Upload
anna-christiana
View
25
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
proposal slripsi Indonesia
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan pada masa kini adalah hal yang biasa bagi setiap manusia.
Hampir setiap orang mendambakan perkawinan di dalam hidupnya dengan
berbagai macam tujuan. Perkawinan yang banyak terjadi saat ini bukanlah
hanya perkawinan biasa pada umumnya yang terjadi di dalam masyarakat,
tetapi banyak jenis perkawinan lain yang menjadi fenomena, yakni seperti
perkawinan beda agama, perkawinan sesama jenis yang paling kontroversial,
sampai pada perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) yang sekarang
banyak kita temui di dalam masyarakat.
Perkawinan campuran dijalani oleh masyarakat dengan
berbagaimacam alasan yang berbeda-beda, mengingat sekarang sudah
merupakan zaman modern dengan berbagaimacam teknologi dan tuntutan
zaman. Menurut pendapat sebagian besar orang, mereka dapat melakukan
perkawinan campuran ini antara lain karena, merupakan teman kerja,
merupakan sahabat pena, dan bahkan condong terjadi karena pekerjaan yang
dijalani, seperti pada Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar
Indonesia/luar negeri atau juga karena perkembangan teknologi terkini, yakni
1
jejaring sosial dimana semua orang dari belahan dunia ini bebas untuk
berkenalan satu sama lainnya tanpa batas jarak yang berarti.
Definisi dari perkawinan campuran sendiri adalah perkawinan yang
dilakukan oleh dua orang yang berada di Indonesia dan salah satunya
merupakan warga negara Indonesia dan tunduk pada hukum yang berlainan
karena perbedaan kewarganegaraan1. Sebagai contoh perkawinan campuran
ini misalnya perkawinan antara seorang laki-laki warga negara Jepang yang
bertempat tinggal di Indonesia dengan seorang perempuan warga negara
Indonesia yang juga berdiam di Indonesia. Atau contoh lain adalah seorang
perempuan warga negara Indonesia menikah dengan pria berwarganegara
Amerika di Amerika, asalkan perkawinan tersebut dilaksanakan memnuhi
syarat formil dari pasal 18 AB (Algemeene Bepalingen). Jika perkawinan
tersebut dilaksanakan di Indonesia dan apabila kedua belah pihak yang
melaksanakan perkawinan memiliki perbedaan Agama, maka pekawinan
tersebut harus dilakukan di kantor Catatan Sipil, dan jika sama-sama
beragama Islam, maka perkawinan akan dilakukan dan dicatatkan pada KUA.2
Dalam perkawinan campuran di Indonesia, hukum yang berlaku antara
lain adalah UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, UU No. 12/2006 tentang
KewarganegaraanDalam perkawinan campuran karena perbedaan
1 Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan2 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Undang-Undang Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1999), hlm. 163.
2
kewarganegaraan dari suami/istri maka pihak istri mempunyai pilihan, yaitu
mengikuti status kewarganegaraan dari suaminya untuk memperolah kesatuan
hukum dalam perkawinan atau tetap mengikuti kewarganegaraannya semula.
Status kewarganegaraan ini bagi seseorang sangatlah penting. Hal ini
berkaitan dengan hukum yang berlaku padanya, Sebagai contoh apabila
seseorang pergi keluar negeri, maka yang berlaku adalah hukum negaranya
bukan hukum dari negara yang dikunjungi. Hal ini yang akan menimbulkan
permasalahan dikemudian hari terutama bagi anak yang dihasilkan dari
perkawinan campuran tersebut.
Jika kita membicarakan perkawinan, maka tidaklah luput juga dari
perkawinan tersebut tentang anak yang lahir dari ikatan perkawinan,
perceraian, sampai pada hak asuh anak dari perkawinan yang dilakukan.
Tidaklah berbeda dengan perkawinan campuranpun mengalami hal yang
demikian seperti yang telah sedikit disebutkan sebelumnya. Dalam hal anak
yang lahir dari perkawinan campuran, maka ia dapat memiliki dwi
kewarganegaraan sampai pada usianya 18 tahun, dan setelah itu ia akan
memilih untuk ikut kewarganegaraan manakah yang sesuai dengan keinginan
hatinya.3 Misalkan saja contoh kasus konkrit seorang perempuan WNI
menikah dengan seorang pria WNA dan dari perkawinannya lahir seorang
anak, maka anak tersebut memiliki kewarganegaraan Indonesia dan
kewarganegaraan ayahnya. Dalam hal ini UU No. 12/2006 jelas mengatur
bahwa nantinya anak ini diperbolehkan memiliki dwi kewarganegaraan dan 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
3
dengan itu ia akan diberikan kebebasan untuk mendapatkan pelayanan publik
baik di Indonesia maupun negara asal ayahnya karena ia akan memiliki 2 akte
kelahiran yang sah secara hukum di dua negara tersebut. Lalu jika kita
berbicara tentang berakhirnya perkawinan campuran ini, disebabkan oleh
karena perceraian, sehingga memunculkan hak dan kewajiban baru antara
suami dan istri terhadap diri sendiri dan anaknya. Tidak lepas dari itu adalah
masalah dalam hak asuh anak dan tanggung jawab orag tua terhadap anak dari
hasil perceraian perkawinan campuran ini nantinya.
