Proposal Skripsi (Mphi)

Embed Size (px)

Citation preview

PROPOSAL PENELITIAN

PANDANGAN KIAI PESANTREN KABUPATEN JEMBER TENTANG NUSYUZ BERPERSPEKTIF GENDERDiajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Metodologi Penelitian Hukum Islam Yang Dibimbing Oleh Bapak Muhaimin, M.HI

Disusun Oleh: Anwar Nuris NIM:083091011

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER JURUSAN SYARIAH PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH JUNI, 2011 1

A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang paling kecil. Ia merupakan salah satu komponen utama bagi terbentuknya tatanan masyarakat yang lebih besar. Keharmonisan dalam sebuah rumah tangga akan menunjang kebaikan, keamanan, dan sekaligus kesejahteraan seluruh

masyarakat. Sebaliknya apabila rumah tangga berantakan maka akan membawa dampak kerusakan bagi masyarakat. Lebih lanjut, kerusakan tersebut akan mempunyai pengaruh bagi timbulnya kegoncangan dan hilangnya reputasi masyarakat.1 Keharmonisan rumah tangga tentunya merupakan dambaan setiap pasangan suami-isteri, yang mana mereka dapat menumpahkan kasih sayang dan mendapatkan kebahagiaan serta menemukan ketenangan jiwa sebagaimana tujuan perkawinan dalam Islam yang disebutkan dalam al-Quran surat Ar-Rum (30: 21). Artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang .2

Namun, pada saat ini, banyak pasangan suami-isteri yang menemukan berbagai macam masalah dalam rumah tangga yang mereka bina. Lebih dari itu, realitas yang terjadi di lapangan banyak pasangan suami-isteri yang mengalami1

Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Cetakan Kedua (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 20. 2 Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahan (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQuran, 1980), hlm. 426.

2

konflik dan pertentangan di dalamnya. Realitas ini semakin diperkuat oleh sebuah pepatah yang menyatakan, pertengkaran dalam rumah tangga adalah bumbu yang akan menambah harmonisnya hubungan rumah tangga tersebut. Hal ini karena, pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga adalah hal yang wajar dan sangat manusiawi. Akan tetapi, bukan berarti kita menerima begitu saja dan menganggap sepele permasalahan ini. Selama pertengkaran itu tidak merongrong keutuhan sebuah rumah tangga hal-hal seperti itu adalah wajar. Seringkali dalam rumah tangga --karena perlakuan suami yang bertindak kasar, sewenang-wenang, dan tidak bertanggung jawab terhadap isterinya terjadi suatu kondisi yang mengantarkan sikap isteri-isteri tidak mengacuhkan suaminya lagi. Yaitu dengan tidak melayani dan tidak memenuhi hak-haknya atau menyeleweng dari aturan-aturan suami-isteri. Inilah yang kemudian lebih dikenal dengan perbuatan nusyuz. Akan tetapi, dalam nusyuz ini lebih dominan ditujukan pada pihak isteri (perempuan), seolah-olah nusyuz hanya dilakukan oleh isteri, sebagai akibat posisi laki-laki dalam hubungan keluarga lebih dominan dibanding dengan perempuan (paternalistik).3 Selama ini kajian-kajian yang dilakukan terkesan bias gender. Perempuan dalam wacana hukum Islam acapkali terpinggirkan. Padahal al-Quran tidak pernah membedakan derajat laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan hal ini Asghar Ali Engineer berkata sebagai berikut: Al-Quran memang berbicara tentang kaum laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas kaum perempuan. Ini sebagaimana ditunjukkan di atas, harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat.3

Ollenburger, J.C. dan H.A. Moore, A Sociology of women, Penj, Budi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). hlm. 31.

3

Struktur sosial pada zaman nabi tidaklah benar-benar mengakui keseteraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan, al-Quran pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali.4 Ketiadaan tempat bagi perempuan Islam ini hampir menyeluruh di segala sektor kehidupan. Maka tidak dapat dimungkiri selama rentan waktu yang sangat lama tidak ada satu pun ahli tafsir atau pun ahli fiqih dari perempuan. Sebagai implikasi dari hal ini, produk-produk hukum Islam yang dihasilkan dari hasil ijtihad tidak memihak kepada perempuan. Baik kajian fiqih ataupun kajian tafsir lebih bersifat maskulin. Termasuk pula dalam bagian ini adalah konsepsi nusyuz. Di dalam Islam sendiri telah diatur tahapan-tahapan ketika seorang isteri dianggap nusyuz. Sebagaimana termaktub di dalam al-Quran surat An-Nisa (4:34) : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkasn sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,4

Asghar Ali Enginner, Hak-Hak Perempuan dalam Islam,Ter: Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: LKiS, 1996), hlm. 61.

