont deposit dan braided stream) dan endapan deltaik sampai

laut dangkal. Sedimen Eosen-Oligosen awal ini terdiri dari pengendapan sedimen

yang tebal dengan ukuran butir halus hingga kasar kadang-kadang berukuran

konglomerat, berselingan dengan batulempung, tuff dan lapisan tipis batubara.

Endapan Formasi Lahat ini sangat potensial menjadi sumber

hidrokarbon,dengan munculnya endapan serpih bewarna hitam kecokelatan dan

kaya akan bahan organik dan lapisan barubara yang mengisi dasar cekungan.

Serpih ini diendapkan pada lingkungan danau.

Menurut AMI Study Group (1994) batupasir yang diendapkan pada formasi ini

secara umum mengandung batupasir kuarsa dengan pemilahan yang buruk serta

mengandung argillaceous. Minyak dan gas bumi telah ditemukan pada batupasir

14

Page 20: PROPOSAL Siap Maju Fix

formasi ini, contohnya pada Lapangan Benakat (kisaran porositas batupasir 24,5%

dan permeabilitas 500mD dan netpay 27 kaki).

Formasi Lahat ini kadang tidak muncul pada daerah dengan morfologi

yang tinggi. Pada umumnya terakumulasi pada tengah cekungan. Ketebalannya

mencapai 6000 kaki pada tengah cekungan (bagian terdalamnya). Formasi ini

berumur -Oligosen Awal (beradasarkan dari posisi stratigrafinya).

2.4.3 Formasi Talang AkarMenurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) setelah

diendapkan Formasi Lahat, terjadi proses erosi secara regional. Bukti erosi ini

diperlihatkan oleh Formasi Talang Akar yang terendapkan tidak selaras diatas

Formasi Lahat (Gambar 2.6). Setelah masa hiatus umur Oligosen Tengah,

kemudian diendapkan sedimen pada topografi yang rendah pada Oligosen Akhir.

Variasi lingkungan pengendapannya berkisar dari lingkungan sungai teranyam

dan sungai bermeander yang berangsur berubah menjadi lingkungan delta front

dan lingkungan prodelta.

AMI study Group (1994) mengatakan bahwa sumber sedimen Formasi

Talang Akar bagian bawah pada umur Oligosen akhir ini berasal dari dua daerah

yaitu sebelah timur (Sundaland Mass) dan sebelah barat (deretan Pegunungan

Barisan dan areal tinggian dekat Bukit Barisan). Daerah tinggian-tinggian sekitar

cekungan seperti Tinggian Setiti dan Tinggian Palembang Utara juga mempunyai

kontribusi terhadap daerah ini.

Sedimen Formasi Talang akar ini umumnya berubah dari lingkungan

fluvial pada bagian bawah, berangsur ke arah atas menjadi lingkungan deltaik dan

laut dangkal. Sedimen ini terdiri dari butiran yang berukuran halus sampai kasar,

kadang-kadang dijumpai konglomerat, pemilahan bagus relatif bersih, berlapis

tebal dan memiliki porositas baik. Formasi Talang Akar bagian bawah merupakan

reservoar dengan kualitas paling baik di Cekungan Sumatra Selatan.

Dengan pengisian yang terus berlanjut pada topografi yang umumnya mengalami

penurunan, lingkungan pengendapan secara perlahan berangsur menjadi

lingkungan laut. Kemudian diendapkan Formasi Talang Akar bagian atas.

Formasi ini diendapkan pada lingkungan deltaik sampai lingkungan laut dalam

yang dicirikan oleh litologi batupasir dan serpih serta berselingan dengan

15

Page 21: PROPOSAL Siap Maju Fix

batubara. Batupasir umumnya berukuran sangat halus sampai kasar, argillaceous

hingga calcareous dengan porositas dan permeabilitas yang buruk hingga baik.

Pengendapan Formasi Talang Akar sangat dipengaruhi oleh relief

topografi, memiliki ketebalan hingga 300 kaki. Formasi Talang Akar berakhir

pada masa transgresi maksimum dengan munculnya endapan laut pada cekungan

selama Miosen Awal.

2.4.4 Klastik Pra-BaturajaDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa pada Cekungan Sumatra

Selatan, sedimen klastik yang kompleks ditemukan diantara Volkanik Lahat dan

Formasi Baturaja berumur Miosen atau Formasi Telisa. Seri yang tebal ditemukan

di graben dengan trend utara-selatan (Benakat gully, Lematang trough), yang

terbentuk pada Oligosen. Bagian dasarnya dengan sedimen volkanoklastik dan

lumpur lakustrin disebut Formasi Lemat atau Lahat. Bagian atas dari pengisian

graben, adalah fluvial dan deltaik Formasi Talang Akar yang berumur Oligosen

Akhir.