B. Masalah Penelitian
Penulis dalam penulisan hukum ini ingin meneliti bagaimanakah
permasalahan hak asuh anak dan tanggung jawab orang tua dari perceraian
perkawinan campuran (beda kewarganegaraan) antara WNI dengan warga
negara asing mengingat bahwa permasalahan hak asuh anak merupakan suatu
masalah yang sering terjadi ketika sebuah perceraian terjadi. Untuk itu secara
khusus akan diteliti mengenai:
1. Bagaimanakah penentuan hak perwalian bagi anak yang dihasilkan
dari hasil sebuah perceraian pada perkawinan campuran?
2. Bagaimanakah dalam praktik dan kenyataan pelaksanaan pemutusan
penentuan hak perwalian anak dari hasil sebuah perceraian pada
perkawinan campuran?
4
C. Tujuan Penelitian
Dalam hal ini, penelitian yang peneliti jalani bertujuan untuk
menjawab masalah-masalah penelitian yang telah diuraikan secara umum untuk
mengetahu hak waris anak dari hasil perceraian perkawinan campuran dan secara
khusus berguna untuk:
1. Mengetahui bagaimana pengaturan terdadap penentuan
pemeliharaan/hak asuh anak dari hasil perceraian perkawinan
campuran ditinjau dari dua undang-undang yang berlaku.
2. Mengetahui kenyataan atau praktik yang terjadi di lapangan
sehubungan dengan putusan-putusan pengadilan terhadap
penentuan pemeliharaan/hak asuh anak dari hasil perceraian
perkawinan campuran.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah
antara lain:
1. Agar dapat melengkapi materi yang akan diberikan di dalam
perkuliahan ilmu hukum terutama dalam mata kuliah hukum
perkawinan dan penulis berharap agar pembaca dapat
mendapatkan refrensi dan ide pemikiran terkait dengan masalah
yang dibahas di dalam penulisan ini
5
2. Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ide dan
pikiran bagi lembaga-lembaga terkait dalam mengambil langkah
yang akan dilakukan terkait dengan penyelesaian hak asuh anak
yang berasal dari sebuah perkawinan campuran, sehingga dapat
diperoleh perlindungan hak asuh anak bagi Warga Negara Asing
maupun Warga Negara Indonesia, yang mana akan diperoleh
kepastian dan keadilan.
E. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sesuai
dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian yang
dilakukan penulis merupakan penelitian yuridis normatif, yakni sebuah
penelitian yang dilakukan dengan menganalisis hukum tertulis dari bahan
pustaka atau data sekunder yang dikenal dengan nama dan bahan acuan
dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.4
2. Metode Perolehan Data
Dalam penulisan ini metode perolehan data yang dilakukan oleh penulis
adalah perolehan data sekunder, yakni perolehan data yang tidak secara
langsung diperoleh dari kepustakaan seperti jurnal ilmiah, buku, maupun
4 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2007, hlm. 33
6
hasil penelitian.5 Cara memperoleh data ini sesuai dengan metode penelitian
yuridis normative. Perolehan data ini sengaja dilakukan untuk menunjang
penulisan hukum ini agar dapat terlaksana dengan menelusuri pendapat-
pendapat ahli yang terdapat dalam kepustakaan yang ada.