4

Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar (an-Nisa: 34)5.

Dari ayat di atas, dapat diklasifikasikan tahapan yang seharusnya dilakukan seorang suami ketika seorang isteri dianggap nusyuz. Pertama, diberi nasehat. Kedua, sang suami melakukan pisah ranjang. Ketiga, suami diijinkan memukul isteri. Al-Quran sendiri juga menyebutkan bagaimana nusyuznya seorang suami. Hal itu digambarkan di dalam surat an-Nisa ayat (4:128) yang berbunyi : Dan jika seorang wanita (istri) khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesunguhnya Allah adalah maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (An-Nisa: 128).

Nusyuz, biasanya selalu berkaitan dengan kelalaian atau ketidak patuhan seorang istri terhadap suaminya. Dan biasanya itu merupakan bias dari merasa berkuasanya (Qowwamun) seorang suami, seakan-akan kedudukan mereka (suami) lebih tinggi. Padahal, baik di dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI (kompilasi hukum Islam) masalah hak dan kedudukan suami dengan isteri- diseimbangkan. Di dalam UU No.1 tahun 1974 hak dan5

Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahan, hlm. 142.

5

kedudukan diatur di dalam pasal 31 (1) yang berbunyi hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat6. Di dalam KHI hak dan kedudukan istri juga diatur di dalam pasal 79 (2) yang berbunyi hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan antara hak suami ataupun isteri di dalam berkeluarga. Tampaknya UU No.1 Tahun 1974 atapun KHI menginginkan keharmonisan sebuah keluarga, sehingga konsep nusyuz yang dipandang sebagai kekerasan dalam rumah tangga bisa diminimalisir. Begitu juga dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT (penghapusan kekerasan dalam rumah tangga). Undang-undang ini bukan hanya ingin meminimalisir adanya kekerasan dalam rumah tangga, tetapi ingin menghapus kekerasan itu sendiri. Undang-undang ini lebih spesifik berbicara tentang kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam Bab I ketentuan umum pasal I disebutkan bahwa: 1. kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7

6

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1974 tentang perkawinan beserta penjelasannya, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004). hlm. 19. 7 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto : PSG (pusat studi gender), 2006). hlm. 82.

6

Pada Bab III Pasal 5 disebutkan bahwasanya setiap orang dilarang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara :8 a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual ; atau d. Penelantaran rumah tangga Sedangkan dalam Pasal 6, 7, 8, 9 merupakan penjabaran atau penjelasan dari masing-masing klausul yang ada di atas. Dalam penelitian ini yang menjadi pokok bahasan adalah bagaimanakah pandangan Kiai pesantren di Kabupaten Jember tentang nusyuz? Apakah nusyuz itu hanya dilakukan oleh perempuan an sich? dan bagaimanakah pandangan Kiai pesantren di kabupaten Jember terhadap UU No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT (penghapusan kekerasan dalam rumah tangga). Peneliti di sini mempunyai anggapan dasar bahwasanya peran seorang Kiai pesantren dimanapun terlebih di Kabupaten Jember, bukan hanya sebagai pendidik pondok pesantren an sich. Lebih dari itu, Kiai juga menjadi tumpuan keluh kesah masyarakat ketika terjadi pergolakan di dalamnya, termasuk permasalahan di dalam rumah tangga. Kiai lebih mereka percayai dibanding dengan Badan Penasehat Pembina Pelestarian Perkawinan (BP4). Padahal, BP4 merupakan salah satu lembaga yang dipercaya oleh pemerintah untuk dapat mengatasi dan memberikan solusi terhadap permasalahan keluarga. Stigma masyarakat sudah terkonstruk bahwa pemikiran, perkataan, dan nasehat Kiai bisa8

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta: Trinity, 2007), hlm. 4.