Menurut Musper (1937) dalam Darman dan Sidi (2000) pada bagian

permukaan sekitar Pegunungan Gumai, sedimen klastik antara Volkanik Lahat

dan Formasi Baturaja sangatlah tipis dan kemungkinan tidak ada. Interval klastik

tipis dibawah Formasi Baturaja biasa disebut sebagai wood horizon karena adanya

batang pohon yang tersilifikasi adalah sangat biasa pada bagian bawahnya.

Ketebalannya mencapai 20-30 m. Pada bagian Cawang Saling, berupa seri

transgresif dengan beberapa meter konglomerat dengan pemilahan buruk dengan

kerikil kuarsa, batuan volkanik, dan kayu yang tersilifikasi, dan batupasir dengan

lapisan bersilang.

2.4.5 Formasi BaturajaDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Batugamping ditemukan di

tempat yang berbeda-beda di dekat dasar Formasi Telisa yang biasanya

berkedudukan pada Formasi Baturaja (Gambar 2.6). Biasanya berkembang pada

fasies laut dangkal pada bagian yang lebih bawah dari serpih Telisa dan

seharusnya ditetapkan sebagai anggota dari formasi ini. Permukaan singkapan dari

batugamping Batuaraja ditemukan di berbagai tempat sekitar Pegunungan Gumai.

Ketebalan maksimumnya adalah 200 m. Batugamping Formasi Baturaja

16

Page 22: PROPOSAL Siap Maju Fix

ditemukan pada tinggian purba dan sepanjang batas cekungan. Hal ini tidak hadir

sepanjang daerah rendah dengan pengisian graben yang tebal, dimana fasies

serpih laut dengan kaya foraminifera terbentuk ditemukan. Umur dari formasi ini

Miosen Awal.

2.4.6 Formasi GumaiTobler (1910) dan Tobler (1906) dalam Darman dan Sidi (2000)

mengatakan bahwa rangkaian tebal dari serpih laut dalam Miosen Awal dan marl

pada Sumatra Tengah dan Selatan dideskripsikan dengan 2 nama berbeda.

Formasi Gumai (Gambar 2.6) didasarkan sepanjang bagian Pegunungan Gumai,

ketika Formasi Telisa dinamakan setelah Sungai Telisa dekat Sarolangun, Jambi.

Formasi ini dikarakteristikan sebagai rangkaian lumpur coklat gelap yang tebal,

yang biasanya mengandung foraminifera planktonik yang membentuk perlapisan

tipis berwarna putih. Tuf yang berwarna keputihan dan lapisan coklat turbidit

yang membentuk andesit tufaan. Lapisan dengan nodul karbonatan berbentuk

lentikular dan berwarna coklat memiliki diameter mencapai 2 m dan berada pada

bagian atas dari formasi ini.

Ketebalan formasi ini dari beberapa ratus meter hingga 3000 m atau

mungkin lebih. Hal ini disebabkan oleh subsiden, namun juga merupakan refleksi

dari ketebalannya itu sendiri, daerah cekungan pada Telisa ini termasuk di

dalamnya adalah lateral ekivalensi dari Talang Akar bagian atas, Baturaja, dan

Formasi Palembang bagian bawah. Umur dari formasi ini bervariasi. Ketika tidak

ada batugamping Baturaja dikembangkan pada bagian dasarnya lapisan Formasi

Telisa memiliki zona N4 foraminifera planktonik (Miosen Awal). Ketika Baturaja

memiliki ketebalan, lapisan tertua Formasi Telisa memiliki zona fauna N6 atau

N7. Bagian atasnya juga bervariasi dari zona N8 (Miosen Awal) hingga N10

(Miosen Tengah), tergantung pada posisi dari cekungan dan batas formasi itu

dibatasi.

2.4.7 Formasi Air BenakatDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa Formasi Air Benakat

(Gambar 2.6) diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan

awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu

dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan

17

Page 23: PROPOSAL Siap Maju Fix

setempat mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan

bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat

bervariasi antara 100-1000 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir.

Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Air Benakat tersingkap di

bagian baratdaya daerah penyelidikan dan sebarannya berarah baratlaut-tenggara

dengan kemiringan rata-rata 8o ke arah timurlaut. Formasi ini terdiri atas

perselingan batulempung dengan batupasir dan sisipan batulanau. Batulempung

berwarna abu-abu sampai coklat dan abu-abu kebiruan, berlapis baik dengan tebal

lapisan berkisar antara 15 dan 40 cm, umumnya gampingan dan karbonan.

Batupasir berwarna abu-abu kehijauan sampai hijau tua, kompak, berlapis baik

dengan tebal lapisan 10-30 cm, berbutir halus sampai sedang, mengandung

glaukonit dan sisa tumbuhan terutama pada bidang perlapisan. Konglomerat

terdapat pada puncak formasi secara lokal, berwarna abu-abu tua, disusun oleh

komponen berukuran 2 – 25 mm. Komponennya terdiri dari batupasir, batuan

beku dan cangkang moluska. Tebal lapisan konglomerat sampai 1,5 m. Formasi

diendapkan di lingkungan laut dangkal dan diendapkan selaras di atas Formasi

Gumai.