3. Metode Analisis Data
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk tipe penelitian hukum
normatif. Pengolahan data pada umumnya merupakan kegiatan untuk
melakukan anallisa terhadap masalah-masalah yang akan dibahas di dalam
penulisan ini. Analisis data dilakukan dengan:
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah-
masalah yang diteliti
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan
penelitian
c. Menjelaskan hubungan berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada
d. Menarik kesimpulan secara deduktif 6
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini dibagi dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
5 Yanti Friskawati, Modul Kuliah: Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, 2006, hlm. 46 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 45
7
Bab pendahuluan ini berisikan tentang penjelasan-penjelasan mengenai latar
belakang masalah yang menyangkut tentang masalah hak asuh anak yang dari
hasil perceraian perkawinan orangtuanya yang berbeda kewarganegaraan
(perkawinan campuran).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab ini penulis akan menguraikan landasan teori mengenai
perkawinan secara umum, perkawinan campuran, perceraian, anak secara
umum, hak asuh anak dan hak-hak anak lainnya, serta tanggung jawab orang
tua setelah perceraian
BAB III PELIMPAHAN HAK ASUH ANAK DARI PERCERAIAN
PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI UNDANG-
UNDANG YANG BERLAKU DAN PRAKTIK NYATA
Di dalam bab ini penulis akan menguraikan jawaban-jawaban dari
permasalahan yang ingin dijawab beserta dengan kaitannya dengan teori-teori
yang mendukung untuk menjawab permasalahan dari berbagai macam sumber
kepustakaan dan data-data hukum lainnya, serta bagaimana penerapan hukum
terhadap permasalahan yang ada dalam penulisan ini.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan rangkuman dan saran yang diperoleh penulis dalam rangka
menjawab permasalahan tentang hak waris anak dari hasil perceraian
perkawinan campuran ditinjau dari perundang-undangan yang berlaku.
8
1. Pengertian Perkawinan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan
bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7
Terdapat beberapa pengertian lain dan definisi lain menyangkut
perkawinan yang diuraikan oleh beberapa ahli di Indonesia dan di dalam hukum
positif Indonesia, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menurut Prof. Wahyono Darmabrata, SH, MH:
Perkawinan adalah suatu perserikatan atau perkumpulan antara
seorang pria dengan seorang wanita yang diakui sah oleh peraturan
perundang-undangan Negara dan bertujuan untuk membentuk dan
membina kehidupan keluarga kekal dan abadi.8
2. Menurut Prof. R. Subekti, SH:
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama.9
3. Wiryono Prodjodikoro:
7 Komariah, Hukum Perdata, (Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002)8 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukkum Universitas Indonesia, 2004) hlm. 55
9 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1996), hlm. 23
10
Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk
dalam peraturan tersebut.10
2. Syarat Melakukan Perkawinan
Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 12 UU Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan). Didalam ketentuan
itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat
intern dan syarat ekstern11. Syarat intern lebih sering dikenal dengan syarat
materiil pelaksanaan perkawinan, sedangkan syarat ekstern adalah syarat formil
dalam pelaksanaan perkawinan.
Syarat intern (materiil) yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat ini dimuat dalam Pasal 6-Pasal 11 UU
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Syarat-syarat intern ini meliputi12:
1. Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan);
2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat
(2) UU Perkawinan);
10 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Cet. 6, (Bandung: Sumur Bandung, 1974), hlm. 7
11 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, (Airlangga University Press, 1988), hlm. 3912 Ibid.
11
3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada
dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati (Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan);
4. Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin, kecuali bagi mereka yang
agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 jo. Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 UU Perkawinan);
5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah).
Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90
hari dan karena kematian 130 hari (Pasal 10 dan 11 UU Perkawinan).
Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas
dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:
1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk;
2. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu disebutkan
juga nama istri atau suami yang terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan.
Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi
menjadi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil, dan (2) syarat formil.
12
Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan initi atau pokok dalam
melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu:
1) Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi
seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat itu meliputi:
a) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW);
b) Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata);
c) Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun
dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH Perdata);
d) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus
mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan
(Pasal 34 KUH Perdata);
e) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak ynag
belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai dengan pasal 49
KUH Perdata).
2) Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi:
a) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah
dank arena perkawinan;
13
b) Larangan kawin karena zina;
c) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian,
jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas
dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-
syarat yang dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah:
a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik
secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan,dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975).
b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat
yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman
tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan
untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut jika ada Undang-Undang
yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut
dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat
kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai.13
3. Perkawinan Campuran
13 Komariah, Hukum Perdata, Op. Cit.
14
Sebelum dikeluarkannya UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia telah ada 3
produk yang dikeluarkan oleh legislatif mengenai perkawinan campuran, yakni
sebagai berikut:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
b. Ordonoasi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S. 1933 Nomor 74
c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling og de gemengde Huwelijke
S.1898 Nomor 158)
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk ini setelah
dikeluarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, maka apa yang telah diatur
di dalam UU No. 1/1974 menghapuskan sebagian yang pernah diatur di dalam
produk legislatif lama tersebut yang telah mendahuluinya (hukum yang baru
mengesampingkan hukum yang lebih lama).14
Pasal 57 dalam UU Perkainan memberikan pengertian tentang apa yang
dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
4. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling
14 Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
15
membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Dilihat dari tujuan perkawinan, maka perkawinan itu :
a. Berlangsung seumur hidup
b. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan
terakhir.
c. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok,
yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah
seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan
rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka.