7

meluruskan berbagai permasalahan, tidak terkecuali tentang permasalahan keluarga, yaitu tentang nusyuz. Kiai Sahal Mahfud berpendapat bahwasanya seorang Kiai merupakan pemimpin umat dan juga menjadi sumber rujukan umat dalam memberikan legitimasi setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh masyarakat.9 Data pemerintah kabupaten (Pemkab) Jember menunjukan 60 persen pondok pesantren yang ada di Jember bercorak pesantren Tradisisonal, 40 persen pesantren Modern10. Pesantren Tradisional yang dimaksud di sini adalah pesantren yang pendidikan di dalamnya adalah pendidikan non formal. Artinya, pendidikan yang ada di dalam pesantren hanya terbatas kepada Madrasah Diniyah saja. Sedangkan pesantren modern adalah pesantren yang di dalamnya terdapat lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat formal seperti SD/MI, SLTP/MTs, SMA/MA. Asumsi awal peneliti beranggapan mayoritas pemahaman tentang hukum Islam para Kiai pesantren di Kabupaten Jember masih berkutat seputar fiqh dan tafsir klasik. Hal itu semua dapat terbaca melalui tausiah-tausiah di radio-radio dan kajian-kajian yang diajarkan di pesantren.11 Padahal sudah banyak sekali kajian yang bernuansa fiqh yang bersifat modern12. Seiring dengan perkembangan zaman, apakah model pemahaman Kiai pesantren di kabupaten Jember tersebut masih relevan?. Jika masih berkutat pada pemikiran seperti itu, terlebih pada persoalan nusyuz, maka peneliti menganggap9

Maman Imanulhaq, Pesantren dan Budaya Lokal, dalam Jurnal Kalimah: Jalinan Kreatif Agama dan Budaya, Edisi I, Tahun 2008, Edisi I, hlm. 28. 10 Http://www. Pemkab Jember. co. id, akses tanggal 18 Juni 2009. 11 Seperti Fath al-Qorib yang dikarang oleh Imam As SyujaI, al-Uqud al-Lujain fi al-Huquk az-Zawjain yang dikarang oleh Imam an-Nawawi al-Banteni, dll. 12 Seperti at-Tahrir al-Marah yang ditulis oleh Qosim Amin, al-Marah fil alQuran buah karya Abbas Mahmud Al Aqod.

8

perlu adanya dekonstruksi pemahaman tentang fiqh dan tafsir terhadap permasalahan nusyuz itu sendiri. Hal ini karena, sifat fiqh sendiri adalah shairurah (berkembang), tidak qoinunah (terbakukan). Lebih dari itu, kaidah ushul mengatakan bahwa berubahnya hukum disebabkan oleh perubahan waktu, tempat dan keadaan.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat beberapa permasalahan, yaitu : 1. Bagaimanakah pandangan Kiai pesantren di Kabupaten Jember tentang nusyuz ?. 2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi persepsi Kiai pesantren di Kabupaten Jember tentang nusyuz ?. dirumuskan

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memaparkan pandangan para kiai pesantren di Kabupaten Jember tentang nusyuz. 2. Mengetahui Persepsi yang melatarbelakagi pandangan para kyai pesantern di Kabupaten Jember tentang nusyuz. Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran (refresh) akademis terhadap paham-paham yang masih relatif fundamental.

9

D. Telaah Pustaka Ketika melakukan penelusuran terhadap berbagai tulisan yang

berhubungan dengan nusyuz, maka ditemukan beberapa karya. Akan tetapi, karya yang dimaksud berupa thesis, antara lain: Nusyuz di dalam al-Quran dan Penggunaannya Sebagai Alasan Perceraian, sebuah tesis yang ditulis oleh Ali Trigiyatno. Di dalam tesis ini, peneliti lebih mentitikberatkan pada kajian tafsirnya dengan analisis gender. Menurut peneliti konsep-konsep penelitian yang dilakukan terdahulu lebih menggunakan metode analisa normatif-doktrinal sehingga hasil yang didapatkan relatif hitam-putih atau lebih kepada kesimpulan yang intinya adalah bias gender. Peneliti di sini mencoba untuk menghadirkan nuansa yang berbeda, yaitu nuansa pemahaman yang lebih bersifat kesetaraan dan keadilan gender. Penelitian tentang nusyuz juga telah dilakukan oleh Shaeh ibn Ganim As Sadlani yang berjudul Nusyuz Dawabituh, Halatuh, asbabuh, Toriqu Wiqoya anh, Wasail lajuh Fi Daul al-Quran Wa as-sunnah.13 Di dalam buku ini, penulis membahas tentang nusyuz dengan sangat rinci dan mudah untuk bisa dipahami. Mulai dari pengertian nusyuz, macam-macam nusyuz, penyebab dan cara penanggulangnnya sampai pada pembahasan terakhir yang membahas tentang terjadinya perceraian yang diakibatkan oleh nusyuz. Dan buku ini tidak terlepas dari rujukan-rujukan terhadap kitab-kitab fiqih klasik.