2.4.8 Formasi Muara EnimDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa bagian top dan bottom satuan ini

ditentukan oleh atas dan bawah terjadinya lapisan batubara kontinu secara lateral.

Ketebalan di area sekitar Muara Enim dan Lahat kira-kira 500-700 m, sekitar 15%

mengandung batubara. Lapisan batubara sangat tipis atau bahkan ada, tergantung

rata-rata peranan aliran dalam endapan batubara dan preservasi.

AMI Study Group mengatakan bahwa Formasi Muara Enim (Gambar 2.6)

tersingkap hampir merata di bagian tengah dan utara lembar peta serta menempati

struktur monoklin dan antiklin. Formasi ini dikenal sebagai pembawa endapan

batubara Cekungan Sumatra Selatan.

Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier.

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada

lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non-marine. Ketebalan

formasi ini 500 – 1000 m, terdiri dari batupasir, batulempung ,batulanau, dan

batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris

18

Page 24: PROPOSAL Siap Maju Fix

volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan

silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya

berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal

(Musper, 1933 dalam Darman dan Sidi, 2000).

2.4.9 Formasi KasaiDarman dan Sidi (2000) mengatakan bahwa kebanyakan sedimen

permukaan di Cekungan Sumatra Selatan merupakan satuan ini (Gambar 2.6).

Lapisan 250-350 m di bawah permukaan dicirikan oleh adanya tefra riolit berbutir

halus (vulkanik asam yang tertransport udara), pumice tuff kuning-putih (sering

kali dengan kristal kuarsa bening dan biotit hitam heksagonal dan batupasir

tuffaceous, dan tidak terdapat batubara. Batupasir konglomerat dan material

tumbuhan jarang ditemukan. Bagian atas formasi ini (tebalnya 300-500 m)

umumnya memang berupa pumice tuff yang kaya kuarsa tetapi ada juga yang

mengandung batupasir kasar berstruktur cross-bedded dan lapisan konglomerat

yang kaya pumice.

Untuk pertama kali, produk erosi dari formasi lebih tua ini (Telisa, Lahat,

dan Saling) ditemukan menunjukkan pengangkatan dan erosi yang signifikan

Pegunungan Gumai dalam periode ini. Banyak yang mengaggap formasi ini

sebagai endapan sinorogenik. Fasies endapannya merupakan fluvial dan alluvial

fan dengan ash-falls (non-andesitik). Fosil jarang ditemukan, hanya ada beberapa

moluska air tawar dan fragmen tumbuhan (Musper, 1933 dalam Darman dan

Sidi,2000).

Menurut AMI Study Group (1994) Formasi Kasai diendapkan secara

selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini

terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri

dari pumice tuff kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa

ruditnmengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak

dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan.

Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur

Pliosen Akhir-Plistosen Awal.

19

Page 25: PROPOSAL Siap Maju Fix

2.4.10 Endapan KuarterMenurut Darman dan Sidi (2000) lapisan paling muda yang berada pada

daerah ini tidak dipengaruhi oleh lipatan berumur Plio-Pleistosen, yang

dikelompokkan sebagai Kuarter yang tidak selaras diatas Formasi Palembang atau

formasi yang lebih tua lainnya, dan biasanya dibedakan dari lapisan Formasi

Palembang oleh kehadiran andesitik berwarna gelap dan batuan basaltik volkanik.

Volkanik andesitik kuarter biasanya berlimpah pada Bukit Barisan yang juga

diantara Sungai Lematang dan Enim dengan banyaknya produk intrusi dan

ekstrusi yang sekarang membentuk kelompok Bukit Asam, Serelo, dan Djelapang.

Batuan lain yang termasuk ke dalam Kuarter adalah Liparite (ignimbrite) yang

mengisi lembah pada daerah Pasumah bagian selatan dari Pegunungan Gumai, tuf

andesit dan lahar pada daerah Pasumah berasal dari gunungapi Barisan seperti

Dempo, dan terendapkan sepanjang sungai utama.

20

Page 26: PROPOSAL Siap Maju Fix

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Batuan Reservoar

Batuan reservoir adalah wadah di bawah permukaan yang mengandung

minyak dan gas. Batuan reservoir harus mempunyai porositas yang memberikan

kemampuan menyimpan, juga kelulusan atau permeabilitas, yaitu kemampuan

untuk melepaskan minyakbumi itu. Jadi, dapat disebutkan bahwa reservoir harus

berongga-rongga atau berpori-pori yang berhubungan (Koesoemadinata, 1980).