5. Pengertian Anak
Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak.Hal ini
adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri.Pengertian anak dalam
kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan system hukum atau
disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum.Kedudukan anak
dalam artian dimaksud meliputi pengelompokan kedalam subsistem sebagai
berikut:
F.5.1. Pengertian anak berdasarkan UUD 1945
16
Pengertian anak dalam UUD 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang
berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” Hal ini
mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang
harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dengan kata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat Terhadap pengertian anak menurut UUD 1945 ini, Irma Setyowati
Soemitri, SH menjabarkan sebagai berikut. “ketentuan UUD 1945, ditegaskan
pengaturanya dengan dikeluarkanya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang
harus memproleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah,
maupun sosial. Atau anak juga berahak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosial.Anak juga berhak atas pemelihraan dan
perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesuadah ia dilahirkan “.
F.5.2. Pengertian Anak Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974
UU No.1 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang
digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2)
yang memuat ketentuan syaratperkawinan bagi orang yang belum mencapai umur
21 tahun mendapati izin kedua orang tua.
Pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum usia untuk dapat kawin bagui pria
adalah 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enambelas) tahun.
17
Menurut Prof.H Hilman Hadikusuma.SH, menarik batas antara belum
dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermaslahkan. Hal ini
dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah
melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan
jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum kawin.
Dalam pasal 47 ayat (1) dikatan bahwa anak yang belumn mencapai umur
18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melakukan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.
Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernak kawin, tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.nDari pasal-pasal tersebut di atas maka
dapatlah disimpulkan bahwa anak dalam UU No1 tahun 1974 adalah mereka yang
belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan
dan 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki.
F.5.3. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata
Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek
keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak
mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: – Status belum dewasa (batas usia) sebagai
subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata.
Pasal 330 KUHPerdata me3mberikan pengertian anak adalah orang yang
belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum
18
sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh
perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai
kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama
dalam hal memberikan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak,
misalnya dalam masalah dala masalah pembagian harta warisan, sehingga anak
yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana
kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 2
KUHPerdata.
6. Status Anak dalam Perkawinan Campuran
F.6.1. Pembahasan Anak Sebagai Subjek Hukum
Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah:
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai
subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa
anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada
kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.15 Manusia 15 Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu Pengantar, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm. 21
19
sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu
lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu
lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan Pasal
1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum
dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan
demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa
diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak
yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya
memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi
hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya
mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena
dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua
yurisdiksi hukum.
F.6.2. Pengaturan Mengenai Anak dalam Perkawinan Campuran
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak
dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang
tuanya sebagai persoalan pendahuluan16,apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan
16 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995), hlm. 86
20
tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya
memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
17Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli)
sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius
sanguinis).18 Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai
kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal
ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan
kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak
maritalnya.19 Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak
dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,
Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.20
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan
kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam
keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai
kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk
pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU
Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.21 Kecondongan pada sistem hukum ayah
demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga,
17 Sudargo, op.cit., hlm. 318 Ibid., hlm. 8019 Ibid.20 Ibid, hlm. 8121 Ibid.
21
namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan
dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-
anak tersebut masih dibawah umur.
F.6.3. Status Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan Campuran
Menurut UU No. 62 Tahun 1958
Status kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran menurut UU
No.62 Tahun 1958 mengatur asas kewarganegaraan tunggal. Indonesia menganut
asas kewarganegaraan tunggal, dimana status kewarganegaraan anak mengikuti
ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai
hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan
berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di
Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya karena ayahnya
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa
kewarganegaraan.”
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
1) Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI).
22
Berdasarkan Pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga
negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan
kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan
untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia
menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh
kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan
bagi WNA biasa.22 Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki
laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu
dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll)
maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.23
2) Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga
Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga
berdasarkan Pasal 7 UU No.62 Tahun 1958, apabila seorang perempuan WNA
menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi
pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya.
Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu
satu tahun setelah perkawinan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk
menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk
dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan
dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan
22 Ibid, hlm. 9123 Pasal 5 UU No. 62 Tahun 1958
23
memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka
ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi
tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry
permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor. Bila suami
meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam
waktu satu tahun.24 Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan
sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai
tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan
hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
F.6.4. Status Kewarganegaraan Anak dalam Perkawinan Campuran
Menurut UU No. 12 Tahun 2006
Dari segi hukum, lahirnya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia dikarenakan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi perempuan Warga Negara Indonesia yang menikah
dengan pria Warga Negara Asing agar ia tidak otomatis kehilangan haknya
sebagai Warga Negara Indonesia melainkan ia diberi hak opsi untuk
mempertahankan status kewarganegaraannya sebagai Warga Negara Indonesia
atau mengikuti kewarganegaraan suaminya yang Warga Negara Asing, dan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum berupa status kewarganegaraan Republik
Indonesia bagi anak hasil perkawinan campur dari seorang ibu Warga Negara
24 Pasal 21 UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
24
Indonesia dan seorang ayah Warga Negara Asing sampai usia 18 tahun atau sudah
kawin dan setelah itu ia diwajibkan memilih salah satu status
kewarganegaraannya.