E. Kerangka Teori

13

Buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh H.A. Souqi al Qodri dengan judul: JIka Suami Istri Berselisih, Bagaimana Mengatasinya?. Cet I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998).

10

Karena penelitian ini berusaha mengungkap pemahaman kiai pesantren di Kabupaten Jember, yang dalam hal ini adalah persepsi tentang nusyuz dan faktor yang melatarbelakanginya, maka teori yang akan digunakan adalah teori Bayani, Qiyasi, dan Istislahi. Teori ini digagas oleh Maruf ad-Dawalib di dalam kitabnya al-Madkhal ila Ilmil Usul al-Fiqh14. Teori ini sebenarnya menjelaskan tentang al-Aqsam at-Tariq al-Ijtihad (pembagian metodemetode ijtihad), namun peneliti menggunakan teori ini untuk mengetahui metode istinbath yang digunakan oleh Kiai pesantren di Kabupaten Jember dalam kaitannya dengan persepsi mereka tentang nusyuz berperspektif gender karena dirasa cocok. Kecocokan di sini dilandaskan kepada sebuah pemahaman bahwa istinbath dengan ijtihad mempunyai sebuah kemiripan dalam hal cara penggalian hukumnya. Kapasitas para Kiai pesantren sebagai seorang muqallid merupakan alasan yang lain untuk digunakannya metode istinbath di atas. 1. Pola Bayani. Dalam pola bayani di dalamnya terdapat pembahasan tentang lafadz musytarak (ambigu), khas} mubayyin (khusus yang

menerangkan), amm mubayyin (umum yang menerangkan), qati (artinya tidak dapat berubah), zanni (artinya masih mungkin untuk bisa dikembangkan lagi), sigat amr (perintah), sigat nahi (larangan) 2. Pola Talili (penentuan illat). Pola ini membahas tentang penalaran yang menjadikan illat (keadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum ) sebagai titik tolaknya. Dengan pola ini akan ditemukan cara-cara menemukan illat di dalamMuhammad Maruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila Ilmil Usul al-Fiqh, (Damaskus : adDar al-Ilm li al malabin, 1361 H), hlm. 42214

11

qiyas dan istihsan serta penggunaan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama). Apakah illat itu ditemukan dengan jalan dalil naqli, illat yang diperoleh dengan ijma, atau illat yang diperoleh dengan jalan istimbat (pemahaman kepada nas). 3. Pola Istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasarkan nas umum). Dalam pola ini, ayat-ayat yang bersifat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsip (umum) yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Dan prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan yaitu15, daruriyat (kebutuhan esesnsial),

hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Penelitian di sini tidak hanya ingin mengetahui pemahaman para kiai di Kabupaten Jember tentang nusyuz. Tapi juga akan mencoba untuk membedah metode istinbath kiai pesantren di Kabupaten Jember dengan

mengklasifikasikan corak penafsiran mereka ketika menafsirkan ayat nusyuz, dan juga akan mengetahui respon kiai pesantren terhadap UU. PKDRT (Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga).

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari apa yang diteliti maka, penelitian ini akan menggunakan metode sebagai berikut: a. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan field research (penelitian lapangan). Tujuan dari penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan pendapat15

Al Yasa Abubakar, Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial, dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Editor) Fiqh Indonesia dalam Tantangan (Surakarta : FIA-UMS, 1991). hlm. 15.

12

pendapat yang dikeluarkan oleh Kiai di Kabupaten Jember terkait permasalahan keluarga yang dalam hal ini adalah nusyuz. Penelitian ini bersifat kualitatif. Artinya, dalam penelitian ini lebih menitikberatkan terhadap menerangkan dalam bentuk uraian, bukan angka-angka, dan penjelasan yang menggambarkan suatu keadaan.16 Penelitian ini akan memaparkan realitas/data yang digali dari pemahaman Kiai di Kabupaten Jember. b. Pendekatan Karena penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana persepsi Kiai tentang nusyuz, maka pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ushul fiqh. Dasar tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui metode istinbath dan corak penafsiran yang digunakan oleh Kiai di Kabupaten Jember dalam memahami permasalahan nusyuz yang kemudian menjadi keyakinan dan diilhami dalam tindakan praktis.17 c. Teknik Pengumpulan Data Teknik observasi dan partisipasi merupakan sebuah teknik yang dipakai dalam pengumpulan data.18 Teknik observasi dan partisipasi dapat dikembangkan menjadi empat macam. Pertama, observasi-partisipasi. Dalam teknik observasi-partisipasi peneliti berperan sebagai partisipan dalam suatu kebudayaan. Peneliti menyembunyikan identitas yang

16

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), .hlm. 94. 17 Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Cet V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 44. 18 Yacob Vredenbregt, Metode dan Tekhnik Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT.Gramedia, 1981), hlm.23.