3.2. Analisis Batuan Inti Core

Batuan inti ( core ) merupakn informasi pertama yang dapat digunakan

untuk karakterisasi suatu formasi. Dari batuan inti ( core ) dapat mendeskripsikan

sifat fisik dari tubuh batuan seperti tekstur, struktur sedimen dan komposisi yang

menyusun suatu lapisan, sehingga dapat menentukan fasies dan lingkungan

pengendapan.

3.2.1. Fasies

Fasies sedimen adalah suatu batuan yang dapat dikenali dan dibedakan

dengan satuan batuan lain atas dasar geometri, litologi , struktur sedimen, tekstur

dan fosil serta arus purba. ( Selley, 1970 ). Selley ( 1985 ) juga menyebutkan

bahwa fasies adalah istilah yang digunakan apabila batuan yang sama diendapkan

di tempat yang berbeda, atau apabila batuan yang berbeda diendapkan di tempat

yang sama pada waktu berbeda, atau apabila batuan yang berbeda diendapkan

ditempat yang berbeda pada waktu yang sama. Penentuan fasies dapt ditinjau dari

beberapa karakteristik yang berbeda seperti litologi, kandungna biogenic atau

berdasarkan metode tertentu yang dipakai sebagai cara pengamatan fasies,

contohnya fasies seismic atau fasies log.

Lingkungan pengendapan adalah bagian dari permukaan bumi dimana

proses fisik, kimia dan biologi berbeda dengan daerah yang berbatasan dengannya

(Selley, 1988). Sedangkan menurut Boggs (1995) lingkungan pengendapan adalah

karakteristik dari suatu tatanan geomorfik dimana proses fisik, kimia dan biologi

berlangsung yang menghasilkan suatu jenis endapan sedimen tertentu. Nichols

(1999) menambahkan yang dimaksud dengan proses tersebut adalah proses yang

21

Page 27: PROPOSAL Siap Maju Fix

berlangsung selama proses pembentukan, transportasi dan pengendapan sedimen.

Perbedaan fisik dapat berupa elemen statis ataupun dinamis. Elemen statis antara

lain geometri cekungan, material endapan, kedalaman air dan suhu, sedangkan

elemen dinamis adalah energi, kecepatan dan arah pengendapan serta variasi

angin, ombak dan air. Termasuk dalam perbedaan kimia adalah komposisi dari

cairan pembawa sedimen, geokimia dari batuan asal di daerah tangkapan air

(oksidasi dan reduksi (Eh), keasaman (Ph), kadar garam, kandungan karbon

dioksida dan oksigen dari air, presipitasi dan solusi mineral). Sedangkan

perbedaan biologi tentu saja perbedaan pada fauna dan flora di tempat sedimen

diendapkan maupun daerah sepanjang perjalanannya sebelum diendapkan.

Permukaan bumi mempunyai morfologi yang sangat beragam, mulai dari

pegunungan, lembah sungai, pedataran, padang pasir (desert), delta sampai ke

laut. Dengan analogi pembagian ini, lingkungan pengendapan secara garis besar

dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni darat (misalnya sungai, danau dan

gurun), peralihan (atau daerah transisi antara darat dan laut; seperti delta, lagun

dan daerah pasang surut) dan laut. Banyak pengarang membagi lingkungan

pengendapan berdasarkan versi masing-masing. Selley (1988) misalnya, membagi

lingkungan pengendapan menjadi 3 bagian besar: darat, peralihan dan laut

Terestrial Padang pasir (desert)Glasial

DaratanSungai

Encer (aqueous) Rawa (paludal)Lakustrin

Delta

PeralihanEstuarin

LagunLitoral (intertidal)

Reef

LautNeritik (kedalaman 0-200 m)

Batial (kedalaman 200-2000 m)Abisal (kedalaman >2000 m)

Gambar 3.1. Klasifikasi lingkungan pengendapan (Selley, 1988)

22

Page 28: PROPOSAL Siap Maju Fix

Fasies merupakan bagian yang sangat penting dalam mempelajari ilmu

sedimentologi. Bahwa dalam mempelajari lingkungan pengendapan sangat

penting untuk memahami dan membedakan dengan jelas antara lingkungan

sedimentasi (sedimentary environment) dengan lingkungan facies (facies

environment) ( Boggs 1995 ). Lingkungan sedimentasi dicirikan oleh sifat fisik,

kimia dan biologi yang khusus yang beroperasi menghasilkan tubuh batuan yang

dicirikan oleh tekstur, struktur dan komposisi yang spesifik. Sedangkan facies

menunjuk kepada unit stratigrafi yang dibedakan oleh litologi, struktur dan

karakteristik organik yang terdeteksi di lapangan

Hubungan antara fasies sedimen dan lingkungan pengendapan yaitu fasies

sedimen adalah produk dari suatu proses pengedapan batuan sedimen di dalam

suatu jenis lingkungan pengendapan. Sehingga dengan mendeskripsikan fasies

sedimen akan dapat menginterpretasikan jenis lingkungan pengendapanya.