Dari segi sosial, latar belakang pengaturan status kewarganegaraan ganda
terbatas bagi anak hasil perkawinan campur dalam Undang-Undang No.12 Tahun
2006 adalah perlakuan diskriminasi terhadap anak hasil perkawinan campur yang
sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia dan seorang ayah Warga Negara
Asing, anak yang lahir di luar perkawinan campur yang sah dari seorang ibu
Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
sebagai anaknya dan anak dari ibu Warga Negara Indonesia yang lahir di luar
perkawinan yang sah dengan seorang ayah Warga Negara Asing, yaitu tidak
adanya jaminan kepastian hukum sebagai Warga Negara Indonesia. Status
kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak hasil perkawinan campur diatur dalam:
Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2007
tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh
Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 59 dan Pasal 60; dan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.80-HL.04.01 Tahun
2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas
Keimigrasian Sebagai Warga Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan
Ganda.
25
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun
2006 adalah segala ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Hak atas
kewarganegaraan sangat penting artinya karena merupakan bentuk pengakuan
asasi suatu negara terhadap warga negaranya. Adanya status kewarganegaraan ini
akan memberikan kedudukan khusus bagi seorang Warga Negara terhadap
negaranya di mana mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik
dengan negaranya. Indonesia telah memberikan perlindungan hak anak atas
kewarganegaraan yang dicantumkan dalam Pasal 5 Undang- Undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana disebutkan bahwa setiap anak
berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Dengan adanya hak atas kewarganegaraan anak maka Negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi anak sebagai Warga Negaranya dan juga
berkewajiban untuk menjamin pendidikan dan perlindungan hak-hak anak lainnya
Semula, untuk menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas 2 asas,
yaitu :
a. Asas Tempat Kelahiran (ius Soli), yaitu asas yang menetapkan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Asas ini
dianut oleh negara-negara migrasi seperti USA, Australia, dan Kanada.
Untuk sementara waktu asas ius soli menguntungkan, yaitu dengan
lahirnya anak-anak dari para imigran di negara tersebut maka putuslah
hubungan dengan negara asal.
26
b. Asas Keturunan (Ius Sanguinis), yaitu asas yang menetapkan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya
(keturunannya) tanpa mengindahkan di mana dilahirkan. Keuntungan dari
asas ius sanguinis adalah :
Akan memperkecil jumlah orang keturunan asing sebagai warga
negara.
Tidak akan memutuskan hubungan antara negara dengan warga
negara yang lain.
Semakin menumbuhkan semangat nasionalisme.
Namun sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 lebih
memperhatikan asas-asas kewarganegaraan yang bersifat umum atau universal,
yaitu :
a. Asas ius sanguinis (law of the blood), adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.
b. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas, adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang, berdasarkan Negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang.
c. Asas kewarganegaraan tunggal, adalah asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang.
27
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang.
7. Pengertian Perceraian
Pengertian Perceraian adalah cerai hidup atau perpisahan hidup antara
pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi
peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah
dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.25 Perceraian merupakan
terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk
saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai
suami istri.
Jika ditelaah melalui segi hukumnya, perceraian terjadi apabila kedua
belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan
dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal
39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa
perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah
ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya
perkawinan. Putusnya perkawinan di UU Perkawinan dijelaskan26, yaitu:
25 Erna Karim, Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi. Dalam Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 100-101.
26 Pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
28
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusnya pengadilan
Selain itu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan juga
mengapa bubarnya perkawinan dari pasangan suami isteri, yakni27:
1. Kematian
2. Tidak hadirnya si suami atau isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh
perkawinan baru isteri atau suaminya
3. Keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran Catatan
Sipil
4. Perceraian
Pada dasarnya setiap perkawinan diharapkan untuk berlangsung seumur
hidup, namun demikian putusnya perkawinan karena perceraian merupakan jalan
terakhir, dikarenakan tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan jika memang
menemui ketidakcocokan dalam rumah tangga yang sudah tidak dapat
diperdamaikan.28
Perceraian selain mempengaruhi hubungan antara suami dan isteri,
mempengaruhi juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dari dalam perkawinan
27 Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata28 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976), hlm. 16
29
tersebut. Menurut pasal 41 UU Perkawinan, dijelasan akibat-akibat yang timbul
dari perceraian terhadap anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut, yakni:
1. Baik ibu ataupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
ananya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak maka pengadilan yang akan
memutuskannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajibannya maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak.