13

sebenarnya sebagai peneliti dan lebih kepada peran berpura-pura (rolepretense). Kedua, observasi. Dalam teknik ini interaksi dengan informan dan responden sama sekali tidak terjadi. Bentuk penelitian ini dapat dipakai jika si peneliti sudah merasa punya wawasan luas terhadap objek kajian.19 Ketiga, partisipasi terbatas. Dalam teknik ini peneliti tidak perlu memainkan peran berpura-pura (role pretense) dan tidak perlu menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Dalam teknik ini peneliti dapat melakukan observasi secara formil melalui sebuah proses wawancara yang didasarkan atas daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan dan peneliti dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan responden. Keempat, observasi terbatas. Teknik ini hanya mengenal interaksi dengan informan dan atau responden secara terbatas. Dalam penelitian ini, menggunakan kedua teknik yang terakhir yaitu teknik partisipasi terbatas dan observasi terbatas. Kedua teknik penelitian ini dianggap oleh peneliti sebagai teknik penelitian yang tepat dipergunakan untuk meneliti tokoh-tokoh tertentu dari sebuah komunitas masyarakat. d. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Operasinal teknik ini adalah dengan mengambil data orang-orang terpilih dengan ciri dan spesifik yang dimiliki sample yang diteliti. Dalam konteks ini peneliti akan mengambil data dari para Kiai19

Ibid., hlm. 24.

14

pesantren yang berpengaruh (mempunyai sejumlah santri dan basis masa yang cukup banyak). e. Sumber Data Sumber primer yang digunakan dalam penelitian yang sifatnya field research adalah hasil dari wawancara, observasi, dan dokumentasi.20 Sebagai data yang sifatnya pendukung diambil dari studi kepustakaan dan dokumentasi sebagai sumber sekunder. f. Analisa Data Data yang dihasilkan dari penelitian di atas akan diolah dengan interpretative analytic (analisis yang bersifat penafsiran). Metode analisis ini mencoba menjelaskan tentang apa yang dikatakan oleh informan dan segala sesuatu yang dilakukan oleh individu atau kelompok sosial yang kemudian ditafsirkan kembali oleh peneliti yang dalam konteks ini adalah pemikiran dan respon Kiai21

DAFTAR PUSTAKA

20

Ida Bagoes Mantra, Filsafat dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). hlm. 121.. 21 Moh. Soehada, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA, 2008), hal. 121.

15

Abdulsyani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan. Cetakan Kedua, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002. Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahan, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1980. Ollenburger, J.C. dan H.A. Moore, A Sociology of women, Penj, Budi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996. Asghar Ali Enginner, Hak-Hak Perempuan dalam Islam,Terj: Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: LKiS, 1996. Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1974 tentang perkawinan beserta penjelasannya, Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2004. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Purwokerto : PSG (pusat studi gender), 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta: Trinity, 2007. Maman Imanulhaq, Pesantren dan Budaya Lokal, dalam Jurnal Kalimah:

Jalinan Kreatif Agama dan Budaya, Edisi I, Tahun 2008. Http://www. Pemkab Jember. co. id, akses tanggal 18 Juni 2009. H.A. Souqi al Qodri, JIka Suami Istri Berselisih, Bagaimana Mengatasinya?. Cet I, Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Muhammad Maruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila Ilmil Usul al-Fiqh, Damaskus : ad-Dar al-Ilm li al malabin, 1361 H.

16

Al Yasa Abubakar, Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial, dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Editor) Fiqh Indonesia dalam Tantangan, Surakarta : FIA-UMS, 1991. P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Cet V, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Yacob Vredenbregt, Metode dan Tekhnik Penelitian , Jakarta: PT.Gramedia, 1981. Ida Bagoes Mantra, Filsafat dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Moh. Soehada, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN SUKA, 2008.

17