Kondisi lingkungan pengendapan akan mengontrol proses dan menjadi

penyebab karakteristik sedimen yagn terendapkan, digambarkan sebagai suatu

proses ( cause ). Sedangkan fasies pengendapan yang merupakan kenampakan

suatu tubuh batuan sedimen yagn memiliki kekhasan sifat fisik, kimia dan biologi

sebagai suatu hasil atau produk dari suatu lingkungan pengendapn tertentu,

dinyatakan sebagai suatu respon atau effect ( Selley, 1985 ).

Gambar 3.2. Hubungan fasies dengan lingkungan pengendapan ( selley,

1985 )

23

Page 29: PROPOSAL Siap Maju Fix

3.3. Analisis Petrografi

Meskipun teknologi semakin berkembang dan berbagai peralatan telah

diciptakan untuk mnyelidiki dan menjawab segala persoalan mengenai batuan

sedimen, namun analisis petrografi masih diakui sebagai teknik utama yagn dapat

menghasilkan informasi yang bernilai.

Melalui studi petrografi dapat dievaluasi hubungan antara fasies

pengendapan, komposisi dan geometri sistem pori batuan, diagenesis serta

kualitas reservoir sehingga dihasilkan pemahaman yang baik dan dapat dijadikan

suatu model pada batuan reservoir lainnya dengan karakter yang relatif sama

( Hadi Prasetyo, 2009 ).

Manfaat penggunaan analisi petrografi dari sayatan tipis antara lain :

1. Dapat mengidentifikasi komposisi mineralogy batuan dari butiran,

semen, dan matriksnya.

2. Mengetahui tekstur dan hubungan antar mineral-mineralnya.

3. Mengetahui besar porositas batuan.

4. Dapat mengetahui diagenesa batuan.

Analisis sayatn tipis tidak dapat menguraikan komposisi mineral-mineral yang

sangat halus seperti meineral lempung, sebab keterbatasan kemampuan mikroskop

yagn digunakan.

3.3.1 Komponen, Tekstur dan Klasifikasi

Batupasir adalah batuan sedimen klastik yang sebagian besar butiranya

berukuran pasir ( 0.125 – 2 mm, skala wenwort ). Ada yang disebut sebagai

batupasir murni dan ada yang sisebut batupasir tidak murni. Pengertian ini erat

kaitanya dengan jumlah matrik berukuran lempung dan lanau pada batupasir

tersebut.

A. Komponen – Komponen Batupasir

Pembentukan batupasir tidak terlepas dari keberadaan komponen –

komponen yang menyusunnya. Adapun komponen pembentukan batupasir secara

umum adalah ( Gambar 3.3 ) :

a. Komponen butiran ( framework grains )

b. Matriks ( matrix )

c. Semen ( cement )

24

Page 30: PROPOSAL Siap Maju Fix

d. Rongga/ pori ( pore space )

B. Tekstur Batuan Sedimen

Tekstur pada batuan sedimen mereflesikan sejarah pembentukannya. Ada

2 golongan besar tekstur pada batuan sedimen yaitu bertekstur klastik dan

sedimen bertekstur non-klastik ( kristalin ).

Tekstur Klastik

Tekstur klastik adalah tekstur yang terbentuk dari akumulasi mineral dan

fragmen batuan. Komponen batuan sedimen klastik terdiri dari butiran, massa

dasar dan semen. Beberapa parameter dasar yang digunakan untuk

mendeterminasi karakteristik batuan klastik dan pengaruhnya terhadap

pembentukan pori-pori adalah :

a. Besar butir ( grain size ). Skala besar butir yang dipakai adalah skala

Wenworth. Besar butir mempengaruhi ukuran pori-pori, tetapi tidak

mempengaruhi porositas total dari batuan.

b. Pemilahan ( sorting ) adalah cara penyebaran bebagai macam besar butir.

Pemilahan yang baik adalah apabila batuan terdiri dari besar butir yang

hampir seragam. Jika pemilah sangat buruk, batuan akan terdiri dari butir-

butir dengan berbagai ukuran. Dengan demikian rongga yang terdapat

diantara butiran besar akan terisi oleh butiran yang lebih kecil sehingga

akan mengurangi porositas batuan tersebut.

c. Bentuk dan kebundaran ( shape and roundness ). Bentuk butiran

menghasilkaan suatu penyusunan butir yang lebih kompak atau lebih lepas

dan dengan demikian menentukan bentuk dan besar pori/rongga. Pada

umumnya jika bentuk butiran mendekati bola maka porositas dan

permeabilitasnya akan meningkat. Segala bentuk yang menyudut akan

mengisi rongga yang ada.

d. Penyusunan ( packing ) adalah pengaturan kepadatan dari butiran satu

terhadap yang lainnya. Untuk besar butir yang seragam maka porositas

hanya tergantung pada cara penyusunan butir ditentukan oleh kompaksi

setelah sedimentasi.