3. Pengadilan dapat mewajibnkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selain daripada hal-hal yang telah disebutkan diatas, maka dapatlah
disimpulkan juga bahwa perceraian juga dapat menimbulkan akibat-akibat lain
pada anak, yakni permasalahan pewarisan yang seperti akan dibahas di dalam
skripsi.
8. Pengertian Waris dan Hak Waris
F.8.1. Pengertian Waris
Dalam kehidupan setiap manusia, pada umumnya mengalami tiga
peristiwa penting,yaitu: kelahiran,perkawinan,dan kematian.
30
Peristiwa kelahiran seseorang menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti
timbulnya hubungan hukum dengan orang tuanya,saudara, dan dengan keluarga
pada umumnya,peristiwa perkawinan menimbulka akibat-akibat hukum yang
kemudian di atur dalam hukum perkawinan.misalnya menimbulkan hukum brupa
hak dan kewajiban antara suami isteri,peristiwa kematian juga merupakan
peristiwa yang pentig, sebab kematian juga akan menimbulkan hukum kepada
orang lain,terutama kepada keluarga, dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai
hubungan dengan dengan orang tersebut semasa hidupnya,dikala terjadi kematian
terhadap seseorang maka akan timbul persoalan bagi mana yang terjadi dan harus
dilakukukan terhadap sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang mati tersebut.
Jadi hukum waris adalah: keseluruhan peraturan dengan mana pembuat
undang-undang mengatur akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap
harta kekayaan,perpindahan kepada ahli waris dan hubungannya dengan pihak
ketiga.29
Sedangkan A.Pitlo mendefinisikan hukum waris sebagai berikut:”hukum
waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan
karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang di
tinggalkan oleh si mayit dan akibat dari perpindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya,baik dalam kubungan antara mereka dengan mereka, ataupun
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.30
29 Dr. H. Suparman Usman, Ikshtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata B.W, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1990), hlm. 48
30 Ibid, hlm. 48-49
31
Jadi mawaris berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal
mengenai hubungan-hubungan hukum harta kekayaan yang d tinggalkan oleh
yang meninggal kemudian dipindah tangnkan kepada para ahli waris si mayit.
F.8.2. Sebab Terjadinya Waris
Menurut kitab undang-undang hukum perdata KUH perdata B.W,sebab
seseorang menerima warisan karena adanya hubungan nashab/kekerabatan dan
karena perkawinan.31
Dalam KUH perdata B.W pasal 852 menyebutkan:”anak-anak atau
sekalian keturunan mreka ,biar di lahirkan dari lain-lain perkawinan
sekalipun,mewarisi dari kedua orang tua, kakek,nenek,atau semua keluarga
sedarahmereka selanjutnya dalam garis lurus keatas,dengan tiada perbedaan
antara lelaki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih
dahulu,mereka mewarisi kepala demi kepala , jika dengan si meninggal
mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai
hak karena diri sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang,jika sekalian
mereka atau sekadar sebagian merekabertindak sebagai pengganti”.32
Disamping itu juga BW mengenal adanya ahli waris karena penunjukan
(erfstelling),yang di kelompokan kepada cara pewarisan karena adanya wasiat
31 Ibid, hlm. 3932 Prof. R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT
Paradnya Paramita, 2006), hlm. 225
32
(testamentair erfrecht) selain pewarisan karena undang-undang (wettelijk
erfrecht).33
F.8.3. Unsur dan Syarat Terjadinya Pewarisan
1. Unsur Terjadinya Pewarisan
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan adanya unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya orang yang meninggal dunia (erflater) Orang yang meninggal
dunia yaitu orang yang meninggalkan harta warisan dan disebut: pewaris.
2. Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam) orang yang masih hidup
yaitu orang yang menurut undang-undang atau testamen berhak
mendapatkan warisandari orang yang meninggal dunia.mereka di sebut:
Ahli Waris.
3. Adanya benda yang di tinggalkan(erftenis,nalatenschap) benda yang di
tinggalkan yaitu sesuatu yang di tinggalkan oleh pewaris pada saat ia
meninggal dunia,yang disebut harta warisan, ujud harta warisan inibisa
berbentik Activa(piutang,tagihan) atau Pasiva (hutang).34
2. Syarat Terjadinya Pewarisan
1. Syarat yang berhubungan dengan pewaris
33 Drs. H. Suparman Usman, Op. Cit., hlm. 3834 Ibid, hlm. 53
33
Untuk terjadi pewarisan,maka si pewaris harus sudah meninggal
dunia,sebagai mana di sebutkan dalam pasal 830, yang berbunyi ”pewarisan
hanya berlangsung karena kematian”. Dan dalam pasal 831 di jelaskan
bahwa”kalo ada dua orang atau beberapa orang yang meninggal dunia bersama-
sama,pada detik yang sama.sehingga sulit ntuk di ketahui siapakah yang
meninggal terlebih dahulu, padahal di antara mereka bisa terjadi saling mewarisi
(baik karena pewarisan menururut undang-undang ataupun wasiat), maka di
antara mereka tidak terjadi pewarisan. peristiwa kematian ini dapat di buktikan
dengan pancaindra sendiri ataupun keputusan setatus kematian dari pengadilan.