25

Page 31: PROPOSAL Siap Maju Fix

Umumnya klasifikasi batupasir menggunakan pola plot QRF atau QFL,

dimana kuarsa ( Q ), feldspar ( F ) dan fragmen batuan ( R/L ) diplot pada masing

– masing kutub pada klasifikasi segitiga . ( Gambar 3. 3 )

Gambar 3.3. Kalsifikasi batupasir ( a ) menurut McBride ( 1963 ) ( b ) Folk

( 1974 )

Klasifikasi batupasir ini dilakukan dengan cara mengamati sifat-sifat yang

dimiliki batupasir dengan menggunakan mikroskop polarisasi kemudian dihitung

persentase masing- masing mineral dan fragmen batuan, dan baru kemudian

diplotkan pada diagram tadi sehingga nama dan golongan batuan batupairnya

dapat diketahui. Perlu diketahui bahwa persentase kehadiran material penyusun

yang dihitung adalh komponen butiranya saja. Dalm penelitian ini penulis

mengunakan klasifikasi Folk ( 1974 )

26

Page 32: PROPOSAL Siap Maju Fix

Tekstur Non- Klastik

Batuan jenis ini umumnya terdiri dari mineral – mineral autigenik. Pada

umumnya batuan memperlihatkan gejala diagenesa pada kondisi tekanan dan

temperatuur tertentu, sehingga porositas batuan sering sangat rendah bahkan

hilang. Biasanya batuan ini ditandai oleh tekstur mozaik, contohnya batugamping.

Ciri – cirri penting pada batuan non-klastik adalah bahwa butiran yang

awalnya halus, pada saat terjadi proses diagenesa akan berkembang atau

bertambah besar. Beberapa akibat atau pengaruh proses diagenesa adalah :

1. Adanya rekristalisasi

2. Tidak adanya perubahan mineral-mineral

3. Butiran berkembang berupa mozaik dan mengakibatkan

porositas mengecil bahkan hilang

4. Bila terjadi proses penggantian mineral umumnya tidak

memperbesar butiran tetapi semakin memperkecil butiran

( menjadi lebih halus dari awal )

Selain hal tersebut diatas, pada batuan sediemn non-klastik sangat

berpengaruh juga proses pelarutan. Proses pelarutan yang terjadi umumnya

menambah porositas batuan. Proses ini juga megakibatkan terbentuknya tekstur

yang khas ( stylolitik ) dimana batas – batas mineral sangat bergerigi/tidak

beraturan.

3.3.2. Diagenesa

Diagenesa merupakan suatu proses perubahan fisika, kimia dan biologi

yang dialami sedimen setelah diendapkan dan sebelum termetamorfosakan.

Perubahan ini secara nyata terlihat dengan adanya perubahan tekstur dan

komposisi sedimen. Umumnya perubahan- perubahan diagenesa terjadi pada

temperature kurang dari 3000 C dan tekanan antara 1-2 kb. Sebagian besar

diagenesa terjadi setelah sedimen mengalami pengendapan. Namun demikian,

pada saat batuan sediemen terangkat dan tersingkap kembali ke permukaan,

diagenesa masih tetap berlangsung. Oleh sebab itu diagenesa dibagi menjasi 3

bagian besar ( Choquette & Pray, 1970 ) yaitu :

Penecontemporancous ( syndepositional ) adalah proses diagenesa yang terjadi

pada lingkungan penegendapan.

27

Page 33: PROPOSAL Siap Maju Fix

Eodiagenetic ( dekat permukaan ) adalah proses diagenesa yang terjadi pada

daerah dekat permukaan.

Mesodiagenetik ( burial ) adalah proses diagenesa yang terjadi selama burial

jauh di bawah permukaan

Telodiagenetic ( pengangkatan atau ketidakselarasan ) adalah proses diagenesa

yang berhubungan dengan pengankatan dan umumnya dihasilkan dari fluida

dekat permukaan.

3.3.3. Porositas dan Permeabilitas Batupasir

Porositas adalah volume total pori yang secara matematis dinyatakan

dengan perbandingan ruang pori terhadap volume total batuan. Karakteristik pori

tergantung dari variasi ukuran dan bentuk butiran penyusun batuan. Komposisi

dan distribusi mineralogi serta proses diagenesis.

Karakteristik pori bisa berbeda pada arah dan posisi yang berbeda-beda.

Secara umum, karakteristik pori batuan dapat dibedakan menurut konektifitasnya

menjadi beberapa tipe :

1. Saling berhubungan/efektif

Pori yang saling berhubungan atau efektif adalah pori batuan yang

membentuk fase kontinyu dalam media berpori.