2. Syarat-syarat yang berhubungan dengan ahli waris
Orang-orang yang berhak terhadap harta peninggalan,harus masih hidup
artinya belum meninggal dunia pada saat kematian si pewaris.35 Hidupnya ahli
waris ini dapat di bedakan menjadi 2:
a) Hidupnya ahli waris karena nyata adanya,artinya keadaanya dapat di
buktikan oleh pancaindera, ada orangnya, di ketahui kelurganya, diketahui
tempat kediamannya dsb.
b) Ahli waris yang keberadaannya di tetapkan secara hukum,artinya ahli
waris ini keberadaannya belum di ketahui seperti anak dalam
kandungan,menurut hukum yang berlaku di indonesia yaitu KUHperdata
(B.W) menganggap bahwa anak yang masih dalam kandungan itu
dianggap hidup sama dengan para ahli waris yang lainnya hal ini di
35 Drs. H. Suparman Usman, Op. Cit., hlm. 56
34
terangkan dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi ”anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan ,dianggap sebagai telah dilahirkan, bila
mana juga kepentingan si anak menghendakinya mati suatu dilahirkannya,
dianggaplah ia tidak pernah ada.
Selain syarat-syarat matinya pewarisbdan hidupnya ahli waris pada saat
matinya si pewaris, juga di syaratkan bahwa di antara pewaris dan ahli waris
tersebut tidak terdapat sebab-sebab yang menurut undang-undangahli waris itu
tidak pantas atau tidak patut atau terlarang(onwardig) untuk menerima warisan
seperti membunuh,memaksa si pewaris.36
F.8.4. Prinsip Hukum Waris dalam KUH Perdata
Pasal yang mengatur masalah waris, terdapat dalam buku ke II Bab XII
s/d Bab XVIII dari pasal 830 s.d. pasal 1130.
Cara mendapatkan warisan menurut KUH perdata (BW) adalah:
a) Menjadi ahli waris (menerima warisan) karena ketentuan undang-
undang.cara ini di sebut”Ab Intestato”
b) Menjadi ahli waris (menerima warisan) karena di tunjuk dalam surat
wasiat. Cara ini di sebut “testamenter”.
a. Ahli waris menurut KUH perdata (BW)
Mereka yang di tunjuk oleh-undang-undang sebagai ahli waris eseorang,
dalam pasal 832 BW di sebutkan bahwa: yang berhak untuk menjaadi ahli waris 36 Ibid. hlm. 57
35
adalah para keluarga sedarah,baik sah maupun luar kawin dan si suami atau isteri
yang hidup terlama. jadi ahli waris dalam kelompok ini adalah:”anak,cucu dan
keturunannya,bapak,ibu, nenek dan seterusnya ke atas,paman,saudara, suami atau
isteri.
b. Ahli waris karena di tunjuk dalam surat wasiat
Ahli waris ini mendapat hak waris setelah si pewaris membuat surat
wasiat kepada seseorang yang di tunjuknya pada waktu masih hidup,jumlah yang
di berikan bagi ahli waris menurut wasiat ini di batasi dengan jumlah bagian
paling kecil yang berhak di terima oleh mereka yang termasuk ahli waris menurut
undang-undang (legitime portie).37
c. Golongan ahli waris menurut KUH perdata (BW)
Ahli waris menurut undang-undang ini digolongkan menjadi beberapa
golongan.dengan pengertian apabila golongan pertama tidak ada maka golongan
kedua yang berhak menerima sedangkan golongan yang lainnya tidak berhak dan
begitu seterusnya.
Pada masalah ini prof. subekti membagi tiga golongan ahli waris
diantaranya adalah:
a. Ahli waris golongan ke-1
37 Prof. H. A. Wahab Afif, M.A, Fiqh Mawaris, (Serang: Yayasan Ulumul Quran, 1994), hlm. 48.
36
Anak-anak baik yang sah maupun tidak sah,beserta keturunannya dan
seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
Suami atau istei.
b. Ahli waris golongan ke-2
Orang tua (ayah dan ibu)
Saudara-saudara(sekandung atau sebapak atau seibu saja,saudara sebapak
atau seibu bersama dengan saudara sekandung,mempunyai cara
pembagian tersendiri.
c. Ahli waris golongan ke-3
Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas,baik dari pihak ibu maupun
dari pihak ayah. yaitu kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibu.