2. Tidak berhubungan atau terisolasi

Adalah pori batuan yang terdispersi dalam suatu medium berpori dan tidak

memiliki kontribusi berarti untuk menstranport fluida didalamnya.

3. Dead-end atau blind

Adalah pori yang berhubungan hanya dalam satu sisi dan kontribusinya

dalam transport fluida dapat diabaikan.

Skala kuantitatif yang dipakai untuk mengetahui prosentase nilai porositas

batuan ( Koesoemadinata, 1980 ) adalah sebagai berikut :

Porositas Istimewa ( excellent porosity ) : > 25 %

Porositas baik ( Good porosity ) : 15 -25 %

28

Page 34: PROPOSAL Siap Maju Fix

Porositas sedang ( fair porosity ) : 10 -15 %

Porositas buruk ( poor porosity ) : 5 – 10 %

Porositas sangat buruk ( very poor porosity ) : 0 – 5 %

Permeabilitas menyatakan kemampuan media berpori dengan luas dan

gradient tekanan tertentu untuk mengalirkan fluida Newtonian atau fluida yang

tidak mengalami perubahan kekentalan ketika mengalir. Formasi produktif

memiliki permeabilitas 1-1000 d. suatu media porous dinyatakan mempunyai

permeabilitas 1-d jika beda tekanan 1 atm menghasilkan laju alir fluida sebesar

cm3/detik dengan kekentalan 1cP pada kubus berisi 1 cm.

Permeabilitas dapat diturunkan dari persaman darcy sebagai berikut :

Dimana : Q : Volume air ( cm/sec )

K : Permeabilitas ( Darcy )

M : Viskositas ( sentipoise )

P/ L : gradient hidrolik ( atm/cm )

Permeabilitas sangat terpengaruh oleh ukuran butiran batuan. Batuan

sedimen dengan butiran kasar dan porositas besar akan memiliki permeabilitas

besar. Sedangkan batuan sediemn berbutir halus, berpori kecil memiliki

permeabilitas yang lebih kecil.

Skala kuantitatif untuk mengetahui nilai permeabilitas rendah adalah

sebagai betikut :

Permeabilitas baik sekali ( very good ) : 100-1000 md

Permeabilitas baik ( good ) : 10 -100 md

Permeabilitas sedang ( fair ) : 5-10 md

Permeabilitas ketat ( tight ) : < 5 %

Setelah proses pengendapan, secara bertahap batupasir mengalami

penurunan nilai porositas dan permeabilitas dengan semakin bertambahnya

kedalaman. Perubahan komposisi batupasir merupakan salah satu faktor terjadinya

perubahan nilai porositas pada batupasir. Komposisi dari berbagai partikel butiran

pada batupasir akan semakin beragam selama berlangsungnya proses diagenesa.

29

Page 35: PROPOSAL Siap Maju Fix

Misalnya saja hadirnya mineral autigenic lempung menyebabkan

megaporosity berubah menjadi microporosity. Diantara pengaruh kehadiran

lempung dalam reservoir batupasir adalah:

Memperkecil harga porositas efektif dan permeabilitas

Merubah persamaan resistivitas diturunkan pada persamaan Archie

Distribusi lempung/serpih dalam shaly sand ada 3 bentuk, yaitu :

a. Struktural yaitu jenis shale yang terbentuk dalm butiran.

b. Dispersi yaitu shale yang terdapat di dalm pori-pori batuan ( sebagai

semen, pore linings )

c. Laminasi yaitu shale berbentuk perlapisan, sebagai matrik ( pada

umumnya < 1 cm, walaupun ada > 1 cm )

Laminasi lempung hadir sebagai interlaminasi atau sisipan yang

menyebabkan sand bersih menjasi bersifat shaly, mengurangi porositas dan

permeabilitas yang nilainya proporsional terhadap fraksi volume shale yang

hadir.

Kehadiran disperse lempung bisa menyebabkan reservoir menjadi

tidak produktif karena turunnya porositas efektif dan permeabilitas yang

sangat drastic, sedangkan shale structural hadir sebagai butiran lempung atau

mudstone dalam batupasir dan snagt kecil pengaruhnya terhadap perubahan

porositas dan permeabilitas.

3.3.4. Kualitas Reservoar

Analisa kualitas reservoir dalam fasies reservoir mencakup analisa

hubungan antara pengaruh diagenesa dengan variasi porositas dan permeabilitas.

Kualitas reservoar batuan sedimen silisiklastik dalam hal ini adalah

batupasir, merupakan fungsi dari porositas dan permeabilitas awal yang sangat

dikontrol oleh tekstur pengendapan ditambah modifikasi oleh proses diagenesa

yang terjadi. Reservoar batupasir pada kedalam lebih dari besar dari 200 m,

kualitas lebih banyak dipengaruhi oleh proses diagenesa dibandingkan dengan

pengaruh tekstur pengendapan ( McBride 1996 dalam Selley 1984 )

30

Page 36: PROPOSAL Siap Maju Fix

Sangatlah penting untuk mengetahui geometri pori batuan reservoar seperti

bentuk, ukuran dan penyebaran pori karena hal ini berpengaruh terhadap tipe,

jumlah, dan tingkat produksi hidrokarbon.