Harta warisan di bagi dua (kloving) terlebih dahulu, separoh di berikan
kepada pancar ayah dan separoh di berikan kepada pancar ibu.38
d. Bagian masing-masing ahli waris
1. Suami/isteri mendapat bagian yang sama dengan seorang anak hal ini di atur
dalam pasal 852a KUH perdata,janda(baik laki atupun perempuan),asalnya
menurut pasal 832 ayat 1 mendapat warisan apabila tidak ada sanak keluarga
dari pewaris, jadi BW dahulu mengategorikan bahwa janda bukan termasuk
ahli waris.ketentuan janda sebagaimana disebutkan dalam pasal 852a tersebut
38 Ibid, hlm. 48
37
di atas di indonesia baru di tambahkan dalam BW pada tahun 1935,yang
akhirnya janda ini tetap menerima warisan seperempat bagian dari seluruh
harta kekayaan apabila ada anak keturunan pewaris , dan separoh untuk janda
apabila tida ada keturunan pewaris.
2. Bagian anak sama jumlahnya,baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
a. Apabila terjadi penggantian ahli waris,maka bagian orang tua yang
sudah meninggal dunia ,di bagi rata oleh anak-anaknya.
3. Orang tua sama kedudukannya dengan saudara(golongan II),dan mereka
menerima bagian yang sama .dengan ketentuan bahwa oang tua, masing-
masing paling sedikit menerima seperempat bagian dari harta warisan.
4. Apabila terdapat saudara sebapak dan saudara seibu maka harta warisan di
bagi dua, dan di bagi menurut pembagian dari parohan tersebut.
5. Bagi anak di luarkawin yang di sahkan,kalau mewarisi bersama-sama dengan
anak yang sah, maka bagiannya akan mendapat 1/3 dari anak sah,kalo
mewarisi bersama orang tua,kakek,nenek,saudara atau keturunannya, maka
bagian mereka mendapa ½ dari bagian anak sah,kalau mereka mewarisi
bersama keluarga jauh,maka bagian mereka ¾ dari bagian anak yang sah.
6. Dalam hal si pewaris hanya meninggalkan kakek/nenek dari pihak ayah dan
ibu,maka warisan di bagi dua. masing-masing separoh untuk golongan
kakek/nenek dari pihak ayah dan untuk kakek/nenek dari pihak ibu.39
39 Ibid, hlm. 49-51
38
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian kualitatif. “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
berkaitan dengan analisis dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis
sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu sistematis; sistematis adalah bersadarkan sistim”. Berkenaan dengan hal
tersebut seluruh bahan hukum yang diteliti, diperoleh dengan metode yuridis
normatif, dimana penelitian yuridis normatif ini membahas studi dokumen baik
itu kajian atas peraturan, undang-undang, termasuk kajian terhadap norma dan
asas yang ada di dalam peraturan tersebut.40
Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan dalam adalah
dengan menggunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dari berbagai buku,
jurnal, skripsi, artikel maupun peraturan perundang-undangan khususnya dengan
menggunakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-
Undang No. 62 Tahun 1958, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Pasal 16AB (Algemeene Bepalingen), Pasal
17AB, dan Pasal 18AB, karangan ilmiah, hasil yang diperoleh selama
perkuliahan, maupun aturan-aturan lain yang berkaitan erat dengan penulisan
hukum ini.40 Yanti Friskawati, Sebuah Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Diktat Fakultas Hukum UNIKA Atma Jaya, 2010, hlm. 8
39
H. Daftar Pustaka
1. Darmabrata, Wahyono. 2004. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2. Gautama, Sudargo. 1995. Hukum Perdata Internasional Indonesia B, Jilid III
Bagian I Buku ke-7. Bandung: Penerbit Alumni
3. Komariah. 2002. Hukum Perdata. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang
40
4. Mahdi, Sri Susilowati., Surini Ahlan Sjarif., Akhmad Budi Cahyono. 2005.
Hukum Perdata Suatu Pengantar. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta
5. Prodjodikoro, R. Wirjono. 1974. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung:
Sumur Bandung
6. Ramulyo, Mohd. Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisa Undang-
undang Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
7. Saleh, K. Wantjik. 1976. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Ghalia Indonesia
8. Soekanto, Soerjono., Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Press
9. Subekti. 1996. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa
10. Subekti. 2006. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Paradnya
Paramita
11. Usman, H. Suparman. 1990. Ikhtisar Hukum Waris Menurut KUH Perdata B.W.
Jakarta: Darul Ulum Press
12. Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
13. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
14. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
15. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
41