31

Page 37: PROPOSAL Siap Maju Fix

BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan berdasarkan data core, petrografi berupa

sayatan tipis serta data pendukung berupa routine core. Metode yang dipakai

untuk memecahkan permasalahan tersebut diatas adalah analsis fasies, lingkungan

pengendapan dan analisis proses diagenesa serta mengintegrasikannya semua

informasi geoogi dalam analisis kualitas reservoir pada daerah telitian. Untuk

melaksankan penelitian ditempuh dengan melalui beberapa tahapan, antara lain :

4.1. Tahap Persiapan

Tahap ini meliputi studi literatur pada daerah telitian dari peneliti

terdahulu. Pengumpula data geologi regional terutama laporan – laporan instansi

yang membahas kondisi geologi daerah penelitian.

4.2. Tahap Pengumpulan dataPengumpulan data primer pada sumur “ fei “ berupa data batuan inti

( core ) sepanjang 7 ( tujuh ) m yang diguanakn untuk mengetahui sifat fisik dari

batuan, fasies serta lingkungan pengendapan, data sayatan tipis ( petrografi )

dengan jumlah 12 perconto digunakan untuk mengetahui sifat fisik, jenis

batupasir dan proses diagenesa batuan. data sekunder berupa data routine core,

untuk mengetahui nilai porositas dan permeabilitas.

4.3. Tahap Pengolahan Data

Dalam pengolahan data dilakukan sesuai dengan urutan dalam

mencapai yang di inginkan, yaitu :

1. Melakukan analisa batuan inti ( core ) , untuk mengetahui jenis

litologi, tekstur batuan, struktur sedimen dan komposisi batuan.

2. Melakukan analisa sayatan tipis ( petrografi ), dengan maksud untuk

mengetahui komposisi, tekstur, jenis litologi, porositas visual,

diagenesa.

3. Membuat cross plot berdasarkan data “ routine core “ yaitu croos plot

porositas versus permeabilitas, porositas versus kedalaman dan

permeabilitas versus kedalaman.

32

Page 38: PROPOSAL Siap Maju Fix

4.4. Tahap Interpretasi

Pada tahap ini dilakukan interrpretasi dari data-data yang telah ada.

Dari data batuan inti ( core ) dilakuakn analisis mengenai fasies dan

lingkungan pengendapan pengaruhnya terhadap kualitas reservoir. Data

sayatan tipis ( petrografi ) menganalisis jenis batupasir serta proses diagenesa

yang bekerja yang dapat mempengaruhi kualitas reservoai. Kemudian dari

data routine core dapat mengetahui hubungan antara porositas dengan

permeabilitas, porositas dengan kedalaman dan permeabilitas dengan

kedalaman. Berdasarkan data – data tersebut diatas dapat mengetahui kualitas

reservoir batupair pada sumur “ fei “

4.5. Alat dan Bahan yang digunakan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Komparator besar butir, lup, HCL 0,1 M, sponge dan alat tulis yang

digunakan untuk analisis batuan inti ( core )

b. Mikroskop polarisasi yang dibuat oleh Leitz dan Zeiss Manufactures

yang digunakan untuk analisis sayatan tipis ( petrografi ) yang

sebelum dianalisa diberi blue-dye epoxy.

33

Page 39: PROPOSAL Siap Maju Fix

4.6. Diagram Alir Metode Penelitian

Gambar 4.6 Diagram Alir Penelitian

BAB VRENCANA KERJA

N Kegiatan Waktu              

34

Studi Pustaka

Pengumpulan data

Analisis Core Analisis Petrografi AnalisisRoutine core

Jenis litologi, Tektur batuan Struktur

sedimen, komposisi Batuan

Komposisi batuan, tekstur, jenis

batupasir, Porositas visual, Diagenesa

Cross Plot : Porositas & Permeabilitas,

Porositas & Kedalaman, serta Permeabilitas &

Kedalaman

Fasies LingkunganPengendapan

Kualitas Reservoar

Page 40: PROPOSAL Siap Maju Fix

o    Oktober November Desember Januari    1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41 Pengurusan                                

  Administrasi                                2 Studi Pustaka                                

3Pengenalan & Pelatiahan sofware                              

4 Pengambilan data                                

5Analisis Core, Petrografi                                

                                 

6

Analisis Data Rountine core, Well Log,SEM, XRD                                

                                 7 Laporan, Evaluasi,                                

  dan presentasi                                

35

Page 41: PROPOSAL Siap Maju Fix

1